tantangan pendidikan gratis di ksb
DESCRIPTION
Pendidikan gratis di KSBTRANSCRIPT
1
POTRET PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS DI
KABUPATEN SUMBAWA BARAT-NTB1
Oleh : Syahrul Mustofa, S.H.,MH2
Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah merupakan Kabupaten yang baru terbentuk pada tahun 2003, dan baru memiliki Bupati dan Wakil Bupati Definitif untuk pertama kali pada tahun 2005. Dan pada
tahun 2006, Kabupaten Sumbawa Barat atau dikenal dengan KSB, meneyelenggarakan pendidikan gratis, mulai dari tingkat TK sampai dengan
Pendidikan Atas (Sarjana/S1), Pemerintah juga memberikan bantuan pendidikan untuk S2. KSB adalah Kabupaten Pertama dan satu-satunya
Kabupaten di Provinsi NTB yang melaksanakan program penyelenggaraan pendidikan gratis. Tulisan ini akan memberikan gambaran singkat mengenai bagaimana konsep pendidikan gratis di KSB? Bagaimana penyelenggaraan Pendidikan gratis di KSB? Kendala dan tantangan apayang dihadapi dalam
pelaksanaan program pendidikan gratis di KSB? Dan kemana aArah perubahan kebijakan pendidikan yang dituju KSB dimasamendatang?
A. Konsep Pendidikan Gratis Menurut Peraturan Bupati Nomor 11
Tahun 2006
1. Landasan Penyelenggaraan Program Pendidikan Gratis
Landasan pelaksanaan program pendidikan gratis di KSB adalah
berdasarkan Peraturan Bupati Sumbawa Barat Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Program Pendidikan Gratis di Kabupaten Sumbawa Barat,
peraturan ini ditetapkan pada tanggal 2 Mei 2006 dan diberlaku surut mulai
sejak tanggal 1 januari 2006. Secara umum, ada dua dasar pertimbangan
utama dikeluarkannya Perbup ini, sebagaimana tercantum dalam dasar
menimbang huruf a adalah “dalam rangka meningkatkan cakupan sasaran
pelayanan pendidikan kepada seluruh masyarakat, telah diambil suatu
kebijakan Pembiayaan Sekolah melalui Program Pendidikan Gratis di
Kabupaten Sumbawa Barat”. Huruf b bahwa “agar penyelenggaraan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat berjalan efektif, perlu
ditetapkan Pedoman Pelaksanaannya”.
1 Tulisan ini diambil dari buku pendidikan gratis di KSB (bab III), diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat Desa tahun 2012 atas dukungan dari oleh Tifa Foundation
2 Penulis adalah Peneliti pada Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat Desa (LEGITIMID) Kabupaten Sumbawa Barat
2
Merujuk pada dasar pertimbangan sebagaimana di atas, jelas bahwa
Perbup Program Pendidikan Gratis adalah sebagai pedoman pelaksanaan
program pelaksanaan program pendidikan gratis, kehadiran perbup ini
dimaksudkan untuk meningkatkan cakupan sasaran pelayanan pendidikan
kepada seluruh masyarakat. Dengan demikian, maka
keberadaan/kedudukan perbup menjadi sangat strategis dalam menentukan
kearahmana program dan apakah program pelayanan pendidikan gratis
dapat berjalan efektif ataukah tidak.
Sedangkan secara hukum, dasar hukum yang dirujuk atau dijadikan
sebagai dasar mengingat adalah satau kerangka acuan hukum pembentukan
Perbup ini, adalah sebanyak 13 peraturan, ke- 13 landasan peraturan itu
adalah meliputi :
a. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional;
b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Kabupaten Sumbawa Barat di Provinsi Nusa Tenggara Barat;
c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
sebagiamana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2005 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah sebagai
Undang-undang
d. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
e. Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;
f. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1990 tentang pendidikan
Dasar sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
55 Tahun 1998;
g. Peraturan Pemerintah nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Menegah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 56 Tahun 1998;
h. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1992 tentang Peran Serta
Masyarakat dalam Pendidikan Nasional;
i. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional
Pendidikan;
j. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 036/U/1995
tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar;
k. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah;
3
l. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 060/U/2002 tentang
Pedoman Pendirian Sekolah;
m. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Buku Teks Pelajaran.
2. Tujuan dan Sasaran Program Pendidikan Gratis
Tujuan dari program pendidikan gratis di KSB adalah :
a. Meringankan biaya pendidikan dari tingkat TK/RA, SD/MI,
SMP/MTs sampai SMA/SMK/MA baik negeri maupun swasta yang
sebelumnya menjadi tanggungan orang tua/wali siswa peserta belajar;
b. Memperkecil dan atau mengurangi angka putus sekolah dalam kurun
waktu selama 1-5 tahun di Kabupaten Sumbawa Barat
c. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Sumbawa
barat;
d. Meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi
Murni (APM).
Sedangkan yang menjadi Sasaran dari Program Pendidikan Gratis
adalah seluruh peserta didik yang terdaftar disekolahnya masing-masing
dan telah dilakukan oleh pihak sekolah serta dilaporakan kepada Dinas.
3. Para Pihak Terkait Dan Fungsi
Para pihak terkait untuk mendukung kelancaran dan suksenya
Program Pendidikan Gratis, maka dipandang perlu keterlibatan para
pihak, yakni
a. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaraga
Dinas teknis ini mempunyai tugas melakukan pendataan, dan
pemuktahiran data seluruh anak usia sekolah maupun tidak sekolah,
sebagai dasar untuk menerapkan mekanisme kerja. Sementara
fungsinya yaitu menysusn dan menetapkan mekanisme kerja dari
perncanaan yang telah disusun sebelumnya
b. Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda)
Menyusun perencanaan terhadap mekanisme kerja program
c. Inspektorat daerah
Melakukan pembinaan dan pengawasan, serta tugas lain yang menjadi
tupoksi dari Inspektorat Daerah, kaitannya dengan Pendidikan.
4
d. Dewan Pendidikan
Tugas dari lembaga ini memberikan dorongan, motivasi dan
pencerahan kepada masyarakat terhadap penyelenggaraan program.
Sebagai lembaga yang merepresentasikan masyarakat, maka
keberadaannya berfungsi sebagai corong untuk menyampaikan
aspirasi, menampung berbagaii masukan, dan menganalisa kebutuhan
tersebut, yang nantinya menjadi dasar pihak lainnya untuk
menjalankan program.
e. Unit Pengaduan Masyarakat (UPM)
Keberadaannya berfungsi mengawasi pelaksanaan program secara
informal, mengidentifikasi pelaksanaan program, dan memberikan
masukan terhadap penyelenggara program
f. Dinas Kehutanan, Pertanian, Perkebunan, dan Ketahanan Pangan
Membuat melaksanakan sistem Gerakan Sejuta Pohon sebagai syarat
bagi warga untuk mendapatkan peleyanan pendidikan gratis
g. Sekolah/Madrasah
Menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, dan memberikan
informasi serta data yang dibutuhkan oleh Dinas sesuai dengan
kebutuhan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan setiap tahun
anggaran
h. Guru
Melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam rangka mendukung
kelancaran dan keberhasilan program
i. Camat
j. Membantu kelancaran pelaksanaan program diwilayahnya, memantau
pelaksanaan program, untuk selanjutnya memberikan masukan
kepada sekolah-sekolah dan atau Dinas dalam rangka
penyempurnaan pelaksanaan program.
k. Kepala Desa
Membantu kelancaran pelaksanaan program diwilayah
Desa/Keluharan ditempatnya, memantau pelaksanaan program,
untuk selanjutnya memberikan masukan kepada sekolah-sekolah dan
atau KCD dalam rangka penyempurnaan pelaksanaan program.
l. Orang tua siswa
Melaksanakan Gerakan Sejuta Pohon sebagai prasyarat untuk
mendapatkan pelayanan pendidikan gratis, dan memberikan
5
dukungan secara materil maupun non materil terhadap pelaksanaan
rencana program sesuai dengan persetujuan komite sekolah.
m. Komite Sekolah
Mengkoordinir orang tua siswa untuk dapat berparfisifasi dalam
pelaksanaan program, membantu sekolah dalam menyelenggarakan
program, dan memantau pelaksanaan program, untuk selanjutnya
memebrikanmasukan masukan kepada sekolah guna penyempurnaan
pelaksanaan program.
4. Penggunaan Pembiayaaan Program dan Mekanise Pelaksanaan
Pembiayaan Program Pendidikan Gratis dipergunakan untuk :
a. Biaya operasional TK/RA senilai Rp.15.000,-/siswa/bulan
b. Biaya operasional SD/MI senilai Rp.5000,-/siswa/bulan sebagai
tambahan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah);
c. Biaya operasional SMP/MTs senilai Rp.5000,-/siswa/bulan sebagai
tambahan dana BOS
d. Biaya operasional SMA/MA senilai Rp.40.000,-/siswa/bulan
e. Biaya operasional SMK senilai Rp.50.000,-/siswa/bulan
Untuk dapat menerima biaya program pendidikan gratis, maka
setiap sekolah menyampaikan Daftar Nama Peserta Belajar kepada Dinas
Pendidikan dengan tembusan kepada Kepala Kantor Cabang setempat
paling lama akhir bulan desember setiap tahun, nama-nama yang telah
disampaikan sekolah kemudian Dinas Pendidikan melakukan verifikasi
dan pemutakhiran data peserta belajar berdasarkan tingkat
pendidikannya. Setelah melakukanverifikasi dan diperoleh data, Dinas
Pendidikan melakukan koordinasi dengan BPKAD guna kelancaran
proses administrasi keuangan. Dinas melakukan koordinasi dengan pihak
sekolah, terkait syarat-syarat pengajuan pencairan keuangan maupun
pertanggungjawabannya.
Peserta belajar yang dapat menerima bantuan pendidikan dari
program adalah siswa yang terdaftar disekolahnya masing-masing dan
atau telah mempunyai sertifikat GSP (Gerakan Sejuta Pohon). Dan pada
evaluasi pelaksanaan program dikaitkan dengan GSP dilaksanakan oleh
Dinas bersama dengan Dinas Kehutanan, Pertanian, Perkebunan dan
Ketahanan Pangan. Untuk memperlancar kegiatan evaluasi, Dinas
Pendidikan, Pemuda dan Olahraga dapat dibentuk Tim. Evaluasi
terhadap seluruh pelaksanaan Program wajib dilakukan oleh Dinas
Pendidikan untuk mengetahui keberhasilan dan kelemahan program dan
6
hasil evaluasi secara lengkap dilaporkan kepada Bupati.Sedangkan pihak-
pihak terkait lainnya diwajibkan untuk melakukan pemantauan terhadap
pelaskanaan program dan hasil pementauan tersebut disampaikan kepada
Bupati, Dinas, Tim dan lainnya.
