bab 1,2,3,4,5.docx
DESCRIPTION
okTRANSCRIPT
BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cardiac arrest disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary arrest,
atau circulatory arrest, merupakan suatu keadaan darurat medis dengan tidak ada
atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan seketika
menyebabkan kegagalan sirkulasi (U.S National Heart, Lung, and Blood Institute,
2009; Sudden Cardiac Arrest Association, 2008; Sovari dan Kocheril: 2009).
Terdapat empat jenis ritme yang menyebabkan henti jantung yaitu ventricular
fibrilasi (VF), ventricular takikardia yang sangatcepat (VT), pulseless electrical
activity (PEA), dan asistol. Keadaan ini menyebabkan irama jantung tidak teratur
atau abnormal yang disebut dengan aritmia sehingga jantung dapat berdetak
terlalu cepat, terlalu lambat, atau bahkan dapat berhenti berdetak.
Aritmia merupakan salah satu penyebab dari cardiac arrest pada saat aritmia
terjadi, jantung memompa sedikit atau bahkan tidak ada darah ke dalam sirkulasi.
Aritmia dicetuskan oleh beberapa faktor, diantaranya: penyakit jantung koroner
yang menyebabkan infark miokard (serangan jantung), stress fisik (perdarahan
yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam, sengatan listrik,
kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan
asma yang berat), kelainan bawaan yang mempengaruhi jantung, perubahan
struktur jantung (akibat penyakit katup atau otot jantung) dan obat-obatan.
Penyebab lain cardiac arrest adalah tamponade jantung dan tension
pneumothorax.
Berdasarkan laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
yang melakukan survey terhadap kejadian cardiac arrest di United States selama
periode 1 Oktober 2005–31 December 2010 didapatkan sekitar 31,689 kasus
cardiac arrest yang terjadi di luar rumah sakit. Dari kejadian tersebut, sejumlah 33,
3% dari kasus cardiac arrest yang memperoleh bantuan CPR dari bystander dan
hanya 3,7% yang mendapatkan bantuan automated external defibrillator (AED)
sebelum personel EMS datang. Tingkat kelangsungan hidup pasien dengan
kejadian cardiac arrest di luar rumah sakit yang berhasil masuk rumah sakit
1
(MRS) sebesar 26, 3%. Dari keseluruhan jumlah pasien cardiac arrest yang terjadi
di luar rumah sakit, kelompok yang paling mungkin untuk bertahan hidup adalah
orang-orang yang dijumpai mengalami serangan cardiac arrest oleh penolong dan
ditemukan dalam irama shockable (misalnya, ventrikel fibrilasi atau pulseless
takikardi ventrikel) di mana kelangsungan hidup berkisar 30,1% (Bryan et al,
2011). Untuk jumlah prevalensi penderita henti jantung di Indonesia tiap tahunnya
belum diadapatkan data yang jelas, namun diperkirakan sekitar 10 ribu warga,
yang berarti 30 orang per hari. Kejadian terbanyak dialami oleh penderita jantung
koroner (Depkes, 2006).
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas masalah cardiac arrest,
agar dapat memberikan manfaat baik bagi dosen maupun mahasiswa.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa itu cardiac arrest?
1.2.2 Bagaimana anatomi fisiologi sistem kardiovaskuler?
1.2.3 Apa saja etiologi cardiac arrest?
1.2.4 Bagaimana manifestasi klinis cardiac arrest?
1.2.5 Bagaimana patofisiologi cardiac arrest?
1.2.6 Bagaimana penatalaksanaan cardiac arrest?
1.2.7 Bagaimana pemeriksaan diagnosis cardiac arrest?
1.2.8 Apa saja komplikasi cardiac arrest?
1.2.9 Bagaimana asuhan keperawatan cardiac arrest?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan untuk pasien cardiac arrest.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui pengertian cardiac arrest
1.3.2.2 Mengetahui bagaimana anatomi fisiologi cardiac arrest
1.3.2.3 Mengetahui etiologi cardiac arrest
1.3.2.4 Mengetahui manifestasi cardiac arrest
1.3.2.5 Mengetahui patofisiologi cardiac arrest
1.3.2.6 Mengetahui penatalaksanaan cardiac arrest
2
1.3.2.7 Mengetahui diagnosis cardiac arrest
1.3.2.8 Mengetahui komplikasi cardiac arrest
1.3.2.9 Mengetahui asuhan keperawatan cardiac arrest
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Klien dengan Cardiact Arrest
Untuk mengetahui apa penyebab penyakit Cardiact arrest yang
dideritanya,bagaimana cara proses pengobatannya dan mengetahui
asuhan yang akan diberikan perawat pada penyembuhan penyakit
Cardiact arrest.
1.4.2 Institusi
Untuk mengetahui presentase perkembangan dari penyakit Cardiact
arrest dalam instuti tersebut misalnya puskesmas , rumah sakit dan
klinik.
1.4.3 Masyarakat
Untuk mengetahui informasi tentang penyakit Cardiact arrest dan
menambah pengetahuan tentang penyakit Cardiact arrest.
3
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Cardiac Arrest
2.1.1 Cardiac Arrest
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit
jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan
sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart Association,2010).
Jameson, dkk (2005), menyatakan bahwa cardiac arrest adalah penghentian
sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa henti
jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak
untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen
ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi
secara efektif.
Henti jantung adalah penghentian aktivitas pompa jantung efektif yang
mengakibatkan penghentian sirkulasi. Terdapat hanya dua tipe henti jantung ,
yaitu : cardiac standstill ( asisitol ) dan fibrilisasi ventrikel ( plus format lain dari
kontraksi ventrikel tak efektif, seperti flutter ventrikel, dan yang jarang terjadi
takikardia ventrikel), (Arif muttaqin, 2012).
Henti jantung atau cardiac arrest adalah suatu kondisi medis yang ditandai
dengan hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan tidak terduga, diikuti
hilangnya kesadaran dan akhirnya hilangnya kemampuan untuk bernafas.
Biasanya hal ini terjadi karena gangguan elektrik pada jantung yang
mempengaruhi kegiatan pompaan, sehingga menghalangi darah mengalir ke
bagian tubuh lainnya. (Udjianti, 2011).
Kematian jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau
proses kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya
gejala. Sekitar 93 persen SCD adalah suatu kematian aritmik. Artinya, kematian
terjadi akibat timbulnya gangguan irama jantung yang menyebabkan kegagalan
4
sirkulasi darah. Jantung tiba-tiba mati (juga disebut Sudden Cardiac Arrest)
adalah kematian yang tiba-tiba akibat hilangnya fungsi hati (perhentian jantung).
Korban mungkin atau tidak ada diagnosis penyakit jantung. Waktu dan cara
kematian yang tidak terduga. Itu terjadi beberapa menit setelah gejala muncul.
Yang paling umum yang alasan pasien mati mendadak dari perhentian jantung
adalah penyakit jantung koroner (fatty buildups dalam arteries bahwa pasokan
darah ke otot jantung).
2.1.2 Anatomi Fisiologi Sistem Kardiovaskuler
Setiap harinya jantung berdetak 100.000 kali dan dalam masa periode itu
jantung memompa 2000 galon darah atau setara dengan 7.571 liter darah. Posisi
jantung terletak diantar kedua paru dan berada ditengah tengah dada, bertumpu
pada diaphragma thoracis dan berada kira-kira 5 cm diatas processus
xiphoideus.Pada tepi kanan cranial berada pada tepi cranialis pars cartilaginis
costa III dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Pada tepi kanan caudal berada pada
tepi cranialis pars cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Tepi
kiri cranial jantung berada pada tepi caudal pars cartilaginis costa II sinistra di tepi
lateral sternum, tepi kiri caudal berada pada ruang intercostalis 5, kira-kira 9 cm di
kiri linea medioclavicularis.
