tugas iv kritik review disertasi sofi mubarok
TRANSCRIPT
1
al-‘A<ni>, ‘Abdul Kari>m ‘Umar al-Shaqa>qi>, Al-D}awa>bit} al-Us}u>li>yah li
al-Ijtiha>d fi> al-Siya>sah al-Shar’i>yah (Kaidah-kaidah Us}u>l al-
Fiqh dalam Ijtihad Politik Islam) (Baghdad: Universitas
Baghdad, 2013)
I. RESUME DISERTASI
Pendahuluan
Realitas politik Islam yang telah berjalan sejak diutusnya Nabi
Muhamad dan pemerintahan khalifah rashi>dah memunculkan sebuah
konsepsi bahwa syariat menjamin realisasi tujuan-tujuan politik Islam
yang berkeadilan, disertai dengan adanya ruang-ruang identifikasi bagi
kemaslahatan-kemaslahatan baru yang dapat ditemukan di era masing-
masing. Dari sini, mulai muncul pemikiran para ulama untuk
melahirkan mazhab-mazhab fikih dalam corak keberagamaan. Para
imam mujtahid mulai menetapkan prasyarat ketat untuk melakukan
ijtihad.
Dari sini, muncul kekeliruan sebuah anggapan bahwasanya
sejak munculnya sektarianisme mazhab, kaidah-kaidah keilmuan Islam
mengalami kejumudan dan terlampau kaku sehingga fikih dianggap
sulit mengakomodasi realitas zaman yang semakin berkembang. Selain
itu, ijtihad juga dianggap mengalami stagnasi pasca wafatnya para
imam mazhab. Sehingga, para penguasa saat itu menetapkan aturan
untuk menghilangkan anggapan demikian guna menghadapi tuntutan
realitas yang kian berkembang dengan cara mengintervensi pergerakan
legislasi hukum syariat guna mengatur masyarakat dari segi politik,
ekonomi dan lain sebagainya. Sebagian di antaranya berpijak pada
tujuan-tujuan syariat (maqa>s}id al-shari>’ah) dan meletakkannya pada
kebijakan riil meskipun mengalami benturan dengan pendapat para ahli
fikih yang mazhab dan ijtihadnya diikuti banyak orang. Namun tak
jarang pula yang menjalankan kekuasaannya berdasarkan
pertimbangan hawa nafsu semata.
Sejarah Islam juga ternodai lantaran muncul sekelompok ahli
fikih yang dekat dengan para penguasa yang fatwa-fatwa ijtihadnya
tidak lagi menyentuh substansi syariat serta tidak memahami posisi
perpolitikan dalam kontestasi syariat, dan hal demikian terjadi hingga
saat ini.
Oleh karenanya, mulai muncul beberapa ulama brilian yang
menuangkan dasar-dasar berijtihad politik dalam satu kitab guna
meruntuhkan stigma terhentinya ijtihad. Lahirnya karya-karya di
2
bidang politik Islam semisal kitab al-Siyar yang ditulis oleh Imam
Muh}ammad bin al-H}asan al-Shayba>ni>, kitab al-Khara>j milik Imam Abu>
Yu>suf, Ibnu Qutaybah dengan kitabnya al-Ima>mah wa al-Siya>sah,
kitab al-Amwa>l karya Abu> ‘Ubayd al-Qa>sim bin Sala>m, Ibnu
Taymi>yah yang menulis karya seputar politik Islam (siya>sah shar’i>yah)
serta muridnya yang sangat populer, Ibnu al-Qayyim yang menulis al-
T}uruq al-H{ukmi>yah hingga generasi kontemporer semisal ‘Abdul
Wahha>b Khala>f, Yu>suf al-Qarad}a>wi> dan ‘Abdul Kari>m Zayda>n,
mungkin menjadi bukti nyata bahwa pemikiran politik Islam menjadi
suatu kebutuhan.
Pemilihan tema dilakukan oleh peneliti, mengingat tak ada
satupun kitab yang membahas kaidah-kaidah pokok (al-qawa>’id al-
us}u>li>yah) dalam ijtihad politik Islam. Selain itu, pemilihan tema
dilakukan atas dasar keprihatinan serangan liberalisme dan sekularisme
yang melanda negara-negara Timur Tengah yang bersikeras
menjauhkan peran sentral agama dari politik dengan argumentasi
sekular. Pemikiran sekular demikian diakibatkan dengan makin
massifnya pemikiran Karl Marx melanda pemikiran masyarakat Timur
Tengah yang menuduh agama sebagai candu bagi pemeluknya.
Metodologi dan sistematika penelitian: penelitian ini
merupakan kajian pustaka (manhaj maktabi>). Sedangkan pendekatan
yang digunakan dalam penelitian disertasi ini adalah pendekatan ilmu
us}u>l al-fiqh sebagai pendekatan dalam pemikiran politik Islam.
Sementara itu, metodologi penelitian yang digunakan dalam
disertasi ini adalah:
1. Ayat-ayat Alquran: disebutkan surat dan nomor ayatnya.
2. Hadis: dengan menyertakan sumber, nama perawi serta hukum
otentisitas hadis tersebut. Apabila hadis tersebut berasal dari
S}ah}i>h} Imam Bukhari, Muslim atau telah memenuhi syarat
otentisitas hadis seperti Ibnu H}ibba>n dan Ibn Khuzaymah,
maka peneliti berkesimpulan menghukumi hadis tersebut
dengan otentik (s}ah}i>h}). Sedangkan apabila hadis tersebut
diriwayatkan oleh Imam Tirmidhi>, maka peneliti menyertakan
komentar (ta’li>q) Tirmidhi> atas hadis tersebut. Jika hadisnya
bersumber bukan dari kitab-kitab di atas, maka peneliti
menggunakan komentar Al-Alba>ni>, dengan menyertakan
sumber, nama perawi dan nomor hadisnya, dan diakhiri dengan
nomor juz dan halaman.
3. Tokoh-tokoh (a’la>m): peneliti menyertakan biografi
singkatnya. Jika berasal dari kalangan sahabat, maka sumber
3
rujukan yang digunakan ada tiga; al-Isti>’a>b, sifat al-safwah dan
al-is}a>bah, atau Mu’jam al-S}ah}a>bah sebagai ganti dari yang
terakhir. Jika tokoh berasal dari kalangan ahli fikih, maka
sumber yang digunakan adalah Tara>jum al-Fuqaha>’
berdasarkan mazhab masing-masing tokoh tersebut. Terakhir,
jika tokoh tersebut berasal dari kalangan pakar hadis
(muh}addith), maka rujukan yang digunakan adalah kitab-kitab
seputar Tara>jum al-Muh}addithi>n.
4. Kejadian atau peristiwa: peneliti merujuk pada buku-buku
sejarah atau penggalan peristiwa tertentu yang otoritatif.
5. A<tha>r: peneliti merujuk pada karya al-H}umawi>, Mu’jam al-
Bulda>n.
BAB I : Telaah Teoretis
A. Pengertian D{awa>bit} Us}u>li>yah
D{awa>bit} Us}u>li>yah merupakan bagian tak terpisahkan
dari epistemologi hukum Islam (us}u>l al-fiqh), karena keduanya
membentuk satu kesatuan kebahasaan, di mana d}a>bit} sendiri
secara bahasa memiliki empat makna, yaitu seuatu yang
melekat dan tak terpisahkan, pemeliharaan atas sesuatu,
sesuatu yang digunakan kedua tangan, serta mengambil
sesuatu dengan sekuat tenaga. Yang dimaksud d}a>bit} dalam
disertasi ini adalah makna pertama. Sedangkan d}a>bit} secara
terminologi merupakan kaidah umum yang dibentuk untuk
menjelaskan satu bab atau tema tertentu tertentu dan
dimaksudkan untuk menyusun beberapa format yang serupa ke
dalam satu cakupan.
