skripsi widyaningsih e p
DESCRIPTION
skripsi widyaTRANSCRIPT
-
SKRIPSI
Oleh :
Widyaningsih Endah Pratiwi 111.040.131
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA
2011
GEOLOGI DAN STUDI FASIES GUNUNG API SATUAN NGLANGGRAN, DAERAH POHIJO,
KECAMATAN SAMPUNG, KABUPATEN PONOROGO, PROPINSI JAWA TIMUR
-
SKRIPSI
Oleh :
Widyaningsih Endah Pratiwi 111.040.131
Disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana
strata-1 di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, tahun akademik 2010/2011
Yogyakarta, September 2011 Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Ir. C. Prasetyadi , M.Sc. Ir. Siti Umiyatun Choiriah,MT NIP: 19581104 199203 1 001 NIP : 19631010 199203 2 002
Menyetujui ,
Ketua Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral
UPN Veteran Yogyakarta,
Ir. H. Sugeng Raharjo, M.T NIP.19581208 199203 1 001
GEOLOGI DAN STUDI FASIES GUNUNG API SATUAN NGLANGGRAN, DAERAH POHIJO, KECAMATAN
SAMPUNG, KABUPATEN PONOROGO, PROPINSI JAWA TIMUR
-
Sari
GEOLOGI DAN STUDI FASIES GUNUNG API SATUAN NGLANGGRAN, DAERAH POHIJO,
KECAMATAN SAMPUNG, KABUPATEN PONOROGO, PROPINSI JAWA TIMUR
Widyaningsih Endah Pratiwi 111 040 131
Lokasi penelitian secara administratif terletak di desa Pohijo, Kecamatan Sampung
Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Secara geografis terletak pada 1111630 BT
1112230 BT dan 74730 LS dan 75000 LS. yang terdapat dalam lembar Purwantoro
propinsi Jawa tengah, Lembar Peta Nomor 1508 - 123 Edisi 1 - 2001 skala 1 : 25.000 dengan
luas daerah telitian 8 x 5 Km.
Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1983), daerah telitian dibagi menjadi tiga
satuan bentuk asal dan lima satuan bentuk lahan, yaitu: Satuan Perbukitan Karst (K1),
Satuan Bukit Intrusi (V1), Satuan Dataran Jatuhan tuf (V2), Satuan Dataran Aliran Lahar
(V3), Perbukitan breksi terkikis (D1). Jenis pola aliran yang berkembang pada daerah
telitian, setelah disesuikan dengan klasifikasi pola sumgai yang ditulis oleh A.D. Howard,
1967, dapat di klasifikasikan kedalam pola sungai Subrectangular, Subdendritik dan Paralel.
Stadia geomorfik pada daerah telitian adalah dewasa - tua (Lobeck,1939).
Stratigrafi daerah penelitian dimulai dari tua ke muda: Satuan Breksi (Formasi
Nglanggran), Intrusi Andesit, Satuan Batugamping (Formasi Sampung), Satuan Tuf
(Formasi Jabolarangan), Satuan Lahar Lawu. Pada daerah penelitian Satuan Breksi
Nglanggran merupakan satuan batuan yang berumur paling tua, yang kemudian di intrusi
oleh Satuan Intrusi Andesit, kemudian terendapkan secara tidak selaras Satuan Batugamping
Sampung. Selanjutnya diatas Satuan Batugamping Sampung diendapkan secara tidak selaras
Satuan Tuf Jabolarangan, Kemudian diatas Satuan Tuf Jabolarangan diendapkan secara
selaras Satuan Lahar Lawu.
Struktur geologi pada daerah telitian berupa sesar. Sesar yang berkembang adalah
sesar normal Gondang dan sesar normal Watukarut.
Berdasarkan karakteristik litologi dari analisa penampang stratigrafi terukur 1 Pohijo
masuk dalam Fasies Proximal, sedangkan dari analisa penampang stratigrafi terukur daerah
Gondang, Watukurut dan Sayutan daerah ini termasuk kedalam Fasies Medial,
-
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat,
hidayah, kesehatan dan karunia yang tidak pernah putus diberikan penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul Geologi Dan Studi
Fasies Gunung Api Satuan Nglanggran, Daerah Pohijo, Kecamatan Sampung,
Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur.
Dalam penyusunan laporan skripsi ini telah banyak pihak yang telah
membantu, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa, Ayahanda dan Ibu tercinta yang telah memberikan
segalannya bagi penulis, yaitu untuk kesempatan hidup di dunia.
2. Dr.Ir.C. Prasetyadi,Msc dan Ir. Siti Umiyatun Choiriah,MT selaku Pembimbing I
dan Pembimbing II, yang telah membimbing dan memberikan kritik saran
sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. Ir. H. Sugeng Raharjo, M.T selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.
Penulis sadar bahwa masih banyak kesalahan dan kekeliruan dalam
penyusunan skripsi ini, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Yogyakarta, September 2011
Penulis
-
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................... ........ i
HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................... ...... ii
KATA PENGANTAR................................................................... ..................... iii
SARI................................................................... ................................................ iv
DAFTAR ISI................................................................... ................................... v
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vi
DAFTAR TABEL.............................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian.............................................................. 1 1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian....................................................... 2 1.3. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian.................................... 2 1.4. Waktu Penelitian............................................................................ 3 1.5. Pokok Permasalahan...................................................................... 3 1.6. Hasil Penelitian.............................................................................. 5 1.7. Manfaat Penelitian......................................................................... 6 1.8. Metodologi Penelitian.................................................................... 7
BAB 2 GEOLOGI ZONA PEGUNUNGAN SELATAN
2.1. Fisiografi Pegunungan Selatan....................................................... 15 2.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan....................................................... 16 2.3. Struktur Geologi Pegunugan Selatan.............................................. 21
BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
3.1. Geomorfologi Daerah Telitian........................................................ 28 3.2. Stratigrafi Daerah Telitian............................................................... 36 3.3. Struktur Geologi Daerah Telitian.................................................... 45 3.4. Sejarah Geologi Daerah Telitian..................................................... 47
BAB 4 STUDI FASIES GUNUNG API
4.1. Dasar Teori................................................................... ................. 53 4.2. Identifikasi dan Interpretasi Fasies................................ ............... 55
BAB 5 POTENSI GEOLOGI
5.1. Potensi Geologi Positif................................................................... 85 5.2. Potensi Geologi Negatif.................................................................. 87
BAB 6 KESIMPULAN................................................................................. 88
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 90
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Lokasi daerah penelitian (Google Earth) 3
Gambar 1.2 Klasifikasi Penamaan Sesar (Richard, 1979).. 11
Gambar 1.3 Bagan Alir Tahapan Penelitian (Penulis, 2009).............................. 14
Gambar 2.1 Fisiografi Jawa Bagian Timur (Van Bemmelen, 1949).. 16
Gambar 2.2 Stratigrafi Pegunungan Selatan dari peneliti terdahulu.. 21
Gambar 2.3 Stratigrafi Regional menurut (Sampurno & H.Samudra,1997)... 22
Gambar 2.4 Arah Pola struktur Jawa bagian Timur (modifikasi dari
Sribudiyani, 2003) 24
Gambar 2.5 Pola Struktur Geologi Pulau Jawa (Martojoyo).. 24
Gambar 2.6 Pola Struktur Geologi Regional daerah telitian (Sampurno &
H.Samudra,1997)........................................................................ 25
Gambar 2.7 Kerangka Tektonik Asia Tenggara dari sebelum 70MA hingga
5MA (Sribudiyani, 2003) 28
Gambar 2.8 Peta Geologi Indonesia menurut (Simanjuntak & Barber, 1996) 29
Gambar 3.1 Foto bentang alam daerah telitian (penulis,2009). 32
Gambar 3.2 Foto perbukitan karts (penulis, 2009 33
Gambar 3.3 Foto bukit intrusi (penulis, 2009). 33
Gambar 3.4 Foto perbukitan breksi terkikis (penulis, 2009) 33
Gambar 3.5 Foto dataran piroklastik tuf dan dataran aliran lahar
(penulis, 2009). 34
Gambar 3.6 Pola pengaliran daerah telitian (A.D Howard, 1966).. 36
Gambar 3.7 Stratigrafi Regional menurut (Sampurno & H.Samudra,1997)... 39
Gambar 4.1 Jenis-jenis endapan piroklastik (Colin and Bruce, 2000) 55
Gambar 4.2 Pembagian Fasies Gunung Api modifikasi dari Sutikno Bronto
(2006) .. 57
-
DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Klasifikasi ralief dan kemiringan lereng menurut Van Zuidam,
(1979) 10
Tabel 3.1. Klasifikasi ralief dan kemiringan lereng menurut Van Zuidam,
(1979) 34
Tabel 4.1 Klasifikasi Nama Endapan dan Batuan Piroklastik menurut
Fisher & Schmincke (1984) 60
-
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Daerah telitian termasuk ke dalam fisiografi Zona Pegunungan Selatan dan
Zona Gunung Api Tengah (Rujukan Gambar 1.1. Physiografy of East Java (Van
Bemmelen, 1949) ). Zona Pegunungan Selatan terbentang di selatan Jawa Tengah -
selatan Yogyakarta. Di Yogyakarta, lebarnya 55 km hingga di Jawa Timur (selatan Blitar) lebarnya 25 km. Zona ini dibentuk oleh 2 satuan batuan yaitu; batuan vulkanik dan batugamping. Dari kenampakan morfologinya zona Pegunungan
Selatan ini dapat dipisahkan menjadi 3 subzona (Van Bemmelen, 1949) yakni 1.
subzona Baturagung, 2. subzona Wonosari, dan 3.subzona Gunung Sewu. Adapun
karakteristik subzona Pegunungan Selatan dapat dijelaskan secara terperinci seperti
dibawah ini:
1. Subzona Baturagung, relief morfologinya perbukitan terjal, merupakan
ekspresi dari batuan volkanik (intrusi & ekstrusi), sedimen volkanik klastik,
& karbonat, dengan kemiringan batuan relatif ke selatan.
2. Subzona Wonosari, merupakan dataran tinggi, ke arah timur bersambung
Baturetno yang merupakan cekungan sedimen kuarter berupa lempung hitam
endapan danau purba. 3. Subzona Gunung Sewu, merupakan perbukitan karts, dengan bukit-bukit
gamping, bentuk kerucut, membentang dari Parang-tritis (bagian barat)
Pacitan dan Ponorogo (bagian timur). Jumlah bukit ribuan, dengan luas
seluruhnya mencapai 1400 km2
Hanya Subzona Gunung Sewu yang umumnya berkaitan erat dengan studi
khusus penelitian. Pada subzona Gunung Sewu khususnya didaerah studi dijumpai
kemiringan relatif berarah utara. Sehingga daerah ini menarik untuk diteliti lebih
lanjut.
-
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah sebagai tugas akhir dalam memenuhi persyaratan
akademik guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Geologi (S1) Jurusan Teknik
Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Yogyakarta.
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui kondisi dan perkembangan geologi
daerah telitian yang meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan
sejarah geologi dalam lingkup ruang dan waktu (time & space) serta mempelajari
secara khusus Fasies Gunung Api yang berkaitan erat dengan aktivitas dari Gunung
Api Purba atau sering disebut juga Old Andesite Formation (Van Bemmelen, 1949).
