2011sme_bab iv. hasil dan pembahasan

28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sejarah Kebijakan Industri dalam Perekonomian Indonesia Stabilisasi dan liberalisasi ekonomi pada akhir tahun 1960-an merupakan starting point bagi pembangunan ekonomi dan industri yang berkelanjutan di Indonesia. Pada masa pemerintahan Soekarno (orde lama) sampai dengan tahun 1966, pemerintah sangat mengintervensi dan memilih industri yang berorientasi ke dalam (inward looking) dalam mengembangkan strategi industrinya. Perhatian pemerintah terfokus pada pengembangan perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang merupakan privatisasi perusahaan domestik dan nasionalisasi perusahaan asing serta bergerak di sektor manufaktur. Perusahaan BUMN tersebut didukung dengan kucuran kredit perbankan, subsidi, dan bantuan valuta asing (valas). Akan tetapi minimnya cadangan devisa nasional menyebabkan pemerintah menerapkan kontrol devisa, yang pada akhirnya menyebabkan kelangkaan bahan baku dan suku cadang impor (Kuncoro, 2007). Selama periode pemerintahan Soekarno sampai tahun 1966, Indonesia masih tergolong negara yang tertinggal dalam hal pembangunan (least developing country). Perekonomian mengalami stagnasi akibat inflasi yang sangat tinggi, ketidakstabilan politik, defisit anggaran yang tak terselesaikan serta campur tangan pemerintah dalam pasar yang sangat kuat menghasilkan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi perkembangan industri nasional. Pada periode ini, investasi dalam sektor industri sangat kecil dan masih langkanya investasi asing (Kuncoro, 2007). Reformasi pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Soeharto (orde baru) dalam hal transformasi ekonomi berbasis pertanian ke ekonomi industri dimulai pada awal tahun 1970. Dengan otoritas yang dimiliki pemerintah, maka program pembangunan lima tahun (PELITA) dilaksanakan. Pada tiga periode awal PELITA, pemerintah menyiapkan perubahan dari ekonomi yang berbasis pertanian ke ekonomi yang berbasis industri. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menggunakan surplus hasil minyak (oil booming) dan menarik investasi dari luar negeri (UU Penanaman Modal Asing No. I/1967). Sejarah industri manufaktur Indonesia, dapat dikatakan baru dimulai pada

Upload: baskoro-citra

Post on 30-Jul-2015

52 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sejarah Kebijakan Industri dalam Perekonomian Indonesia

Stabilisasi dan liberalisasi ekonomi pada akhir tahun 1960-an merupakan

starting point bagi pembangunan ekonomi dan industri yang berkelanjutan di

Indonesia. Pada masa pemerintahan Soekarno (orde lama) sampai dengan tahun

1966, pemerintah sangat mengintervensi dan memilih industri yang berorientasi

ke dalam (inward looking) dalam mengembangkan strategi industrinya. Perhatian

pemerintah terfokus pada pengembangan perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik

Negara) yang merupakan privatisasi perusahaan domestik dan nasionalisasi

perusahaan asing serta bergerak di sektor manufaktur. Perusahaan BUMN tersebut

didukung dengan kucuran kredit perbankan, subsidi, dan bantuan valuta asing

(valas). Akan tetapi minimnya cadangan devisa nasional menyebabkan

pemerintah menerapkan kontrol devisa, yang pada akhirnya menyebabkan

kelangkaan bahan baku dan suku cadang impor (Kuncoro, 2007).

Selama periode pemerintahan Soekarno sampai tahun 1966, Indonesia

masih tergolong negara yang tertinggal dalam hal pembangunan (least developing

country). Perekonomian mengalami stagnasi akibat inflasi yang sangat tinggi,

ketidakstabilan politik, defisit anggaran yang tak terselesaikan serta campur

tangan pemerintah dalam pasar yang sangat kuat menghasilkan lingkungan yang

tidak menguntungkan bagi perkembangan industri nasional. Pada periode ini,

investasi dalam sektor industri sangat kecil dan masih langkanya investasi asing

(Kuncoro, 2007).

Reformasi pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Soeharto (orde

baru) dalam hal transformasi ekonomi berbasis pertanian ke ekonomi industri

dimulai pada awal tahun 1970. Dengan otoritas yang dimiliki pemerintah, maka

program pembangunan lima tahun (PELITA) dilaksanakan. Pada tiga periode

awal PELITA, pemerintah menyiapkan perubahan dari ekonomi yang berbasis

pertanian ke ekonomi yang berbasis industri. Untuk mewujudkan hal tersebut,

pemerintah menggunakan surplus hasil minyak (oil booming) dan menarik

investasi dari luar negeri (UU Penanaman Modal Asing No. I/1967).

Sejarah industri manufaktur Indonesia, dapat dikatakan baru dimulai pada

Page 2: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

46

era dimana harga minyak tinggi untuk pertama kalinya, yaitu sekitar tahun 1970.

Sektor industri pada saat itu masih sangat terbelakang. Dari 14 negara di Asia

Timur dan Asia Selatan, Indonesia adalah negara kedua yang paling tertinggal

dalam hal pembangunan industri setelah Myanmar. Pada tahap awal

perkembangan ini, industri di Indonesia sebagian besar berupa industri sederhana

yang mengolah produk pertanian. United National Industrial Development

Organization (UNINDO) membagi perkembangan industri Indonesia mejadi tiga

fase, yakni fase stabilisasi dan pembaruan (1965-1975), fase industrialisasi yang

didanai devisa minyak pada era oil bonanza (1975-1981), dan fase industrialisasi

yang dimotori ekspor (1982-1997) (Gitaharie, et.al, 2007).

Industrialisasi Indonesia baru dimulai pada fase kedua melalui kebijakan

inward-looking yang ditekankan pada industri subtitusi impor (ISI), dimana

barang-barang yang diproduksi dapat mengurangi atau meniadakan barang impor.

Pada dasarnya strategi ini mirip dengan strategi perdagangan tertutup (autarky),

yaitu melindungi industri pemula (the infant industry argument) dari pesaing

melalui proteksi baik tarif maupun non-tarif. Proteksi diberikan agar industri

dalam negeri dapat memanfaatkan pasar dalam negeri yang cukup besar sehingga

dalam jangka panjang impor akan berkurang dan industri dapat bersaing di pasar

global. Setelah industri mampu bersaing maka proteksi akan dicabut. Kebijakan

ISI ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui proteksi

terhadap sektor industri.

Meningkatnya peranan sektor manufaktur selama tahun 1970-1984

menunjukkan rata-rata di atas 20 persen per tahun. Kondisi ekonomi yang tampak

sehat, ternyata terhambat oleh jatuhnya harga minyak dimana pertumbuhan

ekonomi pada tahun 1984-1989 yang mengalami pelambatan yaitu sekitar 4,1

persen per tahun. Untuk mengatasi keadaan tersebut, pemerintah menerapkan

kebijakan liberalisasi ekonomi yaitu mengganti kebijakan industri substitusi impor

menjadi kebijakan promosi ekspor. Kebijakan promosi ekspor merupakan

kebijakan yang menerapkan ekonomi terbuka (Tambunan, 2010).

