toleransi dan kerjasama umat beragama di wilayah sumatera

268
TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA Penulis ~ Ismail ~ M. Agus Noorbani ~ Daniel Rabitha ~ Hj. Marpuah ~ Rudy Harisyah Alam ~ Editor ~ Ismail ~ LITBANGDIKLAT PRESS 2020

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ i ~

TOLERANSI DAN KERJASAMAUMAT BERAGAMA

DI WILAYAH SUMATERA

Penulis~ Ismail ~ M. Agus Noorbani ~ Daniel Rabitha ~ Hj. Marpuah ~

Rudy Harisyah Alam ~

Editor~ Ismail ~

LITBANGDIKLAT PRESS2020

Page 2: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ ii ~

TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH INDONESIAHak Cipta@Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2020

Penulis:Ismail ~ M. Agus Noorbani ~ Daniel Rabitha ~ Hj. Marpuah ~Rudy Harisyah Alam ~

Editor:Ismail

Cetakan I, November 202015 x 23 cm, x + 258 hlmISBN: 978-623-6925-05-8

Penerbit:LITBANGDIKLAT PRESSJln. MH. Thamrin No. 6 Lantai 17Jakarta Pusat, 10340Telp. : +62-21-3920688Faks. : +62-21-3920688Website : www.balitbangdiklat.kemenag.go.idAnggota IKAPI No. 545/Anggota Luar Biasa/DKI/2017

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dandengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbitHAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Page 3: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ iii ~

KATA PENGANTARKEPALA BALAI LITBANG AGAMA JAKARTA

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang

telah memberikan karunia-Nya kepada kita, sehingga dengan

limpahan karunianya tersebut, Balai Litbang Agama Jakarta

berhasil memproduksi beberapa kegiatan kelitbangan baik

berupa penelitian maupun pengembangan dalam bentuk

buku, panduan, modul dan lainnya.

Tahun 2018, Balai Litbang Agama Jakarta menginisiasi

penelitian dengan tema “Toleransi dan Kerjasama Umat

Beragama di Wilayah Heterogen”. Riset ini bertujuan

menemukan daerah-daerah heterogen namun mempunyai

hubungan antarumat beragama yang kuat. Penelitian ini

mengambil lokasi di wilayah Jawa Barat dengan reasoning

bahwa wilayah ini sangat tinggi dinamika antarumat-umat

beragamanya.

Hasil penelitian tersebut menemukan beberapa daerah

yang sangat rukun kehidupan antarumat beragamanya.

Daerah tersebut di antaranya; 1) Desa Pabuaran, Kecamatan

Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, 2) Kampung Panggulan,

Kelurahan Pengasinan, Kota Depok, 3) Kampung Sawah,

Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, 4) Desa Kertajaya,

Kecamatan Pabayuran, Kabupaten Bekasi, 5) Kelurahan

Karangmekar, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi

dan 6) Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten

Kuningan. Kerukunan antarumat beragama yang terjalin di

beberapa wilayah tersebut terbentuk secara alami. Ikatan

Page 4: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ iv ~

kewargaan (civic ties), modal sosial bahkan latar belakang

sejarah menjadi faktor penting eratnya hubungan antarumat

beragama di wilayah tersebut.

Pada tahun 2019, Balai Litbang Agama Jakarta kembali

melakukan riset dengan tema yang sama namun mengambil

lokasi di wilayah Sumatera, yaitu: Aceh, Sumatera Selatan,

Jambi, Lampung dan Sumatera Utara. Hasil riset di beberapa

wilayah yang tersaji dalam beberapa bagian dalam buku ini

menemukan bahwa hubungan antarumat beragama terjalin

dengan harmonis dan tidak pernah sekalipun terjadi konflik

antarumat beragama di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan

oleh ikatan kekerabatan, modal sosial yang dimiliki oleh

masyarakat sangat kuat, sehingga dapat meminimalisir

potensi konflik yang akan terjadi di wilayah mereka.

Renstra Kementerian Agama tahun 2015-2019

mengamanatkan peningkatan kualitas kerukunan umat

beragama dalam pembangunan bidang agama. Kementerian

agama menyadari bahwa banyak sekali sistem tradisi dan

kearifan lokal (local wisdom) yang tumbuh secara alami di

masyarakat Indonesia. Temuan para peneliti dalam risetnya

menguatkan argumentasi tersebut bahwa kerukunan umat

beragama sudah menjadi warisan nenek moyang pada saat

Indonesia ini menjadi satu kesatuan dalam berbagi bentuk

sistem pemerintahan. Sejak zaman kerajaan sampai sistem

presidential, masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi

perbedaan, bahkan merawatnya dalam bentuk modal sosial

misalnya.

Di tengah dinamika aktivitas kegamaan yang akhir-

akhir menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh para sarjana

dan akademisi, masyarakat Indonesia di beberapa wilayah

mempunyai caranya sendiri untuk merawat perbedaan

tersebut dan faktanya isu-isu yang dapat memecah belah

hubungan antarumat beragama di wilayah tersebut tidak

~ KATA PENGANTAR ~

Page 5: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ v ~

dapat mengganggu hubungan antarumat beragama yang

sudah terjalin puluhan tahun sebelum republik ini terbentuk.

Kami berharap hasil penelitian ini bisa menjadi entry

point bagi pemangku kebijakan di pusat pemerintahan

maupun pemerintah daerah dalam meciptakan harmonisasi

kehidupan antarumat beragama di wilayahnya melalui model

kampung, desa/kelurahan, kecamatan yang peneliti temui

pada saat di lapangan.

Terakhir, izinkan kami mengucapkan terima kasih

kepada para peneliti Balai Litbang Agama Jakarta yang telah

menemukan kearifan lokal yang masih dirawat dan dipelihara

denga baik oleh sebagian masyarakat Indonesia dan kepada

para pihak yang sudah membantu kelancaran riset ini, bahkan

sampai terbitnya buku bunga rampai hasil penelitian yang

sudah tersaji di hadapan pembaca.

Jakarta, November 2020

Dr. Nurudin, M.Si

Page 6: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ vi ~

~ KATA PENGANTAR ~

Page 7: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ vii ~

SEKAPUR SIRIH

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah menganugerahkan

karunia-Nya, sehingga buku kumpulan hasil penelitian

tentang “Toleransi dan Kerjasama Antarumat Beragama di

Wilayah Sumatera” ini dapat terwujud dengan baik dan dapat

dinikmati oleh para pembaca.

Buku ini merupakan hasil penelitian para peneliti bidang

kehidupan keagamaan di Balai Penelitian dan Pengembangan

Agama Jakarta di wilayah Sumatera. Tema yang diangkat

adalah “Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama” yang

selalu menjadi perbincangan yang menarik untuk terus dikaji.

Toleransi dan kerjasama umat beragama ini merupakan

salah dua dari indikator kerukunan umat beragama, selain

kesetaraan.

Sumatera merupakan daerah dengan etnis, budaya

dan karakteristik yang berbeda dengan wilayah lainnya di

Indonesia. Enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,

Buddha, dan Khonghucu) juga mempunyai basis penganut

yang banyak di beberapa wilayah di Sumatera. Hindu, Buddha

dan Khonghucu sudah sejak awal menempati beberapa wilayah

di Sumatera. Hal tersebut terlihat dari sisa-sisa kerajaan,

prasasti, candi, rumah ibadat dan lainnya. Kemudian agama

Islam, Kristen, dan Katolik masuk ke wilayah Sumatera

melalui para saudagar hingga penjajah.

Walaupun belum banyak diketahui oleh khalayak, daerah-

daerah yang majemuk, dengan berbagai etnis, budaya bahkan

agama, banyak terdapat di wilayah sumatera. Daerah-daerah

Page 8: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ viii ~

itu tersebar di desa-desa, kecamatan di wilayah Sumatera.

Masyarakatnya hidup rukun sampai saat ini tanpa terpengaruh

dengan konflik sosial atau konflik yang bernuansa agama yang

terjadi di beberapa tempat di wilayah Indonesia.

Buku ini sangat layak dibaca dan menjadi bahan referensi

bagi para akademisi, penggiat dan praktisi kerukunan

maupun bagi pemerintah daerah atau masyarakat yang ingin

mengembangkan daerahnya menjadi wilayah yang rukun

antarumat beragama. Selamat membaca!!!

Jakarta, November 2020

Editor

Ismail

~ SEKAPUR SIRIH ~

Page 9: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ ix ~

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ----- iii

SEKAPUR SIRIH ----- vii

DAFTAR ISI ----- ix

BAGIAN SATU:

Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama

di Desa Lubuk Seberuk, Ogan Komering Ilir,

Sumatera Selatan ----- 1 - 38

Ismail

BAGIAN DUA:

Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama

di Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat,

Jambi ----- 39 - 76

M. Agus Noorbani

BAGIAN TIGA:

Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama

pada Masyarakat Desa Rawa Selapan

Kecamatan Candipuro, Lampung Selatan ----- 77 - 110

Daniel Rabitha

BAGIAN EMPAT:

Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama

pada Masyarakat Gampong Mulia

Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh ----- 111 - 216

Marpuah

Page 10: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ x ~

~ DAFTAR ISI ~

BAGIAN LIMA:

Toleransi dan Kerjasama Umat Bearagama

pada Masyarakat Sipirok, Tapanuli Selatan,

Sumatera Utara ----- 215 - 260

Rudy Harisyah Alam

Page 11: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 1 ~

BAGIAN SATU

Page 12: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 2 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Page 13: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 3 ~

Toleransi dan Kerjasama Umat Beragamadi Desa Lubuk Seberuk, Kecamatan Lempuing Jaya,

OKI, Sumatera Selatan ------------------------------------ Ismail ------------------------------------

Pendahuluan

Tema toleransi dan kerjasama antarumat beragama

merupakan tema yang selalu menarik untuk dikaji oleh para

sarjana maupun akademisi, karena toleransi dan kerjasama

merupakan dua dari tiga indikator kerukunan. Sedangkan

kesetaraan adalah indikator ketiga dalam menganalisis

kerukunan umat beragama.

Konsep toleransi relatif baru dalam sejarah umat beragama,

bahkan sering menjadi bahan perdebatan di kalangan umat

beragama. Tuntutan terhadap toleransi beragama terkadang

bukan berasal dari pertimbangan-pertimbangan teologis

atau religius, namun tuntutan yang dikedepankan ketika

keseluruhan struktur masyarakat berada dalam situasi kritis,

kemudian berbagai teori dikembangkan untuk membangun

masyarakat yang baru dan modern serta meninggalkan sistem

sosial lama yang tradisional (Schumann, 2006, 42).

Gagasan terkait dengan toleransi mulai mengemuka

di Eropa dalam abad ke 16. Perderitaan akibat dari perang-

perang agama, munculnya humanisme dan sekulerisasi dari

negara-negara modern menjadi pemicunya. Tokoh seperti J.

Denks dan S. Franck memunculkan padangan tentang gereja

universal dan agama tanpa dogma. Ide tersebut terus memicu

perjuangan kebebasan berpendapat, sehingga pengakuan

terhadap toleransi berlanjut hingga abad ke 17, sebagaimana

Page 14: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 4 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

terjadi di Republik Belanda Utara. Kemudian diikuti Inggris

dengan Toleration Act (1689), Perancis dengan Declaration

des droits de I’homme et du citoyen (1789) dan Jerman

(Yewangoe, 82).

Toleransi sering kali dikaitkan dengan kebebasan

berkeyakinan dan beragama (KBB), walaupun kajian KBB

cenderung pada isu-isu konflik umat beragama. Dalam

catatan beberapa lembaga non pemerintah (NGO), kebebasan

beragama di Indonesia mengalami pasang surut. Laporan

Tahunan Kebebasan Beragama oleh The Wahid Institute

mencatat bahwa pada tahun 2009 terjadi 121 pelanggaran,

184 palanggaran (2010), 267 pelanggaran (2011) dan

tahun 2012 tercatat 278 kasus pelanggaran dengan 363

tindakan. Sepanjang Januari-Desember tahun 2013, jumlah

pelanggaran sebanyak 245 kasus dengan 278 tindakan

(intimidasi, penyesatan, pelarangan hingga serangan fisik)

(Dja’far, 2018, 14).

Laporan SETARA Institute tahun 2017 meninggalkan

catatan terkait dengan pelanggaran terhadap kebebasan

beragama/berkeyakinan (KBB). Pelanggaran terhadap KBB

paling banyak menimpa warga (yaitu dalam 28 peristiwa)

dan individu (27). Umat Islam menjadi korban dalam tujuh

(7) peristiwa. Sedangkan mahasiswi, ulama, dan umat Katolik

masing-masing menjadi korban dalam lima (5) peristiwa.

Pada pertengahan tahun 2018, terjadi 109 peristiwa

pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB)

dengan 136 tindakan. Peristiwa pelanggaran KBB tersebar

di 20 provinsi (SETARA Institute, Laporan Tengah Tahun

Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas

Keagamaan di Indonesia tahun 2018.1

1Sebagian besar peristiwa pelanggaran terjadi di DKI Jakarta, yaitu dengan 23 peristiwa. Hingga pertengahan tahun 2018, di Jawa Barat “hanya” terjadi 19 pelanggaran yang menempatkan Jawa Barat di posisi kedua setelah DKI Jakarta. Jawa Timur berada di peringkat ketiga dengan 15 pelanggaran. Di posisi keempat ada DI Yogyakarta. Aktor-aktor negara

Page 15: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 5 ~

Pada saat yang sama, daerah-daerah yang dianggap paling

rendah tingkat toleransinya, seperti Jakarta dan Yogyakarta,

justru dalam penilaian indeks demokrasi di Indonesia

menempati daerah yang paling tinggi Indeks Demokrasi

Indonesia (IDI). Pada 2018 lalu, Badan Pusat Statistik

(BPS) merilis laporan yang menunjukkan bahwa IDI tingkat

nasional tahun 2017 mengalami peningkatan dibandingkan

dengan tahun 2016. IDI mengukur demokrasi di setiap

provinsi di Indonesia berdasarkan pada tiga aspek utama,

yaitu kebebasan sipil, hak politik, dan lembaga demokrasi.

Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir secara

konsisten menempati peringkat teratas dalam IDI. Namun,

pada 2017, Yogyakarta menempati peringkat keenam

terendah dalam indeks toleransi. Centre for Religious and

Cross-cultural Studies (CRCS) atau Program Studi Agama

dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada mengidentifikasi

sekitar 66 kejadian kekerasan bernuansa identitas terjadi di

Yogyakarta selama kurun waktu 2011 hingga 2016. Setelah

itu, muncul kasus baru seperti perusakan terhadap 11 nisan

yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah kepolisian, dengan 14 tindakan. Aktor negara lainnya yang juga melakukan tindakan pelanggaran dengan angka yang tinggi adalah Pemerintah Daerah dengan 12tindakan. Melengkapi tiga besar aktor negara yaitu institusi pendidikan dengan lima (5) tindakan. Selain oleh aktor negara, 96 tindakan lainnya dilakukan oleh aktor non negara. Pelaku tindakan pelanggaran pada kategori ini adalah individu warga maupun individu-individu yang tergabung dalam organisasi masyarakat.Tindakan yang paling banyak dilakukan oleh aktor non negara adalah intoleransi yaitu 12 tindakan. Tindakan lainnya yang juga banyak dilakukan oleh aktor non negara adalah pelaporan penodaan agama sebanyak 10 tindakan. Teror dilakukan sebanyak sembilan (9) kali, kekerasan delapan (8) kali dan ujaran kebencian sebanyak tujuh (7) kali. Aktor non negara yang melakukan pelanggaran dengan angka tertinggi adalah individu, dengan 25 tindakan. Aktor non negara yang paling banyak melakukan pelanggaran KBB menyusul individu adalah kelompok warga, MUI dan orang tak dikenal (masing-masing 9 tindakan), FUI (4 tindakan), dan FJI, MMI, dan gabungan Ormas(masing-masing3tindakan).http://setara-institute.org/laporan-tengah-tahun-kondisi-kebebasan-beragamaber keyakinandan-minoritas-keagamaan-di-indonesia-2018/. Diakses pada 27 Juni 2019).

Page 16: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 6 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

berbentuk salib di pemakaman di Yogyakarta.2 Salah satu

desa di Bantul juga belakangan diketahui tidak mengizinkan

seseorang yang beragama selain Islam bertempat tinggal di

desa tersebut (ALMI, Jakarta dan Yogyakarta Demokratis tapi

Intoleran: Mengapa Bisa Terjadi di Indonesia (https://almi.

or.id/2019/05/08/jakarta-dan-yogyakarta-demokratis-tapi-

intoleranmengapa-ini-bisa-terjadi-di-indonesia/. Diakses

pada 28 Juni 2019).

Lemahnya toleransi tidak lepas dari kurangnya

pemahaman terhadap keyakinan lain, keringnya spritualitas

agama dan kurangnya interaksi. Sosialisasi dan dialog

antarumat beragama (Nafi, 2018, 120). Namun, statement

itu harus diuji kebenarannya. Kementerian Agama RI

menginisisasi kegiatan Survei Kerukunan Umat Beragama

(KUB), yang diselenggarakan oleh Puslitbang Bimas

Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI.

Survei pertama tahun 2009 dilakukan di Provinsi

Jawa Barat (26 kabupaten). Survei tersebut menghasilkan

gambaran toleransi yang cukup baik di masing-masing

kabupaten. Survei kembali diselenggarakan pada tahun 2012,

dengan sample dan responden di 33 provinsi di Indonesia.

Hasilnya memperlihatkan indeks kerukunan antarumat

beragama cukup baik dengan rata-rata 3,67.

Tahun 2015, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan

Keagamaan kembali melakukan survei indeks KUB

2CRCS melaui program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) dan ANBTI, menyebutkan beberapa contoh peristiwa pelanggaran yang terjadi di Gunungkidul Yogyakarta, seperti pengusiran Pendeta Agustinus, penutupan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Semanu dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Playen yang telah memiliki IMB, penyerangan dan penutupan atas Gereja Kemah Injili Indonesia (GKII) Widoro, penolakan acara perayaan Paskah Adiyuswo Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gunugkidul yang disertai penganiayaan terhadap aktivis lintas iman, serta penolakan pendirian Gua Maria Wahyu Ibuku di wilayah Giriwening (https://crcs.ugm.ac.id/id/berita/8264/intoleransi-di-kota-toleranyogyakarta.html. Diakses pada 28 Juni 2019).

Page 17: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 7 ~

dengan perbaikan sampling dan responden (perkotaan)

serta menggunakan indikator toleransi, kerjasama damn

kesetaraan. Hasilnya cukup signifikan dengan capaian indeks

KUB 75,36 poin. Pada tahun-tahun selanjutnya, responden

diperluas sampai pedesaan dan dianalisis menggunakan

statistik deskriptif dan inferensial. Indeks KUB berada pada

angka 75,47 (2016), 72,27 (2017) dan 70,90 (2018).

Survei indeks KUB tahun 2018 menghasilkan, lima (5)

provinsi yang mempunyai skor di atas rata-rata antara lain:

Nusa Tenggara Timur (78,9), Sulawesi Utara (76,3), Papua

Barat (76,2), Bali (75,4) dan Sulawesi Barat (74,9). Sedangkan

5 provinsi yang mempunyai skor di bawah rata-rata nasional

adalah Banten (65,9), Jawa Barat (65,7), Jambi (65,3), Aceh

(64,1) dan Sumatera Barat (62,5).

Hasil survei indeks KUB tersebut mendapat komentar

yang beragam, ada yang setuju dan banyak juga yang menolak.

Provinsi Banten, Aceh dan Sumatera Barat misalnya, yang

basis Islamnya kuat ternyata dalam survei indeks KUB

menempati skor paling rendah diantara 34 provinsi lainnya

di seluruh Indonesia. Padahal menurut mereka, kondisi

kerukunan antarumat beragama di wilayah tersebut cukup

kondusif, walaupun beberapa kasus pernah terjadi terkait

dengan koflik antarumat beragama, namun dampaknya tidak

sampai pada konflik horizontal dan dapat diselesaikan secara

musyawarah.

Potret Kerukunan Antarumat Beragama di Indonesia oleh Lembaga Non Pemerintah

(NGO) dan Kementerian Agama di atas seakan

menghasilkan wajah yang berbeda. The Wahid Institute,

SETARA Institute, CRCS dan lainnya secara detail mencatat

berbagai peristiwa dan jumlah pelanggaran kebebasan

beragama dan berkeyakinan (KBB) di beberapa wilayah di

Indonesia. Sedangkan Kementerian Agama melalui puslitbang

Page 18: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 8 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Bimas Agama dan Layanan Keagamaan menghasilkan indikasi

kerukunan yang cukup harmonis di seluruh Indonesia. Dengan

menggunakan indikator toleransi, kesetaraan dan kerjasama,

survei tersebut menghasilkan angka rata-rata kerukunan yang

tinggi (6180) pada setiap provinsi di Indonesia.

Sejatinya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat

yang plural dan multikultural. Perbedaan etnis dan budaya,

seperti; Jawa, Sunda, Madura, Batak, Minang, Dayak dan

lainnya. (Nur Syam, 2009, 48-49), agama (Islam, Kristen,

Katolik, Hindu, buddha dan Konghucu)dan agama lokal

lainnya adalah hal yang biasa, sebagaimana semboyan bangsa

Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”.

Beberapa contoh masyarakat yang heterogen, namun

dapat memelihara dan menjaga kerukunan antarumat

beragama diantaranya; (1) Masyarakat Hindu dan Islam di

Kampung Sindu Desa Keramas, Kecamatan Blahbatu, Gianyar

Bali, (2) Masyarakat Kota Kupang, (3) Warga Kampung

Peunayong, Kota Banda Aceh, (5) Penganut agama Islam

dan Kristen di Kelurahan Mata Air Kota Padang (6) Sunda

Wiwitan dan Muslim di Kampung Cireundeu, Kelurahan

Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan (5 Wilayah ini jadi

Potret Kerukunan Umat Beragama di Indoensia (https://

news.okezone. com/read/2019/04/01/337/2037640/5-

wilayah-ini-jadi-potret-kerukunan-umat-beragama -di-

indonesia. Diakses pada 30 Juni 2019). Pusat Kerukunan

Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama juga melansir

beberapa desa/kelurahan di Indonesia Bagian Barat sebagai

“Desa Sadar Kerukunan”. Desa/kelurahan tersebut terlihat

pada tabel berikut.

Page 19: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 9 ~

Tabel 1. Desa Sadar Kerukunan

Provinsi Lokasi Desa Sadar Kerukunan

Jawa Barat Desa Cimahi

Banten Belum terbentuk

Aceh Kuta Alam, Kota Banca Aceh

Sumatera Utara Tanjung Balai, Sipirok

Sumatera Barat Desa Lunang Silaut

Riau Kelurahan Gurun Panjang

Jambi Desa Singa Pinang

Sumatera Selatan Desa Mekar Sari, Kabupaten Ogan Ilir

Bengkulu Desa Rama Agung, Kabupaten Bengkulu Utara

Lampung Desa Ponco Kresno, Kabupaten Pesawaran

Bangka Belitung Desa Batu Belubang, Kabupaten Bangka Tengah

Kepulauan Riau Desa Resun

DKI Jakarta Belum ada info

Sumber: Dokumen PKUB, 2017

Penetapan “Desa Sadar Kerukunan” tersebut adalah hasil

kesepakatan pemerintah daerah dengan Forum Kerukunan

Umat Beragama (FKUB) setempat. Namun pengelolaan

desa sadar kerukunan ini sepenuhnya dilimpahkan kepeda

pemerintah daerah. Bahkan, seiring munculnya nama-nama

desa tersebut sebagai icon desa kerukunan, pemerintah daerah

beserta Kementerian Agama setempat juga memunculkan

desa-desa lainnya sebagai desa sadar kerukunan.

Tahun 2018, Balai Litbang Agama Jakarta telah melakukan

riset terkait dengan toleransi dan kerja sama umat beragama

di wilayah Jawa Barat. Lokus penelitiannya adalah desa/

kelurahan yang masyarakatnya heterogen, multireligi dan

hidup rukun antarumat beragama, yaitu: (1) Desa Pabuaran,

Kec. Gunung Sindur Kab. Bogor, (2) Kelurahan Pengasinan,

Kota Depok, (3) Desa Kertajaya, Kec. Pabayuran, Kab. Bekasi,

(4) Kampung Sawah, Kec. Pondok Melati, Kota Bekasi, (5)

Kelurahan Karang Mekar, Kec. Cimahi Tengah, Kota Cimahi,

dan (6) Kelurahan Cigugur, Kec. Cigugur, Kab. Kuningan.

Page 20: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 10 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Pada tahun 2019 ini, Balai Litbang Agama Jakarta

melanjutkan tema riset tentang toleransi dan kerja sama

antarumat beragama di wilayah sumetera. Penelitian ini akan

akan menyisir daerah-daerah yang potensial sebagai desa

model kerukunan dan selanjutnya akan menjadi prototipe

bagi daerah-daerah lain di wilayahnya masingmasing.

Karakteristik masyarakat Sumatera tentu berbeda di

bandingkan dengan masyarakat Jawa, Sulawesi, Kalimantan

dan lainnya. Hal tersebut di karenakan perbedaan adat,

bahasa, budaya dan lainnya. Namun faktor agama membentuk

ikatan emosional yang kuat walaupun berbeda asal daerah.

Persamaan dan perbedaan budaya dan agama dapat

memunculkan perdamaian namun bisa pula memunculkan

konflik.

Pada satu wilayah, damai dan konflik itu bisa terjadi pada

waktu yang bersamaan. Misal; pada saat konflik komunal di

Poso meletus, ternyata Desa Banuroja Kab. Pohuwato, Provinsi

Gorontalo, yang masyarakatnya majemuk, tidak berpengaruh

terhadap konflik tersebut, padahal secara geografis, wilayah

tersebut bertetanggaan dengan Kab. Poso, Provinsi Sulawesi

Tengah (Wahab, 2015, 53).

Tujuan riset ini untuk mengetahui kerukunan antarumat

beragama yang terjalin di Desa Lubuk Seberuk Kec. Lempuing

Jaya, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya dan

mengetahui strategi yang diterapkan antarumat beragama

dalam menjaga kerukunan di Desa Lubuk Seberuk Kec.

Lempuing Jaya

Penelitian ini merupakan studi kasus, dengan

menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan

dengan menggunakan teknik wawancara, pengamatan serta

studi kepustakaan dan dokumentasi. Wawancara diarahkan

kepada individu-individu yang terkait, namun secara holistik

(Steven J Bogdan dan Taylor, 1992, 32-33), dilakukan kepada

sejumlah informan terdiri dari: Pemerintah Daerah Provinsi,

Page 21: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 11 ~

Pemerintah Kab/Kota, Kantor Wilayah Kemenag Provinsi,

Kemenag Kab/Kota, Kesbangpol Kab/Kota, Kecamatan dan

Kelurahan/Desa.

Pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara ditandai

dengan jenis pertanyaan yang terkait dengan permasalahan

penelitian (Dedy Mulyana, 2002, 59-60). Sedangkan studi

kepustakaan dilakukan dengan menelaah buku-buku terkait

dengan permasalahan yang dikaji. Data yang dihasilkan

dikumpulkan kemudian diolah secara deskriptif analitik,

melalui tahapan: coding, editing, klasifikasi, komparasi,

kemudian interpretasi untuk memperoleh pengertian baru.

Dalam analisis, data dimaknai secara mendalam berdasarkan

perspektif emic, yaitu penafsiran data secara alamiah

sebagaimana adanya hasil interpretasi ini selanjutnya

dipergunakan sebagai bahan penyususnan laporan penelitian.

Karena penelitiannnya berupa studi kasus (case study)

maka laporannya penelitiannya berupa deskripsi atas suatu

kejadian atau situasi yang dikaji (Paul B.Horton, Chester L,

Hunt, 1999, 38).

Kerangka Konseptual

Toleransi

Toleransi adalah sikap atau sifat menenggang, yaitu

menghargai serta membolehkan suatu pendirian, pendapat,

pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda

dengan pendirian sendiri.6 Adapun Toleransi sebagaimana

dimaknai oleh Margareth Sutton adalah kemampuan dan

kemauan seorang/individu dan masyarakat umum untuk

menghargai dan berhati-hati terhadap hak-hak orang

golongan kecil/minoritas dimana mereka hidup dalam

peraturan yang dirumuskan oleh mayoritas (Sutton, 53-60).7

Makna yang lain, menurut Davit Little, seorang dosen

di Practice of Religion, Etnicity and International Conflict,

Page 22: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 12 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

School of Divinity, Universitas Harvard mempunyai

arti: 1) menghormati pandangan orang lain, dan 2) tidak

menggunakan pemaksaan atau kekerasaan kepada orang

lain. Toleransi diartikan juga sebagai pemberian kebebasan

kepada sesama manusia atau kepada sesama warga

masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur

hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama

di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak

bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban

dan perdamaian dalam masyarakat (Hasyim, 1979, 22).

Toleransi antar agama adalah kesediaan seseorang untuk

menerima atau bahkan menghargai orang lain yang agamanya

berbeda atau bahkan yang tak disetujuinya sehingga orang

tersebut tetap punya hak yang sama sebagai warga negara

(Sulvivan, Pierson, dan Marcus 1982: 2).

Dari sejumlah makna toleransi yang dikonsepkan para

ahli tadi, dapat ditarik dua makna besar, yaitu: 1) menerima,

2) menghormati orang lain yang berbeda keyakinan/

kepercayaan dengan dirinya. Selanjutnya dari dua makna ini

dikembangkan lagi maknanya masing-masing, dan masing-

masing makna tersebut dijadikan sub indikator sebagai dasar

penarikan pertanyaan/kuesioner antara lain:

1. Menerima (penerimaan)

a. Memberi kesempatan berinteraksi pada orang yang

berbeda

b. Menciptakan kenyamanan

c. Tidak menggunakan kekuatan terhadap dan paksaan

terhadap kepercayaan dan praktek yang menyimpang

d. Penghargaan pada keragaman budaya

e. Mengenali sikap tidak toleran

2. Menghormati

a. Kesediaan untuk menghargai

b. Menghargai dan menghormati

c. Berhati-hati terhadap hak orang lain

Page 23: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 13 ~

Kerjasama

Kerjasama adalah tindakan saling bahu membahu (to

take and give) dan sama-sama mengambil manfaat dari

eksistensi bersama kerjasama. Tindakan ini menggambarkan

keterlibatan aktif individu bergabung dengan pihak lain dan

memberikan empati dan simpati pada berbagai dimensi

kehidupan, seperti kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan

keagamaan. Pengertian lain adalah realitas hubungan sosial

dalam bentuk tindakan nyata. Misalnya, dalam tindakan

tolong menolong atau gotong royong antar kelompok agama.

Koentjaraningrat menjelaskan kerjasama dapat terwujud

karena adanya interaksi antara satuan-satuan yang aktif.

(Koentjaraningrat, dkk., 2003:79). Sedangkan Ashutosh

Varshney melihat kerjasama dalam bentuk hubungan ikatan--

inter-komunal—atau jaringan dan yang mengintegrasikan dua

pemeluk agama. Dalam hal ini Robert Putnamm menyebut

hubungan ini sebagai modal sosial yang menjembatani

(bridging); kemudian hubungan antarpemeluk di luar ikatan

atau organisasi yang beranggotakan seagama, adalah modal

sosial yang mengikat (bonding). Selanjutnya Varshney11

membagi jaringan menjadi dua bentuk: a) asosiasional,

yakni sebagai bentuk ikatan kewargaan ke dalam organisasi

bisnis, ikatan profesi, klub olah raga, dan serikat buruh; b)

quotidian, adalah hubungan keseharian yang terbentuk

ke dalam ikatan yang tidak membutuhkan organisasi, atau

berupa interaksi kehidupan yang sederhana dan rutin, seperti

saling kunjung atara keluarga yang berbeda agama, kegiatan

makan bersama, berpatisipasi bersama dalam upacara-

upacara hari kemerdekaan, mengizinkan anak-anak mereka

untuk bermain bersama di lingkungan. (lihat; Varshney,

2009).

Interaksi yang tersirat dalam konsep relasi (kerjasama)

dalam penelitian ini adalah ‘interaksi sosial’ (termasuk sosial

keagamaan), yaitu jaringan hubungan antara dua orang

Page 24: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 14 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

atau lebih atau antara dua golongan atau lebih yang menjadi

syarat bagi kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat,

dkk.,2003:90)13. Tindakan kerjasama menempati variabel

tertinggi dari kerukunan karena kerjasama bisa terwujud

manakala toleransi dan kesetaraan sudah berada pada kondisi

yang baik.

Diantara riset tentang toleransi antarumat beragama

adalah riset yang dilakukan oleh Yusuf Faisal Ali di Desa

Sindangjaya Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur.

Dosen program studi PPKn STKIP Pasundan Cimahi ini

menyimpulkan bahwa proses terjadinya toleransi di Desa

Sindangjaya tidak lepas dari usaha dan peran pemerintah

setempat, tokoh agama dan dukungan dari masyarakat

setempat. Toleransi antarumat beragama merupakan bagian

dari kehidupan masyarakat. Hal tersebut terbukti dari perilaku

mereka yang saling terbuka dan menerima keberadaan agama

lain (Yusuf F. Ali, 2017, 110).

Riset lainnya adalah tentang “Kerukunan Umat Beragama

antara Islam, Kristen dan Sunda Wiwitan; Studi Kasus di

Kelurahan Cigugur Kecamatan Cigugur, Kuningan Jawa

Barat”. Riset ini dilakukan oleh Angga Syaripudin Yusuf

mahasiswa UIN Jakarta tahun 2014. Riset ini menemukan

bahwa yang menjadikan faktor kerukunan di Kelurahan

Cigugur adalah ikatan kekeluargaan, saling menghormati dan

menghargai dan gotong royong (Angga, 2014).

Ashutosh Varshney salah seorang profesor ilmu politik

di Universitas Brown AS pernah melakukan riset di berbagai

kota di India. Ia mengkaji bagaimana ikatan kewargaan

(civic ties) antara komunitas Hindu dan Muslim berperan

meredam bahkan mencegah terjadinya kekrasan etnis.

Ikatan kewargaan merupakan jaringan interkomunal, yang

menghimpun berbagai komunitas yang berbeda. Kemudian

jaringan ini diuraikan menjadi dua bagian: asosiasional dan

keseharian (quotidian).

Page 25: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 15 ~

Dalam ilmu-ilmu sosial, istilah “etnis” mempunyai 2

makna. Makna yang sempit namun populer, etnis berarti

berkaitan dengan “ras” atau “kebahasaan”. Horowitz

berpandangan bahwa istilah “etnis” dapat diartikan lebih

luas. Konflik yang berdasarkan kepada identitas-identitas

kelompok yang bersifat aksriptif; ras, bahasa, agama, suku

atau kasta dapat di sebut konflik etnis. Konflik etnis dapat

berupa ; 1) konflik ProtestanKatolik di Irlandia Utara dan

konflik Hindu-Muslim di India, 2) konflik antara kaum

kulit hitam dan kaum kulit putih di Amerika Serikat dan

Afrika Selatan, 3) konflik Tamil-Sinhala di Sri Lanka dan 4)

pertikaian Sunni dan Syiah di Pakistan. Ringkasnya, konflik

tersebut bercirikan sebagai konflik: 1) keagamaan, 2) rasial, 3)

kebahasaan dan 4) sektarian (Varshney, 2002, 4-5).

Riset ini akan menggunakan pendekatan Ashutosh

Varshney, yaitu pendekatan “ikatan kewargaan (civic ties).

Sejauhmana hubungan atau ikatan kewargaan antarumat

beragama di Desa Sindanjaya dapat terjalin dengan harmonis

dan asosiasi apa yang mereka gunakan dalam meredam

berbagai gejolak hubungan antarumat beragama di desa

tersebut.

Gambaran Umum Desa Lubuk Seberuk Kec. Lampuing Jaya

Kecamatan Lempuing Jaya adalah salah satu dari 18

kecamatan di bawah wilayah administratif Kabupaten Ogan

Komering Ilir (OKI), dengan jarak ke ibu kota kabupaten ±

65km. Kecamatan ini terletak di sebelah Barat Daya Ibu Kota

Kabupaten Ogan Komering Ilir (Kayuagung).

Page 26: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 16 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Gambar 1. Peta Wilayah Kecamatan Lempuing Jaya Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan

Luas wilayah 503.80 km², dengan 76 dusun dan 253 RT.

Menurut keterangan Sekretaris Camat Kecamatan Lempuing

Jaya3, 80% penduduk Kecamatan Lempiung Jaya adalah

masyarakat pendatang, sedangkan 20% nya penduduk asli.

Mayoritas penduduknya adalah bersuku Jawa, sebagian lagi

bersuku Komering dan Ogan.

Kecamatan Lempuing Jaya berbatasan dengan:

√ Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pedamaran

√ Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Ogan

Komering Ulu Timur

√ Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Teluk Gelam

Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Lempuing.

Kecamatan Lempuing Jaya berdiri sejak tahun 2006.

Sebelumnya, kecamatan ini bagian dari Kecamatan Lempuing.

Alasan pemekaran tersebut adalah untuk mempercepat

pertumbuhan ekonomi masyarakat Lempuing. Kecamatan

Lempuing Jaya terdiri dari 16 desa, yaitu:

3Wawancara dengan Bapak Laberen, sekretaris camat Kecamatan Lempuing Jaya pada 31 Juli 2019

Page 27: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 17 ~

1 Lubuk Seberuk 9 Lubuk Seberuk

2 Lubuk Makmur 10 Lubuk Makmur

3 Muara Burnai I 11 Muara Burnai I

4 Muara Burnai II 12 Muara Burnai II

5 Rantau Durian I 13 Rantau Durian I

6 Rantau Durian II 14 Rantau Durian II

7 Rantau Durian Asli 15 Rantau Durian Asli

8 Suka Jaya 16 Suka Jaya

Ibukota Kecamatan Lempuing Jaya adalah Desa Lubuk

Seberuk. Desa ini mempunyai jumlah penduduk paling padat

dibanding dengan desa lainnya, yaitu 6060 jiwa (2016). Desa

Lubuk Seberuk berbatasan dengan:

√ Sebelah utara berbatasan dengan hutan kawasan

Lampuing Jaya

√ Sebelah selatan berbatasan dengan Sungai belida

Lampuing Jaya

√ Sebelah timur berbatasan dengan Tania Makmur

Lampuing Jaya

√ Sebelah barat berbatasan dengan Tugu Jaya Lampuing

Desa Lubuk Seberuk dipilih menjadi ibukota Kecamatan

Lempuing Jaya karena desa tersebut merupakan desa pertama

yang berbatasan dengan Kecamatan Lempuing dan desa yang

menghasilkan banyak pangan, seperti; sayur-sayuran, padi

dan lain sebagainya.

Berdasarkan Data BPS Kab. OKI (Kecamatan Lempuing

Jaya dalam Angka), jumlah penduduk pada pertengahan 2017

berjumlah 66.225 jiwa, terdiri dari 34.370 jiwa laki-laki dan

31.855 perempuan (sensus penduduk tahun 2010, 59.786

ribu jiwa).

Page 28: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 18 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin danKecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, 2017

NoKecamatan

Se-Kabupaten Ogan Komering Ilir

2017Jumlah Penduduk Menurut Jenis

Kelamin (Jiwa)

Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Lempuing 41224 39197 80421

2 Lempuing Jaya 34370 31855 66225

3 Mesuji 22205 20997 43202

4 Sungai Menang 27006 24704 51710

5 Mesuji Makmur 29644 27099 56743

6 Mesuji Raya 20068 18541 38609

7 Tulung Selapan 22670 22256 44926

8 Cengal 25433 23670 49103

9 Pedamaran 22614 22983 45597

10 Pedamaran Timur 11647 11159 22806

11 Tanjung Lubuk 17611 16973 34584

12 Teluk Gelam 11764 11213 22977

13 Kayu Agung 35081 34613 69694

14 Sirah Pulau Padang 23524 22472 45996

15 Jejawi 20786 20765 41551

16 Pampangan 14994 15300 30294

17 Pangkalan Lampam 14251 14417 28668

18 Air Sugihan 18706 17391 36097

Kabupaten Ogan Komering Ilir 413598 395605 809203

Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Agamayang Dianut di Kabupaten Ogan Komering Ilir, 2015

No Kecamatan

Se-Kabupaten Ogan Komering Ilir

Jumlah Penduduk Menurut Agama (Jiwa)

Islam Protestan Katolik Hindu Buddha

2015 2015 2015 2015 2015

1 Lempuing 70302 283 1028 722 60

2 Lempuing Jaya 57039 946 355 2830 58

3 Mesuji 40219 282 154 460 -

4 Sungai Menang 5744 - 5744 - -

5 Mesuji Makmur 48034 757 1221 1771 43

6 Mesuji Raya 29799 676 477 29799 676

7 Tulung Selapan 55569 1 - - -

8 Cengal 44576 - - - -

Page 29: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 19 ~

9 Pedamaran 45448 - 24 2 -

10 Pedamaran Timur 19925 - 125 - 20

11 Tanjung Lubuk 32213 1 5 - -

12 Teluk Gelam 20955 - 81 223 -

13 Kayu Agung 56143 9 56 - 27

14 Sirah Pulau Padang 43650 - - - -

15 Jejawi 43920 - - - -

16 Pampangan 29237 - - - -

17 Pangkalan Lampam 26772 - - - -

18 Air Sugihan 32240 - 210 - -

Kabupaten Ogan Komering Ilir

701785 2955 9480 7429 208

Praksis Kerukunan di Desa Lubuk Seberuk

Salah satu desa di Kecamatan Lempuing Jaya, yang

masyarakatnya heterogen adalah Desa Lubuk Seberuk.

Berdasarkan monografi desa dan keterangan sekretaris Desa

Lubuk Seberuk4, masyarakat Desa Lubuk Seberuk terdiri dari

beragam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha)

dan etnis (Jawa, Bali, Melayu, Minang, Komering dan Ogan).

Rumah ibadatnya lengkap 5 agama, yaitu; Mesjid, Gereja,

Pura dan Vihara (Lubuk Makmur).

Berdasarkan data di Kantor KUA Kecamatan Lempuing

Jaya, mayoritas penduduk Desa Lubuk Seberuk adalah

pemeluk agama Islam (90%), Katolik (1,6%), Kristen (2,4%),

Hindu (5,5%) dan Buddha (0,1%). Sebagaimana yang terlihat

pada tabel berikut:

4Wawancara dengan Bapak Nyoman Mudita, sekretaris Desa Lubuk Seberuk pada 1 Agustus.

Page 30: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 20 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Tabel 4. Data KependudukanKantor Urusan Agama Islam Kecamatan Lempuing Jaya

Kabupaten Ogan Komering Ilir

No DesaPemeluk Agama

Islam Protestan Katolik Hindu Buddha Jumlah1 Lubuk Seberuk 6019 108 166 369 10 6672

2 Muara Burnai I 7289 - 356

15 - 7669

3 Muara Burnai II 8971 - 85 165 10 931

4 Lubuk Makmur 4032 81 69 7 17 4206

5 Sunagi Belida 5600 - 8 - - 5608

6 Mukti Sari 1662 10 24 12 1708

7 Lempuing Indah 1094 10 4 5 4 1117

8 Tania Makmur 1532 13 15 514 - 2074

9 Rantau Durian I 6397 39 16 - - 6434

10 Rantau Durian II 2567 39 126 1377 - 4109

11 Tanjung Sari I 2053 13 27 105 5 2203

12 Tanjung Sari II 2865 52 13 - - 2930

13 Purwoasri 2065 - - - - 2065

14 Sukamaju 1326 13 24 9 - 1372

15 Sukajaya 835 21 4 264 - 1124

16 Rantau Durian Asli

2750 - -

- - - 2750

JUMLAH 57035 355 940 2830 58 61218

Sumber: KUA Kec. Lempuing Jaya

Tabel 5. Data Rumah IbadatKantor Urusan Agama Islam Kecamatan Lempuing Jaya

Kabupaten Ogan Komering Ilir

No Desa Masjid Musholla Gereja Pura Wihara

1 Lubuk Seberuk 8 17 4 8 -

2 Muara Burnai I 18 23 2 - -

3 Muara Burnai II 8 16 1 - -

4 Lubuk Makmur 6 9 - 1 1

5 Sunagi Belida 7 14 - - -

6 Mukti Sari 4 2 1 - -

7 Lempuing Indah 3 - - - -

8 Tania Makmur 2 5 1 1 -

9 Rantau Durian I 11 14 1 - -

10 Rantau Durian II 5 5 - - -

Page 31: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 21 ~

11 Tanjung Sari I 5 5 2 -

12 Tanjung Sari II 3 3 - - -

13 Purwoasri 2 4 - - -

14 Sukamaju 4 5 - - -

15 Sukajaya 2 4 1 1 -

16 Rantau Durian Asli

11 - - - -

Masjid Gereja Katolik

Pura Vihara

Gambar 2. Rumah Ibadat Agama-Agama di Desa Lubuk Seberuk

Menurut keterangan Bapak Nyoman Mudita (Sekretaris

Desa Lubuk Seberuk), kerukunan antarumat beragama di

Desa Lubuk Seberuk sudah terjalin dengan baik dan harmonis

sejak puluhan tahun silam. Tidak pernah terjadi konflik

komunal (antarumat beragama) sekalipun di Desa Lubuk

Seberuk. Keterangan Sekretaris Desa Lubuk Seberuk tersebut

Page 32: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 22 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dibenarkan oleh Bapak Handoyo5. Menurut keterangan beliau,

sejak mereka menetap di Desa Lubuk Seberuk tahun 1979,

desa tersebut masih berupa lahan kosong dan hutan belantara.

Kemudian para pendatang membuka dan menggarap lahan

tersebut. Para pendatang mayoritas berasal dari Belitang.

Belitang adalah adalah satu kecamatan di Ogan Komering

Ulu Timur yang menjadi salah satu wilayah transmigrasi

dari pulan Jawa dan Bali. hubungan antar pendatang yang

berbeda agama dan etnis sudah terjalin dengan baik harmonis.

Mereka bukan saja pemeluk agama Islam, namun juga ada

yang Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha.

Kerjasama antarumat beragama berjalan dengan baik.

Hal tersebut terlihat pada kegiatan-kegiatan bakti sosial;

seperti gotong royong dalam pembangunan rumat ibadat

masing-masing agama. Ketika umat Islam membangun

Mesjid atau Musholla, umat non Muslim ikut berpatisipasi

melalui bantuan tenaga atau sumbangan material bangunan.

Begitu pula sebaliknya, ketika umat non Muslim membangun

rumah ibadatnya maka umat Islam berpartisipasi pula dengan

bantuan fisik maupun non fisik.

Pernyataan tersebut di benarkan oleh ketua pengurus

Forum Silahturahmi Umat Beragama (FSUB) Kecamatan

Lempuing Jaya, Ustazd Jamaludin S.Pd.I (Islam), di dampingi

oleh wakil ketua Handoyo Nono, S.Th (Kristen) dan anggota

Imam Royani (Islam), Mesrun (Buddha), Kusmijan (Kristen),

dalam sebuah pertemuan dengan peneliti di Kantor KUA Kec.

Lempuing Jaya.6

Kehidupan antarumat beragama berjalan harmonis

dan sudah berjalan berpuluh tahun yang lalu. Sikap saling

menghormati dan menghargai menjadi salah satu perekat

5Wawancara dengan Bapak Handoyono, Pengurus FSUB dari unsur Kristen, Pendeta Gereja Penyebaran Injil (GPI), sekaligus tokoh agama dan sesepuh Desa Lubuk Seberuk pada tanggal 1 September 2019.

6Audiensi dengan pengurus FSUB dan KUA Kec. Lempuing Jaya pada tanggal 30 Juli 2019

Page 33: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 23 ~

kerukunan antarumat beragam di Desa Lubuk Seberuk. Umat

beragama diberi keleluasan untuk membangun rumah ibadat

masing-masing agama, termasuk membuat sanggah di rumah

masing-masing umat Hindu.

Gambar 3. Sanggah Umat Hindu

Tradisi saling mengunjungi antarumat beragama ketika

perayaan hari besar, seperti; hari raya Idul Fitri, Natal,

Waisak, Nyepi dan lainnya sudah dipraktekan sejak mereka

membangun Desa Lubuk Seberuk. Ungkapan ini diceritakan

oleh salah seorang sesepuh atau tokoh masyarakat desa Bapak

Sukro (Hindu) yang sudah mulai menetap di Lubuk Seberuk

sejak tahun 1976.

Menurut Bapak Sukro, hubungan antarumat beragama

di Desa Lubuk Seberuk sangat harmonis. Tidak ada sama

sekali konflik komunal di antara mereka. Sikap saling

menghormati dan saling menghargai merupakan sikap

yang mereka pertahankan dalam memelihara kerukunan

antarumat beragama. Ketika umat Hindu melakukan ibadat

nyepi misalnya, umat non Hindu tidak dipaksa untuk ikut

nyepi dari segala aktifitasnya karena upacara tersebut hanya

berlaku di Bali.

Dalam kegiatan bermasyarakat, antarumat beragama

tidak memandang berasal dari agama apa, sehingga untuk

Page 34: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 24 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pemilihan kepala desa misalnya, bisa dari agama Islam,

katolik, Kristen, Hindu atau Buddha. Salah satu mantan kepala

Desa Lubuk Seberuk, I Nyoman Putu (Alm), adalah salah satu

tokoh masyarakat yang berpengaruh dan disengani (primus

interpares) berasal dari Hindu, yang mampu menjadi motor

penggerak dan perekat masyarakat Desa Lubuk Seberuk

sehingga pembangunan ekonomi desa hingga persoalan

bangunan sekolah, madrasah, pesantren hingga rumah ibadat

direalisasikan secara matang di zamannya.7

Analisis Tradisi Kerukunan

Salah satu tradisi yang mempererat jalinan kerukunan

antarumat beragama adalah acara “Ruwatan Desa”, yang

rutin di adakan sekali setahun pada tanggal 1Syura/

Muharram. Dalam tradisi masyarakat Jawa (kejawen), 1

syuro mempunyai arti penting terkait dengan kepercayaan.

Kesunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta dan Kesepuhan

Cirebon ikut ambil bagian dalam melestarikan tradisi lokal

tersebut, berupa ritual menjamas (memandikan) benda-

benda keramat/pusaka keraton.

Pada acara “Ruwatan Desa”, para tokoh agama kumpul dan

mengadakan doa bersama di aula desa bersama masyarakat,

dengan jadwal yang sudah ditentukan. Setelah itu, hiburan

bagi masyarakat desa, panitia mengadakan pagelaran wayang

kulit. Tradisi inilah yang menurut para tokoh agama yang

terkumpul di Forum Silahturahmi Umat Beragama (FSUB)

sebagai Local Wisdom (kearifan setempat) di Kec. Lempuing

Jaya.

Kekuatan

Tradisi “Ruwatan Desa” merupakan salah satu cara

masyarakat Desa Lubuk Seberuk menjaga dan memelihara

7Wawancara dengan Bapak Sukro, tokoh masyarakat, mantan sekretaris Desa Lubuk Seberuk pada 2 September 2019

Page 35: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 25 ~

kerukunan antarumat beragama. Acara ini merupakan tradisi

turun temurun di Desa Lubuk Seberuk maupun desa-desa

lainnya di Kecamatan Lempuing Jaya. Karena mayoritas

warganya berasal dari etnis Jawa, maka tradisi ini tidak asing

lagi bagi masyarakat Desa Lubuk Seberuk.

Dalam upacara “Ruwatan Desa”, prosesinya diawali

dengan doa oleh para tokoh agama. Masing-masing tokoh

agama melakukan doa di rumah ibadatnya masingmasing.

Bagi umat Islam dilakukan di Mesjid/Mushalla, bagi pemeluk

Kristiani di Gereja, umat Hindu di sudut-sudut jalan dan bagi

umat Buddha di Vihara.

Acara “Ruwatan Desa” mendapat dukungan yang penuh

dari masyarakat. mereka antusias dalam menyukseskan

acara tersebut karena pada bagian akhir rangkaian acara ada

hiburan bagi warga desa, yaitu; pagelaran wayang kulit. Ki

dalang merupakan aktor utama dalam acara “Ruwatan Desa”.

Melalui ki dalang, tradisi kejawen tersebut diselenggarakan

melalui doa-doa dan jampi-jampi. Setelah ritual khusus

dilakukan oleh dalang, barulah acara dilanjutkan dengan

pertunjukkan wayang kulit.

Gambar 4. Acara “Ruwatan Desa” di Kecamatan Lempuing Jaya

Page 36: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 26 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kelemahan

Sebagian warga di Kecamatan Lempuing Jaya ada

yang tidak setuju dengan acara “Ruwatan Desa”, walaupun

jumlahnya tidak banyak. Menurut mereka, pembacaan doa

“Ruwatan” oleh dalang dan diikuti dengan pembakaran

kemenyan, bagi ajaran tidak sesuai dengan ajaran agama

Islam (kufarat). Pembacaan doa merupakan wilayahnya

tokoh agama bukan seniman seperti ki dalang, apalagi disertai

dengan pembakatran kemenyan.

Bagi warga pribumi Kecamatan Lempuing Jaya, seperti;

Ogan dan Komering, tradisi tersebut adalah tradisi kejawen.

Karena mayoritas pendatang adalah etnis Jawa maka tradisi

itupun kemudian mereka bawa kemana pun mereka migrasi.

Bagi masyarakat lokal butuh waktu untuk meenerima atau

menyesuaikan diri dengan tradisi asing yang masuk ke wilayah

mereka karena mereka mempunyai tardisi sendiri.

Sebagian besar masyarakat menganggap tradisi ini

membawa nilai-nilai positif, terutama bagi hubungan

antarumat beragama karena desa-desa yang berada di

Kecamatan Lempuing Jaya, masyarakatnya multietnis dan

multireligi. Namun, sebagian mereka masih menganggap

bahwa tradisi ini adalah tradisi yang tidak sesuai dengan

prinsip-prinsip ketauhidan dalam agama, terutama bagi

mereka yang menagut agama Islam. Kelangsungan.

Pengembangan Kepemimpinan Sosial

Desa Lubuk Seberuk mempunyai sejarah panjang dalam

membangun hubungan antarumat beragama. Masyarakat

desa yang terdiri dari berbagai etnis dan agama, dari awal

sudah sepakat menjaga kerukunan diantara mereka. Sehingga

sampai saat penelitian ini berlangsung, belum pernah terjadi

sekalipun konflik antarumat beragama di desa tersebut.

Page 37: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 27 ~

Dalam perjalanan sejarah, tokoh-tokoh yang muncul dari

unsur agama, adat dan masyarakat saling bekerja sama dalam

membangun peradaban di desa Lubuk Seberuk. Baik tokoh

agama, seperti Kyai, Pendeta, Rohaniawan mengambil peran

masing-masing melakukan transformasi ilmu pengetahuan

agama ke pemeluknya masing-masing. Tokoh masyarakatnya

pun bermunculan dari unsur agama masingmasing. Sebagian

dari mereka kemudian terpilih menjadi aparatur desa, bahkan

menjadi kepala desa.

I Nyoman Putu misalnya, dia adalah salah satu kepala desa

yang beragama Hindu yang berhasil membangun peradaban

Desa Lubuk Seberuk. Pada zamannya, rumah ibadat masih-

masing agama mendapat support moril dan imateril. Mesjid,

mushalla, gereja, Pura, dapat berdiri di atas tanah yang cukup

memadai, bahkan cukup luas untuk ukuran sebuah desa.

Selain itu, dia memerintahkan untuk membangun sekolah,

madarasah bahkan pesantren besar di Desa Lubuk Seberuk.

Selain menjadi kepala desa, Bapak Nyoman Putu sekaligus

menjadi tokoh masyarakat yang disegani oleh masyarakatnya.

Baik bagi warga Muslim, Kristiani, Buddhis ataupun

bagi umat Hindu sendiri. I Nyoman Putu adalah primus

interpares yang mampu mempersatukan umat beragama di

Desa Lubuk Seberuk. Di zamannya, toleransi dan kerjasama

antarumat sangat aktif. Misalnya, pembanguan rumah ibadat

dikerjakan secara bergotong royong, oleh semua pemeluk

umat beragama. Ketika umat Islam membangun Mesjid atau

Mushalla misalnya, umat non Muslim ikut menyumbangkan

materi, berupa uang, bahan bangunan, maupun berupa

imateri, seperti tenaga, ide-ide dan lainnya.

Hal yang sama ketika umat non Muslim medirikan

rumah ibadat misalnya, umat Islam juga ikut berpartisipasi

dengan menyumbangkan tenaga, ide dan lainnya. Hubungan

kerukunan antarumat beragama ini tidak hanya pada

indikator toleransi, yaitu sikap saling menghormati dan

Page 38: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 28 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

saling menghargai, namun sudah pada tahap kerjasama, yaitu

realitas hubungan sosial dalam bentuk tindakan nyata.

Strategi Merawat Kelangsungan Tradisi Kerukunan

Patisipasi Generasi Muda

Menurut UU No.40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan,

yang dimaksud dengan pemuda dalam Bab I (1) yaitu; pemuda

adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode

penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16

(enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.

Jika merujuk Undang-undang Kepemudaan, kategori

pemuda adalah mereka yang berusia 16 s/d 30 tahun, maka

usia pemuda dalam laporan Badan Pusat Statistik adalah

mereka yang berusia 15-19 tahun, 20-24 tahun dan 25-29

tahun. Berdasarkan pengelompokkan usia tersebut, maka

jumlah pemuda di Kecamatan Lempuing Jaya berjumlah

13.053. Data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Jumlah Penduduk dan Kepadatan PendudukMenurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Lempuing Jaya

Tahun 2017

Kelompok Umur(Age Group)

Jenis Kelamin (Sex)

Laki-laki(Male)

Perempuan(Famale)

JumlahTotal

(1) (2) (3) (4)

0 - 45 - 9

10 - 1415 - 1920 - 2425 - 2930 - 3435 - 3940 - 4445 - 4950 - 5455 - 5960 - 64

65+

1.7622.3802.3142.2872.2132.1982.1351.9011.7191.4851.187890679

1.101

1.6572.1092.1242.0942.1832.0782.0021.8811.6411.3431.030

731456821

3.4194.4894.4384.3814.3964.2764.1373.7823.3602.8282.2171.6211.1351.922

Jumlah (Total) 24.251 22.150 46.401

Page 39: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 29 ~

Kaum muda di Desa Lubuk Seberuk Kecamatan Lempuing

Jaya cukup aktif dalam kegiatan-kegiatan kepemudaan, baik

yang berlatarbelakang agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu

maupun Buddha. Mereka berkumpul dalam wadah karang

taruna desa.

Pada acara-acara hari besar nasional, seperti hari

kemerdekaan RI, para pemuda terlibat aktif dalam kepanitiaan

yang dibentuk oleh pemerintahan desa maupun sebagai

peserta lomba. Dalam kepanitiaan, para pemuda lintas

agama terlibat dalam berbagai seksi. Sehingga komposisi

kepanitiaan tidak hanya diisi oleh unsur pemuda yang berasal

dari pemeluk agama yang sama tapi diisi dari pemuda lintas

agama.

Begitu pula dalam kegiatan “Ruwatan Desa” yang

diadakan oleh pemerintahan desa. Para pemuda lintas agama

cukup aktif dalam kepanitiaan tradisi lokal tersebut dan pada

umumnya acara tersebut banyak melibatkan para pemuda,

karena pada akhir kegiatan ruwatan ditutup dengan acara

hiburan.

Kerukanan antarumat beragama bagi mereka adalah hal

yang perlu dirawat dan dijaga. Kondisi kerukunan yang tidak

harmonis, menimbulkan potensi.

Partisipasi Komunitas Perempuan

Kaum perempuan di Desa Lubuk Seberuk Kecamatan

Lempuing Jaya cukup aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial

kemasyarakatan. Kegiatan tersebut diikuti oleh kaum

perempuan dari lintas agama, baik kaum tua maupun kaum

muda. Pada kegiatan gotong royong misalnya, komunitas

perempuan berpartisipasi aktif dalam kegiatan tersebut.

Begitu pula dalam kegiatan sosial lainnya. Komunitas

perempuan yang relatif muda, ikut bergabung dalam

komunitas karang taruni. Kegiatannya bisa beragam, mulai

dari kegiatan kepemudaan, sosial dan tradisi lokal yang masih

Page 40: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 30 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

mereka pertahankan dalam menjaga kerukunan antarumat

beragama.

Komunitas Agama

Para pemuka agama turut berkontribusi dalam

mewujudkan dan memelihara kerukunan antarumat

beragama di Desa Lubuk Seberuk Kecamatan Lempuing Jaya.

Para pemuka agama sepakat untuk menjaga hubungan antar

agama kondusif dan diantara cara yang mereka terapkan

adalah komunikasi.

Baik umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha

senantiasa menjaga kerukunan antarumat beragama dengan

saling berinteraksi. Selain faktor komunikasi para pemuka

agama, interaksi antar komunitas agama juga menjadi

perekat kerukunan.. Umat Islam sebagai mayoritas di Desa

Lubuk Seberuk menyadari bahwa selain Islam, ada umat

Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha yang secara bersama-

sama membangun wilayah mereka dari awal ketika mereka

migrasi dari Belitang OKU Timur.