B. Pengertian Ijtihad
Setelah menjelaskan berbagai pengertian ijtihad dari
para ulama, al-‘A<ni menyimpulkan bahwa ijtihad merupakan
upaya sekuat tenaga dalam menyimpulkan hukum-hukum
syariat yang terperinci dari seseorang yang sudah mencapai
kualifikasi ijtihad, dengn catatan bahwa mujtahid
mengerahkan segenap kemampuannya sampai pada titik di
mana ia merasakan tidak sanggup lagi jika ia harus
melanjutkan upayanya. Kemudian peneliti menambahkan,
ranah ijtihad meliputi dua hal; kasus yang tidak disebutkan di
dalam teks syariat (nas}s}), serta persoalan-persoalan yang
4
disebutkan di dalam teks syariat, namun penunjukkan lafalnya
bersifat dugaan (z}anniy al-dala>la>h).
C. Pengertian Siya>sah Shar’i>yah
Peneliti mengutip pendapat ‘Abdul Wahha >b Khala>f,
bahwa siyas>ah shar’i>yah merupakan mengatur berbagai
urusan-urusan publik bagi negara Islam yang berfungsi
menciptakan kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan
sepanjang tidak melewati batasan-batasan serta prinsip-prinsip
syariat meskipun tidak selalu sejalan dengan pendapat para
imam mujtahid.
Definisi tersebut dipilih oleh peneliti dikarenakan
mencakup wilayah legislatif (sulta}h tashri>’i>yah) dan wilayah
eksekutif (sult}ah tanfi>dhi>yah) secara bersamaan, serta untuk
menekankan bahwa tujuan berpolitik ialah untuk menciptakan
kebaikan dan kemaslahatan publik secara keseluruhan tanpa
melakukan disparitas antara kepentingan mayoritas dan
minoritas.
BAB II : Implementasi Siya>sah Shar’i>yah dalam Bingkai
Kaidah-kaidah Us}u>l al-Fiqh
A. Implementasi Siya>sah Shar’i>yah pada Pemerintahan Abu> Bakr
Peneliti membuka pembahasan di dalam bab ini
dengan sebuah catatan penting terkait metode ijtihad yang
dijalankan di dalam pemerintahan khilafah rashidah yang
berkutat pada tiga poros, yaitu upaya menjelaskan dan
interpretasi teks-teks syariat, menganalogikan teks syariat
terhadap kasus-kasus baru yang memiliki keserupaan, serta
ijtihad menggunakan prinsip logika yang dibangun di atas
tujuan di balik legislasi hukum Islam (maqa>s}id al-shari>’ah).
Wilayah otoritas ijtihad serta terobosan hukum yang
terdapat pada masa pemerintahan khila>fah ra>shidah tidak
hanya terkait pada persoalan agama semata. Setidaknya,
terdapat tigi wilayah yang berhasil dikembangkan pada masa
pemerintahan khilafah rashidah, yaitu otoritas seorang
pemimpin negara dalam memproduksi hukum atau kebijakan
(ima>mah), putusan peradilan (qad}a>’) dan otoritas fatwa
keagamaan (futya>).
5
Dalam skema ijtihad seperti inilah Abu Bakar
menjalankan pemerintahannya dan membuat kebijakan, seperti
tehnis pemilihan khalifah yang berdasarkan pada musyawarah
mufakat, memilih pemimpin yang memiliki kesalehan spiritual
yang ditampilkan dengan sejarah pengangkatan Nabi
Muh}ammad terhadap Abu Bakar untuk menggantikannya
sebagai imam di dalam shalat, serta mengangkat pemimpin
dari klan yang paling dihormati saat itu (Quraish) untuk
menghilangkan perselisihan yang terjadi.
Selain itu, kebijakan-kebijakan politik pada
pemerintahan Abu Bakar adalah memerangi kelompok
murtaddi>n dan menghimpun Alquran ke dalam satu mus}h>af
yang dibangun di atas prinsip mas}lah}ah mursalah.
B. Implementasi Siya>sah Shar’i>yah pada Pemerintahan ‘Umar al-
Fa>ru>q
Kebiajakn-kebijakan politik yang dijalankan ‘Umar al-
Faruq dalam pemerintahannya tak jauh berbeda dari prinsip
politik yang dijalankan pemerintahan sebelumnya. Bahkan
‘Umar banyak melakukan berbagai terobosan-terobosan baru,
seperti menyatukan shalat Tara>wi>h ke dalam satu majelis
secara berjamaah yang berdasar pada kaidah mas}lah}ah,
menetapkan pajak (khara>j) bagi penduduk yang berada di
bawah pemerintahan Islam, serta tidak lagi melakukan
pembagian lahan atas tanah rampasan perang pasca
penaklukannya ke berbagai wilayah, seperti Irak dan
sebagainya. Kebijakan lain yang muncul pertama kalinya pada
pemerintahan Umar ialah menghapus mualaf dari kelompok
penerima zakat pasca menguatnya pemerintahan Islam.
Kesemuanya berpijak pada prinsip maslahat.
C. Implementasi Siya>sah Shar’i>yah pada Pemerintahan ‘Uthma>n
Ibn ‘Affa>n
Pada saat pelantikannya, ‘Uthman Ibn ‘Affan
mengumumkan metode atau mekanisme kebijakannya yang
merujuk pada al-Kita>b, al-sunnah serta dua khalifah
sebelumnya (Abu> Bakr dan ‘Umar al-Fa>ru>q), serta
mendasarkan kebijakannya pada prinsip-prinsip kebijaksanaan
kecuali dalam persoalan hukum pidana (h}udu>d).
6
Dalam kerangka demikian, ‘Uthman berhasil
melakukan berbagai terobosan seputar kebijakan-kebijakan
agama dan pemerintahan yang di antaranya ialah upaya
menghimpun dan menuliskan Alquran ke dalam satu mushaf.
Selain itu, salah satu kebijakan penting yang mengangkat
kredibilitasnya sebagai seorang pemimpin ialah menjatuhkan
sanksi cambuk (jild) kepada saudara sesusuannya akibat
meminum khamr sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Abd
al-Razza>q di dalam Mus}annaf. Dalam persoalan agama.
‘Uthman Ibn ‘Affan memfatwakan bolehnya seorang
perempuan yang ditalak seorang laki-laki sakit yang sudah
mendekati ajalnya untuk menerima waris dari suami yang
mentalaknya tersebut pasca habisnya masa ‘iddah berdasarkan
prinsip sadd al-dhari>’ah.
D. Implementasi Siya>sah Shar’i>yah pada Pemerintahan ‘Ali> Ibn
Abi> T{a>lib
Banyak kebijakan politik yang dihasilkan ‘Ali Ibn Abi
Talid pada pemerintahannya sebagai khalifah ke empat. Di
antaranya ialah memerintahkan umat Islam untuk membakar
perkampungan Nasrani yang memperjualbelikan khamr,
membuat kebijakan potong tangan terhadap orang-orang yang
memperjualbelikan orang merdeka, serta memberikan sanksi
pidana (jina>yah) bagi dokter-dokter tidak berpengalaman yang
melakukan malapraktik yang mengakibatkan hilangnya pasien
atau kerusakan salah satu organ tubuh, berdasarkan pada
prinsip h}ifz} al-nafs (memelihara jiwa), serta tidak menetapkan
hudud (sanksi) di wilayah peperangan (da>r al-h}arb).
