case hipertiroid
Post on 08-Aug-2015
144 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Tiroid adalah suatu kelenjer endokrin murni berbentuk kupu-kupu yang terdiri dari
dua lobus yang masing-masing dihubungkan oleh ismus yang tipis ibawah kartilago
krikoidea di laher. Kelenjer tiroid berfungsi menghasilkan hormon tiroid ( T3 dan T4)
yang membantu mengatur temperatur tubuh, metabolisme energy dan protein, juga
membantu fungsi normal system kardiovaskular dan system saraf pusat. Fungsi tiroid ini
iatur dan dikontrol oleh glikoprotein hipofisis TSH yang diatur pula oleh hormon dar
hipotalamus yaitu TRH.
Hipertiroid merupakan tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjer tiroid yang hiperaktif.
Tirotoksikosis merupakan manifestasi klinik kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam
sirkulasi. Apapun sebabnya manifestasi kiniknya sama, karena efek ini disebabkan ikatan T3
dengan resepto T3 inti yang makin penuh.
Rangsang oleh TSH atau TSH-like subtances (TSI, TSAb), autonomi instrinsik kelenjar
menyebabkan tiroid meningkat, terlihat dari radioactive neck uptake naik. Sebaliknya pada
destruksi kelenjar misalnya karena radang, inflamasi, radiasi, akan terjai kerusakan sel hingga
hrmon yang tersimpan dalam folikel keluar masuk dalam darah. Dapat pula karena pasien
mengkonsumsi hormon tiroid berlebihan. Dalam hal ini justru radioactive neck-uptake turun.
Membedakan ini perlu, sebab umumnya peristiwa kedua ini, toksikosis tanpa hipertiroidisme,
biasanya sef-limiting disease.
Kira-kira 70% tirotoksikosis karena penyakit Graves, sisanya karena struma
multinodular toksik dan adenoma toksik. Sedangkan penyebab lain yaitu, tiroiditis, ambilan
hormon tiroid secara berlebihan, kanker pituitary dan obat-obatan seperti amiodarone.
Dalam setiap diagnosis penyakt tiroid dibutuhkan deskripsi mengenai kelainan faalnya
(status tiroid), gambaran anatominya (difus, uni/multinoduldan sebagainya) dan etiologinya
(autoimun, tumor, radang). Saat ini belum ada tersedia data tentang prevalensi hipertiroid
di Indonesia. Hipetiroid lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria, terdapat
predisposisi familial terhadap penyakit ini.
1.2. TUJUAN
Case ini berujuan untuk menambah pengetahuan dan pembahasan tentang
hipertiroidisme.
1.3. BATASAN MASALAH
Case ini dibatasi pada pembahasan tentang defenisi, etiologi, pathogenesis,
manifestasi klinik, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis hipertiroidisme.
1.4. METODE PENULISAN
Metode penulisan case ini adalah berdasarkan tinjauan kapusatakaan yang merujuk
pada berbagai literature.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Hipertiroid merupakan overfungsional kelenjer tiroid. Dengan kata lain hipertiroid
terjadi karena adanya peningkatan hormon tiroid dalam darah dan biasanya berkaitan
dengan keadaan klinis tirotoksikosis. Sementara menurut Martin A Walter hipertiroid
adalah kondisi umum yang berkaitan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas,
khususnya yang disebabkan oleh komplikasi kardiovaskuler. Sebagian besar disebabkan
oleh penyakit graves, dengan nodul toksik soliter dan goiter multinoduler toksik menjadi
bagian pentingnya walaupun dengan frekuensi yang sedikit. Namun penyakit Graves dan
goiter noduler merupakan penyebabnya yang paling umum. Pada penderitanya biasanya
terlihat adanya pembesaran kelenjer gondok di daerah leher. Komplikasi hipertiroid pada
mereka yang berusia lanjut dapat mengancam jiwa sehingga apalagi gejalanya berat harus
segera dirawat di ruamah sakit. Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroid
yang paling berat mengancam jiwa, umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan
dasar penyakit Graves atau struma multinodular toksik, dan behubungan dengan faktor
pencetus ; infeksi, operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemi, partus, stress
emosi, penghentian obat anti tiroid dan sebagainya.
