referat barret
DESCRIPTION
referatTRANSCRIPT
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………….….…..1
DAFTAR TABEL…. …………………………………………………………………………………......2
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………………..……….2
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………….…………… 3
BAB II. INSIDEN, FAKTOR RISIKO DAN PATOFISIOLOGI SERTA MEKANISME
MOLEKULER
2.1. Insiden……………………………………….……………………..……….….…5
2.2. Faktor Risiko……...…………………………………………………….….……..8
2.3. Patofisiologi Barret’Esofagus…………………………… .….……………..9
2.4. Patogenesis Barret’s Esofagus…………………………………………………..12
2.5. Klasifikasi Berdasarkan Endoskopi……………………………………………..13
BAB III.. GEJALA KLINIS, DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
3.1.Gejala Klinis…………………………………………………………..................15
3.2.Diagnosis…………………………………………………………………………15
3.3.Penatalaksanaan………………………………………………………………….17
BAB IV. DAMPAK KLINIS DAN PENATALAKSANAAN
4.1.Dampak Klinis………………………………………………………….…….….18
4.2.Penatalaksanaan…………………………………………………………...…......18
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan …..…………..……………….…………………………….………22
5.2. Saran……. ………………………………………………………...…….………22
DAFTAR PUSTAKA
1
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
TABEL.
Tabel 1. Insiden Barret’s Esofagus di Negara Asia…………………………………….7
Tabel 2. Penelitian-penelitian terapi endoskopik: hasil, keuntungan dan keterbatasan.…19
GAMBAR.
Gambar. 1. Insiden long segmen dan short segmen barret’s esofagus dari sejumlah hasil
Endoskopi pasien Olmsted County Minnesota dari tahun 1965 sampai
1995…………………………………………………………………………………….….6
Gambar. 2. Angka kejadian pasien Barret’s esofagus yang berkorelasi dengan Umur…...8
Gambar. 3. Patogenesis Barret’s Esofagus yang multifaktor. Gabungan dari komponen
lumen serta inflamasi esofagus yang menghasilkan suatu lingkungan mikro yang
potensial, melibatkan stres oksidatif , produksi sitokin dan peningkatan kinetik sel, yang
secara bersamaan merangsang perubahan menjadi metaplasia………… ……..……11
Gambar. 4. Rekomendasi strategi pengawasan Barret’s esophagus…………………….16
Gambar. 5. Algoritma Penatalaksanaan Barret’s Esofagus……………………………...20
2
BAB.I
PENDAHULUAN
Barret’s esofagus ialah suatu kondisi dimana terjadinya metaplasia epitel kolumnar yang
menggantikan epitel skuamous pada distal esofagus. Pada sebahagian besar kasus merupakan
lanjutan dari refluk esofagitis, yang merupakan faktor risiko terhadap adenokarsinoma esofagus
dan adenoma gastro-esofageal junction.1
Angka kejadian Barret esofagus pada populasi umum diperkirakan berkisar antara 1,6 -1,7 %.
Pada sensus tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan hampir mencapai 3,3 juta individu yang
mengalami kondisi seperti ini. Pada penderita GERD angka kejadian Barret Esofagus lebih tinggi,
mencapai kurang lebih 5-10%. Penderita GERD berat seperti esofagitis erosif, angka kejadian barret
esophagus mencapai 10%, sedangkan penderita striktur peptik esofagus angka kejadiannya hampir
30%. Barret esofagus lebih banyak mengenai pria dibandingkan wanita, dengan perbandingan rasio
3:1. 2,3
Barret’s esofagus paling banyak dijumpai pada kelompok umur 55 sampai 65 tahun, penyakit
ini lebih sering dijumpai pada ras kulit putih. Obesitas, perokok dan peminum alcohol merupakan
faktor risiko untuk terjadinya barrett’s esofagus.5,6,7
Identifikasi dan terapi barrett’s esofagus saat ini masih menjadi perdebatan yang menarik.
Barret’s esofagus berkaitan erat dengan gastroesofageal refluk dan merupakan factor risiko yang
paling banyak terhadap adenokarsinoma esofagus. Penderita barret’s esofagus mempunyai risiko
40 kali lebih besar jika dibandingkan dengan populasi umum.5,7
Kanker Barret’s esofagus berkembang sangat cepat disebagian Negara Barat. Di Negara
asia, sebagian besar kanker esofagus berupa karsinoma sel squamous bukan adenokarsinoma. Saat ini
peningkatan jumlah kasus barret’s esofagus yang berlanjut menjadi kanker barret’s semakin tinggi di
Negara asia, seiring dengan peningkatan jumlah kasus Barret’s esofagus di Negara asia.9
Barret’s esofagus long-segment di Negara asia angka kejadiannya lebih sedikit dibandingkan
dengan Negara-negara Barat, akan tetapi barret’esofagus short-segment sering ditemukan. Pada
penelitian epidemiologi, evaluasi angka kejadian barret’s esofagus dibatasi oleh kurang mampunya
pengamat dalam mendiagnosis. Kriteria baku diagnosis endoskopi Barret’s esofagus pada pasien di
asia, terutama barret’s esofagus short-segment harus segera ditetapkan secepat mungkin. Angka
3
kejadian hiatal hernia yang tinggi disertai dengan penurunan kasus infeksi Helicobakter pylori
mungkin akan meningkatkan jumlah kasus barret’s esofagus yang berlanjut menjadi kanker Barret’s
di Negara Asia di masa depan. Oleh karena itu strategi managemen barret’s esofagus di Negara Asia
harus segera di buat.8,9
4
BAB.II
INSIDEN, FAKTOR RISIKO, DAN PATOFISIOLOGI SERTA MEKANISME
MOLEKULER
2.1. Insiden
Insiden barret’s esofagus pada orang ras kulit putih di Negara maju tidak begitu berbeda
dalam dua dekade terakhir. Penelitian berdasarkan dua penelitian yang dipublikasikan pada tahun
1990 dan tahun 2005. Penelitian pertama dilaporkan di Minnesota dimana populasi sebahagian besar
ras Skandinavia, German dan dan keturunan Eropa lainnya. Pada penelitian kedua dari Swedia yang
populasinya lebih banyak. Dengan demikian epidemiologinya dapat diperkirakan lebih akurat karena
semua bagian kelompok termasuk.5
Pada tahun 1980 dilakukan autopsi spesimen esofagus terhadap orang yang meninggal di
Minnesota, penelitian dilakukan secara prospektif selama 18 bulan dari tahun 1986 sampai 1987.
