genetika inang parasit patogen

29
INANG, PARASIT, DAN PATOGEN Pendahuluan Parasit dan pathogen berpengaruh besar terhadap kesehatan dan produksi ternak di seluruh dunia. Oleh karena itu, sangat penting kita memahami hal tersebut sebanyak mungkin. Sebelumnya kita harus mengetahui apa itu inang, parasit, dan pathogen? Bahasan tersebut akan dibahas secara mendetail pada bahasan berikut ini. Selain itu pada paper ini akan dibahas: interaksi inang pada pathogen, interaksi inang dan parasit, cara berbagai species hewan untuk, meningkatkan level resistensinya terhadap parasit dan pathogen, serta pengendalian agen-agen biologi yang membawa parasit dan pathogen. a. Inang Inang merupakan organisme yang menampung virus, parasit, partner mutualisme, atau partner komensalisme, yang umumnya menyediakan makanan dan tempat berlindung. Ada dua jenis inang, yaitu inang primer dan inang sekunder. Inang primer atau juga disebut inang definitif adalah tempat parasit tumbuh dewasa. Sedangkan inang sekunder atau inang antara adalah inang yang menampung parasit hanya untuk periode transisi yang hanya sementara. Bagi tripanosoma, penyebab penyakit tidur, manusia adalah inang primer dan lalat tsetse adalah inang sekundernya. 1

Upload: dewa-ayu-paranitha-ii

Post on 31-Dec-2014

142 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: genetika inang parasit patogen

INANG, PARASIT, DAN PATOGEN

Pendahuluan

Parasit dan pathogen berpengaruh besar terhadap kesehatan dan produksi

ternak di seluruh dunia. Oleh karena itu, sangat penting kita memahami hal

tersebut sebanyak mungkin. Sebelumnya kita harus mengetahui apa itu inang,

parasit, dan pathogen? Bahasan tersebut akan dibahas secara mendetail pada

bahasan berikut ini. Selain itu pada paper ini akan dibahas: interaksi inang pada

pathogen, interaksi inang dan parasit, cara berbagai species hewan untuk,

meningkatkan level resistensinya terhadap parasit dan pathogen, serta

pengendalian agen-agen biologi yang membawa parasit dan pathogen.

a. Inang

Inang merupakan organisme yang menampung virus, parasit, partner

mutualisme, atau partner komensalisme, yang umumnya menyediakan

makanan dan tempat berlindung. Ada dua jenis inang, yaitu inang primer dan

inang sekunder. Inang primer atau juga disebut inang definitif adalah tempat

parasit tumbuh dewasa. Sedangkan inang sekunder atau inang antara adalah

inang yang menampung parasit hanya untuk periode transisi yang hanya

sementara. Bagi tripanosoma, penyebab penyakit tidur, manusia adalah inang

primer dan lalat tsetse adalah inang sekundernya.

Gambar 1. Inang sekunder trypanosome “lalat tsetse”

b. Parasit

Parasit merupakan organism yang hidup pada permukaan atau dalam suatu

organisme yang disebut dengan inang. Parasit memperoleh makanannya

dengan cara mengabsorpsi nutrient dari tubuh inangnya sendiri, sehingga

inangnya kehilangan sebagian dari energi yang didapatkannya. Parasit

berproduksi dengan cepat lebih cepat daripada inangnya sendiri.

1

Page 2: genetika inang parasit patogen

Gambar 2. Kutu merupakan parasit pada rambut anjing

c. Patogen

Patogen merupakan suatu organisme yang membuat kerusakan atau kerugian

terhadap tubuh inangnya. Sebutan lain dari patogen adalah mikroorganisme

parasit. Umumnya istilah ini diberikan untuk agen yang mengacaukan fisiologi

normal hewan atau tumbuhan multiselular. Namun, patogen dapat pula

menginfeksi organisme uniselular dari semua kerajaan biologi.

Umumnya, hanya organisme yang sangat patogen yang dapat menyebabkan

penyakit, sementara sisanya jarang menimbulkan penyakit. Patogen oportunis

adalah patogen yang jarang menyebabkan penyakit pada makhluk hidup yang

memiliki imunokompetensi (immunocompetent) namun dapat menyebabkan

penyakit/infeksi yang serius pada orang yang tidak memiliki imunokompetensi

(immunocompromised). Patogen oportunis ini umumnya adalah anggota dari

flora normal pada tubuh. Istilah oportunis sendiri merujuk kepada kemampuan

dari suatu organisme untuk mengambil kesempatan yang diberikan oleh

penurunan sistem pertahanan inang untuk menimbulkan penyakit. Patogen

diklasifikasikan menjadi virus, bakteri, fungi, protozoa dan cacing.