2.2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi hipertiroid di Indonesia belum diketahui. Di Eropa berkisar antara 1-2 %
dari semua penduduk usia dewasa. Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita
dibanding pada pria (5:1). Pada usia muda umumnya disebabkan oleh penyakit Graves,
sedangkan struma multinoduler toksik umumnya timbul pada usia tua. Di daerah pantai
dan kota, insidennya lebih tinggi dibandingkan dengan didaerah pegunungan atau di
pedesaan.
2.3. ETIOLOGI
Lebih dari 90% kasus hipertiroid adalah akibat penyakit Graves dan nodul tiroid
toksik. Penyakit Graves sekarang ini dipandang sebagai penyakit autoimun yang tidak
diketahui penyebabnya. Namun karena perbandingan penyakit Graves pada monozygotic
twins lebih besar dibandingkan pada dizygotic twins, sudah dipastikan bahwa faktor
lingkunganlah yang berperan dalam hal ini. Bukti tak langsung menunjukkan bahwa
stress, merokok, infeksi serta pengaruh iodin ternyata berpengaruh terhadap sistem imun.
Sederhananya penyakit Graves merupakan multiple dari autoimun, yaitu
tirotoksikosis, eye disease, dan pretibial myxoedema yang berpengaruh terhadap bagian
optik ( opthalmopathy ), kulit ( deratopathy ), seta jari (acropathy). Keadaan ini biasanya
terjadi karena adanya imunoglobulin yang menstimulasi tiroid dalam serum.
Adapun faktor lain yang mendorong respon imun pada penyakit Graves antara lain :
1. Kehamilan, khususnya pada masa nifas
2. Kelebihan iodida di daerah defisiensi iodida
3. Terapi litium
4. Infeksi bakterial atau viral
5. Pengentian glukokotrikoid
2.4. PATOGENESIS
Perjalanan penyakit hipertiroid biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan sampai
beerapa tahun. Pada penyakit Graves, hipertiroid merupakan akibat dari antibodi reseptor
thyroid stimulating antibody ( TSI ) yang mengsang aktivitas tiroid, sedangkan pada goiter
multinodular toksik berhubungan dengan autonomi tiroid itu sendiri. Pada penyakit graves,
limfosit T menjadi peka terhadap antigen yang terdapat dalam kelenjar tiroid dan
merangsang limposit B untuk mensintesis antibody terhadap antigen-antigen ini. Adanya
antibodi dalam darah ini kemudian berkorelasi dengan penyakit aktif dan kekambuhan
penyakit yang diterapi obat-obat antitiroid.
2.5. MANIFESTASI KLINIS
1) Pada individu yang lebih muda, manifestasi yang uumnya terlihat adalah palpitasi,
gelisah, mudah lelah, hiperkinesia, diare, keringat yang berlebihan, tidak tahan
panas, suka dengan dingin, dan sering terjadi penurunan berat badan tapi tanpa
disertai dengan penurunan nafsu makan. Pembesaran tiroid, tanda-tanda
tirotoksikosis pada mata dan takikardi ringan juga sering terjadi.
2) Pada anak-anak terjadi pertumbuhan dengan pematangan tulang yang lebih cepat.
3) Pada pasien-pasien diatas 60 tahun manifestasi yang mendominasi adalah
manifestasi kardiovaskulerdan miopati dengan keluhan palpitasi, dyspnue saat
latihan, tremor, gelisah, dan penurunan berat badan.
4) Pada dermopati terjadi penebalan kulit hingga tidak dapat dicubit, kadang-kadang
mengenai seluruh tungkai bawah dan dapat meluas sampai ke kaki.
