a. biografi hassan hanafi 1. latar belakang...
TRANSCRIPT
22
.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Hassan Hanafi
1. Latar belakang keluarga
Hassan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir
(Jumhûriyyat Mishr al-‘Arabiyah), pada tanggal 13 Pebruari 1935.
Keluarganya berasal dari Banû Swaif, salah satu propinsi di Mesir bagian
selatan. Namun kemudian mereka pindah ke Kairo. Kakek Hanafi berasal dari
al-Maghrib (Maroko), sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani> Mur.
Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir sebelum Anwar Sadat, berasal dari
kabilah itu. Kakek Hanafi yang orang Maroko itu memutuskan untuk menetap
di “negeri seribu menara” (Mesir) ketika ia singgah di negeri itu sepulang
menunaikan ibadah haji. Pada persinggahan itu pula ia menikah dengan
seseorang yang kemudian menjadi nenek Hanafi (Badruzaman, 2005: 41)
Hanafi berasal dari keluarga pemusik, ia pun mempunyai hobi musik. Ia
sempat dihadapkan pada dua pilihan antara musik atau filsafat. Ia memilih
filsafat karena baginya ide-ide filsafat bagaikan musik yang selalu menghiasi
telinganya. Sedangkan musik ibarat nada-nada kosong tanpa makna. Hanafi
mengalami kebingungan ketika dihadapkan pada dua pilihan ini. Estetika
minus piker atau piker minus estetika. Sampai kemudian ia temukan perpaduan
antara keduanya dalam filsafat romantisme Hegel, Fichte, Schelling,
Kierkegard dan terkhusus Henry Bergson. Sesekali datang penyesalan ketika ia
23
menyimak Beethoven atau menghadiri orkes Arab atau klasik. Namun ia
menghibur dirinya dengan mengatakan, “mengapa harus bersedih, saya kan
masih bisa bernyanyi dengan filsafat” (Idam, 2009:18).
Selain ilmu eksak dan filsafat, seni lukis juga ia gemari. Dalam suatu
lomba melukis, Hanafi keluar sebagai juara. Beethoven, Muhammad „Abduh
dan Raja Farouk adalah tokoh-tokoh yang pernah ia lukis. Lukisan-lukisannya
dipajang di sekolahnya. Dalam diri Hanafi ternyata berpadu minat dan bakat
dalam seni lukis, musik, logika dan filsafat (Badruzaman, 2005: 48).
Banyaknya hobi yang diminati Hanafi diwaktu kecil membuatnya menjadi
agak kebingungan dalam memilih minat selanjutnya yang akan dijalaninya
dikemudian hari.
2. Masa Pendidikan
Pendidikannya diawali di pendidikan dasar di Madrasah Sulayman
Ghawish, tamat tahun 1948. Setamat dari pendidikan dasar, Hanafi kecil
masuk sekolah pendidikan guru, al-mu’allimi>n. Kemudian melanjutkan ke
Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, Kairo, selesai pada tahun 1952. Selama
belajar di tsanawiyah ini, Hanafi aktif mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan
oleh al-Ikhwa>n al-Muslimi>n. Kegiatan ini membuat Hanafi berkembang.
Bahkan ia juga mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial
dan keIslaman (Hefni, 2011: 168).
Sejak SMP, Hassan Hanafi sudah aktif berpartisipasi dalam kegiatan
demonstransi. Muncul kesadaran nasionalisme dalam dirinya. Bersama
sahabat-sahabatnya, Hanafi sempat pergi ke Asosiasi Pemuda Muslim untuk
24
mendaftarkan diri sebagai sukarelawan perang. Namun keinginannya itu tidak
disambut positif oleh mereka. Bahkan Hanafi dan sahabat-sahabatnya diminta
untuk bergabung Batalion Ahmad Husin. Peristiwa ini membangkitkan
kesadaran mendalam bagi Hassan Hanafi tentang realitas politik yang
dihadapinya. Ia menjadi sadar, bahwa ternyata friksi kepartaian lebih dominan
daripada persoalan kebangsaan yang menyangkut kepentingan orang banyak
(Hanafi, 2003: 7).
Pada tahun 1951, ketika Hassan Hanafi masih duduk di bangku SMA,
terlibat dalam perang urat syaraf dengan Inggris di terusan Suez, dan di sana ia
menyaksikan para syuhada. Bersama-sama dengan mahasiswa dia
mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada
akhir tahun 40-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran
anggota pemuda muslimin, pada tahun ini pula ia tertarik untuk mengikuti
gerakan Ikhwan al-Muslimin. Akan tetapi, ditubuh Ikhwan-pun terjadi
perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di pemuda muslimin.
Kemudian, Hanafi disarankan oleh para anggota Ikhwan untuk bergabung
dalam organisasi Mesir muda. Ternyata di dalam keadaan Mesir muda sama
dengan kedua organisasi tersebut. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hanafi
atas cara berpikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaan ini
yang menyebabakan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran keagamaan,
revolusi dan perubahan sosial. ini juga yang menyebabkan ia beralih tertarik
pada pemikiran Sayyid Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip keadilan sosial
dalam Islam (Kusnadiningrat, 1999 : 45).
25
Hanafi pun kemudian menjadi anggota Ikhwa>n, dan di bawah payung
organisasi ini ia mengkoordinir Persatuan Pelajar Mesir. Ikhwa>n dikenal
semakin kental dengan gerakan revolusi. Ketika terjadi perundingan antara
Inggris dan Mesir tentang terusan Suez pada bulan Maret 1954-dimana diantara
salah satu butir perundingan dinilai sangat merugikan bangsa Mesir karena
memberi peluang bagi Inggris untuk kembali menguasai Terusan Suez, Ikhwa>n
mengkritik sangat tajam atas hasil perundingan itu. Hanafi bertugas
mengedarkan selebaran kritik Ikhwa>n itu (Badruzaman, 2005: 49-50).
Hassan Hanafi selama menjadi mahasiswa di Jurusan Filsafat Fakultas
Adab Universitas Kairo Mesir punya prestasi akademik yang baik.
Keterlibatannya dalam banyak aktivitas Ikhwa>nul Muslimi>n, tidak menjadikan
Hanafi lupa diri terhadap tugas akademiknya. Hampir semua makalah-makalah
yang ia tulis mendapatkan nilai summa cum laude. Salah satunya tulisan
tentang “Teori Pengetahuan dan Kebahagiaan menurut Al-Ghazali. Tetapi
tidak sedikit pula pengalaman kurang baik ia terima, lantaran sikap dosennya
yang kurang terbuka, karena dalam setiap makalah atau jawabannya ketika
ujian, Hanafi sering menyantumkan pemikiran-pemikiran pribadinya mengenai
beberapa masalah yang dibahas atau diujikan (Hanafi, 2003:23)
Gelar kesarjanaannya ia raih pada tanggal 11 oktober 1956 dari Kulliyat
al-Adab (Fakultas Sastra) Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Setelah itu Hanafi
pergi ke Perancis untuk memperdalam filsafat di Universitas Sorbonne, dengan
spesialisasi Filsafat Barat Modern dan Pra-Modern. Selama kurang lebih
sepuluh tahun Hanafi tinggal di Perancis, salah satu negara tempat para
26
orientalis berada. Dalam rentang waktu tersebut, tradisi, pemikiran, dan
keilmuan barat dikuasainya. Ia sempat pula mengajar Bahasa Arab di Ecole des
Langues Orientales di Paris (Badruzaman, 2005: 42).
Pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program master dan
doktornya di Universitas Sorbone, dengan mengشjukan tesis “Les Methodes
d’Esegeses: Essei sur La Science des Fondaments de la Comprehension Ilmu
Ushul Fiqih” dan desertasinya “Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode
Phenomenologie et son Application au Phenomene Religiux.” Desertasi setebal
lebih dari 900 halaman itu mendapat penghargaan bagi penulisan karya ilmiah
terbaik di Mesir (Ridwan, 1998 : 220).
Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang
pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi, sejak Hanafi pulang dari
Perancis pada tahun 1966. Akan tetapi kekalahan Mesir dalam perang melawan
Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. Hanafi kemudian ikut serta
dengan rakyat, berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme
mereka pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu Hanafi juga mulai
memanfaatkan pengetahuan akademis yang telah ia peroleh dengan
memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya. Hanafi menulis
artikel-artikel untuk menaggapi masalah-aktual untuk melacak faktor
kelemahan umat Islam. Di sini terlihat Hanafi ingin menggabungkan antara
semangat akademik dengan semangat kerakyatan. Artinya, sebagai seseorang
pemikir dan cendekiawan, Hanafi sangat peka terhadap persoalan yang sedang
27
dihadapi masyarakat (Gufron, teologi antroposentris Hassan Hanafi diakses
tanggal 15 oktober 2015. Pukul 23.20).
Sebagai seorang pendidik, Hanafi sehari-hari meluangkan waktunya
untuk mengajar di Universitas Kairo dan beberapa Universitas di luar negeri.
Pada tahun 1969, Hanafi menjadi Professor tamu di Perancis dan di Belgia
pada tahun 1970. tahun yang terakhir ini, Hanafi terkena masalah dengan
pemerintah sehingga ia di minta untuk memilih antara berhenti dari
aktivitasnya di Mesir atau pergi ke Amerika. Akhirnya, ia memilih yang kedua
dan disana ia mengajar. Hanafi mengajar di Universitas Temple (1971-1975)
dan di tempat inilah Hanafi menggunakan waktunya untuk menulis tentang
dialog agama-agama dan revolusi (Luthfi, 2004 : 55).