1. Interaksi Inang pada Pathogen

a. Myxomatosis pada Kelinci

Pada tahun 1859 seorang laki-laki Inggris yang kesepian, yang telah bosan

tidak melihat apa-apa selain kangguru di rumahnya dekat Geelong di

Australia, mengimpor beberapa kelinci dari Inggris. Dia berpikir ini akan

meningkatkan aktivitas berburu. Sedikit dia ketahui bahwa importasi ini

akan menimbulkan penyakit menular yang berjangkit dengan cepat pada

beberapa kelinci secara serius sehingga hal itu akan mengancam

kemapanan industri ternak di Australia. Hingga pada akhirnya

2

Page 3: genetika inang parasit patogen

Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation

(CSIRO) melepaskan galur virus myxoma yang bersifat virulent pada

kelinci pada tahun 1950. Kelinci-kelinci tersebut akhirnya mati karena

sangat rentan terhadap virus tersebut, hingga liabilitas terhadap

myxomatosis sangat tinggi hampir 100%, kelinci yang terinfeksi menjadi

mati.

Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, adanya seleksi alam yang

sangat kuat untuk resistensi pada inang, dan juga seleksi alam yang sangat

kuat untuk avirulent pada pathogen menyebabkan adanya variasi genetik.

Dari sekian kelinci yang mati ada beberapa kelinci yang mengalami variasi

genetik dengan heritabilitas untuk liabilitas terhadap myxomatosis sekitar

35% menjadikan kelinci tersebut mempunyai peluang besar untuk bertahan

hidup untuk bereproduksi dan oleh karena itu menurunkan gen

resistensinya kepada keuturunannya, sehingga kelici keturunannya

mempunyai resistensi tinggi terhadap myxomatosis. Demikian juga adanya

variasi genetik pada virus myxoma menyebabkan adanya kelinci yang

terinfeksi virus dengan sifat virulent yang rendah menyebabkan kelinci

tersebut bertahan hidup lebih lama dan menghasilkan keuturunan dengan

galur yang kurang virulent.

Interaksi inang dan pathogen disini terlihat pada keresistensian kelinci

terhadap virus myxoma.

Gambar 3. Kelinci yang terkena virus myxoma dan virus myxoma

b. Penyakit Prion

Ada sekelompok penyakit yang disebut spongioform encephalopathies,

yang merupakan penyakit neurologis fatal yang telah diketahui selama

beberapa tahun pada domba dan kambing (penyakit ini disebut scrapie),

dan pada manusia (disebut penyakit kuru, penyakit Creutzfeldt-Jacob, dan

3

Page 4: genetika inang parasit patogen

sindrom Gerstmann-Straussler–Scheinker). Penyebab penyakit tersebut

ialah oleh bentukan modifikasi dari protein yang disandi oleh gen dalam

inang. Partikel protein tersebut dinamakan prion.

Gen inang tersebut dinamakan gen protein prion (PrP), yang adalah bagian

normal dari genom mamalia dan ayam. Produk polipeptidanya, disebut

PrPC, adalah protein yang terjadi secara alami yang menempel pada

permukaan luar neuron dan, pada limfosit dan sel-sel lain. Sumber infeksi

sebenarnya, disebut PrPSc, tampaknya merupakan bentuk termodifikasi dari

PrPC, tetapi masih mempunyai sekuen asam amino yang sama. Satu dari

teori-teori yang paling banyak diterima untuk penyebaran infeksi adalah

bahwa saat molekul PrPSc memasuki inang yang sebelumnya tidak

terinfeksi, mereka mengubah molekul PrPC yang terjadi secara alami, yang

dihasilkan oleh gen PrP inang, ke dalam partikel terinfeksi, yang pada

akhirnya menyebabkan gejala klinis pada ternak tersebut, dan yang juga

dapat menyebar ke ternak lain, baik secara horizontal (oleh infeksi)

maupun secara vertikal (melalui transmisi internal).

Pada tahun 1986 penyakit prion tersebut menular ke sapi. Ketika sapi di

Inggris memunculkan penyakit baru yang disebut bovine spongioform

encephalopathy (BSE atau penyakit sapi gila). Diduga penyebab penyakit

baru ini adalah pindahnya agen scrapie dari domba ke sapi, melalui

pemberian pakan kotoran domba kepada sapi. Meskipun agen scrapie

menyebabkan kematian pada sapi, tetapi tampaknya tidak bersifat infeksi

pada sapi, dan tidak juga mampu pindah dari sapi ke spesies lain sehingga

tidak terinfeksi.