1.3. Lokasi Penelitian dan Kesampaian Daerah
Lokasi penelitian secara administratif terletak di desa Jenangan, Kecamatan
Sampung, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Secara geografis terletak pada
1111630 BT 1112230 BT dan 74730 LS dan 75000 LS, yang
tercangkup dalam lembar Purwantoro propinsi Jawa tengah, Lembar Peta Nomor
1508 - 123 Edisi 1 - 2001 Dengan sekala 1 : 25.000 dengan luas daerah telitian 8x5
Km. ( Gambar.1.1)
Daerah telitian dapat dijangkau dengan transportasi darat yang terletak 120 km
sebelah timur dari kota Yogjakarta dengan waktu tempuh 4 jam perjalanan
melewati jalan Jogjakarta Klaten Sukohardjo Wonogiri Purwantoro
Ponorogo namun sebelum tiba di kota Ponorogo terdapat jalan kearah utara untuk
menuju kecamatan Sampung. Transportasi darat dapat ditempuh dengan kondisi
jalan beraspal baik, dapat dilalui dengan kendaraan bermotor.
-
Gambar 1.1 Lokasi daerah penelitian (Google Earth)
1.4. Waktu Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan selama 2 bulan, terhitung sejak 8 Desember 2008 -
hingga 8 Februari 2009 dan bersifat mandiri yang kemudian dilanjutkan dengan
kegiatan pengolahan data serta analisis data dan pembuatan laporan penelitian
sebagai sistematika selama kegiatan penelitian berlangsung.
1.5. Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan yang diangkat penulis meliputi permasalahan geologi secara
umum dan permasalahan fasies gunung api secara khusus
1.5.1 Permasalahan Geologi
Permasalahan permasalahan geologi yang diuraikan dalam penelitian ini, meliputi :
1.5.1.1. Geomorfologi
Dari interpretasi dan analisa peta topografi serta pengamatan kenampakan morfologi
dilapangan, dijumpai kenampakan pola aliran, bukit, lembah, kelurusan punggungan
serta pengaruh litologi dan struktur geologi, sehingga menimbulkan beberapa
pertanyaan sebagai berikut :
-
a. Berapa macam satuan geomorfik pada daerah telitian?
b. Faktor apa saja yang mengontrol bentuk dan penyebaran bentang alam daerah
telitian?
c. Jenis pola aliran yang terbentuk dan apa faktor pengontrolnya?
d. Sejauh mana proses erosi yang telah berlangsung di daerah telitian?
e. Bagaimana perkembangan tahapan geomorfologinya?
1.5.1.2 Stratigrafi
Perbedaan relief dan dimensi bentang alam akan memberikan pengaruh terhadap
geometri suatu batuan sehingga akan menimbulkan permasalahan berupa :
a. Apa saja jenis litologi yang ada pada daerah telitian? dan Bagaimana variasinya?
b. Bagaimana penyebaran dan ketebalan batuan?
c. Bagaimana kandungan fosil dan umurnya?
d. Bagaimana urutan satuan batuan dari tua ke muda?
e. Bagaimana hubungan antar satuan batuan?
f. Apa nama formasi batuannya?
1.5.1.3 Struktur Geologi
Deformasi pada batuan akibat proses tektonik yang bekerja akan menghasilkan
struktur geologi yang terkait oleh beberapa hal, yaitu :
a. Jenis struktur apa saja yang berkembang di daerah telitian?
b. Bagaimana pola dan kedudukan struktur tersebut?
c. Bagaimana mekanisme, pola dan arah gaya yang membentuknya?
d. Kapan unsur unsur struktur tersebut terbentuk? dan Bagaimana hubungannya
dengan sejarah tektonik yang bekerja pada daerah telitian?
1.5.1.4 Sejarah Geologi
Dari seluruh kajian geologi yang dilakukan dari pengamatan lapangan, pengumpulan
data hingga tahap analisis, akan menimbulkan permasalahan mengenai
perkembangan geologi dari waktu ke waktu yang meliputi :
a. Bagaimana mekanisme dan perkembangan proses pengendapan tiap formasi pada
daerah telitian dalam ruang dan waktu geologi?
-
b. Bagaimana perkembangan tahapan tektonik yang terjadi di daerah telitian dalam
ruang dan waktu geologi sehingga membentuk pola struktur seperti sekarang?
1.5.2. Permasalahan Studi
Permasalahan yang akan diuraikan penulis dalam studi khususnya, meliputi :
1.5.2.1 Permasalahan Fasies Gunung Api kaitannya dengan aktivitas Gunung
Api Tersier.
Beberapa permasalahan yang terkait dengan studi Fasies Gunung Api yang akan
diuraikan penulis dalam penelitian ini, meliputi :
a. Termasuk ke dalam jenis Gunung Api apa di daerah telitian penulis?
b. Termasuk ke dalam Fasies Gunung Api apa daerah telitian penulis?
c. Bagaimana penyebaran Fasies Gunung Api? Apakah hadir setempat2 atau
mempunyai cakupan yang merata pada daerah telitian.
d. Kapan material Gunung Api itu terbentuk?
e. Dimana material tersebut diendapkan?
f. Apa saja jenis material Gunung Api yang diendapkan?
g. Bagaimana mekanisme pengendapannya kaitannya dengan sifat letusan dari
Gunung Api yang bersifat Ekplosif, Effusif atau campuran dari Ekplosif dan
Effusif
1.5.3. Permasalahan Potensi Geologi
Dari hasil pengamatan lapangan berikut adalah permasalahan yang berkaitan
mengenai potensi geologi daerah telitian :
1. Apa saja potensi geologi positif maupun potensi yang negatif yang terdapat di
daerah telitian ?
2. Apa dampak bagi masyarakat jika potensi positif terus di eksploitasi ?
1.6. Hasil Penelitian Peta Lintasan Peta Geologi
-
Dari peta geologi diketahui penyebaran litologi penyusun daerah telitian yang
merupakan bagian dari Zona Pegunungan Selatan dan Zona Pegunungan
Tengah (Van Bemmelen, 1949).
Peta Geomorfologi Penampang Stratigrafi Terukur. Dari Penampang Stratigrafi Terukur akan didapatkan urut-urutan batuan
Gunung Api dari umur tua ke muda secara vertikal yang nantinya akan dapat
menceritakan kejadian Geologi dan termasuk ke dalam Fasies Gunung Api apa
di daerah telitian.
Penyusunan Laporan Tahap akhir dari seluruh kegiatan penelitian yang telah dilakukan disajikan
dalam bentuk laporan dan peta yang merangkum semua permasalahan yang
diangkat penulis beserta hasil analisis guna menjawab permasalahan diatas.
1.7. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari beberapa sudut
pandang berupa :
1.7.1. Manfaat Keilmuan Manfaat penelitian ini bagi bidang keilmuan adalah :
a. Menambah pengetahuan mengenai studi geologi dan Fasies Gunung Api.
b. Memperkuat pemahaman mengenai penerapan aplikasi metoda geologi
lapangan yang nyata dalam kaitannya dengan kerangka berfikir yang
disesuaikan dengan konsepkonsep serta kaidahkaidah geologi yang berlaku.
c. Kemampuan untuk dapat mengintegrasikan antara data geologi, baik yang
diperoleh di lapangan maupun dari hasil analisis laboratorium.
1.7.2. Manfaat Institusi Manfaat penelitian yang dilakukan penulis bagi pihak institusi berupa :
a. Melengkapi dan menambah hasil studi maupun data data yang belum
terlengkapi dari penelitian terdahulu, khususnya yang terkait dengan daerah
penelitian penulis.
-
b. Memberikan masukan mengenai Fasies Gunung Api yang berkembang di
daerah penelitian penulis.
c. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memajukan dunia pendidikan yang
terkait dengan ilmu kebumian, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi
Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta umumnya
dan bagi kemajuan bangsa dan negara pada khususnya.
1.8. Metodologi Penelitian
Metodologi yang digunakan untuk mencapai tujuan dari skripsi ini dilakukan dengan
studi pustaka yaitu mempelajari semua literatur baik yang berasal dari text book,
jurnal, maupun laporan penelitian yang ada kaitanya dengan skripsi ini, serta mencari
beberapa permasalahan yang akan mendasari dalam latar belakang dari kasus yang
sedang diteliti, kemudian melakukan kegiatan survey lapangan dalam menentukan
lokasi pengamatan berdasarkan pemetaan permukaan, pengambilan sample serta
melakukan pendeskripsian secara megaskopis dan mikroskopis batuan, serta
melakukan profil.
Secara umum metodologi yang digunakan adalah ;
Studi pustaka Melakukan kegiatan survey lapangan dalam menentukan lokasi pengamatan Pengambilan sample serta melakukan pendeskripsian megaskopis batuan. Pengambilan sample petrografi Pengambilan sampel paleontologi Pengambilan sampel Sedimentologi Melakukan profil
1.8.1. Tahapan Tahapan Penelitian
Penelitian lapangan secara umum dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pra-mapping
dan tahap pemetaan (mapping).
-
1.8.1.1. Tahap Pra-Mapping
Tahap pra-mapping berupa kegiatan observasi dan survey lapangan guna
menentukan lokasi dan luas daerah penelitian yang sesuai dengan topik judul yang
akan diambil penulis, baik sebagai secara studi umum (geologi) maupun untuk studi
khusus (fasies gunung api). Setelah lokasi penelitian didapatkan pada tahap ini juga
dilakukan perijinan dan penyiapan peta dasar guna memperlancar proses pelaksanaan
tahapan kerja berikutnya
1.8.1.2. Tahap Pemetaan (Mapping)
Tahapan yang dilakukan selama pelaksanaan meliputi : Tahapan yang dilakukan
selama pelaksanaan meliputi :
Membuat jalur lintasan untuk lokasi pengamatan dan pengambilan sample. Pembuatan lintasan-lintasan yang telah dilalui untuk dilakukan plotting lokasi Melakukan pengamatan litologi dan pengambilan sample pada jalur jalur
lintasan yang telah direncanakan. Adapun jalur lintasan dengan jarak yang
memungkinkan dilakukan pengambilan jalur secara detail. Hasil pengamatan
disajikan pada peta lintasan (Lampiran 1)
Pemetaan batuan yang meliputi pemerian batuan beserta pemerian mineral dan penamaan batuan yg berhubungan dengan lithofasies.
Pemetaan struktur yang meliputi pengukuran data kekar dan sesar. Melakukan dokumentasi pada singkapan yang dijumpai dengan membuat sketsa
dan foto serta memberi keterangan pada foto .
Melakukan diskusi dengan pengawas lapangan, diskusi dengan pembimbing lapangan.
Melakukan evaluasi terhadap kegiatan yang telah dilakukan dan merencanakan kegiatan pada hari berikutnya berdasarkan hasil dari evaluasi harian
1.8.1.3. Pengolahan Data
Tahap pengolahan data yaitu dengan melakukan penggabungan dari hasil studi
pustaka dan literatur yang dilakukan di studio dengan hasil pengamatan serta
pengambilan data lapangan yang didukung oleh analisis laboratorium, yang meliputi:
-
Melakukan preparasi semua sample yang akan dilakukan untuk analisa laboratorium sehingga sample benar benar dalam kondisi siap.
Analisa data litologi yang diikuti analisis petrografi dengan tujuan untuk mengetahui jenis batuan, penyebaran batuan, pengambilan interpretasi dalam
kaitannya sebagai penentu fasies gunung api. Hasil pengamatan disajikan pada
Lembar pengamatan Petrografi (Lampiran 4)
Analisa paleontologi dengan tujuan untuk penunjang data profil sebagai penentuan umur relatif. Hasil pengamatan disajikan pada Lembar pengamatan
Paleontolgi (Lampiran 5)
Struktur Geologi. o Data yang diambil berupa : - Kekar. Dilakukan dengan mengamati singkapan di lapangan dan pengukuran
terhadap kedudukan bidangnya dengan menggunakan kompas geologi.
- Sesar. Pengambilan data sesar dilakukan dengan cara pengamatan singkapan
dilapangan. Setelah itu dilakukan pengukuran dari kedudukan bidang sesar
(strike dan dip), dan gores-garis yang terdapat pada bidang sesar tersebut
(plunge, bearing, dan rake) dengan menggunakan kompas geologi.