Spesimen biopsi dipilih dari esofagus yang paling kurang mempunyai 3 cm mukosa yang berwarna
salmon. Dengan demikian inilah permulaan insiden segmen pendek dari barret’s esofagus dan
metaplasia intestinal kardia. Dari 733 orang yang di autopsy, ditemukan 7 orang mengalami barret’s
esofagus, umur dan jenis kelamin berkaitan, dengan 376 per 100 000 kasus segmen panjang barret’s
esofagus atau 0,34 %.5
Insiden gabungan segmen pendek dan segmen panjang barret’s esofagus serta metaplasia
intestinal kardia pertama kali dilaporkan di Swedia tahun 2005 pada Swedish Population-Based
Study, dengan total populasi 21 610 orang. Dari sejumlah 21610 hanya 1000 0rang yang dapat
dilakukan endoskopi, yang mana ditemukan 5 orang yang telah mengalami metaplasia intestinal
dengan sel goblet kurang lebih 2 cm. oleh karena peneliti tidak melaporkan insiden barret’s esofagus
maka tidak dapat dilakukan perbandingan insiden barret’ esofagus dengan hasil autopsy tahun 1987
dari Minnesota. Secara keseluruhan insiden barret’esofagus termasuk metaplasia intestinal adalah 1,6
%.5
Walaupun jumlah orang yang mengalami barret’s esofagus mengalami peningkatan selama
tiga dekade ini, namun ini tidak mencerminkan terhadap insiden barret’’s esofagus. Peningkatan ini
mungkin, pertama karena peningkatan pengetahuan mengenai barret’s esofagus, terutama short
segment barret’s esofagus dan kemudian peningkatan penggunaan endoskopi sebagai alat deteksi.5
5
Gambar. 1. Insiden long segmen dan short segmen barret’s esofagus dari sejumlah hasil Endoskopi pasien Olmsted County Minnesota dari tahun 1965 sampai 1995,5
Pada dua penelitian prospektif terhadap pasien yang bersedia dilakukan endoskopi, pada
penelitian pertama 8 % subjek yang dilaporkan mempunyai riwayat heartburn menderita barret’s
esofagus, dibandingkan dengan pasien tanpa gejala GERD yang hanya 6 % menderita barret’s
esofagus (Rex dkk,2003). Penelitian kedua barret’s esofagus dijumpai sekitar 20 % pada pasien yang
mempunyai gajala refluk sedangkan yang tanpa gejala hanya 15 % (Ward dkk,2006). Pada penelitian
ini laki-laki dua kali lebih besar menderita Barret’s Esofagus dibandingkan pada wanita ,22%
banding 11%(Cook dkk,2005) .3
Barret’ esofagus dibagi berdasarkan panjang segmen yang dikenai. Short segmen biasanya di
difinisikan sebagai metaplasia intestinal distal esofagus yang kurang dari 3 cm. sedangkan long
segmen barret’s esofagus berdasarkan pada panjangnya yang 3 cm atau lebih. Short segmen hampir
tiga kali lebih sering dibandingkan dengan long segmen,(Hirota dkk,1999; Csendes dkk 2003;
Hannah dkk 2006). panjangnya long segmen berkaitan dengan paparan asam lambung yang sering.
(Fass dkk,2001).3
6
ixTabel.1. Insiden Barret’s Esofagus di Negara Asia.,9
LSBE = Long segment Barret’s esophagus, SSBE=Short segment Barret’s esophagus.
Insiden Barret’s esofagus long-segment di Asia rendah ( <1% dari seluruh pasien Barret’s
Esofagus), sebaliknya Barret’ esofagus short-segment tinggi lebih dari 96% dari seluruh pasien
Barret’s esofagus.
