bab 1,2,3,4,5.docx

62
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cardiac arrest disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary arrest, atau circulatory arrest, merupakan suatu keadaan darurat medis dengan tidak ada atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi (U.S National Heart, Lung, and Blood Institute, 2009; Sudden Cardiac Arrest Association, 2008; Sovari dan Kocheril: 2009). Terdapat empat jenis ritme yang menyebabkan henti jantung yaitu ventricular fibrilasi (VF), ventricular takikardia yang sangatcepat (VT), pulseless electrical activity (PEA), dan asistol. Keadaan ini menyebabkan irama jantung tidak teratur atau abnormal yang disebut dengan aritmia sehingga jantung dapat berdetak terlalu cepat, terlalu lambat, atau bahkan dapat berhenti berdetak. Aritmia merupakan salah satu penyebab dari cardiac arrest pada saat aritmia terjadi, jantung memompa sedikit atau bahkan tidak ada darah ke dalam sirkulasi. Aritmia dicetuskan oleh beberapa faktor, diantaranya: penyakit jantung koroner yang menyebabkan infark miokard (serangan jantung), stress fisik (perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam, sengatan listrik, kekurangan oksigen akibat tersedak, 1

Upload: agustriati-muniz

Post on 07-Dec-2015

275 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ok

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1,2,3,4,5.docx

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cardiac arrest disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary arrest,

atau circulatory arrest, merupakan suatu keadaan darurat medis dengan tidak ada

atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan seketika

menyebabkan kegagalan sirkulasi (U.S National Heart, Lung, and Blood Institute,

2009; Sudden Cardiac Arrest Association, 2008; Sovari dan Kocheril: 2009).

Terdapat empat jenis ritme yang menyebabkan henti jantung yaitu ventricular

fibrilasi (VF), ventricular takikardia yang sangatcepat (VT), pulseless electrical

activity (PEA), dan asistol. Keadaan ini menyebabkan irama jantung tidak teratur

atau abnormal yang disebut dengan aritmia sehingga jantung dapat berdetak

terlalu cepat, terlalu lambat, atau bahkan dapat berhenti berdetak.

Aritmia merupakan salah satu penyebab dari cardiac arrest pada saat aritmia

terjadi, jantung memompa sedikit atau bahkan tidak ada darah ke dalam sirkulasi.

Aritmia dicetuskan oleh beberapa faktor, diantaranya: penyakit jantung koroner

yang menyebabkan infark miokard (serangan jantung), stress fisik (perdarahan

yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam, sengatan listrik,

kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan

asma yang berat), kelainan bawaan yang mempengaruhi jantung, perubahan

struktur jantung (akibat penyakit katup atau otot jantung) dan obat-obatan.

Penyebab lain cardiac arrest adalah tamponade jantung dan tension

pneumothorax.

Berdasarkan laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

yang melakukan survey terhadap kejadian cardiac arrest di United States selama

periode 1 Oktober 2005–31 December 2010 didapatkan sekitar 31,689 kasus

cardiac arrest yang terjadi di luar rumah sakit. Dari kejadian tersebut, sejumlah 33,

3% dari kasus cardiac arrest yang memperoleh bantuan CPR dari bystander dan

hanya 3,7% yang mendapatkan bantuan automated external defibrillator (AED)

sebelum personel EMS datang. Tingkat kelangsungan hidup pasien dengan

kejadian cardiac arrest di luar rumah sakit yang berhasil masuk rumah sakit

1

Page 2: BAB 1,2,3,4,5.docx

(MRS) sebesar 26, 3%. Dari keseluruhan jumlah pasien cardiac arrest yang terjadi

di luar rumah sakit, kelompok yang paling mungkin untuk bertahan hidup adalah

orang-orang yang dijumpai mengalami serangan cardiac arrest oleh penolong dan

ditemukan dalam irama shockable (misalnya, ventrikel fibrilasi atau pulseless

takikardi ventrikel) di mana kelangsungan hidup berkisar 30,1% (Bryan et al,

2011). Untuk jumlah prevalensi penderita henti jantung di Indonesia tiap tahunnya

belum diadapatkan data yang jelas, namun diperkirakan sekitar 10 ribu warga,

yang berarti 30 orang per hari. Kejadian terbanyak dialami oleh penderita jantung

koroner (Depkes, 2006).

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas masalah cardiac arrest,

agar dapat memberikan manfaat baik bagi dosen maupun mahasiswa.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa itu cardiac arrest?

1.2.2 Bagaimana anatomi fisiologi sistem kardiovaskuler?

1.2.3 Apa saja etiologi cardiac arrest?

1.2.4 Bagaimana manifestasi klinis cardiac arrest?

1.2.5 Bagaimana patofisiologi cardiac arrest?

1.2.6 Bagaimana penatalaksanaan cardiac arrest?

1.2.7 Bagaimana pemeriksaan diagnosis cardiac arrest?

1.2.8 Apa saja komplikasi cardiac arrest?

1.2.9 Bagaimana asuhan keperawatan cardiac arrest?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui asuhan keperawatan untuk pasien cardiac arrest.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengetahui pengertian cardiac arrest

1.3.2.2 Mengetahui bagaimana anatomi fisiologi cardiac arrest

1.3.2.3 Mengetahui etiologi cardiac arrest

1.3.2.4 Mengetahui manifestasi cardiac arrest

1.3.2.5 Mengetahui patofisiologi cardiac arrest

1.3.2.6 Mengetahui penatalaksanaan cardiac arrest

2

Page 3: BAB 1,2,3,4,5.docx

1.3.2.7 Mengetahui diagnosis cardiac arrest

1.3.2.8 Mengetahui komplikasi cardiac arrest

1.3.2.9 Mengetahui asuhan keperawatan cardiac arrest

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Klien dengan Cardiact Arrest

Untuk mengetahui apa penyebab penyakit Cardiact arrest yang

dideritanya,bagaimana cara proses pengobatannya dan mengetahui

asuhan yang akan diberikan perawat pada penyembuhan penyakit

Cardiact arrest.

1.4.2 Institusi

Untuk mengetahui presentase perkembangan dari penyakit Cardiact

arrest dalam instuti tersebut misalnya puskesmas , rumah sakit dan

klinik.

1.4.3 Masyarakat

Untuk mengetahui informasi tentang penyakit Cardiact arrest dan

menambah pengetahuan tentang penyakit Cardiact arrest.

3

Page 4: BAB 1,2,3,4,5.docx

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Cardiac Arrest

2.1.1 Cardiac Arrest

Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan

mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit

jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan

sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart Association,2010).

Jameson, dkk (2005), menyatakan bahwa cardiac arrest adalah penghentian

sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa henti

jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak

untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen

ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi

secara efektif.

Henti jantung adalah penghentian aktivitas pompa jantung efektif  yang

mengakibatkan penghentian sirkulasi. Terdapat hanya dua tipe henti jantung ,

yaitu : cardiac standstill ( asisitol ) dan fibrilisasi ventrikel ( plus format lain dari

kontraksi ventrikel tak efektif, seperti flutter ventrikel, dan yang jarang terjadi

takikardia ventrikel), (Arif muttaqin, 2012).

Henti jantung atau cardiac arrest adalah suatu kondisi medis yang ditandai

dengan hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan tidak terduga, diikuti

hilangnya kesadaran dan akhirnya hilangnya kemampuan untuk bernafas.

Biasanya hal ini terjadi karena gangguan elektrik pada jantung yang

mempengaruhi kegiatan pompaan, sehingga menghalangi darah mengalir ke

bagian tubuh lainnya. (Udjianti, 2011).

Kematian jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau

proses kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya

gejala. Sekitar 93 persen SCD adalah suatu kematian aritmik. Artinya, kematian

terjadi akibat timbulnya gangguan irama jantung yang menyebabkan kegagalan

4

Page 5: BAB 1,2,3,4,5.docx

sirkulasi darah. Jantung tiba-tiba mati (juga disebut Sudden Cardiac Arrest)

adalah kematian yang tiba-tiba akibat hilangnya fungsi hati (perhentian jantung).