5) Pada penyakit Graves yang sering terjadi adalah pemisahan kuku dari
bantalannya (onkolisis)
2.6. KOMPLIKASI
Komplikasi hipertiroid yang dapat mengancam nyawa adalah krisis tirotoksikosis
(thyroid storm). Hal ini dapat berkembang secara spontan pada pasien hipertiroid yang
menjalani terapi, selama pembedahan kelenjer tiroid, atau pada pasien hipertiroid yang
tidak terdiagnosis. Akibatnya adalah pelepasan hormon tiroid dalam jumlah yang sangat
besar yang menyebabkan takikardi, agitasi, tremor, hipertermi dan apabila tidak diobati
dapat mengakibatkan kematian. Tekanan yang berat pada jantung bisa menyebabkan
aritmia dan syok.
2.7. DIAGNOSIS
Diagnosis hipertiroid menggunakan indeks klinis Wayne dan New Castle yang
didasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik telitikemudian diteruskan dengan pemeriksaan
penunjang. Untuk fungsi tiroid diperiksa kadar hormon beredar TT4, TT3 dan TSH,
eksresi yodium urin, kadar tiroglobulin, uji tangkap 1-131, sintigrafi dan kadang
dibutuhkan pula FNA (Fine Needle Aspiration Biopsy), antibodi tiroid dan TSI.
2.8. PENATALAKSANAAN
1) Tirostatika (OAT- obat anti tiroid)
Obat terpenting adalah kelompok derivat tioimidazol (CBZ, karbimazol 5 mg,
MTZ, metimazol 5, 10, 30 mg) dan derivat tiourasil (PTU, propiltiourasil 50, 100
mg). Obat ini menghambat organifikasi iodine sehingga menurunkan kadar
hormon tiroid dan menghambat reaksi autoimun. PTU juga berefek menghambat
konversi T3 menjadi T4 di perifer. Dosis dimulai dengan 30mg CBZ, 30mg
MTZ, dan 400mg PTU perhari dalam dosis terbagi. Biasanya eutiroid tercapai
dalam 4-6 minggu, kemudian dosis dititrasi sesuai respon klinis, lama
pengobatan selama 1 - 1,5 tahun, kemudian dihentikan untuk melihat apakah
terjadi remisi.
2) Beta-blocker
Kebanyakan gejala umum hipertiroid seperti palpitasi, tremor dan anxietas,
dimediasi oleh peningkatan reseptor beta adrenergik. Beta blocker bekerja
menghilangkan gejala ini. Obat ini tidak membantu menurunkan peningkatan
hormon tiroid tetapi membantu mengatasi gejala saat pengobatan dengan
tirostatika. Contoh obat yang sering dipakai adalah propanolol, indikasi :
a. Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien
muda dengan struma ringan, sedang dan tirotoksikosis.
b. Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau
sesudah pengobatan yodium radioaktif.
c. Krisis tiroid
Penyekat adrenergik β pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien
menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian anti tiroid. Propanolol dosis 40-
200 mg dalam 4 dosis pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-8
minggu. Penggunaan beta blocker ini tidak boleh diberikan kepada pasien yang
mengalami asma dan gagal jantung.
3) Pembedahan.
Terapi bedah (tiroidektomi subtotal), diperginakan bagi pasien-pasien dengan
kelenjar yang sangat besar atau goiter multinoduler. Terapi ini juga dapat
menjadi pilihan bagi mereka yang mengalami penyakit Graves jika tidak ada
toleransi pada obat-obat antitiroid. Untuk dilakukannya terapi bedah ini juga
harus diperhatikan dari segi usianya, ukuran kelenjer, sisa kelenjer yang tersisa
dan asupan iodin. Sebelum dilakukannya tiroidektomi ini pasien diberi obat
antitiroid sampai eutiroid (kira-kira 6 minggu), kemudian dua hari sebelum
operasi diberi larutan jenuh kalium iodida sebanyak 5 tetes 2 kali sehari.