Kesepakatan untuk hidup bersama, berdampingan antar

pemeluk beragama di Desa Lubuk Seberuk menandakan

ikatan kewargaan diantara pemeluk agama sudah terjalin

dengan erat sehungga potensi intoleransi dapat di minimalisir

bahkan tak pernah muncul dalam kehidupan antarumat

beragama di Desa Lubuk Seberuk.

Komunitas Adat

Komunitas adat di Kecamatan Lempuing Jaya terbagi

menjadi dua. Satu komunitas adat terdiri dari tokoh

masyarakat/sesepuh dari masing-masing agama, kemudian

berkumpul dalam sebuah wadah. Sedangkan satu komunitas

lagi terkumpul dalam suatu komunitas adat asli warga

pribumi, yaitu; Ogan dan Komering.

Page 41: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 31 ~

Komunitas adat Desa Lubuk Seberuk yang terdiri dari

perwakilan para tokoh masyarakat/sesepuh dari berbagai

agama, bertugas untuk menjaga hubungan antarumat

beragama di masyarakat. Jika terjadi konflik sosial yang

melibatkan antarumat beragama misalnya, maka salah satu

yang menjadi mediatornya adalah komunitas adat tersebut.

Karena mayoritas penduduk Desa Lubuk Seberuk pemeluk

agama Islam, maka ketua komunitas adat tersebut juga

diambil dari yang beragama Islam

Sedangkan komunitas/masyarakat adat asli Desa Lubuk

Seberuk, mempunyai peran yang berbeda dengan komunitas

adat masyarakat pendatang. Komunitas adat asli pribumi

adalah komunitas yang berasal dari masyarakat suku ogan dan

komering. Komunitas adat ini terdiri dari para sesepuh yang

berasal dari dua suku tersebut. Selain mengurusi persoalan

adat dari masyarakat adat Suku Ogan dan Komering,

komunitas ini juga bertugas untuk meyelesaikan persoalan

adat yang muncul antara masyarakat asli setempat (ogan dan

komering) dengan masyarakat pendatang yang terdiri dari

beragam etnis, suku dan ras.

Kerukunan antarumat beragama menjadi bagian

penting di Desa Lubuk Seberuk. Komunitas adat Suku Ogan

dan Komering menyadari bahwa masyarakat di wilayah

Kecamatan Lempuing Jaya terdiri dari beragam agama.

Sebagai penganut agama Islam, komunitas adat ini sangat

menghargai dan menghormati keberagaman tersebut

sehingga tidak pernah terjadi konflik antara masyarakat

pendatang dengan masyarakat asli di wilayah Kecamatan

Lempuig Jaya, khususnya Desa Lubuk Seberuk.

Page 42: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 32 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Pemerintah Daerah

Kabupaten

Kabupaten Ogan Komering Ilir merupakan salah satu

daerah yang penduduknya heterogen, terdiri dari beragam

suku, etnis dan agama. Hal ini dikarenakan banyaknya

pendatang yang masuk ke kabupaten ini yang berasal dari

pulau Jawa dan Bali. Merka yang masuk ke wilayah Ogan

Komering Ilir juga heterogen sehingga tak asing bila masuk

ke wilayah ini banyak terlihat rumah-rumah khas masyarakat

Bali, dimana di depan atau samping rumahnya ada Pura/

Sanggah.kabupaten ini banyak yang berasal dari warga

pendatang dari pulau Jawa dan Bali.

Pemerintah daerah Kabupaten OKI melalui Forum

Kerukunan Umat Beragama (FKUB) bertugas menjaga

hubungan antarumat beragama di Kabupaten OKI. FKUB

Kabupaten OKI cukup aktif dalam menjaga kerukunan

tersebut, terbukti konflik antarumat beragama di kabupaten

ini tidak perah terdengar. Wakil bupati Kabupaten OKI

selaku ketua dewan pembina FKUB juga berperan aktif dalam

memelihara kerukunan antarumat beragama di wilayahnya

melalui FKUB.

Kecamatan

Pemerintah Kecamatan Lempuing Jaya juga berperan

aktif dalam meciptakan dan memelihara kerukunan

antarumat beragama di wilayahnya. Upaya tersebut

diimplementasikan dengan membentuk forum silahturahmi

umat beragama (FSUB) Kecamatan Lempuing Jaya, yang

terdiri dari tolohtoloh lintas agama. Keputusan untuk

membentuk forum silahturahmi tersebut karena masyarakat

Kecamatan Lempuing Jaya merupakan masyarakat yang

heterogen sehingga dibutuhkan sebuah forum yang dapat

memelihara dan menjaga hubungan antarumat beragama di

tengah-tengah kehidupan antarumat beragama.

Page 43: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 33 ~

Forum silahturahmi umat beragama (FSUB) ini dibentuk

oleh kecamatan dan di legal formalkan oleh pemerintah

kabupaten dengan sebuah surat keputusan (SK). Forum ini

memperkuat kerukunan antarumat beragama di Kecamatan

Lempuing Jaya.

Desa

Pemerintah Desa Lubuk Seberuk turut berperan aktif

dalam menjaga dan memelihara kerukunan antarumat

beragama di Desa Lubuk Seberuk. Wujud dari peran aktif

tersebut terlihat pada pemilihan kepala desa yang tidak

berdasarkan pada latar belakang agama. Setiap warga Desa

Lubuk Seberuk mempunyai hak untuk dipilih dan memilih

calon kepala desa. Hal tersebut terbukti bahwa kepala Desa

Lubuk Seberuk pernah di pimpin oleh seorang yang berlatar

belakang agama Hindu-Bali. Di bawah kepemimpinan Bapak

Nyoman Putu, pembangunan infrastruktur berhasil dengan

sukses, baik pembangunan fasilitas pendidikan, kantor

pelayanan bahkan rumah ibadat semua agama.

Pemerintah desa juga berpartisipasi aktif pada kegiatan-

kegiatan sosial keagamaan yang diadakan oleh masyarakat,

termasuk tradisi “Ruwatan Desa”. Kegiatan tersebut di

fasilitasi oleh pemerintah desa, baik terkait dengan dana,

kepanitiaan dan lainnya.

Penutup

Kesimpulan

Kerukunan antarumat beragama di Desa Lubuk Seberuk

Kecamatan Lempuing Jaya sudah terjalin sejak lama. Ketika

daerah tersebut dibuka oleh para pendatang dari Belitang

Kab. OKU Timur, sejak saat itu sudah terjalin interaksi antar

warga pendatang yang berasal dari beragam etnis dan agama.

Kemudian mereka melebur dengan masyarakat pribumi

Page 44: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 34 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

batas wilayah, yaitu Desa Lubuk Seberuk.

Kerukunan antarumat beragama yang terjalin di Desa

Lubuk Seberuk Kecamatan Lempuing Jaya merupakan sikap

saling menghormati dan saling menghargai antar sesama

warga. Sikap tersebut merupakan salah satu indikator

penilaian terhadap toleransi umat beragama dan toleransi di

Desa Lubuk Seberuk sudah terjalin dengan baik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kerukunan antarumat

beragama antar lain ikatan kewargaan (civic ties) antara warga

Desa Lubuk Seberuk karena mereka sama-sama pendatang

di desa tersebut. Interaksi tersebut kemudian merekatkan

ikatan emosional diantara mereka menjadi satu kesatuan

masyarakat hukum (desa). Kerukunan antarumat beragama

yang terjalin di Desa Lubuk Seberuk tidak hanya atas sikap

saling menghormati dan menghargai namun sudah beranjak

pada kerjasama antarumat beragama.

Kerjasama yang terjalin antarumat beragama di Desa

Lubuk Seberuk berjalan dengan harmonis. Ketika umat Islam

membangun Mesjid sebagai rumah ibadat, umat non Muslim

ikut membantu dalam berupa materi maupun imateri.

Sebagian ada yang menyumbang uang, bahan bangunan ,

tenaga atau ide-ide terkait gambar ruamh ibadat yang akan di

bangun. Begitu pula umat non Muslim yang akan mendirikan

rumah ibadat misalnya, umat Islam juga turut berpartisipasi.

Tradisi “Ruwatan Desa” merupakan local wisdom yang

masih dipertahankan oleh masyarakat Desa Lubuk Seberuk

dalam merawat kerukunan umat beragama di desa tersebut.

Acara ini melibatkan tokoh-tokoh agama dari berbagai

agama yang berperan dalam menyampaikan doa-doa kepada

Tuhan agar tetap diberikan kesejahteraan, keselamatan dan

kerukunan antarumat beragama.

Strategi yang mereka lakukan berbeda-beda sesuai

dengan komunitas warga desa. Bagi komunitas generasi muda,

Page 45: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 35 ~

perempuan, kaum adat, pemerintah daerah (kabupaten,

kecamatan dan desa). Komunitas kaum muda berperan aktif

dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakat yang melibatkan

lintas agama. Kaum perempuan juga ikut ambil bagian dalam

mensupport kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.

Walaupun tidak seaktif generasi muda namun komunitas

perempuan ikut memelihara kerukunan antarumat beragama

di Desa Lubuk Seberuk pada moment-moment kegiatan

formal, seperti kegiatan perayaan kemerdekaan RI yan juga

melibatkan kaum perempuan dari berbagai agama.

Kaum adat menjadi bagian yang penting dalam

memelihara kerukunan umat beragama di Desa Lubuk

Seberuk karna selain diwakili oleh sesepuh-sesepuh

yang berbeda agama, kaum adat ini merupakan sumber

pengetahuan masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan atau

tradisi yang diselengagarakan oleh masyarakat desa.

Keterlibatan pemerintah daerah (kabupaten. Kecamatan

dan desa) bersinergi dengan keinginan masyarakat dalam

menciptakan dan merawat kerukunan umat beragama di

Desa Lubuk Seberuk. Pada tingkat kabupaten di back up oleh

FKUB, tingkat kecamatan oleh FSUB dan di desa dibantu

oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, kaum muda, komunitas

perempuan dan juga kaum adat.

Rekomendasi

Merekomendasikan kepada Kanwil Kementerian Agama

Provinsi Sumatera Selatan agar menjadikan Desa Lubuk

Seberuk tersebut menjadi model desa kerukunan tingkat

provinsi karena Desa Lubuk Seberuk sudah memenuhi

syaratsyarat sebagai desa rukun.

Merekomendasikan kepada pemerintah provinsi

Sumatera Selatan dan pemerintah Kabupaten OKI agar

dapat menjadikan Desa Lubuk Seberuk ini menjadi desa

pilot project dalam mengembangkan nilai-nilai kerukunan

Page 46: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 36 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

antarumat beragama di desa/kelurahan lainnya di Sumatera

Selatan. Program ini perlu ditindaklanjuti sebagai bagian dari

visi/misi pemerintah daerah dalam pembangunan mental,

spritual dan keagamaan.

Daftar PustakaBogdan, Steven J dan Taylor. 1992. Metodologi Penelitian

Kualitatif, Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial. (Terj) Arif Furkhan. Surabaya: Usaha Nasional.

Dja’far. Alamsyah M. 2018. (In)Toleransi: Memahami Kebencian dan Kekerasan atas Nama Agama. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Horton, Paul B dan Chester L, Hunt .1999.Sosiologi (alih bhs) Aminuddin Ram, Tita Sobari. Jakarta: Erlangga.

Hasyim, Umar. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.

Mulyana, Dedy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakraya.

Nifi, M. Zidni. 2018. Menjadi Islam, Menjadi Indonesia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Syam, Nur. 2009. Tantangan Multikulturalisme Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Sullivan, John L, James Piereson, George E Marcus. 1982. Political Tolerance and American Democracy. Chicago and London: University of Chicago Press.

Schumann, Olaf H. 2006. “Toleransi Beragama: Antara Mitos dan Realitas.” Dalam Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Page 47: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 37 ~

Sutton, Margareth. 2006. Toleransi: Nilai dalam Pelaksanaaa Demokrasi, dalam Majalah Demokrasi, Volume V Nomor 1, hal. 53-60.

Varshney, Ashutosh. 2002. Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslim in India.

New Haven and London: Yale university Press.

Wahab, Abdul Jamil. 2015. Harmoni di Negeri Seribu Agama. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Yewangoe, Andreas A. 2009. “Regulasi Toleransi dan Pluralisme Agama di Indonesia.” Dalam Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 tahun Djohan Effendi. Diedit oleh Elza Peldi Taher. Jakarta: ICRP.

Page 48: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 38 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Page 49: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 39 ~

BAGIAN DUA

Page 50: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 40 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Page 51: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 41 ~

Toleransi dan Kerjasama Umat Beragamadi Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi

----------------------------- M. Agus Noorbani -----------------------------

Pendahuluan

Varshney (2009) menyatakan bahwa mengkaji kedamaian

antar etnis penting dilakukan tidak saja untuk memahami

kondisi damai suatu wilayah heterogen, melainkan juga agar

kita juga mampu memiliki pemahaman yang cukup baik

untuk bisa menjelaskan konflik antar etnis di suatu wilayah.

Pandangan Varshney ini mengimplikasikan bahwa kajian

mengenai kedamaian dan konflik merupakan rectoverso.

Pemahaman yang paripurna mengenai konflik harus disertai

pemahaman yang baik terhadap kondisi damai. Pendapat

Varshney (2009) ini berkaca dari hasil kajiannya terhadap

berbagai konflik sosial di India yang menghasilkan temuan

bahwa konflik sosial bisa terjadi di suatu wilayah sementara

wilayah lainnya tidak meski berada dalam satu daerah dengan

karakteristik heterogenitas yang sama.

Banyak sarjana telah berupaya menjelaskan konflik etnis

dan kondisi damai sebuah wilayah melalui berbagai kajian.

Kajian-kajian tersebut setidaknya dapat dikelompokkan

ke dalam tiga pendekatan dalam menjelaskan kedamaian

(pun konflik) etnis; primordialisme, instrumentalisme, dan

konstruktivisme. (Tong, 2009) Pendekatan primordialisme

memandang bahwa konflik etnis semata terjadi karena

perbedaan etnis. Artinya, jika banyak etnis hidup

berdampingan, dalam cara pandang pendekatan ini maka

akan terjadi banyak konflik antar etnis. Seperti dikemukakan

Page 52: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 42 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

oleh Harvey (2000), “ethnicties are inherently more potent

(and fit) as an organizing force than… ties based on class or

occupation”. Untuk mengatasi berbagai konflik etnis dalam

perpektif primordialisme ini maka perlu dilakukan pemisahan

ruang hidup dari setiap kelompok etnis.

Pendekatan primordialisme ini mengabaikan sejumlah

fakta bahwa konflik etnis tidak selalu semata terjadi karena

alasan perbedaan etnis. Pendekatan primordialisme ini

mendapat kritik tajam dari pendekatan instrumentalisme.

Di tengah dunia yang makin plural dan arus migrasi yang

tinggi di berbagai belahan dunia, percampuran etnis menjadi

hal yang tidak bisa dihindarkan. Karenanya, yang terpenting

bukan etnisitas murni yang menjadi penyebab konflik, tetapi

etnis yang menonjol secara politis, di mana ada konstruksi

“kami melawan mereka” untuk identitas ini. (Tong, 2009)

Pendekatan instrumentalisme memahami bahwa

kelompok sosial secara kolektif membuat pilihan rasional untuk

mengidentifikasi diri mereka dengan bagian tertentu yang

sangat kuat dari diri mereka, bahasa, agama, atau perbedaan

ras untuk meraih keuntungan politk maupun ekonomi.

Kasus-kasus konflik etnis sejenis ini biasanya ditunggangi

oleh kelompok elit untuk mendapatkan keuntungan politik

maupun ekonomi. Ketegangan yang terjadi menjelang

pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta dapat

menjadi contoh dari pendekatan ini. Sayangnya, pendekatan

instrumentalis kerap lebih berguna dalam menjelaskan

perilaku elit namun gagal dalam menjelaskan kelompok

masyarakat bawah dan pendekatan ini kurang mampu juga

menjelaskan perdamaian etnis. (Tong, 2009)

Berusaha menjembatani kedua pendekatan di atas,

pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa etnisitas

adalah identitas sosial bukan identitas individual. Menurut

pendekatan ini, etnisitas dapat berubah seiring dengan

perubahan komposisi masyarakat. Perubahan komposisi

Page 53: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 43 ~

masyarakat mengubah juga sistem sosial di dalam masyarakat.

(Black, Natali, & Skinner, 2006; Partes, 2008; Saggar,

Somerville, Ford, & Sobolewska, 2012) Menurut pendekatan

ini kekerasan etnis biasanya terjadi akibat campuran faktor,

tekanan ekonomi dan hilangnya hak dalam politik. Karenanya,

dalam sudut pandang pendekatan ini sistem politik yang baik,

keadilan dalam perekonomian, kesetaraan di hadapan hukum

adalah solusi untuk mengurangi konflik etnis dan mencipakan

perdamaian etnis. (Tong, 2009)

Berbagai kajian mengenai kerukunan masyarakat di

Indonesia telah dilakukan oleh banyak sarjana. Salahudin

(2008), misalnya, dalam kajiannya mengenai kerukunan

di Desa Klepu Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa

Timur menemukan bahwa masyarakat mampu menjaga

keharmonisan antar warga yang memiliki keyakinan

keagamaan yang berbeda-beda, di mana penduduknya

beragama Islam dan Katholik, melalui aktivitas harian seperti

gotong royong, intensitas pertemuan antar warga yang cukup

tinggi, dan mendahulukan kepentingan warga tanpa melihat

identitas keagamaan. Selain kedua hal tersebut, keharmonisan

antar umat beragama di Desa Klepo terjadi karena adanya

jalinan kekerabatan yang tercipta dari pernikahan di antara

warga. Selain aspek-aspek ini, keharmonisan antar warga di

desa ini terjadi dengan masih dirawatnya tradisi slametan

yang dijalankan oleh setiap warga, baik yang beragama Islam

maupun Katholik, pada setiap hajatan pribadi.

Kajian yang dilakukan Mahadi (2013) terhadap kerukunan

antar umat beragama di Desa Talang Benuang Kabupaten

Seluma, Provinsi Bengkulu menemukan bahwa kerukunan

yang terjalin di desa ini, antara penduduk asli yang beragama

Islam dengan penduduk pendatang (para transmigran) yang

beragama Hindu, Kristen, dan lainnya terjadi karena interaksi

melalui berbagai kegiatan keseharian seperti gotong royong,

kelompok tani, kredit simpan pinjam, dan lainnya. Interaksi

Page 54: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 44 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

harmonis ini terjadi karena faktor-faktor berupa kesadaran

masyarakat mengenai kerukunan yang ditumbuhkan sejak

dini, wawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat

sehari-hari, dan adanya ikatan kekerabatan akibat pernikahan.

Pentingnya peran ikatan kekerabatan akibat pernikahan

dalam membentuk kerukunan masyarakat, seperti dihasilkan

dalam kajian Salahudin (2008) dan Mahadi (2013), juga

dihasilkan dalam kajian yang dilakukan oleh Alam (2018) di

Kampung Pabayuran, Kabupaten Bekasi dan Ismail (2018)

di Desa Pabuaran, Kabupaten Bogor. Kajian-kajian ini

menegaskan bahwa ikatan kekerabatan berperan besar dalam

menjaga sebuah wilayah tetap rukun. Ketiadaan konflik di

daerah-daerah ini terjaga akibat rasa tidak nyaman setiap

warga jika harus berkonflik, karena mereka masih memiliki

hubungan saudara atau pertalian darah dengan warga lain.

Model kerukunan yang terjaga akibat ikatan kekerabatan

oleh sebab pernikahan ini tentu saja sulit untuk diduplikasi

di wilayah lain.

Selain peran ikatan kekerabatan akibat pernikahan, kajian

lain mengenai kerukunan di berbagai wilayah di Indonesia

menemukan bahwa perasaan senasib di daerah rantau

menjadi faktor utama menjaga kondisi damai sebuah daerah.

Hal ini umum ditemukan di wilayah-wilayah transmigrasi.

Bisa dikatakan bahwa kerukunan yang terjadi merupakan

bagian dari rekayasa sosial pemerintah. Meski merupakan

bagian dari rekayasa sosial pemerintah, namun peran serta

dan kesadaran warga dalam mencipatakan kerukunan juga

memainkan peran vital. Warga di desa-desa transmigran

ini sadar untuk tidak membuat pemukiman yang homogen

dan dihuni oleh penduduk dengan latar sosial yang sejenis.

(Mukhtaruddin, 2008; Mawardi, 2008; Siburian, 2017;

Hasanuddin, 2018)

Kajian lain mengenai kondisi rukun sebuah wilayah

menekankan pentingnya kearifan lokal dalam menjaga

Page 55: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 45 ~

kerukunan antar warga berbeda agama yang dilakukan oleh

Asmara (2018) terhadap masyarakat Suku Sasak di Pulau

Lombok Nusa Tenggara Barat. Dalam kajiannya tersebut

diketahui bahwa kerukunan antar umat beragama yang terjadi

pada masyarakat Suku Sasak karena terjaganya kearifan lokal

untuk bisa menghargai manusia lain. Kearifan lokal terwujud

dalam prinsip-prinsip lokal dan berbagai pepatah yang

menjadi media pendidikan bagi warga Suku Sasak sehingga

terpatri ke dalam alam pikiran mereka.

Berdasarkan kajian-kajian mengenai kerukunan umat

beragama di atas terlihat bahwa kerukunan antar umat

beragama dapat tercipta dengan dukungan faktor intensitas

pertemuan yang tinggi di antara warga dalam kegiatan

keseharian, terwujudnya saling percaya antar warga akibat

intensitas pertemuan dalam aktivitas keseharian, dan ikatan

kekerabatan yang tercipta dari pernikahan di antara sesama

warga, baik dengan sesama agama maupun perkawinan antar

agama, termasuk juga kearifan lokal yang terus dirawat dan

dijaga.

Tujuan makalah ini, pertama untuk mengetahui bentuk

modal sosial yang mampu merawat kerukunan umat

beragama di Tungkal Ilir, Tanjung Jabung Barat. Dalam poin

pertama ini akan ditelaah juga kemungkinan kelangsungan

modal sosial ini serta strategi masyarakat dalam mengatasi

berbagai hambatan yang melemahkan maupun berbagai

faktor yang menguatkan keberlangsungan modal sosial ini.

Kedua, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk

kerja sama antar umat beragama Tungkal Ilir, Tanjung Jabung

Barat. Bagian ini juga akan menganalisis peran Pemerintah

Daerah serta berbagai komunitas lokal dalam merawat

tradisi kerukunan yang ada. Peneltiian ini diharapkan

mampu memberikan masukan dalam pengambilan kebijakan

mengenai pengelolaan dan merawat kerukunan dengan

Page 56: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 46 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

mempelajari berbagai pola kerukunan yang telah berkembang

pada komunitas-komunitas heterogen.

Penelitian ini merupakan kajian kualitatif dengan

rancangan studi kasus wilayah. Penelitian dilakukan di Kuala

Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Kuala Tungkal

merupakan kota dengan penduduk yang terdiri dari beragam

etnis dan penganut agama. Beberapa literatur menyebut,

bahwa wilayah Tungkal Ilir (dahulu hanya dikenal sebagai

Tungkal) telah dihuni oleh beragam etnis sejak abad 17 hingga

kini dan hampir tidak pernah dilanda konflik sektarian.

(Locher-Scholten, 2008; Somad, 2002) Pengumpulan data

dilakukan dengan wawancara terhadap berbagai tokoh agama,

masyarakat, pemerintahan, dan warga setempat. Observasi

lapangan juga dilakukan untuk mengamati berbagai aktivitas

keseharian warga dalam berinteraksi satu dengan yang

lain. Studi kepustakaan menjadi metode pengumpulan data

skunder untuk menelaah berbagai aspek geografi, demografi,

dan kesejarahan wilayah penelitian. Penelitian dilakukan

dalam dua tahapan, pertama adalah studi penjajakan

untuk menggali informasi awal serta mengobservasi lokasi

penelitian. Tahapan ini dilakukan pada 29 Juli hingga

30 Agustu 2019. Tahap kedua adalah pengumpulan data

penelitian yang dilaksanakan selama lima belas hari sejak 30

Agustus hingga 13 September 2019.

Kerangka Konsep

Kerukunan

Kata “kerukunan” berasal dari kata rukun yang dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai

baik, damai, dan tidak bertengkar atau bersatu hati dan

bersepakat. (KBBI, 2016) Dalam bahasa Inggris kata rukun

kerap dipadankan dengan kata “harmony (diserap ke dalam

bahasa Indonesia menjadi harmoni)” awalnya digunakan

Page 57: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 47 ~

dalam dunia orkestra untuk menggambarkan keselarasan

bunyi dan nada dari setiap alat musik yang dimainkan.

(Merriam-Webster, 2019) Dalam konteks sosial, harmoni

bermakna “a stuation in which people are peaceful and

agree with each other, or when things seem right or suitable

together”. (Cambridge Dictionary, 2019)

Kata harmoni kerap dipadankan dengan kata toleransi,

yang berasal dari kata Latin tolerans/tolerare kemudian

diserap ke dalam Bahasa Inggris menjadi tolerance. Di

dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris kata ini

bermakna serupa, yaitu kemampuan untuk bisa berhubungan

dengan sesuatu yang tidak menyenangkan untuk terus

mempertahankan diri (keberadaannya) meski dalam kondisi

yang buruk dan sulit. (KBBI, 2016; Cambridge Dictionary,

2019; Merriam-Webster, 2019) Berdasarkan penjelasan ini,

terlihat bahwa ada perbedaan antara kerukunan dan toleransi.

Kerukunan merupakan sebuah proses terus-menerus dalam

menjaga keseimbangan sosial yang damai. Proses ini bisa saja

memerlukan sikap toleransi dari setiap anggota kelompok

sosial.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam

Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman

Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam

Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian

Rumah Ibadat (PBM Nomo 9 & 8) mendefinisikan kerukunan

sebagai keadaan hubungan sesama umat beragama yang

dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati,

menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya

dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 58: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 48 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

PBM Nomor 9 & 8 juga menyebutkan bahwa kerukunan

umat beragama ini dapat terpelihara atas upaya bersama

dua belah pihak; umat beragama dan pemerintah. Hayat

(2012) menawarkan tiga pendekatan, yang sifatnya

berlapis (multi layers conception), dalam meningkatkan

kerukunan hidup beragama di Indonesia. Pertama adalah

pembangunan modal sosial (social capital) sebagai landasan

untuk mengatasi faktor endogen dan relasional yang

kerap menjadi faktor dalam konflik antar umat beragama

di Indonesia. Faktor endogen dijelaskan sebagai faktor

teologis dan ritual keagamaan, sementara faktor relasional

adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan hubungan antar

umat beragama seperti pendirian rumah ibadah, penyiaran

agama, dan penodaan agama. Kedua berupa pengembangan

kebangsaan berwawasan multikultural bagi setiap warga

negara dalam membangun Indonesia di tengah keragaman

dan kemajemukan penduduk. Ketiga pembangunan sosial,

ekonomi, dan politik dengan pendekatan kebangsaan yang

berwawasan multikultural untuk mengatasi faktor eksogen.

Faktor eksogen yang dimaksud adalah faktor-faktor dari

luar seperti pengaruh globalisasi, ketimpangan dunia, dan

permasalahan hak asasi manusia (HAM).

Modal Sosial

Modal sosial merupakan konsep yang mulai terkenal saat

sosiologis Robert Putnam (Siisiäinen, 2000) mengelaborasinya

dan menyatakan bahwa modal sosial mampu mencegah

berbagai permasalahan sosial. Putnam mensinyalir bahwa

terjadinya banyak permasalahan sosial di Amerika pada

dekade 80-90an akibat hilangnya modal sosial dalam

masyarakat Amerika, yang mulai terjadi 30 tahun sebelum

dekade tersebut. Menurut Putnam, modal sosial memiliki tiga

komponen; ikatan moral dan norma yang terbentuk dalam

masyarakat, nilai-nilai sosial terutama rasa saling percaya, dan

Page 59: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 49 ~

jejaring sosial terutama keterlibatan individu secara sukarela

dalam kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat formal.

Putnam menyatakan bahwa sebuah negara atau wilayah akan

memiliki sistem ekonomi dan politik yang baik dan warganya

sejahtera, maka ini merupakan keberhasilan wilayah tersebut

memanfaatkan modal sosial yang mereka punya.

Pada periode berikutnya, Putnam menjelaskan apa yang

disebut sebagai modal sosial yang menjembatani (bridge)

dan modal sosial yang mengikat (bond). Modal sosial yang

menjembatani adalah ikatan antar warga yang terdiri dari

berbagai kelompok masyarakat, baik etnis maupun agama,

yang tercipta atas dasar saling percaya di antara anggotanya.

Sedangkan modal sosial yang mengikat adalah ikatan antar

warga yang terdiri dari satu kelompok masyarakat, baik etnis

ataupun agama. Bentuk modal sosial pertama lebih inklusif,

sedangkan bentuk modal sosial yang kedua lebih eksklusif

karena cenderung memperkuat identitas kelompok sejenis.

(Siisiäinen, 2000; bandingkan dengan Varshney, 2009)

Varshney (2009) menyebut kelompok pertama sebagai

kelompok interkomunal sedangkan yang kedua merupakan

kelompok intrakomunal.

Konsep Putnam ini kemudian dikembangkan lebih

lanjut oleh Varshney. (2001; 2009) Berdasarkan hasil

kajian mengenai konflik antara pemeluk Hindu dan Islam

di India, ia mengemukakan apa yang disebut sebagai ikatan

kewargaan asosiasional dan ikatan kewargaan keseharian.

Ikatan kewargaan asosiasional merupakan ikatan kewargaan

yang mengumpulkan beragam kelompok masyarakat, baik

dari segi etnis, agama, maupun identitas komunal lainnya.

Contoh ikatan kewargaan ini adalah organisasi profesi,

klub olahraga, serikat buruh, klub film. Sementara ikatan

kewargaan keseharian adalah ikatan yang mempertemukan

berbagai kelompok warga, dari beragam etnis, agama, dan

identitas komunal lainnya dalam aktivitas keseharian seperti

Page 60: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 50 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

saling kunjung saat hari besar agama, gotong royong, makan

malam bersama.

Varshney menyatakan bahwa kedua bentuk ikatan ini

penting dalam meningkatkan kondisi damai sebuah daerah.

Menurutnya, di kota-kota di India yang dilanda kerusuhan dan

kekerasan komunal, religiusitas warganya meningkat secara

nyata, bukan saja di kota-kota lain yang damai dari konflik

komunal. Ikatan kewargaan, baik asosioasional maupun

keseharian, mampu memfasilitasi atau mencegah terjadinya

kerusuhan. Meski kedua ikatan ini mampu mencegah sebuah

wilayah dilanda kerusuhan antar etnik, namun Varshney

(2009) berkeyakinan, berdasarkan bukti-bukti lapangan yang

dimilikinya, bahwa ikatan asosiasional yang lebih mampu

mencegah kerusuhan komunal dibanding ikatan keseharian.

Selain ikatan kewargaan, modal sosial lain yang paling

memengaruhi kondisi damai sebuah wilayah adalah peran

tokoh warga, baik agama maupun masyarakat (primus

interpares). Tokoh agama memilik peran penting dalam

struktur masyarakat dan kerap menentukan jalannya

perubahan sosial sebuah komunitas. Geertz misalnya

mengatakan bahwa Kiai memiliki peranan sebagai makelar

budaya (cultural broker), yaitu penyaring atas informasi

yang masuk ke lingkungan yang diasuhnya, menularkan apa

yang dianggap berguna dan membuang apa yang dianggap

tidak berguna. Sayangnya, peranan itu akan gagal jika arus

informasi sangat deras dan tidak mungkin lagi disaring lagi

oleh Kiai. Horikoshi (1987) dalam kajiannya tentang Kiai

Yusuf Tajri menawarkan peran Kiai yang berbeda dari yang

diajukan Geertz. Hasil kajiannya menemukan bahwa Kiai

Yusuf Tajri berperan secara kreatif dalam perubahan sosial.

Bukan karena Kiai mencoba menyaring informasi untuk

meredam perubahan sosial yang terjadi melainkan karena

Kiai Yusuf Tajri justru memelopori perubahan itu sendiri.

Ia tidak melakukan penyaringan informasi melainkan

Page 61: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 51 ~

memberikan berbagai alternatif agenda perubahan sosial

yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Kiai Yusuf Tajri memahami bahwa bukan perubahan sosial

itu yang menjadi masalah melainkan bagaimana perubahan

tersebut dapat terjadi tanpa merusak ikatan-ikatan sosial

yang ada, dan memanfaatkan ikatan-ikatan sosial tersebut.

(Horikoshi, 1987)

Masyarakat tradisional biasanya memiliki mekanisme

tersendiri dalam penyelesaian konflik untuk menjaga kondisi

damai wilayah mereka. Perkara yang sangat berat, seperti

pembunuhan, biasanya baru dilimpahkan kepada kepolisian

untuk ditindak menggunakan hukum negara. Sementara

pada kasus-kasus perselisihan lain biasanya digunakan

prinsip persaudaraan. Pendekatan semacam ini tidak saja

mempercepat penyelesaian konflik namun juga mempererat

tali persahabatan di antara mereka yan berkonflik. Masyarakat

tradisional juga diajak berpartisipasi aktif mengamati

pelanggaran hukum. Hal ini untuk menjadi pembelajaran

bagi masyarakat untuk bisa menilai secara mandiri apa yang

boleh dilakukan dan yang tidak berdasarkan hukum adat yang

berlaku. (Hariyadi, 2013)

Hal ini terkait erat dengan pengetahuan lokal masyarakat

tradisional yang dibentuk melalui beberapa tahapan, di mana

masing-masing tahapan memerlukan waktu yang lama untuk

bisa berkembang dan tertanam di masyarakat. Tahapan

pertama adalah pengenalan dan pengetahuan yang sederhana

terhadap sumber daya alam, misalnya jenis tetumbuhan,

hewan, kondisi tanah, dan perairan. Setelah pengetahuan ini

dipahami, masyarakat tradisional pun mulai mengembangkan

tahapan kedua pengetahuan lokal, yaitu tata cara pengelolaan

berbagai sumber daya alam tersebut. Tahapan ini diisi dengan

berbagai uji coba, layaknya pengetahuan di dunia akademis

yang dikatakan ilmiah. Setelah diperoleh model pengelolaan

sumber daya alam ini, masyarakat mengembangkan tahapan

Page 62: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 52 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

ketiga pengetahuan lokal, yaitu membentuk kelembagaan

tradisional untuk menerapkan sistem pengelolaan yang

telah mereka dapat. Melalui kelembagaan ini, sumber daya

alam yang terbatas dikelola sehingga dapat dinikmati oleh

seluruh anggota masyarakat dan dapat berkelanjutan.

Tahapan keempat atau terakhir pembentukan pengetahuan

lokal adalah berkembangnya sejumlah nilai, pandangan, dan

kepercayaan (worldview) yang berkaitan dengan pengelolaan

sumber daya alam. Sistem pengetahuan ini berkaitan dengan

tradisi dan kehidupan sosial budaya yang berlaku di masing-

masing kelompok masyarakat. (Hariyadi, 2013)

Daratan yang Tumbuh Kota Bersama Bagi Para Pendatang; Profil Geografis dan Demografis

Sejarah mencatat bahwa wilayah Tanjung Jabung dahulu

lebih dikenal sebagai Tungkal, sebuah wilayah di sepanjang

aliran Sungai Tungkal (Gambar 1) dengan muara di Pantai

Timur Sumatera. (Locher-Scholten, 2008; bandingkan

dengan Somad, 2002) Topografi daratan seperti ini kemudian

membentuk peradaban sungai, seperti pada umumnya di

wilayah lain di Jambi yang banyak dialiri sungai. Wilayah

Tungkal, saat ini disebut sebagai Kuala Tungkal, kemudian

menjadi bagian dari kabupaten Tanjung Jabung Barat,

salah satu kabupaten di Provinsi Jambi hasil pemekaran

berdasarkan Undang-undang Nomor 54 tahun 1999.

Awalnya kabupaten ini bernama Kabupaten Tanjung Jabung

kemudian dimekarkan menjadi Kabupaten Tanjung Jabung

Barat sebagai daerah asal dan Kabupaten Tanjung Jabung

Timur sebagai wilayah hasil pemekaran. Nama Tanjung

Jabung secara resmi baru digunakan pada tahun 1965 setelah

dikukuhkan melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 1965.

Pada tahun ini Kabupaten Batanghari dipecah menjadi dua

Kabupaten Dati II, yaitu Kabupaten Batanghari dengan

ibukota Kenaliasam dan Kabupaten Tanjung Jabung dengan

Page 63: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 53 ~

ibukota Kuala Tungkal. Baru pada tahun 1992, Kabupaten

Tanjung Jabung dipecah menjadi Tanjung Jabung Barat

dengan Ibukota Kuala Tungkal dan Tanjung Jabung Timur

dengan ibukota Pangkalan Bulian. (Pemkab Tanjab Barat,

2019).

Gambar 1. Peta Wilayah Tanjung Jabung Barat

Provinsi Jambi sendiri, setahun pasca kemerdekaan,

merupakan salah satu keresidenan di dalam Provinsi Sumatera

Tengah dengan wilayahnya mencakup Batanghari dan

Sarolangun Bangko berdasarkan keputusan Komite Nasional

Indonesia (KNI) yang kemudian dikuatkan dalam Undang-

undang Darurat Nomor 19 tahun 1957.Berdasarkan Undang-

undang Nomor 61 tahun 1958 Keresidenan Jambi ditetapkan

menjadi Provinsi Daerang Tingkat I (Dati I) yang terdiri dari

Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun Bangko, dan

Kabupaten Kerinci. (Pemkab Tanjab Barat, 2019)

Secara geografis Jambi banyak dilewati sungai-sungai

lebar dan berbatasan langsung dengan wilayah yang pada

masa kolonial dianggap penting, yaitu Riau dan Sumatera

Barat di bagian Utara, Bengkulu di bagian Barat, Sumatera

Selatan di bagian Selatan, dan Selat Berhala di bagian Timur

yang menghubungkan wilayah ini dengan Kalimantan dan

Page 64: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 54 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Malaysia melalui selat Malaka. Kontur geografis seperti ini

mempercepat persebaran penduduk yang beragam. Meski

dianggap bukan sebagai daerah penting pada masa kolonial,

hampir di seluruh daratan Jambi telah dihuni, tidak saja

penduduk asli namun juga, banyak pendatang dari berbagai

wilayah sekitarnya.(Locher-Scholten, 2008; Somad, 2002)

Pentingnya jalur perairan sungai ini dinyatakan Makmur

(2018) yang menulis bahwa Malaka merupakan titik masuk

migrasi orang Tionghoa ke Sumatera Barat sejak pertengahan

abad ke-15. Saat itu Malaka merupakan pusat perdagangan

terbesar di Asia Tenggara. Posisi pantai timur Sumatera yang

berbatasan dengan Selat Malaka sangat setrategis sebagai

persinggahan para pedagang. Kondisi ini memberikan

keuntungan bagi daerah-daerah di sekitarnya, termasuk

Sumatera Barat yang terhubung dengan Selat Malaka

melalui jalur transportasi sungai. Buktinya adalah dengan

ditemukannya pecahan keramik dari masa Dinasti Song (abad

ke-12-14 M) di sepanjang jalur sungai sampai ke pedalaman

Sumatera Barat.

Sebagai wilayah dengan banyak aliran sungai, sebagian

besar Pesisir Timur Jambi merupakan daratan muda dan

berbentuk rawa, yang terbentuk dari endapan lumpur yang

terbawa aliran sungai dari pedalaman menuju laut. Mengutip

vanBemmelen, Muljana (2006) menyatakan bahwa garis

pantai pada Muara Batanghari betambah lebar 7,5 km dalam

tempo 100 tahun, yang berarti rerata bertambah 75 meter

setiap tahun. Kondisi yang sama ditemukan di wilayah

Tungkal. Pada tahun 1930an, wilayah Tungkal merupakan

daerah yang tergenang air, banyak lumpur, dan hutan bakau.

Daratan di Tungkal terus bertambah akibat banyaknya lumpur

yang dibawa oleh Sungai Tungkal dan berbagai sungai kecil

lain di sekitarnya. Seperti disaksikan langsung oleh Halim

Kasim, tokoh agama dan masyarakat Kuala Tungkal, yang

Page 65: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 55 ~

mengatakan, “Saya kecil dulu, Pangkal Babu1 itu masih laut,

sekarang sudah jadi daratan. Dalam lima puluh tahun (sudah

bertambah daratan) dua kilo (meter) ada itu” (Wawancara, 1

September 2019).

Masih dikemukakan oleh Halim Kasim, wilayah Tungkal

hingga ke Senyerang, pada akhir abad ke-19 hingga permulaan

abad ke-20 merupakan daerah kosong. Orang Melayu Jambi

bermukim hanya di Tungkal Ulu hingga daratan di Senyerang.

Daerah ini mulai berkembang saat Orang Banjar yang berasal

dari Kalimantan datang. Mereka membuka hutan, membuat

parit besar dan kecil untuk mengatasi kelebihan volume air

akibat topografi daratan yang berupa rawa dan penuh lumpur,

agar bisa didiami, dihuni, dan ditumbuhi berbagai tanamanan

pangan.2 “Parit-parit ini mengalirkan air ke laut dan galian

lumpurnya ditimbun menjadi rubban (dam) sebagai penahan

agar air laut tidak masuk. Dengan rubban ini, maka keasaman

tanah menjadi hilang dan terjaga sehingga dapat ditumbuhi

tanaman. Pohon kelapa adalah tumbuhan yang banyak

ditanam penduduk Tungkal. Hasil panennya banyak dibawa

ke keluar Tungkal, di antaranya Singapura dan Malaysia.

Melihat prospek yang besar dari hasil kelapa di Tungkal ini,

Belanda membangun pelabuhan dan mulai menerapkan

cukai dan pajak”. (Wawancara, 1 September 2019) Masuknya

Belanda ke Tungkal membuka babak baru wilayah ini yang

kemudian menjadi salah satu pusat perdagangan di Pantai

Timur Jambi yang mengundang banyak pendatang untuk

bermukim atau sekedar singgah.

1Pangkal Babu merupakan daratan seluas 200 hektar yang kini menjadi lokasi destinasi wisata hutan bakau di Tanjung Jabung Barat. (lihat http://tanjabbarkab.go.id/site/pariwisata/)

2Masyarakat Tungkal sebagian besar masih menyebut wilayah di daerah ini menggunakan pemilahan berdasarkan parit-parit yang ada, seperti menyebut Kelurahan Tungkal Harapan dengan Parit 1. Parit-parit yang terdapat di Kuala Tungkal saat ini masih bisa ditemui meski tidak selebar dan sepanjang saat pertama dibangun.

Page 66: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 56 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Menurut Halim Kasim, “setelah kedatangan orang-orang

Banjar, mulai berdatangan penduduk dari wilayah lain,

seperti Bugis, Jawa, Minang yang sudah ada di Tungkal Ulu,

dan Batak. Orang-orang Batak ini kebanyakan didatangkan

Belanda untuk bekerja sebagai administratur. Karena saat itu

orang Banjar dan warga lainnya tidak memiliki latar belakang

pendidikan umum. Hanya orang-orang Batak dan sebagian

Minang yang memilki latar belakang pendidikan umum.

Orang-orang Batak yang datang ke Tungkal merupakan

orang Batak yang beragama Islam, baru setelah kemerdekaan

berdatangan orang Batak yang beragama Kristen. Orang-

orang Cina masuk ke Tungkal bersamaan dengan dibukanya

pelabuhan di Tungkal oleh Belanda. Banyak dari mereka yang

membuka usaha, termasuk juga orang-orang India. Mereka

banyak datang dari Singapura dan Malaya”. (Wawancara, 1

September 2019)

Locher-Scholten (2008) menulis, berdasarkan hasil

kajiannya terhadap berbagai dokumen peninggalan kolonial

Hindia-Belanda, bahwa Jambi abad ke-18 hingga ke-19

menyimpang dari pola umum populasi Melayu kala itu. Sultan

Jambi berkuasa bukan atas populasi Melayu yang homogen

dengan asal-usul yang sama, melainkan atas banyak kelompok

etnis yang berbeda-beda. Heterogenitas ini yang membuat

sulit menegakkan otoritas sentralistis yang konsisten. Dalam

kajiannya ini, Locher-Scholten (2008) menyebut bahwa saat

itu telah hidup di Jambi secara berdampingan, meski di bawah

otoritas kekuasaan yang berbeda-beda, penduduk Melayu,

kelompok-kelompok batin, penduduk asal Minangkabau,

suku Kubu yang tinggal nomaden, suku-pindah, kelompok

Penghulu, orang-orang Arab dan Cina yang berperan penting

dalam perdagangan rempah-rempah.

Masih dalam catatan Locher-Scholten (2008), pada

abad ke-19 populasi campuran yang terdiri dari suku

Minangkabau, Johor, dan Jawa telah menghuni sepanjang

Page 67: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 57 ~

Sungai Tungkal, yang kini disebut sebagai Tanjung Jabung.

Komposisi penduduk yang beragam ini terus berlanjut hingga

abad ke-20. Somad (2002) mencatat, penduduk yang masuk

dan bertempat tinggal di Tanjung Jabung berasal dari banyak

suku dan etnis. Mereka antara lain adalah orang-orang

Banjar, para pelaut asal Bugis dan Bajau, penduduk dari tanah

Minangkabau, para transmigran yang kebanyakan berasal

dari Jawa, orang-orang keturunan Cina, Arab, dan India yang

profesi kebanyakan mereka adalah pedagang.

Penduduk Tanjung Jabung Barat awalnya terkategori

menjadi dua, penduduk asli dan penduduk pendatang.

Penduduk asli merupakan penduduk suku Melayu Jambi

dan penduduk pendatang adalah penduduk yang datang

dari berbagai wilayah di Nusantara dan luar negeri dengan

beragam suku dan etnis. Penduduk pendatang ini memiliki

komposisi lebih banyak dibanding penduduk asli, karena

penduduk pendatang inilah yang membuka dan kemudian

mengembangkan wilayah ini. Penduduk pendatang terbanyak

berasal dari Banjar dengan komposisi mencapai 30% dari

populasi penduduk yang tersebar di Tungkal Ilir, Pengabuan,

dan Betara. Suku dan etnis lain yang juga mendiami Tanjung

Jabung Barat adalah Jawa, Bugis, Minang, Bajau, Batak, Cina,

dan lainnya. (Kasim, 2012)

Apa yang dikemukan oleh Kasim di atas merupakan

perkiraan kasar mengenai komposisi penduduk berdasarkan

suku dan tidak ada data yang pasti mengenai penduduk

terbanyak berdasarkan suku di Kuala Tungkal atau Tanjung

Jabung Barat secara umum. Perkiraan ini didasarkan atas

fakta sejarah bahwa Suku Banjar merupakan penduduk yang

pertama membuka dan mendiami Kuala Tungkal. Kasim

(2012) menyatakan bahwa hijrah besar orang Banjar baru

terjadi pada 1905, meski dikatakannya bahwa sejak 1780

dan 1862 telah ada Orang Banjar yang datang ke Tungkalilir.

Sedangkan Ardian, dkk. (2002) menyebut bahwa orang Banjar

Page 68: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 58 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pertama kali datang ke Kuala Tungkal pada 1902 sebanyak

16 orang dipimpin oleh Haji Abdul Rasyid yang disusul oleh

sejumlah 56 orang melalui Sungai Pinang yang dipimpin oleh

Haji Anuari. Setelah dua kelompok pertama ini, berdatangan

kemudian orang-orang Banjar ke Kuala Tungkal yang berasal

dari Lampihong, Kandangan, dan Biyarang demi menghindar

dari tekanan pajak dan kerja paksa pemerintahan Balanda.

Mereka membuka lahan pertanian dan membuat parit-parit

untuk mengatasi kontur tanah yang merupakan rawa.

Kedatangan orang-orang Banjar di Kuala Tungkal ini

merupakan bagian dari migrasi besar-besaran orang Banjar ke

banyak wilayah, terutama di Semenanjung Malaka. Muchtar

Naim (dalam Basri, 1988) mencatat bahwa Pulau Sumatera

menjadi salah satu tujuan utama migrasi orang Banjar, selain

semenanjung Malaya. Naim mencatat setidaknya terdapat

33.430 orang Banjar bermigrasi ke wilayah Sumatera. Jumlah

orang Banjar yang paling banyak terdapat di Sumatera

Utara, kemudian di Riau, lalu di Jambi. Selain ketiga daerah

ini, terdapat juga persebaran penduduk Banjar di wilayah

Bengkulu, Palembang, dan Bangka.

Motif migrasi orang Banjar ke berbagai wilayah dilandasi

oleh motif keresahan politik di zaman kolonial Belanda. Banyak

warga Banjar yang migrasi ke luar wilayah karena enggan

bekerjasama dengan pemerintah kolonial, menolak penarikan

pajak, dan menghindar dari penerapan kerja paksa. Berbagai

daerah asal migran Banjar seperti Banjarmasin, Amuntai,

Kandangan, Barabai, Tanjung, dan Martapura adalah daerah-

daerah penghasil hasil pertanian dan mineral, terutama intan,

utama di Kalimantan Selatan. Besarnya potensi wilayah

di daerah-daerah tersebut membuat pemerintah Kolonial

Belanda menguasai wilayah tersebut. Wilayah-wilayah

tersebut di atas pada abad XIX juga merupakan wilayah

dengan jumlah jamaah haji terbesar dibanding daerah lain

di Kalimantan Selatan. Jumlah haji yang tinggi pada saat itu

Page 69: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 59 ~

menunjukkan juga tingkat kesejahteraan pernduduk.

Mata pencaharian mereka di tempat tujuan migrasi tidak

berbeda dengan pola mata pencaharian di daerah asal, yaitu

bertani padi, membuka perkebunan karet dan perkebunan

kelapa yang diolah menjadi kopra. Pada generasi awal

migrasi, orang-orang Banjar dianggap sebagai yang terbaik

dalam membuka hutan dan membuat saluran air atau parit.

Karl J. Pelzer (dalam Basri, 1988) melaporkan bahwa pada

1917 pemerintah kolonial mendatangkan banyak orang Banjar

untuk membuka lahan di wilayah Sumatera Timur. Mereka

ini berasal dari daerah Hulusungai, Kandangan, Barabai, dan

Tanjung di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Orang Banjar yang hijrah ke Kuala Tungkal kesemuanya

beragama Islam dan terdiri dari para saudagar dan pedagang,

petani, bangsawan, dan ulama. Orang-orang Banjar ini yang

memiliki peranan penting dalam penyebaran Islam di Tanjung

Jabung Barat dan Pesisir Timur wilayah Jambi bahkan

Sumatera. Besarnya peranan ulama Banjar dalam penyebaran

Islam di Tungkal Ilir ini dapat dilihat dari Madrasah Hidayatul

Islamiyah yang resmi didirikan pada tahun 1936, sebagai

sekolah agama pertama di Tanjung Jabung (saat itu) dan masih

berdiri hingga kini. Dari perguruan ini kemudian muncul

guru-guru agama di Tungkal Ilir. (Kasim, 2012; Kasim, 1997)

Pada masa setelah kemerdekaan, Islam di Tungkal Ilir makin

berkembang dengan berdirinya Pondok Pesantren Baqiyatus

Shalihat dan Sekolah Tinggi Agama Islam An-Nadwah.

Setelah kedatangan orang-orang Banjar, menurut Halim

Kasim, “baru (kemudian) mulai berdatangan penduduk dari

wilayah lain, seperti Bugis, Jawa, Minang yang sudah ada di

Tungkal Ulu, dan Batak. Orang-orang Batak ini kebanyakan

didatangkan Belanda untuk bekerja sebagai administratur.

Karena saat itu orang Banjar dan warga lainnya tidak memiliki

latar belakang pendidikan umum. Hanya orang-orang Batak

dan sebagian Minang yang memilki latar belakang pendidikan

Page 70: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 60 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

umum. Orang-orang Batak yang datang ke Tungkal merupakan

orang Batak yang beragama Islam, baru setelah kemerdekaan

berdatangan orang Batak yang beragama Kristen. Orang-

orang Cina masuk ke Tungkal bersamaan dengan dibukanya

pelabuhan di Tungkal oleh Belanda. Banyak dari mereka yang

membuka usaha, termasuk juga orang-orang India. Mereka

banyak datang dari Singapura dan Malaya”. (Wawancara 1

September 2019)

Apa yang dikemukakan Halim Kasim sejalan dengan

penuturan Suwarno, tokoh masyarakat Tionghoa Kuala

Tungkal dan anggota Forum Kerukunan Umat Beragama

(FKUB) Tanjung Jabung Barat. Ia mengatakan, bahwa “etnis

Tionghoa masuk Kuala Tungkal waktu zaman Belanda.

Awalnya itu bukan di Tungkal, melainkan di Tebing Tinggi

(dahulu masuk bagian Tungkal Ulu). Makin lama, dengan

perkembangan di Tungkal Ilir, banyak penduduk etnis

Tionghoa kemudian pindah ke Tungkal Ilir sehingga kini

hampir tidak ada etnis Tionghoa di Tungkal Ulu. Kuburan

Nenek (buyut) saya sudah ada di sini (Tungkal Ilir) dan

berusia 70-80 tahun. (Artinya) Nenek saya meninggal di tahun

1930an. Nenek buyut saya aslinya memang dari Tiongkok,

Cina sana, (kemudian) merantau ke sini (ke Tungkal Ulu).

Beliau meninggal pada usia sekitar 50an. (Artinya) beliau

lahir sekitar 150 tahun yang lalu”.

Keragaman suku di Kuala Tungkal ini juga mencerminkan

jenis pekerjaan mereka. Orang-orang Banjar, sebagai

penduduk yang lebih dahulu menghuni Kuala Tungkal,

banyak memiliki tanah yang difungsikan sebagai lahan

perkebunan. Selain memiliki lahan mereka banyak bekerja

di bidang pendidikan keagamaan swasta dan pedagang.

Sedikit sekali menemukan penduduk suku Banjar yang

bekerja sebagai pegawai pemerintahan. Hal ini bisa jadi

berkaitan erat dengan faktor sejarah yang mengaitkan jenis

pekerjaan sebagai pegawai pemerintahan dengan bekerja

Page 71: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 61 ~

kepada penjajah. Pekerjaan sebagai pegawai pemerintahan

ini banyak dipegang oleh penduduk yang berasal Melayu dari

Kota Jambi dan penduduk bersuku Batak.

Selain penduduk suku Banjar, di Kuala Tungkal terdapat

juga penduduk suku Bugis dan Bajo, penduduk Kuala Tungkal

kerap menyebut mereka sebagai suku laut, yang sebagian

besar bekerja sebagai nelayan. Mereka bermukim di sepanjang

bibir pantai dan sungai Tungkal. Terdapat juga penduduk dari

suku Jawa yang banyak bekerja sebagai pedagang makanan

dan sayur mayur. Penduduk suku Minang juga banyak

menghuni Kuala Tungkal dengan bekerja sebagai pedagang.

Kemudian adalah penduduk etnis Tionghoa yang bekerja di

sektor perdagangan. Keberadaan etnis Tionghoa di Kuala

Tungkal ini menjadi penggerak roda perekonomian Kuala

Tungkal, karena mereka memilki banyak gudang pengumpul

hasil perkebunan berupa kopra dan pinang. Ferdy Efendi,

Sekretaris FKUB Tanjung Jabung Barat, menggambarkan,

bahwa “rata-rata penganut agama Konghucu (yang beretnis

Tionghoa) adalah tauke-tauke, bos-bos, yang memiliki

gudang-gudang yang ada di sepanjang jalan. Masyarakat rata-

rata bekerja pada mereka. Kalau keberadaan orang-orang

(Tionghoa) ini putus, (maka) penghasilan mereka (warga) ini

(juga) bisa putus. Roda perekonomian di Kuala Tungkal ini

digerakkan oleh etnis China”. (Wawancara 30 Juli 2019)

Meski memiliki peran penting dalam berjalannya roda

perekonomian di Kuala Tungkal, penduduk etnis Tionghoa

tidak bertempat tinggal di tempat khusus seperti terjadi di

banyak daerah lain. Seperti dikemukakan Makmur (2018)

orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia biasanya

tinggal di pemukiman khusus yang telah diatur Belanda,

biasa disebut sebagai Pecinan. Pengaturan pemukiman

yang dikhususkan bagi warga Tionghoa ini tidak lepas dari

politik devide et empera (pecah belah) yang dijalankan

Hindia-Belanda. Awalnya, masyarakat etnis Tionghoa tinggal

Page 72: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 62 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

membaur dengan masyarakat lokal dan mereka hidup

berdampingan secara harmonis. Hubungan baik penduduk

lokal dengan etnis Tionghoa ini dianggap sebagai “duri

dalam daging” dalam usaha mereka menguasai Indonesia.

Akhirnya, ditempatkanlah penduduk etnis Tionghoa ini

dalam pemukiman yang khusus. Pengkhususan ini bukan

diberlakukan bagi penduduk etnis Tionghoa, namun juga

warga lain yang bukan asli Indonesia yang oleh pemerintahan

kolonial disebut sebagai Vreemde Oosterlingen (oriental

asing). (Makmur, 2018)

Penduduk etnis Tionghoa di Kuala Tungkal, meski

memiliki toko untuk berdagang, tidak banyak yang tinggal

di dalam toko. Sebagian besar mereka bermukim di rumah-

rumah yang berdampingan dengan penduduk dari etnis lain.

Gambaran hubungan antara penduduk etnis Tionghoa dengan

penduduk etnisdi Kuala Tungkal dapat meminjam apa yang

dikemukakan oleh Makmur (2018) dalam menggambarkan

hubungan antara penduduk Tionghoa di Kota Padang dengan

penduduk lain, yaitu sangat harmonis. Awalnya bisa jadi

merupakan hubungan yang bersifat mutualisme ekonomis,

namun bereskalasi menjadi hubungan yang dekat secara

tulus.

Tabel 1. Komposisi Penduduk Kabupaten Tanjung Jabung BaratBerdasarkan Wilayah dan Agama Yang Dianut

Nama Kecamatan

Agama Satuan:Jiwa

Islam Kristen Katolik Hindu BuddhaKhong-

hucuLain-nya

Tidak Terjawab

Tidak Ditanya-

kanJumlah

Tungkal Ulu 11.392 1.143 39 4 8 - - - - 12.586 Merlung 14.333 902 56 6 3 - - 2 - 15.302 Batang Asam 19.116 4.134 453 2 1 - - - 22 23.728 Tebing Tinggi 31.189 2.590 168 11 139 43 - - 24 34.164 Renah Mendaluh

11.131 586 40 - 1 - - 35 35 11.828

Muara Papalik

9.561 703 32 7 4 - - - - 10.307

Pengabuan 23.365 32 6 - - 1 - - - 23.404 Senyerang 22.345 46 - 1 - 1 - - - 22.393 Tungkal Ilir 63.683 1.008 194 7 1.357 100 1 26 1.441 67.817

Page 73: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 63 ~

Nama Kecamatan

Agama Satuan:Jiwa

Islam Kristen Katolik Hindu BuddhaKhong-

hucuLain-nya

Tidak Terjawab

Tidak Ditanya-

kanJumlah

Bram Itam 14.642 66 3 - 18 - - - 1 14.730 Seberang Kota

8.198 5 - - - - - - - 8.203

Betara 23.462 387 23 1 2 - - - 29 23.904 Kuala Betara 10.339 32 4 - - - - - - 10.375

Total 262.756 11.634 1.018 39 1.533 145 1 63 1.552 278.741

BPS RI, 2010; Sensus Penduduk

Saat ini, berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 yang

dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS

RI, 2010, Tabel 1.) menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten

Tanjung Jabung Barat berjumlah 278.741 jiwa. Pada tahun

2017 penduduk Kabupaten Tanjung Jabung Barat diprediksi

bertambah menjadi 322.527 jiwa yang mendiami wilayah

seluas 5.009,82 km2, dengan penduduk berjenis kelamin laki-

laki sebanyak 167.005 jiwa dan penduduk berjenis kelamin

perempuan sebanyak 155.522 jiwa. Penduduk terbanyak

terdapat di Kecamatan Tungkal Ilir yang merupakan ibukota

kabupaten, dengan komposisi mencapai 24% dari total

penduduk, dengan kepadatan penduduk mencapai 724 jiwa

per km2. (BPS Tanjab Barat, 2018) Berdasarkan Sensus

Penduduk 2010, (BPS RI) penduduk yang memeluk agama

Islam memiliki komposisi terbanyak, mencapai 94,27%

dari keseluruhan penduduk. Penduduk dengan keragaman

beragama tertinggi terdapat di Kecamatan Tungkal Ilir,

Kecamatan Batang Asam, dan Kecamatan Tebing Tinggi.

Meski keragaman pemeluk agama terdapat di tiga

kecamatan seperti tersebut di atas, namun fasilitas

peribadatan paling variatif terdapat di Kecamatan Tungkal

Ilir. Di kecamatan ini terdapat empat jenis rumah ibadah bagi

empat pemeluk agama yang berbeda (Tabel 2.), yaitu masjid

bagi umat Islam, gereja bagi umat Kristen dan Katolik, vihara

bagi umat Buddha, dan kelenteng bagi pemeluk Khong Hu

Chu. Secara kuantitas, fasilitas peribadatan di kecamatan

Page 74: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 64 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Tungkal Ilir juga lebih banyak dibanding kecamatan lain di

Tanjung Jabung Barat. (BPS Tanjab Barat, 2018) Ini tentu

saja juga berkaitan dengan rasio jumlah penduduk yang lebih

banyak mendiami kecamatan ini dibanding kecamatan lain.

