assignment presentation csl.docx
TRANSCRIPT
ASSIGNMENT PRESENTATION
CLINICAL SKILL LEARNING
Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Mata Kuliah Keahlian
Program Doktor Ilmu Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan
DISUSUN OLEH:
YANTI
NIM : 11/324172/SKU/00412
PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN 2011
0
STRATEGI PEMBELAJARAN PRAKTIK KLINIK DALAM MENINGKATKAN KEMAHIRAN KETERAMPILAN KLINIK (CLINICAL SKILL ACQUISITION)
MAHASISWA D III KEBIDANAN
A. Pendahuluan
Belajar adalah sebuah proses komplek yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
variasi individu, kelembagaan, situasi belajar mengajar, tingkat supervisi, jumlah kasus dari
waktu ke waktu, banyaknya pengetahuan yang dipelajari, serta kenyamanan dalam belajar
(Konrad, 1998 & Reves, 2000). Hal itu yang membuat kesulitan dalam mendefinisikan
batasan pengalaman minimal yang dibutuhkan oleh siswa untuk menjadi master dalam
keterampilan manajemen kasus.
Secara tradisional, keterampilan klinik diperoleh dalam laboratorium universitas dan
bangsal-bangsal simulasi, dengan konsolidasi dan perluasan keterampilan yang diperoleh
melalui rotasi klinik di fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan. Saat ini sistem pembelajaran
klinik telah mengalami perbaikan, oleh karena banyaknya kecaman atas kemampuan dari
model tersebut dalam menyediakan kecukupan situasi klinik yang berkualitas (Maben et al
2006).
Pembelajaran keterampilan profesional adalah sebuah proses pengembangan, dimana
adanya pembentukan dan penghalusan secara berkelanjutan melalui karir dokter. Cultivation
(pengolahan) pada skill acquisition (kemahiran keterampilan) pada awal pembelajaran
terhadap siswa kedokteran dihasilkan dari keterpaparan pengalaman belajar klinik yang
lebih banyak, kesempatan melakukan secara berulang, observasi dan umpan balik
berdasarkan kemampuan yang ditunjukkan, serta belajar secara mandiri dan proaktif (self-
directed proactive learning) (Fischer, 2007).
1
Kemahiran atas suatu keahlian dalam berbagai area termasuk keterampilan medis
tergantung pada praktik yang disengaja dengan melakukan prosedur secara berulang dari
keterampilan yang ditargetkan, bersamaan dengan penilaian secara tepat akan memberikan
umpan balik secara informatif dan spesifik. (Ericsson, 1993-1996 & Moulaert, 2004).
Sementara pengalaman klinik merupakan sumber belajar berbasis pengalaman
(experential learning), dan juga proses aktif yang memerlukan pemahaman awal yang cukup
serta keterlibatan pebelajar secara penuh daripada mahir dalam satu tindakan, oleh karenanya
ia dapat melakukan secara terampil berdasarkan pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan
spesifik (Konrad, 1998 & Reves, 2000).
Sebagian besar upaya pengembangan keterampilan klinik muncul di seting klinik
menggunakan model-model pembelajaran berbasis pengalaman dan berbasis masalah
(experiential and problem-based learning models). Kenyataannya, harapan siswa agar
terpapar dengan berbagai kondisi pasien dihadapkan pada permasalahan biaya, ketersediaan
lahan, dan keterbatasan waktu (Tanner, 2006).
Kondisi praktik klinik saat ini seperti yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa
untuk dapat belajar dengan efektif, mahasiswa memerlukan kesempatan untuk memperoleh
penilaian dan umpan balik ketika mereka mengintegrasikan dan mengimplementasikan
pengetahuan, keterampilan dan perilaku baru. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut,
maka dibutuhkan lingkungan praktik yang kondusif.
2
B. Pembelajaran Praktik Klinik Dalam Meningkatkan Kemahiran Keterampilan
Klinik Mahasiswa
Kemahiran keterampilan klinik merupakan fokus utama bagi profesi kesehatan,
berkembang sejak menjadi mahasiswa diploma hingga pascasarjana dan berlanjut pada
pendidikan profesi.
Sebuah tinjauan literatur pada tahun 1998 mengidentifikasi banyak faktor yang
mempengaruhi kemahiran, penyimpanan, dan pengurangan dari prosedur keterampilan
klinik, termasuk karakteristik pekerjaan, faktor yang berhubungan dengan pembelajaran, dan
perjalanan waktu. Tinjauan tersebut juga menunjukkan bahwa pembelajaran yang lebih
lanjut (penambahan pelatihan ekstra yang diperlukan untuk keahlian awal) merupakan satu
faktor terpenting guna mengantisipasi pengurangan keterampilan (Arthur at al, 1998).