BAB III: Implementasi Siya>sah Shar’i>yah dalam Kerangka Kaidah-
kaidah Us}u>l al-Fiqh menurut Pandangan Ahli Fikih
A. Kaidah-kaidah Pokok dalam Sistem Politik Islam
Yang dimaksud ialah kaidah-kaidah pokok dalam
sistem politik Islam yang menjadi dasar menegakkan negara
Islam yang menjalankan kekuasaannya berdasarkan syariat
Islam, karena prinsip menjalankan agama dalam tata kelola
pemerintahan ialah terealisasikannya tujuan-tujuan syariat
yang berkeadilan, menutupi kebutuhan masyarakat dan
menciptakan kemaslahatan bersama. Sebagai kesimpulan,
7
upaya membentuk negara Islam harus tetap tunduk pada
aturan-aturan syariat yang pada akhirnya bertujuan untuk
menciptakan kemaslahatan manusia secara keseluruhan.
Pertama ialah konsep kekuasaan milik Allah/Teokrasi
(al-H{aki>mi>yah li Alla>h) yang berarti bahwa aturan-aturan di
dalam kebijakan menjalankan pemerintahan harus tunduk pada
ketentuan wahyu karena Allah telah mengatur segala aspek
bagi kehidupan manusia, sekaligus memberikan ancaman bagi
siapa saja yang tidak menghukumi sesuatu berdasarkan wahyu
sebagai orang-orang kafir. Selanjutnya ialah musyawarah
(Shu>ra>) yang diterjemahkan sebagai upaya duduk bersama
dalam suatu forum guna mengemukakan pendapat dari seluruh
anggota untuk mencapai satu kesepakatan bersama. Juga
konsep ketaatan (T{a>’ah) yang berarti bahwa tunduk terhadap
pemerintah yang sah merupakan bagian dari kewajiban agama,
bahkan mendapat legitimasinya setelah ketaatan terhadap
Allah dan Nabi Muhammad. Namun ketaatan tersebut
sepanjang tidak melanggar syariat. Yang terakhir ialah
keadilan (‘ada>lah) dan kesetaraan (musa>wa>h) yang
diterjemahkan sebagai asas kesamarataan dan proporsionalitas
dalam setiap aspek kehidupan, meliputi penegakan hukum dan
pemenuhan hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu dalam
kehidupan bernegara.
B. Kaidah-kaidah Us}u>l al-Fiqh dalam Sistem Politik Islam pada
Persoalan-persoalan yang Tidak Terdapat di Dalam Teks-teks
Syariat
Yang dimaksud ‚tidak terdapat di dalam teks’teks
syariat‛ ialah meliputi segala sesuatu yang tidak ada
tinjauannya dalam dalil naqli>, yaitu Alquran dan hadis. Dalam
konteks demikian, ada beberapa mekanisme yang bisa
digunakan sebagai piranti melahirkan kebijakan-kebijakan di
dalam menjalankan pemerintahan.
Di antara kaidah yang digunakan ialah qiya>s (analogi),
istih}sa>n, sadd al-dhari>’ah (upaya preventif), istis}h}a>b
(mengembalikan status hukum asal), ‘urf (tradisi), serta
menggunakan al-qawa>’id al-fiqhi>yah (kaidah-kaidah fikih)
dalam konteks bernegara, seperti mengaitkan regulasi
pemerintahan berdasarkan prinsip kemaslahatan publik
(tas}arruf al-ima>m manu>t}un bi al-mas}lah}ah).
8
C. Memahami Tujuan-tujuan di Balik Legislasi Syariat dan
Prinsip-prinsip Fikih Keseimbangan (Fiqh al-Maqa>sid wa al-
Muwa>zana>t)
Terdapat empat kaidah pokok yang dijadikan piranti
dasar untuk meletakkan konteks bernegara dalam pemikiran
usul al-fiqh. Empat kaidah tersebut digunakan dalam
mekanisme-mekanisme yang terkadang mengalami benturan
satu sama lain, di mana sebuah kebijakan misalnya memiliki
dampak positif (maslahat) akan tetapi di satu waktu akan
berdampak negatif atau mungkin bisa menimbulkan bahaya
bagi masyarakat (mafasid).
Kerangka yang pertama ialah ketika kemaslahatan-
kemaslahatan terhimpun dalam suatu kebijakan. Yang menjadi
titik tolak ketika terjadi kasus demikian adalah bagaimana
agar kemaslahatan-kemaslahatan tersebut secara keseluruhan
bisa direalisasikan secara bersama-sama. Namun jika tidak
memungkinkan ruang untuk menghimpun kemaslahatan
tersebut secara keseluruhan, maka yang digunakan ialah skala
prioritas, yaitu mana kebijakan yang secara fundamental akan
menciptakan kemaslahatan yang lebih besar dibandingkan
dengan kemaslahatan lainnya.
Sementara itu, kerangka kedua ialah ketika terhimpun
dua kemafsadatan atau lebih dalam sebuah kebijakan. Yang
paling utama ialah upaya menghilangkan kemasfadatan
tersebut secara keseluruhan, dan jika tidak mungkin dilakukan,
maka skala prioritas sebagaimana terjadi pada kasus
sebelumnya juga digunakan dalam konteks ini, yaitu
mendahulukan kebijakan yang bisa menghilangkan
kemafsadatan lebih besar dibandingkan kemafsadatan yang
lebih ringan (al-afsad fa al-afsad).
Kerangka terakhir ialah ketika terhimpun
kemaslahatan dan kemafsadatan secara bersamaan. Dalam
kasus demikian, maka yang paling utama ialah mengupayakan
terealisasinya kemaslahatan tersebut sekaligus mengupayakan
dihilangkannya kemafsadatan yang ada. Namun jika tidak
mungkin dilakukan, maka mendahulukan upaya
menghilangkan kemafsadatan yang ada merupakan
keniscayaan jika kemafsadatannya lebih besar atau memiliki
bobot yang sama dengan kemaslahatan yang ada. Namun jika
9
kemaslahatannya lebih unggul dibandingkan kemasdatannya,
maka kemaslahatan tersebut harus diupayakan.
Bab IV: Ranah Implementasi Sistem Politik Islam pada Era
Kontemporer
A. Implementasi Politik Islam dalam Kebijakan Politik Dalam
Negeri (A’ma>l al-Dawlah al-Da>khili>yah), Pidana (‘Uqu>bah)
dan Pelayanan Publik (al-Khidma>t)
Persoalan pertama ialah terkait dengan perlunya
melakukan pemisahan lembaga otoritas pembuat
kebijakan/hukum yang sejak semula diperkenalkan oleh Islam
di dalam sistem politiknya ke dalam tiga lembaga, yaitu
lembaga legislatif (tashri>’i>yah), mahkamah peradilan
(qad}a>i>yah) dan lembaga eksekutif (tanfi>dhi>yah). Pada zaman
Nabi Muhammad dan Abu Bakr, dan pertama kalinya terjadi
pemisahan di antara tiga kelembagaan tersebut ialah pada
masa pemerintahan ‘Umar al-Faruq, yaitu dengan menunjuk
Abu> al-Darda>’ sebagai seorang hakim (qa>d}i>) di Madinah,
Shuraih} di Bas}rah dan Abu> Mu>sa> al-Ash’ari> di Ku>fah. Alasan
pemisahan tersebut penting dilakukan karena adanya
kemaslahatan dalam menegakkan hukum perundang-undangan
guna mencegah timbulnya monopoli hukum dari satu
kelembagaan atau individu tertentu.
