ancaman involusi pendidikan indonesia

41
ANCAMAN INVOLUSI PENDIDIKAN INDONESIA : Hilangnya Dimensi Budaya Oleh Rum Rosyid Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya [Suyanto, 2006:11] manusia. Dengan ilustrasi ini, maka baik pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia. “Sistem pendidikan yang dibangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman [Suyanto, 2006:11]. Kepentingan pengembangan pribadi berkaitan dengan kebutuhan diri siswa. Kebutuhan tersebut mencakup pengembangan aspek fisik, intelektual, emosional, sosial, dan vokasional. Sekolah berfungsi untuk mengembangkan aspek tersebut. Idealnya, pengembangan tersebut menyita sebagian besar program sekolah. Masyarakat memiliki kepentingan terhadap sistem pendidikan. Ia menunjukkan sekelompok masyarakat yang bercirikan budaya, kepercayaan/ agama dan bahasa yang sama. Kepentingan masyarakat dalam pendidikan bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan warisan budaya seperti adat istiadat, kesenian, bahasa, kepercayaan, peningggalan budaya, dan sebagainya. Masyarakat juga menunjukkan organisasi yang bergerak pada seluruh aspek kebutuhan hidup warganya secara ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Pendidikan berperan untuk mengembangkan organisasi tersebut. Kepentingan negara terhadap sistem pendidikan berkaitan dengan fungsinya untuk menjaga keberadaan dan integritas negara, melindungi warganya, membina persatuan dan kesatuan, menjalankan hukumnya, berhubungan dan bekerja sama dengan negara lain, dan lain sebagainya. Fungsi tersebut disampaikan kepada warganya terutama melalui pendidikan. Ketiga kepentingan tersebut diramu dan dimuatkan ke dalam kurikulum. Untuk pengembangan kurikulum, pihak kepentingan biasanya diwakilkan kepada utusan orang tua/siswa, utusan

Upload: ziyyaelhakim

Post on 23-Jun-2015

1.144 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

ANCAMAN INVOLUSI PENDIDIKAN INDONESIA : Hilangnya Dimensi BudayaOleh Rum RosyidProses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya [Suyanto, 2006:11] manusia.  Dengan ilustrasi ini, maka  baik pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia. “Sistem pendidikan yang dibangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman [Suyanto, 2006:11]. Kepentingan pengembangan pribadi berkaitan dengan kebutuhan diri siswa. Kebutuhan tersebut mencakup pengembangan aspek fisik, intelektual, emosional, sosial, dan vokasional. Sekolah berfungsi untuk mengembangkan aspek tersebut. Idealnya, pengembangan tersebut menyita sebagian besar program sekolah.Masyarakat memiliki kepentingan terhadap sistem pendidikan. Ia menunjukkan sekelompok masyarakat yang bercirikan budaya, kepercayaan/ agama dan bahasa yang sama. Kepentingan masyarakat dalam pendidikan bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan warisan budaya seperti adat istiadat, kesenian, bahasa, kepercayaan, peningggalan budaya, dan sebagainya. Masyarakat juga menunjukkan organisasi yang bergerak pada seluruh aspek kebutuhan hidup warganya secara ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Pendidikan berperan untuk mengembangkan organisasi tersebut.Kepentingan negara terhadap sistem pendidikan berkaitan dengan fungsinya untuk menjaga keberadaan dan integritas negara, melindungi warganya, membina persatuan dan kesatuan, menjalankan hukumnya, berhubungan dan bekerja sama dengan negara lain, dan lain sebagainya. Fungsi tersebut disampaikan kepada warganya terutama melalui pendidikan.Ketiga kepentingan tersebut diramu dan dimuatkan ke dalam kurikulum. Untuk pengembangan kurikulum, pihak kepentingan biasanya diwakilkan kepada utusan orang tua/siswa, utusan guru, pemerintah, ahli bidang ilmu, ahli pendidikan, stakeholders, dan sebagainya. Mereka terlibat dalam mengembangkan kurikulum tersebut pada tingkat nasional, daerah, dan sekolah.

Beberapa Kurikulum Pendidikan di Indonesia1. Kurun waktu 1945 sampai 1968 a. Kurikulum pertama ‘leer plan’Lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda leer plan artinya rencana pelajaran. lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan Rencana Pelajaran 1947, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: 1). Daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, 2). Garis-garis besar pengajaran. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah : pendidikan watak,

Page 2: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

b. Rencana Pelajaran Terurai 1952 Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. "Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran," (Djauzak Ahmad, Dirpendas periode1991-1995). Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Panca wardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

2. Kurun waktu tahun 1968 sampai tahun 1999 a. Kurikulum 1968 Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Mata pelajaran dikelompokkan menjadi 9 pokok.Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. "Hanya memuat mata pelajaran pokok saja," . Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.b. Kurikulum 1975 Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien. Menurut Drs Mudjito; Ak; Msi (Direktur Pemb. TK dan SD Depdiknas). yang melatar belakangi lahirnya kurikulum ini adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu," Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah "satuan pelajaran", yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. c. Kurikulum 1984 Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut "Kurikulum 1975 yang disempurnakan". Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran

Page 3: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Akhirnya penolakan CBSA bermunculan. d. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999 Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Sayang, perpaduan antara tujuan dan proses belum berhasil. Sehingga banyak kritik berdatangan, disebabkan oleh beban belajar siswa dinilai terlalu berat, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.

3. Kurun waktu 1999 sampai sekarang a. Kurikulum Berbasis Kompetensi Sebagai pengganti kurikulum 1994 adalah kurikulum 2004, yang disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu: pemilihan kompetensi yang sesuai; spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi; dan pengembangan pembelajaran. KBK memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman. Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Struktur kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut. Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level. Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan;Apa yang harus siswa ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?. Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian. Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator. Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?. b. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Pelaksanaan KBK masih dalam uji terbatas, namun pada awal tahun 2006, uji terbatas tersebut dihentikan. Dan selanjutnya dengan terbitnya permen nomor 24 tahun 2006 yang mengatur pelaksanaan permen nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi kurikulum dan permen nomor 23 tahun 2006 tentang standar kelulusan, lahirlah kurikulum 2006 yang pada dasarnya sama dengan kurikulum 2004. Perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu jiwanya desentralisasi sistem pendidikan. Pada kurikulum 2006, pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah

Page 4: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

dan daerahnya. Hasil pengembangan dari semua mata pelajaran, dihimpun menjadi sebuah perangkat yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Penyusunan KTSP menjadi tanggung jawab sekolah di bawah binaan dan pemantauan dinas pendidikan daerah dan wilayah setempat. Pertanyaan yang timbul : Apakah sistem pendidikan pada tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah sekarang, sudah menerapkan suatu proses pembelajaran dan penilaian yang berorientasi pada kompetensi?.

Dampak kebijakan pendidikan nasional yang dibuat pemerintah sering kali tak diperhitungkan jauh ke depan. Hal itu lebih karena kebijakan pendidikan nasional lebih didasarkan pada kepentingan politik pemerintah saat itu daripada untuk kepentingan pendidikan berkualitas bagi anak bangsa. “Karena pendidikan itu lebih bergantung pada struktur kekuasaan yang ada, maka kemajuan pendidikan bangsa ini juga sangat bergantung pada komitmen politik pemerintah. Jika komitmen politik itu rendah, ya, pendidikan kita tidak akan berubah. Akan terus jauh ketinggalan dari negara-negara lain,” kata tokoh pendidikan HAR Tilaar di Jakarta (Kompas, 8 Agustus 2007). Tilaar menyampaikan pandangannya mengenai pendidikan Indonesia dewasa ini dalam acara Principal’s Chat 2007 yang digelar Bina Nusantara (Binus) International. Acara ini merupakan forum diskusi tahunan antara Binus International dan guru serta kepala SMA di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.Menurut guru besar (emeritus) Universitas Negeri Jakarta ini, kuatnya kepentingan politik dalam kebijakan pendidikan nasional itu bukan saja bisa dilihat dari bergonta-gantinya kebijakan pendidikan setiap kali pemerintahan selesai. Ini mengingat, banyak kebijakan pendidikan pada tingkat nasional maupun lokal juga tidak didukung dari hasil penelitian di lapangan, yaitu dalam situasi pembelajaran di sekolah dan masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, kebijakan ujian nasional (UN) yang sampai sekarang masih kontroversial, menurut Tilaar, bukanlah kebijakan yang sangat strategis untuk peningkatan kualitas lulusan pendidikan di Indonesia. Namun, kebijakan itu terus dipaksakan tanpa melihat dampaknya jauh ke depan bagi proses pendidikan secara menyeluruh.

Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-pernyataan berikut ini. Carter V. Good (1959) (dalam Imron, 2002:18) menyatakan, Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within institutionalized adecation as a general plan for guiding decision regarding means of attaining  desired educational objectives.Kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.Hal menarik lainnya dapat disimak dalam sebuah konstitusi Jepang, yakni Undang-Undang Pendidikan yang ditetapkan pada Tahun 1947. Pokok-pokok undang-undang tersebut adalah i) Prinsip Legalisme, ii) Prinsip Administrasi yang Demokratis, iii) Prinsip Netralitas, iv) Prinsip Penyesuaian dan Penetapan Kondisi Pendidikan, dan v) Prinsip Desentralisasi. (Research and Statistic Planning Division, Ministry of Education, Science, Sports and Culture of Japan, 2000).

Page 5: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

Prinsip yang pertama menetapkan bahwa mekanisme pengelolaan diatur dengan undang-undang dan peraturan-peraturan. Sebelum Perang Dunia II masalah pendidikan diputuskan oleh Peraturan Kekaisaran dan pendapat parlemen dan warga negara diabaikan. Namun, setelah reformasi pendidikan pasca perang urusan pendidikan diatur oleh undang-undang dan peraturan di parlemen. Prinsip kedua mengindikasikan bahwa sistem administrasi pendidikan harus dibangun berdasarkan konsensus nasional dan mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi kebijakan pendidikan dan prosesnya. Prinsip ketiga menjamin bahwa kewenangan pendidikan harus independen dan tidak dipengaruhi dan diinterfensi oleh kekuatan politik. Prinsip keempat mengidikasikan bahwa pemegang kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan yang cukup untuk mencapai tujuan pendidikan. Prinsip kelima menyatakan bahwa pendidikan harus dikelola berdasarkan otonomi pemerintah lokal karena pendidikan merupakan fungsi dari pemerintah lokal. Nah, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat.

HAR Tilaar mengatakan bahwa dalam perkembangan zaman yang sangat cepat dewasa ini, kebijakan pendidikan Indonesia memang tepat diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan. Apalagi jika melihat dari laporan UNDP tahun 2006, yang menempatkan indeks pembangunan manusia Indonesia di peringkat ke-108 dari 177 negara. Sayangnya, peningkatan mutu itu sering kali dicapai dengan kebijakan yang tidak berakar dari guru, kepala sekolah, dan masyarakat itu sendiri. Akibatnya, pemerintah masih terus saja berjalan dengan kebijakan yang coba-coba dan berganti-ganti, hanya berdasarkan asumsi.Kebijakan-kebijakan pendidikan maupun praksis pendidikan berdasarkan pada asumsi yang kurang jelas, bukan berdasarkan situasi belajar dan pembelajaran anak Indonesia. “Kita memang bisa belajar dari sumber-sumber ilmu pengetahuan dari bangsa- bangsa yang lain. Akan tetapi, semua itu tetap perlu dicek dan divalidasi dalam situasi konkret di dalam masyarakat Indonesia,” kata Tilaar. Kebijakan nasional yang juga mendapat sorotan Tilaar adalah upaya meningkatkan profesionalisme guru dan pelaksanaan Kurikulum 2006 yang lebih dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Menurut Tilaar, kebijakan ini merupakan upaya yang baik dalam pelaksanaan reformasi pendidikan di Tanah Air. Namun, sering kali pemerintah tidak juga belajar dari masa lalu, dengan mengambil kebijakan yang tergesa-gesa, tanpa persiapan.“Seharusnya peluncuran suatu kurikulum baru perlu dilaksanakan dengan persiapan yang matang. Selain persiapan gurunya, juga sarana-sarana penunjang lainnya. Akan tetapi, seperti juga perubahan-perubahan kurikulum nasional sebelumnya, kedatangan KTSP ini merupakan suatu surprise sehingga menimbulkan kegamangan pada guru di lapangan,” kata Tilaar.Dalam penyesuaian kurikulum dengan tuntutan lokal yang menjadi jiwa KTSP, ternyata soal muatan lokal hanya dialokasikan dua jam pelajaran. Seharusnya muatan lokal yang bukan dalam pengertian sempit itu merupakan roh dari keseluruhan KTSP. Dengan kata lain, seluruh mata pelajaran haruslah disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan.

Page 6: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

Strategi Pembangunan PendidikanIndonesia, telah memiliki sebuah sistem pendidikan dan telah dikokohkan dengan UU No. 20 tahun 2003.  Pembangunan pendidikan di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan empat strategi dasar, yakni; pertama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga, peningkatan kualitas pendidikan, dan keempat, efisiensi pendidikan.  Secara umum strategi itu dapat dibagi menjadi dua dimensi yakni peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. Pembangunan peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas pendidikan. Sedangkan kebijakan pemerataan pendidikan diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah [Hujair AH. Sanaky, 2003:146]. Dari sini, pendidikan dipandang sebagai katalisator yang dapat menunjang faktor-faktor lain.  Artinya, pendidikan  sebagai upaya pengembangan sumberdaya manusia [SDM] menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.

Kebijakan Pendidikan Untuk menjamin kesempatan memperoleh pendidikan  yang merata disemua kelompok strata dan wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya perlu strategi dan kebijakan pendidikan, yaitu : [a] menyelenggarakan pendidikan  yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan global, [b] menyelenggarakan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan [accountable] kepada masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, [c] menyelenggarakan proses pendidikan yang demokratis secara profesional sehingga tidak mengorbankan mutu pendidikan,  [d] meningkatkan efisiensi internal dan eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, [e] memberi peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa Indonesia, [f] secara bertahap mengurangi peran pemerintah menuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem pendidikan, [g] Merampingkan birokrasi pendidikan sehingga lebih lentur [fleksibel] untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika perkembangan masyarakat dalam lingkungan global [Kelompok Kerja Pengkajian, dalam Hujair AH. Sanaky, 2003:146]. Empat strategi dasar kebijakan pendidikan yang dikemukakan di atas cukup ideal. Tetapi Muchtar Bukhori, seorang pakar pendidikan Indonesia,  menilai bahwa kebijakan pendidikan kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang elite dengan kurikulum yang elitis yang hanya dapat ditangkap oleh 30 % anak didik”, sedangkan 70% lainnya tidak bisa mengikuti [Kompas, 4 September 2004]. Dengan demikian, tuntutan peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, efisiensi pendidikan, dan  pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, belum terjawab dalam kebijakan pendidikan kita. Kondisi ini semakin mempersulit mewujudkan pendidikan yang egalitarian dan SDM yang semakin merata di berbagai daerah.  Proses menuju perubahan sistem pendidikan nasional banyak menuai kendala serius. Apalagi ketika membicarakan konteks pendidikan nasional sebagai bagian dari pergumulan ideologi dan politik penguasa.  Problem-problem yang dihadapi seringkali berkaitan dengan kebijakan-kebijakan [policies] yang sangat strategis.  Maka, dalam konteks kebijakan pendidikan nasional, menurut Suyanto, banyak pakar dan praktisi pendidikan mengkritisi pemerintah, dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat untuk

Page 7: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

membenahi sistem pendidikan nasional” [Suyanto,2006:x-xi]. Artinya, kebijakan-kebijakan pendidikan kita, kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Hal ini,  “terutama berkaitan dengan anggaran pendidikan nasional yang semestinya sebesar minimal 20%, diambil dari APBN dan APBD [pasal 31 ayat 4 UUD Amandemen keempat].  Tetapi, sampai sekarang kebijakan strategi belum dapat diwujudkan sepenuhnya, pendidikan nasional masih menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak mampu mengecap pendidikan di sekolah” [Suyanto, 2006:xi].

