skripsi andi baratu lestari
TRANSCRIPT
i
STATUS PENYAKIT PERIODONTAL MASYARAKAT
KABUPATEN TANA TORAJA DITINJAU DARI
PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi
Salah satu syarat mendapat gelar
Sarjana Kedokteran Gigi
OLEH :
ANDI BARATU LESTARI
J111 10 127
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
MAKASSAR
2013
Judul : Status Penyakit Periodontal Masyarakat Kabupaten Tana
Toraja ditinjau dari Pengetahuan, Sikap dan perilaku
Nama : Andi Baratu Lestari
Stambuk : J 111 10 127
drg. Andi Mardiana Adam
Dekan Fakultas Kedokteran Gigi
Prof. Drg. H. Mansj
HALAMAN PENGESAHAN
Status Penyakit Periodontal Masyarakat Kabupaten Tana
Toraja ditinjau dari Pengetahuan, Sikap dan perilaku
Andi Baratu Lestari
111 10 127
Telah Diperiksa dan Disahkan
Pada Tanggal Agustus 2013
Oleh :
Pembimbing
drg. Andi Mardiana Adam, M.S
NIP. 19551021 198503 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hasanuddin
Prof. Drg. H. Mansjur Natsir, Ph.D
NIP. 19540625 198403 1 001
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yesus Kristus
yang luar biasa atas segala berkat dan anugerah-Nya yang tidak terhingga
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Status Penyakit
Periodontal masyarakat Kabupaten Tana Toraja ditinjau dari Pengetahuan,
Sikap dan Perilaku”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai
gelar sarjana Kedokteran Gigi. Selain itu, skripsi ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi pembaca untuk menambah pengetahuan mereka
dalam bidang perawatan kesehatan gigi.
Sembah sujud dan ungkapan terimakasih yang sedalam-dalamnya untuk
kedua orangtua tercinta Ayahanda Drs. Adrial Rumengan dan Ibunda Ruth
Marniwaty Mangontan, SE juga adik Rivaldo Immanuel atas segala doa,
perhatian, pengertian, serta bimbingan dan kasih sayang yang tak terhingga
kepada penulis, juga sudah rela menanggung beban penulis dan tak lupa pula
ucapan terimakasih kepada AKBP. Darma Lelepadang, SH, MH dan dr.
Yosefin Mangontan, adik Yogi, Yolan, Yosua sebagai keluarga kedua penulis
yang selalu menolong dan mengerti akan keadaan penulis. Terimakasih om dan
tante sekeluarga, tetaplah menjadi saluran berkat dan kemuliaan bagi Tuhan.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis juga mendapatkan banyak
bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
iv
1. Prof. Drg.H. Mansyur Natsir,Ph.D selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin.
2. drg. Andi Mardiana Adam, MS selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan banyak waktu untuk membimbing, mengarahkan,
dan memberi nasehat penulis dalam membuat skripsi ini.
3. drg. Iman Sudjarwo, M.Kes dan drg. Ike Damayanti Habar, Sp.
Pros selaku Penasehat Akademik atas bimbingan, nasehat dan
dukungan bagi penulis selama perkuliahan.
4. Seluruh staf pengajar di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Hasanuddin tanpa terkecuali. Terimakasih atas bimbingannya kepada
penulis selama mengikuti perkuliahan.
5. Seluruh staf perpustakaan FKG UNHAS dan staf bagian Periodontologi
khususnya Kak Muli yang telah banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Buat teman-teman seperjuangan Beatrix Jaica dan Rahmayanti juga
teman-teman skripsi bagian perio lainnya yang senantiasa bersama-
sama saat menghadap ke pembimbing juga membantu menguatkan
penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Khususnya Dyna Puspasari
yang sudah banyak direpotkan, terimakasih atas dukungan doa dan
moril. Juga Musdalifah, Nadya, Bonita, Tanti terima kasih teman-
teman yang sudah menghibur lewat canda tawa dan mendukung penulis
selama perkuliahan. Tak lupa ucapan terimakasih untuk Kak Adi atas
bantuan pengolahan data skripsi ini. Terimakasih teman-teman KKN-
v
PK 44 Desa Balang Tanaya - Takalar yang juga rela membantu penulis
dalam pengolahan data selama di posko.
7. Kepada teman-teman Atrisi yang telah memberikan motivasi selama
penelitian serta motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Untuk sahabat penulis Christia Catherine, terimakasih atas
dukungannya.
9. Untuk Grup Keluarga Tallulembang yang telah peduli selama
penelitian berlangsung. Terimakasih atas dukungan dan doanya om,
tante, pakde, bude, kakak, adik smua.
10. Untuk Army of God, God’s Dwelling Place – Makassar. Thank you
for growing the seed of faith to experiece God’s miracle, i’m so blessed
by exponential blessing from God’s given.
11. Untuk Schertika Ratu, sepupu penulis terimakasih senantiasa
memberikan dukungan selama perkuliahan.
12. Untuk teman-teman PMK FK FKG yang telah memberi dukungan doa
dan motivasi selama perkuliahan.
13. Teman-teman angkatan Aksel 4 Nipam, SMAN 3 Tangerang Selatan
yang juga telah memberi motivasi.
14. Kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan semangat,
yang tidak dapat saya sebutkan, terimakasih banyak.
Tiada imbalan yang dapat penulis berikan selain mendoakan semoga
bantuan dari berbagai pihak diberi balasan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
vi
Akhirnya dengan segenap kerendahan hati, penulis berharap agar tulisan ini
dapat menjadi salah satu bahan pembelajaran di Fakultas Kedokteran Gigi di
kedepannya, dan bisa membantu dalam perbaikan kualitas kesehatan Gigi dan
Mulut masyarakat. Amin.
Psalms 46:1
“ God is our refuge and strength, a very present help in trouble “
Nothing is too imposible for them who believe in HIM
God bless
Makassar, Agustus 2013
Penulis
vii
ABSTRAK
Penyakit periodontal merupakan penyakit serius yang sedang dialami oleh
banyak masyarakat Indonesia, terutama masyarakat yang tinggal di daerah
pegunungan tepatnya di Kabupaten Tana Toraja. Kurangnya pengetahuan,
sikap dan perilaku masyarakat sangat mempengaruhi keparahan penyakit ini.
Terbatasnya fasilitas klinik gigi di daerah pegunungan menjadi faktor
penyebab resiko perjalanan penyakit periodontal begitu juga dengan kebiasaan
buruk adat istiadat masyarakat Tana Toraja seperti mengunyah sirih di
kalangan kaum perempuan maupun kebiasaan buruk merokok atau menghisap
tembakau di kalangan pria. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap status penyakit periodontal di
Kabupaten Tana Toraja. Penelitian ini merupakan penelitian observasi
lapangan dan rancangan penelitian cross sectional. Jumlah sampel penelitian
sebanyak 32 orang. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan pengisian
kuesioner serta pemeriksaan langsung menggunakan probe periodontal dengan
perhitungan skor indeks gingival (GI). Pengolahan data dianalisis dengan olah
data SPSS 21. Hasil dari skor GI menunjukkan peradangan ringan yang
diderita oleh masyarakat Tana Toraja.
Kata kunci : status penyakit periodontal daerah pegunungan; pengetahuan,
sikap dan perilaku; kebiasaan buruk masyarakat Tana Toraja
viii
ABSTRACT
Periodontal disease is a serious disease that is being experienced by many
Indonesian people, especially the people who live in mountainous areas
precisely in Tana Toraja. Lack of knowledge, attitude and behavior greatly
influence the severity of the disease. Limited facilities dental clinic in the
mountains of risk factors cause periodontal disease course as well as bad
habits social customs such as Tana Toraja betel chewing among women and
bad habit of smoking or tobacco smoke among men. The purpose of this study
was to assess the knowledge, attitude and behavior towards periodontal
disease status in Tana Toraja. This research is a field observation and study
design cross sectional. Total sample of 32 people. Data were collected by
means of interviews and questionnaires as well as direct examination.
Processing the data were analyzed with SPSS data test 21. Results of GI scores
showed mild inflammation suffered by the community.
Keywords : periodontal disease status of the mountains; knowledge, attitudes
and behaviors; Tana Toraja society bad habits.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................ ii
KATA PENGANTAR .......................................................... iii
ABSTRAK .......................................................... vii
ABSTRACT .......................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................... xii
DAFTAR TABEL .......................................................... xiii
DAFTAR DIAGRAM .......................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG .................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................. 6
1.3 TUJUAN PENELITIAN .............................................. 6
1.4 MANFAAT PENELITIAN .......................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENYAKIT PERIODONTAL .................................... 7
2.1.1 Gingivitis ............................................................ 10
2.1.1.2 Etiologi gingivitis ................................... 12
2.1.2 Periodontitis ............................................................. 21
2.1.2.1 Patogenesis Periodontitis ....................... 23
x
2.2 STATUS PENYAKIT PERIODONTAL MASYARAKAT
TANA TORAJA ........................................................ 27
2.2.1 Keadaan Lingkungan Tana Toraja .................... 29
2.2.1.1 Sanitasi sumber air ................................ 29
2.2.1.2 Pencemaran udara ................................. 30
2.2.1.3 Meteorologi dan iklim .......................... 31
2.2.1.4 Topografi .............................................. 31
2.2.1.5 Sosial budaya ........................................ 32
2.3 TINJAUAN PENGETAHUAN ............................... 35
2.4 TINJAUAN SIKAP ................................................. 39
2.5 TINJAUAN PERILAKU ......................................... 40
BAB III KERANGKA KONSEP ................................................ 43
BAB IV METODE PENELITIAN .............................................. 44
4.1 JENIS PENELITIAN ................................................ 44
4.2 RANCANGAN PENELITIAN ................................ 44
4.3 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ................. 44
4.4 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN ............ 44
4.5 KRITERIA SAMPEL ................................................ 44
4.5.1 Kriteria Inklusi .................................................... 44
4.5.2 Kriteria Eksklusi ................................................. 45
4.6 METODE PENGAMBILAN SAMPEL ................... 45
4.7 VARIABEL PENELITIAN ..................................... 45
4.8 JUMLAH SAMPEL ................................................. 46
xi
4.9 DEFENISI OPERASIONAL .................................. 46
4.10 ALAT DAN BAHAN YANG DIGUNAKAN .... 47
4.10.1 Alat yang digunakan .................................... 47
4.10.2 Bahan yang digunakan ................................ 48
4.11 KRITERIA PENILAIAN .................................... 48
4.12 DATA ................................................................... 50
4.12.1 Data ........................................................... 50
4.12.2 Jenis data ................................................... 50
4.13 ANALISIS DATA ............................................... 51
4.14 ALUR PENELITIAN .......................................... 51
BAB V HASIL PENELITIAN ................................................. 52
BAB VI PEMBAHASAN ......................................................... 67
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ...................................... 76
7.1 SIMPULAN .......................................................... 76
7.2 SARAN ................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 79
LAMPIRAN
xii
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
2.1 Infeksi HIV 13 2.2 Erosive formo dari liken planus 15 2.3 Permulaan lesi gingivitis 24 2.4 Pembentukan gingivitis 25 2.5 Status kesehatan menurut Blum 29 6.1 Tanaman jarak 71
xiii
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
4.1 Nilai atau skor indeks gingival 49
4.2 Tabel 4.2 Kriteria penilaian indeks gingival 50
5.11 Rerata GI pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai penyebab
penyakit gusi 60
5.12 Rerata GI pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai cara
pencegahan penyakit gusi 60
5.13 Rerata GI pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai cara
perawatan penyakit gusi 61
5.14 Rerata GI pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai cara
perawatan penyakit gusi 62
5.15 Rerata GI sikap masyarakat Tana Toraja mengenai frekuensi
periksa gigi ke dokter gigi 62
5.16 Rerata GI sikap masyarakat Tana Toraja mengenai alat untuk menusuk
gigi dan gusi 63
5.17 Rerata GI perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai cara
mengatasi gusi berdarah 64
xiv
DAFTAR DIAGRAM
No. Teks Halaman
5.1 Jenis kelamin masyarakat Tana Toraja 53
5.2 Pekerjaan masyarakat Tana Toraja 53
5.3 Tingkat pendidikan terakhir masyarakat Tana Toraja 54
5.4 Pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai penyebab
penyakit gusi 55
5.5 Pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai cara pencegahan
penyakit gusi 55
5.6 Pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai cara perawatan
penyakit gusi 56
5.7 Sikap masyarakat Tana Toraja mengenai frekuensi menyikat gigi dalam
sehari 57
5.8 Sikap masyarakat Tana Toraja mengenai frekuensi memeriksakan gigi
ke dokter gigi 57
5.9 Perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai alat untuk menusuk gigi
dan gusi 58
5.10 Perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai cara mengatasi gusi
Berdarah 59
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Izin Penelitian
2. Kuesioner
3. Tabel Hasil Penelitian
4. Hasil olah data SPSS 21
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan gigi dan mulut masih rendah
terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan. Pada umumnya
masyarakat masih mengganggap penyakit gigi dan mulut bukanlah suatu
penyakit yang serius dan harus segera diberikan penanganan. Bagi masyarakat
kesehatan umum saja yang harus diberikan penanganan utama dan dianggap
lebih penting tanpa memperhatikan kesehatan gigi dan mulut. Berdasarkan
prevalensi penyakit periodontal pada semua kelompok umur di Indonesia
adalah 96,58%. Hasil ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia menderita
kerusakan gigi aktif (kerusakan pada gigi yang belum ditangani). Pemicu dari
perilaku adalah isyarat atau stimulus dari lingkungan yang membawa
seseorang berperilaku tertentu. Sebagai contoh adalah perilaku menyikat gigi
sering dikaitkan dengan mandi, yaitu setelah mencuci muka biasanya orang
menyikat gigi. Pemicu perilaku bergantung pada dampak dari perilaku tersebut.
Bila seseorang melakukan suatu tindakan dan pengaruhnya dirasakan
menguntungkan, orang tersebut pasti akan mengulangi tindakan tadi. Bila
pengaruhnya tidak menyenangkan, perilaku itu tidak akan diulangi. 1
2
Demikian halnya dengan masyarakat Kabupaten Tana Toraja yang
mempunyai sikap dan perilaku beraneka ragam dilihat dari kebiasaannya
sehari-hari, serta ketidakpahaman masyarakat untuk merawat penyakit
periodontal. Penyakit periodontal merupakan penyakit gigi dan mulut yang
paling umum diderita, dan menggambarkan masalah kesehatan masyarakat
yang besar karena prevalensi dan insidensinya yang tinggi di semua tempat di
dunia, dampaknya pada individu, masyarakat serta biaya pengobatan (Kwan
dkk., 2005). 2
Besarnya masalah penyakit gigi dan mulut tidak hanya masalah kesehatan
masyarakat tetapi sekaligus merupakan masalah sosial (Lamp. SK Menkes,
2005). 2
Laporan WHO tahun 1998 menyatakan bahwa “penyakit periodontal
merupakan salah satu penyakit yang paling luas penyebarannya pada manusia.
Gingivitis mengenai lebih dari 80% anak umur muda, sedangkan hampir semua
populasi dewasa sudah pernah mengalami gingivitis, periodontitis atau
keduanya”. 3
Penyakit periodontal merupakan nama generik yang diberikan kepada
kondisi inflamasi karena bakteri, yang dimulai dengan inflamasi pada gingiva
yang seterusnya bersama waktu akan terjadi hilangnya tulang penyangga gigi.
Istilah gingivitis biasanya menunjuk kepada keadaan kondisi inflamasi yang
reversibel dari papila dan tepi gingiva, sedangkan penyakit yang merusak
periodontal atau periodontitis biasanya menunjuk kepada kondisi inflamasi
yang meningkat menjadi pembentukan poket, hilangnya perlekatan dan
akhirnya hilangnya tulang penyangga gigi (Harris, 2004). 2
3
Di Indonesia laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI
tahun 2001 menyatakan, di antara penyakit yang dikeluhkan dan yang tidak
dikeluhkan, prevalensi penyakit gigi dan mulut adalah tertinggi meliputi 60%
penduduk. Gigi dan mulut merupakan investasi bagi kesehatan seumur hidup.
Peranannya cukup besar dalam mempersiapkan zat makan sebelum absorbsi
nutrisi pada saluran pencernaan, di samping fungsi psikis dan sosial. 4
Suku Toraja menempati daerah dataran tinggi atau pegunungan bagian
utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Kebiasaan hidup atau adat istiadat yang
begitu unik yaitu ibu-ibu yang suka mengunyah sirih atau disebut ma’pangan.