Korban mungkin atau tidak ada diagnosis penyakit jantung. Waktu dan cara

kematian yang tidak terduga. Itu terjadi beberapa menit setelah gejala muncul.

Yang paling umum yang alasan pasien mati mendadak dari perhentian jantung

adalah penyakit jantung koroner (fatty buildups dalam arteries bahwa pasokan

darah ke otot jantung).

2.1.2 Anatomi Fisiologi Sistem Kardiovaskuler

Setiap harinya jantung berdetak 100.000 kali dan dalam masa periode itu

jantung memompa 2000 galon darah atau setara dengan 7.571 liter darah. Posisi

jantung terletak diantar kedua paru dan berada ditengah tengah dada, bertumpu

pada diaphragma thoracis dan berada kira-kira 5 cm diatas processus

xiphoideus.Pada tepi kanan cranial berada pada tepi cranialis pars cartilaginis

costa III dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Pada tepi kanan caudal berada pada

tepi cranialis pars cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Tepi

kiri cranial jantung berada pada tepi caudal pars cartilaginis costa II sinistra di tepi

lateral sternum, tepi kiri caudal berada pada ruang intercostalis 5, kira-kira 9 cm di

kiri linea medioclavicularis.

Secara fisiologi, jantung adalah salah satu organ tubuh yang paling vital

fungsinya dibandingkan dengan organ tubuh vital lainnya. Dengan kata lain,

apabila fungsi jantung mengalami gangguan maka besar pengaruhnya terhadap

organ-organ tubuh lainya terutama ginjal dan otak. Karena fungsi utama jantung

untuk pump the blood atau memompa darah ke organ pulmo/paru-paru dan ke

seluruh tubuh. Jantung merupakan organ utama dalam system kardiovaskuler.

Jantung dibentuk oleh organ-organ muscular, apex dan basis cordis, atrium kanan

dan kiri serta ventrikel kanan dan kiri.Ukuran jantung kira-kira panjang 12 cm,

lebar 8-9 cm seta tebal kira-kira 6 cm. Berat jantung sekitar 7-15 ons atau 200

sampai 425 gram dan sedikit lebih besar dari kumpalan tangan ( IKAPI, 1993 ).

a. Ruang Jantung

Jantung manusia terdiri atas 4 ruang dengan sekat dan katup yang

sempurna. Ruang tersebut yakni:

1. Serambi Kanan/atrium dexter.

5

Page 6: BAB 1,2,3,4,5.docx

Terletak pada jantung bagian kanan atas dan embelan kecil,

menyerupai telinga kanan, berfungsi sebagai bilik penyimpana sementara

sehingga darah dapat tersedia untuk ventrikel kanan.Darah tidak

teroksigen dari sirkulasi sistemik memasuki serambi kanan lewat tiga

vena, vena cava inferior,vena cava superior/vena cava anterior, dan sinus

koroner.

2. Bilik Kanan/ventrikel dexter.

Bilik pemompa bagi sirkulasi paru paru, dengan dinding yang lebih

tebal dan lebih berotot dari pada serambi, berkontraksi dan memompakan

darah tidak teroksigen lewat katup paru-paru memaruh bulan bertaring tiga

dan menuju arteri besar, cabang paru-paru.Yang berfungsi memompa

darah ke pulmo melalui valvula pulmonalis dan disalurkan ke pulmo oleh

pembuluh arteri pulmonalis sinister.

3. Serambi Kiri/atrium sinister

Serambi kiri adalah ruang jantung yang menerima darah yang kaya

oksigen dari pulmo melalui pembuluh vena pulmonalis sinister dan darah

tersebut kemudian disalurkan ke ventrikel sinister melalui valvula

bikuspidalis/valvula mitral.

4. Bilik kiri/ventrikel sinister

Bilik kiri adalah bilik pemompa bagi sirkulasi sistemik.Karena

tekanan darah yang lebih besar di butuhkan untuk memompa darah yang

melalui sirkulasi sistemik jauh lebih besar dari pada melalui sirkulasi paru-

paru,ventrikel kiri lebih besar dan dinding-dindingnya lebih tebal dari pada

ventrikel kanan. Ketika ventrikel kiri berkontraksi, ventrikel pemompa

darah teroksigen lewat katup aorta memaruh bulan menuju arteri besar,

aorta dan keseluruh tubuh. Peristiwa berikut terjadi di ventrikel kiri, secara

serentak dan sama dengan apa yang terjadi pada ventrikel kanan.

b. Kantung Jantung

Fungsi katup jantung adalah untuk mempertahankan aliran satu arah.

Diantara atrium kanan dan ventrikel kanan ada katup yang memisahkan

keduanya yaitu katup trikuspid, sedangkan pada atrium kiri dan ventrikel kiri

juga mempunyai katup yang disebut dengan katup mitral/ bikuspid. Kedua

6

Page 7: BAB 1,2,3,4,5.docx

katup ini berfungsi sebagai pembatas yang dapat terbuka dan tertutup pada

saat darah masuk dari atrium ke ventrikel.

1. Katup Trikuspid

Katup trikuspid berada diantara atrium kanan dan ventrikel kanan.

Bila katup ini terbuka, maka darah akan mengalir dari atrium kanan

menuju ventrikel kanan. Katup trikuspid berfungsi mencegah kembalinya

aliran darah menuju atrium kanan dengan cara menutup pada saat

kontraksi ventrikel. Sesuai dengan namanya, katup trikuspid terdiri dari 3

daun katup.

2. Katup Pulmonalis

Setelah katup trikuspid tertutup, darah akan mengalir dari dalam

ventrikel kanan melalui trunkus pulmonalis. Trunkus pulmonalis

bercabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri yang akan

berhubungan dengan jaringan paru kanan dan kiri. Pada pangkal trunkus

pulmonalis terdapat katup pulmonalis yang terdiri dari 3 daun katup yang

terbuka bila ventrikel kanan berkontraksi dan menutup bila ventrikel

kanan relaksasi, sehingga memungkinkan darah mengalir dari ventrikel

kanan menuju arteri pulmonalis.

3. Katup Bikuspid

Katup bikuspid atau katup mitral mengatur aliran darah dari atrium

kiri menuju ventrikel kiri. Seperti katup trikuspid, katup bikuspid menutup

pada saat kontraksi ventrikel. Katup bikuspid terdiri dari dua daun katup.

4. Katup Aorta

Katup aorta terdiri dari 3 daun katup yang terdapat pada pangkal

aorta. Katup ini akan membuka pada saat ventrikel kiri berkontraksi

sehingga darah akan mengalir keseluruh tubuh. Sebaliknya katup akan

menutup pada saat ventrikel kiri relaksasi, sehingga mencegah darah

masuk kembali kedalam ventrikel kiri.

c. Lapisan Jantung

Dinding jantung terdiri dari 3 lapis yaitu :

1. Epikardium (Pericardium visceral)

7

Page 8: BAB 1,2,3,4,5.docx

Lapisan bagian luar jantung ini terdiri dari 2 lapisan yaitu

perikardium fibrosa dan serosa. Di dalam kantong perikardium terdapat

cairan yang memudahkan gerakan dan sangat mengurangi gesekan jantung

terhadap jaringan sekitarnya. Perikardium fibrosa, yaitu lapisan luar yang

melekat pada tulang dada, diafragma dan pleura. Perikardium serosa, yaitu

lapisan dalam dari perikardium yang terdiri dari lapisan parietalis;melekat

pada perikardium fibrosa dan lapisan viseralis yang melekat pada jantung

yang juga disebut epikardium. Diantara keduanya terdapat rongga yang

disebut rongga perikardium yang berisi sedikit cairan pelumas atau yang

disebut cairan perikardium kurang lebih 10 atau 30 ml yang berguna untuk

mengurangi gesekan yang timbul akibat pergerakan jantung.

