tinjauan pustaka bab ii -...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Nanas
Penyebaran tanaman nanas di Indonesia sangat luas di seluruh provinsi.
Daerah sentra pengembangan tanaman nanas di Indonesia antara lain: Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat,
Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku dan Bali
(Direktorat Jenderal Hortikultura, 2008). Adapun daerah sentra produksi nanas di
Indonesia pada tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Provinsi sentra produksi nanas di Indonesia tahun 2015
No. Provinsi Produksi (Ton)
1. Lampung 534.774
2. Sumatera Utara 223.128
3. Jawa Tengah 201.039
4. Jawa Barat 187.554
5. Jawa Timur 171.303
6. Jambi 142.846
7. Riau 74.388
8. Sumatera Selatan 57.521
9. Kalimantan Barat 56.177
10. Kalimantan Timur 8.184
(Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2016a)
Produksi nanas Provinsi Jawa Barat pada tahun 2015 berada di posisi ke
empat dengan total produksi mencapai 187.554 ton. Kabupaten/kota sentra
produksi nanas di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 2.
10
Tabel 2. Kabupaten/kota sentra produksi nanas di provinsi Jawa Barat tahun 2015
No. Kabupaten/Kota Produksi (Ton) Kontribusi (%) Kontribusi
Kumulatif (%)
1. Subang 181.798 96,93 96,93
2. Bogor 4.184 2,23 99,16
3. Bandung 319 0,17 99,33
4. Purwakarta 298 0,16 99,49
5. Tasikmalaya 249 0,13 99,62
6. Sukabumi 185 0,10 99,72
7. Cianjur 157 0,08 99,81
8. Ciamis 121 0,06 99,87
9. Sumedang 67 0,04 99,91
10 Majalengka 44 0,02 99,93
Lainnya 132 0,07 100,00
Jawa Barat 187.554 100,00
(Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2016a)
Tanaman nanas yang berada di daerah Subang Jawa Barat merupakan
spesies Ananas comosus (L.) Merr. (Collins, 1968). Tanaman nanas adalah
tanaman yang berbentuk herba dan bersifat terestrial atau dapat hidup di darat
dengan ketinggian 100 sampai dengan 1200 diatas permukaan laut. Tanaman
nanas merupakan anggota famili Bromeliaceae. Beberapa anggota famili
Bromeliaceae dibudidayakan untuk diambil serat dari daunnya, sebagai tanaman
hias atau dibudidayakan secara komersial untuk menghasilkan buah yaitu Ananas
comosus (L.) Merr. (Collins, 1968). Tanaman nanas terdiri dari akar, batang,
daun, bunga, buah dan tunas-tunas. Bagian-bagian tanaman nanas dapat dilihat
pada Gambar 3.
11
Gambar 3. Bagian-bagian tanaman nanas
(Sumber: Samson, 1986)
Tanaman nanas memiliki tinggi yang tidak lebih dari 30 cm. Daun-
daunnya berdaging, keras dan kaku, berbentuk seperti alur yang sempit, dengan
panjang 60-120 cm dengan bagian pangkal yang saling bertangkup satu dengan
yang lain. Tepi daun yang bergerigi seperti gergaji atau berduri atau kadang-
kadang juga ada yang tidak berduri, dan mempunyai pucuk yang meruncing dan
tajam. Tanaman nanas yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangan normal
akan mempunyai daun sempurna lebih dari 35 helai pada sekitar umur 12 bulan
setelah tanam (Samson, 1986).
Daun nanas dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan umur daun. Terdiri
dari daun C, yaitu daun yang paling tua, daun D biasanya paling panjang, dan
daun E yaitu daun yang masih muda. Panjang daun dapat mencapai 1,6 m dan
lebar 7 cm. jumlah daun tiap batang tanaman sangat bervariasi antara 40-80 helai
yang tata letaknya seperti spiral, yaitu mengelilingi batang mulai dari bawah
sampai ke atas arah kanan dan kiri. Bentuk daun nanas yaitu menyerupai pedang
dan agak kaku, selain itu daunnya juga mengandung serat, beralur, dan tidak
mempunyai tulang daun. Terdapat daun yang memiliki duri tajam dan ada juga
yang tidak (Collins, 1968).
12
2.1.1 Komposisi Kimia Daun Nanas
Daun nanas mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol serta memiliki
kadar air sebesar 85%. Komposisi atau kandungan kimia dari serat daun nanas
adalah selulosa, lignin, pektin, lemak dan wax, abu dan zat-zat lain (protein dan
asam organik lainnya). Menurut Hidayat (2008), terdapat 69,5-71,5% selulosa
dalam serat daun nanas. Komposisi kimia serat daun nanas dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia serat daun nanas
No. Komposisi Kimia Jumlah (%)
1. Alpha Selulosa 69,5 – 71,5
2. Pentosan 17,0 – 17,8
3. Lignin 4,4 – 4,7
4. Pectin 1,0 – 1,2
5. Lemak dan wax 3,0 – 3,3
6. Abu 0,71 – 0,87
7. Zat-zat lain (protein, asam organik, dll) 4,5 – 5,3
(Sumber: Hidayat, 2008)
2.2 Tanaman Pisang
Tanaman pisang merupakan tanaman buah berbentuk herba berasal dari
kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Di Indonesia, pisang merupakan
salah satu buah yang sangat popular di masyarakat karena mudah ditemukan dan
tersedia dalam berbagai jenis, disamping harganya yang sangat terjangkau dan
nilai gizi buahnya yang sangat lengkap. Budidaya buah pisang saat ini tidak hanya
dilakukan secara sederhana hanya di pekarangan/kebun rumah, tetapi telah
dilakukan secara intensif terutama pisang untuk keperluan ekspor (Direktorat
Jenderal Hortikultura, 2016b).
Menurut Prihatman (2000), pisang dibagi menjadi empat kelompok
berdasarkan jenis dan pemanfaatannya, yakni:
13
1) Pisang yang dimakan buahnya tanpa dimasak yaitu M. paradisiaca var
sapientum, M. nana atau disebut juga M. cavendishii, M. sinensis, misalnya
pisang ambon, susu, raja, cavendis, barangan dan mas.
2) Pisang yang dimakan setelah buahnya masak yaitu M. paradisiaca forma
typicaatau atau disebut juga M. paradisiaca normalis, misalnya pisang
nangka, tanduk, dan kepok.
3) Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di Indonesia dimanfatkan daunnya,
misalnya pisang batu dan klutuk.
4) Pisang yang diambil seratnya misal pisang manila.
Salah satu jenis tanaman pisang adalah pisang ambon (Musa paradisiaca var.
sapientum (L.) Kunt.) yang berpotensi tinggi menghasilkan batang pisang setelah
mencapai usia tidak produktif (Suhadi dkk, 2004).