Keragaman pemeluk dan rumah ibadat di Tungkal Ilir ini,

yang merupakan Ibukota Kabupaten, kemungkinan berkaitan

erat dengan latar belakang sejarah seperti telah disinggung

di atas, di mana wilayah ini merupakan pusat peradaban dan

bermukimnya banyak penduduk di Kuala Tungkal.

Tabel 2. Tempat Peribadatan Menurut Kecamatandi Tanjung Jabung Barat

Kecamatan Masjid MushallaGereja Katolik

Gereja Kristen

Pura Vihara Kelenteng

Tungkal Ulu 20 10 2

Merlung 22 36

Batang Asam 30 20 15

Tebing Tinggi 25 28 6

Renah Mendaluh 10 29

Muara Papalik 19 17

Pengabuan 32 40

Senyerang 31 117

Tungkal Ilir 65 13 1 2 1 1

Bram Itam 10

Seberang Kota 9

Betara 25 41

Kuala Betara 23 22

Total 321 373 1 25 1 1

BPS Tanjab Barat, 2018; Tanjung Jabung Barat dalam Angka 2018.

Berdasarkan keragaman latar belakang penduduk

Kuala Tungkal, kota ini kemudian membuat semboyan

“Kota Bersama” yang digagas pada tahun 1985. Arti dari

semboyan ini adalah “kita semua di sini adalah saudara,

bersama”. Hasanuddin, Kepala Sub Bagian Tata Usaha

Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tanjung Jabung

Barat menjelaskan semboyan Kota Bersama ini sebagai “tidak

ada yang bisa mengklaim (sebagai) penduduk lokal atau

asli. Siapapun yang lahir dan besar di Kuala Tungkal adalah

penduduk asli”. (Wawancara, 2 September 2019).

Page 75: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 65 ~

Praksis Kerukunan Warga Tungkal IlirWujud kerukunan umat beragama di Tungkal Ilir terlihat

pada perayaan hari besar keagamaan. Tanjung Jabung

Barat terkenal di Provinsi Jambi sebagai daerah yang kerap

melakukan perayaan haul Syeikh Abdul Qadir Jaelani.

Kegiatan haul ini biasanya diisi dengan pengajian, zikir akbar,

dan taklim. Pondok Pesantren Baqiyatush Shalihat biasanya

menjadi pusat kegiatan di Tungkal Ilir. Tamu yang datang

saat acara ini tidak hanya warga setempat, tapi juga dari

banyak tempat di Tanjung Jabung Barat, dari berbagai kota

dan kabupaten di Provinsi Jambi, dari luar provinsi, bahkan

tak sedikit yang datang dari Malaysia dan negara serumpun

lainnya. Saat kegiatan haulan ini (dalam penyebutan

pendudukan setempat), warga non-Muslim juga banyak

membantu. Halaman parkir kelenteng dan vihara yang luas

dan berdekatan pondok pesantren digunakan untuk parkir

kendaraan para tamu, jamaah berbabagi agama menyediakan

minuman dan penganan dalam jumlah yang tak terbatas.

Al-Farizal Fajri, Lurah Kelurahan Sungai Nibung,

menjelaskan salah satu contoh kepedulian warga non-Muslim

adalah pada saat acara haulan berlangsung, “kalau kita di

sini kan ada berbagai macam agama nih. Selain Islam, yang

Hindu ada, yang Kristen ada. Di sini untuk konflik antar

agama ndak pernah ada. Kami di sini (ada) perayaan haulan,

contohnya. Haulan Syeikh Abdul Qadir Jaelani termasuk

acara besar juga setiap tahunnya di Tanjung Jabung Barat

ini. Yang menyelenggarakan Pondok Pesantren (Baqiyatus

Shalihat). Waktu hari hujan dan jalanan banjir. Malah yang

mengambilkan airnya itu (membersihkan air akibat banjir)

untuk kelancaran acara dari (penduduk) agama lain. Itu

salah satu contohnya. Saat melaksanakan (lomba) MTQ pun,

malah kami adakan sistem lelang kue. Itu yang mengambil

(ikut serta) bukan umat Islam saja, di situ ada orang Hindu,

Page 76: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 66 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

orang-orang di luar agama Islam itu juga ambil (bagian).”

(Wawancara 30 Juli 2019)

Selain kepedulian warga non-Muslim pada saat hari-

hari besar umat Islam, kepedulian warga Tungkal Ilir juga

ditunjukkan pada saat terjadi kisruh pembangunan kembali

kelenteng yang dipindah akibat kondisi bangunan yang

sudah tidak layak untuk beribadah karena dikhawatirkan

menimbulkan sengketa. Ada gugatan dari sekelompok

masyarakat yang berasal dari luar, namun ditangkal oleh

masyarakat. Dijelaskan Ferdy Efendi, yang merupakan

Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Kabupaten Tanjung Jabung Barat, “contoh kecil pembangunan

kembali Kelenteng di samping (Kantor Kesbangpol Kabupaten

Tanjung Jabung Barat), yang dahulu di sebelah Vihara, karena

tapak tanah di bangunan kelenteng yang lama itu tanah

pribadi. Justru yang menimbulkan berita yang tidak sedap

tentang kepindahan kelenteng ini (adalah) masyarakat dari

luar, ormas-ormas tertentu. Mereka tidak paham keberadaan

bahwa (pembangunan kelenteng) ini bukan izin baru, bukan!

Ini adalah sarana peribadatan lama yang dibangun di tempat

baru. Hal ini terjadi karena ada berita-berita dari mulut ke

mulut yang tidak memahami permasalahan yang sebenarnya.

Tapi kalau masyarakat sendiri justru (bertanya-tanya), kenapa

kamu menolak pendirian rumah ibadah, tempat beribadah?

Nah, kami meyakini bahwa terbentuknya kerukunan ini

bukan karena kondisi dan dikondisikan, tapi karena kearifan

lokal.”(Wawancara 30 Juli 2019)

Kondisi kerukunan antar umat beragama di Tungkal

Ilir, dikemukakan Ferdi Efendi, “... terbangunnya kondisi

kerukunan ini benar-benar dari titik awal kearifan lokal

tadi. Di sini banyak suku, berbilang agama, terus semua

berkomitmen. Jadi (ini merupakan sesuatu yang) sederhana

tapi hasilnya luar biasa.” (Wawancara 30 Juli 2019) Sebagai

contoh misalnya, banyak warga Tionghoa di Kuala Tungkal

Page 77: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 67 ~

yang memiliki pergudangan kopra dan pinang dengan pekerja

yang berasal dari etnis lain. Mereka memiliki kebijakan untuk

tidak melakukan bongkar muat pada hari Jumat sejak pagi

hingga usai ibadah Jumat. Hari penuh melakukan bongkar

muat malah dilakukan pada hari Minggu. Para pemiliki

gudang yang rerata non Muslim ini malah mempercayakan

supervisi pekerjaan bongkar muat ini kepada pekerja Muslim

sementara mereka melakukan ibadah Minggu.

Selain itu, tradisi saling kunjung pada saat perayaan hari

besar keagamaan juga masih dilakukan di Kuala Tungkal.

Ujang Ruhiyat, Kepala Sekolah SD Nasional menceritakan

pengalamannya, bahwa “kehidupan beragama di Tungkal

ini rukun nian. Pas hari Imlek, si guru-guru (yang beragama

Islam) ini berkunjung. Bukan guru-guru saja yang berkunjung,

masyarakat pun berkunjung. Seperti itu juga, yang orang

Islam merayakan (hari raya keagamaan), mereka datang

juga. Orang tua murid, kadang datang ke sekolah. Masyarakat

seperti itu juga, kalau kita yang Muslim merayakan Idul Fitri,

tetangga-tetangga yang non-Muslim datang juga. Kalau di sini

kerukunan bagus sekali”. (Wawancara 08 September 2019)

Selain perayaan hari raya, pada perayaan hari besar

keagamaan lainnya juga banyak umat agama lain ikut serta.

Sebagai contoh, Saat perayaan hari besar, seperti Maulid

Nabi SAW, banyak siswa non-Muslim yang mengikuti

kegiatan ini. Sementara saat perayaan agama lain, guru-guru

Muslim bertandang ke rumah rumah guru Pendidikan Agama

Buddha. Di Kuala Tungkal ini, perayaan Imlek dan Cap Go

Meh lebih semarak sehingga siswa dari etnis Tionghoa, meski

beragama Buddha atau Kristiani, lebih sering merayakan ini.

Menurut Ujang Ruhiyat, hal ini terjadi karena “kesadaran

masyarakatnya sudah (terbentuk), kultur masyarakatnya

sudah beragam, jadi masyarakat sudah terbiasa. Akhirnya

tertanamlah (bahwa) perbedaan-perbedaan ini tidak menjadi

gesekan”. (Wawancara 08 September 2019)

Page 78: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 68 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kerukunan umat beragama warga Tungkal Ilir juga

tercermin dalam berbagai upacara yang berkaitan dengan

siklus hidup. Menurut Bu Widya, Guru Pendidikan Agama

Buddha di SD Nasional, saat kegiatan pengajian yang

berkenaan dengan siklus hidup ia juga diundang oleh

tetangga-tetangganya yang Muslim. “Setiap tetangga-tetangga

(pengajian) yasinan, kami itu juga diundang, Pak. Kami ya

bantu-bantu sekedarnya, karena mereka juga tau saya (punya)

kesibukan. Kita datang sebagai tetangga. Kami “lebaran”,

mereka juga datang ke rumah saya. Jadi kami itu berusaha

menjaga toleransi bukan sekedar di rumah ibadahnya saja.

Di lingkungan itu saya berusaha juga supaya, jika tetangga

ada yasinan, haulan, berusaha untuk datang juga. (Saat ada)

orang meninggal yang Muslim, (saya) tetap datang juga,

karena bagaimanapun tetangga harus diutamakan. Jadi ga

masalah buat saya”.

Paling utama, kerukunan umat beragama warga Tungkal

Ilir tercermin dalam aktivitas keseharian mereka yang tidak

saja berkait dengan upacara keagamaan. Sebagai contoh

adalah budaya nongkrong di warung kopi yang menjadi

aktivitas pengikat warga dari berbagai latar belakang sosial

di Kuala Tungkal. Warung kopi di Kuala Tungkal menjadi

semacam rumah bersama penduduk untuk mebicarakan

berbagai permasalahan atau sekedar bercengkerama. Sejak

pagi, bahkan, hingga bertemu pagi kembali akan mudah

dijumpai penduduk Kuala Tungkal berdiskusi atau sekedar

bercengkerama tanpa dibedakan latar belakang agama, suku,

atau status sosial.

Prinsip kerukunan di Kuala Tungkal bisa dilihat dari

apa yang disampaikan oleh Bu Widya, “kami ini tinggal

bertetangga, punya agama, dengan latar belakang etnis

yang berbeda-beda, agama yang berbeda-beda, tetapi kami

pada prinsipnya begini; kamu tidak mengganggu saya, saya

tidak mengganggu Anda. Saya menjalankan ibadah saya

Page 79: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 69 ~

sesuai dengan agama saya, jadi silakan Anda menjalankan

ibadah Anda sesuai agama Anda. Jadi kami menjaga itu. Jadi

selama saya tidak diganggu selama beribadah, saya tidak

mengganggu Anda beribadah, kenapa harus ribut? Jadi itulah

yang bisa membuat kita menghargai agama orang lain, bisa

toleransi dengan agama orang lain, karena kita tidak pernah

diganggu sewaktu kita beribadah. Tidak pernah dipaksa

(dengan) agama mereka kepada kita. Tetap mengutamakan

agama masing-masing, tetapi tetap juga menyadari bahwa

kita ini bersaudara. Apapun alasannya, apapun latar belakang

agama kita, kita bersaudara, kita bertetangga, kita berkawan,

itu yang diutamakan”.

Kerukunan antar umat beragama yang terjadi di Kuala

Tungkal dipercaya merupakan buah dari kearifan lokal

masyarakat. Seperti dijelaskan Ferdy Efendi, “Terbentuknya

kerukunan umat beragama, (di Kuala Tungkal), bukan sebuah

rencana atau proyek pemerintah. Yang kita lihat selama

ini, misalnya di perkampungan transmigrasi, itu sudah

disiapkan. Kalau di sini benar-benar kearifan lokal. Jadi

mulai hubungan sosial kemasyarakatan, perekonomiannya,

bahkan pembangunan rumah ibadah benar-benar kearifan

lokal. Jadi kesadaran masyarakat tentang keberagaman ini

sangat luar biasa. Mereka bisa menerima bahwa agama yang

ada di Indonesia, yang diakui oleh pemerintah Indonesia,

harus tetap eksis. Mereka sadar. Jadi kebutuhan tentang

prosesi peribadatan masing-masing agama, mereka sangat

menyadari.” (Wawancara 30 Juli 2019)

Apa yang dimaksud sebagai kearifan lokal, seperti

dijelaskan oleh Ferdy Efendi di atas, dapat dikaitkan dengan

asal-usul sejarah keragaman warga keragaman warga Tungkal

Ilir pada umumnya. Seperti dijelaskan oleh Locher-Scholten

(2008) dan Somad (2002) bahwa keragaman penduduk

berdasarkan etnis, suku, dan agama telah mewarnai kehidupan

Tungkal (Tanjung Jabung pada umumnya dan Tungkal Ilir

Page 80: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 70 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

khususnya). Etnis Melayu, Banjar, Bugis, Minang, Cina, India,

Arab, Jawa, Batak, dan sebagainya telah mendiami daratan

di tepian Sungai Tungkal ini sejak abad 17. Keragaman ini

hampir tidak pernah memunculkan konflik etnis di Kuala

Tungkal. Hal ini juga dijelaskan oleh Ferdy Efendi, “Etnis

Banjar merupakan penduduk paling banyak di Tungkal Ilir,

secara statistik. Ada juga etnis Bugis terbanyak kedua, dan

suku Jawa yang merupakan terbanyak ketiga, sedangkan

penduduk suku Minang terbanyak keempat, kemudian etnis

Tionghoa. India ada juga di sini. (Wawancara 30 Juli 2019)

Kerukunan yang ada di Tungkal Ilir bukan tidak mungkin

juga terkait kepentingan ekonomi dan penghidupan seluruh

warga. Keragaman jenis penghidupan di antara penduduk

Tungkal Ilir saling terkait satu dengan yang lain, yang jika

salah satu hilang akan menghancurkan perekonomian dan

penghidupan warga. Komposisi etnis dan suku penduduk

Tungkal Ilir secara kebetulan berkaitan dengan jenis usaha

dan pekerjaan yang mereka jalani. Etnis Tionghoa, misalnya,

lebih banyak yang berdagang. Sebagian usaha ini bergerak

di bidang jual-beli hasil pertanian dan perkebunan ke luar

wilayah Tungkal Ilir. Banyak petani dan peladang, yang

sebagian besar adalah penduduk Melayu lokal, di Tungkal Ilir

yang bergantung kepada mereka untuk menjual hasil pertanian

dan perkebunannya. Seperti dikemukakan oleh Al-Farizal

Fajri, “Etnis Tionghoa rata-rata pedagang, tauke-tauke. Kalau

(penduduk dari) etnis-etnis lain, rata-rata berkebun pinang

atau kelapa yang pengumpul (hasil kebun ini) ke tauke-tauke

ini. Jadi mata rantai ini yang membuat bagus hubungan antar

umat beragama. Jadi masyarakat etnis (Melayu dan lainnya)

mengumpulkan (hasil kebun) ke penduduk etnis Tionghoa.

Sementara orang-orang Suku Batak bekerja sebagai PNS dan

guru.” (Wawancara 30 Juli 2019)

Ferdy Efendi lebih jelas menggambarkan, bahwa “Rata-

rata penganut agama Konghucu adalah tauke-tauke, bos-bos,

Page 81: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 71 ~

yang memiliki gudang-gudang yang ada di sepanjang jalan.

Banyak warga Tungkal Ilir bekerja pada mereka. Kalau

keberadaan orang-orang (Tionghoa) ini putus, (maka)

penghasilan mereka ini (juga) bisa putus. Roda perekonomian

di Kuala Tungkal ini digerakkan oleh etnis China ini, karena

mereka yang memiliki pabrik-pabrik dan gudang-gudang,

selain juga oleh penduduk etnis Minang. Jadi, apapun

kondisinya, diakui atau tidak, disadari atau tidak, perlu adanya

(kehadiran warga etnis Tionghoa). Karena ini (menyangkut)

penghasilan, untuk menghidupi anak dan istri.” (Wawancara

30 Juli 2019)

PenutupKerukunan umat beragama masyarakat Tungkal Ilir

terbentuk karena adanya kepercayaan antar warga maupun

antar warga dengan tokoh masyarakat. Kepercayaan antar

warga ini muncul sebagai bentuk perasaan bahwa nenek-

moyang mereka merupakan warga perantauan dan mereka

tidaklah layak mendaku sebagai penduduk asli. Sebagai

warga rantau, mereka bersama-sama wajib mengembangkan

daerah hunian untuk kesejahteraan bersama. Kepercayaan

terhadap para sesepuh yang ditokohkan juga muncul karena

para tokoh masyarakat ini dapat mengayomi mereka sebagai

warga Tungkal Ilir.

Rasa saling percaya ini kemudian memunculkan nilai dan

norma-norma yang dianut warga Tungkal Ilir bahwa setiap

warga memiliki hak dan kewajiban yang sama yang dilindungi

hukum tertinggi di Indonesia. Setiap warga memiliki hak

dasar, termasuk menjalankan peribadatan sesuai dengan

keyakinan mereka, karena itu mereka juga memiliki hak

atas akses terhadap rumah ibadat. Oleh sebab itu, setiap

warga memiliki kewajiban mempermudah warga lain dalam

mengakses kesempatan dalam beribadah. Hal ini terlihat

Page 82: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 72 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dalam kemudahan warga mendirikan rumah ibadat atau

keterlibatan dalam membantu berbagai kegiatan keagamaan.

Rasa saling percaya yang menumbuhkan nilai dan norma

di Tungkal Ilir ini kemudian membentuk jejaring warga yang

menguatkan kohesivitas sosial warga Tungkal Ilir. Jejaring

sosial antar warga ini, dalam perspektif Putnam, mampu

menjembatani berbagai kepentingan warga yang beragam.

Jejaring sosial warga yang mampu menjembatani ini dapat

terlihat misalnya dalam bentuk aktivitas-aktivitas harian

seperti sekolah, warung kopi, dan aktivitas lainnya.

Bentuk-bentuk kerja sama antar umat beragama di

Tungkal Ilir terwujud dalam aktivitas perekonomian maupun

aktivitas sosial. Kerja sama dalam aktivitas perekonomian

terlihat dari banyaknya warga dari suku Melayu, Banjar, Bugis

yang Muslim yang bekerja pada warga etnis Tionghoa yang

beragama Buddha dan Konghucu, yang banyak memiliki toko

dan pergudangan. Meski demikian, kerja sama ini tidak semata

ekonomis, karena muncul juga tenggang rasa dan toleransi

dari para pemilik toko dan gudang untuk memberikan izin

dalam menjalankan ibadah bagi para pekerja Muslim. Kerja

sama yang awalnya dibangun atas asas saling menguntungkan

secara ekonomis ini kemudian mengikat mereka dalam ikatan

warga yang pada akhirnya memperluas kerja sama mereka

juga dalam aktivitas sosial.

Daftar PustakaBuku dan JurnalArdian, dkk. 2002. Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten

Tanjung Jabung Barat. Tanjung Jabung Barat: Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Asmara, Galang. 2018. The Principles of Religious Tolerance and Harmony Among The Peopleof Sasak Tribe in Lombok Island, Indonesia. Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, Vol. 21 Issue 1, 2018. 1-6.

Page 83: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 73 ~

Alam, Rudy Harisyah. 2018. Ikatan Kekerabatan, Modal Sosial, dan Kedamaian Umat Beragama; Studi Kasus di Desa Kertajaya Kecamatan Pebayuran Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Makalah disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian “Studi Peningkatan Kualitas Kerukunan Umat Beragama; Toleransi Antar Umat Beragama pada Masyarakat Heterogen di Wilayah di Jawa Barat” pada 02-03 April 2018, di Hotel Santika, Bogor.

Basri, Hasan. 1988. Perpindahan Orang Banjar ke Surakarta; Kasus Migrasi Inter Etnis di Indonesia. Jurnal Prisma No. 3 Tahun XVII, 1988. Hlm. 41-56.

Black, R., Natali, C., and Skinner, J. 2006. Migration and Equality. Equity & Development, World Development Report 2006, Background Papers.

BPS Tanjung Jabung Barat. 2018. Kabupaten Tanjung Jabung Barat dalam Angka 2018. Tanjung Jabung Barat; BPS Tanjung Jabung Barat.

Hariyadi, Bambang. 2013. Orang Serampas; Tradisi dan Pengetahuan Lokal di Tengah Perubahan. Bogor: IPB Press.

Harvey, F. P. 2000. Primordialism, Evolutionary Theory and Ethnic Violence in the Balkans: Opportunities and Constraints for Theory and Policy. Canadian Journal of Political Science, 33, 37-65.

Hasanuddin, 2018. Kerukunan Masyarakat Multikultur di Desa Banuroja Gorontalo. Jurnal Al-Qalam Volume 24 Nomor 1 Juni 2018. Hal. 18-30.

Hayat, Bahrul. 2012. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama. Jakarta; PT. Saadah Cipta Mandiri.

Horikoshi, Hiroko. 1987. Kiyai dan Perubahan Sosial. Jakarta; P3M

Ismail. 2018. Ikatan Kewargaan dan Asosiasional Antar Umat Beragama di Desa Pabuaran Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor. Makalah disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian “Studi Peningkatan Kualitas Kerukunan Umat Beragama; Toleransi Antar Umat

Page 84: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 74 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Beragama pada Masyarakat Heterogen di Wilayah di Jawa Barat” pada 02-03 April 2018, di Hotel Santika, Bogor.

Kasim, Halim. 1997. Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul Islamiyah Kuala Tungkal. Booklet, tidak diterbitkan.

Kasim, Halim. 2012. Selayang Pandang Pamadaman Urang Banjar di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi. Makalah disampaikan pada Prakongres Kerukunan Keluarga Banjar III di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Locher-Scholten, Elsbeth. 2008. Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial; Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Impersialisme Belanda (Terj. Noor Cholis). Jakarta: Banana dan KITLV.

Mahadi, Ujang. 2013. Membangun Kerukunan Umat Masyarakat Beda Agama Melalui Interaksi dan Komunikasi Harmoni di Desa Talang Benuang Provinsi Bengkulu. Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 1 Nomor 1, Juni 2013; 51-58.

Makmur, Riniwaty. 2018. Orang Padang Tionghoa; Dima Bumi Dipijak, DisinanLangikDijunjuang. Jakarta: Penerbit Kompas.

Mawardi, Masmiati. 2008. Pembinaan Kerukunan Umat Beragama di Daerah Transmigran Palingkau Asri. Jurnal Analisa Volume XV, No. 02, Mei-Agustus 2008. Hal. 85-99.

Mukhtaruddin. 2008. Pembinaan Kerukunan Umat Beragama Masyarakat Transmigran di Kalimantan Tengah. Jurnal Analisa Volume XV, No. 01, Januari-April 2008. Hal. 15-32.

Muljana, Slamet. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS

Portes, Alejandro. 2008. Migration and Social Change; Some Conceptual Reflections. Keynote address to the conference on “Theorizing Key Migration Debates”, Oxford University, July 1, 2008.

Saggar, S., Somerville, W., Ford, R., & Sobolewska, M. 2012. The Impacts of Migration on Social Cohesion

Page 85: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 75 ~

and Integration. Final report to the Migration Advisory Committee, January 2012.

Salahudin, Marwan. 2008. Mengenal Kearifan Lokal di Klepu-Ponorogo; Praktik Hubungan Sosial Lintas Agama dan Mekanisme Pencegahan Konflik. Dalam Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global (ed. Irwan Abdullah, Ibnu Mujib, M. Iqbal Ahnaf). Yogyakarta; Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Pelajar.

Siburian, Robert. 2017. Multikulturalisme; Belajar dari Masyarakat Perdesaan. Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No. 02 Desember 2017. Hal. 207-232.

Siisiäinen, Martti. 2000. Two Concepts ofSocial Capital: Bourdieu vs. Putnam. Paper presentedat ISTR Fourth International Conference “The ThirdSector; For WhatandforWhom?” Trinity College, Dublin, Ireland, July 5-8, 2000.

Somad, Kemas Arsyad. 2002. Mengenal Adat Jambi dalam Perspektif Modern. Jambi: Dinas Pendidikan Propinsi Jambi.

Tong, Rebecca. 2009. ExplainingEthnic Peace; The Importance of Institutions. ResPublica; Journal of Undergraduate Research, Volume 14 Issue 1, 2009. 61-75.

Varshney, Ashutosh. 2001. Ethnic Conflict and Civil Society; India and Beyond. World Politics, number 53, April 2001; 362-398.

Varshney, Ashutosh. 2009. Konflik Etnis dan Peran Masyarakat Sipil; Pengalaman India (terj. Siti Aisyah, Ayu Diasti, & Sri Murniati). Jakarta; Balai Litbang Agama Jakarta.

InternetBPS RI. 2010. Penduduk Menurut Wilayah dan Agama

yang Dianut Kabuaten Tanjung Jabung Barat. Didapat dari https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid =321&wid=1507000000, pada 14 Agustus 2019.

Page 86: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 76 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Cambridge University Press. 2019. Cambridge Dictionary (online version). Didapat dari https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/harmony, pada 14 Agustus 2019.

Kemdikbud. 2016. KBBI Daring. Didapat dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/rukun, pada 14 Agustus 2019.

Merriam-Webster. 2019. Merriam-Webster Dictionary (online version). Didapat dari https://www.merriam-webster.com/dictionary/harmony, pada 14 Agustus 2019.

Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, 2019. Sejarah Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Didapat dari http://tanjabbarkab.go.id/site/sejarah-singkat/, pada 14 Agustus 2019.

Page 87: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 77 ~

BAGIAN TIGA

Page 88: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 78 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Page 89: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 79 ~

Toleransi dan Kerjasama Umat Beragamapada Masyarakat Desa Rawa Selapan

Kecamatan Candipuro, Lampung Selatan------------------------------- Daniel Rabitha -------------------------------

Pendahuluan

Balai Litbang Agama Jakarta sejak 2018 telah mengkaji

beberapa wilayah (sebut saja desa) pada beberapa kota/

kabupaten Provinsi Jawa Barat yang dilabel “rukun” oleh para

penggiat kerukunan dan lembaga pemerintah. Kemudian

tahun 2019, studi yang disebutkan akan dilanjutkan ke

beberapa wilayah di beberapa provinsi kepulauan sumatera.

Studi ini secara umum untuk mengupayakan metode yang

tepat dalam memahami cara peningkatkan kualitas kerukunan

umat beragama di beberapa wilayah tanah air.

Hasil studi yang dilakukan pada 2018 pada Provinsi Jawa Barat kerukunan umat beragama yang salah satunya terwujud dalam sikap toleran terdapat pada beberapa sasaran atau desa yang dilabel “rukun”. Namun kerukunan yang terjalin masihlah bersifat pasif, tidak aktif. Sehingga upaya menjalin keakraban dapat dilakukan dengan membuat kerjasama antar umat beragama.

Rujukan terminologi kerukunan pada penelitian ini mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006, yakni “Keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

Page 90: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 80 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

di dalam Negera Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945”.

Kementerian Agama, selain melakukan kajian juga melakukan program yang mendukung upaya peningkatan kualitas kerukunan umat beragama. Salah satunya dilakukan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama, dengan memberikan bantuan kepada daerah untuk FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) dan pembinaan desa sadar kerukunan. Program ini dilegalisasi dengan Keputusan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nomor 22 Tahun 2016 tentang “Petunjuk Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Pemerintah dalam Program Kerukunan Umat Beragama pada Sekretariat Jenderal, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota”. Pada petunjuk teknis ini disebutkan pada Bab II Jenis Bantuan Pemerintah diantaranya meliputi, bantuan pembinaan desa sadar kerukunan. Program ini direspon oleh pemerintah daerah dengan mengajukan beberapa desa yang dipandang memiliki kesadaran kerukunan.

Desa-desa tersebut dapat terlihat pada tabel 1 di bawah ini. Salah satu kriteria pemilihan sasaran penelitian yakni adanya keragaman dari segi jumlah penduduk berdasarkan agama dan rumah ibadatnya. Mengapa perlu melihat kriteria ini? Karena keragaman tersebut akan lebih menampakan dinamika kehidupan keagamaan. Pendewasaan dalam hidup berdampingan dengan masyarakat yang berbeda agama pada daerah yang heterogen akan lebih terlatih dibandingkan dengan daerah yang homogen.

Page 91: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 81 ~

Tabel 1. Desa Sadar Kerukunan-PKUB

Provinsi Lokasi Daerah Sadar Kerukunan

Jawa BaratBantenAcehSumatera UtaraSumatera BaratRiauJambiSumatera SelatanBengkuluLampungBangka BelitungKepulauan RiauDKI Jakarta

Desa CimahiBelum terbentukKuta Alam, Kota Banda AcehTanjung Balai, SipirokDesa Lunang SilautKelurahan Gurun PanjangDesa Singa PinangDesa Mekar Sari, Kabupaten Ogan IlirDesa Rama Agung, Kabupaten Bengkulu UtaraDesa Ponco Kresno, Kabupaten PesawaranDesa Batu Belubang, Kabupaten Bangka TengahDesa ResunBelum ada info

Sumber: Desain Operasional Penelitian, 2019

Peneliti ditugaskan pada Provinsi Lampung. Sebagai

acuan awal, peneliti menggunakan data dari PKUB seperti

yang tertera pada tabel 1. Desa Ponco Kresno di Kabupaten

Pesawaran menjadi tujuan peneliti saat penjajakan penelitian

dilakukan. Namun saat peneliti mendatangi calon sasaran

penelitian tersebut, tidak ada desa yang bernama Desa Ponco

Kresno di Kabupaten Pesawaran, melainkan Desa Ponjo

Maju. Kemudian peneliti melihat komposisi penduduknya

dari segi umat beragama. Namun hasilnya, desa tersebut

tidak memiliki keragaman dalam segi jumlah umat beragama,

begitupun ketersediaan rumah ibadatnya.

Kekeliruan tersebut bisa saja terjadi, jika belum adanya

standar penetapan sebuah desa atau sasaran penelitian yang

bisa disebut memiliki kesadaran kerukunan. Pada beberapa

provinsi mulai ramai menetapkan desa di wilayahnya sebagai

desa sadar kerukunan. Seperti pada Provinsi Jawa Timur yang

baru saja (12 Juli 2019) menetapkan 6 desa di wilayahnya

sebagai daerah yang memiliki kesadaran kerukunan. Kriteria

yang digunakan oleh Kementerian Agama pada provinsi

tersebut, yakni pertama di daerah tersebut tidak pernah

terjadi bentrok terkait kerukunan umat beragama, kedua

di daerah tersebut memiliki minimal 3 rumah ibadat yang

Page 92: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 82 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

berbeda agama, dan ketiga di daerah tersebut dihuni oleh

enam pemeluk agama yang berbeda (Afkar 2019).

Oleh karena ruang kajian pada penelitian ini terkait

dengan desa, Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) pada

2015 mengeluarkan regulasi yang berkaitan dengan standar

penetapan desa cepat berkembang, berkembang, dan kurang

berkembang. Pada Permendagri Nomor 81 Tahun 2015

tentang “Evaluasi Perkembangan Desa dan Kelurahan” pada

Bab IV Evaluasi Perkembangan Desa dan Kelurahan di Bagian

Ketiga; Evaluasi Bidang, pasal 8 disebutkan bahwa, evaluasi

bidang kemasyarakatan desa dan kelurahan meliputi aspek:

1. Partisipasi masyarakat

2. Lembaga kemasyarakatan

3. Pemberdayaan kesejahteraan keluarga

4. Keamanan dan ketertiban

5. Pendidikan

6. Kesehatan

7. Ekonomi

8. Penanggulangan kemiskinan

9. Peningkatan kapasitas masyarakat

Beberapa kriteria di atas, beririsan dengan kajian yang

akan dilakukan. Meskipun tetap acuan awalnya adalah

keragaman umat beragama dan sarananya, beberapa desa

yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah untuk mengikuti

lomba desa pada tiap tahunnya bisa dijadikan pijakan. Pada

Provinsi Lampung, terdapat 6 desa yang diikutkan dalam

lomba desa pada 2019 (tabel 2).

Tabel 2. Daftar 6 Desa yang Mengikuti Lomba Desa 2019di Provinsi Lampung

No Kabupaten Kecamatan Kelurahan Desa/Pekon

1. Lampung Selatan Candi Puro Rawa Selapan

2. Mesuji Panca Jaya Adi Luhur

3. Tanggamus Ulu Belu Datarajan

Page 93: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 83 ~

4. Way KananNegeri Agung

Tanjung Rejo

5. Pesawaran Way Ratai

Wates Way Ratai

Pesawaran Indah

Sumber: Pemerintah Daerah Provinsi Lampung

Tentu desa atau pekon yang disebutkan di atas, peneliti

duga memiliki keragaman dari segi umat beragama dan

sarana ibadatnya. Namun ternyata tidak demikian. Pada tabel

3 di bawah ini akan nampak terlihat keragaman desa yang

akan dijadikan pilihan sasaran penelitian.

Tabel 3. Penduduk Berdasarkan Agama pada 6 DesaProvinsi Lampung

Kecamatan Desa Islam Katolik Kristen Hindu BuddhaKhong-

hucuAliran

Kepercayaan

Candi PuroRawa Selapan

5131 299 224 45 119 - 50

Panca Jaya Adi Luhur 3352 17 4 12 - - -

Ulu Belu Datarajan - - - - - - -

Negeri Agung

Tanjung Rejo 2910 134 43 1290 86 - -

Way Ratai

Wates Way Ratai

Pesawaran Indah

Sumber: BPS dan Monografi desa (diolah peneliti), *catatan: pada Kecamatan Ulu Belu dan Way Ratai peneliti tidak memperoleh komposisi

penduduk berdasarkan agama.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi

kerukunan antar umat beragama di Desa Rawa Selapan,

faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kerukunan di

Desa Rawa Selapan dan pola interaksi antar umat beragama

di Desa Rawa Selapan serta bermanfaat bagi Kementerian

Agama dalam mengambil kebijakan pemeliharaan kerukunan

umat beragama di Indonesia. Pengalaman dari Desa Rawa

Selapan dapat menjadi rujukan dalam membuat mekanisme

pemeliharaan kerukunan umat beragama di daerah-daerah

lokal.

Page 94: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 84 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kajian Teoritis

Penggunaan terminologi toleransi dan kerjasama

dalam kajian ini mengacu pada konsepsi kerukunan umat

beragama yang didefinisikan sebagai keadaan hubungan

sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling

pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan

dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945

(PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006: Bab 1, Pasal 1, ayat 1). Hal

ini berarti, konsep toleransi dan kerjasama menjadi bagian

penting dalam mewujudkan dan memelihara kerukunan umat

beragama pada konteks masyarakat Indonesia.

Toleransi

Istilah toleransi dalam kajian ini dimaknai sebagai

penumbuhan sikap menerima dan menghormati orang lain

yang berbeda keyakinan dengan dirinya (Ismail, 2019, hal. 7).

Sikap menerima diantaranya seperti, memberi kesempatan

berinteraksi pada orang yang berbeda, menciptakan

kenyamanan, tidak menggunakan kekuatan untuk memaksa

terhadap kepercayaan, penghargaan terhadap keragaman

budaya, dan mengenali sikap tidak toleran. Sedangkan

sikap menghormati diantaranya seperti, kesediaan untuk

menghargai dan berhati-hati terhadap hak orang lain.

Kerjasama

Terminologi kerjasama dimaknai sebagai proses sosial

antar individu atau kelompok yang didasari pada penciptaan

tujuan bersama dengan mempelajari sesuatu secara bersama

(Sarwono, 1999, hal. 162-163). Definisi ini didasari dari

eksperimen Sherif (1966, 1988) pada eksperimen lapanganya

mengenai konflik antar kelompok dan resolusi konflik.

Page 95: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 85 ~

Hal menarik dalam eksperimen yang dilakukan Sherif

tersebut yakni dalam hal menjawab kapan interaksi antar

kelompok itu dikatakan efektif? Jawabanya yakni, saat

mereka (antar kelompok) memandang ada persoalan besar

yang sama-sama mereka perlu hadapi. Atau dalam istilah

Sherif disebut sebagai ‘musuh bersama’ (. Eksperimen Sherif

ini mengingatkan pada saat kelompok-kelompok pejuang

kemerdekaan Indonesia terdahulu yang memperjuangkan

kemerdekaan Indonesia dengan memunculkan rasa senasib

sepenganggungan. Pandangan terhadap perlunya menghadapi

persoalan yang sama ini kemudian akan menciptakan tujuan

bersama dalam mencari solusi terhadap persoalan tersebut.

Dalam konteks kerukunan yang terpelihara di desa, penting

mengamati proses interaksi yang menampakan kerjasama

antar kelompok di wilayah tersebut. Namun menurut peneliti,

lebih penting mendeskripsikan bagaimana rasa kepemilikan

terhadap komunitas tersebut bisa tercipta dan terpelihara.

Dalam hal ini, peneliti menambahkan konsepsi yang melihat

latar belakang pembentukan perasaan kepemilikan terhadap

komunitas tersebut dengan mengacu pada konsep tentang hal

tersebut yang dikembangkan oleh McMillan dan Chavis (1986).

Terdapat empat elemen yang dipandang bisa menjelaskan

latar belakang rasa kepemilikan terhadap komunitas, yakni

semangat (spirit), kepercayaan (trust), pertukaran (trade),

dan seni (art) (McMillan, 1996). McMillan memandang

kepemilikan terhadap komunitas dibentuk berdasarkan dari

semangat kepemilikan bersama yang dirasakan semakin kuat

karena ada otoritas yang terstruktur yang bisa dipercaya. Hal

ini kemudian akan memunculkan kesadaran akan hubungan

saling menguntungkan itu bersumber dari terciptanya

kebersamaan. Dan hal ini terpelihara melalui kebiasaan

saling berbagi pengalaman bersama yang nampak dalam

pemeliharaan tradisi (McMillan, 1996).

Page 96: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 86 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Potensi Geografis dan Demografis; Provinsi Lampung

Provinsi Lampung memiliki luas wilayah 34,6 ribu km2,

dengan kabupaten terluas ada di Lampung Timur yakni 5,3

ribu km2dan wilayah terkecil adalah kota Metro yakni 61,8

km2. Lampung memiliki 13 kabupaten, 2 kota, 228 kecamatan,

dan 2651 desa/kelurahan (BPS Provinsi Lampung, 2019, hal

1).

Secara garis besar, jumlah penduduk yang tinggal di

Provinsi Lampung sejak tahun 2000 sampai 2018 mengalami

kenaikan tiap tahunnya. Namun lain halnya dengan laju

pertumbuhan penduduknya yang sejak 2010 sampai 2018

yakni 1,16%, turun jika dibandingkan dengan LPP (Laju

Pertumbuhan Penduduk) tahun 2000 sampai 2010. Turunya

angka ini mengindikasikan bahwa, adanya keberhasilan

kebijakan penduduk terkait aspek kuantitas (BPS Provinsi

Lampung, 2019, hal 4).

Kepadatan penduduk pada provinsi ini berada di

wilayah perkotaan, yakni Bandar Lampung (3.493 jiwa/

km2) dan Metro (2.673 jiwa/ km2). Sedangkan kepadatan

penduduk yang paling jarang yakni pada Kabupaten Pesisir

Barat (53 jiwa/ km2) dan Mesuji (91 jiwa/ km2). Ini bisa saja

disebabkan perbedaan infrastruktur yang dimiliki antara

kota dan kabupaten. Tingkat kepadatan penduduk yang ada

Page 97: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 87 ~

di kabupaten berada di Lampung Selatan (1.431 jiwa/ km2),

Lampung Tengah (334 jiwa/ km2), dan Pringsewu (636

jiwa/ km2). Data ini jika dibandingkan dengan luas wilayah

per kota/kabupaten akan terlihat bahwa, tingkat kepadatan

penduduknya. Jadi, bisa saja secara kuantitas penduduk

suatu wilayah kota/kabupaten banyak di bandingkan dengan

wilayah lainnya. Namun belum tentu padat mengisi wilayah

kota/kabupaten tersebut.

Sementara itu, jumlah penduduk berdasarkan agama

pada Provinsi Lampung yakni:

Mayoritas penduduk Lampung beragama Islam

(7.264.783 jiwa), selanjutnya diikuti oleh Kristen (115.255

jiwa), Hindu (113.512 jiwa), Katholik (69.014 jiwa), Buddha

(24.122 jiwa), dan Khonghucu (596 jiwa).

Pemeluk Islam berdasarkan kota/kabupaten di Provinsi

Lampung dapat lihat pada gambar berikut:

Page 98: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 88 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Umat Islam dominan ada di Kabupaten Lampung Tengah,

kemudian disusul oleh Lampung Selatan, dan Kota Bandar

Lampung. Umat Kristen pada Provinsi Lampung dapat

terlihat pada gambar berikut:

Umat Kristen pada Provinsi Lampung dominan ada di

Kota Bandar Lampung. Kemudian disusul oleh Lampung

Tengah, Lampung Timur, dan Lampung Selatan.

Umat Katholik pada Provinsi Lampung dapat dilihat pada

gambar berikut:

Umat katholik dominan berada pada Kabupaten Lampung

Tengah, kemudian disusul pada Kota Bandar Lampung.

Selanjutnya di posisi ke-3, umat katholik banyak menempati

Kabupaten Pringsewu, ke-4 pada Kabupaten Lampung Timur,

dan ke-5 di Lampung Selatan.

Page 99: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 89 ~

Umat Hindu seperti pada gambar 5, dominan berada di

Kabupaten Lampung Tengah, kemudian Lampung Timur di

urutan kedua, dan Lampung Selatan di urutan ketiga.

Pada gambar 6, umat Buddha dominan berada di Kota

Bandar Lampung. Kemudian di urutan kedua ada di Lampung

Timur, ketiga di Lampung Tengah, keempat di Pesawaran,

dan kelima di Lampung Selatan.

Page 100: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 90 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Umat Khonghucu sesuai gambar 7 sama halnya dengan

umat Buddha, dominan berada pada Kota Bandar Lampung.

Kemudian kedua di Lampung Tengah, ketiga di Lampung

Timur, keempat di Lampung Utara, dan kelima di Lampung

Selatan.

Sekilas tentang Lampung Selatan

Lampung Selatan merupakan salah kabupaten dari

provinsi Lampung. Dahulu Lampung Selatan merupakan

bagian dari Sumatera Selatan. Hal ini tertuang dalam Undang-

Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956 tentang pembentukan

daerah kabupaten dalam lingkungan daerah provinsi

Sumatera Selatan sebanyak 14 kabupaten, yang diantaranya

adalah Lampung Selatan (BPS Lampung Selatan, 2016).

Lampung Selatan memiliki luas wilayah 2.007,01 km2

(BPS Lampung Selatan, 2016). Kabupaten ini menjadikan

Kalianda sebagai ibu kota kabupaten sejak 11 Februari 1982

(BPS Lampung Selatan, 2016). Kabupaten ini telah mengalami

pemekaran sebanyak dua kali, yakni yang pertama pada 3

Januari 1997 dengan terbentuknya kabupaten Tanggamus dan

yang kedua 10 Agustus 2008 dengan terbentuknya kabupaten

Pesawaran (BPS Lampung Selatan, 2016). Kabupaten ini

berbatasan dengan kabupaten Lampung Tengah dan Timur

di sebelah Utara, Selat Sunda di sebelah Selatan, kabupaten

Pesawaran di sebelah Barat, dan laut Jawa di sebelah Timur

(BPS Lampung Selatan, 2016). Selain memiliki dataran

luas, kabupaten ini memiliki 42 pulau, namun hanya 5 yang

terdapat penduduk, yakni Krakatau, Sebuku, Sebesi, Rimau,

dan Kandang.

Jumlah penduduk Lampung Selatan berdasarkan proyeksi

penduduk tahun 2013 berjumlah 942.572 jiwa, yang terdiri

dari 485.805 jiwa laki-laki dan 456.767 jiwa perempuan (BPS

Lampung Selatan, 2016). Secara garis besar, penduduk di

kabupaten ini terbagi ke dalam dua kategori, yakni penduduk

Page 101: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 91 ~

asli dan pendatang. Penduduk asli Lampung yang menetap

di kabupaten ini terdiri dari suku peminggir (Sai Batin) dan

suku Lampung lainnya. Suku Peminggir umumnya tinggal

di wilayah pantai pesisir (kecamatan Penengahan, Kalianda,

dan Katibung) dan suku Lampung lainnya menyebar di

sekitar Lampung Selatan. Penduduk pendatang terdiri dari

berbagai macam suku (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,

Bali, Banten, Sulawesi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat,

Sumatera Utara, Aceh, dan suku lainya). Suku terbesar adalah

dari tanah Jawa. Hal ini merupakan akibat dari kolonisasi di

era Belanda dan transmigrasi pada era kemerdekaan.

Gambar 8. Kecamatan Candipuro

Salah satu kecamatan yang dijadikan lokus penelitian

yakni Candipuro. Kecamatan ini memiliki 14 desa. Luas

wilayah desa pada Kecamatan Candipuro berkisar antara 4-10

km2. Lahan yang ada di kecamatan ini didominasi dengan

persawahan dengan luas 55,67 Ha dari 90.53 Ha. Sehingga

wajar jika lahan tersebut digunakan untuk pertanian.

Kecamatan ini pada tiap desanya rata-rata memiliki 2

sampai 8 dusun. Rata-rata jumlah aparatur desa berjumlah

antara 10 sampai 16 aparatur. Dominasi aparatur pada tiap

desa di kecamatan ini berjenis kelamin laki-laki dengan

Page 102: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 92 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

jumlah 172 aparatur dari 181 orang. Mereka yang bertugas

di desa rata-rata berlatar belakang pendidikan SMA dan

sederajat dengan jumlah 126 orang dari 181 aparatur. Hanya

10 orang yang lulusan perguruan tinggi.

Diantara desa yang ada di Kecamatan Candipuro

merupakan lokus penelitian, yakni Desa Rawa Selapan. Desa

ini memiliki luas wilayah 1200 Ha/m2, dengan 250 Ha/m2

sebagai pemukiman, 656 Ha/m2 sebagai persawahan, 2.5 Ha/

m2 sebagai pemakaman, 290 Ha/m2 sebagai perkarangan,

dan 1.5 Ha/m2 sebagai perkantoran. Sehingga wajar jika mata

pencaharian masyarakat Desa Rawa Selapan sebagai petani

3217 orang, dengan rincian 2050 sebagai petani dan 1167

orang sebagai buruh tani.

Total jumlah penduduk pada Desa Rawa Selapan

berjumlah 5951 jiwa, dengan 2953 orang laki-laki dan

2998 orang wanita. Rata-rata jumlah penduduk di desa

ini berdasarkan rentang usia 0-60 tahun berjumlah 30-60

orang. Sedangkan usia penduduk pada 61-73 tahun berkisar

2-40 orang. Jumlah penduduk berdasarkan usia yang hampir

merata tersebut mengindikasikan bahwa laju penduduk

dapat dibatasi, baik oleh pemerintah ataupun kesadaran

masyarakatnya.

Penduduk dalam segi tingkatan pendidikan di Desa Rawa

Selapan, rata-rata jumlah terbesar di tingkatan SMP dan SMA

dengan kisaran 800-1000 orang. Pada usia 7-18 tahun yang

masih sekolah di desa ini sebanyak 1060 orang dengan, 537

laki-laki dan 523 wanita. Pada jenjang SD, jumlah penduduk

di desa ini berjumlah 546, dengan 257 orang laki-laki dan

289 orang wanita. Sedangkan penduduk yang mencapai

pendidikan tinggi berjumlah 28 orang, dengan 26 orang srata

1 dan 2 orang srata 2. Namun penduduk pada desa ini juga

ada yang tidak bersekolah, yakni berjumlah 102 orang.

Desa ini termasuk desa yang dikutsertakan dalam lomba

desa yang diselenggarakan pemerintah Provinsi Lampung.

Page 103: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 93 ~

Selain itu, desa ini juga pada banyak aktivitas sosialnya

cenderung menjadi contoh bagi desa di sekitar, seperti Desa

Titiwangi dan Desa Bumi Jaya. Salah satu kegiatan sosial

keagamaan yang dijadikan contoh adalah bersih desa atau

ruwatan desa. Kegiatan ini diikuti oleh warga desa sekitar

(Titiwangi dan Bumi Jaya), karena dipandang mampu

mempertemukan warga desa dengan berbagai latar belakang

(agama, etnis, dan kelas sosial) (wawancara 1 Agustus 2019).

Salah satu hal inilah yang menjadikan peneliti memilih Desa

Rawa Selapan sebagai lokus penelitian. Selain itu, kehadiran

dari kelompok kepercayaan yang diterima keberadaannya

oleh warga Desa Rawa Selapan, juga menjadikan peneliti

memilih lokus ini. Informasi ini peneliti peroleh dari Kepala

Desa, Sujarno yang mengatakan bahwa:

“Pada desa ini, kelompok kepercayaan diterima oleh warga. Saya kurang tahu nama kelompok kepercayaannya. Namun yang saya tahu kelompok mereka saat ini berjumlah sekitar 50 orang, dengan tempat kumpul atau ibadatnya dinamakan sanggar” (wawancara, 1 Agustus 2019).

Selain keragaman dari umat beragama dan rumah ibadat

di Desa Rawa Selapan, kedua hal di atas tersebut menguatkan

peneliti untuk mencoba memahami kondisi kerukunan umat

beragama di desa tersebut.

Praksis Kerukunan Desa Rawa Selapan

Sikap Gotong Royong Hari Keagamaan

Desa Rawa Selapan termasuk yang masih mempertahankan

sikap gotong royong antar sesama penduduknya. Tidak

hanya pada soal agama, pada soal kehidupan bertentangga-

pun, masyarakat pada Desa Rawa Selapan terus

mempertahankannya. Sebut saja pada soal renovasi rumah

atau bangun rumah. Tetangga yang bersebelahan dengan

lokasi rumah ataupun yang tinggal agak berjauhan, tak akan

sungkan membantu proses pembangunan rumah tetangganya

tersebut. Sikap ini juga diyakinkan oleh salah seorang Kepala

Page 104: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 94 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Dusus 1 Desa Rawa Selapan terjadi pada perayaan hari besar

keagamaan. Hal ini dapat dirasakan pada ungkapan Kadus

tersebut (TN):

“Dari sejak saya ada di desa ini, saya termasuk orang lama, desa ini masyarakatnya sudah saling gotong royong, terhadap umat agama lainpun juga demikian. Kami saling memberi dan menjaga satu sama lain ketika ada perayaan hari besar keagamaan” (wawancara 6 September 2019).

Lalu apa bentuk nyata dari sikap gotong royong tersebut

dalam perayaan keagamaan di Desa Rawa Selapan? Peneliti

memperoleh informasi dari informan lain, yakni:

“Biasanya kami umat Islam melakukan penjagaan terhadap umat kristiani, hindu, ataupun Buddha yang sedang melakukan perayaan keagamaan. Biasanya kami dari kalangan muda menertibkan lalu lalang kendaraan dan parkiran kendaraan. Karena umat agama selain islam yang melakukan perayaan tidak hanya dari Desa Rawa Selapan saja, melainkan desa lain, maka jumlahnya banyak” (wawancara 6 September 2019).

Informasi lain pun diperoleh peneliti terkait dengan sikap

ini pada perayaan keagamaan umat selain islam di desa ini,

yakni:

“Kami yang bertentangga dengan bapak SW, sering menerima makanan ketika mereka sedang dalam perayaan keagamaan. Kami pun jika sedang ada (makanan atau minuman), akan memberikan juga sebagai balasan” (wawancara 6 September 2019).

Sikap tersebut, peneliti duga merupakan hasil dari

pembiasaan dari orang terdahulu mereka yang kerap

menampilkan sikap saling bantu antar sesama umat beragama

di Desa Rawa Selapan.

Ruwatan Desa Rawa Selapan; Bersih Desa

Desa Rawa Selapan termasuk diantara desa yang

ada di Provinsi Lampung yang penduduknya merupakan

transmigran dari luar pulau Sumatera. Awal mula, penduduk

yang menempati desa ini menyukuri akan kenikmatan Tuhan

Yang Maha Esa akan tempat tinggal yang ditempati mereka

Page 105: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 95 ~

dengan melakukan kegiatan syukuran. Mereka sejak dahulu

menamakan kegiatan ini dengan sebutan “ruwatan desa”.

Dahulu tidak diselenggarakan di desa, sekarang pihak desa

ikut andil menjadi penyelenggar

Kegiatan ruwatan desa biasanya dilakukan pada bulan

Islam, bulan Muharram. Masyarakat Desa Rawa Selapan

yang dominan bersuku Jawa juga sering menyebutnya

dengan malam 1 syuro. Umumnya, yang diketahui peneliti

di tanah Jawa pada saat malam 1 Syuro, melakukan berbagai

macam tradisi ritual, seperti ngumbah (cuci) pusaka, seperti

keris. Namun lain halnya yang terjadi di Desa Rawa Selapan,

mereka melakukan tradisi ruwatan desa dengan kumpul

bersama dengan hidangan yang disiapkan masyarakat.

Saat penelitian dilakukan, peneliti tidak bertepatan

dengan waktu diselenggarakannya kegiatan Ruwatan Desa.

Kegiatan yang mengumpulkan hampir seluruh lapisan warga

di desa ini diselenggarakan pada 17 September 2019. Kegiatan

yang rutin dilakukan tiap tahunnya ini, diisi dengan kegiatan

seni budaya dan keagamaan. Runtutan kegiatan tersebut,

yakni:

1. Ruwatan desa oleh Dalang wayang kulit.

2. Kemudian dilanjutkan oleh sambutan kepala desa.

Biasanya kepala desa menyampaikan penghormatannya

kepada kehadiran warga desa dan menyampaikan

informasi terkini mengenai perkembangan desa. Seperti

yang baru terlaksana pada September 2019, kepala desa

menyampaikan pemilihan kepala desa yang baru. Karena

momen tersebut bertepatan dengan adanya pemilihan

kepala desa yang baru.

3. Sambutan oleh tokoh masyarakat.

4. Pembacaan ikrar kawilujengan oleh Mbah Mardi. Dia

adalah salah satu sesepuh desa yang beragama Buddha.

Dia disebut sebagai sesepuh pejuang desa. Sambutan awal

ini senantiasa dilakukan oleh tokoh Buddha tersebut.

Page 106: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 96 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Penggunaan bahasa dalam sambutannya menggunakan

dialek jawa. Meskipun yang hadir orang di luar desa

(Walikota misalnya), bahasa ini senantiasa digunakan

(wawancara, 5 September 2019). Ini merupakan bagian

dari tradisi warga desa yang dilestarikan. Hal menarik

dari isi pesan yang disampaikan adalah upaya memelihara

hubungan antar sesama warga desa.

5. Kemudian dilanjutkan dengan doa bersama yang

disampaikan P2A (Pembinaan dan Pengamalan Agama)

desa, pak Muhsin.

6. Kemudian seperti pertunjukan hiburan wayang dan

tarian.

Hal yang unik menurut peneliti adalah adanya

penyembelihan kambing kendit. Kambing jenis ini mungkin

sangatlah langka, karena perwarnaannya yang tidaklah umum

ada. Kambing kendit memiliki ciri khusus, yakni berwarna

dominan hitam dengan adanya garis putih di tengahnya.

Kambing ini wajib disembelih pada saat perayaan ruwatan

desa (bersih desa). Kambing ini disembelih bersamaan dengan

kambing lainnya di pagi hari atau sebelum acara ruwatan desa

dilakukan.

Balai Dusun dan Pasar Mingguan: Ruang Bersama

Amatan peneliti terhadap aktivitas penduduk di Desa

Rawa Selapan tertuju pada dua tempat yang sering disebut

oleh warga, yakni balai dusun dan pasar mingguan. Kedua

tempat itu diantara tempat lain yang populer di kalangan

masyarakat desa. Balai dusun digunakan oleh masyarakat

desa sebagai tempat berjumpa dan bercengkrama. Tempat ini

digunakan tidak dibatasi waktu. Namun umumnya mereka

berjumpa di saat siang, menjelang sore, dan malam. Saat

siang, mereka yang suka berkumpul adalah para petani yang

menyela kegiatan mereka di lahan pertanian mereka, pada

sore haripun demikian. Namun tidak berarti seluruhnya

Page 107: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 97 ~

petani, sesekali Kepala Dusun mengajak sebagian warga

kumpul di balai dusun untuk mendiskusikan suatu persoalan,

seperti yang peneliti amati mereka membicarakan mengenai

persiapan acara ruwatan desa.

Pasar mingguan, merupakan lahan yang sengaja

disiapkan oleh warga. Dahulu yang memiliki ide ini adalah

istri dari mantan kepala desa Rawa Selapan. Ibu berinisial DN

menggerakan ibu-ibu melalui kelompok PKK (Pemberdayaan

Kesejahteraan Keluarga) yang dominan diisi oleh kaum wanita

membentuk pasar di Desa Rawa Selapan. Alasan munculnya

ide ini, yakni:

“Dahulu desa ini masih sepi dan jauh dari pasar besarnya di Kecamatan Sidomulyo. Sementara, pasar itu dibutuhkan kami untuk saling bertukar yang kami punya. Ada yang menanam padi bisa dijual di pasar, ada yang menanam hasil buah bisa dijual di pasar, kerajinan, dan sebagainya. Lagian dengan adanya pasar, kita bisa semakin akrab, saling ketemu. Dahulu posisi pasar kami pikirkan letaknya. Posisi pasar kami tempatkan di tengah desa. Pokoknya kami posisikan strategis pasar tersebut. Lah kenapa mingguan, ini karena yang kami jual itu tidak selalu ada tiap hari. Hanya saja, pasar ini kian ramai tiap harinya. Meskipun sebenarna, ramainya mnggu. Jadi ada hiburan gratisan”. (wawancara 5 September 2019).

Analisis Tradisi Kerukunan Desa Rawa Selapan

Kekuatan

Pada tabel 3, pada Desa Rawa Selapan lebih beragam

dari segi komposisi umat beragamanya. Pada desa tersebut,

juga terdapat aliran kepercayaan. Lain halnya dengan sarana

ibadat pada keenam desa pada tabel 3 di atas, dapat terlihat

pada grafik berikut.

Page 108: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 98 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Sumber: BPS dan Monografi Desa (diolah peneliti)

Pada grafik tersebut, nampak Desa Rawa Selapan

menjadi wilayah yang lebih memiliki keragaman dari segi

sarana ibadatnya. Bahkan, pada Desa Rawa Selapan terdapat

rumah ibadat dari suatu aliran kepercayaan, yakni Sanggar.

Ini mengindikasikan kecenderungan masyarakat pada desa

tersebut terbuka dalam menerima keberadaan kelompok lain.

Sehingga dengan demikian, dari ke-6 desa tersebut,

peneliti memilih Desa Rawa Selapan sebagai wilayah

yang dikaji. Selain karena keragaman umat beragama dan

ketersediaan sarana ibadat, desa ini termasuk yang disertakan

dalam lomba desa pada Provinsi Lampung mewakili

Kabupaten Lampung Selatan.

Selain itu, pasca Pilpres 2019 dilakukan deklarasi damai

dari 43 calon kepala desa dari 12 desa yang akan mengikuti

pemilihan kepala desa di Kabupaten Lampung Selatan pada

20 Juni 2019, Desa Rawa Selapan termasuk diantara desa

yang mengikuti deklarasi tersebut (infodesa, 2019). Desa

Rawa Selapan termasuk ke dalam Kecamatan Candipuro

di Kabupaten Lampung Selatan. Ini juga mengindikasikan

adanya komitmen dari pemimpin warga atau kepala desa

yang memiliki perhatian terhadap kerukunan antar sesama di

wilayah mereka.

Kecamatan Candipuro terdiri dari 14 desa. Kecamatan

ini terdiri dari 71 dusun, 63 RW, dan 299 RT. Desa ini tidak

Page 109: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 99 ~

memiliki Rukun Warga, melainkan dusun dengan jumlah

6 dusun dan 30 Rukun Tetangga. Kecamatan ini memiliki

jumlah penduduk 55.011 jiwa, dengan komposisi laki-laki

sebanyak 28.092 jiwa dan perempuan sebanyak 26.919 jiwa.

Sementara itu ketersediaan sarana ibadat pada kecamatan

ini, Islam (219), Katholik (16), Protestan (3), Pura (3), Vihara

(1), dan Sanggar (1).