- Data sekunder didapatkan dari hasil analisis laboratorium dari conto yang
diambil dari stream sedimen yang diperoleh dari aliran aliran sungai pada
lokasi penelitian, dan beberapa batuan.
Membuat Penampang Stratigrafi Terukur untuk mengetahui Fasies Gunung Api. Hasil pengamatan disajikan pada Lembar MS (Lampiran 6)
Membuat Peta Lay out hasil dari pengambilan data lapangan berupa Peta Lintasan, Peta Geomorfologi, Pola Penagaliran, Peta Geologi.
Menyusun laporan dari apa yang telah dilakukan penelitian mengenai kondisi Geologi dan alterasi dengan berbagai permasalahanya hubungannya dengan
struktur serta litologi yang mengontrol hingga sampai pada solusi terhadap
permasalahan permasalahan yang ada yaitu berupa saran maupun kritikan
yang bersifat membangun
-
1.8.1.4. Analisis Data
a. Analisa morfologi
Analisa morfologi yaitu dengan membagi daerah penelitian menjadi beberapa bentuk
lahan dengan menggunakan klasifikasi Zuidam (1983). Pembagian bentuk lahan ini
didasarkan atas proses geologi yang membentuknya. Selain itu juga dilakukan
penghitungan persen kemiringan lereng menurut metode Wenworth kemudian
hasilnya dikelompokkan menurut klasifikasi kemiringan lereng Zuidam (1983).
Rumus metode wenworth adalah : B = (jumlah kontur 1) x Interval Kontur X
100%
Jarak horisontal x skala peta
Tabel 1.1. Klasifikasi ralief dan kemiringan lereng menurut Van Zuidam, (1979)
No Relief Unit Kemiringan
Lereng (%)
Beda
Tinggi
(meter)
1 Topografi datar atau hampir datar 0 - 2 < 5
2 Topografi bergelombang lemah (miring
landai) 3 - 7 5 50
3 Topografi bergelombang sedang (miring) 8 - 13 25 75
4 Topografi berbukit bergelombang kuat
(miring sedang) 14 - 20 50 200
5 Topografi berbukit tersayat kuat (miring
terjal) 21 - 55 200 500
6 Topografi pegunungan (terjal) 56 140 500 1000
7 Topografi pegunungan (sangat terjal) > 140 > 1000
Tujuan dari hasil analisa morfologi yang didapat adalah untuk pembuatan peta
geomorfologi daerah penelitian.
b. Analisa Struktur Geologi
Analisa struktur geologi ini deilakukan untuk mengetahui struktur geologi yang
terdapat pada daerah penelitian. Analisis secara stereografis dilakukan dengan cara
-
measukkan data struktur geologi yang didapat sesuai dengan arah pergerakan dan
kedudukannya ke dalam stereonet (wulf net), kemudian dimasukkan ke dalam
klasifikasi Rickard (1972). Setelah itu dilakukan pengeplotan kedudukan dan
pergerakannya pada peta. Interpretasi kemenerusan struktur geologi pada daerah
penelitian menggunakan hukum V, juga dengan pendekatan fisiografi dan morfologi.
Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui hubungan struktur-struktur geologi yang
ada pada daerah penelitian.
Tujuan dari hasil analisa data struktur geologi ini adalah untuk dasar pembuatan peta
geologi dan geomorfologi.
Gambar 1.2 Klasifikasi penamaan sesar Rickard (1972)
Klasifikasi ini menitikberatkan pada pergerakan relatif sebenarnya (slip) sehingga
sangat berguna dapat menafsirkan tektonik yang terjadi di daerah telitian serta
orientasi terhadap tegasan pembentuknya dari Anderson (1951).
c. Analisa sayatan tipis
Analisa sayatan tipis batuan dengan mikroskop polarisator. Analisa Sayatan Tipis
mendapatkan data berupa komposisi dan ciri fisik batuan secara mikroskopis,
sehingga dapat diperoleh penamaannya sesuai dengan klasifikasi Fischer, 1954 .
Data sample batuan dilakukan analisa laboratorium seperti analisa petrografi menurut
Williams, 1954 untuk jenis batuan volkanik, dan menurut Gilbert, 1954 untuk jenis
batuan karbonat, analisa petrografi ini dilakukan guna mengetahui nama batuan
secara mikroskopis, Tujuan dari hasil analisis sayatan tipis ini adalah untuk dasar
-
pembuatan satuan batuan peta geologi. Hasil analisa tersaji pada Lembar Analisa
Petrografi (Lampiran 8)
d. Analisa Paleontologi
Mempunyai tujuan untuk mengetahui umur relatif serta menentukan batimetri
berdasarkan kandungan fosil foraminfera plankton dan bentos, nannofosil serta
foraminfera besar pada contoh batuan yang mewakili setiap satuan batuan secara
maksimal daerah telitian.
Penulis mengacu pada Blow, (1969) dan Bandy, (1967) dimana masing-masing
untuk penentuan umur dan lingkungan batimetri dengan menggunakan foraminfera
serta Mohler, (1947) dan Marks, (1957) untuk penentuan umur dengan menggunakan
fosil foraminifera besar. Hasil analisa tersaji pada Lembar Analisa Paleontlogi
(Lampiran 9)
e. Analisa Penampang strtigrafi terukur.
Analisa penampang stratigrafi terukur dengan menggunakan meteran, kompas
geologi, palu geologi, larutan HCl 10%, kamera digital, foto sayatan tipis dan kolom
stratigrafi. Berdasarkan karestik litologi yang berkembang di daerah telitian dan
dirujuk kepada model Fasies Gunung Api menurut Bogie & Mackinzie, (1998) maka
akan didapatkan termasuk ke dalam Fasies Gunung Apia pa daerah telitian penulis.
Hasil analisa tersaji pada Lembar MS dan Profil (Lampiran 4,5,6 dan 7)
f. Analisa Sedimentologi
Analisa sedimentologi yang digunakan adalah analisa yang nantinya akan membantu
studi khusus yaitu analisa test asam, kalsimetri dan etsa. Analisa tersebut bertujuan
untuk menamakan batuan dengan menggunakan klasifikasi menurut Folk, (1959),
Dunham, (1962) serta Reijers dan Hsu, (1985). Dari hasil penamaan tersebut
nantinya akan membantu penulis dalam menafsirkan lingkungan pengendapan
batuan karbonat dengan menggunakan klasifikasi menurut Wilson, (1975).
1.8.1.5. Alat dan Bahan
Dalam menunjang penelitian lapangan diatas beberapa alat dan perlengkapan yang
dipergunakan penulis dalam membantu pengambilan data di lapangan antara lain :
a. Peta dasar, berupa peta topografi dengan skala 1 : 25.000.
-
b. Palu geologi, berupa palu batuan sedimen dan palu batuan beku.
c. Kompas geologi.
d. Lup dengan perbesaran 20X.
e. GPS (Global Positioning System).
f. Komparator batuan sedimen.
g. Plastik sampel ukuran 2 kg dan larutan HCl 0,1 N.
h. Meteran dengan ukuran 30 m.
i. Buku catatan lapangan.
j. Alat tulis.
1.8.2. Penelitian Terdahulu
Peneliti - peneliti terdahulu:
1. Bothe,1929, Stratigrafi Zona Pegunungan Selatan bagian barat.
2. Van Bemmelen,1949. Pembagian Fisografi pulau Jawa.
3. Sampurno & H. Samudro,1997. Membuat Peta Geologi Regional Lembar
Ponorogo.
4. Bronto, 2006. Fasies Gunung Api dan aplikasinya
5. Bronto, 2008. Gunung Api purba di Pegunungan Selatan, Yogyakarta-Jawa
Tengah dan implikasinya.
-
1.8.3 Bagan Alir Tahapan Penelitian
Adapun bagan alur penelitian adalah sebagai berikut :
Gambar 1.3 Bagan Alir Tahapan Penelitian (Penulis, 2009).
PETA LINTASAN PETA GEOMORFOLOGI PETA GEOLOGI MS (Analisa Fasies) PROFIL LAPORAN
PENYAJIAN DATA
ANALISIS DATA DAN PEMBUATAN LAPORAN
PENGAMATAN GEOMORFOLOGI PENGAMATAN LITOLOGI PENGAMATAN STRUKTUR GEOLOGI PENGAMBILAN CONTOH DAN FOTO
PETROGRAFI PALEONTOLOGI GEOLOGI STRUKTUR SEDIMENTOLOGI
PEMPROSESAN DATA DAN ANALISA
LABORATORIUM
PENGUMPULAN DATA DAN PENGERJAAN
LAPANGAN
KAJIAN PUSTAKA
TAHAP PERSIAPAN
-
BAB 2
GEOLOGI ZONA PEGUNUNGAN SELATAN
2.1. Fisiografi
Daerah telitian termasuk ke dalam fisiografi Zona Pegunungan Selatan dan Zona
Gunung Api Tengah. Zona Pegunungan Selatan ini terbentang di selatan Jawa
Tengah - selatan Yogyakarta. Di Yogyakarta, lebarnya 55 km hingga di Jawa Timur (selatan Blitar) lebarnya 25 km. Zona ini dibentuk oleh 2 satuan batuan yaitu; batuan volkanik, dan batugamping. Dari kenampakan morfologinya zona ini
dapat dipisahkan menjadi 3 yakni 1. subzona Baturagung, 2. subzona Wonosari, dan
3.subzona Gunung Sewu. Adapun karakteristik subzona Pegunungan Selatan dapat
dijelaskan secara terperinci seperti dibawah ini:
1. Subzona Baturagung, relief morfologinya perbukitan terjal, merupakan
ekspresi dari batuan volkanik (intrusi & ekstrusi), sedimen volkanik klastik, &
karbonat, dengan kemiringan batuan relatif ke selatan.
2. Subzona Wonosari, merupakan dataran tinggi, ke arah timur bersambung
Baturetno yang merupakan cekungan sedimen kuarter berupa lempung hitam
endapan danau purba.
3. Subzona Gunung Sewu, merupakan perbukitan karts, dengan bukit-bukit
gamping, bentuk kerucut, membentang dari Parang-tritis (bagian barat) -
Pacitan (bagian timur). Jumlah bukit ribuan, dengan luas seluruhnya mencapai
1400 km2 oleh Lehman, 1939). Semakin ke timur morfologi bukit kerucut
semakin berkurang, dan muncul bukit terdiri dari batuan volkanik (Pacitan-
Ponorogo)
-
Gambar 2.1. Fisiografi Jawa Bagian Timur (Van Bemmelen, 1949)
2.2. Stratigrafi
2.2.1. Stratigrafi Pegunungan Selatan bagian Timur
Stratigrafi Pegunungan Selatan di Jawa Timur, telah diteliti oleh Sartono (1964)
dengan daerah telitian di daerah Punung dan sekitarnya - Pacitan. Susunan
litostratigrafinya sebagai berikut (dari tua ke muda): Kelompok Formasi Besole,
Formasi Jaten, Formasi Nampol, Formasi Punung.( Gambar 2.2)
- Formasi Besole, merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah ini. Sartono (1964), pencetus nama Formasi Besole menyebutkan bahwa satuan ini
tersusun oleh dasit, tonalit, tuf dasitan, serta andesit, dimana satuan ini
diendapkan di lingkungan darat.