B. Hasil Evaluasi Konsep dan Pelaksanaan Peraturan Bupati
Nomor 11 Tahun 2006
1. Kedudukan Perbup Tidak Dapat Menjamin Kepastian dan
Keberlanjutan program Pendidikan Gratis
Bila menilik kembali latar belakang sejarah, lahirnya Perbup maka
kita tidak lepas dari dinamika dan konsteleasi politik yang berkembang
ketika perbup ini dilahirkan adalah pasca pilkada langsung 2005. Ketika
itu, kondisi DPRD terfragmentasi begitu kuat, relasi eksekutif dengan
legislatif pada awal kepemimpinan Bupati kurang berjalan harmonis,
sebagian anggota DPRD KSB periode 1999-2004 menolak rencana
kebijakan program pendidikan gratis, rancangan peraturan daerah yang
disiapkan oleh Pemerintah Daerah pun “terpental” karena sebagian besar
anggota menilai kebijakan pendidikan gratis, sulit untuk dapat
dilaksanakan di KSB karena sebagai Kabupaten yang baru terbentuk pada
akhir tahun 2003, membutuhkan banyak anggaran untuk melaksanakan
berbagai agenda program dan kegiatan, khususnya terkait dengan agenda
pembangunan infrastuktur daerah yang membutuhkan proses yang cepat
disisilain ketersediaan dan kemampuan APBD daerah masih sangat
rendah. Sehingga dalam presfektif sebagian anggota DPRD menilai
kebijakan pendidikan gratis, sulit untuk diterapkan dan bukan
merupakan agenda prioritas pembangunan daerah tahun 2006.
Oleh karena, tidak adanya dukungan politik yang cukup besar
dikalangan legislative saat itu, sementara disisilain sosialiasi dan “janji
7
politik” bupati kepada rakyat untuk menggratiskan biaya pendidikan
mulai tingkat TK sampai dengan SMA/sederajat, telah tersosialisasikan
keseluruh pelosok desa dan telah memeproleh dukungan yang luas dari
masyarakat , khususnya masyarakat fakir miskin Dengan adanya
dukungan yang luas dan kuat dari masyarakat itulah, pada akhirnya
menjadi modal bagi pemerintah daerah untuk menginisiasi dan
memberanikan diri untuk menetapkan Perbup Program Pendidikan
Gratis, karena rancangan peraturan daerah tidak dapat diakomodir oleh
DPRD.
Masalah dan Analisis Terkait Kedudukan Perbup
Secara konseptual, dalam hireraki perundang-undangan, kedudukan
Peraturan Bupati ini adalah berada pada tingkatan terendah karena
itu dari aspek hukum landasan dan kekuatan hukum untuk menjamin
kepastian keberlangsungan terhadap program pendidikan gratis yang
berkelanjutan masih belum efektif.
Ancaman terhadap keberlangsungan program pendidikan gratis
masih cukup potensial, karena landasan dan kekuatan hukum untuk
menjamin keberlangsungan program pendidikan gratis hanya di
payungi oleh perbup. Oleh karena hanya melalui perbup sementara
hierarki perbup berada pada tingkatan terendah, maka : (a) Potensi
peluang untuk dapat dibatalkan perbup masih terbuka lebar karena
kedudukannya (perbup) yang paling rendah dalam hierarkis
perundang-undangan sehingga perbup sesuai asas perundang-
undangan, tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi (b) tidak adanya jaminan kepastian dan keberlanjutan terhadap
penyelenggraan program pendidikan gratis yang berkualitas dimasa
mendatang, karena perbup hanya mencerminkan komitmen dan
tanggung jawab politik yang terbatas pada lingkup Bupati, bukan
merupakan cermin dari komitmen politik dan tanggung jawab
bersama seluruh pihak, khususnya DPRD. Ancaman terhadap
terhentinya program pendidikan gratis akan sangat terbuka lebar
untuk dihilangkan atau dihapuskan ketika pada akhir masa jabatan
8
Bupati 2015, dan Kepala Daerah terpilih nantinya tidak memiliki
komitmen untuk melanjutkan program pendidikan gratis, maka dapat
dipastikan pula pada tahun 2015, program pendidikan gratis yang
selama ini dilaksanakan dapat berakhir ditengah jalan. Dan tentu, hal
ini akan menjadi persoalan sosial baru bagi masyarakat KSB.
Arah Penyempurnaan
Bentuk produk hukum yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program
pendidikan gratis adalah dalam bentuk Peraturan Daerah bukan
dalam bentuk Peraturan Bupati sebagaimana yang berlangsung
selama ini. Oleh karena ; (1) kedudukan PERDA merupakan salah satu
jenis Peraturan Perundang-undangan dan merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Dan pada saat ini
mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena diberikan
landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 18
ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang menyatakan “Pemerintahan Daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi daerah dan tugas pembantuan”. Berdasarkan UU No.10
Tahun 2004 Tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan serta hierarkhi perundang-undangan kedudukan Perda di
atas Peraturan Bupati.
Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 pasal 146 ayat (1) menjelaskan
bahwa Materi muatan Peraturan Kepala Daerah adalah
materi untuk melaksanakan Peraturan Daerah atau atas
kuasa peraturan perundang-undangan. Jadi beranjak dari
ketentuan tersebut akan lebih tepat, jika Program Pendidikan Gratis
ditetapkan melalui Peraturan Daerah, dan terhadap materi yang
memerlukan peraturan lebih lanjt/aturan pelaskaaan diatur dalam
Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati.
Dengan ditetapkannya program pendidikan gratis melalui perda,
maka komitmen untuk melaksanakan program pendidikan gratis
bukan hanya semata dari Bupati melainkan pula DPRD—sehingga
Bupati dan DPRD sama-sama bertanggung jawab untuk memastikan
keberlanjutan terhadap program pendidikan gratis.
9
2. Dasar Hukum Yang Digunakan Tidak Relevan Lagi Dengan
Peraturan Perundang-Undang Yang Berlaku Saat ini.
Dalam peraturan Bupati Nomor 11 Tahun 2006, dalam dasar
hukumnya (dasar mengingat), oleh perancang peraturan tidak
memasukkan lembara negara/daerah dan tambahan negara dari
setiap peraturan yang dicantumkannya. Padahal, persoalan ini
bukanlah persoalan yang sederhana, melainkan sangat mendasar
karena menyangkut keabsahan dan keberlakuan suatu produk
hukum.
Beberapa dasar hukum yang digunakan yang memeiliki
keterterkaitan langsung dengan materi pendidikan sangat terbatas
untuk dimasukkan kedalam dasar pertimbangan, justeru dasar
hukum yang digunakan tidak memiliki korelasi dengan substansi
yang diatur. Disamping itu, jika merujuk pada dasar hukum yang
digunakan saat ini sebagai dasar dari pembentukan Peraturan Bupati
Nomor 11 tahun 2006, maka sudah kurang relevan lagi untuk
digunakan karena berbagai perubahan kebijakan peraturan
perundang-undangan baru.
Oleh sebab itu, seiring dengan dinamika perkembangan dalam bidang
pendidikan dan perkembangan kebijakan peraturan perundang-
undangan yang lahir dan berlaku saat ini, maka kiranya perlu, dasar
hukum penyelenggaraan program pendidikan gratis disesuaikan
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku saat ini.
Perubahan Peraturan Bupati menjadi Peraturan Daerah diarahkan
pula pada perubahan terhdap landasan hukum terkait program
pendidikan gratis, dan untuk itu pula perubahan peraturan ini akan
merespons sejumlah peraturan baru terkait dengan penyelenggaraan
pendidikan gratis, diantaranya; Peraturan Pemerintah 74 Tahun
2008 tentang Guru, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008
tentang Wajib Belajar; Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008
tentang Pendanaan Pendidikan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 Tentang pelayanan Publik dan beberapa peraturan terkait
lainnya.
10
3. Masih Minimnya Cakupan Materi Yang Diatur dan
Ketidakjelasan Materi Yang Diatur Dalam Peraturan Bupati
Secara umum konsep atau materi Peraturan Bupati Nomor 11 Tahun
2006 masih banyak terdapat kelemahan. Kelemahan tersebut adalah
terkait dengan cakupan materi dan ketidakjelasan materi yang diatur
dalam Peraturan Bupati Nomor 11 Tahun 2006. Secara rinci
Peraturan Bupati terdiri dari 7 Bab dengan jumlah pasal sebanyak 26
pasal yang mengatur tentang ketentuan umum, tujuan dan sasaran,
para pihak terkait dan tugas fungsi, penggunaan pembiaayan
program, mekanisme pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan,
pendataan dan pelaporan. Dari hasil kajian terhadap muatan materi
peraturan bupati serta kalimat perundang-undangan yang digunakan
dalam perumusan pasal demi pasal terdapat beberapa kelemahan
antara lain, sebagai berikut ini:
No
Pasal Subtansi yang diatur
Kelemahan
1 Pasal 3 Sasaran Penerima Program Pendidikan Gratis
a. Tidak mengatur syarat dan perlengkapan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerima program pendidikan gratis
b. Tidak mengatur mekanisme dan format verifikasi serta petunjuk teknis atau pedoman bagi sekolah-sekolah untuk melakukan verifikasi
2 Pasal 4 dan pasal 5
Para Pihak Terkait dan Tugas Fungsi
a. Tidak ada petunjuk pelaksana maupun petunjuk teknis dari para pihak untuk melaksanakan tugas fungsinya, cakupan dan batasan lingkup tugas dan fungsi, hak dan kewajiban para pihak, sanksi dan sebagainya.
b. Uraian tugas yang dijabarkan dalam perbup lebih kepada uraian fungsi dari tupoksi masing-masing dinas/badan yang berlaku selama ini yang “tanpa” diatur dalam perbup pun memang melaksanakan fungsi tersebut.
c. Tentang Unit Pengaduan Masyarakat (UPM), tidak
11
jelas kedudukannya dimana, personil, mekanisme dan tata kerja, hak dan kewajiban dan lain sebagainya, tidak diatur dalam perbup, dan hingga saat ini tidak ada petunjuk teknis maupun petunjuk pelaksana mengenai UPM
3 Pasal 19 Penggunaan Pembiayaan Progran
a. Perbup tidak mengatur prinsip-prinsip pengelolaan biaya pendidikan, mekanisme pengelolaan, hak dan kewajiban dalam pembiayaan dan sebagainya
b. tidak ada petunjuk teknis maupun petunjuk pelaksana terkait dengan pembiayaan program
4 Pasal 20 s.d. pasal 24
Mekanisme pelaksanaan
a. perbup tidak mengatur secara jelas mekanisme pelaksanaan apasajakah yang perlu diatur dalam perbup
b. perbup hanya mengatur mengenai verifikasi peserta penerima program pendidikan dan tidak ada petujuk pelaksanaan lebih lanjut, seperti pemutakhiran data dan verifikasi, syarat-syarat pengajuan pencairan keuangan, pertanggungjawaban, dan lain sebagainya
c. ketidakjelasan tentang evaluasi pelaksanaan program pendidikan gratis yang dikaitkan dengan GSP dilaksankan oleh Dinas pendidikan dan Dinas Kehutanan, pertanian dan Ketahanan pangan
d. ketidakjelasan pengaturan mengenai pembentukan Tim
e. ketiadaan juklak dan juknis dari pelaksanaan, termasuk format pelaporan program
5 Pasal 25 s.d. pasal 26
Pemantauan dan Pengawasan
a. ketidakjelasan pihak-pihak terkait dalam melakukan pemantauan pelaksanaan program
b. tidak diatur secara jelas pemantauan apakah yang dilakukan oleh masih-
12
masing pihak terkait, bagaimanakah mekanisme pemantauan yang dilakukan, format pemantauan dan sebagainya.