Pada desa ini juga sudah terdapat kelompok antar agama

yang rutin melakukan pertemuan. Pada desa ini juga belum

pernah terjadi konflik antar umat beragama (wawancara

peneliti dengan Kades Rawa Selapan dan beberapa staf

desa, 2 Agustus 2019). Kades (Kepala Desa) Rawa Selapan

memberikan keterangan bahwa, kerukunan antar umat

beragama pada desa yang dipimpinnya sudah ada sejak

lama. Tradisi saling menghargai antar umat beragama pada

Desa Rawa Selapan nampak terlihat pada tiap perayaan hari

besar keagamaan dengan saling menjaga keamanan dan

kenyamanan beribadah dari umat beragama yang sedang

merayakan (wawancara peneliti dengan Kades Rawa Selapan,

1 Agustus 2019).

Desa Rawa Selapan juga didukung dengan adanya

Kantor Urusan Agama Kecamatan Candipuro. Letaknya

tidak berjauhan dari desa dan berhadapan dengan kantor

Kecamatan Candipuro. Keberadaan KUA Candipuro yang

baru dibangun melalui dana SBSN (Surat Berharga Syariah

Negara) dan diresmikan oleh Menteri Agama, cukup megah.

Kepala KUA Candirpuro mempertegas data yang diperoleh

peneliti mengenai keragaman umat beragama dan rumah

ibadat pada Desa Rawa Selapan (wawancara peneliti dengan

Kepala KUA Candipuro, 1 Agustus 2019).

Selain kondisi tersebut, hal lain yang nampak pada

desa tersebut adalah lahan pertanian yang mendominasi

peruntukan lahan di wilayah tersebut. Ini yang menyebabkan

Page 110: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 100 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dominasi mata pencaharian penduduk desa tersebut adalah

petani.

Selain itu, suku yang menjadi penduduk pada Desa Rawa

Selapan pun cukup beragam. Pada desa tersebut terdiri dari

suku Lampung, Batak, Jawa, Sunda, Palembang, Bali, dan

Cina. Keragaman dari kesukuan ini memperkuat akan modal

sosial yang dimiliki warga Desa Rawa Selapan.

Kelemahan

Peneliti menduga, kelemahan dari hubungan antar

umat beragama di Desa Rawa Selapan adalah tidak adanya

kelompok sosial yang diisi oleh perwakilan umat beragama.

Padahal kelompok ini diperlukan guna semakin mempererat

hubungan mereka. Meskipun pada masing-masing agama

terdapat kelompok keagamaannya, namun mereka cenderung

fokus pada kegiatan agama mereka masing-masing.

Kelemahan lain peneliti duga yakni pada regenerasi tokoh

pembawa nilai-nilai pelestarian tradisi budaya. Umumnya

pelestarian tradisi budaya yang biasa terlihat pada momen

bertemunya warga desa diisi oleh tokoh yang sudah berumur.

Belum ada upaya meregenerasi dari kemampuan tokoh

tersebut dalam mengucapkan ikrar saat acara ruwatan desa.

Kelangsungan Saat Sekarang

Saat ini, peneliti merasakan berdasarkan pengamatan

dan hasil wawancara, pelestarian nilai-nilai kerukunan terus

dipertahankan oleh masyarakat Desa Rawa Selapan. Mereka

meyakini, bahwa perbedaan itu merupakan kenyataan yang

harus dihadapi dan menjadi kekuatan bagi perkembangan

desa untuk semakin maju.

Pelestarian acara seperti ruwatan desa senantiasa

dipertahankan untuk selalu terselenggara, apapun kondisinya.

Perbedaannya hanya pada waktu pelaksanaanya saja. Jika

Page 111: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 101 ~

pada musim panen, kemeriahan dan ketepatan waktu

pelaksanaan akan nampak terlihat. Sedangkan pada musim

penceklik, kemeriahan dan penyesuaian waktu lebih sering

dilakukan.

Selain itu, pelestarian sikap menghargai antar sesama

pemeluk agama juga senantiasa dinampakan pada saat

perayaan hari besar keagamaan. Ini sudah menjadi semacam

kebiasaan yang turun menurun. Tidak ada paksaan dalam

melakukan penjagaan keamanan dalam rangka menghargai

perayaan hari besar keagamaan umat beragama di Desa

Rawa Selapan. Hal ini disadari oleh kelompok warga yang

ikut berpartisipasi adalah bagian dari memelihara keeratan

hubungan antar warga desa.

Strategi Merawat Kelangsungan Tradisi Kerukunan Desa Rawa Selapan

Partisipasi Generasi Muda

Pada Desa Rawa Selapan, partisipasi generasi muda salah

satunya terwakili dari aktifitas kaum muda NU (Nadhatul

Ulama). Kaum muda islam ini rutin melakukan pertemuan

dengan mengisinya dengan pengajian. Tempat yang umumnya

digunakan mereka adalah masjid-masjid yang ada pada tiap

dusun. Namun terkadang dilakukan pada rumah beberapa

kaum muda.

Salah satu kegiatan yang sempat peneliti amati saat

dilakukannya penelitian yakni menyelenggarakan pengajian

memperingati tahun baru Islam. Kegiatan mereka dalam

memperingati tahun baru Islam tidak terpengaruh

pelaksanaanya. Manakala masyarakat desa pada saat perayaan

tahun baru Islam tidak tepat waktu, kaum muda islam Desa

Rawa Selapan tetap melaksanakan perayaan tahun baru Islam

dengan mengadakan pengajian dan menikmati hidangan

seadanya.

Page 112: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 102 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Partisipasi Komunitas Perempuan

Perempuan di Desa Rawa Selapan termasuk salah satu

kelompok masyarakat yang mewarnai kehidupan keagamaan

di desa tersebut. Partisipasi komunitas perempuan pada

desa ini terbagi pada dua kategori, pertama yang di bawah

bimbingan aparatur desa dan kedua yang di bawah bimbingan

tokoh agama.

Partisipasi perempuan dalam bimbingan aparatur desa

yakni kelompok PKK. Jumlah pengurus PKK di Desa Rawa

Selapan berjumlah 10 orang perempuan. Kegiatan mereka

yang termasuk dalam arahan pihak desa, yakni:

1. Bidang penghayatan dan pengamalan Pancasila

2. Penumbuhan sikap gotong royong

3. Bidang pangan

4. Bidang sandang

5. Bidang perumahan dan tata laksana rumah tangga

6. Bidang pendidikan dan keterampilan

7. Bidang kesehatan

8. Pengembangan kehidupan berkoperasi

9. Kelestarian lingkungan hidup

10. Perencanaan sehat

Kegiatan yang rutin dilaksanakan oleh PKK Desa Rawa

Selapan hanya 4 jenis dari 10 program di atas. Pada bidang

kesehatan yakni pelayanan Posyandu desa. Pada kelestarian

lingkungan hidup dengan mengkampanyekan penghijauan

pada tiap perkarangan rumah-rumah warga. Pada bidang

pangan, menginisiasi terbentuknya kelompok tani di

desa Rawa Selapan. Pada bidang kehidupan berkoperasi

menginisiasi terbentuknya BUM (Badan Usaha Desa) Desa.

Sementara itu, komunitas perempuan dalam bimbingan

tokoh agama, pada umat islam didominasi dari kelompok

majelis taklim. Kelompok ini hampir ada pada tiap dusun. Di

desa Rawa Selapan terdapat 6 dusun dan 6 masjid. Kelompok

majelis taklim ada pada tiap masjid di desa Rawa Selapan.

Page 113: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 103 ~

Sementara itu, komunitas perempuan dari agama lain,

seperti umat Kristen, Katholik, dan Buddha juga aktif pada

Desa Rawa Selapan. Kegiatan mereka hampir sama dalam

bidang pendidikan di gereja-gereja dan Wihara mereka.

Peran Pemerintah Daerah: Kabupaten/Kota/Camat/Kepala Desa

Pihak kecamatan cukup memberikan pengaruh pada

kegiatan keagamaan yang akan dilakukan di desa. Namun

karena terdapat 14 desa yang dilayani pihak kecamatan, maka

dukungannya masih cenderung pasif. Hanya saja, jika diminta

oleh pihak Desa Rawa Selapan, pihak kecamatan akan cepat

merespons.

Peneliti mengamati, peranan aparatur Desa Rawa

Selapan dalam hal pelestarian nilai-nilai kerukunan cukup

kuat. Dugaan peneliti, hal ini dipengaruhi dari pandangan

dari masing-masing aparatur yang terbuka dan memandang

penting menjaga kerukunan warga desa, tidak hanya soal

agama. Hal ini pun terbukti dari andilnya pihak desa dalam

penyelenggaraan acara rutin yang mempertemukan umat

beragama di desa, yakni ruwatan desa (bersih desa).

Hal lain, pihak desa pun aktif mendorong beberapa tokoh

agama menjadi subjek yang dipercaya dalam ajaran agama.

Mereka yang bersedia, akan diberikan SK (Surat Keputusan)

dari kepala desa. Pada tiap dusun terdapat tokoh agama yang

di-SK-kan. Mereka (tokoh agama) umum disebut dengan

“kaum”. Mereka yang dipercaya oleh desa menjadi “kaum”

ini umumnya dibutuhkan saat adanya warga desa yang

meninggal. Mereka yang memiliki peranan penting dalam

mengatur atau membantu prosesi warga yang berduka.

Analisis Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama di Desa Rawa Selapan

Kerukunan umat beragama merupakan kondisi yang

sifatnya dinamis. Hal ini bermakna, sewaktu-waktu kondisi

Page 114: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 104 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

tersebut dapatlah potensial berubah. Penelitian ini berlaku

pada saat waktu pelaksanaanya. Sehingga, sangatlah relatif

ketika akan melihat kondisi kerukunan pada Desa Rawa

Selapan di waktu yang lain. Namun tidak berarti prediksi

akan kondisi kerukunan tersebut tidak bisa dilakukan.

Dalam hal mencoba memahami relatifitas kondisi kerukunan

tersebut, peneliti menyandingkannya dengan konsep teori

yang digunakan, yakni toleransi dan kerjasama.

Toleransi yang nampak pada Desa Rawa Selapan ini

terpelihara dari adanya nilai-nilai hidup berdampingan

diwariskan secara turun menurun oleh beberapa warga

terdahulu (sebut saja tokoh). Cara pemeliharaan kerukunan

tersebut dilakukan dengan melestarikan tradisi dan kebiasaan

yang sejak lama disadari menjadi perekat antar warga di

desa tersebut. Beberapa tradisi yang dilestarikan tersebut

yakni, ruwatan desa dan dukungan terhadap perayaan hari

besar keagamaan. Pelestarian tradisi dan kebiasaan tersebut

menciptakan kerjasama antar sesama warga dengan berbagai

macam latar belakang seperti etnis, budaya, pendidikan,

ekonomi, dan agama.

Memang, pada Desa Rawa Selapan dominan beretnis

Jawa yang berjumlah 5076 jiwa dan selebihnya beretnis

Sunda, Batak, Bali, Cina, Palembang, dan Lampung. Namun

etnis Jawa seperti yang dikatakan Ricklefs (2013) mempesona

masyarakat beretnis Jawa itu sendiri dan luar terhadap

peninggalan berbagai warisan dalam rupa seni, arsitektur,

literatur, dan pemikiran (Ricklefs, 2013, hal. 29). Sehingga

wajar saja, pelestarian tradisi dan kebiasaan tersebut diatas

cenderung berbudaya jawa.

Sebagai desa yang tercipta dari sebagian besar masyarakat

yang pendatang, Desa Rawa Selapan ini sejak 1969 menyadari

akan pentingnya hidup berdampingan untuk memajukan

desa dimulai dari peranan besar aparatur desa saat itu. Pihak

Page 115: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 105 ~

pemerintah desa bersama tokoh masyarakat dan agama

menciptakan prinsip hidup bersama bagi sesama warga

desa untuk guyup, ulet, manut, lantif (cerdas), aman, eling,

dan raharjo (sejahtera). Keinginan untuk maju bersama ini

dipandang peneliti sebagai tujuan bersama dari warga Desa

Rawa Selapan. Pada poin inilah yang disebut oleh Sherif

(1988) sebagai saat akan terciptanya interaksi yang efektif.

Sehingga wajar saja jika desa ini terpilih mewakili desa

yang ada di Kabupaten Lampung Selatan untuk mengikuti

lomba desa pada 2019, karena soliditas yang berhasil mereka

ciptakan.

Soliditas (kekompakan) ini muncul dari rasa kepemilikan

warga terhadap desanya. Ini dibuktikan dengan berhasilnya

warga desa membuka lahan menjadi pasar mingguan.

Kerjasama dalam penciptaan pasar ini sebagai ruang

publik, mereka pandang penting untuk menjalin keeratan

dalam berinteraksi antar sesama warga. Kemudian mereka

menciptakan rasa kepercayaan satu sama lain untuk saling

berbagi pengalaman. Ini nampak terlihat pada kegiatan

mereka pada balai dusun, pelaksanaan ruwatan desa, dan

dukungan perayaan hari besar keagamaan.

Keeratan hubungan antar warga ini-pun terpelihara

melalui rasa saling menguntungkan. Hal ini nampak pada

perayaan besar keagamaan. Pada desa ini dominan beragama

islam. Warga yang beragama lain saat melaksanakan perayaan

hari besar keagamaan mereka, akan merasa terlindungi dan

dihargai ketika umat islam menjaga keamanan dan ketertiban

pada proses pelaksanaan ritual keagamaan tersebut. Bagi

warga Muslim-pun diuntungkan melalui kompensasi yang

mereka peroleh (uang, makanan, minuman) saat menertibkan

kendaraan dari umat agama lain saat pelaksanaan ritual

tersebut. Selain itu, antusiasme dalam pelaksanaan tradisi

ruwatan desa menjadi indikasi akan rasa kepemilikan

terhadap desa (komunitas).

Page 116: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 106 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Peneliti akhirnya memandang bahwa, kerukunan antar

umat beragama di Desa Rawa Selapan ini terpelihara sebagai

akibat dari ikatan kewargaan yang tercipta dari pelestarian

sikap toleran dan pelaksanaan kerjasama antar warga yang

secara sadar berkeinginan untuk memajukan desa secara

bersama-sama. Tentu, hal ini sangat besar dipengaruhi dari

peran ketokohan desa. Ini artinya, ketokohan desa menjadi

otoritas yang menjadi struktur penting dalam pemeliharaan

kerukunan di Desa Rawa Selapan. Ketokohan desa menjadi

kunci dalam mengurangi disonasi kognitif warga untuk hidup

saling berdampingan. Hal inilah yang secara tidak disadari

memunculkan rasa kepemilikan terhadap komunitas pada

desa tersebut.

Penutup

Kondisi kerukunan di Desa Rawa Selapan ditandai dengan

adanya tradisi yang senantiasa dilestarikan masyarakat

desa, baik dalam pelestarian nilai kerukunan, sampai

pembiasaan hidup berdampingan. Diantara kegiatan yang

merepresentasikan pelestarian nilai-nilai kerukunan adalah

sikap gotong royong dalam perayaan hari besar keagamaan,

tradisi ruwatan desa (bersih desa).

Peran dari ketokohan sangat memberikan pengaruh

kuat dalam pelestarian nilai-nilai kerukunan. Di samping

itu, peranan dari aparatur desa juga turut memberikan andil

dalam pelestarian tradisi kebersamaan antar umat beragama.

Interaksi antar umat beragama nampak terlihat pada saat

momen perayaan hari besar keagamaan, acara ruwatan desa,

perdagangan, dan kumpulan warga di balai dusun. Interaksi

ini terjalin atas dasar kesadaran akan adanya kerukunan

antar-sesama.

Page 117: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 107 ~

Daftar Pustaka___.2015. Peran Lembaga Keagamaan dalam Memelihara

Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (jilid 1 dan 2). Balai Litbang Agama Jakarta.

___. 2019. 43 Calon Kepala Desa di Kecamatan Candipuro Gelar Deklarasi Damai. Infodesanew.com, 20 Juni 2019. Diakses pada 10 Agustus 2019. https://infodesanews.com/39-calon-kepala-kecamatan-candipuro-gelar-deklarasi-damai.html

Afkar, Revol. 2019. 6 Desa Sadar Kerukunan Terima Reward dari Kemenag RI. Bangsa Online 13 Juli 2019. Diakses pada 18 Agustus 2019 ht tps://www.bangsaonl ine .com/ber i ta/60111/ 6-desa-sadar-kerukunan-terima-reward-dari-kemenag-ri

Ahmad, Ali, Haidlor. 2013. Survei Nasional: Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.

Bagir, Abidin, Zainal. 2017. Kerukunan dan Penodaan Agama: Alternatif Penanganan Masalah. Edisi II Desember 2017. Yogyakarta: Program Studi dan Lintas Budaya: Center for Religion and Cross Cultural Studies (CRCS): UGM.

Beaman, G., Lori. 2014. Deep Equality As An Alternative to Accommodation and Tolerance. Nordic Journal of Religion and Society: 27 (2).

Bowen, Daniel., Cheng, Albert. 2014. Peering Into the Black Box of Faith-Based Education: Do Religious Cues Affect Self Regulation and Political Tolerance?. Edre Working Papper: Rise University dan Arkansas University.

Broderick, Cynthia., Fosnacht, Kevin. 2017. Religious Tolerance on Campus: A Multi Institution Study. Indiana University Center for Postsecondary Research: USA.

Clobert, Magali., Saroglou, Vassilis., Hwang, Kuo, Kwang., Soong, Wen-Li. 2014. East Asian Religious Tolerance-A Myth or a Reality? Empirical Investigations Of Religious Prejudice in East Asian Societies. Journal of Cross Cultural Psychology: SAGE.

Page 118: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 108 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Dja’far, M., Alamsyah., Nugroho, Ardi, Aryo (Ed). 2016. Narasi Islam Damai. Jakarta: The Wahid Foundation.

Fauzi, Ihsan, Ali. Bagir, Abidin, Zainal. Rafsadi, Irsyad. 2017. Kebebasan, Toleransi, dan Terorisme: Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina.

Gross, Neil. 2009. A Pragmatist Theory of Social Mechanism. American Sociology Review Vol. 74 74: 358. SAGE dan ASA (American Sociological Association). Hal. 359-364.

Ismail, 2019, Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama: Studi Pada Desa-Desa Rukun di Sumatera, Desain Operasional Penelitian, Jakarta: Balai Litbang Agama Jakarta.

Lichbach, Irving, Mark. 2008. Modeling Mechanism of Contention MTT’s Positivis Constructivismt. Simposium McAdam, Tarrow, dan Tilly’s “Measuring Mechanism of Contention”, dipublikasi secara online pada 31 Mei 2008. Springer Science and Business Media, LLC. Hal 346-347.

Mas’ud, Abdurrahman., Ruhana, Salim, Akmal. 2009. Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama; Edisi kesebelas. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.

Maussen, Marcel. 2013. Applying Tolerance Indicators: ANNEX to The Report On Assessing Tolerance for Religious Schools. Accept Pluralism Research Project: European University Institute.

McMillan, W., David, 1996, Sense Of Community, Journal of Community Psychology Vol. 24 No. 4, John Wiley & Sons Inc, hal. 315-325

Menchik, Jeremy. 2016. Islam and Democracy In Indonesia.Cambridge University Press.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2016. Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama,

Page 119: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 109 ~

Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Permendagri Nomor 81 Tahun 2015. Evaluasi Perkembangan Desa dan Kelurahan.

Ricklefs, C., M., Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang, Jakarta: Serambi.

Saefuddin, Fedyani, Achmad. 1986. Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam. Jakarta: Rajawali Press.

Sarwono, Wirawan, Sarlito, 1999, Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan, Jakarta: Balai Pustaka.

Setara Institute. 2015. Tolerant City Index: Report Summary

Sherif, Muzafer., Harvey, O., J., White, Jack, B., Hood, R., William, Sherif, W., Carolyn, The Robbers Cave Experiment: Intergroup Conflict and Cooperation, USA: Wesleyan University Press.

Stufflebeam, Daniel L. dan Chris L. S. Coryn. 2014. Evaluation Theory, Models, and Applications. San Fransisco: Jossey-Bass.

Sudjangi. 1993. Kajian Agama dan Masyarakat: 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1975-1990 III: Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama.Badan Penelitian dan Pengembangan Agama.

Troachim, William dan James P. Donelly. 2006. The Research Methods Knowledege Base. Cincinnati, OH: Atomic Dog Publishing.

Trochim, William M. 2006. The Research Methods Knowledge Base, 2nd Edition. Internet WWW page, at URL: <http://www.socialresearchmethods.net/kb/> (version current as of October 20, 2006).

Varshney, Ashutosh. 2009. Konflik Etnis dan Peran Masyarakat Sipil. Edisi terjemahan. Balai Litbang Agama Jakarta.

Page 120: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 110 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Varshney, Ashutosh. Panggabean, Rizal. Tadjoeddin, Zulfan, Muhammad. 2004. Pattern of CollectiveViolance in Indonesia (1990-2003). UNSFIR: Jakarta.

Vermeer, Teun. 2012. The Influence of Religion on Social Tolerance in East – and West Europe: A Multi-Level Analysis. Tilburg University: Nedherland.

Wahid Foundation & LSI. 2017. A Measure of Extent of Socio-Religious Intolerance and Radicalism Within Muslim Society in Indonesia: National Survei Report.

Yin, Robert K. 2003. Case Study: Research Design and Methods, Edisi ke-3. Thousand Oak, Calif.: Sage Publications.

Page 121: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 111 ~

BAGIAN EMPAT

Page 122: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 112 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Page 123: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 113 ~

Toleransi dan Kerjasama Umat Beragamapada Masyarakat Gampong Mulia Kecamatan Kuta Alam

Banda Aceh---------------------------------- Marpuah ----------------------------------

Pendahuluan

Keterlibatan negara dalam bentuk regulasi untuk

mengurus kehidupan beragama merupakan suatu keniscayaan

dalam hal-hal yang bisa menimbulkan konflik atau kekacauan

(disorder), dan bukan dalam hal substansi ajaran agama. Hal

ini menjadi semakin penting ketika aspirasi dan kepentingan

masing-masing kelompok keagamaan semakin berkembang

dan ekspresi kebebasan pun semakin terbuka. Regulasi

itu tidak menyalahi demokrasi, karena demokrasi pada

hakekatnya merupakan keseimbangan antara kebebasan

(freedom) dan keteraturan (law and order). Regulasi ini juga

tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia (HAM),

karena baik konstitusi Indonesia maupun Internasional

covenant on civil and Political Rights (ICCPR, diratifikasi

melalui UU No. 12 Tahun 2005) membenarkan regulasi ini.

Pada dasarnya konstitusi Indonesia memberikan kewenangan

kepada negara untuk memberlakukan pembatasan terhadap

kebebasan HAM, sebagaimana pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.

Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Komisi

Nasional Hak-hak asasi manusia 2002-2007. Pembatasan

yang dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan

nasional semacam ini disebut sebagai “margin apresiasi HAM”.

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut membawa konsekuensi

diterapkannya “ margin apresiasi HAM” di Indonesia. Demi

Page 124: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 114 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

kepentingan umum otoritas negara diberikan diskresi untuk

mengesampingkan atau membatasi HAM.

Namun yang perlu diperhatikan untuk mencegah

penyalahgunaan kekuasaan oleh otoritas negara, margin

apresiasi HAM berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945

tersebut harus dijalankan dalam koridor konstitusi, yaitu:

pembatasan HAM harus ditetapkan dengan UU. Semata-mata

guna menjamin pegakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain. Dengan mempertimbangkan moral,

nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam

suatu masyarakat demokrati. Dan ketertiban umum dalam

suatu masyarakat demokratis, tidak mengesampingkan HAM

yang bersifat non derogible sebagaimana ditegaskan dalam

Pasal 28 (1) UUD 1945. “ Dalam hal kebebasan beragama

memang benar bahwa hak kebebasan beragama ini merupakan

hak yang tidak bisa dikurangi (non derogible right), tetapi

ekspresi keluar yang notabene melibatkan warga masyarakat

lain. Hak ini merupakan hak yang bisa dibatasi atau dikurangi

(derogible right) untuk melindungi hak-hak orang lain.

Dengan demikian suatu negara dibolehkan untuk membuat

suatu undang-undang yang membatasi pelaksanaan hak-hak

dan kebebasan dalam beragama untuk melindungi keamanan

nasional, ketertiban umum, moral masyarakat, atau hak-hak

kebebasan mendasar orang lain.(K.H. Ma’ruf Amin, 2011,hal

72).

Kehadiran agama-agama di Indonesia dalam waktu

yang cukup Panjang telah melahirkan berbagai pranata

sosial keagamaan. Hal itu menunjukkan secara antropologis

masyarakat telah diberi kesempatan untuk memahami

dan menghayati ajaran agama sesuai dengan lingkungan

budaya mereka. Proses sosialisasi agama di kalangan umat

Islam Indonesia melahirkan pranata kepemimpinan dengan

terbentuknya Syekh, Tuan Guru, Muallim, Muallimah, Baleo,

Kyai, Ajengan, Tengku, Buya, Malim, Muballigh, Mudarris,

Page 125: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 115 ~

Bendra (Ra) dan lain sebagainya. Di kalangan Kristen dikenal

sebutan Pendeta, Sintua, Guru, Bishop, Biblevrow, Ephorus,

dan lain sebagainya. Di kalangan Katholik dikenal sebutan

Pastor, Uskup, Uskup Agung, Vikaris Jenderal, Suster Bruder

dan lain sebagainya. Bagi kalangan penganut Budha dikenal

sebutan Bikhsu, Bikhu, Bikhuni, dan Hindu sebutannya

adalah Pedanda, Pandita, dan sebagainya. Umat Khonghuchu

menyebut pimpinan agamanya dengan Wenshu disingkat Ws.

Aspek kehidupan beragama tidak hanya ditemukan

dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi secara

signifikan dengan aspek budaya yang lain. Ekspresi religious

ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia, sistem

moral, sistem keluarga, ekonomi, hukum, politik, pengobatan,

sains, teknologi, seni, pemberontakan, perang dan lain-lain.

Hal ini karena setelah agama menjadi milik manusia, maka

keberadaan agama bukan lagi sebagai wahyu yang absolut

kebenarannya, melainkan berubah menjadi subsistem dari

berbagai subsistem kehidupan lainnya. Komunitas umat

beragama terbentuk melalui kegiatan ritual, doa-doa, puji-

pujian, dosa dan ketakwaan. Menurut Bell sebagaimana

dikutip Riaz Hassan dalam analisis sosiologis, ritual dianggap

memainkan peran penting dalam mempertahankan institusi,

komunitas, dan identitas agama. Dan selanjutnya partisipasi

dalam ritual kolektif keagamaan berperan sebagai proses

sosialisasi individu untuk menerima secara tidak sadar nilai-

nilai kebersamaan dan kategori pengetahuan dan pengalaman

(H.M. Ridwan Lubis, 2017, hal 261).

Adanya perubahan era, dari era orde baru ke era reformasi,

seharusnya meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia

akan arti penting persatuan dan kesatuan. Akan tetapi

kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Angin reformasi

membawa dampak kebebasan yang kurang terkendali.

Hal ini akan sangat berbahaya bagi bangsa yang tingkat

heterogenitasnya cukup tinggi seperti Indonesia. Keragaman

Page 126: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 116 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

agama di satu sisi memberikan kontribusi positif untuk

pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama

dapat juga berpotensi sumber konflik. Kerukunan antarumat

beragama di Indonesia masih banyak menyisakan masalah.

Kasus-kasus yang muncul terkait dengan hal ini belum bisa

terhapus secara tuntas. Kasus Cikesik, Ambon, Kupang, Poso,

bahkan Papua yang baru saja terjadi kerusuhan (2019), dan

lainnya masih menyisakan masalah. Ibarat api dalam sekam

yang sewaktu-waktu siap membara dan memanaskan suasana

di sekelilingnya.

Banyaknya konflik yang melibatkan agama sebagai

pemicunya menuntut adanya perhatian yang serius untuk

mengambil langkah-langkah yang antisipatif, terutama dari

segi yuridis. Hal ini penting demi tercapainya kedamain

kehidupan umat beragama di Indonesia. Jika hal ini diabaikan,

dikhawatirkan akan muncul masalah yang lebih berat dalam

rangka pembangunan bangsa dan negara di bidang politik,

ekonomi, keamanan, budaya, dan bidang-bidang lainnya.

Bangsa Indonesia mencita-citakan suatu masyarakat yang

cinta damai dan diikat oleh rasa persatuan nasional untuk

membangun sebuah negara yang majemuk. Persatuan ini tidak

lagi membeda-bedakan agama, etnis, golongan, kepentingan,

dan yang sejenisnya

Provinsi Aceh dikenal sebagai sebuah Provinsi yang

memiliki status Istimewa dalam rangkaian Provinsi yang

berada diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Status istimewa tersebut diraih karena kondisi sosial budaya

masyarakat Aceh yang khas. Potensi kekayaan alam di

Provinsi Aceh, serta kiprah masyarakat Aceh yang besar

serta berharga dalam sejarah perjuangan kemerdekaan

Indonesia. Adanya status istimewa tersebut, Provinsi Aceh

tentunya memiliki sebuah perbedaan dalam mekanisme

Pemerintahan serta peraturan Daerahnya. Sebagai sebuah

Provinsi yang terdiri dari mayoritas penduduk beragama

Page 127: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 117 ~

Islam dan didukung pula oleh adat istiadat masyarakat Aceh

yang memegang teguh prinsip Islam secara mengakar dalam

kehidupan bermasyarakatnya. Maka Syariat Islam menjadi

sebuah pertimbangan utama dalam perumusan peraturan di

Daerah Provinsi Aceh (Abubakar Al-Yasa, 2005 hal 62-63).

Perumusan kebijakan Syariat Islam di Nanggroe

Aceh Darussalam dimulai pada sejak berdirinya Negara

Islam Indonesia di Aceh yang dipimpin oleh Tengku Daut

Beureueh pada Tahun 1953. Berdirinya Negara Islam

Indonesia ini disebabkan oleh kekecewaan yang dirasakan

oleh pimpinan, pemuka Agama, serta masyarakat Aceh pada

umumnya. Terhadap sikap Pemerintah pusat Indonesia yang

membubarkan keberadaan Provinsi Aceh sehingga diganti

menjadi Provinsi Sumatra Timur. Menanggapi kekecewaan

ini Pemerintah kemudian melakukan berbagai upaya untuk

mengakomodasi kepentingan masyarakat Aceh serta menjaga

supaya Aceh tetap menjadi Wilayah dari Negara kesatuan

Republik Indonesia. Dengan memberikan keistimewaan di

bidang Pendidikan, budaya, adat-istiadat, serta peraturan

masyarakat (adat) dengan menghormati serta menjunjung

tinggi Kehormatan rakyat dan budaya Aceh serta Agama

Islam di Aceh (Ibid hal 66).

Reformasi Indonesia telah berdampak terhadap inspirasi

masyarakat Aceh dalam mengimplementasikan syariat Islam

secara menyeluruh untuk masyarakat di Provinsi Aceh.

Penerapan Syariat Islam di Indonesia telah sesuai dengan

konstitusi negara yaitu Undang-undang 1945 yang tercermin

dalam pasal 29 ayat (1), yaitu; “Negara menjamin kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-

masing dan beribadah menurut agama kepercayaannya

itu” (UU Dasar 1945 pasal 29 ayat (1). Juga sesuai dengan

Undang-undang dasar 1945 tahap kedua yang berlaku

pada tanggal 5 juli 1959, di dalamnya termaktub kalimat;

Bahwa piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai

Page 128: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 118 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini adalah merupakan

suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Artinya

dengan demikian piagam Jakarta telah diakui kembali secara

sah, maka dalam menjalankan Syariat Islam tidak ada lagi

halangan bagi Umat Islam di Indonesia. Hal tersebut juga

sesuai dengan Undang-undang otonomi daerah bahwa suatu

daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya

sendiri dan membuat peraturan daerah dengan catatan tidak

bertentangan dengan Undang-undang dasar 1945 maupun

Undang yang lebih tinggi darinya.

Sebelum tahun 2003 tepatnya sebelum 16 juli 2003, di

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum berlaku Syariat

Islam. Masyarakat Aceh umumnya melaksanakan Syariat

Agama sama dengan seluruh masyarakat Indonesia tidak

ada ketentuan khusus. Kemudian setelah berlaku otonomi

secara khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, di dalam

pelaksanaannya, Syariat Islam telah dimasukkan ke dalam

bentuk Undang-Undang daerah khusus di Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam yang di sebut dalam Qanun (Dinas Syariat

Islam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 2003).

Perda dan Qanun sudah banyak yang dihasilkan

Pemerintah Aceh dalam rangka pelaksanaan syariat Islam di

Nanggroe Aceh Darussalam. Seperti Perda Nomor 3 tahun

2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa

Aceh. Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syariat

Islam, Perda Nomor 43 Tahun 2001 tentang perubahan atas

Perda Nomor 3 Tahun 2000. Qanun Nomor 10 Tahun 2002

tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun Nomor 11 Tahun 2002

tentang pelaksanaan syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan

Syiar Islam. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman

Khamar (minuman keras) dan sejenisnya, Qanun Nomor

13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), Qanun Nomor

14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (mesum). Qanun Nomor

Page 129: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 119 ~

7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat, serta sejumlah

intruksi Gubernur pendukung pelaksanaan Syariat Islam.

Syariat Islam secara Kaffah diartikan pelaksanaan hukum

syariah secara sempurna oleh Pemerintah Daerah. Beberapa

Lembaga yang dibentuk untuk menjalankannya yaitu,

Dinas Syariat Islam yang mempunyai tanggungjawab utama

pelaksanaan hukum Syariah. Majelis Permusyawaratan

Ulama (MPU) sebagai Lembaga Independen yang bertugas

memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya

hukum Syariah, dan Polisi Wilayatul Hisbah yang bertugas

mensosialisasikan Qanun, menangkap pelanggar Qanun

serta menghukum pelaku yang melanggar Syariat (Misra A.

Muchsin, et al, 2008, hal 2).

Di satu sisi, rumah ibadat selain sebagai simbol suatu

agama, juga merupakan tempat ibadat dan sarana untuk

meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan agama

umat. Tapi di sisi lain, pembangunan rumah ibadat sering

menimbulkan permasalahan dan sumber konflik antarumat

beragama. Dilema ini dapat difahami, karena setiap kelompok

keagamaan apa pun dan dimana pun, serta kapan pun, selalu

menaruh perhatian pada regenerasi bagi kelangsungan

kehidupan kelompok keagamaan tersebut. Secara langsung

maupun tidak langsung, kelompok keagamaan tertarik pada

dan melakukan kegiatan-kegiatan untuk kelestarian sistem

keyakinan keagamaan yang dianut kelompok kegamaan

tersebut. Hal ini dilakukan dengan menarik para anggota

yang terdiri dari anggota-anggota keluarga dan kerabat

dari anggota kelompok, khususnya para anggota muda dan

anak-anak.

Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan

yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi

suatu masyarakat. Pada saat yang sama agama juga dapat

memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-

beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi

Page 130: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 120 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari

begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya

sendiri, sehingga seringkali mengabaikan bahkan

menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain. Isu perselisihan

antara warga Muslim dan Non Muslim kerap membuat sekat

persaudaraan semakin tebal. Namun saat warga hidup di

lingkungan majemuk, perlu adanya solusi atas perselisihan

tersebut. Dengan pernyataan tersebut dapat dirumuskan:

Bagaimana kondisi kerukunan antarumat beragama di obyek

penelitian. Bagaimana strategi Pemerintah Daerah terhadap

toleransi dan kerjasama antarumat beragama, dalam upaya

pemeliharaan kerukunan antarumat beragama. Apa kekuatan

dan kelemahannya dalam pemeliharaan kerukunan antarumat

beragama.

Tulisaan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi

Kerukunan antarumat beragama di wilayah obyek

penelitian, mengetahui strategi Pemerintah Daerah terhadap

toleransi dan kerjasama antarumat beragama, dalam upaya

pemeliharaan kerukunan antarumat beragama dan untuk

mengetahui Kekuatan dan Kelemahan dalam pemeliharaan

Kerukunan antarumat beragama.

Kerangka Konseptual

Masyarakat dan Perubahan Sosial

Menurut Talcott Parsons dan Willbert E. Moore, teori

tentang masyarakat dan perubahan sosial tidak dapat

dipisahkan. Namun juga harus diakui bahwa tidak ada

satu teori perubahan sosial yang benar-benar mencukupi

untuk membaca perubahan-perubahan yang terjadi dalam

masyarakat termasuk apa yang selama ini sering diungkapkan,

yakni apa yang disebut “grand theory”. Kata Etzioni, “grand

theories” tidak memberikan bimbingan yang mencukupi untuk

riset sosiologi tetapi tidak ada perubahan sosial yang modern

Page 131: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 121 ~

telah menggantikannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika

sebuah teori masyarakat yang lengkap dikembangkan, maka

upaya itu tentang kajian “struktur-struktur yang statis”

dan “proses yang dinamis”. Tetapi riset untuk sebuah teori

semacam ini harus bergerak ke berbagai sektor. Berbicara

tentang konsep perubahan sosial maupun perubahan budaya,

pada umumnya dua konsep tersebut dibedakan, yaitu masing-

masing perubahan dikaitkan dengan aspek yang berbeda,

yang satu berkaitan dengan bidang budaya yang berubah dan

yang satunya dengan bidang sosial.

Pada dasarnya perubahan sosial dan perubahan budaya

merupakan konsep yang sebenarnya saling berkaitan satu

sama lain meskipun mempunyai perbedaan. Perubahan sosial

mencakup perubahan dalam segi struktur dan hubungan

sosial, sedangkan perubahan budaya mencakup perubahan

dalam segi budaya masyarakat. Perubahan dalam distribusi

kelompok usia, tingkat pendidikan, hubungan sosial antar

etnis yang bermukim dalam satu wilayah, peran perempuan

dalam organisasi politik dan lain-lain adalah contoh dari

perubahan sosial. Sedangkan perubahan budaya meliputi

penemuan teknologi komputer dan penciptaan seni tari

modern dan lain-lain. Tetapi kedua konsep perubahan tersebut

saling berkaitan, misalnya perubahan peran perempuan

dalam masyarakat berkaitan dengan adanya perubahan nilai

kedudukan perempuan. Jadi fenomena suatu perubahan di

dalamnya akan mencakup aspek sosial dan budaya sehingga

perbedaan istilah di antara keduanya sering kali tidak terlalu

diperhatikan. Tokoh sosiologi dari Indonesia, yaitu Selo

Soemarjan menyatakan bahwa perubahan sosial mencakup

semua aspek perubahan dalam lembaga suatu masyarakat

yang dapat mempengaruhi sistem sosial termasuk nilai, sikap

dan pola perilaku kelompok dalam masyarakat tersebut. Ia

menekankan bahwa perubahan sosial terjadi pada lembaga

Page 132: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 122 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

masyarakat sehingga mempengaruhi struktur masyarakat

yang bersangkutan.

Modal Sosial

Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian

nilai dan norma informal yang dimilki bersama diantara para

anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan

terjadinya kerjasama diantara mereka (Francis Fukuyama,

2002: xii). Tiga unsur utama dalam modal sosial adalah: trust

(kepercayaan), reciprocal (timbal balik), dan interaksi sosial.

Trust (kepercayaan) dapat mendorong seseorang untuk

bekerjasama dengan orang lain untuk memunculkan aktivitas

ataupun tindakan bersama yang produktif. Trust merupakan

produk dari norma-norma sosial kooperation yang sangat

penting yang kemudian memunculkan modal sosial.

Fukuyama (2002), menyebutkan trust sebagai harapan-

harapan terhadap keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif

yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan

pada norma-norma yang dianut bersama anggota komunitas-

komunitas itu.

Unsur penting pertama dari modal sosial adalah Trust

(kepercayaan) dalam suatu kelompok sangat diperlukan,

tidak hanya antar pengurus namun antar anggota juga

dibutuhkan suatu kepercayaan. Karena dengan adanya

kepercayaan ini maka akan terjalin suatu hubungan kerjasama

yang baik. Tidak ada kecurigaan antara sesama pengurus

atau anggota kelompok. Unsur penting kedua dari modal

sosial adalah reciprocal (timbal balik), dapat dijumpai dalam

bentuk memberi, saling menerima dan saling membantu

yang dapat muncul dari interaksi sosial (Soetomo, 2006:

87). Unsur yang selanjutnya yakni interaksi sosial. Interaksi

yang semakin meluas akan menjadi semacam jaringan sosial

yang lebih memungkinkan semakin meluasnya lingkup

kepercayaan dan lingkup hubungan timbal balik. Jaringan

Page 133: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 123 ~

sosial merupakan bentuk dari modal sosial. Jaringan sosial

yakni sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan

simpati dan kewajiban serta oleh norma pertukaran dan civic

engagement. Jaringan ini bisa dibentuk karena berasal dari

daerah yang sama, kesamaan kepercayaan politik atau agama,

hubungan genealogis, dan lain-lain. Jaringan sosial tersebut

diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan

perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh

jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan

tersebut (Pratikno dkk).

Dilihat dari tindakan ekonomi, jaringan adalah

sekelompok agen individual yang berbagi nilai-nilai dan

norma-norma informal melampaui nilai-nilai dan norma-

norma yang penting untuk transaksi pasar biasa. Melalui

pemahaman ini dapat dijelaskan bahwa modal sosial dapat

bermanfaat bukan hanya dalam aspek sosial melainkan juga

ekonomi (Pratikno dkk: 88). Timbal balik antara anggota

kelompok satu dengan yang lainnya, berperan penting

dalam pembentukan kelompok agar lebih baik. Timbal balik

yang diberikan pengurus ataupun anggota kelompok dapat

menjadikan suatu titik ukur agar lebih maju. Dengan saling

menerima dan saling membantu antar anggota kelompok yang

muncul dari adanya interaksi sosial dapat menjadikan mereka

lebih peka terhadap sesama anggota kelompok. Kelompok ini

juga mempunyai jaringan sosial yang terbentuk dari daerah

yang sama dan mempunyai perasaan simpati yang sama yaitu

contohnya dari korban tsunami.

Maka dari itu mereka membentuk kelompok ini sebagai

jaringan sosial mereka. Ketiga unsur utama modal sosial

dapat dilihat secara aktual dalam berbagai bentuk kehidupan

bersama dapat digunakan konsep modal sosial sesuai

pandapat Uphoff (Soetomo, 2006: 90). Dalam pandangan

Uphoff (Soetomo, 2006: 90), modal sosial dapat dilihat dalam

dua kategori: fenomena struktural dan kognitif. Kategori

Page 134: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 124 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

struktural merupakan modal sosial yang terkait dengan

beberapa bentuk organisasi sosial khusus peranan, aturan,

precedent dan prosedur yang dapat membentuk jaringan

yang luas bagi kerjasama dalam bentuk tindakan bersama

yang saling menguntungkan. Modal sosial dalam kategori

kognitif diderivasi dari proses mental dan hasil pemikiran

yang diperkuat oleh budaya dari deologi khususnya norma,

nilai, sikap, kepercayaan yang memberikan kontribusi bagi

tumbuhnya kerjasama khususnya dalam bentuk tindakan

bersama yang saling menguntungkan.

Bentuk-bentuk aktualisasi modal sosial dalam fenomena

struktural maupun kognitif itulah yang perlu digali dari

dalam kehidupan masyarakat selanjutnya dikembangkan

dalam usaha penigkatan taraf hidup dan kesejahteraan. Level

mekanisme modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama.

Kerjasama sendiri merupakan upaya penyesuaian dan

koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi

konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok

dianggap menjadi hambatan oleh seseorang atau kelompok

lain. Akhirnya tingkah laku mereka menjadi cocok satu sama

lain. Perlu ditegaskan bahwa ciri penting modal sosial sebagai

sebuah capital dibandingkan dengan bentuk capital lainnya

adalah asal-usulnya yang bersifat sosial. Relasi sosial bisa

berdampak negatif ataupun positif terhadap pembentukan

modal sosial tergantung apakah relasi sosial itu dianggap

sinergi atau kompetisi, dimana kemenangan seseorang hanya

dapat dicapai di atas kekalahan orang lain (zero-sum game).

Komponen Modal Sosial

Komponen modal sosial dapat digambarkan secara ringkas

sebagai berikut: Nilai, Kultur, Persepsi Institusi, Mekanisme,

kepercayaan. Persepsi modal sosial bisa berbentuk simpati,

rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, dan pengakuan

timbal balik. Pada level institusi bisa terbentuk keterlibatan

Page 135: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 125 ~

umum sebagai warga negara (civil engagement), asosiasi,

jaringan. Pada level mekanisme, modal sosial berbentuk

kerjasama, tingkah laku, dan sinergi antar kelompok. Tampak

jelas bahwa modal sosial bisa memberikan kontribusi

tersendiri bagi terjadinya integrasi social (Soetomo, 2006).

Interaksi Sosial

Menurut Gillin dan Gillin (Soerjono Soekanto, 2007: 55-

56), interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial

yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-

perorang, antara kelompok-kelompok manusia, maupun

antara orang-perorang dengan kelompok manusia. Apabila

dua orang bertemu, interaksi dimulai pada saat itu. Mereka

saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau

bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu

merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial. Walaupun orang-

orang yang bertemu muka tersebut tidak saling berbicara atau

saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi.

Karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang

meyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan maupun

syaraf orang-orang yang bersangkutan, yang disebabkan oleh

misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dan

lain-lain. Semua itu menimbulkan kesan di dalam pikiran

seseorang, yang kemudian menentukan tindakan apa yang

akan dilakukannya (Soerjono Soekanto, 2007: 55-56).

Interaksi sosial yang terjadi dalam suatu kelompok

merupakan hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut

hubungan antara orang-perorang, antar kelompok-kelompok

manusia, dan antara orang dengan kelompok masyarakat.

Interaksi sosial terjadi apabila dalam masyarakat terjadi

kontak sosial (social contact) dan komunikasi. Interaksi terjadi

dua orang atau kelompok saling bertemu atau pertemuan

antara individu dengan kelompok dimana komunikasi terjadi

diantara kedua belah pihak. Kontak sosial dan komunikasi

Page 136: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 126 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

merupakan syarat mutlak dalam proses interaksi sosial,

sehingga tanpa kedua unsur tersebut maka sangatlah mustahil

interaksi sosial terjadi (Soerjono Soekanto, 2007: 61).

Komunikasi yang terjalin di dalam kelompok sangat

menentukan terjadinya kerjasama antara orang-perorang

atau antara kelompok-kelompok manusia. Pemikiran di atas

dapat diketahui apabila ada pembatasan kontak sosial salah

satu pihak, maka akan terjadi persoalan yang muncul dari

hubungan yang tidak harmonis ini. Interaksi sosial sangat

berguna untuk menelaah dan mempelajari banyak masalah

di dalam masyarakat. Interaksi merupakan kunci semua

kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan

mungkin ada kehidupan bersama (Soerjono Soekanto, 2007:

58). Interaksi sosial dimaksudkan sebagai pengaruh timbal

balik antara individu dengan golongan di dalam usaha mereka

untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dan di dalam

usaha mereka untuk mencapai tujuannya (Abu Ahmadi, 2007:

100). Charles P. Loomis (Soleman b. Taneko, 1984: 114),

mencantumkan ciri penting dari interaksi sosial, yakni:1).

Jumlah pelaku lebih dari seorang, bisa dua atau lebih. 2).

Adanya komunikasi antara para pelaku dengan menggunakan

simbol-simbol. 3). Adanya suatu dimensi waktu yang meliputi

masa lampau, kini dan akan datang, yang menentukan sifat

dari aksi yang sedang berlangsung. 4). Adanya tujuan-

tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidak sama dengan

yang diperkirakan oleh pengamat. Apabila interaksi sosial

itu diulang menurut bentuk yang sama dan bertahan untuk

waktu yang lama, maka akan terwujud “hubungan sosial”.

Bentuk-bentuk interaksi sosial (Soleman b. Taneko, 1984:

115), adalah terdiri dari:

1. Kerjasama (cooperation).

Kerjasama merupakan usaha bersama antara individu

atau kelompok untuk mencapai satu atau tujuan bersama.

Proses terjadinya kerjasama lahir apabila diantara

Page 137: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 127 ~

individu dan kelompok yang bertujuan agar tujuan-

tujuan mereka tercapai. Begitu pula apabila individu atau

kelompok merasa adanya ancaman dan bahaya dari luar,

maka proses kerjasama ini akan bertambah kuat diantara

mereka. Dalam suatu kelompok itu selalu melakukan

kerjasama, tidak hanya antar pengurus namun pengurus

dan anggota selalu melakukan hal yang berkaitan

dengan program kegiatannya. Dengan kebersamaan

tersebut mereka mempunyai tujuan bersama yaitu untuk

melakukan strategi pemeliharaan kerukunan antarumat

beragama, dengan didukung oleh berbagai faktor yang

mempengaruhinya.

2. Persaingan (competition)

Persaingan adalah proses sosial, dimana individu

atau kelompok berjuang dan bersaing untuk mencari

keuntungan pada bidang-bidang kehidupan yang menjadi

pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian

publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah

ada. Namun tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan

dalam suatu kelompok, tidak ada persaingan satu dengan

yang lainnya. Pengurus dan anggota saling menjaga

satu dengan yang lainnya agar tidak terjadi persaingan.

Semua dipikir secara bersama-sama dengan musyawarah

mufakat, dalam suatu kelompok ini tidak ada persaingan

dalam hal apapun.

3. Konflik (conflict)

Konflik merupakan proses sosial dimana individu ataupun

kelompok menyadari perbedaan-perbedaan, misalnya

dalam ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan,

pola-pola perilaku, prinsip, politik, ideologi, maupun

kepentingan dengan pihak lain. Perbedaan ciri tersebut

dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi

suatu pertentangan atau pertikaian di mana pertikaian

itu sendiri dapat menghasilkan ancaman dan kekerasan

Page 138: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 128 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

fisik. Sekalipun terjadi konflik antara individu dengan

individu ataupun individu dengan kelompok itu masalah

yang kecil dan dapat langsung diselesaikan. Sekalipun

tidak dapat langsung diselesaikan, mereka menggunkan

cara musyawarah mufakat, yaitu dirapatkan bersama dan

solusinya diputuskan secara bersama-sama. Misalkan

perbedaan pendapat ataupun perbedaan jadwal yang

diberikan inferior dalam perilaku ekonomi kolektifnya.

Jika low-trus terjadi dalam suatu masyarakat, maka

campur tangan negara perlu dilakukan guna memberikan

bimbingan (Francis Fukuyama, 2002: xiii).

Pluralisme Agama

Pluralisme berasal dari istilah asing (pluralism),

berarti: suatu kerangka interaksi yang mana setiap

kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu

sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi. Maka

pluralisme dalam arti seluasnya dapat dilihat sebagai pilihan,

tujuan, sekaligus jawaban untuk mencapai keharmonisan-

kerukunan beberapa kelompok dalam kemajemukan; baik

secara ideologi, sosial, maupun agama. Sedangkan pluralisme

agama menurut John Hick, penggagas pluralisme agama bagi

kaum Nasrani, yaitu, “Menurut pandangan fenomenologis,

terminologi pluralisme agama arti sederhananya ialah realitas

bahwa sejarah agama-agama menunjukkan berbagai tradisi

serta kemajemukan yang timbul dari cabang masing-masing

agama. Ali Rabbani Golpaygani, guru pesantren di Qum,

menginterpretasikan pluralisme sebagai berikut, “Adapun

pluralisme agama ialah seorang pemeluk agama menghendaki

keberadaan dalam lingkup perkara yang mutlak tetapi sambil

meyakini bahwa hakikat yang diyakininya itu ada dalam satu

cengkraman”.

Kemudian ia menjelaskan pluralisme agama tersebut

dengan penggunaan istilah pluralitas vertikal dan horizontal.

Page 139: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 129 ~

Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan

bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari

berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan

kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak

boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative

good), hanya dilihat dari kegunaannya untuk menyingkirkan

fanatisisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian

sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan

pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan

umat manusia dengan menggunakan berbagai mekanisme

di antaranya seperti pengawasan dan pengimbangan.

Sebagaimana Allah menjelaskannya dalam Al-Qur’an

“seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia

dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur;

namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada

seluruh alam” (QS. al-Baqarah/2:251).

Kutipan tersebut di atas menegaskan bahwa adanya

masalah besar dalam kehidupan beragama yang ditandai

oleh kenyataan pluralism dewasa ini. Dan salah satu masalah

besar dari paham pluralisme adalah bagaimana suatu teologi

dari suatu agama mendefinisikan dirinya di tengah agama-

agama lain. Dalam bahasa John Lyden, seorang ahli agama-

agama,”what sould one think about religions other than

one’s own?” Sehingga berkaitan dengan berkembangnya

pemahaman mengenai pluralisme dan toleransi agama-agama,

berkembanglah suatu paham ”teologia religionum” (teologi

agama-agama) yang menekankan semakin pentinnya dewasa

ini untuk dapat berteologi dalam konteks agama-agama.

Konsep Kerukunan

Kerukunan berarti merasakan harmoni dan tiadanya

permusuhan antar sesama yang menggambarkan hubungan

antara kelompok yang berbeda karakter dengan tetap

menjungjung tinggi sikap saling menghormati, keadilan,

Page 140: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 130 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dan kehendak. Secara umum, kerukunan digambarkan

dengan kehangatan, ketenangan, dan kesunyian tanpa

kegaduhan dan perselisihan yang mengganggu keharmonisan

hidup. Konsep kerukunan seringkali dikaitkan dengan

harmoni atau keselarasan dalam kehidupan manusia. Jika

manusia merasakan harmonisasi dalam hidupnya, berarti

ia bisa dikatakan hidup dengan rukun tanpa pertikaian,

kekerasan, dan peperangan. Kehidupan yang rukun berarti

menunjukkan suatu keharmonisan dalam sebuah masyarakat

atau pun negara, sehingga dapat berinteraksi dengan baik

tanpa merasa ada gangguan dan ancaman yang datang dari

siapa pun. Kerukunan sesungguhnya tidak jauh beda dengan

konsep damai dan harmoni yang selalu menjadi impian setiap

orang. Untuk memperoleh ketenangan hidup dan jaminan

keamanan dari segala ancaman kekerasan, kejahatan, dan

peperangan yang seringkali menghambat terputusnya

persaudaraan dan persahabatan antara sesama manusia.

Ketika kerukunan menjadi dambaan setiap kelompok manusia

tanpa membedakan latar belakang kehidupannya, maka cita-

cita untuk terlepas dari ancaman kekerasan dan peperangan

dapat menjadi kenyataan. Wahiduddin Khan menyatakan

bahwa kerukunan yang menjadi cermin kedamaian selalu

menjadi kebutuhan dasar bagi setiap manusia (Maulana

Wahiduddin Khan, 2010 hal 12).

Oleh Karena itu Kerukunan merupakan hak mutlak

setiap individu sesuai dengan entitasnya sebagai makhluk

yang mengemban tugas sebagai pembawa amanah Tuhan

(khalifah fi al-ardl) untuk memakmurkan dunia ini. Dengan

suasana kerukunan, diharapkan akan tercipta dinamika yang

sehat, harmonis dan humanis dalam setiap interaksi antar

sesama, tanpa ada rasa takut dan tekanan-tekanan dari pihak

lain. Tak seorang pun yang berpikiran sehat akan memilih

konflik sekiranya kerukunan masih dapat diusahakan. Akan

tetapi juga tak sesorang pun dari masing-masing orang

Page 141: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 131 ~

yang mendambakan kemajuan, akan memilih kerukunan

dan ketenteraman yang pasif dan statis. Dalam pandangan

Eka Dharmaputra, secara objektif syarat untuk membina

kerukunan hidup bersama telah tersedia dan sasaran yang

akan dituju sudah jelas. Masalahnya hanyalah kesadaran,

kemauan, usaha dan kerja keras dari masing-masing individu

untuk mengendalikan egosentrisme dan fanatisme yang

berlebihan.

Dalam konteks hubungan antar agama, kerukunan

menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan

masyarakat. Pentingnya kerukunan tidak lepas dari potensi

konflik yang bisa saja datang secara tiba-tiba dan hal itu harus

dibangun sejak dini. Kerukunan berarti suasana kehidupan

umat beragama yag bersatu hati hidup berdampingan atas

dasar saling menghormati, menghargai, dan bebas dari

intervensi sehingga menciptakan damai lahir dan batin serta

suasana hidup yang saling membantu. Kerukunan umat akan

menciptakan ketenteraman umum, memperkokoh persatuan

dan kesatuan bangsa hingga menciptakan kesejukan hati

bagi kehidupan masyarakat. Kerukunan hidup adalah

suatu kondisi sosial dimana semua golongan agama hidup

bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing

untuk melaksanakan kewajiban agama. Dalam kehidupan

mayarakat, kita ingin hidup rukun dengan siapa pun tanpa

memandang latar belakang kehidupan. (AP. Budiyono, 1983

hal 227).

Konsep Kearifan Lokal

Pada bagian sebelumnya, sudah dijelaskan tentang makna

kerukunan sebagai cerminan dari kehidupan damai dan tenang

tanpa adanya suatu pertikaian yang melibatkan dua belah

pihak yang saling menyerang satu sama lain. Pemaknaan yang

tak kalah pentingnya adalah mengenai kearifan lokal (local

wisdom) yang menjadi kekuatan fundamental bagi setiap

Page 142: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 132 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

daerah dalam mempertahankan tradisi kultural yang sudah

berkembang secara turun-temurun. Dengan memahami

pengertian kearifan lokal, kita bisa mencerna lebih mendalam

mengenai kekhasan kebudayaan suatu daerah yang mampu

merawat kehidupan dengan penuh kebijaksanaan sesuai

dengan tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat.

Kearifan lokal terdiri dari dua kata, yakni kearifan dan

lokal. Kearifan berasal dari kata “arif”, yang berarti tau atau

mengetahui. Kearifan bisa berarti kebijaksanaa, kecerdikan,

atau kepandaian yang merepresentasikan pengetahuan

seseorang terhadap hakikat kehidupan. Sedangkan lokal

berarti daerah atau suatu tempat yang memiliki karakteristik

masing-masing sebagai sebuah kekayaan atau mozaik yang

menjadi modal sosial bagi masyarakat.

Dengan demikian kearifan lokal adalah berupa gagasan,

nilai, dan tindakan yang menjadi kebudayaan suatu daerah

dengan keunikan dan kekhasannya yang luar biasa. Dengan

kata lain, setiap tradisi atau kepercayaan yang ada di suatu

daerah, termasuk bagian dari kearifan lokal yang menjadi

keunikan dan daya tarik bagi masyarakat. Kearifan lokal

dalam disiplin ilmu antropologi, juga dikenal dengan istilah

“local genius, yang pertama kali diperkenalkan oleh Quaritch

Wales. Dalam pandangan Ayatrohaedi, kearifan lokal

adalah “the sum of the cultural characteristic which the fast

majority of a people have in common as a result of their

experiences in early life” (Ayatrohaedi, 1986 hal 30). Dalam

kearifan lokal mencerminkan kemampuan kebudayaan

setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan luar

yang semakin memberikan tekanan terhadap segala tradisi

yang berkembang di masyarakat. Kearifan lokal juga bisa

dipahami sebagai sebuah gagasan, perilaku, atau tindakan

yang bersifat murni dari tradisi dan kepercayaan masyarakat

berdasarkan pengalaman hidup di suatu daerah yang masih

Page 143: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 133 ~

mempertahankan kebudayaan sebagai hasil karya, cipta, dan

karsa bagi mereka

Dalam kehidupan masyarakat pedesaan atau pedalaman,

kearifan lokal menjadi modal sosial yang sangat tinggi nilainya

dibandingkan dengan arus globalisasi yang menawarkan

kemewahan dan kebebasan bagi masyarakat untuk bertindak

sesuai selera atau kebutuhan kebudayaan luar. Kearifan lokal

di tengah-tengah kehidupan masyarakat diyakini bisa menjaga

warisan budaya leluhur sebagai bentuk penghormatan yang

monumental bagi terciptanya keseimbangan hidup di alam

semesta ini. Kearifan lokal memang identik kebijaksanaan

yang terdapat dalam kehidupan suku-suku di berbagai daerah.

Kearifan lokal di dalamnya tidak sekadar gagasannya dalam

bentuk ilmu pengetahuan, tapi juga pada pola tindakan yang

menghasilkan budaya tertentu sebagai sebuah warisan yang

monumental. Tidak heran bila wacana tentang kearifan lokal

dalam suku-suku tertentu, selalu terkait dengan tuntutan

perubahan atau modernisasi. Maka, sebuah masyarakat yang

masih memegang teguh kearifan lokal mereka, sebisa mungkin

tidak terpengaruh kebudayaan luar yang tidak sesuai dengan

nilai-nilai luhur yang mencerminkan filosofi hidup di dunia.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Fred Wibowo,

bahwa nilai-nilai kearifan dalam bentuk apa pun harus

dipertahankan, karena merupakan warisan kebudayaan yang

tak ternilai harganya. (Fred Wibowo, 2007 hal 220).

Bagi Indonesia istilah toleransi sebenarnya bukan

merupakan istilah dan masalah yang baru. Karena sikap

toleransi merupakan salah satu ciri bangsa Indonesia yang

diterima sebagai warisan leluhur bangsa Indonesia sendiri.

Jadi toleransi bukan merupakan suatu hal yang dituntut

oleh situasi. Mengingat keadaan dunia yang semakin lama

semakin berkembang dan maju yang meliputi semua bidang.

Maka bangsa Indonesia tidak dapat mengelak dari pengaruh

Page 144: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 134 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

ini, bahkan harus mengikuti dan selektif serta menyesuaikan

menurut kondisi dan kepribadiannya. Kemajuan dan

perkembangannya ini baik secara langsung atau tidak ia akan

mempengaruhi cara berpikir dan pandangan hidup masyarakat

Indonesia dan tidak mustahil pula akan mempengaruhi

kerukunan dan toleransi antarumat beragama.