7
2.2. Faktor risiko
2.2.1. Umur
Barret’s esofagus merupakan kelainan yang di dapat, dengan demikian insiden barret’s
esofagus bertambah sesuai dengan umur. Rerata umur pada saat diagnosis klinis ditegakkan ialah 63
tahun. Barret’s esofagus long segmen jarang ditemukan pada anak-anak. Penelitian kohor baru-baru
ini mendapatkan 8 dari 166 anak yang mendapatkan terapi jangka panjang penghambat pompa proton
menderita barret’s esofagus, sebagian besar anak yang usianya lebih dari 11 tahun yang menderita
kelainan status mental atau refluk gastroesofageal yang disertai faktor predisposisi seperti Down’s
Syndrome atau Serebral Palsi.5
Pada penelitian yang dilakukan, didapatkan perubahan angka kejadian Barret’s esofagus
( dimana 99% ialah Barret’s esofagus short-segment) berkaitan dengan umur, dimana paling banyak
dijumpai pada pasien yang berumur diatas 70 tahun dibandingkan dengan usia yang lebih muda. Dari
penemuan ini diduga bahwa patofisiologi barret’s esofagus mungkin berbeda antara pasien di Negara
asia (Terutama short-segment) dengan pasien di Negara Barat (terutama Long-segment).8,9
Gambar.2. Angka kejadian pasien Barret’s esofagus yang berkorelasi dengan Umur.,9
2.2.2. Jenis Kelamin
Pada penelitian di Mayo Clinic pada pasien yang dilakukan endoskopi antara tahun 1976
sampai dengan tahun1989, mendapatkan bahwa barret’s esofagus long segmen lebih banyak dua kali
pada pria dibandingkan wanita. Penelitian multisenter Italian Study dari tahun 1987 sampai 1989,
barret’s esofagus 2,6 kali lebih sering dijumpai pada pria dibandingkan pada wanita.8,9
8
2.2.3. Geografik dan etnik
Barret’s esofagus long segmen paling sering didapat di Negara barat namun kurang
dibandingkan dengan Negara lain seperti di jepang misalnya. Dari penelitian retrospektif cross-
sectional cohort study terhadap 2100 orang (37,7 kulit putih,11,8 kulit hitam,22,2 hispanik) yang
dilakukan endoskopi dari tahun 2005 sampai 2006, didapatkan pada kulit putih 6,1 % menderita
barret’s esofagus sedangkan kulit hitam 1,6 % dan hispanik 1,7 %.8,9
2.2.4.Refluk
Sekitar 15 sampai 20 % orang dewasa di Amerika Serikat dilaporkan pernah mangalami
heartburn paling tidak sekali dalam seminggu, dan sekitar 7 % mengalami gejala seperti ini setiap
hari. Pada orang yang mempunyai gejala GERD , 3 sampai 7 % didapati barret’s esofagus long
segmen pada saat dilakukan endoskopi. Namun sebaliknya pada orang yang tidak mempunyai gejala
GERD hanya 1% yang didapati barret’s yang osefagus long segmen. 6
Dari suatu penelitian yang dilakukan terhadap semua pasien yang mengeluhkan heartburn
paling kurang dua kali dalam seminggu, didapati barret’s esofagus short segmen pada 7 pasien dari
378 pasien (1,8%) yang dilakukan endoskopi. Pada suatu penelitian potong-lintang didapati pasien
dengan barret’s esofagus short segmen lebih sering mengeluhkan gejala refluk.6
2.3. Patofisiologi Barret’s Esofagus
Barret’s esofagus merupakan penyakit yang didapat dimana terjadi perubahan epitel
kolumnar dari epitel skuamous yang normal pada distal esofagus. Hernia Hiatal, kelemahan spinkter
esofageal bawah serta abnormalitas paparan asam di esofageal sering dijumpai pada pasien barret’s
esofagus dibandingkan dengan orang sehat yang normal pada kontrol dan pasien dengan esofagitis.
Saat ini dididuga hernia hiatal dan kelemahan spinter bawah esofagus sebagai pencetus refluk yang
berlebihan dan refluk yang berlebihan merupakan penyebab awal metaplasia dari sel skuamous
menjadi sel kolumnar.6,9,10
Sebagian besar pasien penderita barrett’s metaplasia mengalami refluk asam yang berlebihan
di distal esofagus, bahkan adanya hubungan langsung antara lamanya paparan asam terhadap
esofagus dan derajat kerusakan mukosa. Peningkatan paparan asam terhadap esophagus merupakan
penyebab utama defek mekanik pada spinkter bawah esofagus, serta menurunkan irama kontraksi
esophageal bawah. Gangguan motilitas esofagus menyebabkan terhambatnya pembersihan material
refluk dan memperlama waktu kontak antara material refluk dengan mukosa esofagus.6,7,8
9
Data-data eksperimental menyatakan bahwa asam saja tidak merusak mukosa esofagus, akan
tetapi kombinasi dengan pepsinlah yang memperberat kerusakan mukosa. Refluk asam lambung
tidak merupakan pencetus utama terhadap metaplasia intestinal tetapi berperan terhadap metaplasia
kolumnar. Material duodenal seperti enzim pancreas, garam empedu serta lysolesitin diyakini
memegang peranan penting terhadap terjadinya metaplasia intestinal dan degenerasi malignan.
Pengaruh kerusakan mukosa dari refluk duodenal pada mukosa esofagus didapat dari studi-studi
klinis dan eksperimental. Mekanisme kerusakan mukosa oleh pepsin dan tripsin berkaitan dengan
sifat proteolitiknya. Pepsin dan tripsin sangat cocok dalam lingkungan PH asam ang mempengaruhi
subtansi intersel sehingga menyebabkan kerontokan sel epitel. Asam empedu terutama
mempengaruhi membran sel dan organ intrasel. Tampaknya asam diperlukan untuk mengaktifkan
material perusak seperti pepsinogen atau memperkuat kemampuan garam empedu memasuki
mukosa. Hal ini terlihat jelas pada observasi terhadap pasien yang mengalami refluk ganda dari asam
lambung dan asam material dari duodenal mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap kerusakan
mukosa esofagus. Pada lingkungan PH yang netral garam empedu dekonyugasi lebih merusak
dibandingkan dengan yang konyugasi. Terapi supresi asam mengakibatkan berkembangnya bakteri
yang mencetuskan dekonyugasi asam empedu di lambung. Pada asam yang normal asam empedu
tidak terkonyugasi mengendap, namun pada saat supresi asam lambung terjadi, asam empedu tidak
terkonyugasi berbentuk cairan dan berkontribusi terhadap kerusakan mukosa esofagus.6,9,10
Inflamasi yang disebabkan oleh refluk kronik bisa jadi berperan penting terjadinya
lingkungan disekitar sel dimana Barret’s esofagus timbul. Mukosa esofagus dirusak oleh asam dan
garam empedu yang umumnya diinfiltrasi oleh sel-sel inflamasi. Infiltrasi oleh sel inflamasi akut
diikuti oleh limfosit T terutama di daerah metaplasia. Infiltrasi sel T selalu ada pada Barret’s
Esofagus yang dilakukan endoskopi terapi ablasi, namun tidak dijumpai pada epitel skuamus yang
baru. Dengan demikian diduga limfosit T merupakan bagian yang penting dalam mempertahankan
jaringan metaplasia.9,10
10
Gambar.3. Patogenesis Barret’s Esofagus yang multifaktor. Gabungan dari komponen lumen
serta inflamasi esofagus yang menghasilkan suatu lingkungan mikro yang potensial,
melibatkan stres oksidatif , produksi sitokin dan peningkatan kinetik sel, yang secara
bersamaan merangsang perubahan menjadi metaplasia.,8
Infiltrasi sel inflamasi mengakibatkan timbul produksi reactive oxygen species (ROS),
walaupun produksi ROS sudah dikenal pada mukosa pasien dengan Barret’s esophagus dan/ataupun
esofagitis, namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara keduanya. ROS dapat mengakibatkan
pengaruh biologis yang berlebihan pada sel termasuk sel yang berperan terhadap siklus
perkembangan sel, tranduksi sinyal, degradasi protein serta penghancuran DNA.9,10
ROS merangsang produksi sitokin yang mengstimulasi proliferasi epitel, survival serta
migrasi. Sitokin dihasilkan oleh sel inflamasi epitel barret’s melalui respon inflamasi yang berupa
growt factor-β, interleukin-1β, IL-10, IL-4, interferon-γ serta TNF-α. Hal ini mungkin
dikarenakan profil spesifik sitokin mungkin terlibat pada respon mukosa terhadap refluk.9,10
11
Individu yang mengalami esofagitis akan memberikan respon inflamasi akut dimana
terdapatnya sitokin proinflamasi tipe Th-1 dengan peningkatan kadar IL-1β, IL-8 dan IFN-γ. Jenis
respon ini berkaitan dengan respon imun seluler terhadap infeksi serta keganasan. Sitokin tipe Th-2
meningkatkan IL-10 dan IL-4 yang berkaitan dengan barret’s esofagus. IL-4 merangsang metaplasia
