case report af dengan hipertiroid
DESCRIPTION
afTRANSCRIPT
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS
Nama : Ny. M
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sukorejo, Ponorogo
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal masuk RS : 22 September 2012
Tanggal pemeriksaan : 27 September 2012
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak Napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli jantung RSUD Dr Harjono diantar keluarganya
pada tanggal 22 September 2012, kemudian pasien masuk ICCU dengan
keluhan sesak nafas.
Sebelum masuk rumah sakit pasien mengaku nafasnya sesak, dada
berdebar dan mudah lelah dirasakan sudah sejak 1 minggu yang lalu. Sesak
hilang timbul dan biasanya sesak timbul saat pasien merasa kelelahan, dan
sesak hilang saat pasien sedang istirahat. Pasien juga mengeluh mudah lelah
dan pusing saat melakukan aktivitas.
Selain itu juga terdapat benjolan di lehernya, tidak nyeri tekan dan
apabila menelan benjolan tersebut ikut bergerak. Kata pasien benjolan itu
timbul secara perlahan-lahan. Pasien mengaku sering merasa kegerahan,
1
pusing, susah tidur, nafsu makan meunurun, merasa kelelahan, napas
terengah-engah dan dada merasa sering berdebar-debar dan badan terasa
gemetar.
Pasien juga mengakui bahwa memiliki riwayat penyakit jantung sejak
5 tahun yang lalu (tahun 2007), dan saat itu pasien pertama kali rawat inap di
RS dengan keluhan sesak karena sakit jantung. Pasien juga kontrol ke spesialis
jantung hanya bila sesaknya kambuh.
Pasien juga mengeluhkan batuk ketika merasa sesak, namun tanpa
disertai dahak. Mual (+) muntah (-). Nafsu makan (+). BAB (+), hitam (-),
lendir (-), darah (-). BAK (+) dengan kateter, warna normal jernih kekuningan,
darah (-), buih (-). demam (-), lemas (+).
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi : diakui
Riwayat maag : disangkal
Riwayat sakit jantung : diakui
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat sakit hepar : disangkal
Riwayat alergi : diakui
Riwayat opname : diakui
4. Riwayat Pribadi
Merokok : disangkal
Konsumsi kopi : disangkal
Makan pedas : disangkal
Konsumsi minuman beralkohol : disangkal
Konsumsi obat : disangkal
5. Riwayat keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
2
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat atopi : disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK (22 September 2012)
Keadaan Umum : Tampak lemah
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
Vital signs :
Tekanan darah 180/70 mmHg : (berbaring, lengan kanan)
Nadi 70–100 x/ menit : frekuensi takikardi; irama ireguler; besar pengisian
pulsus parvus (isi kecil) unequal dengan pengisian sebelumnya;
perbandingan dengan denyut jantung pulsus defisit
Respiratory rate 30x/ menit
Suhu 37,5º C
1. Pemeriksaan fisik :
a. Kulit
Ikterik (-), petechiae (-), acne (-), turgor kulit menurun (-), hiperpigmentasi
(-), bekas garukan (-), kulit kering (-), kulit hiperemis (-), sikatrik bekas
operasi (-)
b. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut warna putih, mudah rontok (-), luka (-)
c. Mata
Konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), exoftalmus (-/-), perdarahan
subkonjungtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek
cahaya (+/+) normal, oedem palpebra (-/-), strabismus (-/-).
d. Hidung
Nafas cuping hidung (+), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
e. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
3
f. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), pucat (-), lidah
tifoid (-), papil lidah atropi (-), luka pada sudut bibir (-)
g. Leher
JVP R0, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (+), nyeri tekan (-),
pembesaran kelenjar getah bening (-).
a. Thorax :
1) Pulmo :
a) Inspeksi : Kelainan bentuk (-), simetris, tidak ada ketinggalan
gerak kedua sisi paru, retraksi otot-otot nafas tidak ditemukan,
spider naevi (-).
b) Palpasi :
Ketinggalan gerak:
Anterior : Posterior :
Fremitus:
Anterior : Posterior :
c) Perkusi
Anterior : Posterior :
4
- -
- -
- -
N N
N N
N N
N N
N N
N N
S S
S S
S S
S S
S S
S S
d) Auskultasi
Anterior : Posterior :
Suara tambahan : wheezing (-/-), rhonki (-/-)
b. Jantung
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
3) Perkusi
Batas kiri jantung :
Atas : SIC III sinistra di linea parasternalis sinistra
Bawah : SIC V sinistra 1 cm lateral linea midclavicula sinistra
Batas kanan jantung
Atas : SIC III dextra di sisi lateral linea parasternalis dextra
Bawah : SIC IV dextra di sisi lateral linea parasternalis dextra
4) Auskultasi : Bunyi jantung I-II ireguler, intensitas S1 tidak sama