Interaksi inang dan patogen pada penyakit ini belum diketahui pasti. Para

peneliti dan ilmuwan dokter hewan sedang mendalami kasus ini.

Gambar 4. Penyakit Prion pada Domba

4

Page 5: genetika inang parasit patogen

c. African Trypanosomiasis

African trypanosomiasis adalah penyakit ternak terpenting dari semua

penyakit ternak di Afrika. Penyakit ini disebakan oleh protozoa species

trypanosome yang di perantai oleh lalat tse-tse. Infeksi tripanosoma

ditandai oleh fluktuasi jumlah tripanosoma pada inang yang terinfeksi,

yang berkisar antara nol sampai kira-kira 1.500/ml darah. Alasan fluktuasi

tersebut merupakan suatu fenomena yang disebut variasi antigen, yaitu

terjadinya sekuens varian antigen yang berbeda yang semuanya timbul dari

populasi pathogen tunggal yang awalnya memasuki inang.

Tripanosoma pada inang awalnya normal-normal saja dengan member

signal antigen dasar. Kemudian inangnya mengeluarkan respon imun

berupa antibody untuk melawan infeksi dari tripanosoma ini. Namun

ternyata sebelum antibody iang ini berhasil menghancurkan tripanosoma

ini, sebelumnya tripanosoma sudah mengeluarkan antigen-antigen baru

untuk menginfeksi inang dengan cara menggandakan dirinya, sehingga

terjadilah fluktuasi jumlah tripanosoma pada inang tersebut.

Interaksi inang dan pathogen pada kasus ini menunjukkan hasil yaitu

adanya variasi antigen yang dilakukan oleh tripanosoma tersebut. Ada tiga

point utama yang bisa dismpulkan dari kasus ini yaitu pertama variasi gen

dari tripanosoma dapat terjadi walaupun tidak adanya antibodi dari

inangnya. Kedua, tripanosoma ini akan terus mengeluarkan antigen baru

biarpun sudah berpindah tempat dari satu inang ke inang lainnya. Ketiga,

implikasinya yaitu sulit untuk menenmukan vaksin yang efektif untuk

melawan variasi antigen yang berbeda pada setiap inang.

Gambar 5. Trypanosoma yang menyerang eritrosit

5

Page 6: genetika inang parasit patogen

Gambar 6. Lalat tse-tse vector pembawa tripanosoma

2. Resistensi pada Inang

a. Resistensi terhadap Penyakit Marek pada Ayam

Penyakit Marek pada ayam adalah penyakit neoplastik dimana terjadinya

pertumbuhan dari sel-sel tumor disebabkan oleh virus DNA. Ketika

diternakkan secara acak diseleksi untuk sifat resistensi terhadap penyakit

Marek, kematian akibat penyakit ini menurun secara drastis. Karena seleksi

telah menghasilkan perubahan besar dalam liabilitas terhadap penyakit

Marek. Dengan kata lain, ada variasi genetik substansial untuk resistensi

terhadap pathogen.

Gambar 7. Gambar ayam terkena penyakit marek

b. Resistensi terhadap Neonatal Scours pada BabiPenyebab utama neonatal scours pada babi adalah galur E. coli yang

mempunyai antigen pada permukaan sel yang disebut K88. Tapi tidak

semua anak babi rentan terhadap E. Coli K88. Secara khusus, hanya anak-

anak babi dengan reseptor K88 pada dinding ususnya yang menjadi rentan;

anak babi yang tidak punya reseptor akan resisten. ada tidaknya reseptor

K88 ditentukan oleh dua alel pada lokus autosom, dengan alel untuk adanya

reseptor bersifat dominan lengkap terhadap alel yang tidak ada reseptornya.

6

Page 7: genetika inang parasit patogen

Jadi, resistensi terhadap scours E. Coli pada babi berada di bawah kontrol

dua alel pada lokus tunggal, dengan resistensi bersifat resesif terhadap

kerentanan.

Gambar 8. Babi di beri vaksin

c. Resistensi terhadap Cacing pada Domba

Menurut Le Jambre (1978) banyak bukti variasi antara keturunan dan

variasi genetik dalam resistensi cacing pada domba. Perbedaan genetik

dalam keturunan sangat penting karena mereka membuka jalan untuk

program seleksi yang bertujuan untuk meningkatkan perlawanan. Di

Australia domba merino ditemukan 0,35 telur cacing maksimum per grm

dalam fases dan 0,16 defleksi hematokrit. Pencegahannya dengan

melakukan vaksin.