sel goblet dan gene musin pada sel epithelial saluran pernapasan.9,10
2.4. Patogenesis Barret’s Esofagus.
Barret’s esofagus terbentuk dari perjalanan GERD. Penelitian-penelitian menunjukkan pasien
Barret’s esofagus mempunyai gejala GERD yang cukup lama, semakin lama semakin tinggi
kemungkinan terjadinya perubahan onset yang spesifik. Factor risiko adalah refluk yang lama lebih
dari lima tahun, umur diatas 50 tahun serta laki-laki. penelitian di Swedia melaporkan bahwa barret’s
esofagus pada 40% yang mengalami gejala GERD lebih dari sepuluh tahun. 10
GER secara merupakan kumpulan dari gejala klinis dan refluk yang menyebabkan perubahan
morfologi secara makroskopi pada mukossa esofagus. Perubahan klinis dan morfologi dapat
ditemukan pada saat yang sama, atau penderita hanya mengalami keluhan subjektif.perubahan
mukosa pada endoskopik bias jadi merupakan dasar keluhan pada penderita. Apabila ditemukan
perubahan morfologi maka diagnosisnya ialah refluk esofagitis. Barret’s esofagus disebabkan oleh
refluk, apakah ada gejala atau tidak atau apakah disebabkan oleh perubahan esofagitis atau tidak.10
Refluk gastroesofageal dipengaruhi oleh beberapa factor : nutrisi, obat-obatan, perokok,
obesitas, kehamilan, hernia hiatal dan pembedahan. Semuanya saling berkaitan antara satu dengan
yang lain terhadap mekanisme fisiologis anti refluk. oleh karena itu hiatus diafragma dan tekanan
spinter esophageal bawah (LES) merupakan komponen anatomis antirefluk utama. Sebagian besar
penderita barret’s esofagus didapati tekanan LES yang rendah (normal 20- 25mmHg) atau dijumpai
periode relaksasi. Tonus LES dipengaruhi oleh makanan : protein dan gula meningkatkan tonus,
sedangkan lemak, obat seperti teophilin, kalsium channel blocker, alcohol dan perokok berat
menurunkan tonus LES.10
Motilitas esofagus meningkat pada GERD. Hampir sepertiganya didapati gelombang
amplitude yang lebih pendek dan kurang. Ini merupakan efek negatif bagi mekanisme bersihan
esofagus. Komponen lain yang penting ialah saliva. Penurunan sekresi saliva pada perokok berperan
penting terhadap mekanisme GERD.10,11
12
Gangguan motilitas lambung dan perlambatan pengosongan lambung meningkatkan tekanan
dalam lambung, sehingga mencetuskan hipersekresi dan agresifitas refluk. Makan berlebihan dan
konsumsi minuman yang mengandung gas juga menyebabkan efek yang sama. Stenosis duodenum
berkaitan erat dengan esofagitis berat.10
Sifat agresif material refluk merupakan komponen pathogenesis yang penting. Penderita
ulkus dengan hipersekresi asam sering mengakibatkan esofagitis. Refluk duodenum-gastrik yang
mengeluarkan cairan duodenum yang banyak mengandung asam empedu dan enzim pancreas
memperparah cedera esofagus. Tampaknya evolusi pada barret’s esofagus terutama bergantung
pada adanya asam empedu beserta isi yang dikandungnya.10
Sangat jelas bahwa agresifitas bergantung pada komposisi cairan refluk. Asam hidroklorida
merupakan penyebab metaplasia kolumnar paling banyak. Bentuk mukosa tipe lambung terdapat di
esofagus. Lesi esofagitis kemungkinan disebabkan oleh pepsin yang teraktifasi di lingkungan asam.
Namun demkian metaplasia intestinal dapat juga disebabkan oleh komponen lainnya seperti tripsin
pancreas atau asam empedu. Peneltian yang dilakukan pada cairan refluk mendapatkan asam empedu
konyugasi, taurocholik dan glicocholic yang berupa dehidrosikolate, taurodeoksikolate dan
deoksikolate pada penderita barret’s esofagus. Aksi asam empedu taurokonyugasi dan tak
terkonyugasi kemungkinan meningkat dengan adanya asam hidroklorida.10,12,13
Faktor pathogenesis yang berperan penting ialah sensitifitas mukosa esofagus terhadap cairan
refluk. Namun demikian perubahan morfologi tidak berkaitan erat dengan beratnya refluk, akan
tetapi bergantung pada sensitifitas individu. Resistensi mukosa atau kelemahan mukosa bergantung
pada sejumlah faktor seperti asupan darah, pergantian sel. Epithelial growth factor, kekuatan ikatan
intersel. Obat-obatan (NSAID) cenderung menimbulkan lesi mukosa esofagus.10
2.5. Klasifikasi Berdasarkan Endoskopi.
Klasifikasi Barret’s esofagus berdasarkan ukuran pada endoskopi dan biopsi dibagi kedalam
tiga katagori : Barrets esofagus long segmen, short segmen dan metaplasia kardia intestinal (CIM).