Tanaman pisang mempunyai bagian-bagian tanaman seperti akar, batang,
daun, bunga, buah dan biji. Batang pisang merupakan batang semu yang terbentuk
dari pelepah daun yang membesar di pangkalnya dan mengumpul membentuk
struktur berselang-seling yang terlihat kompak sehingga tampak sebagai batang
(pseudo stem). Batang pisang yang sebenarnya terdapat didalam tanah dan
kadang-kadang muncul di permukaan tanah sebagai umbi yang tumbuh akar dan
tunas. Secara umum batang tersusun atas epidermis yang berkutikula dan kadang
terdapat stomata. Sistem berkas pembuluh yang terdiri atas xylem dan floem dan
tersusun tersebar.
Batang pisang dapat diolah menjadi serat untuk bahan dasar pembuatan
pakaian atau kertas. Batang yang dipotong kecil dapat dijadikan makanan ternak
dan bahan pembuat kompos. Air dari batang pisang dapat digunakan sebagai
penawar racun dan bahan baku dalam pengobatan tradisional (Suyanti dan
Supriyadi, 2010). Bagian-bagian tanaman pisang dapat dilihat pada Gambar 4.
14
Gambar 4. Bagian-bagian tanaman pisang
(Sumber: Suyanti dan Supriyadi, 2010)
2.2.1 Komposisi Kimia Pelepah Pisang
Batang pisang merupakan salah satu komponen penting pada pohon
pisang. Batang pisang atau yang sering disebut gedebog sebenarnya bukan batang
melainkan batang semu yang terdiri dari pelepah yang berlapis menjulang
menguat dari bawah ke atas sehingga dapat menopang daun dan buah pisang.
Batang pisang mengandung lebih dari 80-90% kadar air dan memiliki kandungan
selulosa dan glukosa yang tinggi sehingga sering dimanfaatkan masyarakat
sebagai pakan ternak dan sebagai media tanam untuk tanaman lain (James, 1952).
Batang pisang mengandung getah yang menyimpan banyak manfaat, yang
salah satunya digunakan di dalam dunia medis. Senyawa yang terkandung dalam
batang pisang ambon ini berupa saponin, tanin dan flavonoid. Senyawa saponin
berfungsi sebagai antibiotik, mempercepat pertumbuhan sel-sel baru, merangsang
pembentukan fibroblast, menghambat pertumbuhan bakteri, dan juga bersifat
antijamur (Hastari, 2012).
Komposisi kimia serat pelepah batang pisang yaitu, lignin rendah (5%),
selulosa (63-64%) dan hemiselulola (20%) tinggi, sedangkan seratnya relatif
panjang (Lisnawati, 2000).
Batang
Helai daun
Buah
Tunas
15
2.3 Serat Alami
Serat adalah suatu benda yang berbanding panjang diameternya sangat
besar sekali. Serat dapat dijadikan bahan baku pembuatan benang dan kain. Serat
dikenal orang sejak ribuan tahun sebelum Masehi, seperti negara Cina, pada tahun
2640 SM sudah menghasilkan serat sutera dan di India pada tahun 1540 SM telah
berdiri industri kapas. Pada tahun 10.000 SM, serat flax pertama digunakan di
Swiss dan serat wol mulai digunakan orang di Mesopotamia pada tahun 3000 SM.
Selama ribuan tahun serat flax, wol, sutera dan kapas melayani kebutuhan
manusia paling banyak. Pada awal abad ke-20 mulai diperkenalkan serat buatan
hingga sekarang bermacam-macam jenis serat buatan diproduksi (Sulam, 2008).
Serat dibedakan menjadi dua, yaitu serat alam dan serat buatan. Serat alam
berdasarkan asal bahannya dapat diklasifikasikan menjadi serat tumbuh-
tumbuhan, serat binatang dan serat mineral. Keunggulan yang dimiliki oleh serat
alam antara lain harga murah, ramah lingkungan, memiliki densitas rendah, dan
memiliki kekuatan mekanik yang cukup tinggi (Sulam, 2008).
Pemanfaatan serat alami, tentunya diharapkan mendapatkan berbagai
keuntungan, antara lain segi ramah lingkungan, segi kesehatan yang berkaitan
dengan proses pembuatan fiber, segi kekuatan materialnya yang ditinjau dalam
kekuatan tarik dan kekuatan keregangannya, serta segi ketahanannya terhadap
korosi, serat alami yang digunakan terdiri dari:
a) Serat Nabati: Merupakan serat yang paling banyak digunakan, karena
jumlahnya di alam berlimpah dan tidak mahal. Contohnya adalah katun, rami,
goni dan serat selulosa lain yang berasal dari tumbuhan.
b) Serat Hewani: Merupakan jenis yang kurang banyak digunakan tetapi
memiliki potensi. Serat hewani yang sering digunakan adalah sutra, dan wool
(Schwartz, 1984).
Keunggulan dari serat alami diantaranya yaitu beban lebih ringan, bahan
mudah didapat, harga relatif murah dan yang paling penting ramah lingkungan
(Situmorang dkk, 2017).
16
2.3.1 Komposisi Kimia Serat Alami
Karakter kimia yang berhubungan dengan pemanfaatan serat alam dari
tumbuhan ditentukan oleh kandungan selulosa dari serat (Malkapuram et al,
2009). Selulosa, lignin dan hemiselulosa merupakan komponen penyusun
tumbuhan yang berfungsi membentuk bagian struktural dan sel tumbuhan.
a) Selulosa
Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan glukosa yang terikat
dengan ikatan β1,4glyvosidic dengan rumus (C6H10O5)n dengan n adalah derajat
polimerisasinya. Struktur kimia tersebut yang membuat selulosa bersifat kristalin
dan tak mudah larut, sehingga tidak mudah didegradasi secara kimia/mekanis.
Molekul glukosa disambung menjadi molekul besar, panjang dan berbentuk rantai
dalam susunan menjadi selulosa. Semakin panjang suatu rangkaian selulosa, maka
rangkaian selulosa tersebut memiliki serat yang lebih kuat, lebih tahan terhadap
pengaruh bahan kimia, cahaya dan mikroorganisme. Selulosa itu sendiri
merupakan bahan dasar yang penting bagi industri seperti pabrik kertas, pabrik
sutera tiruan dan lain-lain.
Molekul selulosa seluruhnya berbentuk linear dan memiliki kecenderungan
kuat untuk membentuk ikatan hidrogen intra dan inter molekul. Ketersediaan
selulosa dalam jumlah besar akan membentuk serat yang kuat, tidak larut dalam
air, tidak larut dalam pelarut organik, dan berwarna putih. Struktur selulosa
ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur selulosa
(Sumber: Lankinen, 2004)
17
b) Hemiselulosa
Hemiselulosa memiliki rantai yang lebih pendek dibandingkan selulosa,
karena derajat polemerisasinya lebih rendah. Berbeda dengan selulosa, polimer
hemiselulosa berbentuk tidak lurus tetapi merupakan polimer-polimer bercabang
dan strukturnya tidak berbentuk kristal. Hal ini menjadikan hemiselulosa lebih
mudah dimasuki pelarut dan bereaksi dengan larutan dibandingkan selulosa
selama pembuatan pulp. Hemiselulosa bersifat hidrofobil (mudah menyerap air)
yang mengakibatkan strukturnya kurang teratur.