Model skill acquisition Dreyfus menunjukkan keefektifan dari experiential learning
dalam berbagai perspektif, tidak terbatas pada suatu tempat dari waktu ke waktu. Model
tersebut lebih situasional daripada menjadi sebuah model dengan ciri atau bakat tertentu oleh
karena fokus pada kinerja nyata serta outcome dalam situasi tertentu. Model tersebut
berkembang dalam perubahan kinerja pada situasi tertentu yang dapat dibandingkan
sepanjang waktu. Bagaimanapun, model ini tidak fokus atau mengidentifikasi ciri atau bakat
tertentu dari seseorang secara umum atas kinerjanya secara terampil (Benner, 2004).
Benner melaporkan tentang nilai mahasiswa melalui tingkatan kemampuan dalam
kemahiran dan perkembangan keputusan klinik, dari pemula, pemula lanjut, kompeten,
mahir, hingga ahli. Benner mengimplementasikan Model Dreyfus dari skill acquisition
perawat. Ia menjelaskan bahwa para pemula, seperti halnya mahasiswa baru, diajari peran-
peran dalam ruang lingkup secara bebas untuk memberi arah tindakan-tindakan mereka
3
dalam area klins. Mahasiswa perawat berubah melalui berbagai tingkatan kemahiran, serta
banyak pendekatan minimal tingkatan dari pemula lanjut dan kompeten dalam program
pendidikan.
Skill Acquisition Model Dreyfus mempelajari skill-acquisition menjelaskan bahwa, keberhasilan individu dilalui
dalam lima tahap perkembangan : novice, competent, proficient, expert dan master. Menurut
Dreyfus (1986), seseorang menjadi terampil tergantung pada sedikit prinsip-prinsip abstrak
dan lebih banyak pada pengalaman nyata. Tahap pemula digolongkan berdasarkan tingkatan
terampilnya kinerja masing-masing pebelajar di kelas, pada umumnya secara teori maupun
prinsip-prinsip; bagaimanapun, skill acquisition yang tinggi ditunjukkan dengan kinerja dan
decision-making dimana diperoleh hanya melalui praktik dalam situasi nyata (Dreyfus &
Dreyfus, 1986).
Tiap-tiap tahap dari Model Skill Acquisition Dreyfus memuat perbedaan persepsi
mengenai keterampilan dan atau cara pengambilan keputusan secara kualitatif. Pelatihan
keterampilan harus berdasarkan pada model skill acquisition, sehingga dapat menunjukkan
topik-topik termasuk dalam memfasilitasi peningkatan lebih lanjut tiap-tiap tahap pelatihan
(Dreyfus & Dreyfus, 1986).
Dalam aplikasi Model Dreyfus pada klinik keperawatan, Benner (1984) menunjukkan
bahwa perawat klinik berkembang dalam pengalaman, mereka menjadi lebih terampil dalam
lingkungan klinik. Benner mengidentifikasi lima tahap kemahiran perawat klinik: pemula,
pemula lanjut, kompeten, mahir, dan ahli. Menurut Benner (1984), pemula adalah yang
memasuki lingkungan baru dan belum mempunyai pengalaman mengenai situasi yang
mereka harapkan untuk bekerja. Para pemula menggunakan aturan-aturan yang menuntun
4
kinerja mereka, akan tetapi Benner (1984) mencatat “Mengikuti aturan-aturan pekerjaan
berlawanan dengan keberhasilan kinerja karena aturan-aturan tidak dapat memberitahukan
kepada mereka sebagain besar tugas-tugas yang sesuai untuk dilakukan dalam situasi nyata.”
(p. 21).
Pemula lanjut menunjukkan penerimaan kinerja secara garis besar. Mereka memiliki
cukup pengalaman dengan situasi nyata untuk membentuk pengulangan komponen-
komponen situasional yang “aspek-aspek situasional”(p. 22) dalam Model Dreyfus (Benner,
1984). Pelaksana yang kompeten (Competent performers) menyadari batasan keluasan tujuan
atau perencanaan dan mulai mengetahui tindakannya dalam mencapai tujuan. Perhatian
terhadap tujuan mengarahkan perencanaan; pelaksana yang kompeten mampu melihat
sebagian besar unsur-unsur yang menonjol dari situasi saat ini dan yang akan datang
mengarahkan mereka mencapai tujuan. Hal terpenting, pelaksana yang kompeten cukup
memahami situasi untuk menyaring unsur-unsur situsional, bekerja dengan beberapa dan
mengabaikan yang lain sebagai keleluasaan situasi (Benner, 1984). Perawat yang terampil
memiliki cukup pengalaman untuk melihat keseluruhan situasi, daripada seperangkat aspek-
aspek situasional. Menurut Dreyfus (1980a; 1980b) dan Benner (1984), kinerja yang
mumpuni dituntun oleh suatu pemahaman. Perspektif tersebut tidak membutuhkan
pemikiran, dengan mudah muncul dengan sendirinya.