Gambar 9. Cacing pada Domaba dan Siklus Cacing pada Domba

d. Resistensi terhadap Blowfly pada Domba

7

Page 8: genetika inang parasit patogen

Blowfly (lalat) domba Australia yang disebabkan oleh Lucilia cuprina yang

menyerang bulu (wol) domba. Variasi terhadap insiden pemogokan

terutama berkaitan dengan terjadinya kerentanan domba terhadap blowfly.

kepadatan lalat domba di daerah. Perangkap tangkapan sesedikit 1-2 lalat /

jam, atau perkiraan kepadatan 7-10 lalat/ hektar yang dapat menyebabkan

penyerangan terhadap domba yang rentan. Lalat domba tidak bisa bertelur

sampai mereka telah mengkonsumsi protein. Resistensi ini menyebabkan

bulu menjadi busuk. Upaya untuk mengendalikannya adalah dengan

penyemprotan insektisida.

Gambar 10. Blofly dan Larva yang Ditinggalkan pada Hewan Ternak

e. Resistensi Kutu pada TernakTernak centang (Rhipicephalus microplus sebelumnya Boophilus microplus)

merupakan hama ekonomi yang serius dari industri ternak Northern

Territory. Produksi ternak dapat dikurangi secara signifikan jika ternak kutu

infestasi tidak dikelola secara efektif. Ternak kutu juga bertanggung jawab

untuk menularkan penyakit lain yang menyebabkan kerugian pada

organisme ternak. Ternak kutu dapat dikirimkan melalui darah organisme

demam, dan juga dapat menyebabkan penyakit dan kematian pada sapi.

Program pengendalian terhadap kutu pada ternak bertujuan meminimalis

risiko penyebaran dalam Zona Kontrol dan Zona Bebas dan juga untuk

meminimalkan penyebaran Parkhurst ternak kutu. Risiko wabah demam

kutu dan strategi yang diperlukan untuk mencegah demam kutu ditentukan

oleh distribusi kutu ternak. Parkhurst ternak kutu adalah kutu sapi yang

tahan terhadap produk kimia tertentu. Ini termasuk piretroid sintetik (SP)

8

Page 9: genetika inang parasit patogen

dan organofosfat (OP) kelompok bahan kimia seperti Bayticol, Barricade S,

Blokade S dan produk Tixafly. Parkhurst ternak kutu pertama kali terdeteksi

di stasiun ternak di wilayah Darwin Wilayah di akhir 1990-an. Sebuah

survei terbaru untuk menentukan distribusi saat ini telah menunjukkan

bahwa banyak properti di Darwin Kawasan sekarang terinfeksi dengan kutu

Parkhurst. Pada tanggal 1 Mei 2011 Parkhurst Terinfeksi Zona baru

diperkenalkan untuk mencoba dan mengandung kutu Parkhurst ke area yang

terinfeksi dikenal. Gerakan pembatasan berlaku untuk saham bergerak

keluar dari Zona Terinfeksi Parkhurst.

Gambar 11. Kutu Parkhust dan Ternak yang Terinfeksi Kutu Parkhust

3. Resistensi terhadap Parasit dan Patogen

a. Resistensi terhadap Anthelmintic

Infeksi cacing nematoda saluran pencernaan banyak menyerang domba dan kambing, serta merupakan salah satu faktor penghambat peningkatan produktivitas ternak yang sering menimbulkan kematian terutama pada ternak muda. Penanggulangan yang saat ini banyak dilakukan adalah dengan pemberian antelmintik dari golongan benzimidazole. Pengobatan secara rutin dengan antelmintik mempunyai resiko terjadinya resistensi. Resistensi disebabkan oleh alel tertentu dengan efek cukup besar pada lokus tunggal.Pada kondisi tersebut kemungkinan kecil antelmintik akan memberikan efikasi 100% terhadap semua jenis parasit dan 100% efektif sepanjang waktu. Hal tersebut karena, ketika antelmintik digunakan, beberapa parasit yang tahan terhadap antelmintik akan membawa gen resisten (Waller, 1993). Situasi ini menyebabkan perlunya strategi yang berbeda saat pemberian antelmintik pada daerah yang tidak mempunyai kejadian resisten. Bagaimanapun juga frekuensi pemberian antelmintik memicu perkembangan resistensi antelmintik, meningkatkan residu obat pada produk hewan dan mempunyai efek negatif pada lingkungan.