2. Myocardium

Myocardium (myo = otot) yaitu jaringan utama otot jantung yang

bertanggung jawab atas kemampuan kontraksi jantung, yang terdiri dari

sel-sel otot dan membentuk bagian terbesar dinding dari masing-masing

bilik. Myocardium ventrikel kiri lebih tebal dari kanan. Akibatnya,

ventrikel kiri dapat membuat tekanan lebih besar saat berkontraksi.

3. Endokardium

Lapisan tipis dan halus yang menjadi pembatas dalam jantung

bagian dalam otot jantung yang berhubungan langsung dengan darah dan

juga bersifat sangat licin untuk aliran darah, seperti halnya pada sel-sel

endotel pada pembuluh darah lainnya yang membentuk katup jantung.

Ketika darah bergerak melewati jantung, darah memasuki empat bilik dan

memiliki empat kutup. Dua ruang bagian atas, serambi(antrium) kanan dan

kiri, dipisahkan secara longitudinal oleh sekat antar serambi(septum

interatrium), dua ruang bagian bawah, ventrikel kanan dan kiri adalah

mesin pemompa jantung dan dipisahkan secara longitudinal oleh sekat

antar vertikel(septum interventrikel). Sebuah katup terdapat pada setiap

bilik untuk mencegah darah mengalir kembali kedalam bilik tempat darah

berasal. ( IKAPI,1993 )

8

Page 9: BAB 1,2,3,4,5.docx

2.1.3 Etiologi Cardiac Arrest

a. Usia

 Insiden CD meningkat dengan bertambahnya usia bahkan pada pasien

yang bebas dari CAD simtomatik.

b. Jenis kelamin

Tampak bahwa pria mempunyai insiden SCD yang lebih tinggi

dibandingkan wanita yang bebas dari CAD yang mendasari.

c. Merokok

Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan

insiden SCD (ada efek aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas

miokardium ventrikel). Tetapi menurut pengertian Framingham,

peningkatan resiko akibat merokok hanya terlihat pada pria. Yang

menarik, peningkatan resiko ini menurun pada pasien yang berhenti

merokok. Merokok juga meningkatkan insiden CAD yang tampil pada

kebanyakan pasien yang menderita henti jantung.

d. Penyakit jantung yang mendasari

1) Tidak ada penyakit jatung yang diketahui

Pasien ini mempunyai pengurangan resiko SCD, bila dibandingkan

dengan pasien CAD atau pasien dengan pengurangan fungsi

ventrikel kiri.

2) Penyakit arteri koronaria (CAD)

Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien

CAD mempunyai frekuensi SCD Sembilan kali pasien dengan usia

yang sama tanpa CAD yang jelas. The Multicenter Post Infarction

Research Group mengevaluasi beberapa variable pada pasien yang

menderita MI. Kelompok ini berkesimpulan bahwa pasien pasca MI

dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang kurang dari 40%, 10 atau

lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per jam, sebelum MI dan

ronki dalam masa periinfark mempunyai peningkatan mortalitas (1-

2 tahun) dibandingkan dengan pasien tanpa masalah ini. Jelas pasien

CAD (terutama yang menderita MI) dengan resiko SCD yang lebih

besar.

9

Page 10: BAB 1,2,3,4,5.docx

3) Sindrom prolaps katup mitral (MVPS)

Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah memperlihatkan

tingginya insiden aritmia ventrikel yang dapat di induksi, terutama

pada pasien dengan riwayat sinkop atau prasinkop. Terapi anti

aritmia pada pasien ini biasanya akan mengembalikan gejalanya.

4) Hipertrofi septum yang asimetrik (ASH)

Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan

ventrikel yang bisa menyebabkan kematian listrik atau

hemodinamik (peningkatan obstruksi aliran keluar). Riwayat VT

atau bahkan denyut kelompok ventrikel akan meningkatkan risiko

SCD.

5) Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)

Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1 melalui suatu

jalur tambahan atau AF dengan respon ventrikel sangat cepat (juga

karena hantaran jalur tambahan antegrad) menimbulkan frekuensi

ventrikel yang cepat, yang dapat menyebabkan VF dan bahkan

kematian mendadak.

6) Sindrom Q-T yang memanjang

Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau idiopatik

mempunyai peningktan resiko SCD. Kematian sering timbul selama

masa kanak-kanak. Mekanisme ini bisa berhubungan dengan

kelainan dalam pernafasan simpatis jantung yang memprodisposisi

ke VF.

e. Lain-lainnya

1) Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic

merupakan predisposisi SCD.

2) Hiperkolesteremia: tidak ada hubungan jelas antara kadar

kolesterol serum dan SCD yang telah ditemukan.

3) Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya pada

wanita ditemukan peningkatan insiden SCD yang menyertai

intoleransi glukosa.

10

Page 11: BAB 1,2,3,4,5.docx

4) Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas

dalam mengurangi insiden SCD.

5) Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan

resiko SCD pada pria, bukan wanita.

f. Riwayat aritmia

1) Aritmia supraventrikel

Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia

supraventrikel disertai dengan peningkatan insiden SCD. Pasien

CAD yang kritis juga beresiko, jika aritmia supraventrikel

menimbulkan iskemia miokardium. Tampak bahwa iskemia dapat

menyebabkan tidak stabilnya listrik, yang mengubah sifat

elektrofisiologi jantung yang menyebabkan VT terus-menerus atau

VF. Tetapi sering episode iskemik ini asimtomatik.

2) Aritmia ventrikel

Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT tidak terus-

menerus menpunyai peningkatan insiden SCD dibandingkan pasien

dengan VPC tersendiri. Kombinasi VT yang tidak terus-menerus

dan disfungsi ventrikel kiri disertai tingginya resiko SCD. Pasien

CAD dan VT spontan mempunyai ambang VT yang lebih rendah

dibandingkan pasien CAD dan tanpa riwayat VT. Sehingga pasien

CAD dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan VF atau

VT terus-menerus yang spontan mempunyai insiden SCD tertinggi.

3) Faktor pencetus

a) Aktivitas

Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas.

Analisis 59 pasien yang meninggal mendadak memperlihatkan

bahwa setengah dari kejadian ini timbul selama atau segera

setelah gerak badan. Tampak bahwa gerak badan bisa

mencetuskan SCD, terutama jika aktivitas berlebih dan selama

tidur SCD jarang terjadi.

11

Page 12: BAB 1,2,3,4,5.docx

b) Iskemia

Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang

jauh (iskemia dalam distribusi arteri koronaria noninfark)

mempunyai insiden aritmia ventrikel yang lebih tinggi

dibandingkan dengan pasien iskemia yang terbatas pada zona

infark. Daerah iskemia yang aktif disertai dengan tidak

stabilnya listrik dan pasien iskemia pada suatu jarak

mempunyai kemungkinan lebih banyak daerah beresiko

dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.

c) Spasme arteri koronaria

Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra) dapat

menimbulkan brakikardia sinus, blok AV yang lanjut atau AF.

Semua aritmia dapat menyokong henti jantung. Tampak bahwa

lebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang menyertai

spasme arteri koronaria, lebih besar resiko SCD. Tetapi insiden

SDC pada pasien spasme arteri koronaria berhubungn dengan

derajat CAD obsruktif yang tetap. Yaitu pasien CAD

multipembuluh darah yang kritis ditambah spasme arteri

koronaria lebih mungkin mengalami henti jantung

dibandingkan pasien spase arteri koronaria tanpa obstuksi

koronaria yang tetap.

2.1.4 Manifestasi Klinis Cardiac Arrest

a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,

tepukan di pundak ataupun cubitan.

b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika

jalan pernafasan dibuka.

c. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya

suplai oksigen, termasuk otak.

d. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan

korban kehilangan kesadaran (collapse).

e. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani

dalam 5 menit, selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.

12

Page 13: BAB 1,2,3,4,5.docx

f. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).

g. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi

yang dapat terasa pada arteri.

h. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).