Adanya kebijakan liberalisasi ekonomi, ekspor mengalami peningkatan

kembali dan perekonomian tumbuh dengan pesat. Pada periode 1981-1985 terjadi

penurunan harga minyak, yang berdampak pada investasi, kebijakan pemerintah,

Page 3: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

47

Sumber : Departemen Perindustrian (2006) diacu dalam Kuncoro (2007) dan Suplemen Bisnis Indonesia (Selasa, 11 Januari 2011)Gambar 5. Perkembangan Kebijakan Industri Nasional

PeriodeKebijakan

PeriodeRehabilitasi

danStabilisasi

(1967-1972)

Periodeoil boom

(1972-1981)

Periode PenurunanHarga Minyak(1982-1985)

PeriodePenurunan

Harga Minyak(1986-1996)

PeriodeKrisis danPemulihan

(1997-2004)

Pemulihan danPengembangan

(2005-2009)

PrioritasPengembanganIndustri 2011

Pengembangan IndustriSubstitusi Impor

PengembanganindustriSubstitusi impordenganpendalaman &pemantapanstruktur industri

Pengembanganindustri melaluipenguasaanteknologi dibeberapa bidang(pesawat , mesin,perkapalan)

Pengembanganindustrisubstitusi impordenganpendalaman &pemantapanstruktur industri

Pengembanganindustri melaluipenguasaanteknologi dibeberapa bidang(pesawat , mesin,perkapalan)

Pengembanganindustri orientasiekspor

Revitalisasi,konsolidasi,danrestrukturisasiindustri

Revitalisasi,konsolidasi,danrestrukturisasiindustri

Pengembanganindustriberkeunggulankompetitifdenganpendekatankluster

Revitalisasiindustri pupuk

Revitalisasiindustri gula

Pengembangankluster industriberbasis pertaniandan oleokimia

Pengembangankluster industriberbasis migas dankondesat

Pengembangankawasan ekonomikhusus

Orientasi Inward-looking Outward-looking Inward and Outward-looking

KebijakanIndustri

Page 4: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

neraca pembayaran dan impor. Selanjutnya pemerintah menempuh kebijakan

liberalisasi ekonomi dengan mempromosikan ekspor komoditi lain selain minyak

atau produk non migas. Dalam mengganti kehilangan penerimaan dari minyak

yang cukup besar, pemerintah melakukan devaluasi rupiah (26 persen pada tahun

1983 dan 45 persen pada tahun 1986). Kebijakan pemerintah tersebut dapat

meningkatkan ekspor non migas.

Pada tingkat makro selama periode 1983-1988, pemerintah menerapkan

deregulasi sektor moneter dengan membuat kebijakan deregulasi perbankan dan

keuangan. Hasilnya banyak didirikan bank baru dan pemberian kredit meningkat.

Anjloknya harga minyak dunia yang paling rendah terjadi pada tahun 1983.

Keadaan ini memaksa pemerintah melakukan penyesuaian dalam hal kebijakan

pajak dan moneter pada tahun 1984, sehingga mampu meningkatkan kembali

masuknya investasi asing. Perubahan strategi industri substitusi impor (1970-

1983) ke strategi promosi ekspor (1985) diakui sebagai langkah yang tepat dalam

menghadapi krisis harga minyak yang semakin memburuk. Perubahan-perubahan

mendasar di berbagai sektor seperti pinjaman lunak untuk kegiatan ekspor,

penerapan kebijakan liberalisasi untuk menarik investasi asing, devaluasi rupiah,

serta pengurangan aturan yang membebani swasta (debureaucratization package)

merupakan kebijakan pengurangan proteksi sekaligus pintu bagi sistem ekonomi

terbuka (Tambunan, 2010).

Krisis ekonomi tahun 1997 memberikan dampak yang cukup besar pada

sektor industri. Hal ini menyebabkan pemerintah menempuh kebijakan industri

yang berorientasi pada inward dan outward looking dalam rangka pemulihan

sektor industri. Strategi yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi krisis ini

adalah revitalisasi, konsolidasi dan restrukturisasi industri. Tahun 2005-2009

pemerintah fokus pada pemulihan dan pengembangan perekonomian. Salah satu

prioritasnya adalah mengembangkan industri yang mempunyai keunggulan

kompetitif dengan pendekatan kluster (Kuncoro 2007).

Adapun prioritas pemerintah dalam hal pengembangan sektor industri pada

tahun 2011, masih fokus pada revitalisasi industri yaitu industri gula dan pupuk,

pengembangan klaster industri dan pengembangan kawasan ekonomi khusus.

Selain itu, untuk mendorong tumbuhnya sektor industri pemerintah menyiapkan

Page 5: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

49

paket insentif dan disinsentif untuk pengembangan industri prioritas. Kebijakan

insentif yang dipersiapkan pemerintah yaitu tax allowance, tax holiday,

kemudahan kredit, pembebasan PPnBM, pembebasan bea masuk barang modal,

bahan baku dan komponen untuk peningkatan daya saing industri pertumbuhan

tinggi.3

Uraian diatas menggambarkan dukungan pemerintah yang cukup banyak

terhadap perkembangan industri di Indonesia. Pembangunan dan pengembangan

industri terutama sektor manufaktur diharapkan meningkatkan pertumbuhan

ekonomi yang pada akhirnya dapat meningkatkan standar hidup masyarakat

Indonesia.

4.2 Perkembangan Ekspor dan Impor di Indonesia

Perekonomian Indonesia sampai saat ini masih sangat tergantung pada

ekspor migas, karena sektor migas masih mempunyai peran penting sebagai

surplus bagi neraca perdagangan luar negeri Indonesia. Hal ini terlihat dari rata-

rata neraca perdagangan (diukur dengan ekspor dikurangi impor) terhadap PDB

selama periode 2000-2009. Selama periode tersebut rata-rata neraca perdagangan

dengan migas sebesar 1,59 persen, lebih tinggi dibanding tanpa migas yaitu

sebesar 1,36 persen (Tabel 7).

Tabel 7. Neraca Perdagangan Migas dan Tanpa Migas, Tahun 2000 – 2009

Termasuk Migas Tanpa MigasRasio Neraca

Perdagangan TerhadapPDBTahun

Ekspor Impor Ekspor ImporTermasuk

MigasTanpaMigas

2000 62.124,00 33.514,80 47.757,40 27.495,30 2,06 1,46

2001 56.320,90 30.962,10 43.684,60 25.490,30 1,76 1,26

2002 57.158,80 31.288,90 45.046,10 24.763,10 1,72 1,35

2003 61.058,20 32.550,70 47.406,80 24.939,80 1,81 1,42

2004 71.584,60 46.524,50 55.939,30 34.792,50 1,51 1,28

2005 85.660,00 57.700,90 66.428,40 40.243,20 1,60 1,50

2006 100.798,60 61.065,50 79.589,10 42.102,60 2,15 2,03

2007 114.100,90 74.473,40 92.012,30 52.540,60 2,02 2,01

2008 137.020,50 129.197,30 107.894,20 98.644,40 0,38 0,44

2009 116.510,00 96.829,20 97.491,70 77.848,50 0,90 0,90Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah3 Suplemen Bisnis Indonesia, ”Iming – iming itu bernama insentif”, 11 Januari 2011

Page 6: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

50

Dapat dikatakan bahwa sejak berakhirnya oil boom pada awal dekade 80-an,

pemerintah Indonesia berusaha mengurangi ketergantungan ekonomi nasional

pada migas, termasuk di dalam perdagangan luar negeri, khususnya ekspor. Sejak

saat itu, pemerintah merubah kebijakan industrialisasinya dari substitusi impor ke

promosi ekspor, khususnya ekspor produk-produk industri. Akan tetapi beberapa

tahun terakhir kinerja ekspor Indonesia mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari

laju pertumbuhan ekspor baik manufaktur maupun non manufaktur mengalami

pertumbuhan yang negatif. Bahkan ekspor produk-produk industri manufaktur

mengalami pertumbuhan yang negatif pada tahun 2009 yaitu sebesar -11,87

persen. Adanya krisis global pada 2008 turut memperburuk kinerja ekspor

Indonesia (Tabel 8).