Sebelumnya Barret’s esofagus dibedakan panjangnya segmen barret esophagus secara endoskopi (≥ 3
cm atau ≤ 3 cm), sedangkan metaplasia kardia intestinal didiagnosis berdasarkan pada tidak dijumpai
mukosa kolumnar esofagus tetapi dijumpai metaplasia intestinal jika biopsi dilakukan dibawah
gastroesofageal junction (GEJ). Batasan 3 cm yang digunakan sebelumnya pada Barret’s esofagus
13
dimulai pada tahun 1970 untuk mencegah terjadinya over diagnosis akibat kegagalan mengenal
herniasi lambung pada saat endoskopi dan juga disebabkan mukosa kolumnar esofagus normal 1-2
cm pada distal esofagus. Ukuran barret’ esofagus tidak berhubungan secara signifikan dengan risiko
adenokarsinoma. Klasifikasi Barret’ esophagus kedalam long segmen dan short segmen mungkin
kurang begitu relevan secara klinis.14,15,17
Metaplasia kardia intestinal berisiko terhadap terjadinya progresifitas keganasan. Sharma dkk
yang melakukan penelitian terhadap78 pasien Barret’s esofagus short segmen dan 34 pasien
metaplasia intestinal mendapatkan bahwa 9 pasien Barret’s esofagus short segmen mengalami
dysplasia sedangkan pada metaplasia kardia intestinal satu pasien. Adenokarsinoma didapatkan satu
pasien pada Barret’s esofagus. Akan tetapi saat ini 64 % dari 22 pasien metaplasia kardia intestinal
baik high grade dysplasia maupun low grade dysplasia berkaitan dengan adenokarsinoma. Insiden
kardia adenokarsinoma meningkat dalam 15 tahun terakhir. Sehingga diperlukan penelitian
selanjutnya untuk mentukan secara paasti risiko keganasan dari metaplasia kardia intestinal ini.18
Klasifikasi Z-line telah digunakan untuk menggambarkan perluasan endoskopi dengan
berdasarkan pada Barret’s esofagus short segment. sistim ini juga menggunakan batas 3 cm dalam
membedakan antara grade II dan grade III, namun sistim ini tidak akurat dalam menilai progresi dan
regresi Barret’s esofagus. Sistim stadium terbaru yang dinamakan kriteria Prague C dan M. sistim ini
menganjurka penggunaan ukuran lingkaran (C) dan panjang maksimal (M). sistim grading ini
berguna dalam pemakaian secara klinis.19
Criteria Prague C (ukuran lingkaran) dan M ( panjang maksimal) diperkenalkan oleh Sharma
dkk. Klasifikasi M maupun C diukur pada saat endoskopi. Sistim ini mempunyai tingkat kepercayaan
yang tinggi apabila secara visual dengan endoskopi panjang segmennya > 1 cm, namun kurang
kemampuannya jika panjang segmennya < 1 cm.
14
BAB. IIIGEJALA KLINIS, DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
3.1. GEJALA KLINIS
Barret’ esofagus sendiri sebenarnya tidak menimbulkan gejala. Gejala Barret’s esophagus
berkaitan dengan gejala GERD, seperti heartburn atau regurgitasi. Sangat sulit membedakan pasien
dengan gejala GERD menderita Barret’s esofagus berdasarkan gejala. dari penelitian yang dilakukan
berdasarkan penemuan endoskopi didapat bahwa penderita yang mengalami gejala lebih dari dari
lima tahun kemungkinan besar menderita Barret’s esofagus dibandingkan dengan penderita yang
gejalanya kurang dari lima tahun. Dengan demikian kronisitas gejala lebih penting dalam
memprediksi barre’s esofagus dibandingkan keparahan gejala. Dengan alasan ini dianjurkan pada
penderita GERD yang lebih dari lima tahun dilakukan skrining endoskopi guna mendiagnosis
Barret’s esofagus.12
Rex dkk (2003) mendapatkan hampir 8 % pasien Barret’s esofagus mempunyai riwayat heart
burn dibandingkan dengan yang tidak mengalami gejala GERD yang hanya 6 %. Sedangkan Ward
dkk (2006) mendapatkan 20 % Barret’s esofagus pada penderita yang mempunyai gejala GERD
dibandingkan dengan Barret’s esofagus tanpa gejala GERD yang hanya 15%. Cook dkk (2005)
mendapatkan pada penelitian meta-analisis 8-20 % Barret.s esofagus dengan gejala refluk.3,12
3.2. DIAGNOSIS
Radiografi gastrointestinal atas dengan barium enema tidak sensitive untuk mendeteksi
Barret esophagus. Diagnosis Barret’s esophagus masih berpedoman pada biopsy dengan endoscopi.