Selain itu, pemisahan lembaga otoritas pembuat
kebijakan penting dilakukan sebagai upaya preventif (sadd al-
dhari>’ah) terjadinya hegemoni yang berdampak pada faham
otoritarianisme yang mengakibatkan terjadinya kesewenang-
wenangan di dalam menjalankan pemerintahan, serta untuk
menjaga kebebasan mengeluarkan pendapat dan memelihara
asas-asas musyawarah mufakat.
Selanjutnya ialah dalam persoalan mengadakan kerja
sama dengan negara non-muslim. Meskipun terjadi pro-kontra
di kalangan ahli fikih mengenai boleh tidaknya melakukan
kerjasama dengan negara-negara non-muslim, setidaknya
terdapat kemaslahatan yang bisa didapat dalam kerjasama
diplomatik dengan negara tersebut, yaitu jika tujuannya ialah
untuk menjaga regulasi negara yang tidak mengebiri hak-hak
konstitusi umat Islam dan sepanjang tidak berbenturan dengan
10
upaya mempersempit ruang gerak umat Islam menjalankan
agamanya. Kewenangan hal ini berpijak pada kaidah d}aru>ra>t.
Kasus berikutnya ialah terkait undang-undang pidana
Islam (h}udu>d) yang banyak memicu pro-kontra di kalangan
masyarakat. Pada dasarnya, hukuman pidana tidak bisa
diterapkan jika negara berada dalam situasi peperangan.
Begitupun jika kondisi sosial masyarakat tidak memungkinkan
ditegakkannya hukum pidana Islam, seperti jika dikhawatirkan
terjadinya pepecahan dan pertumpahan darah di kalangan akar
rumput. Sementara itu, kewenangan pelaksanaannya
diserahkan kepada kepala negara sebagai pemilik orotitas
tertinggi dalam suatu pemerintahan.
Yang terakhir ialah terkait kebijakan atau regulasi
yang akan diputuskan negara. Yang paling pokok dalam
konteks demikian ialah tetap memelihara skala prioritas
(awlawi>ya>t) dalam pelayanan publik sebagai dasar
pengambilan kebijakan. Yang dimaksud prioritas di sini ialah
mengutamakan kepentingan agama (hifz} al-di>n) di atas
kepentingan lainnya. Kerangka priotitas juga harus dibangun
berdasarkan stratifikasi hukum berdasarkan kerangka yang
diperkenalkan oleh Al-Juwayni>, yaitu d}aru>ri> sebagai prioritas
utama, kemudian haji>y dan terakhir tahsi>ni>.
B. Persoalan-persoalan yang terkait dengan jihad
Jihad, diperluas maknanya menjadi upaya bela negara.
Dalam konteks ini, dalam kondisi peperangan, ada beberapa
keringanan yang diberikan agama pada saat seorang tentara
muslim berada di medan perang untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban agama. Sebagai contoh, ada mekanisme
shalat khawf; shalat yang dilakukan pada saat peperangan
berkecamuk. Selain itu, diperbolehkan juga melakukan
spionase terhadap musuh untuk mengetahui strategi
penyerangan.
C. Politik Hubungan Internasional (‘Ala>qa>t al-Dawlah al-
Kha>riji>yah)
Pembahasan politik luar negeri/hubungan internasional
pada titik ini dikerucutkan pada tiga hal; persoalan gencatan
senjata (hadanah), berafiliasi dengan undang-undang
internasional (indimam ila al-munazzamat al-dawliyah) serta .
11
Pertama, gencatan senjata merupakan konsep
perdamaian yang dibangun dua negara atau lebih untuk tidak
melakukan peperangan dalam kurun waktu tertentu dengan
adanya timbal jasa atau lainnya. Berdasarkan penelitian atas
dalil-dalil syariat yang membahas konsep gencatan senjata,
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya melakukan gencatan
senjata dalam kondisi tentara muslim atau negara yang kuat
tidak diperbolehkan, kecuali jika didasarkan pada adanya
kemaslahatan yang bisa didapatkan dari gencatan senjata.
Kedua, sudah menjadi tradisi di era sekarang bahwa
pergaulan internasional meniscayakan adanya aturan-aturan
yang harus disepakati dan diikuti bersama, termasuk jika
aturan tersebut mengikat negara muslim dan negara non-
muslim. Dalam ajaran agama, keikutsertaan negara Islam
mengikuti undang-undang internasional diperbolehkan
sepanjang tidak menyimpang dari karakteristik Islam, yang
salah satu di antaranya ialah menangkal adanya kerugian bagi
warga negara Islam tersebut.
Sedangkan terakhir ialah menyangkut hubungan
diplomasi negara Islam dengan negara non-Islam yang terkait
dengan kerja sama ekonomi, politik dan sebagainya. Dalam
konteks ini, tak ada larangan bagi negara Islam melakukan
kerja sama dengan negara lainnya sepanjang kemaslahatan bisa
dicapai. Begitupun jika negara-negara Islam bergabung dengan
organisasi internasional yang bergerak di bidang kesehatan dan
pendidikan, seperti UNESCO dan UNICEF karena tak
terelakkannya kemaslahatan yang bisa dicapai, seperti upaya
negara-negara Islam yang memberantas rendahnya mutu
pendidikan warganya dan akibat angka kemiskinan yang
tinggi.
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Kesimpulan teoretis yang terkait dengan kaidah-
kaidah us}u>l al-fiqh di wilayah politik ialah bahwasanya
kaidah-kaidah us}u>l al-fiqh dapat diaplikasikan ke dalam sistem
politik Islam berdasarkan kerangka ijtihad, dan ijtihad politik
sendiri hanya bisa dilakukan jika seorang mujtahid tersebut
telah memenuhi syarat-syarat ijtihad sekaligus mampu
12
memahami tujuan-tujuan syariat (maqa>s}id al-shari>’ah),
memahami persoalan politik dan mampu membaca realitas.
Sementara itu, politik Islam tidak keluar dari kerangka
politik praksis yang terus menerima perubahan dan dibangun
di atas prinsip-prinsip kemaslahatan yang juga mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Namun tentu saja, kebijakan
yang dijalankan pemerintah harus berpijak pada teks-teks
syariat yang qat’i, maslahat, prinsip analogi (qiyas) dan kaidah
us}u>l al-fiqh lainnya.
Sedangkan kesimpulan praksis yang terkait dengan
kaidah-kaidah us}u>l al-fiqh dalam politik Islam ialah
bahwasanya hukum-hukum yang terdapat pada masa
pemerintahan khilafah rashidah mengacu pada dalil-dalil
syariat secara berurutan, dimulai dari Alqruan, hadis, meminta
saran dari para sahabat dan memutuskan berdasarkan pendapat
pribadi jika tidak ditemukan dalilnya.