Secara struktural, hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan
polimer gula. Berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun atas glukosa,
hemiselulosa tersusun dari berbagai macam gula. Monomer gula penyususn
hemiselulosa terdiri dari monomer gula berkarbon lima (pentose/ C-5), gula
berkarbon enam (heksosa/ C-6), asam heksuronat dan deoksi heksosa.
Hemiselulosa akan mengalami reaksi oksidasi dan degradasi terlebih dahulu
daripada selulosa, karena rantai molekulnya yang lebih pendek dan bercabang.
Hemiselulosa tidak larut dalam air tapi larut dalam larutan alkali encer dan
lebih mudah dihidrolisa oleh asam daripada selulosa. Hemiselulosa berfungsi
sebagai perekat dan mempercepat pembentukan serat. Hilangnya hemiselulosa
akan mengakibatkan adanya lubang antar fibril dan berkurangnya ikatan antar
serat (Putera, 2012).
c) Lignin
Lignin adalah senyawa yang sangat kompleks dengan berat molekul tinggi.
Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel. Lignin yang teletak
diantara sel memiliki fungsi sebagai perekat antar sel, sehingga tidak dikehendaki.
Sementara dalam dinding sel lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa dan
berfungsi untuk memberi ketegaran pada sel. Senyawa lignin menyebabkan warna
menjadi kecoklatan sehingga perlu adanya pemisahan melalui pemutihan
(Wibisono, 2002).
Lignin ini merupakan polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenil propane
melalui ikatan eter (C-O-C) dan ikatan karbon (C-C). Lignin dapat mengurangi
18
daya pengembangan serat ikatan antar serat (Wibisono, 2002). Struktur lignin
dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur lignin
(Sumber: Lankinen, 2004)
2.3.2 Bentuk Serat
Berdasarkan panjang serat dikenal dua jenis serat yaitu filamen dan stapel.
Filamen adalah serat yang sangat panjang. Serat buatan merupakan contoh dari
filamen. Panjang yang dihasilkan sesuai dengan keinginan pembuatnya. Satu-
satunya serat alam yang berbentuk filamen adalah serat sutera. Stapel adalah serat
19
yang mempunyai panjang hanya beberapa sentimeter, umumnya kurang dari
sepuluh sentimeter. Semua serat alam merupakan stapel kecuali sutera. Serat-serat
alam pada umumnya berbentuk stapel yang panjangnya hanya beberapa inchi.
Setengah dari jumlah serat-serat buatan juga berbentuk stapel yang dibuat dengan
cara memotong-motong filamen menjadi serat-serat yang panjangnya berkisar
antara 1 sampai 6 inchi. Pembuatan serat-serat buatan dalam bentuk stapel ini
dimaksudkan supaya dapat dicampur dengan serat-serat alam (Noerati dkk, 2013).
2.3.3 Sifat Serat Tekstil
Sifat serat tekstil mempunyai bentuk, tanda, ukuran tersendiri yang
berbeda-beda bergantung dari sifat seratnya, sifat serat akan mempengaruhi sifat-
sifat benang atau kain yang dihasilkan dan akan mempengaruhi cara pengolahan
benang atau kain, baik pengolahan secara mekanik maupun pengolahan secara
kimia. Beberapa sifat serat yang harus dimiliki agar dapat digunakan sebagai
bahan tekstil adalah:
1) Fisik
a. Perbandingan Panjang dan Diameter
Serat harus mempunyai perbandingan panjang dan diameter yang besar agar
dapat digunakan sebagai serat tekstil, untuk serat tekstil perbandingan panjang dan
diameter maksimum 1:200, sedangkan apabila serat tersebut akan digunakan
sebagai tekstil pakaian, perbandingan panjang dan diameter yang dimilikinya
harus lebih besar dari 1:1000. Perbandingan panjang dan diameter yang besar
bertujuan mendapatkan sifat fleksibel dari serat sehingga memudahkan serat akan
dipintal menjadi benang (Noerati dkk, 2013).
b. Kecerahan Serat
Kecerahan didefinisikan sebagai perbandingan cahaya pantul dari serat uji dan
cahaya pantul dinyatakan dalam persen. Derajat kecerahan merupakan
perbandingan kecerahan bahan yang sama dengan perlakuan yang berbeda.
Derajat kecerahan ditentukan dengan pengukuran cahaya yang dipantulkan
berdasarkan cara kromameter (Situmorang dkk, 2017).
Cara kerja kromameter hampir sama seperti kamera digital yang kemudian
menghasilkan data berupa L, a, dan b. Kromameter merupakan alat yang
20
digunakan untuk mengukur warna dari permukaan suatu objek. Prinsip dasar dari
alat ini yaitu interaksi antara energi cahaya diffus dengan atom atau molekul dari
objek yang dianalisis. Alat ini terdiri atas ruang pengukuran dan pengolah data.
Ruang pengukuran berfungsi sebagai tempat untuk mengukur warna objek dengan
diameter tertentu. Setiap kromameter dengan tipe berbeda memiliki ruang
pengukuran dengan diameter yang berbeda pula. Sumber cahaya yang digunakan
yaitu lampu xenon. Lampu inilah yang akan menembak permukaan sampel yang
kemudian dipantulkan menuju sensor spektral. Selain itu, enam fotosel silikon
sensitifitas tinggi dengan sistem sinar balik ganda akan mengukur cahaya yang
direfleksikan oleh sampel. Menurut Soekarto (1990), apabila hasil dari L
mendekati nilai 100 maka produk tersebut dapat dikatakan memiliki warna putih
yang baik.
c. Kehalusan Serat
Bentuknya yang halus merupakan sifat khas dari serat. Maksud dari halus
adalah benda yang sangat kecil, sehingga istilah kehalusan pada serat tekstil
menunjukkan besar kecilnya diameter serat. Kehalusan mempengaruhi
fleksibelitas dari benang atau kain yang dihasilkan. Contoh dua bahan tekstil yang
memiliki sifat yang berbeda adalah karung goni dan kain sutera. Karung goni
yang terbuat dari serat jute yang kasar (memiliki diameter 20 mikron) dan
perbandingan panjang diameter sebesar 1200, sedangkan kain sutera berasal dai
serat sutera yang memiliki diameter 12 mikron dengan perbandngan panjang dan
diameter sebesar 33x106 (Noerati dkk, 2013).