dengan S2, murmur (-), tidak ada suara tambahan S3-S4 gallop (-)
c. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut simetris, sejajar dinding dada, distended
(-), caput medusae (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal, metallic sound (-)
Perkusi : Timpani, hepatomegali (-), splenomegali (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), lien, hepar, ren tidak teraba
d. Ekstremitas superior : Akral hangat, edema (-/-), clubbing finger (-),
pitting edema (-), palmar eritem (-), tremor halus (+)
e. Ekstremitas inferior : Akral hangat, clubbing finger (-), pitting edema
(+), palmar eritem (-)
f. Pinggang : Nyeri ketok costoertebra (-/-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
5
V V
V V
V V
a. Pemeriksaan EKG (22 September 2012)
b. Pemeriksaan
EKG (23
September
2012)
c. Pemeriksaan EKG (24 September 2012)
d. Pemeriksaan EKG (25
September2012)
e. Pemeriksaan EKG (26 September 2012)
f. Pemeriksaan EKG (27 September 2012)
6
Frekuensi : 66 – 150 x/menit (ireguler)
Jenis irama: atrial
Ritme : ireguler
Gelombang P sulit dikenali
Kompleks QRS sempit
Interval R-R dan P-P ireguler
Gelombang QRS 0,08 detik
Zona transisi : V4-V5
Aksis : normal (Lead I (+), aVF (+))
Atrial Fibrilasi (+)
b. Pemeriksaan laboratorium (23 September 2012)
Hematologi
HB 8,0 11,0 – 16,0 G/dl
Leukosit 6300 4000 – 10000 cmm
Hitung jenis -/-/-/72/21/3,3 1-4/0-1/2-5/36-66/22/40/3-9
Eritrosit 4,39 3,5 – 5,4 jt/mm
Trombosit 79.000 100.000 – 300.000/cmm
Kimia klinik
Kadar gula darah 120 <120
Profil lemak
Colesterol total 95 140 - 220mg/dl
TG 104 36 - 165 mg/dl
HDL 26 45-150 mg/dl
LDL 40 0-190 mg/dl
Faal hati
SGOT 64 < 31 u/L
SGPT 15,9 < 41 u/L
Faal ginjal
Serum creatinin 0,7 0,7 – 1,2 mg/dl
Urea 26,38 10 - 50 mg/dl
Uric acid 6,4 2,4 – 5,7 mg/dl
7
E. RESUME/ DAFTAR MASALAH
1. Anamnesis
a. Sesak nafas dan lemas saat beraktivitas
b. Dada berdebar
c. Benjolan di leher
d. Susah tidur, mudah kegerahan, nafsu makan menurun, tremor, dan mual
2. Pemeriksaan Fisik
a. Vital sign
1. Tekanan darah 180/70 mmHg : (berbaring, lengan kanan)
2. Nadi 70–100 x/ menit : frekuensi takikardi; irama ireguler; besar
pengisian pulsus parvus (isi kecil) unequal dengan pengisian
sebelumnya; perbandingan dengan denyut jantung pulsus deficit
3. Respiratory rate 30x/ menit.
b. Pemeriksaan fisik
konjungtiva anemis (+), napas cuping hidung (+), pembesaran tiroid (+),
tremor halus (+), pitting oedem (+),
c. Jantung
Auskultasi : Bunyi jantung I-II ireguler, intensitas S1 tidak sama dengan
S2.
3. Pemeriksaan Penunjang
EKG :
Frekuensi : 66 – 150 x/menit (ireguler)
Jenis irama: atrial
Ritme : ireguler
Gelombang P sulit dikenali
Kompleks QRS sempit
Interval R-R dan P-P ireguler
Atrial Fibrilasi (+)
LABORATORIUM
Hematologi
8
HB 8,0 11,0 – 16,0 G/dl
Trombosit 79.000 100.000 – 300.000/cmm
Profil lemak
Colesterol total 95 140 - 220mg/dl
Faal hati
SGOT 64 < 31 u/L
SGPT 15,9 < 41 u/L
Faal ginjal
Uric acid 6,4 2,4 – 5,7 mg/dl
F. ASSESMENT/ DIAGNOSIS KERJA
Atrial Fibrilasi dengan hipertiroid
POMR (Problem Oriented Medical Record)
Assessment P. Diagnosis P. Terapi P. Monitoring
Atrial fibrilasi
Hipertiroid
Graves
Anamnesis, klinis,
pemeriksaan fisik
EKG
Ekhokardiografi
Foto Ro Thorax PA
Anamnesis, klinis,
pemeriksaan fisik
T3, T4 dan TSH:
Balance cairan (infus PZ
12 tpm)
O2 3 L/menit
Inj Farsix 1-1-0
ISDN 3x5mg
Digoxin 1x1
Proxime 0-0-1
Balance cairan (infus PZ
20 tpm)
O2 2 L/menit
PTU 3x200mg
Ranitidine 2x1 amp
Ondancetron 3x1 amp
Klinis, vital sign,
pemeriksaan fisik,
EKG
Klinis, vital sign,
pemeriksaan fisik
9
G. FOLLOW UP
Tanggal Keluhan Vital sign Terapi
Pasien berada di ICU
27-09-12 Sesak ,
DL= Leukosit = 1800/uL, Hb = 8,1q/dl, Eritrosit = 4,04x106/uL, HCT= 24,6% , MCV = 60,9fL , MCH = 20pg, MCHC = 32,9q/dL, PLT = 50.000/uL, Kimia = Albumin = 2,3UL = Protein (+), Eritrosit (penuh), Leukosit (2-4)
TD 110/70
N 100-170
S 37,5
RR 28
PZ 12 tpm
PTU 3x200 mg
28-09-12 Sesak ,
UL= Protein (+), Eritrosit (8-10),
Leukosit (4-6), Jamur/ Bakteri/
Parasit (+)
Kimia = Albumin = 2,3,
Globulin = 6,1
Diagnosis Sirosis Hepatis +
Anemia (Alih rawat Sp.PD)
TD 110/70
N 70-120
S 37,5
Rr 24
Terapi lanjut
29-09-12 Sesak , muntah-muntah
Kimia = Hb = 8 mg/dl
TD 110/60
N 70-110
S 37,5
RR 22
PTU 3x200mg
Albuphenil 20%
30-09-12 Kondisi membaik TD 120/80
N 72
S 36,6
RR 20
Pasien pulang
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ATRIAL FIBRILATION
1.DEFINISI
Fibrilasi atrium adalah suatu aritmia yang ditandai oleh disorganisasi dari
depolarisasi atrium sehingga berakibat pada gangguan fungsi mekanik atrium.