Untuk menjaga dan memelihara kerukunan dan toleransi

yang merupakan ciri kepribadian bangsa itu, diperlukan

kesatuan sikap dalam menyaring pengaruh-pengaruh yang

akan merusak kepribadian bangsa itu. Dalam UUD 1945 pasal

29 ayat 2 berbunyi negara menjamin tiap-tiap penduduk

memeluk untuk agama masing-masing dan beribadat menurut

agama dan kepercayaannya itu. Berdasarkan pasal tersebut

toleransi dalam kehidupan umat beragama harus didasarkan

kepada tiap-tiap agama menjadi tanggung jawab pemeluknya

sendiri. Memiliki bentuk ibadat sistem dan cara tersendiri

yang dibebankan serta menjadi tanggung jawab pemeluknya.

(Syamsul Rijal dan Mulyadi Kurdi, 2008 hal 71-72).

Gampong sebagai salah satu strata pemerintahan di

Aceh merupakan kesatuan masyarakat hukum yang berada

di bawah mukim dan dipimpin oleh Keuchik serta berhak

menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Sebagai

lembaga pemerintahan, gampong merupakan wilayah otonomi

asli dan melaksanakan urusan pemerintahan dari sebagian

urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang diserahkan

kepada gampong serta melaksanakan tugas pembantuan

dan tugas pemerintahan lainya. Pengelolaan pemerintahan

gampong dengan menganut prinsip dasar keanekaragaman,

partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan

masyarakat diperlukan perhatian serius dari pemerintah.

Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta

seluruh elemen masyarakat untuk mempercepat terwujudnya

kemandirian gampong sesuai dengan harapan masyarakat

Aceh.

Page 145: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 135 ~

Kebijakan Pemerintah Aceh mengenai gampong adalah

mengupayakan penguatan gampong sebagai landasan

penguatan daerah dengan strategi regulasi yang partisipatif.

Penataan kelembagaan gampong yang sesuai dengan kondisi

daerah setempat, memperjelas kewenangan gampong,

peningkatan kualitas aparatur gampong, pemberdayaan

masyarakat, peningkatan sarana dan prasarana serta

mengupayakan alokasi dana gampong. Salah satu wujud

penataan pemerintahan gampong adalah mengembangkan

regulasi gampong yang bersifat partisipatif sebagai bentuk

kesepakatan yang dapat diterima, dan dilaksanakan serta

ditaati oleh masyarakat gampong itu sendiri. (Farid Hadi

Rahman, 2008, ix).

Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis,

di gampong dibentuk dua lembaga pemerintahan yang

berdiri sejajar yakni: Pemerintahan Gampong dan Tuha Peut

Gampong. Pemerintah gampong terdiri dari Keuchik yang

dibantu oleh Sekretaris Gampong, Kepala Urusan (Kaur) dan

Kepala Dusun (Kadus). Tuha Peut Gampong yang juga sebagai

lembaga legislasi Gampong mempunyai tugas dan peranan

menampung aspirasi warga, mengembangkan qanun gampong

dan melaksanakan pengawasan pelaksanaannya. Pemerintah

Gampong merupakan bagian yang tidak terpisahkan (sub

sistem) dari Provinsi NAD dan Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Sebagai perwujudan demokrasi di

Gampong dibentuk Tuha Peut Gampong sebagai lembaga

yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta

mengawasi jalannya Pemerintahan Gampong agar sesuai

dengan aspirasi dan peraturan yang berlaku.

Peraturan gampong ada yang bersumber dari tradisi turun

temurun yang diakui masyarakat sebagai komunitas warga.

Namun ada pula pengaturan yang disusun dan diterbitkan

oleh Keuchik bersama Tuha Peut, atau diterbitkan oleh

Keuchik sendiri selaku pelaksana administrasi pemerintah dan

Page 146: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 136 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pimpinan yang memperoleh mandat dari warga. Peraturan

yang tidak tertulis namun ditaati masyarakat warga dan berlaku

secara turun temurun biasanya disebut dengan Reusam. Jenis

peraturan-perundangan pada tingkat Gampong meliputi: 1).

Qanun Gampong 2). Peraturan Keuchik dan 3). Keputusan

Keuchik. Qanun Gampong adalah ketentuan atau regulasi

yang ditetapkan oleh Keuchik setelah mendengar persetujuan

Tuha Peut Gampong. Inisiatif sebuah Qanun Gampong dapat

berasal dari Keuchik, Tuha Peut Gampong, maupun lembaga

atau warga Gampong. Inisiatif yang berasal dari lembaga dan

warga disampaikan melalui Tuha Peut Gampong atau melalui

Keuchik. Selanjutnya Keuchik bersama Tuha Peut Gampong

membahas inisiatif tersebut untuk dikembangkan menjadi

peraturan gampong (Farid Hadi Rahman, 2008 , hal 7 dan 9).

Agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan

keselarasan hidup, bukan hanya antar manusia tetapi juga

antar sesama makhluk Tuhan penghuni semesta ini. Di dalam

terminologi Al-Quran, misi suci itu disebut rahmah lil alamin

(rahmat dan kedamaian bagi semesta). Namun dalam tataran

historisnya misi agama tidak selalu artikulatif. Selain sebagai

alat pemersatu sosial, agama pun menjadi unsur konflik.

Bahkan menurut Schimmel, dua unsur itu menyatu dalam

agama. Mungkin pernyataan ini agak berlebihan. Tetapi jika

melihat perjalanan sejarah dan realitas di muka bumi ini,

pernyataan itu menemukan landasan historisnya sampai

sekarang. Persoalannya bagaimana realitas itu bisa memicu

para pemeluk agama untuk merefleksikan kembali ekspresi

keberagamaanya yang sudah sedemikian mentradisi dalam

hidup dan kehidupannya.

Terkait dengan hal tersebut, salah satu yang menjadi

problem paling besar dalam kehidupan beragama dewasa ini

yang ditandai oleh kenyataan pluralisme adalah bagaimana

teologi suatu agama mendefinisikan diri di tengah-tengah

agama lain. Dengan semakin berkembangnya pemahaman

Page 147: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 137 ~

mengenai pluralisme, berkembanglah suatu paham teologia

religionum. Paham ini menekankan semakin pentingnya

dewasa ini untuk berteologi dalam konteks agama. Pada

tingkat pribadi hubungan antar tokoh agama di Indonesia

mungkin tidak menjadi persoalan. Tetapi pada tingkat teologis

yang merupakan dasar dari agama, muncul kebingungan

-kebingungan, khususnya mengenai bagaimana kita harus

mendefinisikan diri di tengah-tengah agama -agama lain

yang juga eksis. Kajian dimaksud bagaimana agama bisa

berfungsi di tengah masyarakat yang pluralistis, sehingga

tidak saling berbenturan. Masalahnya tentu bukan karena

agama itu datang built-in dengan konflik dan tampil a-sosial.

Tetapi karena kita sering melihat para pemeluknya telah

mengekspresikan kebenaran agamanya secara monolitik

dan eksklusif. Dalam arti subyektivitas kebenaran yang

diyakininya seringkali menafikan kebenaran yang diyakini

pihak lain. (Dr. H. Dadang Khamad, 2009).

Setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang

yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu-satunya

sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis klaim kebenaran

berubah menjadi symbol agama yang dipahami secara

subyektif, personal oleh setiap pemeluk agama, ia tidak lagi

utuh dan absolut. Pluralisme manusia menyebabkan wajah

kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan dan

dibahasakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan

begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang

diambil orang yang meyakininya. Dari konsep ideal turun ke

bentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural. Hal ini yang

biasanya digugat oleh berbagai gerakan keagamaan pada

umumnya. Mereka mengklaim telah memahami, memiliki,

bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai-nilai

suci itu.

Keyakinan tersebut menjadi legitimasi dari semua perilaku

pemaksaan konsep-konsep gerakannya kepada manusia lain

Page 148: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 138 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka.

Armahedi Mahzar (lihat: pengantar untuk terjemahan

R.Garaudy, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis lainnya,

Pustaka, Bandung, 1993, hlm. ix). Menyebutkan bahwa

absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme, dan

agresivisme adalah penyakit yang biasanya menghinggapi

aktivis gerakan keagamaan. Absulutisme adalah kesombongan

intelektual; eksklusivisme adalah kesombongan sosial;

fanatisme adalah kesombongan emosional; ekstremisme

adalah berlebih-lebihan dalam bersikap; dan agresivisme

adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik.

Metode dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Kota Banda Aceh. Lokasi ini

dipilih dengan pertimbangan:

1. Sosial politik. Kota Banda Aceh yang merupakan Ibu

Kota Provinsi Aceh sebagai pusat pemerintahan di mana

setiap kebijakan bersumber di Kota ini. Dan wacana

terkait pro kontra kebijakan pemerintah juga lebih

banyak didiskusikan di Kota Banda Aceh oleh berbagai

stakeholder terkait.

2. Sosial demografi. Kota Banda Aceh termasuk kota dengan

tingkat penyebaran penduduk yang tinggi ditandai oleh

komposisi social, budaya, adat, kultur, etnis, agama,

ras, suku yang sangat beragam dibandingkan dengan

kebanyakan kota lainnya di Aceh. Bahkan penduduk

Acehnya sendiri, di hampir setiap wilayah kabupaten

di Aceh memiliki kekhasan tersendiri dari sisi budaya

dimana keragaman budaya tersebut dapat ditemui di

Kota Banda Aceh.

3. Simbol-simbol keagamaan. Banda Aceh merupakan kota

yang melekat dengan simbol-simbol keagamaan seperti:

Masjid Raya Baiturrahman, Gereja, Vihara, Sekolah

Page 149: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 139 ~

Metodist, dan Pusat kekuatan-kekuatan gerakan sosial

seperti: Ormas, Organisasi keagamaan dan lainnya.

4. Akses pengetahuan dan informasi. Kota Banda Aceh

sebagai pusat Pendidikan ditandai dengan simbol-simbol

lembaga-lembaga Pendidikan tinggi termasuk pusat

kajian -kajian sosial keagamaan. Bahkan dua institusi

Pendidikan tinggi yaitu: Unsyiah dan IAIN termasuk

bagian dari unsur Muspida plus yang hanya ada di Aceh.

5. Ekses Pasca Tsunami; yaitu perubahan struktur

kemasyarakatan setelah musibah tsunami yang ditandai

dengan banyaknya migrasi penduduk dari daerah lain

serta pengaruh asimilasi budaya asing, dan budaya luar

Aceh. Hal ini berdampak pada pola pikir dan perilaku

masyarakat yang menjadi lebih terbuka.

Penelitian tentang toleransi dan kerjasama antarumat

beragama dilakukan di wilayah Provinsi Aceh, dengan

stressing obyek penelitian diambil 2 Desa (Gampong) yaitu: 1.

Gampong Mulia. 2. Gampong Peunayong. Alasan dipilihnya

dua Gampong ini: Pertama, Gampong Mulia adalah termasuk

dalam kategori Desa Sadar Kerukunan yang telah dikukuhkan

oleh Walikota dan Kanwil Kemenag Provinsi Aceh, atas dasar

usulan dari FKUB Kota Banda Aceh. Sedangkan Gampong

Peunayong adalah belum termasuk dalam kategori Desa

sadar kerukunan, namun akan diusulkan oleh FKUB Kota

Banda Aceh dalam target tahun 2019. Desa sadar kerukunan

dicanangkan dalam rangka program Kanwil Kemenag dan

FKUB. Dengan kriteria: bahwa desa tersebut keberadaan

komunitas pemeluk agamanya minimal terdiri dari dua

pemeluk agama, dan minimal terdiri dari dua rumah ibadah

berbeda agama, serta dalam jangka minimal 10 tahun belum

pernah terjadi konflik antarumat beragama.

Di Gampong Mulia terdiri dari empat rumah ibadah yang

berbeda pemeluk agamanya yaitu dua Masjid (Al-Anshar dan

Al-Karomah), Gereja GPIB, GMI Metodits, HKBP dan 3 Vihara

Page 150: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 140 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

( Vihara Dewi Samudra, Sakyamuni, dan Maitri . Sedangkan

di Gampong Peunayong hanya terdiri dari dua rumah ibadah

yang berbeda pemeluk agamanya yaitu: Tiga Masjid (Masjid

Babu Zam-zam, Masjid Pangdam, dan Masjid Tradisional),

serta Gereja Paroki Hati Kudus. Namun pemeluk agama

mayoritas di Gampong Peunayong adalah penganut Agama

Budha, selain mayoritas Islam. Sedangkan di Gampong Mulia

selain mayoritas Islam, adalah mayoritas Kristen dan Budha.

Metode penelitian yang digunakan dengan menggunakan

pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif bertujuan

untuk menjelaskan fakta yang diamati. Dengan pendekatan

kualitatif dilakukan teknik pengumpulan data melalui

wawancara mendalam kepada key informan yang kemudian

dikembangkan dengan observasi di lapangan. Selain dari itu

akan dilakukan studi dokumen terhadap berbagai literatur

yang berkaitan dengan strategi kebijakan pemerintahan di

daerah dalam upaya melakukan penguatan agar tercipta

kerukunan umat beragama. Observasi dilakukan ke tempat

Rumah Ibadah yang ada di dua lokasi penelitian, dengan

melihat kondisi di sekitar lingkungan rumah ibadah tersebut.

Aceh: Komposisi Penduduk dan Letak Geografis

Pada tahun 2019 jumlah Penduduk Provinsi Aceh dilihat

berdasarkan Agama: Islam = 5.157.253 orang (97,77%),

Kristen = 52.814 orang (1,01%), Katolik = 5.306 orang

(0,10%), Hindu = 179 orang (0,00%), Budha = 5.915 orang

(0,11%) ( sumber data: Hukum KUB Kanwil Kemenag 2019).

Penduduk Kota Banda Aceh berjumlah 223.446 jiwa. Dari

jumlah tersebut beragama Islam sebanyak 216.941 jiwa,

agama Kristen 1.571 jiwa, Agama Katolik 431 jiwa, agama

Budha 2.535 jiwa, agama Konghuchu 3 jiwa, dan agama

Hindu 50 jiwa. Sebaran terbanyak pemeluk Kristen, Katolik,

Buddha, dan Islam yaitu di Gampong Peunayong, Gampong

Mulia, dan Gampong Laksana. Ketiga desa ini terletak di

Page 151: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 141 ~

Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh. Di Kota Banda Aceh

terdapat empat gereja yakni GPIB, GMI, HKBP, dan Gereja

Khatolik Hati Kudus, yang masing-masing memiliki sekolah

sendiri. Selanjutnya umat Buddha memiliki empat rumah

ibadah, yaitu Vihara Sakyamuni, Vihara Maitri, Vihara Dewi

Samudra, dan Vihara Dharma Bhakti. Sedangkan umat Hindu

mempunyai Kuil Palani Andawer di Jalan Teugku Dianjong,

Gampong Keudah, hanya berjarak puluhan meter dari Masjid

Jamik Keudah. Keberadaan rumah ibadah di ibu kota Provinsi

Aceh ini memiliki izin resmi dari pemerintah, sehingga tetap

dijaga keberadaannya oleh masyarakat, tidak pernah diusik.

Kota Banda Aceh dibentuk berdasarkan Undang-Undang

Nomor 8 (drt) Tahun 1956 sebagai daerah otonom dalam

Provinsi Aceh. Pada awal pembentukannya Kota Banda

Aceh hanya terdiri atas 2 (dua) buah kecamatan, yaitu

Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Baiturrahman dengan

wilayah seluas 11,08 km. Kemudian berdasarkan Peraturan

Pemerintahan Nomor 5 Tahun 1983 tentang perubahan batas

wilayah Kotamadya Dati II Banda Aceh, terjadi perluasan

wilayah Kota Banda Aceh menjadi 61,36 km dengan

penambahan 2 (dua) kecamatan baru yakni Kecamatan Syiah

Kuala dan Kecamatan Meuraxa. Pada awal pembentukannya

Kecamatan Kuta Alam mencakup 17 gampong/desa, dengan

Ibukota Kecamatan berada di Gampong Bandar Baru.

Namun dengan adanya Peraturan Daerah Kota Banda

Aceh No. 8 Tahun 2000 tentang pembentukan susunan

organisasi dan tata kerja yang baru maka dibentuklah

beberapa Kecamatan baru yaitu Kecamatan Bandar Raya.

Kecamatan Jaya Baru, Kecamatan Ulee Kareng, Kecamatan

Kuta Raja dan Kecamatan Lueng Bata telah menyebabkan

perubahan wilayah. Maka sebagian wilayah Kecamatan Kuta

Alam berkurang dan membentuk Kecamatan baru yaitu

Kecamatan Kuta Raja sebagai pecahan dari Kecamatan Kuta

Alam. Sampai saat ini Kecamatan Kuta Alam terdiri atas

Page 152: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 142 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

2 Mukim, 11 Gampong, dan 57 Dusun, yaitu Mukim Lam

Kuta terdiri dari 6 gampong/desa dan 29 dusun, sedangkan

Mukim Kuta Alam terdiri dari 5 gampong/desa dan 28 dusun.

Kecamatan Kuta Alam memiliki jumlah populasi terbesar

pertama di Kota Banda Aceh.

Kecamatan Kuta Alam

Kecamatan Kuta Alam terdiri dari 11 Kelurahan: 1.

Peunayong 2. Laksana 3. Keuramat 4. Kuta Alam 5. Beurawe 6.

Kota Baru 7. Bandar Baru 8. Mulia 9. Lampulo 10. Lamdingin

11. Lambaro Skep. Jumlah Penduduk di Kecamatan Kuta

Alam sebagai lokasi penelitian: 50618 jiwa, terdiri dari

jumlah laki-laki 26.293 jiwa, perempuan 24.325 jiwa. Jika

dilihat dari jumlah penduduk berdasarkan agama: Islam

48.240 jiwa, Kristen 338 jiwa, Katolik 385 jiwa, Hindu 3 jiwa,

Budha 1652 jiwa. Sarana kegiatan tempat Ibadah: Masjid 26

buah, Meunasah 25 buah, Musholla 15 buah, Gereja 4 buah,

Wihara 3 buah. Khusus untuk pemeluk Agama Islam, selain

memiliki sarana ibadah tersebut di atas (Masjid, Meunasah,

dan Musholla), juga memiliki fasilitas pembelajaran agama

yang dikenal dengan Majlis Taklim untuk Dewasa dan TPA/

TPQ untuk anak-anak. Jika dilihat dari jumlah Lembaga

Keagamaan TPA/TQ 21 buah, Majlis Taklim 12 buah, Majlis

Taklim Ibu-ibu 12 buah. Adapun jumlah penyuluh Agama

Islam Non PNS di Kecamatan Kuta Alam 8 orang, wilayah

binaannya di setiap Desa /Kelurahan, sebagai obyeknya

TPQ. Jumlah penyuluh Agama Islam fungsional (PNS) di

Kecamatan Kuta Alam 3 orang, terdiri dari 1 orang Penyuluh

Ahli Madya Golongan IV/a, 1 orang Penyuluh Ahli Muda

Golongan III/d, dan 1 orang Penyuluh Pertama penata Muda

III/a.

Dengan latar kehidupan masyarakat yang beragam,

religious, dan arif, lingkungan Kecamatan Kuta Alam

merupakan lingkungan yang kondusif, dan ramah dakwah.

Page 153: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 143 ~

Tata nilai kebersamaan masih nampak begitu kuat di bawah

kepemimpinan para pembina masyarakat ( Para Geuchik,

Imam/Tengku dan juga Ustadz/Ustadzah). Ditambah

adanya lembaga-lembaga Pendidikan Keagamaan, sehingga

menjadikan Kuta Alam sebagai wilayah yang tidak pernah

sepi dari gerak dan gaung syiar keagamaan. Kerjasama KUA

sebagai bagian dari unsur umara dengan ulama masyarakat

senantiasa dapat terjalin dengan baik. Diantara faktor

pendukung jalinan ini adalah pendekatan yang mutual dan

kenyataan, bahwa para Penyuluh Agama Islam Non PNS

maupun Penyuluh fungsional (PNS) adalah Tokoh Agama

bagi masyarakatnya. Dan memiliki hubungan yang akrab

dengan Tokoh Keagamaan di lingkungan Kecamatan Kuta

Alam.

Bentuk kerjasama tersebut antara lain: tertuang dalam

penjadwalan Khatib Jum’at, pemateri kegiatan Ramadhan dan

partisipasi dalam kegiatan hari-hari besar Islam. Selain dalam

hubungan non formal kemasyarakatan peran KUA dan Ulama

juga terwujud dalam lembaga-lembaga resmi, seperti: Badan

Kesejahteraan Masjid (BKM), Badan Pembinaan Pengamalan

Agama (P2A). Badan Pembinaan Penasehatan dan Pelestarian

Perkawinan (BP4), serta Lembaga Pengembangan Tilawatil

Qur’an (LPTQ) Tingkat Kecamatan. Dan secara struktural

KUA juga berperan sebagai Pembina Lembaga Baitul Mal

tingkat Desa/Gampong yang berada dalam wilayahnya.

Sekilas Gampong Mulia

Gampong Mulia berada pada Kemukiman Lamkuta

Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh. Menurut penuturan

orang-orang tua yang masih ada yaitu yang selamat dari

bencana besar gempa bumi dan tsunami tahun 2004. Gampong

Mulia dulunya merupakan wilayah Ujong Peunayong yang

terdiri dari wilayah (Gampong Mulia, Gampong Lampulo dan

Gampong Lamdingin sekarang). Sebelum terjadi pemekaran

Page 154: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 144 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dengan Keuchiknya diantaranya Keuchik Bintang, Keuchik

Aji, Keuchi Dukun dan Keuchi Nago. Kemudian pada tahun

1963 terpisah dari wilayah (Lampulo dan Lamdingin).

Setelah keluarnya Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, maka seluruh pemerintahan kelurahan

disejajarkan menjadi Gampong. Maka pada tanggal 24 Oktober

2010 dan pada pemilihan Kechik Gampong yang pertama

terpilih adalah Harapan M.Husin, dan meninggal pada tanggal

3 November 2015. Sebelum beliau menghabiskan masa

jabatannya periode 2010 -2016. Maka dilaksanakan pemilihan

langsung (pilciksung) yang kedua semenjak dikeluarkan

Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan

Aceh. Pilciksung dilaksanakan oleh Tuha Peut Gampong

melalui pembentukan Panitia Pilkades (P2K) dan masyarakat

Gampong sebagai peserta pemilihan tersebut dengan 5 calon

Keuchik. Adapun dalam pemilihan dimaksud yang menjadi

pemenangnya terpilih dan dipercayakan oleh masyarakat

adalah Syukriadi. Kemudian diangkat menjadi Keuchik

Gampong Mulia Definitif berdasarkan Surat Keputusan

Walikota Banda Aceh No. 214 Tahun 2016 tanggal 10 Mei

2016 untuk masa bakti periode 2016 s/d 2022 dan dilantik

serta diambil sumpah pada tanggal 26 Mei 2016 oleh Camat

Kuta Alam Kota Banda Aceh. VISI: Terwujudnya Tatanan

Kehidupan Masyarakat Gampong Mulia yang Bermartabat

dan Sejahtera. MISI: 1). Penyelenggaraan Pemerintahan yang

bersih, efektif, kompeten dan berwibawa, bebas dari korupsi

dan penyalahgunaan kekuasaan dengan usaha sebagai berikut:

a). Memberikan pelatihan bagi Aparatur Pemerintahan

Gampong b). Meningkatkan pelayanan kepada Masyarakat

2). Perekonomian: a). Mendorong masyarakat untuk

meningkatkan usaha penambahan pendapatan keluarga b).

Mencari kesempatan atau peluang untuk membuka lapangan

kerja baru c). Mendayagunakan sumber-sumber dana yang

tersedia bagi masyarakat usaha mandiri 3). Adat Istiadat,

Page 155: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 145 ~

Kebudayaan dan Olah Raga: a) Menggalakkan kembali adat

istiadat yang ada dalam masyarakat b). Menggali kembali

adat istiadat yang ada di Gampong Mulia c). Menggerakkan

kegiatan Kepemudaan dalam bidang Olah raga. 4). Menyusun

Reusam Gampong sebagai payung hukum bagi masyarakat

Gampong: a). Pemerintah Gampong mengusahakan untuk

penyelesaian sengketa secara Adat Istiadat/Reusam Gampong.

b). Keamanan dan Penerapan Syariat Islam dan Penanganan

Bencana. c). Membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan

keamanan.5). Pengembangan Sumber Daya Manusia dan

Alam: a). Memberikan Pendidikan dan Ketrampilan bagi

Ibu-ibu, remaja putra dan putri yang ada di Gampong. b).

Meningkatkan Kegiatan keagamaan dan pendidikan agama

bagi anak-anak c). Memanfaatkan Sumber daya alam yang

tersedia sebagai mata pencarian masyarakat.

Gampong Mulia terdiri dari 5 Lingkungan/Dusun: 1.

Dusun Tgk. Dileupu 2. T.Laksamana 3. Pocut Merah Inseun

4. Malahayati 5. Tgk Diblang. Dilihat jumlah penduduk

berdasarkan agama, Dusun Tgk. Dileupu terdiri dari pemeluk

agama: Islam 1.491 orang, terdiri dari jumlah laki-laki 869

orang, perempuan 622 orang, dan pemeluk agama Katolik 3

orang. Dusun T.Laksamana jumlah pemeluk agama: Islam 530

orang terdiri dari laki-laki 313 orang, perempuan 217 orang.

Agama Katolik dengan jumlah 27 orang, terdiri dari laki-laki

15 orang, perempuan 12 orang, dan agama Kristen 1 orang.

Agama Budha dengan jumlah 105 orang terdiri dari laki-laki

40 orang, perempuan 65 orang. Dusun Pocut Merah Inseun

jumlah pemeluk agama: Islam 505 orang terdiri dari laki-laki

247 orang, perempuan 258 orang. Agama Katolik dengan

jumlah 52 orang terdiri dari laki-laki 27 orang, perempuan

25 orang. Agama Kristen dengan jumlah 18 orang terdiri dari

laki-laki 10 orang, perempuan 8 orang. Agama Budha dengan

jumlah 133 orang terdiri dari laki-laki 67 orang, perempuan

66 orang.

Page 156: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 146 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Dusun Malahayati jumlah pemeluk agama: Islam 678

orang terdiri dari laki-laki 346 orang, perempuan 332 orang.

Agama Kristen dengan jumlah 40 orang, terdiri dari laki-laki

20 orang, perempuan 20 orang. Dusun Tgk. Diblang jumlah

pemeluk agama: Islam 767 orang, terdiri dari laki-laki 407

orang, perempuan 360 orang. Agama Kristen dengan jumlah

14 orang, terdiri dari laki-laki 10 orang, perempuan 4 orang.

Jumlah penduduk secara keseluruhan berdasarkan Agama

di Gampong Mulia: Islam 3.971 orang, terdiri dari laki-laki

2.182 orang, perempuan 1.789 orang. Agama Katolik dengan

jumlah 79 orang, terdiri dari laki-laki 42 orang, perempuan

37 orang. Agama Kristen dengan jumlah 76 orang, terdiri

dari laki-laki 44 orang, perempuan 32 orang. Agama Budha

dengan jumlah 238 orang, terdiri dari laki-laki 107 orang,

perempuan 131 rang.

Di Gampong Mulia terdapat rumah ibadah beragam

agama dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Selain masjid

sebagai rumah ibadah warga umat Muslim, terdapat tiga

gereja masing-masing Gereja Protestan Indonesia Bagian

Barat (GPIB) yang bersebelahan dengan Gereja Methodis

Indonesia (GMI) di Jalan Pocut Baren. Dan gereja adat Huria

Kristen Batak Protestan (HKBP) di Jalan Pelangi. Kemudian

ada tiga vihara di Gampong Mulia: Vihara Dewi Samudra,

Vihara Budha Sakyamuni, Vihara Maitri. Meski Aceh berstatus

daerah syariat Islam, kenyamanan beribadah masyarakat non

Muslim juga terjamin

Kondisi Lembaga Pendidikan di Gampong Mulia terdiri

dari: PAUD 4 buah: Metodist, Bayyinah, Sinar Mulia,

Mutiara. TK 7 buah: TK Metodits, TK Gaseh Poma, TK Negeri

4 Adidarma, TK Hurul A’in, TK Sinar Mulia, TK Harapan

Ibu, TK Mutiara. SD 5 buah: SD Metodits, SD IT Bayyinah,

SD Hurul A’in, SDN 20 Banda Aceh, SDN 27 Banda Aceh,

dan 1 buah MIN. SMP hanya 1 Metodits, SMA 4 buah: SMA

Page 157: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 147 ~

Metodits, SMAN 2 Banda Aceh, SMAN 15 Banda Aceh, SMKN

4 Banda Aceh, dan STIMA 1 buah.

Kegiatan Sosial Keagamaan di Masjid Al-Anshar Gampong

Mulia meliputi 3 unsur: Idaroh dalam bentuk secretariat

yang menggerakkan dalam bidang Pendidikan: TPA, BMT,

Majlis Taklim, dan wacana ke depan akan dibentuk bengkel

kesehatan untuk jamaah Masjid. Imaroh dalam bentuk

kegiatan PHBI, Dzikir 1 bulan sekali, kelompok sholawatan,

BKPRMI se Provinsi. Riayah dalam bentuk pemeliharaan

bangunan Masjid dan sarana-prasarana. Sumber dana dalam

pemeliharaan Masjid murni dari jamaah, ada jamaah yang

bayar listriknya secara pribadi tapi tidak diketahui orangnya

(Hamba Allah). Tokoh Agama (Syibral), merangkap tugas

di MPU sebagai wakil MPU Kota Banda Aceh. Ada 3 komisi

kegiatan MPU: 1. Komisi Hukum (UU/Qanun), Perda/

Fatwa dengan jumlah 5 orang. 2. Komisi penelitian tentang

Pendidikan, makanan, dan keuangan dengan jumlah 5 orang.

3. Komisi penyiaran/dakwah mensosialisasikan kedua komisi

tersebut di atas, dalam pencegahan, dan dalam hal SARA

khusus untuk Kota Banda Aceh. (Ustadz Syibral/Tokoh

Agama dan Wakil MPU Kota Banda Aceh).

Sekilas Gampong Peunayong

Peunayong berasal dari kata Peumayong yang berarti

tempat berteduh, karena pada tempo dulu daerah ini

banyak tumbuh pohon-pohon besar yang sangat rimbun

sampai ke daerah Ujong Peunayong (saat ini Gampong

Lampulo) yang menjadi tempat persinggahan. Berawal dari

sinilah masyarakat menjuluki kata Peumayong menjadi

Peunayong, hal ini disebabkan oleh kesalahan dalam

pengejaan kata oleh sebagian besar masyarakat sehingga

lebih mudah menyebutnya Peunayong. Penyebutan ini terus

melekat dan menjadi kebiasaan bagi masyarakat setempat

dan sekitarnya. Wilayah Gampong Peunayong tempo dulu

Page 158: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 148 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

sampai ke Gampong Lampulo yang dulunya disebut Ujong

Peunayong. Gampong Peunayong telah dimekarkan menjadi

5 (lima) gampong administratif yang berada dalam wilayah

administrasi Kecamatan Kuta Alam diantaranya adalah

Gampong Mulia, Gampong Lampulo, Gampong Lam Dingin,

Gampong Laksana dan Gampong Keuramat. Sejak dulu

Peunayong memang telah menjadi daerah internasional.

Pada zaman kepemimpinan Sultan Iskandar Muda daerah

ini dijadikan sebagai kota “spesial”. Julukan spesial karena

Sultan memberikan rasa aman kepada para tamu yang datang

ke daerah ini, bahkan tak jarang Sultan juga menjamu para

tamu kerajaan yang datang dari Eropa maupun Tiongkok.

Hubungan Aceh dan Tiongkok semakin kuat ketika

Laksamana Cheng Ho melakukan kunjungan ke Kerajaan

Samudera Pasai di Utara Aceh pada tahun 1415. Laksamana

Cheng Ho yang beragama Islam disambut baik bagaikan

keluarga. Bahkan bukti kedekatan tersebut hingga saat ini

masih ada bukti sebuah lonceng yang berada di Komplek

Museum Aceh yang dikenal dengan Lonceng Cakradonya.

Tidak hanya pada saat zaman kesultanan saja, tetapi

keberadaan Peunayong tetap dipertahankan sampai pada

zaman penjajahan Belanda. Dimana daerah ini sengaja di

desain dan dibangun dengan konsep kampung pecinan yang

sampai saat ini masih terlihat sejumlah bangunan peninggalan

tempo dulu sebagai saksi bisu kemegahan Aceh pada masa

lampau.

Pada tanggal 26 Desember 2004 tsunami menyapu

daratan Aceh, Peunayong termasuk salah satu daerah yang

tersapu gelombang yang maha dahsyat tersebut. Kawasan

ini lumpuh total, puing-puing bekas bangunan berserakan,

mayat bergelimpangan, Peunayong berubah menjadi kota

mati. Para penghuninya memilih mengungsi ke propinsi

tetangga, Sumatera Utara dan daerah lainnya. Namun kini

kondisi Peunayong semakin tertata rapi dengan taman pohon

Page 159: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 149 ~

rindang yang tumbuh di sepanjang median jalan, bahkan

kehidupan pedagang pun semakin menggeliat. Sebagai basis

dari etnis Tionghoa, Peunayong memang menjadi pusat

perdagangan di Kota Banda Aceh sampai dengan saat ini.

Gampong Peunayong adalah salah satu dari 11 (sebelas)

gampong yang ada dalam Kecamatan Kuta Alam Kota Banda

Aceh, yang secara Geografis letak Gampong Peunayong

berbatasan dengan:

√ Sebelah Utara berbatasan dengan Gampong Mulia

√ Sebelah Selatan berbatasan dengan Krueng Aceh

√ Sebelah Timur berbatasan dengan Gampong Laksana

√ Sebelah Barat berbatasan dengan Krueng Aceh

Demografi Gampong Peunayong

Tabel 1. Dusun/Jurong di Gampong Peunayong

No. Nama Dusun Kepala DusunJumlah

KK Jiwa

Laki-Laki

Perempuan

1. Merpati Dani Hidayat 348 1.204 627 577

2. Garuda Ridwan 139 467 234 233

3. Cendrawasih Muhammad Zaini 121 405 202 203

4. Gajah Putih Hasyimi 104 303 149 154

Jumlah Total 712 2.379 1.212 1.167

Tabel 2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan

No. Kelompok Usia Jumlah Laki-Laki Perempuan

1. Belum Sekolah 554 (23.29%) 268 (11.2 %) 286 (12.02 %

2. Belum tamat SD/Sederajat 177 (7.44 %) 90 (3.78%) 87 (3.66%)

3. Tamat SD/Sederajat 187 (7.86 %) 93 ( 3.91 %) 94 ( 3.95 %)

4. SLTP /Sederajat 358 (15.05 %) 180 (7.57 %) 178 (7.48 %)

5. SLTA/Sederajat 852 (35.81 %) 464 (19.50 %) 388 (16.31 %)

6. Diploma I/II 21 ( 0.88%) 6 ( 0.25 %) 15 (0.63 %)

7.Akademi/Diploma III/Sarjana Muda

74 ( 3.11 %) 31 (1.30 %) 43 (1.81 %)

8. Diploma IV/Strata I 143 ( 6.01 %) 68 (2.86%) 75 93.15 %)

Page 160: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 150 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

9. Strata II /S2 9 (0.38%) 8 ( 0.34 %) 1 ( 0.04 %)

10. Strata III/S3 4 (0.17%) 4 (017 %) 0 ( 0.00%)

Jumlah Total 2.379 (100 %)1212 (50.95

%)1.167 (

49.05%)

Penduduk Gampong Peunayong dilihat berdasarkan

pekerjaan: belum bekerja 25%, mengurus Rumah Tangga

20.47%, Pelajar/Mahasiswa 17.95%, Pensiunan 0.21%,

PNS 0,59%, TNI 0.08%, Polri 0.21%. Perdagangan 0.80%,

Nelayan/Perikanan 0.13%, Industri 0.04%, Karyawan Swasta

3.74%, Karyawan BUMD 0.04%, Karyawan Honorer 0.20%,

Buruh Harian Lepas 0.13%, Buruh Tani/Perkebunan 0.04%.

Dosen 0.17%, Guru 0.29%.

Tabel 3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

No. Nama Agama Jumlah Laki-laki Perempuan

1. Islam 973 (40.90%) 507 (21. 31 %) 466 (19.59%)

2. Kristen 236 (9.92 %) 108 ( 4.54 %) 128 (5.38 %)

3. Katholik 137 ( 5.76 %) 68 ( 2.86 %) 69 ( 2.90 %)

4. Hindu 0 (0.00%) 0 (0.00%) 0 (0.00%)

5. Budha 1.033 ( 43.42%) 529 ( 22.24 %) 504 (21.19 %)

6. Khonghucu 0 ( 0.00%) 0 (0.00%) 0 (0.00%)

Jumlah Total 2.379 (100%) 1.212 ( 50.95%) 1.167 ( 49.05%)

Jika dilihat berdasarkan usia penduduk Gampong

Peunayong dari mulai usia di bawah 1 tahun 2.73%, 2 s/d 4

tahun 4.92%, 5 s/d 9 tahun 9.71%, 10 s/d 14 tahun 8.20%, 15

s/d 19 tahun 6.26 %, 20 s/d 24 tahun 6.85%, 25 s/d 29 tahun

8.07 %. 30 s/d 34 tahun 8.11 %, 35 s/d 39 tahun 9.16 %, 40

s/d 44 tahun 7.69 %, 45 s/d 49 tahun 5.97 %, 50 s/d 54 tahun

5.55 %, 55 s/d 59 tahun 4.88 %, 60 s/d 64 tahun 3.61 %, 65

s/d 69 tahun 3.07 %, 70 s/d 74 tahun 2.52 %, 70 tahun ke atas

2.69 %.

Page 161: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 151 ~

Sosial Keagamaan di Peunayong

Sesuai dengan Perwalikota dialokasikan dana untuk

kegiatan MTQ di tiap gampong, dilakukan setelah lebaran

Haji. Prosesnya mulai per Dusun, Kepala Dusun mengirimkan

Calon MTQ ke Gampong Peunayong. Kegiatan sosial

keagamaan di Peunayong digerakkan oleh Majlis Taklim

laki-laki dan perempuan. Ada empat kelompok Majlis Taklim

laki-laki dan perempuan. Untuk Ustadznya diberikan insentif

Rp. 200.000/bulan, diberikan 6 bulan sekali dalam setiap

pertemuan. Kemudian untuk Taman Pendidikan Al-Qur’an

(TPA) dianggarkan dana desa maksimal 20 juta. Kegiatan

lainnya yaitu Fardu Qifayah (memandikan, menyolatkan, dan

menguburkan), didanai 10 juta oleh Gampong Peunayong.

Untuk intensif Fardhu Qipayah,yang terdiri dari 5 orang laki-

laki dan 5 orang perempuan, kendalanya, per orag 100 ribu

dalam waktu 1 bulan. Contoh dalam toleransi kehidupan

beragama umat Budha, ada yang meninggal muda, tidak

ada keluarga dibakar atas keinginan pribadinya, makamnya

orang Non Muslim di Matai Ketapang di pegunungan, dan

ada rumah duka bagi umat Non Muslim untuk proses ritual/

seremonial sebelum di bakar atau dimakamkan.

Tahun 2018 mencapai 75 % jumlah penduduk non

Muslim banyak dari peunayong, namun tahun 2019 sekitar

64 % Muslim di Peunayong Faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi perpindahan tempat tinggal mereka yaitu: 1).

Dalam hal Trans Sekolah nya ke luar Negeri (Tailan, Tiongkok)

Medan, Jakarta, Australia). Hari-hari perayaan di Peunayong

ramai di saat bulan Mei setiap tahunnya yaitu: hari Gong

Xi Pacai 2). Faktor utama yaitu orang Muslim yang panatik

adatnya, sekarang sudah berubah karena adanya pergeseran

nilai-nilai. Jika dilihat dari jumlah komunitas agama:

Mayoritas Non Muslim berada di Peunayong, sedangkan

mayoritas Muslim berada di Gampong Mulia. Dan mayoritas

Page 162: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 152 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Non Muslim di Gampong Mulia didominasi pemeluk Agama

Kristen, sedangkan di Gampong Peunayong didominasi oleh

pemeluk Agama Budha.

Selama menjabat sebagai Kechi di Peunayong ada 13 orang

masuk Islam. Namun dalam hal pendirian rumah ibadah di

Peunayong ada sekitar 7 buah gereja di Peunayong yang ilegal

(tidak ada ijin IMB Persoalannya rumah dijadikan tempat

ibadah, hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berasal

dari Medan dan Menado. Contohnya Ruko dijadikan tempat

ibadah. Kasus pendirian gereja ini sudah sampe ke Kesbangpol.

Upaya yang telah dilakukan oleh Kechi Peunayong dengan

melakukan dialog para tokoh antarumat beragama, yang

sifatnya insidental jika ada isu-isu keagamaan. Kemudian

untuk pencegahan lainnya bagi seluruh komunitas agama dan

bagi kalangan pemuda-pemudinya, diadakan pembinaan dari

Satgas Narkoba, sebagai Narasumbernya dari: BNN (Badan

Narkotika Nasional), BNP (Badan Narkotika Provinsi), BNK

(Badan Narkotika Kabupaten). Wilayah binaan BNN termasuk

Peunayong dilaksanakan di Hotel Tria 3 hari, yang dibina

warga Peunayong. Kegiatan bagi ibu-ibu warga masyarakat

peunayong dilatih keterampilan membuat Tas Rajut, Jam

dinding dibikin Kotak Tapi sebagai hiasan dinding untuk

dipajang di Rumah, sebagai pemandu dalam keterampilan ini

dari BNN Jakarta. ( Ustadz Sabri Harun Keuchi Peunayong).

Praksis Kerukunan Antarumat Beragama

Kerukunan di Gampong Mulia

Kondisi kerukunan di Gampong Mulia tidak terlepas

dari karakter masyarakat Aceh yang pada dasarnya adalah

terbuka dan mewarisi karakter nenek moyang mereka yang

sudah sangat inklusif dan mampu bergaul dengan berbagai

latar belakang kultur dan agama. Bangsa Aceh dinilai sudah

kosmopolit sejak jaman kerajaan dulu. Budaya Aceh sendiri

Page 163: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 153 ~

juga dinilai tidak terlepas dari akulturasi budaya-budaya

seperti: Islam, Hindu, dan Budha. Hal tersebut juga masih

berlangsung hingga saat ini (penulis dilapangan, September

2019) termasuk dalam hal kuliner yang kental dengan

pengaruh Cina, Arab, Eropa dan India. Secara historis

masyarakat Aceh memang sudah mewarisi kemampuan

untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan dalam nuansa

yang pluralistik.

Dalam konteks penerapan Syariat Islam sesungguhnya

dengan atau tanpa Syariat Islam itu sendiri, kondisi

kerukunan umat beragama di Aceh terbangun dan terjaga

dengan baik. Namun demikian para informan sepakat

untuk menilai bahwa justru dengan penerapan Syariat Islam

kondisi kerukunan semakin terbangun dengan baik. Tatanan

kehidupan beragama semakin membaik, kemampuan

antarumat beragama untuk menghormati dan menghargai

nilai-nilai Syariat Islam jelas terlihat. Sementara di sisi lain

umat Muslim dan aparat penegak hukum Syariat Islam juga

tidak lantas semena-mena bertindak terhadap masyarakat

non Muslim. Karena Syariat Islam itu sendiri memang

ditujukan untuk pemeluk agama Islam.

Di sinilah berlaku azas personalitas di mana hukum Islam

hanya berlaku bagi umatnya saja. Sedangkan yang non Muslim

bila melakukan tindakan yang bertentangan dengan Syariat/

Qanun, bersama-sama dengan orang Islam, mereka secara

sukarela bisa menundukan diri pada hukum Syariat. Atau

jika tidak, maka mereka tunduk pada Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku secara umum. Tingginya

toleransi antarumat beragama dan berbeda etnis juga terlihat

di perkampungan/gampong dominan dengan warga Cina.

Menurut informan di gampong mulia yang didominasi warga

non Muslim juga membantu bergotong-royong dalam suka

dan duka. Sebaliknya yang Muslim membolehkan pihak non

Muslim untuk mengikuti hari besar keagamaan Islam.

Page 164: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 154 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Pada awalnya ada kekhawatiran bahwa Implementasi

Syariat Islam akan berdampak kepada ketidakharmonisan

antarumat beragama, setidaknya akan memberikan rasa

tidak aman dan tidak nyaman bagi kalangan umat beragama

non Muslim. Dalam perkembangannya justru tidak terlihat

akses pelaksanaan Syariat Islam terutama bagi kalangan non

Muslim. Hampir tidak pernah terdengar bahwa kalangan non

Muslim di Aceh terjaring dalam razia pelanggaran Qanun

Syariat Islam misalnya dalam hal berpakaian seperti tidak

mengenakan jilbab. Di sisi lain faktanya justru kalangan

non Muslim mampu hidup berdampingan dengan umat

Islam. Khusus di Banda Aceh komunitas seperti di Gampong

Peunayong, Gampong Mulia dan sekitarnya yang notaben-nya

banyak warga etnis Cina, tidak pernah komplain dengan suara

adzan. Tidak pernah melanggar untuk berjualan makanan

pada bulan puasa. Bahkan mereka justru terlibat aktif dalam

kegiatan-kegiatan bersama warga Muslim seperti gotong

royong desa. Memberikan sumbangan pembangunan Masjid

dan tempat ibadah, dan membantu umat Muslim dalam hal

kegiatan warga dan lainya. Hal ini menunjukan pelaksanaan

Syariat Islam tidak hanya menciptakan rasa kerukunan justru

mampu memberikan sebuah tatanan kehidupan antarumat

beragama yang harmonis.

Setelah pemberlakuan Syariat Islam, para kelompok non

Muslim ini juga menilai bahwa rasa aman semakin membaik

dan tingkat kriminalitas semakin menurun. Meskipun tidak

ada data statistik yang mampu memperlihatkan hal tersebut

secara jelas. Sebagai contoh sederhananya: Motor, Mobil,

dan barang-barang tidak hilang di tempat umum. Tatanan

tersebut dinilai sebagai perubahan positif yang pada akhirnya

memberikan rasa aman dan keharmonisan antarumat

beragama. Hal ini menunjukan nilai-nilai dalam Syariat Islam

mampu meredam tindakan kriminalitas di mana kriminalitas

terhadap kelompok minoritas seperti Cina kerap terjadi di

Page 165: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 155 ~

daerah lain, namun tidak demikian dengan kondisi di Aceh.

Para informan menyebutkan bahwa mereka tidak

memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan apalagi

yang bersifat traumatis dengan masyarakat Muslim di Aceh

dan Banda Aceh khususnya. Sebaliknya mereka juga tidak

memiliki pengalaman yang begitu special. Namun beberapa

pengalaman tertentu bagi mereka menjadi sebuah catatan

penting tentang bagaimana mereka diterima dan diperlakukan

dengan baik oleh kalangan Muslim baik di lingkungan kerja

(formal) dan lingkungan bermasyarakat. Hal tersebut antara

lain: pertama ; masyarakat Muslim tidak memprotes ketika

salah satu informan menggunakan jilbab baik di kantor, dan

dalam keseharian di luar kantor. Sebaliknya saat informan

tidak menggunakan jilbab, juga tidak lantas diberi label

sebagai kafir. Ustadz Maulana di salah satu program TV

swasta, di mana ceramah-ceramah yang disampaikan oleh

Ustadz Maulana ini dinilai sangat munggugah dan menarik

minat informan yang non Muslim untuk mendengarkan,

meskipun isi ceramahnya adalah tentang ajaran-ajaran Islam.

Kolega di kantornya juga sangat welcome ketika informan-

informan ikut dalam kegiatan-kegiatan bersama seperti:

Takziah dan kegiatan keagamaan lainya.

Di kalangan antarumat beragama terdapat dialog dan

diskusi dengan tetangga yang berbeda agama. Di sana mereka

mengetahui dan memahami tentang adat dan peraturan tidak

tertulis, jika ingin bertetangga dengan warga Muslim Aceh.

Misalnya larangan memelihara anjing, sering -sering datang

dan bergaul di warung kopi berbaur bersama warga Muslim.

Bertemu di Meunasah (Musholla) dan membantu kegiatan

gotong-royong gampong termasuk saat kegiatan keagamaan.

Tidak masalah jika menawarkan diri untuk membantu, tidak

keluyuran pada saat jam Jum’atan karena hal itu dianggap

tidak menghormati umat Muslim sedang beribadah.

Dan umat budha pun beribadah pada setiap hari Jum’at,

Page 166: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 156 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

kemudian menghargai pesta pernikahan, serta mengunjungi

orang sakit. Namun ada juga yang menyebabkan salah paham

dan mengarah kepada hubungan yang cenderung tegang,

misalnya:

1. Tidak senang jika informan mengucapkan salam “

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh”, atau

Al-Hamdulilah”, Astagfirullah”, Lailahaillallah”.

2. Tidak bersedia minum ketika bertamu ke rumah informan

karena diasumsikan makanan dan minumanya haram,

paling tidak perlengkapannya sudah terkontaminasi

dengan barang-barang yang haram. Namun kedua contoh

tersebut oleh Informan dinilai sebagai kasuistik saja dan

ia juga menilai bahwa orang yang memperlakukan dia

seperti hal tersebut di atas adalah dikarenakan kurang

paham pengetahuan saja dan masih sangat sempit dalam

memandang perbedaan agama.

Gampong Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh

dikukuhkan sebagai Gampong Sadar Kerukunan di Aceh.

Pengukuhan itu dilakukan oleh Walikota Banda Aceh, H

Aminullah Usman SE Ak MM dan penyerahan sertifikat oleh

Kanwil Kemenag Aceh kepada keuchik Gampong Mulia,

Kamis (28/12/2017) di lapangan depan MIN Merduati atau

di bekas lahan Kantor Agraria. Penetapan Gampong Mulia

sebagai gampong sadar kerukunan, karena gampong itu

dihuni oleh multi etnik dan agama. Wali Kota Aminullah saat

pengukuhan menyampaikan, bahwa pengukuhan Gampong

Mulia sebagai Gampong sadar Kerukunan ini merupakan

lambang pengakuan atas keharmonisan kehidupan antarumat

beragama di Banda Aceh. Lanjutnya sebagai ibu-kota provinsi,

Banda Aceh diharapkan dapat menjadi model dan contoh

bagi keteladanan keberagaman dan kerukunan yang ditopang

dengan kuat oleh kearifan lokal. Dikatakan Banda Aceh juga

harus menjadi tolak ukur bagi kota-kota lainnya di Indonesia.

Di mana penegakan Syariat Islam bukanlah alasan untuk

Page 167: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 157 ~

bersikap otoriter, represif terhadap umat agama lainnya, untuk

menindas, atau berlaku sewenang-wenang. “Justru tujuan

penegakan syariat Islam itu demi tercapainya kemashlahatan

bagi seluruh kehidupan manusia. Syariat Islam juga mengatur

bagaimana pergaulan dan penghormatan kepada ummat

agama lainnya, tak peduli seorang manusia itu beragama apa

atau berasal dari suku mana,” ujarnya.

Penetapan Gampong Mulia sudah melalui rangkaian

penilaian oleh tim Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh

dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Kegiatan

ini dihadiri oleh perwakilan lintas Agama, diantaranya

Kristen Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan tokoh Islam di

Banda Aceh. Hadir juga Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol

T Saladin, Kabid Penais Zawa Kanwil Kemenag Aceh, Azhari

dan Kankemenag Kota Banda Aceh, Drs Amiruddin. (https://

aceh.tribunnews. com/2017/12/28 dalam Muhammad Nasir). Peunayong “Laboratorium” Toleransi di Banda Aceh

Tidak hanya lengkap dengan kebutuhan para wisatawan.

Namun Peunayong juga menawarkan hal lain. Ada yang unik

dari gampong ini, plural dan toleran. Toleransi merupakan

kata yang sangat akrab bagi masyarakat Aceh. Sejak dulu

hidup berdampingan di tengah perbedaan sudah menjadi

hal lumrah. Dulu Aceh pernah menjadi bangsa besar.

Berhubungan dengan banyak negara di Eropa dan Asia.

Kala itu berinteraksi dengan komunitas yang datang dari

beragam suku bangsa, agama dan bahasa telah menjadi

pemandangan sehari-hari. Maka tidak mengherankan jika

dulu kesultanan Aceh berhasil menggenggam persahabatan

dengan Ratu Inggris, Kekhalifahan di Turki serta beraneka

ragam kisah yang menyiratkan masa keemasan Aceh. Kini

jejak membanggakan tersebut masih tampak terlihat jelas.

Sebut saja peninggalan fisik seperti makam para Sultan dan

Sulthanah, komplek pemakaman para serdadu Belanda

Page 168: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 158 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

hingga keberadaan gampong yang pernah menjadi komplek

kesultanan Aceh.

Namun selain bentuk fisik, sisa peninggalan itu ternyata

juga hadir dalam bentuk nilai. Nilai itu mengalir dalam

darah generasi Aceh masa kini. Sifat saling menghargai dan

menghormati itu turun menurun dan tak pernah lengkang oleh

waktu. Di Peunayong Mesjid, Vihara dan Gereja berada dalam

satu daerah yang sama. Suara lonceng di tiap pekannya, atau

suara azan yang berkumandang lima kali sehari menjadi sisi

menarik lain dari Peunayong. Bahkan terkadang ritual ibadah

menjadi tontonan warga. Saya pernah meliput perayaan imlek

di Banda Aceh. Liputan ini menjadi menarik karena imlek di

laksanakan di negeri yang menerapkan syariat Islam. Apalagi

Banda Aceh termasuk kota di propinsi Aceh yang tergolong

ketat dalam menegakkan hukum Islam.

Waktu itu hari masih pagi, tapi para pesembahyang

mulai memadati Vihara Dharma Bhakti. Dari dalam ruangan

asap tampak mengepul tebal. Lilin ditata rapi di atas meja

panjang. Nyala api membuat bangunan merah ini tampak

semakin menyala. Bau dupa tercium amat kuat. Buah dan

kue tersaji dalam nampan. Satu persatu pesembahyang hilir

mudik memanjatkan doa, mereka tampak bersuka cita. Imlek

dirayakan tanpa raut kecemasan dan ketakutan. Ada hal

menarik yang tampak dari dalam Vihara, sejumlah warga

Banda Aceh non Tionghoa diizinkan untuk melihat lebih dekat

bagaimana ritual sembahyang dilakukan. Meski diizinkan

masuk, namun mereka lebih memilih berdiri di luar Vihara.

Sesekali tampak beberapa warga yang mengambil foto untuk

dijadikan kenang-kenangan. Sementara para pesembahyang

merasa tidak keberatan. Ritual tetap dilakukan.

Saya menjumpai pesembahyang yang telah selesai berdoa,

Bakri namanya. Dia adalah pengurus Vihara Dharma Bakti,

kami berbicara banyak hal. Termasuk bagaimana mereka bisa

bertahan di Banda Aceh. Hidup, tinggal, bekeluarga, bekerja

Page 169: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 159 ~

hingga menjalankan keyakinannya di negeri berjuluk serambi

mekkah. “Kami nyaman dan senang merayakan imlek di

Banda Aceh” kata Bakri. Menurutnya pemerintah kota Banda

Aceh sejak dulu tidak pernah membatasi apalagi melarang

umat non Muslim dalam menjalankan ibadah dan keyakinan.

Warga diberi kebebasan, tidak hanya imlek, peringatan

waisak, natal, paskah juga dilangsungkan penuh dengan rasa

khidmat.

Interaksi sosial tentu tidak hanya terjadi dalam perayaan

imlek saja. Hubungan toleransi itu juga tampak saat malam

takbiran tiba. Biasanya pemerintah menggelar pawai obor dan

karnaval mengelilingi kota. Kegiatan ini diikuti oleh ribuan

warga, jalan sesak di penuhi masyarakat. Dan Peunayong

adalah salah satu daerah yang dilalui oleh para peserta konvoi.

Takbir, tahmid dan lantunan zikir dipanjatkan. Di sana warga

berkumpul termasuk di dalamnya warga Tionghoa. Banda

Aceh di usianya yang menebus 809 tahun seakan mempertegas

bahwa berbeda adalah sebuah rahmat. Negeri syariat yang

kini berupaya menjadi kota madani, kota berperadaban.

Beradab karena warga Muslim dapat menjadi pelindung

dan warga Non Muslim merasa terlindungi. Kini berkunjung

ke Banda Aceh tidak hanya sekedar menikmati keindahan

alamnya semata, atau melihat sisa dari kedahsyatan tsunami

2004 silam. Berwisata ke Banda Aceh juga bukan pula sekedar

menikmati secangkir kopi atau lezatnya kuah belanga. Di

Banda Aceh kita juga dapat belajar dan memahami. Jika hidup

berdampingan di tengah perbedaan adalah sebuah anugerah

yang terasa amat indah. Peunayong adalah buktinya. http://

arielkahhari. wordpress.com (Banda Aceh Blog Competition).

Sebuah kegiatan di Kampung China di Aceh beberapa waktu lalu (Agus/detikcom)

Aceh - Bangunan bercat putih berdiri kokoh di antara

pertokoan di Jalan T. Panglima Polem, Banda Aceh, Aceh.

Page 170: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 160 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Garis pinggir bangunan berwarna merah, dua patung naga

ditaruh di atas atap depan. Lampion-lampion menggantung.

Inilah Vihara Dharma Bhakti tempat warga etnis Tionghoa di

Aceh beribadah, Vihara ini terletak di perbatasan Gampong

Peunayong dan Gampong Laksana Kuta Alam, Banda Aceh.

Di kawasan yang terletak di pinggir Krueng Aceh itu, hidup

beragam etnis dengan beragam agama dan kepercayaan. Tidak

terdengar ada kericuhan antarumat beragama di Aceh. Umat

minoritas bebas beribadah menurut agama masing-masing

meski provinsi berjuluk Serambi Mekah itu menerapkan

syariat Islam. Mereka di sana saling menghormati dan tidak

saling mengusik.

“Toleransi dalam ibadah keagamaan untuk akar

rumput masyarakat umum tidak ada gesekan sama sekali,”

kata Ketua Umum Perkumpulan Hakka Banda Aceh Kho Khie

Siong saat ditemui detikcom beberapa waktu lalu. Di pusat

pasar Peunayong, Banda Aceh, pedagang dari berbagai etnis

berbagi lapak. Mereka berinteraksi di antara lalu lalang para

pembeli. Suasana Gang Pasar Sayur di Jalan WR Supratman

Peunayong, Kuta Alam Banda Aceh, selalu ramai saban

hari. Meski berbeda etnis pembeli di sana tidak membeda-

bedakan saat berbelanja. Menurut sejarah hubungan antara

Aceh dan China terjalin sejak abad ke-17 Masehi. Saat itu

para pedagang dari China silih berganti datang ke Aceh.

Mereka ada pedagang musiman, ada juga yang permanen.

Mereka tinggal di perkampungan China di ujung kota dekat

pelabuhan, rumah mereka berdekatan satu sama lainnya.

Lokasi yang dulu digunakan etnis China sebagai tempat

menurunkan barang sebelum didistribusikan kini dikenal

dengan nama Peunayong.

Kata Peunayong sendiri berasal dari “peu payong”, yang

berarti memayungi, melindungi. Dalam sebuah hikayat

disebutkan bahwa, Peunayong merupakan tempat Sultan

Iskandar Muda memberikan perlindungan atau menjamu

Page 171: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 161 ~

tamu kerajaan yang datang dari Eropa dan China. Warga

China di Banda Aceh merupakan generasi ke-4 atau ke-5

dari buyut mereka yang datang pada abad ke-19. Mereka

adalah suku Khek, yang berasal dari Provinsi Kwantung,

China. Mereka belum bercampur dengan suku Kong Hu Cu,

Hai Nan, dan Hok Kian. “Penduduk China paling banyak

tinggal di Peunayong,” jelas pria yang akrab disapa Aky

ini. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat Banda Aceh

melabeli Peunayong sebagai kampung China. Kerukunan

umat beragama di sana hingga kini masih terjaga. Saat bulan

Ramadan, misalnya warga etnis Tionghoa ikut menjajakan

penganan berbuka. Begitu juga saat hari-hari besar agama

lain warga non Muslim tetap leluasa merayakannya.

Kehidupan masyarakat etnis China dan suku asli Aceh

terbilang harmonis. Kho, yang lahir dan dibesarkan di Aceh,

tidak pernah merasakan adanya tekanan dari masyarakat

Aceh saat melaksanakan ibadah. Di Banda Aceh belum pernah

ada keributan antara satu agama dan agama lainnya. “Tidak

pernah ribut antara agama Islam dan agama Hindu, Buddha,

dan Kristen “ ungkap Aky. Selain Peunayong kampung

keberagaman di Banda Aceh adalah Gampung Mulia dan

Gampong Laksana. Tempat itu juga dihuni beragam pemeluk

agama, baik Islam, Nasrani, maupun Buddha, dan berbagai

etnis. Seorang warga Tionghoa, Hendry mengaku tinggal di

Aceh sejak lahir. Masyarakat Aceh dan China saling berkunjung

untuk membangun silaturahmi. “Kami saling bersilaturahmi,”

katanya. Untuk menjaga hubungan antara warga Tionghoa

dan penduduk pribumi, Yayasan Hakka pada perayaan tahun

baru Imlek 2566 atau 2015 mendeklarasikan Peunayong

sebagai kampung keberagamaan. Sejak pendeklarasian itu,

mereka kerap menggelar pertunjukan berkolaborasi dengan

kesenian lokal. Beberapa waktu lalu pernah ada pertunjukan

barongsai dengan Seudati, Rapai Geleng, dan sejumlah tarian

Aceh lainnya. Hakka Banda Aceh juga berkomitmen terus

Page 172: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 162 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

membangun keberagaman dan toleransi dengan masyarakat

Aceh.