Nahrowi dkk (1978), dengan menggunakan satuan batuan bernama Formasi
Besole, menyebutkan bahwa formasi ini tersusun oleh perulangan breksi
volkanik, batupasir, tuf, dan lava bantal, diendapkan dengan mekanisme turbidit,
pada lingkungan laut dalam. Samodra dkk (1989 dan 1991) membagi satuan yang
bernama Formasi Besole ini menjadi dua satuan yaitu Formasi Arjosari yang
terdiri dari perselingan batupasir dan breksi, yang diendapkan pada lingkungan
laut dangkal, dan Formasi Mandalika yang tersusun oleh perselingan breksi,
batupasir, serta lava bantal diendapkan pada lingkungan laut dalam. Terlepas dari
perbedaan litologi, dan lingkungan pengendapan pada satuan yang bernama
Formasi Besole ini, mempunyai penyebaran menempati morfologi terjal, dan
-
berbukit-bukit. Oleh Sartono (1964), satuan ini merupakan bagian dari kelompok
batuan Old Andesit (van Bemmelen, 1949), seperti halnya yang terdapat di Kulon
Progo. Jadi secara umum Formasi Besole tersusun oleh satuan batuan vulkanik
(intrusi), lava dan volkanoklastik (breksi,sisipan batupasirtufan).
Djohor, (1993) meneliti singkapan di K.Grindulu (Pacitan-Tegalombo)
menyimpulkan urutan Formasi Besole yang tersingkap di daerah tersebut adalah
sebagai berikut: bagian bawah terdiri dari breksi volkanik (pyroclastic ?),
batupasir tufan (greywacke), sisipan crystal tuf, dan dibeberapa tempat dijumpai
intrusi (korok dasit). Bagian tengah tersusun oleh lava dasitik, tuf dasitik, breksi
vulkanik, batupasir vulkanik, dan sisipan lava basaltik dengan kekar-kekar
kolom, dibeberapa tempat dijumpai intrusi korok berkomposisi basaltis, dan
dasitik. Bagian atas didominasi oleh batuan volkanoklastik (perulangan
konglomerat, batupasirtufan, tuf, dengan sisipan breksi dan batulempung.
Didapat intrusi berupa volcanic neck berkomposisi andesitik. Juga dijumpai
sisipan tipis batulempung gampingan yang mengandung foraminifera planktonik
serta bongkah batugamping berukuran mencapai 1 m di dalam tubuh tuf. Secara tidak selaras di atasnya terdapat Formasi Jaten.
- Formasi Jaten, dengan lokasi tipenya K.Jaten Donorojo, Pacitan (Sartono 1964), tersusun oleh konglomerat, batupasir kuarsa, batulempung (mengandung
fosil Gastrophoda, Pelecypoda, Coral, Bryozoa, Foraminifera), dengan sisipan
tipis lignit. Ketebalan satuan ini mencapai 20-150 m. Diendapkan pada
lingkungan transisi neritik tepi pada Kala Miosen Tengah (N9 - N10)
- Formasi Wuni, dengan lokasi tipenya K.Wuni (anak Sungai S Basoka) - Punung, Pacitan (Sartono, 1964), tersusun oleh breksi, aglomerat, batupasir tufan, lanau,
dan batugamping. Berdasarkan fauna koral satuan ini berumur Miosen Bawah
(Te.5 Tf.1), sedangkan berdasarkan hadirnya Globorotalia siakensis,
Globigerinoides trilobus & Globigerina praebuloides berumur Miosen Tengah
(N9-N12) (Tim Lemigas). Ketebalan Formasi Wuni = 150 -200 m. Satuan ini
terletak selaras menutupi Formasi Jaten, dan selaras di bawah Formasi Nampol.
- Formasi Nampol, tersingkap baik di K.Nampol, Kecamatan Punung, Pacitan (Sartono,1964), dengan susunan batuan sebagai berikut: bagian bawah terdiri dari
-
konglomerat, batupasirtufan, dan bagian atas: terdiri dari perselingan batulanau,
batupasirtufan, dan sisipan serpih karbonan dan lapisan lignit. Diendapkan pada
Kala Miosen Awal (Sartono,1964) atau Nahrowi (1979), Pringgoprawiro (1985),
Samodra & Gafoer (1990) menghitungnya berumuri Miosen Awal - Miosen
Tengah. Ketiga formasi (Jaten, Wuni, Nampol) berhubungan jari-jemari dengan
bagian bawah Formasi Punung.
- Formasi Punung, dengan lokasi tipenya di daerah Punung, Pacitan, tersusun oleh dua litofasies yaitu: fasies klastika dan fasies karbonat (Sartono, 1964). Fasies
karbonat, tersusun oleh batugamping terumbu, batugamping bioklastik,
batugampingpasiran, napal, dimana satuan ini merupakan endapan sistem
karbonat paparan. Ketebalan fasies ini 200-300 m, berumur Miosen Tengah-Atas
(N9-N16). Sedangkan fasies klastika tersusun oleh perselingan batupasir tufan,
batupasir gampingan, lanau dan serpih. Ketebalan satuan ini 76 -230 m.
Berdasarkan kandungan fosil foram menunjukan umur Miosen Tengah (N15),
diendapkan pada lingkungan nertitik tepi. Hubungan dengan fasies karbonat
adalah menjari, dan kedua satuan fasies ini menutupi secara tidak selaras Fm
Nampol (Sartono, 1964). Sedangkan menurut Nahrowi (1979), Pringgoprawiro
(1985) Formsi Punung menutui secara tidak selaras Formasi Besole, dengan
saling menjari dengan Formasi Jaten, Wuni, dan Nampol.
- Di daerah Pegunungan Selatan bagian timur, endapan yang paling muda adalah endapan terarosa dan endapan sungai yang secara tidak selaras menutupi seri
endapan Tersier
2.2.2. Stratigrafi Regional daerah Telitian
Penamaan satuan batuan pada daerah telitian urut dari satuan batuan berumur tua
- satuan batuan berumur muda, berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar
Ponorogono (Sampurno & Hanang Samoedra, 1997). (Gambar 2.3)
Formasi Nglanggran: Runtunan batuan Gunung Api bersusunan andesit yang
disusun oleh breksi Gunung Api dan batupasir Gunung Api. Komponen andesit
di dalam breksi berukuran 50-40 cm, menyudut tanggung hingga menyudut,
pemilahan sangat buruk. Tebal rata-rata sekitar 2 m. Setempat breksi berubah
-
secara berangsur mejadi batupasir. Batupasir berwarna coklat, berukuran sedang
hingga sangat kasar dan mempunyai tebal 50-100 cm. Setampat tersingkap
perselingan breksi dan batupasri. Bagian bawah runtunan yang bersisipan dengan
breksi batuapung atau batupasir kerikilan, Mencirikan hubungan menjemari
dengan bagian atas Formasi Semilir. Runtunan batuan Gunung api ini diduga
berumur miosen awal, yang tebentuk di Lingkungan Darat hingga ke peralihan
Laut dangkal. Tebal satuan 500 meter. Sebarannya ke Barat dapat diikuti hingga
lembar Surakarta (sarono dkk, 1994). Di daerah Pacitan satuan ini setara dengan
bagian atas Formasi Mandalika (Samoedra & Gafoer, 1990). Satuan ini diberi
nama oleh Bothe (1929), dengan lokasi tipe Gunung Nglanggran, daerah
Surakarta.
Intrusi Andesit: Sayatan menunjukkan tekstur porfitik, subhedral, berukuran 0,5-
1 mm; terdiri dari andesin 45%, orthoklas 15%, kuarsa 5%, didalam masa dasar
mikrolit plagoklas dan kaca gunung api 30%. Sebagian felsparnya terubah
menjadi klorit dan lempung. Berumur Miosen awal.
Formasi Sampung: Perulangan kalkarenit dan napal, batugamping terumbu,
batulempung gampingan, dan napal tufan. Kalkarenitnya berbutir kasar
mengandung komponen batuan beku dan kepingan foraminifera. Setampat
berstruktur perarian sejajar. Tebal lapisan rata-rata 30 cm. Napal berwarna
kehijauan atau kecoklatan di daerah Sampung dengan tebal lapisan rata-rata 30
cm. Napal berwarna kehijauan atau kecoklatan di daerah Sampung bersifat tufan
dan banyak mengandung foraminifera kecil. Batugamping terumbu umumnya
berwarna kelabu dan mengandung foraminifera, koral. Ganggang (lithopylum
gonolithon) dan Briozoa. Struktur sedimen yang teramati adalah perlapisan
bersusun. Gua-gua batugamping di Sampung berkembang di daerah karts yang
tidak begitu luas. Penampang komplek terumbu di Sampung menunjukkan
perkembangan terumbu: dinding terumbu di Timur, paparan terumbu-depan di
tengah dan jalur perairan terumbu depan di Barat. Tidak dijumpai endapan
Laguna menunjukkan komplek Terumbu Sampung sebagai fringing reef yang
terbentuk selama terjadinya genang laut. Foraminifera pada batugamping adalah
Lepidocyclina sumatrensis, L. Purva, cycloclypeus indopacitus, C.annulutus,
-
Miogypsina thecideemafis. Kumpulan fosil itu mencerminkan umur Tf bawah
atau sekitar akhir miosen awal/awal miosen tengah dan terbentuk di lingkungan
laut dangkal. Sifat tufan dibatuan menunjukkan adanya kegiatan gunung api
disekitarnya. Sebarannya hanya di sekitar daerah Sampung di lereng tenggara
Gunung Lawu, dengan tebal 150 meter. (Samudra & Gafoer; Samudra dkk,
1992). Satuan ini diberi nama sesuai dengan lokasi tipenya di desa Sampung pada
lembar Ponorogo ini.
Tuf Jabolarangan: Tuf lapili dan breksi batuapung, masing-masing mempunyai
tebal rata-rata 5 m. Satuan ini tersebar di lereng Selatan dan tenggara Gunung
Jabolarangan di daerah Sarangan dan watugarit, sentuhannya dengan satuan yang
lebih muda yaitu endapan Lawu muda dibatasi oleh sesar Cemorosewu. Batuan
Gunung api ini dihasilkan oleh Gunung Jabolarangan atau Lawu Tua. Berumur
Pliosen tengah-Pliosen Akhir.
Lawu lahar: Komponen andesit dan basal dan sedikit batuapung beragam ukuran
yang bercampur dengan batupasir Gunung api. Sebarannya terutama mengisi
wilayah dataran di kaki-kaki Gunung api atau membentuk beberapa perbukitan
rendah. Di Karangtengah endapan ini mengandung kepingan gigi dan vertebrata
jenis Bovidae. Mata air banyak terdapat pada satuan ini. Berumur Holosen.
-
Gambar 2.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan dari Peneliti terdahulu(Bothe (1929), Surono (1989),
Nahrowi (1979), Samudro 1989,Sampurno&Samudro (1997) ).
-
Gambar 2.3. Stratigrafi Regional menurut (Sampurno & H. Samudra, 1997)
2.3. Struktur Geologi
2.3.1. Struktur Geologi Jawa Bagian Timur
Jawa bagian timur, berdasarkan pola struktur utamanya, merupakan daerah yang unik
karena wilayah ini merupakan tempat perpotongan dua struktur utama, yakni antara
struktur arah Meratus yang berarah timurlut-baratdaya dan struktur arah Sakala yang
berarah timur-barat (Pertamina-BPPKA, 1996; Sribudiyani et al., 2003) (Gambar
2.4). Arah Meratus lebih berkembang di daerah lepas pantai Cekungan Jawa Timur,
sedangkan arah Sakala berkembang sampai ke daratan Jawa bagian timur.
Struktur arah Meratus adalah struktur yang sejajar dengan arah jalur konvergensi
Kapur Karangsambung-Meratus. Pada awal Tersier, setelah jalur konvergensi
Karangsambung-Meratus tidak aktif, jejak-jejak struktur arah Meratus ini
berkembang menjadi struktur regangan dan membentuk pola struktur tinggian dan
dalaman seperti, dari barat ke timur, Tinggian Karimunjawa, Dalaman Muria-Pati,
Tinggian Bawean, Graben Tuban, JS-1 Ridge, dan Central Deep. Endapan yang
-
mengisi dalaman ini, ke arah timur semakin tebal, yang paling tua berupa endapan
klastik terestrial yang dikenal sebagai Formasi Ngimbang berumur Eosen. Distribusi
endapan yang semakin tebal ke arah timur ini menunjukkan pembentukan struktur
tinggian dan dalaman ini kemungkinan tidak terjadi secara bersamaan melainkan
dimulai dari arah timur. Struktur arah Sakala yang berarah barat-timur saat ini
dikenal sebagai zona sesar mendatar RMKS (Rembang-Madura-Kangean-Sakala).