9

Page 10: genetika inang parasit patogen

Gambar 12. Cacing Nematoda yang Menyerang Usus Domba

b. Resistensi terhadap Antibiotik

Setelah ditemukannya antibiotic, ada beberapa galur yang resisten terhadap

antibiotik. Kenaikan frekuensi gen resisten, akibat dari seleksi selama

proses transmisi vertikal gen-gen tersebut dari generasi ke generasi pada

pathogen atau parasit. Pemunculan resistensi antibiotik pada bakteri secara

cepat dan meluas disebabkan terutama oleh kemampuan bakteri mentransfer

gen secara horizontal (antar individu-individu dalam generasi yang sama)

juga secara vertikal (antar generasi).

Ada tiga metode yang digunakan bakteri untuk mentransfer gen-gen secara

horizontal :

a. Transformasi (pelepasan DNA dari satu sel, dan direspon oleh sel

lain)

b. Transduksi (transfer DNA dari satu sel ke sel lainnya oleh

bakteriofag)

c. Konjugasi (transfer DNA dari satu sel ke sel lainnya, mengikuti

penggabungan perkawinan dari dua sel) metode yang paling penting

dalam pentransferan.

Pentingnya konjugasi terletak pada kenyataan bahwa banyak gen penting

untuk resistensi terhadap antibiotik terdapat pada plasmid. Plasmid yang

10

Page 11: genetika inang parasit patogen

membawa satu atau lebih gen resistensi disebut faktor R. Plasmid muncul

karena transposon yang merupakan transposable genetic element (TGE)

yaitu segmen DNA yang bisa bergerak dari satu sisi ke sisi lainnya di dalam

dan di antara kromosom.

Gambar 13. Resistensi bakteri terhadap Antibiotik

c. Resistensi terhadap Insektisida pada Blowfly Domba

Blowfly domba Australia yang disebabkan oleh Lucilia cuprina yang

menyerang bulu (wol) karena larva menyerang domba. Upaya manusia

untuk mengendalikan blowfly sampai saat ini terfokus terutama pada

penyemprotan (jetting) dengan insektisida. Contoh penggunaannya adalah

dengan organo-khlorin (1955) yang disebut dieldrin pada mulanya efektif,

namun setelah dipakai 3 tahun keefektifan menurun drastis karena blowflies

menjadi resisten terhadap bahan kimia tersebut.

Alel resisten timbul dan bekerja dengan mengkode enzim sitokrom P-450

yang mampu mendetoksifikasi insektisida, atau dengan mengkode varian

enzim yang dihadapi insektisida, sehingga varian tersebut masih mampu

berfungsi dengan adanya insektisida.

Penggantian satu jenis bahan kimia dengan lainnya mungkin menyebabkan

seleksi kuat memilih alel resistensi pada lokus berbeda. Resistensi dieldrin

ditentukan oleh alel pada lokus ketiga, yang terletak pada kromosom 5.

11

Page 12: genetika inang parasit patogen

Gambar 14. Inteksisida Blowfly terhadap Domba

4. Pengendalian Agen-agen Biologi yang Membawa Parasit dan Pathogen

a. Lalat screw worm

Ada dua jenis lalat screw worm: lalat Dunia lama (Chrysomya bezziana) dan

lalat Dunia Baru (Cochliomyia hominivorax). Keduanya parasit pada hewan

berdarah panas. Kerugian yang mereka sebabkan muncul dari kegemarannya

berada di luka yang terbuka pada fase larva.

Cara penanggulangannya adalah dengan penggunaan kontrol biologi yang

dikenal sebagai metode pelepasan serangga steril (Steril Insect Release

Method/SIRM). Metode ini meliputi pemeliharaan sejumlah besar larva pada

dua jenis kelamin di laboratorium, dan penyinaran radiasi dosis tinggi terhadap

pupa tahap-akhir agar lalat menjadi steril. Lalat steril ini kemudian dilepaskan

dari pesawat terbang pada luasan antara 1.600 dan 4.000 per mil-persegi per

minggu. Prinsip metode ini adalah bahwa jika lalat steril ini dilepas, sebagian

besar (dan lebih disukai semuanya) lalat liar akan kawin dengan lalat steril

daripada kawain dengan sesame lalat liar (fertil). Ini tentu saja terjadi hanya

jika lalat steril yang dilepas berjumlah banyak.

Program tersebut mempunyai implikasi genetic yaitu:

1. Adaptasi lalat yang dipelihara di laboratorium

2. SIRM mengganggu seleksi alam untuk kemampuan lalat liar mengenali dan

mengawini sesama lalat liar daripada lalat yang dipelihara di laboratorium.