Pada dasarnya, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia 2004-2009--yang memiliki orientasi basis ekonomi sesuai dengan Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005-2009--mengacu pada amanat UUD 1945, amandemen ke–4 pasal 31 tentang Pendidikan; Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggara Kementerian/Lembaga, dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan; baik di tingkat makro (nasional); tingkat messo (daerah); dan tingkat mikro (satuan pendidikan).Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-Republik Indonesia (RI) sebagai sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan paling tinggi di Indonesia tentunya sangat memperngaruhi eksistensi dan prosesi pendidikan yang diharapkan memiliki standar mutu yang layak di dalam lingkungan masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Kemudian keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden, Eksekutif nomor satu yang dibantu oleh Wakil Presiden; jajaran Kementerian; dan jajaran badan/lembaga kelengkapan eksekutif negara---adalah para pembuat kebijakan yang bisa mempengaruhi dunia pendidikan Indonesia.Namun, khususnya pada tingkat makro, para pengambil keputusan khusus masalah pendidikan di tingkat DPR RI adalah Komisi X DPR RI Presiden RI, dan Menteri Pendidikan Nasional RI (pemimpin Departemen Pendidikan Nasional).Sehingga, segala bentuk kebijakan pendidikan nasional yang dihasilkan oleh ketiga elemen ini akan mempengaruhi kebijakan pendidikan di seluruh daerah dan seluruh satuan pendidikan di Indonesia.

Adapun, dengan peran pengambil kebijakan yang bisa mempengaruhi masalah pendidikan di tingkat daerah ialah DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda). Khususnya dalam masalah pendidikan, posisi Komisi E di DPRD dan Dinas Pendidikan di Pemda sangatlah berperan untuk memfasilitasi adanya pemberlakuan kebijakan pendidikan di

Page 8: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

tingkat daerahnya masing-masing yang didasari oleh peraturan perundang-undangan dari hasil permusyawaratan policy maker nasional.Akhirnya, keberadaan satuan pendidikan pun tak kalah pentingnya untuk membuat kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi fenomena pendidikan yang berlangsung di satuan pendidikannya masing-masing. Berikut ini adalah ilustrasi berupa bagan tentang anatomi kebijakan pendidkan nasional berdasarkan kajian terhadap data Renstra Pendidikan Nasional 2005-2009 dan aspek empirik yang tengah berlangsung saat ini di Indonesia dengan konsentrasi khusus untuk pengaturan pendidikan dasar dan menengah.

Program Penelitian Kebijakan PendidikanProgram Penelitian Kebijakan Pendidikan (PPKP) diselenggarakan sebagai usaha untuk melakukan penilaian dan pengukuran terhadap kebijakan pendidikan dalam lingkungan PTAI (internal) dan penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan yang menjadi tugas fungsional Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam (eksternal). Atau disinergikan dengan program penelitian yang dirancang Badan Penelitian dan Pengembangan Agama dan Pendidikan dan Latihan Keagamaan (Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan). Program ini terdiri atas empat paket, yakni: Penelitian Bahan Kebijakan (PBK). Penelitian Koherensi Kebijakan (PKK) atau Analisis Kebijakan. Penelitian Pelaksanaan Kebijakan (PPK) atau Evaluasi Formatif. Penelitian Hasil Kebijakan (PHK) atau Evaluasi Sumatif. PBK diarahkan untuk menghimpun informasi, gagasan, dan potensi bagi perumusan kebijakan. PKK diarahkan untuk memahami dan menilai koherensi kebijakan, baik vertikal maupun horizontal. PPK diarahkan untuk menilai unsur penunjang dan penghambat pelaksanaan kebijakan, internal maupun eksternal. PHK diarahkan untuk mengukur tingkat keberhasilan kebijakan yang dioperasionalisasikan dalam bentuk program (proyek) pengembangan, disertai kriteria, indikator, dan tolok ukur tertentu.Pertelaan Program ini adalah sebagai berikut:Tujuan : Memacu partisipasi dosen dan peneliti dalam proses pengembangan pendidikan (penggalian potensi pengembangan pendidikan, pengembangan program pendidikan, dan penilaian program pengembangan pendidikan). Pelaksana : Dosen dan peneliti lintas bidang keahlian (ilmu). Pengelola : Lembaga/Pusat Penelitian/P3M. Sifat : Kolektif (interdisipliner). Waktu : Satu tahun anggaran, atau berlanjut sesuaikebutuhan. Tahapan : a. Penawaran bantuan penelitian kebijakan pendidikan.b. Pengajuan usulan penelitian.c. Seleksi usulan penelitian.d. Penilaian usulan penelitian.e. Pengumuman usulan yang diterima dan yang ditolak.f. Presentasi usulan penelitian melalui workshop.g. Penandatanganan kontrak bantuan penelitian.

Page 9: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

h. Pelaksanaan penelitian.i. Pemantauan penelitian oleh Tim Ahli.j. Penilaian terhadap hasil penelitian melalui seminar.k. Pelaporan pelaksanaan penelitian.l. Tindak lanjut hasil penelitian (dengan rekomendasi Tim Ahli).m. Publikasi hasil penelitian melalui jurnal atau dalam bentuk buku.7. Keterangan: Dapat disusun skala prioritas tertentu, terutama yang dipandang layak untuk diselenggarakan penelitian berjangka secara berkelanjutan (longitudinal research).

Kebijakan Otonomi Pendidikan Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional.  Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan kita [Suyanto, 2006:xi]. Sistem pendidikan kita pun menyesuaikan dengan model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang pendidikan [otonomi pendidikan] kemudian banyak membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan kita. Pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan di Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah baik yang bersifat konseptual maupun masalah yang bersifat faktual. Demikian diutarakan Dr Baedhowi saat mempertahankan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang Ilmu Administrasi pada Universitas Indonesia, di Kampus UI Depok.

Menurut Baedhowi, masalah konseptual berkaitan dengan berbagai masalah inheren yang terdapat dalam otonomi konsep otonomi daerah seperti kebijakan otonomi daerah dapat diintepretasikan sebagai otonomi yang seluas-luasnya yang memisahkan kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat secara rigid. Kedua, tidak ada hubungan hierarkhis pemerintah antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi. Selain itu tidak ada hubungan yang jelas antarpemerintah di satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya.Sementara itu, masalah faktual yang muncul dalam implementasi kebijakan otonomi daerah, lanjutnya, antara lain daerah tidak merasa siap menerima satuan kerja pusat yang telah diserahkan ke daerah dan secara sepihak mengembalikannya ke pusat. Baedhowi mengatakan, daerah melakukan pengambilalihan satuan kerja pusat yang tidak diserahkan ke daerah. Daerah juga tidak mengelola dengan benar satuan kerja yang telah diserahkan dan telah menjadi satuan kerja daerah. Ia menulis disertasi dengan judul Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan, Studi Kasus di Kabupaten Kendal Dan Kota Surakarta. ”Jika permasalahan tersebut tidak segera ditangani, dikhawatirkan desentralisasi pengelolaan pendidikan akan membawa dampak negatif yang lebih kompleks seperti merosotnya mutu pendidikan dan disintegrasi bangsa,” ujarnya. ”UU Sistem Pendidikan Nasional memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaraan otonomi daerah di bidang pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan nasional dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia,” kata Baedhowi yang juga Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.