Langkah ini untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi.
4) Terapi iodin radioaktif. Terapi ini aman dan cocok untuk segala jenis hipertiroid
khususnya pada mereka yang berusia lanjut. Selain itu juga dapat diberikan
kepada pasien dengan komplikasi penyakit Graves dan opthalmopathy. Beberapa
studi menyatakan bahwa pengobatan dengan radioiodine ini dapat memperburuk
kondisi opthalmophaty pada sebagian kecil pasien yang perokok.
2.9. PRONOGSIS
Prognosis untuk pasien dengan hipertiroid umumnya baik dengan penatalaksanaan
yang tepat. Pasien harus segera dimonitor setelah mendapatkan pengobatan hipertiroid
jenis apapun dalam tiga bulan pertama. Setelah satu tahun pertama pasien dimonitor
setiap tahun walaupun asimtomatis.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
1. Hipertiroid merupakan overfungsional kelenjar tiroid dimana terjadi peningkatan
hormon tiroid dalam darah dan biasanya berkaitan dengan keadaan klinis
tirotoksikosis.
2. Kira-kira 70% tirotoksikosis karena penyakit Graves, sisanya karena struma
multinodular toksik dan adenoma toksik, dan beberapa penyakit lain seperti
tiroiditis, ambilan hormon tiroid secara berlebihan, pemakaian yodium secara
berlebihan, kanker pituitary dan obat-obatan seperti amiodarone.
3. Manifestasi klinis hipertiroid beragam yang umumnya terlihat adalah palpitasi,
gelisah, mudah lelah, hiperkinesia, diare, keringat yang berlebihan, tidak tahan
panas, suka dengan dingin, dan sering terjadi penurunan berat badan tapi tanpa
disertai dengan penurunan nafsu makan.
4. Diagnosis hipertiroid didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti
menggunakan indeks klinis Wayne dan New Castle yang kemudian diteruskan
dengan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan fungsi tiroid.
5. Penatalaksanaan hipertiroid ditujukan untuk menghambat efek merugikan dari
hormone tiroid yang berlebihan dan menghentikan hipersekresinya baik
menggunakan pengobatan (OAT), pembedahan radioaktif, beta bloker dapat
diberikan untuk mengurangi aktivasi simpatis.
DAFTAR PUSTAKA
Chew, Shern L., and Leslie, David. 2006. Clinical Endrocrinology and Diabetes.
Churchill Livingstone Elseiver : USA (hal ; 8)
Cooper, David S. 2005 Antithiroid Drugs, http;//content.nejm.org/cgi/content/full/352/9/905
vol.352 hal.905-917
Djokomoeljanto, R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme, dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI: Jakarta.
Gardner, David G. 2004. Greenspan’s Basic and Clinical Endrocrinology. McGraw Hill
Companies : USA (hal: 248)
Jameson, Larry J. et al. 2006. Harrison’s Endocrinology. McGraw Hill : USA (hal :86)
Lee, L Stephanie. 2006. Hyperthyroidism http;//www.emedicine.com/med/topic 1109.htm,
last updated: Juli 18, 2006
Price, Sylvia. 2006. Patofisiology. Vol 2. EGC: Jakarta
Reid, Jeri. 2005. Hyperthyroidism : Diagnosis and Theraphy. American Family Physician,
vol 72. http;//www.aafp.org/afp : 5 juli 2008.
Walter, A Martin. 2007. Effect of antithyroid drug on radioiodine treatment : systematic
review and meta-analysis of randomized controlled trials. Bmj. 39114.670150. BE. Hal
334-514.
Presentasi kasus
HIPERTIROIDISME
Oleh :
FIVTA DELANI
Pembimbing :
Dr. DJUNIANTO, Sp. PD
BAGIAN PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT DAERAH LUBUK BASUNG
2009
top related