Budaya ini dipercaya dapat menguatkan gigi geligi, menghilangkan bau mulut,
dan sarinya menjadikan tubuh bersih dari dalam. Dari kebiasaan itulah tidak
mengherankan gigi geligi mereka berwarna merah kehitaman yang diakibatkan
oleh kapur. Selain itu kebiasaan lain bagi kaum bapak atau pria yaitu kebiasaan
merokok, diperkirakan bahwa terdapat hubungan positif antara kebiasaan
merokok dan penyakit periodontal sehubungan dengan bertambahnya deposit
plak dan kalkulus pada perokok. Kebiasaan khas lainnya yaitu konsumsi
minuman tuak atau disebut ballo’. Minuman ini berasal dari cairan pohon
induk atau nira (Borassus flabellifer) yang difermentasikan. Minuman ini
selalu ada dalam setiap acara adat Toraja dan menurut pendapat masyarakat
setempat minuman ini dapat menghangatkan tubuh dari udara dingin, dan
diyakini dapat menambah tenaga. 5,6
Penyakit periodontal adalah infeksi bakteri gram negatif anaerob pada
rongga mulut yang mengakibatkan kerusakan pada jaringan pendukung gigi. 7,8
4
Bakteria pada rongga mulut manusia telah berkembang sedemikian untuk
dapat berkomunikasi satu sama lain membentuk suatu komunitas. Bakteria-
bakteria ini telah berevolusi menyesuaikan diri dengan pejamu untuk
membentuk suatu hubungan yang amat canggih dimana bakteri yang patogen
dan menguntungkan bagi pejamu dapat hidup dengan harmonis. Komunikasi
antara mikroorganisme penting dalam proses kolonisasi awal dan pembentukan
biofillm pada permukaan enamel geligi. Hal ini membutuhkan kontak antar
bakteri yang membentuk suatu koloni, dan kontak antara bakteri dengan
pejamu. Tanpa adanya retensi pada permukaan gigi, bakteria akan tertelan
bersama dengan saliva. Bila bakteri melekat pada permukaan gigi, maka
bakteri ini dapat membentuk komunitas yang terorganisasi dengan baik, intim,
dan terdiri dari berbagai spesies yang dikenal dengan nama plak gigi. 9
Meningkatnya keragaman bakteri dan terdapatnya dominasi spesies bakteri
tertentu dalam plak berkaitan erat dengan keradangan gingiva dan terjadinya
penyakit periodontal mulut seseorang. Kolonisasi bakteria patogen
kemungkinan bergantung pada interaksi bakteri patogen dengan bakteri
komensal. Interaksi antara bakteri ini berpengaruh pada perkembangan plak
lebih lanjut dan pada akhirnya akan membentuk suatu komunitas
periodontopatogen. 8
Telah diketahui terdapat berbagai macam penyakit periodontal yang
diakibatkan dari kebiasaan atau budaya yang dianut oleh masyarakat suku
Toraja. Adanya lesi-lesi pada mukosa mulut yaitu preleukoplakia, leukoplakia,
oral submukus fibrosis, dan karsinoma rongga mulut. Hal ini terjadi
dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga oral hygiene
5
atau kebersihan rongga mulut sehingga terjadinya penurunan status peridontal.
Selain itu, perilaku masyarakat dalam menyikat gigi masih rendah karena
kebiasaan atau anggapan mereka yang menyepelekan pentingnya menyikat gigi
setelah makan atau sebelum tidur. 11
Masyarakat hendaknya meyakini bahwa dirinya sendiri lebih bertanggung
jawab terhadap kesehatan gigi dan mulutnya daripada dokter gigi atau perawat
gigi, karena gigi dan mulut itu adalah miliknya. Terbukti pasien yang
mempunyai motivasi memelihara diri (self-diagnosis and self-care) dapat
mencegah dan mengontrol kedua penyakit ini. Untuk itu strategi pemberdayaan
masyarakat (empowerment) yang tujuannya agar masyarakat mampu
memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka haruslah dijalankan. 12
Sunanti Z. Soejoeti dalam artikelnya, menyebutkan bahwa: “ Pembangunan
kesehatan merupakan salah satu upaya pembangunan nasional yang diarahkan
untuk mencapai kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi
setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dan
kesehatan seperti itulah yang menjadi dambaan setiap orang disepanjang
hidupnya.” 12
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 mengacu pada
Undang-Undang RI No. 23 tahun 1992 mengenai kesehatan, yang pada intinya
menyatakan tentang peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan yang optimal di
seluruh Indonesia. 12
6
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut :
- Bagaimana pemahaman masyarakat dalam mencegah penyakit
periodontal?
- Bagaimana sikap dan perilaku masyarakat terhadap status penyakit
periodontal?
1.3.TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengetahuan, sikap,
dan perilaku masyarakat pegunungan atau dataran tinggi terhadap status
penyakit periodontal di Kabupaten Tana Toraja.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Melalui penelitian ini diharapkan :
1. Mendapatkan informasi mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat Kabupaten Tana Toraja yang ternyata perlu banyak koreksi
dalam penanganan kesehatan gigi dan mulut terutama status penyakit
periodontal. Sehingga dokter gigi merasa terpanggil untuk menolong
dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat daerah
7
pegunungan, dimana masih banyak wilayah atau pedesaan yang tidak
mempunyai sarana fasilitas klinik gigi dan mulut memadai.
2. Untuk mengontrol kebiasaan-kebiasaan masyarakat Tana Toraja yang
merupakan pencetus utama penyakit periodontal. Sehingga masyarakat
mempunyai motivasi untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan
rutin mengunjungi dokter gigi untuk mencegah penyakit periodontal.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENYAKIT PERIODONTAL
Penyakit periodontal merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang
memiliki prevalensi cukup tinggi di masyarakat dengan prevalensi penyakit
periodontal pada semua kelompok umur di Indonesia adalah 96,58% (Nurmala
Situmorang, 2013). 13
Biasanya diawali dengan gingivitis yang tidak terasa sakit, karena penyakit
periodontal merupakan infeksi kronis yang berjalan lambat yang dapat terlihat
dengan adanya kerusakan pada jaringan pendukung gigi, seperti gingiva,
ligamen periodontal, dan tulang alveolar (Tanaka dkk, 2008).
Penyakit periodontal banyak terjadi pada orang dewasa yang
mengakibatkan kehilangan gigi geligi. Plak yang tidak dibersihkan akan
menjadi tempat berkumpulnya mikroorganisme (Norowski and Bumgardner
2009).
Pembentukan plak tidak terjadi secara acak tetapi terjadi secara teratur.
Pelikel yang berasal dari saliva atau cairan gingival akan terbentuk terlebih
dahulu pada gigi. Pelikel merupakan kutikel yang tipis, bening dan terdiri
terutama dari glikoprotein. Segera setelah pembentukan kutikel, bakteri tipe
kokus (terutama streptokokus) akan melekat ke permukaan kutikel, yang
9
lengket, misalnya permukaan yang memungkinkan terjadinya perlekatan dari
koloni bakteri. Organisme ini akan membelah dan membentuk koloni.
Perlekatan mikro-organisme akan bertambah erat dengan adanya produksi
dektran dari bakteri sebagai produk sampingan dari aktivitas metabolisme.
Baru kemudian, tipe organisme yang lain akan melekat pada massa dan flora
gabungan yang padat, sekarang mengandung bentuk organisme filament
(Herijulianti, 2001). 1
Plak dapat melekat pada gigi secara supragingiva atau subgingiva, pada
servik gingiva atau pada poket periodontal. Kedua tipe plak tersebut dapat
bervariasi karena menyerap substansi yang berbeda dari ludah dan diet pada
plak supragingiva; dan eksudat gingiva dan seterusnya, pada daerah subgingiva
(Herijulianti, 2001). 1
Bentuk awal dari plak lebih kariogenik sedang bentuk akhirnya dapat
merangsang terjadinya penyakit periodontal. Telah lama diketahui bahwa
penyakit periodontal dapat dicegah, dan bahwa pada tahap awal, perawatan
dapat sangat sederhana. Dengan berkembangnya penyakit, yaitu dengan
peningkatan kerusakan jaringan pendukung, diperlukan terapi yang lebih rumit,
tetapi sebelum penyakit mencapai tahap akhir, dapat diperoleh keberhasilan
pada proses menghentikan penyakit dan mempertahankan gigi-gigi dalam
fungsi yang baik. Tetapi, keberhasilan dan kegagalan perawatan periodontal,
tergantung pada ketelitian dan perhatian yang konstan dari dokter gigi dan
pasien (Herijulianti, 2001). 1
Menurut Yayasan Kesehatan Gigi Indonesia, 2005; Pada golongan usia
lanjut penyakit periodontal lebih menonjol, karena adanya gangguan fisiologis,
10
mengakibatkan terganggunya fungsi pengunyahan dan sendi rahang, serta
mengganggu kenikmatan hidup. 15
2.1.1 Gingivitis
Gingivitis biasanya disebabkan oleh buruknya kebersihan mulut sehingga
terbentuk plak atau karang gigi di bagian gigi yang berbatasan dengan tepi
gusi. Plak dan karang gigi mengandung banyak bakteri yang akan
menyebabkan infeksi pada gusi. Bila kebersihan mulut tidak diperbaiki,
gingivitis akan bertambah parah dan berkembang menjadi periodontitis
(Carranza, 2008). 16
Gingivitis adalah proses inflamasi yang terjadi hanya sebatas jaringan
epitelial mukosa yang mengelilingi gigi dan prosesus alveolaris (Stephen J,
2006). 17
Penyebab primer adalah iritasi bakteri. Namun, ada beberapa faktor lain
baik lokal maupun sistemik yang merupakan predisposisi (Kentcana S, 1993).18
Bila penyebab tidak dieliminir, proses inflamasi akan terus berjalan dan
bahkan akan menjalari struktur yang lebih dalam sehingga terjadi periodontitis
(Allen DL, 1980). 19
Faktor-faktor yang mempengaruhi prevalensi dan derajat keparahan
gingivitis adalah umur, oral hygiene (OHI), pekerjaan, pendidikan, letak
geografis, polusi lingkungan dan perawatan gigi (Sudibyo, 2001). 20
11
2.1.1.2 Etiologi gingivitis
Penyakit gingiva adalah kelompok dari kesatuan penyakit berbeda yang
dilokalisir pada gingiva dan memuat tanda-tanda klinis peradangan dan
diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama: penyakit gingiva plak-induced
dan penyakit gingiva non-plak-induced. 21
A. Penyakit gingiva non-plak-induced
Yaitu lesi gingiva yang tidak disebabkan oleh plak secara umum dan dapat
membantu menjelaskan banyak reaksi jaringan periodontal yang berbeda.
Inflamasi gingiva kadang berbeda dari penyakit gingiva yang disebabkan oleh
plak pada pemeriksaan klinis Penyebab penyakit gingiva non-plak-induced
termasuk jamur bakteri, virus, dan infeksi, kelainan genetik dan penyakit
mukokutan (misalnya liken planus). Trauma menyikat gigi dan reaksi alergi
terhadap obat kemungkinan penyebab lainnya (Holmstrup, 1999a). 21
A.1 Lesi gingiva terkait dengan infeksi bakteri tertentu
Infeksi bakteri dapat mempengaruhi pasien dengan dan tanpa
imunodefisiensi. Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, streptokokus,
Mycobacterium chelonae, yang sebagian besar infeksi bakteri umum yang
menimbulkan lesi gingiva dapat bermanifestasi merah menyala, terjadi
pembengkakan, dan nyeri ulserasi atau atipikal non-ulserasi, gingiva
meradang. Lesi ini dapat dikaitkan dengan lesi pada bagian lain dari tubuh
(Holmstrup, 1999b). 21
12
A.2 Infeksi virus
Infeksi virus yang paling umum adalah virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-
1) dan 2 (HSV-2) dan virus varicella-zoster. HSV adalah infeksi virus yang
paling umum dari daerah mulut atau wajah. Ini memiliki dua sub tipe : tipe 1,
yang mempengaruhi rongga mulut, dan tipe 2, yang mempengaruhi alat
kelamin. Herpetik primer gingivo-stomatitis yang paling umum ditemukan
pada anak-anak berumur tujuh bulan sampai empat tahun tetapi juga dapat
ditemukan pada remaja atau dewasa muda. Anak-anak sering terinfeksi HSV
oleh orang tua mereka sendiri yang memiliki lesi herpes berulang. Infeksi
primer mungkin asimptomatik namun dapat bermanifestasi sebagai
gingivostomatitis yang berat, dimana rasa sakit pada daerah sekitar gingiva,
peradangan dan luka. Demam dan limfadenopati adalah tanda klasik, seolah-
olah seseorang mengalami kesulitan dalam mengunyah. Masa inkubasi virus
adalah satu minggu, dan penyembuhan terjadi setelah sekitar 10 sampai 14
hari. Setelah infeksi dan replikasi lokal pada permukaan mukosa, HSV-1
memasuki sensorik ujung saraf dan diangkut oleh keadaan aksonal yang
memburuk ke badan sel saraf, di mana terjadi siklus replikasi lebih terbatas,
biasanya berpuncak pada infeksi yang terpendam pada neuron ini. Ke-tidak-
aktifan memungkinkan pemeliharaan genom virus di non-pathogenic dan
bentuk non-replikasi, penyediaan tampungan untuk serangan virus selanjutnya
pada host. Reaktivasi virus dalam ganglia sensoris menyebabkan infeksi kulit
dan mukokutan wajah, biasanya pada bibir (Tovaru et al 2010). 21
Reaktivasi virus biasanya dipicu oleh trauma, paparan sinar matahari, atau
periode menstruasi, dan beberapa faktor lainnya. Lesi ini ada di sekitar 50%
dari populasi dan sekitar
Infeksi herpes berulang
herpes intraoral berman
melibatkan gingiva dan langit
klinis dan dikonfirmasi dengan mengisolasi virus.
lebih rentan terhadap infeksi virus d
berpotensi fatal pada pasien ini.
Virus varicella-zoster
dan kemudian reaktivasi virus pada orang dewasa menyebabkan herpes
(shingles). Keduanya dapat melibatkan gingiva,
vesikel yang meledak meninggalkan lesi fibrin yang tertutup. Infeksi ini mudah
didiagnosis dari hubungan rasa sakit yang hebat
umumnya sembuh setelah 1
Sumber : Etiology of Gingivitis, Gingival Diseases Prevention and Treatment, Dr. Fotinos Panagakos (Ed.), ISBN: 978
dari populasi dan sekitar 80% menetaskan virus dalam bentuk tersembunyi.
berulang dapat ditemukan secara intra-dan ekstra-oral. Infeksi
bermanifestasi sebagai kelompok ulserasi menyakitkan
melibatkan gingiva dan langit-langit keras. Infeksi dapat didiagnosa secara
klinis dan dikonfirmasi dengan mengisolasi virus. Individu dengan HIV
lebih rentan terhadap infeksi virus dan kekambuhan lesi herpes dapat parah dan
berpotensi fatal pada pasien ini.
zoster menyebabkan cacar air, terutama pada anak
dan kemudian reaktivasi virus pada orang dewasa menyebabkan herpes
Keduanya dapat melibatkan gingiva, menyajikan sebagai lesi
meninggalkan lesi fibrin yang tertutup. Infeksi ini mudah
i hubungan rasa sakit yang hebat dan lesi unilateral, yang
h setelah 1-2 minggu.21
Gambar 2.1. Infeksi HIV
ogy of Gingivitis, Gingival Diseases - Their Aetiology, Treatment, Dr. Fotinos Panagakos (Ed.), ISBN: 978-953
376-7, InTech
13
tersembunyi.
oral. Infeksi
ifestasi sebagai kelompok ulserasi menyakitkan
Infeksi dapat didiagnosa secara
HIV-positif
parah dan
menyebabkan cacar air, terutama pada anak-anak,
dan kemudian reaktivasi virus pada orang dewasa menyebabkan herpes zoster
ebagai lesi
meninggalkan lesi fibrin yang tertutup. Infeksi ini mudah
dan lesi unilateral, yang
Their Aetiology, 953-307-
14
A.3 Lesi gingiva berhubungan dengan infeksi jamur
Inflamasi gingiva juga dapat disebabkan oleh infeksi jamur seperti
kandidosis, linear eritema gingiva, dan histoplasmosis.