Kemampuan kapsul endoskopi dalam mendiagnosis barret’s esophagus telah dilakukan dan
menghasilkan sensitivitas 67 % serta spesifisitasnya 84% . penelitian multisenter lainnya
mendapatkan bahwa kapsul endoskopi memiliki sensitifitas yang baik sekali, namun spesifisitasnya
terbatas dalam mendiagnosis barret’s esophagus ataupun refluk esofagitis.22
Pada esofagus yang normal, pertemuan epitel kolumnar lambung dan epitel skuamous
esophagus ditemukan pada bagian paling bawah esophagus. Pada barret’s esophagus pertemuan ini
berpindah keatas dan epitel kolumnar meluas kedalam esophagus dan sangat mudah dibedakan
dengan epitel skuamous yang dilihat diproksimal. Setelah barret’s esophagus dideteksi pencarian
endoskopi ditujukan untuk mencari hubungan seperti refluk esofagitis, ulkus esophagus, striktur,atau
hiatal hernia serta terutama adanya karsinoma esophagus seperti nodul atau masa.20
15
Gambar.4. Rekomendasi strategi pengawasan Barret’s esophagus.,13
Difinisi Barret’s esophagus mengharuskan paling kurang ditemukannya 3 cm epitel kolumnar
di esophagus. Saat ini peneliti menemukan bahwa short segmen epitel kolumnar berkaitan dengan
adenokarsinoma esofagogastrik junction. Barret’s esophagus didiagnosis jika dari endoskopi
ditemukan daerah epithelium kolumnar yang definitive pada esophagus bawah dan secara biopsy
menunjukkan metaplasia intestinal.20
16
Biopsi perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis Barret’s esophagus. Epitel kolumnar
lambung atas yang langsung terletak dibawah esofagogastrik junction merupakan tipe fundus atau
tipe gastric. Tanda histologi barret’s esophagus adalah ditemukannya metaplasia intestinal (juga
disebut epitel kolumnar) pada esophagus. Pada epitel ini musin mengandung goblet sel.ujung dari
goblets sel masuk kedalam sel sitoplasma yang mudah dilihat dengan pewarnaan standar
hematoksilin-eosin dan dapat dilihat lebih jelas dengan pewarnaan alsian blue. Goblet sel metaplasia
intestinal meliputi seluruh daerah barret’s esophagus. Jenis histology seperti ini dijumpai lebih dari
95 % kasus yang ditemukan secara endoskopi pada long segmen barret’s esophagus (lebih dari 3
cm). jenis epitel seperti ini berkaitan dengan adenokarsinoma esophagus. Apabila sejumlah biopsy
tidak menunjukkan adanya metaplasia intestinal akan tetapi hanya epitel normal gastric atau fundus,
diagnosis barret’s esophagus menjadi meragukan. Specimen biopsi harus mengandung epitel
kolumnar dari dalam hernia diafragma, tidak dari esophagus. Apabila tidak dijumpai metaplasia
intestinal penderita kemungkinan tidak mempunyai risiko terjadinya kanker oleh sebab itu tidak perlu
dilakukan follow up endoskopi selanjutnya.20
3.3. PENATALAKSANAAN
Ada tiga sasaran terapi penderita Barret’s esophagus;(1) menghentikan refluk,(2) mendorong
atau menginduksi penyembuhan atau mengregresi epitel metaplasia dengan demikian menghindari
mukosa terhadap risiko tinggi (intestinal metaplasia), dan (3) menghambat perkembangan menuju
displasia dan kanker. Sebagian besar penderita Barret’s esophagus diterapi dengan obat-obatan,
namun demikian terapi obat yang adekuat sulit disebabkan karena adanya gangguan spinkter
esophagus bawah dan buruknya motilitas esophagus. Terapi medis berpatokan kepada diet dan
modifikasi gaya hidup, agen promotilitas serta terapi menekan asam.20,21
Apabila barret’s esophagus sudah terjadi, terapi terutama harus langsung ditujukan untuk
mencegah progresifitas adenokarsinoma esophagus yang sama pentingnya dengan mengontrol gejala
GERD. Pencegahan kanker terutama untuk memonitor progresifitas terhadap terjadinya dysplasia
dan berguna untuk menghilangkan jaringan dysplasia sebelum berkembang kearah keganasan. Terapi
bertujuan untuk mengurangi keasaman isi lambung namun tidak untuk terapi Barret’s esophagus itu
sendiri akan tetapi untuk gejala GERD semata.3
17
3.3.1. Peran Terapi PPI pada Barret’t Esofagus.
Penggunaan PPI tidak menghasilkan perbaikan barret’s esophagus apabila sudah terjadi,
walaupun terapi yang sangat agresif menekan asam dapat sedikit mengurangi perluasan jaringan
metaplasia (Peter dkk 1999). Dari data yang ada saat ini menunjukkan pemberian PPI dua kali sehari
diizinkan selama periode keasaman lambung dengan PH < 4 pada sebagian besar penderita, sampai
gejalanya terkontrol dengan baik (Katz dkk 1998). Dari penelitian yang ada menunjukkan bahwa
penderita dengan barret’s esophagus kurang tercapai control PH esofagusnya dengan penggunaan
PPI dibandingkan dengan penderita yang mengalami GERD saja (50 %: 58 %). Gerson dkk (2004)
menyatakan derajat refluk pada penderita Barret’s esophagus lebih berat dibandingkan dengan
GERD saja. Sedangkan Yeh dkk (2003) menyatakan control gejala refluk dengan PPI tidak
menunjukkan control yang adekuat refluk asam kedalam esophagus,62 % penderita yang diterapi