6 Pasal 27 Pendataan dan Pelaporan
a. tidak adan petunjuk teknis dan pelaksana mengenai pendataan dan pelaporan
b. tidak jelas diatur tentang pendataan dan pelaporan, misalnya siapa yang mendata, mengelola data, mendokumentasikan data, hak dan kewajiban, format pendataan, mekanisme pendataan dan sebagainya. Begitupun mengenai pelaporan pelaksanaan program, tidak ada standar pelaksanaan pelaporan program untuk masing-masing sekolah sebagai acuan bagi sekolah untuk menyusun laporan pelaksanaan program
4. Minimnya Petunjuk Pelaksana dan Petunjuk Teknis Sebagai
Aturan Pelaksanaan Perbup
Untuk dapat melaksanakan Peraturan Bupati Nomor 11 Tahun
2006, maka sesungguhnya dibutuhkan berbagai aturan pelaksanaan, baik
berupa petunjuk pelaksana maupun petunjuk teknis. Jika merujuk pada
judul Peraturan Bupati yang ada saat ini (Perbup Nomor 11 tahun 2006)
adalah berjudul Pedoman Pelaksanaan Program Pendidikan Gratis di
Kabupaten Sumbawa Barat. Jika merujuk pada judul Peraturan Bupati
tersebut, maka seyogyanya karena yang diatur adalah pedoman, maka
dalam perbup tersebut dapat menjabarkan secara rinci, terhadap para
pihak yang diatur baik impelemnting agency atau pelaksana dan para
pihak pelaksana terkait lainnya harus jelas begitupun dengan role
occupation atau pihak-pihak yang dituju dari peraturan tersebut. Jika
melihat pada aspek susbstansi yang diatur dalam Peraturan Bupati
dengan materi dalam Peraturan Bupati nampak ketidaksesuaian,
pedoman apa sesungguhnya yang diatur dalam Perbup itu sendiri, apakah
pedoman perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pengawasan,
akuntabilitas dalam program pendidikan gratis ? Begitupun sasaran yang
dituju dari pedoman tersebut masih terdapat bias. Pedoman untuk siapa?
13
Karena seluruh pihak yang dituju begitu luas dan cakupan mengenai
tugas, fungsi, hak dan kewajiban masing-masing pihak yang dituju dari
aturan tersebut tidak jelas. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika
dalam pelaksanaanya, menimbulkan banyak penafsiran dan kebingungan,
bahkan aturan tersebut sesungguhnya tidak mampu untuk mengjangkau
apa yang diinginkan oleh Bupati.
Persoalan lainnya adalah jika Peraturan ini adalah bersifat
Pedoman, maka tentu ada peraturan diatasnya. Karena pada dasarnya
pedoman ini adalah untuk melaksanakan aturan/kebijakan diatasnya.
Jadi agak aneh dan timpang, peraturan mengenai pedoman ini muncul,
namun yang dijadikan pedoman masih simpang siur atau belum jelas,
bahkan tidak ada aturan diatasnya. Oleh karena Peraturan Bupati Nomor
11 tahun 2006 bersifat pedoman, maka menjadi aneh pula jika kemudian
pemerintah daerah mengeluarkan peraturan/keputusan yang mengatur
pedoman pelaksana dan pedoman teknis, karena dengan demikian berari
pedoman melahirkan pedoman, atau juklak diatas juklak.
Dari hasil kajian, persoalan ini tidak lepas dari paradigma
perancang peraturan dalam memahami legislative drafting. Untuk dapat
melaksanakan Perbup Nomor 11 Tahun 2006 dengan efektif, maka
setidaknya jika merujuk pada materi yang ada dalam perbup, masih
membutuhkan peraturan lebih lanjut yang perlu dijabarkan dalam bentuk
petunjuk pelaksana dan ataupun petunjuk teknis, sehingga para pihak
yang dituju baik impelemnting agency (badan pelaksana) maupun role
accupation (para pihak yang dituju dalam peraturan) dapat
melaksanakan sesuai dengan peraturan.
Beberapa masalah kurang efektifnya perbup, karena cakupan dan
materi yang diatur yang dimaksudkan sebagai pedoman program, tidak
cukup komprehensif dan sistematik. Dan jika merujuk pada perbup
tersebut, maka terdapat beberapa peraturan pelaksaan yang perlu diatur
lebih lanjut, antara lain adalah meliputi ;
a. juklak dan juknis tentang pendataan dan verifikasi penerima
program pendidikan gratis
b. petunjuk teknis pelaksanaan persyaratan dan kelengkapan
persyaratan penerima program pendidikan gratis
c. juklak dan juknis tentang pembentukan Tim dan Tata Kerja Tim
d. juklak dan juknis pelaporan program pendidikan gratis
14
e. juklak dan juknis tentang pemantauan dan pengawasan program
pendidikan gratis untuk para pihak terkait
f. juklak dan juknis pembentukan Unit Pengaduan Masyarakat dan
Tata Kerja Unit Pengaduan Masyarakat
g. Juklak dan juknis Pelaporan Program Pendidikan Gratis.
h. Juklak dan Juknis Tata Cara Pengelolaan Anggaran, prosedur dan
Mekanisme Pengelolaan Anggaran untuk masing-masing sekolah
i. Juklak dan juknis Pelaporan program dan ;
j. Juklak dan juknis mengenai para pihak dan fungsi masing-masing
para pihak dalam pelaksanaan program pendidikan gratis.
Selain lingkup materi peraturan yang belum cukup komprehensif
untuk mendukung pelaksanaan program pendidikan gratis berjalan
efektif, dari aspek teknis kalimat perundang-undangan yang dirumuskan
dalam pasal-pasal juga masih menimbulkan ketidakjelasan dan
berpotensi terjadi multitafsir dan kondisi ini telah menimbulkan
permasalahan dalam pelaksanaan program.
Beranjak dari permasalahan diatas, maka arah perubahan
penyempurnaan Peraturan Bupati—Penyusunan Peraturan daerah yang
dituju adalah penyempurnaan terhadap judul dan materi peraturan,
penyempurnaan terhadap kalimat peraturan, penyempurnaan terhadap
sistematika materi, dan beberapa permasalahan lainnya agar lebih
komprehensif dan sistematis.
5. Minimnya Pemahaman Masyarakat Terhadap Program
Pendidikan Gratis
Pemahaman masyarakat terhadap program pendidikan gratis
ternyata masih sangat minim dan masih sangat beragam. Bahkan,
sebagian besar masyarakat tidak mengetahui materi apasajakah yang
diatur dalam Perbup Nomor 11 Tahun 2006. Pemahaman masyarakat
terhadap program pendidikan gratis selama ini dari mendengar,
informasi dari para guru, teman, atau warga-warga dikampung yang
membicarakan tentang program pendidikan gratis. lemahnya
pemahaman masyarakat terhadap program pendidikan gratis ini, karena
memang sejak awal dalam proses penyusunan Peraturan tersebut
keterlibatan masyarakat sangat rendah, bahkan sama sekali tidak ada.
Peraturan Bupati disusun ‘sendiri” oleh bagian hukum, tanpa ada proses
konsultasi publik.
15
Rendahnya keterlibatan masyarakat dalam proses ini, menurut
pemda karena saat itu situasi “genting” dalam arti membutuhkan langkah
yang cepat, karena adanya penolakan dari DPRD dan kondisi politik
daerah yang kurang kondusif, hubungan eksekuitif dan legislatif tidak
berjalan harmonis, dan hubungan antar warga masyarakat “masih”
memanas karena pasca pilkada 2005, masih tersisa berbagai persoalan,
termasuk penolakan atas terpilihnya Bupati saat itu. Sayangnya, pasca
penetapan Peraturan Bupati Nomor 11 tahun 2006 dan situasi daerah
berlangsung kondusif, sosialiasi perbup secara langsung, baik dari
pemerintah daerah c.q. Bagian Hukum, maupun DPRD sangat minim.
Hanya kalangan tertentu saja dari masyarakat yang mendapatkan Perbup
Nomor 11 tahun 2005. Bahkan, para tenaga pendidik di sekolah-sekolah
banyak yang mengetahui secara komprehensif perbup Nomor 11 tahun
2006. Bahkan, membaca perbup tersebut, karena minimnya sosialiasi
atas perbup itu. Distribusi perbup kepada kelompok strategis masyarakat
sangat terbatas.
Akibatnya, program pendidikan gratis yang dimaknai dan
dipahami masyarakat program pendirikan gratis adalah gratis biaya
pendidikan seluruhnya, tidak ada lagi uang untuk membayar SPP/BP3,
maupun pungutan-pungutan uang lainnya dari sekolah, karena sekolah
sudah digratiskan. Dan oleh karena pemahaman yang demikian, sulit bagi
sekolah yang mengalami kekurangan operasional untuk menarik dana
dari masyarakat atau menarik dana dari masyarakat untuk penambahan /
pengembangan kegiatan yang ada disekolah, misalnya untuk kegiatan
ekstrakurikuler, biaya kursus/jam tambahan mengajar diluar sekolah,
dan sebagainya. Sementara disisilain, anggaran yang disediakan dari
program pendidikan gratis masih sangat terbatas dan pemerintah daerah
melarang kepada sekolah untuk menarik pungutan atau biaya-biaya
lainnya dari siswa/orang tua murid. Salah satu penyebab masalah diatas
adalah karena ; pertama, ketiadaan aturan yang jelas mengenai jenis-
jenis pungutan yang dilarang dan dibolehkan oleh sekolah sehingga
terjadi perbedaan presepsi atau pemahaman antara masyarakat, pemda
dan sekolah. kedua, adalah keterbatasan anggaran operasional untuk
sekolah disisilain tuntutan terhadap peningkatan mutu pendidikan di
masyarakat semakin meningkat.
Arah Perubahan
Untuk mengatasi beberapa kelemahan/kendala sebagaimana
diatas, maka perlu dilakukan ; pertama, pelibatan masyarakat dalam
16
proses pembentukan peraturan daerah (revisi perbup), sejak awal
pemerintah daerah c.q. bagian hukum dan DPRD perlu melibatkan dan
melakukan sosialiasi secara luas kepada seluruh stakeholders di daerah—
rancangan peraturan daerah perlu disitribusikan kepada masyarakat,
khsusunya adalah sekolah (tenaga pendidik) dan para orang tua/wali.