Secara fisiologi, jantung adalah salah satu organ tubuh yang paling vital
fungsinya dibandingkan dengan organ tubuh vital lainnya. Dengan kata lain,
apabila fungsi jantung mengalami gangguan maka besar pengaruhnya terhadap
organ-organ tubuh lainya terutama ginjal dan otak. Karena fungsi utama jantung
untuk pump the blood atau memompa darah ke organ pulmo/paru-paru dan ke
seluruh tubuh. Jantung merupakan organ utama dalam system kardiovaskuler.
Jantung dibentuk oleh organ-organ muscular, apex dan basis cordis, atrium kanan
dan kiri serta ventrikel kanan dan kiri.Ukuran jantung kira-kira panjang 12 cm,
lebar 8-9 cm seta tebal kira-kira 6 cm. Berat jantung sekitar 7-15 ons atau 200
sampai 425 gram dan sedikit lebih besar dari kumpalan tangan ( IKAPI, 1993 ).
a. Ruang Jantung
Jantung manusia terdiri atas 4 ruang dengan sekat dan katup yang
sempurna. Ruang tersebut yakni:
1. Serambi Kanan/atrium dexter.
5
Terletak pada jantung bagian kanan atas dan embelan kecil,
menyerupai telinga kanan, berfungsi sebagai bilik penyimpana sementara
sehingga darah dapat tersedia untuk ventrikel kanan.Darah tidak
teroksigen dari sirkulasi sistemik memasuki serambi kanan lewat tiga
vena, vena cava inferior,vena cava superior/vena cava anterior, dan sinus
koroner.
2. Bilik Kanan/ventrikel dexter.
Bilik pemompa bagi sirkulasi paru paru, dengan dinding yang lebih
tebal dan lebih berotot dari pada serambi, berkontraksi dan memompakan
darah tidak teroksigen lewat katup paru-paru memaruh bulan bertaring tiga
dan menuju arteri besar, cabang paru-paru.Yang berfungsi memompa
darah ke pulmo melalui valvula pulmonalis dan disalurkan ke pulmo oleh
pembuluh arteri pulmonalis sinister.
3. Serambi Kiri/atrium sinister
Serambi kiri adalah ruang jantung yang menerima darah yang kaya
oksigen dari pulmo melalui pembuluh vena pulmonalis sinister dan darah
tersebut kemudian disalurkan ke ventrikel sinister melalui valvula
bikuspidalis/valvula mitral.
4. Bilik kiri/ventrikel sinister
Bilik kiri adalah bilik pemompa bagi sirkulasi sistemik.Karena
tekanan darah yang lebih besar di butuhkan untuk memompa darah yang
melalui sirkulasi sistemik jauh lebih besar dari pada melalui sirkulasi paru-
paru,ventrikel kiri lebih besar dan dinding-dindingnya lebih tebal dari pada
ventrikel kanan. Ketika ventrikel kiri berkontraksi, ventrikel pemompa
darah teroksigen lewat katup aorta memaruh bulan menuju arteri besar,
aorta dan keseluruh tubuh. Peristiwa berikut terjadi di ventrikel kiri, secara
serentak dan sama dengan apa yang terjadi pada ventrikel kanan.
b. Kantung Jantung
Fungsi katup jantung adalah untuk mempertahankan aliran satu arah.
Diantara atrium kanan dan ventrikel kanan ada katup yang memisahkan
keduanya yaitu katup trikuspid, sedangkan pada atrium kiri dan ventrikel kiri
juga mempunyai katup yang disebut dengan katup mitral/ bikuspid. Kedua
6
katup ini berfungsi sebagai pembatas yang dapat terbuka dan tertutup pada
saat darah masuk dari atrium ke ventrikel.
1. Katup Trikuspid
Katup trikuspid berada diantara atrium kanan dan ventrikel kanan.
Bila katup ini terbuka, maka darah akan mengalir dari atrium kanan
menuju ventrikel kanan. Katup trikuspid berfungsi mencegah kembalinya
aliran darah menuju atrium kanan dengan cara menutup pada saat
kontraksi ventrikel. Sesuai dengan namanya, katup trikuspid terdiri dari 3
daun katup.
2. Katup Pulmonalis
Setelah katup trikuspid tertutup, darah akan mengalir dari dalam
ventrikel kanan melalui trunkus pulmonalis. Trunkus pulmonalis
bercabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri yang akan
berhubungan dengan jaringan paru kanan dan kiri. Pada pangkal trunkus
pulmonalis terdapat katup pulmonalis yang terdiri dari 3 daun katup yang
terbuka bila ventrikel kanan berkontraksi dan menutup bila ventrikel
kanan relaksasi, sehingga memungkinkan darah mengalir dari ventrikel
kanan menuju arteri pulmonalis.
3. Katup Bikuspid
Katup bikuspid atau katup mitral mengatur aliran darah dari atrium
kiri menuju ventrikel kiri. Seperti katup trikuspid, katup bikuspid menutup
pada saat kontraksi ventrikel. Katup bikuspid terdiri dari dua daun katup.
4. Katup Aorta
Katup aorta terdiri dari 3 daun katup yang terdapat pada pangkal
aorta. Katup ini akan membuka pada saat ventrikel kiri berkontraksi
sehingga darah akan mengalir keseluruh tubuh. Sebaliknya katup akan
menutup pada saat ventrikel kiri relaksasi, sehingga mencegah darah
masuk kembali kedalam ventrikel kiri.
c. Lapisan Jantung
Dinding jantung terdiri dari 3 lapis yaitu :
1. Epikardium (Pericardium visceral)
7
Lapisan bagian luar jantung ini terdiri dari 2 lapisan yaitu
perikardium fibrosa dan serosa. Di dalam kantong perikardium terdapat
cairan yang memudahkan gerakan dan sangat mengurangi gesekan jantung
terhadap jaringan sekitarnya. Perikardium fibrosa, yaitu lapisan luar yang
melekat pada tulang dada, diafragma dan pleura. Perikardium serosa, yaitu
lapisan dalam dari perikardium yang terdiri dari lapisan parietalis;melekat
pada perikardium fibrosa dan lapisan viseralis yang melekat pada jantung
yang juga disebut epikardium. Diantara keduanya terdapat rongga yang
disebut rongga perikardium yang berisi sedikit cairan pelumas atau yang
disebut cairan perikardium kurang lebih 10 atau 30 ml yang berguna untuk
mengurangi gesekan yang timbul akibat pergerakan jantung.
2. Myocardium
Myocardium (myo = otot) yaitu jaringan utama otot jantung yang
bertanggung jawab atas kemampuan kontraksi jantung, yang terdiri dari
sel-sel otot dan membentuk bagian terbesar dinding dari masing-masing
bilik. Myocardium ventrikel kiri lebih tebal dari kanan. Akibatnya,
ventrikel kiri dapat membuat tekanan lebih besar saat berkontraksi.