A.4 Lesi gingiva berhubungan dengan gangguan genetik
Herediter gingiva fibromatosis adalah kondisi yang sangat langka. Ia
berkembang sebagai gangguan terisolasi atau sebagai salah satu ciri sindrom,
karakteristik yang paling sering adalah hipertrikosis. Kadang-kadang dikaitkan
dengan keterbelakangan mental dan epilepsi. Hiperplasic gingiva memiliki
warna normal dan konsistensi perusahaan dengan stippling melimpah di
gingiva yang berdekatan. Itu jaringan bukal dan lingual dari kedua mandibula
dan maksila mungkin terlibat, dengan antarindividu variasi dalam derajat
hiperplasia. Gingiva fibromatosis juga dapat diwariskan sebagai kondisi
dominan atau resesif autosomal. Pembesaran gingiva biasanya dimulai dengan
munculnya gigi permanen. Gingiva fibromatosis tidak dapat disembuhkan dan
biasanya melibatkan penghapusan sejumlah besar jaringan gingiva oleh
eksternal konvensional bevel gingivektomi (Ramer et al 1996). 21
A.5 Lesi gingiva berhubungan dengan kondisi sistemik
Kondisi sistemik yang berhubungan dengan peradangan gingiva termasuk
lichen planus, pemfigoid, vulgaris pemfigoid, eritema beraneka ragam, lupus
eritema, obat-induced penyakit mukokutan, dan reaksi alergi. Penyakit kulit
tidak hanya mencakup berbagai penyakit kulit primer tetapi juga manifestasi
kulit umum visceral atau penyakit sistemik yang mungkin melibatkan mukosa
mulut. Dermatologi saat ini
karena lesi oral bisa sangat
penyakit (Gonçalves et al
Salah satu gangguan
gingivitis deskuamatif,
ulserasi dan atau lesi
lainnya.21
Gambar 2.2Sumber : Etiology of Gingivitis, Gingival Diseases
Prevention and Treatment, Dr. Fotinos Panagakos (Ed.), ISBN: 978
A.6 Reaksi alergi
Manifestasi oral reaksi alergi jarang terjadi. Reaksi terutama tipe I
(Langsung, dimediasi oleh IgE) atau tipe IV (d
T). Ada berbagai mungkin agen penyebab, termasuk bahan yang digunakan
dalam prosedur gigi, produk kebersihan mulut,
Bahan seperti merkuri, emas, dan akrilik dapat memicu tipe IV
saat ini dari utama kepentingan ilmiah dan odontological
bisa sangat awal atau bahkan satu-satunya tanda-tanda berbagai
al 2010).
gangguan utama gingiva berhubungan dengan akumulasi
, yang ditandai dengan deskuamasi epitel, eritema
vesiculobullous pada gingival dan jaringan
Gambar 2.2. Erosive formo dari liken planus Etiology of Gingivitis, Gingival Diseases - Their Aetiology, Treatment, Dr. Fotinos Panagakos (Ed.), ISBN: 978-953
376-7, InTech
Manifestasi oral reaksi alergi jarang terjadi. Reaksi terutama tipe I
(Langsung, dimediasi oleh IgE) atau tipe IV (ditangguhkan, dimediasi oleh sel
mungkin agen penyebab, termasuk bahan yang digunakan
osedur gigi, produk kebersihan mulut, permen karet dan makanan.
Bahan seperti merkuri, emas, dan akrilik dapat memicu tipe IV reaksi, diikuti
15
odontological,
berbagai
akumulasi plak
eritema,
dan jaringan epitel
Their Aetiology, 953-307-
Manifestasi oral reaksi alergi jarang terjadi. Reaksi terutama tipe I
itangguhkan, dimediasi oleh sel-
mungkin agen penyebab, termasuk bahan yang digunakan
permen karet dan makanan.
reaksi, diikuti
16
dengan timbulnya lesi putih atau eritematosa di gingiva setelah 24-48 jam.
Penghapusan bahan alergi cukup untuk menghentikan reaksi. Pasta gigi dan
obat kumur dapat menyebabkan pembengkakan dan gingiva merah dan
mempengaruhi lidah. Makanan yang dapat berpotensi menyebabkan reaksi
alergi tipe I dan IV termasuk kacang, buah kiwi, dan buah persik. 21
A.7 Manifestasi gingiva lain penyakit sistemik
Penyakit sistemik lain dengan manifestasi gingiva termasuk penyakit
gastrointestinal (misalnya, Penyakit Crohn), leukemia, dan diabetes mellitus.
A.8 Lesi gingiva berhubungan dengan trauma
Cedera oral jaringan lunak dapat disebabkan karena kebetulan, iatrogenik,
dan trauma. Lesi traumatik, baik kimia, fisik, atau termal, relatif umum di
mulut. Cedera fisik juga bisa ditimbulkan sendiri (gingivitis artefacta), yaitu,
akibat trauma kecelakaan, direncanakan penderitaan, atau kebiasaan kronis,
misalnya, menggigit kuku, mengisap digit, atau mengisap benda seperti pena,
pensil, atau dot (Dilsiz & Aydin, 2009). 21
Trauma fisik dapat menyebabkan lesi gingiva. Hiperkeratosis adalah respon
gingiva saat trauma terbatas, sedangkan gingival laserasi permukaan dan
kehilangan jaringan (resesi gingiva) dapat hasil dari lebih keras trauma.
Gerakan horisontal dari sikat, pasta gigi abrasif, dan benang gigi juga bisa
menghasilkan trauma fisik gingiva. Sulit untuk diagnosis lesi ini dengan klinis
evaluasi, dan etiologi tidak dapat diidentifikasi dalam beberapa kasus. 21
17
Cedera kimia, seperti yang disebabkan oleh klorheksidin, reversibel dan
diselesaikan oleh penghapusan zat beracun. Cedera termal pada mukosa mulut
biasanya disebabkan oleh minuman panas atau makanan dan paling sering
mempengaruhi langit-langit mulut dan mukosa labial. Lesi ini menyakitkan,
dengan penampilan eritematosa, dan dapat menimbulkan vesikel, ulserasi atau
erosi dari mukosa. Benda asing juga dapat menyebabkan lesi pada rongga
mulut melalui jebakan bahan, misalnya, amalgam gigi, dalam jaringan ikat
gingiva. Amalgam pigmentasi, umumnya disebut amalgam tattoo, merupakan
temuan yang relatif umum di mukosa mulut. Reaksi jaringan untuk amalgam
dapat bervariasi. Hal ini dapat timbul sebagai inflamasi makrofag atau kronis
respon, biasanya dalam bentuk reaksi benda asing, atau tidak ada reaksi
(Santos Parizi & Nai, 2010). 21
B. Penyakit gingiva Plak-induced
Kelompok penyakit gingiva sangat lazim dan yang diprakarsai oleh plak
gigi. Gambaran klinis mencerminkan respon inflamasi dan kekebalan host
terhadap plak bakteri. Gambaran klinis kondisi ini termasuk kemerahan,
bengkak, dan pendarahan. Faktor-faktor lain seperti penyakit sistemik, hormon,
genetika, obat-obatan, dan malnutrisi dapat mempengaruhi tanda-tanda dan
gejala penyakit. 21
B.2 Faktor modifikasi sistemik
B.2.1 Hormon endogen
18
Jaringan periodontal yang dimodifikasi oleh androgen, estrogen, dan
progestin. Homeostasis jaringan periodontal adalah kompleks, hubungan
multifaktorial yang melibatkan, setidaknya sebagian, hormon estrogen.
Hubungan rumit antara hormon estrogen dan periodontal nkesehatan sebagian
besar telah dipelajari dalam gingiva. Pengamatan klinis menegaskan
peningkatanndalam prevalensi penyakit gingiva dengan kadar estrogen plasma
berfluktuasi bahkan ketika kebersihan mulut tetap tidak berubah. Etiologi
estrogen-terkait penyakit gingival masih teka-teki. Berbagai penulis telah
menyarankan bahwa estrogen dapat memodulasi putative patogen periodontal,
pembuluh darah, dan sistem kekebalan pada gingiva, tetapi pengaruh hormon
estrogen pada faktor-faktor teoritis masih harus didefinisikan (Mariotti,
2005).21
B.2.1.1 Gingivitis terkait dengan pubertas
Ditandai peningkatan hormon steroid pada kedua jenis kelamin selama
masa pubertas memiliki sementara berpengaruh pada status inflamasi gingiva.
Tanda-tanda gingivitis dalam kasus ini adalah mirip dengan klasik plak-
induced gingivitis, meskipun inflamasi gingiva dapat ditemukan pada remaja
dengan hanya sejumlah kecil akumulasi plak gigi.
B.2.1.2 Gingivitis terkait dengan siklus menstruasi
Jaringan gingiva mengandung reseptor untuk androgen, estrogen, dan
progesteron, yang mengerahkan efek pada mukosa mulut dan periodontium.
Perubahan dalam tingkat sirkulasi seks perempuan. Hormon ini juga
mempengaruhi respon host terhadap plak gigi perempuan dengan pengalaman
19
gingivitis peradangan yang lebih besar selama ovulasi dengan terkait
peningkatan eksudat cairan sulkus. Perubahan jaringan gingiva selama fase
menstruasi mungkin berhubungan dengan perubahan dalam penanda inflamasi
dalam cairan sulkus gingival (Becerik et al 2010). 21
B.2.1.3 Gingivitis terkait dengan kehamilan
Kenaikan kadar hormon selama kehamilan meningkatkan risiko gingivitis,
terlepas dari tingkat plak. Berbagai penelitian telah menemukan peradangan
lebih gingiva pada ibu hamil dibandingkan wanita postpartum dengan jumlah
yang sama plak (LÖe et al 1963).
Granuloma piogenik adalah hiperplasia inflamasi yang dapat disebabkan
oleh faktor hormonal, muncul pada gingiva sebagai lesi exophytic halus atau
lobulated dengan papula eritematosa kecil merah di pedunkulata atau kadang-
kadang sessile dasar, yang biasanya hemoragik dan kompresibel. Lesi ini lebih
sering terjadi selama trimester pertama kehamilan dan biasanya menghilang
setelah melahirkan (Jafarzadeh et al 2006). 21
B.2.2 Gingivitis terkait dengan malnutrisi
Penyakit periodontal yang parah, disertai dengan perdarahan gingiva,
mobilitas gigi dan kehilangan perlekatan, secara tradisional dianggap sebagai
fitur klinis defisiensi asam askorbat. Namun, telah menyarankan bahwa
berbagai bentuk gingivitis dan periodontitis terutama hasil dari aktivitas
mikroorganisme oral yang menjajah gigi dan berdekatan jaringan periodontal,
menetapkan peran sekunder terhadap defisiensi asam askorbat, bahkan,
20
sebagian besar bukti epidemiologi dan eksperimental terakumulasi selama
beberapa dekade terakhir telah gagal untuk menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara etiologi kekurangan asam askorbat dan penyakit
periodontal (Leggot et al 1991). 21
3.2.3 Gingivitis terkait dengan lesi ulserasi
Necrotizing gingivitis (NG) atau necrotizing ulcerative gingivitis (NUG)
adalah infeksi oportunistik gingival akut yang disebabkan oleh plak bakteri.
Tampaknya lebih sering pada anak-anak kekurangan gizi dan orang dewasa
muda dan pada individu imunodefisiensi. Penyakit ini ditandai dengan nyeri,
perdarahan, dan nekrosis papiler dan memiliki kecenderungan untuk kambuh.
Prevalensinya cukup rendah (<0,5% pada negara-negara industri), meskipun
kenaikan baru-baru ini telah diamati di kalangan muda dewasa dalam
kaitannya dengan merokok, stres dan faktor lainnya. Orang dengan positif HIV
juga lebih rentan terhadap penyakit periodontal nekrosis, dengan prevalensi
yang dilaporkan berkisar dari 0% sampai 11% (Bermejo Fenoll & Sanchez
Pérez 2004). 21
Akumulasi plak yang terjadi akan dapat memicu keparahan yang lebih
parah apabila dibandingkan dengan kelompok usia lain. Manifestasi yang
terjadi ditandai dengan peningkatan aliran darah tertama pada bagian
interdental yang menyebabkan peningkatan respon terhadap bakteri yang ada
pada plak dan juga akan menyebabkan perbesaran pada gingival.
Kecenderungan kekambuhan relatif lebih besar jika kebersihan mulutnya buruk
(Carranza, dkk., 2002).
21
Bila kebersihan mulut tidak diperbaiki, gingivitis akan bertambah parah
dan berkembang menjadi periodontitis. Di samping itu gingivitis juga dapat
disebabkan oleh penyakit sistemik. Contohnya pada pasien penderita leukemia
dan penyakit Wegner yang cenderung lebih mudah terkena gingivitis. Pada
orang yang menderita diabetes atau HIV, adanya gangguan pada sistem
imunitas (kekebalan tubuh) menyebabkan kurangnya kemampuan tubuh untuk
melawan infeksi bakteri pada gusi. Perubahan hormonal pada masa kehamilan,
pubertas, dan pada terapi steroid juga menyebabkan gusi lebih rentan terhadap
infeksi bakteri. Pemakaian obat-obatan pada pasien dengan tekanan darah
tinggi dan paska transplantasi organ juga dapat menekan sistem imunitas
sehingga infeksi pada gusi lebih mudah terjadi (Stephen J, 2006). 17
Gejala dari gingivitis yaitu gusi tampak bengkak, kemerahan, lunak, dan
mudah berdarah pada saat menyikat gigi atau penggunaan dental floss.
Gingivitis juga dapat menyebabkan bau mulut atau halitosis. Gingivitis adalah
proses inflamasi yang terjadi hanya sebatas jaringan epitelial mukosa yang
mengelilingi gigi dan prosesus alveolaris (Carranza, 2008). 12
Penyebab primer adalah iritasi bakteri. Faktor-faktor yang mempengaruhi
prevalensi dan derajat keparahan gingivitis adalah umur, oral hygiene (OHI),
pekerjaan, pendidikan, letak geografis, polusi lingkungan dan perawatan gigi.21
2.1.2 Periodontitis
Periodontitis didefinisikan sebagai adanya kantong periodontal bersama
setidaknya enam gigi. Setiap gigi dengan terlihat mobilitas dianggap mobile.
22
Itu adanya plak direkam ketika cukup melimpah untuk dideteksi tanpa
penggunaan larutan mengungkapkan atau Probe periodontal (P & I 2 atau 3)
(Silness & LÖe, 1963).
Jika menyangkut penyakit periodontal, periodontitis dapat ditangani
dengan bermacam-macam intervensi dan prosedur bedah atau dengan
pemberian bahan antimikroba, baik secara lokal maupun sistemik, tapi sekali
lagi etiologinya harus diidentifikasi (Hiranya Putri, 2010). 14
Plak ditandai hadir ketika ditemukan pada bukal permukaan gigi. Tidak ada
upaya yang dibuat untuk mendeteksi keberadaannya pada aspek proksimal atau
lingual dari gigi. Kalkulus direkam ketika kehadirannya diberikan deteksi
mudah. Negative perekaman tidak berarti bahwa tidak ada kalkulus hadir,
tetapi hanya bahwa itu bukan segera terlihat dan karenanya mulut pasien cukup
tanpa itu. Periodontitis, salah satu penyakit mulut yang paling umum, adalah
penyakit radang kronis yang memanifestasikan kerusakan jaringan ikat
pendukung dan tulang alveolar (Smith et al. 2010).
Periodontitis merupakan salah satu penyakit jaringan penyangga gigi yang
paling banyak terjadi di masyarakat. Faktor resiko terjadinya penyakit
periodontal adalah lingkungan, tingkah laku atau faktor biologis, seperti
mikroorganisme dan bakteri (Timmerman dan Van der Weijden, 2006).
Penyakit yang menyerang pada gingiva dan jaringan pendukung gigi ini
merupakan penyakit infeksi yang serius dan apabila tidak dilakukan perawatan
yang tepat dapat mengakibatkan kehilangan gigi (Wahyukundari, 2009).
23
2.1.2.1 Patogenesis Periodontitis
Proses utama yang menyebabkan hilangnya perlekatan dan pembentukan
poket : 22
1. Plak subgingiva yang meluas ke arah apikal menyebabkan junctional
epithelium terpisah dari permukaan gigi.
2. Respon jaringan inflamasi epithelium poket berakibat pada destruksi dari
jaringan ikat gingiva, membran periodontal dan tulang alveolar.
3. Proliferasi di apikal dari junctional epithelium menyebabkan migrasi dari
perlekatan epithelium.
4. Tingkat kerusakan jaringan tidak bersifat konstan, tetapi episodic, sejumlah
tipe penyakit dapat terjadi, mulai dari kerusakan slowly progressive hingga
aktivitas episodic yang berkembang cepat.
Ada lima tahapan yang diketahui pada perkembangan penyakit
periodontal, yaitu : 23
1. Pristine gingiva (hanya ditemukan pada hewan percobaan) yang
memiliki lapisan epithelium yang intak dan melapisi gingiva crevice
serta tidak terdapat sel inflamasi dalam jaringan ikat. Terdapat
perpindahan yang kontinyu dari leukosit neutrofil ke bagian korona dari
epithelium junctional dan gingiva crevice.
2. Gingiva sehat yang normal memiliki sejumlah sel inflamasi dalam
epithelium junctional
ini tidak dapat dideteksi secara klinis, perubahan inflamasi dapat
dideteksi secara mikroskopik.
3. Early gingivitis
Terdapat peningkatan sel inflamasi di dalam
meningkatnya migrasi neutrofil ke dalam gingiva crevice. Epithelium
gingiva menjadi lebih tebal. Jaringan ikat gingiva telah banyak
mengandung sel inflamasi dan terjadi dilatasi pada pembuluh darah.