Pemerintah juga harus memberikan kesempatan dan bersikap terbuka
untuk menerima saran dan masukan dari masyarakat terhadap rancangan
peraturan daerah yang akan dibahas dan ditetapkan. Kedua, mengenai
jumlah pembiayaan program pendidikan untuk membiayai operasional
sekolah mulai dari TK/RA s.d. SMA/MA/SMK perlu dilakukan
penyesuaian dan pengkajian secara mendalam dan dilakukan evaluasi
secara terus menerus, karena pembiayaan operasional sekolah sangat
tergantung dengan dinamika pasar, fluktuasi harga, dan faktor lainnya,
pada setiap akhir tahun perlu dilakukan evaluasi dan penyesuaian
terhadap biaya operasional sekolah. Mengenai jumlah pembiayaan
operasional ini dapat dicantumkan dalam peraturan daerah dan atau
dapat pula dicantumkan secara khusus dalam bentuk surat keputusan
penetapan biaya operasional sekolah/tahun.
6. Adanya Kekhawatiran Masyarakat Atas Kepastian dan
Keberlanjutan Program Pendidikan Gratis
Pada dasarnya program pendidikan gratis memang sangat
dibutuhkan masyarakat, terutama masyarakat miskin, dan hampir
seluruh masyarakat program pendidikan gratis perlu untuk
dipertahankan dan dilanjutkan di masa mendatang. Program pendidikan
gratis dirasakan memiliki dampak dan manfaat langsung dirasakan
masyarakat. Karena dengan adanya program pendidikan gratis selama ini
sangat membantu mengurangi beban atau biaya pendidikan yang selama
ini ditanggung oleh orang tua/wali murid.
Saat ini dikalangan masyarakat mulai muncul kesangsian dan
kekhawatiran akan kepastian dan keberlanjutan program pendidikan
gratis, pasca berakhirnya masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati tahun
2015. Kekawatiran tersebut terkait dengan pertanyaan mendasar
masyarakat, apakah nantinya apabila Bupati dan Wakil Bupati sekarang
berakhir masa jabatannya, akan berakhir pula program pendidikan
gratis?
Kekhawatiran tersebut muncul dan masyarakat beranggapan
bahwa karena program pendidikan gratis yang berlangsung sekarang
17
adalah karena merupakan kebijakan Bupati—ditetapkan melalui
Peraturan Bupati nomor 11 tahun 2006, dan Bupati sudah 2 kali terpilih,
dan karena itu adalah tidak mungkin Bupati sekarang akan kembali
menjabat sebagai Bupati pada tahun 2015. Jika kemudian Bupati terpilih
mendatang tidak lagi memiliki komitmen dan politicall will untuk
melaksanakan program pendidikan gratis, maka akan berakhir pula
program pendidikan gratis yang telah berlangsung saat ini.
Tumpuhan masyarakat akan kepastian dan keberlangsungan
program pendidikan gratis saat ini masih dan hanya tertuju pada sosok
Bupati. Masyarakat belum menaruh harapannya kepada lembaga lain,
seperti DPRD misalnya yang merupakan lembawa perawakilan
masyarakat, karena politicall will dan keberpihakan DPRD terhadap
masyarakat, dinilai warga masyarakat masih sangat minim. Belum ada
kebijakan legislasi DPRD saat ini yang menyentuh kepada kepentingan
dan kebutuhan real masyarakat.
Arah perubahan
Scalling-up perbup untuk menjadi Perda adalah salah satu cara
sekaligus usaha untuk menjamin kepastian dan kebrelanjutan terhadap
program pendidikan gratis. Dorongan perlu pembentukan perda selain
untuk menyempurnakan beberapa kelamahan perbup adalah
dimaksudkan untuk mendoroong komitmen bersama seluruh
stakeholders did aerah, khususnya DPRD untuk tetap melanjutkan
program pendidikan gratis. Scalling-up ini juga sebagai upaya untuk
“mengikat” DPRD agar sebagai lembaga perwakilan rakyat turut
bertanggungjawab untuk memperjuangkan aspirasi yang berkembang
dimasyarakat. Bertanggung jawab untuk mengalokasikan anggaran
program pendidikan gartis serta sebagai upaya untuk menaikkan derajat
hierarkhi produk hukum pengaturan program pendidikan gratis yang
sebelumnya masih dalam bentuk perbup menjadi peraturan daerah.
Arah perubahan yang penting pula yang perlu dipersiapkan saat ini
adalah membangun sistem pendidikan gratis yang efektif, komprehensig
dan sistematis. Sehingga, jika sistem program pendidikan gratis telah
terbangun, maka diharapkan melalui sistem yang terbangun ini mampu
untuk menjaga/mengawal Bupati dan Wakil Bupati maupun DPRD untuk
mengikuti sistem tersebut. Untuk itupula, maka segala aspek regulasi
yang bersifat mengikat untuk kesempurnaan produk hukum—program
pendidikan gratis perlu dirumuskan dan ditetapkan sejak sekarang.
18
Dengan berbagai instrumen hukum yang mengikat itupula diharapkan
akan muncul komitmen dan politicall will yang sama Bupati dan Wakil
bupati di masa mendatang yang terpilih dengan Bupati yang ada saat ini.
7. Pendidikan Gratis Telah Memberikan Akses, Namun Belum
Menjamin Pendidikan Yang Bermutu/Berkualitas
Sebagaian besar masyarakat mengakui bahwa dengan adanya
program pendidikan gratis yang berlangsung saat ini, akses masyarakat
untuk dapat mengikuti pendidikan dari seluruh jenjang dapat lebih
terjangkau dan lebih mudah untuk dicapainya. Pendidikan gratis juga
telah mendorong motivasi orang tua dan siswa untuk meraih cita-cita
setinggi-tingginya, karena sudah tidak ada lagi kendala untuk mengikuti
proses pendidikan di KSB mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi.
Ketercapaian tujuan program pendidikan gratis pada aspek ketersediaan
dan keterjangkauan sudah cukup berhasil, bahkan melebihi target yang
diharapkan oleh pemerintah daerah. Indikasi ketercapain ini tercermin
dari Angka Partisipasi Murni dan angka Partisipasi Kasar yang terus
mengalami perbaikan, disamping meningkatnya posisi Indeks
Pembangunan Masyarakat (IPM) KSB yang sebelumnya berada pada
posisi ke 7 dari 10 kabupaten/Kota di NTB naik menjadi peringkat ke 3.
Seiring dengan itu, tujuan program pendidikan gratis diharapkan
dimasa mendatang, tidak lagi sebatas pada aspek, melainkan sudah harus
merambah pada peningkatan mutu/kualitas pendidikan. Tuntutan
terhadap peningkatan mutu/kualitas karena masyarakat menilai
pendidikan yang ada saat ini masih tertinggal dengan Kabupaten/Kota
lainnya di Indonesia, bahkan masih tertinggal jauh dengan Kota
Mataram. Sehingga, masih banyak pula warga KSB, yang meninggalkan
KSB untuk ke Kota Mataram atau Kota/Kabupaten lainnya di Pulau
Jawa—dengan tujuan dan alasan hanya mengejar mutu pendidikan,
karena mutu pendidikan yang berada di daerah tersebut relatif lebih baik
dibandingkan dengan mutu/kualitas pendidikan yang ada di KSB.
Dikalangan masyarakat bawah (miskin) persoalan mutu pendidikan
memang tidak menjadi sorotan dan kritikan yang tajam namun
demikian, bukan berartipula masyarakat miskin tidak berhak untuk
memperoleh pendidikan yang berkualitas. Sesungguhnya, dalam benak
merka menginginkan pula pendidikan yang bermutu. Bagi masyarakat
miskin, cakupan program pendidikan gratis dimasa mendatang, bukan
hanya terbatas diberikan untuk biaya operasional sekolah atau
19
“pembebasan biaya” SPP, cakupan pendanaan program pendidikan gratis
harus pula dapat menjangkau biaya penunjang siswa antara lain seperti ;
biaya baju, buku, sepatu, transportasi dan sebagainya, karena biaya
operasional inilah yang dirasakan masih sangat sulit dan memebankan
mereka.
Terkait dengan hal tersebut, dalam pandangan dan tuntutan
masyarakat miskin terhadap program pendidikan gratis dimasa
mendatang, dibutuhkan adanya reformulasi ulang terhadap sasaran
kebijakan pemberian dana program pendidikan gratis. formulasi
kebijakan baru program pendidikan gratis haruslah dapat mengutamakan
terlebih dahulu kebutuhan dan kepentingan kepada masyarakat miskin.
Dan dalam konteks itu, maka perlu dilakukan peninjauan pemberian dana
pendidikan terhadap siswa yang mampu/mapan, perlu ada perhitungan
khusus dan proporsi khusus anggaran pendidikan gratis antara warga
miskin dengan warga yang mampu, dalam arti tidak lagi diperlakukan
secara seragam.
Arah perubahan
Salah satu kelemahan dari Peraturan Bupati Nomor 11 tahun 2006
adalah tidak diaturnya mengenai standar pendidikan gratis. Persoalan
lainnya adalah rendahnya kapasitas dan profesionalisme guru, masih
terbatasanya sarana dan prasarana sekolah, dan faktor-faktor lainnya
yang menyebabkan mutu pendidikan rendah. Perubahan revisi perbup
diarahkan pada upaya perbaikan terhadap standar pendidikan dan dalam
pemberian pelayanan mengacu pada UU.No.25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik. Sedangkan terkait dengan jumlah dan alokasi
pemberian dana pendidikan yang tidak seragam perlu dilakukan kajian
dan diatur secara khusus dalam surat keputusan atau ketetapan tentang
besarnya proporsi anggaran bagi setiap peserta/siswa.
8. Pemberian Dana Program Pendidikan Gratis ke Sekolah
Sudah Tepat, Namun Perlu Di bangun Transparansi dan
Akuntabilitas Sekolah
Selama ini dana program pendidikan gratis untuk siswa, tidak
diberikan langsung kepada siswa melainkan kepada sekolah. Sejumlah
kalangan menilai bahwa pemberian dana ke sekolah potensial terjadi
penyimpangan, karena selama ini tidak ada keterbukaan informasi dan
pertanggungjawaban publik terhadap pengelolaan dana program
pendidikan gratis. Disamping itu, juga berpotensi terjadi manipulasi
20
terhadap jumlah data siswa. Terkait dengan itu, ada sebagian kecil
kalangan masyarakat yang menginginkan agar pemberian dana
pendidikan gratis diberikan secara langsung berupa uang tunai kepada
para penerima (siswa), dengan alasan dana tersebut adalah merupakan
hak penerima program, karena itu siswa atau orang tua siswalah yang
memiliki otoritas langsung untuk mengelolanya, bukan sekolah.