Tabel 8. Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Tahun 2005 – 2009

TahunUraian

2005 2006 2007 2008 2009Nilai Ekspor (Juta US $)

a. Manufaktur 42.769,20 47.898,70 52.878,40 58.028,30 51.137,50b. Non Manufaktur 42.890,80 52.899,90 61.222,30 78.992,10 65.372,50

Laju Pertumbuhan Eksporc. Manufaktur 13,74 11,99 10,40 9,74 -11,87d. Non Manufaktur 26,21 23,34 15,73 29,03 -17,24

Nilai Impor (Juta US $) a. Manufaktur 32.495,20 33.394,90 40.704,40 82.600,80 64.949,50 b. Non Manufaktur 25.132,90 27.584,80 33.685,60 46.469,10 31.765,70Laju Pertumbuhan Impor c. Manufaktur 19,61 2,77 21,89 102,93 -21,37 d. Non Manufaktur 30,32 9,76 22,12 37,95 -31,64

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Dampak adanya krisis 2008 yang memengaruhi kinerja ekspor Indonesia

menyebabkan neraca perdagangan Indonesia mengalami penurunan dalam

beberapa tahun terakhir. Penyebab utama dari menurunnya kinerja ekspor

Indonesia dikarenakan semakin menurunnya ekspor manufaktur Indonesia

sehingga neraca perdagangan manufaktur menjadi defisit. Pada tahun 2008,

neraca perdagangan manufaktur Indonesia defisit sebesar US $ 24.572,5 juta.

Akan tetapi pada tahun 2009, neraca perdagangan manufaktur mengalami

peningkatan walaupun masih defisit sebesar US $ 13.812,0 juta. Defisitnya neraca

Page 7: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

51

perdagangan manufaktur menyebabkan neraca perdagangan ekonomi Indonesia

secara keseluruhan pada beberapa tahun terakhir menjadi menurun. Walaupun

pada tahun 2009 mengalami sedikit peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu

sebesar US $ 19.740,80 juta (Tabel 9).

Tabel 9. Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US $), Tahun 2005 – 2009

TahunUraian

2005 2006 2007 2008 2009Neraca PerdaganganManufaktur

10.274,00 14.503,80 12.174,00 -24.572,50 -13.812,00

Neraca PerdaganganNon Manufaktur

17.757,90 25.315,10 27.536,70 32.523,00 33.606,80

Neraca Perdagangan(Trade Balance)

28.031,90 39.818,90 39.710,70 7.950,50 19.794,80

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

Wie (2006) mengungkapkan bahwa kinerja ekspor hasil-hasil industri

Indonesia sejak krisis ekonomi masih belum menggembirakan dan hal ini lebih

banyak disebabkan oleh faktor internal (masalah dalam negeri) dibandingkan

perkembangan faktor eksternal (pertumbuhan perdagangan dunia) yang kurang

menguntungkan.

0

20

40

60

80

100

120

140

NA

D

Su

mu

t

Su

mb

ar

Riau

Jamb

i

Su

msel

Ben

gk

ulu

Lam

pu

ng

DK

I

Jabar

Jateng

DIY

Jatim

Bali

NT

B

NT

T

Kalb

ar

Kalten

g

Kalsel

Kaltim

Su

lut

Su

lteng

Su

lsel

Su

ltra

Malu

ku

Pap

ua

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

Impor Ekspor

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

Gambar 6. Rata-rata Pertumbuhan Ekspor – Impor menurut Provinsi,Tahun 2001 – 2009

Selama periode 2001-2009, rata-rata pertumbuhan ekspor maupun impor di

tingkat provinsi mengalami kecenderungan menurun. Rata-rata pertumbuhan

ekspor selama periode tersebut sebesar 5,12 persen turun menjadi -1,17 persen.

Page 8: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

52

Sedangkan rata-rata pertumbuhan impor selama periode tersebut, mengalami

penurunan dari 7,01 persen menjadi 2,86 persen. Apabila dilihat rata-rata

pertumbuhan masing-masing provinsi, provinsi Sulawesi Barat mempunyai rata-

rata pertumbuhan ekspor tertinggi (17,29 persen) dan provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam mempunyai rata-rata pertumbuhan ekspor yang terendah (-9,99

persen). Selain itu provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai rata-rata

pertumbuhan impor tertinggi yaitu sebesar 126,64 persen. Adapun provinsi Jawa

Barat merupakan wilayah dengan rata-rata pertumbuhan impor terendah (Gambar

6).

Tabel 10. Impor Menurut Golongan Penggunaan Barang, Tahun 2000 – 2009

TAHUN Konsumsi Bahan Baku Barang Modal2000 8,11 77,63 14,252001 7,27 77,12 15,602002 8,47 77,43 14,102003 8,79 78,33 12,882004 8,14 77,82 14,042005 8,01 77,63 14,362006 7,76 77,25 14,992007 8,78 75,85 15,372008 6,43 77,01 16,562009 6,97 71,92 21,11

Sumber : Badan Pusat Statistik , diolah

Apabila dilihat dari struktur impor non migas, Indonesia masih sangat

tergantung pada impor barang-barang konsumsi dan industri (khususnya barang-

barang modal) dan bahan baku serta penolong. Hal ini mencerminkan bahwa

selama ini usaha pemerintah dalam industrialisasi belum berhasil mengurangi

ketergantungan Indonesia terhadap impor atas produk-produk tersebut. Terlihat

pada Tabel 10, bahwa impor bahan baku dan penolong serta barang modal

mempunyai porsi yang terbesar dibandingkan impor barang konsumsi. Selama

periode 2000-2009, rata-rata impor bahan baku sebesar 76,80 persen, impor

barang modal sebesar 15,33 persen, dan impor barang konsumsi sebesar 7,87

persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan impor bahan baku sebesar 15,04 persen,

impor barang modal sebesar 20,90 persen, dan impor barang konsumsi sebesar

12,41 persen selama periode 2001-2009. Ketergantungan Indonesia terhadap

impor barang modal dan bahan baku mencerminkan bahwa industri pendukung

Page 9: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

53

(middlestream) di Indonesia belum berkembang. Semakin ironis ketika bahan

baku yang di impor Indonesia dalam bentuk sudah diolah setengah jadi

merupakan bahan baku utama industri dalam negeri (Tambunan, 2006). Disisi lain

dengan masih besarnya ketergantungan industri di Indonesia terhadap input

impor, pada saat impor bahan baku dan barang modal menurun merupakan

indikasi bahwa sektor industri di Indonesia sedang mengalami penurunan kinerja.

Sektor manufaktur Indonesia mempunyai ketergantungan yang tinggi

terhadap input impor. Hal ini mengindikasikan lemahnya keterkaitan industri

dalam negeri. Selain itu, industri manufaktur terkonsentrasi di kota-kota besar

terutama wilayah Jawa. Keadaan ini akan berdampak pada ketimpangan

pendapatan regional dan menyebabkan urbanisasi.

Selama ini pemerintah telah banyak melakukan usaha untuk meningkatkan

daya saing ekspor Indonesia dengan membentuk Badan Ekspor Impor Indonesia.

Akan tetapi, efektivitas langkah yang dilakukan pemerintah selama ini dalam

upaya meningkatkan ekspor ternyata belum menyentuh akar permasalahan yang

dihadapi oleh para eksportir Indonesia. Menurut Word Bank (2004), penyebab

utama lambannnya pertumbuhan ekspor adalah:

1. Daya saing biaya (cost competitiveness) yang merosot akibat apresiasi rupiah

dan inflasi yang lebih tinggi dibanding inflasi mitra dagangnya. Menurut

International Moneter Fund (IMF), biaya satuan pekerja di Indonesia saat ini

35 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis. Daya saing biaya dari

industri-industri manufaktur Indonesia disebabkan oleh biaya transaksi

domestik yang besar di Indonesia.