Sepulangnya dari Amerika Hanafi berusaha memulai tulisannya tentang
pembaharuan pemikiran Islam yang telah lama tertunda. Pertama, Hanafi
merintis penulisan buku al-Tura>ts wa al-Tajdi>d, namun akhirnya belum
terwujud pula karena ia dihadapkan pada pergerakan anti-pemerintah Sadat
yang pro-Barat dan melindungi Israel. Antara 1976-1981, terpaksa Hanafi
membantu menjernihkan situasi melalui tulisan-tulisannya yang kemudian
menjadi al-Din wa al-Tsawrah (8 Jilid) tahun 1980-1983, Hanafi menjadi
Professor tamu di Universitas Tokyo, tahun 1985 serta di Emirat Arab dan
Maroko pada tahun 1983-1984 (Nur Hakim, 2001 : 12)
3. Karya-karya Hassan Hanafi
Keterlibatan Hanafi pada gerakan-gerakan anti-pemerintahan Presiden
Anwar Sadat, menjadikannya dipecat dari Universitas Kairo dengan tuduhan
28
menentang penguasa. Hanafi pun kemudian banyak menulis di berbagai surat
kabar dan majalah. Tulisan-tulisannya merupakan refleksi Hanafi atas sejumlah
persoalan agama, sosial dan politik di Mesir. Ia kemudian mengumpulkan
tulisan-tulisannya tersebut dan menerbitkannya dalam bentuk buku berjudul al-
di>n wa al-tsaurah fi> Mishr 1952-1981 (Agama dan Revolusi di Mesir 1952-
1981). Buku itu dikemas dalam delapan volume-
1) Vol. I: Agama dan Kebudayaan Bangsa;
2) Vol. II:Agama dan Pembebasan Kebudayaan;
3) Vol. III: Agama dan Perjuangan Nasional;
4) Vol. IV: Agama dan Pembangunan Bangsa;
5) Vol. V: Gerakan-gerakan Keagamaan Kontemporer;
6) Vol. VI: Fundamentalisme Islam;
7) Vol. VII: Kanan dan Kiri dalam Pemikiran Islam;
8) Vol. VIII: Kiri Islam dan Kesatuan Nasioanal (Badruzaman,
2005: 46).
Pada periode yang terakhir (tahun 80-an sampai 90-an), karya-karya
Hanafi memiliki latar belakang politik yang relatif lebih stabil dibanding masa-
masa sebelumnya. Pada periode tersebut Hanafi menulis al-Tura>ts wa al-
Tajdi>d, yang memuat landasan teoritis bagi dasar-dasar pembaharuan dan
langkah-langkahnya. Al-Yassa>r al-Isla>mi> merupakan manifesto Hanafi yang
paling utuh, karena embrio gagasannya telah disemaikan sejak pergumulan
Hanafi dengan suasana sosial-politik yang penuh gejolak selama hampir 35
tahun, yaitu sejak tahun 1946 hingga tahun 1981 (Badruzaman, 2005: 56).
29
Berikut ini adalah karya-karya Hanafi dari buku terjemahan, :
مناذج من الفلسفة املسيحية )املعلم ألوغسطني, اإلميان باحثا عن العقل (1
ألنسليم, املوجود املاهية لتوما األكويين( الطبعة األوىل. دار الكتاب اجلامعية,
, الطبعة ٨٦٩١, الطبعة الثانية, اإلجنلو املصرية, القاهرة, ٨٦٩١اإلسكندرية
.٨٦١٨التنوير, بريوت, الثالث, دار
(Nama>dzij minal falsafah al-masi>chiyyah al-mu’alim liagustin,
al-iman ba>chitsan ‘anil ‘aql liunsali >m, al-mauju>d al-ma>hiyah
litu>ma> lakwi>ni> at-thab’ah al-ula. Da>rul kita>b al-ja>mi’iyah al-
iskandariyah 1968, at-thab’ah al-tsa>niyah al-inglo> al-mishriyah,
al-qa>hirah, 1968, at-thab’ah al-tsa>lits, da>rut tanwi>r, bairu>t, 1981)
اسبينوزا: رسالة يف الالهوت والسياسة, الطبعة األوىل, اهليئة العامة الكتاب, (2
, الطبعة الثالثة,٨٦٩١, الطبعة الثاين, األجنلو املصرية, القاهرة ٨٦٩١القاهرة
.٨٦١٨دار الطليعة, بريوت,
(Ispi>no>za>; risa>latu fil lah>u>t was siya>sah, at-thab’ah al-u>la, al-
hai’atul ‘ammah al-kita>b, al-qa>hirah 1973, at-thab’ah al-tsa>ni, al-
anglo al-mishriyah, al-qa>hirah 1978, at-thab’ah al-tsa>litsah, da>ru
at-thab’ah , bairu>t, 1981).
30
لسنج: تربية اجلنس البشري وأعمال أخرى, الطبعة األول, دار الثقافة اجلديدة, (3
.٨٦١٨, الطبعة الثانية, دار التنوير, بريوت ٨٦٩٩القاهرة
(Lising; tarbiyatul jinsi al-busyro> wa a’ma >lu ukhro>, at-thab’ah
al-awwal, da>ru al-tsaqo>fatul jadi>dah, al-qa>hiroh 1977, at-thab’ah
al-tsa>niyah, da>ru al-tanwi>r, bairu>t 1981)
جان بول سارتر: تعاىل األنا موجود, الطبعة األوىل, دار الثقافة اجلديدة, القاهرة (4
.٨٦١١, الطبعة الثانية, دار التنوير بريوت ٨٦٩٩
(Jan paul Sartre; ta’alal ana > mauju>d, at-thab’ah al-ula>, da>ru al-
tsaqo>fatul jadi>dah, al-qa>hirah 1977, at-thab’ah al-tsa>niyah, da>ru
al-tanwi>r bairu>t 1982).
(Hanafi, 1988 : 532)
Selain menerjemahkan buku-buku dari tokoh Barat, tentunya Hanafi juga
memiliki Karya dalam bahasa Arab :
يف فكرنا املعاصر, الطبعة األىل, دار الفكر العريب, قضايا معاصرة, اجلزء األول, (1
دار , الطبعة الثالثة, ۶۷۹۶الطبعة الثاين, دار التنوير, بريوت ۶۷۹۱القاهرة
۶۷۹۹الفكر العريب, القاهرة
(Qadha>ya Mu’a>shirah, al-juz-u al-awwal, fi fikrina> al-Mu’a>shir,
al-Thob’atu al-ula>, da>ru al-fikr al-‘Arabiy, al-Qa>hirah 1976 at-
31
thab’ah al-tsa>niy da>ru al-tanwi>r, Beirut 1981, at-thab’ah al-
tsa>litsatu da>ru al-fikr al-‘Arabiy, al-Qa>hirah 1987).
قضايا معاصرة, اجلزء الثاين, يف الفكر الغريب املعاصر, الطبعة األوىل, دار الفكر (2
, الطبعة ۶۷۹۱عة الثانية, دار التنوير, بريوت , الطب۶۷۹۹العريب, القاهرة,
۶۷۹۹الثالثة, دار الفكر العريب, القاهرة,
(Qadha>ya Mu’a>shirah, al-juz-u al-tsa>niy fi al-fikr al-Ghorbiy al-
Mu’a>shir, at-thab’ah al-u>la>, da>ru al-fikr al-‘Arabiy, al-Qa>hirah
1977, at-thab’ah al-tsa>niyah da>ru al-tanwi>r, Beirut 1982, at-
thab’ah al-tsa>litsah da>ru al-fikr al-‘Arabiy, al-Qa>hirah 1988)
الرتاث والتجديد, موقفنا من الرتاث القدمي, الطبعة األوىل املركز العريب للبحث (3
, الطبعة ۶۷۹۶, الطبعة الثانية دار التنوير, بريوت, ۶۷۹۱والنشر, القاهرة,
.۶۷۹۹ألجنلو املصرية, القاهرة الثالثة, ا
(al-tura>ts wa al-tajdi>d, mawqifuna> min al-tura>ts al-qadi>m, at-
thab’ah al-u>la> al-markazu al-‘arabiy li al-bahhts wa al-nashru, al-
Qa>hirah 1980, at-thab’ah al-tsa>niyah da>ru al-tanwi>r, Beirut 1981,
at-thab’ah al-tsa>litsah, al-anglu al-Mishriyah, al-Qa>hirah 1987)
, الطبعة ۶۷۹۶دراسات إسالمية, الطبعة األوىل, االجنلو املصرية, القاهرة (4
.۶۷۹۱الثانية, دار التنوير, بريوت
32
(Dira>satu Isla>miyah, at-thab’ah al-u>la>, al-anglu al-Mishriyah, al-
Qa>hirah 1981, at-thab’ah al-tsa>niyah da>ru al-tanwi>r, Beirut
1982)
من العقيدة إىل الثورة, حماولة إلعادة بناء علم اصول الدين, )مخسة جملدات( (5
۶۷۹۹, الطبعة الثانية دار التنوير, ۶۷۹۹الطبعة األول, مدبويل, القاهرة
(Min al-‘aqi>dah ila> al-tsawrah, mucha>walah li-i’a>dati bina>u ‘ilmu
ushu>lu al-di>n, (Khomsatu mujalada>tu) at-thab’ah al-u>la>, madbu>li>,
al-Qa>hirah 1988, at-thab’ah al-tsa>niyah da>ru al-tanwi>r, 1988)
, ۶۷۹۹, مثانية اجزاء مدبويل القاهرة ۶۷۹۶-۶۷۹۱الدين و الثورة يف مصر (6
۶۷۹۹دراسات فلسفية األجنلو املصرية, القاهرة
(al-di>n wa al-tsawrah fi> Mishra 1952-1981, tsama>niyatu ajza>u
madbu>li> al-Qa>hirah 1988, dira>sat falsafiyah al-anglu al-
Mishriyah, al-Qa>hirah 1988)
(Hanafi, 1988 : 534)
Karya Hassan Hanafi berbahasa Inggris dan Perancis antara lain :
1) Les Methodes d‟EXegese essai sur la science des fondements de
la Comprehension, ilm usul al-Fiqh, Le Caire, 1965.
2) L‟exegese de la phenomenologique, I‟Etat actuel de la method
Phenomenologique et son application au phenomene religieux
(Paris, 1965) ;e Caire 1980.
33
3) La Phenomenologie de I‟Exegese, essai d‟une hermeneutique
existentielle a partie du Nouveau Testament, (Paris, 1966) Le
Caire, 1988 (sous-press)
4) Religious Dialouge and Revolution essays on Judaism,
Christianity and Islam, Anglo-Egyption Bookshop, Cairo, 1977.
5) Dialouge Religieux et Revolution Vol. II, Anglo-Egyptian
Bookshop, Le Caire, 1989 (sous presse)
6) Religion, Ideology and Development, Anglo-Egyptian Bookshop,
Cairo 1989 (in print)
(Hanafi, 1988 : 535)
B. Kondisi masyarakat Mesir
1. Keadaan masyarakat Mesir
Negara Mesir menjadi jajahan Inggris setelah gagalnya Revolusi Arab
pada tahun 1882 M. Tentara Inggris mulai menyebar di seluruh penjuru negeri
untuk menjaga segala kepentingan Inggris di sana dan sejak saat itu mereka
menjadi penguasa yang harus ditaati. Sementara Sultan penguasa Mesir
hanyalah seperti boneka yang mudah dipermainkan oleh Inggris. Pada
perempat abad pertama abad 20 terjadilah beberapa peristiwa penting yang
berpengaruh kepada masyarakat Mesir, salah satunya Revolusi Bangsa Mesir
tahun 1919 M (Amin, 2005:34).
