bab 10-inang, parasit, dan patogen

21
INANG, PARASIT DAN PATOGEN ‘…..dapatkah kita ragu bahwa individu yang mempunyai kelebihan, walaupun sedikit, di atas yang lain, akan memiliki peluang terbaik untuk bertahan dan mengembangkan jenisnya? (Darwin, 1859) arasit dan patogen berpengaruh besar terhadap kesehatan dan produksi ternak di seluruh dunia. Oleh karena itu, sangat penting kita memahami hal tersebut sebanyak mungkin. Bahkan yang lebih penting, kita harus memahami benar implikasi dari upaya manusia untuk mengendalikan parasit dan pathogen tersebut. P Tujuan dari bab ini adalah untuk memberikan pemahaman tersebut. Kita akan memulainya dengan mempertimbangkan interaksi inang-patogen dan kemudian akan membahas landasan genetika tentang resistensi dalam inang, parasit, dan patogen. Kita akan mengakhirinya dengan beberapa ilustrasi mengenai cara-cara yang sekarang sedang diupayakan untuk memerangi parasit dan patogen Interaksi Inang-Patogen Pada bagian ini, kita akan mempertimbangkan tiga contoh yang sangat berbeda mengenai interaksi antara inang dan parasit atau patogen, dengan tujuan memberikan suatu indikasi tentang berbagai cara terjadinya interaksi tersebut. 194 - Pengantar ke Genetika Veteriner

Upload: rraahhaassiiaa

Post on 15-Dec-2014

98 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

INANG, PARASIT DAN PATOGEN

‘…..dapatkah kita ragu bahwa individu yang mempunyai

kelebihan, walaupun sedikit, di atas yang lain, akan memiliki peluang terbaik untuk bertahan

dan mengembangkan jenisnya? (Darwin, 1859)

arasit dan patogen berpengaruh besar terhadap kesehatan dan produksi ternak di seluruh dunia. Oleh karena itu, sangat penting kita memahami hal tersebut sebanyak mungkin. Bahkan yang lebih

penting, kita harus memahami benar implikasi dari upaya manusia untuk mengendalikan parasit dan pathogen tersebut.

PTujuan dari bab ini adalah untuk memberikan pemahaman tersebut.

Kita akan memulainya dengan mempertimbangkan interaksi inang-patogen dan kemudian akan membahas landasan genetika tentang resistensi dalam inang, parasit, dan patogen. Kita akan mengakhirinya dengan beberapa ilustrasi mengenai cara-cara yang sekarang sedang diupayakan untuk memerangi parasit dan patogen Interaksi Inang-Patogen

Pada bagian ini, kita akan mempertimbangkan tiga contoh yang sangat berbeda mengenai interaksi antara inang dan parasit atau patogen, dengan tujuan memberikan suatu indikasi tentang berbagai cara terjadinya interaksi tersebut.

194 - Pengantar ke Genetika Veteriner

Page 2: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

Myxomatosis pada kelinci

Pada tahun 1859 seorang laki-laki Inggris yang kesepian, yang telah bosan tidak melihat apa-apa selain kangguru di rumahnya dekat Geelong di Australia, mengimpor beberapa kelinci dari Inggris. Dia berpikir ini akan meningkatkan aktivitas berburu. Sedikit dia ketahui bahwa importasi ini akan menimbulkan wabah pada beberapa kelinci secara serius sehingga hal itu akan mengancam kemapanan industri pastural di Australia.

Tidak ada usaha yang dilakukan oleh manusia yang berdampak besar pada populasi kelinci sampai CSIRO melepaskan galur virus myxoma yang bersifat virulent ke dalam populasi kelinci pada tahun 1950. Karena belum pernah kemasukan virus, kelinci-kelinci tersebut menjadi sangat rentan; liabilitas terhadap myxomatosis sangat tinggi--hampir 100% kelinci yang terinfeksi mati. Ini merupakan keberhasilan awal diketahuinya kombinasi inang rentan dan patogen virulent; myxomatosis menyebar sangat cepat, dan ribuan kelinci mati. Tapi keberhasilan awal tentang kombinasi tersebut tidak terjadi lagi dalam jangka panjang. CSIRO memahami ini dengan baik karena mereka menyadari bahwa kematian sejumlah besar kelinci menjadikan seleksi alam yang sangat kuat untuk resistensi pada inang, dan juga seleksi alam sangat kuat untuk avirulent pada patogen.

Jika tidak ada variasi genetik untuk liabilitas terhadap myxomatosis pada populasi kelinci, seleksi alam yang sangat kuat ini tidak akan berpengaruh. Tapi ada variasi genetik (heritabilitas untuk liabilitas terhadap myxomatosis sekitar 35%), dan hewan yang memiliki gen penyandi liabilitas rendah mempunyai peluang lebih besar bertahan hidup untuk bereproduksi dan oleh karena itu menurunkan gen ‘resistensinya’ kepada keturunannya. Demikian juga, jika tidak ada variasi genetik pada virus dan tidak ada mekanisme terjadinya variasi baru pada virus, sifat virulent tidak akan berubah. Tapi ada variasi genetik pada virus, atau (tampaknya memang demikian) variasi baru dibentuk oleh mutasi. Dan segera setelah terbentuk mutan yang menurunkan sifat virulent, kelinci yang terinfeksi virus yang kurang virulent dapat bertahan hidup lebih lama dan oleh karena itu memungkinkan lebih banyak menghasilkan ‘keturunan’ galur yang kurang virulent.

Oleh karenanya, tidak mengherankan munculnya galur kelinci yang memiliki resistensi meningkat terhadap virus dengan derajat bervariasi, dan galur virus yang memiliki virulent menurun dengan derajat bervariasi.

Galur baru virus yang bersifat virulent dikembangkan di laboratorium dan telah dilepaskan. Hasilnya sangat efektif sejak awal pelepasannya. Tapi sekali lagi, keberhasilan galur baru virus tersebut menjadikan seleksi alam yang sangat kuat untuk penurunan sifat virulent pada virus dan peningkatan resistensi pada inang, dengan hasilnya semakin sedikit kelinci yang mati.

Inang, Parasit dan Patogen - 195

Page 3: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

Pada situasi seperti ini, jelas ada interaksi sangat dinamis antara inang dan patogen. Manusia dapat merusak interaksi itu dari waktu ke waktu, tapi kemampuannya untuk merusak interaksi tersebut sesuai dengan arah yang diinginkan dibatasi oleh realitas biologi yang kita semua harus menyadari.

Itu tidak untuk mengatakan bahwa program myxomatosis seharusnya jangan dilakukan oleh CSIRO; justru sebaliknya, program tersebut sangat berhasil dan terus memainkan peranan penting dalam pengendalian populasi kelinci. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa untuk menghindari kekecewaan, keterbatasan karena realitas biologis harus difahami sebelum suatu program dimulai.

Interaksi inang–patogen yang dicontohkan oleh kelinci dan virus myxoma merupakan sesuatu yang khas. Sekarang kita akan membahas sebuah contoh tentang interaksi inang–patogen yang juga penting tapi agak kurang khas. Malahan, dalam contoh khusus ini, ada perdebatan mengenai seluk-beluk patogen. Penyakit prion

Ada sekelompok penyakit yang disebut spongioform encephalopathies, yang merupakan penyakit neurologis fatal yang telah diketahui selama beberapa tahun pada domba dan kambing (penyakit ini disebut scrapie), dan pada manusia (disebut penyakit kuru, penyakit Creutzfeldt-Jacob, dan sindrom Gerstmann-Straussler–Scheinker). Masih ada banyak kontroversi mengenai seluk-beluk sumber penyebab penyakit-penyakit ini. Namun demikian, tampaknya penyebab penyakit tersebut adalah suatu bentuk termodifikasi dari protein yang disandi oleh gen di dalam inang. Nama yang diberikan pada partikel protein yang menginfeksi ini adalah prion.