Keinginan sebagian kalangan ini, justeru banyak yang ditolak oleh
masyarakat, khususnya dari para tenaga pendidik. Mekanisme
pemberian dan pengelolaan dana langsung kepada masing-masing
sekolah sudah tepat, karena dengan langsung sekoolah yang menerima
dapat memberikan jaminan, dana pendidikan gratis yang diberikan oleh
pemerintah daerah sesuai peruntukkanya ; membebaskan biaya
operasinal siswa. Karena justeru, jika diberikan langsung dalam bentuk
uang tunai kepada masing-masing siswa/orang tua siswa/wali dapat
digunakan siswa/orang tua siswa/wali untuk keperluan belanja yang
lainnya sehingga siswa pada akhirnya terkendala untuk mambayar uang
sekolah.
Dari aspek pemberian dana pendidikan gratis kepada sekolah-
sekolah sudah cukup tepat. Persoalannya sekarang adalah bagaimana
pemerintah daerah, masyarakat dan DPRD dapat mendorong adanya
transparansi dan akuntabilitas dari masing-masing sekolah penerima
program pendidikan gratis, agar dana program pendidikan gratis dapat
diakses publik dan dipertanggungjawabkan serta tidak disalahgunakan.
Khususnya, terhadap sekolah swasta, karena pertanggungjawaban
sekolah swasta tergolong rendah dan pada sekolah swasta tidak ada
larangan khusus dari pemerintah daerah untuk menarik dana-dana dari
siswa atau orang tua siswa, sehingga dapat terjadi doubel acount
anggaran. Disatu sisi sekolah tersebut menerima program dana
pendidikan gratis, juga mereka menerima dana-dana dari siswa atau
orang tua murid melalui kebijakan di yayasan tersebut.
Arah Perubahan
Transparansi pengelolaan anggaran pendidikan di masing-masing
sekolah harus dibangun di masing-masing sekolah, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan atas program. Sekolah
harus membuka akses dan menyampaikan secara terbuka terhadap para
pemangku kepentingan yang ad di sekolah, seperti Komite Sekolah,
Dewan Pendidikan, orang tua siswa/wali, dan kepada siswa. Kegiatan
yang dilakukan misalnya dengan memasang papan informasi mengenai
dana program pendidikan gratis, mengundang para orang tua/wali untuk
21
mensosialisasikan anggaran yang diterima sekolah dari program
pendidikan gratis, mempublikasikan secara terbuka laporan penggunaan
anggaran pendidikan gratis dan lain sebagainya. Pertanggungjawaban
pengelolaan anggaran pendidikan gratis, tidak lagi sebatas penyampaian
pelaporan sekolah kepada Dinas, melainkan pertanggungjawaban harus
pula disampaikan kepada Komite Sekolah, Dewan Pendidikan dan para
orang tua/wali siswa.
9. Menurunnya Partisipasi dan Tanggung Jawab Orang
Tua/Wali dan Siswa
Salah satu masalah yang muncul sejak diberlakukannya program
pendidikan gratis adalah adanya kecendrungan menurunnya partisipasi
dan tanggungjawab orang tua/wali siswa dalam memotivasi, mengawasi
dan membina anaknya (siswa), bahkan sebagian orang tua, semakin
kurang peduli terhadap perkembangan dan kemajuan siswa. Mereka
merasa oleh karena sekolah sudah gratis, maka berarti tanggungjawab
orang tua terhadap pembiayaan sekolah sudah menjadi tanggung jawab
pemerintah, karena sudah menjadi tanggungjawab pemerintah, maka
kewajiban orang tua sudah tidak ada lagi, dan karena itu pula, jika ada
anak siswa yang tidak naik kelas atau malas belajar tidak ada implikasinya
terhadap orang tua/wali, karena orang tua tidak dirugikan, toh meskipun
tidak naik kelas atau malas belajar dana pendidikan gratis tetap berjalan
dan siswa tetap menerima program pendidikan gratis.
Dampak dari minimnya partisipasi dan tanggungjawab orang tua
terhadap siswa berpengaruh terhadap beban tugas dan fungsi para
tenaga pendidik yang semakin meningkat, para tenaga pendidik, pada
akhirnya harus membuat sejumlah kebijakan yang lebih kreatif dan ketat
dalam pengawasan dan pembinaan siswa agar para siswa yang ada di
masing-masing sekolah tetap menjalankan proses pembelajaran di
sekolah dengan baik. Disamping , motivasi dan tanggungjawab dari para
siswa itu sendiri yang juga cenderung menurun.
Ada beberapa faktor munculnya masalah di atas ; pertama,
karena kurangnya pemahaman orang tua dan siswa terhadap tujuan
22
program pendidikan gratis, bahkan siswa rata-rata belum tahu dan
pernah membaca Perbup Nomor 11 Tahun 2006 (khususnya siswa SMP
dan SMA). Sehingga sebagian siswa salah mensalahtafsirkan semangat
dan tujuan dari program pendidikan gratis. Sehingga program
pendidikan gratis, dimaknai sebagai hilangnya beban dan tanggungjawab
mereka sebagai siswa kepada orang tua, guru dan sekolah—mereka
merasa tidak perlu lagi untuk terus belajar dan meningkatkan
prestasinya. Karena toh, jikalaupun pada akhirnya mereka gagal, orang
tua mereka tidak dirugikan karena tidak ada biaya yang dikeluarkan,
segala tanggungjawab kembali kepada sekolah dan pemerintah daerah.
Arah Perubahan
Salah satu penyebab masalah di atas adalah karena di dalam
Perbup Nomor 11 Tahun 2006 tidak mengatur pembatasan waktu dan
jumlah biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk membiaya
siswa di masing-masing jenjang, misalnya ; terkait dengan jenjang
pendidikan di SMP adalah 3 tahun. Disamping itu adalah tidak adanya
sanksi kepada siswa atau orang tua, misalnya sanksi berupa “pemutusan”
dana bantuan pendidikan gratis apanila siswa/anak tersebut tidak naik
kelas atau malas atau melanggar peraturan tata tertib yang ada di sekolah.
Ketiadaan mekanisme tersebut menjadi salah satu pemicu minimnya
tingkat partisipasi dan tanggung jawab orang tua/wali murid untuk
mendukung upaya pencapaian program pendidikan gratis, termasuk
peningkatan mutu/kualitas pendidikan.
Oleh sebab itu, maka dalam revisi Perbup saat ini perlu
dirumuskan adanya ketentuan pembatasan waktu dan jumlah
pembiayaan pada setiap jenjang pendidikan serta sanksi terhadap siswa.
Pembatsan waktu disesuaikan dengan masa jenjang pendidikan yang
harus ditempuh, jika pendidikan SMP atau SMA, normalnya ditempuh
selama 3 tahun, maka selama hanya 3 tahun itulah kewajiban pembiayaan
pendidikan yang ditanggung pemerintah daerah dalam program
pendidikan gratis. Sedangkan terkait dengan sanksi adalah berupa
pemutusan atau pencabutan pemberian dana program pendidikan gratis,
misalnya apabila masa poendidikan SMA adalah 3 tahun, kemudian
ternyata ditempuh oleh siswa bersangkutan selama 5 tahun, maka 2 tahun
23
kelebih masa waktu tersebut pembiayaannya menjadi tanggung jawab
orang tua/wali siswa bersangkutan.
Kedua pemerintah daerah melalui sekolah-sekolah perlu
meningkatkan sosialiasi terhadap program pendidikan gratis. Sosialiasi
tersebut, bukan hanya ditujukan kepada Komite Sekolah atau Orang
Tua/Wali siswa, melainkan pula harus ditujukan langsung kepada para
siswa penerima program pendidikan gratis khususnya kepada siswa
SMP/Tsanawiyah dan SMA/SMK/Aliyah agar para siswa dapat
memahami secara komprehensif terhadap program pendidikan gratis,
dan mereka dapat berpartiispasi dan bertanggungjawab pula terhadap
keberhasilan pelaksanaan program pendidikan gratis, karena
keberhasilan program pendidikan gratis tergantung pula dari tingkat
partisipasi siswa terhadap program.
10. Masih Terbatasnya Sarana dan Prasana Pendukung Sekolah
Untuk Melahirkan Pendidikan Gratis Yang bermutu
Persoalan keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan untuk
dapat menunjang pendidikan gratis yang berkualitas dirasakan masih
menjadi kendala yang dihadapai oleh sebagaian besar sekolah dari
seluruh jenjang satuan pendidikan, mulai dari TK s.d. SMA/sederajat.
Karena program pendidikan gratis yang diberikan oleh Pemerintah
daerah terbatas pada subsidi untuk biaya operasional pendidikan di
masing-masing sekolah. Dukungan tersebut dirasakan sekolah belum
cukup untuk dapat pendidikan yang berkualitas. Beberapa permasalahan
yang banyak ditemukan di masing-masing sekolah adalah terkait dengan
sarana dan prasana alat peraga, alat bermain, laboratorium,
perpustakaan, komputer dan sarana pendukung lainnya.
Bahkan, sekolah yang sedang menuju pada sekolah standar
nasional, seperti SMAN I Taliwang dan SMPN I Taliwang, sarana dan
prasarana disekolah tersebut belum memenuhi standar yang
dipersyaratkan sebagai standar sekolah nasional. Sarana dan prasarana
yang dirasakan belum belum cukup mendukung dan memadai antara lain
seperti fasilitas komputer yang masih terbatas begitupun dengan fasilitas
laboratorium IPA dan IPS yang belum memenuhi standar sekolah
nasional.
Arah perubahan
Peningkatan sarana dan prasarana merupakan masalah klasik yang
masih menjadi kendala dalam upaya peningkatan mutu/kualitas
24
pendidikan. Dalam rangka peningkatan mutu, selain memberikan dana
program operasional sekolah melalui program pendidikan gratis,
pemerintah daerah perlu mengalokasikan secara khusus dana
peningkatan sarana dan prasarana sekolah dan mendukung sekolah-
sekolah yang sedang menuju pada standar pendidikan nasional. Sekolah
standar nasional dibutuhkan sebagai percontohan sekolah di KSB—
mendorong sekolah-sekolah untuk menuju pada sekolah standar nasional
dan pada akhirnya sekolah standar internasional.
11. Perencanaan dan Pembiayaan Program bersifat Top Down
Menghambat Kreatifitas Pengembangan Sekolah
Penyusunan program dan kegiatan sekolah sangat tergantung dari
pagu yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan.
Sekolah harus menyesuaikan dengan anggaran yang ditetapkan dan
program maupun kegiatan sekolah pada akhirnya menyesuaikan dengan
anggaran yang telah dialokasikan oleh masing-masing sekolah.