Toleransi umat beragama di Aceh kata Aky, menjadi tolok

ukur bagi warga di luar tanah Rencong. Menurutnya orang di

luar Aceh terus memantau kerukunan antarumat beragama

di daerah yang resmi menerapkan syariat Islam sejak tahun

2002 ini. “Saya punya pengalaman ada teman datang dari

Lampung sekitar 20 orang. Mereka kaget begitu datang ke

Aceh tidak seperti yang dibayangkan dan digambarkan orang.

Begitu mereka turun kapal dari Sabang hanya satu kata yang

mereka sebut, ‘Ternyata orang Aceh ramahnya minta ampun.’

Begitu kata mereka,” ujar Aky.”Hal itu membuat persepsi

orang itu dan mereka akan sampaikan ternyata Aceh itu luar

biasa,” jelas Aky. (asp/asp).

Kerjasama terkait dengan Kerukunan antarumat

beragama sebagaimana tersebut di atas, setiap Gampong

memiliki aturan (Reusam) untuk mengatur dalam segala

aspek kehidupan. Aturan tersebut ada yang sifatnya insidental

(seketika), ada yang sudah baku (paten). Contoh kerja sama ini

dalam bentuk pembuatan mural (hiasan dinding), kerja bakti,

acara 17 agustusan. Contoh lain dalam bentuk kerjasama:

Perayaan Hari Natal, Imlek, Gong Xi Pacai, tolong menolong,

gotong royong, ada musibah, kematian, orang sakit. Simbol

kerukunan di peunayong dapat dilihat dari gambar di bawah

ini dalam berinteraksi di komunitas Pasar Peunayong, dan

hasil karya pemuda lintas agama di peunayong.

Page 173: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 163 ~

Komunitas Pasar Peunayong yang Multikultural dan Pluralis

Mural (hiasan dinding) di Peunayong

Persefektif Pemuka Agama dan Tokoh Masyarakat

Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi yang menerapkan

Qanun Syariat Islam ini memiliki empat vihara yaitu Vihara

Maitri, Vihara Buddha Sakyamuni dan Vihara Dewi Samudra

yang ada di Gampong Mulia, serta Vihara Dharma Bhakti

berada diantara perbatasan Gampong Peunayong dan

Gampong Laksana. Sementara rumah ibadah umat Kristen

terbagi menjadi dua, yaitu tiga gereja milik umat Kristen

Protestan dan satu gereja Katolik yang berada di kawasan

Simpang Lima. Tak jauh dari dua gampong ini, tepatnya di

Gampong Keudah yang hanya dibatasi oleh Krueng (sungai)

Aceh, juga terdapat sebuah rumah ibadah milik umat Hindu,

yaitu Kuil Palani Andawer 1934. “Ini menandakan Banda Aceh

sebagai kota yang terbuka, bahkan gereja Katolik tersebut

letaknya tak begitu jauh dari Masjid Raya Baiturrahman,

hanya terpisah dengan sungai,” kata Zulkifli. Selama ini kata

Zulkifli (Kabid Idiologi Kebangsaan) masyarakat Banda Aceh

yang multi etnis ini hidup berdampingan satu sama lainnya.

Tidak pernah terjadi gesekan antarumat beragama

Berkaca dari sejarah kata Zulkifli, Banda Aceh sebagai

kota yang terbuka terhadap keberagaman telah dimulai sejak

zaman Sultan Iskandar Muda, berlanjut di masa Belanda,

Page 174: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 164 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

hingga Jepang. Bahkan Sultan Iskandar Muda pernah

menjalin hubungan khusus dengan kekaisaran Cina. Bukti

sejarah tersebut masih bisa disaksikan hingga sekarang berupa

Lonceng Cakradonya yang ada di halaman Kompleks Museum

Aceh di Gampong Peuniti. Boy Nashruddin Agus dalam

tulisannya berjudul Pechinan Peunayong untuk majalah The

Atjeh Vol. 5 pada 2014 lalu menuliskan, pedagang-pedagang

Cina masuk ke Aceh melalui jalur sutra. Dan singgah di

beberapa kerajaan seperti Po-li, Lamuri, Sumunthala atau

Samudra, dan Pasai. Umumnya mereka berasal dari suku Hok

Kian, Hai Nan, Kong Hu, Hakka, dan Khek.

Dengan demikian dapat dikatakan hubungan pertama

Aceh dengan luar Negeri yaitu dengan bangsa Cina tulis

Boy dalam laporannya mengutip pernyataan dosen Fakultas

Dakwah UIN Ar-Raniry Banda Aceh. A. Rani Usman yang

membuat disertasi khusus mengenai pola komunikasi serta

budaya yang ditinggalkan pedagang Cina di Aceh dengan

judul Etnis China Perantauan di Aceh. Peunayong telah lama

dikenal sebagai kawasan Chinatown-nya Banda Aceh. Sejak

masa Belanda masih berdasarkan lansiran majalah The Atjeh,

para pedagang asing seperti dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat,

Turki, Bengali, Tionghoa, hingga Eropa awalnya dipusatkan

di kawasan Ulee Lheue. Mereka lantas diberi izin mendirikan

tangsi atau barak di kawasan utara Ibu Kota Banda Aceh,

yaitu Peunayong.

Belakangan setelah Belanda menguasai Banda Aceh,

pedagang Cina yang telah mendirikan tangsi dagang di

sepanjang jalur Krueng Aceh diberdayakan karena dinilai

mampu menggerakkan roda perekonomian. Mereka

ditempatkan sebagai warga kelas dua dalam struktur

masyarakat pemerintahan Hindia Belanda. Orang-orang

Tionghoa ini diwajibkan melapor kepada pemerintah dan

dimasukkan dalam warga Aceh. Karena simpatinya Belanda

lantas memfungsikan kembali Peunayong sebagai Chinizen

Page 175: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 165 ~

Kamp alias wilayah pecinaan. Wilayah ini masih tetap eksis

dan menjadi salah satu kawasan perdagangan di Kota Banda

Aceh. FKUB Banda Aceh terus melakukan sosialisasi dan

dialog-dialog lintas agama maupun organisasi masyarakat

agar kerukunan yang telah tercipta ini terus terjaga. Jika

terjadi gesekan-gesekan pihaknya selalu mengedepankan

musyawarah dan koordinasi. “Bukan eksekusi,” kata Zulkifli

menegaskan.

Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Banda Aceh

beranggotakan para utusan dari lima agama, yaitu Islam,

Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. FKUB melakukan

sosialisasi kepada para siswa melalui program Saweu Sikula,

untuk menjelaskan pentingnya menjaga kerukunan dan

toleransi. “Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi menjadi

barometer bagi kabupaten/kota yang ada di Aceh. Kita

mengupayakan Banda Aceh jadi role model sesuai visi misi

terciptanya Kota Gemilang dalam Bingkai Syariat Islam,

yang mengayomi dan melindungi umat-umat non Muslim,”

kata Zulkifli. Namun Zulkifli memberi catatan, toleransi yang

dibangun merupakan hubungan sosial kemasyarakatan,

sementara dalam hal menjaga kemurnian akidah tidak ada

tawar menawar.

Kenyamanan tinggal di Banda Aceh juga diakui oleh Willy

Putrananda. Selaku pemuka agama Buddha dan anggota FKUB

Banda Aceh, Willy yang lahir di Kampung Pasir, Meulaboh,

Aceh Barat kemudian hijrah ke Banda Aceh, tak pernah bosan

mengingatkan kelompoknya agar bisa beradaptasi di tengah

kemajemukan warga Banda Aceh. Mereka sama sekali tak

terusik dengan Qanun Syariat Islam yang diterapkan di Banda

Aceh.“Syariat Islam sangat mendukung kami. Setiap Jumat

misalnya saat orang-orang Muslim menutup toko-tokonya

untuk melaksanakan salat Jumat, kami juga melakukan

kebaktian,” ujar Willy. Willy yang lahir, besar, dan tinggal di

Aceh ini sangat fasih berbahasa Aceh. Ia bahkan menguasai

Page 176: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 166 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

bahasa Jamu dan Kluet yang dituturkan mayoritas masyarakat

di barat selatan Aceh. Ia terbiasa berbaur dengan lingkungan

sekitarnya sejak di Meulaboh. Tak canggung terlibat dalam

urusan-urusan sosial kemasyarakatan. “Kalau ada orang

meninggal kita bantu gali kubur juga, makan kuah tuhe sama-

sama, bantu cari kayu untuk kenduri,” ujarnya.

Toleransi dan Kerjasama Antarumat Beragama

Dialog Aktor Kerukunan

Kerukunan merupakan hal penting bagi kita semua di

tengah-tengah perbedaan. Perbedaan yang ada tidak menjadi

hambatan untuk hidup rukun antarumat beragama. Kerukunan

harus bersifat dinamis, humanis, demokratis. Dinamis

yang dimaksud adalah semangat untuk mengembangkan

sikap kerukunan. Berbagai jalan pikiran yang berbeda yang

memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-

masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia.

Mengutamakan persamaan hak, kewajiban, dan perlakuan

bagi semua warga negara agar kerukunan beragama dapat

dilaksanakan dengan baik dan tidak merugikan kalangan

manapun. Karena semua Agama mengajarkan kedamaian

kerukunan terhadap agama lain agar kehidupan di dunia

ini tentram. Di Indonesia terdapat 6 agama yang di akui

oleh negara yakni Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budhha,

Konghucu (konfusius). Oleh karena itu masing-masing agama

Page 177: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 167 ~

harus mengajarkan toleransi yang tinggi agar mendapat

kerukunan yang tidak saling menjatuhkan antara umat

beragama.

Dalam keragaman inilah diperlukan toleransi bagi semua

rakyat Indonesia tersebut. Toleransi adalah sikap yang saling

menghargai kelompok-kelompok atau antara individu dalam

masyarakat atau ruang lingkup lainnya. Toleransi yakni suatu

perbuatan yang melarang terjadinya diskriminasi sekalipun

banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam

masyarakat. Toleransi ini bisa terlihat jelas pada agama,

toleransi agama sering kali kita jumpai di masyarakat. Adanya

toleransi agama menimbulkan sikap saling menghormati

masing-masing pemeluk agama lainnya.

Toleransi antarumat beragama yaitu menyakini bahwa

agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu

tetapi disini harus saling respect/menghargai agama

orang lain dan tidak boleh memaksakan orang lain untuk

menganut agama kami. Serta kami tidak diperbolehkan untuk

menjatuhkan, mengejek-ngejek dan mencela agama orang

lain dengan alasan apapun karena sejatinya kita adalah sama-

sama manusia yang hidup berdampingan. Sepanjang sejarah

agama dapat memberi sumbangsih positif bagi masyarakat

dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama

antar anggota masyarakat. Namun sisi yang lain, agama juga

dapat sebagai pemicu konflik antar masyarakat beragama.

Hal ini adalah sisi negatif dari agama dalam mempengaruhi

masyarakat di Indonesia. Terdapat beberapa hal yang dapat

menimbulkan konflik seperti konflik internal dari umat

agamanya sendiri maupun konflik antar agama.

Banda Aceh layak disebut Kota Kerukunan karena

pengalaman panjang menciptakan tolerasi antar etnis dan

umat beragama sejak masa Kesultanan Iskandar Muda

sampai kini. Hal ini disimpulkan dalam Forum Lintas Agama

Sabtu 23/9/2017 di Rumoh Aceh Simpang Mesra. Dalam

Page 178: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 168 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pertemuan yang diinisiasi oleh Kantor Kementerian Agama

Provinsi Aceh dihadiri perwakilan umat beragama, Muspika

Kecamatan Kuta Alam, Kesbangpol, tokoh adat, tokoh

pemuda, tokoh perempuan dan pengurus Forum Kerukunan

Umat Beragama Kota Banda Aceh. Sekretaris Kesbangpol

Banda Aceh Hasnanda Putra menyebutkan catatan sejarah

kehidupan harmonis antar etnis dan umat beragama telah

ada sejak zaman keemasan Sultan Iskandar Muda diabad

17 silam sampai saat ini yang mengusung Kota Gemilang

dalam Bingkai Syariah.“ Gampong Peunayong dan Gampong

Mulya sebagai kawasan Pecinan dan ragam etnis agama telah

populis sejak masa lalu, ini menunjukkan Banda Aceh telah

sejak lama menerapkan toleransi dan keberagaman,” sebut

Hasnanda Putra.

Sementara Willy Putrananda mewakili komunitas Budha

menyebut pihaknya sangat aman dan nyaman melaksanakan

kehidupan beragama di Kota Banda Aceh. “Kami di Banda

Aceh ya kampung sendiri, sejak dulu kita tidak ada masalah

beragama di kota ini, sangat nyaman dan terjalin hubungan

baik” kata Willy. Hal yang sama dibenarkan oleh Eliaudin

Gea Wakil dari Protestan Kota Banda Aceh, menurutnya

kebebasan beragama di Kota Banda Aceh sangat terjalin

baik. “Kita baik-baik saja hubungan masyarakat disini dan

nyaman sekali,” sebut Gea. Sementara Sekretaris Forum

Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Banda Aceh Zulkifli

menyebutkan berbagai upaya yang dilakukan pihaknya

tidak terlepas dari kebersamaan antar umat beragama di

Kota Banda Aceh. “Persatuan membuat kita kuat dan terus

bersama,” kata Zulkifli. Dalam Dialog yang moderatornya Abd.

Syukur Wakil Ketua FKUB (2017), saat sekarang (penulis di

lapangan 2019) jabatannya sebagai Ketua FKUB, disimpulkan

beberapa hal antara lain: perlunya masing-masing pribadi

dalam komunitas lingkungan masing-masing untuk terus

menyerukan dan menjaga kerukunan. Mendorong kuliner

Page 179: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 169 ~

makanan di Peunayong harus terjamin halal, mendukung

Gampong kerukunan dan sepakat untuk terus menjaga

kerukunan di Kota Banda Aceh.

Bagi generasi muda diselenggarakan pelatihan

pengembangan semangat toleransi dan anti kekerasan

dengan tema «Membangun semangat toleransi dalam

keberagaman dan tindakan anti kekerasan bagi generasi

muda» yang berlangsung di Hotel Rajawali, Lampulo-Banda

Aceh. Pelatihan ini berlangsung sejak 23-25 Agustus 2013,

diselenggarakan oleh Saree School bekerja sama dengan

Yayasan Hakka Aceh dan ACSTF yang dihadiri 25 orang

peserta. Empat peserta diutus dari tiap-tiap perwakilan

gampong yang berada dalam Kecamatan Kuta Alam dan Kuta

Raja Kotamadya Banda Aceh. Ketua Umum Yayasan Hakka

Aceh, Kho Khie Siong, kepada Rakyat Merdeka Online, Jumat

(23/8), menjelaskan bahwa Gampong yang terlibat dalam

diskusi ini antara lain adalah Gampung Keuramat, Gampung

Mulia, Gampung Laksana, Lampulo, Peunayong, dan Keudah.

Pelatihan yang berlangsung selama tiga hari ini dibuka

Kabid Kebangsaan dan Politik Kesbangpolinmas (Zulkifli

SH). Dalam sambutannya mengatakan bahwa pihaknya

telah membentuk Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat

(FKDM) yang dibentuk di setiap desa dalam Kota Banda

Aceh.»Pelatihan ini sangat penting dengan harapan pemuda

dapat menjadi pionir dalam mencegah konflik di dalam

masyarakat, serta menjaga stabilitas keamanan menjelang

pemilu yang akan berlangsung tahun 2014. Sementara itu

menurut Direktur Saree School, Andi Rizal pelatihan ini

ditujukan kepada pemuda-pemuda gampong karena pemuda

merupakan garda terdepan yang mampu membangun dan

menjaga kestabilan gampong. Tujuan dari kegiatan ini adalah

meningkatkan pemahaman dan kemampuan generasi muda

akan gagasan anti kekerasan dan semangat toleransi dalam

masyarakat, sehingga mereka dapat terlibat aktif dalam

Page 180: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 170 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pembangunan perdamaian di komunitas masing-masing.

Selain itu agar ada komitmen para alumni pelatihan untuk

berperan aktif dalam pengembangan nilai-nilai toleransi

dan anti kekerasan. Dan ada rumusan aksi bersama dari

para alumni untuk memasifkan kampanye tentang nilai-nilai

toleransi dan keberagaman yang anti kekerasan.

Dialog aktor kerukunan dilakukan juga di tingkat

Kecamatan se Kota Banda Aceh secara bergiliran, yaitu:

Kecamatan Lueng Bata tanggal 24 Mei 2019, Banda Raya

tanggal 29 Mei 2019, Meuraksa tanggal 30 Mei 2019, Jaya

Baru tanggal 31 Mei 2019. Kecamatan Baiturrahman tanggal

8 Agustus 2019, Ule Kareng tanggal 9 Agustus 2019, Kuta

Alam tanggal 23 Agustus 2019, Syiah Kuala tanggal 24

Agustus 2019, dan Kabupaten Aceh Besar Kecamatan Ingin

Jaya tanggal 29 Agustus 2019. Acara ini dihadiri dari berbagai

unsur terkait: Kepala Kemenag Kota Banda Aceh, pengurus

FKUB, Kepala KUA, Camat Kecamatan, Polsek Kecamatan,

Dan Ramil Kecamatan, Keuchi-Keuchi (Kepala Desa) tiap

gampong se Kecamatan. Tujuan diadakan dialog lintas agama

baik itu tingkat Kota/Kabupaten maupun tingkat Kecamatan,

merupakan salah satu strategi dalam upaya pemeliharaan

kerukunan intern dan antarumat beragama, umat beragama

dengan pemerintah. Hal ini dilakukan adanya kerjasama

Kanwil Kemenag, Kan.Kemenag Kota, dengan Kesbangpol

Kota Banda Aceh, Camat dan KUA Kecamatan. Camat

Kuta Alam mengatakan, agar terjaga kerukunan antarumat

beragama, diupayakan dalam setiap ada kesempatan untuk

berinteraksi di mana pun dengan pemeluk berbeda agama.

Misalkan di kedai kopi (ngopi kerukunan). Tidak pernah

bahas tentang keyakinan masing-masing agama. Membiarkan

mereka beribadah sesuai dengan agama masing-masing. Dan

patuh terhadap aturan-aturan yang diterapkan, baik aturan

secara Nasional maupun aturan lokalnya, yang terkait dengan

kehidupan beragama di masyarakat.

Page 181: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 171 ~

FKUB Banda Aceh salah satu programnya menyasar

siswa/i di Lembaga Pendidikan tingkat SLTP (SMP) dan

SLTA (SMA) dengan program SAWEU SIKULA Kerukunan

(S2K), atas dasar gagasan Ketua FKUB, program S2K ini

sudah berjalan 2 tahun (2018 – 2019), kegiatannya: 1.

Menyampaikan sosialisasi kerukunan beragama. 2. Penegakan

disiplin belajar dan memperkuat keyakinan masing-masing

agama. 3. Sosialisasi anti Narkoba agar hidup cerdas, dan

sehat. Teknisnya setiap hari senin dari FKUB menjadi

Pembina Upacara bendera, yang dihadiri oleh semua anggota

FKUB dari Tokoh Agama masing-masing, dan Kesbangpol,

Badan Narkotika Kota Banda Aceh. Yang menjadi Pembina

bergiliran antara masing-masing Tokoh Agama, sudah

terlaksana 12 sekolah SMA/SMK dan Madrasah Aliyah di

Kota Banda Aceh. Kemudian rapat rutin bulanan membahas

isu-isu yang muncul terkait dengan hubungan antarumat

beragama. Salah satu keputusan hasil rapat terkait dengan

pengawasan pelaksanaan syariat islam di Kota Banda Aceh.

Diupayakan agar satu komando antara Kemenag, MUI, FKUB,

Kesbangpol, khusus dalam pengawasan.

Diskusi dengan pengurus FKUB sebagai aktor kerukunan diwakili dari unsur agama: Islam,Kristen, Hindu, Budha, Tokoh Adat,

Kepala Kesbangpol, dan Kabid Idiologi Kebangsaan (September 2019) di Kantor Kesbangpol Kota Banda Aceh

Page 182: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 172 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kerukunan dalam Aspek Pendidikan

Diketahui salah satu lembaga pendidikan yang berlokasi

di Gampong Mulia,bernama Sekolah Metodis berdiri pada

tahun 1968. SDM Guru sebanyak 60 orang untuk semua

jenjang Pendidikan, mulai dari jenjang TK,SD,SMP, dan

SMA Metodis, hampir 90 % termasuk guru Muslim laki-laki

dan Perempuan. Seperti Guru PPKN di SMA, Guru Sosiologi

di SMA, dan wakil Kepala Sekolah SMP beragama Islam,

Guru Bahasa Indonesia di SMP, dan di SMA. Siswa/siswinya

beragama: Budha, Kristen, dan Katolik, ada yang beragama

Islam di tingkat SMA di kelas XI jurusan IPS dan di kelas

XII. Untuk memperoleh nilai raport, bagi yang bukan agama

Kristen dapat diperoleh dari masing-masing agama mereka

melalui pendetanya atau Biksunya.

Bapak Nasrul Hanafiyah (50 tahun) sebagai wakil Kepala

Sekolah SMP Metodis, pengalaman mengajar 25 tahun bidang

studi Matematika SMP Metodis, ngajar di kelas IX dan kelas

XII di SMA. Ibu Nova Sela (25 tahun) guru Bahasa Indonesia

pengalaman mengajar 3 tahun sebagai guru kontrak ngajar

di kelas I SMP dan Kelas I SMA. Tutur guru ini tidak hanya

mengajar di bidangnya, tapi mendidik dan menyampaikan

pesan-pesan moral, karena semua agama mengajarkan

kebaikan, salah satu contoh tindakan menyontek. Hari

besar keagamaan di sekolah metodis ini diadakan acara Hari

Natal di Aula /Gereja dengan melakukan ritual keagamaan,

namun untuk hari Imlek tidak ada ritualnya. Kemudian acara

makan bersama ketika ahir semester pembagian raport. Teks

kerukunan seperti diperlihatkan dalam sebuah cerpen Vabel

(dongeng), kandungan isinya ada pesan-pesan moral. Dalam

satu kelas di SMP ada siswa/I Kristen, Katolik, dan Budha,

di SMA siswa/inya Budha, Kristen, Katolik, dan Islam. Ketika

Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pendidikan agama Kristen,

yang beragama selain Kristen tetap mereka di dalam kelas,

Page 183: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 173 ~

karena isi materi membahas tentang berbakti terhadap

orang tua sesuai agama masing-masing. Dalam hal ini tidak

hanya berlaku untuk siswa/I agama Kristen saja, akan tetapi

dapat diterapkan oleh siswa/I lainnya. Untuk nilai raportnya

diberikan oleh agama masing-masing, kecuali Kristen oleh

guru agama di sekolah.

Ibu Susi (Guru Sosiologi), pengalaman mengajar 10

tahun di SMA Metodis, ngajar di kelas X, XI, XII. Sub materi

mengajar: Realitas Sosial di dalam sub bagian ada kelompok

sosial. Kemudian kelompok sosial melahirkan masyarakat

multikultural. Dalam materi ini mengajarkan tentang toleransi

dan interaksi sosial, bahan ajar bukunya diambil dari penerbit

Erlangga, Esis, Sumber Internet. Dalam materi toleransi lebih

kepada prakteknya, karena siswa/I nya ada Islam contoh di

Kelas XI jurusan IPS (tahun 2018). Budaya sekolah sebelum

materi pelajaran dimulai ketika masuk kelas diawali dengan

membaca Doa, bagi agama lain tetap di kelas, dan mereka

berdo’a sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kemudian

kegiatan kebaktian seminggu sekali di Aula, bagi non Kristen

ikut masuk hanya mendengarkan saja, dan Gurunya pun ikut

masuk sebagai guru kesiswaan. Konsep teologisnya dibahas,

tapi bermuatan karakter. Guru Sosiologi ini memaknai

kerukunan yaitu adanya saling menghargai, menempatkan

posisi seharusnya kita berada, kesetaraan dalam semua unsur/

pihak lain. Dalam bentuk kerjasama contoh perayaan Natal,

adanya saling tolong menolong, gotong royong, ada musibah

kematian datang ke orang yang kena musibah, atau sakit. Ibu

guru ini bertetanggaan dengan warga Non Muslim sekitar 5

KK pemeluk agama Kristen, namun mereka berinteraksi satu

dengan lainnya dengan baik.

Ibu Zuriyah Guru PPKN di SMA Metodis Materi PPKN

membahas tentang perbedaan agama, jenis-jenis agama,

suku/etnis, dan saling menghormati. Sekitar 70% siswa/

inya beragama Budha di SMP/SMA. Ketika penerimaan

Page 184: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 174 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

siswa/I baru ada buku data siswa yang harus di isi dan ada

pernyataan bersedia mengikuti pelajaran Pendidikan Agama

Kristen. Buku itu diisi oleh siswa/I dan orang tua, mereka

pun mengikutinya. Materi PPKN d kelas IX ada sub materi

membahas tentang toleransi untuk saling menghargai suku

dan agama. Dalam Pendidikan agama Kristen mengajarkan

jika ada yang membencimu kasihilah musuhmu, klau ada

yang menampar pipi kirimu kasih pipi kanan mu. Materi

toleransi dalam kegiatan belajar mengajar diarahkan untuk

mengajarkan sikap sosial. Implementasinya kunjungan

ke SLB Lamboro Muslim, direspon oleh anak-anak yang

berkunjung dengan menyanyikan lagu “jangan menyerah”,

dan main bersama dengan teman-teman mereka, contoh

lainya di gampong mulia.

Sebelah kiri Ibu Guru PPKN di SMA Metodis, sebelah kanan wakil Kepala Sekolah SMP Metodis (Agama Islam)

Sosialisasi Peningkatan Toleransi Antarumat Beragama

Wali Kota Banda Aceh Hj Illiza Sa’aduddin Djamal

menekankan pentingnya harmonisasi antarumat beragama

terus terjalin dengan baik di ibukota Provinsi Aceh. Penegasan

itu disampaikan Walikota saat membuka Sosialisasi

Peningkatan Toleransi Kerukunan dalam Kehidupan

antarumat Beragama yang diadakan Badan Kesbangpol

Page 185: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 175 ~

dan Linmas Kota Banda Aceh di Aula SKB Lampineung,

Rabu (12/10/2016). “Banda Aceh sudah sejak dulu dikenal

sebagai kota yang sangat toleran terhadap keberagaman umat

beragama. Sampai saat ini Banda Aceh menjadi kota yang

paling kondusif dengan tingkat kerukunan umat beragama

yang tinggi,” ujarnya. Menurut Illiza penerapan syariat islam

di bumi Aceh juga tidak akan mengikis kerukunan dalam

kehidupan antar umat beragama, bahkan memperkuatnya.

“Karena Islam adalah agama yang rahmatan lil ’alamin,

yaitu rahmat bagi seluruh alam. Islam memberikan jaminan

keamanan kepada pemeluk agama lain. Dan hal ini telah pula

dicontohkan oleh Rasulullah SAW,” katanya. Bagi masyarakat

Aceh kata Illiza, hidup bersanding dengan beranekaragam

suku, ras dan agama, merupakan bagian dari warisan endatu.

“Kesetaraan adalah hak dan itu terus menerus diwariskan

kepada generasi selanjutnya, hingga sampailah kearifan lokal

itu membentuk peradaban kita di Banda Aceh saat ini.”

“Gereja dan Masjid Raya Baiturrahman hanya dipisahkan

oleh Krueng Aceh, dan tak pernah terjadi gesekan. Soal

kerukunan umat beragama Banda Aceh telah menjadi

rujukan bagi dunia. Hal ini harus kita jaga bersama karena

masyarakat madani itu sangat toleran, tidak membuat sebuah

gap, dan selalu memupuk kebersamaan. Itu identitas warga

Kota Banda Aceh,” ujarnya. Tak ketinggalan lliza turut

meminta tanggapan dari perwakilan siswa SMA Methodist

Banda Aceh yakni Candra dan Mesya yang juga menjadi

peserta pada acara tersebut. Candra-remaja etnis Tionghoa

kelahiran Banda Aceh menyatakan dirinya senang, merasa

aman dan nyaman tinggal di Banda Aceh. “Fasilitas kotanya

lengkap dan makanannya pun enak-enak,” timpal Mesya yang

mengaku baru lima tahun tinggal di Banda Aceh.

Wakil Ketua FKUB Kota Banda Aceh Eliaudin Gea yang

mewakili umat Nasrani juga mengakui kerukunan antar umat

beragama di Banda Aceh telah terjalin sejak lama.“Saya sudah

Page 186: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 176 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

38 tahun tinggal di Banda Aceh dan tidak pernah terjadi

konflik agama di kota ini. Kehidupan antar umat beragama

di Banda Aceh sangat harmonis,” ungkapnya. Sebelumnya

di tempat yang sama, Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas

Banda Aceh Tarmizi Yahya menyebutkan kegiatan ini

bertujuan untuk membangun karakter anak bangsa yang

berkomitmen mengawal kerukunan antar umat beragama

dalam kehidupan sosial masyarakat. Ia berharap generasi

muda dapat menjadi pionir yang tangguh dan mampu

mencegah potensi konflik berlatar belakang SARA. “Kami juga

berharap dengan kegiatan sosialisasi ini dapat membentuk

kader generasi muda pengawal kerukunan dalam kehidupan

beragama, baik antarumat beragama maupun internal umat

beragama itu sendiri. Sehingga terwujudnya persatuan

dan kesatuan bangsa dalam keberagaman,” ujarnya. Acara

bertema ”Terciptanya Kader Muda Pengawal Kerukunan

di Lingkungan Masyarakat” digelar selama dua hari, 12-

13 Oktober 2016 di Banda Aceh. Pesertanya berjumlah 90

orang siswa-siswi SMA/sederajat se-Kota Banda Aceh plus

10 guru pendamping dari masing-masing sekolah. Sementara

narasumbernya berasal dari unsur Forum Kerukunan

Umat Beragama (FKUB), MPU, Kankemenag, dan Badan

Kesbangpol dan Linmas Banda Aceh. (SA/DS)

Menurut wali kota, walau penduduk Banda Aceh

mayoritas beragama Islam dan Aceh telah menerapkan

syariat Islam sejak 2002 silam, namun tidak pernah terjadi

konflik berlatar belakang agama di Banda Aceh. “ Walaupun

ada gesekan di tengah-tengah masyarakat itu murni karena

persoalan pribadi bukan agama,” ujarnya. Masih menurut

wali kota, kunci kerukunan umat beragama di Banda Aceh

yakni segenap elemen kota telah menyadari akan kebutuhan

keamanan dan ketenangan dalam hidup bermasyarakat, yang

menjadi syarat penting dalam menyukseskan pembangunan.

“Hal ini pula yang telah diwariskan secara turun menurun

Page 187: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 177 ~

oleh endatu kami.”Hal penting lainnya Pemko Banda

Aceh menganggap sama semua warga tak pandang agama,

baik dalam pelayanan maupun kesempatan untuk bekerja dan

berkarya. Selain itu umat agama lain seperti Kristen, Budha,

dan Hindu juga sangat menghargai syariat Islam yang berlaku

di Aceh,” ungkap Aminullah. “Begitu juga dengan Muslim

yang tak pernah menyinggung atau melakukan hal yang dapat

menyakiti perasaan umat agama lain. Non Muslim di Banda

Aceh dapat beribadah dengan tenang dan bekerja tanpa

gangguan sedikit pun, termasuk dalam menggelar kegiatan

seni budaya”.

Masalah penegakan syariat Islam sambungnya, Pemko

Banda Aceh bersikap tegas. “Tak ada tempat bagi pelanggaran

syariat di Banda Aceh. Dan bagi yang tak melanggar syariat

tentu tak perlu merasa was-was atau takut untuk berkunjung

ke Banda Aceh karena kami sangat welcome terhadap tamu

yang datang, sesuai dengan moto kami “peumulia jamee

adat geutanyoe.“Jika terjadi pelanggaran syariat, misalnya

terkait maisir (judi) atau khamar (minuman keras) dan

pelakunya ada yang non Muslim, maka yang bersangkutan

dapat memilih hukum pidana yang secara umum berlaku di

Indonesia atau hukum syar’i.”Dan ternyata ada yang memilih

hukum islam karena menurut mereka setelah menjalani

hukuman dapat segera kembali beraktifitas dan berkumpul

bersama keluarga, dibanding menjalani hukuman pidana

penjara menurut hukum pidana,” ungkap wali kota.

Di tempat yang sama Bupati Blitar Rijanto mengatakan

kedatangan pihaknya ke Banda Aceh untuk mempelajari

penerapan syariat Islam dan korelasinya dengan kerukunan

hidup umat beragama. “Karena di Indonesia hanya Aceh yang

menerapkan syariat Islam,” ujarnya. “Setelah tiba di Banda

Aceh dan melihat langsung, syariat Islam yang berlaku di

Banda Aceh bisa mengayomi umat agama lain.“Rumah ibadah

dan juga sekolah-sekolah agama berdiri berdampingan tanpa

Page 188: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 178 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

ada permasalahan, seperti yang terlihat di Gampong Mulia

rumah ibadah gereja Metodis, HKBP, dan Masjid Al-Anshar,

Wihara, sangat berdekatan. Syariat Islam tegak dan kehidupan

umat beragama bisa berjalan dengan baik. “Kami sudah

berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman yang begitu indah

dan megah, dan juga Museum Tsunami Aceh yang menjadi

pengingat sekaligus wahana edukasi bencana tsunami yang

ada di Indonesia,” ungkapnya.

Pembinaan Kanwil Kemenag Aceh

Diskusi dengan Ka.Kanwil Kemenag Aceh (H. Daud Pakeh), dan Kasubag Hukum KUB (Rahmat Mulyana) terkait pola pembinaan

pemeliharaan kerukunan antarumat beragama

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh melalui

Sub Bagian Hukum dan Kerukunan Umat Beragama terus

berikhtiar merawat kerukunan umat beragama dan mencegah

radikalisme di Provinsi Aceh. Ikhtiar tersebut dilakukan

dengan berbagai kegiatan, seperti Pembinaan Deradikalisasi

dan Counter Radikalisasi bagi aktor pemelihara kerukunan

umat beragama. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Grand

Permata Hati, Banda Aceh, Rabu (14/8/2019), dan diikuti

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi

Aceh. Ketua FKUB Kabupaten dan kota se-Aceh, sejumlah

tokoh pemuka agama dan sejumlah ASN pegiat kerukunan

umat beragama. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama

Page 189: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 179 ~

Provinsi Aceh, Drs. H.M Daud Pakeh dalam sambutanya saat

membuka kegiatan pembinaan Deradikalisasi dan Counter

Radikalisasi tersebut, menyampaikan bahwa Aceh merupakan

daerah yang penuh toleran. Kerukunan umat beragama

sangat kondusif, maka hal yang baik tersebut harus dirawat

bersama. Menurutnya menjaga kebersamaan dan merawat

kerukunan adalah tanggung jawab bersama, tidak boleh

membiarkan pihak-pihak tertentu yang mencoba mengusik

kerukunan di Aceh, seperti masuknya paham radikal yang

dapat memecahbelah sesama. “Kerukunan umat beragama,

baik internal maupun antarumat beragama selama ini sudah

sangat kondusif. Dari dulu Aceh terkenal dengan toleransi,

mari kita rawat juga sama sama mencegah radikalisme di

Aceh,” ajak Kakanwil.

Daud pakeh juga menyebutkan beberapa faktor munculnya

radikalisme, yaitu intoleran pada golongan yang berbeda

pemahaman dengan golongan mereka. Cenderung fanatik,

eksklusif, tidak segan berbuat anarkis, dan berpotensi menjadi

teroris. Pada kesempatan tersebut Daud Pakeh mengapresiasi

kegiatan pertemuan para aktor Kerukunan umat beragama ini

sebagai upaya bersama memelihara Kerukunan. Menganalisa

situasi dan perkembangan yang terjadi yang berpotensi

merusak kerukunan umat. Selain itu Daud Pakeh mengajak

kepada seluruh pengurus FKUB, pegiat kerukunan umat dan

para ASN dan seluruh masyarakat untuk bisa melaksanakan

program siap siaga Nasional. Menangkal radikalisme dengan

upaya pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan

aparatur, perlindungan dan peningkatan sarana prasarana.

Pengembangan kajian terorisme, dan pemetaan wilayah

rawan faham radikalisme dan terorisme. Semua agama

punya landasan untuk umatnya memelihara kedamaian dan

kerukunan, tidak ada landasan apapun yang membolehkan

kekerasan kepada sesama manusia. Deradikalisasi berpotensi

konflik, adalah tugas kita bersama ujar Daud Pakeh di akhir

Page 190: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 180 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

materinya. Hadir pada kesempatan tersebut Ketua FKUB Aceh,

Nasir Zalba, Kasubbag Hukum dan KUB Kanwil Kemenag

Aceh Rakhmad Mulyana, dan sejumlah tamu undangan

lainnya. (Banda Aceh-LintasGAYO.co). Posted on 08/14/2019

Author lintasgayo.co Comments Off on Cegah Radikalisme,

Kemenag Aceh Gelar Pembinaan Aktor Kerukunan.

Pola Pembinaan intern dan antarumat Beragama di

Provinsi Aceh, dilakukan melalui: (1). Pola Pembinaan di

wilayah perbatasan: Singkil, Tamiang, Subulussalam, dengan

mendirikan Madrasah Aliyah berasrama. (2). Pola Dialog

Kerukunan di wilayah perbatasan Sumatera Utara dengan

Aceh, di Kabupaten Tamiang arah via Timur, Kabupaten

Langkat di perbatasan Sumatera Utara. (3). Acara ful

day membahas “Deradikalisasi dan Pencegahan Konflik

keagamaan” digandeng oleh FKUB 23 Kabupaten/Kota se

Provinsi Aceh (Ketua FKUB). Dengan menghadirkan Tokoh

Agama dari Pembimas: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha.

Menghadirkan Tokoh Pemuka Agama: Ketua FKUB dan semua

Tokoh Pemuka Agama: Islam Kristen, Katolik, Hindu, dan

Budha. (4). Dialog Kerukunan (5). Pembinaan dalam bentuk

dialog lebih berorientasi kepada masyarakat heterogen,

multikultur, dan Pluralis. (5). Misi kedua pa Menteri Agama,

meningkatkan Kerukunan intern dan antarumat beragama,

dan memperkuat Kerukunan (Daud Fakeh Kepala Kanwil dan

Rahmat Mulyana Hukum dan KUB).

Kemudian pembinaan intern umat beragama dilakukan

melalui KUA sebagai ujung tombak Kementerian Agama

dengan jumlah 274 KUA, dan Penyuluh Agama fungsional

maupun Non PNS dengan jumlah 2.192 orang. Setiap KUA

Kecamatan ada 8 Penyuluh Agama Non PNS, hampir 300

penyuluh agama yang saling kerjasama untuk mengatasi

terjadinya intoleransi. Untuk konteks yang luas lagi melalui

dayah (pesantren), Madrasah, disitu ada santri/siswa yang

tidak sedikit mengajarkan tentang Toleransi dan Kerukunan

Page 191: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 181 ~

terhadap agama lain. Dalam hal ini pun Kabid Urais (Bapak

Hamdan) telah melakukan sosialisasi tentang faham

keagamaan dan deteksi dini, ke wilayah Barat Selatan, wilayah

Aceh Selatan, Subulussalam. Aceh Singkil, Aceh tengah,

Bener Meriah, Gayo Luwes, dan Aceh Tenggara, yang belum

dilakukan sosialisasi ke kabupaten Seumeulu. Pembinaan

ini dilakukan setiap tahun, sebagai Narasumber diambil

dari UIN Ar-Raniry Aceh. Pembinaan intern umat Islam

lebih diorientasikan kepada pencegahan terhadap paham

keagamaan.

Di Kantor KUA setelah diskusi dengan kepala KUA (Bapak Ikbal) dan

Penyuluh Agama Islam (Ibu Raudotul Jannah)

Program Walikota

Program Wali Kota menjawab kembali hadir dan

mengudara di 10 stasiun radio lokal di Banda Aceh. Edisi

Oktober ini, program Wali Kota Menjawab mengangkat

tema ‘Peran Aktif Camat Dalam Mewujudkan Banda Aceh

Gemilang’. Kegiatan ini digelar Selasa (9/10/2018) di pendopo

Wali Kota Banda Aceh. Edisi Oktober ini mengundang

antusiasme warga kota, hal ini ditandai dengan banyaknya

telpon yang masuk dari warga yang ingin menanyakan

Page 192: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 182 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

sejumlah hal kepada para Camat. Sembilan (9) Camat yang

ada di Banda Aceh hadir lengkap pada kegiatan ini dan

menjawab seluruh pertanyaan dari warga melalui telpon

masuk. Hadir juga Wakil Wali Kota, Drs H Zainal Arifin dan

Asisten Pemerintahan, Bachtiar S Sos sebagai pembicara

pada edisi ‘Wali Kota Menjawab’ kali ini. Wali Kota Banda

Aceh, H Aminullah dalam kesempatan ini mengawali dengan

menyampaikan sedikit gambaran tentang Kota Banda Aceh,

di mana kota ini termasuk kategori kota sedang yang memiliki

luas wilayah administrasi kurang lebih 61,36 KM2 dengan 9

Kecamatan: Kuta Alam, Kutaraja, Baiturrahman, Syiah Kuala,

Ulee Kareng, Jaya Baru, Lueng Bata, Meuraxa dan Banda Raya.

Selain itu Banda Aceh memiliki 90 Gampong dan 17 Mukim.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, Kecamatan tidak lagi merupakan

satuan wilayah kekuasaan pemerintahan, melainkan sebagai

satuan wilayah kerja atau pelayanan. Camat berkedudukan

dibawah dan bertanggungjawab kepada Walikota melalui

Sekretaris Daerah.

Ada beberapa tugas umum pemerintahan yang

diselenggarakan oleh Camat, Mengkoordinasikan: kegiatan

pemberdayaan masyarakat, upaya penyelenggaraan

ketentraman dan ketertiban umum, penegakan peraturan

perundang-undangan. Pemeliharaan prasarana dan fasilitas

pelayanan umum, penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di

tingkat kecamatan. Membina penyelenggaraan pemerintahan

gampong dan melaksanakan pelayanan masyarakat

yang menjadi ruang lingkup tugasnya, dan yang belum

dapat dilaksanakan pemerintahan gampong. Wali Kota

juga mengatakan Camat merupakan administrator dan

penanggung jawab atas berbagai kegiatan pembangunan

dan harus mempunyai kemampuan untuk menggerakkan

masyarakat dalam melaksanakan pemerintahan yang baik.

Page 193: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 183 ~

Camat juga memiliki peranan yang cukup strategis dalam

pengawasan dan pembinaan terhadap pengelolaan dana

gampong dan alokasi dana gampong. Untuk mengeluarkan

anggaran pembangunan dan belanja gampong harus

dilengkapi rekomendasi Camat. Karena Camat yang akan

memonitoring setiap perkembangan pembangunan di

gampong. Dan juga Camat perlu menciptakan dan menguatkan

rasa persaudaraan, toleransi serta kerukunan. Selain itu

juga dapat meningkatkan kesadaran akan kesatuan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. “Tugas lain Camat juga

memiliki peran penting dalam penegakan syariat Islam dan

pemberdayaan ekonomi masyarakat. Visi misi kami dalam

mewujudkan Banda Aceh Gemilang dalam Bingkai Syariah,

peran para Camat sangatlah penting,” kata Wali Kota.

Sementara itu Wakil Wali Kota, Drs H Zainal Arifin dalam

kesempatan ini juga meminta kepada para Camat agar lebih

aktif dalam mensosialisasikan program-program Pemko

ujarnya. Dalam menyukseskan program pembangunan

yang berbasis partisipatif, Camat harus benar-benar dekat

dengan masyarakat Gampong, bahkan nomor HP Camat

harus diketahui oleh masyarakat. “Nomor HP Camat harus

diberikan kepada warga, hal ini penting karena selain ada

nomor layanan program sampah, air dan layanan pengaduan

pelanggaran syariat, warga juga bisa melapor langsung ke

camat ketika ada persoalan ditengah-tengah masyarakat,”

pinta Zainal Arifin. Turut hadir pada kegiatan ini, Sekdakota

Banda Aceh, Ir Bahagia DiplSE, para Kepala SKPK jajaran

Pemko Banda Aceh, para Imum Mukim dan para Keuchik

dalam Kota Banda Aceh. (red) (wali-news.com, Banda Aceh).

Banda Aceh juga harus menjadi tolak ukur bagi kota-

kota lainnya di Indonesia dimana penegakan Syariat Islam

bukanlah alasan untuk bersikap otoriter, represif terhadap

umat agama lainnya, untuk menindas, atau berlaku

sewenang-wenang. “Justru tujuan penegakan syariat Islam

Page 194: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 184 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

itu demi tercapainya kemashlahatan bagi seluruh kehidupan

manusia. Syariat Islam juga mengatur bagaimana pergaulan

dan penghormatan kepada ummat agama lainnya, tak peduli

seorang manusia itu beragama apa atau berasal dari suku

mana,” ujarnya.

Tradisi Kerukunan di Gampong Mulia dan Peunayong

Wilayatul Hisbah (WH)

Seiring pemberlakuan undang-undang Republik

Indonesia No 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan

keistimewaan provinsi aceh dan UU Republik indonesia

No 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi

nanggroe aceh Darussalam. Serta Perda No 5 tahun 2000

tentang pelaksanaan syariat islam maka terbentuklah sebuah

lembaga WH yang dikuatkan dengan SK Gubernur NAD No

01 tahun 2004 tentang organisasi dan tata kerja WH, yang

keberadaannya diharapkan untuk mengawasi pelaksanaaan

syariat islam di Nanggroe aceh darussalam. Di samping

itu untuk memperkuat pengawasannya di lapangan di

bentuk pula Muhasib-muhasib gampong yang terdiri dari

tokoh-tokoh muda, WH bekerja secara suka rela di tingkat

gampong masing-masing. Lembaga ini diharapkan bisa

bekerja mengawasi pelaksanaan syariat Islam di tingkat yang

paling rendah dan satu hubungan yang bersifat koordinatif,

konsultatif, dan komunikatif dengan WH yang bertugas di

Kecamatan dan Kabupaten.

Wilayatul Hisbah sebagai unit pelaksana teknis syariat

Islam, organisasi ini awalnya berada di bawah dinas syariat

Islam, namun kemudian Wilayatul Hisbah berada di

bawah institusi Pamong Praja. Lembaga ini lahir karena

kebutuhan yang sangat mendasar yang mesti ada terhadap

pelaksanaan syariat Islam. Secara umum Wilayatul Hisbah

adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Aceh untuk

Page 195: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 185 ~

menegakkan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat,

agar masyarakat dapat melaksanakan seluruh perintah Allah

SWT dan meninggalkan larangannya terutama maksiat, dan

Wilayatul Hisbah digaji oleh pemerintah Aceh.

WH mempunyai tugas yaitu: (1) memperkenalkan dan

mensosialisasikan qanun dan peraturan-peraturan lainnya

yang berkaitan dengan Syari`at Islam. Dan juga mengingatkan

atau memperkenalkan aturan akhlak dan moral yang baik

menurut Syari’at Islam kepada masyarakat; (2). mengawasi

masyarakat agar mereka mematuhi peraturan yang ada

dan berakhlak dengan akhlak yang baik yang dituntunkan

Islam. Dengan demikian petugas WH mungkin akan berada

di tempat-tempat keramaian, memberitahu dan membantu

masyarakat tentang busana yang seharusnya digunakan.

Tentang perilaku yang harus dihindarkan, tentang ketertiban

umum yang harus dijaga dan cara menghormati para

pengunjung lainnya, tentang barang yang boleh dijual dan

tidak boleh dijual. (3) melakukan pembinaan agar para pelaku

perbuatan pidana tidak melakukan pengrusakan (kejahatan)

lebih lanjut atau orang-orang yang berperilaku tidak sopan

bersedia menghentikan perbuatan tidak sopan tersebut.

Pembinaan ini dilakukan dengan cara mencatat identitas

pelaku pelanggaran yang dilakukan. Upaya pengawasan yang

sudah ditempuh kemudian memberitahukannya kepada

polisi atau penyidik. Untuk diambil tindakan lebih lanjut.,

atau melaporkannya kepada Keucik (tuha peut) gampong

setempat untuk diselesaikan dengan musyawarah (rapat atau

peradilan) adat. Setelah melaksanakan tugas utama tersebut,

jika ada pelanggaran baru WH dapat bertindak, dan tindakan

ini harus dikoordinasikan dengan korwas (koordinator

pengawas) yaitu Kepolisian. Karena upaya paksa yang

dilakukan harus dikoordinasikan, hal ini dilakukan dengan

alasan agar tidak terjadi praperadilan yang diajukan kepada

Wilayatul Hisbah.

Page 196: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 186 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Peusijuk sebagai Kearifan Lokal di Aceh

Kearifan lokal sebagai perekat kerukunan di Aceh ada yang

bersifat intern dan antarumat beragama dalam hal seremonial

keagamaan, seperti istilah bahasa adatnya “Peusijuk”. Peusijuk

dilaksanakan dalam acara momen tertentu seperti: dalam

pelaksanaan siklus kehidupan (Pesta Pernikahan, Kelahiran,

Turun tanah anak bayi, khitanan, sedekah bumi/pindah

rumah, dan acara syukuran yang mau pergi Tugas belajar,

atau bekerja di luar negeri, dan lainya). Peusijuk adalah salah

satu ritual atau prosesi adat dalam budaya masyarakat Aceh.

Tradisi ini biasanya dilakukan untuk memohon keselamatan,

ketentraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan. Tradisi

Peusijuk merupakan salah satu tradisi yang sudah ada sejak

zaman dahulu, dan merupakan salah satu warisan budaya.

Dalam perkembangannya, tradisi Peusijuk masih terus

dilestarikan dan dipertahankan hingga sekarang, Tradisi ini

biasanya sering dilakukan di hampir semua kegiatan adat

masyarakat Aceh, termasuk perayaan upacara adat Aceh,

karena tradisi Peusijuk sangat kaya akan nilai-nilai dan makna

khusus di dalamnya.

Walaupun ada beberapa orang menganggap tradisi

peusijuk ini hampir mirip dengan tradisi agama Hindu, namun

dalam segi cara, isi dan tujuannya sangat berbeda. Masyarakat

Aceh percaya, bahwa tradisi Peusijuk ini merupakan

hasil kearifan budaya lokal yang diajarkan nenek moyang

mereka. Dimana budaya dan agama harus dijalankan secara

berdampingan dengan segala kebaikan yang ada di dalamnya,

sehingga harus dihormati dan dijaga keberadaannya. Peusijuk

memiliki unsur-unsur atau nilai-nilai agama yang menjadi

ruhnya. Hal tersebut dilihat dari sisi agama bahwa Islam

memiliki konsep universalisme yang mampu menyatu dan

melebur dalam berbagai peradaban dan kebudayaan. Sejak

hadirnya Islam menyatu dan dapat diterima oleh berbagai

Page 197: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 187 ~

bangsa dan peradaban. Peusijuk diyakini oleh masyarakat

Aceh sebagai salah satu ritual yang dikaitkan dengan

kepercayaan terhadap agama. Karena peusijuk tersebut sarat

dengan nilai-nilai agama yang mesti dijalankan. Hal tersebut

dapat dilihat dari unsur-unsur peusijuk yang terdiri dari tiga

hal yaitu: Pertama; pelaku peusijuk, biasanya dilakukan

oleh para Tengku (ustadz) dan Tengku Inong (ustadzah),

yang paham agama. Kedua; momen peusijuk, di antaranya

peusijuk dilakukan ketika akan berangkat haji, pernikahan/

walimah, khitanan, turun tanah, tujuh bulanan dan lain-lain.

Ketiga; doa peusijuk, doa yang dibacakan adalah doa yang

ditujukan kepada Allah SWT, dengan menggunakan doa-

doa yang mashur dari Al-Quran dan Sunnah. Melihat ketiga

tinjauan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peusijuk sangat

sarat dengan nilai-nilai keislaman dan keyakinan terhadap

nilai-nilai Islam.sehingga ia menjadi budaya lokal yang telah

berasimilasi menjadi sebuah budaya Islam.

Dalam kegiatan seremonial siklus kehidupan di Aceh

hususnya di gampong-gampong, pelaksanaan upacara adat,

Tokoh Agama, Tokoh Adat, dan Tokoh Masyarakat (Keuchi)

duduk bersama menghadiri upacara adat tersebut. Namun

ketika dimohon untuk memberikan sambutan terlebih dahulu

adalah Tokoh Agama untuk menyampaikan sambutan,setelah

itu baru Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat (Keuchi). Acara

Peusijuk yang bernuansa Kerukunan dalam siklus kehidupan

yaitu: acara Pesta pernikahan, Khitanan, Kelahiran, dan

Kematian, Pindah Rumah.

Sentral UPPKS Gampong Mulia/Ibu -ibu PKK

Kegiatan ibu-ibu PKK dalam bentuk kegiatan Sentral

UPPKS bekerjasama dengan Lakpesdam Kota Banda Aceh.

Kegiatan PKK ini membuat kerajinan tangan yang terbuat

dari bahan saten. Jenis kerajinan itu dalam bentuk: 1.

Payung Aceh: Payung Linto untuk penganten perempuan

Page 198: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 188 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dengan motif pintu aceh, dan payung untuk orang meninggal

dengan motif Kaligrafi lapadz Lailahaillallah. 2. Seuhap untuk

souvenir (bingkai hiasan dinding). 3. Sange untuk hantaran

pengantin Dara Baro (calon mempelai wanita) dari Linto Baro

(calon mempelai laki-laki). Jenis kerajinan ini pun digunakan

ketika ada acara momen tertentu seperti peringatan Maulid

Nabi Muhammad SAW, acara Tung Dara Baro untuk

munduh mantu, dan untuk acara-acara besar keagamaan

lainya. Cirikhas makanannya dalam acara seremonial: kuah

blangong, pliu, bebek masak merah, asam keucung (asam

pedas). Sumber dana diperoleh dari ADG (Anggaran Dana

Gampong), BHR (Bagi Hasil Retribusi) sekitar 19 juta alokasi

dananya (tahun 2018).

Kegiatan ini dilaksanakan oleh Ibu-ibu rumah tangga

usia 30 – 60 tahun. Dalam kegiatannya dibentuk 2 kelompok,

setiap kelompok terdiri dari 10 orang. Gampong Mulia terdiri

dari 5 Dusun: 1. Dusun Teuku Dilepu. 2. Teuku Laksamana. 3.

Pocut meurah insan. 4. Malahayati. 5. Tgk diblang. Tiap dusun

terdiri dari 5 orang utusan, perekrutannya siapa saja yang

bersedia untuk ikut di dalam keanggotaan UPPKS. Kegiatan

UPPKS ini bertujuan untuk usaha peningkatan pendapatan

Kesejahteraan Keluarga Sejahtera.. Dalam peningkatan

kualitas UPPKS ini dari pihak pemberdayaan perempuan

dilakukan pelatihan selama 4 hari di Gedung serba guna

Masjid Al-Anshar, dari 30 orang diseleksi menjadi 20 orang.

Page 199: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 189 ~

Kegiatan yang bernuansa kerukunan antarumat beragama

yaitu dalam acara momen tertentu, seperti: Hari Raya Idul

Fitri, Idul Adha, acara 17 Agustusan, Natalan, Imlek, Gong

Xi Pacai. Selain itu ada kegiatan Posyandu untuk anak-anak

balita dari semua penganut agama yang ada di Gampong

Mulia, mereka berbaur baik anak-anak balitanya, maupun

pelayanannya oleh Ibu Kechi dan tenaga lainnya. Kemudian

lomba senam (usia muda – lansia) juara II dan III, tingkat

Kota Banda Aceh. Lomba PKK juara I tentang Pokja I-IV,

lomba PKDRT (pencegahan kekerasan dalam rumah tangga)

juara I, lomba marhaban juara II, lomba masak mie untuk

ibu-ibu. Lomba hias hidangan Maulid Nabi dapat juara I

tingkat Kota Banda Aceh, dengan menggunakan alat-alat

dasarnya: Talam, Kudung, Kain Kuning, ditutup dengan

SEUHAP. Arisan bulanan di gampong mulia semua unsur

agama. Lomba Pidato Pemuda Lintas Agama dengan tema

“ Kebhinekaan dan Wawasan Kebangsaan”, lomba putsal

yang diikuti oleh pemuda lintas agama. Diselenggarakan oleh

Kemenag Kota Banda Aceh kerjasama dengn FKUB, sebagai

pelaksana adalah Gampong Mulia. Semua jenis kegiatan

bernuansa kerukunan, kecuali Marhaban, Maulid Nabi SAW,

dan Nuzulul Qur’an.

Fardu Qifayah

Kegiatan yang terkait dengan sosial keagamaan ada

istilah bahasa Fardu Qifayah yaitu: kegiatan ketika ada warga

Muslim yang meninggal untuk: memandikan, menyolatkan,

menguburkan, dan mendoakan, ditangani oleh 5 orang

perempuan dan 5 orang laki-laki. Kelompok fardu qifayah

ini dilatih oleh pihak Kemenag dan Dinas Syariat Islam,

selama 2 hari di Aula Masjid Al-Anshar Gampong Mulia.

Narasumber diambil dari Dinas Syariat Islam, Kamenag

Kota Banda Aceh, Kepala KUA dan tokoh Agama Gampog

Mulia. Materi yang disampaikan dalam pelatihan: membahas

Page 200: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 190 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

tentang seputar Zenazah, dan ketentuan-ketentuan dalam

memandikan, mengkapani, menyolatkan, dan menguburkan.

Adapun kriteria menjadi kelompok pengurus Fardu Qifayah:

mereka harus memiliki kemampuan di bidang ini, memiliki

pengetahuan agama yang cukup, dan menjaga lisannya,dengan

berperilaku baik (berakhlak). Setiap bulannya dapat insentif

per orang Rp. 200 ribu, dialokasikan dari dana anggaran dasar

gampong. Pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Syariat

Islam dilakukan selama 4 hari di Hotel, 2 hari untuk teori dan

2 hari untuk prakteknya bagaimana tata cara prosesi Fardu

Qifayah dari mulai memandikan hingga mengkuburkan ( Ibu

Rahmi Ketua UPPKS, dan Ibu Keuchi Gampong Mulia).

Fardu Qifayah dilakukan tidak hanya di gampong mulia

setiap gampong di Kecamatan Kuta Alam ada kelompoknya,

dan sifatnya incidental. Hanya perbedaannya dalam hal

sumber dana yang dialokasikan untuk praktek Fardu Qifayah

di tiap-tiap gampong, dan jumlah orang dalam kelompok

fardu qifayah. Bagi umat non Muslim yang meninggal sebelum

dimakamkan ada proses ritual ditempatkan di rumah duka,

satu/dua hari baru dimakamkan, tempat pemakaman non

Muslim di Mata’i Ketapang.

Kekuatan dalam Pemeliharaan Kerukunan

1. Tercatat dalam sejarah Aceh yang mayoritas Penganut

Islam, menghargai Penganut agama Non Muslim, dan

tidak pernah terjadi konflik yang berlatar belakang

agama/SARA. Hubungan antarumat Beragama sampai

saat ini (penulis di lapangan September 2019), terjalin

sangat harmonis atas dasar prinsip Toleransi dan saling

menghormati. Dengan menjunjung tinggi Nilai-nilai

Syariat dan Kearifan Lokal sebagaimana Visi-Misi Kota

Banda Aceh. Terjalinnya hubungan sosial Budaya,

ekonomi, dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang

melibatkan seluruh unsur Agama.

Page 201: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 191 ~

2. Dinas Syariat Islam (DSI). Dalam konteks kerukunan

umat beragama DSI memiliki peran yang fungsional

dengan dua pola pembinaan yaitu: Pertama Pembinaan

yang bersifat substantif mencakup semua aspek

pelaksanaan Syariat Islam melalui Penyuluhan, Dakwah,

dan Pengawasan Syariat Islam. Kedua; pembinaan yang

bersifat normatif mencakup tugas dan misi, pemantapan

toleransi, wawasan beragama dan bermasyarakat,

pembinaan kerukunan umat beragama dalam kehidupan

masyarakat Aceh yang pluralistik (M.Husein A. Wahab,

204: 66).