Gen inang tersebut dinamakan gen protein prion (PrP), yang adalah bagian normal dari genom mamalia dan ayam. Produk polipeptidanya, disebut PrPC, adalah protein yang terjadi secara alami yang menempel pada permukaan luar neuron dan, pada limfosit dan sel-sel lain. Sumber infeksi sebenarnya, disebut PrPSc, tampaknya merupakan bentuk termodifikasi dari PrPC, tetapi masih mempunyai sekuen asam amino yang sama. Satu dari teori-teori yang paling banyak diterima untuk penyebaran infeksi adalah bahwa saat molekul PrPSc memasuki inang yang sebelumnya tidak terinfeksi, mereka mengubah molekul PrPC yang terjadi secara alami, yang dihasilkan oleh gen PrP inang, ke dalam partikel terinfeksi, yang pada akhirnya menyebabkan gejala klinis pada ternak tersebut, dan yang juga dapat menyebar ke ternak lain, baik secara horizontal (oleh infeksi) maupun secara vertikal (melalui transmisi internal).

Pada domba, periode inkubasi setelah infeksi oleh agen scrapie diklasifikasi sebagai periode pendek (100–500 hari sebelum gejala klinis muncul) atau periode panjang (lebih dari 900 hari), dan variasi periode

196 - Pengantar ke Genetika Veteriner

Page 4: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

inkubasi ini dikendalikan oleh dua alel pada lokus Sip (scrapie incubation period). Alel untuk periode inkubasi pendek (sA) adalah alel untuk sifat rentan terhadap scrapie; dan alel untuk periode inkubasi panjang (pA) adalah alel untuk sifat resistensi (ekspresi tertunda). Yang menarik, ada bukti tidak langsung bahwa lokus Sip kenyataannya adalah lokus PrP.

Contoh menarik dan tidak biasa mengenai interaksi inang-patogen ini telah membingungkan para ilmuwan selama beberapa dekade, tapi pada tahun 1986 penyakit prion menjadi issue kesehatan publik internasional ketika sapi di Inggris memunculkan penyakit baru yang disebut bovine spongioform encephalopathy (BSE atau penyakit sapi gila). Diduga penyebab penyakit baru ini adalah pindahnya agen scrapie dari domba ke sapi, melalui pemberian pakan kotoran domba kepada sapi. Meskipun agen scrapie menyebabkan kematian pada sapi, tetapi tampaknya tidak bersifat infeksi pada sapi, dan tidak juga mampu pindah dari sapi ke spesies lain sehingga tidak terinfeksi. Jadi, kekhawatiran awal bahwa penyakit itu dapat menyebar ke manusia dengan cara makan daging sapi atau domba tampaknya belum dapat ditemukan.

Kejadian BSE telah memberikan dorongan baru untuk penelitian penyakit prion, seperti juga untuk penemuan baru tentang penyakit serupa pada kucing dan pada berbagai ternak non-domestik di penangkaran seperti pada Greater Kudu, cheetah, dan puma. Akan banyak dipelajari mengenai tipe interaksi inang-patogen yang paling tidak biasa ini dalam beberapa tahun ke depan.

Aspek sangat penting lainnya dari penyakit prion adalah tantangan bahwa mereka bersikap ke lembaga karantina di negara-negara yang bebas penyakit tersebut seperti Australia dan Selandia Baru. Misalnya, berapa lama seharusnya masa karantina untuk suatu penyakit yang periode inkubasinnya mungkin lebih lama dari masa kehidupan inang?

Pertanyaan itu dan pertanyaan lainnya mengenai penyakit yang bersifat infeksi maupun bersifat menurun akan terus menimbulkan tanda tanya bagi para dokter hewan selama beberapa waktu ke depan. African trypanosomiasis

African trypanosomiasis adalah penyaki ternak terpenting dari semua penyakit ternak di Afrika. Penyakit ini membunuh ribuan ternak setiap tahunnya, dan menurunkan produksi ratusan ribu sapi lain yang menderita infeksi kronis. Selain sapi, penyakit ini terjadi juga pada domba, kambing, unta, kuda, babi, dan berbagai spesies liar lainnya serta pada manusia, yang dikenal sebagai penyakit tidur. Ini disebabkan oleh berbagai spesies protozoa yang disebut tripanosoma yang terutama ditularkan melalui lalat tsetse.

Inang, Parasit dan Patogen - 197

Page 5: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

Ciri paling menarik dari infeksi tripanosoma adalah bahwa infeksi ini ditandai oleh fluktuasi jumlah tripanosoma pada inang yang terinfeksi, yang berkisar antara nol sampai kira-kira 1.500/ml darah. Alasan fluktuasi tersebut merupakan suatu fenomena yang disebut variasi antigen, yaitu terjadinya sekuens varian antigen yang berbeda yang semuanya timbul dari populasi pathogen tunggal yang awalnya memasuki inang.

Tripanosoma diselubungi oleh lapisan glikoprotein, dan penentu antigen lapisan ini adalah bagian protein, yang terdiri atas rantai tunggal sekitar 600 asam amino. Dengan bentuk rantai tunggal asam amino, penentu antigen tripanosoma merupakan produk gen di dalam tripanosoma .

Saat populasi tripanosoma memasuki inang, seluruh anggota populasi tersebut menunjukkan antigen dasar, yang merupakan satu diantara tipe antigen yang seringkali terjadi. Inang tersebut meningkatkan respon imun kuat, yang menghasilkan antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen dasar ini. Akibatnya, sebagian besar tripanosoma yang memasuki inang tersebut dihancurkan. Tapi saat itu, beberapa tripanosoma telah ‘menon-aktifkan’ gen penyandi antigen dasar, dan ‘mengaktifkan‘ gen penyandi antigen lain, yang berbeda rangkaian asam aminonya dengan antigen dasar. Tripanosoma yang membawa antigen kedua ini menggandakan diri secara cepat sampai sistem respon imun inang menghasilkan antibodi untuk melawan antigen kedua ini. Pada tahap ini beberapa tripanosoma juga menghasilkan antigen lain yang sebelumnya belum ketemu inang. Dan oleh karena itu fluktuasi jumlah tripanosoma terus berlanjut selama beberapa siklus, dengan pathogen yang secara teratur ‘mengubah tempatnya’ untuk tetap selangkah ke depan dari sistem respon imun inang.

Genom tripanosoma mengandung lebih dari 100 gen yang masing-masing menyandi jenis antigen berbeda. ‘Pengaktifan’ gen tertentu melibatkan penggandaan gen itu, dan transposisi berikutnya (pemindahan dan penyisipan) dari gen duplikat itu ke wilayah lain pada genom yang disebut situs ekspresi. Sekali menempat situs ekspresi, gen duplikat ditranskrip dan ditranslasikan menjadi antigen. Ketika tiba saatnya antigen berikutnya dihasilkan, gen yang bersangkutan digandakan dan duplikatnya disisipkan ke situs ekspresi, pada tempat gen duplikat sebelumnya, yang saat itu sudah disingkirkan dan hilang.

