bab 1,2,4 fix roi

35
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul dengan velositas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Hal ini terjadi pada kasus an.P di RSU dr.Soetomo yang mengalami ruptur multiple organ peritonium. Pada intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering menciderai organ limpa (40-55%), hati (35 - 45%), dan usus halus (5 -10%) (Cho et al 2012). Sedangkan pada retroperitoneal, organ yang paling sering cedera adalah ginjal, dan organ yang paling jarang cedera adalah pankreas dan ureter (Demetriades, 2000) Pada trauma tajam abdomen paling sering mengenai hati (40%), usus kecil(30%), diafragma(20%), dan usus besar(15%) (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). Kondisi klinis pada trauma tumpul abdomen yang mengakibatkan perdarahan internaldapat berlanjut menjadi sindrom kompartemen abdominal dimana masih kontroversial. Bagaimanapun, disfungsi organ yang disebabkan oleh hipertensi intra abdomen berhubungan dengan sindrom

Upload: afindina

Post on 25-Dec-2015

50 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

krkikkk

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1,2,4 Fix Roi

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih

tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Jejas pada abdomen dapat

disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul dengan velositas

rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan

trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Hal ini

terjadi pada kasus an.P di RSU dr.Soetomo yang mengalami ruptur multiple organ

peritonium. Pada intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering menciderai organ

limpa (40-55%), hati (35 - 45%), dan usus halus (5 -10%) (Cho et al 2012). Sedangkan

pada retroperitoneal, organ yang paling sering cedera adalah ginjal, dan organ yang paling

jarang cedera adalah pankreas dan ureter (Demetriades, 2000) Pada trauma tajam

abdomen paling sering mengenai hati (40%), usus kecil(30%), diafragma(20%), dan usus

besar(15%) (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Kondisi klinis pada trauma tumpul abdomen yang mengakibatkan perdarahan

internaldapat berlanjut menjadi sindrom kompartemen abdominal dimana masih

kontroversial. Bagaimanapun, disfungsi organ yang disebabkan oleh hipertensi intra

abdomen berhubungan dengan sindrom kompartemen abdominal. Disfungsi tersebut

dapat berupa insufisiensi respirasi sekunder yang menekan volume tidal, menurunkan

produksi urin karena kegagalan perfusi ginjal atau disfungsi organ lain yang disebabkan

peningkatan tekanan kompartemen di abdomen.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan trauma tumpul abdomen dan internal bleeding?

2. Apa yang menyebabkan trauma tumpul abdomen dan internal bleeding?

3. Bagaimana perjalanan patofisiologi penyakit pada kasus An.P dengan trauma tumpul

abdomen dan internal bleeding?

4. Apa tatalaksana trauma tumpul abdomen dan internal bleeding?

5. Bagaimana pemeriksaan fisik dan penunjang trauma tumpul abdomen dan internal

bleeding?

Page 2: BAB 1,2,4 Fix Roi

6. Bagaimana prognosis trauma tumpul abdomen dan internal bleeding?

7. Bagaimana asuhan keperawatan pada trauma tumpul abdomen dan internal bleeding

pada An.P?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada kegawatan Internal Bleeding pada

kasus An P.

1.3.2 Tujuan khusus

a. Menjelaskan konsep dasar Internal Bleeding.

b. Menjelaskan Asuhan keperawatan klien pada kegawatan Internal Bleeding, meliputi :

a) Pengkajian Internal Bleeding

b) Mengidentifikasi diagnosa keperawatan pada klien pada kegawatan Internal

Bleeding

c) Melakukan perencanaan pada klien anak dengan Internal Bleeding.

Page 3: BAB 1,2,4 Fix Roi

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Internal Bleeding GI track

2.1.1 Definisi Internal Bleeding pada Saluran Pencernaan

Perdarahan akut Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu

penyakit yang sering dijumpai dimana sering menyertai penyakit-penyakit seperti

trauma kapitis, stroke, luka bakar yang luas, sepsis ,renjatan dan gangguan hemostasis

( Bjorkman 2007)

Perdarahan internal yang akan dibahas dalam makalah ini adalah perdarahan

pada saluran pencernaan yang diakibatkan trauma tumpul pada abdomen sesuai kasus

yang ditemukan di ruangan ROI RSUD Dr.Soetomo.