3. Endokardium
Lapisan tipis dan halus yang menjadi pembatas dalam jantung
bagian dalam otot jantung yang berhubungan langsung dengan darah dan
juga bersifat sangat licin untuk aliran darah, seperti halnya pada sel-sel
endotel pada pembuluh darah lainnya yang membentuk katup jantung.
Ketika darah bergerak melewati jantung, darah memasuki empat bilik dan
memiliki empat kutup. Dua ruang bagian atas, serambi(antrium) kanan dan
kiri, dipisahkan secara longitudinal oleh sekat antar serambi(septum
interatrium), dua ruang bagian bawah, ventrikel kanan dan kiri adalah
mesin pemompa jantung dan dipisahkan secara longitudinal oleh sekat
antar vertikel(septum interventrikel). Sebuah katup terdapat pada setiap
bilik untuk mencegah darah mengalir kembali kedalam bilik tempat darah
berasal. ( IKAPI,1993 )
8
2.1.3 Etiologi Cardiac Arrest
a. Usia
Insiden CD meningkat dengan bertambahnya usia bahkan pada pasien
yang bebas dari CAD simtomatik.
b. Jenis kelamin
Tampak bahwa pria mempunyai insiden SCD yang lebih tinggi
dibandingkan wanita yang bebas dari CAD yang mendasari.
c. Merokok
Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan
insiden SCD (ada efek aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas
miokardium ventrikel). Tetapi menurut pengertian Framingham,
peningkatan resiko akibat merokok hanya terlihat pada pria. Yang
menarik, peningkatan resiko ini menurun pada pasien yang berhenti
merokok. Merokok juga meningkatkan insiden CAD yang tampil pada
kebanyakan pasien yang menderita henti jantung.
d. Penyakit jantung yang mendasari
1) Tidak ada penyakit jatung yang diketahui
Pasien ini mempunyai pengurangan resiko SCD, bila dibandingkan
dengan pasien CAD atau pasien dengan pengurangan fungsi
ventrikel kiri.
2) Penyakit arteri koronaria (CAD)
Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien
CAD mempunyai frekuensi SCD Sembilan kali pasien dengan usia
yang sama tanpa CAD yang jelas. The Multicenter Post Infarction
Research Group mengevaluasi beberapa variable pada pasien yang
menderita MI. Kelompok ini berkesimpulan bahwa pasien pasca MI
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang kurang dari 40%, 10 atau
lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per jam, sebelum MI dan
ronki dalam masa periinfark mempunyai peningkatan mortalitas (1-
2 tahun) dibandingkan dengan pasien tanpa masalah ini. Jelas pasien
CAD (terutama yang menderita MI) dengan resiko SCD yang lebih
besar.
9
3) Sindrom prolaps katup mitral (MVPS)
Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah memperlihatkan
tingginya insiden aritmia ventrikel yang dapat di induksi, terutama
pada pasien dengan riwayat sinkop atau prasinkop. Terapi anti
aritmia pada pasien ini biasanya akan mengembalikan gejalanya.
4) Hipertrofi septum yang asimetrik (ASH)
Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan
ventrikel yang bisa menyebabkan kematian listrik atau
hemodinamik (peningkatan obstruksi aliran keluar). Riwayat VT
atau bahkan denyut kelompok ventrikel akan meningkatkan risiko
SCD.
5) Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)
Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1 melalui suatu
jalur tambahan atau AF dengan respon ventrikel sangat cepat (juga
karena hantaran jalur tambahan antegrad) menimbulkan frekuensi
ventrikel yang cepat, yang dapat menyebabkan VF dan bahkan
kematian mendadak.
6) Sindrom Q-T yang memanjang
Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau idiopatik
mempunyai peningktan resiko SCD. Kematian sering timbul selama
masa kanak-kanak. Mekanisme ini bisa berhubungan dengan
kelainan dalam pernafasan simpatis jantung yang memprodisposisi
ke VF.
e. Lain-lainnya
1) Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic
merupakan predisposisi SCD.
2) Hiperkolesteremia: tidak ada hubungan jelas antara kadar
kolesterol serum dan SCD yang telah ditemukan.
3) Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya pada
wanita ditemukan peningkatan insiden SCD yang menyertai
intoleransi glukosa.
10
4) Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas
dalam mengurangi insiden SCD.
5) Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan
resiko SCD pada pria, bukan wanita.
f. Riwayat aritmia
1) Aritmia supraventrikel
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia
supraventrikel disertai dengan peningkatan insiden SCD. Pasien
CAD yang kritis juga beresiko, jika aritmia supraventrikel
menimbulkan iskemia miokardium. Tampak bahwa iskemia dapat
menyebabkan tidak stabilnya listrik, yang mengubah sifat
elektrofisiologi jantung yang menyebabkan VT terus-menerus atau
VF. Tetapi sering episode iskemik ini asimtomatik.
2) Aritmia ventrikel
Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT tidak terus-
menerus menpunyai peningkatan insiden SCD dibandingkan pasien
dengan VPC tersendiri. Kombinasi VT yang tidak terus-menerus
dan disfungsi ventrikel kiri disertai tingginya resiko SCD. Pasien
CAD dan VT spontan mempunyai ambang VT yang lebih rendah
dibandingkan pasien CAD dan tanpa riwayat VT. Sehingga pasien
CAD dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan VF atau
VT terus-menerus yang spontan mempunyai insiden SCD tertinggi.
3) Faktor pencetus
a) Aktivitas
Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas.
Analisis 59 pasien yang meninggal mendadak memperlihatkan
bahwa setengah dari kejadian ini timbul selama atau segera
setelah gerak badan. Tampak bahwa gerak badan bisa
mencetuskan SCD, terutama jika aktivitas berlebih dan selama
tidur SCD jarang terjadi.
11
b) Iskemia
Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang
jauh (iskemia dalam distribusi arteri koronaria noninfark)
mempunyai insiden aritmia ventrikel yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien iskemia yang terbatas pada zona
infark. Daerah iskemia yang aktif disertai dengan tidak
stabilnya listrik dan pasien iskemia pada suatu jarak
mempunyai kemungkinan lebih banyak daerah beresiko
dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.
c) Spasme arteri koronaria
Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra) dapat
menimbulkan brakikardia sinus, blok AV yang lanjut atau AF.
Semua aritmia dapat menyokong henti jantung. Tampak bahwa
lebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang menyertai
spasme arteri koronaria, lebih besar resiko SCD. Tetapi insiden
SDC pada pasien spasme arteri koronaria berhubungn dengan
derajat CAD obsruktif yang tetap. Yaitu pasien CAD
multipembuluh darah yang kritis ditambah spasme arteri
koronaria lebih mungkin mengalami henti jantung
dibandingkan pasien spase arteri koronaria tanpa obstuksi
koronaria yang tetap.
2.1.4 Manifestasi Klinis Cardiac Arrest
a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,
tepukan di pundak ataupun cubitan.
b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika
jalan pernafasan dibuka.
c. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen, termasuk otak.
d. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan
korban kehilangan kesadaran (collapse).
e. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani
dalam 5 menit, selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
12
f. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).
g. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi
yang dapat terasa pada arteri.
h. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).
2.1.5 Patofisiologi Cardiac Arrest
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.
Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat
dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah
mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan
mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak.
Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban
kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin
terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan
terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi
yang mendasari terjadinya cardiac arrest.
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang
umumnya dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan
salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri
koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan
menyempit akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam
arteri. Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke
jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai
oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat
terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan
menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem
konduksi langsung dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan
cardiac arrest.