Ada tiga aspek lain dari variasi antigen yang perlu disebutkan. Yang pertama adalah bahwa variasi antigen terjadi bahkan walaupun tidak ada antibodi, yang menunjukkan bahwa tripanosoma agaknya telah diprogram sebelumnya untuk menghasilkan sekuen antigen bahkan dwalaupun tidak ada stimuli eksternal. Hal kedua adalah bahwa jika tripanosoma dihilangkan dari inang dan ditumbuh-kembangkan melalui lalat tse tse, mereka kembali menghasilkan satu diantara antigen dasar ketika mereka memasuki inang baru, terlepas dari antigen mana yang terakhir kali dihasilkan dalam inang sebelumnya. Ini juga menunjukkan tingkat pemograman sebelumnya (‘pre-

198 - Pengantar ke Genetika Veteriner

Page 6: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

programming’). Terakhir, jelas bahwa implikasi praktis dari variasi antigen adalah bahwa sangat sulit untuk menghasilkan vaksin yang akan efektif melawan sejumlah besar antigen yang berbeda, yang dihadapi setiap inang.

Fenomena variasi antigen adalah contoh penting mengenai interaksi inang-patogen. Dan itu berlaku untuk semua karena interkasi ini terjadi tidak hanya pada tripanosoma tapi juga pada protozoa lain termasuk anggota genus Plasmodium, yang menyebabkan malaria, dan genus Babesia, yang menyebabkan babbesiosus atau tick fever, suatu penyakit penting pada sapi yang telah disebutkan dalam Bab 8.

Resistensi pada Inang

Tidak ada kekurangan contoh tentang variasi genetik pada inang untuk resistensi terhadap patogen atau parasit. Malahan, jenis variasi ini ada pada sebagian besar, jika tidak semua, populasi inang, dalam kaitannya dengan sebagian besar, jika tidak semua, parasit dan patogen yang telah diselidiki. Variasi genetik ada antar-bangsa dan dalam-bangsa ternak dan biasanya bersifat multifaktor. Di antara beberapa contoh yang dicatat adalah variasi genetik untuk resistensi terhadap bakteri, virus, dan protozoa pada ayam; untuk resistensi terhadap bakteri pada kalkun; untuk resistensi terhadap bakteri, virus, dan protozoa pada ikan; untuk resistensi terhadap serangga (serangga lalat), bakteri(sakit pada kulit, sakit pada kaki), nematoda, dan bermacam-macam virus pada domba; untuk resistensi terhadap bakteri (athropic rhinitis dan scours) pada babi; dan untuk resistensi terhadap arthropoda (cattle tick, horn fly, stable fly), nematoda, tripanosoma, dan bakteri (mastitis) pada sapi. Kita akan mempertimbangkan dua contoh berikut, dimana gen untuk resistensinya telah diidentifikasi. Resistensi terhadap neonatal scours pada babi

Seperti telah kita lihat pada Bab 5, penyebab utama neonatal scours pada babi adalah galur E. coli yang mempunyai antigen pada permukaan sel yang disebut K88. Tapi tidak semua anak babi rentan terhadap E. Coli K88. Secara khusus, hanya anak-anak babi dengan reseptor K88 pada dinding ususnya yang menjadi rentan; anak babi yang tidak punya reseptor akan resisten. Seperti telah dilaporkan pada Bab 5, ada tidaknya reseptor K88 ditentukan oleh dua alel pada lokus autosom, dengan alel untuk adanya reseptor bersifat dominan lengkap terhadap alel yang tidak ada reseptornya. Jadi, resistensi terhadap scours E. Coli pada babi berada di bawah kontrol dua alel pada lokus tunggal, dengan resistensi bersifat resesif terhadap kerentanan.

Inang, Parasit dan Patogen - 199

Page 7: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

Resistensi terhadap penyakit Marek pada ayam

Penyakit Marek pada ayam adalah penyakit neoplastik dimana terjadinya pertumbuhan dari sel-sel tumor disebabkan oleh virus DNA. Ketika populasi galur ayam kontrol yang diternakkan secara acak diseleksi untuk sifat resistensi terhadap penyakit Marek, kematian akibat penyakit ini menurun secara dramatis dari sekitar 50% ke kurang dari 10% hanya dalam empat generasi. Pada galur lain yang diambil dari populasi kontrol yang sama, seleksi untuk sifat kerentanan meningkatkan kematian sampai di atas 90% pada periode yang sama. Menurut konsep yang didiskusikan dalam Bab 6, seleksi telah menghasilkan perubahan besar dalam liabilitas terhadap penyakit Marek. Kenyataan bahwa seleksi mampu mengubah liabilitas secara cepat menunjukkan bahwa ada variasi genetik substansial untuk liabilitas dalam populasi dasar. Dengan kata lain, ada variasi genetik substansial untuk resistensi terhadap pathogen.

Seperti telah disebutkan dalam Bab 8, ditunjukkan bahwa ada kaitan erat antara MHC histoglobulin B21 dan resistensi terhadap penyakit Marek. Kenyataannya, banyak perubahan pada liabilitas dalam galur seleksi yang dijelaskan di atas adalah akibat perubahan frekuensi alel B21. Ini adalah satu diantara kasus-kasus pertama dimana gen yang berkontribusi terhadap adanya variasi multifaktor dalam resistensi inang telah diidentifikasi. Seperti dijelaskan pada akhir bab ini, banyak temuan seperti itu akan muncul di masa depan Resistensi terhadap Parasit dan Patogen

Sekarang kita akan kembali ke parasit dan pathogen, pertama untuk menelaah sejauh mana variasi genetik resistensi pada mereka, dan kemudian untuk menguji seleksi yang mana yang dapat memanfaatkan variasi ini. Kita akan mempertimbangkan hanya satu contoh masing-masing dari serangga, helminths dan mikroorganisme. Contoh yang sama juga ada untuk sebagian besar, jika tidak semua, parasit dan patogen. Resistensi terhadap insektisida pada blowfly domba

Blowfly domba Australia, Lucilia cuprina, adalah penyebab utama hilangnya pendapatan industri wul di Australia, melalui kerusakan yang dilakukan oleh larva terhadap domba hidup, dan berakibat hilangnya produksi wul dan kematian domba. Upaya manusia untuk mengendalikan blowfly sampai saat ini terfokus terutama pada penyemprotan (jetting) dengan insektisida.

200 - Pengantar ke Genetika Veteriner

Page 8: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

Penggunaan insektisida segera menimbulkan respon yang dapat diduga pada blowfly. Tahun 1955, misalnya, organo-khlorin yang disebut dieldrin telah digunakan, dan ini sangat efektif pada awalnya, yang mampu memberikan perlindungan selama sekitar 8 minggu atau lebih setelah penyemprotan. Akan tetapi, dalam waktu 3 tahun keefektifannya turun drastis, dan domba terkena wabah blowflies hanya satu atau dua minggu setelah penyemprotan. Disebutkan bahwa blowflies menjadi resisten terhadap bahan kimia tersebut. Tahun 1958, insektisida baru dikenalkan, kali ini organo-fosfat disebut diazinon. Ini juga sangat efektif pada awalnya, tapi seperti pada dieldrin, segera kehilangan keefektifannya. Bahan kimia lain segera dikenalkan lagi untuk tetap dapat mengatasi blowfly. Tapi dalam setiap kasus, itu hanya merupakan masalah waktu saja sebelum blowfly akhirnya menjadi resisten.