2. Investasi yang menurun. Iklim usaha Indonesia yang buruk menghambat

pertumbuhan ekspor karena tidak bisa menarik investasi asing yang sebelum

krisis justru merupakan pelaku utama dalam mendorong ekspor non migas,

termasuk hasil-hasil industri. Langkanya investasi asing mengakibatkan tidak

adanya penambahan kapasitas produksi, peremajaan mesin-mesin, perluasan

jenis produk (diversifikasi) dan peningkatan mutu barang. Pengalaman

pemerintahan orde baru menunjukkan betapa pentingnya investasi asing, yaitu

PMA dalam peningkatan ekspor non-migas, khususnya ekspor hasil-hasil

industri. Lonjakan ekspor yang menakjubkan dari China dalam 10 tahun

Page 10: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

54

terakhir sebagian besar disebabkan oleh kegiatan yang berorientasi ekspor dari

PMA di negara tersebut.

3. Persaingan internasional semakin tajam. China dan Vietnam merupakan

pesaing yang kuat bagi Indonesia karena kedua negara tersebut bersaing dalam

ekspor hasil-hasil industri padat karya yang sama dengan Indonesia. Misalnya

industri tekstil, garmen, dan alas kaki, yang pada kenyataannya tumbuh lebih

pesat dibanding ekspor Indonesia (Pangestu, 2005).

4. Fasilitasi perdagangan yang lemah. Berbagai hambatan di pelabuhan dan

prasarana fisik merupakan salah satu faktor utama yang menambah biaya

ekspor. Meskipun tarif penggunaan pelabuhan Indonesia relatif rendah, namun

hampir semua ekspor Indonesia dalam kontainer disalurkan (transshippedi)

melalui Singapura atau Malaysia. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak

mempunyai pelabuhan pendukung dan rendahnya efisiensi pelabuhan

Indonesia.

4.3 Tingkat Keterbukaan Ekonomi (Openness) di Indonesia

Pada akhir abad 19, aliran barang, modal, dan informasi lintas batas negara

telah menciptakan suatu dinamika yang sangat kuat bagi terjalinnya integrasi

global. Namun meletusnya perang dunia pertama yang diikuti dengan terjadinya

depresi hebat (great depression) telah memperlambat proses integrasi dunia.

Proses ini kembali berlanjut secara menyakinkan sejak 25 tahun yang lalu

sebagaimana ditandai oleh kegairahan kegiatan perdagangan, keuangan

internasional serta mobilitas manusia antar negara yang semakin tinggi. Kegiatan

perdagangan merupakan pencetus awal terjadinya proses integrasi global dan

kegiatan perdagangan antar negara telah memperlihatkan transformasi yang jelas,

baik dari sisi komoditas yang diperdagangkan maupun dari sisi negara tujuan

ekspor (UNDP, 2005).

Keterbukaan ekonomi (openness) dapat dipandang sebagai kesempatan atau

peluang untuk mengoptimalkan keuntungan yaitu keuntungan statis maupun

dinamis dari perdagangan luar negeri serta dampak eksternal yang positif dari

penanaman modal asing (Wie, 2002). Menurut UNDP (2005), ada tiga alasan

yang mendorong semakin meningkatnya kegiatan perdagangan antar negara yaitu

Page 11: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

55

1) perubahan kebijakan domestik yang dikombinasikan dengan berkembangnya

teknologi, 2) hambatan impor seperti tarif dan investasi asing, semakin berkurang

di negara berkembang, 3) turunnya biaya transportasi, komunikasi, dan teknologi

informasi membuka kesempatan baru.

Oleh sebab itu, semakin terbuka suatu daerah (dalam konteks ekspor dan

impor) maka semakin tinggi pula tingkat investasi serta aliran barang dan jasa

pada daerah tersebut. Hubungan khusus antara sumberdaya tenaga kerja, modal,

dan sumberdaya daerah akan terkoordinasi secara sempurna oleh mekanisme

pasar di mana perdagangan memainkan peran utamanya sebagai multiplier effect

dalam pertumbuhan ekonomi daerah. Pada saat multiplier effect tersebut mulai

tersebar, akan tercipta insentif ekonomi untuk pembentukan investasi baru

(Tambunan, 2010).

Selama periode 2001-2009, rata-rata pertumbuhan openness di tingkat

provinsi mempunyai kecenderungan menurun. Rata-rata pertumbuhan openness di

tingkat provinsi pada tahun 2001 sebesar 1,19 persen turun menjadi -5,25 persen

pada tahun 2009. Pada tahun 2009, openness Indonesia mengalami penurunan dari

tahun sebelumnya yaitu sebesar US $ 266.217,8 juta (0,86 persen) menjadi

sebesar US $ 213.339,2 juta (0,82 persen). Selama periode 2000-2009, tingkat

keterbukaan ekonomi (openness) Indonesia mencapai titik terendah pada tahun

2002 yaitu sebesar US $ 88.447,7 juta (Gambar 7).

0.82

0.73

0.75

0.65

0.70

0.75

0.80

0.85

0.90

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

Gambar 7. Tingkat Keterbukaan Ekonomi (Openness) Indonesia, Tahun2000 – 2009

Selama periode 2000-2009, provinsi Kalimantan Timur mempunyai rata-rata

openness tertinggi yaitu sebesar 1,65 persen dan provinsi Sulawesi Tengah

Page 12: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

56

merupakan wilayah dengan openness terendah yaitu sebesar 0,27 persen. Provinsi

Kalimantan Timur merupakan provinsi yang relatif terbuka dibandingkan dengan

provinsi lainnya, diikuti oleh provinsi Papua, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah

(Gambar 8).

0.000.200.400.600.801.001.201.401.601.80

Su

lTen

g

Su

mb

arM

aluk

u

Ben

gk

ulu

Su

lTra

Su

lSel

NT

BN

AD

KalB

arS

ulU

t

Su

msel

Lam

pu

ng

NT

TS

um

ut

KalT

eng

KalS

el

Bali

DIY

JatimJam

bi

Riau

Jabar

Jateng

DK

IP

apu

a

KalT

im

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

Gambar 8. Rata-rata Tingkat Keterbukaan Ekonomi (Openness) menurutProvinsi, Tahun 2000 – 2009

Tingkat keterbukaan regional (daerah) sangat berkorelasi dengan investasi

dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, tingkat keterbukaan ekonomi

memberikan ruang terbuka bagi pemerintah daerah untuk tidak melakukan

proteksi terhadap daerahnya yang ditandai dengan perdagangan tertutup. Sebab

semakin tinggi tingkat keterbukaan suatu daerah maka investasi yang masuk

semakin meningkat dan masyarakat semakin sejahtera, dengan ditandai

pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan meningkatkan keterbukaan ekonomi,

setiap daerah harus dapat menentukan potensi ekonomi yang dapat memberikan

keuntungan kompetitif bagi daerahnya sehingga mampu menyerap banyak tenaga

kerja.

China merupakan salah satu negara yang cukup berhasil dalam mendorong

kegiatan perdagangan dan investasi berkat komitmennya untuk melakukan

modernisasi dan membuka perekonomian yang mulai dilakukan sejak tahun 1970-

an (Drysdale, 2002). Begitu juga dengan Vietnam, merupakan salah satu negara

yang berhasil dalam memanfaatkan keterbukaan ekonomi dan saat ini berada

dalam tahap transisi menuju ekonomi pasar (market economy). Sejak reformasi

ekonomi yang dilakukan pada tahun 1980-an, Vietnam secara bertahap

Page 13: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

57

mengambil manfaat dari kegiatan perdagangan dan investasi.

4.4 Peranan Investasi Asing (Foreign Direct Investment) di Indonesia

Investasi baik domestik maupun asing disinyalir mampu meningkatkan

pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi pengangguran. Fakta yang terjadi

saat ini, rasio investasi (Pembentukan Modal Tetap Bruto) terhadap PDB di

Indonesia masih sangat kecil. Selama periode 2005-2009, rata-rata rasio investasi

terhadap PDB sebesar 24,38 persen. Sedangkan rata-rata rasio konsumsi terhadap

PDb sebesar 66,13 persen. Oleh karenanya investasi harus didorong, sebab

pemerintah tidak dapat lagi mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada konsumsi,

melainkan harus ditopang investasi (Gambar 9).