Dalam memutuskan kebijakan, pemerintah diharuskan
melakukan pertimbangan sisi kemaslahatan dan kemafsadatan
yang mungkin akan timbul sejalan dengan penerapan
kebijakan. Oleh karenanya, kebijakan harus diambil
berdasarkan skala prioritas sebagaimana dikembangkan para
ulama semisal ‘Izzuddi>n Ibn ‘Abd al-Sala>m. Lembaga otoritas
pembuat hukum juga perlu dipisahkan agar tidak terjadi
monopoli oleh satu lembaga, meliputi legislatif (tashri>’iyah),
eksekutif (tanfi>dhi>yah) dan peradilan (qad}a>i>yah).
Untuk masa sekarang, politik tidak lagi berbicara
tentang perpolitikan dalam negeri semata. Hubungan luar
negeri juga perlu dilakukan untuk mencapai kemaslahatan bagi
penduduk negara Islam tersebut, seperti mengadakan
diplomasi dengan negara lain, terlibat aktif dalam lembaga-
lembaga internasional, serta melakukan kerjasama di berbagai
bidang seperti ekonomi, politik, kesehatan dan pendidikan.
B. Saran
1. Membuka konsentrasi siyasah shar’iyah di bawah
naungan fakultas fiqh dan us}u>l al-fiqh, baik di
tingkatan sarjana maupun pascasarjana.
2. Membuka lembaga-lembaga keagamaan (ma’had)
yang secara khusus memfokuskan kajian politik Islam
bagi mahasiswa yang telah menyelesaikan program
13
doktor, agar menghasilkan intelektual-intelektual yang
menguasai kajian politik Islam dan diharapkan bisa
memberikan kontribusi bagi negara.
14
II. ANALISIS KRITIS DISERTASI
A. Analisis Kritis Metodologi
1. Telaah umum tema dan pendekatan penelitian
Secara umum, reviewer menilai disertasi ini
merupakan disertasi unik sejauh pengamatan reviewer
terhadap beberapa disertasi yang mencoba memetakan kajian
politik Islam ke dalam kerangka us}u>l al-fiqh sebagai
epistemologi. Hal ini, sebagaimana dinyatakan, merupakan
sebuah tantangan baru pagi pemikiran politik Islam guna
mencari dimana titik-titik ijtihad yang bisa dilakukan terkait
pemikiran Islam, terutama dalam menghadapi perkembangan
ilmu pengetahuan dewasa ini, serta kebutuhan untuk
mengaktualisasikan konsep-konsep us}u>l al-fiqh bagi
perkembangan politik yang belakangan diklaim sudah tidak
mampu menjawab problematika kekinian.
Dalam Muktamar Makkah ke-13 yang dilaksanakan
Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi> tahun 2012, DR. Na>ji> Mus}t}afa>
Badawi> menilai, agama memandang perlu dilakukan upaya
mengintegrasikan nilai-nilainya ke dalam konsep politik. Hal
ini berangkat dari sebuah pemikiran bahwa tujuan berpolitik
adalah mengatur pola kehidupan manusia yang juga menjadi
salah satu fungsi pokok diturunkannya agama bagi manusia.1
Selain itu, ada kesamaan visi-misi yang dibangun antara
pemikiran politik dengan epistemologi maqasid al-shari’ah
sebagai pengembangan us}u>l al-fiqh, yaitu sama-sama berupaya
menciptakan kebaikan serta menutup celah-celah bahaya yang
bisa menimpa manusia.2 Oleh karenanya, us}u>l al-fiqh menjadi
tepat dijadikan pintuk masuk bagi pemikiran politik agar
sesuai dengan cita-cita Islam.
Namun kelemahan mulai terlihat manakala metodologi
yang digunakan peneliti terlampau sederhana lantaran hanya
menggunakan ilmu us}u>l a-fiqh sebagai satu-satunya
pendekatan. Problematika penggunaan us}u>l a-fiqh sebagai
satu-satunya pendekatan tidak menghasilkan sesuatu yang
1 Na>ji> Mus}t}afa> Badawi, ‚al-Tah}addiya>t al-Siya>si>yah al-Mu’a>s}irah Bayna al-Ta’s}i>l wa al-Tajdi>d wa al-Tha>bit wa al-Mutaghayyir‛, dalam Muktamar Mekah ke-13,
20-21 Oktober 2012 (Mekah: Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi, 2012), 3.
2 Abdul Malik, ‚al-‘Ala>qah Bayna al-Siya>sah al-Shar’i>yah wa Maqa>s}id al-Shari>’ah,‛ dalam Majalah Universitas Tikrit, Vol. 6, Jilid 14 (Tikrit: Universitas
Tikrit, 2007), 383.
15
baru karena basis keilmuan antara politik Islam dengan us}u>l a-
fiqh berada dalam satu rumpun yang sama. Penelitian yang
didekati menggunakan satu rumpun keilmuan yang sama,
menurut DR. Fuad Jabali hasilnya sama dengan anak yang
dilahirkan dari hubungan incest.3
Meskipun secara pribadi reviewer tidak begitu
sependapat dengan pendapat Fuad Jabali di atas, reviewer
memandang perlu mengintegrasikan beberapa pendekatan
multidisiplin keilmuan agar kajian-kajian keislaman benar-
benar memperlihatkan coraknya yang baru sekaligus progresif.
penelitian akan menghasilkan sesuatu yang baru jika didekati
dengan berbagai pendekatan yang saat ini populer digunakan
di negara-negara Barat, seperti menggunakan pendekatan
antropologi yang hasil simpulannya misalnya, akan banyak
mengungkap keterkaitan antara relasi kebijakan negara yang
banyak memengaruhi pola fikir dan perilaku masyarakat, atau
menjelaskan fungsi agama dalam memahami struktur
masyarakat.4 Pemikiran ini penting untuk mengidentifikasi
pemikiran politik Islam yang banyak sekali didominasi kultur
Arab yang cenderung maskulin, patriarki, serta sarat dengan
fanatisme kesukuannya (ta’as}s}ub). Sehingga, pengembangan
politik Islam sulit sekali dilakukan –jika tidak dikatakan
mustahil– mengingat dominasi pemikiran Arab sudah
mereduksi konsep perpolitikan dalam kontestasi pemikiran
Islam bagi mayoritas muslim lainnya. Tak heran jika sebagian
negara-negara muslim berusaha keluar dari mainstream
Arabisme dengan cara menerapkan perpolitikan negara dengan
gayanya masing-masing karena dikhawatirkan berbenturan
dengan kultur masyarakat yang jelas berbeda dengan kultur
masyarakat Arab yang cenderung kaku.
Atau misalnya, mencoba menggunakan pendekatan
yang dicetuskan Michell Foucalt tentang knowledge and
power untuk menganalisis bagaimana sesungguhnya
wewenang yang dimiliki pemerintah ditunjang berkat adanya
legitimasi dari agama itu sendiri.5 Sehingga, upaya melawan
3 DR. Fuad Jabali, dalam perkuliahan Seminar Proposal Disertasi, SPs UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu 12 Nopember 2014.
4 David N. Gellner, ‚Anthropological Approaches‛, dalam Peter Connolly
(ed.), Approaches to The Study of Religion (New York: Wellington House, 1999), 12.
5
16
kebijakan pemerintah merupakan bentuk perlawanan terhadap
Tuhan itu sendiri.