Sekarang telah diketahui bahwa blowflies menjadi resisten pada setiap bahan kimia karena seleksi alam yang sangat kuat memilih alel untuk resistensi pada satu atau lebih lokus pada blowfly. Alel resisten ini biasanya bekerja dengan mengkode enzim yang mampu mendetoksifikasi insektisida, atau dengan mengkode varian enzim yang dihadapi insektisida, sehingga varian tersebut masih mampu berfungsi dengan adanya insektisida. Beberapa dari alel resistensi ini terletak pada lokus yang menyandi enzim sitokrom P-450, yang, seperti kita lihat pada Bab 9, memainkan peran kunci dalam mendetoksifikasi obat. Sebelum dikenalkan bahan kimia tertentu, alel resistensi biasanya dipertahankan pada frekuensi rendah dalam seluruh populasi lalat melalui keseimbangan antara mutasi dan seleksi, yang timbul karena alel resistensi, dengan tidak adanya bahan kimia, biasanya tidak bermanfaat. Adanya insektisida baru menghasilkan perubahan cepat pada fitness relatif tiga genotip RR, RS, dan SS (dimana R adalah alel resisten dan S adalah alel rentan), dengan hasil bahwa RR sekarang mempunyai fitness tertinggi dan SS terendah. Konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari perubahan pada fitness adalah peningkatan frekuensi alel R: populasi lalat menjadi lebih resisten.

Mengubah dari satu insektisida ke lain insektisida dalam kelompok senyawa kimia yang sama menghasilkan perubahan sangat sedikit jika efek bahan kimia, dan juga mekanisme kekebalan, adalah sama pada setiap kasus. Dengan kata lain, penggantian satu jenis bahan kimia dengan lainnya mungkin menyebabkan seleksi kuat memilih alel resistensi pada lokus berbeda. Kasus ini sama seperti cerita di atas. Jika alel resistensi pertama masih berpengaruh terhadap beberapa insektisida baru (jika ada resistensi silang), ini tetap pada frekuensi tinggi bahkan setelah insektisida asli ditarik penggunaannya. Ini yang kadang-kadang terjadi dalam prakteknya. Jika tidak ada resistensi silang, penarikan insektisida menyebabkan fitness relatif tiga genotip kembali ke nilai aslinya, dan frekuensi alel resistensi menurun

Inang, Parasit dan Patogen - 201

Page 9: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

ke nilai yang sangat rendah (tentu saja, dengan catatan bahwa frekuensi belum tetap/fixed di dalam populasi).

Dengan menggunakan teknik pemetaan gen standar, peneliti telah menentukan lokasi lokus resistensi pada genom blowfly. Sebagai contoh, ada dua lokus berbeda dengan alel-alel yang memberi resistensi pada organo-fosfat; satu pada kromosom 4 dan lainnya pada kromosom 6. Alel resistensi bersifat dominan lengkap terhadap alel kerentanan, dan telah dicatat memiliki frekuensi sangat tinggi (0,98-1,00) pada beberapa populasi alami blowflies. Resistensi dieldrin ditentukan oleh alel pada lokus ketiga, yang terletak pada kromosom 5. Ketika diledrin ditarik dari peredaran pada tahun 1958, frekuensi alel resistensi adalah sekitar 0,4. Sepuluh tahun kemudian, frekuensinya turun sampai sekitar 0.01, dan terus bertahan sejak itu. Kenyatan bahwa resistensi terhadap organo-fosfat terus berkembang selama periode penurunan resistensi dieldrin menunjukkan bahwa tidak ada resistensi silang antara dieldrin dan organo-fosfat.

Laporan di atas menunjukkan bahwa alasan bagi blowflies menjadi resisten terhadap insektisida pada dasarnya sangat sederhana; ini mewakili gambaran sempurna dari prinsip genetika populasi.

Situasi nyata sedikit lebih rumit dibandingkan uraian di atas. Sebagai contoh, ada gen-termodifikasi dengan pengaruh relatif kecil yang memainkan peranan dalam resistensi insektisida. Dengan kata lain, ada resistensi multifaktor selain resistensi gen-tunggal. Semakin lama insektisida tertentu digunakan, semakin banyak gen-termodifikasi yang terkena seleksi, dengan hasil bahwa gen resistensi utama menjadi berkurang frekuensinya saat insektisida ditarik dari peredaran. Walaupun rumit, gambaran di atas menonjolkan prinsip umum penting yang terlibat dalam perkembangan resistensi insektisida pada banyak spesies serangga, dan resistensi kimia pada umumnnya.

Kita dapat menyimpulkan bahwa konsekuensi yang tidak terhindari dari penggunaan insektisida secara luas adalah bahwa serangga menjadi resisten. Resistensi terhadap anthelmintic

Sekali lagi, prinsip yang sama berlaku. Sebagai contoh, hanya tiga tahun setelah peredarannya di USA tentang pemberian minum dari bahan kimia thiabendazole (TBZ), galur resisten terhadap Haemonchus contortus terdeteksi. Dengan meluasnya penggunaan ini dan benzimidazoles (BZ) lain pada beberapa daerah utama penghasil domba di dunia, resistensi terhadap berbagai bentuk BZ telah menjadi masalah utama. Yang masih lebih buruk, cacing yang resisten terhadap BZ kadang-kadang menunjukkan resistensi terhadap senyawa kimia lain yang digunakan sebagai bahan minuman, termasuk organo-fosfat, salicylanilides, dan substitusi nitrofenol.

202 - Pengantar ke Genetika Veteriner

Page 10: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

Para peneliti telah menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, resistensi disebabkan oleh alel tertentu dengan efek cukup besar pada lokus tunggal. Misalnya, sebagian besar variasi resistensi terhadap levamisole pada Trichostrongylus colubriformis disebabkan oleh alel resesif terpaut jenis kelamin. Walaupun demikian, pada kasus lain, resistensi tampaknya bersifat multifaktor, yang terutama ditentukan oleh alel-alel dengan efek cukup kecil pada sejumlah lokus yang tidak diketahui. Resistensi terhadap antibiotik

Dalam tahun-tahun setelah penggunaan penicillin secara luas, banyak galur bakteri resisten telah diiolasi. Antibiotik lain diperkenalkan, tapi galur baru yang resisten segera muncul. Lebih buruk lagi, banyak galur seperti itu resisten terhadap lebih dari satu antibiotik. Pemunculan resistensi terlalu cepat dan meluas untuk dijelaskan hanya dengan proses konvensional yang dijelaskan untuk spesies pathogen dan parasit lain di bagian awal, yaitu kenaikan frekuensi gen resisten, akibat dari seleksi selama proses transmisi vertikal gen-gen tersebut dari generasi ke generasi pada pathogen atau parasit. Kenyataannya, pemunculan resistensi antibiotik pada bakteri secara cepat dan meluas disebabkan terutama oleh kemampuan bakteri mentransfer gen secara horizontal (antar individu-individu dalam generasi yang sama) juga secara vertikal (antar generasi).

Ada tiga metode yang digunakan bakteri untuk mentransfer gen-gen secara horizontal. Ketiga metode itu adalah transformasi (pelepasan DNA dari satu sel, dan direspon oleh sel lain), transduksi (transfer DNA dari satu sel ke sel lainnya oleh bakteriofag), dan konjugasi (transfer DNA dari satu sel ke sel lainnya, mengikuti penggabungan—perkawinan--dari dua sel). Gen resistensi terhadap antibiotik bisa ditransfer secara horizontal dengan ketiga metode tersebut, dengan konjugasi sebagai metode yang paling penting. Proses ini melibatkan transfer dari satu sel ke sel lainnya dari kopi duplikat plasmid, yang, seperti kita lihat pada Bab 2, merupakan segmen sirkular DNA yang berfungsi secara bebas dari kromosom bakteri. Pentingnya konjugasi terletak pada kenyataan bahwa banyak gen penting untuk resistensi terhadap antibiotik terdapat pada plasmid. Plasmid yang membawa satu atau lebih gen resistensi disebut faktor R.