2.1.2 Definisi Trauma Tumpul Abdomen (Hepar, duodenum dan pankreas)

Trauma tumpul abdomen adalah semua cedera yang terjadi akibat tekanan

tumpul dari luar, yang biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,

jatuh, tumbukan dari hewan atau benda tumpul.

Cedera intraabdomen secara sekunder akibat tekanan tumpul yang terjadi

karena tubrukan antara orang yang terluka dengan lingkungan eksterna dan karena

proses tekanan akselerasi dan deselarasi pada organ internal orang tersebut. Mayoritas

cedera di duodenum adalah disebabkan oleh trauma tembus dan cedera ini

kebanyakkan di akibatkan oleh luka tembak (75 %) dan sisanya akibat luka tikaman

(20%). Cedera akibat tikaman pisau biasanya menyebabkan laserasi pada dinding

duodenum, sedangkan  proyektil menghasilkan luka dengan derajat kerusakan jaringan

yang berbeda-beda. Trauma pada duodenum jarang terjadi, hanya kira-kira 5 %  dari

cedera yang terjadi pada abdomen. Trauma pada duodenum dapat disebabkan oleh

trauma tumpul dan trauma tembus. Trauma tumpul biasanya disebabkan oleh karena

kecelakaan lalulintas, jatuh atau dipukul. Trauma tembus disebabkan oleh luka tikam

atau luka tembak. Insiden bervariasi pada lokasi anatomis dari duodenum dimana

bagian yang paling sering terkena adalah bagian kedua (33%), bagian ketiga dan

bagian keempat  (20%),  bagian pertama (15%). Trauma tembus bisa terjadi diseluruh

bagian duodenum sedang pada trauma tumpul, mayoritasnya terjadi pada bagian kedua

Page 4: BAB 1,2,4 Fix Roi

dan ketiga (Bjorkman 2007).2.2 Etiologi Internal Bleeding pada Trauma Tumpul

Abdomen

Terjadinya internal bleeding disebabkan oleh trauma tumpul akibat deselerasi dan

kompresi pada rongga peritoneum yang mengakibabtkan pankreatitis akut atau pecahnya

aneurisma aorta abdominal dan mengakibatkan perdarahan intra-abdomen dari rupturnya

lienalis ataupun hati (Smeltzer & Bare 2002)

2.3 Patofisiologi Kasus

Trauma tumpul abdomen yang di alami An.P dalam kecelakaan bermotor

melewati 3 tahapan trauma, pertama melalui mekanisme tabrakan dengan korban,

kedua antara stang atau pengendali montor dengan tubuh atau dashboard (dalam kasus

ini An.P alami hantaman tumpul pada pinggang sebelah kanan kemudian jatuh dalam

keadaan menelungkup), dan ketiga meliputi organ yang menjadi penyokong tubuh

(tulang, spinal, pelvis) dan organ bergerak dalam rongga peritoneum yakni hati,

intestinal (duodenum) dan pankreas. Pada trauma yang diakibatkan rotasi, perlukaan

sayatan, deselerasi akhirnya menyebabkan perlukaan pada bagian aorta pada thoraks

dan duodenum, dimana anatomi keduanya sangat riskan terjadi perlukaan atau ruptur

melalui tipe injury tersebut. Pukulan, tabrakan yang langsung mengenai abdomen

akhirnya menyebabkan organ dalam abdomen mengalami ruptur (Jones 2010).

Ruptur hepar pada An.P terjadi disebabkan oleh trauma tumpul dimana

mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada trauma tumpul adalah efek

kompresi dan deselerasi. Proses deselerasi yang dialami An.P berupa benturan yang

kuat dari stang/stir/pengendali motor dimana menyebabkan organ berongga, organ

solid, organ viseral dan pembuluh darah mengalami robekan dan sebagai hasilnya,

benturan yang sangat kuat pada daerah tersebut menyebabkan hepar menjadi ruptur.

Hal yang sama juga terjadi pada ruptur pankreas pada An.P.

Perubahan klinis yang pada awal terjadi cedera tidak terlihat jelas dan akan

tampak bila keadaan memberat dan berkembang menjadi peritonitis dan mengancam

nyawa. Pada perforasi retroperitoneal yang masif, keluhan yang muncul hanyalah

kekakuan pada abdomen bagian atas  dengan peningkatan suhu yang progresif, 

takikardi, dan terkadang terdapat keluhan mual. Setalah beberapa jam isi duodenum

akan mengalami ekstravasasi kedalam kavum peritoneum dan berkembang menjadi

peritonitis. Bila isi tumpah kedalam kantong yang lebih kecil, biasanya akan

Page 5: BAB 1,2,4 Fix Roi

terbungkus dan terlokalisasi, walaupun  terkadang dapat bocor kedalam cavum

peritonium melalui foramen Winslowi dan akhirnya  timbul peritonitis generalisata.