Perencanaan kegiatan/program sekolah pada akhirnya banyak yang
terhambat atau tidak dapat dilaksanakan oleh masing-masing sekolah
secara efektif, karena secara prinsipil perencanaan program dan kegiatan
masing-masing sekolah tidak berdasarkan pada kebutuhan, potensi, dan
karakteristik yang dimiliki masing-masing sekolah. Pada dasarnya banyak
sekolah yang telah memiliki rencana strategis, visi dan misi serta agenda-
agenda program yang harus dilaksanakan oleh sekolah, namun menjadi
terhambat pengembangnnya karena alokasi anggaran yang diberikan
terbatas, item jenis kegiatan yang dapat dibiayai oleh pemerintah sudha
ditetapkan.
Aspek perencanaan program dan anggaran pendidikan di masing-
masing sekolah oleh sebagian besar tenaga pendidik di masing-masing
sekolah menilai penyusunan program dan anggaran pendidikan gratis
yang berlangsung selama ini lebih bersifat top down, anggaran
pendidikan untuk masing-masing sekolah telah ditetapkan oleh Dinas
Pendidikan, dan sekolah hanya menyesuaikan dengan kebijakan dari atas.
Oleh sebab itu, sangat sulit bagi sekolah untuk dapat mengembangkan
program pengembangan disekolahnya, terlebih lagi untuk program
peningkatan mutu atau kualitas pendidikan di masing-masing sekolah.
25
Karena jenis program dan kegiatan dimasing-masing sekolah yang harus
disesaikan dengan rincian atau item anggaran yang telah ditetapkan oleh
Dinas Pendidikan.
Arah perubahan
Perencanaan strategis atau renstra masing-masing sekolah perlu
untuk dikembangkan di masing-masing sekolah. Renstra menjadi
kerangka acuan bagi sekolah dan Dinas Pendidikan untuk menyusun
program dan kegiatan tahunan. Pola pendekatan penyusunan anggaran
untuk program pendidikan gratis perlu disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing sekolah. Pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) perlu
untuk melibatkan sekolah-sekolah dalam proses penyusunan anggaran,
termasuk melibatkan Dewan Pendidikan Daerah. Kajian dan evaluasi
terhadap kebutuhan masing-masing sekolah harus terus dilakukan untuk
memastikan tingkat perkembangan dan kemajuan masing-masing
sekolah. Disamping itu, sebelum menetapkan dan memberikan alokasi
anggaran kepada masing-masing sekolah Dinas Pendidikan perlu
melakukan verifikasi terhadap usulan program dan kegiatan yang
diajukan oleh masing-masing sekolah. Kebijakan alokasi anggaran untuk
operasional sekolah melalui program pendidikan gratis dapat
diberlakukan secara seragam, namun untuk pengembangan masing-
masing sekolah, pemerintah daerah perlu mempersiapkan dana khusus
yang dialokasikan untuk pengembangan sekolah—berdasarkan rencana
strategis yang dimiliki oleh masing-masing sekolah. Sehingga proporsi
anggaran untuk operasional masing-masing sekolah tidak ditentukan
semata atas dasar indikator/variabel jumlah siswa yang terdaftar di
masing-masing sekolah, melainkan pula didasarkan atas basis kinerja—
yang tertuang dalam rencana strategis masing-masing sekolah, sehingga
dengan kebijakan model ini diharapkan sekolah juga menjadi kreatif
dalam mengembangkan sekolahnya. Tidak tergantung dari kebijakan dan
anggaran yang dialokasikan oleh Pemerintah Daerah.
12. Sasaran Penerima Program Pendidikan Gratis Untuk Semua
Sekolah Memicu Pelaku Usaha Pendidikan Untuk
Mendirikan Sekolah-Sekolah Baru.
Kebijakan pemberian dana program pendidikan gratis yang
berlaku saat ini adalah diberikan kepada seluruh siswa TK s.d. SMA dan
sederajat, baik swasta maupun sekolah negeri dan berlakupula pada
seluruh siswa, baik yang miskin maupun siswa kaya. Tidak ada
26
pembedaan, seluruh warga KSB memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan pendidikan gratis.
Dalam implementasinya pendekatan sasaran pemberian dana
dengan cara seperti ini telah melahirkan persoalan antara lain adalah ;
pertama, adanya kecendrungan munculnya sekolah-sekolah swasta baru,
mulai dari tingkat PAUD hingga tingkat SMA sederajat, kemunculan
sekolah-sekolah baru ini banyak yang motivasinya lebih kepada
kepentingan usaha ‘bisnis pendidikan”. Bagi sejumlah pelaku usaha,
dengan adanya program pendidikan gratis yang berlaku secara
menyeluruh dipandang sebagai sebuah peluang atau bisnis baru yang
relatif cukup menguntungkan. Situasi ini, kemudian dimanfaatkan
dengan cara mendirikan sekolah, karena dengan sekolah baru itu, maka
sekolah tersebut dapat menerima siswa, dan dengan menerima siswa itu
maka akan memperoleh dana program pendidikan gratis. Fenomena
kecendrungan ini dapat menjadi masukan atau isyarat penting bagi
pemerintah daerah dalam rangka mengantisipasi terjadinya “ledakan
atau lonjakan” jumlah dan jenis sekolah baru di Kabupaten Sumbawa
Barat, karena memiliki konsekuensi terhadap anggaran daerah,
berpotensi anggaran pendidikan akan semakin meningkat dan semakin
banyak “tersedot” untuk mensubsidi sekolah-sekolah tersebut.
Arah perubahan
Munculnya sekolah-sekolah baru disatu sisi cukup membantu
pemerintah daerah dalam meningkatkan ketersediaan (akses) pendidikan
bagi masyarakat, namun disilain juga menjadi beban baru bagi
pemeirntah daerah karena pemerintah daerah harus pula mengalokasikan
anggaran untuk sekolah tersebut. Pemerintah daerah juga tidak bisa atau
boleh melarang orang atau Badan Hukum yang mendirikan sekolah
karena bagian dari partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Dilema
ini menjadi tantangan tersedniri yang dihadapi pemerintah daerah dalam
program pendidikan gratis.
Munculnya sekolah baru yang kemudian memperoleh dana
program pendidikan gratis salah satu penyebabnya adalah ketiadaan
aturan yang jelas dalam peraturan Bupati Nomor 11 tahun 2006 mengenai
kualifikasi dan persyaratan sekolah penrima program pendidikan gratis.
Disamping minimnya verifikasi dan pengawasan. Kehadiran sekolah baru
juga banyak menimbulkan masalah baru dalam masyarakat, karena
banyak sekolah baru yang tidak dilengkapi dengan kelengkapan dokumen
27
perizinan yang memadai. Bahkan, terdapat sejumlah sekolah yang belum
memiliki legal standing yang jelas, namun pemerintah telah memberikan
dana untuk sekolah tersebut. Kondisi inipula yang menyebabkan dari
hasil pemeriksaan BPK menemukan sejumlah temuan-temuan yang
dinilai ebagai kesalahan.
Untuk itu, maka pemerintah daerah perlu untuk melakukan
perbaikan terhadap aturan main yang dijalankan dalam program
pendidikan gratis dan perlu melakukan ; pertama, evaluasi terhadap
keberadaan dan kinerja sekolah-sekolah baru diseluruh tingkatan mulai
dari PAUD hingga SMA sederajat khususnya terhadap sekolah swasta
untuk dapat memastikan apakah sekolah yang didirikan tersebut telah
memenuhi persyaratan dan kelayakan untuk menyelenggarakan
pendidikan, baik sarana dan prasarana, tenaga pendidik, legalitas sekolah
dan sebagainya.
Kedua, pemerintah daerah perlu untuk menyusun kriteria dan
persyaratan, mekanisme tata kelola dana pendidikan gratis, hak maupun
kewajiban, akuntabilitas penggunaan dana dan lain sebagainya kepada
masing-masing sekolah yang akan menerima dana pendidikan gratis,
kualifiasi sekolah yang layak dan tidak layak untuk menerima dana
pendidikan gratis perlu pula dirumuskan oleh pemerintah daerah
khususnya terhadap sekolah swasta, sehingga tidak semua sekolah
swasta, khususnya yang tidak layak untuk menerima dana pendidikan
gratis untuk menerima anggaran dari APBD daerah. Oleh sebab itu maka,
arah perubahan yang dituju dari adanya Revisi Peraturan Bupati Nomor
11 Tahun 2006 adalah diarahkan pada upaya untuk mengatasi beberapa
permasalahan diatas.
13. Terjadi Disparitas Antara Sekolah Maju (Pavorit) Dengan
Sekolah Pinggiran (Tertinggal)
Disparitas antara sekolah maju dengan sekolah pinggiran
sesungguhnya terjadi bukan hanya pada masa sekarang atau sejak
program pendidikan gratis diberlakukan. Sebelumnya, diparitas antar
sekolah antara sekolah pavorit dengan sekolah pinggiran pun telah
terjadi. Namun, kondisi disparitas antara sekolah maju dengan sekolah
pinggiran semakin cenderung meningkat sejak diberlakukannya program
pendidikan gratis. Salah satu penyebab pemicu terjadinya kesenjangan
yang semakin jauh ini dikarenakan kebijakan program pemberian dana
pendidikan gratis menjadikan indikator atau variabel jumlah siswa
28
yangterdaftar disekolah menjadi salah satu variabel yang menentukan
besarnya jumlah anggaran operasional untuk masing-masing sekolah.
Kebijakan ini ternyata memiliki konsekuensi sekolah pavorit
(maju) semakin maju karena memiliki jumlah murid dan kelas yang
semakin meningkat dan anggaran yang semakin besar. Sebaliknya,
sekolah yang tertinggal, terlebih lagi sekolah baru berdiri yang
notabennya bukan sekolah pavorit cenderung akan menerima jumlah
siswa/murid dan kelas yang semakin minim sehingga anggaran program
pendidikan gratis yang diterima oleh sekolah itupun semakin terbatas.
Oleh karena, anggaran operasional yang dimiliki sekolah tertinggal sangat
terbatas, maka sulit bagi sekolah tersebut untuk dapat mengembangkan
dan meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan, hanya sekolah baru
tertentu saja yang berhasil dari ‘kemelut krisis” ini yang berhasil keluar
dari masalah dan berhasil mejadi sekolah pavorit, itupun sangat terbtas
jumlahnya. Minimnya anggaran yang diterima oleh sekolah tertinggal jika
terus menerus berlangsung sepanjang tahun, maka dapat dipastikan
sekolah tersebut akan mengalami “kebangkrutan” karena ketiadaan
peserta didik dan anggaran operasional sekolah.