Perawat yang ahli memiliki pegangan intuisi mengenai situasi. Mereka tidak
menyandarkan diri pada prinsip-prinsip analitik (aturan, panduan, maupun konsep) untuk
menuntun tindakannya. Ketika menghadapi permasalahan dengan tanpa memiliki
pengalaman, bagaimanapun, mereka kemungkinan besar akan menggunakan prinsip-prinsip
analitik. Para ahli percaya pada intusisi mereka mengenai situasi tertentu. Mereka
5
menganalisis situasi secara cepat dan tepat, memutuskan suatu tindakan tanpa buang-buang
waktu dalam berpikir, meneliti, maupun tindakan-tindakan yang tidak berguna (Benner,
1984). Perawat klinik menjadi lebih berpengalaman dan berpengatahuan, kemampuan
pengambilan keputasan (Benner, 1984) dan penalaran diagnostik (Tanner, Padrick, Westfall,
& Putzier, 1987) akan tumbuh. Dijelaskan lebih lanjut, kemampuan keterampilan mereka
meningkat (Zarett, 1980) dan mereka dapat mendemonstrasikan peningkatan kemampuan
berfikir kritis (Martin, 2002; Maynard, 1996).
Melalui pengalaman keterampilan klinik, mahasiswa mengembangkan kemampuan
interpersonal, interview, pemeriksaan fisik, dan keterampilan berkomunikasi yang akan
mengijinkannya menyelesaikan permasalahan pasien.
Skill acquisition bagi pemula berhubungan dengan peerkembangan clinical judgment
dari waktu ke waktu. Perbaikan pengetahuan dan pengulangan tindakan yang muncul dengan
pengalaman klinik dapat membantu dalam perubahan pemula dari berbasis aturan-aturan,
bebas ruang lingkup guna memperoleh kebebasan berfikir kritis yang lebih analitis dan
rasional (Benner at al, 1996). Mahasiswa membutuhkan kesempatan untuk mengembangkan
dan menguji metodenya sendiri dalam pemecahan dan penalaran masalah sampai dengan
pengambilan keputusan klinik (Miller, 1992). Kesempatan itu dapat muncul melalui berbagai
pengalaman belajar (learning experiences).
Keterlibatan dalam berbagai pengalaman belajar menyediakan kesempatan yang luas
untuk mengimplementasikan teori di kelas dalam seting klinik. Pengalaman-pengalaman
tersebut dapat membantu perubahan pebelajar dari tingkat pemula ke pemula lanjut. Pemula
lanjut telah diarahkan untuk memilih situasi kehidupan nyata dan oleh karena itu memiliki
lebih banyak panduan-panduan yang kontekstual. Pemula lanjut, bagaimanapun, masih
6
memerlukan bimbingan maupun supervisi. Mereka hanya memulai untuk merasakan bentuk-
bentuk pemahaman secara berulang dalam praktik klinik.
Dalam Skill acquisition dinyatakan bahwa kecakapan dan keahlian merupakan suatu
fungsi dari keterpaparan pada berbagai situasi. Bagi pebelajar, situasi tersebut
menjadikannya berpengalaman dan dapat mencetuskan respon-respon yang tepat. Bandura
(1977) menekankan bahwa kebanyakan pembelajaran muncul melalui perilaku mengamati
dan modeling. Informasi kemudian disimpan dan dikode secara kognitif serta digunakan
sebagai panduan untuk bertindak. Bandura menegaskan bahwa bentuk dari pembelajaran
dengan seting riil disertai dengan lingkungan, perilaku, dan pengajaran membantu
perkembangan akuisisi terhadap keterampilan klinik yang komplek. Simulasi dapat
membantu dalam meningkatkan keterpaparan situasi klinik pada mahasiswa.
Experiential Learning
Pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kekuatan dalam pembangunan
manusia sudah tampak sejak awal abad IV SM. Gagasan pendidikan berbasis pengalaman
(experiential education) atau yang disebut “learning by doing” memiliki sejarah panjang.
Pemikiran mengenai pendidikan berbasis pengalaman semakin berkembang dengan
munculnya karya John Dewey (1938) yang mengungkapkan pentingnya pembelajaran
melalui pengalaman sebagai landasan dalam menetapkan pendidikan formal.
Experiential Learning merupakan sebuah model holistic dari proses pembelajaran di
mana manusia belajar, tumbuh dan berkembang. Penyebutan istilah experiential learning
dilakukan untuk menekankan bahwa experience (pengalaman) berperan penting dalam
proses pembelajaran dan membedakannya dari teori pembelajaran lainnya seperti teori
pembelajaran kognitif ataupun behaviorisme (Kolb, 1984).
7
Kolb meyakini bahwa “belajar adalah sebuah proses dimana pengetahuan diciptakan
melalui transformasi dari pengalaman (1984, p. 38). Teori tersebut menunjukkan sebuah
model siklus pembelajaran, meliputi empat tahap seperti tampak pada bagan 1 berikut. Salah
satunya mungkin dapat mulai pada fase tertentu, akan tetapi harus diikuti oleh masing-
masing yang lainnya secara berurutan:
1. Pengalaman nyata (concrete experience) (or “Feeling”)
2. Pengamatan refleksi (reflective observation) (or “Wacthing”)
3. Konseptualisasi abstrak (abstract conceptualization) (or “Thinking”)
4. Percobaan secara aktif (active experimentation) (or “Doing”)
Bagan 1. Kolb’s Experiential Learning Cycle.