3. Prosedur strelisasi tersebut dipertimbangkan sebagai proses munculnya alel

letal yang dominan.

Gambar 15. Chrysomya bezziana dan Cochliomyia hominivorax

12

Page 13: genetika inang parasit patogen

b. Cacing

Pemberantasan terhadap cacing dapat dilakukan dengan teknik drenching.

Teknik drenching adalah teknik dengan pemberial oral obat cacing ke dalam

tenggorokan domba menggunakan alat yang berbetuk seperti pistol.

Gambar 16. Teknik drenching pada Domba

c. Bakteri

Pengendalian terhadap bakteri dapat dengan cara menekan penggunaan

antibiotic sebagai tambahan pada pakan ternak. Karena apabila kita

menggunakan antiobiotik akan menyebabkan resistensi bakteri.

13

Page 14: genetika inang parasit patogen

DAFTAR PUSTAKA

Darwin, C. (1859). The origin of species by means of natural selection, (1st edn).

John Murray, London. Myxomatosis dan kelinci

Thompson, H. V. and King, C. M. (ed.) (1994). The European rabbit. Oxford

UniversityPress, Oxford.

Fenner, F. and Kerr, P. J. (1994). Evolution of the poxviruses, including the

coevolution of virus and host in myxomatosis. In Evolutionary Biology of

Viruses, (ed. S.S. Morse), pp. 273--92. Raven Press, New York.

Spongioform encephalopathies

Allen, I. V. (ed.) (1993). Spongiform encephalopathies. British Medical Bulletin,

49, (4), 725--1016.

Bradley, R., Wilesmith, J. W., Matthews, D., Meldrum, K. C., Will, R. G.,

Chillaud, T. et al. (1993). Bovine spongiform encephalopathy in the United

Kingdom - memorandum from a WHO meeting. Bulletin of the World

Health Organization, 71, 691--4.

Bradley, R. (ed.) (1994). Bovine spongiform encephalopathy. Livestock

Production Science, 38, 1--59.

Collinge, J. (ed.) (1994). Molecular biology of prion diseases. Philosophical

Transactions of the Royal Society of London Series B, 343, 353--463.

Goldmann, W., Hunter, N., Smith, G., Foster, J., and Hope, J. (1994). PrP

genotype and agent effects in scrapie - change in allelic interaction with

different isolates of agent in sheep, a natural host of scrapie. Journal of

General Virology, 75, 989--95.

Marsh, R. F. (1994). Symposium on risk assessment of the possible occurrence of

bovine spongiform encephalopathy in the United States - Madison,

Wisconsin September 8, 1993-- Preface. Journal of the American Veterinary

Medical Association, 204, 70--3.

Prusiner, S. B. (1993). Genetic and infectious prion diseases. Archives of

Neurology, 50, 1129--53.

Prusiner, S. B. and Dearmond, S. J. (1994). Prion diseases and neurodegeneration.

Annual Review of Neuroscience, 17, 311--39.

14

Page 15: genetika inang parasit patogen

Savey, M., Belli, P., and Coudert, M. (1993). Bovine spongiform encephalopathy

in Europe-- present and future. Veterinary Research, 24, 213--25.

Straub, O. C. (1994). Report on a symposium--transmissible spongiform

encephalopathies. Tierarztliche Umschau, 49, 50--2.

Weaver, A. D. (1992). Bovine spongiform encephalopathy--its clinical features

and epidemiology in the United-Kingdom and significance for the United-

States. Compendium on Continuing Education for the Practicing

Veterinarian, 14, 1647--56.

Westaway, D., Zuliani, V., Cooper, C. M., Dacosta, M., Neuman, S., Jenny, A. L.

et al. (1994). Homozygosity for prion protein alleles encoding glutamine-

171 renders sheep susceptible to natural scrapie. Genes & Development, 8,

959---69.

Wyatt, J. M., Pearson, G. R., and Gruffydd-Jones, T. J. (1993). Feline spongiform

encephalopathy. Feline Practice, 21, 7--9. Tripanosoma

Myler, P. J. (1993). Molecular variation in trypanosomes. Acta Tropica, 53, 205-

25.

Vanderploeg, L. H. T., Gottesdiener, K., and Lee, M. G. S. (1992). Antigenic

variation in African trypanosomes. Trends in Genetics, 8, 452--7.

Variasi dalam patogen/parasit

Robertson, B. D. and Meyer, T. F. (1992). Genetic variation in pathogenic

bacteria. Trends in Genetics, 8, 422--7.