Besar kecilnya diameter serat dapat dinyatakan dengan ukuran yang dikenal
dengan istilah denier dan tex. Kedua istilah ini menyatakan perbandingan berat
serat setiap panjang tertentu. Istilah denier menyatakan berat serat (dalam satuan
gram) setiap panjang 9000 meter, sedangkan tex menyatakan berat serat (dalam
satuan gram) setiap 1000 meter (Noerati dkk, 2013).
……………...…….. (1)
21
…………….……....(2)
Keterangan
De = denier
Ls = panjang serat (meter)
ms = berat serat (g)
Te = tex
d. Kandungan Kelembaban (Moisture Regain)
Moisture Regain yaitu kemampuan serat tekstil untuk menyimpan uap air
dalam kondisi ruang yang standar. Kandungan kelembaban suatu serat tekstil
dinyatakan dalam moisture regain (MR) yang menyatakan kandungan uap air
pada bahan. MR menyatakan kandungan uap air pada bahan dibandingkan berat
bahan pada kondisi setelah dikeringkan (Noerati dkk, 2013).
........................................ (3)
Keterangan:
MR = moisture regain (%)
ba = berat serat tekstil awal sebelum dikeringkan (g)
bk = berat serat setelah dikeringkan (g)
Beberapa serat mampu menyerap uap air lebih banyak dibandingkan dengan
serat yang lain, serat-serat yang mampu menyerap uap air lebih banyak disebut
serat yang higroskopis. Sifat higroskopis ditentukan oleh struktur molekul dari
seratnya. Serat selulosa karena mempunyai gugus hidroksil cukup banyak
menyebabkan serat selulosa bersifat higroskopis. Sifat higroskopis dari serat
menyebabkan kain yang diahasilkannya nyaman untuk dipakai.
22
2) Mekanik
a. Kekuatan dan Mulur
Serat tekstil harus mempunyai kekuatan yang memadai, hal ini disebabkan
saat pemrosesan misalnya pemintalan, pertenunan, pencelupan maupun saat
pemakaian, serat mengalami beban-beban yang umumnya berupa beban tarik.
Kekuatan serat tekstil spesifik atau disebut tenacity, menyatakan kemampuan
serat untuk menahan beban tarik. Kekuatan dalam serat tekstil dinyatakan dalam
satuan gram/denier. Arti dari gram/denier adalah beban tarik (g) yang mampu
ditahan oleh serat yang mempunyai kehalusan 1 denier (Noerati dkk, 2013).
Mulur serat merupakan kemampuan serat bertambah panjang ketika ada beban
tarik yang dialami serat tersebut sebelum putus. Oleh karena itu istilah mulur
seringkali dinyatakan dalam mulur saat putus dengan satuan %, yang
menunjukkan pertambahan panjang sebelum putus dibandingkan panjang awal
(Noerati dkk, 2013).
Sifat mulur serat tekstil sangat berguna, mengingat banyak sekali beban tarik
yang dialami serat pada proses-proses pemintalan, pertenunan sampai proses
penyempurnaan. Jika serat tekstil mempunyai mulur kecil, maka ketika ada beban
tarik yang kecil pun serat akan mudah putus sehingga kurang baik digunakan
sebagai serat tekstil pakaian (Noerati dkk, 2013).
Faktor yang berpengaruh terhadap kekuatan tarik mulur serat adalah
kelembaban. Semakin besar kelembaban semakin besar pula kekuatan mulur serat
dan sebaliknya akan cenderung menurunkan kekuatan tarik (Indrawan, 2007).
Klasifikasi kekuatan serat menurut Raghavendra et al (2004), adalah:
1. Sangat kuat : >31g/tex
2. Kuat : 29-30 g/tex
3. Sedang : 26-28 g/tex
4. Rendah : 24-25 g/tex
5. Sangat rendah : <23 g/tex
b. Elastisitas
Elastisitas adalah kemampuan untuk kembali ke posisi semula dari serat tekstil
segera setelah beban tarik dihilangkan. Sifat ini sangat penting pada beban bahan
23
tekstil. Jika elastisitas suatu serat teksil baik, maka stabilitas dimensi dari bahan
yang dihasilkan akan baik pula sehingga bahan tekstil tidak mudah kusut (Noerati
dkk, 2013).
2.3.4 Karakteristik Serat Daun Nanas
Serat nanas merupakan serat selulosa termasuk golongan serat kasar (hard
fibre), kuat dan kurang fleksibel, kekakuannya tergolong tinggi, ini disebabkan
adanya lignin dan gom alam yang ada dalam serat. Kehalusannya 14-16 denier,
panjang serat bisa mencapai 130 cm tergantung dari umur tanaman nanas
(Soeprijono dkk, 1974).
Kekuatan tarik serat nanas kurang lebih 1,99 g/denier dipengaruhi kadar
selulosa dalam serat, panjang rantai molekul dan derajat orientasi. Mulur serat
nanas berkisar antara 4-6%, serat nanas mempunyai aktivitas yang besar terhadap
air, pada kondisi RH 65 dan suhu 20oC, moisture regain serat nanas rata-rata 9%
sedangkan berat jenis 1,5 g/cm3 (Luftinor, 2010).
Dilihat dari sifat fisika serat nanas terutama kekuatan tariknya yang sangat
tinggi dan merupakan serat kasar, maka serat nanas cocok dipintal menjadi
benang kasar dan penggunaannya diarahkan pada pembuatan barang kerajinan
tekstil non sandang (Pawitro dkk, 1978).
2.3.5 Karakteristik Serat Pelepah Batang Pisang
Serat yang diperoleh dari pelepah batang pisang merupakan serat yang
cukup kuat sehingga cocok dijadikan bahan kain (tekstil). Karakteristik dari serat
pada pelepah batang pisang yang bisa digunakan sebagai pengganti bahan
pembuat kain dan juga berdaya simpan tinggi. Salah satu jenis tanaman pisang
adalah pisang ambon (Musa sapientum L.) yang berpotensi tinggi menghasilkan
batang pisang setelah mencapai usia tidak produktif (Suhadi dkk, 2004). Sifat
mekanik dari serat pelepah batang pisang mempunyai densitas 1,35 gr/cm3,
kandungan selulosanya 63-64%, hemiselulosa (20%), kandungan lignin 5%,
kekuatan tarik rata-rata 600 MPa, modulus tarik rata-rata 17,85 GPa dan
pertambahan panjang 3,36 % (Nopriantina dan Astuti, 2013). Diameter serat
pelepah pisang adalah 5,8 μm, sedangkan panjang seratnya sekitar 30,92-40,92
cm.
24
2.3.6 Karakteristik Serat Kapas
Serat kapas merupakan serat berlubang (hollow fiber) yang mempunyai
lumen didalamnya dan berbentuk lonjong seperti pita terpilin. Lumen adalah
sumbu serat dan dapat berperan sebagai kapiler sepanjang serat serta dapat
menampung air sampai 27 kali berat seratnya. Lumen juga secara radikal
meningkatkan luas permukaan untuk berinteraksi dengan bahan kimia.