Sumber : Essential of microbiology for dental students
4. Established gingivitis
didominasi oleh sel plasma (10
Gingiva sehat yang normal memiliki sejumlah sel inflamasi dalam
junctional dan jaringan ikat. Meskipun gingivitis pada tahap
ini tidak dapat dideteksi secara klinis, perubahan inflamasi dapat
dideteksi secara mikroskopik.
nampak setelah 10-20 hari setelah akumulasi plak.
Terdapat peningkatan sel inflamasi di dalam jaringan dan
meningkatnya migrasi neutrofil ke dalam gingiva crevice. Epithelium
gingiva menjadi lebih tebal. Jaringan ikat gingiva telah banyak
mengandung sel inflamasi dan terjadi dilatasi pada pembuluh darah.
Gambar 2.3. Permulaan lesi gingivitis Sumber : Essential of microbiology for dental students
Established gingivitis memiliki jaringan ikat yang lebih banyak
didominasi oleh sel plasma (10-30%)
24
Gingiva sehat yang normal memiliki sejumlah sel inflamasi dalam
an jaringan ikat. Meskipun gingivitis pada tahap
ini tidak dapat dideteksi secara klinis, perubahan inflamasi dapat
20 hari setelah akumulasi plak.
jaringan dan
meningkatnya migrasi neutrofil ke dalam gingiva crevice. Epithelium
gingiva menjadi lebih tebal. Jaringan ikat gingiva telah banyak
mengandung sel inflamasi dan terjadi dilatasi pada pembuluh darah.
memiliki jaringan ikat yang lebih banyak
Gambar 2.4Sumber : Essential of microbiology for dental stude
5. Periodontitis ditandai dengan migrasi ke arah apikal dari junctional
epithelium – tahap pertama dari hilangnya perlekatan. Infiltrasi yang
sama dari sel inflamasi dapat dilihat, namun lebih dominan (>50 %).
Kehilangan tulang mulai terjadi disini.
Karakteristik histopatologi
lokasi epitel junctional
serat kolagen yg terletak di bawah
berbagai polimorfonuklear
inflamasi padat menyatu
Konsep terkini dalam
sebagai penyebab utama penyakit ini
dalam biofilm pada permukaan gigi
dengan periodontitis. Ini termasuk
actinomycetemcomitans
Prevotella intermedia,
Gambar 2.4. Pembentukan gingivitis Essential of microbiology for dental students
Periodontitis ditandai dengan migrasi ke arah apikal dari junctional
tahap pertama dari hilangnya perlekatan. Infiltrasi yang
sama dari sel inflamasi dapat dilihat, namun lebih dominan (>50 %).
Kehilangan tulang mulai terjadi disini.
histopatologi periodontitis termasuk poket periodontal
junctional apikal dengan cemento-enamel junction; hilangnya
yg terletak di bawah poket epitelium ,kehilangan tulang alveolar
polimorfonuklear leukosit dalam junctional dan epitel saku,
menyatu dengan sel plasma, limfosit, dan makrofag. 24,25
Konsep terkini dalam etiologi periodontitis melibatkan infeksi bakteri
utama penyakit ini. Beberapa spesies bakteri yang berada
pada permukaan gigi disebut sebagai plak gigi telah terkait erat
Ini termasuk Porphyromonas gingivalis, Actinobacillus
actinomycetemcomitans, Bacteroides forsythus, spirochetes non-rahasia,
, Campylobacter rectus, Eubacterium nodatum
25
Periodontitis ditandai dengan migrasi ke arah apikal dari junctional
tahap pertama dari hilangnya perlekatan. Infiltrasi yang
sama dari sel inflamasi dapat dilihat, namun lebih dominan (>50 %).
periodontal,
hilangnya
kehilangan tulang alveolar;
, dan sel
24,25-27
infeksi bakteri
yang berada
telah terkait erat
Actinobacillus
rahasia,
nodatum,
26
Treponema denticola, Streptococcus intermedia, Prevotella nigrescens,
Peptostreptococcus mikro, Fusobacterium nucleatum, dan Eikenella
corrodens. 29,30 Tampaknya berbagai kompleks dari yang diduga periodontal
patogen dapat memulai dan mengabadikan penyakit dalam rentan host. 28,29
Plak digunakan secara umum untuk menggambarkan hubungan antara
bakteri dengan permukaan gigi. Dari hasil penelitian yang mendukung
pandangan, bahwa jumlah plak adalah faktor paling penting kaitannya dalam
terjadinya periodontitis. Plak adalah parameter yang paling penting yang
terkait dengan perkembangan penyakit yang berpengalaman, bahwa kehadiran
Actinoobacillus actinomycetemcomitans berhubungan dengan peningkatan
perkembangan penyakit. Hal ini layak untuk menyarankan, bahwa selain untuk
mencapai level plak rendah, satu tujuan dari perawatan periodontal mungkin
pemberantasan Actinobacillus actinomycetemcomitans dari subgingiva
mikrobiota pasien periodontitis, terutama ketika mempertimbangkan temuan
ini mengusulkan bahwa kehadiran A.actinomycetemcomitans terkait dengan
kejadian peningkatan perkembangan penyakit periodontal (Timmerman et al.
2000, Bragd et al. 1987).
Awal periodontitis pada seorang individu diduga karena adanya gen
polimorf yang menyebabkan perubahan pada aktivitas sitokin, substansi yang
mengatur aktivitas sistem imun dalam mempertahankan suatu sel. Perubahan
ini menyebabkan destruksi pada tulang dan jaringan ikat, yang biasanya terjadi
sangat lambat, dan sebagian besar asimptomatik, sehingga efeknya pada gigi
berupa hilangnya perlekatan dengan tulang terjadi pada usia sekitar 30-50
27
tahun. Elemen genetik tersebut yang bisa menjelaskan mengapa periodontitis
kronis seringkali mengenai anggota keluarga yang sama (Ireland, 2006). 23
Periodontitis telah didefinisikan sebagai penyakit radang dari pendukung
struktur gigi, asal bakteri khusus yang berlangsung dengan episodic kehilangan
perlekatan. Proses destruktif periodontitis diperkirakan mulai dengan
akumulasi biofilm yang mengandung bakteri massa signifikan pada permukaan
gigi atau di bawah margin gingival (Gibbons & Van-Houte, 1980).
2.2 STATUS PENYAKIT PERIODONTAL MASYARAKAT TANA
TORAJA
Menurut H.L. Blum (1974 sit. Depkes, 1999), status kesehatan seseorang
atau masyarakat, termasuk kesehatan gigi-mulut, dipengaruhi oleh empat
faktor penting yaitu keturunan (heredity), lingkungan (environment) seperti
fisik, biologi dan sosial, perilaku (behaviour), dan pelayanan kesehatan (health
service). Faktor perilaku memegang peranan penting dalam mempengaruhi
status kesehatan gigi-mulut. 2
Di negara berkembang, faktor lingkungan merupakan faktor terbesar yang
mempengaruhi derajat kesehatan, karena erat kaitannya dengan penyakit –
penyakit infeksi. Gaya hidup masyarakat di kota – kota besar jauh berbeda
dengan masyarakat pedesaan, terutama yang berkaitan dengan pola konsumsi
makanan, obat – obatan, pekerjaan dan sebagainya. Oleh karena itu pola
perkembangan jenis penyakitpun berbeda antara daerah pedesaan dengan
perkotaan. Hal ini terjadi karena perubahan perilaku. Di pedesaan masalah
28
perilaku sangat berkaitan dengan ketidaktahuan. Artinya perilaku yang tidak
sesuai dengan konsep – konsep hidup sehat disebabkan karena tidak adanya
atau kurangnya pemahaman. Sementara di wilayah perkotaan pada umumnya
perilaku yang tidak sesuai dengan konsep – konsep hidup sehat lebih banyak
dipengaruhi oleh gaya hidup, prestise atau sejenisnya. 2
Dapat disimpulkan bahwa baik di daerah perkotaan maupun pedesaan,
faktor perilaku berpengaruh terhadap kesehatan individu dan masyarakat.
Untuk mengadakan perubahan perilaku agar masyarakat mampu mengubah
gaya hidup atau memahami konsep – konsep hidup sehat, salah satu
pendekatan edukatif adalah melalui pendidikan kesehatan masyarakat. 2
Pengaruh kesehatan gigi dan mulut pada kualitas hidup individu
mencerminkan norma sosial yang kompleks, nilai-nilai budaya, kepercayaan
dan tradisi (Gift dan Redford, 1992; Anonim, 2004). 2
Perilaku masyarakat tentang pelihara diri terhadap kesehatan gigi, salah
satunya diukur dengan variabel menyikat gigi. Walaupun 77,2% masyarakat
telah menyikat gigi, namun yang menyikat gigi sesuai anjuran hanya 8,l%. Ini
terbukti pada masyarakat yang tidak merasakan sakit, dan tidak bertindak apa-
apa terhadap penyakit tersebut. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya kesehatan gigi, ketidaktahuan, biaya yang tinggi,
perilaku dokter gigi yang pasif dan cenderung hanya memberikan pelayanan
kuratif. Penelitian di Inggris menyatakan bahwa faktor sosial merupakan faktor
penentu utama status kesehatan gigi-mulut.
29
Gambar 2.5. Status kesehatan menurut Blum
2.2.1 Keadaan Lingkungan Tana Toraja
2.2.1.1 Sanitasi sumber air
Ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber air
bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan sumber
air bersih yang terbatas memudahkan timbulnya penyakit di masyarakat.
Volume rata-rata kebutuhan air setiap individu per hari berkisar antara 150-200
liter atau 35-40 galon. Kebutuhan air tersebut bervariasi dan bergantung pada
keadaan iklim, standar kehidupan, dan kebiasaan masyarakat. Untuk
kepentingan masyarakat sehari-hari, persediaan air harus memenuhi standar air
minum dan tidak membahayakan kesehatan manusia. Dari zat-zat kimia yang
mungkin terkandung di dalam air minum, flourida (F) merupakan zat kimia
30
yang sifatnya unik karena memiliki dua konsentrasi batas (konsentrasi atas dan
konsentrasi bawah) yang dapat menimbulkan efek yang merugikan dan yang
menguntungkan terhadap gigi dan tulang. Menurut WHO, standar air minum
yang harus dipenuhi agar suatu persediaan air dapat dinyatakan layak sebagai
air minum yaitu pemberian flourida pada air minum. Kekurangan dan
kelebihan kadar flourida dalam air minum dapat menimbulkan beberapa
masalah kesehatan. Kekurangan flourida dalam air minum dapat menimbulkan
karies pada gigi, sementara kelebihan kadar flourida dapat menimbulkan
flourosis gigi dan tulang. Konsentrasi flourida yang berlebihan dalam air
minum untuk masa waktu yang lama dapat menimbulkan flourosis kumulatif
endemik, berupa kerusakan tulang rangka pada anak dan orang dewasa. Bila
konsentrasi flourida dalam air minum kurang dari 0,5 mg/l, dapat
meningkatkan insidensi penyakit karies dan penyakit periodontal di
masyarakat. Flourida merupakan bahan esensial untuk mencegah karies gigi
pada anak-anak. Batasan yang aman untuk flourida adalah 0,5-0,8 mg/l. WHO
(1969) merekomendasikan pemberian zat flourida (melalui proses flourisasi)
pada sumber air minum untuk masyarakat dengan nilai asupan flourida berada
di bawah batas optimal untuk mencegah terjadinya penyakit periodontal dan
karies. Batasan kadar flourida yang diperbolehkan sekitar 0,5-0,8 ppm. 32
2.2.1.2 Pencemaran udara
Udara merupakan zat yang paling penting setelah air dalam memberikan
kehidupan di permukaan bumi ini. Selain memberikan oksigen, udara juga
31
berfungsi sebagai alat penghantar suara dan bunyi-bunyian, pendingin benda-
benda yang panas, dan dapat menjadi media penyebaran penyakit pada
manusia. Pencemaran udara yang terjadi pada daerah pegunungan dipengaruhi
oleh faktor meteorologi dan iklim, dan topografi. 32
2.2.1.3 Meteorologi dan iklim
Variabel yang termasuk di dalam faktor meteorologi dan iklim yaitu
temperatur. Pergerakan mendadak lapisan udara dingin ke suatu wilayah dapat
menimbulkan temperatur inversi. Dengan kata lain, udara dingin akan
terperangkap dan tidak dapat keluar dari kawasan tersebut dan cenderung
menahan polutan tetap berada di lapisan permukaan bumi sehingga konsentrasi
polutan di kawasan tersebut semakin lama semakin tinggi. Dalam keadaan
tersebut, di permukaan bumi dapat dikatakan tidak terdapat pertukaran udara
sama sekali. Karena kondisi itu dapat berlangsung sampai beberapa hari atau
beberapa minggu, udara yang berada dekat permukaan bumi akan penuh
dengan polutan dan dapat menimbulkan keadaan yang sangat kritis bagi
kesehatan. 32
2.2.1.4 Topografi
Variabel yang termasuk di dalam faktor topografi yaitu daerah
pegunungan. Di daerah dataran tinggi sering terjadi temperatur inversi dan
32
udara dingin yang terperangkap akan menahan polutan tetap di lapisan
permukaan bumi.
Ada beberapa faktor epidemiologi yang dapat mempengaruhi terjadinya
suatu penyakit, di antaranya faktor cuaca, geografis, dan faktor perilaku. 32
2.2.1.5 Sosial budaya
Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi
pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu (Notoatmodjo,
2010).
Kebiasaan masyarakat setempat mengonsumsi sirih pada sebagian
masyarakat Toraja tidak asing lagi. Mereka meyakini daun sirih dapat
menguatkan gigi sehingga terhindar dari kehilangan gigi. Tetapi pengaruh
negatifnya dapat merusak jaringan penyangga gigi atau jaringan cariedental
yang menyebabkan gusi dan jaringan di bawahnya mengalami iritasi dan ini
berkepanjangan sangat mengganggu. Pada usia lanjut, biasanya akan terjadi
goyangan gigi. Makan sirih adalah bagian yang melengkapi struktur
kebudayaan dan biasanya berkaitan erat dengan kebiasaan yang terdapat pada
masyarakat di daerah tertentu. Kuantitas, frekuensi dan usia pada saat memulai
makan sirih berubah oleh tradisi setempat. Beberapa pengkonsumsi sirih
melakukan setiap hari sementara orang lain mungkin makan sirih sesekali.
Frekuensi kebiasaan makan sirih dimulai pada saat anak-anak dan remaja,
tetapi aktifitas makan sirih tersebut lebih banyak dan lebih sering didapati pada
orang dewasa baik pria dan wanita (Dentika, 2004). Dalam perkembangannya
33
budaya menyirih menjadi kebiasaan memamah selingan di saat-saat santai
(Dentika, 2003).
Berdasarkan penelitian Suproyo bahwa tingkat keparahan penyakit
periodontal pada pemakan sirih lebih tinggi dibandingkan non pemakan sirih
dan semua sampel pemakan sirih menderita penyakit periodontal dengan
perincian 63,7% gingivitis dan disertai juga dengan kerusakan jaringan
pendukung gigi yang lain sebesar 36,3%. Derajat terjadinya karang gigi lebih
tinggi pada pemakan sirih dari pada pemakan sirih dan juga disertai terjadinya
atrisi dan abrasi yang berlebihan pada pemakan sirih dengan persentase
66,85% (Dentika, 2004).
Berdasarkan konsep dan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
budaya makan sirih di pandang dari aspek budaya merupakan kebiasaan yang
di anggap normatif dan sebagai bagian dari menjaga khazanah bangsa, namun
di pandang dari aspek kesehatan budaya makan sirih secara terus menerus
dapat berdampak terhadap kesehatan gigi dan mulut, seperti terjadinya
penyakit periodontal. Jadi kalau konsumsi kapur yang terlalu berlebihan itu
juga menyebabkan kejadian kanker pada komunitas yang mengonsumsi sirih
pinang. Jadi efek positifnya jauh lebih kecil dibanding dengan negatifnya. 12
Kebudayaan = cultuur (bahasa Belanda) = culture (bahasa Inggris), berasal
dari perkataan Latin yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan
mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini
berkembanglah arti culture sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk
mengolah dan mengubah alam. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya
34
dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Pendapat lain mengatakan bahwa budaya adalah sebagai suatu perkembangan
dari kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dari budi, karena itu mereka
membedakan antara budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah dari budi yang
berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan
rasa tersebut (Widagdho; dkk, 2008).