2. Pemilihan Judul
Kritik lain yang bisa reviewer kemukakan menyangkut
pemilihan judul. Pengertian ‚al-d}awa>bit} al-us}u>li>yah‛ guna
membaca konteks pemikiran politik Islam hanya akan relevan
pada kasus-kasus klasik dalam konteks di mana kaidah-kaidah
us}u>l a-fiqh yang dimaksud memang belum mengalami
perkembangan. Namun dalam konteks saat ini, pembacaan
us}u>li> tidak begitu relevan karena kontestasi politik Islam
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Selain itu,
peneliti sama sekali tidak menyinggung adanya pengembangan
us}u>l a-fiqh yang sejatinya melahirkan epistemologi baru dalam
pemikiran Islam, yaitu pendekatan maqasidi; Pendekatan yang
berbasis tujuan-tujuan syariat. Reviewer tidak melihat corak
pendekatan demikian, padahal banyak sekali ulama Timur
Tengah yang sudah menulis bagaimana peran epistemologi
maqa>s}id al-shari>’ah membuka jalan ijtihad bagi kebuntuan us}u>l
a-fiqh dalam menjawab problematika kekinian.
Ibnu ‘A<shu>r misalnya mengatakan, salah satu
kelemahan cara baca us}u>l a-fiqh klasik ialah mengabaikan
peran tujuan-tujuan di balik legislasi syariat (maqa>s}id al-
shari>’ah). Para ulama tidak membukukan nilai-nilai maqa>s}id
al-shari>’ah sebagai instrumen penting dalam melakukan ijtihad
dan sedikit sekali membicarakannya dalam kitab-kitab us}u>l a-
fiqh, kecuali beberapa kutipan singkat saja di dalam
pembahasan metode pencarian sebab operatif (masa>lik al-
‘illah) seperti maslahat mursalah.6 Begitupun dengan ilmu-
ilmu sosial yang tidak banyak dilirik ulama saat itu,7 padahal
keduanya merupakan instrumen penting dalam merumuskan
ijtihad kontemporer.
Pembacaan demikian mestinya harus dipertimbangkan,
mengingat penelitian hukum Islam tidak semata membahas
unsur-unsur normatif belaka yang cakupan wilayahnya
meliputi halal-haram, namun juga perlu meliputi wilayah
6 Muh}ammad al-T{a>hir Ibnu ‘A<shu>r, Maqa>s}id al-Shari>’ah al-Isla>mi>yah, cet.
Ke-2 (Urdun: Da>r al-Nafa>is, 2001), 165.
7 Ibnu ‘Ashur, Alaysa al-Subh bi Qarib, 204, dalam Ibnu ‘Ashur, Maqa>s}id...,
81.
17
empirik,8 dimaksudkan untuk mendeskripsikan sesuatu
berdasarkan fakta serta tidak ditujukan untuk melahirkan
kesimpulan norma.9 Pembacaan sejarah perpolitikan Islam
yang pernah dipraktikkan dinasti Islam tidak mesti melahirkan
kesimpulan bahwa kebijakan-kebijakan para khalifah sesuai
dengan syariat Islam karena telah sesuai dengan kerangka us}u>l
a-fiqh tertentu, melainkan penelitian diarahkan pada atas dasar
pertimbangan apa kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan dan
akan menghasilkan implikasi yang bagaimana terhadap
stabilitas pemerintahan serta dampak positif bagi masyarakat.
Model pembacaan demikian, menurut hemat reviewer hanya
bisa dilakukan secara tepat melalui pendekatan maqasidi,
sehingga judul yang reviewer tawarkan ialah ‚al-D{awa>bit} al-
maqa>s}idi>yah li al-ijtiha>d fi al-siya>sah al-shar’i>yah.‛
3. Telaah literatur review
Kritik selanjutnya yang bisa reviewer kemukakan ialah
tidak adanya kajian terdahulu (literatur review) guna
mendukung penelitian ini. Sehingga, sulit bagi para pembaca
maupun peneliti berikutnya, pada posisi seperti apakah peneliti
menulis disertasi ini. Peneliti hanya menyertakan beberapa
risalah klasik dan kontemporer yang membahas pemikiran
politik Islam, semisal karya yang ditulis oleh al-Mawardi, al-
Ahkam al-Sultaniyah, Ibnu Taymiyah, al-Siyasah al-Shar’iyah,
dan sebagainya. Risalah tersebut, menurut hemat reviewer
bukanlah produk ilmiah yang lahir dari lingkungan akademik,
atau muncul sebagai kegelisahan intelektual yang kemudian
menjadi pembahasan dalam perdebatan akademik sehingga
para penulisnya hendak menempatkan dirinya pada posisi
seperti apa.
Tawaran literatur review yang bisa disuguhkan
reviewer ialah penelitian yang ditulis beberapa akademisi
sebagai berikut:
a Aziz Azmeh, Muslim Kingship; Power and the Sacred in
Muslim, Christian and Pagan Politics (New York: I.B.
Taurish Publisher, 2001).
8 Prof. Atho Mudzhar, disampaikan pada mata kuliah Pendekatan
Metodologi Studi Islam, SPs UIN Jakarta, 18 September 2014.
9 JM Muslimin, disampaikan pada mata kuliah Issues in Contemporary Us}u>l
al-Fiqh, SPs UIN Jakarta, Senin 8 Desember 2014.
18
b Iyād Kamil Ibrahim, al-Tadāwul al-Silmī li al-Sulṭah fī Niẓām al-Ḥukm al-Islāmī (Beirut: Dārul Kutub al-‘Ilmīyah,
1433 H/2012 M)
c Sherman A. Jackson, Islamic Law and the State: the
Constitutional Jurisprudence of Shiha>b al-Di>n al-Qara>fi>
(Leiden, Brill, 1996)
d Saba Sana Kareemi, Islamic Law and the State, tesis
Universitas Toronto, USA, Tahun 2011 (USA: Universitas
Toronto, 2011)
e Sami Zubaida, Law and Power in the Islamic World
(London–New York: I.B. Tauris, 2003)
f Abdul Malik Abdul Majid, ‚al-‘Ala>qah bayna al-Siya>sah al-
Shar’i>yah wa Maqa>s}id al-Shari>’ah‛, dalam Majallah
Jami’ah Tikrit li al-‘Ulum al-Insaniyah, Vol. 14, No. 6,
2007
B. Telaah Kritik Teori
Teori yang digunakan oleh peneliti, terutama dalam
menyuguhkan definisi politik Islam (siya>sah shar’i >yah)
meskipun mengklaim telah memberikan definisi yang
komprehensif, tidak dapat diterima karena definisi tersebut
hanya mencakup definisi politik makro. Padahal, politik juga
meliputi wilayah-wilayah mikro, seperti antar individu dengan
individu lainnya dan masyarakat.10
Direduksinya wilayah
kajian politik mestinya dihindari mengingat politik (siya>sah)
tidak hanya ada dalam ketatanegaraan. Ibnu Manz}ur misalnya,
jauh-jauh hari memberikan ruang yang cukup luas dalam
mendefinisikan konsep politik yang mencakup segala hal yang
bisa dilakukan manusia untuk mencapai apa yang baik bagi
dirinya.11
Sehingga, ada satu tawaran alternatif yang perlu
dikemukakan guna mendefinisi kembali politik Islam, yaitu
seperti dikemukakan Ibn ‘Aqi>l al-H{anbali>. Beliau menyatakan,
politik adalah sebuah aktivitas yang diarahkan untuk
menciptakan kemaslahatan manusia dan mencegah timbulnya
kerusakan meskipun tidak ada tinjauannya di dalam teks-teks
10 Prof. Atho Mudzhar, disampaikan pada mata kuliah Pendekatan
Metodologi Studi Islam, SPs UIN Jakarta, Kamis 2 Oktober 2014.