Selama pemerintahan Kerajaan Turki Utsmani atas Mesir (1517-1918),
kebudayaan Islam disana mengalami kemunduran, karena penguasa
berkeyakinan bahwa menuntut ilmu filsafat, ilmu bumi, ilmu pasti dan ilmu-
34
ilmu yang bertalian dengan itu menyebabkan kemurtadan. Perubahan ke arah
kebudayaan dan pendidikan hingga Mesir menjadi pusat ilmu pengetahuan
dunia Islam tidak lepas dari jasa Jamaluddin Al-Afghani (1837-1897) dan
muridnya Muhammad Abduh (1849-1905). Gema gagasan beliau beserta
murid-muridnya menggetarkan dunia Islam secara keseluruhan (Chirzin, 2001:
24).
Sepanjang dua tahun berlangsungnya perundingan, manuver-manuver
dan tipu daya-tipu daya pihak Inggris, maka pada akhirnya pihak Inggris
mengumumkan bahwa bangsa Mesir akan mendapatkan kebebasan dan
kemerdekaannya. Kemudian Inggris mengumumkan secara sepihak
berakhirnya perlindungan Inggris terhadap Mesir dan menyatakan bahwa
Mesir telah merdeka dan itu dikenal sebagai deklarasi 28 Februari 1922 M
(Amin, 2005:37).
Hanafi lahir dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir yang penuh
pergolakan dan pertentangan. Dari sisi sosial politik, saat itu terdapat dua
kelompok ekstern yang saling berebut pengaruh. Pada sayap kiri ada partai
komunis yang semakin kuat atas pengaruh Soviet di seluruh dunia.
Kemenangan Soviet selama perang dan dikukuhkannya perwakilan Soviet di
Kairo (1942) ini semakin meningkatkan minat mahasiswa untuk belajar
Komunisme. Sementara di sayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin, didirikan
Hasan al-Banna tahun 1929 di Ismailiah yang pro-Islam dan anti barat.
Kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk Hanafi sendiri pada
35
awalnya (Rohmi, http://monitaadvanturestudy.blogspot.co.id.diakses 15 oktober
2015 pukul 23.20 WIB 2015).
Bukunya Hassan Hanafi yang berjudul Al-turats wa al-tajdid
menjelaskan ada 3 kelompok pemikiran yang tersebar di masyarakat yaitu
yang pertama, kelompok yang beranggapan bahwa warisan masa lalu meliputi
segala sesuatu dan menyediakan jawaban atas persoalan masa lalu dan masa
sekarang. Kelompok pertama ini ingin mengajak umat Islam kembali
memahami ajarannya secara totalitas yang diwakili oleh al-Banna dan
Ikhwanul Musliminnya. Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa hanya
dengan hal-hal baru saja segala persoalan umat sekarang dapat di selesaikan.
Kelompok kedua cenderung kepada pemikiran bebas dan rasional, dengan
berkiblat pada peradaban barat dengan segala presentasinya. Ketiga, kelompok
yang bermaksud mengintegrasikan kedua kelompok tersebut, kelompok yang
berusaha memadukan Islam dan Barat yang diwakili oleh „Ali „Adul Raziq
(Amrullah,1997: 43).
Dalam menghadapi tantangan mordenitas dan liberalism politik,
kelompok pertama dan kebanyakan ulama konservatif menganggap bahwa
politik Barat tidak bisa diterapkan di Mesir, bid‟ah. Pengadopsian sistem
politik Barat oleh pemerintah Mesir berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai
Islam. Sebaliknya, kelompok kedua yang kebanyakan para sarjana didikan
barat menganggap bahwa, jika ingin maju maka harus menerapkan sistem
Barat. Mereka menganggap bahwa para ulama adalah kendala mordenisasi,
bahkan penyebab keterbelakangan Mesir dalam sosial politik dan ekonomi.
36
Pemikiran dan gerakan kelompok kedua ini, banyak mendapat dukungan dari
pemerintah, sehingga dalam hal tertentu mereka dapat menjalankan program-
programnya (Rohmi, http://monitaadvanturestudy.blogspot.co.id.diakses 15
oktober 2015 pukul 23.20 WIB 2015)
2. Tokoh yang berpengaruh dalam pemikiran Hassan Hanafi
a) Jamaluddin al-Afghani (1838 M – 1897 M)
Sayyid Muhammad bin Safdar al Husayn (1838-1897) umunmnya
dikenal sebagai Sayyid Jamal-al-Din al-Afghani lahir di desa Asadabad dekat
Hamadan, daerah Kuran, Afghanistan. Al-Afghani merupakan aktivis politik,
nasionalis Islam, pencetus, perintis Islamisme dan Pan Islamisme. Ia
digambarkan sebagai pribadi yang lebih memperjuangkan kaum muslim
terhadap dominasi politik Barat dibandingkan masalah teologi (Bahar, 2013:
24).
Afghani melanjutkan belajar ke India selama satu tahun. Di India
Afghani menekuni sejumlah ilmu pengetahuan melalui metode modern.
Kemudian ia meneruskan perjalanannya menuju ke Mekkah untuk menunaikan
ibadah haji. Perjalanannya ini menghabiskan waktu selama setahun. Ia singgah
dari satu kota ke kota lain, sambil mengamati adat istiadat masyarakat yang
dilewati. Ia sampai Mekkah pada tahun 1857 (Edward, 1982 : 109).
Saat berada di India ia melihat umat Islam dalam kemunduran. Ia melihat
kemunduran umat Islam bukan karena Islam tidak sesuai dengan perubahan
zaman, melainkan disebabkan umat Islam telah dipengaruhi oleh sifat statis,
fatalis, meninggalkan akhlak yang tinggi, dan melupakan ilmu pengetahuan.
37
Kemudian factor lain yang ikut memundurkan umat Islam adalah lemahnya
persaudaraan, perpecahan umat Islam serta kesalahan dalam memahami qadha
dan qadar. Mereka tidak berbuat dan menggantungkan harapan pada nasib
(Mohammad, 2006:214).
Al-Afghani meletakkan titik balik saat ia berkelana dari India ke Mesir
dalam usahanya untuk membangkitkan umat Islam dan membela diri dari
tindakan-tindakan imperialism dengan cara menyatukan kekuatan mereka
sebagai bangsa yang berdiri sendiri atau sebagai bangsa muslim dalam rangka
memperoleh kembali kekuasaan dan harga diri mereka yang hilang (Chirzin,
2001: 25).
Saat di Kairo ia mempunyai beberapa murid salah satu muridnya adalah
Muhammad Abduh. Al-Afghani dimata Inggris adalah sosok yang berbahaya
yang mampu membangkitkan kembali semangat juang umat Islam. Sedangkan
Inggris adalah penyebab kemunduran umat Islam dan tidak ingin melihat umat
Islam bersatu. Akhirnya al-Afghani diusir dari Mesir oleh Inggris pada tahun
1879.
Kemudian ia berhijrah ke Eropa, ia antara lain berhijrah ke Paris,
London, dan Rusia. Ia di Rusia memberi pengaruh pada cendekiawan Rusia
dan menjadi orang kepercayaan Tsar. Karena pengaruhnya itu, Rusia
memperbolehkan orang Islam mencetak al-Qur‟an dan buku-buku agama
Islam, yang sebelumnya dilarang. Al-Afghani membuat jurnal Al-Urwat- Al-
Wuthqa yang mengecam keras Barat. Tapi jurnal ini dilarang diedarkan di
38
negara-negara muslim oleh penguasa Barat karena dikhawatirkan
menimbulkan semangat persatuan Islam (Mohammad.dkk, 2006:215).
Istambul, Turki adalah tempat terakhir perjuangan seorang al-Afghani. Ia
wafat pada 9 Maret 1897 dalam usia 59 tahun. Ide Jamaluddin al-Afghani
adalah “Pan-Islamisme”, sebuah gagasan untuk membangkitkan dan
menyatukan dunia Arab khususnya dan dunia Islam umumnya untuk melawan
kolonialisme Barat. Persatuan umat Islam harus diwujudkan kembali. Inti Pan-
Islamisme terletak pada ide bahwa Islam adalah satu-satunya ikatan kesatuan
kaum muslimin. Jika kekuatan itu diperkokoh, jika dia menjadi sumber
kehidupan dan pusat loyalitas mereka, maka kekuatan solidaritas yang luar
biasa akan memungkinkan pembentukan dan pemeliharaan negara Islam yang
kuat dan stabil (Mohammad.dkk, 2006: 217).
b) Muhammad Abduh (1849 M – 1905 M)
Nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh bin Hassan Khair Ullah
(lahir di Desa Mahallat Nashr, Provinsi Ghorbiyah, Mesir pada 1265 H/1849
M) dan wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh Khair-Allah, warga
Mesir keturunan Turki. Sedangkan ibunya adalah perempuan yang berasal dari
suku Arab yang nasabnya sampai pada Umar Ibnul Khattab, sahabat nabi
Muhammad saw (Amri, 2013: 15).
Sejak kecil Abduh sudah dididik ayahnya dengan al-Qur‟an. Ayahnya
mengajarkan baca tulis dan menghafal al-Qur‟an. Hanya dengan belajar
kurang lebih tiga tahun saja ia sudah mampu menghafal seluruh isi al-Quran.
Pada usia 14 tahun Abduh dikirim ke Thanta, untuk menimba ilmu al-qur‟an,
39
bahasa arab dan fikih di sebuah lembaga pendidikan Masjid Al-Ahmad milik
al-Azhar. Ia hanya bertahan disana selama dua tahun saja karena dia sudah
merasa bosan belajar. Hal itu disebabkan karena, menurut Abduh system
pendidikannya hanya dengan menggunakan metode hafalan dan tidak memberi
kebebasan para muridnya untuk mengembangkan pikirannya (Mohammad,
2006:226). Menurut peneliti, dengan dasar kurangnya kebebasan dalam
mengembangkan pikiran yang dialami Abduh tersebut yang menginspirasi
pemikiran Hanafi yang ingin mengoptimalkan fungsi dari akal.