Seperti misalnya, bila gigi tiruan sebagian (walaupun dibuat sebaik
mungkin) mulai dipasang, mereka biasanya mengeluh tentang penimbunan sisa
makanan di sekitar gigi tersebut selama satu atau dua minggu, dan perlunya
dilakukan pembersihan yang teliti setiap habis makan. Tetapi dalam waktu
yang singkat, mereka tidak lagi mengeluh, dan hasil pemeriksaan menunjukkan
bahwa mereka telah mampu membersihkan daerah sekitar gigi tiruan dengan
lidahnya ( Forrest, 1995). 33
Keadaan ini terjadi sangat sering sehingga telah menjadi bagian tidak
terpisah dari anjuran dan pemberian nasehat pada pasien pada saat pemasangan
pertama dari gigi tiruan sebagian yang baru. Sebaliknya, ada beberapa pasien
yang kurang dan bahkan tidak memiliki kewaspadaan tentang keadaan
mulutnya. Mereka tidak memiliki perasaan tentang apa yang sedang terjadi
pada mulutnya. Beberapa pasien datang dengan mahkota geraham yang rusak,
gigi yang fraktur dengan tepi yang tajam dan tanpa mengetahui apa yang salah
dengan keadaannya tersebut. Ada juga tipe pasien intermediate yang dapat
diminta dengan penuh kesulitan, untuk memperhatikan keadaan mulutnya.
Kami telah menemukan beberapa metode baru untuk membuat pasien mem-
perhatikan keadaan mulutnya pada beberapa keadaan tertentu (Forrest, 1995).33
35
Penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit masyarakat yang diderita oleh
90% penduduk Indonesia, sebab gigi memiliki sifat “progresif” yaitu apabila
tidak dirawat dan diobati akan mengakibatkan makin parah dan bersifat
“Irreversibble” yaitu apabila ada jaringan yang sudah rusak tidak akan dapat
tumbuh kembali (SKKRT, 1995). Hal inilah yang sangat kurang mendapatkan
perhatian dari masyarakat sehingga angka kesehatan gigi tiap tahunnya hampir
selalu menglami penurunan.
2.3 TINJAUAN PENGETAHUAN
Sejak umat manusia menghuni planet bumi ini, mereka sudah menghadapi
masalah-masalah kesehatan serta bahaya kematian yang disebabkan oleh
faktor-faktor lingkungan hidup yang ada di sekeliling mereka seperti benda
mati, makhluk hidup, adat istiadat, kebiasaan, dan lain-lain. Dari semuanya itu
terbentuklah pengetahuan, yaitu hasil tahu dari manusia yang sekedar
menjawab pertanyaan “what”. Misalnya apa air?, apa manusia?, apa alam?, dan
sebagainya. (Notoatmodjo, 2000). 30
Sedangkan menurut Ali 2001 (kutipan dari Effendi 1998) “Pengetahuan
adalah segala sesuatu yang diketahui”. Hal ini juga dikemukakan oleh
Daryanto (1998, dikutip dari Notoatmodjo, 2000). Berdasarkan berbagai
pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan segala
sesuatu yang diketahui oleh manusia atau kepandaian dari manusia dan segala
sesuatu yang ada dalam pikiran seseorang untuk mengenal dan mengetahui
berbagai hal.
36
1. Cara memperoleh kebenaran dan pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2000), dari berbagai cara yang telah digunakan
untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu :
a. Cara tradisional
1) Cara coba salah (trial and error)
Yang pernah digunakan oleh manusia dalam memperoleh pengetahuan
melalui cara coba salah atau dengan kata lain yang lebih dikenal dengan trial
and error.
2) Cara kekuasaan
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali kebiasaan-kebiasaan
dan tradisi yang dilakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasaan-kebiasaan ini
biasanya diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
3) Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman adalah guru terbaik, demikianlah bunyi pepatah ini
mengandung maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan
dan pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran. 30
Namun terdapat keterbatasan pada pengetahuan tersebut sehingga berakibat
munculnya suatu penyakit. Sejak saat itu, konsep pemikiran mengenai faktor-
37
faktor lingkungan hidup eksternal manusia yang mempunyai pengaruh, baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap masalah kesehatan terus-
menerus dipelajari dan berkembang menjadi suatu disiplin ilmu kesehatan
lingkungan. Usaha-usaha yang dilakukan oleh individu-individu, masyarakat,
atau negara untuk memperbaiki dan mencegah terjadinya masalah gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan hidup eksternal
manusia disebut Sanitasi Lingkungan. Konsep dasar ilmu kesehatan
lingkungan berasal dari ilmu yang mempelajari hubungan total antara makhluk
hidup dengan lingkungan hidupnya atau disebut ekologi. Ekologi dirumuskan
sebagai kajian interaksi biota sesamanya serta dengan lingkungan fisiknya.
Interaksi-interaksi tersebut yaitu, seperti organisme dengan faktor-faktor iklim,
organisme dengan lingkungannya, sanitasi sumber air, pencemaran udara, dan
lain-lain. 30
Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan yang
tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.
2. Memahami (comprehension)
38
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi ril (sebenarnya).
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu
struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Pengetahuan merupakan dasar terbentuknya suatu perilaku. Seseorang
dikatakan kurang pengetahuan apabila dalam suatu kondisi ia tidak mampu
mengenal, menjelaskan, dan menganalisis suatu keadaan (Notoatmodjo,
2010).
39
Kesadaran seseorang akan pentingnya kesehatan gigi terlihat dari
pengetahuan yang ia miliki. Frankari (2004) dalam Kawuryan (2008)
menjelaskan bahwa salah satu penyebab timbulnya masalah kesehatan gigi dan
mulut pada masyarakat adalah faktor perilaku atau sikap mengabaikan
kebersihan gigi dan mulut. Hal tersebut dilandasi oleh kurangnya pengetahuan
akan pentingnya pemeliharaan gigi dan mulut. Ketika seseorang berada pada
tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi, maka perhatian akan kesehatan gigi
semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya, ketika seseorang memiliki
pengetahuan yang kurang maka perhatian pada perawatan giginya juga
rendah.30
2.4. TINJAUAN SIKAP
Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa, sikap
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka)
atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) yang
berdasarkan reaksi tertutup (Notoatmojo,2003). 30
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap
mempunyai 3 komponen pokok yaitu:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
40
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatan berdasarkan
intensitasnya antara lain: 34
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari
sikap.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.5 TINJAUAN PERILAKU
Perilaku di dalam diri seseorang terbentuk dari dua faktor utama yakni:
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal (stimulus) merupakan
faktor dari luar diri seseorang tersebut, dan Faktor internal (respon) merupakan
41
faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan. Faktor eksternal atau stimulus
adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, maupun non-fisik dalam
bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dari penelitian-
penelitian yang ada faktor eksternal paling besar perannya. Faktor eksternal
yang mempengaruhi perilaku manusia adalah faktor sosial dan budaya, dimana
seseorang tersebut berada. Sedangkan faktor internal yang menentukan
seseorang itu merespons stimulus dari luar adalah; perhatian, pengamatan,
persepsi, motivasi, fantasi, sugesti, dan sebagainya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), perilaku berarti tanggapan
atau reaksi individu karena adanya rangsang. Menurut Sudarwan Danim (2007:
46), perilaku manusia secara hipotetik merupakan fungsi dari ketajaman panca
indera, kapasitasnya melakukan reaksi dan kecekatannya dalam bergerak. Ilmu
pengetahuan tingkah laku (behavior science) merupakan disiplin akademik dan
intelektual yang relatif baru. Ilmu pengetahuan tingkah laku merupakan ilmu
yang memberikan pandangan baru terhadap keseluruhan kehidupan manusia,
dalam buku metode penelitian untuk ilmu-ilmu perilaku (Katz & Rosenzweig,
1979:49).
Skinner, seorang ahli psikologi teori behavioristik dalam Notoatmojo
(2003:114) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi
seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku terjadi karena
adanya stimulus terhadap organisme tersebut merespon sehingga teori Skinner
dikenal teori S– O – R (Stimulus – Organisme – Respon). Dari bentuk respon
terhadap stimulus, perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu perilaku
tertutup (convert behaviour) dan perilaku terbuka (overt behaviour). Perilaku
42
memiliki peran penting untuk mempengaruhi status kesehatan mulut. Peran
penting dalam perilaku adalah pengetahuan dan sikap samping praktek.
Pengetahuan dan sikap merupakan hasil penginderaan dan peran penting dari
satu tindakan. Meningkatkan pengetahuan dan sikap akan meningkatkan
kesadaran kesehatanmasyarakat. perilaku merupakan respon dari stimulus yang
mengenainya (Bimo Walgito, 1997:10).
Oleh karena itu, peningkatan resiko periodontitis dalam kelompok ras atau
etnis tertentu sebagian mungkin disebabkan oleh sosial ekonomi, perilaku, dan
disparitas lainnya (Poulton et al., 2002).
43
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Pengetahuan, sikap dan
perilaku masyarakat
Kabupaten Tana Toraja
Keadaan Lingkungan
Kabupaten Tana Toraja
Kebiasaan Buruk
Penyakit
Periodontal
Status Penyakit
Periodontal
Jenis Kelamin Pekerjaan Tingkat Pendidikan
44
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional lapangan.
4.2 RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode cross sectional study.
4.3 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tana Toraja
Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April 2013 – Mei 2013
4.4 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
Populasi penelitian adalah masyarakat Kabupaten Tana Toraja yang
berumur 25-50 tahun.
4.5 KRITERIA SAMPEL
4.5.1 Kriteria Inklusi
1. Usia dewasa sampai lanjut (25-50 tahun).
2. Masyarakat yang mempunyai kebiasaan menyirih, menusuk gusi, dan
45
merokok.
3. Tidak hamil.
4. Tidak menderita penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi jaringan
periodontal.
5. Masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan.
4.5.2 Kriteria Eksklusi
1. Menolak untuk diperiksa atau diteliti.
4.6 METODE PENGAMBILAN SAMPEL
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Proportional Cluster
Random Sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang digunakan
oleh peneliti untuk melakukan pengambilan sampel secara acak pada kelompok
unit dasar. Pada penelitian ini, sampel diambil dari beberapa masyarakat yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.7 VARIABEL PENELITIAN
a. Variabel sebab : pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat suku Toraja terhadap
penyakit periodontal
b. Variabel akibat : status penyakit periodontal
c. Variabel kendali : usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
dan jenis pekerjaan
46
4.8. JUMLAH SAMPEL
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 32 sampel (sesuai skala
sampel kecil).
n N
1 + N (d) 2
n 152
1 + 152 (0,05) 2
n 152
4,8
n 31,667
n 32
4.9. DEFINISI OPERASIONAL :
1. Kebiasaan hidup yang dijalankan oleh masyarakat Tana Toraja dilihat
dari pengetahuan, sikap dan perilaku.
2. Penyakit periodontal yang dimaksud berdasarkan pemeriksaan status
jaringan periodontal empat sekstan gigi geligi untuk mendapatkan
status keparahan keradangan gusi akibat penyakit periodontal
berdasarkan kriteria indeks gingival (GI). Pemeriksaan dilakukan pada
47
jaringan periodontal yang mengalami keradangan gusi, perdarahan
dinilai dengan cara menelusuri dinding margin gusi pada bagian dalam
saku gusi dengan probe periodontal. Skor keempat area (fasial atau
labial,lingual atau palatal, mesial dan distal) selanjutnya dijumlahkan
dan dibagi jumlah indeks gigi yang diambil dikali jumlah permukaan
yang diperiksa (4) akan didapat skor GI seseorang.
3. Sampel diambil berdasarkan usia 25-50 tahun dengan alasan bahwa
pada usia tersebut merupakan usia subjek terjadinya penyakit
periodontal.
4. Sampel tidak menderita penyakit sistemik yang berperan sebagai
penyebab terjadinya penyakit periodontal.
5. Sampel tidak dalam kondisi hamil. Hal ini dikarenakan kehamilan dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit periodontal.
4.10 ALAT dan BAHAN PENELITIAN
4.10.1 Alat yang digunakan
1. Kaca mulut : untuk melihat keadaan gigi secara tidak
langsung dan untuk meretraksi pipi.
2. Masker : melindungi operator dari infeksi silang.
3. Tray sekat : sebagai wadah untuk menyimpan alat.
48
4. Handskun : melindungi ooperator dari infeksi silang.
5. Periodontal probe gingiva : untuk mengetahui perdarahan spontan
dari gingiva.
6. Alat tulis : alat untuk menulis, mencatat penelitian.
7. Kuesioner (terlampir) : sebagai lembaran isian mengenai
pengetahuan, sikap dan perilaku sampel
terhadap status penyakit periodontal.
8. Gelas kumur : sebagai wadah saliva dan wadah air untuk
berkumur.
4.10.2 Bahan yang digunakan
1. Alkohol 70%
2. Kapas
3. Air untuk berkumur
4. Betadine
4.11 KRITERIA PENILAIAN
1. Kebiasaan menyirih, konsumsi tuak dan/atau merokok diperoleh dengan
wawancara secara langsung.
2. Kedalaman poket diukur pada bagian mesial, distal, lingual atau palatal
dan bukal gigi menggunakan probe periodontal, meliputi:
49
b. Kehilangan perlekatan klinis diukur dengan probe periodontal pada
bagian mesial dan bukal gigi, meliputi :
c. Pada penelitian ini, semua gigi sampel diperiksa yang meliputi bagian
mesial, distal, lingual atau palatal dan bukal, dan yang memiliki nilai
tertinggi diambil sebagai data.
Perdarahan dinilai dengan menjalankan probe periodontal sepanjang dinding
jaringan lunak dari celah gingiva. skor untuk keempat bidang gigi dapat
dijumlahkan dan dibagi empat untuk memberikan nilai gigi. dengan
menambahkan nilai gigi bersama-sama dan membagi dengan jumlah gigi
diperiksa, skor GI individu dapat diperoleh. Daerah gingiva semua gigi atau
gigi yang dipilih dapat assesed. skor GI dari 0,1 sampai 1,0 menunjukkan
peradangan ringan, 1,1 sampai 2,0 menunjukkan peradangan sedang, dan 2,1
sampai 3,0 menunjukkan peradangan berat. 36
Tabel 4.1 Nilai atau skor indeks gingival
Sumber : LÖe H. J Periodontol 38 (suppl):610, 1967
Skor Keadaan Gingiva 0 Gingiva normal: tidak ada keradangan, tidak ada perubahan warna dan tidak ada
perdarahan
1 Peradangan ringan: terlihat ada sedikit perubahan warna dan sedikit edema, tetapi tidak ada perdarahan saat probing
2 Peradangan sedang: warna kemerahan, adanya edema, dan terjadi perdarahan pada saat probing
3 Peradangan berat: warna merah terang atau merah menyala, adanya edema, ulserasi, kecenderungan adanya perdarahan spontan
50
Tabel 4.2 Kriteria penilaian indeks gingival
Sumber : LÖe H. J Periodontol 38 (suppl):610, 1967
4.12 DATA
4.12.1 Data
Data diperoleh dengan cara melakukan wawancara dan memberikan
kuesioner mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku sampel terhadap status
penyakit periodontal lalu memeriksa BOP subyek menggunakan indeks
gingival. Dan dilakukan pencatatan serta pengolahan data.
4.12.2 Jenis data
Jenis data yang digunakan adalah pengumpulan data primer, data
diperoleh dari hasil wawancara dan kuesioner mengenai pengetahuan, sikap
dan perilaku sampel terhadap status penyakit periodontal dan hasil
pemeriksaan BOP dengan menggunakan indeks gingival (GI) masyarakat Tana
Toraja.
Kriteria Skor
Sehat 0 Peradangan ringan
0,1-1,0
Peradangan sedang
1,1-2,0
Peradangan berat
2,1-3,0
51
4.13 ANALISIS DATA
Analisis data mengenai hasil penelitian dilakukan dengan uji
statistik menggunakan SPSS 21. Analisis dilakukan secara deskriptif
dengan melihat presentase data yang telah terkumpul dan disajikan dalam
tabel distribusi frekuensi. Analisis data kemudian dilanjutkan dengan
membahas hasil penelitian dengan menggunakan teori dan kepustakaan
yang ada.
4.14 ALUR PENELITIAN
4.14.1 Masyarakat diberikan kuesioner dan dilakukan wawancara untuk
mendapatkan informasi mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku
terhadap status penyakit periodontal.
4.14.2 Kemudian dilakukan pemeriksaan pada sampel dengan probe
periodontal untuk melihat keradangan gusi menggunakan pemeriksaan
indeks gingival..
4.14.3 Mencatat semua data dan pengolahan data dilakukan secara manual dan
melakukan olah data menggunakan program SPSS 21 serta disajikan
dalam bentuk tabel.
4.14.4 Pembahasan dan penarikan kesimpulan.
52
BAB V
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tana Toraja pada
bulan April 2013 sampai Mei 2013, telah terkumpul 32 orang yang bersedia
menjadi sampel penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi yakni
masyarakat Kabupaten Tana Toraja yang berumur 25-50 tahun. Kemudian
dilakukan wawancara lalu diberikan kuesioner untuk mengetahui pengetahuan,
sikap dan perilaku terhadap penyakit periodontal, dan dilakukan pemeriksaan
indeks gingival (GI) sebagai parameter klinis. Setelah dilakukan serangkaian
wawancara dan pengisian kuesioner, data dapat diperoleh setelah dilakukan
olah data dengan SPSS 21 kemudian disajikan dalam bentuk diagram pie
sehingga dapat terlihat dengan jelas perbandingan dari setiap karakteristik
sampel dengan pengetahuan, sikap dan perilaku sampel terhadap penyakit
periodontal.