Pada mulanya struktur ini merupakan struktur graben yang diisi oleh endapan paling
tua dari Formasi Pra-Ngimbang yang berumur Paleosen-Eosen Awal (Phillips et al.,
1991; Sribudiyani et al., 2003) Graben ini kemudian mulai terinversi pada Miosen
menjadi zona sesar mendatar RMKS. Berdasarkan sedimen pengisi cekungannya
dapat disimpulkan sesar arah Meratus lebih muda dibandingkan dengan sesar arah
Sakala. Geologi Regional Jawa oleh Martojoyo mempunyai 3 arah utama yaitu Pola
Meratus yang berarah Baratdaya-Timurlaut, Pola Jawa-Sakala yang berarah Barat-
Timur dan Pola Sunda yang berarah Baratlaut-Tenggara. (Gambar 2.5)
2.3.2. Struktur Geologi daerah Pohijo, kabupaten Ponorogo
Struktur yang berkembang pada daerah Wonogiri - Ponorogo adalah berupa lipatan
antiklin, sinklin dan sesar. Lipatan antiklin berarah Barat-Timur, sedangkan sinklin
berarah barat daya timur laut. Di daerah ini terdapat 2 jenis sesar yaitu sesar
mendatar dan sesar turun. (Sumber Peta Geologi Regional lembar Ponorogo oleh
Sampurno dan H.Samodra tahun, 1997). (Gambar 2.6).
Gambar 2.4. Arah pola struktur Jawa bagian timur (modifikasi dari Sribudiyani et al., 2003).
-
Gambar 2.5.. Pola Struktur Geologi Pulau Jawa menurut Martojoyo
Gambar 2.6. Pola Struktur Geologi Regional daerah telitian
(Peta Geologi Lembar Ponorogo,menurut Sampurno & Hanang Samudro, 1997)
2.3.3. Perkembangan Tektonik
Perkembangan Tektonik Jawa dibagi menjadi 4 periode yaitu:
1. Tektonik Kapur akhir Tersier Awal (70-35 Ma) oleh Sribudiyani, 2003
2. Tektonik Oligosen Miosen Awal (35 20 Ma) oleh Sribudiyani, 2003
3. Tektonik Miosen Tengah Miosen Akhir (20 5 Ma) oleh Sribudiyani, 2003
4. Tektonik Kuarter (1,65 0 Ma) oleh Simandjutak & Barber, 1996
-
2.3.3.1. Tektonik Kapur Akhir Tersier Awal (70 35 Ma)
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng Australia
kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate sepanjang
suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran selama Paleogen ketika
serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk. Proses magmatisme yang terjadi
pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut Sumatra melalui Jawa hingga bagian
Tenggara pada Kalimantan. Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon
memberikan pengertian terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak
benua Gondwana (kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari
daerah Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik
sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.
Kapur Atas Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super benua
Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah subduksi.
Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara telah diamati
dan dilaporkan oleh Sribudiyani. Dimulainya Rifting serta pelamparannya berasosiasi
dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam
fragmen kontinental. Bagian basement kontinen mempengaruhi arah cekungan di
Sumatra dan Jawa. (Gambar 2.7a dan 2.7b)
2.3.3.2. Tektonik Oligosen Miosen Awal (35 20 Ma)
Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan
pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm / tahun
hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi diseluruh
Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang jejak sesar
yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 2.2). Selama
periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Hindia
menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah depan busur Sumatra dan Jawa.
Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip Utara - Selatan
yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada.
-
Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran lantai
samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar pada rezim
tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa menyebabkan inversi
cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan Mikrokontinen Sunda telah menjadi
stabil pada 5 6 cm / tahun (Hall,2002). (Gambar 2.7c)
2.3.3.3. Tektonik Miosen Tengah Miosen Akhir (20 5 Ma)
Pergerakan ke arah Selatan dari lempeng Hindia Australia mengambil alih, seiring
dengan berkembangnya aktivitas magmatisme yang melingkupi hampir di seluruh
dataran pulau Jawa. Pada bagian Utara, berkembang cekungan belakang busur, yang
dibagi lagi menjadi beberapa sub sub cekungan, dan dipisahkan oleh tinggian
basement, dikontrol oleh blok blok sesar pada basement. Pengaktifan kembali
sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme transtension dan transpression
yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian yang mengalami penurunan.
Namun demikian, di bagian paling Timur Jawa Timur, basement dominan berarah
Timur - Barat, sebagaimana dapat diamati dengan baik yang mengontrol Palung
Kendeng dan juga Palung Madura. Bagian basement berarah Timur Barat
merupakan bagian dari fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport
dari Selatan dan bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW
struktur). Tektonik kompresi yang diakibatkan subduksi ke arah Utara telah
mengubah sesar basement Barat Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam
periode yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994).
Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan sedimen
klastik didaerah rendahan, dan carbonate build up pada tinggian yang membatasi.
Kompresi kedua mulai selama Akhir-Awal Miosen, terbentuk hingga puncak pada
Awal-Tengah Miosen. Tegangan menjadi lebih kuat selama peristiwa ini,
menghasilkan inversi graben-graben Paleogen. Pengangkatan dari tinggian yang
mengapit meningkatkan pasokan sedimen klastik berasal dari inti basement, dengan
pasokannya yang menutup sembulan karbonat reef. Efek penurunan muka air laut
eustasi selama Miosen Tengah hingga Akhir meningkatkan erosi dan pasokan
rombakan klastika asal darat menjadi tersebar luas di seluruh Laut Jawa Timur.
Pada Miosen Akhir rift yang awalnya berarah Barat-Timur mengalami rotasi menjadi
-
orientasi Timurlaut Baratdaya sebagai sesar mendatar, oleh adanya pengaruh
kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi Lempeng
Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan tektonik ini
menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang ada sekarang
ini. (Gambar 2.7d)
Gambar 2.7. Kerangka tektonik dari Asia Tenggara sebelum 70 M.A
hingga 5 M.A.(Sribudyani dkk ,2003).
2.3.3.4. Tektonik Kuarter (1,65-0 Ma)
Dikarenakan pergerakan baru zona penunjaman semakin ke utara dari zona
penunjaman sebelumnya, maka jajaran Gunung Api baru yang terbentukpun berada
-
di bagian utara dari jajaran Gunung Api Tersier yang telah mati (Old Andesite
Formation). Rezim tektonik yang terjadi dan masih berlangsung pada masa ini
adalah Tektonik Kompresi. Di Pulau Jawa pola kompresi yang berkembang adalah
pola normal yang berarti jajaran Gunung Api tegak lurus dengan arah penunjaman
yang berarah ke utara. Dengan adanya penunjaman ini terbentuklah jajaran Gunung
Api baru yang disebut dengan Zona Gunung Api Tengah. Pada Zona Gunung Api
Tengah ini Vulkanisme masih berlangsung dan masih dalam tahap membangun dan
merupakan sumber dari sedimentasi pada Zaman Kuarter. (Gambar 2.8)
Gambar 2.8. Peta Geologi Regional Indonesia menurut (Simandjutak & Barber, 1996)
-
BAB 3
GEOLOGI DAERAH TELITIAN
3.1. Geomorfologi daerah telitian
Pemetaan geomorfologi pada dasarnya adalah memisahkan bentuk lahan
berdasarkan relief, batuan dan proses pembentukannya. Metode yang digunakan
dalam pembagian satuan geomorfologi pada daerah telitian adalah :
Morfologi :menyangkut aspek-aspek yang bersifat pemerian (descriptive) antara lain; teras sungai ,kipas alluvial, plato, daratan, perbukitan,
pegunungan, dsb.
Morfometri :menyangkut aspek-aspek yang bersifat kuantitatif;seperti kemiringan lereng,bentuk lereng beda tinggi, tingkat pengikisan
sungai,dsb.
Morfogenesis :menyangkut faktor-faktor yang mengontrol pembentukan morfologi suatu daerah, seperti proses struktural, proses
denudasi, proses fluviatil.
3.1.1. Bentuk Lahan
Bentuk lahan penelitian ditentukan berdasarkan data yang diperoleh dari analisa
topografi dan hasil pengamatan langsung keadaan lapangan, yaitu meliputi bentuk
lahan (morfologi), kelerengan (morfometri), jenis litologi penyusun dan struktur
geologi (morfostruktur pasif) dan proses-proses geologi (morfostruktur aktif).
(Gambar 3.1)
Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1983),maka peneliti dapat membagi daerah
pemetaan menjadi tiga satuan bentuk asal dan empat satuan bentuk lahan, yaitu:
Satuan Bentuk Asal Karst : 1. Satuan Perbukitan Karst (K1)
Satuan Bentuk Asal Vulkanik : 1. Satuan Bukit Intrusi (V1)
2. Satuan Dataran Jatuhan tuf (V2)
-
3. Satuan Dataran Aliran Lahar (V3)
Satuan Bentuk Asal Denudasional : 1. Perbukitan breksi terkikis (D1)
Satuan-satuan batuan ini disajikan dalam peta Geomorfologi (Lampiran 3)
3.1.1.1. Bentuk Asal Karst
3.1.1.1.1. Perbukitan Karts (K1),
Berupa dataran tinggi dengan elevasi 350- 550 m. Memiliki luasan 14% dari
keseluruhan peta. Memiliki kemiringan lereng 40-700, tersusun atas litologi
batugamping. Morfogenesanya adalah perbukitan batugamping yang mengalami
pelarutan baik kimia maupun fisika secara intensif yang kemudian mengakibatkan
perbukitan tersebut terkikis, sehingga terbentuk morfologi bergelombang miring
sampai dengan miring kuat. (Gambar 3.2).
3.1.1.2. Bentuk Asal Vulkanik
3.1.1.2.1. Bukit Intrusi (V1)
Berupa dataran tinggi dengan elevasi 300-400m. Memiliki luasan 4% dari
keseluruhan peta. Kemiringan lereng sekitar 30-450. Lokasinya setempat, sebelah
tenggara peta di antara dataran tinggi/bukit. Litologinya berupa batuan andesit yang
memiliki resistensi relatif lebih kuat dibanding litologi di sekitarnya. Karena
ketinggiannya lebih tinggi dibandingkan daerah di sekitarnya dan berbentuk tinggian,
(Gambar 3.3).
3.1.1.2.2. Dataran Jatuhan tuf (V2)
Berupa dataran dengan elevasi 300-400m. Memiliki luasan 16% dari keseluruhan
peta. Kemiringan lereng sekitar 0-50. Lokasinya sebelah utara peta, membentang dari
bagian tengah hingga barat peta. Litologinya berupa breksi batu apung, batupasir
tufan, lava dan breksi andesit.
3.1.1.2.3. Dataran Aliran lahar (V3) Berupa dataran dengan elevasi 300-400m. Memiliki luasan 36% dari keseluruhan
peta. Kemiringan lereng sekitar 0-50. Lokasinya sebelah utara peta, membentang dari
bagian tengah hingga timur peta. Litologinya berupa breksi andesit produk dari
-
endapan lahar Lawu, dicirikan dengan hubungan antar butir yaitu butiran didukung
oleh lumpur (mudsupported).