3. Pada prinsipnya Syariat Islam yang berlaku di

Aceh menganut dua prinsip dasar: Pertama, Azas

personalitas, yaitu hukum Islam hanya berlaku bagi

pemeluk agama Islam, sedangkan bagi yang lainnya

diwajibkan menghormatinya dengan ketentuan: a).

apabila perbuatan jinayah dilakukan oleh dua orang atau

lebih secara bersama-sama dan di antaranya ada yang

beragama bukan Islam, maka pelaku yang beragama

bukan Islam dapat memilih dan menundukan diri secara

suka rela pada hukum jinayat. b). Bagi non Muslim yang

melakukan perbuatan pidana yang tidak diatur dalam

KUHP terhadapnya berlaku hukum jinayah (Pasal 129

UUPA). Kedua; Azas territorial yaitu Syariat Islam hanya

berlaku dalam lingkup Provinsi Aceh. Bagi siapa saja

penduduk Aceh yang melakukan perbuatan pidana di

luar Aceh berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP).

4. Sebagai daerah yang mendeklarasikan Syariat Islam

secara formal, Pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat

Islam (DSI) telah memprogramkan kerukunan umat

beragama dalam 5 (lima) prinsip pokok yaitu: Sinergitas,

Akumulatif, Konfrehensif, Totalitas, dan Inklusif (SAKTI).

Undang-undang Pemerintahan Aceh juga menegaskan

Page 202: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 192 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

bahwa Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/

Kota harus menjamin kebebasan, membina kerukunan.

Menghormati nilai-nilai yang dianut oleh umat beragama

dan melindungi semua umat beragama sesuai agama yang

dianutnya (Pasal 127 ayat.2). Ketentuan ini memperjelas

posisi pemerintah Aceh dalam memperlakukan agama

non Muslim sebagai mitra bukan lawan atau sesuatu lain

yang kontraproduktif.

5. Pendekatan dialogis. Pendekatan dialogis ini dapat

dilakukan secara formal maupun informal. Secara formal

biasanya dilakukan oleh lembaga, wadah atau forum-

forum formal dengan mengangkat tema-tema tertentu

yang dipublikasikan melalui media massa atau elektronik.

Sementara dialogis non formal dapat dilakukan melalui

kegiatan sosial keagamaan yang memiliki kaitan dengan

persoalan-persoalan kerukunan umat beragama. Saat ini

telah ada wadah kerukunan umat beragama yang terdiri

dari beberapa lembaga yaitu Majelis Permusyawaratan

Ulama (MPU). Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI),

Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), Parisada

Hindu Dharma (PHD), dan Perwakilan Umat Budha

Indonesia (WALUBI (lihat ralat di Makalah seminar).

Kelemahan dalam Pemeliharaan Kerukunan

1. Aturan tentang pendirian rumah ibadah: dinilai menjadi

salah satu sumber pemicu konflik horizontal antarumat

beragama di Banda Aceh. Hal ini dikarenakan terdapat

perbedaan persyaratan sebagaimana yang tertuang dalam

Surat Keputusan Bersama dua Menteri (SKB) No. 9 dan

8 Tahun 2006, dan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 25

Tahun 2007 tentang pendirian rumah ibadah di Aceh.

2. Akses Pendidikan Agama: Akses Pendidikan agama

termasuk Universitas masih menjadi kendala dan isu

penting yang harus dikelola dengan baik oleh para

Page 203: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 193 ~

pembuat kebijakan. Saat ini mereka (Murid, Siswa dan

Mahasiswa) tidak mendapatkan Pendidikan Agama

secara formal dari seorang guru dengan keyakinan yang

sama (seiman).

3. Ego Sentris dan Fanatisme Agama: pemahaman agama

yang terlalu dinilai dapat memicu ketidakharmonisan

dan merusak tatanan kerukunan antarumat Bergama di

Banda Aceh.

4. Penghakiman (Judgment) tentang Fashion Islami versus

tidak Islami: setelah penerapan Syariat Islam perubahan

pada fashion (gaya berbusana) terutama untuk kalangan

perempuan sangat jelas melihat apakah mereka

mengenakan jilbab atau tidak. Kondisi ini jelas berbeda

dengan masa 10 tahun yang lalu di mana masyarakat

Muslim Aceh sendiri banyak yang berpakaian tidak

Islami.

5. Peran media yang dominan memberikan tentang

pelanggaran Qanun: Media dinilai memiliki peranan

penting dalam menciptakan kerukunan antarumat

beragama dan juga sebaliknya menciptakan disharmoni

antarumat beragama. Dalam konteks penerapan Syariat

Islam banyak pemberitaan media yang mengekspos

tentang eksekusi cambuk tanpa disadari menciptakan

wajah Aceh sebagai daerah menakutkan. Memberi kesan

hak-hak Non Muslim terpinggirkan dan menciptakan

wajah Islam di Aceh yang menyeramkan.

6. Kurangnya fasilitas pendukung /penunjang dan sumber

dana yang memadai untuk FKUB.

Analisis Hasil Penelitian

Budaya Adat Aceh

Masyarakat Aceh terkenal sangat religius, dan memiliki

budaya adat yang identik dengan Islam. Kehidupan budaya

adat Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi

Page 204: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 194 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek

kehidupan masyarakat. Masyarakat Aceh menyesuaikan

praktek agama dengan tradisi atau adat istiadat yang berlaku,

hal ini terlihat dalam kehidupan sosial budaya Aceh. Sebagai

hasilnya Islam dan budaya Aceh menyatu, sehingga sukar

dipisahkan. Di sini kaidah syariat Islam sudah merupakan

bagian dari adat atau telah diadatkan. Sebaliknya adat

merupakan bagian dari Islam, atau yang telah diislamkan.

Dalam kaitan dengan hal tersebut, masyarakat Aceh juga

berlaku ketentuan bahwa adat itu ada dua, pertama,

ketentuan Allah SWT yang tidak berubah sepanjang masa dan

kedua adat kebiasaan masyarakat berdasarkan syariat Islam.

Islam dan budaya adat Aceh menjadi satu paket yang tak

terpisahkan. Keduanya menyatu dan sangat berkaitan erat

dalam kehidupan masyarakat Aceh. Budaya adat Aceh sangat

kental dengan Islam. Sebaliknya Islam tidak bisa dipisahkan

dari budaya adat Aceh ” ujar H. Badruzzaman Ketua Majelis

Adat Aceh (MAA), saat mengisi pengajian rutin Kaukus

Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi

Luwak, Jeulingke, Rabu (3/10) malam. Menurutnya budaya

diistilahkan dengan cultur, hal itu merupakan hasil buah

pikir manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan, tempat dan

waktu, dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan. Karena

itu budaya yang dihasilkan manusia di dunia ini ada yang

berbentuk sekuler, marxis, atheis, materialis, sosialis dan

sebagainya. Hasil buah pikir itu menjadi adat kebiasaan yang

pada akhirnya menjadi sebuah kebudayaan.

Ketua MAA yang akrab disapa Pak Bad ini lebih sepakat

dengan istilah budaya adat Aceh bukan budaya Aceh. Itu

penting karena istilah itu memberi dampak filosofis, historis

dan cita-cita kita sebagai orang Aceh. Budaya adat Aceh

mengandung nilai-nilai religius dalam bingkai syariat Islam.

Jadi nilai syariat Islam itu mutlak harus dijiwai dalam budaya

adat Aceh. “Karenanya kita punya tamsilan adat dengon

Page 205: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 195 ~

hukum lagee zat dengon sifeut. Jadi saling ada keterikatan

antara adat dengan syariat, bukan seperti budaya yang

diistilahkan dengan culture pada umumnya,” ujarnya.

Kita punya nilai khusus dan istimewa terkait dengan

syariat Islam. Karena itu budaya kita tidak boleh lepas dari

syariat. Seperti setiap pekerjaan harus diniatkan Lillahi

ta’ala dan harus dimulai dengan membaca Bismillah, hal ini

tidak ada di budaya lain. Makanya tidak pernah ada orang

main judi dibacakan doa di situ. Sedang di semua acara kita

lainnya diharuskan untuk memulainya dengan Bismillah.

“Budaya adat Aceh bukan hanya peusijuk-peusijuk orang,

dalam peusijuk juga ada intinya yang bernilai syariat Islam

yaitu baca bismillah. Value atau nilai adat tidak boleh hilang,

nilai yang berlandaskan syariat tidak boleh berubah. Seperti

berpakaian, valuenya tutup aurat, model terserah apa saja,

intinya tutup aurat tercapai, ujarnya.

Badruzzaman Ismail juga mengungkap nilai-nilai filosofis

yang terkandung dari budaya adat Aceh sesuai dengan isi

Alquran Surat Al-Hujurat Ayat 13 agar manusia saling kenal

mengenal. “Kita ini hidup bersuku-suku dan berbangsa-

bangsa untuk saling mengenal satu sama lain dengan satu

tujuan mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan itu tercipta

dengan kita sesama saling melengkapi satu sama lain. Kalau

Al-Quran mengistilahkannya dengan Lita’arafu atau untuk

saling kenal mengenal. Kalau saya menerjemahkan lita’arafu

itu sebagai pasar. Dimana di pasar itu menghasilkan karya-

karya manusia, seperti menghasilkan kue bhoe, timphan,

termasuk alat-alat canggih saat itu untuk kebahagiaan

manusia di dunia. Dan kita Muslim tentu untuk kebahagiaan

dunia dan akhirat. Harus ada keseimbangan antara dunia dan

akhirat,” ungkapnya.

Badruzzaman juga mengajak masyarakat Aceh terutama

generasi muda untuk dapat mempromosikan karya dan

budaya yang kita miliki dengan teknologi informasi. Bahwa

Page 206: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 196 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

masyarakat Aceh sangat kaya akan nilai-nilai seni, sejarah

dan budaya. Ini juga bagian dari syariat karena memberikan

kebahagiaan untuk orang lain selama tidak bertentangan

dengan Islam. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang

membangun pilar-pilar budayanya. Bagaimana itu bisa terjadi

kalau kita tidak mengenal sejarah bangsa kita sendiri. Dari

segi kebutuhan juga manusia butuh akan budaya dan hiburan.

Acara-acara budaya seperti ini juga bisa menjadi benteng bagi

kita dari pengaruh budaya-budaya luar. Ia perlu diekspos ke

luar agar menjadi edukasi bagi generasi ke depan bahwa Aceh

kaya akan budaya sendiri yang bersendikan syariat dan tidak

terpengaruh dengan budaya asing,” terangnya. Disebutkannya

budaya adat Aceh unggul dengan syariat, sehingga jangan

sampai kita orang Aceh minder dengan adat bersendi syariat

ini.“Banggalah dengan syariat Islam yang ada dalam budaya

adat Aceh, karena dengan syariat Islam kita merasa aman,

ujarnya.

Ia juga berharap masyarakat tidak selalu menyalahkan

globalisasi dan modernisasi menggerus budaya Aceh, karena

sebenarnya siapa yang kuat mempengaruhi, maka budaya

dia yang akan unggul. Seperti Tari Saman misalnya, karena

kuat promosi dan dilestarikan dengan baik, maka sekarang

Tari Saman ini sudah mengglobal dan ditampilkan di seluruh

dunia dalam berbagai momen, sehingga menjadi kebanggaan

Aceh tentunya. “Orang Aceh terkadang kita lihat suka

merendahkan adat budaya sendiri, dan lebih suka mengambil

budaya lain. Makanya mulai sekarang anak-anak muda kita,

masukkan budaya adat Aceh yang lebih unggul dengan syariat

ini ke youtube, facebook dan instagram dan lainnya agar

mengglobal ke seluruh dunia.

Implementasi Syariat Islam VS Kerukunan di Aceh

Pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat dikatakan unik

jika dibandingkan dengan daerah lain. Salah satu keunikan

Page 207: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 197 ~

yang membedakan dengan daerah lain adalah kesadaran

adanya keanekaragaman agama yang dirasakan masyarakat

Aceh yang selalu hidup berdampingan dengan syariat Islam

sebagai agama mayoritas. Sebelum Islam datang, pengaruh

Hindu dan Budha diketahui mewarnai sebagian tradisi

masyarakat Aceh. Pengaruh kedua agama besar tersebut

tidak pernah dirasakan oleh kawasan Timur Tengah, bahkan

relatif tidak berkembang, baik ditinjau dari aspek sosiologis,

psikologis maupun kultural. Perlahan namun pasti tradisi

Hindu dan Budha mulai pudar bersamaan lahirnya kerajaan

Islam yang dapat dikatakan berhasil sepenuhnya menghapus

pengaruh budaya Hindu dan Budha dalam kehidupan

masyarakat Aceh. Saat ini Aceh sebagai daerah yang memiliki

kewenangan dalam menjalankan Syariat Islam secara

formal mendapat landasan kuat dalam sejumlah Peraturan

Perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 44

Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh

Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Syariat Islam selalu berinteraksi dengan kepentingan

lokal dan para pemeluknya. Tidak heran hasil interaksi

tersebut menggambarkan pola dan tingkah laku intern umat

beragama maupun antarumat beragama. Sikap seperti ini

turut mewarnai pelaksanaan syariat Islam sebagai agama

mayoritas di Aceh. Walaupun demikian dinamika sikap

keberagamaan umat beragama berjalan dengan baik tanpa

merusak hubungan antar pemeluk umat beragama. Sesuai

dengan prinsip dasar ajaran Islam, sikap toleransi, dan saling

menghargai yang terdapat dalam Al-Qur’an dipraktikkan

Nabi Muhammad menjadi warisan sejarah yang masih tetap

dipertahankan sampai sekarang. Secara filosofis ajaran

yang terkandung dalam sikap toleransi adalah setuju dalam

perbedaan, agree in disagreement. Karena itu ajaran toleransi

agama mencakup dua bidang kajian. Toleransi dalam

hubungan intern suatu agama, seperti sekte, mazhab, aliran

Page 208: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 198 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

atau golongan dalam suatu agama disebut dengan kerukunan

intern agama. Selanjutnya toleransi antarumat beragama,

dalam kesehariannya digunakan istilah kerukunan antarumat

beragama. Disini bukan berarti ajaran toleransi mengakui

semua agama adalah benar, tetapi lebih kepada pengakuan

sikap menghargai dan menghormati cara pandang agama lain

menurut keyakinan pengikutnya.

Secara khusus bentuk perhatian Pemerintah terhadap

kerukunan antarumat beragama telah diatur dalam Pasal

127 Ayat (2). Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor

11 Tahun 2006 yaitu “Pemerintah Aceh dan Pemerintah

Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan.

Menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat

beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama

yang dianut. Aturan lainnya juga mengacu pada Peraturan

Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor

9 Tahun 2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan

Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam

Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan

Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah

Ibadat. Terdapat pula Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh

Darussalam Nomor 16 Tahun 2007 tanggal 30 April 2007

tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat

Beragama, Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam

Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah

Ibadah dan Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2001

tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan

Umat Beragama. Sejumlah aturan tersebut menjadi pedoman

bagi Pemerintah Aceh dalam upaya mengatur aspek sosial

hubungan antarumat beragama yang senantiasa sangat

diperlukan. Disebabkan munculnya sejumlah faktor non-

teologis yang dapat menimbulkan ketegangan antar pemeluk

agama.

Page 209: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 199 ~

Di Aceh hubungan sosial kerukunan antarumat beragama

(bukan persoalan teologis agama Non Muslim), haruslah

mendapat perhatian serius mengingat adanya praktek

penyiaran agama tanpa seizin Pemerintah Daerah. Pendirian

rumah ibadah ilegal bahkan keterlibatan pihak asing dalam

memberikan bantuan kemanusiaan kepada agama Non

Muslim. Faktor inilah yang sering menjadi cikal bakal lahirnya

konflik antarumat beragama. Oleh karena itu kehadiran kedua

peraturan Gubernur tersebut diharapkan dapat menjaga

ketertiban dan ketenteraman hubungan antarumat beragama.

Namun dalam kenyataannya Peraturan Gubernur tersebut

masih belum banyak diketahui di kalangan masyarakat Aceh

khususnya bagi umat Non Muslim. Kedua Peraturan Gubernur

tersebut dirasa masih sangat lemah dalam hal penegakan

hukum terhadap timbulnya ketidakharmonisan hubungan

antar kelompok sosial dan umat beragama, sehingga dapat

memicu terjadinya konflik antarumat beragama dalam

masyarakat Aceh, khususnya masyarakat di Kabupaten

Singkil terkait dengan pendirian rumah ibadah.

Qanun ini secara khusus mengatur tentang Pedoman

Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian

Rumah Ibadah. Ketiga ruang lingkup tersebut perlu diatur

demi terciptanya kerukunan umat beragama di Aceh.

Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1.

Terciptanya kerukunan antarumat beragama demi menjaga

ketertiban umum. 2. Terjalin hubungan yang sinergis

antarumat beragama untuk membahas berbagai kendala

yang dihadapi dalam menciptakan kerukunan antarumat

beragama. 3. Tertata secara baik tempat ibadah umat beragama

demi terciptanya kenyamanan pelaksanaan ibadah masing-

masing pemeluk agama. 4. Terbangunnya rasa tanggung

jawab bersama, baik oleh masyarakat maupun pemerintah

Page 210: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 200 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam rangka

pemeliharaan kerukunan umat beragama.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh,

Yudi Kurnia SE, mendukung rencana menjadikan Kecamatan

Kuta Alam sebagai model kawasan keberagaman. Hal ini

mengemuka dalam diskusi yang dilaksanakan Acehneses

Civil Society Task Force (ACSTV) bersama Sare School dan

Hakka, Selasa, 10 September 2013 di Tower Cafe Premium,

Simpang Lima, Banda Aceh. Yudi Kurnia mengatakan, model

kawasan keberagaman bertujuan untuk melihat pandangan

masyarakat sipil tentang proses penguatan semangat toleransi

keberagaman, keberlanjutan damai dan stabilitas keamanan,

serta mencegah benturan dan kekerasan komunal. Dengan

berlakunya reusam gampong maupun qanun dalam pranata

kehidupan sosial di Banda Aceh, sampai saat ini kerukunan

beragama tetap terpelihara dengan baik, kata Yudi Kurnia.

Ketua DPRK Banda Aceh ini menilai, rencana kawasan

model keberagaman itu cukup menarik. Bila gagasan ini bisa

diwujudkan, pihak dewan siap membantu melalui pembuatan

payung hukum, bisa berupa Perwal, qanun, maupun reusam.

“Kita patut memberi apresisasi kepada warga Gampong

Mulia, mereka bisa hidup berdampingan meski beda ras,

agama, dan suku,” lanjut Yudi Kurnia. Yudi Kurnia berpesan

bila ada pelanggaran syariat di tengah masyarakat yang

majemuk tersebut, pihak gampong bisa membuat sebuah

aturan semisal reusam. “Tapi tidak boleh berbenturan dengan

peraturan yang sudah ada. Aturan-aturan yang dibuat harus

disosialisasikan kepada masyarakat,” tegasnya. Sementara

untuk biaya pelaksanaan penegakan hukum di tingkat

gampong tersebut Yudi Kurnia mengatakan, karena belum ada

qanun, akan diupayakan dalam bentuk Perwal dulu. “Sejauh

ini permasalahan seperti anggaran untuk biaya mengamankan

tersangka yang bermasalah belum ada qanunnya, kita bisa

upayakan dalam bentuk Perwal dulu,” pungkasnya.

Page 211: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 201 ~

Penutup

Kehidupan multikultural di Aceh ini merupakan

perpaduan antara teori konsensus (dimensi budaya) dan

teori konflik (dimensi struktural). Menurut Kakanwil

pemberlakuan Syariat Islam di Aceh, tidak mengganggu

kehidupan kerukunan antarumat beragama di Provinsi Aceh.

Syariat Islam diberlakukan khusus kepada penduduk yang

beragama Islam. Secara umum ada dua kebijakan penting

Kementerian Agama dalam pemeliharaan kerukunan umat

beragama, yaitu: 1) Memberdayakan masyarakat, kelompok-

kelompok agama, serta pemuka agama untuk menyelesaikan

sendiri masalah kerukunan umat beragama (KUB), dan 2)

Memberikan rambu-rambu dalam pengelolaan kerukunan

umat beragama ujarnya. Sejalan dengan tugas dan fungsi

Kementerian Agama di bidang KUB ini, sampai saat ini sudah

dilakukan kegiatan dan program Pembinaan Kerukunan

Umat Beragama di Provinsi Aceh dengan fokus pada ; 1)

Peningkatan pemahaman keagamaan yang moderat kepada

umat beragama; 2) Perubahan paradigma pendekatan

dalam membangun kerukunan antarumat beragama dari

pendekatan formal, struktural menjadi pendekatan humanis-

kultural; 3) Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat

Beragama (FKUB); 4) Dialog intern umat beragama; 5) Dialog

antarumat beragama; 6) Dialog antara umat beragama dengan

pemerintah; 7) Peningkatan wawasan multikultural bagi

tokoh agama, pemuka agama, guru, dan tokoh masyarakat; 8)

Dialog pemuda lintas agama.

Adapun upaya-upaya lainya yang telah dilakukan

Kementerian Agama Aceh dalam mendorong peningkatan

kerukunan umat beragama di Provinsi Aceh, yaitu;

Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif.

Dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan

agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi

Page 212: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 202 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pembinaan kerukunan hidup intern dan antarumat

beragama. Menumbuhkan kesadaran terhadap masyarakat

bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan

bermasyarakat. Menumbuhkan pengertian dan pemahamaan

kepada umat non Muslim, bahwa pemberlakuan syariat

Islam di Aceh hanya untuk umat Muslim. Menurut Kakanwil,

untuk menjaga dan memelihara masa depan Kerukunan

Umat Beragama di Provinsi Aceh dibutuhkan; 1) Kerjasama

yang intensif antara tokoh tokoh umat beragama dengan

pemerintah; 2) Kerjasama dan koordinasi yang selaras antara

instansi pemerintah terkait dalam pemberdayaan kerukunan

umat beragama; 3) Kesadaran umat beragama untuk saling

menghargai perbedaan dan toleransi antarumat beragama.

Dalam pertemuan ini disinggung juga tentang penyegelan

17 gereja dan undung-undung di Kabupaten Aceh Singkil.

Peserta pertemuan tersebut menyayangkan penyegelan gereja

dan undung-undung di Aceh Singkil. Seharusnya ini tidak

perlu terjadi, jika dari awal semua pihak bermusyawarah dan

bermufakat tentang msalah ini. Kakanwil Kementerian Agama

Aceh dan forum pertemuan tersebut menyimpulkan bahwa

permasalahan ini adalah persoalan penertiban rumah ibadat,

dan bukan perselisihan antarumat beragama di Kabupaten

Aceh Singkil. Perlu langkah bijak dengan melibatkan semua

pihak persoalan di Aceh Singkil ini. Peserta pertemuan

tersebut juga meminta dan menghimbau kepada seluruh

umat beragama di Provinsi Aceh untuk tetap menjaga dan

memelihara Kerukunan Hidup Antarumat Beragama, Intern

Umat Beragama dan Kerukunan Umat Beragama dengan

pemerintah.

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh,

memfasilitasi pertemuan stakeholder penguatan Kerukunan

Hidup Umat Beragama di Provinsi Aceh. Pertemuan yang

digagas Kakanwil Kemenag Aceh ini dihadiri unsur Muspida

dan Muspida Plus Aceh, Dinas/Instansi terkait, Badan

Page 213: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 203 ~

Kesbangpol dan Linmas Aceh. Biro Isra Setda Aceh, pimpinan

Ormas Keagamaan, Forum Kerukunan Umat Beragama

(FKUB), Para Kepala Bidang dan Pembimas pada Kanwil

Kemenag Aceh: Pembimas Islam, Hindu, Budha, Katolik dan

Kristen, dan mewakili Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)

Aceh. Kakanwil Kementerian Agama Aceh Drs. H. Daud

Pakeh, menjelaskan bahwa saat ini, secara umum kondisi

Kerukunan Umat Beragama (KUB) di Provinsi Aceh berjalan

dengan baik dan harmonis. Bahkan, sejarah menjelaskan

sejak zaman dahulu belum pernah terjadi konflik keagamaan

yang serius antar umat beragama di Provinsi Aceh. Umat non

Muslim dapat hidup berdampingan dengan aman dan damai

dengan masyarakat Aceh yang mayoritas. Saat ini masyarakat

Aceh hidup dalam semangat multikultural yang didasari

atas prinsip kesetaraan, toleransi, dan saling menghormati.

Selama ini tidak pernah dijumpai konflik antar etnik maupun

konflik agama di Aceh.

Kearifan lokal sebagai perekat kerukunan di Gampong

Mulia maupun Gampong Peunayong, ada aturan dalam

Bahasa Adat yaitu Reusam Gampong yang mengatur tatacara

kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan. Dan berlaku

untuk semua gampong, baik itu yang menyangkut Kerukunan

umat beragama, maupun sangsi-sangsi yang melanggar aturan

dalam kehidupan umat beragama. Seperti diungkapkan

Sekretaris Asokubai Saiful Banta, saat para Keuchik dalam

Kecamatan Baiturrahman ini melakukan pertemuan dengan

Pjs Walikota Banda Aceh Drs. T. Saifuddin TA M.Si di Ruang

Rapat Walikota Banda Aceh. Saiful Banta yang juga tercatat

sebagai Keuchik Setui mengatakan persoalan pelanggaran

Syariat Islam di Kota Banda Aceh tidak akan selesai kalau

hanya mengandalkan Aparat Penegak Hukum ataupun

Pemerintah Kota semata. Akan tetapi dalam hal ini perlu

melibatkan masyarakat Gampong dalam mengatasi persoalan

ini. Masyarakat yang lebih mengerti seluk-beluk pelanggaran

Page 214: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 204 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

syariat karena kasus ini sering terjadi di Gampong-gampong

seperti pada tempat kos-kosan” jelasnya.

Dalam hal ini sangat diperlukan aturan yang jelas

semacam Reusam Gampong untuk mengatur persoalan sewa-

menyewa rumah kos, ruko, cafe maupun tempat-tempat usaha

lainnya untuk mengatasi persoalan ini. Karena pelanggaran

syariat ini mayoritas terjadi di tempat-tempat seperti itu. “Hal

ini terjadi karena tidak ada pengelola yang mengawasi tempat

tersebut setelah disewakan oleh pemiliknya. Jadi perlu diatur

Reusam yang sedemikian rupa sehingga tidak ada celah atau

peluang bagi para penyewa untuk menjadikan tempat-tempat

tersebut sebagai lokasi berkhalwat” ujarnya yang diamini oleh

Keuchik-Keucik Asokeubai lainnya.

Pembahasan tentang kearifan lokal dalam konteks studi

Islam akan lebih menekankan pada pendekatan sosiologis

dan antropologis yakni dengan melihat Islam sebagai gejala

budaya dan gejala sosial bukan hanya memaknai agama

sebagai dogma dan doktrin. M. Amin Abdullah mengatakan

bahwa agama tidak selalu harus didekati dengan pendekatan

normatif, akan tetapi pendekatan historis menjadi sebuah

keharusan. Pada konteks inilah Islam berkelit kelindang

dengan budaya dan sejarah, sehingga memunculkan mozaik

Islam baru dan bercorak dan berwatak lokal dalam hal ini

Islam dalam warna budaya Aceh. Sejalan dengan itu dalam

konteks hukum, pendekatan budaya (cultur approch) dalam

mewujudkan keamanan dan ketertiban ini sesuai dengan

aliran hukum sociological jurisprudence bahwa hukum

yang baik adalah hukum yang sesuai dan hidup di dalam

masyarakat.

Dalam arti pendekatan budaya dengan melibatkan kearifan

lokal dan lembaga adat merupakan langkah yang strategis dan

efektif. Karena dalam masyarakat telah mempunyai sistem

hukum yang hidup yang dikenal dengan hukum adat. Hukum

yang hidup inilah yang kemudian menerima akomodasi dan

Page 215: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 205 ~

diadaptasi secara sosio-kultural. Akomodasi ini semakin

terlihat ketika wilayah Islam berkembang sedemikian rupa

sehingga ia menjadi agama yang mendunia. Jika mengikuti

alur pikir akomodasi tersebut, maka akan memunculkan

setidak-tidaknya dua varian Islam yang disebut dengan

menggunakan berbagai istilah. Misalnya saja great tradition

atau tradisi besar, yang pada hakikatnya mewakili Islam

sebagai konsepsi realitas dan little tradition (tradisi kecil)

atau local tradition (tradisi lokal). Atau dengan kata lain,

“Islam” dan “Islamicate” bidang-bidang yang “Islamik”, yang

dipengaruhi Islam.

Dalam lingkup lebih sempit, doktrin ini tercakup di dalam

konsepsi-konsepsi keimanan dan syariah yang mengatur pola

berpikir dan bertindak setiap Muslim. Tradisi besar ini sering

pula disebut tradisi pusat (center) yang dikontraskan dengan

pinggiran (periferi). Pada pihak lain tradisi kecil (tradisi lokal,

Islamicate) adalah realm of influence–kawasan-kawasan

yang berada dibawah pengaruh Islam atau tradisi besar

tersebut. Karena itu sangat tepat jika menyelesaikan konflik

dengan menggunakan adat lokal karena selama ini sudah

membudaya dalam masyarakat. Oleh karena itu nilai tersebut

telah mengakar dan biasanya tidak hanya berorientasi

profan semata, tetapi juga berorientasi sakral sehingga

pelaksanaannya dapat lebih cepat dan mudah diterima

oleh masyarakat. Dengan adat lokal ini diharapkan resolusi

konflik dapat cepat terwujud dan diterima semua kelompok

sehingga tidak ada lagi konflik laten yang tersembunyi dalam

masyarakat.

Ada beberapa faktor yang dapat mengeliminir kecurigaan

dan melanggengkan kerukunan umat beragama:

1. Faktor kepercayaan

Faktor Keimanan. Keimanan yang dimiliki oleh masing-

masing individu berbeda-beda baik dari keagamaan yang

dipeluknya maupun pada tingkat ketaqwaan kepada

Page 216: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 206 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Tuhan Yang Maha Esa. Keimanan tidak bisa dilihat oleh

mata, tingkat keimanan yang dimiliki kadang-kadang naik

turun, bertambah dan berkurang, demikian pula dengan

ketaqwaannya. Sikap toleransi seseorang bisa diukur

dengan tinggi-rendahnya keimanan seseorang. Seorang

yang imannya kuat lebih siap dan cenderung bersikap

untuk lebih toleran terhadap orang lain. Walaupun

kadang-kadang terjadi pada yang sebaliknya, karena

biasanya akibat tidak tahannya batas-batas agama. Jadi

faktor pendukungnya adalah tertanamnya sikap toleransi

umat beragama di Gampong Mulia dalam segala hal.

Faktor Pengalaman Keagamaan. Pengalaman keagamaan

yaitu dimana setiap pemeluk agama mengalami hal atau

kejadian keagamaan baik itu tentang hal ibadah yang

telah diterapkan agamanya, menyangkut hubungan

manusia dengan sang Khaliq ataupun pengalaman

keagamaan yang bersifat antar sesama. Jadi faktor dari

pengalaman keagamaan tersebut adalah membenarkan

masing-masing kepercayaan baik itu dalam praktek

Ibadah, maupun dalam seremonial keagamaan. Dan

adanya sumbangan yang berupa bantuan untuk orang

miskin dan keperluan lain yang di terapkan di Gampong

Mulia maupun Gampong Peunayong.

2. Faktor sosial

Faktor sosial ini berbentuk akan rasa tanggung jawab yang

tinggi antar warga Gampong Mulia, dan warga Gampong

Peunayong. Mereka berkeyakinan bahwa kerukunan akan

terbentuk jika tiap-tiap warga memiliki rasa tanggung

jawab yang tinggi terhadap agama yang dianutnya. Di

dalam masyarakat yang mempunyai tata peraturan maka

peraturan tersebut harus dilaksanakan untuk mencapai

situasi yang saling menghargai dan menghormati.

Page 217: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 207 ~

3. Faktor pendidikan

Rendahnya pendidikan akan turut serta menentukan

kualitas kerukunan yang ada pada setiap masyarakat,

demikian pula yang terjadi di Gampong Mulia, dan

Gampong Peunayong. Pendidikan ini bisa diproleh dari

bangku sekolah formal maupun dari pondok pesantren.

Seperti hasil wawancara penulis bahwa ada beberapa

anak umat non-Muslim yang melanjutkan pendidikan

di SD, SMP, SMA Metodis. Sehingga dengan adanya

pendidikan seperti itu kerukunan akan terjalin dan

terbina dengan baik antarumat beragama karena mereka

saling berkomunikasi antar sesama.

4. Faktor kemasyarakatan

Di dalam hal sosial, seperti adanya kegiatan gotong-royong

untuk melakukan kerjabakti (membersihkan gampong)

dengan warga setempat. Wujud dari gotong royong akan

melahirkan sikap kebersamaan kepedulian terhadap

sesama manusia, baik itu Muslim maupun non-Muslim.

Karena dalam menjaga kehidupan lingkungan sehari-hari

tidak memandang perbedaan agama yang dianut oleh

masyarakatnya, sehingga kehidupan sehari-hari terbina

dan damai. Bukan hanya dalam hal gotong royong saja

tetapi dalam hal lain juga, seperti membangun Masjid

umat lainya turut membantu memberi sumbangan.

Begitu juga halnya umat Muslim membantu umat Non-

Muslim seperti halnya membangun rumah tempat tinggal

dan lainnya.

Dengan demikian Gampong adalah wilayah komunitas

penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang terendah

(di bawah mukim) dalam sistem administrasi adat dan

pemerintahan di Aceh. Gampong memiliki batas-batas,

perangkat, simbol adat, hak-hak pemakaian/penggunaan

prasarana, sumber pendapatan, serta tatanan sosial lokal

tetentu. Pemimpin gampong disebut keuchik. Majlis peradilan

Page 218: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 208 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

adat gampong dan mukim atau nama lain di Aceh. Dalam

menyelesaikan sengketa /perselisihan berpedoman pada

qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 dan Peraturan Gubernur Aceh

No. 25 Tahun 2011, tentang pedoman umum penyelenggaraan

Pemerintahan Gampong. Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan

Ketua Majlis Adat Aceh, beserta seluruh jajarannya (Provinsi,

Kabupaten/Kota), berkewajiban memberikan bimbingan,

pembinaan, pengembangan dan pengawasan materi-materi

hukum adat. Dan administrasi Peradilan Adat, sesuai dengan

tatanan dan asas-asas Hukum Adat/Adat Istiadat yang

berlaku pada lingkungan masyarakat setempat. Pemerintah

Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membantu

pembiayaan administrasi untuk penyelenggaraan Peradilan

Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh sesuai

kemampuan daerah.

Kerukunan umat beragama dalam konteks pelaksanaan

Syariat Islam di Banda Aceh, telah berjalan dengan cukup

baik, dan memuaskan. Hal ini terbukti dengan tidak adanya

konflik yang berarti termasuk catatan kekerasan atas nama

agama. Kerukunan antarumat beragama di Banda Aceh

sangat didukung oleh karakter masyarakat Aceh yang terbuka

dan kosmopolit, serta menghargai hak-hak kelompok Non

Muslim yang telah diwariskan dari pendahulunya. Sehingga

masyarakat dan tokoh-tokoh Islam tidak mudah tersulut

untuk mengedepankan reaksi kekerasan dalam menyikapi isu-

isu yang berpotensi kepada konflik lintas agama seperti yang

telah terjadi selama ini. Kondisi tersebut berpotensi untuk

dijadikan model alternatif kerukunan antarumat beragama di

wilayah lain di Indonesia.

Beberapa isu berpotensi memunculkan konflik berupa

disharmoni antarumat beragama di Banda Aceh jika isu

tersebut tidak dikelola dengan baik. Seperti aturan pendirian

rumah ibadah, akses Pendidikan Agama di Lembaga

Pendidikan Formal dan kesediaan tenaga pengajar agama

Page 219: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 209 ~

yang seiman, egosentris dan fanatisme agama melalui misi

tertentu. Judgment tentang konsep pakaian Islami versus tidak

Islami, peranan media yang dominan dengan pemberitaan

pelanggaran Qanun dan kehadiran aliran sesat. Implementasi

Syariat Islam tidak menjadi ancaman bagi kelompok umat Non

Muslim karena syariat Islam hanya berlaku bagi umat Islm

Saja. Sedangkan bagi mereka berkewajiban menghormati dan

memberikan ruang yang cukup, sehingga umat Islam dapat

melaksanakan syariatnya. Hal ini menunjukan sikap toleransi

yang begitu kuat antar pemeluk agama.

Syariat Islam sebagai sebuah produk tentu dalam

prakteknya memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan

terletak pada adanya aturan hukum formil. Sedangkan

kelemahanya adalah belum timbulnya kesadaran yang

mendalam bagi masyarakat awam akan makna dan arti

pentingnya syariat bagi Kehidupan mereka. Penerapan

Syariat Islam tidak bertentangan dengan konsep kerukunan

umat beragama yang dirintis pemerintah pusat. Dalam

kaitan ini Kota Banda Aceh dapat menjadi miniatur tentang

bagaimana kerukunan antar pemeluk agama, kedamaian,

dan keharmonisan tanpa adanya diskriminasi bagi kaum

minoritas.

Daftar PustakaAl-Yasa, Abu Bakar, 2005 “Syariat Islam di Provinsi NAD,

Paradigma, Kebijakan”, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD).

Arifin, Hasnul Melayu, 2004 “Eksistensi Wilayat al-Hisbah dalam Islam”dalam Soraya Devy, dkk, Politik dan Pencerahan Peradaban, Ar-Raniry Pres Banda Aceh.

Atika Diah, 2006 “Wilayatul Hisbah Sebuah bentuk Kebijakan Politik Hukum Pemerintahan Aceh”, Jurnal Malik Ibrahim.

Page 220: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 210 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Amalia, Rizky 2016 “Upaya Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh Dalam Meningkatkan Kesadaran Ayatrohaedi, 1986 “ Keperibadian Budaya Bangsa” Pustaka Pelajar Yogyakarta.

AP. Budiyono 1983 “Membina Kerukunan Hidup Antarumat Beriman” Kanisius Yogyakarta).

Bersyariat Islam Bagi Remaja Di Kota Banda Aceh” (Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Unsyiah Volume 1, Nomor 1: 61-71 Agustus 2016).

Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009 “Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syari‘at Islam”.

Edisi ke Tujuh, Banda Aceh: LITBANG dan Program Dinas Syari‘at Islam Aceh.

Juhari, 2004 “Peran Wilayatul Hisbah dalam menegakkan Dakwah Struktural” di Kota Banda Aceh”

Fred Wibowo, 2007 “Kebudayaan Menggugat: Menuntut Perubahan Atas Sikap, Perilaku, Serta Sistem Yang Tidak Berkebudayaan” Pinus Book Publisher Yogyakarta.

Geertz, Clifford, 1992, “Kebudayaan dan Agama”, Kanisius, Yogyakarta.

H.M. Ridwan Lubis 2017 “ Agama dan Perdamaian “: Landasan , Tujuan, dan Realitas Kehidupan Beragama di Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

Halim, dkk 2011 “Eksistensi Wilayatul Hisbah dalam Pemerintahan Islam”, (Jurnal Ar-Raniry.ac. id. Banda Aceh.

Imam Muhsin 2010 “ Tafsir Al-Qur’an dan Budaya Lokal”: Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tafsir al-Huda Karya Bakri Syahid, diterbitkan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1980, “Pokok-Pokok Antropologi Sosial” Penerbitan Universitas, Jakarta.

Page 221: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 211 ~

Kontjaraningrat dan Antropologi di Indonesia Jakarta 2003 “Asosiasi Antropologi Indonesia” , Yayasan Obor Indonesia , Miert, Hans van. 2003.

K.H. Ma’ruf Amin 2011 “ Harmoni dalam Keberagaman”: Dinamika Relasi Agama-Negara.

Penerbit: Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Antar Agama, Jakarta.

Keputusan Gubernur NAD No 01 tahun 2004 tentang kewenangan pembentukan Organisasi Wilayatul Hisbah.

Misra A. Muchsin, et al, 2008 “ Buku panduan pelaksanaan Syariat Islam Bagi Birokrat, cet, Ke-2 Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Nanggroe Aceh Darussalam.

Muslim Zainuddin, dkk, “Agama dan Perubahan Sosial Dalam Era Reformasi di Aceh”, Ar-Raniry Press, Banda Aceh.

Maulana Wahiduddin Khan, 2010 “The Ideology of Peace”: Goodword Books New Delhi.

Puslitbang Kehidupan Keagamaan (Tim Peneliti), 2009 “ Studi Sosiologi /Antropologi hubungan antar Kelompok Pasca Konflik di beberapa Daerah”, diterbitkan oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.

Peraturan Gubernur Aceh Nomor 139 Tahun 2016 tentang kedudukan, susunan organisasi, tugas, fungsi dan tata kerja SAT POL PP dan Wilayatul Hisbah Aceh.

Seminar Dinas syariat Islam, 2003 “Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” (Nanggroe Aceh Darussalam.

Oeyz, Iwan 2009“Hubungan Agama dan Budaya”.Http://ukpkstain.multiply.com/journal/item/49. Diakses tanggal 1 Desember 2009.

Soerjanto Poespowardoyo, 1986, “Pengertian Local Genius dan Relevansinya Dalam Modernisasi, “Kepribadian Budaya Bangsa (local genius)”, Pustaka Jaya, Jakarta.

Thomas F.o’dea, 1985 “Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal”, CV. Rajawali Press Jakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya.

Page 222: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 212 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Informasi Humas 14-08-2019 11:22. https://aceh.tribunnews.com/2019/08/15/cegah-radikalisme-kemenag-aceh-bina-aktor-kerukunan-umat-beragama. (Penulis: Masrizal Bin Zairi Editor: Yusmadi (aceh.kemenag.go.id/Informasi Humas).

https://aceh.tribunnews.com/2017/12/28/berkunjunglah-ke-gampong-mulia-banda-aceh-belajar-Kerukunan-beragama, Penulis: Muhammad Nasir, Editor: Yusmadi.

Lampiran-lampiran (Rumah Ibadah di Gampong Mulia dan Peunayong)

Masjid Al-Mukarramah Gampong Mulia

Masjid Al-Anshar di Gampong Mulia

Page 223: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 213 ~

Masjid Babu Zam-zam di Gampong Peunayong

Gereja Metodits Gampong Mulia

Gereja Katolik Paroki Hati Kudus di Gampong Peunayong

GPIB di Gampong Mulia

Page 224: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 214 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Vihara Budha Sakyamuni di Gampong Mulia

Gereja HKBP di Gampong Mulia

Page 225: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 215 ~

BAGIAN LIMA

Page 226: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 216 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Page 227: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 217 ~

Toleransi dan Kerjasama Umat Bearagamapada Masyarakat Sipirok, Tapanuli Selatan,

Sumatera Utara--------------------------- Rudy Harisyah Alam ---------------------------

Pendahuluan

Pada 2018 Balai Penelitian dan Pengembangan Agama

(Balai Litbang Agama) Jakarta melakukan penelitian tentang

Toleransi Umat Beragama pada Masyarakat Heterogen di

sejumlah desa di wilayah Provinsi Jawa Barat. Penelitian itu

bertujuan mengkaji faktor-faktor utama yang berperan dalam

memelihara kerukunan umat beragama di suatu daerah.

Penelitian dilakukan di 6 desa/kelurahan, meliputi Kampung

Sawah Pondok Gede Kota Bekasi, Desa Kertajaya Kecamatan

Pebayuran Kabupaten Bekasi, Kelurahan Karangmekar

Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi, Desa Pabuaran

Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor, Kampung

Panggulan Desa Pengasinan Kecamatan Sawangan Kota

Depok, dan Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten

Kuningan. Seluruh lokasi yang dipilih merupakan kampung

atau desa yang damai kendati majemuk dari segi pemeluk

agama dan rumah ibadat.

Salah satu temuan penting penelitian tersebut adalah

kerukunan yang terwujud di desa/kelurahan yang menjadi

lokasi penelitian itu umumnya terjadi karena peran modal

sosial atau ikatan antarwarga yang tumbuh melalui proses

panjang sejarah. Di sebagian daerah, seperti Desa Kertajaya

Kecamatan Pebayuran dan Desa Pabuaran Kecamatan

Gunung Sindur, modal sosial itu bertumpu pada jalinan

Page 228: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 218 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

kekerabatan yang tercipta dalam proses perbauran yang telah

berjalan beberapa generasi (Alam 2018). Temuan penting

dari semua lokasi penelitian adalah minimnya inisiatif atau

prorgam-program pemeliharaan kerukunan yang diinisiasi

pemerintah maupun lembaga-lembaga nonpemerintah.

Prorgam-program kerukunan yang diinisiasi pemerintah

umumnya hanya berlangsung pada level kabupaten/kota

atau paling jauh pada level kecamatan (Rabitha dkk. 2018).

Penelitian ini kemudian menjadi landasan bagi kegiatan

pengembangan desa model kerukunan yang dilaksanakan

Balai Litbang Agama Jakarta di Desa Pabuaran Kecamatan

Gunung Sindur Jawa Barat.

Pada 2019 Balai Litbang Agama Jakarta kembali

melaksanakan kegiatan penelitian tentang toleransi umat

beragama. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari lebih

lanjut faktor-faktor penopang atau perekat kerukunan umat

beragama, dengan memperluas wilayah penelitian ke berbagai

konteks masyarakat yang berbeda, dalam hal ini wilayah

Pulau Sumatera. Penelitian difokuskan untuk mengkaji

tradisi kerukunan umat beragama dan peran modal sosial

sebagai penopang kerukunan tersebut. Penelitian dilakukan

di wilayah Sumatera, mencakup Provinsi Aceh, Sumatera

Utara, Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung.

Laporan ini menyajikan hasil penelitian di Kecamatan

Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera

Utara. Sipirok selama ini dikenal sebagai salah satu wilayah

yang dengan tradisi kerukunan umat beragama yang baik,

khususnya Islam dan Kristen, sebagai dua tradisi keagamaan

yang banyak dianut oleh penduduk di wilayah tersebut. Meski

demikian, studi-studi akademis yang mengkaji bagaimana

tradisi kerukunan umat beragama di Sipirok itu terbentuk,

bagaimana dinamika kerukunan itu terjadi, bagaimana tradisi

kerukunan itu berinteraksi dengan perkembangan sosial-

politik, serta bagaimana tradisi itu dipelihara, masih sangat

Page 229: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 219 ~

terbatas. Sepanjang pengetahuan peneliti, salah seorang

sarjana yang paling produktif menulis tentang Sipirok

adalah Susan Rodgers, antropolog asal Amerika Serikat yang

melakukan penelitian lapangan untuk penulisan disertasinya

di Sipirok pada 1973-1977. Namun, fokus kajian dan tulisan

Rodgers terutama adalah tentang adat masyarakat Sipirok,

yaitu adat Batak Angkola (lihat antara lain Siregar 1979,

1981; Rodgers 1984, 1985, 1986, 1991, 2012), bukan tentang

kerukunan umat beragama.

Penelitian ini bermaksud memberi kontribusi bagi

studi akademis tentang masyarakat Sipirok dari sudut

relasi kerukunan antarumat beragama. Pertanyaan pokok

penelitian ini adalah: (1) faktor utama apa yang membentuk

tradisi kerukunan umat beragama di Sipirok? dan (2)

bagaimana tradisi kerukunan umat beragama itu dilestarikan?

Hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan

bagi perumusan kebijakan terkait pengembangan strategi

pemeliharaan kerukunan umat beragama di masa datang.

Kerangka Konseptual

Sebagian sarjana berpandangan bahwa konflik dan

kekerasan antarkomunitas etnis tidak dapat dipahami

secara memadai jika kita tidak mengkaji bagaimana

komunitas yang berbeda dapat memelihara kedamaian dan

mempertahankan kerja sama di antara mereka (Fearon dan

Laitin 1996; Varshney 2002). Di antara para sarjana yang

memberi penekanan pada peran penting ikatan antarwarga

bagi kehidupan sosial dan politik adalah Robert Putnam dan

Ashutosh Varshney. Sementara Putnam menekankan peran

penting ikatan warga bagi partisipasi warga dalam politik dan

bekerjanya demokrasi, Varshney menyoroti peran penting

ikatan warga dalam memelihara kedamaian etnis.

Dalam bukunya Making Democracy Work (1993), Putnam

merumuskan konsep ikatan kewargaan dengan menggunakan

Page 230: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 220 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

konsep “modal sosial” (social capital). Ia memaknai modal

sosial sebagai “aspek-aspek organisisasi sosial, seperti sikap

percaya, norma, dan jaringan, yang dapat meningkatkan

efisiensi masyarakat dengan cara memfasilitasi tindakan yang

terkoordinasi.” Sementara dalam karya berikutnya, Bowling

Alone (2000), Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai

“kaitan di antara individu-individu”, yaitu “jejaring sosial

serta norma timbal-balik (reciprocity) dan kualitas dapat

dipercaya (trustworthiness) yang lahir dari jejaring sosial

tersebut” (Putnam 2000, 16).

Di dalam karyanya yang belakangan itu pula Putnam

memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai dua dimensi

terpenting dari modal sosial, yaitu bridging atau inclusive

dan bonding atau exclusive. Sebagian modal sosial, menurut

Putnam, baik karena keniscayaan atau pilihan, berorientasi

ke dalam dan cenderung memperkuat identitas-identitas

eksklusif dan kelompok-kelompok yang homogen. Inilah

yang disebutnya sebagai modal sosial yang bersifat bonding

(exclusive). Sementara itu, sebagian modal sosial berorientasi

ke luar dan mencakup orang dari kelompokkelompok sosial

yang berbeda, yang disebutnya sebagai modal sosial yang

bersifat bridging (inclusive) (Putnam 2000, 20).

Seperti Putnam, Varshney juga menyoroti pentingnya

ikatan kewargaan. Namun, Varshney memfokuskan

peran penting ikatan kewargaan, khususnya yang bersifat

interkomunal, bagi terwujudnya kedamaian antaretnis (ethnic

peace).1 Ikatan kewargaan interkoumnal yang ditekankan 1Meski pada mulanya pengertian ‘etnis’ atau ‘etnisitas’ hanya terbatas

pada bahasa dan ras, namun dalam perkembangan selanjutnya para sarjana pengkaji konflik cenderung menggunakan istilah ‘etnis’ atau ‘etnisitas’ dalam pengertian yang lebih luas, yaitu seluruh identitas kelompok yang bersifat askriptif, meliputi bahasa, ras, agama, suku dan kasta. Dengan demikian konflik antarumat beragama (religious conflict) dan konflik intraumat beragama (sectarian conflict) berada di bawah payung kajian tentang konflik etnis. Lihat Ashutosh Varshney, Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims in India (New Haven & London: Yale University Press, 2002), 4-5.

Page 231: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 221 ~

Varshney serupa dengan modal sosial yang bersifat bridging

dalam rumusan Putnam. Ikatan kewargaan itu, dalam

pandangan Varshney, terbentuk dalam ”ruang kehidupan

antara negara dan keluarga, yang relatif independen dari

negara dan memungkinkan orang untuk bersama-sama

melakukan berbagai aktivitas publik” (Varshney 2002, 4).

Varshney selanjutnya membagi ikatan kewargaan ke

dalam 2 jenis, yaitu ikatan dalam kehidupan keseharian

(quotidian engagement) dan ikatan berbentuk asosiasi

(associational engagement). Contoh dari bentuk yang pertama

adalah interaksi kehidupan yang sederhana dan rutin, seperti

saling kunjung antara komunitas etnis yang berbeda, kegiatan

makan bersama, kegiatan berpartisipasi bersama dalam

acara-acara perayaan, serta tindakan mengizinkan anak-anak

dari komunitas etnis yang berbeda untuk bermain bersama

di lingkungan. Adapun contoh dari ikatan kewargaan yang

berbentuk asosiasional antara lain adalah asosiasi bisnis,

organisasi profesi, klub pembaca, klub penggemar film, klub

olahraga, organisasi perayaan, serikat buruh, dan partai politik

berbasis kader. Apabila kuat, kedua bentuk interaksi itu dapat

mendorong terwujudnya kedamaian. Sebaliknya, jika kedua

bentuk interaksi kewargaan itu tidak ada atau lemah, hal itu

dapat membuka ruang bagi munculnya kekerasan komunal.

Di antara kedua bentuk interaksi itu, menurut Varshney,

interaksi asosiasional terbukti lebih kuat daripada interaksi

keseharian, khususnya ketika masyarakat dihadapkan dengan

upaya para politisi untuk memolarisasi komunitas-komunitas

etnis. Kehidupan asosiasional yang kokoh, jika bersifat

interkomunal, dapat menghalangi strategi polarisasi dari elite

politik (Varshney 2002, 50).

Penelitian ini menggunakan konsep ikatan kewargaan,

sebagaimana yang dikembangkan Varshney, untuk

menjelaskan fenomena kerukunan Muslim-Kristen di

Sipirok. Namun, seperti yang akan ditunjukkan, ada aspek

Page 232: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 222 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

lain dari ikatan kewargaaan yang tidak dijelaskan Varshney,

namun berperan penting bagi pemeliharaan kerukunan umat

beragama, yaitu peran penting ikatan kekerabatan. Hal ini

dapat dijumpai bukan saja di Sipirok, tetapi di daerah-daerah

lain di Indonesia, seperti Pabuaran, Kabupaten Bekasi, dan

Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografis dan

sejarah. Penelitian lapangan dilaksanakan dua tahap: 29 Juli

- 2 Agustus 2019 dan 3-17 September 2019. Metode penelitian

melibatkan teknik observasi, wawancara dan studi dokumen.

Lokasi penelitian difokuskan di wilayah Kecamatan Sipirok

Kabupaten Tapanuli Selatan. Beberapa kelurahan yang

dikunjungi di Kecamatan Sipirok meliputi Kelurahan Parau

Sorat, Kelurahan Siala Gundi, Kelurahan Bunga Bondar,

Kelurahan Sipirok Godang, Kelurahan Pasar Sipirok dan

Kelurahan Hutasuhut. Selain Kecamatan Sipirok, peneliti juga

mengunjungi sejumlah lokasi di wilayah Kecamatan Angkola

Selatan, antara lain, Kelurahan Simar Pinggan, Kelurahan

Tapian Nauli, Desa Siopat-Opat dan Desa Sikuik-Huik.

Informan dari unsur pemerintah yang diwawancarai

mencakup, antara lain, Bupati Tapanuli Selatan, Sekretaris

Daerah dan Kepala Badan Kesbangpol Pemerintah Kabupaten

Tapanuli Selatan; Kepala Kantor, Kepala Seksi Bimas Islam,

Kepala Seksi Bimas Kristen, dan Penyelenggara Katolik

Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tapanuli Selatan;

Kepala KUA Kecamatan Sipirok; Sekretaris Camat Sipirok,

Lurah Parau Sorat, dan Lurah Bunga Bondar Kecamatan

Sipirok. Sementara itu, beberapa narasumber dari kalangan

pemerintah yang berhasil diwawancarai di Angkola Selatan

adalah Camat Angkola Selatan, Kepala KUA Kecamatan

Angkola Selatan, Lurah Simar Pinggan, dan Sekretaris Lurah

Tapian Nauli.

Page 233: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 223 ~

Adapun informan dari unsur tokoh agama dan tokoh

masyarakat yang diwawancarai meliputi, antara lain, Ketua

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten

Tapanuli Selatan, Ephorus Gereja Kristen Protestan Angkola

(GKPA) periode 2016-2012, pengurus GKPA Ressort Sipirok,

Vorhanger GKPA Parau Sorat, Pendeta Huria Kristen Batak

Protestan (HKBP) Ressort Sipirok, Pastur Gereja

Katolik Paroki Padang Sidimpuan, pengurus Gereja

Katolik Stasi Sipirok, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Kecamatan Sipirok, pengurus Badan Kontak Majelis Taklim

(BKMT) Kecamatan Sipiroik, Ketua Muslimat NU Kecamatan

Sipirok, Ketua

Pengurus Cabang dan tokoh Muhamadiyah Kecamatan

Sipirok, dan Ketua Al-Washliyah Kecamatan Sipirok.

Informan lainnya adalah sejumlah tokoh adat dan tokoh

masyarakat di Kelurahan Parau Sorat, Kelurahan Siala Gundi,

Kelurahan Bunga Bondar, Kelurahan Sipirok Godang, yang

seluruhnya berada di wilayah Kecamatan Sipirok. Sementara

itu, tokoh masyarakat yang dijumpai di Kecamatan Anggola

Selatan berada di Kelurahan Simar Pinggan dan Kelurahan

Siopat-opat, pengurus GKPA Tapian Nauli dan pengurus

HKBP Aek Baringin Simar Pinggan.

Profil Geografis dan Demografis Sipirok

Sipirok, yang menjadi lokasi peelitian ini, adalah salah

satu dari 14 kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan,

Sumatera Utara. Terletak di lembah Gunung Sibualbuali,

Kecamatan Sipirok memiliki wilayah seluas 40.936,52 hektar

atau sekitar 9,40 persen dari luas total wilayah Kabupaten

Tapanuli Selatan. Dengan luas wilayah tersebut, Sipirok

merupakan kecamatan ketiga terluas di Kabupaten Tapanuli

Selatan, setelah Kecamatan Saipar Dolok Hole dan Kecamtan

Angkola Selatan. Di sebelah utara, Sipirok berbatasan dengan

Page 234: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 224 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kecamatan Arse Kabupaten Tapanuli Utara, sementara di

timur berbatasan dengan Kabupaten Padang.

Lawas Utara. Selain itu, Sipirok berbatasan dengan

kecamatan-kecamatan lainnya di Tapanuli Selatan, yaitu

dengan Angkola Timur dan Marancar di sebelah selatan dan

Batang Toru di sebelah barat.

Secara administrasi pemerintahan, Sipirok terbagi ke

dalam 6 kelurahan dan 34 desa. Sejak 2007 Kecamatan

Sipirok menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan,

menggantikan Padang Sidimpuan, yang sejak 2001 ditetapkan

sebagai Kotamadya melalui UU No. 4 Tahun 2001. Penetapan

Kecamatan Sipirok sebagai ibukota baru Kabupaten Tapanuli

Selatan dituangkan dalam UU No. 37 Tahun 2007 tentang

Pembentukan Kabupaten Padang Lawas Utara dan UU No. 38

Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Lawas. Seperti

Padang Sidimpuan, Padang Lawas dan Padang Lawas Utara

merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Tapanuli

Selatan. Areal persawahan dan perkebunan mendominasi

pemandangan Kecamatan Sipirok yang terletak di lembah

Gunung Sibualbuali (Pegunungan Bukit Barisan).

Gunung yang masih aktif itu menyebabkan tanah kawasan

sekitarnya subur, selain menyediakan sumber air yang

Page 235: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 225 ~

mengalir hingga ke persawahan. Di beberapa lokasi terdapat

sumber air panas belerang, yang sebagiannya dijadikan

tempat pemandian. Pertanian dan perkebunan mendominasi

sumber mata pencarian warga yang tinggal di Kecamatan

Sipirok.

Berdasarkan statistik Kecamatan Sipirok dalam Angka

Tahun 2018 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten

Tapanuli Selatan, jumlah penduduk Kecamatan Sipirok pada

2017 sebanyak 31.342 jiwa, terdiri atas 15.522 (49,52%) laki-

laki dan 15.820 (50,48%) perempuan. Jumlah penduduk

Sipirok tersebut sekitar 11,25% dari jumlah total penduduk

Kabupaten Tapanuli Selatan, dan merupakan kecamatan

dengan penduduk terbanyak ketiga di antara 14 kecamatan

di Kabupaten Tapanuli Selatan. Statistik Kecamatan Sipirok

dalam Angka Tahun 2018 tidak mencantumkan data tentang

komposisi penduduk dari segi agama. Terkait agama, data

yang tersedia hanyalah data tentang jumlah rumah ibadat,

yang pada 2017 tercatat ada 89 masjid, 81 musalla, dan 18

gereja. Tidak tercatat adanya vihara, pura atau klenteng.

Sementara itu, berdasarkan data pemeluk agama yang

dicatat Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sipirok,

jumlah penduduk Sipirok pada 2018 sebanyak 33.250 jiwa.

Jumlah pemeluk Islam sebanyak 30.495 jiwa (91,71%), Kristen

2.678 jiwa (8,05%), Katolik 72 jiwa (0,22%), dan Buddha 5

orang (0,02%). Sementara itu, jumlah rumah ibadat adalah

sebagai berikut: masjid 82 buah, musalla 35 buah, dan gereja

17 buah (GKPA 10, HKBP 5, Advent 1, dan Katolik 1) (sumber:

KUA Kecamatan Sipirok; diperoleh 30 Juli 2019).

Awal Terbentuknya Masyakarat di Sipirok

Untuk mengkaji bagaimana tradisi kerukunan antarumat

beragama terbentuk di Sipirok, pertama-tama perlu ditelusuri

bagaimana pada awalnya komunitas agama, terutama

Islam dan Kristen, bertemu dan selanjutnya relasi di antara

Page 236: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 226 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

komunitas itu terbentuk di Sipirok. Pada tahap awal, peneliti

mengunjungi empat kelurahan di Kecamatan Sipirok, yaitu

Parau Sorat, Siala Gundi (yang merupakan pemekaran dari

Parau Sorat), Bunga Bondar, dan Sipirok Godang.

Parau Sorat, Baringin dan Sipirok adalah tempat awal

berkembangnya tiga kerajaan lokal yang disebut Harajaon

Natolu (kerajaan yang tiga). Ketiga kerajaan itu berperan

sebagai pemegang kekuasaan atas adat dan penyelenggara

pemerintahan atas semua kampung-kampung yang sudah

berkembang sebelumnya di kawasan Sipirok dan kemudian

di kawasan Saipar Dolok Hole (Lubis dan Lubis 1988, 16).