Pada elektrokardiogram (EKG), fibrilasi atrium dikenali dengan pergantian
konsisten gelombang P oleh gelombang fibrilasi atau osilasi cepat yang
bervariasi dalam hal bentuk, amplitudo maupun interval, diikuti dengan
respons ventrikel yang tidak beraturan sementara konduksi atriventrikular (AV)
masih intak (Olgin, 2007).
Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai
dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi
denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit (Pristowsky, 2002).
2. KLASIFIKASI
Menurut AHA ( American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :
a. AF deteksi
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi
pertama, tahapan ini menunjukkan belum pernah terdeteksi AF sebelumnya.
b. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai
episode pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF.
AF jenis ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam
waktu kurang dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi
c. Persisten AF
11
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu
penggunaan dari kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali
normal.
d. Kronik/permanen AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada
permanen AF, penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena dinilai
cukup sulit untuk mengembalikan ke irama sinus yang normal
Disamping klasifikasi menurut AHA ( American Heart Association), AF juga
sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu :
b. AF akut, yaitu onset AF yang kurang dari 48 jam
c. AF kronik, yaitu AF yang berlangsung lebih dari 48 jam.
3. ETIOLOGI
Etiologi terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor, diantaranya adalah:
1. Peningkatan tekanan (resistensi) atrium: Penyakit katup jantung, kelainan
pengisian dan pengosongan ruang atrium, hipertrofi jantung, kardiomiopati,
hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal
chronic) dan tumor intracardiac
2. Proses infiltratif dan inflamasi: Pericarditis/myocarditis, Amiloidosis dan
Sarcoidosis
3. Proses infeksi (demam dan segala macam infeksi)
4. Kelainan Endokrin (Hipertiroid dan Feokromositoma)
5. Neurogenik (Stroke dan perdarahan subarachnoid)
6. Iskemik Atrium (Infark myocardial)
7. Obat-obatan (Alkohol dan Kafein)
8. Genetik (Narrumiya, 2003).
4. TANDA DAN GEJALA
Pada dasarnya AF, tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada
perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan denyut
12
jantung, ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik.
Disamping itu, AF juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan
oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas
dan nyeri dada. Tetapi, lebih dari 90% episode dari AF tidak menimbulkan gejala-
gejala tersebut (Nasution, 2006).
5. FAKTOR RESIKO
Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya
adalah diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit katup
mitral, penyakit tiroid, penyakit paru-paru kronik , post. operasi jantung, usia 60
tahun dan life style
6. PATOFISIOLOGI
Beberapa aspek dari mekanisme elektrofisiologi yang mendasari terjadinya
fibrilasi atrium masih menjadi kontroversi. Pada dasarnya, onset fibrilasi atrium
memerlukan suatu pemicu, sementara prasyarat agar fibrilasi dapat terus
berlangsung adalah adanya suatu substrat anatomi (Fuster & Nattel, 2006)
Sebagai trigger adalah automatisme fokus yang umumnya bersumber dari daerah
vena pulmonalis, sedangkan sirkuit re-entri merupakan substrat abnormal atrial.
Moe dan kolega (1959)3 memperkenalkan hipotesis multiple-wavelet sebagai
mekanisme re-entran pada fibrilasi atrium, suatu hipotesis yang bersama dengan
sejumlah studi lanjutannya menekankan akan pentingnya peranan substrat atrial
abnormal untuk memungkinkan suatu fibrilasi atrium dapat terus berlangsung
dalam jangka panjang (Scheinmann, 2003).
Gangguan fungsi hemodinamik dapat ditimbulkan oleh fibrilasi atrium
dikarenakan irregularitas dari aktivitas mekanik atrium, respons ventrikel, denyut
jantung dan kontraktilitas miokard. Akibat dari gangguan hemodinamik tersebut,
cardiac output pada pasien dengan fibrilasi atrium dapat berkurang secara
signifikan. Fibrilasi atrium juga terbukti mengganggu aliran darah koroner, dan
terutama pasien yang memiliki penyakit jantung koroner sebelumnya, dengan
kompensasi vasodilatasi koroner yang terbatas (Fuster, 2006).
13
Studi dari Allessie et al. (2006) menyatakan bahwa fibrilasi atrium kronik
dapat menyebabkan regangan dan dilatasi atrium dikarenakan gangguan
kontraktilitas dari atrium, sehingga proses fibrosis pada atrium tersebut justru
merupakan konsekuensi dari fibrilasi atrium. Fibrosis interstisial, dilatasi atrium
dan payah jantung akan memfasilitasi fibrilasi atrium menjadi persisten, sehingga
hal tersebut bagaikan suatu lingkaran setan dalam perjalanan klinis aritmia ini.
Respons ventrikuler yang cepat pada fibrilasi atrium akan mengganggu
fungsi katup mitral sehingga meningkatkan risiko regurgitasi mitral. Selain itu,
respons ventrikuler cepat yang persisten pada fibrilasi atrium dapat menimbulkan
disfungsi reversibel dari ventrikel berupa kardiomiopati dilatasi, atau dikenal
sebagai tachycardia-induced cardiomyopathy (Fuster, 2006).
7. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Dapat diketahui tipe AF dengan mengetahui lama timbulnya (episode
pertama, paroksisimal, persisten, permanen)
Menentukan beratnya gejala yang menyertai : berdebar-debar, lemah,
sesak napas terutama saat aktivitas, pusing, gejala yang menunjukkan
adanya iskemia atau gagal jantung kongestif
Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain AF misalnya hipertiroid
b. Pemeriksaan Fisik
Tanda vital : denyut nadi yaitu kecepatan dan regularitas, tekanan darah
Tekanan vena jugularis
Rhonki paru menunjukkan kemungkinan gagal jantung kongestif
Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukkan kemungkinan
gagal jantung kongestif, ada bising kemungkinan penyakit katup jantung
Hepatomegali : kemungkinan gagal jantung kanan
Spleenomegali : kemungkinan gagal jantung kongestif
a. Laboratorium :
Hematokrit (anemia), TSH (penyakit gondok), enzim jantung bila dicurigai
iskemi jantung
b. Elektrokardiografi
14
Pada interval yang tidak teratur, satu impuls listrik dihantarkan melalui
atrium dan ventrikel, terjadi depolarisasi ventrikel dan kompleks QRS. Karena
tidak mungkin menentukan impuls mana yang dihantarkan dari atrium, tidak ada
gelombang P atau interval PR yang sebenarnya. Kompleks QRS biasanya dalam
kisaran normal 0,04-0,12 detik, dan interal R-R tidak teratur di seluruh EKG,
yang merupakan kunci utama bahwa disritmia ini adalah AF.
Walaupun frekuensi atrium jantung 350-500 impuls listrik/menit,
frekuensi ventrikel jantung biasanya dalam batas normal 60-100 impuls/menit.
Keadaan ini disebut “fibrilasi atrium terkontrol”. Fibrilasi atrium dengan
frekuensi ventrikel kurang dari 60 impuls/menit disebut “fibrilasi atrium dengan
respon ventrikel lambat”. Bila disritmia ini mempunyai frekuensi ventrikel 101-
150 impuls/menit disebut “fibrilasi atrium dengan respon ventrikel cepat”.
Apabila frekuensi ventrikel lebih besar daripada 150 impuls/menit disebut
“fibrilasi atrium tidak terkontrol”. (Atwood, Stanton & Storey. 1998)
e. Foto rontgen thoraks
f. Ekhokardiografi
Untuk mengetahui adanya penyakit primer, antara lain kelainan katup, ukuran
atrium dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi
outflow dan Trans Esophago Echocardiography (TEE) untuk melihat thrombus
di atrium kiri
g. Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuat laju irama jantung
h. Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah studi elektrofisiologi
(Nasution & Ismail, 2006; PAPDI, 2005)
15
8. TATALAKSANA
Manajemen fibrilasi atrium meliputi 3 objektif utama yaitu identifikasi dan
penanganan faktor kausatif terkait (misalnya hipertensi, penyakit jantung iskemik,
gagal jantung, kelainan katup, tirotoksikosis, dan lain-lain), pemilihan strategi
terapi rate control atau rhythm control, dan penilaian terhadap risiko
tromboemboli serta terapi prevensinya (Watson, 2006; Medi, 2007)
Jenis fibrilasi atrium akan menentukan pemilihan strategi terapi dan fokus
objektif manajemen. Pada kasus fibrilasi atrium paroksismal, target terapi
umumnya adalah mereduksi aritmia yang terjadi dan mempertahankan irama
sinus. Sedangkan pada fibrilasi atrium permanen, pendekatan rate control lebih
menjadi pilihan. Namun apapun jenis fibrilasi atriumnya, upaya prevensi risiko
tromboemboli, meredakan gejala klinis dan hemodinamik serta penanganan
komorbid merupakan aspek penting manajemen keseluruhan (Fuster, 2006).
Pemilihan Strategi Terapi
Target utama dari pendekatan rate control adalah meredakan gejala klinis
dan pencegahan komplikasi hemodinamik dengan cara mengontrol respons detak
ventrikel. Upaya tersebut dapat dicapai dengan penggunaan obat-obatan
farmakologis maupun tindakan non farmakologis berupa ablasi nodus AV dan
pacing. Tingkat kesuksesan rate control secara farmakologis adalah sekitar 80%.
Target terapi adalah detak ventrikel antara 60-80 kali per menit saat istirahat dan
90-115 kali per menit saat beraktivitas sedang. Obat yang menjadi lini pertama
adalah golongan penyekat beta (metoprolol dan atenolol). Jika monoterapi belum
berhasil, maka agen kedua atau ketiga dapat ditambahkan. Golongan antagonis
kalsium non- dihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil dapat menjadi pilihan
lini kedua pada pasien yang kontraindikasi atau nontoleransi dengan penyekat
beta. Digoxin dapat dijadikan pilihan sebagai rate control pada pasien payah
jantung dengan fibrilasi atrium. Namun digoxin kurang efektif dalam mengontrol
denyut jantung pada saat beraktivitas atau dalam kondisi hiperadrenergik seperti
demam, tirotoksikosis dan pasca operasi. Ablasi nodus AV dan pacing dapat
menjadi pilihan yang efektif dalam rate control bagi pasien yang gagal terapi
dengan agen-agen farmakologis (Watson, 2006; Fuster, 2006)
16
Rhythm control atau kardioversi mengacu pada upaya reversi dan
mempertahankan irama sinus dalam waktu panjang. Kesuksesan bergantung pada
beberapa factor seperti durasi fibrilasi atrium (prognosis buruk pada fibrilasi
atrium yang telah berlangsung > 1 tahun), adanya penyakit struktural jantung, dan
adanya dilatasi atrium kiri. Rhythm control dapat dicapai secara farmakologis
dengan menggunakan agen anti-aritmia maupun dengan kardioversi elektrik.
Kardioversi secara farmakologis kurang efektif jika dibandingkan dengan
kardioversi elektrik bifasik. Namun metode kardioversi manapun akan membawa
risiko tromboemboli, terutama jika aritmia telah berlangsung >48 jam, kecuali jika
profilaksis dengan antikoagulan telah diberikan sebelumnya. Agen farmakologik
yang merupakan rekomendasi kelas 1 sebagai rhythm control sesuai dengan
Guidelines of the American College of Cardiology, American Heart Association
and European Society of Cardiology 2006 (ACC/AHA/ESC 2006) adalah
flecainide, dofetilide, propafenone, dan ibutilide. Sedangkan Amiodaron, agen
anti-aritmia yang paling umum digunakan, dimasukkan ke dalam kelas 2A.