11 Ibnu Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, juz. 6 (Beirut; Da>r Sadi>r, tt), 107.
19
syariat, baik Alquran, hadis dan tradisi perpolitikan Nabi
Muhammad.12
Dalam kasus inilah kelemahan teori bisa ditemukan
yang salah satunya disebabkan mudahnya peneliti
menyimpulkan dan merangkum satu definisi tertentu dengan
tanpa melihat signifikansi seperti apa simpulan yang mestinya
diambil. Al-Ghaza>li> menyatakan bahwa definisi terbaik bagi
sebuah definisi ialah jika definisi mampu menyingkap
substansi suatu hal secara komprehensif.13
Namun definisi
demikian relevan jika yang dikehendaki sebatas menyingkap
definisi suatu hal, tidak dalam persoalan yang diangkat
penelitian ini karena di dalamnya bersifat sangat tehnis,
operasional dan belum menyentuh persoalan-persoalan mikro
sebagaimana dikehendaki konsep siya>sah pada substansi
maknanya yang berfungsi mengatur.
Teori lain yang perlu dikritik menyangkut penerapan
kaidah-kaidah us}u>l al-fiqh yang belum begitu operatif dalam
mekanisme kebijakan tertentu, misalnya, dan pemaparannya
yang bersifat normatif semata. Sifat normatif reviewer lihat
dari bagaimana cara peneliti memandang sistem terbaik bagi
penerapan politik Islam yang hanya merujuk pada idealisme
khila>fah rashi>dah.
Pemikiran ini berbahaya lantaran orang kemudian
terjebak pada utopisme masa lalu yang persoalannya tidak
memiliki tantangan sekompleks sekarang. Di sisi lain
misalnya, kita tidak lagi bisa menggunakan parameter idealitas
masa lalu sebagai piranti utama melahirkan produk-produk
hukum baru dalam kerangka ijtihad masa kini. Wahbah al-
Zuhayliy mencatat, yang paling penting di dalam
menginternalisasikan semangat ijitihad dalam konteks masa
kini adalah sejauh mana prinsip-prinsip kemaslahatan tetap
bisa dicapai dan ada keringanan menyesuaikan nilai-nilai
idealitas agama yang transenden berdasarkan konsep moralitas
masa kini. Oleh karenanya, apa yang dikatakan Wahbah
12 Redaksi lengkapnya ialah: ن مل يضعه الرسول وال ما اكن فعال يكون معه الناس أ قرب ا ىل الصالح وأ بعد عن الفساد وا
:Lihat: Ibn al-Qayyim, al-T}uruq al-H}ukmi>yah fi> al-Siya>sah al-Shar’i>yah (Beirut .نزل به ويح
Da>r al-Ji>l, 1418H/1998M), 17.
13 Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l (Beirut: Muassasat al-Risalah,
1997), 3.
20
Zuhayli terkait adanya fasa>d al-zama>n demikian, ijtihad bisa
berubah seiring dengan konsep moralitas masyarakatnya.14
Nilai-nilai yang dibangun di dalam sistem politik
Islam seharusnya tidak lagi diaplikasikan dalam cara baca
demikian. Lebih dari itu, mendialogkan dengan realitas
berkembangnya konsep negara-bangsa (nation-state) sebagai
rule model negara-negara dunia perlu dipikirkan sebagai salah
satu model negara Islam. Seperti yang dikemukakan An-Naiem
yang berbicara mengenai konsep negara sekular, di mana
prinsip-prinsip syariat bagi warga muslim juga bisa diterapkan
ke dalam sebuah kebijakan politik negara atau sekadar
berangkat dari kesadaran masyarakat.15
Itu berarti, disparitas
dan kacamata hitam-putih yang dilakukan peneliti mengenai
konsep negara Islam dan non-Islam hanya dengan berkaca pada
pengalaman masa lalu, atau sebatas dalam pembacaan
mengenai konsep perundang-undangan negara yang
mengggunakan syariat sebagai konstitusinya, reviewer kira
merupakan hal yang tidak perlu.
Sebenarnya, penamaan fiqh siyāsah atau politik Islam
sendiri masih menyisakan pro-kontra di kalangan internal umat
Islam. Sa’īd ‘Ashmāwī mengutarakan beberapa sebab pelik
yang mengakibatkan sulitnya gagasan khilāfah dikategorikan
sebagai salah satu cabang keilmuan (fann) ilmu fiqh; Pertama,
konsep khilāfah itu muncul pertama kali bukan sebagai sebuah
gagasan keilmuan, maupun pengetahuan yurispruden Islam
yang utuh. Kemudian, setelah undang-undang kekuasaan itu
dianggap telah mapan dan mulai banyak masyarakat Arab
berkecimpung dalam dunia baca-tulis, maka secara aksiomatis
banyak dari mereka yang menuliskan konsep dasar kekuasaan,
bukan atas dasar membuat suatu undang-undang baku yang
harus ditaati oleh pemerintahan status quo. Sehingga pada
dasarnya, apa yang mereka tulis itu hanyalah dalam rangka
justifier (pembenaran) atas kekuasaan yang berlaku saat itu,
bukan untuk mengkodifikasi suatu khazanah keilmuan baru.
Yang kedua, ketika umat Islam berada di bawah tekanan
kekuasaan atas nama khilāfah dan berada di bawah
14 Wahbah Zuhayli>, Taghayyur al-Ijtiha>d (Damaskus: Da>r al-Maktabi>, 2000),
31.
15
Abdullah Ahmed an-Na’iem, Islam dan Negara Sekular (Bandung:
Serambi, 2007),
21
pemerintahan tiranik, para ulama mengalami beragam
penyiksaan;16
Imam Malik yang mengalami penyiksaan dari
penguasa hanya karena mengeluarkan fatwa tidak sahnya
membaiat seorang khalifah dalam keadaan terpaksa dan
ditekan. Dalam situasi demikian, sulit bagi para ulama untuk
menerima persoalan kekuasaan dan membuat suatu undang-
undang pemerintahan dengan bebas tanpa tekanan apapun dari
pihak penguasa. Maka tak heran jika Al-Ma>wardi> sendiri
memberikan wasiat kepada muridnya untuk menerbitkan karya
monumentalnya, al-Ah}ka>m al Sult}a>ni>yah wa al-Wila>ya>t al-
Di>ni>yah (Hukum-hukum Kekuasaan dan Otoritas Agama)
setelah beliau wafat. Ketiga, sejak kemunculan ideologi
khila>fah Islam sampai era keruntuhannya pada masa
peperangan yang berkepanjangan, dalam kondisi yang chaos
ini jika memang ada yang disebut dengan fiqh khila>fah, maka
lebih tepatnya dikatakan sebagai fiqh al-ḥurūb (fiqh
peperangan), lebih dari sekedar penamaan fiqh al-salām (fiqh
keselamatan).17
C. Telaah Kritik Sistematika Penulisan
Teknik penelitian disertasi yang dipakai peneliti tidak
menjadikan pendahuluan dan penutup sebagai bagian dari
penelitian. Hal ini mungkin dapat dimengerti, mengingat
penelitian riset perguruan tinggi di Timur Tengah
menggunakan teknik penulisan yang tidak memasukkan
pendahuluan sebagai bagian dari bab penelitian.