Abduh kemudian bertemu dengan al-Afghani dan belajar bersama lalu
bekerjasama melakukan reformasi di Mesir. Konsep yang sering diikuti oleh
para reformis seperti al-Afghani dan Abduh adalah bahwa Islam tidak bisa
menghadapi tantangan modernitas (dan Barat), kecuali muslim menerima
pendidikan modern, termasuk ilmu pengetahuan dan pengetahuan “rasional”
lainnya. Abduh menerima pelajaran tentang pemikiran Islam yang rasional
pertama kali dari al-Afghani yang tentu saja tidak pernah diajarkan oleh al-
Azhar dan institusi lainnya (Woodward, 2002: 240).
Muhammad Abduh bekerjasama dengan gurunya, Jamaluddin al-
Afghani. Kemudian mereka berdua mengelola majalah al-Urwah al-Wutsqa
yang terbit dari Paris. Abduh adalah ulama yang menganjurkan dan membuka
pintu ijtihad yang telah lama dikunci. Walaupun ide-ide pembaruan Abduh
banyak menuai kritik, ulama ini tetap konsisten menyebarkan pemikiran-
pemikiran pembaruan Islam. Abduh sangat tidak menyukai adanya ahli fikih
dan ulama yang hanya menyibukkan diri dengan masalah-masalah furu’iyah
40
dan meninggalkan masalah utama umat. Abduh juga dikenal sebagai tokoh
yang gigih memerangi segala bentuk khurafat, ia mengajak umat agar
memurnikan aqidah mereka (Mohammad, 2006:227).
Muhammad Abduh memandang akal berperan penting dalam mencapai
pengetahuan yang hakiki tentang iman. Akal dalam sitem teologi Abduh
bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Berkat akal, orang dapat
mengetahui adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di
akhirat, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui kebaikan dan
kejahatan, serta mengetahui kewajiban membuat hokum-hukum. Namun
menurutnya, akal masih membutuhkan wahyu sebagai petunjuk hidup mereka.
Sebab wahyu sesungguhnya memiliki dua fungsi utama, yakni menolong akal
untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat, dan menguatkan
akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam
lingkungan sosialnya (Mohammad, 2006:228).
Abduh menegaskan rasionalisme Islam yang inheren dan cocok dalam
mengantisipasi ilmu pengetahuan modern. Mirip dengan apa yang dilakukan
oleh mutakallim Mu‟tazilah dulu, dan juga tidak terlalu berbeda dengan
kelompok Islamisis sekarang, syekh Abduh bekerja untuk memperlengkapi
muslim dengan argument yang akan efektif di dunia modern dalam
mempertahankan Islam dari serangan luar (Eropa dan Kristen). Seperti
Islamiyun sekarang, beliau menegaskan bahwa Islam yang benar tidak
mengenal batasan Negara atau politik (Woodward, 2002: 247).
41
C. Pemikiran Kiri Islam Hassan Hanafi
Sejak ajaran Islam yang dibawa Adam hingga Islam pamungkas yang
dibawa Muhammad adalah “Ajaran Kiri”, dalam artian Islam adalah ajaran
praksis selalu memberontak terhadap tatanan-tatanan social yang menindas
dan diskriminatif. Para nabi pembawa Islam adalah hamba-hamba kebenaran
yang berjuang dengan sepenuh jiwa demi membela kesetaraan social
(Badruzaman, 2005 : 1-2). Arti „Kiri‟ disini adalah gerakan melawan
penindasan. Islam yang dibawa nabi Muhammad pun juga memberontak dari
tatanan social, yaitu memberontak dari penindasan kaum kafir Quraisy untuk
meraih kebebasan dan keadilan.
Ajaran Islam mengenai tauhid dan pengabdian kepada Tuhan bukan
suatu seruan religious seperti seruan konvensional yang biasa dikenal. Ia
adalah seruan untuk melaksanakan revolusi social. Seruan tersebut secara
langsung menyerang system kelas yang memperbudak manusia dengan tujuan
mengakhiri dominasi system-sistem yang tidak Islami, baik dalam bidang
akidah, tata pergaulan dalam bidang politik, social, ekonomi dsb (Chirzin,
2001: 59).
Jadi, yang dimaksud dengan Kiri Islam adalah kiri dalam pemikiran
Islam berikut produk-produknya, termasuk produk pemikiran klasik yang biasa
disebut turats, dan dalam perilaku umat Islam yaitu para penguasa, rakyat dan
kaum intelektualnya sepanjang sejarah mereka (Badruzaman, 2005 : 3-4).
Jurnal Kiri Islam adalah kelanjutan Al-Urwah al-Wutsqa dan Al-
Manar dilihat dari keterikatannya dengan agenda Islam al-Afghani; yaitu
42
melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan
keadilan sosial, serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau
blok Timur dalam suatu kesatuan yang dinamai dengan Al-Jami’ah al-
Islamiyah atau Pan Islamisme (Khoerotunnisa, http://pringtutul-
kalisabuk.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul 23.20 WIB).
Mengenai penamaan Kiri Islam sendiri, ini menggambarkan arus yang
berkembang dalam esai-esai di dalamnya. Ia adalah nama ilmiah, sebuah
istilah ilmu politik yang berarti resistesi dan kritisisme dan menjelaskan jarak
antara realitas dan idealitas tapi bukan dalam pengertian menarik khalayak
untuk memilih satu partai memobilisasi massa. Ia juga terminologi ilmu-ilmu
kemanusiaan secara umum. Namun hanya merupakan ungkapan paling jujur
tentang realita kaum muslimin yang kehidupannya terpecah (Khoerotunnisa,
http://pringtutul-kalisabuk.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul
23.20 WIB).
Pada bidang filsafat hukum Islam, Kiri Islam bukanlah aliran baru,
karena tetap bersandar pada aliran pemikiran fikih klasik, namun secara
selektif. Kiri Islam tidak mengikuti mazhab Hanafi, Syafi‟I atau Hanbali, tanpa
mendiskriminasikan anatara mazhab satu dengan yang lainnya (Badruzaman,
2005 : 71).
Hassan Hanafi sendiri menyadari, walaupun dengan nama Kiri Islam
akan menyebabkan perlawanan datang dari dua arah. Pertama Kelompok
“Persaudaraan Allah” akan berkata: tidak ada Kiri dan Kanan dalam Islam.
Islam adalah satu, umat Islam satu dan Tuhan satu. Sementara perlawanan
43
kedua dari kalangan pembela status quo (politik, ekonomi dan status sosial)
yang menolak perubahan akan mengatakan bahwa Kiri dan Kanan itu adalah
permainan kata-kata, untuk memecah belah umat, menyebar intrik dan fitnah.
Kiri adalah pengkhianat, pembangkang, penghasut dan tidak senang pada
kebaikan manusia (Khoerotunnisa: http://pringtutul-kalisabuk.blogspot.co.id
diakses tgl 15 Oktober 2015 pukul 23.20 WIB). Secara singkat dapat
dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan
kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan umat.
Ketiga pilar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Revitalisasi Tradisi Islam
Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online
mempunyai dua arti; yang pertama adalah tradisi merupakan adat kebiasaan
turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat;
yang kedua adalah tradisi merupakan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara
yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar (KBBI daring, 2016).
Jadi yang dimaksud tradisi adalah hal-hal yang berupa adat kebiasaaan atau
cara-cara yang masih dilakukan di masyarakat dan dianggap menjadi yang
paling baik dan benar. Tradisi tersebut dapat berupa peninggalan lisan atau
tulis para pendahulu.
Tradisi adalah sesuatu yang sampai kepada bangsa yang ditinggalkan
oleh para pendahulu, diwarisi dari generasi ke generasi, terjadi untuk
gelombang-gelombang umum, orientasi-orientasi dan sekolah-sekolah
pemikiran dan berpengaruh dalam perjalanan kehidupan manusia (Hanafi,
44
2015 : 66). Menurut Peneliti, tradisi merupakan peninggalan yang diwariskan
oleh para pendahulu kepada generasi bangsa kemudian mampu memproteksi
diri dari gelombang-gelombang yang menjadi sebuah tuntutan sejarah.
Sedangkan tuntutan sejarah tidak bisa dihindarkan dari kehidupan manusia
karena hal itu adalah kelaziman yang terjadi di setiap zaman. Tugas generasi
bangsa dalam mewujudkan tuntutan sejarah berupa intervensi budaya sehingga
nantinya akan ada ketersambungan sejarah atau generasi-generasi zaman itu
mengabaikan tuntutan historis sehingga akar-akar historisnya terputus.
Kata “tradisi” (al-tura>ts) berasal dari penggunaan orang-orang modern
di bawah pengaruh pemikiran Barat, sebagai terjemahan tidak sadar dan tidak
langsung terhadap kata-kata seperti legacy, heritage, Uberlieferung sebagai
sesuatu yang menunjukkan akhir sebuah periode dan permulaan periode yang
lain (Hanafi, 2015: 118).
Tradisi menurut Hanafi dapat ditentukan dalam berbagai level.
Pertama, tradisi itu dapat kita tentukan dalam berbagai bentuk tulisan, buku,
manuskrip, atau lainnya yang tersimpan di perpustakaan atau tempat-tempat
lain. Kedua, Tradisi itu dapat ditemukan juga dalam rupa konsep-konsep,
pemikiran, dan ide-ide yang masih hidup dan hadir ditengah realitas. Kategori
pertama lebih bersifat matrialistik sedangkan yang kedua lebih bersifat abstrak.
Setiap tradisi mengusung semangat zamannya, mencerminkan tahap perjalanan
sejarah, ia bisa berubah-ubah dan berganti-ganti, dan terbentuk sesuai generasi
dan tantangan yang ada pada zamannnya (Hidayat:
45
http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul
23.20 WIB).
Edward Shils merinci lebih jauh bahwa tradisi itu adalah sesuatu yang
ditransmisikan secara lisan maupun melalui tulisan; meliputi keyakinan agama
maupun persoalan yang terkait dengan keduniaan; mencakup keyakinan yang
dihasilkan dari logika, yang secara teori mengontrol prosedur intelektual
maupun keyakinan yang diterima tanpa renungan yang dalam. Tradisi
mencakup pemikiran keyakinan yang diwahyukan oleh Tuhan maupun
interpretasi terhadap keyakinan tersebut. Tradisi mencakup keyakinan yang
dibentuk melalui pengalaman maupun keyakinan yang diperoleh dari
kesimpulan logika. Dalam Islam, tradisi meliputi nilai ajaran yang termuat
dalam sumber pokok ajaran, al-Qur‟an dan Hadits, serta produk pemikiran
para ulama salaf dalam memahami dan menafsirkan sumber pokok ajaran
tersebut (Jainuri, 2014: 1).