3.1.1.3. Bentuk Asal Denudasional
3.1.1.3.1. Perbukitan Breksi terkikis (D1)
Berupa perbukitan dengan elevasi 450-600 m, bergelombang kuat. Memiliki luasan
14 % dari keseluruhan peta. Dengan kemiringan lereng antara 15-550. Lokasinya
sebelah selatan peta, membentang dari sebelah barat hingga tengah peta. Tersusun
oleh litologi breksi andesit dan lava. Morfogenesanya pasif dimana daerah tersebut
tersusun atas litologi breksi yang mempunyai resistensi kuat. (Gambar 3.4).
Gambar 3.1. Foto Bentang alam daerah telitian, arah foto N 160E
-
Gambar 3.2.Foto Perbukitan karts, arah foto N 195E
Gambar3.3. Foto Bukit Intrusi, arah foto N 175E
Gambar 3.4.Foto Perbukitan Breksi terkikis, arah foto N 045E.
-
Gambar 3.5. Foto Dataran piroklastik tuf dan Dataran Aliran lahar, arah foto N 005E
Tabel 3.1. Klasifikasi ralief dan kemiringan lereng menurut Van Zuidam, (1979)
No Relief Unit Kemiringan
Lereng (%)
Beda Tinggi
(meter)
1 Topografi datar atau hampir datar 0 - 2 < 5
2 Topografi bergelombang lemah (miring
landai) 3 - 7 5 50
3 Topografi bergelombang sedang (miring) 8 - 13 25 75
4 Topografi berbukit bergelombang kuat
(miring sedang) 14 - 20 50 200
5 Topografi berbukit tersayat kuat (miring
terjal) 21 - 55 200 500
6 Topografi pegunungan (terjal) 56 140 500 1000
7 Topografi pegunungan (sangat terjal) > 140 > 1000
3.1.1.4. Pola Aliran
Merupakan penggabungan dari beberapa individu sungai yang saling berhubungan
membentuk suatu pola dalam satu kesatuan ruang yang dalam pertumbuhannya
-
dipengaruhi oleh kemiringan lereng, perbedaan resistensi batuan, kontrol struktur,
pembentukan pegunungan, proses geologi kuarter dan sejarah serta stadia
geomorfologi dari cekungan pola pengaliran (W.D. Thornbury, 1954).
Menurut Howard, (1966), pola pengaliran adalah kumpulan jalur - jalur pengaliran
hingga bagian terkecilnya pada batuan yang mengalami pelapukan atau tidak
ditempati oleh sungai secara permanen.
Berdasarkan hasil analisis peta topografi dan keadaan di lapangan yang mendasarkan
pada bentuk dan arah aliran sungai, kemiringan lereng, kontrol litologi serta struktur
geologi yang berkembang pada daerah telitian maka pola aliran yang ada pada daerah
penelitian adalah Subrectangular, Subdendritik dan Paralel (Gambar 3.6)
berdasarkan klasifikasi A.D. Howard, (1966) yaitu:
3.1.1.4.1 Pola Subrectangular
Pola aliran rectangular adalah aliran cabang sungai tegak lurus terhadap sungai
induk. Aliran memotong daerah secara tidak menerus. Pola aliran ini terdapat
disekitar daerah Gondang. Pada daerah telitian pemeta menempati 32% dari total
luas daerah telitian. Peneliti memasukkan dalam pola aliran subrectangular
dikarenakan hanya terdapat sebagian dari pola dasar rectangular. Pola subrectangular
berkembang pada Kali Krasak.
3.1.1.4.2 Pola Subdendritik
Pola aliran dendritik adalah pola aliran dengan bentuk menyerupai cabang-cabang
pohon yang mencerminkan resistensi batuan sama. Pola aliran ini terdapat di daerah
Sayutan. Pada daerah telitian pemeta menempati 21% dari total luas daerah telitian.
Peneliti memasukkan kedalam pola subdendritik dikarenakan hanya terdapat
sebagian dari pola dasar dendritik. Pola Subdendritik berkembang pada hulu Kali
Krasak
3.1.1.4.3 Pola Paralel.
Pola aliran parallel adalah pola aliran yang terbentuk dari cabang-cabang sungai
sejajar. Pola aliran terdapat pada daerah Pohijo. Pada daerah telitian pemeta
menempati 47% dari total luas daerah telitian. Pola Paralel berkembang pada Kali
Galok.
-
Gambar 3.6. Pola pengaliran daerah telitian berdasarkan (A.D Howard, 1966)
Keseluruhan pola pengaliran diatas terbentuk dari percabangan sungai utama pada
daerah telitian yaitu Sungai Krisak. Secara genetis sungai sungai tersebut dibagi
menjadi 2 yaitu : sungai obsekuen yang mengalir berlawanan dengan arah
kemiringan lapisan batuan dan sungai subsekuen yang mengalir sepanjang jurus
perlapisan batuan dan membentuk lembah sepanjang daerah yang lunak.
3.1.1.5. Stadia Geomorfologi dan Tahapan Erosi
Stadia geomorfologi dan tahapan erosi dipengaruhi oleh faktor iklim, relief
(kelerengan), struktur geologi, sifat fisik dan resistensi batuan, serta siklus erosi dan
fluviatil yang berlangsung. Pengaruh tersebut menyebabkan terjadinya perubahan
topografi yang akhirnya membentuk topografi seperti sekarang.
Penentuan tingkat stadia erosi dan geomorfologi daerah telitian didasarkan pada
hasil pengamatan lapangan yang meliputi bentuk lembah dan bentuk memanjang
sungai, pola aliran, sudut kelerengan dan litologi. Untuk menunjang hasil
pengamatan lapangan, penulis kemudian melakukan analisis sudut kelerengan secara
kuantitatif dan pola pengaliran berdasarkan interpretasi dari peta topografi.
Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa perkembangan erosi pada daerah telitian
sudah berkembang kearah erosi samping yang menyebabkan terbentuknya lembah
lembah yang lebar dan dalam dengan kelerengan yang hampir datar serta
menyerupai huruf U, dengan bentuk sungai yang lebar dan memanjang serta
-
berkelok kelok (bermeander), di beberapa tempat soil yang tebal dan menutupi
singkapan batuan pada daerah telitian menunjukkan bahwa proses erosi dan
pelapukan telah berjalan secara intensif.
Hasil analisis kemiringan lereng secara kuantitatif menunjukkan dominasi
kelerengan yang hampir datar hingga miring pada daerah telitian, sedangkan
perubahan pola pengaliran dari dendritik ke subdendritik merupakan akibat dari
suatu proses erosi yang intensif, litologi, topografi dan struktur geologi.
Berdasarkan hal-hal diatas dapat diketahui bahwa stadia geomorfologi dan tahapan
erosi pada daerah telitian adalah stadia dewasa - tua.
3.1.1.6.. Proses Geologi Muda
Proses geologi muda yang terdapat pada daerah telitian berupa proses pelapukan,
erosi, transportasi dan deposisi, yang dipengaruhi oleh jenis litologi, vegetasi, iklim
serta struktur geologi yang bekerja.
Proses pelapukan yang bekerja pada daerah telitian sebagian besar dikontrol oleh
pelapukan mekanis (mechanical weathering). Pelapukan mekanis adalah pelapukan
yang diakibatkan oleh 1. Proses perubahan volume akibat pembekuan air di dalam
pori-pori batuan, 2. Perubahan suhu yang sangat besar karena pemanasan dan
pendinginan yang silih berganti, 3. Kegiatan organisme baik tanaman maupun
manusia. Pelapukan mekanis atau fisik pada batuan dapat disebabkan oleh: 1.
Tekanan atau beban, terkena panas terutama sinar matahari, dan adanya pertumbuhan
kristal pada batuan (Reichi, 1950). Batuan yang terkena tekanan dan panas akan
menyebabkan crack, dan inilah awal dari pelapukan. Setelah batuan pecah,
terutama batuan berbutir maka akan terjadi granular exfoliation atau disintegrasi
Proses granular exfoliation pada batuan berbutir maka akan terjadi Exfoliation
dome dan spheroidal weathering (pelapukan mengulit bawang) Erosi yang
berkembang pada daerah telitian berupa gulley erosion dan sheet erosion yang terjadi
pada bagian kaki punggungan dan menghasilkan bentukan lembah yang lebar.
Kedua proses diatas mengontrol besarnya transportasi suplai sedimen pada sistem
fluviatil yang bekerja pada aliran Sungai Kresek dan Sungai Galok yang semakin
-
lama semakin mengalami pendangkalan, hal ini membuktikan bahwa proses geologi
muda yang bekerja pada daerah telitian berjalan secara intensif dan bersifat kontinyu.
3.2. Stratigrafi Daerah Telitian
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, serta analisa kandungan fosil yang
didapatkan selama penelitian berlangsung, dan setelah dibuat penampang
stratigrafinya maka penulis membagi daerah telitian ini tersusun oleh beberapa
satuan batuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut: (Tabel 3.2)
1. Satuan Breksi Nglanggran
2. Intrusi Andesit
3. Satuan Batugamping Sampung
4. Satuan Tuf Jabolarangan
5. Satuan Lahar Lawu
6.
N 8N 7N 6N 5N 4
N23N22
N 15N 14N 13N 12N 11N 10N 9
N 17N 16
N21N20N19N18
Satuan Lahar LawuKomponen andesit, basal dan sedikit batuapung beragam ukuran yang bercampur dengan pasir gunung api .
Satuan Tuf JabolaranganTuf lapili dan breksi batuapung. Pada daerah telitian fragmen breksi relatif membundar terdapat dalam masa dasar batupasirsangat halus sampai batupasir halus .
Satuan Batugamping SampungPerulangan kalkarenit dan napal, batugamping terumbu,batulempung gampingan, dan napal tufan.
Satuan Breksi NglanggranBreksi volkanik, abu-abu dengan fragmen andesit, tuff, fragmen berukuran 4-256 mm dalam masa dasar batupasir halus-batupasir kasar, menyudut, kemas terbuka.
Satuan Intrusi AndesitIntrusi andesit, berupa dike, masif, sebagian terisi mineral-mineral sekunder berupa urat-urat kuarsa.
TERS
IER
ZAMAN KALA
UMUR GEOLOGI
BLO
W(1
969)
AKHIR
SIMBOLLITOSRATIGRAFI
SATUAN BATUAN
AWAL
TENGAH
KUA R
TER
M I
O S
E N
PLIO
SEN
PLIS
TOSE
N
AWAL
TENGAH
AKHIR
Tmn
Tms
Tma
Qtj
Qll
Breksi Nglanggran
Batugamping Sampung
Tuf Jabolarangan
Lahar Lawu
KETERANGAN
Intrusi Andesit
HOLO
SEN
Hiatus ( Tidak ada pengendapan)
Gambar 3.7. Staratigrafi Daerah Telitian menurut (Penulis 2010)
Hasil pemetaan geologi yang terdiri dari beberapa satuan batuan dan formasi
disajikan dalam peta geologi (Lampiran 2)
3.2.1. Satuan Breksi Nglanggran
3.2.1.1. Litologi penyusun dan ciri-ciri
-
Pada Satuan Breksi Nglanggran tersusun atas breksi volkanik dengan fragmen
monomik berupa batuan andesit, batupasir volkanik, serta terdapat sisipan lava
andesit dan sisipan tuf (Foto.3.8). Ciri-ciri di lapangan umumnya batuanya berwarna
abu-abu cerah, menunjukkan struktur masif; tekstur: ukuran butir 4 mm - 256 mm,
derajat pemilahan terpilah buruk, derajat pembundaran menyudut - menyudut
menyudut tanggung, fragmen andesit (hornlande,kuarsa,biotit), matrik pasir
volkanik, semen silika. Dengan sisipan lava dan tuf. Pada satuan breksi ini resistensi
batuan cukup kuat sehingga proses pelapukan pada batuan penyusun dapat dikatakan
lemah.