2. Stress Fisik
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal
berfungsi, diantaranya:
13
a) perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
b) sengatan listrik
c) kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun
serangan asma yang berat
d) Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
e) Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang
memiliki gangguan jantung.
f) Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal
refleks akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.
Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota
keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac arrest.
Beberapa orang lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat
mengganggu bentuk(struktur) jantung dan dapat meningkatkan
kemungkinan terkena SCA.
4. Perubahan struktur jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat
menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya
dapat mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi
pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung
kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur
dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker,
kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia.
Penemuan adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis
pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa medical
record untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau mengirim
sampel urin dan darah pada laboratorium toksikologi dapat membantu
menegakkan diagnosis.
6. Tamponade jantung
14
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung
sehingga tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan
sehingga mengakibatkan kematian.
7. Tension pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura.
Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan
tekanan dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran mediastinum.
Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan pembuluh darah
besar (terutama vena cava superior) tertekan, sehingga membatasi aliran
balik ke jantung.
2.1.6 Penatalaksanaan Cardiac Arrest
Pasien yang mendadak kolaps ditangani melalui 5 tahap, yaitu:
1. Respons awal
2. Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)
3. Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)
4. Asuhan pasca resusitasi
5. Penatalaksanaan jangka panjang
Respons awal dan dukungan kehidupan dasar dapat diberikan oleh
dokter, perawat, personil paramedic, dan orang yang terlatih. Terdapat
keperluan untuk meningkatkan keterampilan saat pasien berlanjut melalui
tingkat dukungan kehidupan lanjut, asuhan pascaresusitasi, dan
penatalaksanaan jangka panjang.
1. Respons Awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-
benar disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi,
warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis
atau arteri femoralis dapat menentukan dengan segera apakah telah
terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian.
Gerakan respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang singkat
setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi adalah
stridor yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya
aspirasi benda asing atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai,
15
maneuver Heimlich yang cepat dapat mengeluarkan benda yang
menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara kuat
dengan tangan terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum
sepertiga tengah dan sepertiga bawah kadang-kadang dapat
memulihkan takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi tindakan ini juga
dikhawatirkan dapat mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi
ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan untuk menggunakan pukulan
prekordial hanya pada pasien yang dimonitor; rekomendasi ini masih
controversial. Tindakan ke tiga selama respons inisial adalah
membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di
dalam mulut dikeluarkan, dan maneuver Heimlich dilakukan jika
terdapat indikasi mencurigakan adanya benda asing yang terjepit di
daerah orofaring. Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti respirasi
(respiratory arrest) yang mendahului serangan henti jantung, pukulan
prekordial kedua dapat dilakukan setelah saluran napas dibersihkan.
2. Tindakan Dukungan Kehidupan Dasar (Basic Life Support)
Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi
kardiopulmoner (RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation)
merupakan dukungan kehidupan dasar yang bertujuan untuk
mempertahankan perfusi organ sampai tindakan intervensi yang
definitive dapat dilaksanakan. Unsur-unsur dalam tindakan RKP terdiri
atas tindakan untuk menghasilkan serta mempertahankan fungsi
ventilasi paru dan tindakan kompresi dada. Respirasi mulut ke mulut
dapat dilakukan bila tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang
khusus misalnya pipa napas orofaring yang terbuat dari plastic,
obturator esophagus, ambu bag dengan masker. Teknik ventilasi
konvensional selama RKP memerlukan pengembangan paru yang
dilakukan dengan menghembuskan udara pernapasan sekali setiap 5
detik, kalau terdapat dua orang yang melakukan resusitasi dan dua kali
secara berturut, setiap 15 detik kalau yang mengerjakan ventilasi
maupun kompresi dinding dada hanya satu orang.
16
Kompresi dada dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kompresi
jantung memungkinkan jantung untuk mempertahankan fungsi
pemompaan dengan pengisian serta pengosongan rongga-rongganya
secara berurutan sementara katup-katup jantung yang kompeten
mempertahankan aliran darah ke depan. Telapak yang satu diletakkan
pada sternum bagian bawah, sementara telapak tangan yang lainnya
berada pada permukaan dorsum tangan yang di sebelah bawah.
Sternum kemudian ditekan dengan kedua lengan penolong tetap berada
dalam keadaan lurus. Penekanan ini dilakukan dengan kecepatan
kurang lebih 80 kali per menit. Penekanan dilakukan dengan kekuatan
yang cukup untuk menghasilkan depresi sternum sebesar 3 hingga 5
cm, dan relaksasi dilakukan secara tiba-tiba. Teknik RKP konvensional
ini sekarang sedang dibandingkan dengan teknik baru yang didasarkan
pada ventilasi dan kompresi simultan. Sementara aliran arteri karotis
yang dapat diukur dapat dicapai dengan RKP konvensional, data
eksperimental dan pemikiran teoritis mendukung bahwa aliran dapat
dioptimalkan melaui kerja pompa yang dihasilkan oleh perubahan
tekanan pada seluruh rongga torasikus, seperti yang dicapai dengan
kompresi dan ventilasi simultan. Namun, tidak jelas apakah teknik ini
menyebabkan impedansi aliran darah koroner dan apakah peningkatan
aliran karotis menghasilkan peningkatan yang ekuivalen pada perfusi
serebral.
Langkah-langkah penting dalam resusitasi kardiopulmoner. A.
Pastikan bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka.
B. Mulailah resusitasi respirasi dengan segera. C. Raba denyut nadi
karotis di dalam lekukan sepanjang jakun (Adam’s apple) atau
kartilago tiroid. D. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat
jantung. Lakukan penekanan sebanyak 60 kali per menit dengan satu
kali penghembusan udara untuk mengembangkan paru setelah setiap 5
kali penekanan dada. (Isselbacher: 228)
3. Tindakan Dukungan Kehidupan Lanjut (Advance Life Support)
17
Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat,
mengendalikan aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika
(tekanan darah serta curah jantung) dan memulihkan perfusi organ.
Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini mencakup:
a) Tindakan intubasi dengan endotracheal tube
b) Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung
c) Pemasangan lini infuse.
Ventilasi dengan O2 atau udara ruangan bila O2 tidak tersedia
dengan segera, dapat memulihkan keadaan hipoksemia dan asidosis
dengan segera. Kecepatan melakukan defibrilasi atau kardioversi
merupakan elemen penting untuk resusitasi yang berhasil. Kalau
mungkin, tindakan defibrilasi harus segera dilakukan sebelum intubasi
dan pemasangna selang infuse. Resusitasi kardiopulmoner harus
dikerjakan sementara alat defibrillator diisi muatan arusnya. Segera
setelah diagnosis takikardia atau fibrilasi ventrikel ditentukan, kejutan
listrik sebesar 200-J harus diberikan. Kejutan tambahan dengan
kekuatan yang lebih tinggi hingga maksimal 360-J, dapat dicoba bila
kejutan pertama tidak berhasil menghilangkan takikardia atau fibrilasi
ventrikel. Jika pasien masih belum sadar sepenuhnya setelah dilakukan
reversi, atau bila 2 atau 3 kali percobaan tidak membawa hasil, maka
tindakan intubasi segera, ventilasi dan analisis gas darah arterial harus
segera dilakukan. Pemberian larutan NaHCO3 intravena yang
sebelumnya diberikan dalam jumlah besar kini tidak dianggap lagi
sebagai keharusan yang rutin dan bisa berbahaya bila diberikan dalam
jumlah yang lebih besar. Namun, pasien yang tetap mengalami asidosis
setalah defibrilasi dan intubasi yang berhasil harus diberikan 1
mmol/kg NaHCO3 pada awalnya dan tambahan 50% dosis diulangi
setiap 10-15 menit.