Arah perubahan
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pemerintah daerah perlu
untuk melakukan perubahan. Perubahan tersebut diarahkan pada
bagaimana pemerintah daerah dapat lebih memperhatikan sekolah
tertinggal dan memberikan kebijakan dan anggaran khusus bagi sekolah
tertinggal. Pemerintah juga harus melakukan evaluasi terhadap sistem
proporsi anggaran pada masing-masing sekolah, variabel jumlah murid
perlu dipertimbangkan kembali penggunaannya terhadap sekolah
tertinggal. Harus ada variabel tertentu yang digunakan oleh pemerintah,
seperti misalnya variabel sekolah tertinggal sebagai penilaian dan
pertimbangan khusus yang dijadikan dasar untuk menentukan besarnya
biaya tambahan operasional bagi sekolah tertinggal. Karena secara
prinsipil, dalam penyelenggaraan pendidikan biaya operasional yang
harus dikeluarkan sekolah relatif sama antar sekolah tertinggal dengan
sekolah maju. Misalnya, alat tulis mengajar yang dibutuhkan untuk
melaksanakn pendidikan di sekolah.
Arah perubahan kebijakan pendidikan yang dibutuhkan dimasa
mendatang adalah bagaimana kebijakan program pendidikan gratis
mampu mengurangi terjadinya disparitas antar sekolah. Sekolah negeri
29
atau milik pemerintah khususnya, dapat berkembang maju secara
bersama-sama dan dapat meningkatkan mutu dan kualitasnya, serta
distribusi siswa yang merata di masing-masing sekolah, sehingga tidak
terjadi penumpukan murid dan guru pada sekolah tertentu. program
bantuan atau stimulus bagi sekolah tertinggal perlu untuk ditingkatkan
dimasa mendatang. Oleh sebab itu, arah revisi kebijakan yang ditempuh
didorong pada upaya untuk mengtasi problem disparitas antar sekolah.
14. Pencairan APBD dengan Kalender Pendidikan Belum
Sinkron dan Sinergis.
Persoalan mendasar dan merupakan persoalan yang cukup krusial
dari penyelenggaraan program pendidikan gratis adalah ketiadaan
singkroninasi APBD dengan kalender pendidikan. Dua kebijakan ini,
mekanisme APBD dan Kalender Pendidikan adalah merupakan kebijakan
ditingkat pusat, yang sulit bagi daerah untuk menerobosnya. Sejak
program pendidikan gratis diberlakukan keluhan sekaligus masalah yang
banyak menjadi sorotan dari Kepala Sekolah dan Para Guru adalah terkait
dengan waktu pencairan/pengeluaran anggaran program karena antara
waktu pengeluaran anggaran dengan kalender pendidikan yang berbeda.
Hampir seluruh sekolah, baik PAUD, TK, SMP, maupun SMA/sederajat
mengalami kendala untuk menyesuaikan kebutuahan anggaran sekolah
dengan waktu pencairan anggaran.
Sebagaimana dimafhum dalam mekanisme penyusunan dan
pembahasan APBD KSB selama ini baru dapat ditetapkan pada bulan
febuari s.d. april. Sementara itu, dalam kalender pendidikan, pada bulan
januari s.d. bulan april sekolah sedang menhadapi persiapan ujian
nasional mapun ujian sekolah. Aktifitas kegiatan sekolah pada bulan ini
(januari s.d. april) begitu tinggi, dan seiring dengan itupula sekolah
membutuhkan anggaran yang memadai. Sementara itu, pada masa ini
APBD umumnya masih dalam tahap pembahasan. APBD baru dapat
dicairkan untuk program pendidikan gratis pada bulan mei bahkan bulan
juni. Akibatnya, waktu pencairan anggaran tidak sesuai dengan waktu dan
kebutuhan masing-masing sekolah.
Persoalan lainnya yang menjadi masalah adalah masa tenggang
waktu ketika proses APBD dibahas antar DPRD dengan Pemerintah
Daerah, sekolah harus “menunggu”, dan pada masa menunggu penetapan
dan pencairan APBD inilah sebagian besar sekolah mengalami kendala
dalam melaksanakan berbagai kegiatan, karena ketiadaan dana
30
operasional. Padahal, disisilain sekolah dituntut untuk terus melakukan
proses belajar-mengajar, tanpa terganggu dengan pembahasan APBD.
Untuk menjaga agar proses belajar-mengajar tetap berjalan efektif,
sejumlah Kepala Sekolah, akhirnya terpaksa untuk mengisi “kekosongan”
biaya operasional sekolah, mencari pinjaman atau “berhutang” kepada
pihak tertentu. Keresahan dialami pula oleh para guru khususnya para
guru yang berstatus sebagai Guru Tidak Tetap (GTT) maupun Guru
Kontrak Daerah (GKD) pada masa tenggang waktu ini, mereka harus
“berpuasa” karena tidak ada gaji atau honor untuk mereka. Padahal,
mereka harus tetap menjalankan aktifitas dan tugasnya mengajar, bagi
guru GTT dan GKD yang jaraknya jauh dari sekolah mereka harus
mengeluarkan biaya transportasi setiap hari, dan lebih parahnya lagi
adalah GTT dan GKD yang statusnya tidak memiliki rumah atau
mengontrak, mereka selain harus mengeluarkan biaya transportasi juga
harus mengeluarkan uang bulanan kos-kosan. Situasi ini cukup
memprihatinkan dan tentu dapat berdampak pada proses pembelajaran
di sekolah.
Arah perubahan
Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka perlu dirumuskan
formulasi kebijakan agar dana program pendidikan gratis dengan
kalender pendidikan berjalan sinergis. Namun, oleh karena kedua
kebijakan ini adalah merupakan kebijakan yang berlaku secara umum di
tingkat pusat dan telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, sulit bagi
Pemerintah Daerah untuk dapat merubahnya. Untuk itu, maka harus ada
kebijaksaan atau sebuah terobosan inovatif baru dari daerah. Terobosan
inovatif tersebut, misalnya adalah dengan cara membuat kebijakan
semacam “dana cadangan” atau “DANA ABADI SEKOLAH” untuk
masing-masing sekolah agar pada masa tenggang waktu pembahasan
APBD, proses belajar mengajar atau operasional sekolah tidak terganggu.
Dana Abadi Sekolah adalah Dana yang diberikan oleh Pemerintah
untuk masing-masing sekolah. Dana Abadi Sekolah ini semacam deposito
yang dimiliki oleh masing-masing sekolah. Jumlahnya bervariasi sesuai
dengan kebutuhan operasional masing-masing jenjang sekolah. Misalnya
untuk sekolah SMA adalah Rp.50.000.000,- (lima puluh juta)/tahun.
Dana ini diperuntukkan sebagai dana “cadangan” digunakan pada saat
APBD belum dicairkan kepada masing-masing sekolah, setelah APBD
ditetapkan dan diberikan kepada masing-masing sekolah, maka dana
yang terpakai dari Dana Abadi Sekolah ini diganti kembali sesuai dengan
31
jumlah yang dikeluarkan pada tahun tersebut. Sumber dari Dana Abadi
Sekolah ini adalah berasal dari APBD. Dan dapat pula ditarik dari
sumbangan pihak ketiga dan orang tua/siswa.
15. Ruang Partisipasi Masyarakat Tetap Harus Dibuka Oleh
Pemerintah, Tidak Boleh Ada Larangan Bagi Masyarakat
Yang Ingin Menyumbang
Tidak seluruhnya masyarakat menolak jika ada kebijakan dari
sekolah untuk memungut biaya kegiatan/program sekolah dalan rangka
peningkatan kualitas pendidikan. Misalnya, pungutan untuk biaya
pembelian fasilitas komputer siswa, penyediaan buku-buku perpustakaan
sekolah, atau kegiatan tambahan mengajar (les) dari para guru. Beberapa
orang tua/wali murid yang memiliki kelebihan secara ekonomis, ternyata
banyak pula yang tidak keberatan jika pungutan sekolah dilakukan untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Bahkan, banyak diantara para orang
tua/siswa yang menginginkan untuk memberikan konstribusi langsung
terhadap peningkatan mutu pendidikan disekolah. Keinginan sejumlah
warga masyarakat yang memiliki perhatian dan kepedulian serta
kemampuan ekonomis ini tentu harus diberikan apresiasi oleh
pemerintah daerah dan sekolah.
Arah perubahan
Potensi ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dan
sekolah. Misalnya melalui penggalangan dan penyaluran Dana Abadi
Sekolah (DAS). DAS ini dapat menjadi sarana atau wahana untuk
penggalangan dana partisipasi masyarakat, termasuk para alumni sekolah
yang bersangkutan yang memiliki kepedulian terhadap peningkattan
mutu pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Secara kelembagaan,
kegiatan ini dapat dilakukan oleh Komite Sekolah di masing-masing
sekolah. Sehingga, keberadaan dan peran Komite Sekolah tetap dapat
berjalan dan tidak ternegasikan dengan adanya program pendidikan
gratis—partisipasi komite sekolah justeru semakin minim.
16. Profesionalisme Guru Perlu Ditingkatkan Untuk Menjaga
Pendidikan Gratis Yang Bermutu
Pfofesionalisme guru memiliki peran yang sangat strategis dalam
menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. Untuk memperoleh guru
yang profesional tentu dimulai sejak proses rekrutmen Pegawai Negeri
Sipil. Seleksi dan Ujian yang dilakukan dalam penjaringan guru selain
32
mengacu pada ketentuan standar umum, perlu dilakukan uji kompetensi.
Uji kompetensi tersebut terkait dengan program studi yang akan
diajar/dilamar. Jika lowongan CPNS guru bahasa inggris, maka peserta
calon pegawai negeri sipil tersebut harus diuji kemampuannya secara
langsung dengan program bahasa inggris, termasuk kemampuan untuk
mengajar. Karena dari hasil evaluasi, masih banyak guru yang setelah
lulus menjadi PNS-Guru ternyata tidak memiliki kapasitas untuk
mengajar. Bahkan, banyak yang tidak mampu berbicara dihadapan siswa.
Di beberapa sekolah saat ini banyak ditemukan pula pegawai
negeri, yang sesungguhnya tidak memiliki background atau basic untuk
mengajar atau berasal dari program studi keguruan dan ilmu pendidikan,
sebagian besar adalah berasal dari akta IV (mengajar). Sehingga ada guru
yang basic pendidikannya adalah Sarjana Pertanian, kemudian mengajar
fisika dan kimia. Padahal, dari aspek kemampuan dan keilmuan yang
dimiliknya dengan program studi yang diajarkan tidak memiliki korelasi
dan kompetensi. Beberapa kasus lainnya adalah Guru yang hanya
berpendidikan SMA mengajar di Sekolah Dasar dan diangkat menjadi
Pegawai Negeri Sipil, bahkan ada tenaga administrasi yang merangkap
pula sebagai guru dan sebagainya.
Letak persoalan sesungguhnya bukan karena keterbatasan jumlah
guru yang memiliki kompetensi karena sebenarnya banyak guru di KSB
yang memiliki kompetensi di GTT atau GKD, namun karena kesempatan
yang dimiliki sangat terbatas, tidak ada akses dan jaringan ke tingkat
kekuasaan, akhirnya mereka tersingkirkan dari proses seleksi CPNS.