Kelebihan dari penelitian ini adalah dengan tidak
dimasukannya bab penutup sebagai bab, maka kesimpulan
tidak hanya untuk menjawab penelitian sebagaimana
dikemukakan dalam rumusan masalah, namun bisa diperluas
dengan merangkum seluruh inti pembahasan dari bab ke bab.
16 Sebagai contoh ialah terjadinya kasus mihnah yang dialami Ah}mad Ibn
Hanbal lantaran beliau menolak digma pemerintahan ‘Abba>siyah terkait Alquran,
yaitu bahwasanya Alquran diciptakan (makhluk) dan bukan merupakan kalam Tuhan
yang qadi>m seperti yang diyakini mayoritas umat Islam. Cerita tentang mihnah dan
beragam siksaan lain yang dialamatkan kepada para ulama yang berseberangan dengan
pemerintah dapat ditemukan dalam karya Anthony Black, Pemikiran Politik Islam,
diterbitkan oleh Penerbit Serambi.
17 Muhamad Sa’īd ‘Ashmāwī, al-Khilāfah al-Islāmīyah, cet. Ke-2, (Kairo:
Sīnā li al-Nashr, 1992), 233-234.
22
Namun dari sinilah kelemahan disertasi ini terlihat,
yaitu di dalam pendahuluan, peneliti tidak menuliskan dalam
kerangka rumusan masalah seperti apa penelitian ini ditulis
meskipun peneliti mengemukakan tujuan penelitiannya.
Rumusan masalah sebagaimana dipaparkan peneliti berisi
paparan kesulitan penelitian peneliti sendiri, seperti jauhnya
jarak antara peneliti dan pembimbing sehingga diskusi tentang
penyelesaian disertasi dilakukan melalui sambungan telefon,
sementara pertemuan dengan pembimbing sangat jarang
sekali.
Selain itu, penutupan sebagaimana dipaparkan
penelitinya juga terlalu bertele-tele, di mana redaksi aslinya
(tidak seperti yang telah reviewer rangkum di atas) menuliskan
kembali definisi-definisi, pembagian dan sebagainya yang
penelitiannya mencapai 12 halaman. Padahal yang paling
utama dari pembahasan kesimpulan adalah bagaiman peneliti
bisa menyimpulkan pembahasan secara ringkas dalam teknik
penelitian naratif, bukan numerik.
Kelemahan juga terlihat dari sistematika penelitian
yang tidak tertata rapih, tidak menyertakan rumusan masalah
sebagai titik totak penelitian yang dikehendaki, pembahasan
metodologi penelitian yang hanya berisi pendekatan us}u>l a-
fiqh dan siya>sah shar’i>yah sebagai basis penelitian. Kadang-
kadang peneliti menyertakan tafsir ketika suatu dalil
disebutkan, dan melakukan tarji>h atas dalil-dalil tersebut.
D. Tawaran Alternatif Penelitian Disertasi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Literatur Review
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan
BAB II: TELAAH TEORETIS (MAQA<S{ID AL-SHARI<’AH
DALAM KONTESTASI IJTIHAD POLITIK ISLAM)
A. Maqa>s}id al-Shari>’ah
1. Pengertian Maqa>s}id al-Shari>’ah
23
2. Para Penggagas Konsep Maqa>s}id al-Shari>’ah
3. Klasifikasi Maqa>s}id al-Shari>’ah
4. Maqa>s}id al-Shari>’ah sebagai Piranti Ijtihad Politik
B. Ijtihad serta Urgensinya dalam Menjawab Problematika
Hukum Kontemporer
1. Pengertian Ijtihad
2. Syarat-syarat Ijtihad
3. Kriteria Mujtahid
4. Ijtihad Maqa>s}idi>
C. Politik Islam
1. Pengertian Politik Islam
2. Aspek-aspek Politik
3. Klasifikasi Politik Makro dan Mikro
4. Hubungan Politik dan Agama
BAB III: PENDULUM PERGERAKAN PEMIKIRAN
IJTIHAD POLITIK ISLAM DARI KLASIK HINGGA
KONTEMPORER
A. Corak Ijtihad Politik Nabi Muhammad di Madinah
1. Menghilangkan Konflik Suku, Ras dan Agama dalam
Ikatan Ummatan Wa>h}idah
2. Mengedepankan Prinsip Shu>ra> dalam Implementasi
Legislasi Syariat yang Terkait Ranah Publik
3. Resolusi Damai sebagai Upaya Meminimalisasi
Peperangan Berbalut Kepentingan Politis dan Agama
4. Upaya Merealisasikan Nilai Keadilan, Penegakan
Hukum, serta Persamaan Derajat sebagai Ruh
Kebijakan Politik
B. Corak Ijtihad Politik Khila>fah Rashi>dah
1. Agama sebagai Sentral Kebijakan Politik
2. Memperkenalkan Mekanisme Pemilihan Kepala
Negara
3. Menekankan Kepentingan Agama di atas Kepentingan
Politik
4. Perluasan Wilayah Islam
5. Pembentukan Lembaga-lembaga Pemerintahan
(Wilayah al-H{isbah, al-Khara>j, al-Qad}a>’, Bayt al-Ma>l)
C. Corak Ijtihad Politik Dinasti Keislaman
1. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
24
2. Menguatnya Kembali Sentimen Golongan, Faham dan
Kesukuan
3. Pemisahan Kekuatan Politik dan Agama pada Basis
Civil Society
4. Semangat Taqnin (Kodifikasi Undang-undang) pada
Pemerintahan Turki ‘Uthma>ni>
D. Corak Ijtihad Politik Pasca Munculnya Konsep Nation-
State (Negara-Bangsa)
1. Disparitas Politik Sekular dan Politik Islam
2. Keruntuhan Besar Konsep Negara Teokrasi
3. Pembatasan Ruang Gerak Agama dalam Regulasi
Negara
4. Munculnya Wilayah Legislatif, Eksekutif dan
Yudikatif
BAB IV: NALAR MAQA<S{ID AL-SHARI<’AH DALAM
IJTIHAD POLITIK MAKRO DAN MIKRO
A. Wilayah Otoritas Kepemimpinan (Ima>mah) dalam
Kontestasi Hukum Islam
1. Teori Shiha>buddi>n al-Qara>fi> tentang Klasifikasi
Otoritas Hukum Islam Menjadi Wilayah Kepala
Negara (Ima>mah), Wilayah Hakim (Qa>d}i>), Pemberi
Fatwa (Mufti>), dan Wilayah Mujtahid
2. Kebijakan Kepala Negara dalam Kerangka Maqa>s}id al-
Shari>’ah yang tunduk pada kemaslahatan publik dan
bersifat mengikat
B. Kerangka Maqa>s}idi> dalam Ijtihad Politik Makro
1. Persoalan Dasar dan Konstitusi/Perundang-undangan
Negara
2. Kebijakan Politik Dalam Negeri dan Stabilitas
Nasional
3. Kebijakan Politik Luar Negeri
4. Keamanan Nasional
5. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
6. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
C. Kerangka Maqa>s}idi> dalam Ijtihad Politik Mikro
1. Hukum-hukum Perdata (al-Ah}ka>m al-Madani>yah)
2. Hukum Keluarga (al-Ah}ka>m al-Shakhs}i>yah)
3. Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan
4. Hukum Perseorangan/Individual