2.1.5 Patofisiologi Cardiac Arrest

Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.

Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat

dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah

mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan

mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak.

Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban

kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin

terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan

terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden cardiac death).

Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi

yang mendasari terjadinya cardiac arrest.

1. Penyakit Jantung Koroner

Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang

umumnya dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan

salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri

koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan

menyempit akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam

arteri. Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke

jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai

oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat

terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan

menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem

konduksi langsung dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan

cardiac arrest.

2. Stress Fisik

Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal

berfungsi, diantaranya:

13

Page 14: BAB 1,2,3,4,5.docx

a) perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam

b) sengatan listrik

c) kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun

serangan asma yang berat

d) Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah

e) Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang

memiliki gangguan jantung.

f) Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal

refleks akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.

3. Kelainan Bawaan

Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.

Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota

keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac arrest.

Beberapa orang lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat

mengganggu bentuk(struktur) jantung dan dapat meningkatkan

kemungkinan terkena SCA.

4. Perubahan struktur jantung

Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat

menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya

dapat mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi

pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung

kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur

dari jantung.

5. Obat-obatan

Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker,

kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia.

Penemuan adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis

pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa medical

record untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau mengirim

sampel urin dan darah pada laboratorium toksikologi dapat membantu

menegakkan diagnosis.

6. Tamponade jantung

14

Page 15: BAB 1,2,3,4,5.docx

Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung

sehingga tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan

sehingga mengakibatkan kematian.

7. Tension pneumothorax

Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura.

Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan

tekanan dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran mediastinum.

Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan pembuluh darah

besar (terutama vena cava superior) tertekan, sehingga membatasi aliran

balik ke jantung. 

2.1.6 Penatalaksanaan Cardiac Arrest

Pasien yang mendadak kolaps ditangani melalui 5 tahap, yaitu:

1. Respons awal

2. Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)

3. Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)

4. Asuhan pasca resusitasi

5. Penatalaksanaan jangka panjang

Respons awal dan dukungan kehidupan dasar dapat diberikan oleh

dokter, perawat, personil paramedic, dan orang yang terlatih. Terdapat

keperluan untuk meningkatkan keterampilan saat pasien berlanjut melalui

tingkat dukungan kehidupan lanjut, asuhan pascaresusitasi, dan

penatalaksanaan jangka panjang.

1. Respons Awal

Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-

benar disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi,

warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis

atau arteri femoralis dapat menentukan dengan segera apakah telah

terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian.

Gerakan respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang singkat

setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi adalah

stridor yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya

aspirasi benda asing atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai,

15

Page 16: BAB 1,2,3,4,5.docx

maneuver Heimlich yang cepat dapat mengeluarkan benda yang

menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara kuat

dengan tangan terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum

sepertiga tengah dan sepertiga bawah kadang-kadang dapat

memulihkan takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi tindakan ini juga

dikhawatirkan dapat mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi

ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan untuk menggunakan pukulan

prekordial hanya pada pasien yang dimonitor; rekomendasi ini masih

controversial. Tindakan ke tiga selama respons inisial adalah

membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di

dalam mulut dikeluarkan, dan maneuver Heimlich dilakukan jika

terdapat indikasi mencurigakan adanya benda asing yang terjepit di

daerah orofaring. Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti respirasi

(respiratory arrest) yang mendahului serangan henti jantung, pukulan

prekordial kedua dapat dilakukan setelah saluran napas dibersihkan.

2. Tindakan Dukungan Kehidupan Dasar (Basic Life Support)

Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi

kardiopulmoner (RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation)

merupakan dukungan kehidupan dasar yang bertujuan untuk

mempertahankan perfusi organ sampai tindakan intervensi yang

definitive dapat dilaksanakan. Unsur-unsur dalam tindakan RKP terdiri

atas tindakan untuk menghasilkan serta mempertahankan fungsi

ventilasi paru dan tindakan kompresi dada. Respirasi mulut ke mulut

dapat dilakukan bila tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang

khusus misalnya pipa napas orofaring yang terbuat dari plastic,

obturator esophagus, ambu bag dengan masker. Teknik ventilasi

konvensional selama RKP memerlukan pengembangan paru yang

dilakukan dengan menghembuskan udara pernapasan sekali setiap 5

detik, kalau terdapat dua orang yang melakukan resusitasi dan dua kali

secara berturut, setiap 15 detik kalau yang mengerjakan ventilasi

maupun kompresi dinding dada hanya satu orang.

16

Page 17: BAB 1,2,3,4,5.docx

Kompresi dada dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kompresi

jantung memungkinkan jantung untuk mempertahankan fungsi

pemompaan dengan pengisian serta pengosongan rongga-rongganya

secara berurutan sementara katup-katup jantung yang kompeten

mempertahankan aliran darah ke depan. Telapak yang satu diletakkan

pada sternum bagian bawah, sementara telapak tangan yang lainnya

berada pada permukaan dorsum tangan yang di sebelah bawah.

Sternum kemudian ditekan dengan kedua lengan penolong tetap berada

dalam keadaan lurus. Penekanan ini dilakukan dengan kecepatan

kurang lebih 80 kali per menit. Penekanan dilakukan dengan kekuatan

yang cukup untuk menghasilkan depresi sternum sebesar 3 hingga 5

cm, dan relaksasi dilakukan secara tiba-tiba. Teknik RKP konvensional

ini sekarang sedang dibandingkan dengan teknik baru yang didasarkan

pada ventilasi dan kompresi simultan. Sementara aliran arteri karotis

yang dapat diukur dapat dicapai dengan RKP konvensional, data

eksperimental dan pemikiran teoritis mendukung bahwa aliran dapat

dioptimalkan melaui kerja pompa yang dihasilkan oleh perubahan

tekanan pada seluruh rongga torasikus, seperti yang dicapai dengan

kompresi dan ventilasi simultan. Namun, tidak jelas apakah teknik ini

menyebabkan impedansi aliran darah koroner dan apakah peningkatan

aliran karotis menghasilkan peningkatan yang ekuivalen pada perfusi

serebral.   

Langkah-langkah penting dalam resusitasi kardiopulmoner. A.

Pastikan bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka.

B. Mulailah resusitasi respirasi dengan segera. C. Raba denyut nadi

karotis di dalam lekukan sepanjang jakun (Adam’s apple) atau

kartilago tiroid. D. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat

jantung. Lakukan penekanan sebanyak 60 kali per menit dengan satu

kali penghembusan udara untuk mengembangkan paru setelah setiap 5

kali penekanan dada. (Isselbacher: 228)

3. Tindakan Dukungan Kehidupan Lanjut (Advance Life Support)

17

Page 18: BAB 1,2,3,4,5.docx

Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat,

mengendalikan aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika

(tekanan darah serta curah jantung) dan memulihkan perfusi organ.

Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini mencakup:

a) Tindakan intubasi dengan endotracheal tube

b) Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung

c) Pemasangan lini infuse.

Ventilasi dengan O2 atau udara ruangan bila O2 tidak tersedia

dengan segera, dapat memulihkan keadaan hipoksemia dan asidosis

dengan segera. Kecepatan melakukan defibrilasi atau kardioversi

merupakan elemen penting untuk resusitasi yang berhasil. Kalau

mungkin, tindakan defibrilasi harus segera dilakukan sebelum intubasi

dan pemasangna selang infuse. Resusitasi kardiopulmoner harus

dikerjakan sementara alat defibrillator diisi muatan arusnya. Segera

setelah diagnosis takikardia atau fibrilasi ventrikel ditentukan, kejutan

listrik sebesar 200-J harus diberikan. Kejutan tambahan dengan

kekuatan yang lebih tinggi hingga maksimal 360-J, dapat dicoba bila

kejutan pertama tidak berhasil menghilangkan takikardia atau fibrilasi

ventrikel. Jika pasien masih belum sadar sepenuhnya setelah dilakukan

reversi, atau bila 2 atau 3 kali percobaan tidak membawa hasil, maka

tindakan intubasi segera, ventilasi dan analisis gas darah arterial harus

segera dilakukan. Pemberian larutan NaHCO3 intravena yang

sebelumnya diberikan dalam jumlah besar kini tidak dianggap lagi

sebagai keharusan yang rutin dan bisa berbahaya bila diberikan dalam

jumlah yang lebih besar. Namun, pasien yang tetap mengalami asidosis

setalah defibrilasi dan intubasi yang berhasil harus diberikan 1

mmol/kg NaHCO3 pada awalnya dan tambahan 50% dosis diulangi

setiap 10-15 menit.