Rentannya praktek kolusi dan nepotisme dalam rekrutmen pegawai
diyakni banyak kelangan sebagai masalah besar yang menyebabkan
minimnya mutu pendidikan. Disamping itu upaya program untuk
peningkatan kapasitas para tenaga pendidik di sekolah masih sangat
minim.
Arah Perubahan
Beranjak dari permasalahan diatas, maka perlu dilakukan
perubahan terhadap sistem rekrutmen guru, perlu ada tambahan materi
dalam seleksi guru, yakni melakukan uji dan fit and propertes guru, untuk
memastikan bahwa calon PNS guru tersebut benar-benar memiliki
kelayakan dan kompetensi untuk mengajar, karena nasib pendidikan
tersebut sangat tergantung dari para guru. Uji kalayakan tersebut harus
33
dilakukan secara terbuka dan independen serta mengkedepankan
obyektivitas.
Pemerintah daerah juga perlu untuk melakukan evaluasi secara
khusus dan menyelruh terhadap para tenaga pendidik yang ada saat ini,
khususnya adalah para guru PNS dan Guru PNS yang telah memiliki
sertifikasi, apakah dengan sertifikasi yang telah dimilikinya saat ini
mencerminkan kapasitas, integritas dan profesional mengajar yang cukup
memadai ataukah sebaliknya. Disamping, melakulan peningkatan
kapasitas kepada para guru di masing-masing sekolah, khususnya guru
yang mengajar di sekolah tertinggal, perlu untuk mendapatkan perhatian
dan pengembangan program kapasitas guru agar sekolah tersebut dapat
sejajar dengan sekolah lainnya yang telah lebih dahulu maju. Sanksi
terhadap para birokrat yang melakukan KKN dalam praktek rekrutmen
CPNS guru juga perlu diberikan sanksi yang lebih berat—karena dampak
yang ditimbulkan dari praktek tersebut adalah terhadap para generasi
KSB dimasa mendatang, mereka diajar oleh para guru yang tidak
memiliki komptensi atau berkualitas.
17. Tujuan Akses Pendidikan Telah Berhasil Dicapai, Namun
Mutu Pendidikan Harus Terus Ditingkatkan
Dari aspek pencapaian tujuan program, secara umum program
pendidikan gratis telah menunjukkan adanya perkembangan kemajauan
pencapaian. Hal ini tercermin dari meningkatkan APK (Angka Partisipasi
Kasar) dan Angka Partisipasi Murni (APM) dalam bidang pendidikan
yang terus mengalamai peningkatan dari tahun ketahun, begitupun
dengan tujuan meringankan biaya pendidikan, dan penguarangan
terhadap angka putus sekolah. Mengalami kemjuan yang signifikan sejak
diberlakukannya pendidikan gratis.
Agenda yang masih mendapat sorotan dan kritikan adalah pada
aspek mutu/kualitas pendidikan. Untuk itu, maka pada periode
pembangunan pendidikan di KSB selanjutnya yang perlu untuk mendapat
perhatian sekaligus perubahan yang harus dituju adalah pada
peningkatan mutu pendidikan. Standar Pendidikan Nasional perlu untuk
didorong dan diberlakukan pada sejumlah sekolah yang ada di KSB.
18. Lemahnya Regulasi Program Pendidikan Gratis Saat ini,
Menuntut Pentingnya dilakukan Scalling-Up Kebijakan
34
Berbagai permasalahan yang muncul terkait dengan pelaksanaan
program pendidikan gratis sebagaimana di atas tidak lepas dari lemahnya
regulasi yang mengatur tentang program pendidikan gratis. bahkan
sejumlah materi dalam regulasi tidak dapat berjalan efektif sebagaimana
mestinya. Beberapa substansi yang kurang efektif berjalan adalah sebagai
berikut ;
Pertama, aspek persyaratan penerima program. Secara konseptual
program pendidikan gratis dihubungkan pula dengan program gerakan
sejuta pohon atau dikenal dengan GSP3. Akan tetapi, Gerakan Sejuta
Pohon sampai hari ini belum jelas konsepsi maupun implementasinya,
serta korelasi positif antara GSP dengan Program Pendidikan Gratis.
Dinas pendidikan sebagai leading sektor pelaksana program
pendidikan gratis dan Dinas Kehutanan, Pertanian, dan Ketahanan
Pangan sebagai leading sektor dari program berjalan sendiri-sendiri,
kurangnya koordinasi dan harmoniasasi program antara Dinas
Pendidikan dan Dinas Kehutanan juga menjadi kendala. Disamping
kendala terkait petunjuk pelaksana dan teknis pejabaran atas kebijakan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Begitupun dalam aspek evaluasi
program pendidikan dan kesehatan gratis, dalam konsep Perbup Nomor
11 Tahun 2006 dalam pasal 23 ayat (2) dikatakan bahwa evaluasi
pelaksanaan program dikaitkan dengan Gerakan Penanaman Sejuta
Pohon, dilaksanakan oleh Dinas (Pendidikan-red) bersama-sama dengan
Dinas Kehutanan, Pertanian, Perkebunan dan Ketahanan Pangan. Tidak
ada penjabaran lebih lanjut atau ketentuan lebih lanjut mengenai materi
apasajakah yang dievaluasi oleh masing-masing pihak, cakupan dan
lingkup evaluasi, indikator keberhasilan program, maupun korealasi
antara program GSP dan Program Pendidikan Gratis. Dua program
tersebut memiliki maisntream dan sesungguhnya semangat yang
berbeda. GSP sesungguhnya adalah sebuah program nasional yang
berlangsung pada tahun 2004, era pemerintahan megawati—sebagai
bentuk respons pemerintah pusat atas kesepakatan dengan para donor
asing terkait dengan upaya antisipasi pemanasan global dan perubahan
iklim yang kemudian diadopsi oleh daerah. Sejauh ini belum terlihat ada
keterpaduan antara kedua program tersebut.
Dalam Perbup Nomor 11 Tahun 2006 pasal 23 secara eksplitit
menyebutkan mengenai syarat penerima beasiswa. Bunyi pasal 23 adalah
3 GSP ditetapkan dengan Peraturan Bupati Sumbawa Barat Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Gerakan Sejuta Pohon di Kabupaten Sumbawa Barat, Peraturan ini ditetapkan pada tanggal 2 Mei 2006.
35
sebagai berikut “Peserta Belajar yang dapat menerima bantuan
pendidikan dari Program adalah siswa yang terdaftar disekolahnya
masing-masing dan atau telah mempunyai sertifikat GSP”. Dalam
rumusan pasal ini, secara implisit, mencerminkan ada dua syarat dan dua
otoritas lembaga yang memiliki kewenangan untuk menentukan peserta
penerima program, yakni ; Dinas Pendidikan dengan syarat siswa yang
terdafat di sekolah dan Dinas Kehuatanan, Pertanian, perkebunan dan
Ketahanan Pangan dengan GSP. Ketidakjelasan rumusan ini, bukan
hanya membingungkan masyarakat, tetapi juga dapat membingungkan
implementing agency dari pembuat dan pelaksana aturan itu sendiri.
Kedua, kekaburan rumusan dalan perbup Nomor 11 tahun 2006
tercermin pula dalam pengaturan mengenai pemantauan. Dalam pasal 25
ayat (1) dikatakan bahwa pihak-pihak terkaitpsimaksud dalam pasal 4
wajib melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan program. Ayat (2)
hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Bupati, Dinas, Tim dan lainnya guna keberhasilan Program.
Dalam rumusan ini jelas bahwa Perbup memerintahkan kepada
pihak-pihak terkait yang meliputi ;
a. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora);
b. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
c. Badan Pengeloa Keuangan Aset Daerah (BPKAD)
d. Inspektorat Daerah;
e. Dinas Kehutanan, Pertanian, Perkebunan dan Ketahanan Pangan
(DISHUPPTAN)
f. Dewan Pendidikan;
g. Unit Pengaduan Masyarakat (UPM);
h. Kepala Kantor Cabang Dinas (KCD) Dinas Pendidikan, Pemuda
dan Olahraga;
i. Sekolah/Madrasah;
j. Guru;
k. Camat;
l. Kepala Desa;
m. Orang Tua/wali Siswa dan;
n. Komite Sekolah
Untuk melakukan pemantauan terhadap program pendidikan
gratis. oleh karena perintah dalam pasal 25 adalah merupakan wajib atau
suatu keharusan, maka tentu secara hukum memiliki konsekeunsi jika
dilaksanakan akan memperoleh sanksi. Namun, perintah dalam pasal 25
tersebut tidak dibarengi dengan pengaturan terhadap sanksi. Sehingga
36
perintah keharusan untuk bertindak sesuai dengan pasal 25 ayat (1) tidak
memiliki kekuatan apapun karena ketiadaan atas sanksi.
Begitupun terkait dengan tugas pemantauan, oleh karena dalam
ketentuan peraturan tersebut (pasal 25 ayat 1) merupakan sebuah
keharusan untuk bertindak atau dijalankan, maka seyogyanya
implementing agency merumuskan secara jelas apa dan siapa yang
dipantau (obyek pemantauan) yang dilakukan oleh masing-masing pihak,
waktu dan prosedur pemantauan yang dijalankan, format pemantauan,
dan sebagainya. Namun dalam regulasi maupun turunannya tidak
mengatur sama sekali, sehingga seulit bagi para pihak untuk dapat
melaksanakan perintah pasal 24 ayat (1) dan (2). Bahkan menjadi
keanehan, jika Dinas (dikpora) memantau dirinya sendiri dan
melaporkannya kepada mereka sendiri (lihat pasal 24 ayat 1 dan 2).
Dari rumusan pasal-pasal yang diatur dalam Perbup Nomor 11
Tahun 2006 menunjukkan lemahnya peraturan tersebut, baik dari aspek
teknis pertimbangan, landasan yuridis yang digunakan, materi
pengaturan, maupun kalimat perundang-undangan yang digunakan.
Sehingga sangat wajar, jika impelemnting agency maupun rule ocupation
dari peratura tersebut tidak dapat dijalankan secara efektif oleh para
pihak atau dengan kata lain sulit bagi setiap orang untuk berperilaku atau
bertindak sesuai dengan yang diinginkan oleh peraturan tersebut, karena
perintah, larangan, kebolehan maupun pengaturan tentang obyek,
impelemnting agency dan rule occupation atas peraturan tersebut tidak
jelas dalam pengaturannya.
Beranjak dari permasalahan tersebut, maka perlu untuk
dilakukannya scalling-up perbup. Scalling-up perbup tersebut, bukan
hanya pada aspek penyempurnaan substansi materi pengaturan
melainkan pula adalah scalling-up kedudukan perbup untuk menjadi
sebuah perda—sebagai landasan untuk mendorong peyelenggaraaan
pendidikan yang bermutu/berkualitas di masa mendatang.
37