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2005 2006 2007 2008 2009

K onsum s i P M T B E skpor Im por

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

Gambar 9. Struktur Pembentuk PDB Indonesia (persentase), Tahun 2005 –2009

Dalam konteks pembangunan ekonomi, investasi mempunyai peran penting

dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya investasi baik domestik

maupun asing membutuhkan iklim bisnis yang kondusif. Secara umum, masuknya

aliran investasi sangat tergantung pada investment attractiveness dan iklim

investasi serta iklim bisnis yang mendukung.

Investasi asing (foreign direct investment/FDI) mempunyai peran penting

dalam suatu pembangunan ekonomi, selain membawa unsur teknologi dan modal

ekstra juga karena dalam banyak hal dapat membuka pasar baru bagi suatu

perekonomian. Hal ini berarti kebijakan pemanfaatan pasar global dari pasar lokal

sebagai suatu sumber investasi menjadi sangat strategis dalam menentukan

peningkatan pendapatan. Suatu investasi asing (FDI) tergantung banyak pada tiga

Page 14: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

58

hal agar berjalan efektif. Ketiga hal tersebut adalah (1) iklim ekonomi makro yang

stabil baik harga, nilai tukar dan organisasi buruh, (2) kondisi fisik infrastruktur

(jalan, listrik, air bersih, jembatan), dan (3) human research development,

pendidikan, ketrampilan, dan kesehatan. Kualitas dari ketiga hal tersebut akan

menentukan produktivitas investasi termasuk investasi asing (FDI).

Basri dan Patunru (2008) menyimpulkan bahwa rendahnya tingkat investasi

dan lambatnya pertumbuhan ekspor Indonesia disebabkan oleh kendala-kendala di

sisi penawaran yang pada akhirnya bermuara pada apresiasi nilai tukar, ekonomi

biaya tinggi (termasuk kondisi infrastruktur yang buruk, pungutan liar, biaya

logistik), serta perubahan pola investasi dari sektor tradeable (umumnya sektor

komoditi ekstraktif) ke sektor non-tradeable (umumnya sektor konstruksi,

transportasi, dan komunikasi) (Tambunan, 2010).

Tabel 11. Nilai Realisasi Investasi Asing Menurut Sektor, Tahun 2000 - 2009

Nilai Realisasi Investasi AsingTahun

Primer Sekunder Tersier2000 1,17 48,19 50,642001 4,49 62,40 33,122002 3,32 50,87 45,802003 4,65 34,50 60,852004 6,70 60,93 32,372005 4,47 38,22 57,312006 8,89 60,41 30,702007 5,80 45,42 48,792008 2,26 30,36 67,382009 4,28 35,42 60,30

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), diolah

Selama periode 2000-2009, nilai realisasi investasi asing (PMA) mengalami

perkembangan yang fluktuatif. Selain itu, sebagian besar investasi asing

ditanamkan pada sektor tersier (sektor konstruksi, transportasi, dan komunikasi).

Hal ini merupakan salah satu penyebab mengapa sektor sekunder (sektor industri)

cenderung menurun kinerjanya. Selama periode 2000-2009, investasi asing di

sektor tersier sebesar 48,73 persen sedangkan di sektor sekunder sebesar 46,67

persen. Pada tahun 2009, proporsi investasi asing (PMA) di sektor sekunder

sebesar 35,42 persen dan menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2008

yaitu sebesar 30,36 persen. Sedangkan proporsi investasi asing (PMA) di sektor

Page 15: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

59

tersier pada tahun 2009 sebesar 60,29 persen dan mengalami penurunan

dibandingkan tahun 2008 yaitu sebesar 67,38 persen. Walaupun peranan investasi

asing (PMA) di sektor sekunder lebih kecil dibandingkan dengan peranan

investasi asing (PMA) di sektor tersier, tetapi investasi asing (PMA) di sektor

sekunder mengalami peningkatan. Selama periode 2000-2009, laju pertumbuhan

investasi asing (PMA) di sektor sekunder sebesar -54,32 persen meningkat

menjadi 15,15 persen. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sektor

sekunder mempunyai kinerja yang membaik (Tabel 11).

Kalimantan4.03%

Sulawesi1.22%

Malpapua0.68%Bali Nusa

1.08%

Jawa81.17%

Sumatera11.83%

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), diolah

Gambar 10. Nilai Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) Menurut Pulau,Tahun 2000 – 2009

Pada Gambar 10, terlihat bahwa investor asing lebih senang menanamkan

modalnya di pulau Jawa dibandingkan pulau-pulau lain yang ada di Indonesia.

Pulau Sumatera merupakan pulau kedua yang dilirik oleh investor asing dalam

menanamkan modalnya. Rata-rata proporsi nilai investasi asing selama tahun

2000-2009 di pulau Jawa sebesar 81,17 persen, sedangkan pulau Sumatera sebesar

11,83 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pulau-pulau lain masih kurang atraktif

dalam menarik minat investor asing. Apabila dilihat dari rata-rata nilai investasi

asing yang masuk di tingkat provinsi selama periode 2000-2009, investor asing

lebih banyak menanamkan modalnya di provinsi DKI Jakarta (US$ 3.233,04 juta),

Jawa Barat (US$ 2.270,42 juta) dan Jawa Timur (US$ 811,73 juta). Sedangkan

wilayah yang kurang menarik bagi investor asing adalah provinsi Sulawesi

Tenggara (US$ 0,66 juta) dan Sulawesi Tengah (US$ 1,72 juta).

Iklim usaha dan investasi yang selalu mengedepankan isu efisiensi dan

Page 16: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

60

efektifitas kinerja daerah dipercaya menjadi faktor utama yang menentukan

tinggi/rendahnya kinerja sektor industri (Tambunan, 2010). Studi World Bank

mengenai persepsi iklim investasi di Indonesia tahun 2007 menemukan bahwa

sampai saat ini sudah terjadi banyak perkembangan positif iklim investasi di

Indonesia. Dari 22 indikator permasalahan investasi yang ditemukan para pelaku

usaha di lapangan, 19 indikator menunjukkan perbaikan dan hanya 3 indikator

(ketersediaan sarana pendukung/infrastruktur, akses keuangan, dan pertanahan)

yang mengalami ”perburukan” kinerja. Hasil tersebut menunjukkan masih banyak

persoalan yang harus dibenahi untuk dapat menarik investor melakukan investasi

di Indonesia.

4.5 Faktor – faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia

Analisis data panel untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi

deindustrialisasi di Indonesia menggunakan data 26 provinsi selama periode

2000-2009. Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model yang

independen satu sama lain, sehingga untuk meyakinkan bahwa masing-masing

persamaan dapat diestimasi secara terpisah maka perlu dilakukan uji

independence. Uji independence yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji

Breusch-Pagan dan correlation matrix.

Hasil uji Breusch-Pagan memperlihatkan bahwa hipotesis nol tidak ditolak,

yang artinya bahwa persamaan 3.19 – 3.21 mempunyai disturbance terms yang

independen (χ2(3) = 3,874; P = 0,275). Matriks korelasi (correlation matrix)

memperlihatkan hasil bahwa persamaan 3.19 dan 3.20 yang melihat efek tidak

langsung (indirect effect model), mempunyai korelasi yang cukup kuat (r =

0,1287). Akan tetapi persamaan utama (3.21) tidak berkorelasi (independen)

dengan persamaan lainnya (r = -0,000 dengan persamaan 3.19 dan r = -0,000

dengan persamaan 3.20). Gabungan hasil dari uji Breusch-Pagan dan matriks

korelasi disturbance terms memperlihatkan bahwa setiap persamaan dapat

dilakukan estimasi secara terpisah.