Transfer resistensi secara horizontal muncul karena ada sejumlah besar bakteri dalam linkungan eksternal dan internal manusia maupun ternak. Penggunaan antibiotik membuat lingkungan sesuai untuk hidupnya galur yang memiliki faktor R. Galur ini kemudian bertindak sebagai cadangan untuk transfer faktor R ke galur lain (termasuk galur pathogen) yang selalu ada dari waktu ke waktu.

Banyak jenis faktor-faktor R yang telah diidentifikasi, termasuk yang mempunyai gen tunggal penyandi resistensi terhadap hampir semua

Inang, Parasit dan Patogen - 203

Page 11: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

antibiotik yang saat ini dugunakan. Tapi ada juga plasmid yang telah diketahui mempunyai gen penyandi resistensi terhadap lebih dari satu antibiotik. Pada awalnya sulit untuk melihat bagaimana plasmid tersebut bisa muncul, sebab peluang terjadinya lebih dari satu mutasi yang relevan dalam plasmid yang sama sangat kecil. Jawaban untuk teka-teki ini muncul setelah penemuan transposon pada pertengahan 1970-an, yang merupakan transposable genetic element (TGE). Seperti dijelaskan pada Bab I ,TGE adalah segmen DNA yang bisa bergerak dari satu sisi ke sisi lainnya di dalam dan di antara kromosom. Di dalam bakteri, transposon bisa bergerak di dalam dan di antara plasmid dan pada kromosom bakteri. Mereka juga bisa menyisipkan diri ke dan pindah dari DNA bakteriofag. Aspek terpenting dari transposon adalah bahwa transposon terdiri atas satu atau lebih gen selain gen yang dibutuhkan untuk transposisi. Sialnya, gen tambahan ini sering memberi resistensi terhadap antibiotik.

Meskipun sebagian besar transposon hanya membawa satu gen penyandi resistensi terhadap antibiotik, sangat mudah untuk melihat bagaimana plasmid dengan gen penyandi resistensi ganda telah muncul begitu cepat; Plasmid mengumpulkan transposon yang tepat. Kenyataannya, sebuah plasmid yang membawa gen penyandi resistensi terhadap beberapa antibiotik yang berbeda adalah sebuah plasmid yang mengandung transposon yang tepat.

Ada banyak bukti mengenai peran transposisi dalam pembuatan plasmid dengan resistensi ganda, dan mengenai peran konjugasi yang memungkinkan penyebaran plasmid tersebut secara cepat, dan berarti penyebaran resistensi ganda, baik antar-spesies maupun dalam spesies bakteri. Juga ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan antibiotic secara ekstensif di seluruh dunia memberikan manfaat selektif untuk bakteri yang membawa resistensi ganda. Pengendalian terhadap Parasit dan Pathogen

Dengan mengilustrasikan adanya kenyataan bahwa parasit dan pathogen menunjukkan variasi genetik yang luas, kita sekarang akan mempertimbangkan beberapa cara yang digunakan manusia dalam upaya mengendalikannya, atau setidaknya memberantasnya. Lalat screw-worm

Ada dua jenis lalat screw worm: lalat Dunia lama (Chrysomya bezziana) dan lalat Dunia Baru (Cochliomyia hominivorax). Keduanya parasit pada hewan berdarah panas. Kerugian yang mereka sebabkan muncul dari kegemarannya berada di luka yang terbuka pada fase larva. Larva Dunia

204 - Pengantar ke Genetika Veteriner

Page 12: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

Lama, misalnya, menyebabkan hilangnya 30% anak sapi di New Guinea dan pada pada tahun 1950-an, larva Dunia Baru menyebabkan hilangnya pendapatan tahunan produksi sapi sekitar $100 juta di daerah selatan USA. Karena kepentingan ekonominya, banyak upaya telah diarahkan untuk pemberantasan lalat screw-worm dari USA, dengan sangat sukses.

Kontribusi terbesar dari kesuksesan ini adalah penggunaan kontrol biologi yang dikenal sebagai metode pelepasan serangga steril (Steril Insect Release Method/SIRM). Metode ini meliputi pemeliharaan sejumlah besar larva pada dua jenis kelamin di laboratorium, dan penyinaran radiasi dosis tinggi terhadap pupa tahap-akhir agar lalat menjadi steril. Lalat steril ini kemudian dilepaskan dari pesawat terbang pada luasan antara 1.600 dan 4.000 per mil-persegi per minggu. Prinsip metode ini adalah bahwa jika lalat steril ini dilepas, sebagian besar (dan lebih disukai semuanya) lalat liar akan kawin dengan lalat steril daripada kawain dengan sesame lalat liar (fertil). Ini tentu saja terjadi hanya jika lalat steril yang dilepas berjumlah banyak.

Kombinasi antara SIRM dan pengobatan sapi menghasilkan pembasmian lalat screw-worm dari bagian Tenggara USA pada tahun 1959, hanya dua tahun setelah program SIRM dimulai. Program pembasmian di daerah Barat Daya, yang terasa lebih ambisius, dimulai pada tahun 1962. Menjelang akhir tahun 1971 batasan area bebas lalat seluas 200 sampai 300 mil telah dibangun di sepanjang perbatasan Amerika-Meksiko dan seluruh daerah perbatasan utara adalah area bebas lalat. Sejak saat itu, komisi Amerika-Meksiko untuk pembasmian screw-worm (MACES) telah bergerak secara teratur ke daerah selatan. Pada tahun 1991, lalat telah dibasmi dari Meksiko. Jadi semakin sempit jangkauan lahan yang harus dibatasi, semakin mudah dan murah untuk mempertahankannya. Karenanya, tujuan beriktunya adalah memindahkan batasan ke Panama yang harus dicapai pada tahun 1996.

Meskipun keberhasilan program pemberantasan tersebut, lalat screw-worm kalah total. Pada tahun 1998, terjadi wabah di Libia, sebagian akibat dari impor daging yang terinfeksi dari Amerika Selatan. Munculnya lalat screw-worm di benua Afrika tersebut menjadi perhatian sangat serius di beberapa negara, karena dikhawatirkan akan menyebar ke seluruh Afrika, dan kemudian ke Eropa bagian selatan, Timur Tengah dan Asia. Di Afrika Utara sendiri, diduga biaya tahunan untuk pengobatan dan pencegahan telah mencapai $ 360 juta. Dan ancaman bagi hidupan liar maupun manusia (yang juga diserang), khususnya di Afrika Tengah, juga sangat serius.

Menghadapi bencana alam ini, organisasi pangan dan pertanian PBB (FAO) menyusun satuan tugas screw-worm dan mendirikan pusat darurat screw-worm untuk Afrika Utara (SECNA) pada pertengahan 1990. Setelah dilakukan investigasi intensif tentang penyebab utamanya, diputuskan bahwa penerapan program SIRM dirasa lebih tepat, dan MACES diminta untuk menyediakan pupa steril. Meskipun harus menyewa pesawat untuk

Inang, Parasit dan Patogen - 205

Page 13: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

menerbangkan pupa menyeberangi Lautan Atlantik dari Meksiko ke Libya, program ini akan lebih murah dan lebih cepat daripada membangun sebuah fasilitas baru di Libya.

Pengiriman dimulai pada bulan Desember 1990 sebanyak 3,5 juta lalat per minggu, dan meningkat secara teratur sampai Mei 1991, dimana 40 juta lalat telah diterbangkan menyeberangi Lautan Atlantik setiap minggunya. Program ini berlanjut sampai Oktober 1991, dan terbukti bahwa lalat screw- worm telah berhasil dibasmi dari Libya. Total biaya untuk operasi ini adalah sekitar $75 juta, $25 juta diantaranya disediakan oleh Libya, sedangkan sisanya diperoleh dari negara-negara lain. Karena pembasmian akan berhasil jika lalat steril dikembangkan, hasil analisis ekonomi independen terhadap program tersebut menunjukkan adanya rasio keuntungan:biaya (benefit-cost rasio) sebesar 50:1.