Sebaiknya kardioversi farmakologik dimulai kurang dari 7 hari setelah onset
fibrilasi atrium agar efektivitasnya lebih baik (Watson, 2006; Fuster, 2006).
Pilihan terapi non-farmakologik dipertimbangkan pada kasus agen anti-
aritmia yang kurang efektif dalam mengontrol respons ventrikel maupun gejala
pasien. Pilihan terapi nonfarmakologik umumnya berupa ablasi berbasiskan
kateter dan terkadang juga ablasi operatif (prosedur Maze). Beberapa teknik lain
yang dicoba dikembangkan berupa pacu atrial dan defibrillator atrial internal,
walaupun penggunaan keduanya masih terbatas. Teknik ablasi radiofrekuensi
memiliki angka keberhasilan bervariasi, umumnya sekitar 75%, walaupun
prosedur multipel mungkin diperlukan. Fibrilasi atrium masih mungkin terjadi
kembali setelah prosedur dilakukan dan bersifat tidak bergejala, sehingga
antikoagulan jangka panjang diperlukan bagi pasien (Watson, 2006; Fuster, 2006).
Stratifikasi Risiko dan Pencegahan Tromboemboli
Risiko stroke tahunan pada fibrilasi atrium paroksismal maupun permanen
adalah sama besarnya, sehingga tromboprofilaksis diperlukan pada kedua kondisi
tersebut. Panduan ACC/AHA/ESC tahun 2006 merekomendasikan terapi
17
antitrombotik sebagai pencegahan tromboembolik pada semua pasien dengan
fibrilasi atrium, kecuali untuk kasus fibrilasi atrium lone atau jika ada
kontraindikasi. Terapi antitrombotik juga direkomendasikan kepada pasien
dengan atrial flutter. Pemilihan agen antitrombotik (antikoagulan atau
antiplatelet), didasarkan pada besarnya risiko stroketrombo embolik dibandingkan
komplikasi perdarahan yang mungkin terjadi (Watson, 2006; Medi, 2007).
Salah satu cara pemilihan agen antitrombotik dapat didasarkan pada indeks
risiko CHADS2. Pasien dengan skor CHADS2 0 tidak memerlukan antikoagulan
dan dapat diterapi dengan aspirin 81-325 mg (I/A). Antikoagulan diperlukan
untuk skor CHADS2 2 atau lebih besar, dengan mempertimbangkan risiko
perdarahan. Untuk pasien dengan skor CHADS2 1, baik aspirin maupun warfarin
dapat digunakan. Pemilihan agen antitrombotik di klinis lebih lanjut dapat
berdasarkan Panduan ACC/AHA/ESC tahun 2006 (Watson, 2006).
Warfarin merupakan agen yang sangat efektif dalam pencegahan stroke
pada pasien dengan fibrilasi atrium dengan mengurangi risiko relatif stroke
sebesar 62%, dibandingkan dengan 22% oleh aspirin. Hal ini juga diperkuat
dengan studi AFFIRM yang memaparkan bahwa kebanyakan stroke yang terjadi
dalam studi tersebut dikarenakan INR (International Normalised Ratio) yang
subterapeutik atau setelah penghentian terapi warfarin. Warfarin juga masih lebih
superior dibandingkan klopidogrel 75 mg plus aspirin 75-100 mg pada pasien
fibrilasi atrium dengan risiko tinggi stroke. Sementara itu, kombinasi antara
antikoagulan dan antiplatelet tersebut tidak menunjukkan efektivitas yang lebih
baik daripada terapi dengan antikoagulan semata, malah kombinasi demikian akan
meningkatkan risiko perdarahan (Conolly, 2006; Blackshear, 2003).
Walaupun memiliki efektivitas yang tinggi, ancaman komplikasi
perdarahan warfarin merupakan permasalahan tersendiri terutama pada pasien
usia lanjut, sehingga membatasi rekomendasi penggunaannya oleh klinisi.22
Namun studi the Birmingham Atrial Fibrillation Treatment of the Aged
(BAFTA)23, yang melibatkan 973 pasien berusia >75 tahun dengan fibrilasi
atrium, memaparkan bahwa warfarin (INR 2.0-3.0) lebih superior dibanding
aspirin (75 mg) dalam pencegahan stroke (1,8% vs 3,8 % per tahun) dan tidak
18
lebih berbahaya dibandingkan aspirin dalam menimbulkan komplikasi perdarahan
(1,9% vs 2,0% per tahun). Dengan demikian, pada kelompok usia berapapun,
manfaat dari terapi warfarin secara terkontrol melebihi risiko yang dapat
ditimbulkannya. Warfarin dengan target INR lebih rendah (kisaran 1.6-2.5) dapat
diberikan sebagai pencegahan primer tromboembolik bagi pasien fibrilasi atrium
yang berusia >75 tahun dan tidak bisa mentoleransi antikoagulan pada target INR
2.0-3.0 (Garcia, 2007; Fuster, 2006).
Terapi antikoagulan harus tetap dilanjutkan hingga minimal 1 bulan
setelah irama sinus tercapai pada strategi rhythm control karena butuh waktu
untuk menormalkan kembali fungsi mekanik dari atrium walaupun reversi telah
tercapai. Dalam kasus penghentian temporer antikoagulan oral diperlukan untuk
prosedur operasi atau invasif lainnya, terapi dengan heparin unfractionated atau
low-molecular-weight perlu dipertimbangkan, terutama bagi pasien yang berisiko
tinggi tromboembolik. Permasalahan lainnya adalah terapi pasien dengan fibrilasi
atrium pasca sindrom koroner akut maupun Primary Coronary Intervention (PCI).