Page 10: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

UU Nomor 22 Tahun 1999 Otonomi Daerah secara otomatis merubah semua tatanan kebijakan seluruh negeri ini. Termasuk kebijakan tentang pendidikan. Semua kebijakan, kini tidak lagi 100% ditangani pemerintah pusat. Tapi diselaraskan dengan kearifan lokal. Memang, kebijakannya tetap dari pusat tapi setelah mempertimbangkan segala persoalan dari daerah. Sederhananya, pusat hanya memfasilitasi saja. Menyelaraskan kebijakan dengan kearifan lokal tentu tidak mudah. Jika dulu mungkin agak lebih enteng karena bentuk kebijakan itu dari pusat dan daerah mana pun harus menerimanya. Untuk saat ini tentu tidak mudah, butuh tenaga yang ekstra dalam membahas persoalan-persoalan daerah yang akan dibuat kebijakan.Berangkat dari sini, Dr Baedhowi, melihat perlu ada semacam pemaparan komprehensif untuk menjelaskan konsep dasar dan implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan. Staf ahli Menteri Pendidikan Nasional bidang Pengembangan Kurikulum dan Media Pendidikan ini memaparkannya. Di antaranya mengenai konsep, pengalaman di beberapa negara, baik-buruk, implementasi serta pengawasan otonomi pendidikan. Mengenai konsep, tentang perlunya kebijakan otonomi pendidikan, dipandang Baedhowi perlu karena daerah lebih accountable dan efektif dalam mengelola pendidikan. Berbeda jauh dibanding masa sentralisasi pendidikan, dengan birokrasi berbelit dan panjang. Menurut Baedhowi ada keuntungan fundamental memakai sistem desentralisasi. Yakni dalam mempertimbangkan kebijakan yang akan dipusatkan. “Jika keputusan berangkat dari daerah, keuntungannya daerah lebih mengetahui persoalan pendidikan di wilayahnya, ketimbang pusat,” kata Baedhowi.

Dalam Undang-Undang Sisdiknas yang disahkan tanggal 11 Juni 2003, terdapat paling kurang sembilan belas pasal yang menggandengkan kata pemerintah dan pemerintah daerah, yang konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam pembangunan pendidikan hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan kepentingan lokal (daerah) sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing peserta didik, dilaksanakan secara efisien dan efektif. Mulai dari hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, sampai kepada hak regulasi dalam mengatur sistem pendidikan nasional.

Secara singkat dapat disebutkan, misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 10 disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Pada Pasal 44 ayat (1) disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Ayat (3) pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarkan oleh masyarakat.

Selanjutnya pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD. Ayat (4) dana pendidikan dari pemerintah kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan

Page 11: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebenarnya masih banyak pasal yang menjelaskan peranan pemerintah dan pemerintah daerah, namun dari beberapa pasal yang dijelaskan di atas, kiranya cukup menggambarkan hak dan kewajiban pemerintah maupun pemerintah daerah dalam sistem pendidikan nasional.

Pemberian aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam Undang-Undang Sisdiknas, diharapkan nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan lebih efektif jika dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, berbeda satu sama lain. Itulah sebabnya pada Pasal 50 ayat (4) disebutkan bahwa pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mengelola satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

Memang belum ada hasil signifikan terkait dengan kebijakan otonomi. Sebagai acuan, pengalaman otonomi pendidikan di sejumlah negara seperti, Selandia Baru, Spanyol, Brasil, Meksiko, dan Zimbabwe, hasilnya cukup memuaskan. Di Selandia Baru misalnya, desentralisasi difokuskan pada pemangkasan manajemen lapisan tengah birokrasi pendidikan dan menyerahkan urusan pendidikan pada level sekolah. Komitmen pemerintah ditunjukkan dengan kebijakan mengurangi jumlah pegawai pusat departemen pendidikan, menghapus seluruh administrasi tingkat daerah, serta menyerahkan tanggung jawab alokasi anggaran, pengaturan pegawai, dan pengambilan keputusan di bidang pendidikan pada masing-masing sekolah. Pelaksanaan otonomi pendidikan di Selandia Baru menunjukan tingkat keberhasilan cukup signifikan.Keberhasilan Selandia Baru bisa dilihat dari implementasi desentralisasi pendidikan. Mereka memulai dengan reformasi administrasi. Lalu diikuti reformasi pedagogis yang tercermin pada konsensus luas tentang tujuan utama kurikulum nasional, sekaligus memberi peluang sekolah setempat menambahkan muatan lokal. Namun kebijakan seperti itu bukan berarti tak ada sisi negatifnya. Di Spanyol, kebijakan ala Selandia Baru membuat banyak dewan sekolah lamban menyesuaikan diri dengan pendekatan manajemen baru di tingkat sekolah.

Otonomi yang didasarkan pada   UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat kaitanya dengan desentralisasi. Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas, demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-insan yang “berkualitas”. Oleh karena itu, dilakukan rekonstruksi dan reformasi dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah dirumuskan misi pendidikan nasional kita,  yaitu mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia [Soedjiarto,1999].     Untuk mewujudkan misi tersebut mesti diterapkan arah kebijakan sebagai berikut, yaitu :  [1] perluasan dan pemerataan pendidikan. [2] meningkatkan kemampuan akademik dan profesionalitas serta kesejahteraan tenaga kependidikan, [3] melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikan nasional termasuk dalam bidang kurikulum, [4]

Page 12: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

memberdayakan lembaga pendidikan formal dan PLS secara luas, [5] dalam realisasi pembaharuan pendidikan nasional mesti berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen, [6] meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa [Soedjiarto, 1999].

Otonomi perguruan tinggiOtonomi pendidikan khususnya otonomi perguruan tinggi yang dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 yang muncul bersamaan dengan ketentuan otonomi daerah sebenarnya mengandung hal-hal yang positif. Otonomi itu sendiri dapat diartikan suatu keadaan yang independen, bebas, atau tidak terikat. Dalam konteks pendidikan khususnya perguruan tinggi, otonomi itu dapat dikaitkan dengan kebebasan akademik yang artinya sebuah institusi perguruan tinggi bebas mengelola pendidikannya sendiri sesuai dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapainya. Bagi perguruan tinggi negeri yang selama ini masih bergantung kepada pemerintah, dengan adanya otonomi maka PTN itu harus bisa menjalankan sistem pendidikannya secara mandiri dengan tidak sepenuhnya lagi bergantung kepada pemerintah. Otonomi ini juga dianggap sebagai tuntutan kemajuan zaman bahkan persiapan menuju era globalisasi dan pasar bebas yang mau tidak mau akan kita masuki. Singkatnya, otonomi PTN atau otonomi kampus memiliki tujuan untuk mewujudkan sistem pendidikan yang lebih baik demi menghasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang handal di masa mendatang. Dan sebagai tahap awal dari realisasinya, empat PTN yaitu UI, ITB, IPB, dan UGM akan dijadikan pilot project dari pelaksanaan otonomi kampus.

Otonomi kampus yang belum sepenuhnya berjalan dan masih lebih banyak berada dalam tataran konsep telah menimbulkan permasalahan-permasalahan, khususnya ketidaksetujuan pada banyak kalangan mahasiswa. Walaupun dalam otonomi itu terdapat banyak aspek yang mempengaruhi sistem pendidikan, namun yang paling disorot dalam otonomi kampus adalah permasalahan yang sangat klasik yaitu soal dana. Dengan adanya otonomi yang diartikan penghentian ketergantungan kepada pemerintah, juga diartikan bahwa perguruan tinggi harus dapat mencari sumber pendanaan sendiri untuk menjalankan pendidikannya. Masalah pun timbul karena untuk mencukupi anggaran dana untuk pendidikannya pergurun tinggi terpaksa harus menaikkan biaya pendidikan, dan inilah yang diprotes oleh kalangan mahasiswa dan menganggap otonomi malah menimbulkan beban yang berat dari segi finansial karena ketidakkreatifan dari birokrat kampus dalam mencari dana dan akhirnya dibebankan kepada mahasiswa.

Di UI sendiri, hal ini pun telah dirasakan oleh para mahasiswa mulai angkatan ’99 di mana mereka dikenakan Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar Rp 1.000.000,00 untuk fakultas-fakultas eksakta dan Rp 750.000,00 untuk fakultas-fakultas noneksakta yang harus dibayar setiap semester selain SPP dan DKFM. Di sisi lain, munculnya ide otonomi pendidikan di masa Indonesia sedang dihantam krisis ekonomi berkepanjangan ini lalu diartikan juga sebagai ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan dana kepada dunia pendidikan akibat krisis. Anggaran subsidi pendidikan

Page 13: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

yang jumlahnya kecil pun terpaksa harus dipangkas lagi agar tidak terlalu membebani APBN. 