Penggunaan SIRM untuk pemberantasan lalat screw-worm, di Amerika Utara dan Libya, dapat dikatakan sebagai satu diantara banyak upaya manusia yang paling berhasil dalam kontrol biologi.

Meskipun dipertimbangkan sebagai suatu bentuk kontrol genetik, SIRM itu sendiri tidak terkait dengan genetik. Akan tetapi, program itu jelas mempunyai implikasi genetik terkait dengan masalah yang disebabkan oleh adaptasi lalat yang dipelihara di laboratorium, dan juga terkait dengan issue seperti kemungkinan terjadinya seleksi untuk perkawinan. (SIRM jelas mengganggu seleksi alam untuk kemampuan lalat liar mengenali dan mengawini sesama lalat liar daripada lalat yang dipelihara di laboratorim). Selain itu, prosedur sterilisasi dapat dipertimbangkan sebagai munculnya alel letal dominan. Serangga lain

SIRM konvensional meliputi pemeliharaan insekta di laboratorium sampai tahap dewasa (termasuk iradiasi pada tahap pupa), dan pelepasan insekta dewasa dari pesawat atau kendaraan lain. Jika sumber genetik sterilitas dapat digunakan sebagai alternatif radiasi, perlengkapan laboratorium dan fasilitas untuk iradiasi tidak diperlukan, dan serangga dapat dilepaskan pada tahap larva, yang jauh lebih mudah dan lebih murah. Manfaat lain dari pelepasan tahap larva adalah bahwa insekta dewasa yang dihasilkan menjadi lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya, karena telah mengalami masa pupa secara alami di tanah, dan hidup secara alami di area yang diharapkan.

Apakah sumber genetik sterilitas yang potensial? Jawaban yang mungkin adalah beberapa kejadian pengaturan kromosom (chromosomal rearrangements) yang dijelaskan pada Bab 4. Tentu saja, di bab tersebut, kita mendiskusikan pengaruh penyusunan kromosom pada kesuburan ternak. Tapi prinsip yang sama berlaku pula pada serangga. Dengan pemikiran ini,

206 - Pengantar ke Genetika Veteriner

Page 14: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

ada banyak penelitian mengenai pembuatan (hanya dengan sekali irradiasi) galur insekta yang dipelihara di laboratorium yang membawa satu atau lebih translokasi resiprokal antara autosom dan kromosom Y. Seluruh insekta jantan yang dipelihara bersifat heterozigot untuk translokasi tersebut, dan akibatnya menunjukkan pengurangan kesuburan yang merupakan ciri terjadinya pengaturan kromosom tersebut. Jika autosom yang terlibat dalam translokasi mengandung alel normal (wild-type) pada semua lokus, dan jika translokasi tersebut dimasukkan ke dalam populasi laboratorium yang bersifat homozigot untuk alel resesif yang merusak (deleterious)(seperti warna mata atau cacat pada sayap) pada suatu lokus di autosom yang sama, insekta jantan bertahan hidup (sebab mereka mempunyai satu tipe alel normal pada autosom yang tertranslokasi, selain bersifat homozigot untuk alel cacat pada autosom normalnya) tapi insekta betina tidak, sebab, tidak mempunyai kromosom Y, mereka tidak punya autosom tertranslokasi dan oleh karena itu tidak mempunyai alel normal.

Kombinasi antara kesuburan yang berkurang dan resesif cacat berpotensi untuk mempunyai potensi untuk pengendalian secara biologis terhadap serangga. Hal ini dan kemungkinan lain belum mencapai tahap untuk mengganti SIRM konvensional. Tapi ada peluang bahwa beberapa diantaranya akan terbukti sukses di masa yang akan datang. Cacing

Pada prinsipnya, teknik yang dijelaskan di atas untuk kontrol biologi pada serangga bisa juga diaplikasi pada cacing. Penelitian yang relative kecil telah dilaksanakan di area ini.

Di masa mendatang, peternak harus memberantas cacing setuntas mungkin, melalui drenching. Untungnya, sekarang ada banyak informasi yang tersedia mengenai sejauh mana resistensi silang antar kelas anthelmintic yang berbeda, yang melandasi rekomendasi penentuan waktu dan rotasi drenching, dengan tujuan memperlambat meluasnya resistensi.

Bakteri

Pandangan jangka panjang untuk kontrol bakteri adalah tidak baik. Seperti dijelaskan sebelumnya, bakteri memiliki cara efektif memindahkan gen penyandi resistensi terhadap antibiotik secara horizontal dan secara vertikal, dan penggunaan terus-menerus antibiotic secara luas menyebabkan peningkatan yang mengkhawatirkan pada bakteri resisten. Satu tahap yang dapat diambil untuk memudahkan tekanan seleksi untuk bakteri resisten adalah membatasi penggunaan antibiotik, misalnya, dengan melarang penggunaan antibiotik sebagai tambahan (additive) pada pakan ternak. Tapi penggunaan antibiotik ini merupakan bisnis yang menguntungkan sehingga

Inang, Parasit dan Patogen - 207

Page 15: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

saran pelarangan tersebut akan ditentang keras, dengan hasil bahwa antibiotik masih digunakan secara jauh lebih luas daripada yang dibutuhkan untuk keperluan terapi/pengobatan. Tampaknya kita harus belajar untuk hidup dengan resistensi terhadap antibiotik pada bakteri. Meningkatkan Level Resistensi pada Inang

Selain cara langsung mengendalikan pathogen dan parasit seperti dijelaskan di atas, sangat mungkin menekan beberapa pengaruh tidak langsung terhadap pathogen dan parasit, dengan meningkatkan level resistensi pada inang. Seleksi untuk resistensi pada inang

Kita telah melihat bahwa ada variasi genetic untuk resistensi pada sebagian besar pathogen dan parasit pada sebagian besar ternak domestik. Cara terbaik untuk memanfaatkan variasi tersebut adalah melakukan seleksi untuk resistensi yang meningkat. Ada sejumlah contoh strategi yang sukses. Namun demikian, ada keterbatasan utama dengan pendekatan ini, yaitu bahwa seluruh populasi secara sengaja diekspose ke pathogen dan parasit. Dalam beberapa kasus, misalnya parasit internal, ini sering terjadi meskipun manusia berupaya maksimal untuk mencegahnya, dimana seleksi untuk resistensi terjadi secara alami. Tapi seleksi buatan untuk resistensi menimbulkan masalah etika. Meskipun masalah–masalah ini dapat diatasi, keefektifan seleksi buatan untuk resistensi sangat terbatas kecuali jika resistensi dapat diukur berdasar skala kontinyu, atau setidaknya berdasar skala dengan banyak nilai yang berbeda (sebab jika ternak dikelompokkan sebagai resisten dan rentan saja, keefektifan seleksi bervariasi dengan prevalensi penyakit, dan variasi genetik yang ada dalam setiap kelas tidak bisa dieksploitasi). Karena keterbatasan ini, ada banyak perhatian untuk menemukan cara lain mengeksploitasi variasi genetik yang ada untuk resistensi pada inang. Penciri DNA seringkali memberi harapan besar untuk mencapai tujuan ini. Penciri DNA untuk resistensi pada inang