Panduan ACC/AHA/ESC tahun 2006 merekomendasikan pemberian aspirin dosis
rendah (<100 mg/hari) atau klopidogrel (75 mg/ hari), atau keduanya, bersamaan
dengan terapi antikoagulan untuk pencegahan kejadian iskemia miokard ulangan.
Sebagai terapi rumatan, panduan yang sama merekomendasikan klopidogrel (75
mg/hari) plus warfarin (INR 2.0- 3.0) (Fuster, 2006).
9. KOMPLIKASI
Pasien dengan fibrilasi atrium baik jenis paroksismal maupun persisten
memiliki peningkatan risiko terkena stroke. Fibrilasi atrium merupakan penyebab
paling sering kejadian stroke emboli pada pasien usia lanjut, dengan peningkatan
risiko stroke lima kali lebih besar dibandingkan dengan faktor-faktor risiko lain
seperti penyakit jantung koroner, hipertensi maupun gagal jantung kongestif.11
Disamping itu, fibrilasi atrium juga menyebabkan kasus stroke yang lebih berat,
yang ditandai dengan tingginya angka kematian maupun perawatan di rumah sakit
yang lebih lama dibandingkan kasus stroke dengan penyebab lainnya.12
Kebanyakan morbiditas dan mortalitas pasien dengan fibrilasi atrium merupakan
19
konsekuensi dari kejadian tromboembolisme sehingga tatalaksana prevensi
tromboembolisme merupakan suatu komponen penting dalam manajemen pasien
dengan fibrilasi atrium (Hardin, 2008; Yap, 2008).
10. KESIMPULAN
Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang banyak menimbulkan
permasalahan sebagai konsekuensinya. Deteksi serta manajemen pasien dengan
fibrilasi atrium secara akurat penting untuk dilakukan karena terkait dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas serta penurunan kualitas hidup pasien.
Pasien pada kasus ini memiliki manifestasi klinis yang umum terjadi pada
AF yaitu ditemukan dari anamnesis berupa perasaan berdebar-debar, sesak nafas
dan cepat lelah saat istirahat. Dari pemeriksaan penunjang berupa EKG ditemukan
irama yang irregular, gelombang P sulit dikenali, kompleks QRS sempit dan
interval R-R dan P-P ireguler
Rencana pengobatan yang komprehensif harus menangani tiga pilar terapi
fibrilasi atrium yaitu mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama
ventrikel dan pencegahan komplikasi tromboemboli. Dalam penatalaksanan atrial
fibrilasi perlu diperhatikan apakah pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi
ke irama sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien
yang masih dapat dikembalikan ke irama sinus perlu segera dilakukan konversi,
sedangkan pada atrial fibrilasi permanen sedikit sekali kemungkinan atau tidak
mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif pengobatan dengan menurunkan
laju irama ventrikel harus dipertimbangkan. Pada pasien kasus ini hanya dapat
dilakukan pengobatan mengontrol laju irama ventrikel menggunakan digoxin dan
pencegahan komplikasi tromboemboli.
Kebanyakan morbiditas dan mortalitas tersebut merupakan konsekuensi
dari kejadian stroke-tromboembolisme yang merupakan suatu komplikasi dari
fibrilasi atrium sehingga upaya tromboprofilaksis merupakan komponen penting
dalam manajemen fibrilasi atrium. Pemilihan terapi antikoagulan harus
mempertimbangkan segi manfaat dan risiko personal, serta membutuhkan kontrol
yang adekuat.
20
B. HIPERTIROID DISEASE
1. DEFINISI
Hipertiroid adalah respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh
metabolik hormone tiroid yang berlebihan (Sudoyo, 2006). Penyakit Graves
(goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme yang
memiliki gejala-gejala khas yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus,
oftamopati (eksoftalmus / mata menonjol) dan kadang dengan dermopati.1
2. ETIOLOGI
Lebih dari 90% hipertiroid adalah akibat penyakit Graves dan nodul
tiroid toksik. Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor
imunologis, infeksi, faktor trauma psikis, iod Basedow, penurunan berat badan
secara drastis, chorionic gonadotropin, periode post partum, kromosom X, dan
radiasi eksternal.3
3. PATOGENESIS
Kelebihan hormon tiroid akan menyebabkan kondisi hipermetabolik yang
disertai peningkatan aktifitas simpatis, sehingga menyebabakan:
a. Peningkatan cardiac output, peningkatan konsumsi oksigen,
peningkatan aliran darah tepi dan peningkatan suhu tubuh.
b. Kelebihan tiroid juga mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein: Pemecahan protein melebihi sintesis, penurunan tolertansi
glukosa, peningkatan pemecahan triglisrida (Kekurangan lipid)
Defisiensi nutrisi dan kalori.
c. Bila hipertiroid terjadi sebelum dewasakelambatan pertumbuhan
seksual. Jika terjadi setelah pubertas: menstruasi tidak tertaur,
infertility, penurunan libido 4,5
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap
antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang
limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang
disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid
sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan
21
TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi
yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas
merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme,
oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.3
4. MANIFESTASI KLINIK
a. Penderita sering secara emosional mudah terangsang (hipereksitabel), iritabel
danterus merasa khawatir dan tidak dapat duduk diam
b. Denyut nadi yang abnormal yang ditemukan pada saat istirahat dan beraktivitas;
yang diakibatkan peningkatan dari serum T3 dan T4 yang merangsang epinefrin dan
mengakibatkan kinerja jantung meningkat hingga mengakibatkan HR meningkat.