dengan PPI menderita keasaman esophagus yang berat terutama malam hari walaupun gejalanya
terkontrol. Gerson dkk (2005) yang melakukan penelitian dengan menggunakan tiga PPI yang
berbeda mendapatkan PH lambung < 4 pada penderita yang mendapatkan omeprazole 46 %, yang
menggunakan Lanzoprazole 71%, sedangkan yang menggunakan Rabeprazole 51%.3
Dari satu penelitian terhadap 39 penderita dengan Barret’s esophagus, mendapatkan bahwa
setelah penggunaan PPI selama enam bulan specimen biopsi menunjukkan penurunan ekspresi
marker proliferasi dan peningkatan marker diferensiasi pada penderita kontrol pH esofagusnya baik
namun tidak pada yang penderita yang refluk asamnya persisten. Ini menunjukkan bahwa control
refluk asam sebenarnya dapat mengganggu terbentuknya dysplasia. El-Serag dkk yang melakukan
penelitian pada Veteran’s Hospital mendapatkan penggunaan PPI pada Barret’s esophagus secara
bermakna mengurangi risiko progresifitas displasia dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan
PPI.3
18
3.3.2. Terapi Endoskopi
Terapi endoskopi ablasi pada Barret’s esophagus berdasarkan apabila refluk asam
gastroesofageal terkontrol dengan obat maupun dengan pembedahan. Keampuhan endoskopi terapi
telah dilaporkan oleh beberapa pusat penelitian dengan penelitian random dan penelitian kontrol.11
Tehnik terapi endoskopi pada barret’s esophagus dapat dikelompokkan secara luas pada yang
dapat melakukan pemeriksaan jaringan histologist (Endoscopic Mucosal Resection [EMR] dan
Endoscopic submucosal dissection) dan yang tidak (terapi ablasi). Terapi ablasi dapat
diklasifikasikan kepada heat-generating thermal (Radiofrequency ablation [RFA], multipolar
electrocoagulation dan argon plasma coagulation), tehnik photochemical (photodynamic therapy
[PDT]) dan cryotherapy. Multimodalitas terapi endoskopi yang mana menggunakan tehnik reseksi
guna menyingkir abnormalitas yang terlihat dan diikuti dengan tehnik ablasi untuk mengeradikasi
epitel barret’s yang tersisa merupakan managemen endoskopik komprehensif yang paling banyak
dilakukan pada neoplasia Barret’s esofagus.11
Tabel.2. Penelitian-penelitian terapi endoskopik: hasil, keuntungan dan keterbatasan.,11
19
EMR meliputi pengangkatan jaringan mukosa dan submukosa biasanya setelah sasaran
segmen mukosanya terangkat oleh injeksi cairan submukosa. Tehnik EMR yang paling sering
digunakan adalah metoda isap dan potong, dimana lesi mukosa dihisap kedalam mangkok endoskopi
dan kemudian dipotong dengan menggunakan jerat diatermik. Juga ada metoda ikat jerat yang
menggunakan alat ikat dan ligasi, alat yang sama digunakan pada endoskopi ligasi varises, yang
menggunakan pita elastic disekeliling segmen mukosa yang terhisap. Segmen yang terikat kemudian
diangkat dengan jerat. Metoda hisap dan potong dapat mengambil sampel jaringan yang luas,
sementara ikat dan ligasi lebih cepat dan lebih murah untuk reseksi multiple.11
20
Gambar.5. Algoritma Penatalaksanaan Barret’s Esofagus.,22
Dibandingkan dengan metoda biopsi endoskopi konvensional, EMR lebih akurat terhadap
neoplasia, tidak banyak menggunakan ahli pathologi dan lebih akurat dalam menilai stadium dan
dalamnya invasi. Keakuratan stadium dari neoplasia yang terlibat diperlukan untuk menilai apakah
terapi endoskopi dapat dipertimbangkan secara definitive. Reseksi esophagus yang dilakukan pada
penderita karsinoma intramukosa yang belum memasuki mukosa muskularis menghasilkan tingkat
metastasia yang rendah pada kelenjar limfe (<5%). Oleh sebab itu terapi endoskopi boleh jadi
sebagai kuratif pada sebagian besar penderita neoplasma yang terbatas pada mukosa. Oleh karena itu
terapi endoskopi umumnya tidak dianjurkan secara definitive pada penderita submukosa.11
Endoscopic submucosal dissection telah digunakan terutama di jepang, lebih banyak
digunakan untuk terapi neoplasia gastric. Keuntungan yang utama dari Endoscopic submucosal
dissection dibandingkan dengan EMR ialah kemampuannya mengangkat lesi neoplasia lebih banyak
dan lebih terukur dan lebih berpotensi mengangkat semua sel neoplasia. Namun demikian tehniknya
lebih sulit dan prosedurnya lebih lama yang terkadang memerlukan waktu beberapa jam serta juga
menimbulkan komplikasi seperti perforasi.11,12
21
multipolar elektrocoagulation menggunakan energi panas pada mukosa. Tehnik ini
membutuhkan waktu dan tidak praktis mengablasi pada daerah yang lebih luas namun berguna untuk
mengeradikasi sisa metaplasia intestinal.11
Argon plasma coagulation merupakan tehnik yang tidak bersentuhan langsung, dimana
energy monopolar dihantarkan ke jaringan melalui ionisasi gas argon. Energy yang digunakan dari
40-90 W untuk mengablasi metaplasia dan dysplasia Barret’s dengan keberhasilan antara 70-90 %.
Namun demikian beberapa penelitian melaporkan angka kekambuhan yang tinggi sampai 66% serta
sering dijumpai metaplasia kelenjar yang mendasari epitel squamous (disebut “buried metaplasia”).