Tantangan besar saat ini adalah mencari penciri DNA untuk resistensi, yaitu polimorfisme DNA yang mudah dideteksi yang terpaut erat ke, atau bagian dari, gen yang berkontribusi pada variasi genetik untuk resistensi. Jika penciri tersebut bisa diidentifikasi, seleksi bisa dilakukan berdasar tes sampel darah (yakni dengan melakukan genotyping ternak pada lokus penciri), tanpa perlu mengekspos ternak ke pathogen atau parasit. Gen-gen

208 - Pengantar ke Genetika Veteriner

Page 16: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

pada MHC merupakan satu set kandidat untuk dapat digunakan sebagai penciri DNA, dan ini sedang banyak dilakukan penelitian saat ini. Tapi ada banyak gen lain yang terlibat dalam penentuan resistensi terhadap pathogen dan parasit. Tantangannya adalah mengidentifikasi gen-gen tersebut, dan kemudian menentukan cara terbaik bagaimana menggunakannya. Pengembangan peta genetik (dijelaskan pada Bab 2) adalah satu tahap penting untuk mencapai tujuan ini, sebab peta ini memungkinkan genom spesies inang akan dapat diidentifikasi secara sistematis. Secara lengkap, pendekatan umum untuk mengidentifikasi gen–gen yang memberi kontribusi ke variasi multifaktor dijelaskan pada Bab 11 dan 14. Transgenesis

Pada Bab 2, kita melihat dua cara berbeda bagaimana transgenesis mungkin dapat membuat resistensi pada inang--dengan mengembangkan hewan yang mengekspresikan bagian dari selubung protein pathogen atau enzim yang secara khusus diarahkan melawan parasit. Tidak diragukan lagi, pendekatan transgenik lain untuk resistensi akan dikembangkan. Terlalu cepat untuk mengetahui bagaimana keberhasilan pendekatan ini. Tapi harapan (dan dana) dari banyak orang tergantung pada potensinya untuk menyediakan cara penting untuk memberantas pathogen dan parasit. Implikasi praktis dari interaksi inang-pathogen

Dalam menggunakan berbagai pendekatan di atas untuk mengubah resistensi pada inang, kita tidak boleh melupakan implikasi praktis dari keseimbangan dinamis yang telah dibahas pada awal bab ini. Jika anda mengubah satu sisi (yakni tingkat resistensi pada inang), sisi lain (pathogen atau parasit) secara otomatis dihadapkan pada seleksi alam untuk mengatasi perubahan apapun yang terjadi. Idealnya, perubahan pada inang seharusnya cukup memberikan hambatan pada pathogen atau parasit. Tantangannya adalah menentukan perubahan yang mana pada inang yang sebaiknya diambil untuk menciptakan hambatan tersebut. Arah mana yang diambil, kita sebaiknya jangan merasa puas dengan kekuatan seleksi alam merespon tantangan yang akan diberikan oleh perkembangan dari resistensi yang meningkat pada inang.

Bacaan Lebih Lanjut Darwin, C. (1859). The origin of species by means of natural selection, (1st edn).

John Murray, London.

Inang, Parasit dan Patogen - 209

Page 17: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

Myxomatosis dan kelinci

Thompson, H. V. and King, C. M. (ed.) (1994). The European rabbit. Oxford University Press, Oxford.

Fenner, F. and Kerr, P. J. (1994). Evolution of the poxviruses, including the coevolution of virus and host in myxomatosis. In Evolutionary Biology of Viruses, (ed. S.S. Morse), pp. 273--92. Raven Press, New York.

Spongioform encephalopathies

Allen, I. V. (ed.) (1993). Spongiform encephalopathies. British Medical Bulletin, 49, (4), 725--1016.

Bradley, R., Wilesmith, J. W., Matthews, D., Meldrum, K. C., Will, R. G., Chillaud, T. et al. (1993). Bovine spongiform encephalopathy in the United Kingdom - memorandum from a WHO meeting. Bulletin of the World Health Organization, 71, 691--4.

Bradley, R. (ed.) (1994). Bovine spongiform encephalopathy. Livestock Production Science, 38, 1--59.

Collinge, J. (ed.) (1994). Molecular biology of prion diseases. Philosophical Transactions of the Royal Society of London Series B, 343, 353--463.

Goldmann, W., Hunter, N., Smith, G., Foster, J., and Hope, J. (1994). PrP genotype and agent effects in scrapie - change in allelic interaction with different isolates of agent in sheep, a natural host of scrapie. Journal of General Virology, 75, 989--95.

Marsh, R. F. (1994). Symposium on risk assessment of the possible occurrence of bovine spongiform encephalopathy in the United States - Madison, Wisconsin September 8, 1993-- Preface. Journal of the American Veterinary Medical Association, 204, 70--3.

Prusiner, S. B. (1993). Genetic and infectious prion diseases. Archives of Neurology, 50, 1129--53.

Prusiner, S. B. and Dearmond, S. J. (1994). Prion diseases and neurodegeneration. Annual Review of Neuroscience, 17, 311--39.

Savey, M., Belli, P., and Coudert, M. (1993). Bovine spongiform encephalopathy in Europe-- present and future. Veterinary Research, 24, 213--25.

Straub, O. C. (1994). Report on a symposium--transmissible spongiform encephalopathies. Tierarztliche Umschau, 49, 50--2.

Weaver, A. D. (1992). Bovine spongiform encephalopathy--its clinical features and epidemiology in the United-Kingdom and significance for the United-States. Compendium on Continuing Education for the Practicing Veterinarian, 14, 1647--56.

Westaway, D., Zuliani, V., Cooper, C. M., Dacosta, M., Neuman, S., Jenny, A. L. et al. (1994). Homozygosity for prion protein alleles encoding

210 - Pengantar ke Genetika Veteriner

Page 18: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

glutamine-171 renders sheep susceptible to natural scrapie. Genes & Development, 8, 959---69.

Wyatt, J. M., Pearson, G. R., and Gruffydd-Jones, T. J. (1993). Feline spongiform encephalopathy. Feline Practice, 21, 7--9.

Tripanosoma

Myler, P. J. (1993). Molecular variation in trypanosomes. Acta Tropica, 53, 205-25.

Vanderploeg, L. H. T., Gottesdiener, K., and Lee, M. G. S. (1992). Antigenic variation in African trypanosomes. Trends in Genetics, 8, 452--7.

Variasi dalam patogen/parasit

Robertson, B. D. and Meyer, T. F. (1992). Genetic variation in pathogenic bacteria. Trends in Genetics, 8, 422--7.

Schmidhempel, P. and Koella, J. C. (1994). Variability and its implications for host-parasite interactions. Parasitology Today, 10, 98--102.

Resistensi pada inang

Decastro, J. J. and Newson, R. M. (1993). Host resistance in cattle tick control. Parasitology Today, 9, 13--17.

Fivaz, B. H., Dewaal, D. T., and Lander, K. (1992). Indigenous and crossbred cattle--a comparison of resistance to ticks and implications for their strategic control in Zimbabwe. Tropical Animal Health and Production, 24, 81--9.

Gray, G. D. and Gill, H. S. (1993). Host genes, parasites and parasitic infections. International Journal for Parasitology, 23, 485-94.

Michaels, R. D., Whipp, S. C., and Rothschild, M. F. (1994). Resistance of Chinese Meishan, Fengjing, and Minzhu Pigs to the K88Ac(+) strain of Escherichia coli. American Journal of Veterinary Research, 55, 333--8.

Stamm, M. and Sorg, I. (1993). [Intestinal receptors for adhesive fimbriae of Escherichia coli in pigs - a review.] Schweizer Archiv Fur Tierheilkunde, 135, 89--95.

Wakelin, D. (1992). Genetic variation in resistance to parasitic infection: experimental approaches and practical applications. Research in Veterinary Science, 53, 139--47.