Turats dalam pandangan Hassan Hanafi dianggap sebagai starting
point (nuqthah al-bida>yah) dalam melajukan upaya tajdi>d. Sedangkan nilai
tura>ts itu sendiri diukur dengan kredibilitasnya dalam menawarkan teori
praktis (nazhriyah ‘amaliyah) yang menafsirkan serta menyikapi suatu realitas
dan sekaligus mengembangkan teori tersebut (Badruzaman, 2005 : 79). Jadi,
dalam upaya pembaharuan yang dicetuskan Hanafi dimulai dari tradisi itu
sendiri, tidak dari „yang lain‟. Konsentrasi Hanafi dalam pembaharuan terletak
pada tradisi umat Islam.
46
Kiri Islam berupaya merekonstruksi khazanah klasik Islam. Tujuannya
adalah untuk membangun kembali paradigma ilmu pengetahuan Islam setelah
sekian waktu terlupakan dari agenda kehidupan umat Islam. Studi khazanah
Islam klasik bukan untuk mempertahankannya, melainkan untuk
menghilangkan aspeknya yang negative dan memilih unsur-unsur positif di
dalamnya guna kemajuan umat (Badruzaman, 2005 : 80).
Kebangkitan menuntut pula perubahan orientasi peradaban dari Allah
(theocentrism) kepada manusia (antrophocentrism), dari vertikal ke horizontal,
dari bahasa peradaban yang dogmatis-religius-ideologis-sufistik dan eksklusif
menjadi bahasa kemanusiaan universal dan rasional serta terbuka terhadap
dialog. Reformasi gagal karena sikap membela tradisi dipertahankan di tengah
perubahan zaman dan mendesaknya kebutuhan untuk bersikap kritis. Warisan
tradisi dianggap bagian fundamental dalam kebudayaan yang tidak bisa
diganggu gugat, dan ini digunakan status quo untuk menjustifikasi diri
(Hanafi, 2015 :244). Unsur utama kebangkitan ada pada sikap kritis umat
Islam. Setiap individu, tiap muslim wajib hukumnya untuk bersikap kritis,
apabila semua muslim menginginkan kemajuan dalam kehidupan social,
politik, ekonomi dan bernegara maka perlu adanya perubahan paradigma dari
metafisik ke rasional sosialis.
Turats bukanlah museum pemikiran yang dapat kita banggakan.
Bukan pula sesuatu yang berada dihadapan tempat kita berdiri dan dengan rasa
bangga kita mengajak dunia untuk bersama-sama melihat dan mengembara
dalam pemikiran. Akan tetapi turats merupakan suatu teori untuk aksi dan
47
membimbing moral, serta merupakan asset bangsa yang dapat disingkap dan
dieksploitasi serta dikembangkan guna merekonstruksi manusia dan
hubungannya dengan alam sekitar (Badruzaman, 2005 : 79). Jadi tradisi itu
bukan semata-mata warisan yang bersejarah layaknya benda dalam museum.
Akan tetapi tradisi menjadi pandangan hidup bangsa yang mampu menjadikan
manusia mengembangkan dirinya lebih baik lagi. Beserta mampu
memanfaatkan alam seperti dijelaskan dalam al-Qur‟an bahwa tugas manusia
di bumi adalah sebagai khali>fah yang mampu mengelola alam dengan baik.
Banyak ahli tafsir melakukan tafsir historis, seolah-olah al-Qur‟an
hanya berbicara untuk realitas, ruang dan waktu tertentu karena hanya
menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu. Sedangkan Kiri Islam
membangun tafsir perseptif (al-tafsir al-syu’uri) bahwa al-Qur‟an
mendeskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, tugasnya di
dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun system social dan politik
(Badruzaman, 2005 : 87). Menurut penulis, metode tafsir tradisi secara
perseptif yang ditawarkan Hanafi melalui Kiri Islam kurang tepat, karena
setiap pembacaan teks pasti ada metodenya tesendiri. Apalagi Al-Qur‟an yang
merupakan kitab suci umat Islam, kitab sakral dan orisinil tentunya punya
metode khusus untuk menafsirkannya yaitu dari ilmu-ilmu qur‟an yang sudah
ada yang dicetuskan oleh para ulama terdahulu. Memang, ahli tafsir
menafsirkan secara historis juga memiliki tujuan untuk mengingatkan
manusia. Jadi tidak bisa al-Qur‟an ditafsirkan secara perseptif yang bisa
48
dilakukan oleh setiap manusia tanpa menggunakan metode penafsiran khusus
al-Qur‟an.
2. Oksidentalisme: Menantang Peradaban Barat
Pilar kedua adalah perlu adanya menantang peradaban Barat. Hanafi
memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang
cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejarahan
kaya. Hanafi mengusulkan “Oksidentalisme” sebagai jawaban “Orientalisme”
dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Oksidentalisme sangat
penting untuk membangun sikap kritis setiap muslim dalam menghadapi setiap
kemajuan dan serangan kebudayaan yang mayoritas berasal dari Barat.
Imperialisme kebudayaan dilakukan dengan cara menyerang
kebudayaan dari dalam, dan melepas afiliasi umat atas kebudayaannya sendiri,
sehingga umat tercerabut dari akarnya. Kiri Islam memperkuat umat Islam dari
dalam dan tradisinya sendiri berdiri melawan pembaratan yang pada dasarnya
bertujuan melenyapkan kebudayaan nasional dan memperkokoh hegemoni
kebudayaan Barat (Badruzaman, 2005 : 91). Menurut peneliti, umat Islam kini
harus menyadari bahwa realitas zaman sekarang sudah berubah dan semakin
berkembang. Kemudian kemajuan (modernitas) tak mungkin terhindarkan.
Maka umat Islam seharusnya segera sadar akan kondisi ini jika tidak mau terus
tertinggal dengan peradaban yang lain. Demi mewujudkan cita-cita
kembalinya kejayaan Islam maka umat Islam harus bangkit melawan Barat
dengan segala pembaratan, imperialism dsb.
49
Terlepas dari serangan gerakan reformasi terhadap kaum materialis,
yang direpresentasikan oleh kaum sosialis, komunis dan nihilis, baik di India
atau di Barat; dan terlepas dari penolakan kita terhadap frame berpikir dan
budaya Barat dengan segenap aspeknya, gerakan reformasi agama
menganggap Barat sebagai acuan pembaharuan dalam hal pencapaian
pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan (Hanafi, 2015:246). Walaupun,
memang para reformis tetap melihat Barat sebagai acuan pembaharuan dalam
hal keberhasilannya di bidang ilmu pengetahuan dan pembangunan. Akan
tetapi menurut peneliti, kaum reformis dengan segala bentuk usahanya untuk
membangkitkan semangat reformasi adalah dengan menyeru lagi pada umat
Islam untuk kembali memperkuat akidah dan pemahaman sesuai apa yang
sudah dimilikinya (tradisi).
Seruan untuk menantang dan menggantikan peradaban Barat
kemudian ditindaklanjuti oleh Hanafi dengan mengemukakan bahwa umat
Islam harus mengembangkan Oksidentalisme (al-istighra>b) yang merupakan
tandingan (lawan) bagi Orientalisme (al-istisyra>q). Maka dari itu, Hanafi
menerbitkan sebuah buku yang cukup tebal yaitu Pengantar Ilmu
Oksidentalisme-Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab (Badruzaman, 2005 : 92).
Bagi Hanafi, Oksidentalisme merupakan wacana yang muncul untuk
memberikan kemampuan kepada muslim dan lainnya untuk kembali
menangkap pengetahuan rasional umat manusia dan dunia yang telah dikaji
oleh Eropa dan Amerika sejak abad ke-16 (Woodward, 2002: 378)
50
Anggapan Barat sebagai guru abadi dan non-Barat adalah murid
abadi. Adapun hubungan diantara keduanya merupakan hubungan satu arah
(monologis). Penggunaan senantiasa oleh yang kedua (murid) dan pemberian
oleh yang pertama (guru). Destruksi dari yang kedua dan konstruksi-inovatif
dari yang pertama (Hanafi, 2015:39). Anggapan kebudayaan Barat lebih maju
menjadi alasan penerimaan secara terbuka terhadap „yang lain‟. Penerimaan
tersebut akan menjadikan negara-negara Islam mengikuti „yang lain‟ secara
utuh jika tidak diimbangi dengan penyesuaian dari budaya sendiri.
Penyesuaian perlu dilakukan karena setiap bangsa memiliki kebudayaan
sendiri yang harus diwujudkan dalam peradabannya menjadi ciri khas dan jati
diri bangsa.
Ajakan Hanafi untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu
Oksidentalisme seperti itu merupakan ajakan untuk menyikapi Barat sebagai
objek studi, ajakan untuk mengubah sikap dan kedudukan dari objek pasif
menjadi subjek aktif. Ajakan untuk menghilangkan mental penakut dan
“pantas dijajah” (qa>bil li al-isti’mar) untuk diganti dengan mental pemberani,
percaya diri dan selanjutnya perasaan punya harga diri. Ajakan untuk
memperkecil dan mempersempit lahan dominasi Barat, untuk selanjutnya
menghilangkan sama sekali. Ajakan-ajakan tersebut merupakan ajakan
pembebasan dari hegemoni kultural dan superioritas Barat (Badruzaman, 2005
: 92).