Peningkatan denyut nadi berkisar secara konstan antara 90 dan 160 kali per menit.
c. Tidak tahan panas dan berkeringat banyak diakibatkan karena peningkatan
metabolisme tubuh yang meningkat maka akan menghasilkan panas yang tinngi
d. Kulit penderita akan sering kemerahan (flusing) dengan warna ikan salmon yang
khasdan cenderung terasa hangat, lunak dan basah.
e. Adanya Tremor
f. Eksoftalmus yang diakibatkan dari penyakit graves, dimana penyakit ini otot-otot
yang menggerakkan mata tidak mampu berfungsi sebagaimana mesti, sehingga sulit
atau tidak mungkin menggerakkan mata secara normal atau sulit
mengkordinir gerakan mata akibatnya terjadi pandangan ganda, kelopak mata tidak
dapat menutup secara sempurna sehingga menghasilkan ekspresi wajah seperti
wajah terkejut.
g. Peningkatan selera makan namun mengalami penurunan berat badan yang
progresif dan mudah lelah.
h. Perubahan defekasi dengan konstipasi dan diare
22
i. Pada usia lanjut maka akan mempengaruhi kesehatan jantung.6
Gejala dan tanda hipertiroid atau tidak juga dapat dilihat atau ditentukan
dengan indeks wayne, disebut dengan Hipertiroid jika indeks ≥ 20.
Tabel 1: Indeks Wayne
No Tanda Ada Tidak Ada
1 Tyroid teraba +3 -3
2 Bising tyroid +2 -2
3 Exoptalmus +2 -
23
Indeks Wayne
NoGejala Yang Baru Timbul Dan
Atau Bertambah BeratNilai
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3
4 Kelopak mata tertinggal gerak bola mata +1 -
5 Hiperkinetik +4 -2
6 Tremor jari +1 -
7 Tangan panas +2 -2
8 Tangan basah +1 -1
9 Fibrilasi atrial +4 -
10
Nadi teratur
< 80x per menit
80 – 90x per menit
> 90x per menit
-
-
+3
-3
-
-
5. DIAGNOSIS
Sebagian dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan
dengan cara sebagai berikut:
a. Menegakkan diagnosis klinis dengan indeks diagnosis klinis
b. Memastikan tirotoksikosis dengan T4 tinggi dan TSHs tersupresi.
c. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang sering memberikan petunjuk kearah
diagnosis ini yaitu hiperkalsemi, kadar kolesterol rendah atau dibawah
normal dan alkali fosfatase meningkat.
6. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi
hormone tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid)
atau merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
24
a. Obat antitiroid
Digunakan dengan indikasi
1) Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi
yang menetap,pada pasien muda dengan struma ringan sampai
sedang dan tirotoksikosis.
2) Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum
pengobatan, atau sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat
yodium radioaktif.
3) Persiapan tiroidektomi
4) Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia.
5) Pasien dengan krisis tiroid.
Obat diberi dalam dosis besar pada permulaan sampai eutiroidisme lalu
diberikan dosis rendah untuk mempertahankan eutiroidisme.
Table 2. Obat antitiroid yang sering digunakan
Obat Dosis awal
(mg/hari)
Pemeliharaan
(mg/hari)
Karbimazol 30-60 5-20
Metilmazol 30-60 5-20
Propiltiourasil 300-600 50-200
Ketiga obat ini mempunyai kerja imunosupresif dan dapat menurunkan
konsentrasi thyroid stimulating antibody (TSAb) yang bekerja pada sel tiroid.
Obat-obatan ini umumnya diberikan sekitar 18-24 bulan. Pemakaian obat-
obatan ini dapat menimbulkan efek samping berupa hipersensitivitas dan
agranulositosis. Apabila timbul hipersensitivitas maka obat diganti, tetapibila
timbul agranulositosis maka obat dihentikan.
Efek berbagai obat yang digunakan dalam pengelolahan tirotoksikosis.
Kelompok Obat Efeknya Indikasi
Obat Anti Tiroid
Propiltiourasil
(PTU)
Menghambat
sintesis hormone
tiroid dan berefek
Pengobatan lini
pertama pada
Graves. Obat
25
Metilmazol (MMI)
Karbimazol (CMZ
MMI)
Antagonis
adrenergic-β
imunosupresif
(PTU juga
menghambat
konversi T4 T3
jangka pendek
prabedah/pra-RAI
B-adrenergic-
antagonis
Propanolol
Metoprolol
Atenolol
Nadolo
Mengurangi
dampak hormone
tiroid pada
jaringan
Obat tambahan
kadang sebagai
obat tunggal pada
tiroiditis
Bahan mengandung
Iodine
Kalium iodida
Solusi Lugol
Natrium Ipodat
Asam Iopanoat
Menghambat
keluarnya T4 dan
T3.
Menghambat T4
dan T3 serta
produksi T3
ekstratiroidal
Persiapan
tiroidektomi. Pada
krisis tiroid bukan
untuk penggunaan
rutin.
Pada pasien hamil biasanya diberikan propiltiourasil dengan dosis
serendah mungkin yaitu 200mg/hari atau lebih lagi. Pengobatan dengan
yodium radioaktif. Digunakan Y131 dengan dosis 5-12 mCi peroral. Dosis ini
dapat mengendalikan tirotoksikosis dalam3 bulan, namu 1/3 pasien menjadi
hipotiroidisme, eksaserbasi hipertiroidisme, dan tiroiditis (Sudoyo,2006).
Operasi Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme.
7. KOMPLIKASI
Krisis tiroid (Thyroid storm) merupakan eksaserbasi akut dari semua
gejala tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan
penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis
26
antara lain tindakan operatif, terapi yodium radioaktif, persalinan pada
penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara adekuat.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda
hipermetabolisme berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi:
a. Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai
41°C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis.
b. Takikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.
c. Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai
koma.
d. Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
8. KESIMPULAN
Hipertiroid adalah respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh
metabolik hormone tiroid yang berlebihan. Pengaruh hormone tiroid pada
jantung digolongkan menjadi 3 kategori: efek terhadap jantung secara
langsung, efek terhadap saraf simpatis dan efek sekunder terhadap perubahan
hemodinamik.