Ke-4 fase siklus pembelajaran Kolb menunjukkan bagaiman pengalaman diterjemahkan
melalui refleksi ke dalam konsep, yang digunakan untuk menggiring pada percobaan secara
aktif serta piihan terhadap pengalaman baru. Fase pertama, concrete experience (CE),
dimana pebelajar secara aktif mengalami aktifitas seperti di laboratorium atau di tempat
kerja. Fase kedua, reflective observation (RO), yaitu pada saat pebelajar dengan sadar
8
merefleksi kembali apa yang sudah dialaminya. Fase ketiga, abstract conceptualization
(AC), dimana pebelajar berusaha untuk memahami sebuah teori atau model dari apa yang
mereka amati. Fase keempat, active experimentation (AE), adalah dimana pebelajar mencoba
merencanakan bagaimana untuk menguji sebuah teori atau model atau rencana pengalaman
mendatang.
Kolb mengidentifikasi empat gaya belajar yang disesuaikan dengan masing-masing fase.
Gaya belajar disesuaikan agar pebelajar dapat belajar dengan baik, yang meliputi:
1. assimilators, seseorang yang belajar dengan baik saat diperkenalkan dengan
gambaran teori secara logis untuk dipertimbangkan.
2. convergers, seseorang yang belajar dengan baik saat disajikan dengan praktik
penerapan teori atau konsep tertentu.
3. accommodators, seseorang yang belajar dengan baik saat disajikan dengan “hands-
on” experiences
4. divergers, seseorang yang belajar dengan baik saat diijinkan mengamati dan
mengumpulkan informasi secara luas.
Metode Experiential Learning tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan konsep-
konsep saja. Namun, juga memberikan pengalaman yang nyata yang akan membangun
keterampilan melalui penugasan nyata. Selanjutnya, metode ini akan mengakomodasi dan
memberikan proses umpan balik serta evaluasi antara hasil penerapan dengan apa yang
seharusnya dilakukan.
Dengan demikian, dari pernyataan-pernyataan di atas dapat diambil sebuah pengertian
bahwa experiential learning adalah suatu metode proses belajar mengajar yang mengaktifkan
pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalamannya secara
9
langsung. Dalam hal ini, Experiential Learning menggunakan pengalaman sebagai
katalisator untuk membantu pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya
dalam proses pembelajaran sehingga pembelajar terbiasa berpikir kreatif.
Clinical Experience
Clinical Experience: didefinisikan dalam Ohio Administrative Code (2003) sebagai
sebuah aktifitas yang terencana atas suatu tujuan atau luaran sebuah pelatihan atau
pembelajaran mahasiswa keperawatan untuk menyediakan kesempatan belajar
mempraktikkan keterampilan kognitif, afektif, dan psikomotor dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada individu maupun kelompok. Indiana State Board of Nursing
mendefinisikan clinical experience sebagai “pengalaman pembelajaran yang disediakan
dalam memenuhi tujuan kurikulum” dalam rangka mempersiapkan mahasiswa agar terdaftar
dan diijinkan berpraktik (Indiana Administrative Code, 2005). Menurut Michigan rules and
regulations pengaturan clinical experience pendidikan keperawatan didefinisikan sebagai
“pengalaman perawatan langsung terhadap pasien dimana mahasiswa dapat
mengintegrasikan, mengimplementasikan dan mengembangkan kemampuan serta
keterampilan tertentu berdasarkan konsep-konsep teoritis maupun prinsip-prinsip ilmiah
(Administrative Rules of the Michigan Board of Nursing, 2003).
Clinical Experiential Learning (Pembelajaran Praktik Klinik)
Pembelajaran praktik klinik merupakan suatu bentuk pengalaman belajar profesional
yang menekankan pada pentingnya klien, mahasiswa dan konteks situasional dimana proses
pembelajaran terjadi (Smyth, W.J, 1986). Pembelajaran praktik klinik berfokus pada
hubungan antara teori dan praktik yang dapat membantu mahasiswa bukan hanya
mengaplikasikan teori tetapi juga menemukan bahwa teori-teori dapat timbul dari kayanya
10
pengalaman klinik (Benner, 1989). Menurut Schweer (1972), pembelajaran praktik klinik
adalah situasi yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengaplikasikan ilmu
yang diperoleh sebelumnya ke dalam berbagai kegiatan yang bersifat keterampilan
psikomotor dalam mewujudkan asuhan yang berkualitas.