Hasil analisa petrografi: Sayatan tipis batuan piroklastik (batupasir volkanik pada
matrik); warna kuning; bertekstur klastik, ukuran butir 0,51 mm; grain supported,
dengan bentuk butir menyudut-agak menyudut; yang disusun oleh; Kristal, Lithic
dan vitric. Kristal (55%) terdiri dari orthoklas (25%), plagioklas (15%), hornblende
(8%), biotit (7%), opaq mineral (5%), Lithic (20%), Vitric (20%). crisytal Tuff
(Menurut Klasifikasi William, 1954)
Sayatan tipis batuan beku intermediet vulkanik (Lava Andesit); hipokristalin; fanerik
halus, euhedral-subhedral, ukuran butir 0,10,5 mm; inequigranular vitroverik,
disusun atas Kristal dan Gelas. Kristal (50%) terdiri dari plagioklas (25%) fenokris
plagioklas dengan jenis andesine dan mikrolit plagioklas dengan jenis labradorit,
hornblende (15%), opak mineral (7%), Kuarsa (3%), Gelas (50%). Andesite
(Menurut Klasifikasi William, 1954)
Sayatan tipis batuan piroklastik (Tuf); warna kuning; bertekstur klastik, ukuran butir
00,5 mm; yang disusun oleh; Kristal, Lithic dan vitric. Vitric (55%) sebagai masa
dasar, Kristal (35%) terdiri dari kuarsa (20%), plagioklas (5%), opaq mineral (3%),
biotit (2%), Lithic (15%). Vitric Tuff (Menurut Klasifikasi William, 1954)
3.2.1.2. Umur dan hubungan stratigrafi
Berdasarkan Peta geologi regional lembar Ponorogo penentuan umur berdasarkan
kesebandingan, Satuan Breksi Nglanggran ini diperkirakan berumur Miosen awal
(Sampurno dan H.Samodra 1997). Satuan Breksi Nglanggran pada daerah telitian
penulis merupakan satuan batuan yang berumur paling tua.
-
3.2.1.3. Lingkungan pengendapan.
Satuan Breksi Nglanggran terbentuk pada lingkungan pengendapan vulkanik.
Berdasarkan karakteristik litologi pada pengamatan penampang stratigrafi terukur 1
Gondang dengan kehadiran batupasir, breksi, dan lava. Kehadiran batupasir dengan
masa dasar tuf serta breksi dengan masa dasar tuf dapat dimasukkan kedalam
endapan breksi tuf. Berdasarkan Fasies Gunung Api menurut modifikasi Sutikno
Bronto (2006) dari model pembagian Fasies Gunung Api menurut (Bogie &
Mackinzie, 1998) pada pengamatan penampang stratigrafi 1 dapat dimasukkan dalam
Fasies Proksimal.
3.2.1.4. Penyebaran.
Penyebaran dari Satuan Breksi Nglaggran ini berada pada bagian tengah sampai
bagian Timur yaitu didaerah Pohijo, Gunung Watukurut, Gunung Janti hingga ke
desa Gondang. Topografi yang ada di daerah ini bergelombang sedang karena
intensitas pelapukan lemah. Luas dari penyebaran Satuan Breksi Nglanggran ini
kurang lebih 30% dari keseluruhan peta.
b. tuf
a. Batupasir volkanik
-
c. Lava dengan xenolit tuf
Gambar3.8. Foto Singkapan satuan batuan breksi Nglanggran dengan kedudukan N 175E /8 (LP 91) Arah kamera: Barat laut ( N 300E).
3.2.2. Satuan Intrusi Andesit
3.2.2.1. Litologi penyusun dan ciri-ciri
Pada Satuan Intrusi Andesit tersusun atas batuan beku andesit ,berupa intrusi dengan
ciri di lapangan umumnya batuan beku intermediet vulkanik, warna.fresh : abu-abu
kehitaman, warna.lapuk : kuning-kecoklatan, tekstur ; d.kristalisasi : hipokristalin,
granularitas : fanerik sedang (1 5 mm), kemas : euhedral, relasi : inequigranular-
porfiritik, komp.min : hornblende, piroksen, biotit , kuarsa. (Gambar.3.9)
Pada Satuan Intrusi Andesit ini resisteni batuan cukup kuat, tetapi karena intensitas
pelapukan yang tinggi serta terdapat kekar-kekar tiang sehingga proses pelapukan
pada batuan penyusun dapat dikatakan kuat.
Hasil analisa petrografi : Batuan beku vulkanik ,warna abu-abu kehijauan, tekstur
porfiritic (fenokris tertanam dalam oleh masa dasar), bentuk subhedral-anhedral,
komposisi mineral terdiri dari mineral plagioklas, kuarsa, piroksen, hornblende,
mineral opak dan gelas. Pyroxene Andesite (klasifikasi Williams, 1982)
3.2.2.2. Umur dan hubungan stratigrafi
Berdasarkan geologi regional lembar Ponorogo penentuan umur berdasarkan
kesebandingan, satuan intrusi andesit ini diperkirakan berumur Miosen awal
(Sampurno dan H.Samodra 1997). Satuan Intrusi Andesit menerobos Satuan Breksi
Nglanggran, sehingga satuan intrusi andesit memiliki hubungan intrusi yang
menerobos Satuan Breksi Nglanggran.
3.2.2.3. Penyebaran
Penyebaran dari satuan andesit ini berada pada bagian tenggara daerah telitian.
Topografi yang berada di daerah Gunung Sungkut, daerah ini terjal dengan
kelerengan kurang lebih 50%, dengan intensitas pelapukan lemah. Luas dari
penyebaran satuan intrusi andesit ini kurang lebih 4% dari keseluruhan peta.
-
Gambar.3.9.Foto Singkapan andesit pada satuan intrusi andesit. Berupa sill dengan kenampakan
kekar tiang (LP 39). Dengan arah umum N 010/60E , Arah kamera: Utara (N 010E),
Gambar.3.9. Foto Singkapan andesit pada satuan intrusi andesit (LP39) Arah kamera: Utara ( N 010E)
3.2.3. Satuan Batugamping Sampung
3.2.3.1. Litologi penyusun dan ciri-ciri
Pada Satuan Batugamping Sampung tersusun dari batugamping terumbu dan
batugamping klastikan. Ciri-ciri di lapangan umumnya batuan batugamping klastik,
warna coklat-krem, grain suppoted, komposisi didominasi oleh fosil foraminifera
dengan detritus, kalsit (Gambar.3.10 dan Gambar.3.11) Tersingkapnya di daerah
Bakalan.
Hasil analisa petrografi :
Sayatan tipis batugamping klastik, warna kuning, mud suppoted, komposisi
didominasi oleh lumpur, fosil dengan detritus, kalsit, dan mineral opak, butiran
-
berukuran 1 5 mm.) Allochem/Fosil, (30%), tidak berwarna kecoklatan, relief
sedang, bentuk sebagian besar pecah (skeletal), bias rangkap ekstrim, berupa foram
plankton dan bentos serta pecahan ganggang / koral, berukuran 15 mm, hadir
merata dalam sayatan., Opaq (2%), Hitam, relief tinggi, indeks bias n>nKb,
berukuran 0,10,5 mm, agak membundar. Mikrit/ Lumpur (38%), tidak berwarna,
berukuran kurang dari 0,02mm, warna interferensi sangat tinggi ekstrim, hadir
merata dalam sayatan. Sparit/Kalsit (30%), berwarna kuning, relief rendah,
berukuran 0,050,5mm, relief rendah hadir merata dalam sayatan Wackstone
(klasifikasi Dunham, 1962)
3.2.3.2. Umur dan hubungan stratigrafi
Berdasarkan analisa mikropaleontologi foraminifera plankton di dapatkan fosil
Orbulina universa, Globigerinoides trilobus, Globigerinoides altiapertura,
Globorotalia siakensis, Globorotalia mayeri, Globorotalia perpheroacula,
Globorotalia altispira, Globigerinoides sacculifer dan didapatkan umur relatif N 9
N 13 dan N 13 N 15. Satuan Batugamping Sampung terendapkan di atas Satuan
Breksi Nglanggran, dan hanya menumpang diatas Satuan Breksi Nglanggran dan
Satuan Intrusi Andesit. Memiliki hubungan tidak selaras dengan Satuan Breksi
Nglaggran. Analisa foraminifera plankton (Lampiran 2)
3.2.3.3. Lingkungan pengendapan
Satuan Batugamping Sampung terbentuk pada lingkungan pengendapan laut.
Berdasarkan ciri-ciri litologi satuan batugamping sampung yang terdapat fosil-fosil
koral, foram besar dan analisa foraminifera bentos dapat disimpulkan lingkungan
pengendapanya neritik tengah-tepi.
3.2.3.4. Penyebaran
Penyebaran dari Satuan Batugamping Sampung ini berada pada bagian tengah dari
bagian selatan peta. Berada pada gunung Gedonggiyono, gunung Sendoro dan daerah
Bakalan.Topografi yang ada di daerah ini bergelombang sedang karena intensitas
pelapukan lemah. Luas dari penyebaran satuan batugamping sampung ini kurang
lebih 14% dari keseluruhan peta.
-
Gambar.3.10. Foto Singkapan batugamping pada Satuan Batugamping Sampung (LP 31)
Daerah: Gunung Gedonggiyono, Arah kamera: Barat daya ( N185E).
a. Kenampakan fosil koral hadir b. Kenampakan perselingan batu- c.Kenampakan kuburan fosil
sebagai fragmen gamping pasiran dengan napal
Gambar.3.11. Foto Singkapan batugamping pada Satuan Batugamping Sampung (LP 48) Daerah: Bakalan, Kedudukan: N 265E/ 8, Arah kamera: Timur (N 090E), Cuaca: Cerah
Fosil
-
3.2.4. Satuan Tuf Formasi Jabolarangan
3.2.4.1. Litologi penyusun dan ciri-ciri
Pada Satuan Tuf Jabolarangan tersusun atas tuf lapili dan breksi batuapung. Dengan
ciri di lapangan umumnya batuan piroklastik, warna.fresh : putih, warna.lapuk :
kuning-. (Gambar.3.12)
3.2.4.2. Umur dan hubungan stratigrafi
Berdasarkan geologi regional lembar Ponorogo penentuan umur berdasarkan
kesebandingan. Satuan Tuf Jabolarangan ini diperkirakan berumur plistosen tengah -
plistosen akhir (Sampurno dan H.Samodra 1997). Satuan Tuf Jabolarangan
menumpang secara tidakselaras diatas Satuan Breksi Nglanggran.
3.2.4.3. Fasies Gunung Api.
Satuan Tuf Jabolarangan terbentuk pada Fasies Gunung Api medial. Berdasarkan
karakteristik litologi pada pengamatan lapangan Puhpelem dengan kehadiran breksi
batuapung dan batupasir tufan. dapat dimasukkan kedalam endapan tuf. Berdasarkan
modifikasi Fasies Gunung Api menurut Sutikno Bronto (2006) mengacu kepada
model Pembagian Fasies Gunung Api menurut Bogie & Mackinzie (1998) pada
pengamatan lapangan Pohijo dapat dimasukkan dalam Fasies Medial.
3.2.4.4. Penyebaran
Penyebaran dari Satuan Tuf Jabolarangan ini berada pada bagian barat laut daerah
telitian. Topografi yang berada di daerah Puhpelem, daerah ini landai dengan
kelerengan kurang lebih 5%, dengan intensitas pelapukan kuat. Luas dari penyebaran
satuan tuf Jabolarangan kurang lebih 16% dari keseluruhan peta.