Diagram 5.1 Jenis kelamin masyarakat Tana Toraja
Pada diagram 5.1 memperlihatkan jenis kelamin sampel yang sebagian
besar adalah perempuan sebanyak 18 orang (56,2%) dan 14 orang (43,8
laki-laki.
Diagram 5.2 Pekerjaan masyarakat
Pada diagram 5.2 memperlihatkan jenis pekerjaan masyarakat Tana Toraja
yakni sebanyak 2 orang belum bekerja (6,25%), guru sebanyak 2 orang
56,2%
28,13%
12,5%
6,25%
Diagram 5.1 Jenis kelamin masyarakat Tana Toraja
Pada diagram 5.1 memperlihatkan jenis kelamin sampel yang sebagian
sar adalah perempuan sebanyak 18 orang (56,2%) dan 14 orang (43,8
Diagram 5.2 Pekerjaan masyarakat Tana Toraja
Pada diagram 5.2 memperlihatkan jenis pekerjaan masyarakat Tana Toraja
yakni sebanyak 2 orang belum bekerja (6,25%), guru sebanyak 2 orang
Laki-laki
Perempuan56,2% 43,8%
Belum bekerja
Guru
Ibu rumah tangga
Mahasiswa
Petani
PNS
Pegawai swasta
Wiraswasta
28,13%
6,25% 15,63%
18,75%
6,25% 6,25%
53
Pada diagram 5.1 memperlihatkan jenis kelamin sampel yang sebagian
sar adalah perempuan sebanyak 18 orang (56,2%) dan 14 orang (43,8%)
Pada diagram 5.2 memperlihatkan jenis pekerjaan masyarakat Tana Toraja
yakni sebanyak 2 orang belum bekerja (6,25%), guru sebanyak 2 orang
Ibu rumah tangga
Pegawai swasta
(6,25%), ibu rumah tangga sebanyak 6 orang (18,75%), mahasiswa sebanyak 2
orang (6,25%), petani
(6,25%), pegawai swasta sebanyak 4 orang (12,5%), dan wiraswasta sebanyak
9 orang (28,13%).
Diagram 5.3 Tingkat pendidikan terakhir masyarakat Tana Toraja
Berdasarkan diagram 5.3 diketahui ti
Tana Toraja yaitu diploma sebanyak 2 orang (6,25%), sarjana sebanyak 8
orang (25%), sd sebanyak 5 orang (15,63%), smp 1 orang (3,13%), sma
sebanyak 13 orang (40,63%), smk berjumlah 2 orang (6,25%), dan yang tidak
sekolah ada 1 orang (3,13%).
40,63%
(6,25%), ibu rumah tangga sebanyak 6 orang (18,75%), mahasiswa sebanyak 2
orang (6,25%), petani sebanyak 5 orang (15,63%), pns sebanyak 2 orang
(6,25%), pegawai swasta sebanyak 4 orang (12,5%), dan wiraswasta sebanyak
Diagram 5.3 Tingkat pendidikan terakhir masyarakat Tana Toraja
Berdasarkan diagram 5.3 diketahui tingkat pendidikan terakhir masyarakat
Tana Toraja yaitu diploma sebanyak 2 orang (6,25%), sarjana sebanyak 8
orang (25%), sd sebanyak 5 orang (15,63%), smp 1 orang (3,13%), sma
sebanyak 13 orang (40,63%), smk berjumlah 2 orang (6,25%), dan yang tidak
h ada 1 orang (3,13%).
Diploma
Sarjana
SD
SMP
SMA
SMK
Tidak sekolah
25%
15,63%
3,13%
40,63%
3,13%
54
(6,25%), ibu rumah tangga sebanyak 6 orang (18,75%), mahasiswa sebanyak 2
sebanyak 5 orang (15,63%), pns sebanyak 2 orang
(6,25%), pegawai swasta sebanyak 4 orang (12,5%), dan wiraswasta sebanyak
Diagram 5.3 Tingkat pendidikan terakhir masyarakat Tana Toraja
ngkat pendidikan terakhir masyarakat
Tana Toraja yaitu diploma sebanyak 2 orang (6,25%), sarjana sebanyak 8
orang (25%), sd sebanyak 5 orang (15,63%), smp 1 orang (3,13%), sma
sebanyak 13 orang (40,63%), smk berjumlah 2 orang (6,25%), dan yang tidak
Tidak sekolah
Diagram 5.4 Pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai penyebab
Pada diagram 5.4 memperlihatkan pengetahuan masyarakat Tana Toraja
mengenai penyebab penyakit gusi dari 6 sampel yang menusuk gusi (18,8%),
13 sampel yang mengunyah sirih (40,6%), dan penyebab penyakit gusi
diperoleh dari 13 sampel karena merokok atau menghisap tembakau (40,6%).
Diagram 5.5 Pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai cara
40,6%
Diagram 5.4 Pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai penyebab penyakit gusi
Pada diagram 5.4 memperlihatkan pengetahuan masyarakat Tana Toraja
mengenai penyebab penyakit gusi dari 6 sampel yang menusuk gusi (18,8%),
ampel yang mengunyah sirih (40,6%), dan penyebab penyakit gusi
diperoleh dari 13 sampel karena merokok atau menghisap tembakau (40,6%).
Diagram 5.5 Pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai cara pencegahan penyakit gusi
18,8%
40,6%
Menusuk gusi
Mengunyah sirih
Merokok/menghisap tembakau
87,5%
12,5%
Menjaga kebersihan mulut
Kontrol ke dokter gigi
55
Diagram 5.4 Pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai penyebab
Pada diagram 5.4 memperlihatkan pengetahuan masyarakat Tana Toraja
mengenai penyebab penyakit gusi dari 6 sampel yang menusuk gusi (18,8%),
ampel yang mengunyah sirih (40,6%), dan penyebab penyakit gusi
diperoleh dari 13 sampel karena merokok atau menghisap tembakau (40,6%).
Diagram 5.5 Pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai cara
Menusuk gusi
Mengunyah sirih
Merokok/menghisap
Pada diagram 5.5 menunju
mengenai cara pencegahan penyakit gusi diketahui bahwa dari 28 sampel yang
menjaga kebersihan mulut (87,5%) dan terdapat 4 sampel yang melakukan
pencegahan penyakit gusi dengan kontrol ke dokter gigi (12,5%).
Diagram 5.6 Pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai cara perawatan
Pada diagram 5.6 menunjukkan tingkat pengetahuan masyarakat Tana
Toraja mengenai cara perawatan penyakit gusi, terdapat 2 sampel yang
membersihkan karang gigi (6,2%)
perawatan gusi dengan minum obat (93,8%).
9
Pada diagram 5.5 menunjukkan pengetahuan masyarakat Tana Toraja
mengenai cara pencegahan penyakit gusi diketahui bahwa dari 28 sampel yang
menjaga kebersihan mulut (87,5%) dan terdapat 4 sampel yang melakukan
pencegahan penyakit gusi dengan kontrol ke dokter gigi (12,5%).
ram 5.6 Pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai cara perawatan penyakit gusi
Pada diagram 5.6 menunjukkan tingkat pengetahuan masyarakat Tana
Toraja mengenai cara perawatan penyakit gusi, terdapat 2 sampel yang
membersihkan karang gigi (6,2%) dan sebanyak 30 sampel yang melakukan
perawatan gusi dengan minum obat (93,8%).
6,2%
93,8%
Membersihkan karang gigi
Minum obat
56
kkan pengetahuan masyarakat Tana Toraja
mengenai cara pencegahan penyakit gusi diketahui bahwa dari 28 sampel yang
menjaga kebersihan mulut (87,5%) dan terdapat 4 sampel yang melakukan
ram 5.6 Pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai cara perawatan
Pada diagram 5.6 menunjukkan tingkat pengetahuan masyarakat Tana
Toraja mengenai cara perawatan penyakit gusi, terdapat 2 sampel yang
n sebanyak 30 sampel yang melakukan
Membersihkan karang
Diagram 5.7 Sikap masyarakat Tana Toraja mengenai frekuensi menyikat gigi
Pada diagram 5.7 terlihat sikap masyarakat Tana Toraja mengenai
frekuensi menyikat gigi dalam sehari terdapat 2 sampel yang satu kali (6,2%),
sebanyak 20 sampel yang dua kali menyikat gigi dalam sehari (62,5%),
diperoleh 2 sampel yang menyikat gigi tiga kali dalam sehari (6,2%), dan
sebanyak 8 sampel yang tidak teratur menyikat gigi d
Diagram 5.8 Sikap masyarakat Tana Toraja mengenai frekuensi memeriksakan
6,2%
25%
68,8
Diagram 5.7 Sikap masyarakat Tana Toraja mengenai frekuensi menyikat gigi dalam sehari
Pada diagram 5.7 terlihat sikap masyarakat Tana Toraja mengenai
at gigi dalam sehari terdapat 2 sampel yang satu kali (6,2%),
sebanyak 20 sampel yang dua kali menyikat gigi dalam sehari (62,5%),
diperoleh 2 sampel yang menyikat gigi tiga kali dalam sehari (6,2%), dan
sebanyak 8 sampel yang tidak teratur menyikat gigi dalam sehari (25%).
Diagram 5.8 Sikap masyarakat Tana Toraja mengenai frekuensi memeriksakan gigi ke dokter gigi
6,2%
62,50%
25% Satu kali
Dua kali
Tiga kali
Tidak teratur
6,20% 3,10%
21,9%
68,8%
Enam bulan sekali
Satu tahun sekali
Dua tahun sekali
Tidak pernah
57
Diagram 5.7 Sikap masyarakat Tana Toraja mengenai frekuensi menyikat gigi
Pada diagram 5.7 terlihat sikap masyarakat Tana Toraja mengenai
at gigi dalam sehari terdapat 2 sampel yang satu kali (6,2%),
sebanyak 20 sampel yang dua kali menyikat gigi dalam sehari (62,5%),
diperoleh 2 sampel yang menyikat gigi tiga kali dalam sehari (6,2%), dan
alam sehari (25%).
Diagram 5.8 Sikap masyarakat Tana Toraja mengenai frekuensi memeriksakan
Diagram 5.8 menunjukkan sikap masyarakat Tana Toraja mengenai
frekuensi memeriksakan gigi ke dokter gigi dari 2 sampel setiap enam bula
sekali (6,2%), memeriksakan gigi ke dokter gigi setiap satu tahun sekali ada 1
sampel (3,1%), sebanyak 7 sampel memeriksakan gigi ke dokter gigi setiap dua
tahun sekali (21,9%), dan sebanyak 22 sampel tidak pernah memeriksakan gigi
ke dokter gigi (68,8%).
Diagram 5.9 Perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai alat untuk menusuk
Pada diagram 5.9 menunjukkan perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai
alat untuk menusuk gigi dan gusi, diperoleh 24 sampel menggunakan tusuk
gigi (75%), 1 sampel yang menggunakan jarum (3,1%), sebanyak 5 sampel
menggunakan menggunakan kayu (15,6%), 1 sampel yang menggunakan lidi
(3,1%), dan 1 sampel menggunakan sedotan atau pipet (3,1%).
3,1%15,6
Diagram 5.8 menunjukkan sikap masyarakat Tana Toraja mengenai
frekuensi memeriksakan gigi ke dokter gigi dari 2 sampel setiap enam bula
sekali (6,2%), memeriksakan gigi ke dokter gigi setiap satu tahun sekali ada 1
sampel (3,1%), sebanyak 7 sampel memeriksakan gigi ke dokter gigi setiap dua
tahun sekali (21,9%), dan sebanyak 22 sampel tidak pernah memeriksakan gigi
Diagram 5.9 Perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai alat untuk menusuk gigi dan gusi
Pada diagram 5.9 menunjukkan perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai
alat untuk menusuk gigi dan gusi, diperoleh 24 sampel menggunakan tusuk
mpel yang menggunakan jarum (3,1%), sebanyak 5 sampel
menggunakan menggunakan kayu (15,6%), 1 sampel yang menggunakan lidi
(3,1%), dan 1 sampel menggunakan sedotan atau pipet (3,1%).
75%
15,6%
3,1% 3,1% Tusuk gigi
Jarum
Kayu
Lidi
Sedotan/pipet
58
Diagram 5.8 menunjukkan sikap masyarakat Tana Toraja mengenai
frekuensi memeriksakan gigi ke dokter gigi dari 2 sampel setiap enam bulan
sekali (6,2%), memeriksakan gigi ke dokter gigi setiap satu tahun sekali ada 1
sampel (3,1%), sebanyak 7 sampel memeriksakan gigi ke dokter gigi setiap dua
tahun sekali (21,9%), dan sebanyak 22 sampel tidak pernah memeriksakan gigi
Diagram 5.9 Perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai alat untuk menusuk
Pada diagram 5.9 menunjukkan perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai
alat untuk menusuk gigi dan gusi, diperoleh 24 sampel menggunakan tusuk
mpel yang menggunakan jarum (3,1%), sebanyak 5 sampel
menggunakan menggunakan kayu (15,6%), 1 sampel yang menggunakan lidi
Diagram 5.10 Perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai cara mengatasi g
Pada diagram 5.10 menunjukkan perilaku masyarakat Tana Toraja
mengenai cara mengatasi gusi berdarah yaitu 1 sampel yang periksa ke dokter
gigi (3,1%), 2 sampel dengan minum obat (6,3%), sebanyak 24 sampel
membiarkannya saja (75%), dan 5
bagian gusi yang berdarah (15,6%).
15,6%
Diagram 5.10 Perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai cara mengatasi gberdarah
Pada diagram 5.10 menunjukkan perilaku masyarakat Tana Toraja
mengenai cara mengatasi gusi berdarah yaitu 1 sampel yang periksa ke dokter
gigi (3,1%), 2 sampel dengan minum obat (6,3%), sebanyak 24 sampel
membiarkannya saja (75%), dan 5 sampel yang mengoleskan daun jarak pada
bagian gusi yang berdarah (15,6%).
3,1% 6,3%
75%
6%Periksa ke dokter gigiMinum obat
Membiarkannya saja
Mengoleskan daun jarak
59
Diagram 5.10 Perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai cara mengatasi gusi
Pada diagram 5.10 menunjukkan perilaku masyarakat Tana Toraja
mengenai cara mengatasi gusi berdarah yaitu 1 sampel yang periksa ke dokter
gigi (3,1%), 2 sampel dengan minum obat (6,3%), sebanyak 24 sampel
sampel yang mengoleskan daun jarak pada
60
Tabel 5.11 Rerata GI pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai penyebab penyakit gusi
Berdasarkan tabel 5.11 diketahui dari 6 sampel, menunjukkan rata-rata GI
dari pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai penyebab penyakit gusi
yaitu dengan menusuk gusi diperoleh mean 0,20 dan standar deviasi adalah
0,06. Rata-rata GI dari penyebab penyakit gusi dengan mengunyah sirih pada
13 sampel, diperoleh mean 0,33 dan standar deviasi 0,23. Dan dari 13
sampel,diperoleh rata-rata GI untuk penyebab penyakit gusi dengan merokok
atau menghisap tembakau yaitu mean 0,23 dan standar deviasi 0,09. Sehingga
diperoleh total mean keseluruhan sebesar 0,53 dan total standar deviasi sebesar
0,38.
Tabel 5.12 Rerata GI pengetahuan masyarakat Tana Toraja mengenai cara pencegahan penyakit gusi
Penyebab penyakit gusi Mean N Standar
Deviasi
Menusuk gusi 0,20 6 0,06 Mengunyah sirih 0,33 13 0,23
Merokok/menghisap tembakau 0,23 13 0,09
Total 0,53 32 0,38
Cara pencegahan penyakit gusi Mean N Standar
Deviasi
Menjaga kebersihan mulut 0,27 28 0,18
Kontrol ke dokter gigi 0,23 4 0,09
Total 0,50 32 0,27
61
Tabel 5.12 menunjukkan rata-rata GI dari pengetahuan masyarakat Tana
Toraja mengenai cara pencegahan penyakit gusi, yaitu menjaga kebersihan
mulut diperoleh dari 28 sampel dengan mean 0,27 dan standar deviasi 0,18.
Rata-rata GI untuk cara pencegahan penyakit gusi dengan kontrol ke dokter
gigi dari 4 sampel diperoleh mean 0,23 dan standar deviasi 0,09. Total
keseluruhan mean yaitu 0,50 dan total standar deviasi yaitu 0,27.
Tabel 5.13 Rerata GI pengetahuan masyarakat Tana Toraja
mengenai cara perawatan penyakit gusi
Tabel 5.13 menunjukkan rata-rata GI pengetahuan masyarakat Tana Toraja
mengenai cara perawatan penyakit gusi, diperoleh dari 2 sampel yang merawat
penyakit gusi dengan membersihkan karang gigi dengan mean 0,17 dan standar
deviasi 0,05. Rata-rata GI yang melakukan perawatan penyakit gusi dengan
minum obat pada 30 sampel diperoleh mean 0,27 dan standar deviasi 0,17.