Melalui praktik klinik, mahasiswa disiapkan untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan
sebelumnya dengan performa keterampilan serta kompetensi yang berhubungan dengan
asuhan klien dan memperoleh berbagai keterampilan profesional dan personal, penampilan
dan perilaku berfikir untuk memasuki sistem pelayanan (Meleca dkk, 1978).
Praktik klinik merupakan suatu bentuk pengalaman belajar yang dilaksanakan pada
suatu tatanan pelayanan kesehatan nyata untuk membina sikap dan keterampilan profesional
mahasiswa. Dengan menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh sebelumnya
sehingga memiliki sikap yang diperlukan untuk melaksanakan praktik dalam bidang
profesinya secara mandiri.
Siklus pembelajaran klinik
Pengalaman belajar teori dan praktik di laboratorium merupakan proses pembelajaran
yang penting untuk mempersiapkan mahasiswa dalam melaksanakan pembelajaran praktik
klinik. Pengalaman belajar klinik di lahan praktik lebih difokuskan ke arah penerapan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional dengan memberi kesempatan kepada
mahasiswa untuk berfikir kritis selama melakukan asuhan. Untuk itu dalam pengalaman
belajar di lahan praktik lebih diarahkan dengan memberi kesempatan kepada mahasiswa
untuk dapat mengintegrasikan pengetahuan yang sudah didapat dengan keterampilan
profesional berdasarkan standar profesi melalui proses pembelajaran pada situasi nyata.
11
Mekanisme pembelajaran klinik menggunakan siklus pembelajaran praktik yang
menggambarkan proses pembelajaran sistematis yang dilaksanakan sebagai kelanjutan
pembelajaran teori yang diberikan di kelas dan praktik di laboratorium dapat dilihat pada
bagan berikut:
Siklus Pembelajaran Klinik
Sumber : White. R. Ewan; C. Hatton; N. Higg; J. Hickey; C. Baker (1988). The Clinical teaching microskills package for clinical teachers. An instructional Manual UNSW.
Siklus pembelajaran klinik ini terdiri dari 6 (enam) tahap, sebagai berikut:
1. Persiapan teori
Berupa kegiatan penggalian informasi teoritis dan pengalaman mahasiswa yang
berkaitan dengan program pembelajaran praktik yang akan dilaksanakan, termasuk
informasi tentang lingkungan kerja di klinik tempat mahasiswa akan melaksanakan
praktik klinik.
12
Persiapan teori
Laboratorium
Pertemuan Praklinik
Praktik Klinik
Pertemuan Pascaklinik
Evaluasi & Tindak lanjut
2. Laboratorium
Pembelajaran di laboratorium merupakan proses pembelajaran yang memberi
kesempatan kepada mahasiswa mengaplikasikan teori dan konseptual model yang
mendukung pembelajaran praktikum di laboratorium. Menggunakan berbagai
metoda seperti simulasi, pemecahan masalah dan demonstrasi guna melatih
keterampilan mahasiswa sampai kompeten dengan menggunakan alat peraga dan
atau mahasiswa itu sendiri secara bergantian sebagai modelnya.
3. Pertemuan Pra klinik
Adalah pertemuan antara mahasiswa dengan preseptor, yang merupakan kegiatan
pembelajaran dimana pembimbing memberikan informasi dan juga membahas
kasus-kasus terpilih dan tersedia di lahan praktik sesuai dengan kompetensi yang
ditetapkan. Pada kesempatan ini juga diinformasikan tentang strategi pembimbingan,
metode serta sistem penilaian pembelajaran praktik yang akan digunakan.
4. Praktik Klinik
Praktik klinik adalah kegiatan pembelajaran praktik dengan menggunakan target
kompetensi yang harus dicapai oleh mahasiswa pada situasi nyata sesuai dengan
waktu yang dijadualkan. Pembelajaran praktik ini memberikan kesempatan kepada
mahasiswa memperoleh pengalaman nyata dalam mencapai kompetensi yang
dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas-tugas tertentu. Mahasiswa akan
mengembangkan tanggung jawab profesi, berfikir kritis, kreatifitas, hubungan
interpersonal, pemahaman terhadap profesi serta aspek sosial budaya dan
mengaplikasikan teori ke dalam praktik klinik.
13
5. Pertemuan Pasca Klinik
Kegiatan ini dilaksanakan untuk mengevaluasi hasil praktik dan langsung
memberikan umpan balik kepada mahasiswa atas kegiatan pembelajarannya serta
dalam rangka mengidentifikasi temuan mahasiswa, kemampuan dan pandangan-
pandangan baru dari mahasiswa berdasarkan pengalaman yang diperoleh. Pada tahap
ini pembimbing harus mampu memfasilitasi mahasiswa untuk merefleksikan
pengalaman belajarnya dan mendiskusikan apa yang diinterpretasikan mahasiswa
terhadap kejadian kritis dan keputusan kinik yang diambil.