Setelah upaya defibrilasi pendahuluan tanpa mempedulikan apakah

upaya ini berhasil atau tidak, preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan

intravena dan pemberian ini diulang dalam waktu 2 menit pada pasien-

pasien yang memperlihatkan aritmia ventrikel yang persisten atau tetap

18

Page 19: BAB 1,2,3,4,5.docx

menunjukkan fibrilasi ventrikel. Penyuntikan lidokain ini diikuti oleh

infuse lidokain dengan takaran 1-4 mg/menit. Jika lidokain tidak

berhasil mengendalikan keadaan tersebut, pemberian intravena

prokainamid (dosis awal 100mg/5 menit hingga tercapai dosis total

500-800mg, diikuti dengan pemberian lewat infuse yang kontinyu

dengan dosis 2-5mg/menit). Atau bretilium tosilat (dosis awal 5-

10mg/kg dalam waktu 5 menit; dosis pemeliharaan (maintanance) 0,5-

2 mg/menit), dapat dicoba. Untuk mengatasi fibrilasi ventrikel yang

per sisten, preparat epinefrin (0,5-1,0 mg) dapat diberikan intravena

setiap 5 menit sekali selama resusitasi dengan upaya defibrilasi pada

saat-saat diantara setiap pemberian preparat tersebut. Obat tersebut

dapat diberikan secara intrakardial jika cara pemberian intravena tidak

dapat dilakukan. Pemberian kalsium glukonat intravena tidak lagi

dianggap aman atau perlu untuk pemakaian yang rutin. Obat ini yang

hanya digunakan pada pasien dengan hiperkalemia akut dianggap

sebagai pencetus VF resisten, pada keadaan adanya hipokalsemia yang

diketahui, atau pada pasien yang menerima dosis toksik antagonis

hemat kalsium.

Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol

ditangani dengan cara yang berbeda. Setelah diketahui jenis

aritmianya, terapi syok dari luar tidak memiliki peranan. Pasien harus

segera diintubasi, resusitasi kardiopulmoner diteruskan dan harus

diupayakan untuk mengendalikan keadaan hipoksemia serta asidosis.

Epinefrin dan atau atropine diberikan intravena atau dengan

penyuntikan intrakardial. Pemasangan alat pacing eksternal kini sudah

dapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan irama jantung yang

teratur, tetapi prognosis pasien pada bentuk henti jantung ini umumnya

sangat buruk. Satu pengecualian adalah henti jantung asistolik atau

bradiaritmia sekunder terhadap obstruksi jalan napas. Bentuk henti

jantung ini dapat memberikan respons cepat untuk pengambilan benda

asing dengan maneuver Heimlich atau, pada pasien yang dirawat di

19

Page 20: BAB 1,2,3,4,5.docx

rumah sakit. Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yang menyumbat

di jalan napas.

4. Perawatan Pasca Resusitasi

Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat

terjadinya henti jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard

akut umumnya sangat responsive terhadap teknik-teknik dukungan

kehidupan (life support) dan mudah dikendalikan setelah kejadian

permulaan. Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4

mg/menit selama 24-72 jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah

sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau diperlukan hanya

untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang terjadi

dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi

ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas

hemodinamika menjadi predisposisi untuk terjadinya aritmia yang

dapat membawa kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil dan

pada pasien yang berhasil diresusitasi, angka rekurensinya cukup

tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan

hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh

kemampuan untuk mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan

dengan gangguan elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan

bradiaritmia merupakan peristiwa sekunder yang umum pada pasien

yang secara hemodinamis tidak stabil dan kurang responsive terhadap

intervensi.

Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit

yang menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa

pasien yang berhasil diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi

didominasi oleh sifat penyakit yang mendasari serangan henti jantung

tersebut.  Pasien dengan kanker, gagal ginjal, penyakit system saraf

pusat akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai

angka kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah henti jantung

di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir henti

jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien

20

Page 21: BAB 1,2,3,4,5.docx

dengan obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek

proaritmia obat-obatan dan gangguan metabolic yang berat,

kebanyakan mereka yang mempunyai harapan hidup baik jika mereka

mendapat resusitasi dengan cepat dan dipertahankan sementara

gangguan transien dikoreksi.

5. Penatalaksanaan Jangka Panjang

Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama

aktivitas spesialisasi klinis karena perkembangan system penyelamatan

emergency berdasar-komunitas. Pasien yang tidak menderita

kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan yang mencapai

stabilitas hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik

yang ekstensif untuk tuntutan penatalaksanaan jangka panjang.

Pendekatan agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta bahwadata

statistikdari tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah

henti jantung di luar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung

rekuren 30 persen pada 1 tahun, 45 persen pada 2 tahundan angka

mortalitas total hampir 60 persen pada 2 tahun. Perbandingan historis

mendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki dengan

intervensi yang baru. Tetapi seberapa besar perbaikannya idak

diketahui karena kurangnya uji intervensi bersamaan yang terkendali.

Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit

adalah MI akut dan transmural, penatalaksanaan sama dengan semua

pasien lain yang menderita henti jantung selama fase akut MI yang

nyata. Untuk hampir semua kategori pasien, bagaimanapun, uji

diagnostic ekstensif dilakukan menentukan etiologi, gangguan

fungsional dan ketidakstabilan elektrofisiologik sebagai penuntun

penatalaksanaan selanjutnya. Secara umum, pasien yang mempunyai

henti jantung di luar rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik

kronik, tanpa MI akut, dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia

transien atau ketidakstabilan elektrofisologik merupakan penyebab

yang lebih mungkin dari peristiwa ini. Jika terdapat alas an untuk

mencurigai suatu mekanisme iskemik, pembedahan anti-iskemik atau

21

Page 22: BAB 1,2,3,4,5.docx

Intervensi medis (seperti angiografi, obat) digunakan untuk

mengurangi beban iskemik. Ketidakstabilan elektrofisiologik paling

baik diidentifikasi dengan menggunakan stimulasi elektris terprogram

untuk menentukan apakah VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada

pasien. Jika ya, informasi ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk

mengevaluasi efektifitas obat untuk pencegahan kekambuhan.

Informasi ini juga dapat digunakan untuk menentukan kecocokan

untuk pembedahan antiaritmik dengan tuntunan peta. Menggunakan

teknik ini untuk menegakkan terapi obat pada pasien dengan fraksi

ejeksi 30 persen atau lebih, angka henti jantung rekuren adalah kurang

dari 10 persen selama tahun pertama tindak lanjut. Hasil akhir tidak

sebaik untuk pasien fraksi dengan fraksi ejeksi dibawah 30 persen,

tetapi tetap lebih baik dibandingkan riwayat alami yang tampak dari

kelangsungan hidup setelah henti jantung. Untuk pasien yang

keberhasilan dengan terapi obat tidak dapat diidentifikasi dengan

teknik ini, pengobatan empirik dengan amiodaron, penanaman

defibrillator/kardioverter (ICD, implantable cardioverter/defibrillator)

dalam tubuh, atau pembedahan antiaritmia (seperti bedah pintas

koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat dianggap sebagai pilihan.