Setelah upaya defibrilasi pendahuluan tanpa mempedulikan apakah
upaya ini berhasil atau tidak, preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan
intravena dan pemberian ini diulang dalam waktu 2 menit pada pasien-
pasien yang memperlihatkan aritmia ventrikel yang persisten atau tetap
18
menunjukkan fibrilasi ventrikel. Penyuntikan lidokain ini diikuti oleh
infuse lidokain dengan takaran 1-4 mg/menit. Jika lidokain tidak
berhasil mengendalikan keadaan tersebut, pemberian intravena
prokainamid (dosis awal 100mg/5 menit hingga tercapai dosis total
500-800mg, diikuti dengan pemberian lewat infuse yang kontinyu
dengan dosis 2-5mg/menit). Atau bretilium tosilat (dosis awal 5-
10mg/kg dalam waktu 5 menit; dosis pemeliharaan (maintanance) 0,5-
2 mg/menit), dapat dicoba. Untuk mengatasi fibrilasi ventrikel yang
per sisten, preparat epinefrin (0,5-1,0 mg) dapat diberikan intravena
setiap 5 menit sekali selama resusitasi dengan upaya defibrilasi pada
saat-saat diantara setiap pemberian preparat tersebut. Obat tersebut
dapat diberikan secara intrakardial jika cara pemberian intravena tidak
dapat dilakukan. Pemberian kalsium glukonat intravena tidak lagi
dianggap aman atau perlu untuk pemakaian yang rutin. Obat ini yang
hanya digunakan pada pasien dengan hiperkalemia akut dianggap
sebagai pencetus VF resisten, pada keadaan adanya hipokalsemia yang
diketahui, atau pada pasien yang menerima dosis toksik antagonis
hemat kalsium.
Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol
ditangani dengan cara yang berbeda. Setelah diketahui jenis
aritmianya, terapi syok dari luar tidak memiliki peranan. Pasien harus
segera diintubasi, resusitasi kardiopulmoner diteruskan dan harus
diupayakan untuk mengendalikan keadaan hipoksemia serta asidosis.
Epinefrin dan atau atropine diberikan intravena atau dengan
penyuntikan intrakardial. Pemasangan alat pacing eksternal kini sudah
dapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan irama jantung yang
teratur, tetapi prognosis pasien pada bentuk henti jantung ini umumnya
sangat buruk. Satu pengecualian adalah henti jantung asistolik atau
bradiaritmia sekunder terhadap obstruksi jalan napas. Bentuk henti
jantung ini dapat memberikan respons cepat untuk pengambilan benda
asing dengan maneuver Heimlich atau, pada pasien yang dirawat di
19
rumah sakit. Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yang menyumbat
di jalan napas.
4. Perawatan Pasca Resusitasi
Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat
terjadinya henti jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard
akut umumnya sangat responsive terhadap teknik-teknik dukungan
kehidupan (life support) dan mudah dikendalikan setelah kejadian
permulaan. Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4
mg/menit selama 24-72 jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah
sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau diperlukan hanya
untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang terjadi
dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi
ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas
hemodinamika menjadi predisposisi untuk terjadinya aritmia yang
dapat membawa kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil dan
pada pasien yang berhasil diresusitasi, angka rekurensinya cukup
tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan
hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh
kemampuan untuk mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan
dengan gangguan elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan
bradiaritmia merupakan peristiwa sekunder yang umum pada pasien
yang secara hemodinamis tidak stabil dan kurang responsive terhadap
intervensi.
Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit
yang menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa
pasien yang berhasil diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi
didominasi oleh sifat penyakit yang mendasari serangan henti jantung
tersebut. Pasien dengan kanker, gagal ginjal, penyakit system saraf
pusat akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai
angka kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah henti jantung
di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir henti
jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien
20
dengan obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek
proaritmia obat-obatan dan gangguan metabolic yang berat,
kebanyakan mereka yang mempunyai harapan hidup baik jika mereka
mendapat resusitasi dengan cepat dan dipertahankan sementara
gangguan transien dikoreksi.
5. Penatalaksanaan Jangka Panjang
Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama
aktivitas spesialisasi klinis karena perkembangan system penyelamatan
emergency berdasar-komunitas. Pasien yang tidak menderita
kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan yang mencapai
stabilitas hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik
yang ekstensif untuk tuntutan penatalaksanaan jangka panjang.
Pendekatan agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta bahwadata
statistikdari tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah
henti jantung di luar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung
rekuren 30 persen pada 1 tahun, 45 persen pada 2 tahundan angka
mortalitas total hampir 60 persen pada 2 tahun. Perbandingan historis
mendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki dengan
intervensi yang baru. Tetapi seberapa besar perbaikannya idak
diketahui karena kurangnya uji intervensi bersamaan yang terkendali.
Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit
adalah MI akut dan transmural, penatalaksanaan sama dengan semua
pasien lain yang menderita henti jantung selama fase akut MI yang
nyata. Untuk hampir semua kategori pasien, bagaimanapun, uji
diagnostic ekstensif dilakukan menentukan etiologi, gangguan
fungsional dan ketidakstabilan elektrofisiologik sebagai penuntun
penatalaksanaan selanjutnya. Secara umum, pasien yang mempunyai
henti jantung di luar rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik
kronik, tanpa MI akut, dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia
transien atau ketidakstabilan elektrofisologik merupakan penyebab
yang lebih mungkin dari peristiwa ini. Jika terdapat alas an untuk
mencurigai suatu mekanisme iskemik, pembedahan anti-iskemik atau
21
Intervensi medis (seperti angiografi, obat) digunakan untuk
mengurangi beban iskemik. Ketidakstabilan elektrofisiologik paling
baik diidentifikasi dengan menggunakan stimulasi elektris terprogram
untuk menentukan apakah VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada
pasien. Jika ya, informasi ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk
mengevaluasi efektifitas obat untuk pencegahan kekambuhan.
Informasi ini juga dapat digunakan untuk menentukan kecocokan
untuk pembedahan antiaritmik dengan tuntunan peta. Menggunakan
teknik ini untuk menegakkan terapi obat pada pasien dengan fraksi
ejeksi 30 persen atau lebih, angka henti jantung rekuren adalah kurang
dari 10 persen selama tahun pertama tindak lanjut. Hasil akhir tidak
sebaik untuk pasien fraksi dengan fraksi ejeksi dibawah 30 persen,
tetapi tetap lebih baik dibandingkan riwayat alami yang tampak dari
kelangsungan hidup setelah henti jantung. Untuk pasien yang
keberhasilan dengan terapi obat tidak dapat diidentifikasi dengan
teknik ini, pengobatan empirik dengan amiodaron, penanaman
defibrillator/kardioverter (ICD, implantable cardioverter/defibrillator)
dalam tubuh, atau pembedahan antiaritmia (seperti bedah pintas
koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat dianggap sebagai pilihan.