Menurut Koutu et al (2012), serat kapas mempunyai dinding primer dan
sekunder, serta mempunyai lumen di dalam serat sehingga bersifat fleksibel dan
elastis. Kandungan pada serat kapas diantaranya adalah selulosa, hemiselulosa,
lignin, gom, pektin, dan abu. Hemiselulosa terdapat pada dinding sel berupa gula
yang mengandung 5 atau 6 karbon, sifatnya tidak larut dalam air, tetapi larut
dalam alkali. Lignin adalah polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenol
dengan ikatan antar molekul yang kuat. Serat kapas terbentuk dari selulosa murni
(98%), selain kandungan selulosa yang tinggi serat kapas juga mengandung
protein 1,3%, abu 1,2%, lilin 0,6%, pektin 0,9%, dan asam organik 0,8%.
Kandungan lignin serat kapas tidak terdeteksi, karena sangat rendah. Hal ini
disebabkan karena serat kapas mempunyai dinding primer dan sekunder, serta
didalam serat kapas terdapat lumen sehingga bersifat fleksibel dan elastis
(Krakhmalev dan Paiziev, 2004). Kekuatan tarik serat kapas adalah 3,95 g/den.
Serat kapas mempunyai lumen, dinding lumen, dan dinding luar yang kuat, akan
tetapi kekuatannya masih dibawah serat rami, dan mempunyai mulur 6,5% , lebih
elastis dibanding rami. Mulur serat kapas yang sedang tersebut mampu
mengimbangi perubahan dimensi yang tinggi maupun rendah (Mulyawan, dkk,
2015, sedangkan menurut Sukardan dkk (2006), serat kapas memiliki nilai mulur
sebesar 8%. Serat kapas mempunyai moisture regain sebesar 8,5% serta
mempunyai sifat termal sedang (Mulyawan dkk, 2015).
2.4 Proses Pengambilan Serat
Pengambilan serat (fiber extraction) dapat dilakukan dengan cara manual
ataupun dengan peralatan dekortikator (Kirby, 1963).
25
2.4.1 Proses Pengambilan Serat dengan Cara Manual
Proses pengambilan serat dengan cara menual biasa juga disebut dengan
proses water retting dan scraping, cara ini merupakan cara yang paling umum dan
praktis. Water retting adalah proses yang dilakukan oleh mikroorganisme
(bacterial action) untuk memisahkan atau membuat busuk zat-zat perekat (gummy
substances) yang berada disekitar serat daun nanas, sehingga serat akan mudah
terpisah dan terurai satu dengan lainnya. Proses retting dilakukan dengan cara
memasukkan daun-daun nanas kedalam air dalam waktu tertentu. Faktor yang
mempengaruhi proses water retting, antara lain kondisi dari retting water, pH air,
temperatur, cahaya, perubahan kondisi lingkungan, aeration, macro-nutrients,
jenis bakteri yang ada dalam air dan lamanya waktu proses. Bahan yang telah
mengalami proses water retting kemudian dilakukan proses pengikisan atau
pengerokan (scraping) dengan menggunakan plat atau pisau yang tidak tajam
untuk menghilangkan zat-zat yang masih menempel atau tersisa pada serat,
sehingga serat-serat daun nanas akan lebih terurai satu dengan lainnya. Serat-serat
tersebut kemudian dicuci dan dikeringkan. Proses pengambilan serat dengan
metode manual diperlukan keahlian dan kesabaran seseorang untuk
mengerjakannya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses water ratting
yang dipengarhui oleh mikroorganisme yang tumbuh pada serat yang direndam
akan menghasilkan warna serat kecoklat-coklatan, pada umumnya dikenal dengan
istilah rust atau karat (Kirby, 1963).
2.4.2 Proses Pengambilan Serat dengan Cara Dekortikasi
Cara ekstraksi serat daun nanas dan pelepah pisang dapat dilakukan
dengan peralatan yang disebut dengan mesin dekortikator (Gambar 7), prosesnya
disebut dengan dekortikasi.
26
Gambar 7. Mesin dekortikator
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)
Mesin dekortikator terdiri dari suatu silinder atau drum yang dapat
berputar pada porosnya. Pada permukaan silinder terpasang beberapa plat atau
bilah (blades) yang akan menimbulkan proses pemukulan (beating action) pada
bahan saat silinder berputar. Gerakan perputaran silinder dapat dilakukan secara
manual (tenaga manusia) atau menggunakan motor listrik. Saat silinder berputar,
bahan, sambil dipegang dengan tangan, dimasukkan diantara silinder dan
pasangan rol dan plat masukkan. Oleh karena bahan yang dimasukkan mengalami
proses pengelupasan, pemukulan dan penarikan (crushing, beating and pulling
action) yang dilakukan oleh plat-plat atau jarum-jarum halus (blades) yang
terpasang pada permukaan silinder selama berputar, kulit daun ataupun zat-zat
perekat (gummy substances) yang terdapat disekitar serat akan terpisah dengan
seratnya. Pada setengah proses dekortikasi dari bahan yang telah selesai,
kemudian dengan pelan, bahan ditarik kembali. Dengan cara yang sama ujung
bahan yang belum mengalami proses dekortikasi dimasukkan kembali ke silinder
dan pasangan rol masukan. Kecepatan putaran silinder, jarak setting antara blades
dan rol masukan, serta kecepatan pemasukan akan mempengaruhi terhadap
keberhasilan dan kualitas serat yang dihasilkan (Hidayat, 2008).
Untuk memudahkan pemisahan zat-zat yang ada disekitar serat dan
menghindari kerusakan pada serat, proses dekortikasi sebaiknya dilakukan pada
kondisi daun dalam keadaan segar dan basah (wet condition). Bahan yang telah
Silinder penutup
Motor penggerak
Pulley
Belt
Rangka
27
mengalami proses dekortikasi, kemudian dicuci dan dikeringkan melalui sinar
matahari, atau dapat dilakukan dengan cara-cara yang lain (Hidayat, 2008).
2.5 Benang
Benang adalah jajaran serat-serat stapel (serat pendek) atau filamen alam
atau sintetik yang digabungkan atau dipintal dengan memberikan antihan (twist)
sehingga menjadi suatu untaian yang kontinu. Pembuatan benang umumnya
merupakan tahapan kedua sebagai bahan baku pembuatan kain.
Prinsip pembuatan benang yang umumnya digunakan sejak jaman dahulu
sampai sekarang yaitu terdiri dari proses-proses peregangan serat, pemberian
antihan dan penggulungan yang keseluruhannya disebut proses pemintalan.