Sukses pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan hidup

prosedur dan kembali pada keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa

terapi obat, adalah lebih baik dari 90 persen bila pasien dipilih untuk

kemampuan dipetakan dalam ruang operasi. Terapi ICD juga

dikembangkan menjadi sistem yang lebih menarik, termasuk

kemampuan untuk memacu lebih baik dibandingkan mengejutkan

(shock out) beberapa aritmia pada pasien terpilih.

2.1.7 Pemeriksaan Diagnosis Cardiac Arrest

1. Elektrokardiogram

Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG).

Ketika dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di

bagian tubuh lainnya missal tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan

durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan

22

Page 23: BAB 1,2,3,4,5.docx

pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls

listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah

terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT

berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.

2. Tes darah

a) Pemeriksaan Enzim Jantung

Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung

terkena serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu

sudden cardiac arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-

enzim ini sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan jantung.

b) Elektrolit Jantung

Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit

yang ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium.

Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang

membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidak seimbangan pada

elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest

1) Test Obat

Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk

menginduksi aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan

tersebut merupakan obat-obatan terlarang.

2) Test Hormon

Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini

sebagai pemicu cardiac arrest.

3. Imaging tes

a) Pemeriksaan Foto Torak

Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh

darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal

jantung.

b) Pemeriksaan nuklir

Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu

mengidentifikasi masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang

dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran

23

Page 24: BAB 1,2,3,4,5.docx

darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif

mengalir melalui jantung dan paru-paru.

c) Ekokardiogram

Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran

jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah

daerah jantung  telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa

secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah

ada kelainan katup.

4. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping

Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang

sudah sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung Anda

belum ditemukan. Dengan jenis tes ini, dokter mungkin mencoba untuk

menyebabkan aritmia, sementara dokter memonitor jantung Anda. Tes ini

dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes,

kemudian kateter dihubungkan denga electrode yang menjulur melalui

pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat,

elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung

pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk

merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin

memicu - atau menghentikan – aritmia. Hal ini memungkinkan dokter

untuk mengamati lokasi aritmia.

5. Ejection fraction testing

Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac

arrest adalah seberapa baik jantung Anda mampu memompa darah. Dokter

dapat menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang

dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang

dipompa keluar dari ventrikel  setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi

normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen

meningkatkan risiko sudden cardiac arrest. Dokter Anda dapat mengukur

fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram,

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir

scan dari jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.

24

Page 25: BAB 1,2,3,4,5.docx

6. Coronary catheterization (angiogram)

Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi

penyempitan atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah

pembuluh darah yang tersumbat merupakan prediktor penting sudden

cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri

hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri,

biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna

mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video,

menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter

diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan

angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.

2.1.8 Komplikasi Cardiac Arrest

Komplikasi yang mungkin terjadi yaitu :

1. Menyebabkan kematian

2. Gagal nafas

3. Henti nafas

25

Page 26: BAB 1,2,3,4,5.docx

2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan Cardiac Arrest

2.2.1 Pengkajian

1. Primary survey

a. Circulation

- Denyut nadi : 15 kali/menit, tidak teratur dan lemah

- Tkanan darah: 70/40 mmHg

- Warna kulit : pucat

b. Airway: jalan napas

- Terdapat suara snoring

- Tidak terdapat suara wheezing dan crowing

c. Breathing: pernapasan

- Frekuensi pernafasan tidak teratur

d. Disability

- GCS:

Mata: skor 2

Verbal: skor 2

Motorik: skor 1

e. Exposure

- Tidak ada tanda tanda teroma/oedem

2. Secondary survey

a. Kesadaran : tidak sadar

b. Kepala: trauma kepala ringan

c. GCS: tidak normal

d. Dada : - jantung: henti jantung

- Paru : pengembangan tidak maksimal

2.2.2 Diagnosa keperawatan

1. Hipoksia b.d suplai O2 ke otak menurun.

2. Gangguan perfusi cerebral b.d penurunan suplai  O2  ke otak

3. Gangguan pertukaran gas b.d suplai O2  tidak adekuat

26

Page 27: BAB 1,2,3,4,5.docx

2.2.3 Intervensi

1. Gangguan perfusi serebral b.d penurunan suplai  O2  ke otak

TUJUAN : Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O2 kembali lancar

KRITERIA HASIL :

- Pasien akan mempertahankan tanda-tanda vital dalam batas normal

- Warna dan suhu kulit normal

- CRT  < 2 detik.

No Intervensi Rasional

1 Berikan vasodilator misal nitrogliserin,

nifedipin sesuai indikasi.

Obat diberikan untuk

meningkatkan sirkulasi

miokardia.

2 Posisikan kaki lebih tinggi dari jantung Mempercepat pengosongan

vena superficial, mencegah

distensi berlebihan dan

meningkatkan aliran balik

vena

3 Pantau adanya pucat, sianosis dan kulit

dingin atau lembab

Sirkulasi yang terhenti

menyebabkan transport O2 ke

seluruh tubuh juga terhenti

sehingga akral sebagai bagian

yang paling jauh dengan

jantung menjadi pucat dan

dingin.

4 Pantau pengisian kapiler (CRT) Suplai darah kembali normal

jika CRT < 2 detik dan

menandakan suplai

O2 kembali normal

27

Page 28: BAB 1,2,3,4,5.docx

2. Gangguan pertukaran gas b.d suplai O2  tidak adekuat

TUJUAN: Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat

berlangsung

KRITERIA HASIL:

- Nilai GDA normal

- Tidak ada distress pernafasan

No Intervensi Rasional

1 Berikan O2  sesuai indikasi Meningkatkan konsentrasi oksigen

alveolar dan dapat memperbaiki

hipoksemia jaringan

2 Pantau GDA Pasien Nilai GDA yang normal menandakan

pertukaran gas semakin membaik

3 Pantau pernapasan klien Untuk evaluasi distress pernapasan

3. Penurunan curah jantung b.d kemampuan pompa jantung menurun

TUJUAN  : Meningkatkan kemampuan pompa jantung

KRITERIA HASIL :

- Nadi perifer teraba

- Tekanan darah dalam batas normal

No Intervensi Rasional

1 Lakukan Pijat Jantung untuk mengaktifkan kerja pompa jantung

2 Berikan oksigen tambahan

dengan kanula nasal/masker

dan obat  sesuai indikasi 

(kolaborasi)

Meningkatkan sediaan oksigen untuk

kebutuhan miokard untuk melawan efek

hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat

digunakan untuk meningkatkan volume

sekuncup, memperbaiki kontraktilitas.

3 Palpasi nadi perifer Penurunan curah jantung dapat

menunjukkan menurunnya nadi radial,

dorsalis pedis dan postibial. Nadi

mungkin hilang atau tidak teratur untuk

dipalpasi.

28

Page 29: BAB 1,2,3,4,5.docx

4 Pantau Tekanan Darah Pada pasien Cardiac Arrest tekanan

darah menjadi rendah atau mungkin tidak

ada.

5 Kaji kulit terhadap pucat dan

sianosis

Pucat menunjukkkan menurunnya

perfusi sekunder terhadap tidak

adekuatnya curah jantung.

 

29

Page 30: BAB 1,2,3,4,5.docx

BAB IIIKASUS

3.1 Pengkajian 3.1.1 data umum

Nama : Tn. H

Umur : 50 Thn

Alamat : Jl. A.Yani Palangka Raya

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Suku/Bangsa : Dayak/ Indonesia

Pekerjaan : Swasta

Tanggal Masuk Rs : 14 Juni 2012

Pendidikan : SMA

Diagnosa medik : Cardiac arrest 3.1.2 Pemeriksaan Fisik

1. Circulation

- Denyut nadi : tidak teraba

- Tekanan darah tidak ada

- Warna kulit : pucat

- Tidak ada pendarahan

2. Airway: jalan napas

- Terdapat suara snoring

- Tidak terdapat suara wheezing dan crowing

3. Breathing: pernapasan

- Frekuensi pernafasan tidak teratur dangkal dan cepat

- Terkadang terjadi apnea

4. Disability

- GCS:

Mata: skor 2

Verbal: skor 2

Motorik: skor 1

4. Exposure

- Tidak ada tanda tanda teroma/oedem

30

Page 31: BAB 1,2,3,4,5.docx

Hari sabtu tanggal 12 juni 2012 seorang pasien di ICU RSUD DORIS

SYLVANUS Tn. H mengalami henti nafas dengan tanda dan gejala tekanan

tidak ada , nadi tidak teraba, nafas dangkal dan cepat, kadang terjadi apnea

dan ketidaknormalan pernafasan saat jalan nafas di buka.