Sukses pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan hidup
prosedur dan kembali pada keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa
terapi obat, adalah lebih baik dari 90 persen bila pasien dipilih untuk
kemampuan dipetakan dalam ruang operasi. Terapi ICD juga
dikembangkan menjadi sistem yang lebih menarik, termasuk
kemampuan untuk memacu lebih baik dibandingkan mengejutkan
(shock out) beberapa aritmia pada pasien terpilih.
2.1.7 Pemeriksaan Diagnosis Cardiac Arrest
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG).
Ketika dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di
bagian tubuh lainnya missal tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan
durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan
22
pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls
listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah
terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT
berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
2. Tes darah
a) Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung
terkena serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu
sudden cardiac arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-
enzim ini sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan jantung.
b) Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit
yang ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium.
Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang
membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidak seimbangan pada
elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest
1) Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk
menginduksi aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan
tersebut merupakan obat-obatan terlarang.
2) Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini
sebagai pemicu cardiac arrest.
3. Imaging tes
a) Pemeriksaan Foto Torak
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh
darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal
jantung.
b) Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu
mengidentifikasi masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang
dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran
23
darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif
mengalir melalui jantung dan paru-paru.
c) Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran
jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah
daerah jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa
secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah
ada kelainan katup.
4. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang
sudah sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung Anda
belum ditemukan. Dengan jenis tes ini, dokter mungkin mencoba untuk
menyebabkan aritmia, sementara dokter memonitor jantung Anda. Tes ini
dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes,
kemudian kateter dihubungkan denga electrode yang menjulur melalui
pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat,
elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung
pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk
merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin
memicu - atau menghentikan – aritmia. Hal ini memungkinkan dokter
untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac
arrest adalah seberapa baik jantung Anda mampu memompa darah. Dokter
dapat menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang
dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang
dipompa keluar dari ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi
normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen
meningkatkan risiko sudden cardiac arrest. Dokter Anda dapat mengukur
fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir
scan dari jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
24
6. Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi
penyempitan atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah
pembuluh darah yang tersumbat merupakan prediktor penting sudden
cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri
hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri,
biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna
mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video,
menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter
diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan
angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.
2.1.8 Komplikasi Cardiac Arrest
Komplikasi yang mungkin terjadi yaitu :
1. Menyebabkan kematian
2. Gagal nafas
3. Henti nafas
25
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan Cardiac Arrest
2.2.1 Pengkajian
1. Primary survey
a. Circulation
- Denyut nadi : 15 kali/menit, tidak teratur dan lemah
- Tkanan darah: 70/40 mmHg
- Warna kulit : pucat
b. Airway: jalan napas
- Terdapat suara snoring
- Tidak terdapat suara wheezing dan crowing
c. Breathing: pernapasan
- Frekuensi pernafasan tidak teratur
d. Disability
- GCS:
Mata: skor 2
Verbal: skor 2
Motorik: skor 1
e. Exposure
- Tidak ada tanda tanda teroma/oedem
2. Secondary survey
a. Kesadaran : tidak sadar
b. Kepala: trauma kepala ringan
c. GCS: tidak normal
d. Dada : - jantung: henti jantung
- Paru : pengembangan tidak maksimal
2.2.2 Diagnosa keperawatan
1. Hipoksia b.d suplai O2 ke otak menurun.
2. Gangguan perfusi cerebral b.d penurunan suplai O2 ke otak
3. Gangguan pertukaran gas b.d suplai O2 tidak adekuat
26
2.2.3 Intervensi
1. Gangguan perfusi serebral b.d penurunan suplai O2 ke otak
TUJUAN : Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O2 kembali lancar
KRITERIA HASIL :
- Pasien akan mempertahankan tanda-tanda vital dalam batas normal
- Warna dan suhu kulit normal
- CRT < 2 detik.
No Intervensi Rasional
1 Berikan vasodilator misal nitrogliserin,
nifedipin sesuai indikasi.
Obat diberikan untuk
meningkatkan sirkulasi
miokardia.
2 Posisikan kaki lebih tinggi dari jantung Mempercepat pengosongan
vena superficial, mencegah
distensi berlebihan dan
meningkatkan aliran balik
vena
3 Pantau adanya pucat, sianosis dan kulit
dingin atau lembab
Sirkulasi yang terhenti
menyebabkan transport O2 ke
seluruh tubuh juga terhenti
sehingga akral sebagai bagian
yang paling jauh dengan
jantung menjadi pucat dan
dingin.
4 Pantau pengisian kapiler (CRT) Suplai darah kembali normal
jika CRT < 2 detik dan
menandakan suplai
O2 kembali normal
27
2. Gangguan pertukaran gas b.d suplai O2 tidak adekuat
TUJUAN: Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat
berlangsung
KRITERIA HASIL:
- Nilai GDA normal
- Tidak ada distress pernafasan
No Intervensi Rasional
1 Berikan O2 sesuai indikasi Meningkatkan konsentrasi oksigen
alveolar dan dapat memperbaiki
hipoksemia jaringan
2 Pantau GDA Pasien Nilai GDA yang normal menandakan
pertukaran gas semakin membaik
3 Pantau pernapasan klien Untuk evaluasi distress pernapasan
3. Penurunan curah jantung b.d kemampuan pompa jantung menurun
TUJUAN : Meningkatkan kemampuan pompa jantung
KRITERIA HASIL :
- Nadi perifer teraba
- Tekanan darah dalam batas normal
No Intervensi Rasional
1 Lakukan Pijat Jantung untuk mengaktifkan kerja pompa jantung
2 Berikan oksigen tambahan
dengan kanula nasal/masker
dan obat sesuai indikasi
(kolaborasi)
Meningkatkan sediaan oksigen untuk
kebutuhan miokard untuk melawan efek
hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat
digunakan untuk meningkatkan volume
sekuncup, memperbaiki kontraktilitas.
3 Palpasi nadi perifer Penurunan curah jantung dapat
menunjukkan menurunnya nadi radial,
dorsalis pedis dan postibial. Nadi
mungkin hilang atau tidak teratur untuk
dipalpasi.
28
4 Pantau Tekanan Darah Pada pasien Cardiac Arrest tekanan
darah menjadi rendah atau mungkin tidak
ada.
5 Kaji kulit terhadap pucat dan
sianosis
Pucat menunjukkkan menurunnya
perfusi sekunder terhadap tidak
adekuatnya curah jantung.
29
BAB IIIKASUS
3.1 Pengkajian 3.1.1 data umum
Nama : Tn. H
Umur : 50 Thn
Alamat : Jl. A.Yani Palangka Raya
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Suku/Bangsa : Dayak/ Indonesia
Pekerjaan : Swasta
Tanggal Masuk Rs : 14 Juni 2012
Pendidikan : SMA
Diagnosa medik : Cardiac arrest 3.1.2 Pemeriksaan Fisik
1. Circulation
- Denyut nadi : tidak teraba
- Tekanan darah tidak ada
- Warna kulit : pucat
- Tidak ada pendarahan
2. Airway: jalan napas
- Terdapat suara snoring
- Tidak terdapat suara wheezing dan crowing
3. Breathing: pernapasan
- Frekuensi pernafasan tidak teratur dangkal dan cepat
- Terkadang terjadi apnea
4. Disability
- GCS:
Mata: skor 2
Verbal: skor 2
Motorik: skor 1
4. Exposure
- Tidak ada tanda tanda teroma/oedem
30
Hari sabtu tanggal 12 juni 2012 seorang pasien di ICU RSUD DORIS
SYLVANUS Tn. H mengalami henti nafas dengan tanda dan gejala tekanan
tidak ada , nadi tidak teraba, nafas dangkal dan cepat, kadang terjadi apnea
dan ketidaknormalan pernafasan saat jalan nafas di buka.