-
Gambar.3.12. Foto Singkapan breksi batuapung pada Satuan Tuf Jabolarangan Daerah: Bakalan, Arah kamera: Timur (N 270E), Cuaca: Cerah
Gambar.3.12. Foto Singkapan breksi batuapung pada Satuan Tuf Jabolarangan Daerah: Bakalan, Arah kamera: Timur (N 270E), Cuaca: Cerah
3.2.5. Satuan Lahar Formasi Lawu
3.2.5.1. Litologi penyusun dan ciri-ciri
Pada Satuan Lahar Lawu tersusun atas komponen andesit dan sedikit batuapung
beragam ukuran yang bercampur dengan pasir gunungapi. Dengan ciri di lapangan
umumnya batuan piroklastik, warna.fresh : putih, warna.lapuk : kuning (Gambar.3.13)
3.2.5.2. Umur dan hubungan stratigrafi
Berdasarkan geologi regional lembar Ponorogo, penentuan umur berdasarkan
kesebandingan. ini diperkirakan berumur Holosen (Sampurno dan H.Samodra 1997).
Secara stratigrafi gunungapi Satuan Lahar Lawu menumpang secara selaras diatas
Satuan Tuf Jabolarangan.
3.2.5.3. Fasies Gunung Api.
Satuan Lahar Lawu terbentuk pada lingkungan pengendapan vulkanik medial.
Berdasarkan karakteristik litologi pada pengamatan lapangan Pohijo dengan
kehadiran Breksi laharik dan Batupasir tufan. dapat dimasukkan kedalam endapan
lahar. Berdasarkan modifikasi Fasies Gunung Api menurut Sutikno Bronto (2006)
mengacu kepada model Pembagian Fasies Gunung Api menurut Bogie & Mackinzie
(1998) pada pengamatan lapangan Pohijo dapat dimasukkan dalam Fasies Medial.
3.2.5.3. Penyebaran
-
Penyebaran dari Lahar Lawu ini berada pada bagian utara daerah telitian berarah
barat laut- tenggara. Topografi yang berada di daerah Sayutan dan daerah Pohijo,
daerah ini landai dengan kelerengan kurang lebih 5%, dengan intensitas pelapukan
sedang. Luas dari penyebaran satuan lahar lawu kurang lebih 36% dari keseluruhan
peta.
Gambar.3.12. Foto Singkapan breksi lahar lawu kontak dengan batupasir tufan pada Satuan Lahar Lawu (LP 24), Daerah: Pohijo, Kedudukan: N 300E/7, Arah kamera: Timur laut (N 050E).
3.3 Struktur Geologi Daerah Telitian.
Analisis struktur geologi yang terdapat didaerah penelitian didasarkan pada data
data pengukuran bidang kekar, jurus dan kemiringan perlapisan batuan serta
kenampakan offset dari perlapisan batuan yang telah bergeser dilapangan, dimana
dari hasil pengeplotan kedudukan tersebut menunjukkan arah umum tegasan daerah
telitian dan pola struktur lipatan. Sedangkan dari hasil pengamatan offset dari lapisan
batuan yang dijumpai dilapangan menunjukkan struktur sesar dengan sudut
kemiringan bidang yang besar.
Macam struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian adalah struktur sesar,
berupa : sesar normal (turun).
3.3.1. Struktur Sesar
Sesar adalah merupakan suatu bidang rekahan atau rekahan yang telah mengalami
pergeseran akibat adanya gaya yang bekerja (D.M.Ragan,1973).
Insert foto
-
Penulis menentukan jenis sesar yang ada pada daerah telitian berdasarkan
kenampakan dari pergerakan relatif lapisan batuan yang telah bergeser dan hasil
pengukuran kedudukan bidang sesar yang ditemui.
Pada daerah penelitian, ada tiga buah struktur sesar yang penulis temukan, yaitu
sesar normal.
3.3.1.1. Sesar Normal Gondang
Pada daerah penelitian, sesar normal ini terdapat di sekitar desa gondang pada lokasi
pengamatan 91, Sesar tersebut terdapat pada satuan breksi yang berarah kurang lebih
timur - barat.
Indikasi keberadaan sesar
Indikasi keberadaan struktur sesar ini di lapangan adalah ditemukannya adanya offset
sesar berupa bidang sesar yang ditunjukan adanya pergeseran dari lapisan batuan
pada batupasirtufan. (Gambar.3.14).
3.3.1.2. Sesar Normal Watukurut
Pada daerah penelitian, sesar normal ini terdapat di sekitar desa gondang pada lokasi
pengamatan 48, Sesar tersebut terdapat pada satuan breksi yang berarah kurang lebih
timur -barat.
Indikasi keberadaan sesar
Indikasi keberadaan struktur sesar ini di lapangan adalah ditemukannya adanya offset
sesar berupa bidang sesar yang ditunjukan adanya pergeseran dari lapisan batuan
pada batupasirtufan. (Gambar.3.15).
Gambar 3.14.Foto offset bidang sesar normal Gondang dengan kedudukan
bid.sesar N 084E/64. Arah kamera: Barat ( N 270E), Cuaca: Cerah
-
Gambar 3.15. Foto offset bidang sesar normal Watukurut dengan kedudukan bid.sesar N 086E/80
Arah kamera: Barat ( N 285E), Cuaca: Cerah
3.4. Sejarah Geologi
Sejarah geologi daerah telitian dimulai pada periode Tektonik kala Oligosen
Miosen awal. Periode tektonik ini yang membentuk aktivitas gunung api pada kala
Oligosen - Miosen awal. Aktivitas gunung api pada kala ini merupakan sumber dari
diendapkannya Satuan Breksi Nglanggran. Kemudian pada kala Miosen awal
aktivitas vulkanik masih terjadi sehingga menghasilkan penerobosan magma berupa
andesit yang muncul dari zona-zona lemah yang mengakibatkan sebagian batuan
yang yang di intrusi oleh andesit sehingga mengalami alterasi. Satuan Breksi
Nglanggran diterobos oleh Satuan Intrusi Andesit, selanjutnya diendapkan secara
tidak selaras Satuan Batugamping Sampung pada kala Miosen awal Miosen tengah.
Dengan diendapkannya Satuan Batugamping Sampung berarti berakhir pula aktivitas
gunung api pada kala Oligosen Miosen awal. Pada kala Miosen tengah Miosen
akhir terjadi aktivitas genang laut sehingga dapat membentuk koloni organisme
terumbu yang tumbuh pada lereng-lereng gunung api Formasi Nglanggran yang
sudah tidak aktif. Organisme terumbu ini nantinya akan membentuk Satuan
Batugamping Sampung. Dari analisa paleontologi foraminifera palnkton Satuan
Batugamping Sampung berumur N 10 - N 15 (Miosen Tengah-Miosen Akhir).
Selanjutnya diatas Satuan Batugamping Sampung diendapkan secara tidak selaras
Satuan Tuf Jabolarangan. Satuan Tuf Jabolarangan diendapkan pada kala Plistosen
tengah - Plistosen akhir. Hadirnya satuan batuan ini menandakan adanya fase
tektonik yang baru, yaitu pada periode kala Plistosen Holosen yang membentuk
aktivitas gunung api pada kala Plistosen Holosen. Selanjutnya diatas Satuan Tuf
Jabolarangan diendapkan secara selaras Satuan Lahar Lawu.
-
BAB 4
STUDI FASIES GUNUNG API
4.1. Dasar Teori
Fasies adalah aspek fisika, kimia, dan biologi suatu endapan dalam kesamaan waktu
(Sandi Stratigrafi Indonesia, Martodjojo dan Djuhaeni, 1996). Berhubung di dalam
batuan gunung api tidak selalu dijumpai fosil, maka aspek biologi tidak dijadikan
parameter utama (Sutikno Bronto, 2006).
Gunung Api yaitu tempat di permukaan bumi di mana magma dari dalam bumi
keluar atau sudah keluar pada masa lampau, biasanya membentuk sebuah gunung
berupa kerucut yang mempunyai kawah di bagian puncaknya (Schieferdecker, 1959).
Macdonald (1972) menyatakan bahwa gunung api adalah tempat atau bukaan dari
mana batuan kental pijar atau gas, umumnya keduanya, keluar dari dalam bumi ke
permukaan, dan tumpukan bahan batuan di sekeliling lubang kemudian membentuk
bukit atau gunung. Dari dua batasan tersebut dinyatakan bahwa setiap temapat
keluarnya magma ke permukaan bumi adalah gunung api.
Dikarenakan Fasies Gunung Api erat hubungannya dengan batuan piroklastik, maka
harus tahu terlebih dahulu pengertian dari batuan piroklastik. Batuan Piroklastik
adalah batuan volkanik klastik yang dihasilkan oleh serangkaian proses yang
berkaitan langsung dengan letusan gunung api (Cas & Wright, 1987).
4.1.1. Tipe Gunung Api di daerah telitian
Berdasarkan penelitian dari Sutikno Bronto (2006) bahwa di Pegunungan Selatan
dan Perbukitan Jiwo, Yogyakarta-Jawa Tengah diketahui ada tiga kelompok Gunung
api purba Tersier, yaitu Gunung api purba Parangtritis-Imogiri-Sudimoro, Gunung
api purba Baturagung-Bayat, Gunung api purba Wonogiri-Wediombo. Volkanisme
diawali dengan kemunculan Gunung api monogenesis yang sebagian berkembang
menjadi Gunung api komposit pada tahap membangun, dan diakhiri dengan tahap
destruksi membentuk Gunung Api kaldera. Volkanisme diduga menerus atau
tumpang tindih dari Eosen Tengah - Miosen Awal (40-19jt). Gunung Api
-
monogenesis terbentuk di dasar laut (dalam), yang pada tahap kontruksi tumbuh
menjadi kerucut Gunung api yang besar dan tinggi sehingga muncul di atas muka air
laut sebagai pulau Gunung api. Pada tahap destruksi, cekungan kaldera kembali
menjadi lingkungan laut (dalam).
Berdasarkan analisa dari penampang stratigrafi terukur 1 Gondang, di daerah telitian
ditemukan 1. Litofasies batupasir vokanik kerikilan, 2. Litofasies Lava, 3. Litofasies
tuf, dan 4. Litofasies breksi volkanik yang peneliti interpretasikan merupakan
endapan darat produk dari endapan piroklastik. Sehingga mengacu kepada pendapat
peneliti terdahulu Sutikno Bronto, 2008 daerah telitian berkembang Gunung Api
komposit, yang merupakan Gunung api pada tahap kontruksi, tumbuh menjadi
kerucut Gunung api yang besar dan tinggi sehingga muncul di atas muka air laut
sebagai pulau Gunung api. Berdasarkan tipe Gunung Api purba yang berkembang di
daerah penelitian, peneliti interpretasikan adalah tipe Gunung api Strato.
4.1.2. Jenis endapan piroklastik berdasarkan mekanisme pengendapannya
dapat dibagi menjadi 3 (Gambar 4.1), yaitu:
1. Endapan piroklastik jatuhan merupakan hasil endapan ekplosif dari gunung api
yang diendapkan melalui udara.
Ciri-ciri: Memperlihatkan struktur butiran bersusun dan endapan berlapis naik.
2. Endapan piroklastik aliran merupakan endapan piroklastik yang mana material
langsung teronggokan di suatu tempat.
Ciri-ciri: Sebarannya sangat dipengaruhi oleh morfologi, Batas bawah dibatasi
oleh area dan pada bagian atasnya relative datar dan umumnya mempunyai
struktur masif.
3. Endapan piroklatik surge merupakan endapan piroklastik yang berasal dari suatu
awan panas dengan kepadatan rendah, campuran dari unsure-unsur padat, uap air,
gas yang bergolak di atas permukaan dengan kecepatan tinggi.
Ciri-ciri: Perlapisan yang baik, adanya penjajaran butiran pipih dan adanya
perlapisan bergelombang.
-
1. Piroklastik Jatuhan