Padahal tujuan otonomi pendidikan itu sangat luhur dan mulia karena bercita-cita dapat mengangkat mutu pendidikan bangsa kita. Dan pemerintah pun seharusnya memiliki perhatian yang besar agar pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat bangsa ini sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31. Jadi, otonomi pendidikan itu sebenarnya sebagai pembebas atau justru penindas. Dikatakan pembebas karena dengan adanya otonomi pendidikan dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi dapat menyelenggarakan sistem pendidikannya secara bebas sesuai dengan tujuan, kebutuhan, dan tuntutan kemajuan zaman. Sistem pengajaran, kurikulum, metode, dan ilmu yang diberikan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tidak lagi sepenuhnya mengacu kepada ketentuan baku dan tunggal yang ditetapkan pemerintah.

Dengan demikian dunia akademis yang sehat dengan kreativitas dan daya kritis yang tinggi dari para peserta didik dapat tercapai, akhirnya cita-cita untuk dapat menghasilkan sebuah mutu pendidikan yang baik pun akan tercapai. Di sisi lain otonomi pendidikan dikatakan sebagi penindas karena otonomi justru menimbulkan beban dari segi finansial karena otonomi diartikan sebagai pembebanan dana pendidikan kepada peserta didik yang akhirnya pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sebagian kalangan yang berpunya saja.

Liberalisasi Pendidikan Beberapa kalangan pakar dan praktisi pendidikan, mencermati kebijakan otonomi pendidikan sering dipahami sebagai indikasi kearah “liberalisasi” atau lebih parah lagi dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi pendidikan”. Hal ini, menurut Suyanto, semakin dikuatkan dengan terbentuknya Badan Hukum Pendidikan [BHP] yang dibekukan, oleh beberapa pengamat dianggap sebagai pengejawantahan dari sistem yang mengarah pada “liberalisasi pendidikan” [Suyanto, 2006:xi]. Menurut Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau BHP melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi. Menurutnya era BHP mengedepankan kemandirian perguruan tinggi dalam aspek manajemen administrasi keuangan, sumber daya manusia, dan akademik. Dalam hal mendirikan program studi baru serta menjalin kerja sama dengan institusi asing, setiap perguruan tinggi bebas dari intervensi birokrasi pemerintah. Termasuk di dalamnya untuk kegiatan riset unggulan.

Pendanaan yang minim dianggap sebagai sumber utama terpuruknya pendidikan nasional. Berbagai masalah akut, seperti buruknya sarana dan prasarana sekolah, tingginya murid drop out, serta guru yang tidak berkualitas, ditengarai disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang disediakan. Hal inilah yang selalu didengung-dengungkan ketika ada kritikkan tentang dunia pendidikan kita. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Seperti tertuang dalam lembar penjelasan atas RUU BHP tersebut, lembaga pendidikan diharapkan kemampuannya secara mandiri dan bertanggung jawab memanfaatkan sumber daya

Page 14: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

pendidikan. Hal tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan proses pembelajaran yang menghasilkan keluaran bermutu. Dalam konteks BHP kelak menjadi lembaga nirlaba - juga berarti BHP sebagai legal entity yang berbadan hukum, lebih mengutamakan upaya peningkatan mutu daripada mencari keuntungan. Jika ada hasil usaha, maka dana itu diinvestasikan untuk upaya peningkatan mutu dan tidak akan dikenai pajak. Sementara pengelolaan secara korporatif, dimaksudkan sebagai upaya mendorong kemandirian lembaga pendidikan.

Prinsip kemandirian sebagai entitas legal, BHP dapat bertindak sebagai subjek hukum mandiri. Dengan demikian, BHP dapat mengikatkan diri melalui perjanjian dengan pihak lain yang berkonsekuensi kepada kekayaan, hak, utang atau kewajiban. BHP harus pula membukukan kekayaan utang dan hasil operasinya dengan menerapkan standar akuntansi yang berlaku. Mereka juga harus siap diaudit oleh lembaga independen atau akuntan publik atas biaya sendiri. Yang ironis, model yang ada dalam RUU BHP justru mempersempit ruang bagi seluruh warga negara untuk mengenyam layanan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Istilah privatisasi pasti kental dengan pendekatan modal. Sebagai pranata yang lekat dengan kepentingan publik, tidaklah pantas lembaga pendidikan berhitung-hitung dengan modal seperti layaknya lembaga bisnis. Sama halnya dengan layanan kesehatan, sektor pendidikan pun hendaknya dianggap sebagai hak dasar bagi setiap warga negara di mana pemerintah wajib memenuhinya. Jika model pelayanan di sektor tersebut sudah terjerumus pada privatisasi, taruhannya adalah pada generasi penerus bangsa. Privatisasi itu memang berangkat dari konsep liberalisme dan kapitalisme, di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi perputaran modal. Konsekuensi logis dari privatisasi saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana. Saat ini saja perguruan tinggi negeri (PTN) sudah berlomba-lomba membuka program studi baru, seperti diploma dan ekstensi, yang nyata-nyata kian "membunuh" keberadaan perguruan tinggi swasta.

Pendidikan Indonesia Alami Proses InvolusiPendidikan Indonesia tengah mengalami proses involusi dan bergerak tanpa arah yang jelas. Dari hari ke hari manusia yang terlibat dalam pendidikan bukannya tumbuh kian cerdas, tetapi mutunya semakin menurun meski input fasilitas fisiknya terus bertambah. Ketidakjelasan arah pendidikan itu menyebabkan pendidikan di Indonesia tidak kompetitif lagi dibandingkan dengan pencapaian negara-negara lain, bahkan di wilayah Asia Tenggara sekalipun. "Kebijakan pendidikan kita tidak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang elite eksklusif dengan kurikulum elitis yang hanya bisa ditangkap oleh 30 persen anak didik," kata Dr Mochtar Buchori, mantan Rektor IKIP Muhammadiyah Jakarta, Jumat (3/9).

Keprihatinan terhadap pendidikan Indonesia yang bergerak tanpa arah yang jelas, kegagalan perguruan tinggi yang diunggulkan di dalam negeri berkompetisi di tingkat global dan regional, bahkan pencapaian kuantitatif pendidikan Indonesia yang mulai dikejar negara-negara kecil, yang selama ini tidak diperhitungkan, muncul pula dalam

Page 15: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

diskusi panel ahli yang diselenggarakan redaksi Kompas baru-baru ini.

Liputan pendidikan sejumlah wartawan Kompas ke sejumlah negara makin mengukuhkan keprihatinan itu. Dr Francis Wahono, aktivis organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan di masyarakat bawah, mengemukakan, apabila proses involusi yang tengah terjadi dalam pendidikan di Indonesia dibiarkan terus berlangsung, dalam kurun waktu tujuh sampai sepuluh tahun mendatang Indonesia akan menjadi bangsa paria di kawasan Asia Tenggara. "Kinerja sektor pendidikan kita sungguh mengenaskan. Indeks pembangunan manusia (HDI), yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-111, mencerminkan betapa miskinnya pemikiran dan kacaunya penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air," kata Wahono.

Staf Ahli Menteri Pendidikan Nasional Ace Suryadi mengatakan, investasi pendidikan yang dilakukan sejak pemerintahan Soeharto telah salah kaprah. Perluasan pendidikan tanpa memerhatikan mutu-seperti pada masa Orde Baru-jika dilanjutkan hanya akan menabrak batu. Menurut Ace, sejak reformasi bergulir sampai sekarang belum ada restrukturisasi program pendidikan yang berarti. Penambahan dana pendidikan saja, jika tanpa diikuti restrukturisasi dalam proses pembangunan pendidikan, tak akan banyak memperbaiki situasi pendidikan di Indonesia.