Pemandangan Gunung Sibual-buali, Sipirok

Alun-alun Kecamatan Sipirok, 29 Juli 2019

Berdirinya Harajaon Natolu di Sipirok bermula dari

pindahnya Ompu Palti Raja beserta keluarganya dari Sibatang

Kayu di kawasan Saipar Dolok Hole. Mereka meninggalkan

Sibatang Kayu menuju suatu tempat di lembah gunung

Sibual-buali di kawasan Sipirok. Di sana mereka membuka

tempat pemukiman yang disebut Rante Omas, yang terletak di

tepi sungai Aek Saguti. Untuk memperluas daerahnya, Ompu

Palti Raja pergi mencari tempat baru dengan menyusuri Aek

Saguti ke arah hulu, hingga sampai ke suatu tempat yang

kemudian diberi nama Parau Sorat.2 Selanjutnya Ompu Palti 2Sebuah keterangan menyebutkan bahwa Parau berasal dari kata

“Pahu” alias Pakis. Sorat berarti penuh, banyak. Mulanya daerah ini dipenuhi oleh tanaman pakis, dan karena itu disebut Parau Sorat. Adapun nama Sipirok berasal dari kata Pirdot, sebuah jenis kayu yang banyak tumbuh di daerah ini (wawancara dengan Nehemia, Vorhanger GKPA Parau Sorat, 29 Juli 2019). Pirdot (Saurauia bracteosa DC.) merupakan salah satu jenis tanaman endemik yang tumbuh diberbagai tempat di indonesia. Di Sumatera Utara Pirdot banyak ditemukan di Kabupaten Simalungun

Page 237: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 227 ~

Raja juga mencari tempat lain untuk membuat pemukiman

baru. Ia menyusuri sungai bernama Aek Mandurana ke

arah hulu, hingga sampai ke suatu tempat yang baik untuk

dibangun pemukiman, yang kemudian dinamakan Baringin.3

Kemudian Ompu Palti Raja kembali mencari tempat lain

untuk membangun pemukiman. Ia melakukannya dengan

cara menyusuri sungai Aek Lampesong ke arah hulu. Setelah

menemukan lokasi yang dipandang tepat untuk membangun

pemukiman, ia membangun perkampungan yang disebut

Sipirok.

Dalam perkembangan selanjutnya, Ompu Palti Raja

menempatkan putranya untuk memimpin masing-masing

perkampungan tersebut. Di Parau Sorat ia menempatkan

putranya yang bernama Sayur Matua, sedangkan di Baringin

ia menempatkan putranya yang bernama Sutan Parlindungan.

Sementara itu, putranya yang bernama Ompu ni Hatunggal

diberi kedudukan di Sipirok. Demikianlah kemudian ketiga

kerjaan ini berkembang dan dikenal masyarakat sebagai

Harajoan Natolu (Lubis dan Lubis 1988, 17).4

Sebelum datangnya agama, masyarakat Tapanuli secara

umum, termasuk di Sipirok menganut kepercayaan nenek-

moyang yang dikenal sebagai pelebegu atau parbegu dalam

istilah masyarakat Sipirok. Kehadiran agama di Tanah Batak

hingga ke Tapanuli Selatan. Saurauia bracteosa DC. dikenal juga dengan nama Pirdot (bahasa batak), Ki leho (bahasa Sunda), Lotrok (bahasa Jawa), Soyogik (bahasa Manado). Pemanfaatan Pirdot telah banyak dilakukan antara lain sebagai anti oksidan, menurunkan kadar gula darah, mencegah darah tinggi, dan menurunkan kadar kolestrol dalam darah. (Lihat Selamat Lumbantobing, “Pirdot (Saurauia bracteosa DC.),” http://aeknauli.org/pirdot-saurauia-bracteosa-dc/; diakses 31 Juli 2019.)

3Baringin adalah bahasa Batak untuk menyebut pohon beringin. Kemungkinan besar lokasi itu dinamakan demikian karena pada masa itu banyak tumbuh pohon beringin di daerah tersebut.

4Penjelasan serupa diperoleh peneliti dari raja-raja adat yang merupakan keturunan dan pewaris dari masing-masing harajaon tersebut. Wawancara dengan Nehemia dan Sabar, 29 Juli 2019; Mangaraja Tenggar Siregar, 30 Juli 2019; Mangaraja Endar, 30 Juli 2019; Sutan Parlindungan Suangkupon, 1 Agustus 2019).

Page 238: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 228 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

diperkirakan berlangsung pada 1800-an, di mana Islam lebih

awal masuk beberapa waktu sebelum datangnya Kristen.

Perjumpaan Islam dan Kristen

Penyebaran Islam ke wilayah Tapanuli Selatan

diperkirakan dari dua jalur. Pertama, dari wilayah pantai

barat Sumatera, yaitu daerah Natal, yang terletak di antara

Barus, Sibolga, dan Padang, Sumatera Barat. Kedua, dari Aceh

dan Sumatera Timur, melalui bagian timur Padang Lawas,

Tapanuli Selatan (Pulungan 2008, 93).

Dalam sebuah catatan mengenai kontrak perjanjian

antara pihak Belanda dan Raja Natal pada 30 Nopember 1755,

tersebut beberapa kalimat yang digunakan Raja Natal Sultan

Bagindo Martia Lelo “bersumpah berdasarkan al-Quran.” Dari

bunyi sumpah itu dapat disimpulkan bahwa sejak abad ke-18

di daerah Natal telah berlaku hukum Islam dalam kehidupan

masyarakat (Stapel 1955, dikutip dalam Pulungan 2008, 93).

Penjelasan lain yang populer tentang masuknya Islam ke

wilayah Tapanuli Selatan adalah penyebaran Islam oleh kaum

Paderi pada masa Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai dari

Minangkabau ke wilayah Mandailing dan Tapanuli Selatan

(Parlindungan 1965). Oleh sebab itu, masyarakat Sipirok pada

mulanya menyebut agama Islam yang mereka anut sebagai

Silom Bonjo (Islam Bonjol) (Lubis dan Lubis 1988, 31).

Menurut salah satu keterangan, penyerbuan laskar

Paderi dari Sumatra Barat ke Sipirok terjadi sekitar tahun

1816. Sebelum masuk ke Sipirok, mereka sudah menaklukkan

seluruh daerah Mandailing, Angkola dan Padang Lawas.

Penyerbuan laskar Paderi itu dipimpin oleh Tuanku Rao.

Dalam waktu singkat, laskar Paderi berhasil mengislamkan

masyarakat Sipirok, yang sebelumnya menganut kepercayaan

Pelebegu atau Parbegu dalam bahasa Sipirok (Parlindungan

1965, 172, 177, dikutip dalam Lubis dan Lubis 1988, 31-32).

Page 239: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 229 ~

Setelah lima tahun laskar Paderi mengembangkan Islam

di Sipirok dan di tempat-tempat lain di Tapanuli Selatan,

kegiatan pengembangan Islam mengalami kemunduran

karena laskar Paderi harus ditarik kembali ke daerah Sumatra

Barat untuk berperang melawan Belanda. Pada 1821-1825

laskar Paderi berhadapan dengan koalisi kaum adat dan

Belanda. Pada 1825-1830 sempat terjadi gencatan senjata

yang dikenal sebagai Perjanjian Manasang. Pada 1830-1837

laskar Paderi, yang kali ini berkoalisi dengan kaum adat,

kembali terlibat peperangan melawan Belanda.

Meski penyebaran Islam yang cukup intensif terjadi

pada saat ekspansi kaum Paderi yang berpaham keislaman

Wahabi, namun corak keislaman yang berkembang hingga

dewasa ini di kalangan masyarakat Sipirok umumnya

bercorak Syafi’iyah atau yang dikenal masyarakat setempat

sebagai aliran Islamiyah. Berbeda dari paham keislaman

yang bercorak puritanisme, Islamiyah lebih ‘ramah’ terhadap

adat dan tarekat. Di berbagai lokasi di Sipirok masih dapat

dijumpai beberapa lokasi yang dahulu pernah menjadi

tempat pengajaran Islam bercorak tarekat, yang dikenal

sebagai tempat persulukan.5 Beberapa di antaranya tempat

persulukan Tuan Syaikh Muhammad Syukur Al-Khalidi

Naqsabandiyah [sic] marga Siregar di Kampung Labuo Desa

Parau Sorat (observasi peneliti, 5 September 2019)6 dan

5Selain di Sipirok, peneliti juga mengunjungi tempat persulukan di Kampung Lalang Desa Perkebunan Marpinggan Kecamatan Angkola Selatan (observasi, 11 September 2019). Demikian pula, ketika berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Abror di Desa Sihuik-kuik Kecamatan Angkola Selatan, pimpinan pondok KH Sulaiman mengemukakan bahwa tempat saat ini pondok pesantren Al-Abror berdiri dahulu merupakan tempat persulukan yang dibangun seorang guru tarekat dari Aek Libung (wawancara, 11 September 2019). Kemungkinan yang dimaksud adalah Syaikh Syahbuddin Aek Libung (1892-1967). Aek Libung adalah salah satu desa di Kecamatan Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan. Jarak antara Desa Aek Libung dan Desa Sihuik-kuik sekitar 30 kilometer.

6Peneliti mengunjungi bekas tempat persulukan Tuan Syaikh Muhammad Syukur bersama salah seorang keturunannya, Oktaryna, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Ketahanan Ekonomi, Sosial,

Page 240: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 230 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Tuan Syaikh Abdul Qadir Al-Khalidi Al-Naqsyabandi marga

Pakpahan di Desa Sampean, yang wafat pada 7 Januari 1924

(observasi peneliti, 12 September 2019).

Tempat pesulukan dan makam Syaikh Syukur, Kampung Labuo, Kelurahan Parau Sorat, 5 September 2019 (dok. peneliti)

Ada beberapa hal, yang menurut Pulungan dapat

menjelaskan fenomena berkembangnya corak keislaman

Syafiiyah atau Islamiyyah di kalangan masyarakat Sipirok.

Pertama, Islam yang dibawa kaum Paderi tidak menyentuh

pada esensi ajaran Islam itu sendiri karena yang penting

bagi kaum Paderi adalah pengakuan takluk dari raja-raja

Budaya dan Organisasi Masyarakat Badan Kesbangpol Pemkab Tapsel. Berdasarkan catatan silsilah yang diperoleh, Oktaryna adalah anak dari Muhammad Arsyad bin Muchtar bin Haji Rasyid bin Syaikh Muhammad Syukur. Belum diketahui periode masa hidup Syaikh Muhammad Syukur. Namun, mengingat gelarnya sebagai Al-Khalidi Al-Nasqyabandi, kemungkinan ia hidup sezaman dengan Syaikh Abdul Qadir yang memiliki tempat persulukan di Desa Sampean, yaitu pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Keduanya kemungkinan belajar tarekat Naqsyabandiyah dari Sulaiman Al-Khalidi (1842-1917) di Hutapungkut Kotanopan Mandailing Julu. Menurut keterangan Pulungan, Sulaiman Al-Khalidi adalah ulama tarekat Naqsabandiyah yang merupakan murid dari Syaikh Abdul Wahab Rokan Basilam, Langkat, Sumatera Timur (Pulungan 2008, 105).

Page 241: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 231 ~

adat. Kedua, ulama yang menyebarkan Islam pada periode

berikutnya berasal dari etnis Mandailing atau Tapanuli

Selatan yang umumnya menganut mazhab Syafii dan bersikap

moderat terhadap kehidupan sosial-budaya setempat. Ketiga,

paham keislaman yang lebih dahulu berkembang dan diterima

masyarakat adalah Islam corak sufistik (Pulungan 2008, 94).

Hal terakhir ini seperti ditunjukkan dengan

berkembangnya tempat persulukan di berbagai lokasi, baik

di Sipirok maupun Tapanuli Selatan pada umumnya.7 Paham

keislaman bercorak puritan, seperti yang didakwahkan

Muhammadiyah, baru masuk awal abad ke-20, yaitu dalam

bentuk perkumpulan pengajian sejak 1924, dan kemudian

berkembang dalam bentuk organisasi pada 1930 (wawancara

dengan Maulup Siagian, tokoh Muhammadiyah Sipirok, 13

September 2019).

Tidak lama sesudah, atau mungkin hampir bersamaan

dengan masuknya pengaruh Islam ke Sipirok, agama Kristen

juga mulai masuk ke Sipirok diawali dengan misi dagang

para pendeta Kristen, yang kemudian dilanjutkan oleh misi

penyebaran ajaran Kristen (zending). Salah satu tokoh

lokal yang berperan penting bagi masuknya Kristen dan

perjumpaan Kristen dan Islam di Sipirok adalah Djaroemahot

Nasution, salah seorang petani dan pemilik perkebunan kopi

di Tapanuli Selatan pada abad ke-19. Tidak banyak informasi

yang diketahui tentang Djaroemahot. Namun, berdasarkan

informasi yang tersedia, Djaroemahot dipercayai adalah

Hoessni, anak dari Idris Nasution, seorang panglima perang

Imam Bonjol yang dikenal dengan sebutan Tuanku Lelo

(1785-1833). Sejak kecil Djaroemahot telah pergi merantau,

sampai kemudian ia menjadi anak angkat Marahloedin

Nasution (sebelumnya bernama Djatoeboe Nasution), putra

7Di daerah Kecamatan Angkola Selatan, peneliti mengunjungi tempat persulukan di Kampung Lalang Desa Perkebunan Marpinggan, 11 September 2019.

Page 242: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 232 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Djamangarait Nasution. Marahloedin adalah pedagang

garam, yang membawa dagangannya dengan armada kuda ke

kampung Simangumban-Pahae, dan kembali membawa gula

aren ke Sibolga (“Sang Tokoh Djaroemahot Nasoetion”, 2010,

1-2).

Ada dua versi yang menerangkan bagaimana Djaroemahot

dapat sukses dalam usaha perkebunan kopi. Versi pertama

menyebutkan Djaroemahot menguasai wilayah perkebunan

kopi, yang terbentang mulai dari lereng perbukitan Aek

Bariba hingga ke wilayah Bunga Bondar. Perkebunan itu

diwarisi dari ayah angkatnya. Biji kopi dikumpulkan ayah

angkat Djaroemahot dari para pedagang Arab yang datang

berniaga ke pelabuhan pantai barat Sumatra pada masa itu.

Dajroemahot juga mendominasi pasar kopi pada masa itu

sehingga memungkinkan dirinya membangun koneksi dengan

Gustaf van Asselt, seorang pakus (pedagang pengumpul kopi)

yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda. Para pakus

juga berpean sebagai ‘intelijen’ untuk pemerintah Belanda

dan memata-matai perdagangan untuk mengamankan

kepentingan Belanda di Tapanuli. Para pakus itu biasanya

menutupi tugas utama mereka itu juga dengan menjalankan

misi penginjilan (Agustono dan Junaidi 2018, 55-56).

Versi kedua menceritakan bahwa kesuksesan Djaroemahot

dalam perkebunan dan bisnis kopi bukan karena mewarisi

lahan perkebunan milik ayahnya. Djaroemahot pada mulanya

berusaha sebagai penyedia jasa transportasi armada kuda

untuk pengangkutan biji kopi Arabika milik Belanda dari

pelabuhan ke wilayah Sipirok sejak dimulai era tanam paksa

oleh Belanda di wilayah Sumatra sejak 1847. Dari usahanya

tersebut, Djaroemahot menjadi kaya-raya. Lalu atas saran

istrinya, Djaroemahot menjual armada kudanya dan hasil

penjualannya ia belikan berhektarhektar lahan kosong di

wilayah Parau Sorat, yang pada masa itu telah menjadi desa

kosong yang ditinggalkan penghuninya karena telah hancur

Page 243: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 233 ~

porak-poranda oleh pasukan tentara Paderi pada 1816. Ia juga

menginvestasikan uangnya untuk membangun perkebunan

kopi. Berkat hubungan dagang yang ia miliki dengan van

Asselt, Djaroemahot kemudia dapat menguasai pedagangan

kopi. Ketika van Asselt mengerjakan proyek pembuatan

jalan menuju Batang Toru, Djaroemahot menjadi penyuplai

material batu dan pasir, serta tenaga kerja yang direkrutnya

dari daerah Simangumban (“Sang Tokoh Djaroemahot

Nasoetion”, 2010, 3).

Berkat hubungan yang sudah terjalin baik, maka ketika

van Asselt mencari sebuah lokasi untuk membangun gereja

dan sekolah, Djaroemahot malah memberikan sebidang lahan

secara gratis pada 1857. Lokasi tanah dimaksud adalah di

wilayah Parau Sorat. Kemudian barulah van Asselt mengaku

kepada Djaroemahot bahwa ia adalah seorang pendeta

penyebar agama Kristen.

Pada 7 Oktober 1861 pendeta van Asselt (Belanda)

mengadakan rapat dengan pendeta Betz dan pendeta

Jerman Klammer serta Heine. Rapat itu menjadi titik tolak

pengorganisasian Zending Kristen untuk pengembangan

agama Kristen, baik di Sipirok (Tapanuli Selatan) maupun

Tapanuli Utara. Tanggal itu kemudian dijadikan sebagai

tanggal berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)

(Pangaroebaan 1925, dikutip dalam Lubis dan Lubis 1998,

39). Sebagian pihak juga mengartikan HKBP sebagai

gabungan nama inisial dari para pendeta yang hadir dalam

rapat tersebut: H (Heine), K (Klammer), B (Betz) dan P

(untuk penyebutan van Asselt yang dalam tuturan Batak kata

‘v’ cenderung dieja ‘p’). (Aritonang dan Steenbrink, ed. 2008:

534).

Pada 1861 lembaga zending Jerman Rheinische

Missiongessellschaft (RMG) mengirim pendeta Dr. Ingwer

Ludwig Nommensen untuk mengembangkan agama Kristen

di Tapanuli. Setelah sempat tinggal di Barus, pada 1862

Page 244: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 234 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Nommensen pindah ke Sipirok. Nommensen juga sempat

mengajar di sekolah yang dibangun van Asselt di Parau Sorat,

sebelum akhirnya pada 1863 ia pindah ke wilayah Tapanuli

Utara untuk mengembangkan misi Kristen di sana (Lubis

dan Lubis 1998, 38, 40). Ditemani Johannes Nasution, salah

seorang anak Djaroemahot Nasution, Nommensen pergi ke

Silindung dan membangun desa Kristen pertama di Tanah

Batak, yaitu Huta Dame (catatan prasasti, dokumentasi

peneliti, 29 Juli 2019).

Pada 2007 di Parau Sorat dibangun sebuah prasati

yang menandai tempat persinggahan misi Kristen di tanah

Batak yang dibawa pendeta Nommensen. Di tempat itu juga

dibangun tugu pada tahun 2011 dalam rangka memperingati

150 tahun misi Kristen di daerah tersebut, yaitu 15 Maret 1861

- 15 Maret 2011. Tugu itu diresmikan oleh Ephorus Gereja

Kristen Protestan Angkola (GKPA) Pendeta A. L. Hutasoit,

MA pada 10 Juli 2011.

Di dekat tugu itu terdapat balai makam Hoessni bin

Idris alias Djaroemahot Nasution. Di makam itu terdapat

catatan yang menceritakan sejarah singkat Djaroemahot dan

kehadiran misi Kristen di Tanah Batak. Catatan itu dibuat

pada 12 November 2010. Menurut catatan itu, Djaroemahot

dikenal sebagai tokoh pemersatu kerukunan beragama di

Tanah Batak, khususnya di wilayah Parau sorat pada abad

ke-19.

Monumen petilasan Pdt. Nommensen, Kelurahan Parau

Sorat, 30 Juli 2019 (dok. peneliti)

Nisan makam Djaroemahot Nasoetion, Kelurahan Parau Sorat,

30 Juli 2019 (dok. peneliti)

Page 245: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 235 ~

GKPA Huta Raja, 30 Juli 2019 (dok. peneliti)

Semasa hidupnya Djaroemahot memiliki 6 putra dan 1

putri, berturut-turut namanya adalah Djaparenta, Djamalajoe,

Djaloemoet, Ambe boru Nasution, Djadestor, Djamariloen dan

Djatandoek. Tiga putra Djaroemahot menjadi pemeluk Islam,

yaitu Djaparenta, Djaloemoet dan Djamariloen, sedangkan

tiga putra lainnya menjadi pemeluk Kristen, yaitu Djamalajoe

(Sintua Johannes Nasution), Djadestor (yang menjadi

pendeta Petroes Nasution), dan Djatandoek (yang menjadi

demang pertama di Balige pada 1914-1928). Seorang putrinya

bernama Ambe boru Nasoetion, yang tidak ada keterangan

mengenai identitas agamanya, menjadi wanita pertama Batak

yang dapat membaca dan menulis huruf Latin. Dua dari

keturunan Djaroemahot yang memeluk Islam menjadi tokoh

penyebar agama Islam di Angkola, yaitu Hadji Ali Nasoetion

(Djaparenta atau Djaloemoet?) dan Koelifah Djamariloen

Nasution (“Sang Tokoh Djaroemahot Nasoetion”, 2010, 3-4;

dokumentasi catatan prasasti, 30 Juli 2019). Dengan sikap

yang membiarkan anakanaknya untuk memilih keyakinan

agama yang mereka peluk dan mengajarkan untuk hidup

saling menghormati kendati berbeda agama, Djaroemahot

kemudian dikenal sebagai tokoh pemersatu kerukunan umat

beragama di Sipirok.

Page 246: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 236 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Praktik Kerukunan

Ada sejumlah hal yang mengindikasikan tradisi kerukunan

umat beragama di wilayah Sipirok masih berjalan dengan

sangat baik. Pertama, selama ini belum pernah terjadi konflik

sosial yang melibatkan sentimen keagamaan di Sipirok.

Pendirian atau keberadaan rumah ibadat ragam agama,yang

di banyak tempat lain acap kali menimbulkan pertikaian,

tidak menjadi sumber pertikaian di Sipirok. Demikian pula

kegiatan peribadatan dan penyiaran agama.

HKBP Ressort Sipirok, 1 Agustus 2019 (dok. peneliti)

GKPA Kelurahan Pasar Sipirok, 1 Agustus 2019 (dok. peneliti)

Masjid Sri Alam Dunia, 1 Agustus 2019 (dok. peneliti)

Kedua, di sejumlah lokasi di Sipirok, masih dapat dijumpai

keberadaan rumah ibadat Muslim dan Kristen yang berdiri

saling berdekatan. Di antaranya adalah Masjid Sri Alam

Dunia dan gereja HKBP yang hanya berjalan puluhan meter

di Kelurahan Sipirok Godang, juga Masjid Al-Muttaqin dan

gereja GKPA di Kelurahan Parau Sorat, serta Masjid Nurul

Huda dan gereja GKPA di Kelurahan Bunga Bondar. Sejumlah

informan bahkan menyebutkan bahwa pembangunan rumah

Page 247: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 237 ~

ibadat pada masa lalu senantiasa melibatkan gotong-royong

penduduk dari kedua komunitas Muslim dan Kristen. Namun,

perlu dicatat bahwa sebagian besar rumah ibadat itu dibangun

pada masa puluhan tahun yang lalu.

Ketiga, partisipasi bersama umat Kristen dan Muslim

dalam berbagai kegiatan sosial dan adat, seperti upacara

perkawinan dan upacara kemalangan. Dalam upacara

perkawinan keluarga Kristen, misalnya, pemotongan hewan,

seperti kambing atau ayam, dilakukan oleh warga Muslim. Hal

ini guna memberi rasa aman bahwa nantinya hidangan yang

disajikan juga dapat dikonsumsi oleh tamu undangan dari

warga Muslim. Secara kebetulan peneliti dapat menghadiri

salah satu upacara perkawinan keluarga Kristen di Kelurahan

Pasar Sipirok, dan menyaksikan bagaimana warga Muslim

turut membantu mempersiapkan makanan bagi pesta,

selain mereka juga datang sebagai tamu undangan (obsevasi

lapangan, 14 September 2019). Untuk keluarga Kristen yang

dalam pestanya menyembelih babi, hidangan untuk tamu

undangan bagi warga Muslim biasanya disediakan di tempat

terpisah (wawancara dengan Rudolf Hutagalung, Wakil

Kepala SMK 1 Martabe, 6 September 2019; Juni Pasaribu,

pengurus Gereja Katolik Stasi Elisabet Sipirok, 6 September

2019).

Keempat, praktik kerukunan juga tercermin dalam

lingkungan pemukiman yang tidak tersegregasi, meski hal

ini hanya ditemui di sebagian lokasi. Sebagian lokasi lainnya,

kaum Muslim dan Kristen tinggal di lingkungan terpisah,

seperti Padang Matinggi di Kelurahan Parau Sorat, yang di

lingkungan itu berdiam mayoritas warga Kristen, meski

wilayah Kelurahan Parau Sorat sendiri secara keseluruhan

dihuni mayoritas warga Muslim. Meski tinggal di lingkungan

terpisah, umumnya informan yang dijumpai mengaku

interaksi mereka dengan pemeluk agama lain tetap berjalan

Page 248: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 238 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

sangat baik (wawancara dengan keturunan Djaroemahot

Nasution, 6 September 2019).

Kelima, praktik saling menghargai antarpemeluk agama

yang berbeda. Contohnya adalah ketika di satu lingkungan

warga Kristen menyelenggarakan pesta, ketika masuk waktu

salat yang ditandai dengan terdengarnya suara adzan, secara

sadar mereka dengan segera menghentikan kegiatan pesta

untuk menghormati waktu salat (wawancara dengan Maulup

Siagian, tokoh Muhammadiyah, 14 September 2019). Contoh

lain yang lebih penting adalah kesediaan warga Kristen

untuk tidak mengkonsumsi hewan yang dipandang haram

oleh warga Muslim, seperti anjing dan babi, di muka umum

atau menjadikannya hidangan dalam kegiatan-kegiatan

yang bersifat publik, seperti perkawinan. Demikian pula,

warga Kristen di Sipirok menghindarkan diri untuk berusaha

peternakan babi atau penjualan daging babi di pasar.

Keenam, sebagian keluarga memiliki anggota keluarga

dengan keyakinan atau agama yang berbeda. Perbedaan

keyakinan ini dianggap sebagai hak masingmasing individu

untuk menentukan agama yang hendak dipeluknya dan hal

itu tidak menjadi hal yang merenggangkan, apalagi memutus,

hubungan kekeluargaan.

Faktor Pembentuk Kerukunan Umat Beragama

Penelitian ini menemukan bahwa ikatan kekerabatan

berperan penting sebagai modal sosial yang menjadi

perekat utama kerukunan umat beragama di Sipirok.

Ikatan kekerabatan menjadi kekuatan yang menopang

kerukunan umat beragama di wilayah tersebut. Mangaraja

Tenggar Siregar, seorang tokoh adat di Keluarahan Siala

Gundi, mengemukakan, “Kami dapat hidup rukun bukan

karena dipersatukan, tetapi karena berasal dari yang satu”

(wawancara, 30 Juli 2019).

Page 249: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 239 ~

Seorang informan lain mengemukakan, “Kami semua

masih bersaudara. Ibaratnya, darah kita masih saling

ngomong.” “Sudah dari sananya,” “sudah terbiasa”, “sudah

dari dulu” adalah beberapa ungkapan yang dikemukakan

para informan menjawab pertanyaan mengapa masyarakat

di Sipirok dapat hidup rukun kendati menganut agama yang

berbeda.

Pentingnya ikatan kekerabatan memang menjadi

salah satu ciri khas kehidupan etnis Batak. Di mana pun,

hal pertama yang dilakukan jika dua orang Batak bertemu

adalah membicarakan tarombo, garis atau silsilah keturunan.

Menurut Karimuddin Hutabarat, penyuluh agama Islam

non-PNS, jika ketika bertemu dengan orang Batak lainnya,

kita tidak dapat menyebut garis silsilah dan posisi (yang

diindikasikan dengan angka) dalam silsilah itu, maka orang

Batak itu tidak akan menganggap kita sungguh-sungguh

orang Batak (komunikasi personal, 31 Juli 2019).

Peran ikatan kekerabatan ini tidak dibahas oleh Varshney

ketika mengkaji peran ikatan kewargaan dalam memelihara

kedamaian etnis antara Hindu dan Muslim di India.

Sebaliknya, sejalan dengan sejumlah penelitian sebelumnya

(Alam 2018; Ismail dalam Rabitha dkk. 2018), peran ikatan

kekerabatan dalam memelihara kerukunan umat beragama

merupakan salah satu temuan penting yang dijumpai dalam

masyarakat Sipirok, yang umumnya terhubung melalui

kekerabatan Batak.

Sistem kekerabatan Batak dikenal sebagai dalihan na

tolu, yang secara harfiah berarti “tungku yang tiga”. Dalihan

na tolu terdiri atas tiga unsur: mora, kahanggi dan anak

boru. Mora adalah pihak pemberi anak gadis atau istri,

kahanggi adalah pihak semarga, sedangkan anak boru adalah

pihak penerima anak gadis atau istri. Konsep kekerabatan

ini selanjutnya melandasi etika dalam relasi antara ketiga

unsur tersebut, yaitu hormat mar-mora (bersikap sopan

Page 250: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 240 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dan hormat kepada mora), elek mar-kahanggi (bersikap

baik kepada saudara semarga), dan holong mar-anak boru

(bersikap sayang kepada anak boru karena tenaganya sangat

diharapkan membantu menyelesaikan pekerjaan, terutama

di saat pesta). Dalam suatu upacara adat, mora menempati

posisi tertinggi, biasanya disediakan tempat duduk bersama

para raja dan sesepuh, sedangkan anak boru menempati posisi

terendah karena perannya dalam membantu menyelesaikan

pekerjaan terkait upacara tersebut.

Tarombo (silsilah)keluarga Batak

Wawancara dengan Mangaraja Tenggar Siregar, Desa Siala

Gundi (30 Juli 2019)

Wawancara dengan Sutan Suangkupon, Kelurahan

Sipirok Godang, 1 Agustus 2019)

Wawancara dengan Mangaraja Endar, Kelurahan Bunga

Bondar, 30 Juli 2019)

Namun demikian, posisi seseorang dalam sistem ini

dinamis, yaitu dalam suatu waktu tertentu setiap keluarga

pasti menempati masing-masing posisi tersebut, yaitu

menjadi mora ketika anak perempuan dari keluarga itu

menikah, menjadi kahanggi ketika keluarga mereka semarga

Page 251: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 241 ~

mengadakan pernikahan, serta menjadi boru ketika anak laki-

laki keluarga itu meminang anak perempuan dari keluarga

lain.

Selain dalihan na tolu, di wilayah Tapanuli bagian

selatan, termasuk Sipirok, dikenal konsep lain, yaitu opat

ganjil lima gonop. Lewat konsep ini, unsur yang berperan

dalam pembicaraan adat bertambah dengan pisang raut

(anak boru dari anak boru) dan hula-hula (mora dari mora).

Ketika dimasukkan pisang raut, sehingga menjadi empat

unsur, hal itu masih dipandang kurang atau ganjil. Oleh sebab

itu, untuk menyempurnakannya atau menggenapkannya, lalu

ditambahkanlah unsur hula-hula. Demikianlah maka lahir

istilah opat ganjil lima gonop (empat ganjil lima genap)

(Marpodang 1992, 37).

Di samping faktor ikatan kekerabatan, ada faktor lain

yang juga menjadi pengikat kerukunan umat beragama di

Sipirok, yaitu pengalaman hidup bersama. Pengalaman

interaksi sosial masyarakat Sipirok dalam kurun waktu yang

panjang juga mampu merekatkan elemen-elemen masyarakat

lain, kendati mereka memiliki hubungan kekerabatan yang

sudah jauh atau, bagi para warga pendatang, sama sekali tidak

memiliki hubungan kekerabatan etnis Batak. Meski secara

umum wilayah Sipirok dihuni etnis Batak dari bermacam

marga, namun sedikit dari mereka ada pula yang berasal

dari etnis berbeda, seperti Minang, Jawa, Sunda dan Nias.

Meski tidak berasal dari satu ikatan kekerabatan, umumnya

pendatang telah menyesuaikan diri dengan tradisi adat yang

berlaku di wilayah Sipirok, yaitu adat Batak Angkola.

Mengenai hubungan antara adat dan agama, Mangaraja

Tenggar menjelaskan:

Sebelum datangnya agama, orang Batak telah dipersatukan dalam ikatan adat. Setelah datangnya agama, hukum adat tetap dipegang. Agama mengatur soal keyakinan pribadi, sementara aturan sosial atau kemanusiaan lebih banyak diatur hukum adat. Jika terjadi pertentangan antara adat dan agama, maka

Page 252: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 242 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

adat boleh ditinggalkan (tidak dijalankan), tetapi tidak boleh dihilangkan. (Wawancara, 30 Juli 2019)

Di antara contoh praktik adat yang ditinggalkan setelah

kedatangan agama (Islam) adalah pemujaan terhadap roh

nenek moyang. Adapun terkait makanan, Mangaraja Tenggar

mengemukakan bahwa pada masa lalu, tidak ada makanan

yang tidak boleh dimakan. Dalam tradisi masyarakat di sini,

bahkan sebelum datangnya agama, anjing dan babi memang

tidak termasuk hewan yang dikonsumsi oleh warga. Dalam

tradisi leluhur, anjing dan babi tidak pernah disebut sebagai

hewan yang disembelih dalam upacara-upacara adat. Hewan

yang disebut dalam ketentuan adat untuk penyembelihan

adalah kambing dan kerbau. “Setelah ada agama justru baru

ada tradisi memakan anjing dan babi,” ungkap Mangaraja

Tenggar (wawancara, 30 Juli 2019).

Faktor Pendukung Kerukunan Umat Beragama

Salah satu faktor utama yang mendukung kondisi

kerukunan di Sipirok adalah kesediaan komunitas non-

Muslim untuk menyesuaikan diri dalam hal tidak memakan

atau beternak hewan yang diharamkan bagi kaum Muslim,

seperti babi dan anjing. Hampir semua informan yang

diwawancarai menyebut bahwa komunitas non-Muslim

sangat menghargai untuk menghindari mengkonsumsi

babi atau anjing di tempat publik atau dalam acara-acara

publik, seperti pesta perkawinan, upacara kemalangan dan

sebagainya. “Jika ada upacara atau kegiatan, orang itulah

[Muslim] yang megang [memasak makanan]. Sebab di

sini kan gak bisa makan babi. Itu pantang di sini,” ungkap

Nehemia, seorang Kristen yang menjadi Vorhanger (guru

huria) GKPA di Desa Parau Sorat (wawancara 30 Juli 2019).

Sanksi sosial bagi yang melanggar aturan tak tertulis ini

dapat berupa pengucilan, bahkan pengusiran. Jika ada warga

Kristen yang hendak mengkonsumsi babi, mereka masih

Page 253: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 243 ~

dapat melakukannya di rumah sendiri secara tertutup atau di

sawah atau di hutan (wawancara dengan Nehemia dan Sabar,

29 Juli 2019; Mangaraja Tenggar Siregar dan Mangaraja

Endar, 30 Juli 2019; Sutan Parlindungan Suangkupon dan

Kornel Sinaga, 1 Agustus 2019).

Selain pantangan memakan babi dan anjing di tempat

publik atau acara publik, tidak ada hal lain yang menghalangi

terjalinnya hubungan antara Muslim dan Kristen di Sipirok.

Perkawinan dan perpindahan agama antara Muslim dan

Kristen juga tidak dihalangi. Perkawinan dilaksanakan

sesudah salah satu pihak pindah memeluk agama yang sama

dengan yang dipeluk pasangan. Kendati perpindahan agama

tetap saja menimbulkan ketegangan dalam keluarga, namun

perpindahan agama tidak pernah sampai mengakibatkan

tindakan pemutusan hubungan kekerabatan.

Faktor pendukung kerukunan lainnya adalah belum

munculnya kelompokkelompok yang menyuarakan atau

menyebarkan pandangan keagamaannya yang cenderung

memojokkan kelompok agama lain. Tidak atau belum

munculnya kelompok-kelompok ini mungkin karena

disebabkan sikap masyarakat Sipirok sendiri yang cenderung

mengabaikan informasi atau pandangan-pandangan yang

dinilai tidak sejalan dengan apa yang sudah diterima

di kalangan masyarakat. “Jika ada orang-orang yang

menyuarakan pandangan terlalu ekstrem, hal itu umumnya

akan dinilai aneh oleh masyarakat Sipirok,” ujar Hamdi S.

Pulungan, Kepala Badan Kesbangpol Pemerintah Kabupaten

Tapanuli Selatan (wawancara, 3 September 2019). Hal senada

juga dikemukakan Hamdan Siregar, Ketua Forum Kerukunan

Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Tapanuli Selatan, bahwa

masyarakat Sipirok tidak mudah terpengaruh pandangan-

pandangan keagamaan ekstrem, baik yang disampaikan

secara langsung melalui ceramah maupun informasi yang

beredar melalui media sosial (wawancara 1 Agustus 2019).

Page 254: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 244 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Corak paham keislaman yang dominan di Sipirok adalah

apa yang mereka sebut sebagai aliran Islamiyah. Sebutan ini

sesungguhnya digunakan untuk mengacu pada masyarakat

dengan tradisi keislaman ala komunitas Nahdlatul Ulama.

Selain itu, ada yang berafiliasi dengan organisasi Al-Washliyah

dan Muhammadiyah, yang memiliki jumlah pengikut yang

lebih sedikit. Meski terdapat perbedaan di antara kelompok-

kelompok itu, termasuk dalam hal sikap terhadap adat, corak

keislaman yang diusung kelompok-kelompok ini umumnya

dipandang moderat dan tidak ekstrem.

Mekanisme Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama

Mekanisme pemeliharaan kerukunan dapat dibagi

ke dalam mekanisme formal dan non-formal. Di antara

mekanisme formal, pemeliharaan kerukunan dilakukan oleh

wadah kelembagaan formal, baik organisasi pemerintah

maupun nonpemerintah. Adapun mekanisme non-formal

berlangsung dalam situs atau ruang publik yang memfasilitasi

perjumpaan antarkomunitas yang berbeda agama maupun

suku, seperti upacara siklus hidup, pasar (poken) dan kedai

kopi (lopo kopi). Di Sipirok mekanisme non-formal terlihat

lebih penting dibandingkan mekanisme formal dalam

memelihara kerukunan antarumat beragama. Meminjam

istilah Varshney, ikatan keseharian (quotidian) masih

memainkan peran yang lebih penting dalam memelihara

kerukunan antarumat beragama daripada ikatan asosiasional,

yang difasilitasi melalui wadah semacam perhimpunan atau

organisasi.

Upacara Siklus Hidup

Upacara terkait siklus hidup, seperti perkawinan dan

kematian, menjadi salah satu mekanisme non-formal yang

penting dalam memelihara kerukunan umat beragama.

Page 255: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 245 ~

Berbagai pranata adat seperti upacara perkawinan dan

upacara kemalangan telah memfasilitasi perjumpaan dari

warga pemeluk agama yang berbeda (dalam hal ini Islam

dan Kristen). Perjumpaan itu bukan membentuk ikatan baru,

tetapi memperkuat ikatan yang sudah terbentuk melalui

hubungan kekerabatan dan adat, sehingga memperkokoh

integrasi masyarakat yang telah terbangun selama ini

(Mangaraja Tenggar Siregar dan Mangaraja Endar, 30 Juli

2019; Sutan Parlindungan Suangkupon, 1 Agustus 2019).

Partisipasi dalam upacara suka cita (siriaon) maupun

upacara duka cita (siluluton) mencerimkan falsafah yang

dianut masyarakat Batak Angkola, “sahancit sahasonangan,

sasiluluton sasiriaon” (suka dan duka dirasakan bersama).

Ungkapan lain yang mencerminkan keeratan atau kerukunan

adalah “sahata saoloan, satumtum sapartahian” (seia sekata,

menyatu dalam mufakat untuk sepakat”) serta “mate mangolu

sapartahian” (hidup dan mati dalam sepakat untuk mufakat).

Beberapa segmen unsur adat dalam upacara perkawinan,

seperti markobas, makkobar dan mangupa, berperan

mempertemukan para tokoh adat, kendati berasal dari marga

dan agama yang berbeda. Dalam suatu upacara perkawinan

yang peneliti sempat hadiri, peneliti menyaksikan warga

Muslim dan Kristen, baik pria maupun wanita, remaja dan

dewasa, terlibat bersama dalam mempersiapkan makanan

untuk pesta sejak pagi hari. Kegiatan mempersiapkan makanan

itu disebut sebagai markobas. Para tamu undangan yang

hadir pun berasal dari warga Kristen dan Muslim. Sementara

itu, dalam segmen upacara adat sebelum pernikahan, yang

disebut makkobar, tampak hadir para tokoh adat Kristen

maupun Muslim (obsevasi lapangan, 14 September 2019).

Pertemuan-pertemuan adat semacam ini umumnya

berlangsung atas prakarsa masyarakat sendiri. Seorang tokoh

adat berharap pemerintah lebih berperan dalam memfasilitasi

pertemuan tokoh-tokoh adat sebagai bagian dari upaya

Page 256: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 246 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pemeliharaan kerukunan masyarakat Sipirok (wawancara

dengan Mangaraja Tenggar, 30 Juli dan 4 September 2019). Poken

Poken atau pekan adalah hari pasar besar di Sipirok,

yang berlangsung setiap Kamis.8 Pada saat poken, jumlah

pedagang lebih banyak dari hari biasanya karena pedagang

yang berjualan bukan hanya pedagang setempat, tetapi juga

pedagang dari daerah-daerah yang jauh, seperti Padang

Sidimpuan dan wilayah menuju Tarutung. Barang-barang

yang diperdagangkan pun beragam, mulai dari sayurmayur,

buah-buahan, ikan segar, berbagai bahan kebutuhan pokok,

pakaian dan peralatan rumah tangga, dan lainnya. Untuk

pedagang dan pembeli Muslim biasanya dapat dibedakan

dari cara pakaian mereka yang mengenakan jilbab (observasi

peneliti, 12 September 2019). Poken menjadi salah satu situs

penting arena interaksi warga Muslim dan Kristen di Sipirok.

Bersama Kabid Bina Ormas Kesabangpol Kabupaten Tapanuli Selatan Oktaryna Siregar mengunjungi poken di Pasar Sipirok, 5 September 2019.

8Masing-masing wilayah memiliki hari poken sendiri. Peneliti sempat mengunjungi poken di Kelurahan Simar Pinggan Kecamatan Angkola Selatan, yang dilaksanakan setiap Senin (observasi peneliti, 9 September 2019).

Page 257: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 247 ~

Lopo Kopi

Kepala KUA Kecamatan Sipirok sekaligus Ketua FKUB Kabupaten Tapanuli Selatan Hamdan Siregar (sebelah kanan), dan staf Kantor

Kementerian Agama Kabupaten Tapanuli Selatan Marbun

(sebelah kiri), 29 Juli 2019.

Situs penting lainnya yang meyediakan arena bagi

interaksi warga beragam marga, suku dan agama adalah

kedai kopi, yang dikenal dengan sebutan lopo kopi. Perlu

diingat bahwa kopi merupakan salah satu produk perkebunan

yang penting di Sipirok karena pada pemerintah kolonial

Belanda pernah menjadikan wilayah ini untuk menjalankan

kebijakan tanam paksa (culturstelsel). Di lopo kopi inilah

warga bertemu dan membincangkan berbagai persoalan,

mulai dari urusan domestik hingga urusan negara. Seorang

warga mengaku hampir setiap pagi ia mampir ke lopo kopi

sebelum berangkat ke kebun. Kemudian setelah selesai

berkebun, ia kembali mampir ke lopo kopi sebelum pulang ke

rumah. Pada malam hari, warga juga acap kali menghabiskan

waktunya untuk berbincang-bincang di lopo kopi. Lopo kopi

juga berperan sebagai tempat bagi warga untuk meng-update

informasi mengenai perkembangan mutakhir yang terjadi

terkait berbagai persoalan (komunikasi personal dengan Ipin

dan Arsyad, 10 September 2019). Di Sipirok, di samping tetap

bertahannya kedai-kedai kopi tradisional, semacam lopo

kopi, kini juga telah tumbuh kedai kopi dalam bentuk yang

lebih modern, seperti kafe.

Page 258: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 248 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Seperti yang terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia,

di Kabupaten Tapanuli Selatan telah terbentuk Forum

Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sejak 2006. Setelah

sempat vakum sepanjang 2016, susunan kepengurusan baru

akhirnya terbentuk pada 2017 dan posisi ketua dijabat oleh

Hamdan Siregar.

Susunan pengurus harian FKUB periode 2017-2022

adalah sebagai berikut:

Ketua : H. Hamdan, S.Ag

Wakil Ketua : Pdt. Sabar Nainggolan, S.Th

Wakil Ketua : H. Abdul Wahab Nasution

Sekretaris : Drs. H. Maralaut Siregar

Wakil Sekretaris : Yulianus Ndraha, S.Ag, S.Pd

Bendahara : H. Amsaruddin, S.Pd.I

Wakil Bendahara : Benget Hasiholan Simanjuntak, A.Md

Anggota:

1. Drs. H. Ihwan Nasution

2. Drs. H. Samsul Kamal Siregar

3. H. Sulaiman Harahap, S.Pd.I

4. Drs. Bahtiar Siregar

5. Arsan Mashuri, S.Sos

6. Drs. Dahlan Harahap, B.Sc

7. Pdt. Kornel Sinaga, S.Th, MM

8. Akhiril Pane, M.Pd

9. Dr. Zainal Effendi Hasibuan, MA

10. Dr. H. Arbanur Rasyid, MA

Anggota Sekretariat:

1. Zulpan Harahap, S.Ag

2. Muhammad Yusuf Lubis

Hal yang berbeda dari daerah lain pada umumnya, Ketua

FKUB Kabupaten Tapanuli Selatan Hamdan Siregar juga

Page 259: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 249 ~

menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan

Sipirok. Nama Hamdan muncul sebagai Ketua FKUB ketika

pada 2016 kepengurusan FKUB sempat vakum akibat Bupati

Tapanuli Selatan Syahrul M. Pasaribu tidak kunjung memberi

persetujuan untuk nama-nama calon pengurus yang telah

diusulkan sebelumnya. Tampaknya terjadi ‘persaingan sengit’

di antara berbagai pihak untuk menduduki jabatan Ketua

FKUB sehingga pelantikan kepengurusan yang seharusnya

dilaksanakan pada 2016 terpaksa mundur hingga 2017.

“Nama saya muncul untuk mengatasi kebuntuan terkait

jabatan ketua FKUB tersebut,” ujar Hamdan (wawancara 1

Agustus 2019).

Pelaksanaan tugas FKUB mendapat dukungan

pembiayaan dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten

Tapanuli Selatan dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli

Selatan. Pada 2019 dukungan pembiayaan dari Kantor

Kementerian Agama Kabupaten Tapanuli Selatan sebesar Rp

50 juta, yang diperuntukkan untuk penyelenggaraan kegiatan.

Sementara itu, dukungan pembiayaan dari Pemerintah

Kabupaten Tapanuli Selatan sebesar Rp 137 juta, yang hanya

diperuntukkan bagi biaya perjalanan dinas. “Anggaran dari

pemda tidak diperuntukkan bagi penyelenggaraan kegiatan.

Anggaran itu hanya untuk biaya perjalanan dinas anggota

FKUB, seperti menghadiri kegiatan di tingkat nasional,

provinsi dan kabupaten. Selain itu, juga untuk perjalanan

melakukan sosialisasi terkait kerukunan,” jelas Hamdan

(wawancara 1 Agustus 2019). Namun, keterangan berbeda

disampaikan salah seorang pejabat Badan Kesbangpol

Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, yang menyatakan

bahwa anggaran FKUB sesungguhnya dapat digunakan untuk

membiayai kegiatan dan pertemuan, di samping membiayai

perjalanan para pengurus FKUB untuk melakukan sosialisasi

dan menghadiri berbagai acara terkait pemeliharaan

kerukunan umat beragama (wawancara dengan Oktaryna,

Page 260: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 250 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kepala Bidang Ketahanan Ekonomi, Sosial, Budaya dan

Organisasi Masyarakat Badan Kesbangpol Pemkab Tapanuli

Selatan, 12 September 2019).

Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama

Beberapa upaya pemerintah daerah Kabupaten Tapanuli

Selatan dalam pemeliharaan kerukunan adalah memberi

dukungan pembiayaan maupun fasilitas kendaraan roda

empat bagi Forum Kerukunan Umat Beragama. “Besar

anggaran untuk FKUB tahun ini Rp 137 juta rupiah. Selain

itu, kami menyediakan kendaraan dinas roda empat bagi

pengurus FKUB,” ungkap Hamdi S. Pulungan, Kepala

Badan Kesbangpol Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan

(wawancara, 3 September 2019).

Selain itu, pemerintah kabupaten juga tidak menerapkan

kebijakan yang diskriminatif. Hal itu dikemukakan Bupati

Tapanuli Selatan Syahrul M. Pasaribu. “Pemerintah

memperlakukan dan memberi fasilitasi yang sama kepada

semua komunitas, meski jumlah dan proporsinya disesuaikan

dengan kemampuan keuangan pemerintah daerah dan

kebutuhan umat beragama,” kata Syahrul (wawancara, 8

September 2019). Hal senada juga dikemukakan Sekretaris

Daerah Parulian Nasution bahwa pemerintah daerah berusaha

melayani kebutuhan seluruh umat beragama berdasarkan

anggaran yang tersedia. Ia juga mengemukakan tradisi

kerukunan umat beragama di Sipirok juga telah menarik minat

sejumlah peneliti asing untuk datang ke Sipirok (wawancara,

5 September 2019).

Page 261: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 251 ~

Wawancara dengan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan H. Parulian Nasution, 5 September 2019

Wawancara dengan Kepala Badan Kesbangpol Pemerintah

Kabupaten Tapanuli Selatan Hamdi S. Pulungan, 5

September 2019

Meski sejumlah pihak mengakui kontribusi pemerintah

kabupaten terhadap pemeliharaan kerukunan umat

beragama (wawancara dengan Togar Simatupang, Ephorus

GKPA, 3 September 2019; Robert Simatupang, pastor Paroki

Padang Sidimpuan, 11 September 2019), namun inisiatif

pemerintah lokal (kecamatan dan desa/kelurahan) dalam

pemeliharaan kerukunan umat beragama masih belum

dirasakan. Peran Kementerian Agama Kabupaten dalam

pemeliharaan kerukunan umat beragama juga terlihat masih

sangat rendah. “Tidak ada anggaran maupun kegiatan yang

dialokasikan secara khusus untuk pemeliharaan kerukunan

umat beragama. Yang ada hanyalah anggaran untuk FKUB

sebesar Rp 50 juta,” ungkap Dahmansyah, Kepala Kantor

Kementerian Agama Kabupaten Tapanuli Selatan (wawancara,

3 September 2017). Pada saat penelitian dilakukan, anggaran

itu pun belum cair sehingga alokasi anggaran untuk FKUB itu

belum direalisasikan.

Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan formal, seperti sekolah dan

madrasah, berperan dalam pemeliharaan kerukunan melalui

Page 262: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 252 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

sejumlah mata pelajaran, yang dijadikan sebagai bahan

pembelajaran, khususnya Pendiidkan Kewarganegaraan

(PKn). Hal ini dikemukan sejumlah tenaga pendidik yang

diwawancarai. Selain itu, mereka juga mengaku acap kali

menyampaikan kepada murid-murid mereka tentang

pentingnya sikap untuk menghormati dan menghargai

perbedaan agama yang dianut di antara siswa-siswanya.

Sekolah juga menyelenggarakan berbagai kegiatan yang secara

umum memfasilitasi interaksi dari siswa-siswa yang berbeda

agama (wawancara dengan Rudolf Hutagalung, Wakil Kepala

SMK 1 Martabe, 6 September 2019; Juni Pasaribu, pengurus

Gereja Katolik Stasi Elisabet Sipirok, 6 September 2019). Juni

Pasaribu mengemukakan bahwa ana-anak sekolah Katolik

sempat berpartisipasi menampilan kegiatan marching band

dalam acara Safari Muharam 1441 H, yang digelar Pemerintah

Kabupaten Tapanuli Selatan (wawancara, 6 September 2019).

Sementara itu, Abdul Hakim Siregar, Wakil Kepala Bidang

Kurikulum MAN Insan Cendekia Sipirok, mengaku bahwa

kendati isu-isu kerukunan tidak terlalu banyak dibicarakan,

MAN IC telah mempraktikkan langsung dengan cara

merekrut warga non-Muslim sebagai salah satu pegawai yang

menangani bagian instalasi dan suplai air (wawancara, 14

September 2019).

Kaum Perempuan dan Keluarga

Beberapa tokoh perempuan yang berhasil diwawancarai

umumnya mengaku bahwa keluarga juga berperan dalam

memberi nasihat atau wejangan kepada anggota keluarga

tentang pentingnya sikap menghormati dan menghargai

pemeluk agama lain. Seluruh informan yang dijumpai

umumnya mengaku tidak membatasi pergaulan di antara

anak-anak mereka dengan anak-anak yang berbeda agama.

Bahkan, mereka juga mengemukakan pengalaman masa kecil

yang tumbuh dalam pergaulan dengan anak-anak berbeda

Page 263: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 253 ~

agama. Selain itu, para perempuan yang juga aktif dalam

organisasi keagamaan mengaku juga acap membicarakan

pentingnya toleransi dan memelihara kerukunan dalam

pertemuan-pertemuan organisasi mereka (wawancara

dengan pengurus BKMT Kecamatan Sipirok, 6 September

2019; Dewiyana, Ketua Muslimat NU Kecamatan Sipirok, dan

aktivitas perempuan Al-Washliyah, 14 September 2019).

Organisasi Keagamaan

Seluruh wakil organisasi keagamaan, baik Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Kecamatan Sipirok, Muhammadiyah, Al-

Wasliyah, Muslimat NU, dan Badan Kontak Majelis Taklim

(BKMT) mengaku bahwa masing-masing organisasi mereka

acap kali menyampaikan pesan dakwah atau keagamaan

yang di dalamnya mengandung unsur-unsur pemupukan

sikap toleransi dan saling menghormati antarumat beragama.

Kendati demikian, umumnya mereka menyebut FKUB

sebagai lembaga yang seharusnya memainkan peran lebih

besar dalam memfasilitasi pertemuan antartokoh agama di

tingkat lokal.

Penutup

Kesimpulan dan Rekomendasi

Penelitian ini menemukan ikatan kekerabatan sebagai

faktor utama pembentuk tradisi kerukunan umat beragama di

Sipirok. Sistem kekerabatan etnis Batak, yang dikenal dengan

istilah dalihan na talo, berperan sebagai perekat utama warga

Batak, kendati mereka memiliki keyakinan keagamaan yang

berbeda. Dalam konteks Sipirok, komunitas agama terbesar

adalah Muslim, disusul Kristen dan Katolik.

Selain ikatan kekerabatan, pengalaman hidup bersama

selama berpuluh-puluh tahun yang relatif terbebas dari

konflik juga turut berkontribusi pada terbentuknya jalinan

Page 264: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 254 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

kerukunan di antara umat Islam dan Kristen. Memori kolektif

positif tentang hidup rukun yang dijalani generasi sebelumnya

terlihat masih berakar kuat di kalangan warga.

Tradisi hidup rukun ini dipelihara terutama melalui

mekanisme non-formal seperti upacara adat, interaksi

keseharian, pertukaran ekonomi melalui poken, serta

perjumpaan dan perbincangan di lopo kopi. Sementara itu,

mekanisme pemeliharaan kerukunan melalui wadah formal,

baik institusi pemerintah, pendidikan, organisasi keagamaan

atau organisasi kemasyarakatan tampak masih sangat

terbatas. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang

dibentuk antara lain untuk tujuan pemeliharaan kerukunan,

juga belum memperlihatkan peran yang signifikan, terutama

pada level kecamatan dan sub-kecamatan.

Kerukunan hidup antarumat beragama di Sipirok yang

telah tumbuh dan berkembang ‘secara alamiah’ tampaknya

malah menghalangi munculnya imajinasi kreatif pemerintah

untuk merancang dan menggulirkan berbagai inisiatif dalam

rangka pemeliharaan kerukunan umat beragama. Padahal,

tradisi kerukunan yang telah tumbuh dan berkembang

tetap memerlukan berbagai upaya untuk merawat dan

melestarikannya.

Dalam rangka inisiatif pemeliharaan kerukunan umat

beragama, beberapa hal berikut dapat dilakukan. Pertama,

pemerintah daerah dapat memanfaatkan berbagai pranata

adat yang ada untuk upaya pemeliharaan kerukunan. Berbagai

momen upacara adat dapat dimanfaatkan bagi upaya yang

secara sadar ditujukan untuk memupuk dan memelihara

memori kolektif yang telah tertanam di masyarakat

tentang pentingnya kerukunan, toleransi, dan kerja sama

antarumat beragama. Pemerintah juga dapat memfasilitasi

pertemuan tokoh adat dan tokoh agama secara berkala untuk

membicarakan upaya-upaya pemeliharaan kerukunan umat

beragama.

Page 265: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 255 ~

Kedua, pemerintah daerah perlu mendorong terbentuknya

wadah generasi muda lintas agama, yang dapat berperan

sebagai pendukung bagi Forum Kerukunan Umat Beragama

(FKUB), yang umumnya beranggotakan orang dewasa dan

kegiatannya terbatas hanya pada level kabupaten. Wadah ini

dapat digunakan untuk mengkader agen-agen pemelihara

kerukunan umat beragama di masa mendatang.

Ketiga, inisiatif pemeliharaan kerukunan perlu

diintegrasikan ke dalam kurikulum lembaga pendidikan. Perlu

disusun buku yang memuat sejarah dan tradisi kerukunan

masyarakat Sipirok, yang selanjutnya dijadikan sebagai salah

satu bahan ajar yang digunakan bagi pendidikan kerukunan

melalui lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat usia

dini hingga sekolah menengah atas yang ada di Sipirok.

Keempat, Kementerian Agama Kabupaten dapat

menginisiasi program untuk menjadikan Sipirok sebagai salah

satu model wilayah kerukunan, antara lain, dengan menjalin

kerja sama dengan pemerintah daerah, perguruan tinggi

umum dan keagamaan setempat, serta Pusat Kerukunan

Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama.

Daftar Pustaka Agustono, Budi, dan Junaidi. “The Dutch Colonial Economic

Policy: Coffee Exploitation in Tapanuli Residency, 1849–1928.” Kemanusiaan, Vol. 25, No. 2, (2018): 49–71.

Alam, Rudy Harisyah. “Ikatan Kekerabatan dan Kedamaian Umat Beragama: Studi

Kasus di Desa Kerta Jaya Kecamatan Pebayuran Kabupaten Bekasi Jawa Barat.” Penamas, Vol. 31, No. 2, (2018): 379-396.

Aritonang, Jan Sihar, dan Karel Steenbrink, ed. A History of Christianity in Indonesia. Leiden dan Boston: Brill, 2008.

Harahap, Ramli SN. ed. Bunga Rampai Seratus Lima Puluh Tahun Kekristenan di

Page 266: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 256 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Luat Angkola. Padang Sidimpuan: Kantor Pusat GKPA.

Ismail. “Ikatan Kewargaan dan Asosiasional Antarumat Beragama di Desa Pabuaran Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor Jawa Barat.” Dalam Daniel Rabitha dkk. Toleransi Antarkelompok Umat Beragama pada Masyarakat Heterogen. Jakarta: Balai Litbang Agama Jakarta Press, 2018.

Lubis, Z. Pangaduan, dan Zulkifli B. Lubis. Sipirok na Soli: Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok. Medan: USU Press, 1998.

Marpodang, Gultom Raja. Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Batak, cet. 1. Medan: Armanda, 1992.

Panitia Inti Jubileum 125 Tahun HKBP. Tuhan Menyertai Umatnya: Sejarah 125 Tahun HKBP. Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986.

Pulungan, Abas. Perkembangan Islam di Mandailing. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008.

Rabitha, Daniel, dkk. 2018. Toleransi Antarkelompuk Umat Beragama pada Masyarakat Heterogen. Jakarta: Balai Litbang Agama Jakarta Press.

Rodgers, Susan. “Islam and the Changing of Social and Cultural Structures in the Angkola Batak Homeland.” Social Compass XXXI/1 (1984): 57-74.

Rodgers, Susan. “Symbolic Patterning in Angkola Batak Adat Ritual.” The Journal of Asian Studies, Vol. 44, No. 4 (Aug., 1985): 765-778.

Rodgers, Susan. “Batak Tape Cassete Kinship: Constructing Kinship through the Indonesian national mass media.” American Ethnologist, Vol. 13, Issue 1 (1986): 23-42.

Rodgers, Susan. “Imagining Tradition, Imagining Modernity: A Southern Batak Novel from the 1920s.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 147, 2de/ 3de Afl. (1991): 273- 297.

Rodgers, Susan. “How I Learned Batak: Studying the Angkola Batak Language in 1970s New Order Indonesia.” Indonesia, No. 93 (Apr. 2012): 1-32.

Page 267: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 257 ~

“Sang Tokoh Djaroemahot Nasution,” Parau Sorat, 12-13 November 2010.

Siregar, Susan Rodgers. “A Modern Batak Horja: Innovation in Sipirok Adat Ceremonial.” Indonesia, No. 27 (Apr. 1979): 103-128.

Siregar, Susan Rodgers. “A Batak Literature of Modernization.” Indonesia, No. 31 (Apr. 1981): 137-161.

Page 268: TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA

~ 258 ~

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~