Schmidhempel, P. and Koella, J. C. (1994). Variability and its implications for

host-parasite interactions. Parasitology Today, 10, 98--102.

Resistensi pada inang

Decastro, J. J. and Newson, R. M. (1993). Host resistance in cattle tick control.

Parasitology Today, 9, 13--17.

Fivaz, B. H., Dewaal, D. T., and Lander, K. (1992). Indigenous and crossbred

cattle--a comparison of resistance to ticks and implications for their strategic

control in Zimbabwe. Tropical Animal Health and Production, 24, 81--9.

Gray, G. D. and Gill, H. S. (1993). Host genes, parasites and parasitic infections.

International Journal for Parasitology, 23, 485-94.

15

Page 16: genetika inang parasit patogen

Michaels, R. D., Whipp, S. C., and Rothschild, M. F. (1994). Resistance of

Chinese Meishan, Fengjing, and Minzhu Pigs to the K88Ac(+) strain of

Escherichia coli. American Journal of Veterinary Research, 55, 333--8.

Stamm, M. and Sorg, I. (1993). [Intestinal receptors for adhesive fimbriae of

Escherichia coli in pigs - a review.] Schweizer Archiv Fur Tierheilkunde,

135, 89--95.

Wakelin, D. (1992). Genetic variation in resistance to parasitic infection:

experimental approaches and practical applications. Research in Veterinary

Science, 53, 139--47.

Wakelin, D. (1992). Immunogenetic and evolutionary influences on the host-

parasite relationship: review. Developmental and Comparative Immunology,

16, 345--53.

Wakelin, D. and Blackwell, J. M. (ed.) (1988). Genetics of resistance to bacterial

and parasitic infection. Taylor and Francis, London. Resistensi terhadap

obat, umum

Bacchi, C. J. (1993). Resistance to clinical drugs in African trypanosomes.

Parasitology Today, 9, 190--3.

Chapman, H. D. (1993). Resistance to anticoccidial drugs in fowl. Parasitology

Today, 9, 159--62.

Denholm, I. and Rowland, M. W. (1992). Tactics for managing pesticide

resistance in arthropods - theory and practice. Annual Review of

Entomology, 37, 91--112.

Hennessy, D. R. (1994). The disposition of antiparasitic drugs in relation to the

development of resistance by parasites of livestock. Acta Tropica, 56, 125--

41.

Herd, R. P. (1993). Control strategies for ruminant and equine parasites to counter

resistance, encystment, and ecotoxicity in the USA. Veterinary Parasitology,

48, 327--36.

Resistensi terhadap insektisida

Ffrenchconstant, R. H. (1994). The molecular and population genetics of

cyclodiene insecticide resistance. Insect Biochemistry and Molecular

Biology, 24, 335--45.

16

Page 17: genetika inang parasit patogen

Hodgson, E., Rose, R. L., Goh, D. K. S., Rock, G. C., and Roe, R. M. (1993).

Insect cytochrome-P-450--metabolism and resistance to insecticides.

Biochemical Society Transactions, 21, 1060--5.

McKenzie, J. A. and Batterham, P. (1994). The genetic, molecular and phenotypic

consequences of selection for insecticide resistance. Trends in Ecology &

Evolution, 9, 166--9.

Roush, R.T. (1993). Occurrence, genetics and management of insecticide

resistance. Parasitology Today, 9, 174-9.

Whyard, S., Russell, R. J., and Walker, V. K. (1994). Insecticide resistance and

malathion carboxylesterase in the sheep blowfly, Lucilia cuprina.

Biochemical Genetics, 32, 9--24.

Resistensi terhadap insektisida

Barger, I. A. (1993). Control of gastrointestinal nematodes in Australia in the 21st

century. Veterinary Parasitology, 46, 23--32.

Coles, G. C., Borgsteede, F. H.M., and Geerts, S. (1994). Recommendations for

the control of anthelmintic resistant nematodes of farm animals in the EU.

Veterinary Record, 134, 205--6.

Craig, T. M. (1993). Anthelmintic resistance. Veterinary Parasitology, 46, 121--

31.

Jackson, F. (1993). Anthelmintic resistance--the state of play. British Veterinary

Journal, 149, 123--38.

Lacey, E. and Gill, J. H. (1994). Biochemistry of benzimidazole resistance. Acta

Tropica, 56, 245--62.

Lanusse, C. E. and Prichard, R. K. (1993). Relationship between pharmacological

properties and clinical efficacy of ruminant anthelmintics--invited review

paper. Veterinary Parasitology, 49, 123--58.