3.2 Analisa Data

Data Etiologi Masalah

keperawatan

DS:DO:- Warna kulit pucat- Aklar Dingin- CRT > 2 detik- Apnea

Cardiac arrest

kemampuan pompa jantung menurun

Curah Jantung menurun

Suplai O2  ke otak tidak

terprnuhi

Gangguan perfusi

serebral

Gangguan Perfusi

serebral

DS:

DO:

- Nilai GDA tidak

normal.

- Terlihat distress

pernafasan

Cardiac arrest

kemampuan pompa jantung menurun

Curah Jantung menurunSuplai O2  ke seluruh

tubuh menurun

Kebutuhan O2  di paru-paru tidak terprnuhi

Gangguan pertukaran gas

Gangguan pertukaran gas

31

Page 32: BAB 1,2,3,4,5.docx

DS:DO:- Tekanan darah

tidak ada- nadi perifer tidak

teraba- apnea

Cardiac arrest

kemampuan pompa

jantung menurun

Curah Jantung menurun

Penurunan curah jantung

3.3 Intervensi

1. Gangguan perfusi serebral b.d penurunan suplai  O2  ke otak

TUJUAN : Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O2 kembali

lancar

KRITERIA HASIL :

- Pasien akan mempertahankan tanda-tanda vital dalam batas normal

- Warna dan suhu kulit normal

- CRT  < 2 detik.

No Intervensi Rasional

1 Berikan vasodilator misal nitrogliserin,

nifedipin sesuai indikasi.

Obat diberikan untuk

meningkatkan sirkulasi

miokardia.

2 Posisikan kaki lebih tinggi dari jantung Mempercepat pengosongan

vena superficial, mencegah

distensi berlebihan dan

meningkatkan aliran balik

vena

3 Pantau adanya pucat, sianosis dan kulit

dingin atau lembab

Sirkulasi yang terhenti

menyebabkan transport O2 ke

seluruh tubuh juga terhenti

sehingga akral sebagai bagian

yang paling jauh dengan

jantung menjadi pucat dan

dingin.

32

Page 33: BAB 1,2,3,4,5.docx

4 Pantau pengisian kapiler (CRT) Suplai darah kembali normal

jika CRT < 2 detik dan

menandakan suplai

O2 kembali normal

2. Gangguan pertukaran gas b.d suplai O2  tidak adekuat

TUJUAN: Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat

berlangsung

KRITERIA HASIL:

- Nilai GDA normal

- Tidak ada distress pernafasan

No Intervensi Rasional

1 Berikan O2  sesuai indikasi Meningkatkan konsentrasi oksigen

alveolar dan dapat memperbaiki

hipoksemia jaringan

2 Pantau GDA Pasien Nilai GDA yang normal menandakan

pertukaran gas semakin membaik

3 Pantau pernapasan klien Untuk evaluasi distress pernapasan

3. Penurunan curah jantung b.d kemampuan pompa jantung menurun

TUJUAN  : Meningkatkan kemampuan pompa jantung

KRITERIA HASIL :

- Nadi perifer teraba

- Tekanan darah dalam batas normal

No Intervensi Rasional

1 Lakukan Pijat Jantung untuk mengaktifkan kerja pompa

jantung

2 Berikan oksigen tambahan

dengan kanula nasal/masker

dan obat  sesuai indikasi 

Meningkatkan sediaan oksigen untuk

kebutuhan miokard untuk melawan

efek hipoksia/iskemia. Banyak obat

33

Page 34: BAB 1,2,3,4,5.docx

(kolaborasi) dapat digunakan untuk meningkatkan

volume sekuncup, memperbaiki

kontraktilitas.

3 Palpasi nadi perifer Penurunan curah jantung dapat

menunjukkan menurunnya nadi radial,

dorsalis pedis dan postibial. Nadi

mungkin hilang atau tidak teratur

untuk dipalpasi.

4 Pantau Tekanan Darah Pada pasien Cardiac Arrest tekanan

darah menjadi rendah atau mungkin

tidak ada.

5 Kaji kulit terhadap pucat dan

sianosis

Pucat menunjukkkan menurunnya

perfusi sekunder terhadap tidak

adekuatnya curah jantung.

 

34

Page 35: BAB 1,2,3,4,5.docx

BAB 4ANALISIS JURNAL

4.1 Judul Jurnal

Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kesiapan Perawat Dalam

Menangani Cardiac Arrest Di Ruangan Iccu Dan Icu Rsu Anutapura Palu.

Aminuddin Politeknik Kesehatan Kemenkes Palu

4.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian dengan metode survei analitik.

Survei analitik merupakan survei atau penelitian yang mencoba menggali

bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi (Notoatmodjo,

2010). Penelitian ini adalah penelitian dengan rancangan cross sectional

study. Studi cross sectional adalah suatu desain penelitian dimana variabel

independen dan variabel dependen dieksplorasi secara bersama-sama pada

saat penelitian dilakukan. Selain itu, dengan desain ini dilakukan identifikasi

secara sistematis terhadap karateristik variabel yang melekat pada unit

observasi atau subyek baik karateristik umum maupun karateristik khusus

dengan menggunakan alat ukur berupa kuesioner dan checklist. Pengambilan

sampel pada penelitian ini dilakukan adalah total populasi, yaitu seluruh

perawat yang bertugas di Ruangan ICCU sebanyak 21 orang dan ICU RSU

Anutapura palu sebanyak 20 orang, jadi jumlah sampel senyak 41 orang.

Pengambilan data primer dilakukan dengan cara melakukan wawancara

terhadap responden berdasarkan pedoman pertanyaan yang telah disusun

(kuisioner) dan observsi dengan menggunakan checklist pada perawat yang

bertugas di Ruangan ICCU dan ICU RSU Anutapura Palu. Dalam penelitian

ini pengetahuan, fasilitas, pelatihan/trining variabel bebas dan kesiapan

perawat dalam menangani cardiac arrest merupakan variabel terikat. Analisa

bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square (x2) dengan

menggunakan koreksi = 0,05 dan kepercayaan 95% confidence Interval

(CI).

35

Page 36: BAB 1,2,3,4,5.docx

4.3 Hasil Dan Pembahasan

Rumah Sakit Anutapura Umum Anutapura Palu adalah milik Pemerintah

Kota Palu, sekarang dengan status kelas B Pendidikan, mengalami 3 kali

perubahan Struktur Organisasi, dari rumah Sakit Umum Daerah Anutapura,

kemudian menjadi Rumah Sakit Umum Kota Palu dan yang digunakan

sampai sekarang adalah Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Ruang

perawatan ICCU (Intensive Cardiovaskuler Unit) dan ICU (Intensive Care

Unit) RSU Anutapura Palu terletak di jalan Kangkung No. 1 Kecamatan Palu

Barat. Ruangan perawatan ICCU mempunyai kapasitas 7 orang dengan

fasilitas alat rekam jantung, AED (automatic eksternal defibrilator) dan alat

monitoring hemodinamik. Jumlah perawat yang bertugas sejumlah 20 orang,

Dokter spesialis penyakit dalam 1 orang dan asisten dokter 1 orang. Jumlah

pasien yang dirawat setiap bulannya sejumlah 20 orang. Ruang perawatan

ICU mempunyai kapasitas 6 orang dengan fasilitas alat rekam jantung, DC

(Defibrilator) shock dan alat monitoring hemodinamik. Jumlah perawat yang

bertugas sejumlah 20 orang, 9 dokter spesialis dan 9 asisten dokter. Penelitian

ini dilaksanakan di ruangan rawat inap ICCU dan ICU RSU Anutapura Palu

pada tanggal 13 Maret 2013 sampai dengan 20 Maret 2013 dengan jumlah

sampel 40 responden.