Wakelin, D. (1992). Immunogenetic and evolutionary influences on the host-parasite relationship: review. Developmental and Comparative Immunology, 16, 345--53.

Wakelin, D. and Blackwell, J. M. (ed.) (1988). Genetics of resistance to bacterial and parasitic infection. Taylor and Francis, London.

Inang, Parasit dan Patogen - 211

Page 19: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

Resistensi terhadap obat, umum

Bacchi, C. J. (1993). Resistance to clinical drugs in African trypanosomes. Parasitology Today, 9, 190--3.

Chapman, H. D. (1993). Resistance to anticoccidial drugs in fowl. Parasitology Today, 9, 159--62.

Denholm, I. and Rowland, M. W. (1992). Tactics for managing pesticide resistance in arthropods - theory and practice. Annual Review of Entomology, 37, 91--112.

Hennessy, D. R. (1994). The disposition of antiparasitic drugs in relation to the development of resistance by parasites of livestock. Acta Tropica, 56, 125--41.

Herd, R. P. (1993). Control strategies for ruminant and equine parasites to counter resistance, encystment, and ecotoxicity in the USA. Veterinary Parasitology, 48, 327--36.

Resistensi terhadap insektisida

Ffrenchconstant, R. H. (1994). The molecular and population genetics of cyclodiene insecticide resistance. Insect Biochemistry and Molecular Biology, 24, 335--45.

Hodgson, E., Rose, R. L., Goh, D. K. S., Rock, G. C., and Roe, R. M. (1993). Insect cytochrome-P-450--metabolism and resistance to insecticides. Biochemical Society Transactions, 21, 1060--5.

McKenzie, J. A. and Batterham, P. (1994). The genetic, molecular and phenotypic consequences of selection for insecticide resistance. Trends in Ecology & Evolution, 9, 166--9.

Roush, R.T. (1993). Occurrence, genetics and management of insecticide resistance. Parasitology Today, 9, 174-9.

Whyard, S., Russell, R. J., and Walker, V. K. (1994). Insecticide resistance and malathion carboxylesterase in the sheep blowfly, Lucilia cuprina. Biochemical Genetics, 32, 9--24.

Resistensi terhadap insektisida

Barger, I. A. (1993). Control of gastrointestinal nematodes in Australia in the 21st century. Veterinary Parasitology, 46, 23--32.

Coles, G. C., Borgsteede, F. H.M., and Geerts, S. (1994). Recommendations for the control of anthelmintic resistant nematodes of farm animals in the EU. Veterinary Record, 134, 205--6.

Craig, T. M. (1993). Anthelmintic resistance. Veterinary Parasitology, 46, 121--31.

Jackson, F. (1993). Anthelmintic resistance--the state of play. British Veterinary Journal, 149, 123--38.

212 - Pengantar ke Genetika Veteriner

Page 20: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

Lacey, E. and Gill, J. H. (1994). Biochemistry of benzimidazole resistance. Acta Tropica, 56, 245--62.

Lanusse, C. E. and Prichard, R. K. (1993). Relationship between pharmacological properties and clinical efficacy of ruminant anthelmintics--invited review paper. Veterinary Parasitology, 49, 123--58.

Le Jambre, L. F. (1993). Molecular variation in Trichostrongylid nematodes from sheep and cattle. Acta Tropica, 53, 331--43.

Schillinger, D. and Hasslinger, M. A. (1994). Benzimidazole resistance in small strongyles of horses--occurrence in Germany and strategies for avoiding resistance. Revue de Medecine Veterinaire, 145, 119--24.

Shoop, W. L. (1993). Ivermectin resistance. Parasitology Today, 9, 154--9. Waller, P. J. (1993). Towards sustainable nematode parasite control of

livestock. Veterinary Parasitology, 48, 295--309. Waller, P. J. (1994). The development of anthelmintic resistance in ruminant

livestock. Acta Tropica, 56,: 233--43. Resistensi terhadap antibiotik

Chin, G. J. and Marx, J. (ed.) (1994). Resistance to antibiotics. Science, 264, 359-93.

Espinasse, J. (1993). Responsible use of antimicrobials in veterinary medicine-- perspectives in France. Veterinary Microbiology, 35, 289--301.

Haesebrouck, F. and Devriese, L. (1994). Antimicrobial drug resistance and oral antibiotic medication in farm animals. Vlaams Diergeneeskundig Tijdschrift, 63, 3--6.

Jergens, A. E. (1994). Rational use of antimicrobials for gastrointestinal disease in small animals. Journal of the American Animal Hospital Association, 30, 123--31.

Kidd, A. R. M. (1993). European perspectives on the regulation of antimicrobial drugs. Veterinary and Human Toxicology, 35, (Suppl. 1), 6--9.

Lens, S. (1993). The role of the pharmaceutical animal health industry in post-marketing surveillance of resistance. Veterinary Microbiology, 35, 339-47.

Martel, J. L. and Coudert, M. (1993). Bacterial resistance monitoring in animals--the French national experiences of surveillance schemes. Veterinary Microbiology, 35, 321--38.

Mitsuhashi, S. (1993). Drug resistance in bacteria--history, genetics and biochemistry. Journal of International Medical Research, 21, 1--14.

Smith, J. T. and Lewin, C. S. (1993). Mechanisms of antimicrobial resistance and implications for epidemiology. Veterinary Microbiology, 35, 233--42.

Inang, Parasit dan Patogen - 213

Page 21: Bab 10-Inang, Parasit, Dan Patogen

Smith, W. J. (1993). Antibiotics in feed, with special reference to pigs--a veterinary viewpoint. Animal Feed Science and Technology, 45, 57--64.

Wray, C., Mclaren, I. M., and Beedell, Y. E. (1993). Bacterial resistance monitoring of Salmonellas isolated from animals: national experience of surveillance schemes in the United-Kingdom. Veterinary Microbiology, 35, 313--9.

Pemberantasan lalat screw-worm

Lindquist, D. A., Abusowa, M., and Hall, M. J. R. (1992). The New World screwworm fly in Libya--a review of its introduction and eradication. Medical and Veterinary Entomology 6, 2--8.

Vargasteran, M., Hursey, B.S., and Cunningham, E.P. (1994). Eradication of the screwworm from Libya using the sterile insect technique. Parasitology Today, 10, 119--22.

Pemuliaan untuk resistensi pada inang

Albers, G. A. A. (1993). Breeding for disease resistance--fact and fiction. Archiv Fur Geflugelkunde, 57, 56--8.

Anon. (ed.) (1994). Workshop on genetic improvement of resistance to mastitis based on SCC. Journal of Dairy Science, 77, 616--58.

Kloosterman, A., Parmentier, H. K., and Ploeger, H. W. (1992). Breeding cattle and sheep for resistance to gastrointestinal nematodes. Parasitology Today, 8, 330--5.

Fjalestad, K. T., Gjedrem, T., and Gjerde, B. (1993). Genetic improvement of disease resistance in fish--an overview. Aquaculture, 111, 65--74.

Flock, D. K. (1993). Improvement of disease resistance in poultry by conventional breeding techniques. Archiv Fur Geflugelkunde, 57, 49--55.

Ollivier, L. and Renjifo, X. (1991). Use of genetic resistance to K88 colibacillosis in pig breeding schemes. Genetique, Selection, Evolution 23, 235--48.

Owen, J. B. and Axford, R. F. E. (ed.) (1991). Breeding for resistance in farm animals. CAB International, Wallingford.

Shook, G. E. and Schutz, M. M. (1994). Selection on somatic cell score to improve resistance to mastitis in the United-States. Journal of Dairy Science, 77, 648--58.

214 - Pengantar ke Genetika Veteriner