Le Jambre, L. F. (1993). Molecular variation in Trichostrongylid nematodes from

sheep and cattle. Acta Tropica, 53, 331--43.

Schillinger, D. and Hasslinger, M. A. (1994). Benzimidazole resistance in small

strongyles of horses--occurrence in Germany and strategies for avoiding

resistance. Revue de Medecine Veterinaire, 145, 119--24.

Shoop, W. L. (1993). Ivermectin resistance. Parasitology Today, 9, 154--9.

17

Page 18: genetika inang parasit patogen

Waller, P. J. (1993). Towards sustainable nematode parasite control of

livestock. Veterinary Parasitology, 48, 295--309.

Waller, P. J. (1994). The development of anthelmintic resistance in ruminant

livestock. Acta Tropica, 56,: 233--43.

Resistensi terhadap antibiotik

Chin, G. J. and Marx, J. (ed.) (1994). Resistance to antibiotics. Science, 264, 359-

93.

Espinasse, J. (1993). Responsible use of antimicrobials in veterinary

medicine-- perspectives in France. Veterinary Microbiology, 35, 289--301.

Haesebrouck, F. and Devriese, L. (1994). Antimicrobial drug resistance and oral

antibiotic medication in farm animals. Vlaams Diergeneeskundig Tijdschrift,

63, 3--6.

Jergens, A. E. (1994). Rational use of antimicrobials for gastrointestinal disease in

small animals. Journal of the American Animal Hospital Association, 30,

123--31.

Kidd, A. R. M. (1993). European perspectives on the regulation of antimicrobial

drugs. Veterinary and Human Toxicology, 35, (Suppl. 1), 6--9.

Lens, S. (1993). The role of the pharmaceutical animal health industry in post-

marketing surveillance of resistance. Veterinary Microbiology, 35, 339-47.

Martel, J. L. and Coudert, M. (1993). Bacterial resistance monitoring in animals--

the French national experiences of surveillance schemes. Veterinary

Microbiology, 35, 321--38.

Mitsuhashi, S. (1993). Drug resistance in bacteria--history, genetics and

biochemistry. Journal of International Medical Research, 21, 1--14.

Smith, J. T. and Lewin, C. S. (1993). Mechanisms of antimicrobial resistance and

implications for epidemiology. Veterinary Microbiology, 35, 233--42.

Smith, W. J. (1993). Antibiotics in feed, with special reference to pigs--a

veterinary viewpoint. Animal Feed Science and Technology, 45, 57--64.

Wray, C., Mclaren, I. M., and Beedell, Y. E. (1993). Bacterial resistance

monitoring of Salmonellas isolated from animals: national experience of

surveillance schemes in the United-Kingdom. Veterinary Microbiology, 35,

313--9.

18

Page 19: genetika inang parasit patogen

Pemberantasan lalat screw-worm

Lindquist, D. A., Abusowa, M., and Hall, M. J. R. (1992). The New World

screwworm fly in Libya--a review of its introduction and eradication.

Medical and Veterinary Entomology 6, 2--8.

Vargasteran, M., Hursey, B.S., and Cunningham, E.P. (1994). Eradication of the

screwworm from Libya using the sterile insect technique. Parasitology

Today, 10, 119--22.

Pemuliaan untuk resistensi pada inang

Albers, G. A. A. (1993). Breeding for disease resistance--fact and fiction. Archiv

Fur Geflugelkunde, 57, 56--8.

Anon. (ed.) (1994). Workshop on genetic improvement of resistance to mastitis

based on SCC. Journal of Dairy Science, 77, 616--58.

Kloosterman, A., Parmentier, H. K., and Ploeger, H. W. (1992). Breeding cattle

and sheep for resistance to gastrointestinal nematodes. Parasitology Today,

8, 330--5.

Fjalestad, K. T., Gjedrem, T., and Gjerde, B. (1993). Genetic improvement of

disease resistance in fish--an overview. Aquaculture, 111, 65--74.

Flock, D. K. (1993). Improvement of disease resistance in poultry by conventional

breeding techniques. Archiv Fur Geflugelkunde, 57, 49--55.

Ollivier, L. and Renjifo, X. (1991). Use of genetic resistance to K88 colibacillosis

in pig breeding schemes. Genetique, Selection, Evolution 23, 235--48.

Owen, J. B. and Axford, R. F. E. (ed.) (1991). Breeding for resistance in farm

animals. CAB International, Wallingford.

Shook, G. E. and Schutz, M. M. (1994). Selection on somatic cell score to

improve resistance to mastitis in the United-States. Journal of Dairy

Science, 77, 648--58.

19