Total secara keseluruhan mean adalah 0,44 dan total standar deviasi 0,22.
Cara perawatan penyakit gusi Mean N Standar
Deviasi
Membersihkan karang gigi 0,17 2 0,05
Minum obat 0,27 30 0,17
Total 0,44 32 0,22
62
Tabel 5.14 Rerata GI sikap masyarakat Tana Toraja
mengenai frekuensi menyikat gigi dalam sehari
Frekuensi menyikat gigi dalam
sehari Mean N
Standar
Deviasi
Satu kali 0,34 2 0,05
Dua kali 0,25 20 0,14 Tiga kali 0,62 2 0,35
Tidak teratur 0,19 8 0,06
Total 1,40 32 0,60
Tabel 5.14 menunjukkan rata-rata GI sikap masayrakat Tana Toraja
mengenai frekuensi menyikat gigi dalam sehari, diperoleh dari 2 sampel yang
satu kali menyikat gigi dalam sehari dengan mean 0,34 dan standar deviasi
0,05. Rata-rata GI pada 20 sampel yang dua kali menyikat gigi dalam sehari
diperoleh mean 0,25 dan standar deviasi 0,14. Rata-rata GI dari 2 sampel yaitu
tiga kali menyikat gigi dalam sehari diperoleh mean 0,62 dan standar deviasi
0,35. Dan untuk 8 sampel yang tidak teratur menyikat gigi dalam sehari
diperoleh mean 0,19 dan standar deviasi 0,06. Total mean secara keseluruhan
yaitu 1,40 dan total standar deviasi 0,60.
Tabel 5.15 Rerata GI sikap masyarakat Tana Toraja mengenai frekuensi periksa gigi ke dokter gigi
Frekuensi periksa gigi ke dokter
gigi Mean N
Standar
Deviasi
Enam bulan sekali 0,21 2 0,06
Satu tahun sekali 0,13 1 Dua tahun sekali 0,24 7 0,08
Tidak pernah 0,28 22 0,19
Total 0,86 32 0,33
63
Pada tabel 5.15 menunjukkan rata-rata GI sikap masyarakat Tana Toraja
mengenai frekuensi periksa gigi ke dokter gigi, diperoleh data dari 2 sampel
yang memeriksakan gigi ke dokter gigi setiap enam bulan sekali dengan mean
0,21 dan standar deviasi 0,06. Rata-rata GI dari 1 sampel yang memeriksakan
gigi ke dokter gigi setiap satu tahun sekali diperoleh mean 0,13. Rata-rata GI
dari 7 sampel yaitu dua tahun sekali memeriksakan gigi ke dokter gigi
diperoleh mean 0,24 dan standar deviasi 0,08. Rata-rata GI dari 22 sampel
dengan tidak pernah memeriksakan gigi ke dokter gigi, diperoleh mean 0,28
dan standar deviasi 0,19. Total mean secara keseluruhan yaitu 0,86 dan total
standar deviasi 0,33.
Tabel 5.16 Rerata GI perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai alat untuk menusuk gigi dan gusi
Alat untuk menusuk gigi dan
gusi Mean N
Standar
Deviasi
Tusuk gigi 0,25 24 0,16
Jarum 0,7 1 Kayu 0,22 5 0,11
Lidi 0,3 1 Sedotan (pipet) 0,20 1 Total 1,67 32 0,27
Tabel 5.16 menunjukkan rata-rata GI perilaku masyarakat Tana Toraja
mengenai alat untuk menusuk gigi dan gusi pada 24 sampel yang
menggunakan tusuk gigi diperoleh mean sebesar 0,25 dan standar deviasi 0,16.
Rata-rata GI pada 1 sampel yang menggunakan jarum untuk untuk menusuk
gigi dan gusi 0,7. Rata-rata GI pada 5 sampel yang menggunakan kayu untuk
menusuk gigi dan gusi diperoleh mean 0,22 dan standar deviasi 0,11. Rata-rata
64
GI pada 1 sampel yang menggunakan lidi untuk menusuk gigi dan gusi
diperoleh mean 0,3. Rata-rata GI pada 1 sampel yang menggunakan sedotan
atau pipet untuk menusuk gigi dan gusi diperoleh mean 0,20. Dan total mean
secara keseluruhan sebesar 1,67 dan total standar deviasi 0,27.
Tabel 5.17 Rerata GI perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai cara mengatasi gusi berdarah
Cara mengatasi gusi berdarah Mean N Standar
Deviasi
Periksa ke dokter gigi 0,1 1 Minum obat 0,13 3 0,04 Membiarkannya saja 0,28 23 0,16
Mengoleskan daun jarak 0,30 5 0,22
Total 0,81 32 0,42
Tabel 5.17 menunjukkan rata-rata GI perilaku masyarakat Tana Toraja
mengenai cara mengatasi gusi berdarah pada 1 sampel dengan periksa ke
dokter gigi, diperoleh mean sebesar 0,1. Rata-rata GI dari 3 sampel yang
minum obat dalam mengatasi gusi berdarah, diperoleh mean 0,13 dan standar
deviasi 0,04. Rata-rata GI dari 23 sampel yang membiarkannya saja dalam cara
mengatasi gusi berdarah, diperoleh mean 0,28 dan standar deviasi 0,16. Rata-
rata GI dari 5 sampel yang mengoleskan daun jarak dalam mengatasi gusi
berdarah, diperoleh mean 0,30 dan standar deviasi 0,22. Total mean secara
keseluruhan sebesar 0,81 dan total standar deviasi 0,42.
65
BAB VI
PEMBAHASAN
Penyakit periodontal didefinisikan sebagai penyakit pada daerah yang
menyangga gigi yang kehilangan struktur kolagennya, sebagai respon dari
akumulasi bakteri pada jaringan periodontal. Penyakit periodontal banyak
diderita oleh manusia hampir di seluruh dunia dan mencapai 50% dari jumlah
populasi dewasa (Wahyukundari, 2009).
Di Indonesia, penyakit periodontal merupakan penyakit kedua terbanyak
diderita masyarakat (+73,50%), dan sebesar 4-5% penduduk menderita
penyakit periodontal lanjut yang dapat menyebabkan gigi goyah dan lepas.
Saat ini penyakit periodontal paling banyak ditemukan pada usia muda (Lamp.
SK Menkes, 2005). 2
Penyakit periodontal lanjut menunjuk pada hilangnya tulang sekitar gigi
secara progresif yang akan dapat menjadikan longgarnya gigi atau goyahnya
gigi dan akhirnya gigi dapat lepas jika tidak dirawat. Gigi-gigi yang lepas
tersebut bisa mengurangi fungsi fisik dan psikososial, dan pada usia muda akan
dapat menyebabkan dampak besar pada kualitas hidup (Widyanti, 2009). 2
Penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Tana Toraja sejak bulan
April 2013 sampai Mei 2013 pada 32 sampel yang berusia 25-50 tahun dapat
66
diketahui bagaimana tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat Tana
Toraja terhadap status penyakit periodontal. Dalam penelitian ini, peneliti
memperoleh data dengan melakukan wawancara langsung pada sampel dan
kuesioner yang diisi oleh sampel terkait tingkat pengetahuan, sikap dan
perilaku terhadap status penyakit periodontal dan melakukan pemeriksaan
indeks gingival (GI) untuk menilai tingkat keparahan dan banyaknya
peradangan gusi pada seseorang atau pada subjek di kelompok populasi yang
besar.14
Dari hasil perhitungan data pada diagram 5.1 dapat diketahui sebagian
besar jenis kelamin sampel masyarakat Tana Toraja merupakan perempuan
yang berjumlah 19 orang (59,3%) lebih banyak dibandingkan jumlah sampel
laki-laki yang berjumlah 13 orang (40,6%).
Pada diagram 5.2 dapat dilihat pekerjaan masyarakat Tana Toraja yang
paling banyak adalah wiraswasta sebanyak 9 orang (28,13%), disusul ibu
rumah tangga sebanyak 6 orang (18,75%),
Pada diagram 5.3 diketahui bahwa tingkat pendidikan terakhir masyarakat
Tana Toraja yang paling banyak adalah SMA sebanyak 13 orang (40,63%),
disusul sarjana sebanyak 8 orang (25%), SD sebanyak 5 orang (15,63%),
kemudian untuk diploma dan smk berjumlah sama yaitu masing-masing
berjumlah 2 orang (6,25%), begitu juga dengan jumlah yang tidak sekolah dan
SMP berjumlah sama yakni masing-masing 1 orang (3,13%). Tingkat
pendidikan rata-rata penduduk yang masih rendah, merupakan salah satu masalah
pokok yang berpengaruh terhadap masalah-masalah kesehatan. Sebagai akibat
67
pendidikan rata-rata yang masih rendah, di kalangan masyarakat masih banyak
sikap hidup dan perilaku yang mendorong timbulnya suatu penyakit. Dan
semakin tinggi pendidikan seseorang, kemungkinan perilaku kesehatan mereka
lebih baik (Notoatmodjo, 1997). 30
Pada diagram 5.4 dapat diketahui tingkat pengetahuan masyarakat Tana
Toraja mengenai penyebab penyakit gusi yang paling banyak adalah menyirih
dan merokok atau menghisap tembakau masing-masing berjumlah 13 orang
(40,6%). Dan sisanya adalah menusuk gusi yang berjumlah 6 orang (18,8%).
Hal tersebut disebabkan dari kebiasaan sebagian masyarakat Tana Toraja yaitu
mengunyah sirih pada kaum ibu dan merokok pada masyarakat laki-laki di
Tana Toraja.
Pada diagram 5.5 terlihat bahwa pengetahuan masyarakat Tana Toraja
mengenai cara pencegahan penyakit gusi yang paling banyak diperoleh dari 28
orang (87,5%) dengan menjaga kebersihan mulut. Dan jumlah yang tersisa
terdapat 4 orang (12,5%) yaitu dengan kontrol ke dokter gigi. Dilihat dari
keadaan lingkungan Tana Toraja yaitu daerah pegunungan, tidak
memungkinkan sebagian orang untuk melakukan perawatan ke dokter gigi
karena terbatas akan fasilitas klinik gigi, sehingga sebagian besar masyarakat
lebih memilih untuk menjaga kebersihan mulutnya daripada harus kontrol ke
dokter gigi. Tindakan kebersihan mulut yang dilakukan yaitu dengan menyikat
gigi. Menurut Widyanti, 2009 penyakit periodontal merupakan penyakit yang
prevalensinya universal, biasanya tidak bisa remisi atau berhenti kalau tidak
dirawat, sehingga akumulatif dan kebutuhan perawatan menjadi beban. Untuk
68
merawatnya tergantung teknologi, biaya mahal, perawatan menghabiskan
banyak waktu oleh profesional, sehingga pencegahan lebih baik dari pada
perawatan.2
Pada diagram 5.6 menunjukkan tingkat pengetahuan masyarakat Tana
Toraja mengenai cara perawatan penyakit gusi, terlihat sebagian besar orang
lebih memilih minum obat yaitu 30 orang (93,8%) daripada membersihkan
karang gigi yang hanya berjumlah 2 orang (6,2%). Hal ini disebabkan
terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam melakukan perawatan penyakit
periodontal dan masyarakat hanya tahu dengan minum obat dapat
menyembuhkan penyakit periodontal. Umumnya masyarakat yang bertempat
tinggal dekat dengan fasilitas klinik gigi memiliki pengetahuan untuk
membersihkan karang gigi atau skeling di dokter gigi.
Pada diagram 5.7 terlihat sikap masyarakat Tana Toraja mengenai
frekuensi menyikat gigi dalam sehari, sebagian besar dua kali pada 20 orang
(62,5%). Diketahui pada 8 orang (25%) yang tidak teratur menyikat gigi
dalam sehari. Dan sisanya berjumlah masing-masing 2 orang (6,2%) yaitu satu
kali dan tiga kali yang menyikat gigi dalam sehari. Sikap masyarakat Tana
Toraja sudah benar sesuai pendapat (Mettovaara H. L, 2006) bahwa
menggosok gigi sehari adalah dua kali yaitu setelah makan dan sebelum
tidur.38 Frekuensi membersihkan gigi dan mulut sebagai bentuk perilaku akan
mempengaruhi baik atau buruknya kebersihan gigi dan mulut yang akan
mempengaruhi juga angka penyakit periodontal.
69
Pada diagram 5.8 terlihat sikap masyarakat Tana Toraja mengenai
frekuensi memeriksakan gigi ke dokter gigi, jumlah terbanyak yaitu sebesar 22
orang (68,8%) tidak pernah memeriksakan gigi ke dokter gigi. Lalu 7 orang
(21,9%) dua tahun sekali yang memeriksakan gigi ke dokter gigi. Diketahui 2
orang (6,2%) yang memeriksakan gigi ke dokter gigi setiap enam bulan sekali.
Dan 1 orang (3,1%) yang memeriksakan gigi ke dokter gigi satu tahun sekali.
Sikap masyarakat Tana Toraja untuk memeriksakan gigi ke dokter gigi sangat
kurang karena pemerintah telah mencanangkan pemeriksaan gigi secara rutin 6
bulan sekali (PDGI, 2006).
Tidak semua orang dijadwalkan untuk rutin ke dokter gigi setiap 6 bulan
sekali. Ada juga yang harus datang lebih sering, atau bahkan dalam sekali
setahun. Orang yang beresiko giginya berlubang atau penyakit gusi sangat
kecil, biasanya kunjungan sekali dalam setahun sudah cukup. Tetapi orang itu
sangan rentan terhadap penyakit periodontal misalnya karena kondisi
pertahanan tubuhnya sangat rendah atau karena menderita penyakit tertentu
seperti diabetes, maka dia perlu berkunjung ke dokter gigi 3-4 sebulan sekali
atau bahkan bisa lebih sering agar kesehatan rongga mulutnya bisa terkendali
(Widyanti, 2009). 2
Pada diagram 5.9 menunjukkan perilaku masyarakat Tana Toraja mengenai
alat untuk menusuk gigi dan gusi, sebanyak 24 orang (75%) menggunakan
tusuk gigi. 5 orang (15,6%) menggunakan kayu. Dan terdapat 3 orang lainnya
(3,1%) yakni menggunakan jarum, lidi, dan sedotan (pipet). Perilaku
masyarakat Tana Toraja sudah bisa dikatakan baik dalam menggunakan tusuk
70
gigi tetapi sebaiknya perlu ada penyuluhan kepada pasien untuk menggunakan
tusuk gigi dengan baik dan benar.
Menurut Sanodent, dll. tusuk gigi tersebut harus diletakkan pada daerah
embrasure dengan bagian ujung yang runcing terlebih dahulu, dengan
membentuk sudut 45 derajat terjadap sumbu panjang gigi, dan bagian yang
tajam dari tusuk gigi kayu terletak menjauhi gingiva. Tusuk gigi digerakkan 12
kali pada setiap daerah, dengan bagian ujungnya yang menghadap ke koronal.
Sebaiknya ajarkan kepada pasien cara pemberihan yang teratur, yaitu pasien
harus mulai melakukan pembersihan pada suatu daerah tertentu dan
melanjutkannya ke seluruh daerah rongga mulut yang lain, sampai kembali ke
daerah semula. Harus ada peraturan tentang penggunaan tusuk gigi kayu,
sehingga tidak ada daerah yang terbaikan. Kadang-kadang sulit untuk
mencapai ruang di bagian belakang rongga mulut, untuk ini ada beberapa alat
dan teknik lain yang dapat dipakai. Dengan begitu, fungsi tusuk gigi akan
lebih efisien dalam membersihkan sisa makanan pada gigi. 33
Namun perilaku masyarakat Tana Toraja yang lain menunjukkan masih
kurang baik dengan menggunakan benda tajam seperti jarum, lidi, dan sedotan
(pipet). Selain dapat merusak jaringan periodontal yaitu gingiva, benda-benda
tersebut tidak efektif dalam membersihkan sisa makanan pada gigi.
Pada diagram 5.10 dapat diketahui perilaku masyarakat Tana Toraja
mengenai cara mengatasi gusi berdarah, yang sebagian besar membiarkannya
saja pada 24 orang (75%). Terdapat 5 orang (15,6%) yang mengoleskan daun
jarak. 2 orang (6,3%) yang minum obat dan 1 orang (3,1%) periksa ke dokter
71
gigi dalam mengatasi gusi berdarah. Perilaku masyarakat Tana Toraja terlihat
sangat tidak peduli dalam mengatasi tanda awal penyakit periodontal dengan
membiarkan saja dalam mengatasi gusi berdarah. Mereka beralih pada
pengobatan tradisional yaitu dengan mengoleskan daun jarak yang dipercaya
dapat menghentikan pendarahan apabila gusi berdarah.