6. Evaluasi dan Tindak lanjut
Pada tahap ini pembimbing melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan praktik klinik
khususnya terhadap pencapaian kompetensi yang ditetapkan dan dapat memberikan
umpan balik kepada institusi pendidikan dan lahan praktik. Kegiatan ini diikuti oleh
seluruh mahasiswa dan pembimbing klinik.
C. Implementasi Pembelajaran Praktik Klinik Untuk Meningkatkan Keterampilan
Klinik Mahasiswa D III Kebidanan
1. Tahap Persiapan
a. Mengidentifikasi lahan praktik klinik
Dengan berkonsultasi dengan para pihak terkait, koordinator praktik klinik
mengidentifikasi lahan praktik klinik yang sesuai. Koordinator harus memperoleh
persetujuan dari pimpinan lahan praktik tersebut untuk menempatkan mahasiswa dan
mengijinkan preseptor dari luar institusi pelayanan tersebut untuk mengawasi praktik
mahasiswa, dan bila memungkinkan seorang anggota staf yang telah ditunjuk berperan
14
sebagai perseptor. Mungkin juga diperlukan mengidentifikasi alternatif lokasi yang belum
pernah digunakan sebagai lahan praktik.
Untuk memastikan bahwa praktik klinik bersifat relevan dan realistik, mahasiswa harus
mengalami mayoritas rotasi klinik baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit. Dengan
mengalami rotasi klinik tersebut diharapkan mahasiswa memperoleh pengalaman klinik dan
keterampilan-keterampilan yang cukup sehingga pada akhirnya mahasiswa mampu untuk
merespon terhadap komplikasi yang dapat muncul tanpa memandang tempat komplikasi
terjadi.
b. Memilih dan menyiapkan Preseptor/Mentor Klinik
Praktik klinik yang efektif tergantung pada partisipasi seorang preseptor klinik.
Preseptor dapat dipilih dari staf di institusi D III Kebidanan, staf di lahan praktik untuk
membimbing mahasiswa di lahan praktik.
Preseptor bertanggung jawab untuk mengawasi aktivitas mahasiswa di klinik dan harus
ada setiap saat selama praktik klinik. Adapun kriteria preseptor klinik untuk kegiatan praktik
klinik D III Kebidanan antara lain:
1) Mampu berperan sebagai role model bagi mahasiswa
2) Mahir dalam keterampilan-keterampilan klinik maupun konseling
3) Bersedia bekerja secara penuh dengan mahasiswa selama rotasi klinik
4) Diutamakan yang bekerja di sebuah tempat praktik yang menyediakan ruang lingkup
pelayanan kebidanan
Untuk memperkuat keterampilan klinik yang mungkin masih kurang serta dalam rangka
mengembangkan keterampilan mengajar dan fasilitasi selama pembelajaran klinik yang
efektif, dilakukan melalui magang (in service) dan pelatihan-pelatihan.
15
Dalam melaksanakan bimbingan, preseptor/mentor memerlukan panduan teknis
bimbingan sesuai tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran praktik klinik. Panduan
tersebut disusun dan disiapkan oleh institusi pendidikan.
c. Mensosialisasikan Preceptorship dan Mentorship ke lahan praktik
Langkah selanjutnya, apabila persiapan perseptor/mentor dinilai sudah cukup adalah
mempertemukan mereka dengan pihak lahan praktik dan anggota staf lainnya untuk
membahas pendekatan baru terhadap praktik klinik ini.
2. Pelaksanaan
a. Pengelompokan Mahasiswa
Mahasiswa dibagi dalam kelompok kecil dan memilih preseptor/mentor yang akan
membimbingnya. Dalam hal ini mahasiswa diijinkan untuk mendata kecenderungan
lokasi tempat praktik yang lebih mereka sukai agar lebih termotivasi dan berperan
lebih aktif dalam proses belajar mereka. Oleh karena itu koordinator praktik institusi
menyediakan daftar lokasi praktik dan meminta mahasiswa memilih 3 teratas serta
perlu dijelaskan pilihan mereka mungkin saja tidak tersedia.
Tiap kelompok preseptorship maksimal terdiri dari 5 mahasiswa dan maksimal 2
mahasiswa untuk 1 mentor.
b. Orientasi lokasi tempat praktik
Untuk dapat membentuk lingkungan belajar yang positif, para mahasiswa harus
melakukan orientasi menyeluruh terhadap lokasi praktik klinik, guna membantu
menjadualkan orientasi selama 45-60 menit sebelum sesi klinik pertama.
16
Pada pertemuan awal ini, preseptor dan mahasiswa mulai saling mengenal dan
mengklarifikasi harapan-harapan, jauh dari tekanan-tekanan yang muncul selama
praktik klinik.
c. Pertemuan Pra Klinik
Preseptor dan Mentor harus memulai setiap sesi klinik dengan pertemuan 15-30
menit untuk menyiapkan mahasiswa pada sesi yang akan dilakukan. Pertemuan ini
merupakan kesempatan untuk membahas tujuan atau tugas-tugas khusus hari itu,
serta kesempatan bagi Mentor untuk meyakinkan mahasiswa bahwa ia bersedia
untuk membantu dan memastikan keselamatan klien.