Benang-benang yang dibuat dari serat-serat stapel dipintal secara mekanik,
sedangkan benang-benang filamen dipintal secara kimia. Pemintalan secara
mekanik dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Pemintalan secara mekanik
(Sumber: Sulam, 2008)
Keterangan:
1. Spindel
2. Gulungan Benang
3. Kincir
4. Injakan
Benang menurut jenis panjang seratnya dapat dibagi menjadi:
1) Benang stapel, yaitu benang yang dibuat dari serat-serat stapel. Serat stapel
ada yang berasal dari serat alam yang panjangnya terbatas dan ada yang
berasal dari serat buatan yang dipotong-potong dengan panjang tertentu.
28
2) Benang filamen, benang yang dibuat dari serat filamen.
Menurut konstruksinya benang dapat dibagi menjadi:
1) Benang tunggal, ialah benang yang terdiri dari satu helai benang saja.
2) Benang rangkap, ialah benang yang terdiri dari dua benang tunggal atau lebih
yang dirangkap menjadi satu.
3) Benang gintir, ialah benang yang dibuat dengan menggintir dua helai benang
atau lebih bersama-sama.
4) Benang tali, ialah benang yang dibuat dengan menggintir dua helai benang
gintir atau lebih bersama-sama.
Benang menurut pamakaiannya terdiri dari:
1) Benang lusi, adalah benang untuk lusi, yang pada kain tenun terletak
memanjang ke arah panjang kain.
2) Benang pakan, adalah benang yang pada kain tenun terletak melintang ke arah
lebar kain.
3) Benang rajut, adalah benang yang mempunyai antihan/gintiran yang relatif
lebih rendah daripada benang lusi atau benang pakan.
4) Benang sisir, adalah benang yang dalam proses pembuatannya melalui mesin
sisir (combing machine).
5) Benang hias, adalah benang yang mempunyai corak-corak atau konstruksi
tertentu yang dimaksudkan sebagai hiasan.
6) Benang jahit, adalah benang yang dimaksudkan untuk menjahit pakaian.
7) Benang sulam, adalah benang-benang yang dimaksudkan untuk hiasan pada
kain dengan cara penyulaman (Sulam, 2008).
Kekuatan benang diperlukan bukan saja untuk kekuatan kain yang dihasilkan,
tetapi juga diperlukan selama proses pembuatan kain. Hal-hal yang dapat
mempengaruhi kekuatan ini adalah:
1) Panjang Serat
Makin panjang serat yang dipergunakan untuk bahan baku pembuatan benang,
maka makin kuat benang yang dihasilkan.
29
2) Kerataan Panjang Serat
Makin rata serat yang dipergunakan, artinya makin kecil selisih panjang antara
masing-masing serat, makin kuat dan rata benang yang dihasilkan.
3) Kekuatan Serat
Makin kuat serat yang dipergunakan, makin kuat benang yang dihasilkan.
4) Kehalusan Benang
Makin halus serat yang dipergunakan, makin kuat benang yang dihasilkan.
Kahalusan serat ada batasnya, sebab pada serat yang terlalu halus akan mudah
terbentuk neps yang selanjutnya akan mempengaruhi kerataan benang serta
kelancaran prosesnya (Sulam, 2008).
2.6 Kain Tenun
Teknologi pertenunan merupakan salah satu teknologi yang digunakan
untuk membuat kain, selain dengan menggunakan teknologi perajutan dan non
woven. Kain tenun merupakan kain yang dibentuk dengan cara menganyamkan
atau menyilangkan dua kelompok benang yang saling tegak lurus posisinya
sehingga membentuk kain tenun dengan konstruksi tertentu. Dua kelompok
benang yang dimaksud adalah kelompok benang yang membentuk panjang kain
atau biasa disebut benang lusi, dan kelompok yang membentuk lebar kain atau
yang biasa disebut dengan benang pakan (Sulam, 2008).
2.6.1 Persiapan Pertenunan
Proses pembuatan kain dengan menggunakan teknologi pertenuan
memerlukan proses persiapan untuk benang lusi dan pakan. Proses persiapan yang
dilakukan untuk benang pakan adalah proses penggulungan benang dalam bentuk
gulungan cones untuk mesin tenun tanpa teropong atau berupa bobbin palet untuk
mesin tenun teropong. Proses persiapan yang dilakukan untuk benang lusi adalah
proses pengelosan, penghanian, penyambungan, dan pencucukan (Noerati, 2013).
1) Proses Pengelosan
Proses pengelosan merupakan proses menggulung benang dalam suatu bentuk
dan volume tertentu sesuai dengan kebutuhan. Mesin yang digunakan untuk
tujuan tersebut adalah mesin kelos. Tujuan dari pengelosan yaitu:
30
a. Meningkatkan mutu benang yang meliputi kekuatan, kerataan, kebersihan
benang dan sambungan-sambungan yang kurang baik.
b. Meningkatkan mutu gulungan benang yang meliputi kerataan permukaan,
kekerasan, bentuk gulungan benang.
c. Membuat gulungan benang sesuai dengan bentuk dan volume sesuai
dengan kebutuhan proses selanjutnya.
d. Meningkatkan mutu dan efisiensi pada proses selanjutnya.
2) Proses Penghanian
Proses menggulung benang lusi dengan arah gulungan sejajar pada beam hani
atau beam lusi merupakan salah satu diantara sekian proses persiapan pertenunan
disebut proses penghanian. Mesin yang digunakan untuk tujuan tersebut adalah
mesin hani.
Secara umum teknologi proses penghanian dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Penghanian langsung (beam warping/direct warping)
b. Penghanian seksional (sectional warping)
3) Proses Pencucukan Benang
Untuk mendapatkan proses yang baik selama pertenunan perlu
mempersiapkan mesin tenun dengan baik dengan proses pencucukan benang
(drawing in). Pada saat proses perubahan jenis order atau perubahan jenis kain
yang dibuat beam terkadang perlu diganti sehingga benang harus dicucuk ulang.
Apabila tidak ada perubahan jenis benang, maka hanya dilakukan proses
penyambungan.
2.6.2 Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM)
ATBM merupakan alat tenun tradisional untuk membuat kain tenun
dengan anyaman yang sederhana dan gerakan-gerakannya dilakukan oleh operator
sendiri atau digerakkan oleh tenaga manusia. Menurut Jumaeri (1977), bagian-
bagian dari ATBM adalah peralatan lusi berisi gulungan benang lusi yang terdiri
dari rangka gun, gun, sisir tenun, teropong dan lalatan. Rangka gun yaitu suatu
bingkai yang berisikan jumlah gun yang berfungsi untuk menaikkan atau
menurunkan benang-benang lusi untuk pembukaan lusi. Gun yaitu kawat yang
31
mempunyai lubang ditengahnya atau disebut mata gun. Sisir tenun yaitu suatu
bingkai yang berisikan sejumlah kawat atau pelat pelat pipih tertentu jumlahnya
untuk setiap incinya, dimana benang lusi dilewatkan diantara pelat-pelat tersebut.