Komplikasi seperti perforasi, pneumomediastinum dan perdarahan telah dilaporkan sehingga
mengurangi keinginan terhadap pemakaian Argon plasma coagulation. PDT merupakan tehnik ablasi
yang menghancurkan epitel barret’s meggunakan energy photochemical melalui interaksi antara
hantaran sinar endoskopik serta fotosensitif yang dikonsentrasikan dijaringan. Interaksi ini
menyebabkan keracunan yang menyebabkan kerusakan jaringan. Fotosensitif yang digunakan pada
PDT ialah sodium porfimer yang diberikan secara intravena dan 5-asam aminolevulinic yang
diberikan secara oral. Efek samping yang terjadi ialah fotosensitif pada 60% penderita, striktur
esophagus 36%.11
RFA menggunakan energi radiofrekuensi yang dihantarkan melalui balon kateter endoskopi
atau suatu alat ablasi fokal untuk menghancurkan epitel barret’s. RFA tidak direkomendasikan pada
penderita dengan striktur esophagus oleh karena ballon dapat menyebabkan perforasi. Energy
radiofrekuensi dihantarkan melalui elektroda yang menghasilkan panas untuk menghancurkan
jaringan metaplasia. Penderita kembali setelah 2-3 bulan kemudian untuk dilakukan evaluasi
endoskopi serta ablasi sisa jaringan metaplasia dengan menggunakan alat ablasi focal. Dengan
menggunakan kombinasi alat RFA focal dan balon, penelitian menunjukkan eradikasi komplit epitel
barret’s pada 98 % penderita yang dilakukan follow-up selama 30 bulan. Penelitian terbaru dari
multicenter yang dilakukan secara random menunjukkan kemampuan RFA dalam mengeradikasi
dysplasia dan metaplasia intestinal pada Barret’s esophagus. Efek samping ialah terjadinya striktur
esophagus 6%, perdarahan gastrointestinal dan nyeri dada serta robeknya mukosa esophagus namun
dilaporkan jarang terjadi.11
Cryotherapi meliputi penggunaan cryogen secara endoskopi (cairan nitrogen atau carbon
dioksida) yang dikenakan pada jaringan injuri. Kerusakan jaringan akibat cryotherapi terjadi dalam
22
dua fase: fase cepat disebabkan oleh pembekuan sel dan organelnya. Diikuti fase lambat dimana sel
mengalami apoptosis. Cryoterapi dihantarkan melalui semprotan tampa memerlukan kontak langsung
mukosa dengan kateter yang dapat digunakan terhadap permukaan yang tidak rata. Masalah yang
dapat timbul pada cryoterapi overdistensi dengan perforasi ( pada penderita Marfan sindrom) dan
lensa endoskopi berkabut (alat menggunakan cairan nitrogen). Walaupun hasil dari cryoterapi
menjanjikan dan efek sampingnya dapat ditoleransi, namun data jangka panjangnya masih terbatas. 11
BAB.IVKESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Barret’s esofagus merupakan mukosa premalignant dan risiko transformasi menjadi
Keganasan sekitar 0,5 % pasien pertahun.
2. Risiko adenokarsinoma esofagus pada Barret,s esophagus mengalami penimgkatan, oleh
sebab itu diperlukan pemeriksaan endoskopi biopsi berkala.
23
3. Penderita dengan dysplasia stadium tinggi atau adenokarsinoma superficial yang mana
terapi pembedahan bukan merupakan pilihan, terapi fotodinamik dan endoskopi reseksi
mucosal merupakan alternatif
4.2. Saran
1. Penderita dengan riwayat gejala refluk lebih dari 5 tahun, sebaiknya perlu dilakukan
skrining endoskopi.
2. Perlu dipertimbangkan reseksi dengan pembedahan pada dysplasia yang high-grade, apabila
reseksi tidak memungkinkan endoskopi ablasi mukosa merupakan pilihan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Spechler SJ, Gastroesophageal Reflux Disease & Its Complication. Current Diagnosis &
Treatment in Gastroenterology.2nd Ed. McGraw-Hill Pub.2003,
2. Poneros JM, Barret Esophagus. Current Diagnosis & Treatment Gastroenterology,
Hepatology & Endoscopy. McGraw-Hill Pub.2009.
3. Modiano N, Gerson LB. Barret’ Esophagus : Insidence, Etilogy, Pathophysiology, Prevention
24
and Treament. Ther and Cli R Man.2007.
4 Goldblum JR. Barret’s Esophagus and Barret’s-Related Dysplasia. Mod Path J .2003.
5. Romero Y. Barret’s Esophagus and Esophageal Cancer.
6. DeMeester TR : Barrett’s Esophagus. Update of Pathophysiology and Management. Hep Gast
J, 1998.
7. Anwar SA, Kanthan SK, Riaz AA. Current Management of Barrett’s Oesofagus. Bri J of Med
Prac.2009, Vol 2,
8. Clemons NJ, Fitzgerald C and Farthing MJG. Pathogenesis of Barrett’s Esophagus. Barrett’s
Esophagus and Esophageal Adenocarcinoma.Blackwell Publishing.2nd. 2006.
9. Amano Y and Kinoshita Y: Barrett’s Esophagus ; Perspectives on Its Diagnosis and
Management in Asia Population. Gast and Hep J. Vol 4.2008.
10.Pascu O, Lencu M ; Barrett’s Esophagus. Rom J of Gast, Vol 13, 2004,
11.Spechler SJ, Fitzgerald RC, Prasad GA et al : Review in Basic and Clinical Gastroenterology.
Gastroenterology J.2010.Vol 138.
12.Morales TG, Sampliner RE : Barret’s Esophagus ( Update on Screening, Surveillance, and
Treatment). Arch Int Med J.1999.Vol 159.
13.Sing R, Ragunath K and Jankowski J : Barret’s Esophagus : Diagnosis,
Screening, Surveillance, and Controversies. Gut and Liv J.2007. Vol 1.
14.Chang JT, Katzka DA : Gastro esophageal Reflux Disease, Barret Esophagus, and Esophageal
Adenocarcinoma. Arc Int Med J.2004.Vol 164.
15.Kamat PP, Anandasabapathy S: Barret’s Esophagus : Evaluation and Management. J C O M.
Vol 15.
16.Keswani RN, Noffsinger A, Waxman I et al : Clinical use of p53 in Barret’s Esophagus. C
Epi Bio Prev J.2006.
17.Rudolph RE, Vaughan TL, Storer BE et al : Effect of Segment Length on Risk for Neoplastic
Progression in Patients with Barret’s Esophagus. Ann Int Med J. 2000.
18.Pera M : Trend in incidence and Prevalence of specialized intestinal Metaplasia, barret’s
esophagus, and Adenocarcinoma of the Gastroesophageal Junction. Worl J Surg.2003
19.Amstrong D: Review article. Towards Consistency in the Endoscopic Diagnosis of Barret’s
Esophagus and Columnar Metaplasia. Alim Pha Ther.2004.
20. Cameron AJ : Management of Barret’s Esophagus. Mayo Clin Proc. 1998.Vol 73.
21. Oh DS, DeMeester SR: Pathophysiology and Treatment of Barret’s Esophagus. Wor J
25
Gas.2010.
22. Badreddine RJ and Wang KK : Barret’s Esophagus : an update. Nat Rev Gastroenterol
Hepatol. 2010.Vol 7.
26