Pemilihan metode regresi perlu dilakukan sebelum menentukan model

estimasi yang terbaik. Uji hausman dilakukan untuk mengetahui metode regresi

yang terbaik antara metode fixed effects model dan random effects model dalam

Page 17: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

61

model estimasi data panel. Statistik uji hausman yang mengikuti distribusi chi

square (χ2) dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas dalam model

digunakan untuk mengetahui metode yang tepat antara fixed effects model dan

random effecst model. Berdasarkan hasil uji hausman diperlihatkan bahwa

random effects model ditolak ( P > χ2 = 0.000 ). Hal ini menunjukkan bahwa fixed

effects model lebih konsisten untuk mengestimasi model yang mempengaruhi

faktor-faktor deindustrialisasi.

Regresi data panel juga harus memenuhi asumsi dasar bahwa estimasi

parameter dalam model regresi harus bersifat BLUE (Best Linier Unbiased

Estimate), yaitu bebas dari heteroskedastisitas dan autokorelasi. Uji wald

digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas, dimana hasilnya

menunjukkan ada heteroskedastisitas dalam data yang digunakan (P > χ2 = 0,000).

Untuk mendeteksi adanya autokorelasi, maka dilakukan uji Wooldridge. Hasil dari

Wooldridge test menunjukkan bahwa ada autokorelasi dalam data panel (P > F =

0,1373).

Berdasarkan hasil uji pemilihan metode regresi memberikan kesimpulan

bahwa metode Fixed Effects Model lebih konsisten dan efisien untuk model

estimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia. Akan

tetapi dalam data panel yang digunakan ternyata terdapat heteroskedastisitas dan

autokorelasi sehingga keadaan ini perlu diatasi agar diperoleh model yang efisien

tetapi bersifat unbiased dan konsisten. Adanya heteroskedatisitas dan autokorelasi

dalam data panel dapat diatasi dengan menggunakan metode General Least

Square dalam melakukan estimasi. Secara keseluruhan estimasi model yang

digunakan setelah melakukan pemilihan metode regresi dan melihat keberadaan

heteroskedastisitas serta autokorelasi maka metode Fixed Effecst Generalized

Least Square (FE-GLS).

Keakuratan dari estimasi model dapat ditingkatkan dengan melakukan

pemeriksaan akan keberadaan outlier dari data panel. Hasil dari pemeriksaan

ternyata terdapat outlier yang berasal dari variabel pendapatan perkapita untuk

tiga provinsi yaitu provinsi Riau, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur, sehingga

semua data ketiga provinsi tersebut dikeluarkan. Model yang digunakan untuk

mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia pada

Page 18: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

62

akhirnya menggunakan data panel yang terdiri dari 23 provinsi selama periode

2000 sampai 2009. Metode regresi yang digunakan untuk mengetahui faktor-

faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia adalah Fixed Effects

General Least Square (FE-GLS).

Tabel 12. Hasil Regresi Panel Data dengan Variabel Dependen RelativeManufacturing Employment

Variabel Independen Domestic Causes(Model 1)

Global Causes(Model 2)

4,16738***PDRB per kapita (NA)

(0,77555)-0,31214***

(PDRB per kapita)2 (NA2)(0,06213)

-0,13651***Pertumbuhan produktivitas (PG)

(0,03363)0,00095**

(Pertumbuhan produktivitas)2 (PG2)(0,00043)

0,05793***Openness (opnguna)

(0,01083)98,22012***

PMA / Foreign Direct Investment(27,70653)

0,07254Human Capital (HC)

(0,04579)-0,03146

Unemployment (Un)(0,08741)

-3,04235 1,41734Konstanta (C)

(2,18360) (1,55316)Wald χ2 46,13 61,11

Sumber: Hasil pengolahan dengan Stata 9.0Keterangan: Angka dalam kurung merupakan nilai standar error. Variabel dependen adalahrelative manufacturing employment. * = P < 0,05 ; ** = P < 0,01 ; *** = P < 0,001

Berdasarkan Tabel 12, berikut ini diberikan ulasan untuk masing-masing

model estimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi dengan

memisahkan antara faktor domestik (pendapatan per kapita dan pertumbuhan

produktivitas) serta faktor global (keterbukaan ekonomi dan penanaman modal

asing):

Model 1 : Domestic Causes Deindustrialization

Model pertama merupakan model estimasi untuk melihat faktor domestik yang

diperkirakan memengaruhi deindustrialisasi. Berdasarkan dari hasil estimasi,

diperlihatkan bahwa variabel pendapatan per kapita dan pertumbuhan

Page 19: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

63

produktivitas secara statistik signifikan memengaruhi deindustrialisasi.

Variabel pendapatan per kapita menunjukkan hubungan positif, artinya bahwa

peningkatan pendapatan per kapita akan meningkatkan share pekerja

manufaktur. Tetapi kuadrat pendapatan per kapita mempunyai hubungan

negatif, artinya bahwa peningkatan pendapatan per kapita selanjutnya hingga

mencapai tingkat tertentu akan menurunkan share pekerja manufaktur.

Sedangkan pertumbuhan produktivitas mempunyai hubungan yang negatif

tetapi kuadrat pertumbuhan produktivitas mempunyai hubungan yang positif.

Seperti halnya pendapatan per kapita, peningkatan produktivitas pada awalnya

akan menurunkan share pekerja manufaktur. Akan tetapi peningkatan

produktivitas berikutnya akan meningkatkan share pekerja manufaktur. Hal ini

menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pertumbuhan produktivitas

sektor manufaktur mempunyai hubungan jangka panjang dengan share pekerja

manufaktur.

Model 2 : Global Causes Deindustrialization

Model kedua merupakan model estimasi untuk melihat faktor globalisasi

ekonomi yang diperkirakan memengaruhi deindustrialisasi. Berdasarkan hasil

estimasi dari model kedua, diperoleh bahwa faktor globalisasi ekonomi yang

diwakili dengan tingkat keterbukaan ekonomi (openness) dan investasi asing

langsung (foreign direct investment) – selanjutnya disebut sebagai penanaman

modal asing (PMA) mempunyai hubungan yang positif dan secara signifikan

memengaruhi share pekerja manufaktur (relative manufacturing employment).

Hal ini menandakan bahwa semakin terbuka suatu perekonomian daerah dan

semakin banyak investasi asing masuk maka akan meningkatkan share pekerja

manufaktur. Artinya faktor globalisasi ekonomi yaitu openness dan foreign

direct investment memengaruhi terjadinya deindustrialisasi. Selain itu, variabel

tenaga kerja terampil (human capital) mempunyai hubungan yang positif

walaupun secara statistik tidak signifikan. Sehingga peningkatan jumlah

tenaga kerja terampil akan meningkatkan share pekerja manufaktur.

Sedangkan variabel pengangguran (unemployment) mempunyai hubungan

negatif tetapi tidak signifikan, artinya peningkatan jumlah pengangguran akan

diikuti dengan penurunan share pekerja manufaktur.

Page 20: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

64

Sedangkan kedua model estimasi (indirect model) berikut untuk melihat

pengaruh globalisasi ekonomi yang secara tidak langsung diduga memengaruhi

terjadinya deindustrialisasi di Indonesia (Tabel 13).

Model 3

Model 3 (indirect model) merupakan model estimasi untuk melihat hubungan

antara globalisasi ekonomi dengan kesejahteraan daerah (yang didekati dengan

PDRB per kapita). Berdasarkan hasil estimasi diperoleh bahwa variabel

openness dan human capital mempunyai hubungan positif dan signifikan

secara statistik dengan pendapatan per kapita. Hal ini menunjukkan bahwa

peningkatan kedua variabel tersebut maka akan meningkatkan kesejahteraan

(pendapatan per kapita). Adapun variabel investasi asing langsung (PMA) dan

variabel unemployment (pengangguran) mempunyai hubungan positif dengan

pendapatan per kapita akan tetapi tidak signifikan secara statistik. Artinya

bahwa peningkatan investasi dan pengangguran akan menyebabkan

kesejahteraan daerah (pendapatan per kapita) juga meningkat.

Tabel 13. Hasil Estimasi Panel Data untuk Indirect Effect Model

Indirect EffectVariabel Independen

Model 3 (Y1) Model 4 (Y2)

0,02966*** 0,21073***Openness (opnguna)(0,00454) (0,05039)

5,89644 -58,98787PMA / Foreign Direct Investment

(11,62214) (128,86650)

0,09972*** 0,24594Human Capital (HC)

(0,01921) (0,21298)

0,02183 2,10108***Unemployment (Un)

(0,03666) (0,40654)

0,7636 -22,74487**Konstanta (C)

(0,65151) (7,22395)

Wald χ2 70,53 43,91Sumber: Hasil pengolahan dengan Stata 9.0Keterangan: Angka dalam kurung merupakan nilai Standar Error. Variabel dependenmasing-masing adalah Y1= national affluence; Y2= productivity growth. Variabel kontrol

dimasukan ke dalam semua model.* = P < 0,05 ; ** = P < 0,01 ; *** = P < 0,001

Page 21: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

65

Model 4

Adapun model 4 (indirect model) merupakan model estimasi yang ingin

melihat hubungan antara pertumbuhan produktivitas dengan globalisasi

ekonomi. Variabel openness dan unemployment mempunyai hubungan yang

positif dan signifikan memengaruhi pertumbuhan produktivitas. Hal ini

memperlihatkan bahwa keterbukaan ekonomi (openness) yang semakin

meningkat menyebabkan peningkatan dalam produktivitas di sektor

manufaktur, artinya sektor manufaktur dapat mencapai efisiensi dalam proses

produksi serta mampu bersaing di pasar global. Dan peningkatan

pengangguran (unemployment) akan menyebabkan produktivitas sektor

manufaktur juga meningkat, artinya bahwa sektor manufaktur lebih banyak

pada aktivitas industri yang padat modal. Misal dengan menerapkan

automation atau labor-saving technologies. Sedangkan variabel human capital

menunjukkan hubungan yang positif tetapi tidak signifikan secara statistik.

Dengan adanya labor-saving technologies maka diperlukan tenaga kerja yang

terampil. Sehingga permintaan akan tenaga kerja tidak terampil menurun,

keadaan ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengangguran. Adapun

variabel investasi asing (PMA) menunjukkan hubungan yang negatif (tidak

sesuai harapan) dan tidak signifikan secara statistik. Hal ini dapat dijelaskan

dengan menurunnya investasi asing (PMA) yang masuk ke Indonesia. Selain

itu proporsi investasi asing (PMA) yang masuk di sektor sekunder (industri)

lebih kecil dibandingkan proporsi investasi asing (PMA) yang ditanamkan di

sektor tersier (jasa).

Berdasarkan Tabel 14, merupakan model estimasi faktor-faktor yang

memengaruhi deindustrialisasi baik secara langsung maupun tidak langsung

(combined model):

Model 5 : Combined model

Berdasarkan hasil estimasi terhadap model 5 (combined model), diperoleh

bahwa hampir semua variabel independen menunjukkan hasil yang signifikan

secara statistik pada taraf nyata (α) 5 persen dan sejalan dengan penelitian-

penelitian terdahulu (Rowthorn dan Ramaswamy, 1997,1999; Alderson,

Page 22: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

66

1997,1999; Saeger, 1997; Kollmeyer, 2009). Hanya variabel human capital

mempunyai hubungan yang positif tetapi tidak signifikan berpengaruh

terhadap relative manufacturing employment. Sedangkan variabel

unemployment (pengangguran) mempunyai hubungan positif tetapi signifikan

pada taraf nyata 5 persen dalam memengaruhi relative manufacturing

employment. Hasil dari estimasi model menunjukkan bahwa globalisasi

ekonomi memengaruhi deindustrialisasi secara langsung dengan besaran

koefisien yang cukup besar.

Tabel 14. Hasil Estimasi Model Faktor-faktor yang MemengaruhiDeindustrialisasi di Indonesia, Tahun 2000–2009

Variabel Independen Combined Model Elastisitas

3,72805***PDRB per kapita (NA)

(0,69528)3,66

-0,31598***(PDRB per kapita)2 (NA2)

(0,05468)-4,9

-0,17660***Pertumbuhan produktivitas (PG)

(0,03035)-0,71

0,00146***(Pertumbuhan produktivitas)2 (PG2)

(0,00036)1,04

0,08957***Openness / (opnguna)

(0,00994)0,84

62,06371**PMA/ Foreign Direct Investment

(24,02833)0,09

0,04541Human Capital (HC)

(0,04265)0,21

0,19477*Unemployment (Un)

(0,08208)0,14

-9,81584***Konstanta (C)

(2,11140)-

Wald χ2 186,98 -Sumber: Hasil pengolahan dengan Stata 9.0Keterangan : Angka dalam kurung merupakan nilai Standar Error.* = P < 0,05 ; ** = P < 0,01 ; *** = P < 0,001

Berikut ini akan diberikan ulasan untuk masing-masing variabel independen

yang memengaruhi relative manufacturing employment berdasarkan pada estimasi

combined model yaitu :

Page 23: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

67

a. Pendapatan Per Kapita

Berdasarkan hasil estimasi model 5 (combined model) diperoleh hubungan

non linear antara pendapatan per kapita dengan proporsi pekerja manufaktur

yaitu membentuk kurva U-terbalik (inverted U-shape). Hal ini

mengindikasikan bahwa provinsi-provinsi dengan pendapatan per kapita

rendah dan menengah seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita,

akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur. Tetapi pada batas

kemakmuran tertentu penambahan peningkatan pendapatan per kapita akan

menurunkan proporsi pekerja manufaktur. Keadaan ini menandakan bahwa

secara keseluruhan perekonomian di Indonesia mengalami perlambatan

dikarenakan mengalami sejumlah goncangan (shock) dalam sistem

perekonomian. Hasil ini mendukung analisis deskriptif Aswicahyono (2004)

yang menyatakan bahwa terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia

bukanlah dampak dari keberhasilan pembangunan ekonomi melainkan

disebabkan karena adanya sejumlah goncangan (shock) dalam sistem

perekonomian. Berdasarkan hasil penelitian ini, sejumlah guncangan

perekonomian terhadap sistem perekonomian yang mendorong terjadinya

proses deindustrialisasi di Indonesia adalah turunnya investasi asing langsung

(foreign direct investment) dan menurunnya kinerja perdagangan luar negeri.

Langkah penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan kembali peranan

sektor manufaktur adalah dengan mengatasi guncangan tersebut sehingga

tidak memperburuk kondisi perekonomian Indonesia. Berdasarkan hasil

estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa beberapa provinsi di Indonesia

selama periode 2000-2009 telah mencapai titik balik (turning point) dalam

pendapatan per kapitanya. Selama periode penelitian, pendapatan per kapita

masing-masing provinsi di Indonesia mencapai turning point sebesar 5,89 juta

per kapita. Pada tahun 2000, terdapat tujuh provinsi yang telah mencapai

turning point yaitu provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan

Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Nangroe Aceh Darussalam

dan Papua. Dibandingkan pada tahun 2000, pada tahun 2009 terdapat dua

belas provinsi yang mencapai turning point, sehingga terdapat lima provinsi

baru yang mencapai turning point yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,

Page 24: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

68

Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bali dan Sumatera Barat. Secara keseluruhan

pendapatan per kapita masing-masing provinsi selama tahun 2000-2009 terus

mengalami peningkatan, akan tetapi cukup banyaknya provinsi yang

mencapai turning point menandakan bahwa perekonomian Indonesia secara

keseluruhan mengalami perlambatan. Hal ini terlihat dari hubungan non

linear antara proporsi pekerja sektor manufaktur dengan pendapatan per

kapita (national affluence) yang membentuk kurva U-terbalik (Gambar 11).

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00

N A

O bservedQ uadratic

R M E

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Gambar 11. Scatter Plot National Affluence dan Relative ManufacturingEmployment, Tahun 2000-2009

b. Pertumbuhan Produktivitas

Seperti halnya pendapatan per kapita, variabel pertumbuhan produktivitas

juga menunjukkan hubungan non linear antara pertumbuhan produktivitas

dengan proporsi pekerja manufaktur dengan membentuk kurva U. Hal ini

mengindikasikan bahwa provinsi-provinsi dengan pertumbuhan produktivitas

sektor manufaktur yang rendah akan menurunkan proporsi pekerja

manufaktur. Akan tetapi seiring dengan peningkatan produktivitas sektor

manufaktur akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur. Relatif cepatnya

Page 25: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

69

peningkatan pertumbuhan produktivitas sektor manufaktur berhubungan

dengan peningkatan value added (nilai tambah) sektor manufaktur, sehingga

permintaan akan tenaga kerja sektor manufaktur juga meningkat.

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

0.00 50.00 100.00 150.00

PG

ObservedQuadratic

RM E

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Gambar 12. Scatter Plot Productivity Growth dan Relative ManufacturingEmployment, Tahun 2000-2009

Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa selama

periode 2000-2009 Indonesia telah mencapai titik balik (turning point) dalam

hal pertumbuhan produktivitas. Selama periode penelitian, pertumbuhan

produktivitas masing-masing provinsi di Indonesia mencapai turning point

sebesar 60,49 dan belum ada satupun provinsi yang telah mencapai turning

point produktivitasnya (Gambar 12). Hal ini membuktikan bahwa

produktivitas sektor manufaktur di Indonesia secara keseluruhan masih

rendah yang menyebabkan proporsi pekerja sektor manufaktur juga rendah.

Akan tetapi selama periode tersebut terdapat dua provinsi yang hampir

mencapai turning point produktivitasnya yaitu provinsi Nangroe Aceh

Darussalam sebesar 60,22 pada tahun 2000 dan provinsi Sumatera Selatan

sebesar 55,20 pada tahun 2009.

Page 26: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

70

c. Keterbukaan Ekonomi (Openness)

Tingkat keterbukaan ekonomi (openness) yang diukur dengan ekspor

ditambah impor mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dengan

proporsi pekerja sektor manufaktur. Nilai elastisitas variabel openness sebesar

0,84. Artinya bahwa peningkatan openness sebesar 1 persen, ceteris paribus

akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur sebesar 0,84 persen.

Keadaan ini menunjukkan bahwa suatu daerah yang lebih terbuka dalam

perekonomiaannya akan lebih baik dibandingkan perekonomian yang

tertutup. Semakin meningkat keterbukaan ekonomi (openness) suatu daerah

atau negara mengindikasikan bahwa kinerja perdagangan daerah atau negara

tersebut meningkat. Dengan meningkatnya kinerja perdagangan terutama

ekspor manufaktur, secara tidak langsung mengindikasikan bahwa produk-

produk manufaktur lokal dapat bersaing. Hal ini secara tidak langsung

menyebabkan proporsi pekerja manufaktur semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya demand produk manufaktur.

d. Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Investment)

Investasi asing langsung (Foreign Direct Investment) yang didekati dengan

nilai realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) mempunyai hubungan yang

positif dan signifikan dengan proporsi pekerja manufaktur. Nilai elastisitas

PMA sebesar 0,09. Hal ini berarti bahwa peningkatan 1 persen pada investasi

asing, ceteris paribus akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur

sebesar 0,09 persen. Sehingga semakin banyak investasi asing yang masuk ke

dalam suatu daerah atau negara, terutama di sektor manufaktur

mengakibatkan proporsi pekerja manufaktur semakin meningkat. Hal ini

menunjukkan bahwa investasi asing yang ditanamkan di sektor manufaktur

memberikan efek yang positif dengan menyerap banyak tenaga kerja.

e. Human Capital

Variabel human capital mempunyai hubungan yang positif dengan proporsi

pekerja manufaktur, akan tetapi tidak signifikan secara statistik. Hal ini

menunjukkan bahwa semakin meningkat ketrampilan tenaga kerja yang

tersedia, maka proporsi pekerja manufaktur semakin meningkat. Artinya

bahwa tenaga kerja yang terampil mampu meningkatkan produktivitas, karena

Page 27: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

71

efisiensi dapat tercapai dalam proses produksi sehingga output meningkat.

Oleh karenanya meningkatkan ketrampilan tenaga kerja merupakan salah satu

bentuk investasi jangka panjang.

f. Pengangguran (Unemployment)

Hubungan variabel unemployment (pengangguran) dengan proporsi pekerja

manufaktur menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan secara

statistik pada taraf nyata 5 persen. Nilai elastisitas variabel unemployment

sebesar 0,21 artinya bahwa apabila pengangguran meningkat sebesar 1 persen,

ceteris paribus akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur sebesar 0,21

persen. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Alderson (1997,1999)

dan Kollmeyer (2009), yang menyimpulkan bahwa peningkatan

pengangguran akan menyebabkan deindustrialisasi di negara-negara maju.

Akan tetapi hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

Kassem (2010) dengan judul ”Premature Deindustrialization–The Case Of

Colombia”. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perlambatan kegiatan

perekonomian tidak selalu diterjemahkan dengan pengangguran, karena

peraturan atau hukum yang tidak fleksibel menyebabkan biaya tinggi bagi

perusahaan untuk menyesuaikan perubahan permintaan tenaga kerja terhadap

pengangguran. Bazen dan Thirlwall (1989) menyebutkan bahwa fokus

terhadap pekerja sektor manufaktur sangat berguna untuk melihat peningkatan

pendapatan pada level produktivitas pekerja dan hubungan antara

industrialisasi dan penciptaan tenaga kerja. Sehingga deindustrialisasi positif

tidak menyebabkan bertambahnya pengangguran dan sebaliknya

deindustrialisasi negatif dapat menyebabkan bertambahnya jumlah

pengangguran (Jalilian dan Weiss, 2000). Gambar 13 juga memperkuat

argumen tersebut, bahwa sejak tahun 2004 laju pertumbuhan pengangguran

cenderung mempunyai pola yang sama dengan laju pertumbuhan penyerapan

tenaga kerja di sektor industri. Selama periode 2004-2009, rata-rata

pertumbuhan tenaga kerja di sektor industri sebesar 2,76 persen lebih tinggi

dibandingkan rata-rata pertumbuhan jumlah angkatan kerja (2,44 persen) dan

pengangguran (-1,35 persen). Hal ini menyiratkan bahwa penyerapan tenaga

kerja di sektor industri semakin meningkat akan tetapi peningkatan jumlah

Page 28: 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan

72

tenaga kerja relatif konstan. Selain itu, rata-rata pertumbuhan tenaga kerja

sektor industri informal (3,87 persen) lebih tinggi dibanding rata-rata

pertumbuhan tenaga kerja sektor industri formal (2,76 persen) selama periode

2004-2009.

-20

-10

0

10

20

30

40

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Pengangguran Naker Industri Formal

Naker Total Naker Industri Informal

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

Gambar 13. Laju Pertumbuhan Angkatan Kerja dan Pengangguran diIndonesia, Tahun 2001 – 2009

26