3.2 Analisa Data
Data Etiologi Masalah
keperawatan
DS:DO:- Warna kulit pucat- Aklar Dingin- CRT > 2 detik- Apnea
Cardiac arrest
kemampuan pompa jantung menurun
Curah Jantung menurun
Suplai O2 ke otak tidak
terprnuhi
Gangguan perfusi
serebral
Gangguan Perfusi
serebral
DS:
DO:
- Nilai GDA tidak
normal.
- Terlihat distress
pernafasan
Cardiac arrest
kemampuan pompa jantung menurun
Curah Jantung menurunSuplai O2 ke seluruh
tubuh menurun
Kebutuhan O2 di paru-paru tidak terprnuhi
Gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas
31
DS:DO:- Tekanan darah
tidak ada- nadi perifer tidak
teraba- apnea
Cardiac arrest
kemampuan pompa
jantung menurun
Curah Jantung menurun
Penurunan curah jantung
3.3 Intervensi
1. Gangguan perfusi serebral b.d penurunan suplai O2 ke otak
TUJUAN : Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O2 kembali
lancar
KRITERIA HASIL :
- Pasien akan mempertahankan tanda-tanda vital dalam batas normal
- Warna dan suhu kulit normal
- CRT < 2 detik.
No Intervensi Rasional
1 Berikan vasodilator misal nitrogliserin,
nifedipin sesuai indikasi.
Obat diberikan untuk
meningkatkan sirkulasi
miokardia.
2 Posisikan kaki lebih tinggi dari jantung Mempercepat pengosongan
vena superficial, mencegah
distensi berlebihan dan
meningkatkan aliran balik
vena
3 Pantau adanya pucat, sianosis dan kulit
dingin atau lembab
Sirkulasi yang terhenti
menyebabkan transport O2 ke
seluruh tubuh juga terhenti
sehingga akral sebagai bagian
yang paling jauh dengan
jantung menjadi pucat dan
dingin.
32
4 Pantau pengisian kapiler (CRT) Suplai darah kembali normal
jika CRT < 2 detik dan
menandakan suplai
O2 kembali normal
2. Gangguan pertukaran gas b.d suplai O2 tidak adekuat
TUJUAN: Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat
berlangsung
KRITERIA HASIL:
- Nilai GDA normal
- Tidak ada distress pernafasan
No Intervensi Rasional
1 Berikan O2 sesuai indikasi Meningkatkan konsentrasi oksigen
alveolar dan dapat memperbaiki
hipoksemia jaringan
2 Pantau GDA Pasien Nilai GDA yang normal menandakan
pertukaran gas semakin membaik
3 Pantau pernapasan klien Untuk evaluasi distress pernapasan
3. Penurunan curah jantung b.d kemampuan pompa jantung menurun
TUJUAN : Meningkatkan kemampuan pompa jantung
KRITERIA HASIL :
- Nadi perifer teraba
- Tekanan darah dalam batas normal
No Intervensi Rasional
1 Lakukan Pijat Jantung untuk mengaktifkan kerja pompa
jantung
2 Berikan oksigen tambahan
dengan kanula nasal/masker
dan obat sesuai indikasi
Meningkatkan sediaan oksigen untuk
kebutuhan miokard untuk melawan
efek hipoksia/iskemia. Banyak obat
33
(kolaborasi) dapat digunakan untuk meningkatkan
volume sekuncup, memperbaiki
kontraktilitas.
3 Palpasi nadi perifer Penurunan curah jantung dapat
menunjukkan menurunnya nadi radial,
dorsalis pedis dan postibial. Nadi
mungkin hilang atau tidak teratur
untuk dipalpasi.
4 Pantau Tekanan Darah Pada pasien Cardiac Arrest tekanan
darah menjadi rendah atau mungkin
tidak ada.
5 Kaji kulit terhadap pucat dan
sianosis
Pucat menunjukkkan menurunnya
perfusi sekunder terhadap tidak
adekuatnya curah jantung.
34
BAB 4ANALISIS JURNAL
4.1 Judul Jurnal
Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kesiapan Perawat Dalam
Menangani Cardiac Arrest Di Ruangan Iccu Dan Icu Rsu Anutapura Palu.
Aminuddin Politeknik Kesehatan Kemenkes Palu
4.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian dengan metode survei analitik.
Survei analitik merupakan survei atau penelitian yang mencoba menggali
bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi (Notoatmodjo,
2010). Penelitian ini adalah penelitian dengan rancangan cross sectional
study. Studi cross sectional adalah suatu desain penelitian dimana variabel
independen dan variabel dependen dieksplorasi secara bersama-sama pada
saat penelitian dilakukan. Selain itu, dengan desain ini dilakukan identifikasi
secara sistematis terhadap karateristik variabel yang melekat pada unit
observasi atau subyek baik karateristik umum maupun karateristik khusus
dengan menggunakan alat ukur berupa kuesioner dan checklist. Pengambilan
sampel pada penelitian ini dilakukan adalah total populasi, yaitu seluruh
perawat yang bertugas di Ruangan ICCU sebanyak 21 orang dan ICU RSU
Anutapura palu sebanyak 20 orang, jadi jumlah sampel senyak 41 orang.
Pengambilan data primer dilakukan dengan cara melakukan wawancara
terhadap responden berdasarkan pedoman pertanyaan yang telah disusun
(kuisioner) dan observsi dengan menggunakan checklist pada perawat yang
bertugas di Ruangan ICCU dan ICU RSU Anutapura Palu. Dalam penelitian
ini pengetahuan, fasilitas, pelatihan/trining variabel bebas dan kesiapan
perawat dalam menangani cardiac arrest merupakan variabel terikat. Analisa
bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square (x2) dengan
menggunakan koreksi = 0,05 dan kepercayaan 95% confidence Interval
(CI).
35
4.3 Hasil Dan Pembahasan
Rumah Sakit Anutapura Umum Anutapura Palu adalah milik Pemerintah
Kota Palu, sekarang dengan status kelas B Pendidikan, mengalami 3 kali
perubahan Struktur Organisasi, dari rumah Sakit Umum Daerah Anutapura,
kemudian menjadi Rumah Sakit Umum Kota Palu dan yang digunakan
sampai sekarang adalah Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Ruang
perawatan ICCU (Intensive Cardiovaskuler Unit) dan ICU (Intensive Care
Unit) RSU Anutapura Palu terletak di jalan Kangkung No. 1 Kecamatan Palu
Barat. Ruangan perawatan ICCU mempunyai kapasitas 7 orang dengan
fasilitas alat rekam jantung, AED (automatic eksternal defibrilator) dan alat
monitoring hemodinamik. Jumlah perawat yang bertugas sejumlah 20 orang,
Dokter spesialis penyakit dalam 1 orang dan asisten dokter 1 orang. Jumlah
pasien yang dirawat setiap bulannya sejumlah 20 orang. Ruang perawatan
ICU mempunyai kapasitas 6 orang dengan fasilitas alat rekam jantung, DC
(Defibrilator) shock dan alat monitoring hemodinamik. Jumlah perawat yang
bertugas sejumlah 20 orang, 9 dokter spesialis dan 9 asisten dokter. Penelitian
ini dilaksanakan di ruangan rawat inap ICCU dan ICU RSU Anutapura Palu
pada tanggal 13 Maret 2013 sampai dengan 20 Maret 2013 dengan jumlah
sampel 40 responden.