4.4 Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah perawat yang bertugas di ruangan

ICCU dan ICU yang berjumlah 40 orang tamatan DIII Keperawatan dan S1

Keperawatan terdiri dari 20 orang perawat yang bertugas di ruangan ICCU

dan 20 orang perawat yang bertugas di RuanganICU RSU Anutapura Palu.

4.5 Kesiapan

Berdasarkan data penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden siap dalam menangani Cardiac Arrest. Lebih jelasnya distribusi

kesiapan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Table 1.

Tabel 1. Distribusi Responden Menurut kesiapan Di Ruangan ICCU dan ICU

RSU Anutapura Palu Tahun 2013

No KESIAPAN F %

1. SIAP 28 70%

36

Page 37: BAB 1,2,3,4,5.docx

2. TIDAK SIAP 12 30%

JUMLAH 40 100%

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian inI yang

siap dalam mengani cardiac arrest sejumlah 28 responden (70%) dan yang tidak

siap sejumlah 12 responden (30%).

4.6 Pengetahuan

Berdasarkan data penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden memiliki pengetahuan yang baik. Lebih jelasnya distribusi

pengetahuan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Distribusi Responden Menurut pengetahuan Di Ruangan ICCU dan

ICU RSU

Anutapura Palu Tahun 2013

No KESIAPAN F %

1. BAIK 23 57.5%

2. KURANG

BAIK

17 42,5%

JUMLAH 40 100%

Berdasarkan table 2 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini yang

memiliki pengetahuan yang baik dalam mengani Cardiac Arrest, sejumlah 23

responden (57,5%) dan responden yang memiliki pengetahuan yang kurang

baik sejumlah 17 reponden (42,5%).

4.7 Fasilitas

Berdasarkan data penelitian ini dapat diketahui bahwa responden yang

memiliki fasilitas yang lengkap dan tidak lengkap sebanding. Lebih jelasnya

distribusi pengetahuan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel

3.

Tabel 3 Distribusi Responden Menurut fasilitas Di Ruangan ICCU dan ICU

RSU Anutapura Palu Tahun 2013

No KESIAPAN F %

37

Page 38: BAB 1,2,3,4,5.docx

1. LENGKAP 20 57.5%

2. TIDAK

LENGKAP

20 42,5%

JUMLAH 40 100%

Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini

yang memiliki fasilitas yang tidak lengkap dan lengkap dalam mengani

Cardiac Arrest sejumlah 20 (50%) dan yang memiliki fasilitas yang lengkap

sejumlah 20 responden (50%).

4.8 Pelatihan

Berdasarkan data penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian

besarresponden belum pernah mengikuti pelatihan. Lebih jelasnya distribusi

kesiapan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada table 4.

Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini yang

tidak pernah mengikuti pelatihan, sejumlah 31 orang dengan persentase

(77,5%) dan yang pernah mengikuti pelatihan sejumlah 31 responden

(22,5%).

Tabel 4. Distribusi Responden Menurut pelatihan di Ruangan ICCU dan

ICU RSU Anutapura Palu Tahun 2013

No KESIAPAN F %

1. PERNAH 9 57.5%

2. TIDAK

PERNAH

31 42,5%

JUMLAH 40 100%

4.9 Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Kesiapan Perawat Dalam Menangani

Cardiac Arrest.

Pada setiap table menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, responden yang

memiliki pengetahuan yang baik dan siap sejumlah 21 responden (91,3%),

responden yang memiliki pengetahuan baik dan tidak siap sejumlah 2

responden (8,7%), responden yang memiliki pengetahuan yang kurang baik

dan siap sejumlah 7 responsen (41,2%), dan responden yang memiliki

38

Page 39: BAB 1,2,3,4,5.docx

pengetahuan kurang baik sebanyak 10 responden (58,8%). Berdasarkan hasil

uji chi – square menunjukkan nilai = 0,001, berarti secara statistik ada

hubungan antara pengetahuan dengan kesiapan perawat dalam menangani

Cardiac Arrest. Berdasarkan hasil uji chi – square menunjukkan nilai = 0,001,

berarti secara statistik ada hubungan antara pengetahuan dengan kesiapan

perawat dalam menangani Cardiac Arrest.

4.10Hubungan antara fasilitas dengan kesiapan perawat dalam menangani

Cardiac Arrest.

Pada Tabel menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, responden yang

memiliki fasilitas yang lengkap dan siap sejumlah 12 responden (60%),

responden yang memiliki fasilitas yang lengkap dan tidak siap sejumlah 8

responden (20%), responden yang memiliki fasilitas yang tidak lengkap dan

siap sejumlah 16 responden (80%), dan responden yang memiliki fasilitas

tidak lengkap dan tidak siap sejumlah 4 responden (20%). Berdasarkan hasil

uji chi – square menunjukkan nilai = 0,301, berarti secara statistik tidak ada

hubungan antara fasilitas dengan kesiapan perawat dalam menangani Cardiac

Arrest.

4.11Hubungan antara pelatihan dengan kesiapan perawat dalam menangani

Cardiac Arrest.

Pada Tabel menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, responden yang pernah

mengikuti pelatihan dan siap sejumlah 9 responden (100%), responden yang

pernah mengikuti pelatihan dan tidak siap 0 responden (0%), responden yang

tidak pernah mengikuti pelatihan dan siap berjumlah 19 orang (61,3%), dan

responden yang tidak pernah mengikuti pelatihan dan tidak siap sejumlah 12

responden (38,7%). Berdasarkan hasil uji chi – square menunjukkan nilai =

0,025, berarti secara statistik ada hubungan antara pelatihan dengan kesiapan

perawat dalam menangani Cardiac Arrest.

39

Page 40: BAB 1,2,3,4,5.docx

BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Cardiac arrest adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan

hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan tidak terduga, diikuti hilangnya

kesadaran dan akhirnya hilangnya kemampuan untuk bernafas. Cardiac

arrrest dapat disebabkan oleh beberapa faktor resiko, seperti usia, jenis

kelamin, dan merokok serta penyakit jantung yang mendasari.

Untuk patofisiologi penyakit ini berbeda tergantung pada etiologi dari

penyakit itu sendiri. Tanda dan gejala yang terjadi adalah Hypoxia cerebral,

menyebabkan korban kehilangan kesadaran (collapse),Kerusakan otak, Napas

dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas), hipotensi

dengan tidak ada denyut nadi.

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah elektrokardigram,

tes darah, imaging test, Electrical system (electrophysiological) testing

and mapping , Ejection fraction testing.

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan melalui beberapa tahap

yaitu Respons awal,Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life

support) Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support),

Asuhan pasca resusitasi, Penatalaksanaan jangka panjang

5.2 Saran

Diharapakan setelah penulisan makalah ini, kita semua khususnya

mahasiswa keperawatan terutama bagi mahasiswa STIKES EKAHARAP

PALANGKARAYA ini dapat memahami dan mampu menjelaskan

pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang,

40

Page 41: BAB 1,2,3,4,5.docx

penatalaksanaan,komplikasi, pencegahan dan yang utama yaitu rencana

asuhan keperawatan untuk pasien dengan cardiac arrest ini.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta :EGC

Udjianti, Wajan Juni. 2011. Keperawatan kardiovaskuler. Jakarta : Salemba

Medika

Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem

Kardiovaskular. Jakarta : Salemba Medika..

Smeltzer,C.S. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan

Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC

Tim IKAPI. 1993. Proses Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem

Kardiovaskuler. Jakarta : EGC

Wilkinson, Judith M. Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi 9. 2011. Jakarta :

EGC

41