Teropong yaitu kayu yang berfungsi seperti sekoci dimana gulungan benang
diletakkan. Lalatan kain yaitu alat penggulung kain yang baru dihasilkan. Alat
tenun bukan mesin (ATBM) dapat dilihat pada Gambar 9.
Keterangan:
1. Lade
2. Laci
3. Sisir tenun
4. Teropong
5. Blok dada
6. Gigi rachet
7. Pemutar gigi rachet
8. Boom kain
9. Injakan
10. Rangka ATBM
11. Batang pemukul
12. Mata gun
13. Rol/kerek
14. Gun/Kamran
15. Balok pembesut
16. Benang lusi
17. Boom lusi
18. Piringan rem
19. Batang pengerem
20. Bandul pengerem
Gambar 9. ATBM
(Sumber: Enie dan Karmayu, 1980)
32
2.6.3 Proses Pembuatan Kain Tenun
Proses pembuatan kain dengan mesin tenun terjadi akibat adanya silangan
antara benang lusi dan benang pakan. Secara prinsip pembentukan kain tenun
terdiri dari empat gerakan pokok, yaitu sebagai berikut :
a) Pembukaan mulut lusi (shed opening), merupakan gerakan menaikan dan
menurunkan benang lusi kearah vertikal. Gerakan menaik dan menurunkan
benang lusi ini diatur oleh peralatan cam atau dobby atau jacquard. Pada
mesin tenun dengan menggunakan peralatan cam dan dobby, benang lusi
dimasukan pada mata gun yang tersusun sedemikian rupa dan terbingkai
menjadi satu kesatuan yang disebut kamran (healdshaft). Kamran ini yang
akan digerakan naik dan turunnya oleh peralatan cam atau dobby. Gerakan
sebagaian kamran keatas dan sebagiannya kebawah membentuk semacam
celah yang disebut dengan mulut lusi (Noerati, 2013).
b) Penyisipan benang pakan (weft insertion), merupakan gerakan penyusupan
benang pakan setelah terjadinya proses pembukaan mulut lusi. Penyusupan
benang pakan diantara benang lusi dilakukan dengan cara meluncurkan
benang pakan oleh peralatan pembawa benang pakan. Peralatan pembawa
benang pakan yang digunakan bermacam-macam jenis dan bentuknya mulai
dari yang menggunakan teropong (shuttle) dan non teropong. Peralatan untuk
non teropong bisa menggunakan projektil, rapier, dan semburan udara atau air.
c) Penutupan mulut lusi (shed closing), merupakan gerakan benang lusi menuju
arah yang berlawanan sampai pada posisi awal, yaitu benang tidak membentuk
mulut lusi.
d) Pengetekan benang pakan (weft beat up), merupakan gerakan merapatkan
benang pakan yang telah diluncurkan diantara benang lusi oleh pralatan sisir
tenun. Setelah benang pakan dirapatkan, maka benang-benang lusi dan pakan
tadi akan menyilang satu sama lain menjadi kain.
33
2.6.4 Karakteristik Mekanik Kain Tenun
1) Kekuatan Tarik dan Mulur
Pada uji tarik, benda uji diberi beban gaya tarik sesumbu yang bertambah
secara kontinyu, bersamaan dengan itu dilakukan pengamatan terhadap
perpanjangan (mulur) yang dialami benda uji. Kurva tegangan regangan rekayasa
diperoleh dari pengukuran perpanjangan benda uji.
Tegangan yang dipergunakan pada kurva adalah tegangan membujur rata-
rata dari pengujian tarik yang diperoleh dengan membagi beban dengan luas awal
penampang melintang benda uji.
…………………………….. (4)
Keterangan:
= tegangan (N/mm2)
F = beban yang bekerja (N)
A = luas penampang benda kerja (mm2)
Regangan yang digunakan untuk kurva tegangan regangan rekayasa adalah
regangan linier rata-rata, yang diperoleh dengan membagi perpanjangan panjang
ukur (gage length) benda uji, ΔL, dengan panjang awalnya, Lo.
…………………………….. (5)
Keterangan:
= regangan
= pertambahan panjang benda kerja (mm)
Lo = panjang benda kerja awal (mm)
34
Gambar 10. Kurva umum tegangan – regangan hasil uji tarik
(Sumber: Davis et al, 1995)
Kurva tegangan regangan hasil pengujian tarik umumnya tampak seperti pada
Gambar 10. Dari gambar tersebut dapat dilihat:
1. AR garis lurus. Pada bagian ini pertambahan panjang sebanding dengan
pertambahan beban yang diberikan. Pada bagian ini, berlaku hukum Hooke:
……………………………….. (6)
Keterangan:
= pertambahan panjang benda kerja (mm)
Lo = panjang benda kerja awal (mm)
F = beban yang bekerja (N)
A = luas penampang benda kerja (mm2)
E = modulus elastisitas bahan (N/mm2)
2. Y disebut dengan titik luluh (yield point) atas.
3. Y’ disebut dengan titik luluh bawah.
4. Pada daerah YY’ benda kerja seolah-olah mencair dan beban naik turun
disebut daerah luluh.
35
5. Pada titik B beban mencapai maksimum dan titik ini biasa disebut tegangan
tarik maksimum atau kekuatan tarik bahan. Pada titik ini terlihat jelas benda
kerja mengalami pengecilan penampang (necking).
6. Setelah titik B, beban dimulai turun dan akhirnya patah di titik F (failure).
7. Titik R disebut batas proporsional, yaitu batas daerah elastis dan daerah AR
disebut daerah elastis. Regangan yang diperoleh pada daerah ini disebut
dengan regangan elastis.
8. Melewati batas proporsional sampai pada benda kerja putus, biasa dikenal
dengan daerah plastis dan regangannya disebut regangan plastis.
9. Jika setelah benda kerja putus dan disambungkan lagi (dijajarkan) kemudian
diukur pertambahan panjangnya ( ), maka regangan yang diperoleh dari
hasil pengukuran ini adalah regangan plastis (AF’).
Kekuatan tarik adalah beban maksimal yang dapat ditahan hingga kain
tersebut putus atau pada prinsipnya adalah suatu gaya atau beban yang dibutuhkan
untuk menarik contoh uji yang dijepit oleh 2 buah penjepit (clamp) pada alat uji
tarik dengan jarak tertentu dan kecepatan konstan hingga contoh uji tersebut
putus. Ketentuan lebar kain yang digunakan adalah tepat 25 mm atau 50 mm.
