trade diversion, peluang di tengah eskalasi tensi perdagangan · keuntungan dari terjadinya trade...
TRANSCRIPT
Bab 5 - Artikel
115
Dinamika Negosiasi Perdagangan AS-
Tiongkok
Ketegangan perdagangan antara
AS-Tiongkok berawal dari diberlakukannya
kenaikan tarif impor oleh AS terhadap
produk dari Tiongkok. Kenaikan tarif impor
merupakan upaya Presiden Trump untuk
menurunkan defisit neraca perdagangannya
dengan Tiongkok yang makin membengkak.
Defisit perdagangan AS dengan Tiongkok
pada 2018 mencapai USD419,2 miliar, naik
dari USD375,6 miliar pada 2017. Ketegangan
perdagangan tereskalasi sejak 6 Juli 2018,
tepatnya pasca AS meningkatkan tarif impor
terhadap produk Tiongkok. Keputusan AS
tersebut menimbulkan aksi retaliasi dari
Tiongkok dengan menaikkan tarif impor
produk AS.
Perekonomian global masih
dihadapkan pada permasalahan kebijakan
proteksionisme perdagangan. Tindakan
Amerika Serikat (AS) menaikkan tarif impor
sejumlah negara direspons dengan tindakan
retaliasi, terutama oleh Tiongkok. Berbagai
perundingan telah digelar namun belum
memperoleh solusi yang konkret. Hambatan
perdagangan telah menurunkan optimisme
perbaikan ekonomi dunia yang sempat
merebak pada awal 2018. International
Monetary Fund (IMF) telah beberapa kali
merevisi ke bawah outlook pertumbuhan
ekonomi global dan menekankan pentingnya
mengakhiri ketegangan perdagangan.
Namun sejumlah negara dapat memetik
keuntungan dari terjadinya trade diversion
dengan manfaat terbesar dinikmati oleh
Vietnam.
Artikel 1
BAB
5
Trade Diversion, Peluang di Tengah Eskalasi Tensi PerdaganganOleh: Diah Indira dan Masagung Suksmonohadi
Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional - Edisi II 2019
116
berlangsungnya negosiasi antara AS
dan Tiongkok. AS, pada 10 Mei 2019,
mengejutkan dunia dengan mengumumkan
kenaikan tarif impor dari 10% menjadi 25%
atas produk impor dari Tiongkok senilai
USD200 miliar. Tiongkok segera meretaliasi
keputusan AS tersebut dengan menaikkan
tarif impor terhadap USD60 miliar produk
impor dari AS menjadi 5%-25% (dari
sebelumnya 5%-10%) yang mulai berlaku
sejak 1 Juni 2019. AS bahkan mengancam
akan mengenakan tambahan tarif impor
sebesar 25% terhadap sisa impor dari
Tiongkok yang belum dikenakan tarif senilai
USD300 miliar, terutama jika Presiden Xi
Jinping menolak melaksanakan pertemuan
bilateral dengan AS pada Pertemuan G20 di
Osaka akhir Juni 2019.
Langkah Trump untuk kembali
menaikkan tarif atas produk impor Tiongkok
dilatarbelakangi backtracking Tiongkok atas
sejumlah kesepakatan negosiasi. Tiongkok
merespons tuduhan tersebut dengan merilis
white paper yang menegaskan bahwa
justru AS yang melakukan backtracking.
Argumentasi tersebut disertai penjelasan
bahwa di saat Tiongkok telah sepakat
meningkatkan impor produk pertanian dan
energi, AS tetap mengenakan tambahan tarif
sebesar 25% pada USD50 miliar produk impor
Tiongkok. AS juga mengkritik sistem ekonomi
dan kebijakan perdagangan Tiongkok,
kemudian mengumumkan penegasan
pengenaan tambahan tarif meski AS-
Tiongkok telah merilis joint statement untuk
menghentikan trade war dan melanjutkan
Sumber: Nomura, diolah
0
100
200
300
400
500
600
Jan-Mar 201 06-Jul-18 23-Agu-18 24-Sep-18 10-Mei-19AS Tiongkok AS Tiongkok AS Tiongkok AS Tiongkok AS Tiongkok
Tarif 25% untuk produk senilai USD34 miliar
Tarif 25% untuk produk senilai
USD 16 miliar
USD 200 miliar
USD60 miliar
Kenaikan tarif dari 10% menjadi 25%
untuk produk senilai
USD200 miliar
USD Miliar
Ancaman tarif 25% oleh AS untuk produk impor dari Tiongkok senilai USD300 miliar yangbelum dikenakan tarif sebelumnya/untaxedimport
Impor yang belum dikenai tarif Impor AS dari Tiongkok
Impor Tiongkok dari AS
Impor ASdari
Tiongkok: ± USD550
miliar
Impor Tiongkok dari AS:
± USD120 miliar
Tarif 10% untuk produk senilai
Tarif 5%-10% untuk produk senilai
Grafik 5.1. Pengenaan Tarif antara AS
dan Tiongkok
Eskalasi trade tensions sempat
mereda setelah AS dan Tiongkok melakukan
pertemuan bilateral di sela G20 Meeting
pada 1 Desember 2018. AS memutuskan
untuk menunda kenaikan tarif (trade truce)
menjadi 25% untuk USD200 miliar produk
impor dari Tiongkok. Keputusan tersebut
memberi kesempatan negosiasi guna mencari
solusi yang saling menguntungkan.1 Sejumlah
langkah positif berhasil diraih antara lain
komitmen Tiongkok untuk meningkatkan
impor produk pertanian dan energi dari AS.
Namun perundingan masih menyisakan
masalah struktural yang belum berhasil
dikompromikan, yaitu isu pencurian hak
kekayaan intelektual, kewajiban transfer
teknologi bagi perusahaan AS, dan hambatan
akses pasar.
Ketidakpastian penyelesaian
perdagangan kembali merebak di tengah
1 Trade truce adalah penundaan pengenaan tarif impor 25% oleh AS terhadap produk impor Tiongkok. Trade truce terjadi pasca Presiden AS dan Tiongkok bertemu pada sidang G20 pada 1 Desember 2018, dengan masa berlaku 90 hari.
Bab 5 - Artikel
117
perusahaan (Google, Intel, dan Microsoft)
segera menghentikan hubungan dagang
dengan Huawei. AS juga menambah daftar
perusahaan Tiongkok yang dimasukkan ke
dalam entity list, yakni (i) Sugon, (ii) the Wuxi
Jiangnan Institute of Computing Technology,
(iii) Higon, (iv) Chengdu Haiguang Integrated
Circuit, dan (v) Chengdu Haiguang
Microelectronics Technology.2 Tiongkok telah
melakukan retaliasi dengan mengumumkan
unreliable entities perusahaan AS dan
menerbitkan travel warning pada 5 Juni 2019
bagi warga negaranya yang akan bepergian
ke AS.3
2 Entity list adalah daftar perusahaan dan individu yang dianggap membahayakan keamanan nasional AS sehingga harus memenuhi persyaratan untuk dapat melakukan ekspor, re-ekspor, dan transfer ke AS.
3 Unreliable entities berisi daftar perusahaan, organisasi, dan individu AS yang tidak patuh pada aturan pasar, melanggar kontrak, melakukan blokir/pemutusan pasokan dengan alasan nonkomersial, atau melanggar kepentingan perusahaan Tiongkok. Daftar ini diterbitkan pada 31 Mei 2019.
negosiasi. Pemerintah Tiongkok memandang
bahwa AS harus bertanggungjawab atas
berlarut-larutnya penyelesaian friksi dagang.
Tiongkok berkomitmen untuk menyelesaikan
friksi melalui negosiasi yang bermartabat, dan
menegaskan bahwa trade deals didasarkan
pada prinsip kesetaraan dan mutual benefit.
Aksi proteksionisme perdagangan
meluas pada hambatan nontarif. AS
mengenakan hambatan pada perusahaan
teknologi ‘Huawei’ yang berasal dari
Tiongkok, dengan pertimbangan mengancam
keamanan nasional dan ekonomi.
Departemen Kehakiman AS melayangkan
23 dakwaan terhadap Huawei dan Direktur
Keuangan Huawei, Meng Wanzhou. Huawei
didakwa mencuri rahasia dagang, melanggar
sanksi Iran, melakukan fraud dan konspirasi
perbankan untuk berbisnis dengan Iran, serta
melakukan pencurian teknologi. Perusahaan
AS dilarang berbisnis dengan Huawei tanpa
persetujuan pemerintah, sehingga beberapa
6 Jul & 23 Agt-18:AS mengenakan tarif 25% untuk USD34 miliar dan
USD 16 miliar produk impor dari Tiongkok
10 Mei-19:AS menaikkan tarif menjadi
25% (dari 10%) untuk USD200 miliar produk impor dari Tiongkok
13 Mei-19:Tiongkok meretaliasi dengan
menaikkan tarif menjadi kisaran 5%-25% (dari semula kisaran 5%-10%) atas impor AS senilai USD60
miliar, berlaku 1 Jun-19.
13 Mei-19:AS akan mengenakan tarif 25%
terhadap untaxed imports Tiongkok senilai USD300 miliar
(diperkirakan akhir Juni- 19)
31 Mei-19:Tiongkok
mengumumkan akan membuat
unreliable entities
2 Juni-19:Tiongkok merilis
white paper, Menjelaskan posisi
Tiongkok terkait tensi perdagangan dgn AS.
5 Juni-19:Tiongkok merilis
travel warningbagi WN Tiongkok yang
akan ke AS
10 Juni-19:Presiden Trump akan merealisasikan tarif
(25%) atas untaxed imports Tiongkok (senilai USD300 miliar) apabila tidak
terdapat kesepakatan dengan Tiongkok pada G20 Meeting akhir Juni 2019
16 Mei-19:AS memasukkan HUAWEI dalam
“entity list”dan melarang perusahaan AS untuk melakukan hubungan dagang dengan Huawei
tanpa izin pemerintah
6 Jul & 23 Agt-18:Tiongkok mengenakan tarif 25% atas USD50 miliar produk impor
dari AS
24 Sep-18:AS mengenakan tambahan
tarif 10% untuk USD200 miliar produk impor dari Tiongkok
24 Sep-18:Tiongkok mengenakan tarif 5% - 10% tarif untuk USD60 miliar produk impor dari AS
18 Jun-19:Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping
sepakat untuk bertemu di sela G20 meeting
21 Jun-19:Pemerintah AS memasukkan
5 perusahaan Tiongkok ke dalam entity list.
Sumber: www.china-briefing.com, diolah
Gambar 5.1. Perkembangan Ketegangan Perdagangan AS-Tiongkok
Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional - Edisi II 2019
118
untuk mengurangi tingkat utang.4 Rerata
ekonomi Tiongkok tumbuh melambat dari
6,8% yoy pada paruh pertama 2018, menjadi
hanya 6,5% pada paruh kedua 2018.
Perlambatan diperkirakan berlanjut pada
2019 dan 2020, masing-masing menjadi
6,3% dan 6,1%. Pelemahan ekonomi juga
terjadi di AS yang diperkirakan hanya akan
mencapai 2,3% yoy, setelah tumbuh cukup
tinggi pada 2018 sebesar 2,9%.
Sumber: WEO April 2019
7
6
5
4
3
2015 2016 2017 2018 Feb2019
2
1
0
-1
Industrial productionWorld trade volomesManufacturing PMI: new orders
(Deviations from 50 for Manufacturing PMI)
Grafik 5.3. World Trade Volume,
Industrial Production, PMI Manufacturing
Sumber: WEO April 2019
15
10
5
0
-52015 2016 2017 2018 Q4
United StatesJapanEuro area
United KingdomChina
Grafik 5.4. Real Exports
4 Tingkat utang korporasi pada 2017 mencapai 160,3% PDB (BIS).
Mengukur Dampak Ketegangan
Perdagangan AS-Tiongkok
Friksi perdagangan AS-Tiongkok
memberikan dampak negatif pada
perekonomian dunia. Pertumbuhan
perdagangan global melemah tajam dari
puncaknya pada 2017, diikuti dengan
penurunan kinerja produksi industri dan
sektor manufaktur. Pelemahan transaksi
perdagangan dunia tersebut pada akhirnya
menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia
melambat. IMF dalam WEO April 2019
memprediksi, pertumbuhan PDB global pada
2019 hanya akan mencapai 3,3% yoy, turun
signifikan dari realisasi 2018 sebesar 3,6%.
Bahkan, IMF dalam WEO Juli 2019 kembali
menurunkan proyeksi pertumbuhan PDB
global menjadi 3,2% yoy.
Kinerja ekonomi AS dan Tiongkok
terganggu. Ekspor Tiongkok menurun
signifikan setelah berakhirnya front loading
ekspor oleh perusahaan Tiongkok untuk
memanfaatkan momen sebelum tarif impor
oleh AS berlaku efektif. Kenaikan tarif telah
menahan laju ekspor Tiongkok ke AS dan
pada TW1-19 rerata pertumbuhan ekspor
mengalami kontraksi tajam (-250,4% yoy).
Kondisi tersebut menyebabkan surplus neraca
perdagangan Tiongkok dengan AS menurun
ke USD47,4 miliar pada TW1-19, lebih rendah
dibandingkan TW4-18 (USD104,6 miliar).
Penurunan perdagangan menambah tekanan
pada ekonomi Tiongkok yang sedang
melambat akibat kebijakan deleveraging
Bab 5 - Artikel
119
Tiongkok melalui Vietnam agar produk
Tiongkok tercatat sebagai produk Vietnam.
Eksportir Tiongkok melakukan langkah
tersebut untuk menghindari kenaikan tarif
impor dari AS. Dalam hal ini, Pemerintah
Vietnam berkomitmen memerangi praktik
illegal transhipment dan relabeling oleh
eksportir Tiongkok tersebut untuk menjaga
hubungan baik dengan AS.
Peluang Indonesia Memperoleh Benefit
dari Trade Diversion
Berbeda dengan empat negara
tersebut di atas, Indonesia termasuk salah
satu negara berkembang yang relatif belum
memperoleh benefit yang optimal dari trade
diversion. Hal ini antara lain disebabkan
tingkat kemiripan produk ekspor Indonesia
dengan produk ekspor Tiongkok (export
similarity index) relatif lebih rendah terutama
dibandingkan dengan Vietnam, Taiwan, dan
Malaysia. Bahkan, terdapat risiko bahwa
pelemahan ekonomi dan ekspor Tiongkok
dapat berdampak negatif bagi ekspor
Indonesia mengingat hubungan perdagangan
Indonesia yang erat dengan Tiongkok.
Merespons hal tersebut, Indonesia
perlu terus mencari peluang ekspor dan
meningkatkan daya saing. Upaya peningkatan
ekspor dapat ditempuh antara lain melalui
diversifikasi produk dan penguatan kualitas
produk manufaktur untuk merebut pasar
ekspor yang ditinggalkan AS dan Tiongkok.
Indonesia juga perlu memberikan perhatian
kepada produk ekspor yang mengalami
Trade Diversion Memberikan Benefit
kepada Sejumlah Negara
Meskipun eskalasi ketegangan
perdagangan antara dua kekuatan besar
dunia menimbulkan dampak negatif bagi
perekonomian global, sejumlah negara
telah memperoleh manfaat dari pengalihan
impor kepada negara lain (trade diversion).
Menurut asesmen yang dilakukan Nomura,
beberapa negara seperti Vietnam, Taiwan,
Chile, dan Malaysia memperoleh benefit
cukup besar dari trade diversion AS dan
Tiongkok. Keuntungan Vietnam mencapai
7,9% terhadap PDB, terutama berasal dari
pengalihan impor AS ke negara lain. Taiwan,
Chile, dan Malaysia memperoleh benefit dari
trade diversion masing-masing sebesar 2,1%,
1,5% dan 1,3% dari PDB.
Vietnam memperoleh manfaat yang
cukup signifikan karena memiliki sejumlah
keuntungan. Indeks export similarity
produk Vietnam dengan Tiongkok cukup
tinggi mencapai 0,43, jauh di atas Taiwan
(0,35) dan Malaysia (0,32).5 Vietnam juga
diuntungkan oleh kedekatan geografis
dengan Tiongkok, serta fasilitas Generalized
System of Preferences (GSP), dan Bilateral
Trade and Investment Framework Agreement
(TIFA) dengan AS sejak 1994. Di tengah
benefit yang dinikmati Vietnam, terdapat
concern mengenai relabeling produk
Tiongkok menjadi Made in Vietnam. Selain
itu juga terdapat praktik transhipment ekspor
5 Exploring US and China Trade Diversion, Nomura, 3 Juni 2019.
Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional - Edisi II 2019
120
peningkatan terbesar akibat trade
diversion.6 Selain itu, untuk memitigasi risiko
penurunan permintaan ekspor dari negara
mitra dagang utama, Indonesia perlu terus
melanjutkan upaya menemukan pasar ekspor
nontradisional, serta meningkatkan kerja
sama perdagangan bilateral dengan sejumlah
negara.
Referensi:
International Monetary Fund. 2018. “World
Economic Outlook: Growth Slowdown,
Precarious Recovery”. Washington, DC,
April.
Subbaraman, Rob, Sonal Varma, dan Michael
Loo. 2019. “Nomura Global Market
Research: Exploring US and China Trade
Diversion”. Hong Kong, June.
Wong, Dorcas dan Alexander Chipman
Koty. 2019. “The US-China Trade War: A
Timeline”. China-Briefing, dilihat 26 Juni
2019. <https://www.china-briefing.com/
news/the-us-china-trade-war-a-timeline/>.
6 Produk dimaksud a.l. Travel Goods, Hand Bags, Wallets; Transformasi Appar for Radiotelle TV Camera, Structures & Parts, of Iron and Steel; Natural Gas, Other Cyclanes, Cyclene & Cycloterpenesd, Biodiesel and Mixtures (Sumber: Nomura).
Bab 5 - Artikel
121
Malaysia yang termasuk dalam sepuluh besar
mitra dagang utama Indonesia. Namun,
perdagangan bilateral Indonesia dengan
kedua negara tersebut masih didominasi
oleh USD, dan penggunaan mata uang lokal
(rupiah, baht, dan ringgit) dalam setelmen
transaksi perdagangan di kawasan masih
sangat terbatas. Secara agregat, penggunaan
mata uang ringgit dan baht dalam
perdagangan Indonesia baik ekspor dan
impor masing-masing masih di bawah 1%.
Fenomena tersebut semakin
menekankan pentingnya upaya untuk
mengurangi ketergantungan terhadap
USD. Salah satu upaya untuk mengurangi
ketergantungan USD adalah dengan
mendorong penggunaan mata uang lokal
dalam transaksi perdagangan internasional
Indonesia. Penggunaan mata uang lokal
dalam transaksi perdagangan internasional
diharapkan dapat meminimalisir dampak
yang bersumber dari shocks eksternal dan
berkontribusi positif dalam mendukung
upaya menjaga stabilitas rupiah. Penggunaan
mata uang lokal dalam perdagangan
internasional juga dapat memberikan manfaat
Latar Belakang
Ketergantungan ekonomi
Indonesia terhadap USD menjadi salah
satu sumber kerentanan eksternal
Indonesia. Ketergantungan terhadap USD
tersebut terindikasi dari dominasi penggunaan
USD dalam penyelesaian setelmen transaksi
ekspor maupun impor Indonesia. Dari total
transaksi ekspor Indonesia, lebih dari 90%
setelmen transaksinya menggunakan dolar AS
(USD). Demikian halnya di sisi impor, sekitar
80% transaksi masih menggunakan USD.
Ketergantungan terhadap USD yang tinggi
ini menyebabkan perekonomian Indonesia
rentan terhadap shock yang bersumber
dari global yang berpotensi berdampak
negatif bagi stabilitas sistem keuangan
dan makroekonomi, serta meningkatkan
kerentanan eksternal.
Dominasi penggunaan USD dalam
setelmen transaksi ekspor juga terjadi
pada perdagangan antara Indonesia
dengan negara-negara di kawasan.
Dewasa ini, keterkaitan perdagangan antara
Indonesia dengan negara di kawasan semakin
tinggi, diantaranya dengan Thailand dan
Artikel 2
Kerja Sama Local Currency Settlement di Kawasan ASEANOleh: Ita Vianty
Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional - Edisi II 2019
122
RI-Malaysia pada 23 Desember 2016. Pada
tahap awal, cakupan transaksi LCS yang
dilakukan melalui bank ACCD masih dibatasi
untuk memfasilitasi penyelesaian transaksi
perdagangan bilateral. Hal ini merupakan
bagian dari upaya BI dan BOT serta BI dan BNM
untuk mengurangi ketergantungan terhadap
USD dengan mendorong penggunaan mata
uang lokal dalam penyelesaian transaksi
perdagangan antar kedua negara. Transaksi
tersebut diharapkan dapat berkontribusi
positif dalam menjaga kestabilan nilai tukar
rupiah, baht, dan ringgit.
Framework LCS berbasis ACCD
LCS berbasis ACCD ini merupakan
salah satu bentuk skema hybrid dari model
pengembangan LCS yang melibatkan peran
otoritas dan sektor swasta (komersial). Fitur
utama skema ini adalah (i) penunjukkan oleh
bank sentral terhadap beberapa bank yang
akan berperan sebagai ACCD, yang akan
memfasilitasi setelmen perdagangan dalam
mata uang lokal; (ii) pemberian fleksibilitas
ketentuan nilai tukar (foreign exchange
administration – FEA) secara terbatas kepada
ACCD; dan (iii) mekanisme surveilans
dan sharing informasi bank sentral untuk
memastikan kepatuhan ACCD terhadap
persyaratan yang ditetapkan bank sentral.
Dalam skema LCS ACCD, peran bank
sentral adalah menjalin MoU kerja sama LCS,
menyusun kriteria dan menunjuk beberapa
bank sebagai ACCD, memberikan relaksasi
FEA (flexibilities) secara terbatas kepada
bagi Indonesia karena dapat mendorong
diversifikasi eksposur mata uang, mengurangi
biaya transaksi perdagangan karena tidak
diperlukan lagi hard currency sebagai
mata uang perantara, dan mendorong
pengembangan pasar keuangan domestik
berbasis mata uang lokal.
Sejalan dengan itu, kerja sama
antarbank sentral di kawasan perlu
diperkuat guna mendorong penggunaan
mata uang lokal dalam perdagangan
internasional di kawasan. Salah satu upaya
yang dapat ditempuh adalah melalui skema
komersial yang difasilitasi oleh bank sentral,
yaitu skema Local Currency Settlement (LCS)
berbasis Appointed Cross Currency Dealer
(ACCD). Skema ini merupakan model
pengembangan LCS hybrid yang memadukan
peran komersial dan fasilitasi dari bank sentral
(otoritas).
Kerja Sama LCS ACCD antara BI dan BOT
serta BI dan BNM
Bank Indonesia (BI) dan Bank
Negara Malaysia serta BI dan Bank
of Thailand (BOT) telah menginisiasi
kesepakatan kerja sama LCS ACCD
yang bertujuan untuk mendukung
kestabilan nilai tukar Rupiah, Baht, dan
Ringgit. Kesepakatan tersebut diwujudkan
melalui penandatanganan Memorandum of
Understanding (MOU) guna mempromosikan
penggunaan local currency settlement
framework dalam penyelesaian perdagangan
dan investasi bilateral antara RI-Thailand dan
Bab 5 - Artikel
123
kepentingan pelaksanaan squaring position
(secara gross). Transaksi tersebut dapat
meliputi transaksi spot maupun derivatif
(forward dan swap) dengan didukung
dokumen underlying transaksi baik yang
bersifat pasti maupun perkiraan (anticipatory
basis).
Framework LCS ACCD akan
memberikan manfaat yang signifikan
bagi pelaku usaha. Manfaat dari framework
LCS berbasis ACCD Indonesia dengan
Malaysia dan Thailand bagi eksportir dan
importir, antara lain adalah (i) kuotasi harga
MYR/IDR atau THB/IDR dilakukan secara
langsung dan tidak melalui USD sehingga kurs
harga lebih efisien, (ii) biaya premi forward
dapat lebih rendah jika dibandingkan dengan
premi forward ke USD, dan (iii) likuiditas MYR
dan THB lebih terjamin karena kebutuhan
mata uang lokal dapat dipenuhi oleh Bank
ACCD karena mendapatkan dukungan oleh
ACCD, dan monitoring compliance ACCD
terhadap ketentuan LCS (fleksbilitas FEA
yang diberikan bank sentral). Sementara,
peran ACCD adalah memfasilitasi LCS
dengan menyediakan jasa keuangan dalam
mata uang lokal berupa penerbitan direct
quotation untuk memfasilitasi jual/beli mata
uang lokal, trade financing, pembukaan
deposito, transfer dana (di negara mitra
transfer dilakukan secara over-booking), dan
pengelolaan likuiditas mata uang lokal serta
pelaporan transaksi LCS kepada bank sentral.
Kerja sama antar-otoritas dalam
framework LCS berbasis ACCD ini
mengizinkan bank ACCD Indonesia untuk
dapat melakukan transaksi rupiah atau valuta
asing terhadap mata uang negara mitra
dengan (i) Importir/Eksportir Indonesia, (ii)
nonbank ACCD Indonesia yang bertindak
untuk kepentingan Importir/Eksportir, dan
(iii) nonbank ACCD negara mitra untuk
Bagan 1. Framework LCS Berbasis ACCD BI-BOT dan BI-BNM
Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional - Edisi II 2019
124
Tabel 5.2. Bank ACCD
di Indonesia dan Malaysia
No ACCD di Indonesia ACCD di Malaysia
1 Bank Mandiri (Persero), Tbk RHB Bank Berhad
2 Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk RHB Bank Berhad
3 Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk Hong Leong Bank Berhad
4 Bank Central Asia, Tbk Public Bank Berhad
5 Bank Maybank Indonesia Maybank Berhad
6 Bank CIMB Niaga CIMB Bank Berhad
Di bawah kerangka LCS, penyelesaian
transaksi perdagangan bilateral antara
pelaku usaha di Indonesia dan Malaysia atau
Thailand dilakukan dengan menggunakan
mata uang masing-masing negara. Dalam hal
ini, kegiatan dan transaksi keuangan untuk
kepentingan pelaksanaan LCS yang dilakukan
Bank ACCD dengan para nasabah importir
atau eksportir, hanya dapat dilakukan
atas dasar underlying transaksi kegiatan
perdagangan barang dan jasa. Kegiatan dan
transaksi keuangan tertentu yang disepakati
untuk dapat dilakukan oleh bank ACCD yaitu
sbb.:
i. Pembukaan rekening khusus (Special
Non-resident Account/SNA) di bank
ACCD dalam mata uang rupiah, ringgit
atau baht, dan pembukaan rekening
khusus nasabah pada bank ACCD dalam
mata uang rupiah, ringgit atau baht.
Dalam implementasinya, bank ACCD
dapat mengelola transaksi (a.l. rekening
SNA, rekening sub-SNA, net open
position) dengan batas tertentu yang
telah disepakati oleh BI, BOT, dan BNM.
Bank ACCD negara mitra, serta (iv) sebagai
alternatif investasi di dalam mata uang selain
USD (bagi perbankan dan eksportir).
Untuk mendukung operasionalisasi
framework LCS berbasis ACCD tersebut,
telah ditunjuk lima bank masing-masing di
Indonesia dan Thailand sebagai bank ACCD
dalam framework LCS ACCD BI-BOT, dan
penunjukkan enam bank masing-masing di
Indonesia dan Malaysia sebagai bank ACCD
dalam framework LCS ACCD BI-BNM (Tabel
1 dan Tabel 2). Penunjukan bank ACCD
tersebut didasarkan pada kriteria tertentu
yang disepakati oleh kedua bank sentral, yaitu:
(i) Aspek prudentiality: bank yang sehat dan
kuat di masing-masing negara; (ii) Aspek trade:
mempunyai pengalaman dalam memfasilitasi
transaksi perdagangan kedua negara; (iii)
Aspek bisnis di negara mitra: memiliki
pengalaman hubungan bisnis perbankan di
negara mitra baik secara langsung maupun
tidak langsung; dan (iv) Aspek bisnis di home
country ACCD: memiliki jaringan kantor yang
luas di home country ACCD. Selanjutnya,
untuk mendukung implementasi framework
LCS berbasis ACCD di Indonesia, BI telah
menerbitkan ketentuan mengenai LCS yang
mulai berlaku sejak 2 Januari 2018.
Tabel 5.1. Bank ACCD
di Indonesia dan Thailand
No ACCD di Indonesia ACCD di Thailand
1 Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Siam Commercial Bank PCL
2 Bank Mandiri (Persero), Tbk Krungthai Bank PCL
3 Bank Central Asia, Tbk Kasikornbank PCL
4 Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk Bank of Ayudhya PCL
5 Bangkok Bank Jakarta Bangkok Bank PCL
Bab 5 - Artikel
125
tersebut semakin tinggi. Bahkan, terdapat
juga kebutuhan yang cukup besar dari pelaku
usaha di Indonesia untuk menggunakan
mata uang lokal dalam setelmen transaksi
perdagangan dan investasi dengan negara
mitra Indonesia lainnya, seperti Tiongkok,
Korsel, dan Jepang.
JANUARI
FEBR
UARIM
ARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPT
EMBE
ROKT
OBER
NOVEM
BER
DESEM
BER
600
500
400
300
200
100
0
17 12 939
100
11
5886
39
523
142
8
Chart Title
MY
R (ju
ta)
MYR AkumulatifTransaksi MYR Bulanan
Grafik 5.5 Transaksi MYR
Bank ACCD Indonesia
JANUARI
FEBR
UARIM
ARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPT
EMBE
ROKT
OBER
NOVEM
BER
DESEM
BER
1.800
1.600
1.400
1.200
1.000
800
600
400
200
0
1.607
THB
(juta
)
THB AkumulatifTransaksi THB Bulanan
Grafik 5.6. Transaksi THB
Bank ACCD Indonesia
Untuk mendukung implementasi
LCS ACCD yang lebih optimal, BI akan
terus berupaya memperkuat framework
LCS ACCD serta melakukan sosialisasi LCS
ii. Transaksi spot, forward atau swap MYR/
IDR atau THB/IDR termasuk dalam rangka
hedging dengan eligible underlying
transaksi eksportir/importir di masing-
masing negara;
iii. Transfer dana;
iv. Pembiayaan perdagangan (trade finance)
dalam mata uang Rupiah, Ringgit atau
Baht;
v. Penerbitan direct quotation MYR/IDR
dan THB/IDR.
Progress Implementasi LCS ACCD BI-BOT
dan LCS ACCD BI-BNM
Transaksi perdagangan
menggunakan mata uang lokal yang
diinisiasi oleh BI, BNM, dan BOT, telah
menunjukkan perkembangan yang
positif. Sejak implementasi framework LCS
BI-BOT dan BI-BNM pada 2 Januari 2018,
Bank ACCD baik di Indonesia, Thailand
maupun Malaysia telah memfasilitasi
penyelesaian transaksi perdagangan bilateral
antara Indonesia-Thailand serta Indonesia-
Malaysia dalam mata uang lokal. Selama
2018, penyelesaian transaksi perdagangan
bilateral dengan Thailand dan Malaysia yang
difasilitasi oleh bank ACCD di Indonesia
menunjukkan progres yang positif dan
terdapat optimisme untuk terus ditingkatkan.
Transaksi perdagangan dalam THB maupun
MYR menunjukkan tren peningkatan (Grafik
1 dan Grafik 2). Antusiasme pelaku usaha
untuk memanfaatkan skema LCS ACCD
Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional - Edisi II 2019
126
Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP) untuk terus
mendorong kerangka kerja sama penyelesaian
transaksi perdagangan bilateral dalam mata
uang lokal di kawasan. Komitmen empat
bank sentral tersebut disepakati di tengah
rangkaian pertemuan Menteri Keuangan dan
Gubernur Bank Sentral se-ASEAN pada 5
April 2019 di Chiang Rai, Thailand. Kerangka
kerja sama antara empat negara ini akan
mendorong penggunaan mata uang lokal
yang lebih luas dalam masyarakat ekonomi
ASEAN. Selain itu, kerja sama ini juga dapat
mendorong perkembangan lebih lanjut pasar
valuta asing dan pasar keuangan di kawasan
dalam mendukung integrasi ekonomi dan
keuangan yang lebih luas. Kerja sama LCS
tersebut juga dapat memberikan sinyal positif
kepada kawasan mengenai komitmen BI
dalam menjaga stabilitas makroekonomi di
kawasan, salah satunya melalui perluasan
penggunaan skema LCS di antara negara
ASEAN serta sejalan dengan kebijakan
internasional BI.
kepada bank ACCD dan nasabah yang
potensial. BI, BOT, dan BNM secara regular
akan melakukan evaluasi serta memperkuat
framework LCS ACCD. Kegiatan sosialisasi
LCS ACCD juga akan dilakukan secara
konsisten dan terstruktur baik dilakukan
oleh bank sentral maupun dengan cara
kolaborasi antara bank sentral dan bank
ACCD atau dengan kolaborasi antara BI-BOT-
BNM. Program sosialisasi tersebut diharapkan
dapat terus meningkatkan awareness dan
minat bank ACCD serta pelaku usaha atas
ketersediaan dan manfaat framework LCS
ACCD BI-BOT dan BI-BNM.
Ke depan, inisiatif kerja sama
keuangan LCS berbasis ACCD akan terus
diperluas, terutama dengan negara
yang memiliki keterkaitan ekonomi dan
keuangan yang erat dengan Indonesia.
Dalam hal ini, Bank Indonesia akan terus
berupaya menjadi salah satu bank sentral di
kawasan yang aktif mendorong framework
LCS berbasis ACCD. Hal ini telah membuahkan
hasil yaitu komitmen BI, BNM, BOT, dan
Bab 5 - Artikel
127
Standard & Poor Meningkatkan Sovereign
Credit Rating Indonesia
Indonesia memperoleh kenaikan
peringkat dari Standard & Poor (S&P)7
seiring prospek positif pertumbuhan
ekonomi dan keberlanjutan kebijakan
pemerintah. S&P meningkatkan Sovereign
Credit Rating (SCR) Indonesia pada 31 Mei
2019 menjadi BBB dengan outlook stabil (dari
sebelumnya BBB-/stabil). Kenaikan peringkat
dilatarbelakangi oleh prospek pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang kuat, dan didukung
kebijakan otoritas yang diyakini akan tetap
berlanjut. Perbaikan SCR Indonesia juga
didukung oleh utang pemerintah yang relatif
rendah, dan kinerja fiskal yang cukup baik.
7 Standard and Poor merupakan lembaga rating terbesar di dunia.
Pencapaian peringkat investment
grade memiliki arti penting bagi perekonomian
suatu negara. Indonesia pada akhirnya
berhasil memperoleh peringkat sovereign
credit rating satu notch di atas peringkat
investment grade terendah dari Standard and
Poors, menyusul langkah Moody’s dan Fitch.
Pencapaian positif tersebut menunjukkan
keyakinan lembaga rating terhadap ekonomi
Indonesia, baik terhadap kondisi saat ini
maupun prospeknya ke depan. Pencapaian
tersebut juga memperkuat pentingnya upaya
menjaga persepsi positif perekonomian
Indonesia, dan dapat menjadi momentum
untuk meningkatkan kinerja ekonomi
domestik.
Artikel 3
Peningkatan Sovereign Credit Rating dari S&P Sebagai Momentum Mendorong Ekonomi DomestikOleh: Sholihah dan Betty Purbowati Cahyadewi
Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional - Edisi II 2019
128
setara BBB/outlook stabil. Demikian pula
dengan Rating and Investment Information,
Inc. (R&I) yang telah memberikan outlook
positif –dari sebelumnya stabil– pada level BBB
pada Maret 2019.
S&P menilai lima aspek utama
dalam menentukan peringkat SCR suatu
negara, yaitu institusional, ekonomi,
eksternal, fiskal, dan moneter. Penilaian
S&P terhadap kelima aspek utama tersebut
dilakukan dengan memerhatikan sejumlah
kriteria baik kuantitatif maupun kualitatif,
serta mempertimbangkan supplemental
adjustment, tren dan faktor lainnya. Dalam
hal ini, S&P menilai kelayakan kredit suatu
negara tidak hanya dengan memerhatikan
aspek-aspek yang bersifat jangka pendek,
melainkan juga aspek-aspek yang bersifat
fundamental dan struktural (jangka panjang).
Pada aspek institusional, S&P
meyakini hasil pemilihan Presiden yang
sempat diwarnai oleh aksi protes tidak
akan berdampak signifikan terhadap
kebijakan jangka panjang dan prospek
ekonomi ke depan. S&P juga menilai
kondisi politik dan policy setting di Indonesia
cenderung relatif stabil dan tidak terdapat
ancaman yang berarti terhadap pemerintahan.
Lebih lanjut, keterbukaan berita maupun
informasi di Indonesia –salah satu faktor yang
dinilai pada area institusional–, saat ini dinilai
cukup baik, serta data-data statistik ekonomi,
fiskal maupun keuangan dipublikasikan
tepat waktu. Di sisi lain, S&P sampai saat
ini masih terus mencermati perkembangan
pengendalian korupsi di Indonesia. Meski
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019B+
BB-
BB
BB+
BBB-
BBB
Investment Grade
Moody’s S&P JCRAFitch
R&I
Below Investment Grade
Grafik 5.7. Pergerakan Sovereign
Credit Rating Indonesia
Tabel 5.3. Peringkat Terkini SCR Indonesia
S&P Moody's Fitch Perceived StrengthAAA Aaa AAA Extremely strongAA+ Aa1 AA+AA Aa2 AAAA- Aa3 AA-A+ A1 A+A A2 AA- A3 A-
BBB+ Baa1 BBB+BBB Baa2 BBBBBB- Baa3 BBB-BB+ Ba1 BB+BB Ba2 BBBB- Ba3 BB-B+ B1 B+B B2 BB- B3 B-
CCC+ Caa1 CCC+CCC Caa2 CCCCCC- Caa3 CCC-CC Ca CCC C C
SD D RD
D DDefault Default
Investment Grade
Ratings
Very strong
Strong
Adequate
Non-investment
Grade Ratings
Less vulnerable
More vulnerable
Currently vulnerable
Currently highly vulnerable
Peningkatan SCR Indonesia oleh
S&P menunjukkan optimisme masyarakat
internasional terhadap prospek ekonomi
Indonesia yang tetap tinggi di tengah
berbagai tantangan global. Persepsi
yang baik tentang Indonesia juga menjadi
momentum untuk mendorong perbaikan
ekonomi domestik. Peningkatan rating dari
S&P merupakan capaian tertinggi sejak April
1995. Fitch dan Moody’s telah lebih dahulu
memberikan peringkat investment grade
Bab 5 - Artikel
129
tengah lingkungan eksternal yang penuh
tantangan dalam beberapa tahun terakhir.
4,24
3,73 3,65 3,85 3,92
4,07 3,99 4,20
4,52 4,53
3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 4,25 4,50 4,75 5,00 5,25 5,50 5,75 6,00 6,25 6,50 6,75 7,00 7,25
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019e 2020f 2021f 2022f
%
India IN BBB- Vietnam VN BBPhilippines PH BBB Indonesia ID BBB-Linear (India IN BBB-)
Linear (Vietnam VN BB)
Linear (Philippines PH BBB)Linear (Indonesia ID BBB-)
Sumber: S&P Sovereign Risk Indicator, 11 April 2019
Grafik 5.8. Pertumbuhan Riil PDB per kapita
Tabel 5.4. Rata-rata Pertumbuhan Riil
PDB per kapita
Peringkat NegaraRata-rata 10 tahun
Pertumbuhan Riil PDB Per Kapita (%)
1 India (BBB-) 6,232 Bangladesh (BB-) 5,633 Vietnam (BB) 5,324 Philippines (BBB) 4,865 Uzbekistan (BB-) 4,366 Indonesia (BBB-) 4,077 Georgia (BB-) 3,908 Mongolia (B) 3,619 Bosnia and Herzegovina (B) 3,3110 Albania (B+) 3,3036 Jordan (B+) -1,81
2,17Rata-rata 36 Negara Sumber: S&P Sovereign Risk Indicator, 11 April 2019Keterangan: Indonesia berada pada peringkat 6, dari 36 negara yang berada pada kelompk PDB perkapita yang sama
dalam lima tahun terakhir perbaikan
secara gradual terus dilakukan pada area
tersebut, perkembangan progresif sangat
diperlukan untuk dapat menarik foreign direct
investment (FDI) yang dapat bermanfaat
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Penilaian S&P terhadap aspek
ekonomi menunjukkan perbaikan
didukung oleh keyakinan terhadap
kebijakan pemerintah yang dinilai telah
efektif dalam mendukung pembiayaan
publik yang berkelanjutan dan
pertumbuhan ekonomi yang berimbang.
Hal tersebut tercermin dari ekonomi Indonesia
yang mampu tumbuh lebih baik dibandingkan
negara lain dengan tingkat pendapatan yang
sama (peers). Rata-rata perkembangan dalam
10 tahun (periode pengamatan S&P 2013-
2022)8, pendapatan riil per kapita Indonesia
tumbuh meyakinkan sebesar 4,1% (yoy), jauh
lebih tinggi dari negara peers (rata-rata 2,2%)
-tabel 2. Hal ini juga menegaskan dinamika
ekonomi Indonesia yang konstruktif, di
8 Berdasarkan metodologi S&P (18 Desember 2017), perhitungan rata-rata 10 tahun pendapatan per kapita terdiri dari data historis selama enam tahun, proyeksi data tahun berjalan (2019), dan proyeksi tiga tahun ke depan.
Institusional (25%) Ekonomi (25%) Eksternal (16.67%) Fiskal (16.67%) Moneter (16.67%)
Aspek Penilaian Rating (Metodologi S&P)
Perekonomian yang terdiversifikasi, adaptif dan tumbuh berkelanjutan serta kemampuan optimalisasi penerimaan
Kemampuan memperoleh penerimaan untuk memenuhi kewajiban eksternal publik dan swasta
Kinerja (defisit) fiskal dan beban utang pemerintah
Kinerja otoritas moneter dan dukungannya thd pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berketahanan
Kemampuan kelembagaan dan penyusunan kebijakan pemerintah dalam mempengaruhi fundamental ekonomi
Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional - Edisi II 2019
130
Sumber: S&P Sovereign Risk Indicator, 11 April 2019
23,16 22,88 25,24 26,24 26,31 26,29 26,47 26,41 26,34 26,35
66,29 66,51 68,53 67,63 67,58 68,28 67,10 65,75 64,31 62,95
-60,00
-40,00
-20,00
-
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019e 2020f 2021f 2022f
%
Indonesia (BBB-) Bulgaria (BBB-) Colombia (BBB-) Croatia (BBB-)Cyprus (BBB-) India (BBB-) Kazakhstan (BBB-) Morocco (BBB-)Romania (BBB-) Russia (BBB-)
Grafik 5.10. Rasio Net Utang Pemerintah
(% PDB) Peringkat BBB-
Pada aspek moneter, S&P meyakini
kredibilitas bank sentral yang secara
proaktif mengawal terjaganya stabilitas
makroekonomi. S&P memandang bank
sentral melalui serangkaian kebijakan yang
telah ditempuh mampu meredam tekanan
terhadap ekonomi maupun sistem keuangan,
terutama tekanan yang berasal dari
kerentanan sektor eksternal.
Upaya Menjaga Persepsi Positif
Di tengah perekonomian global yang
penuh ketidakpastian, upaya menjaga persepsi
positif ekonomi Indonesia menjadi tantangan
yang perlu dicermati berbagai pihak. Salah
satu upaya pengelolaan persepsi positif dapat
dilakukan dengan menjaga SCR Indonesia
agar tetap berada pada peringkat investment
grade. Tren perbaikan SCR Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir telah menunjukkan
kepercayaan lembaga rating seperti S&P,
Moody’s maupun Fitch terhadap prospek
Perbaikan fiskal dan resiliensi
sektor eksternal juga menjadi faktor
pendukung perbaikan SCR Indonesia.
Dari sisi fiskal, rasio utang pemerintah
diperkirakan stabil selama beberapa tahun
ke depan, cerminan dari proyeksi stabilitas
keseimbangan fiskal. Rasio utang pemerintah
terhadap PDB diperkirakan tetap sehat
di bawah 30%, seiring defisit fiskal dan
pertumbuhan PDB yang terjaga. Sementara
dari sisi eksternal, keputusan Bank Indonesia
menaikkan suku bunga kebijakan sebesar
175 bps periode Mei 2018 hingga Mei
2019 dikategorikan sebagai kebijakan yang
proaktif sehingga dapat mengatasi risiko yang
bersumber dari kerentanan eksternal. Selain
itu, S&P juga meyakini bahwa Indonesia tidak
menghadapi extraordinary risk pemburukan
pembiayaan eksternal karena didukung oleh
akses terhadap pasar keuangan yang kuat
dan berkelanjutan, serta arus masuk PMA
dalam beberapa tahun terakhir di tengah
volatilitas eksternal yang cukup tajam.
-2,22 -2,15 -2,60 -2,50 -2,50 -2,20 -2,30 -2,20 -2,20 -2,20
-7,02 -7,20 -6,74 -6,67 -6,90 -6,80 -6,70 -6,50 -6,50 -6,50
-10,00
-8,00
-6,00
-4,00
-2,00
-
2,00
4,00
6,00
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019e 2020f 2021f 2022f
%
Indonesia (BBB-) Bulgaria (BBB-) Colombia (BBB-) Croatia (BBB-)Cyprus (BBB-) India (BBB-) Kazakhstan (BBB-) Morocco (BBB-)Romania (BBB-) Russia (BBB-)
Sumber: S&P Sovereign Risk Indicator, 11 April 2019
Grafik 5.9. Fiscal Balance (% PDB)
Peringkat BBB
Bab 5 - Artikel
131
diperlukan upaya bersama dan koordinasi
antar-otoritas untuk terus menopang
keberlanjutan reformasi struktural, yang
diharapkan mampu mendukung tercapainya
pertumbuhan ekonomi yang kuat,
berkelanjutan, berimbang, dan inklusif.
ekonomi Indonesia yang didukung oleh
sinergi kebijakan moneter, sektor keuangan,
dan fiskal. Sinergi tersebut diarahkan untuk
menjaga stabilitas makroekonomi, dengan
tetap mendorong momentum pertumbuhan
ekonomi. Untuk mempertahankannya,