"Dari dulu sampai sekarang, kebijakan pendidikan kita masih terlalu umum. Belum ada kebijakan besar dalam pendidikan, misalnya untuk mengejar keunggulan sampai tahun 2020," kata Ace. Menurut Buchori, sistem pendidikan yang diberlakukan saat ini merupakan kelanjutan dari sistem yang bersifat elitis eksklusif. Kurikulum hanya bisa diikuti oleh 30 persen dari peserta didik, sedangkan 70 persen lainnya tak bisa mengikuti. Ketika jumlah yang 70 persen itu dipaksakan terus mengikuti, terjadi pengatrolan-pengatrolan dan sebagainya, yang merusak nilai-nilai pendidikan.

Untuk menyelenggarakan pendidikan yang baik dan bersifat massal, lanjut Buchori, sistem itu harus diubah. Pendidikan dibagi menjadi dua jalur: jalur anak-anak berbakat dan jalur untuk mereka yang memiliki kemampuan rata-rata. Untuk menopang kemajuan suatu negara, tambahnya, perlu diciptakan kelompok ilmuwan yang elitis tetapi bersifat inklusif. Suatu kelompok kecil orang-orang yang sangat pintar yang tidak arogan, peduli pada nasib orang lain, dan punya semangat egaliter. Pada lapisan lainnya adalah kelompok profesional yang andal dan masyarakat kebanyakan yang melek huruf dalam arti luas.

"Untuk menciptakan lapisan elite yang unggul memang perlu dibentuk lembaga-lembaga pendidikan yang elitis, tetapi juga memiliki semangat egaliter. Jadi, jangan terlalu berlebihan, sampai menyediakan fasilitas pacuan kuda dan lain- lainnya. Sikap berlebih-lebihan itu yang menimbulkan kesan bahwa pendidikan hanya untuk orang-orang kaya," katanya.

Guru besar bidang linguistik Prof Dr Soenjono Dardjowidjojo mengemukakan, banyak kebijakan pendidikan di Indonesia yang salah arah. Akan tetapi, menurut dia, dalam membangun pendidikan tidak perlu terlalu menyalahkan dan menggantungkan diri pada

Page 16: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

pemerintah. Di Amerika Serikat pun, kata Soenjono yang pernah memimpin sebuah jurusan di Universitas Hawaii, perguruan tinggi yang unggul justru perguruan tinggi swasta. "Untuk mengembangkan pendidikan, kita tidak bisa bergantung pada dana pemerintah. Biarkan tumbuh universitas- universitas swasta yang dikelola seperti perusahaan atau industri. Lembaga pendidikan memang harus dikelola seperti badan usaha. Asalkan dijamin bahwa keuntungannya akan dikembalikan untuk peningkatan mutu lembaga pendidikan itu," katanya.

Efektifitas dan Efisiensi system pendidikanSabtu, 27 Januari 2007, National Integration Movement (NIM) menggelar Diskusi Kebangsaan di Padepokan One Earth, Ciawi. Diskusi kali ini membahas tentang efektivitas sistem pendidikan di Indonesia dalam melahirkan manusia Indonesia yang berkarakter dan berbudaya. Sudahkah Sistem Pendidikan Kita Menciptakan Manusia Yang Berkarakter Dan Berbudaya?

Pengembangan sistem pendidikan terkini, seharusnya merupakan perubahan yang mendasar dan menyeluruh, atau lazim disebut dengan reformasi pendidikan. Namun harus diakui bahwa reformasi pendidikan itu masih banyak merupakan wacana ketimbang tindakan konkrit. Usaha reformasi belum didukung oleh konsep yang tepat dan jelas serta belum ada kebijakan yang mantap. Upaya kebudayaan pendidikan itu berupa upaya mempertajam akal (secara konqnitif), rasa (secara afektif) dan karya/ tindakan (secara psikomotorik) untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan sebagai hasil budi daya manusia seperti Ilmu Pengetahuan, Religiositas, Etika, Estetika dan Kecakapan Hidup. Tujuan dari pendidikan itu sendiri adalah mamayung hayuning salira, bangsa, manungsa/bawana, atau mencita-citakan kebahagiaan diri, bangsa, dan umat manusia sedunia.

Tapi kenyataannya di Indonesia, lebih banyak lembaga pendidikan yang diselenggarakan untuk merebut/melanggengkan kekuasaan, atau demi materialisme bagi kepentingan segelintir orang atau diri sendiri. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia sendiri susah untuk independen. Selalu saja ada campur tangan para politisi. Akhirnya pendidikan di Indonesia selalu tergantung pada penguasa yang berkuasa. Tapi karena penguasa biasanya hanya mementingkan kepentingan sendiri dan kelompok, maka jadilah sistem pendidikan di Indonesia yang hanya memfokuskan pada intelektual dan materialisme. Misalnya : sekolah yang dirancang khusus untuk mengasah kemampuan siswa dengan fasilitas serba lengkap dan tenaga pengajar yang serba pintar agar nantinya seorang siswa lulusan sekolah itu mudah mendapat pekerjaan atau menjadi kaya raya. Sekolah seperti ini sebenarnya bukanlah lembaga pendidikan, tapi sebuah usaha perdagangan “berbulu/berjubah” sekolah.

Reformasi pada hakekatnya adalah perubahan menyeluruh dan mendasar dalam segala aspek kehidupan. Perubahan menyeluruh dan mendasar ini disebut pula sebagai perubahan paradigma atau perubahan sistemik. Perubahan ini tidak sekedar menambah apa yang sudah ada seperti misalnya menambah guru dan gedung sekolah (doing more of the same thing). Perubahan semacam ini baru merupakan awal atau gelombang pertama reformasi. Gelombang perubahan kedua menambah yang sudah ada dengan yang lebih

Page 17: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

baik atau melaksanakan yang sudah pernah dilakukan dengan cara yang lebih baik. Contoh gelombang kedua ini misalnya menambah guru yang bergelar sarjana, meningkatkan syarat dosen yang bergelar Doktor, membangun gedung sekolah dilengkapi dengan penyejuk udara, atau meningkatkan efisiensi dalam kegiatan penambahan (doing more of the same but doing it better).

Pada gelombang ketiga perubahan dilakukan dengan meningkatkan efektivitas sistem yang sudah ada dengan membenahi komponen-komponen tertentu seperti misalnya mengembangkan kurikulum baru atau menggantikan EBTANAS dengan sistem evaluasi baru (increasing the effectiveness of the the present system by rearranginng its components) (Banathy,1991; Miarso,1998a; Reigeluth & Garfinkle,1992). Reformasi atau perubahan paradigma dalam pendidikan pada dasarnya adalah melakukan tindakan lain yang berbeda berdasarkan pola pikir yang sesuai dengan perkembangan lingkungan. Masalah yang kita hadapi sekarang tidak mungkin kita selesaikan dengan cara lama yang telah menimbulkan masalah yang kita hadapi. Perkembangan lingkungan tersebut diantaranya adalah tuntutan atas HAM, desentralisasi pengelolaan, dan demokrasi partisipatif.

Persoalan sekarang, apakah sistem pendidikan yang ada saat ini telah efektif untuk mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern, memiliki kemampuan daya saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain? Jawabannya tentu belum. Menurut Suyanto, berbicara kemampuan, kita sebagai bangsa nampaknya belum sepenuhnya siap benar menghadapi tantangan persaingan [Suyanto, 2006:11]. Sementara, disatu sisi,   “bidang pendidikan kita menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia [SDM] Indonesia. Tetapi disisi lain, sistem pendidikan kita masih melahirkan mismatch terhadap tuntutan dunia kerja, baik secara nasional maupun regional [Suyanto, 2006:21]. Berbagai problem fundamental yang dihadapi pendidikan nasional saat ini, yang tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita jalani. Seperti persoalan anggaran pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan output pendidikan kita yang masih sangat rendah kualitasnya. 