Hipermetabolisme di jaringan-jaringan perifer menambah beban sirkulasi
baik yang metabolik maupun yang non-metabolik (hilangnya panas),
sedangkan efek langsung dari hormon-hormon tiroid terhadap miokardium
menambah kekuatan, kecepatan dan kontraksi ventrikel. Akibatnya adalah
pekerjaan jantung dan output jantung bertambah. Selain dari itu irritability dari
atrium meningkat dan bisa menyebabkan takhidisritmia, dan yang paling
penting diantaranya adalah fibrilasi atrium.
Pemberian terapi PTU tidak selalu diberikan sebagai tahap awal pada
pasien dengan hipertiroid, namun pada pasien ini langsung diberikan terapi
PTU karena pada pasien ini terdapat atrial fibrilasi sehingga peningkatan
hormon tiroid harus segera diturunkan. PTU merupakan terapi hipertiroid
dengan cara kerja menurunkan kadar T4 secara cepat sehingga diharapkan pada
pasien ini bisa segera mencapai eutiroid untuk menghindari terjadinya
kardiomiopati akibat atrial fibrilasinya. Pemberian PTU sebaiknya maksimal 1-
27
2 minggu sampai kecepatan basal kembali normal karena penggunaan PTU
dalam waktu lama dapat menimbulkan efek hepatotoksik.
DAFTAR PUSTAKA “ ATRIAL FIBRILASI”
1. "Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc.
2008-12-04. Archived from the original on 2009-03-28.
2. ESC Guidelines. 2010. Guidelines for the Management of Atrial
Fibrilation. Diakses 5 Oktober 2012 melalui escardio.org/guidelines-
surveys/esc-guidelines/GuidelinesDocuments/guidelines-afib-FT.pdf :
European Society of Cardiology.
3. Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K (January 2003).
³Relationship between left atrial appendage function and left atrial
thrombus in patient withnonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial
flutter´.Circulation Journal 67
4. Nasution SA, Ismail D. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III :
Fibrilasi Atrial. Jakarta : FK UI, pp 1522 – 26.
5. PB PAPDI. 2005. Standar Pelayanan Medik. Jakarta : PAPDI, pp 48 – 9
6. Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes
RA danWeyman AE (1990). "Atrial enlargement as a consequence of
atrial fibrillation A prospective echocardiographic study" . Circulation 82
(3): 7927
7. Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial
fibrillationmortality: United States, 1980-1998". Am. J. Epidemiol.155
(9): 81926.
8. Olgin JE, Zipes DP. Spesific Arrhythmias Diagnosis and Treatment. In:
Libby, Bonow, Mann, Zipes editors, Braunwald’s Heart Disease. 8th
edition, Volume 1. Philadelphia; Saunders; 2007.p.863-923.
9. Prystowsky EN, Katz AM, Atrial Fibrillation. In: Topol’s Textbook of
Cardiovascular Medicine. 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2002.........64.
28
10. Scheinman MM, Atrial Fibrillation, In: Current Diagnosis and Treatment
in Cardiology. 2nd edition. McGraw-Hill /Appleton & Lange;
2002.........20.
11. Wang TJ, Parise H, Levy D. Obesity and the risk of new-onset atrial
fibrillation. JAMA 2004;292:2471.
12. Allessie M, Ausma J, Schotten U. Electrical, contractile and structural
remodeling during atrial fibrillation. Cardiovasc Res 2002;54:230–46.
13. Everett TH, Li H, Mangrum JM. Electrical, morphological, and
ultrastructural remodeling and reverse remodeling in a canine model of
chronic atrial fibrillation. Circulation 2000:102:1454-60.
14. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, Ellenbogen KA, et al. ACC/AHA/ESC
2006 Guidelines for the management of patients with atrial fibrillation: a
report of the American College of Cardiology (Writing Committee to
Revise the 2001 Guidelines for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation). Circulation. 2006;114:e257-e354.
15. Watson T, Lip GYH. Management of Atrial Fibrillation. Herz
2006:31:849–56.
16. Medi C, Hankey GJ, Freedman SB. Clinical Update: Atrial fibrillation.
MJA 2007;186(4):197-202.
17. Lip GYH, Tse HF. Management of Atrial Fibrilation. The Lancet. London:
Aug 18-Aug 24, 2007. Vol. 370, Iss. 9587;pg. 604,15pgs.
18. Blackshear JL, Safford RE. AFFIRM and RACE Trials: Implication for
the management of atrial fibrillation. Cardiac Electrophysiology Rev.
2003;7:366-9.
19. Connolly S, Pogue J, Hart RG. Clopidogrel plus aspirin versus oral
anticoagulation for atrial fibrillation in the Atrial fibrillation Clopidogrel
Trial with Irbesartan for prevention of Vascular Events (ACTIVE
W):randomised controlled trial. Lancet 2006; 367:1903-12.
20. Garcia D, Hylek E. Stroke prevention in elderly patients with atrial
fibrillation. Lancet. 2007;370,(9586);460-4.
29
DAFTAR PUSTAKA “HIPERTIROID”
1. Harrison. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa
Prof.Dr.Ahmad H. Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta :
hal 2144 – 2151
2. Sudoyo dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat
Jilid II. Pusat Penerbitan IPD FKUI. Jakarta
3. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis
dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-
Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 – 18
4. Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi
klinik Edisi 1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,
2007. Hal 220-281
5. Corwin. E J, 2001. Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta: hal 263 – 265
6. Mansjoer A, et all,2009. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3,
Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, : hal 594 – 598
7. Noer HMS. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3,
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta: hal 725 – 778
8. Price A.S. & Wilson M.L., 2005. Patofisiologi Proses-Proses
Penyakit, Alih Bahasa Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta: hal 1049 –
1058, 1070 – 1080
30
31