Pertemuan pra klinik dilakukan di tempat yang jauh dari area pelayanan klien
(ruangan khusus). Selama peretemuan tersebut, preseptor/mentor harus menerima
mahasiswa dengan baik, membahas kontrak belajar hari itu, memberikan tugas dan
menunjuk klien untuk masing-masing mahasiswa, serta menjawab setiap pertanyaan
yang diajukan mahasiswa.
d. Praktik klinik (Pelayanan Antenatal)
- Para mahasiswa harus memiliki kesempatan untuk melakukan pelayanan
berkualitas tinggi, menyeluruh dan didasarkan pada bukti ilmiah (evidence-
based). Karena mahasiswa masih mengembangkan keterampilan-keterampilan
dasar, maka perlu diidentifikasi sebuah ruangan tempat dimana mahasiswa
diijinkan mengelola satu orang klien selama 30-45 menit.
- Selama waktu tersebut, mahasiswa akan melakukan pencatatan riwayat terfokus,
melakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium, memberikan konseling tentang
17
persiapan persalinan maupun kesiagaan terhadap komplikasi, serta
mendokumentasikan semua temuannya dalam catatan SOAP.
- Seiring dengan kemajuan mahasiswa, jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
sebuah asuhan lengkap berkualitas akan berkurang. Idealnya mahasiswa
mengelola 3-5 klien dalam satu shift dengan kualitas tinggi daripada 15 klien
tetapi tidak melakukan asuhan secara lengkap.
- Pada awal rotasi, preseptor harus hadir pada saat mahasiswa melakuakan asuhan
kebidanan secara lengkap dari pengkajian sampai dengan membantu menulis
catatan SOAP. Bila preseptor menilai bahwa mahasiswa telah melakukan
pelayanan yang aman dan kompeten, maka ia tidak perlu hadir, namun mengkaji
kembali sebelum pasien pulang dan juga dari catatan SOAP mahasiswa.
e. Pertemuan Pasca Klinik
Pertemuan pasca klinik seringkali dianggap sebagai salah satu komponen terpenting
dalam pengajaran klinik (Lichtman, 2003). Pertemuan pasca klinik merupakan
kombinasi dari debreafing, belajar, dan membuat rencana. Pertemuan ini merupakan
kesempatan bagi mahasiswa dalam berbagi pengalaman di hari itu dan
mendiskusikan secara terbuka setiap kesulitan yang ditemui. Preseptor/mentor harus
menyediakan 45-60 menit di akhir sesi klinik untuk pertemuan pasca klinik. Selama
pertemuan preseptor harus:
- Mengkaji tujuan hari itu dan kemajuan yang diperoleh
- Bertanya kepada mahasiswa mengenai kasus saat itu, terutama kasus yang
menarik atau sulit
- Menjawab pertanyaan mengenai situasi atau klien
18
- Mendemonstrasikan ulang pada model atau simulasi bila diperlukan
- Mengkaji ulang dan mendiskusikan tugas kelompok
- Merencanakan sesi klinik selanjutnya
f. Evaluasi Pembelajaran Praktik Klinik
Untuk mengetahui tingkatan kinerja mahasiswa maka perlu dilakukan evaluasi
pencapaian keterampilan klinik. Evaluasi dilakukan sesuai dengan keterampilan
yang harus dicapai dalam pembelajaran klinik. Evaluasi dilakukan baik secara
formatif maupun sumatif yang dilaksanakan selama praktik klinik berlangsung.
D. Kesimpulan
Pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan telah memunculkan model pendidikan
berbasis pengalaman (experiential education) atau yang disebut “learning by doing”.
Clinical Experience memberikan kesempatan mahasiswa memperoleh pengalaman
memberikan asuhan langsung terhadap pasien dimana mahasiswa dapat mengintegrasikan,
mengimplementasikan dan mengembangkan kemampuan serta keterampilan tertentu
berdasarkan konsep-konsep teoritis maupun prinsip-prinsip ilmiah.
Untuk mencapai suatu kompetensi klinik tertentu mahasiswa membutuhkan pengalaman
belajar praktik klinik. Melalui pengalaman praktik klinik, mahasiswa mengembangkan
kemampuan interpersonal, interview, pemeriksaan fisik, dan keterampilan berkomunikasi
yang akan mengijinkannya menyelesaikan permasalahan pasien. Dengan dibantu oleh
preseptor/mentor mereka akan mengalami tahapan peningkatan tingkat kemahiran
keterampilan dari pemula hingga mahir.
19
Terlaksananya pembelajaran praktik klinik yang efektif tergantung pada komponen-
komponen berikut:
1. Adanya lingkungan belajar yang kondusif, yang perlu disiapkan dengan melibatkan
berbagai unsur.