4.4 Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah perawat yang bertugas di ruangan
ICCU dan ICU yang berjumlah 40 orang tamatan DIII Keperawatan dan S1
Keperawatan terdiri dari 20 orang perawat yang bertugas di ruangan ICCU
dan 20 orang perawat yang bertugas di RuanganICU RSU Anutapura Palu.
4.5 Kesiapan
Berdasarkan data penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden siap dalam menangani Cardiac Arrest. Lebih jelasnya distribusi
kesiapan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Table 1.
Tabel 1. Distribusi Responden Menurut kesiapan Di Ruangan ICCU dan ICU
RSU Anutapura Palu Tahun 2013
No KESIAPAN F %
1. SIAP 28 70%
36
2. TIDAK SIAP 12 30%
JUMLAH 40 100%
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian inI yang
siap dalam mengani cardiac arrest sejumlah 28 responden (70%) dan yang tidak
siap sejumlah 12 responden (30%).
4.6 Pengetahuan
Berdasarkan data penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden memiliki pengetahuan yang baik. Lebih jelasnya distribusi
pengetahuan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Distribusi Responden Menurut pengetahuan Di Ruangan ICCU dan
ICU RSU
Anutapura Palu Tahun 2013
No KESIAPAN F %
1. BAIK 23 57.5%
2. KURANG
BAIK
17 42,5%
JUMLAH 40 100%
Berdasarkan table 2 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini yang
memiliki pengetahuan yang baik dalam mengani Cardiac Arrest, sejumlah 23
responden (57,5%) dan responden yang memiliki pengetahuan yang kurang
baik sejumlah 17 reponden (42,5%).
4.7 Fasilitas
Berdasarkan data penelitian ini dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki fasilitas yang lengkap dan tidak lengkap sebanding. Lebih jelasnya
distribusi pengetahuan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel
3.
Tabel 3 Distribusi Responden Menurut fasilitas Di Ruangan ICCU dan ICU
RSU Anutapura Palu Tahun 2013
No KESIAPAN F %
37
1. LENGKAP 20 57.5%
2. TIDAK
LENGKAP
20 42,5%
JUMLAH 40 100%
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini
yang memiliki fasilitas yang tidak lengkap dan lengkap dalam mengani
Cardiac Arrest sejumlah 20 (50%) dan yang memiliki fasilitas yang lengkap
sejumlah 20 responden (50%).
4.8 Pelatihan
Berdasarkan data penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian
besarresponden belum pernah mengikuti pelatihan. Lebih jelasnya distribusi
kesiapan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada table 4.
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini yang
tidak pernah mengikuti pelatihan, sejumlah 31 orang dengan persentase
(77,5%) dan yang pernah mengikuti pelatihan sejumlah 31 responden
(22,5%).
Tabel 4. Distribusi Responden Menurut pelatihan di Ruangan ICCU dan
ICU RSU Anutapura Palu Tahun 2013
No KESIAPAN F %
1. PERNAH 9 57.5%
2. TIDAK
PERNAH
31 42,5%
JUMLAH 40 100%
4.9 Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Kesiapan Perawat Dalam Menangani
Cardiac Arrest.
Pada setiap table menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, responden yang
memiliki pengetahuan yang baik dan siap sejumlah 21 responden (91,3%),
responden yang memiliki pengetahuan baik dan tidak siap sejumlah 2
responden (8,7%), responden yang memiliki pengetahuan yang kurang baik
dan siap sejumlah 7 responsen (41,2%), dan responden yang memiliki
38
pengetahuan kurang baik sebanyak 10 responden (58,8%). Berdasarkan hasil
uji chi – square menunjukkan nilai = 0,001, berarti secara statistik ada
hubungan antara pengetahuan dengan kesiapan perawat dalam menangani
Cardiac Arrest. Berdasarkan hasil uji chi – square menunjukkan nilai = 0,001,
berarti secara statistik ada hubungan antara pengetahuan dengan kesiapan
perawat dalam menangani Cardiac Arrest.
4.10Hubungan antara fasilitas dengan kesiapan perawat dalam menangani
Cardiac Arrest.
Pada Tabel menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, responden yang
memiliki fasilitas yang lengkap dan siap sejumlah 12 responden (60%),
responden yang memiliki fasilitas yang lengkap dan tidak siap sejumlah 8
responden (20%), responden yang memiliki fasilitas yang tidak lengkap dan
siap sejumlah 16 responden (80%), dan responden yang memiliki fasilitas
tidak lengkap dan tidak siap sejumlah 4 responden (20%). Berdasarkan hasil
uji chi – square menunjukkan nilai = 0,301, berarti secara statistik tidak ada
hubungan antara fasilitas dengan kesiapan perawat dalam menangani Cardiac
Arrest.
4.11Hubungan antara pelatihan dengan kesiapan perawat dalam menangani
Cardiac Arrest.
Pada Tabel menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, responden yang pernah
mengikuti pelatihan dan siap sejumlah 9 responden (100%), responden yang
pernah mengikuti pelatihan dan tidak siap 0 responden (0%), responden yang
tidak pernah mengikuti pelatihan dan siap berjumlah 19 orang (61,3%), dan
responden yang tidak pernah mengikuti pelatihan dan tidak siap sejumlah 12
responden (38,7%). Berdasarkan hasil uji chi – square menunjukkan nilai =
0,025, berarti secara statistik ada hubungan antara pelatihan dengan kesiapan
perawat dalam menangani Cardiac Arrest.
39
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Cardiac arrest adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan
hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan tidak terduga, diikuti hilangnya
kesadaran dan akhirnya hilangnya kemampuan untuk bernafas. Cardiac
arrrest dapat disebabkan oleh beberapa faktor resiko, seperti usia, jenis
kelamin, dan merokok serta penyakit jantung yang mendasari.
Untuk patofisiologi penyakit ini berbeda tergantung pada etiologi dari
penyakit itu sendiri. Tanda dan gejala yang terjadi adalah Hypoxia cerebral,
menyebabkan korban kehilangan kesadaran (collapse),Kerusakan otak, Napas
dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas), hipotensi
dengan tidak ada denyut nadi.
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah elektrokardigram,
tes darah, imaging test, Electrical system (electrophysiological) testing
and mapping , Ejection fraction testing.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan melalui beberapa tahap
yaitu Respons awal,Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life
support) Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support),
Asuhan pasca resusitasi, Penatalaksanaan jangka panjang
5.2 Saran
Diharapakan setelah penulisan makalah ini, kita semua khususnya
mahasiswa keperawatan terutama bagi mahasiswa STIKES EKAHARAP
PALANGKARAYA ini dapat memahami dan mampu menjelaskan
pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang,
40
penatalaksanaan,komplikasi, pencegahan dan yang utama yaitu rencana
asuhan keperawatan untuk pasien dengan cardiac arrest ini.
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta :EGC
Udjianti, Wajan Juni. 2011. Keperawatan kardiovaskuler. Jakarta : Salemba
Medika
Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular. Jakarta : Salemba Medika..
Smeltzer,C.S. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC
Tim IKAPI. 1993. Proses Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta : EGC
Wilkinson, Judith M. Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi 9. 2011. Jakarta :
EGC
41