Kekuatan tarik kain merupakan salah satu parameter uji yang dipersyaratkan
untuk dipenuhi, seperti persyaratan mutu kain kemeja, georgette poliester, mori,
batik tulis mori, kain selimut, kain tenun untuk piyama, kain tenun untuk gaun &
blus, seprei, sarung poleng dan pelekat dewasa, celana anak-anak dan lainnya
(Islam dan Sana, 2017). Mulur bisa disebut dengan regangan tarik, yaitu
didefinisikan sebagai perbandingan panjang terhadap panjang semula, dimana
perpanjangan tidak hanya terjadi pada ujung-ujungnya, tetapi setiap bagian batang
akan memanjang dengan perbandingan yang sama. Jika sebuah stress bekerja
pada suatu benda maka dampak atau akibatnya benda mengalami strain
(regangan).
Kekuatan tarik kain kemeja minimum 107,9 N (11 kg) (BSN, 2008a), kain
georgette poliester minimum 68,7 N (7 kg) (BSN, 2006a), dan kain sarung poleng
dan pelekat minimum 157,0 N – 245,3 N (16 kg – 25 kg) (BSN, 2008b).
36
Persyaratan mutu kain tenun untuk setelan (suiting) berdasarkan SNI 08-0056-
2006 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Persyaratan mutu kain tenun untuk setelan (suiting)
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan
1. Kekuatan tarik kain per 2,5 cm:
- arah lusi
- arah pakan
N (kg)
N (kg)
min. 226,5 (23)
min 186,0 (19)
2. Kekuatan sobek1)
N (kg) min 14,7 (1,5)
3. Tahan selip benang pada jahitan
(pembukaan 6 mm)1)
N (kg) min 122,6 (12,5)
4. Perubahan dimensi
- dalam pencucian dan pengeringan1)
- setelah pencucian kering2)
%
%
maks 2
maks 2
5. Kenampakan kain setelah pencucian
berulang3)
DP min 3,5
6. Ketahanan luntur warna terhadap:3) Skala
6.1 Pencucian
- perubahan warna5)
- penodaan6)
min 4
min 4
6.2 Pencucian kering2)
- perubahan warna5)
min 4
6.3 Keringat asam dan basa
- perubahan warna5)
- penodaan6)
min 4
min 4
6.4 Gosokan
- kering6)
- basah6)
min 4
min 3-4
6.5 Sinar7) min 4
(Sumber: BSN, 2006b)
37
Catatan
(1) untuk arah lusi dan pakan
(2) untuk kain yang mengalami pencucian kering
(3) untuk kain awet (durable press)
(4) untuk kain yang berwarna
(5) skala abu-abu
(6) skala penodaan
(7) standar wol biru
2) Kekuatan Sobek
Pengujian kekuatan sobek kain adalah menguji daya tahan kain terhadap
sobekan. Pengujian ini sangat penting terlebih untuk kain-kain militer seperti kain
untuk kapal terbang dan payung udara. Pengujian cara ini dilakukan dengan alat
yang sama dengan alat yang dipakai untuk menguji pengujian kekuatan sobek
kain, yang sedikit diganti ukurannya (Khaerudin, 2013).
3) Daya Tembus Udara
Daya tembus udara yaitu volume udara yang dapat melalui kain pada suatu
satuan luas dengan tekanan tertentu. Satuannya yaitu cm3/detik/cm
2/1 cm tekanan
air (Khaerudin, 2013).
Kain tersusun oleh benang-benang yang terdiri dari serat-serat, maka sebagian
volume dari kain sebenarnya terdiri dari ruang udara. Jumlah, ukuran dan
distribusi dari ruang tersebut sangat mempengaruhi sifat-sifat kain, seperti
kehangatan dan perlindungan terhadap angin, hujan dan efisiensi penyaringan dari
kain-kain untuk keperluan industri (Khaerudin, 2013).
Meskipun jumlah ruangan udara dari dua macam kain sama, tetapi mungkin
saja kain yang satu lebih sukar dilalui udara dari pada yang lain dan karenanya
akan terasa lebih hangat jika dipakai.
Beberapa istilah yang dipakai yang berhubungan dengan ruang udara pada
kain, antara lain sebagai berikut :
a) Tekanan terhadap udara (air resistant), adalah untuk menyatakan berapa
lamanya waktu tiap volume udara tertentu dapat melalui kain tiap satuan
38
luas tertentu pada tekanan udara tertentu. Satuannya ialah detik/m3/cm
2/1
cm tekanan air.
b) Rongga udara (air porosity), adalah untuk menyatakan berapa persentase
volume udara dalam kain terhadap volume keseluruhan kain tersebut.
Kadang-kadang dalam pemakaiannya disamakan seperti air permeability.
Terdapat hubungan antara rapat tidaknya kain dengan udara yang dapat
menembus kain tersebut. Makin terbuka struktur suatu kain akan makin besar
daya tembus udaranya, hanya dalam kenyataannya faktor-faktor lain turut
mempengaruhi (Khaerudin, 2013).
2.7 Pemanfaatan Kain
Menurut Purbasari (2007), berdasarkan pemakaiannya, kain dapat
digunakan untuk sandang atau pakaian, kain untuk keperluan rumah tangga seperti
gorden, sprei, sarung bantal dan sebagainya, kain untuk keperluan militer seperti
kain parasut, kain kanvas, ikat pinggang dan sebagainya. juga ada kain untuk
keperluan industri yaitu kain belt (ban), karung goni dan sebagainya. Fungsi dari
kain dapat dilihat pada Gambar 11.
Fungsi Kain
Fungsi Rumah
Tangga/ House Hold
Fungsi Industri/
Industrial Use
Fungsi Budaya/
Tradisional
Fungsi Sandang/
Apparel
Gambar 11. Fungsi kain
(Sumber: Zyahri, 2013)
39
Secara garis besar fungsi kain dibagi menjadi 4 golongan (Zyahri, 2013),
yaitu:
1) Fungsi Sandang/ Apparel
Apparel selain mencakup pakaian jadi juga mencakup berbagai aksesoris
seperti sepatu, tas, perhiasan, tutup kepala atau kerudung, dasi, kaos kaki, dan
aksesoris lainnya.
2) Fungsi Rumah Tangga
Terdiri dari kain-kain yang dalam penggunaannya di luar sandang dan banyak
dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti kain leno, kain pique dan kain
bercorak.
3) Kain Industri
Kain untuk kebutuhan industri memiliki ciri-ciri antara lain kekuatan menjadi
pilihan utama dibanding kenyamanan seperti kain kanvas, kain suiting, kain blacu
dan kain non woven.
4) Kain Tradisional
Kain tradisional Indonesia mempunyai nilai budaya yang tinggi terutama dari
sudut estetis, bermakna simbolis dan memiliki falsafah yang mendasari
pembuatannya dan dipakai hanya pada kegiatan-kegiatan tertentu. Beberapa
contoh kain-kain tradisional yang popular; kain batik, kain ulos, kain songket,
tenun ikat, kain sasirangan dan sebagainya.