2. Adanya seseorang yang memfasilitasi, memonitor dan menilai proses belajar siswa.
3. Adanya suatu sistem rotasi mahasiswa yang mendukung pemakaian waktu yang
efektif.
Institusi Pendidikan D-III Kebidanan sebagai salah satu jenjang pendidikan tinggi bidan
bertujuan menyiapkan lulusan yang kompeten sehingga dapat memberikan asuhan kebidanan
yang aman dan efektif sesuai dengan kewenangannya. Pembelajaran praktik klinik yang
efektif merupakan upaya untuk mengantarkan mahasiswa menjadi bidan yang kompeten
dalam memberikan asuhan kebidanan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Arthur W Jr, Bennett W Jr, Stanush PL, McNelly PL. Factors that Influence skill decay and retention: A quantitative review and analysis. Human Performance. 1998;11(1):57–101.
Bandura A. Self-efficacy: toward a unifying theory of behavior change. Psych Rev. 1977;84:191–215.
Benner, P. From novice to expert. American Journal of Nursing. 1982, 402-407.
Benner, P. Using the Dreyfus Model of Skill Acquisition to Describe and Interpret Skill Acquisition and Clinical. Bulletin of Science Technology Society. 2004; 24; 188.
Benner P, Tanner CA, Chelsea CA. Expertise in Nursing: Caring, Clinical Judgment and Ethics. New York: Springer; 1996.
Dreyfus, S. E., & Dreyfus, H. L. (1986). A five-stage model of the mental activities involved in directed skill acquisition. Unpublished report, University of California, Berkeley.
Dewey, J. (1938). Experience and education. New York:Macmillan.
Ericsson KA, Charness N. Expert performance: Its structure and acquisition. American Psychologist. 1994;49:725–47.
Ericsson KA, Krampe RT, Tesch-Romer C. The role of deliberate practice in the acquisition of expert performance. Psychological Review. 1993;100:363–406.
Ericsson KA, Lehmann AC. Expert and exceptional performance: evidence of maximal adaptation to task constraints. Annual Review of Psychology. 1996;47:273–305.
Fischer T, Chenot JF, Simmenroth-Nayda A, et al. Learning core clinical skills – a survey at 3 time points during medical education.Med Teacher 2007, 29: 397-399.
Indiana Nursing Licensure Statutes and Rules. A compilation from the Indiana code and administrative code, (2005).
Konrad C, Schupfer G, Wietlisbach M, Gerber H. Learning manual skills in anesthesiology: Is there a recommended number of cases for anesthetic procedures? Anesth Analg 1998;86:635-9.
Kolb, David A. 1984. Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J.
21
Maben, J., Latter, S. and Clark, J. M. 2006. The theory practice gap: impact of professional bureaucratic work conflict on newly-qualified nurses. Journal of Advanced Nursing, 55(4):465-477.
Martin, C. (2002). The theory of critical thinking. Nursing Education Perspectives, 23 (5), 243-247.
Maynard, C. A. (1996). Relationship of critical thinking to professional nursing competence. Journal of Nursing Education, 35, 12-18.
Meleca, C.B., Schimpfauser, F.T, and Witteman, J.K (1978). A comprehensive and systematic Assessement of Clinical Teaching Skills and Strategies in the Health Sciences. US Departement of Health Education and Welfare. Public HS. National Institutes of Health.
Michigan Board of Nursing. Administrative Rules of the Michigan Board of Nursing, R 338.10301, 2003
Moulaert V, Verwinjnen MGM, Rikers R, Scherpbier AJJA. The effects of deliberate practice in undergraduate medical education. Med Educ. 2004;38:1044–52.
Miller MA. Outcome evaluation: measuring critical thinking. J Adv Nurs. 1992;17:1401–1407.
Old A, Naden G, Child S. Procedural skills of first-year postgraduate doctors at Auckland District Health Board, New Zealand. N Z Med J. 2005;119(1229).
Ohio Administrative Code. Rules promulgated from the law regulating the practice of nursing as of February 4, 2004. Chapter 5, 4723-5-01 to 4723-5-24.
Reves JG. Lessons on learning about learning curves. Anesth Analg 2000;91:1047-8.
Schweer, J.E., (1972). Creative teaching in clinical nursing. Mosby
Smyth, W.J. (1986). Learning about Teaching through Clinical Supervision. Croom Helm. London.
Tanner, C. A. (2006). Thinking like a nurse: A research-based model of clinical judgment in nursing. Journal of Nursing Education, 45(6), 204–211.
Tanner, C. A., Padrick, K. P., Westfall, U.E., Putzier, D.J. (1987). Diagnostic reasoning strategies of nurses and nursing students. Nursing Research, 36, 358-363.
White. R. Ewan; C. Hatton; N. Higg; J. Hickey; C. Baker (1988). The Clinical teaching microskills package for clinical teachers. An instructional Manual UNSW.
Zarett, A. (1980). Is the BSN better? RN, 43(3), 28-33.
22