Sistem Pendidikan di Indonesia secara konseptual berdasarkan Pancasila, yang dijabarkan oleh UUD’45 Psl 31, ayat 1-5. Dijabarkan kembali lewat UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas. Pendidikan formal distandarisasi dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/2005, dan standar isi pendidikan formal diatur dengan Peraturan Menteri (PerMen) No. 221. Tapi bila kita memperhatikan standar isi pendidikan itu, tidak ada pelajaran Religiositas maupun Etika. Menurut standar kelulusan seorang siswa berdasarkan PP 19/2005 & PerMen 222, disebutkan bahwa seorang siswa dinyatakan lulus bila (1) mengikuti semua program, (2) nilai pendidikan agama dan estetika minimal baik, (3) lulus Ujian Sekolah, dan (4) lulus Ujian Nasional yang hanya difokuskan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Sehingga, bila sekolah yang cerdik (bedakan dengan cerdas) akan memfokuskan pengajaran pada ke-3 pelajaran yang diuji ini untuk “mengejar” statistik tingkat kelulusan sekolah. “Keberhasilan” sekolah ini dapat menjadi ‘ikon marketing’ yang jitu bagi sekolah itu dalam menjaring siswa-siswa baru, di mana tetap saja tujuan akhir adalah profit, bukan mendidik.

Page 18: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

Masalah jadi bertambah rumit ketika secara tidak sadar, para orang tua secara tidak sadar cenderung untuk memilih sekolah yang hanya mengembangkan intelektual dan matematik semata sehingga sekolah-sekolah seperti ini akan ramai biarpun mahal karena dalam benak orang tua, bila pintar pasti mudah mencari pekerjaan. Padahal tujuan pendidikan bukanlah seperti itu. Tapi celakanya, para pembuat dan pelaku pendidikan tidak juga tahu bahwa pendidikan dimaksudkan untuk mendidik seseorang menjadi berbudaya dan berkarakter, bukan sekedar pintar secara intelektual saja. Dalam sistem pendidikan yang penting adalah proses ajar-mengajar bukan hanya hasil akhir. Tapi yang paling parah adalah ketika kita tidak menghargai apa yang sebenarnya sudah ditanamkan dalam tradisi budaya kita. Kita pikir intelektual dapat menghasilkan kreatifitas, atau kita pikir intelektual semata dapat memberikan kita kebahagiaan. Apalagi bila kita berpikir kebahagiaan bisa tercapai dengan berlimpahnya uang dan harta.

Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna. Kreatifitas sebenarnya mudah dimunculkan bila seseorang berbudaya dan berkarakter. Tapi menciptakan seseorang yang berbudaya dan berkarakter tidak dapat dilakukan lewat sistem pengajaran “salah dihukum-benar diberi hadiah.” Sistem pengajaran “carrot and stick” seperti ini mungkin efektif bila untuk mengajar binatang atau untuk menjadikan seorang manusia robotis, tapi tidak akan efektif bila untuk mengajar seorang manusia supaya berbudaya dan berkarakter.

Konsep Pengajaran Ki Hadjar Dewantara berfokus pada (1) Kepribadian Merdeka. Hidup ini bebas merdeka mengikuti hak asal tidak melupakan kewajiban. (2) Kemasyarakatan atau kekeluargaan. (3) Kebangsaan yang memiliki rasa satu dalam suka, duka, dan dalam mencapai cita-cita dan tujuan bersama, berfaham religius, humanistis, dan kultural, serta berwawasan Bhinneka Tunggal Ika. (4) Kebudayaan yang berkembang secara kontinyu, konvergen, dan konsentris (Trikon). Budaya menurut Ki Hadjar selalu berkembang secara terus menerus. Kemudian berpadu dengan budaya asing yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia sendiri, yaitu Pancasila. Proses perpaduannya sendiri seperti air dan gula, bukan terpisah seperti air dan minyak. Dan Konsentris yang berarti mendunia tanpa harus kehilangan ciri khas masing-masing. (5) Perekonomian yang merakyat yaitu bertujuan menyejahterakan dan membahagiakan diri tiap rakyat, seluruh bangsa Indonesia, dan umat manusia sedunia (Mamayu hyuning salira, bangsa, dan manungsa).

Di Perguruan Taman Siswa dijabarkan dalam Pancadarma (5 Bhakti), yakni : Kodrat Alam, Kemerdekaan, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan. Selain Ki Hajar Dewantara di tahun 1922, K.H Ahmad Dahlan pada tahun 1910 juga sudah mengemukakan sistem pendidikan diadopsi oleh Muhammadiyah. Teuku Moh. Syafei juga pernah menggagas suatu konsep pendidikan berbasis nasionalisme Indonesia. Celakanya, karena “silau” dengan keberhasilan konsep pendidikan berbudaya asing dan kurangnya penghargaan pada konsep pendidikan negeri sendiri, maka pejabat yang mengurusi pendidikan di Indonesia cenderung mengadopsi konsep pendidikan asing yang

Page 19: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

belum tentu cocok dengan para siswa di Indonesia. Tapi lebih celaka, tiap ganti pejabat, ganti pula sistem pendidikan sehingga membingungkan baik siswa maupun pengajar. Inilah yang terjadi bila pola pendidikan diterapkan secara top down.

Bila melihat sebuah penelitian dari Amerika yang pernah dikutip oleh Anand Krishna bahwa hanya 4% dari peran otak kiri dalam pencapaian keberhasilan manusia, maka pola pendidikan di Indonesia pun harus juga mencakup pengasahan otak sebelah kanan. Jadi kebijakan standar kelulusan seorang siswa hanya berdasarkan Hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) seperti yang terjadi saat ini sudah seharusnya direvisi. Problem-problem pendidikan yang bersifat metodik dan strategik membuahkan output yang sangat memprihatinkan. Output pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat mandiri, karena memang tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, output yang pernah mengenyam pendidikan, malah menjadi “pengangguran terselubung”. Ini artinya, setiap tahunnya, pendidikan nasional kita memproduksi pengangguran terselubung. Mereka itu, adalah korban dari ketidakberesan sistem pendidikan kita yang masih sedang merangka berbenah. Mungkin saja, kita sebagai insan yang berpendidikan, tentu saja terus atau kebanyakan berharap akan datangnya perubahan “fundamental” terhadap sistem pendidikan [Suyanto, 2006:viii] di Indonesia. 

Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita. Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak peduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dinaggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunya kelebihan di bidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.

Dalam pendidikan di sekolah menengah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan di bidang sosial dan dipaksa mangikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia. Efisien adalah bagaimana menghasilkan dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaiman

Page 20: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

dapat meraih stendar hasil yang telah disepakati. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih rendah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sistem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidikan. Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tentang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, namun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika disurvey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang bersangkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.

Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kami lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan Negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika diamati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, Karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang. Selain itu, masalah lain efisienfsi pengajaran adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.

Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun dia mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebenarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan membuat tertarik peserta didik.Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik. Dalam beberapa tahun belakangan

Page 21: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya KSP. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kurang efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.

Standardisasi Pendidikan IndonesiaJika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil. Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat terus-menertus berubah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Tinjauan terhadap sandardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut. Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja. Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi. Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat

Page 22: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi. (Wallahu’alam Bishawab).

KepustakaanCahyana, Ade, Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas Pembangunan, From:

http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia 2010 Ade Cahyana.htm, sabtu, 16/9/ 2006, jam. 13.10.

Freire, Paulo, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya, LP3ES, Jakarta.  

Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1999, Jakarta.

Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta. 

Musa, Ibrahim,  Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah, From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm, Akses, 5 Juni 2002 

Nomida Musnir, Diana, 2000, Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis, dalam Buku: Sindhunata [editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta.  

Purbo, Onno W., Pergeseran Drastis Paradigma Dunia Pendidikan, From: http://bebas.vlsm.org/v09/onno-ind-1/application/education/pergeseran-drastis-paradigma-dunia-pendidikan-1998.rtf, 7/11/2003. 

Sanaky, Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta. 

--------, 2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan, Jurnal Pendidikan Islam [JPI], Volume XII TH VIII Juni 2005, ISSN: 0853-7437, Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama UII, Yogyakarta. 

----------, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara Mitos dan Realitas.

Suryadi, Ace, Pengelolaan Pendidikan Perlu Paradigma Baru, From:http://www. Kompas.com/kompas-cetak/0010/16/DIKBUD/peng09.htm.,akses, Sabtu, 23/8/ 2003. 

Suyanto & Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta. 

Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global], PSAP Muhammadiyah, Jakarta. 

Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara bangsa Indonesia", Makalah, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta.

Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang.

Yacub, Muhammad, From: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu opini mengenai reformasi_s.htm, akses, Rabu,20/9/2006, jam.13.35. 

Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura, Yogyakarta.

Page 23: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan, Kompas, Kamis, 26 Juni 1997Tempo, 7 Januari 2001

Lewat Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998Kabupaten dan Kota Menjadi Basis Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kompas, Rabu, 24

Februari 1999Sekolah Plus, Menghitung Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001Kasrai, Reza, Corporate University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur

2001. http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.aspRUU BHP, Skenario Neoliberalisme, SUARA PEMBARUAN DAILY, September 5,

2007 BHMN, Neoliberalisme Pendidikan, Suara Pembaruan March 15, 2007Muhammad Roqib, M.Ag , Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya

Memajukan Bangsa, Jumat, 2008 Agustus 08Pan Mohamad Faiz (New Delhi) , Polemik Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan,

Dimuat pada H.U. Seputar Indonesia (05/05/07)Pan Mohamad Faiz , Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan, Pikiran

Rakyat Bandung , October 05, 2006Abu Khaulah Zainal Abidin , “Ideologi Pendidikan Kita” Maret 22, 2008, Posted by

rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan. Greg Russell, Bentuk Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi (terj.), Demokrasi, Office of

International Information Programs, US. Dept. of States., tanpa tahun.Richard C.Schroeder, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat (terj.), Office of

International Information Programs – United States Dept. of States, 2000.The center on Education Policy, Washington D.C., The Federal Role in US Education,

US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Tiffany Danitz, The Standards Revolution In U.S. Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Anonim, The Federal Role in Education - Overview , US Department of Education in http://www.ed.gov

Anonim, College Rankings, America’s "Top" Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Judith S. Eaton, An Overview of U.S. Accreditation, publication of Council for Higher Education Accreditation, tanpa tahun .

Robert H. Bruininks, Public Universities In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

James W. Wagner, What Is A Large, Private Research University?, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Anonim, The Cost Of College In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Martina Schulze, Possible Sources Of Financial Aid, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Margaret S. Branson, At The Core Of U.S. Education, A Passion For Learning, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Page 24: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

Hizbut Tahrir, How the Khilafah was Destroyed, Khilafah Publication, London 2000Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar , Tuesday, March 18, 2008

http://www.fppm.org/Info%20Anda/pendidikan%20yang%20membebaskan.htm.Mansour Faqih dan Toto Rahardjo. Pendidikan yang membebaskan, 09 Agustus 2002

http://www.pikiran-rakyat.com/Artikel/0802.htm. Ahmad Dahidi & Miftachul Amri. Potret Pendidikan di Jepang, Sebuah Refleksi. 22 Mei

2003.Agus Syafii <agussyafii@yaho...>, Problem Pendidikan di Era Reformasi, February 18,

2008 Kepentingan Politik Masih Terlihat Lebih Menonjol, http://www.kompas.co.id/kompas-

cetak/0708/08/humaniora/3750060.htmPendidikan Indonesia Alami Proses Involusi, Harian Kompas, 4 September 2004Agung Pramanto (JIP'98)/Redaksi AP, Dilema Otonomi Pendidikan: Catatan Dari

Seminar Otonomi Pendidikan Nasional 2001 SMFSUI Otonomi Pendidikan Masih Hadapi Banyak Kendala, Jakarta, Sinar Harapan, 2003St Kartono , Memahami Otonomi Pendidikan beserta Implikasinya, SUARA

PEMBARUAN DAILY , 2002Uni Eropa: Perdamaian Aceh Bukti Kekuatan Soft Power, TEMPO Interaktif, Jakarta,

Rabu, 13 Desember 2006 | 21:15 WIB"Soft Power" dan Jejak Bush , Kompas, 21 Nopember 2006Muhammad Roqib, M.Ag, Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya

memajukan Bangsa, http://roqibstain.blogspot.com/2008/08/politik-pendidikan-dan-pendidikan.html

Marsudi Budi Utomo, 50 Tahun RI-Jepang, December 24, 2007Novian Widiadharma, UIN Yogyakarta , Art, Soft Power, dan Tata Dunia Baru,

Wednesday, 13 August 2008 07:15 Nurani Soyomukti (Esai Politik): "Soft Power", Strategi Gerakan Anti Teror(Isme),

Sabtu, 2007 Agustus 25Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan, SBY dan "Soft Power" , URL Source:

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htmMegawati: Pandangan Tentang Pendidikan Murah dan Gratis, Menyesatkan, Rabu, 05

Mei 2004Khoirul Anwar , Membangun Moral di abad Global , 15 Juni 2008 - 17:05  Iskandar Alisjahbana , Cyberspace dari Peradaban Gelombang-Ketiga "Sifat dan Hakekat

Manusia & Masyarakat di Dalam Era-Informasi" , Edisi ke Tujuh, April 1997Baridul Islam Pr, “Abuse of Power” Kaum Intelektual, Purwokerto, 16 Maret 2003Anonym, Masalah Pendidikan Di Indonesia, August 29, 2007 Yusufhadi Miarso, Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di

Perguruan Tinggi, Disampaikan dalam Semiloka Pengajaran dan Program Magang, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP-UI, 2 Mei 2008

Banathy, Bela H. (1991). Systems Design of Education. A journey to create the future. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications

Dabbagh, Nada & Brenda Bannan-Ritland. Online Learning. Concept, strategies and application. Columbus,OH : Pearson. 2005

Page 25: Ancaman Involusi Pendidikan Indonesia

Miarso, Yusufhadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom-Kencana

Reigeluth, Charles M. and Robert J. Garfinkle. (eds.)(1994). Systemic Change in Education. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications

Toffler, Alvin. The Third Wave. London : Pan Books Ltd.UNSCTD. Knowledge Society. Published for and on behalf of The Unted Nations.

Oxford,NY : Oxford University Press. 1998 Tim MWA Wakil Mahasiswa KM ITB dan Kastrat Kabinet KM ITB, Positioning Paper.

Pernyataan Sikap KM ITB terhadap RUU BHP BHP: Gaya Baru Otokrasi Pendidikan Indonesia

NIM. Sistem Pendidikan Yang Berkarakter dan Berbudaya, February 28, 2007Benedict Richard O'Gorman Anderson. Imagined Communities: Reflections on the

Origin and Spread of Nationalism. Edition: 2, revised. Verso, 1991Bertrand Russell. Power: A New Social Analysis. Edition: 2. W.W.Norton & company,

1938Chantal Mouffe . Gramsci and Marxist Theory: essays. Routledge, 1979Dewey, John, 1974, The Child and The Curriculum,and The School and Society, Chicago

and London, The University of Chicago Press. Giddens, Anthony, The Nation States and Violence: Volume Two of a Contemporary

Immanuel Maurice Wallerstein, Immanuel Wallerstein. The Modern World-system II. Edition: 2. Academic Press, 1980

Masinambow, EKM (ed), 1997, Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, Jakarta, AAI dan Yayasan Obor Indonesia.

McQuail, Denis, 2000, Mass Communication Theories, Fourth edition, Sage Publication, London

Michael Wallerstein : The Political Economy of Inequality, Unions, amd Social Democracy. New York: Cambridge University Press, 2008

Renate Holub. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism. Routledge, 1992Rudolf Ekstein, Robert S. Wallerstein. The Teaching and Learning of Psychotherapy.

Edition: 2. Basic Books, 1958Siswanta, Relasi kekuasaan: telaah pemikiran Antonio Gramsci dalam konteks politik

Indonesia kontemporer.  Media Wacana, 2006Sutaarga, Moh. Amir. 1997/1998. Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum.

Jakarta: Proyek Pembangunan Permuseuman JakartaVedi R. Hadiz, Benedict Richard O'Gorman Anderson. Politik, budaya, dan perubahan

sosial: Ben Anderson dalam studi politik Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Yayasan SPES, 1992

FX Sugiyanto, Ilusi Kurikulum Pendidikan dalam Kuasa Neoliberalisme , Saturday, 02 August 2008