Menurut Ditjenbun, 2007; getah jarak mengandung tannin (18%) yang
digunakan sebagai obat kumur dan gusi berdarah serta obat luka. Keunggulan
getah pohon jarak dibanding dengan pengobatan lain yaitu mudah di dapat,
praktis digunakan, dan tanpa efek samping. Kelemahannya pada pemakaian
akan terasa pahit dan perih (Ditjenbun, 2007). 39
Gambar 6.1 Daun Jarak (Jatropa curcas L) Sumber : Teks dan foto Dr. Ernawati Sinaga, Apt. (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tumbuhan Obat UNAS/ P3TO UNAS)
72
Pada tabel 5.11 memperlihatkan rata-rata GI dari pengetahuan masyarakat
Tana Toraja mengenai penyebab penyakit gusi. Diperoleh rata-rata GI dari 6
sampel yang menusuk gusi nilai mean sebesar 0,20 dan standar deviasi 0,06.
Rata-rata GI dari 13 sampel pada mengunyah sirih, diperoleh mean sebesar
0,33 dan standar deviasi 0,23. Dan rata-rata GI dari 13 sampel untuk penyebab
gusi dengan merokok atau menghisap tembakau yaitu mean 0,23 dan standar
deviasi 0,09. Total mean keseluruhan sebesar 0,53 dan total standar deviasi
sebesar 0,38. Dari hasil total skor secara keseluruhan menunjukkan kriteria
peradangan ringan dimana hasil mean berada diantara 0,1-1,0.
Pada tabel 5.12 menunjukkan rata-rata GI dari pengetahuan masyarakat
Tana Toraja mengenai cara pencegahan penyakit gusi, yaitu menjaga
kebersihan mulut diperoleh dari 28 sampel dengan mean 0,27 dan standar
deviasi 0,18. Rata-rata GI untuk cara pencegahan penyakit gusi dengan kontrol
ke dokter gigi dari 4 sampel diperoleh mean 0,23 dan standar deviasi 0,09.
Total mean keseluruhan yaitu 0,50 dan total standar deviasi yaitu 0,27. Dan
diperoleh kriteria penilaian indeks gingival dari total mean secara keseluruhan
yakni peradangan ringan dilihat dari mean yang berada diantara 0,1-1,0.
Pada tabel 5.13 menunjukkan rata-rata GI dari pengetahuan masyarakat
Tana Toraja mengenai cara perawatan penyakit gusi, dari 2 sampel yang
merawat penyakit gusi dengan membersihkan karang gigi diperoleh mean 0,17
dan standar deviasi 0,05. Rata-rata GI yang melakukan perawatan penyakit
gusi dengan minum obat pada 30 sampel diperoleh mean 0,27 dan standar
deviasi 0,17. Total secara keseluruhan mean adalah 0,44 dan total standar
deviasi 0,22. Kriteria penilaian indeks gingival yakni peradangan ringan dilihat
73
dari skor yang mempunyai mean diantara 0,1-1,0.
Tabel 5.14 menunjukkan rata-rata GI sikap masayrakat Tana Toraja
mengenai frekuensi menyikat gigi dalam sehari, diperoleh dari 2 sampel yang
satu kali menyikat gigi dalam sehari dengan mean 0,34 dan standar deviasi
0,05. Rata-rata GI pada 20 sampel yang dua kali menyikat gigi dalam sehari
diperoleh mean 0,25 dan standar deviasi 0,14. Rata-rata GI dari 2 sampel yaitu
tiga kali menyikat gigi dalam sehari diperoleh mean 0,62 dan standar deviasi
0,35. Dan untuk 8 sampel yang tidak teratur menyikat gigi dalam sehari
diperoleh mean 0,19 dan standar deviasi 0,06. Total mean secara keseluruhan
yaitu 1,40 dan total standar deviasi 0,60.
Pada tabel 5.15 menunjukkan rata-rata GI sikap masyarakat Tana Toraja
mengenai frekuensi periksa gigi ke dokter gigi, diperoleh data dari 2 sampel
yang memeriksakan gigi ke dokter gigi setiap enam bulan sekali dengan mean
0,21 dan standar deviasi 0,06. Rata-rata GI dari 1 sampel yang memeriksakan
gigi ke dokter gigi setiap satu tahun sekali diperoleh mean 0,13. Rata-rata GI
dari 7 sampel yaitu dua tahun sekali memeriksakan gigi ke dokter gigi
diperoleh mean 0,24 dan standar deviasi 0,08. Rata-rata GI dari 22 sampel
dengan tidak pernah memeriksakan gigi ke dokter gigi, diperoleh mean 0,28
dan standar deviasi 0,19. Total mean secara keseluruhan yaitu 0,86 dan total
standar deviasi 0,33.
Tabel 5.16 menunjukkan rata-rata GI perilaku masyarakat Tana Toraja
mengenai alat untuk menusuk gigi dan gusi pada 24 sampel yang
menggunakan tusuk gigi diperoleh mean sebesar 0,25 dan standar deviasi 0,16.
74
Rata-rata GI pada 1 sampel yang menggunakan jarum untuk untuk menusuk
gigi dan gusi 0,7. Rata-rata GI pada 5 sampel yang menggunakan kayu untuk
menusuk gigi dan gusi diperoleh mean 0,22 dan standar deviasi 0,11. Rata-rata
GI pada 1 sampel yang menggunakan lidi untuk menusuk gigi dan gusi
diperoleh mean 0,3. Rata-rata GI pada 1 sampel yang menggunakan sedotan
atau pipet untuk menusuk gigi dan gusi diperoleh mean 0,20. Dan total mean
secara keseluruhan sebesar 1,67 dan total standar deviasi 0,27.
Tabel 5.17 menunjukkan rata-rata GI perilaku masyarakat Tana Toraja
mengenai cara mengatasi gusi berdarah pada 1 sampel dengan periksa ke
dokter gigi, diperoleh mean sebesar 0,1. Rata-rata GI dari 3 sampel yang
minum obat dalam mengatasi gusi berdarah, diperoleh mean 0,13 dan standar
deviasi 0,04. Rata-rata GI dari 23 sampel yang membiarkannya saja dalam cara
mengatasi gusi berdarah, diperoleh mean 0,28 dan standar deviasi 0,16. Rata-
rata GI dari 5 sampel yang mengoleskan daun jarak dalam mengatasi gusi
berdarah, diperoleh mean 0,30 dan standar deviasi 0,22. Total mean secara
keseluruhan sebesar 0,81 dan total standar deviasi 0,42.
Pengukuran pengetahuan dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan isi materi yang diukur dari subjek penelitian (Notoatmodjo,
2003). Perilaku menyikat gigi yang benar, tertinggi pada anak dengan orang
tua berpendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmojdo (1997),
bahwa perilaku dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungan. 30
75
B A B VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 SIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah
sebagai berikut :
A. Berdasarkan Pengetahuan Masyarakat akan Penyakit Periodontal
1. Masih kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai cara pencegahan
perawatan, dan tanda-tanda penyakit periodontal yang disebabkan
kurangnya kesadaran untuk menjaga kebersihan rongga mulut.
2. Latar belakang pendidikan terakhir dan jenis pekerjaan yang kurang
memadai sehingga terbatasnya kemampuan untuk memahami informasi
mengenai kesehatan jaringan periodontal yang telah diberikan dari berbagai
sumber.
B. Berdasarkan Sikap Masyarakat akan Penyakit Periodontal
1. Masih banyaknya masyarakat yang menyepelekan kebersihan rongga mulut
sehingga kurangnya motivasi untuk melakukan perawatan terhadap penyakit
76
periodontal.
2. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk berhati-hati ketika terjadi
perdarahan gingiva dan memilih membiarkan saja ketika hal itu terjadi.
3. Kesadaran masyarakat akan pentingnya memeriksakan gigi secara teratur ke
dokter gigi masih kurang yang dapat diakibatkan karena kurangnya motivasi
untuk melakukan hal tersebut dan masalah ekonomi.
4. Sikap dalam menyikat gigi sudah baik dengan menyikat gigi teratur 2 kali
sehari.
C. Berdasarkan Perilaku Masyarakat akan Penyakit Periodontal
1. Adanya kesadaran lebih dari setengah jumlah sampel terhadap frekuensi dan
waktu yang tepat untuk menyikat gigi, dimana kesadaran ini dapat timbul
karena penyuluhan yang rutin terkait kedua hal tersebut.
2. Kesadaran masyarakat akan bahaya merokok bagi kesehatan tubuh
khususnya gigi dan mulut belum bisa terlihat pada penelitian ini dikarenakan
sebagian besar sampel adalah perempuan.
3. Masih banyak masyarakat yang belum meninggalkan kebiasaan menusuk
gusi atau gigi, bahkan dengan cara keliru menggunakan benda tajam seperti
kayu atau jarum yang dapat meningkatkan resiko kerusakan jaringan
77
periodontal. Meskipun pengaruh yang diperoleh dari tindakan tersebut
kurang bermakna.
Dalam pelaksanaannya, perawatan terhambat oleh berbagai hal antara lain
karena sumber daya, sarana dan prasarana masih belum memadai serta belum
tersebar merata, perilaku serta kesadaran penduduk untuk merawatkan dan
memelihara diri dalam kesehatan gigi dan mulut masih rendah. Jika menunggu
sampai tercukupinya sarana dan prasana, maka akan makin sulit mencegah laju
perkembangan penyakit gigi dan mulut, sehingga status kesehatan gigi dan
mulut akan makin menurun, yang tentunya juga akan berdampak pada
menurunnya kualitas hidup.
7.2 SARAN
Adapun saran yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Sebaiknya memaksimalkan program penyuluhan kesehatan gigi dan mulut
secara merata ke seluruh lapisan masyarakat baik pelajar atau mahasiswa,
maupun pegawai dan wiraswasta serta memaksimalkan materi penyuluhan
yang akan diberikan sehingga masyarakat dapat memahami secara
tentang pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut.
2. Pentingnya untuk merubah kualitas jenis program penyuluhan kesehatan gigi
78
dan mulut baik penyuluhan secara langsung maupun melalui media massa
agar masyarakat semakin tertarik untuk mengikuti program penyuluhan jenis
apapun.
79
DAFTAR PUSTAKA
1. Herijulianti E, Indiriani TS, Artini.S. Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta :
EGC Penerbit Kedokteran Gigi. 2002.
2. Sriyono, Niken Widyanti. Pencegahan penyakit gigi dan mulut guna
meningkatkan kualitas hidup. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada. 8 Desember.
Yogyakarta. 2009.
3. Survei Kesehatan Nasional (Susenas). Depkes RI. 1998.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001: Studi Morbiditas
dan Disabilitas. Dalam SURKESNAS. Jakarta. 2002: 16.
5. Lebih baik tak makan daripada tak ma’pangan. [Internet]. Available from:
http://www.Panyingkul.com/rssview.php?id=990-14k. Diakses 21 Oktober,
2008.
6. Tuak Toraja. [Internet]. Available from:
http://lakipadada.blogspot.com/2008_01_01_archive.html. Diakses 21
Oktober, 2008.
7. Gaw MC. Periodontal disease and preterm delivery of low birth weight
infants. J Can Dent Assoc 2002; 68(3): 165-9.
8. Kolenbrander PE, Palmer RJ, Rickard AH, Jakubivics NS, Chalmer NI,
Diaz PI. Bacterial interactions and successions during plaque development.
80
Periodontal 2000. 2006; 42: 47 – 79.
9. Kolenbrander PE, Andersen RN, Blehert DS, Egland PG, Foster JS, Palmer
RJ. Communication among oral bacteria. Microbiol Mol Biol Rev. 2002;
66: 486-505.
10. Samuel S. Bender IB.The dental pulp biologic considerations in dental
procedures. 3rd ed. Philadelphia. J.B. Lippincott. 1984: 173-177.
11. Kesehatan gigi belum dilihat secara serius. [Internet]. Available from:
http://www.sinarharapan.co.id/tajuk/index.html Diakses 11 Oktober, 2008.
12. Situmorang, N. Dampak karies gigi dan penyakit periodontal terhadap
kualitas hidup. [Internet]. Available from :
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2005/ppgb 2005 nurmala
situmorang.pdf. Diakses 31 December, 2012.
13. Tampubolon, Nurmala Situmorang. Dampak Karies Gigi dan Penyakit
Periodontal Terhadap Kualitas Hidup. Available at: http://library.usu.ac.id.
Accessed November 16, 2010.
14. Putri, Megananda Hiranya. Herijulianti, Eliza. Nurjannah, Neneng. Ilmu
Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi.
Jakarta:EGC. 2010
15. Yayasan Kesehatan Gigi Indonesia. 2005, Program YKGI [Homepage of
Yayasan 12 Kesehatan Gigi Indonesia], [Online]. Available from:
81
http//www.ykgi.or.id/program.html. Accessed December 25, 2
16. Clinical Periodontology and Implant Dentistry. 4th edition. Jan Lindhe,
Thorkild Karring, Niklaus P. Lang. © 2003 by Blackwell Munksgaard, a
Blackwell Publishing Company. Oxford : UK
17. Stephen J. Gingivitis. [Online]. 2006[cited 2007 Oct 4]; Available from
URL: http://www.emedicinehealth.com
18. Kentjana S, editor. Buku ajar periodonti. Jakarta: Hipokrates; 1993. p. 44-
5, 67,95.
19. Allen DL, McFall WT, Hunter GC. Periodontics for the dental hygienist.
3rd ed. Philadelphia: Lea&Febiger; 1980. p. 39,43,67. 005.
20. Sudibyo. Hubungan lingkungan pengrajin perak terhadap timbulnya
penyakit periodontal. Majalah Ilmu Kesehatan Gigi Indonesia 2001;3(6):96.
21. Bascones-Martínez, Antonio. Criado-Cámara, Elena. Bascones-Ilundáin,
Christina. Arias Herrera, Santiago. Bascones-Ilundáin, Jaime. Etiology of
Gingivitis, Gingival Diseases – Their Aetiology, Prevention and Treatment,
Dr. Fotinos Panagakos (Ed.), ISBN: 978-953-307-376-7, InTech. 2011.
22. Winn dkk. Koneman`s Color Atlast and Textbook of Diagnostic
Microbiology 6thed. USA: Lippincott Williams and Wilkins;2006.p 87-8
23. Ireland, R. Clinical textbook of dental hygiene and therapy. Singapura :
Blackwell Munksgaard. 2006.p. 57-8
24. Page RC, Schroeder HE. Pathogenesis of inflammatory periodontal disease.
82
A summary of current work. Lab Invest 1976;33:235-249.
25. Page RC, Simpson DM, Ammons WF. Host tissue response in chronic
inflammatory periodontal disease. IV. The periodontal and dental status of
a group of aged great apes. J Periodontol 1975;46:144-155.
26. Selvig KA. Ultrastructural changes in cementum and adjacent connective
tissue in periodontal disease. ActaOdontol Scand 1966;24:459-500
27. Seymour GJ, Greenspan JS. The phenotypic characterization of
lymphocyte subpopulations in established human periodontal disease. J
Periodont Res 1979;14:39-46.
28. Kornman KS, Newman MG, Alvarado R, Flemmig TF, Nachnani S,
Tumbusch J. Clinical and microbiological patterns of adults with
periodontitis. J Periodontol 1991;62:634-642.
29. Socransky SS, Haffajee AD, Cugini MA, Smith C, Kent RL Jr. Microbial
complexes in subgingival plaque. J Clin Periodontol 1998;25:134-144.
29. Haffajee AD, Socransky SS. Microbial etiological agents of destructive
periodontal diseases. Periodontol 2000 1994;5:78-111.
30. Notoatmojdo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta,1997
31. World Health Organization. WHOOQL: Measuring Quality of Life.
Switzerland: World Health Organization; 1997. p.1-4.
32. Chandra, Budiman. Pengantar Kesehatan Lingkungan. 2006. EGC : Jakarta
33. Forrest J. O. Pencegahan Penyakit Mulut. Jakarta: EGC. 1995
34. Mar’at. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981.
36. Carranza FA. Newman, Michael. G. Periodontal Pathology. In: John M
83
Novak, editor. Carranza’s Clinical Periodontology 10th ed. Philadelphia:W.
B. Saunders Company;2008. P 115-6.
37. Tjahja Indirawati,Ghani Lannywati. Status Kesehatan Gigi dan Mulut
Ditinjau dari Faktor Individu Pengunjung Puskesmas DKI Jakarta Tahun
2007. Jakarta. 2007
38. Mettovaara H. L, et al. Cynical Hostiliy as a Determinant of Toothbrusing
Frequency and Oral Hygiene. Journal of Clinical Periodontology
2006;33:2,1-28. Darwita R.R. Pencegahan Sakit Gigi dan Mulut dipandang
dari proses Patofisiologis., Jakarta FKG UI, 2004.
39. Ditjenbun. 2007. Pedoman Budidaya Tanaman Jarak Pagar. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor