tugas filsafat

30
BAB I PENDAHULUAN I. Pendahuluan Sering terdengar pada ungkapan masyarakat bahwa filsafat merupakan bidang yang membingungkan, aneh, rumuit, sulit dipahami, ataukerjaan bagi orang yang kurang kerjaan. Pendapat-pendapat yang demikian tidaklah benar, karena selama kita hidup secara sadar dan dapat menggunakan pikiran maka kita tidak dapat terhindar dari kegiatan berfilsafatdan senantiasa berfilsafat. Filsafat merupakan terjemahan dari istilah philosophia, yang berasal dari bahasa yunani yang berarti cinta akan kebijaksanaan/ love of wisdom . Dalam bahasa lain filsafat dikenal dengan sebutan philosophy ( inggris ), philosophie ( perancis ), falsafah ( arab ), sedangkan orangnya disebut filsuf/filosof/philosophus yang artinya pecinta kebijaksanaan. Di tengah era globalisasi yang semakin canggih dan penemuan-penemuan yang spektakuler terus bermunculan, manusia terus berlomba-lomba untuk mendapatkan segala kemudahan hidup. Dari segi ini manusia tidak lagi berbicara tentang pentingnya agama bagi kehidupannya.

Upload: trywahyudi

Post on 06-Nov-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

filsafat

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

I. Pendahuluan Sering terdengar pada ungkapan masyarakat bahwa filsafat merupakan bidang yang membingungkan, aneh, rumuit, sulit dipahami, ataukerjaan bagi orang yang kurang kerjaan. Pendapat-pendapat yang demikian tidaklah benar, karena selama kita hidup secara sadar dan dapat menggunakan pikiran maka kita tidak dapat terhindar dari kegiatan berfilsafatdan senantiasa berfilsafat.Filsafat merupakan terjemahan dari istilah philosophia, yang berasal dari bahasa yunani yang berarti cinta akan kebijaksanaan/ love of wisdom . Dalam bahasa lain filsafat dikenal dengan sebutan philosophy ( inggris ), philosophie ( perancis ), falsafah ( arab ), sedangkan orangnya disebut filsuf/filosof/philosophus yang artinya pecinta kebijaksanaan. Di tengah era globalisasi yang semakin canggih dan penemuan-penemuan yang spektakuler terus bermunculan, manusia terus berlomba-lomba untuk mendapatkan segala kemudahan hidup. Dari segi ini manusia tidak lagi berbicara tentang pentingnya agama bagi kehidupannya. Manusia berpendirian seolah-olah dengan akal budinya ia mampu mengjangkau segalanya sehingga timbullah paham Rasionalisme.Paham rasionalisme ini di satu sisi memberi tempat pada manusia sebagai makhluk yang paling besar, tetapi di sisi lain manusia telah bergerak jauh dan kodratnya dengan mengabaikan peranan rasa dan panca indera yang sama-sama memberikan andil dalam mewujudkan ilmu sebagaimana idiologi Emperisme. Aliran Emperisme merupakan lawan dari Rasionalisme yang muncul pada abad ke-17 yang dipelopori oleh John Look, sekalipun Emperisme berlawanan dengan Rasionalisme namun keduanya tetap menjunjung manusia. Dengan otoritasnya, aliran ini beranggapan bahwa emperis atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan baik pengalaman batiniyyah ataupun lahiriyyah. Pandangan kedua aliran tersebut terus berkembang terutama di kalangan Barat sebagai wujud dari manifestasi faham Humanis yang melahirkan segi-segi sekuler di dunia ilmu pengetahuan, sekuleriasasi ini mendorong munculnya ilmu-ilmu yang non Ilahi menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, dampak yang sangat terasa sekali dari pemikiran sekulerisasi itu adalah; terpusatnya manusia pada upaya mempelajari nilai duniawiyah dalam arti individual dan universal karena ilmu ke-Ilahi-an yang tidak dimasukkan ke dalam kurikulum pada lembaga pendidikan di semua tingkatan terutama di dunia Barat, sedangkan di dunia Muslim muncul pandangan dikotomis terhadap rumusan konsep ilmu yang konsekuensi moralnya terjadi taksonomi ilmu pengetahuan.Inilah krisis terbesar di seluruh dunia sebagai ilmu yang terisolir dari nilai-nilai agama. Kekhawatiran akan terus menurunnya nilai-nilai moral dalam proses lahirnya generasi baru dalam masyarakat Islama di masa mendatang cendrung untuk dirasakan. Betapa tidak, budaya dan peradaban Barat semakin mendesak untuk memasuki kesempatan yang belum ditangani, khususnya di bidang ilmu pengetahuan yang merupakan kriteria kecemerlangan dan idealisasi generasi masa depan.Kepentingan-kepentingan yang tidak berimbang selalu muncul dipermukaan antara kehidupan dunia dan akhirat. Menonjolnya kepentingan dunia selalu muncul dari segala aspek kehidupan tidak terkecuali di bidang pendidikan, baik yang dikelola oleh negeri maupun swasta, bila hal itu tergolong pendidikan umum cendrung mengembangkan sistem pendidikan Barat, budaya meniru dan mengadopsi sistem budaya Barat terus berkembang di kalangan ummat Islam tanpa pertimbangan sesuia atau tidaknya sistem itu. Sekulerisasi ilmu pengetahuan yang merupakan misi barat dalam pendidikan dan perobahan sosial, terus tersebar dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam. Di pihak lain sistem pendidikan tradisional. Dalam pendidikan Islam pun terus berkembang dengan konotasi ke daerah pendalaman ilmu-ilmu Agama, hal ini terutama dapat disaksikan dalam pondok pesatren yang mengekpos al-Ghazali sebagai landasan berfikir serta Ihya Ulumuddin sebagai referensinya.Keadaan ini menimbulkan semakin menajamnya pandangan-pandangan asing (western) dalam sistem pendidikan yang terbelah dalam dua cabang yang pertama sistem modern dengan ilmu-ilmu sekuler dan yang kedua sistem Islam dengan ilmu-ilmu Agama yang secara otomatis umat Islam memahami ilmu dalam dua substansi. Menurut Ismail Razi al-Faruqi, percabangan sistem ini adalah lambang kejatuhan kaum Muslimin. Kondisi ini terjadi akibat krisis konseptual tentang ilmu dalam tubuh umat Islam serta kesalahan pemahaman dalam memahami konsep ilmu menurut al-Ghazali, di tambah kegandrungan akan produk Barat melalui isu sekulerisasi ilmu yang dikembangkan dalam pikiran umat Islam, study ini penulis paparkan adalah untuk menhilangkan sangkaan sebagian orang bahwa al-Ghazali, adalah seorang sufi yang tidak peduli terhadap keadaan duniawi dan intelektual

BAB IIPEMBAHASAN

A. Mengenal Sejarah Hidup Imam al-Ghazali.Iman al-Ghazali adalah salah seorang filosof dan sufi tersebar dalam Islam, beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Ghazale sautu kota kecil di Thusia dekat Khurusan. Iran Utara. Al-Ghazali dinisbahkan kepada tempat kelahirannya nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Thusi al-Ghazali. Di bidang keilmuan, pengetahuan pertama kali beliau dalami adalah ilmu fiqih, kemudian ilmu kalam dan filsafat setelah mencapai keharuman namanya sebagai seorang sarjana pada tahun 1091 M al-Ghazali diangkat menjadi guru besar ilmu hukum oleh Nizam al-Muluk (1018-1092) dari dinasti saljuk.Iman al-Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahauan dan pengandrung mencari kebenaran yang hakiki sekalipun dilanda duka cita, diterpa aneka rupa nestapa, dan dilanda sengsara. Pernah pada suatu hari ketika libur sekolah al-Ghazali pulang kekampungnya, di tengah perjalanan beliau dihadang oleh sekawanan perampok dan mengambil semua buku yang dibawanya. Berikut ini pengakuan beliau dalam melukiskan kepribadiannya: keharusan untuk mencari hakikat kebenaran sesuatu sebagai kebiasaan dan favorit saya sejak kecil dan masa mudaku, itu merupakan insting dan bakat yang dilimpahkan Allah SWT pada diri saya bukan merupakan usaha dan rekayasa saja.Di masa kanak-kanak imam al-Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad al-Razikanni di Tursia kemudian belajar kepada Abi Kash al-Ismaili dan akhirnya pulang ke Tursia. Imam al-Ghazali dipandang sebagai pembela kebenaran Islam yang tersebar hingga digelar Hujjatul Islam atau pembela Islam.Imam al-Ghazali adalah seorang yang cerdas dan sanggup berdebad segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih, sehingga gurunya Imam Jawaini memberikan predikatnya Bahrul Mughriq (laut dalam nan menenggelamkan). Ketika gurunya meninggal Imam al-Ghazali meninggalkan Naisabur dan menuju ke istana Nizhamul Muluk, yang menjadi seorang perdana menteri Sultan Bani Saljuk. Keikut-sertaan al-Ghazali dalam diskusi bersama para ulama membuat ia lebih terkenal apalagi dalam setiap perdebatan imam al-Ghazali selalu menang dengan argumentasinya yang sangat brilian, itulah sebabnya Nizamul Muluk7 menunjuknya sebagai guru besar di Universitas Baghdad.

B. Perkembangan Pemikirannya.Membicarakan pemikiran seorang tokoh senantiasa harus dihubungkan dengan keadaan yang mengitarinya sebab al-Ghazali bagian Integral dari sejarah pemikiran Islama secara keseluruhan. Oleh karena itu, situasi dan kondisi yang berkembang ikut menentukan perkembangan arah pemikirannya.Masa hidup al-Ghazali adalah masa munculnya aliran-aliran pemikiran di tengah-tengah masyarakat Islam, aliran-aliran itu berpijak dari aneka ragam permasalahan yang tumbuh di tengah-tengah mejemuknya pemeluk agama Islam. Persoalan yang pertama muncul adalah masalah politik, dari permasalah politik ini membawa kepada persoalan aqidah, akibat persoalan ini timbillah golangan Khawarij. Pemahaman masalah aqidah terus berkembang menyebabkan timbulnya aliran-aliran lain seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah, dan yang lebih dominan adalah Mutazilah dan Asariyah.Kedua aliran ini merupakan dua aliran dalam teologi yang sangat berperan, karena keduanya disamping menggunakan dalil naqli juga telah muncul argument akli dan yang sangat menonjol di bidang ratio adalah mutazilah. Di sisi lain berkembangpula aliran Batiniyyah sebagai reaksi atas kedua aliran di atas. Ketiga aliran di atas (Teologi, rasional / filsafat dan batiniah) pada masa al-Ghazali lahir masih sangat dominan, sehingga al-Ghazali sebagai pribadi yang senantiasa haus akan ilmu pengetahuan cenderung mempelajari ketiga aliran tersebut dengan seluruh ajaranajarannya agar dapat mencapai suatu keyakinan yang tidak dapat diragukan.Beliau melukiskan evaluasi pemikiran yang terjadi pada dirinya di dalam kitabnya al-Minqid Minadh Dhalal (penyelamat kesesatan) katanya aku mencebur ke gelombang samudra yang dalam tanpa pernah merasa takut, tiap soal yang sulit selalu kuhadapi dengan penuh keberanian, tiap kepercayaan dari suatu golongan kuselidiki sedalam-dalamnya. Kukaji tiap rahasia dan seluk beluk tiap mazhab untuk mendapatkan bukti mana yang benar dan mana yang bathil, mana yang asli dan mana yang diada-adakan. Demikianlah telah kuselidiki dengan seksama ajaranajaran kebathinan, dhahiriah, ajaran-ajaran ahli filsafat, ahli ilmu kalam dan tasawuf, aliran-aliran ibadah dan laini-lain. Dan tidak ketinggalan juga aliran kaum zindik apa sebab mereka berani menyangkal adanya Tuhan.Setelah mengadakan penelitian terus menerus imam al-Ghazali menemukan bahwa dalam ilmu-ilmu pengetahuannya itu tidak ada yang dapat memenuhi maksud isi hatinya kecuali hanya memuaskan indera akal saja bahkan di saat beliau merenungkannya, beliau menjumpai ilmu pengetahuan itu justru menyesatkan, sebab pengujiannya kepada ilmu pengetahuan inderawi itu menyimpulkan, bahwa pengetahuan-pengetahuan itu tidak benar. Kemudian ia menarik diri dari pengetahuan inderawi dan menceburkan diri dalam ilmu tasawuf, di sanalah ia menemukan kepuasan.Al-Ghazali berkata bahwa pada akhirnya saya sampai pada kebenaran, bukan lewat jalan akal budi serta akumulasi bukti-bukti melainkan lewat cahaya yang dipancarkan oleh Allah SWT ke dalam jiwaku.

C. Pendidikan Menurut al-GhazaliImam al-Ghazali telah menulis tentang hal ihwal pendidikan dan pengajaran serta pelatihan dalam sejumlah karyanya namun pendapatnya yang paling penting dalam bidang ini terdapat dalam bukunya berjudul Fatihatul Kitab Ayyuhal Walad dan Ihya Ulumuddin.Seseorang yang mempelajari tentang pendidikan yang ditulis oleh imam al- Ghazali dalam berbagai karya tulisnya, khususnya kitab Ihyah Ulumuddin tentu akan mendapatkan suatu kesimpulan, bahwa al-Ghazali adalah seorang yang menciptakan sistem pendidikan yang komprehensif serta pembatasan yang jelas.Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Demikian hasil pengamatan Ahmad Fuad al-Ahwani terhadap pemikiran pendidikan al-Ghazali. Sementara itu H.M Arifin, guru besar dalam bidang pendidikan mengatakan, bila dipandang dari segi filosofis, al-Ghazali adalah penganut paham idealism yang konsekwen terhadap agama sebagai dasar pndangannya.Dalam masalah pendidikan al-Ghazali lebih cenderung berpaham emperism. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung kapada orang tua. Hati seorang anak bersih, murni laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW. Yang menegaskan: setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih), kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani dan Majusi. (H.R. Muslim).Sejalan dengan hadits tersebut, al-Ghazali mengatakan jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka ia menjadi baik. Sebaliknya, jika anak dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan kepda hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek. Pentingnya pendidikan itu didasarkan pada pengalaman hidup al-Ghazali sendiri: yaitu sebagai orang yang tumbuh menjadi ulama besar yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan, yang disebabkan karena pendidikan.Menurut imam al-Ghazali tujuan pendidikan bukan hanya menekankan pada aspek ukhrawi saja, melainkan juga harus mengandung kepentingan-kepentingan duniawi, seperti; kebudayaan, peradaban dan kebendaan dan juga pendayagunaan dan mamfaat berbagai sumber daya untuk memilih bidang studi yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan, bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang tersebut derajatnya lebih tinggi di sisi Allah dan lebih luas kebahagiannya di akhirat. Bila di rinci, maka tujuan ini ada dua. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah. Kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.Oleh karena itu, ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan ini tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi. Pendidikan itu memiliki corak yang spesifik, yaitu adanya unsur Agama dan etika yang tampak nyata pada sasaran dan sarananya, dengan tidak mengabaikan masalah keduniaan. Dan pendapat al-Ghazali tentang pendidikan pada umumnya sejalan dengan trends Agama dan etika.Imam al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu pendidikan menjadi beberapa kelompok dan cabang dengan mengistimewakan masing-masing berdasarkan sifat yang berbeda satu sama lain atau kemamfaatannya. Ilmu-ilmu pengetahuan berdasarkan kemamfaatan menurut imam al-Ghazali dapat dibagi menjadi 3 yaitu:a. Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak baik sedikit ataupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada mamfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan.b. Ilmu pengetahuan yang terpuji secara mutlak yang termasuk dalam rumpun ilmu ini adalah ilmu-ilmu Agama dari berbagai macam ibadah, ilmu pengetahuan tersebut dapat mensucikan jiwa, melepaskan diri dari perbuatan tercela, mengetahui kebaikan dan mengerjakannya, memberitahukan kepada manusia ke jalan berusaha dan mendekatkan diri kepada Allah AWT, serta mencari ridhonya dan mempersiapkan dunia ini untuk kehidupan kekal di akhirat.c. Ilmu pengetahuan dalam ukuran tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela. Ini adalah ilmu yang sekiranya mendalaminya akan menyebabkan kekacauan pikiran dan keraguan. Bahkan barangkali akan menyebabkan kufur dan keraguan. Misalnya ilmu ketuhanan, cabang dari filsafat dan sebagian aliran Naturalisme.Ilmu pengetahuan yang tercela baik sedikit ataupun banyak, misalnya ilmu sihir, tulisan-tulisan azimat dan ilmu meramal nasib, ilmu pengetahuan yang terpuji yaitu ilmu-ilmu keagamaan karna ilmu-ilmu ini dapat mendekatkan diri kepada Allah.Adapun ilmu yang dalam kadar tertentu dibolehkan dan apabila mendalaminya dapat menyebabkan kekacauan pikiran dan keraguan seperti ilmu filsafat. Adapun pembagian ilmu berdasarkan tingkatan kefardhuan atau tingkatan kamampuan imam al-Ghazali mambagi dua macam:1. Ilmu-ilmu yang fardhu in untuk menuntutnya2. Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah.Ilmu-ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ain yaitu: ilmu Agama dengan segala cabangnya yang dimulai dari al-Quran kemudian ilmu ibadat dasar seperti hal ihwal sholat, puasa, zakat, dan lain sebagainya. Ditetapkannya sebagai fardhu ain karena ilmu pengetahuan itu merupakan ilmu untuk mengetahui cara mengamalkan yang wajib dan kapan wajibnya berarti dia telah mengetahui fardhu ain. Sedangkan pengertian ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah yaitu suatu ilmu yang diperlukan dalam rangka menegakkan urusan dunia seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian dan politik. Apabila dalam suatu wilayah tidakseorangpun mempelajarinya, maka penduduk wilayah tersebut berdosa. Ilmu-ilmu ini didasarkan kepada tingkat kemampuan anak didik dan tidak boleh dipaksakan.Pemahaman fardhu kifayah al-Ghazali berarti suatu kewajiban yang disesuaikan dengan fitrah kejiwaan manusia yang berbeda-beda itu. Pembagian ilmu menjadi fardhu ain dan fardhu kifayah didukung oleh tokoh pendidikan Syed Muhammad Naquid al-Attas, pemahaman yang benar terhadap ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah dianggap penting hal ini disebabkan oleh sifat ilmu yang tidak terbatas pada satu pihak dan terbatasnya kehidupan individu pada pihak lain. Penemuan ini merupakan kontribusi yang penting terhadap pemikiran Islam modern dan menurut al-Attas ini sejalan dengan yang artinya penglihatannya (Muhammad) tidak goyah (dari yang dilihatnya) dan tidak pula melampaui batas.Dengan adanya pemahaman seperti ini akan mendorong sifat kejelasan akan ketepatan yang akan membuat proses pendidikan menjadi lebih jujur, terarah, praktis dan lebih bermakna bagi orang yang mencarinya. Istilah fardhu ain dan fardhu kifayah sudah ada paling tidak sebelum zaman SyafiI, yang mungkin telah memperkenalkan untuk pertama kalinya istilah fardhu kifayah. Dia mendefinisikan fardhu kifayah sebagai kewajiban-kewajiban yang jika dikerjakan oleh seorang Muslim maka kewajiban komunitas di tempat tersebut telah terlaksana. Justifikasinya berdasarkan perintah-perintah al-Quran untuk jihad. Konsep utama dalam ide fardhu kifayah adalah kecukupan.Bagi al-Ghazali, kriteria minimal fardhu kifayah adalah seorang individu, sedangkan yang lain, seperti Az- Zarnuji, lebih cenderung memilih lebih dari satu orang. Sedangkan masalah jumlah yang cukup al-Attas menyerahkan pada hukum dan perhitungan pemerintah Muslim atau pemimpin tertentu pada komunitas Muslim. Pemahaman seperti ini timbul dari Firman Allah . Artinya: menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat. Menurut Az-Zarnuji bahwa kewajiban bukan pada semua aspek ilmu pengetahuan melainkan apa yang diperlukan untuk menjaga tempat seseorang dalam kehidupan. Pendapat fundamental ini terkesan agak terbatas. Namun ia menjadi petunjuk pendidikan yang memiliki tujuan mendalam, praktis, dan komprehensif jika dilengkapi prinsip-prinsip dasar hukum dan pendidikan yang lain bahwa segala sesuatu yang menjadikan sesuatu itu wajib, maka ia dengan sendirinya adalah wajib. (al-Ayat) karena prinsip yang kreatif dan kaya ini, ahli pendidikan muslim mengembangkan konsep-konsep, seperti ilmu pendahuluan (muqatddimah) dan ilmuilmu alat tidak bisa dipisahkan dari ilmu-ilmu yang lebih tinggi dan oleh karenanya harus dikuasai dan diajarkan secara proporsional.

D. Metode Pengajaran Menurut Al- GhazaliImam al-Ghazalia tidak mengemukakan suatu metode pengajaran tertentu dalam berbagai karyannya melainkan dalam pengajaran Agama saja adapun metode pengajaran secara umum, beliau hanya mengemukan prinsip-prinsip tertentu dan langkah-langkah khusus yang seyogiyanya diikuti oleh seorang guru, pendidik, fasilitator atau widyaiswara dalam mengajarnya, begitu juga mengenai prinsip-prinsip mengajar telah beliau paparkan sewaktu menulis tentang hubungan timbal balik antara pendidik dan peserta didik.Manakala proses pendidikan itu menuntut adanya hubungan yang erat antara guru dan murid, maka imam al-Ghazalia telah mengistimewakan suatu bab besar dalam tulisannya tentang pendidikan mengenai hubungan yang harus terjadi antara keduanya. Suksesnya suatu pendidikan hanyalah tergantung kepada seberapa besar hubungan kasih sayang yang perlu dijalin oleh seorang guru dengan murid hubungan itu dianggap cukup bila mampu mendorong murid memberikan kepercayaan penuh kepada sang guru hingga tidak takut kepadanya. Hubungan guru dengan murid diibaratkan seperti hubungan ayah dengan anak, guru yang paling ideal dalam pendidikan Islam adalah Rasulullah, beliau mengibaratkan hubungan dirinya dengan sahabat seperti hubungan ayah dengan anaknya, sebagaimana diungkapkan dalam suatu hadits yang artinya, sesungguhnya aku dan denganmu ibarat ayah dengan anaknya. Bila dilihat dari segi kemamfaatan maka lebih mulia dengan orang tua, orang tua menyelamatkan kita dari api dunia sedangkan guru menyelamatkan kita dari api nereka di akhirat.Menurut Imam al-Ghazali hendaknya orang pendidikan memiliki sifat-sifat sebagai berikut :1. Seorang guru harus menaruh kasih sayang kepada murid-muridnya dan memperlakukan mereka seperti anak-anaknya sendiri. Dalam hal ini Rasulullah bersabda: yang artinya: aku ini terhadap kalian, hanyalah semisal orang tua terhadap anaknya. Dalam hal ini Rasul sebagai pendidik umat memisahkan dirinya sebagai ayah bagi para sahabatnya dalam hal ini sebagai anak didik.2. Hendaknya mengajar mengikuti pemilik syara yaitu Nabi Muhammad SAW. Sehingga ia mengajarkan ilmu bukan untuk mengharapkan balas jasa atuapun ucapan terima kasih, tetapi dengan mengajar itu ia bermaksud mencari ridha Allah. Pengajar atau widyaiswara hendaknya memandang dirinya sebagai karunia atas para peserta didik, meskipun pemberian itu pasti atas mereka, sebaliknya ia memandang keutamaan terhadap mereka, ketika mereka membersihkan hati mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka seoran pendidik atau pengajar jangan mengharapkan semata-matra balasan materi dari pekerjaannya. Sebagaimana difirmankan Allah: yang artinya: katakanlah Muhammad, Hai kaumku! Aku tidak meminta harta kepada kalian atas tablig (ajaran) ini, ganjaranku hanyalah pada Allah.3. Menasehati muridnya supaya tidak sibuk dengan ilmu-ilmu yang abstrak sebelum selesai ilmu-ilmu yang pokok. Bagi tahap pemula atau ibtidai, hendaknya seorang guru jangan membiarkan seorang anak didik untuk mempelajari ilmu-ilmu yang sukar dipahami, karena itu bisa mengacaukan pikirannya. Hendaknya ia diajarkan materi-materi yang bersifat kongkrit. Ini dilakukan untuk melatih akal pikirannya.4. Mencegah peserta didik dari suatu akhlak yang tidak baik dengan jalan sindiran. Member hadiah dan ganjaran adalah salah satu metode pendidikan yang efektif dalam membina sikap, kreatifitas dan motivasi siswa dalam belajar. Member hadiah tidak kalah pentingnya dengan member ganjaran. Namun dalam member ganjaran ini harus diperhatikan metode dan konsekuensinya bagu para didik, perilakunya.5. Hindari mencela ilmu yang lain, seperti guru bahasa merendahkan ilmu fiqh, begitu juga yang mengajarkan disiplin ilmu fiqih mencela ilmu hadits. Seorang guru harus memberikan pengertian kapada muridnya untuk mendalami ilmu yang lain setelah ia manguasai satu ilmu.6. Mengajarkan ilmu sesuai dengan tingkat pemahamanan. Petunjuk akan hal ini banyak dijumpai dalam al-Quran maupun hadits. Dari beberapa dalil yang telah penulis sebutkan kiranya menjadi penguat bagi seorang guru dalam menyampaikan materi ajar kepada anak didiknya yang disesuaikan dengan kematangan intelektualnya.7. Jangan menimbulkan rasa benci pada murid untuk belajar ilmu yang lain tetapi seyogyanya membuka jalan dengan mereka untuk mempelajari ilmu tersebut.8. Seseorang guru harus mengamalkan ilmunya.Adapun sifat-sifat seseorang murid antara lain:a. Mendahulukan penyucian hati dari kotoran akhlak dan dari sifat-sifat tercela. Karena ilmu adalah ibadah hati, karena ia adalah ibadah hati maka hati itu harus disucikan supaya ada tempat bagi ilmu, ilmu tidak akan diam di tempat yang kotor. Hal ini senada seperti yang diutarakan oleh imam SyafiI, kepada gurunya tentang buruknya kualitas hafalan beliau. Lalu gurunya menjawab ilmu itu cahaya dan cahaya tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat. Kemaksiatan itu akan melahirkan kotoran/najis bagi hati yang menjadi penghalang untuk menetapnya ilmu. Najis bukan hanya benda-benda lahir maupun juga bersifat bathin / non-inderawi, hal ini dapat dipahami dari firman Allah yang artinya sesungguhnya orang musyrikin itu najis Dari ayat ini dapat kita fahami, bahwa orang musyrik itu bernajis jauharnya (bathinnya), walaupun kita lihat ia memakai pakaian yang indah dan bersih. Dengan demikian maka bagi seorang pencari ilmu menurut imam al-Ghazali harus membersihkan diri dari segala sifat-sifat tercela agar ia dapat menerima ilmu dengan baik.b. Mempunyai sifat kesungguhan. Dalam menuntut ilmu kesungguhan harus diutamakan. Ilmu didapatkan dengan menempuh cara-cara yang sistematis, seorang penuntut tidak boleh hatinya dikacaukan oleh hal-hal lain yang dapat menyababkan hatinya menjadi terbagi. Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa ilmu itu tidak akan memberikan keseluruhannya kepadamu sebelum kamu memberikan keseluruhanmu kepadanya.c. Patuh dan hormat terhadap gurunya. Seseorang peserta didik harus mempunyai sifat patuh dan hormat terhadap gurunya, orang yang sedang menuntut diibaratkan seperti orang sakit, ia harus mendengar nasehat dari dokternya yang belas kasih dan pandai. Ia tidak boleh mengabaikan perintah dokter yang mengobatinya, hendaknya seorang pelajar merendahkan diri kepada pengajarnya mencari pahala dan kemudian dengan melayaninya. Dikisahkan pada suatu hari Zaid bin Sabit Shalat Jenazah, lalu didekatkan bighalnya kepadanya agar ia mudah untuk menungganginya lalu datang Ibn Abbas mengambil tunggangan tersebut, lalu berkata Zaid biarkan hai anak paman Rasulullauh. Ibnu Abbas menyahut demikianlah kami diperintahkan untuk berbuat kapada ulama dan orang-orang besar. Kemudian Zaid Bin Sabit mencium tangan Ibn Abbas dan berkata beginilah kami diperintahkan untuk berbuat kepada ahli rumah Nabi SAW.d. Memelihara diri dari mempelajari masalah-masalah yang diperselisihkan dalam tahap awal menuntut. Hal ini dilakukan supaya tidak terjadi keraguan dan membingungkan akalnya, menggoncangkan hatinya dan melemahkan pendiriannya serta menggendorkan semangat untuk menemukan dan menelaah. Tetapi sebaliknya ia terlebih dahulu mengukuhkan satu jalan terpuji yang diridhoi oleh para gurunya, kemudian ia baru menyelidiki berbagai macam mazhad-mazhad. Orang pemula dalam menuntut diibaratkan seperti orang yang lemah maka ia tidak layak lansung menuju barisan depan perang, tidak seperti orang yang kuat dan pemberani, bahkan mereka dianjurkan untuk maju ke depan. Bila pada masa awal belajar ia langsung mempelajari tentang berbagai perselisihan pendapat, maka pendiriannya tidak akan kuat, ia akhirnya akan menimbulkan kamalasan dalam belajar.e. Hendaklah pelajar tidak memperdalam ilmu dengan sekaligus, melainkan dengan tahapan-tahapan memulai dengan yang paling penting. Hal ini dikarenakan tahap perkembangan mental yang tidak sama dan juga keterbatasan umur manusia.f. Hendaklah ia meniatkan dengan belajarnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Imam al-Ghazali memiliki pemikiran dan pandangan luas terhadap pendidikan dalam arti bukan hanya memperlihatkan aspek akhlak semata, seperti yang dituduhkan oleh sebagian sarjana dan ilmuan, tetapi memperhatikan aspek lain seperti; keimanan, akhlak, sosial, akliah dan jasmaniah.

E. Pemikiran al-Ghazali Terhadap SainsSebagaimana kita ketahui bahwa asal-usal sains modern berasal dari peradaban Islam. Memang sebuah fakta bahwa, umat Islam adalah pioneer sains modern. Salah satu diantaranya adalah Al-Ghazali untuk pertama kalinya, menghancurkan otoritas Aristoteles dan pada saat yang sama menabur bibit-bibit filsafat mekanika, fondasi metafisik untuk sains modern, maka kontribusinya itu tidak hanya destruktif, tetapi juga kontrukktifksi.Ada sebagian ahli mengatakan bahwa, sebab kemunduran umat Islam adalah serangan al-Ghazali terhadap para filsuf lewat kitab beliau yang berjudul Tahaful al Falasifah (kerancuan-kerancuan dalam filsafat), seperti Sayyed Hosein Nasr. Tidaklah terbukti dengan benar. Sebab al-Ghazali tidak pernah menyerang sains tetapi yang diserang adalah metafisika Aristoteles yang dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu sina. Dalam kitabnya al-Munqid Minal Dhalal, beliau menceritakan bahwa beliau mempelajari ilmu filsafat hingga ke ujungnya, adapun ilmu-ilmu yang termasuk dalam istilah ilmu filsafat yaitu: matematika, logika, fisika, meta fisika, politik dan etika. Berdasarkan uraian di atas menunjukan kepada kita bahwa Al-Ghazali bukan hanya ahli dalam bidang ilmu agama saja, namun juga beliau menguasai beberapa cabang ilmu umum yang dikembangkan sekarang ini.

BAB III PENUTUP

Hal yang sangat penting untuk diingat dari karya imam al-Ghazali dalam bidang pendidikan secara umum ialah jalan yang dianutnya dalam memikirkan selukbeluknya. Beliau tidak menulis masalah pendidikan dengan jalan ekstemporal (tanpa persiapan), melainkan sesuai dengan ideanya yang sudah matang dalam benaknya sehingga gamblang bagi pembaca karya tulisnya. Imam al-Ghazali sebagai pemikir yang logis dan sistematis dalam pikirannya memiliki filsafat yang jelas lagi konsisten.Oleh karena itu, di saat menulis tentang pendidikan, beliau memulai dengan membentangkan tujuan-tujuan pendidikan yang hendak dicapai oleh para pendidik yang diramunya dengan cahaya filsafat tasawuf. Atas dasar itulah beliau menyusun ilmu-ilmu, mengklasifir, menilai dan melatakkannya pada beberapa tingkatan sesuai dengan kriterianya untuk dijadikan tolak ukur nilai kegunaan atau kemudharatannya bagi siswa yang dilandasi oleh nilai-nilai tasawuf yang dimilikinya, sehingga dapat membentuk siswa yang berkepribadian mulia.Dengan perkembangan peradaban modern yang semakin kehilangan pangkal spritualitasnya dengan segala dampak deskriptifnya pada segala dimensi kehidupan manusia, menjadikan manusia modern ibarat layang putus tidak mengenal secara pasti di mana tempat hinggap seharusnya. Teknologi yang tanpa kendali moral lebih merupakan ancaman terhadap kehidupan manusia sekarang. Melihat realita yang demikian nampaknya konsep pendidikan yang telah ditulis oleh imam al-Ghazali penting untuk diterapkan agar pendidikan berjalan seirama antara pendidikan religi dan pendidikan umum. Dengan harmonisnya kedua hal ini, maka output pendidikan yang dihasilkan sesuai yang diharapkan.Al-Ghazali adalah seorang intelektual agung yang bersifat generis dengan keahlian yang multi dimensional, baik di bidang keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Generalisasi keahliannya itu menunjukkan keluwesannya dalam mengungkap permasalahan dan ternyata dia mampu menyelesaikan pertentengan pertenganan intelektual pada masanya dan melahirkan pemikiran baru dalam filsafat ilmunya yang telah terbukti kebenarannya masa sekarang.Epistemologi al-Ghazali bersifat monokromatik artinya dia tidak memihak antara ilmu syariyah dan ghairu syariyah melainkan keduanya itu merupakan pengetahuan muamalah untuk sampai pada tingkat pengetahuan mukhasyafah, yakni al-haqiqah. Kebenaran mukhasyafahlah yang merupakan kebenaran yang hakiki, sedangkan pengetahuan muamalah jalan menuju mukhasyafah, bahkan muamalah berasal dari mukhasyafah. Jadi kemampuan insani (indrawi, akal dan hatinya) adalah instrument untuk memperoleh ilmu yang berintegrasi dalam kehendak ilahi, karena manusia pada dasarnya barasl dari-Nya. Disinilah maknanya ilmu pengetahuan itu menurut konsep al-Ghazali adalah satu, sedangkan klasifikasi ilmu dan hukum fardhuain dan fardhu kifayah dalam menurut ilmu muncul sebagai akibat beragamnya tingkat kemampuan bawaan insaniyah.Ilmu fardhuain adalah ilmu yang tidak memerlukan kemampuan manusia untuk mencapainya karena ia telah termaktub dalam seluruh ajaran agama, terutama yang bersifat akidah dan ibadah mahdhah (murni). Sedangkan ilmu fardhu kifayah sepenuhnya diserahkan kepada manusia untuk mengembangkan berdasarkan kemampuan setiap individu. Ilmu inilah yang melahirkan spesialisasi-spesialisasi dimana seseorang bisa bebas kewajiban menuntutnya, karena orang lain telah menuntutnya, artinya tidak berdosa bila tidak menuntutnya.Persepsi ilmu versi al-Ghazali dipandang dari segi psikologok, Nampak membangun satu trend baru dalam disiplin psikologi itu sendiri. Sebab al-Ghazali bukan hanya semat-mata memperhitungkan aspek potensi insan (manusia), melainkan juga keterlibatan kekuasaan ilahi pun sangat menentukan. Oleh karena itu konsep al- Ghazali ini sangat berbeda dengan aliran-aliran psikologi yang berkembang. Aliran theistic mental discipline cenderung hanya mengakui peranan tuhan semata-mata, sebagaimana yang tertuangkan dalam teologi Kristen, aliran Self actualization (natural unfoldmen) meyakini keunggulan potensi menusia belaka yang beraktualisasi pada naturalnya. Begitu pula faham-faham psikologi kontemporer seperti: aliran behavioristik, gestalt hanya memfokuskan manusia saja, tanpa menyentuh peran tuhannya.Trend baru yang dibangun al-Ghazali merupakan upaya sintetik antara potensi insaniyah dan kawasan ilahiyah dalam satu keutuhan. Al-Ghazali merangkum seluruh faham psikologi ke dalam suatu kajian psikologi Islam, dalam wujudnya yang khas yakni thuhid mental discipline. Dengan demikian teori manusia dengan bergerak dalam makna kesatuan seluruh potensi manusia dengan bantuan kuasa Allah (ilham) dalam memahami ilmu hakikat (al-mukhasyafah). Dengan memisahkan pemahaman muamalah dan mukhasyafah atau syariyyah dan ghairu syariyyah, maka tidak akan tercapai kepribadian yang sebenarnya akan terbentuk apabila tetap berada dalam kawasan muamalah dan mukhasyafah sebagai suatu keutuhan ilmu dalam jaringan mukhasyafah itu sendiri.Bila dikaji dari sudut pandangan pedagogik nampak konsep ilmu menurut al- Ghazali ini berbeda dari aliran-aliran pedagogik terutama yang berkembang di barat sebagai faham dominan di tengah dunia pendidikan kini. Seperti aliran-aliran netivisme, empirisme dan konvergensi, kesemuanya berangkat dari landasan kawasan insaniyah semata-mata, konsep ilmu al-Ghazali di samping mengakui bakat yang dihasilkan oleh panca indra maupun akal, al-Ghazali juga menyadari akan keterbatasan manusia. Oleh karena itu diperlukan pertolongan transcendental maupun melengkapi keterbatasan manusia itu.Dari sisi ini al-Ghazali sebenarnya telah melakukan suatu aktivitas pemikiran yang bersifat konvergensi jauh sebelum lahirnya William Stern. Hanya saja konvergensi al-Ghazali bersifat Islami, sehingga dapatlah dikatakan bahwa untuk memanusiakan manusia dalam upaya pendidikan tidak dapat dilepaskan dari dimensi insaniyah dan dimensi ilahiyah bersama-sama dalam satu kawasan ilahiyah. Disinilah letak pentingnya ilmu-ilmu syariyah yang tergolong dalam ilmu muamalah sebagai upaya menuju pada ilmu mukhasyafah. Di dalam dunia pendidikan, untuk tercapai tingkat kedewasaan tidak bisa lepas dari dua aspek obyek kependidikan, yakni pendidikan intelek (akal) dan iman (hati). Untuk terpenuhinya pendidikan intelek harus dituntun ilmu-ilmu ghairu syariyah dan untuk pemeliharaan iman (pendidikan hati) peranan ilmu syariyah tidak bisa diabaikan.