Munculnya fenomena westernisasi dan tidak ada seorang pun yang
mengkritisinya kecuali gerakan salafiyah yang reaksioner, yang di kalangan
51
kita dituduh sebagai gerakan „kembali ke masa lalu‟. Generasi kelima tidak
berupaya mengubah nilai lama, yakni Barat sebagai acuan pembaharuan,
menjadi “mengurangi pengaruh Barat” dan mengembalikannya pada batas-
batas yang wajar untuk membuka ruang dan kemungkinan berinovasi seluas-
luasnya bagi bangsa-bangsa sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing
(Hanafi, 2015:247). Menurut peneliti, dalam upaya pembaharuan para generasi
bangsa dihadapkan pada masalah social, politik, ekonomi dan budaya yang
kompleks. Sehingga perlu adanya solusi dalam menghadapi permasalahan
tersebut. Maka, tugas generasi bangsa adalah mengubah nilai lama yaitu Barat
sebagai acuan menjadi mengurangi pengaruh Barat dan mengembalikannya
pada batas yang wajar. Sehingga nanti akan terwujud inovasi dari sebuah
gagasan dan ide yang diciptakan untuk bangsanya yang akan mampu
mewujudkan peradabannya sendiri.
Semua itu tidak berarti seruan eksklusivitas, kembali kepada kegilaan
subjek diri atau penolakan untuk mengetahui yang lain dan inklusif terhadap
yang lain. Hal yang demikian itu bukanlah watak orang-orang terdahulu yang
terbuka terhadap kebudayaan atau peradaban yang berdampingan, terutama
kebudayaan Yunani. Belajar kepada yang lain adalah medium artifisial, bukan
tujuan akhir. Ia adalah tahapan dan bukan merupakan sejarah. Ia adalah
semata-mata motivator dan penggerak, bukan sebagai alternative pengganti
sesuatu secara esensial (Hanafi, 2015:38). Jadi, untuk mewujudkan kemajuan
bangsa, perlu adanya sikap terbuka terhadap kemapanan yang sudah
ditunjukan oleh „yang lain‟. Seperti yang ditunjukan oleh orang-orang
52
terdahulu sehingga Islam mampu memiliki sikap rasional karena kemauan
untuk belajar keilmuan terhadap „yang lain‟. Bukan berarti dengan belajar itu
mengurangi kadar martabat sebuah bangsa, karena sesungguhnya belajar itu
hanya sarana bukan tujuan akhir.
Ketika kesadaran kultural yang diproduksi tradisi diri (autonomous)
menjadi kesadaran inklusif terhadap peradaban-peradaban lain, maka dengan
cepat ia akan merepresentasikan „tradisi yang lain‟ menguasai dan memakai
bahasanya, memakai frase-frasenya, mempergunakan metode-metodenya dan
menyempurnakan kekurangan-kekurangannya. Kemudian, melalui afiliasi
dengan tradisi “yang lain” itu direkayasalah inovasi penciptaan sendiri
(Hanafi, 2015: 85). Apabila kesadaran dari tradisi mampu menjadi sikap
terbuka terhadap „yang lain‟ maka akan mudah mengadaptasikan tradisi diri
dengan „yang lain‟. Sehingga mampu menstubtitusi hal-hal yang negative
dengan hal yang lebih positif demi kemajuan bangsanya. Jadi ada afiliasi
antara dua peradaban yang mampu menciptakan inovasi baru.
Perasaan inferior generasi sekarang terhadap barat. Mulai dari bahasa,
budaya, intelektual, aliran-aliran pemikiran, teori-teori maupun pandangan-
pandangan merupakan hal yang membentuk perasaan nihilistik di kalangan
mereka yang kadang-kadang berbalik pada prasangka kemuliaan sebagaimana
yang terjadi komunitas-komunitas Islam kontemporer dan yang terjadi di
dalam Revolusi Islam Iran (2015:41). Ketidakmampuan umat Islam menyaingi
peradaban Barat yang sudah maju dikarenakan mulai lunturnya kepercayaan
diri. Para generasi bangsa tidak terlihat begitu antusias menggunakan budaya
53
sendiri, lebih suka meniru budaya Barat. Begitu juga dengan penggunaan
bahasa yang lebih mengidolakan bahasa Perancis dan tidak terlalu suka dengan
bahasa persatuan Arab Islam.
Oksidentalisme Hanafi adalah penyadaran dan penegasan
bahwasannya Barat, termasuk sejarah dan peradabannya bukanlah peradaban
dunia. Tidak ada alasan untuk menyatakan hal itu, apalagi memaksakan nilai-
nilai peradaban Barat. Oksidentalisme merupakan penyadadaran bahwa Barat
tidak lain hanyalah fenomena khusus, dalam kondisi khusus dan cakupan
wilayah yang khusus pula. Peradaban Barat adalah peradaban regional Eropa
yang secara gencar dan pongah menyatakan diri sebagai peradaban mondial
(Badruzaman, 2005: 92).
3. Sikap terhadap realitas dunia Islam
Kiri Islam mencurahkan segala potensi untuk menghadapi puncak
problematika zaman ini yakni imperialism, zionisme dan kapitalisme yang
merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan
keterbelakangan yang merupakan ancaman internal (Shimogaki, 1993: 155).
Sampai saat ini, imperialisme tetap merupakan isu terpenting yang
dihadapi oleh dunia Islam. Dalam bidang ekonomi, imperialisme saat ini
muncul dalam korporasi multinasional. Sementara di sector budaya,
munculnya dalam bentuk pembaratan yang merupakan upaya pembunuhan
terhadap semangat kreatifitas bangsa dan mencabut mereka dari akar-akar
kesejarahan. Secara militer, imperialism mewujudkan diri dalam bentuk
pangkalan militer asing yang hadir di seluruh dunia Arab, dari Maroko sampai
54
tanah Arab timur. Tugas Kiri Islam adalah memberi peringatan secara terus
menerus dan membongkar model-model imperialism baru, rasisme Barat dan
salibisme historis yang terselubung (Badruzaman, 2005 : 102-103).
Gerakan salafiyah telah memindahkan percikan masa kini ke dalam
masa lampau karena kurang mampu menganalisis realitas, keterbatasan sarana-
sarana praksis dan jauhnya penggerak-penggerak realitas. Pada akhirnya,
menciptakan selubung dan tirai serta pembenaran pendapat, sehingga tertutup
upaya kritisisme terhadap tradisi lalu. Mereka maju ke belakang dengan
fanatisme dan membentuk organisasi-organisasi eksklusif yang terpisah dari
kebanyakan orang, di padang pasir ataupun di bawah bumi dan sangat cepat
berbenturan dengan otoritas negara (Hanafi, 2015: 112). Keinginan untuk
kemajuan dan kebangkitan juga ditunjukan oleh kelompok salafi. Akan tetapi
cara yang digunakan kelompok ini kurang signifikan, karena mereka hanya
mengajak kembali mengikuti tradisi secara penuh serta mengikuti penguasa
(selalu berbaik sangka pada penguasa) bukan mengajak mengkritisi realitas
dunia Islam terkini. Sehingga gerakan ini pun terlalu „mengikuti‟ pendapat
ulama terdahulu dan membanggakan tradisi diri.
Salah satu penyebab adanya ketidakseimbangan antara tradisi dan
filsafat dalam kesadaran kebangsaan umat muslim adalah bahwa tradisi
merupakan pengetahuan identitas. Tradisi disini adalah tradisi klasik kita yang
mengekspresikan identitas “diri”. Pada sisi lain filsafat yang kadang-kadang
maksudnya adalah filsafat Barat kontemporer kurang menjelaskan ekspresi
identitas (Hanafi, 2015: 124). Jadi menurut peneliti, ada sebuah jarak yang
55
membedakan tradisi dan filsafat dalam kesadaran kebangsaan umat muslim.
Tradisi dalam pandangan umat muslim adalah sebagai „pengetahuan historis‟,
sesuatu pengetahuan yang menjelaskan asal mula identitas diri. Sedangkan
filsafat sudah dipandang sebagai produk Barat yang harus dihindari karena
kekhawatiran akan memberikan dampak negatif bagi kaum muslim terutama
ideologinya yang mengusung kebebasan.
Zionisme juga masih menjadi ancaman laten bagi Islam dan kaum
muslimin. Ambisinya bukan saja penaklukan bumi Palestina, tetapi telah
merambah ke negeri-negeri sekitarnya: Suriah, Libanon, Mesir dan bahkan
lebih luas lagi sehingga hampir menguasai seluruh bumi. Lebih dari itu,
zionisme juga berupaya menyebarkan pemikiran-pemikirannya kepada
intelektual Arab Islam hingga terlena (Badruzaman, 2005 : 103).
Ancaman terhadap dunia Islam lainnya adalah kapitalisme yang
dibangun diatas landasan perilaku ekonomi bebas dan diikuti dengan
persaingan bebas, laba, rente dan riba. Kapitalisme, selain mendatangkan
dampak penindasan juga turut andil dalam menumbuhkan nilai-nilai destruktif
dan hedonism utilitarian. Hal itu berujung pada penciptaan kelas-kelas social
dan kesenjangan kesempatan, yang pada gilirannya mengakibatan pemusatan
otoritas di tangan pemilik modal. Padahal Islam secara objektif menolak
pemusatan modal di kalangan minoritas elit (QS. Al-Hasyr, 59:7) hak milik
istimewa , kelas social, penindasan, riba (Shimogaki, 1993 : 158).
Adapun misi Kiri Islam dalam masa-masa awal abad XV ini menurut
Hanafi (Badruzaman, 2005: 105-106) dapat didefinisikan sebagai berikut :
56
1. Memanifestasikan keadilan social di kalangan umat Islam dan
menciptakan masyarakat tanpa kelas, agar jurang yang
menganga antara kaum miskin dengan orang kaya dapat
terhapus, sesuai dengan nash al-Qur‟an.
2. Menegakkan masyarakat yang bebas dan demokratis, dimana
setiap individu berhak mengungkapkan pendapat,
menyuarakan kritik dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
3. Membebaskan tanah-tanah kaum muslim dari kolonialisme di
Palestina, menghapus pakta-pakta militer di dunia Islam dan
mengembalikan kekayaan kaum muslimin setelah sekian lama
sumber daya alam yang dimiliknya dihisap oleh imperialism.
4. Membangun Pan-Islamisme, dimulai dari kesatuan umat di
Mesir, kemudian Lembah Nil, Suriah, Maroko, Arab dan
akhirnya kesatuan umat Islam
5. Merumuskan system politik nasional yang bebas dari pengaruh
super power, yaitu kebijakan “bukan Barat dan bukan Timur
(La> Syarqiyah wa la> Gharbiyah), sealur dengan nas al-Qur‟an,
serta mempererat jalinan persahabatan dengan bangsa-bangsa
Asia-Afrika yang merupakan bangsa-bangsa Islam dan Dunia
Ketiga.
6. Mendukung gerakan revolusioner kaum terjajah dan tertindas
karena sesungguhnya Islam hadir untuk mereka. Revolusi
mereka identic dengan revolusi Islam.
57
Anggapan bahwa kemajuan (modernitas) adalah mengimpor produk-
produk luar beserta kemampuan mengoperasikan alat-alat teknologi modern
bukan merekayasa secara inovatif dan kreatif sarana-sarana bagi penguasaan
alam sehingga bangsa-bangsa non-Eropa harus menunggu “spare parts”
sarana-sarana yang belum diciptakan. Ketika produksi mengalami surplus
niscaya komunitas social kita menjadi komunitas social yang hancur karena
produk Barat. Dengan begitu Barat akan memunculkan produk-produk
lamanya yang senantiasa diafiliasikan kepada kita yang merepresentasikan
ordinasi kemajuan ilmiah dan teknologi (Hanafi, 2015: 90).
Sementara itu, bangsa-bangsa Islam merupakan bangsa-bangsa
termiskin di dunia sehingga kemiskinan dan keterbelakangan menjadi ancaman
internal. Kemiskinan adalah buruknya mutu gizi, makanan dan perumahan.
Sementara bangsa-bangsa yang kaya hidup dengan melimpahruahnya harta
benda, kemewahan, gedung-gedung istana dan bahkan jual beli pulau dan
pantai-pantai. Kiri Islam menuntut hak-hak kaum miskin di dalam harta
orang-orang kaya, lalu melakukan pengembangan masyarakat berdasarkan
nilai-nilai persamaan dan keadilan social. Bagi Hanafi, sosialisme merupakan
prinsip universal dan abadi, bukan sebagai system social yang mudah berubah
oleh perubahan rezim. Dalam dakwah-dakwah dan khutbah-khutbah tentang
Islam, kita selalu lantang mengutip ayat bahwa di dalam harta orang kaya
terdapat hak yang jelas untuk para peminta-minta dan kaum yang terlemahkan
(al-mahrum) (QS. Al-Ma‟arij, 70: 24-25). Dan bahwa harta benda adalah milik
Allah yang diamanatkan kepada kita hanya mempunyai hak memanfaatkan
58
dan membelanjakan, tetapi tidak berhak memonopoli dan menumpuknya
(Shimogaki, 1993 : 159-160).
Hanafi mengingatkan bahwa umat muslim jangan berharap dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan mendambakan kemajuan jika belum
memliki sikap rasional, karena ilmu merupakan kelanjutan dari akal. Menurut
Hanafi, akal merupakan petunjuk bagi hidup ijtihad umat muslim. Ijtihad, yang
perangkat utamanya adalah akal merupakan jalan menuju kemajuan atau
seperti dikatakan Iqbal, merupakan dasar kebangkitan Islam. Kebebasan dan
demokrasi di negara-negara muslim merupakan syarat utama bagi proses
modernisasi (tahdits), dan modernisasi merupakan syarat utama bagi
perubahan dan rekonstruksi struktur social (Badruzaman, 2005 : 142).
D. Kritik Tradisi Islam Pemikiran Hassan Hanafi (1935M-…)
Tradisi dalam agama Islam terbagi menjadi, pertama adalah bentuk
ajaran yang tidak bisa berubah, contohnya ibadah mahdhoh yang diwariskan
secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya yang bentuk
dan tata cara pengamalannya tetap seperti yang dicontohkan generasi awal.
Kedua, cara dan hasil pikiran yang diwariskan generasi masa lalu terkait
dengan pemahaman prinsip pokok ajaran yang terkait dengan masalah-masalah
social, budaya, ekonomi dan politik yang aplikasinya dalam kehidupan sehari-
hari selalu mengalami perubahan dari zaman ke zaman (Jainuri, 2014: 2).
Kata “tradisi” (al-turats) berasal dari penggunaan orang-orang modern
di bawah pengaruh pemikiran Barat, sebagai terjemahan tidak sadar dan tidak
langsung terhadap kata-kata seperti legacy, heritage, Uberlieferung sebagai
59
sesuatu yang menunjukkan akhir sebuah periode dan permulaan periode yang
lain (Hanafi, 2015: 118). Menurut peneliti, dari pengertian inilah yang coba
diwujudkan oleh Hanafi pembaharuan Islam melalui pemikiran Kiri Islam nya.
Hanafi menganggap tradisi kini sudah kurang relevan dengan realitas zaman,
maka masyarakat harus bersikap kritis terhadap peninggalan para ulama
tersebut.
Hanafi mengajak umat Islam kembali menggunakan pola berpikir
kaum mu’tazilah karena sifat rasionalnya. Sistem mu’tazilah, dipandang
sebagai refleksi gerakan rasionalisme, naturalisme, dan kebebasan manusia.
Sebaliknya, beliau melihat sistem asy’ariyah yang menurutnya telah mapan
selama berabad-abad di dunia Islam harus dibongkar, karena dianggap
bertanggung jawab atas kemandegan pemikiran umat (Asmuni, 2003: 130).
Menurut peneliti, ajakan Hanafi ini merupakan ajakan yang baik, ajakan agar
umat Islam kritis terhadap realitas zaman. Kondisi realitas zaman yang
berubah secara signifikan mewajibkan manusia untuk beradaptasi dengan
zaman. Jadi ijtihad harus terus diupayakan demi kemaslahatan umat, bukan
berarti harus mengubah semua tatanan dan hukum yang ada di masyarakat
secara keseluruhan. Akan tetapi perlunya melakukan ijtihad adalah agar
mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam realitas zaman
sekarang, yang tidak terjadi di masa lampau.
Pemikiran keagamaan yang telah dihasilkan oleh ulama salaf terutama
dalam bidang hukum Islam, menjadi pedoman yang sangat penting bagi
pelaksanaan ibadah, muamalah serta untuk menjawab tantangan
60
perkembangan yang dialami umat. Keyakinan ini selanjutnya meniadakan
kemungkinan lain akan munculnya kejayaan yang sama dan membentuk sikap
“menerima” dan “tidak mencari” sesuatu yang diyakini benar (Jainuri, 2014:
3). Menurut peneliti, dengan keyakinan yang berlebih terhadap tradisi diri dan
menafikan kemungkinan munculnya kejayaan tradisi lain, maka akan
terjadinya kejumudan berpikir umat Islam. Sehingga umat Islam enggan
mencari kebenaran yang dihadapi oleh realitas zaman sekarang.
Tradisi memberi pandangan historis kepada bangsa, dimana
pandangan historis itu akan menjadikan bangsa membuat bagian kenyataan
zaman secara total dalam satu kesempatan. Setelah memahami dalam
kesempatan itu, ia akan sampai pada memandang dunia sebagai tolok ukur
abstrak yang tanpa waktu dan ruang (Hanafi, 2015 :67). Jadi, menurut peneliti,
tradisi memberikan paradigma yang menggiring suatu bangsa untuk
membentuk peradabannya dengan pengalaman sejarah dari tradisi tersebut.
Sehingga dalam memandang perkembangan dunia, tradisi akan selalu
dipegang dengan erat oleh setiap warga negaranya karena paradigma tradisi
yang mengakar didalam jiwa.
Teks-teks agama secara literal, menurutnya, sudah tak mampu lagi
membendung tuntutan zaman yang mengglobal dan kompleks. Maka dari itu,
diperlukan interpretasi yang non-literal, inklusif dan jauh dari postulat-postulat
teologis. Dalam hal ini, para ilmuan menemukan bahwa maqâshid asy-
syarî’ah (kemaslahatan) dipandang sebagai salah satu harapan untuk
menyelesaikannya (Hefni, 2011: 175).
61
Kemudian, dalam bukunya Hassan Hanafi yang berjudul Al-turats wa
al-tajdid menjelaskan ada 3 pendapat yang tersebar di masyarakat dalam
menghadapi realitas zaman yaitu yang pertama kelompok yang beranggapan
bahwa warisan masa lalu meliputi segala sesuatu dan menyediakan jawaban
atas persoalan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Kedua,
kelompok yang beranggapan bahwa hanya dengan hal-hal baru saja persoalan
umat dapat di selesaikan. Ketiga, kelompok yang bermaksud mengintegrasikan
kedua kelompok tersebut (Amrullah,1997: 43). Hanafi termasuk kelompok
ketiga, yang memiliki cita-cita untuk melawan kolonialisme dengan cara
menggabungkan antara tradisi Islam dan pemikiran Barat.
1. Reinterpretasi Tradisi Klasik
Basis metodologis yang digunakan oleh Hanafi adalah merevitalisasi
turâts klasik dan merekonstruksinya supaya bias berdialog dengan, dan
bermanfaat untuk kondisi kontemporer. Ini merupakan jawaban atas
mawqifunâ min al-turâts al-qadîm (sikap kita atas khazanah klasik).
Rekonstruksi, menurut Hanafi adalah pembangunan kembali warisan-warisan
Islam berdasarkan semangat modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer
(Hefni, 2011: 175).
Hanafi dalam upayanya menghadapi realitas cenderung dengan
kelompok yang ketiga yaitu beliau ingin mengintegrasikan antara tradisi dan
pembaruan. Pendekatan yang dilakukan Hanafi menawarkan dua cara dalam
menafsirkan kembali khazanah Islam klasik. Pertama, reformasi bahasa
(linguistik). Bahasa adalah alat untuk mengekspresikan ide- ide sehingga perlu
62
direformasi agar tetap memenuhi fungsinya sebagai media ekspresi dan
komunikasi (Hefni, 2011: 176). Jadi, menurut peneliti reformasi bahasa sangat
dibutuhkan karena mampu memberikan perspektif yang lebih luas bagi
wawasan keIslaman bangsa Arab. Sehingga dalam istilah-istilah dapat
dikembangkan demi kemaslahatan bersama kaum muslimin dan mampu
dipahami di setiap kalangan.
Dengan demikian, makna yang dipegang adalah makna tradisi, sedang
bahasanya adalah bahasa yang telah direformasi. Misalnya, istilah “Islam”
yang biasanya secara umum diartikan sebagai sebuah agama tertentu, diganti
dengan makna “pembebasan”. Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam
ini adalah bahwa Islam, menurut Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi.
Baginya, Islam memiliki makna ganda. Jika untuk mempertahankan status-quo
suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk
memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus
menafsirkan Islam sebagai pergolakan (Hefni, 2011: 176-177).
Seluruh bangsa harus mengikuti barat dan berjalan berdasarkan
ketentuan-ketentuannya. Hal ini berimplikasi pada dekonstruksi karakter-
karakter atau identitas bangsa-bangsa dan pengalaman empiric mereka yang
independen, dan monopoli barat terhadap hak inovasi pengalaman-pengalaman
baru dan symbol-simbol modernitas yang lain (Hanafi, 2015:39). Bangsa non-
Barat sampai kini masih menjadikan Barat sebagai kiblatnya kemajuan
teknologi dan kedigdayaan budaya bangsa. Seolah-olah apa yang dilakukan
oleh Barat harus juga ditiru oleh bangsa non-Eropa. Padahal, tidak semua yang
63
diciptakan oleh Barat harus ditiru oleh non-Barat karena hal itu akan mengikis
identitas bangsa sendiri dan akhirnya nanti yang akan terjadi adalah hilangnya
identitas diri bangsa.
Kedua, pembaruan khazanah klasik dengan mengganti obyek kajian
dari ilmu-ilmu keIslaman tradisional yang sarat dengan latar belakang
kemunculannya (budaya lingkungan pada situasi dan kondisi tertentu). Hassan
Hanafi memberi contoh pada teologi (ilmu kalam). Pendekatan tradisional
mendefinisikan objek dari ilmu ini adalah keesaan Tuhan. Menurut Hassan
Hanafi, objek tersebut harus diganti dengan manusia, yakni kesatuan manusia.
Pergantian ini akan menggiring kita untuk mengakui persamaan manusia.
Dapat disimpulkan penafsiran yang bercorak transformatif sebagai hasil akhir
dari rumusan praktis metodologi ini. Ilmu Kalam/Teologi, misalnya dengan
konsepnya seperti Imâmah, Naql-Aql, Khalq al-Af‟al dan Tawhid, secara
berurutan menjadi Ilmu Politik, Metodologi Penelitian, Psikologi, dan
Psikilogi Sosial (Hefni, 2011: 177).
Pemahaman terhadap tradisi domestic dan tradisi Barat hanya
mungkin dengan pertama-tama memahami realitas kekinian, berdasarkan atas
realitas itu akan menjadikan sempurna proses rekonstruksi yang pertama dan
alternative yang kedua. Maka dari itu, harus ada klasifikasi yang detail bagi
persoalan-persoalan, tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan realitas yang
mungkin sebagai neraca analogis bagi pemahaman terhadap konstruksi tradisi
klasik dan alternative terhadap tradisi Barat atau teoritisasi langsung terhadap
realitas selama dua tradisi yang terdahulu „tradisi diri‟ dan „tradisi yang lain‟
64
semata-mata merupakan sarana-sarana kreasi dan pembelajaran atas inovasi-
inovasi.
Proyek pembaharuan Hanafi memfungsikan agama sebagai spirit
gerak menuju pembebasan manusia. Ia bergerak dari seperangkat aturan
normatif (Akidah) menuju praksis. Bahkan agama memberikan semangat
revolusioner, dalam menangkap semangat ini Hanafi memahami kembali teks-
teks untuk lebih mendapatkan legitimasi bagi proyek pembaharuannya, karena
bila tidak demikian maka kita akan terserabut dari akar dan identitas diri
sendiri. Ia pun melakukan kritik internal dan dari sinilah kita dapat
mengatakan kalau Hanafi menggunakan hermeneutika sebagai pisau bedah
untuk merealisasikan semua itu (Hidayat: http://cahayaakhirat.blogspot.co.id
diakses tgl 15 Oktober 2015 pukul 23.20 WIB).
Krisis “Filsafat dan Tradisi” direpresentasikan dalam dualisme
pemikiran filsafat kontemporer kita yaitu: filsafat yang biasanya diartikan
sebagai filsafat Barat modern dan kontemporer, tradisi yang biasanya diartikan
sebagai tradisi filsafat klasik. Maka dari itu, “yang lain” (al-akhar) adalah
modern dan kontemporer, sedangkan “diri” (al-ana) adalah sejarah klasik
(Hanafi, 2015: 122).
Krisis muncul dalam interaksi dialektis dengan tradisi klasik mengenai
penerjemahan keseluruhan ilmu pengetahuan tanpa seleksi ataupun
perkembangan sama sekali. Biasanya, kita melakukan penerjemahan filsafat,
kalam dan tasawuf tanpa ushul al-fiqh padahal ilmu ini, sebagaiman yang telah
diingatkan oleh para pelopor wacana filosofis pada zaman kita merupakan
65
lokasi inovasi yang paling krusial dalam pemikiran filososfis kita yang bersifat
logis dan metodologis (Hanafi, 2015: 126).
Beliau memiliki sebagian agenda kaum tradisionalis, yaitu Hanafi
mencoba mempertahankan tradisi tekstual Islam dan struktur isinya sekarang
dengan menyerahkan kembali teologi kalam Islam dalam konteks modern.
Bagi Hanafi, kalam lebih dari sekedar simbol rasionalisme. Kalam adalah
tradisi tekstual yang harus dibaca ulang mengingat situasi Islam saat ini di
dunia Islam yang diharapkan kemudian dapat memberikan makna yang
relevan dan sesuai dengan keadaan yang ada (Hidayat:
http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tanggal 15 oktober 2015 pukul
23.20 WIB).
2. Hermeneutika al-Qur’an
Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada segenap
manusia khususnya yang beragama Islam. Ayat-ayat al-Qur‟an memiliki
struktur kata dan kalimat yang indah, sehingga di masa awal tak sedikit
masyarakat jahiliah (kafir Quraisy) yang mengidentikkan al-Qur‟an dengan
kumpulan syair. Jadi tidak heran jika nabi Muhammad Saw dianggap sebagai
penyair. Al-Qur‟an merupakan bagian dari keindahan wahyu Allah dalam
bentuk kata, kalimat, dan yang lebih mafhum disebut ayat (Mahatma, 2015:
68).
Masuknya beberapa gagasan dan metode ilmiah kedalam wacana
penafsiran al-Quran bukan tanpa masalah. Terutama jika mengaitkan beberapa
unsur asing kedalam al-Quran, seperti yang sering dicurigai oleh Fazlur
66
Rahman. Sehingga tidak aneh bila ada tuduhan bahwa mayoritas modernis
muslim menafsirkan al-Quran bukan untuk memahami makna sejati,
melainkan untuk mencapai tujuan ekstra qurani untuk menghilangkan
kesenjangan intelektual antara komunitas muslim dan penemuan-penemuan
Barat (Hidayat: http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober
2015. pukul 23.20).
Permasalalan tersebut menjadi dilema tersendiri bagi para pemikir
muslim, karena di satu sisi, mereka berkewajiban menafsirkan al-Quran sesuai
dengan tuntutan ilmiah dan objektif. Sementara disisi lain, terdapat
kepentingan moral untuk menjelaskan al-Quran sejalan dengan kebutuhan
umat Islam saat ini. Dua hal tersebut seperti dua sisi mata uang yang saling
melengkapi. Karena kesadaran para pemikir muslim terhadap realitas kekinian
dan pemenuhan standar ilmiah dalam penafsiran al-Quran sehingga
menghasilkan tulisan-tulisan yang dikembangkan oleh para pemikir muslim
kontemporer (Hidayat: http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tanggal 15
Oktober 2015 pukul 23.20).
Sikap muslim yang mengagungkan kejayaan masa lampau tercermin
dalam penghargaannya yang begitu tinggi terhadap kemajuan yang dicapai
oleh para ilmuwan muslim dalam segala bidang ilmu pengetahuan dan
keagamaan. Penghargaan tersebut adalah sikap yang wajar, tetapi kemudian
menjadi tidak wajar apabila sikap ini membentuk keyakinan bahwa kejayaan
masa lalu ini merupakan satu-satunya yang pernah dicapai umat Islam yang
nilai dan kebenarannya sangat mutlak (Jainuri, 2014: 3).
67
Hanafi berusaha menyajikan sebuah cara baru dalam menafsirkan teks
(Al-Quran dan tradisi) dalam hubungannya dengan realitas, dengan mencoba
menarik kembali teks kepada pendasarannya yaitu realitas. Sebagaimana al-
Quran misalnya yang tidak akan turun tanpa kaitan yang jelas dengan
kepentingan masyarakat masa nabi. Masalahnya adalah bagaimana
mengembalikan teks al-Quran tersebut kepada referensinya pada realitas.
Sementara teks tidaklagi memadai sekedar dirujuk dengan masa lalu yang
menjadi sebab turunnya ayat tersebut. Sebagai teks, al-Quran kini berhadapan
dengan realitas umat Islam kontemporer yang penuh persoalan sosial dan
kemanusiaan. Maka dari itu, perlu dilakukan penafsiran hermeneutika yang
melampaui penafsiran-penafsiran klasik terhadap teks al-Quran. Karena
diyakini penafsiran kontemporer lebih mampu menampilkan dimensi-dimensi
humanistik dari al-Quran yang selama ini bersembunyi dibalik kekakuan teks-
teks yang bernuansa teologis (Hidayat: http://cahayaakhirat.blogspot.co.id
diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul 23.20).
Sesungguhnya sikap terhadap tradisi klasik dan sikap terhadap tradisi
Barat merupakan dua introduksi peradaban yang mengekspresikan sikap
peradaban umat Islam pada saat ini, yang merupakan manifestasi dari tradisi
klasik dan kontemporer. Kedua peradaban itu pada hakikatnya merupakan
salah satu sumber pengetahuan yaitu al-naql yang berpaling dari sumbernya,
memindah dari masa lampau atau dari masa kini, dari „diri‟ atau dari „yang
lain‟. Oleh karena itu, sikap terhadap tradisi klasik di dalam salah satu
aspeknya adalah mengembalikan tradisi ke dalam realitas pertama dimana ia
68
tumbuh dan berasal secara tertentu, kemudian menghadapkan tradisi itu ke
dalam relitas aktual (Hanafi, 2015: 51).
Ketika membicarakan masalah akal dan naql, Hassan Hanafi
memberikan prioritas lebih pada akal daripada naql. Pentingnya akal adalah
untuk membangun pengetahuan keagamaan dan menegakkan keadilan. Naql
tanpa akal, menjadi pandangan semata, karena akal adalah basis naql. Bagi
Hanafi, pertimbangan merupakan suatu keniscayaan bagi kesejahteraan
muslim (Badruzaman, 2005 : 130).