Secara teori, perforasi duodenum dihubungkan dengan kebocoran amilase dan enzim

pencernaan lainnya, dan telah di kemukakan bahwa penentuan  konsentrasi serum

amilase dapat membantu dalam diagnosis. Pada cedera duodenum, akibat kebocoran

konsentrasi amilase  bervariasi dan konsentrasi amilase seringkali membutuhkan 

waktu beberapa jam sampai hari untuk meningkat setelah cedera (Smeltzer & Bare

2002)

Setiap kelainan yang meningkatkan tekanan dalam rongga perut dapat

menimbulkan hipertensi intra-abdomen. Dalam beberapa situasi, seperti pankreatitis

akut atau pecahnya aneurisma aorta abdominal. Obstruksi mekanis usus halus, dan

pembesaran abdomen bisa menimbulkan peningkatan tekanan intra-abdomen. Namun,

trauma tumpul abdomen dengan perdarahan intra-abdomen dari lienalis, hati, adalah

penyebab paling umum dari hipertensi intra-abdomen. Distensi usus, sebagai akibat

dari syok hipovolemik dan perpindahan volume yang besar, merupakan penyebab

penting hipertensi intra-abdomen, dan selanjutnya mengakibatkan ACS pada pasien

trauma. (Paula Richard MD, 2009)

Pada kondisi syok, vasokonstriksi dimediasi oleh sistem saraf simpatik

mengakibatkan kurangnya suplai darah ke kulit, otot, ginjal, dan saluran pencernaan,

hal ini bertujuan untuk menyuplai jantung dan otak. Redistribusi darah dari usus

menghasilkan hipoksia seluler di jaringan usus. Hipoksia ini berhubungan dengan 3

bagian penting dari perkembangan kompensasi positif yang mencirikan patogenesis

hipertensi intra-abdomen dan perkembangannya menjadi ACS:

1. Pelepasan sitokin

2. Pembentukan oksigen radikal bebas, dan

3. Penurunan produksi adenosin trifosfat pada sel

Sebagai respon terhadap jaringan yang mengalami hipoksia, maka sitokin

dilepaskan. Molekul-molekul ini meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan

permeabilitas kapiler, yang mengarah pada terjadinya edema. Setelah seluler mengalami

re-perfusi, oksigen radikal bebas dihasilkan. Agen ini mempunyai efek toksik pada

membran sel yang kondisinya diperparah oleh adanya sitokin, yang merangsang

Page 6: BAB 1,2,4 Fix Roi

pelepasan radikal lebih banyak lagi. Selain itu, kurangnya penghantaran oksigen ke

jaringan yang mengalami keterbatasan produksi adenosine triphospat dan penurunan

persediaan dari adenosin trifosfat ini tergantung pada aktivitas selular. (Paula Richard,

2009)

Yang terkena dampak adalah pompa natrium-kalium. Efisien fungsi pompa sangat

penting untuk peraturan intraselular elektrolit. Ketika pompa gagal, terjadi kebocoran

natrium ke dalam sel sehingga menarik air. Sebagai sel membengkak, selaput

kehilangan integritas, menumpahkan isi intraselular ke lingkungan ekstraselular dan

lebih jauh mengakibatkan inflamasi (peradangan). Peradangan dengan cepat mengarah

pada pembentukan edema, sebagai akibat dari kebocoran kapiler, dan jaringan yang

semakin membengkak di usus akibat semakin meningkatnya tekanan intra-abdomen.

Pada awal tekanan, perfusi usus terganggu, dan siklus hipoksia selular, kematian sel,

peradangan, dan edema terus berlanjut. (Pleva Mayzlík, J. 2004)

Pada An.P juga terjadi mekanisme kompensasi dari asidosis metabolik. Asidosis

metabolik terjadi dikarenakan kerusakan ginjal akibat ruptur dan kehilangan bikarbonat

berlebih melalui saluran pencernaan karena adanya ruptur dari colon. Terjadinya

asidosis metabolik diawali dengan proses kegagalan ginjal daam mengekskresi beban

asam dan kehilangan bikarbonat basa. Kompensasi pernapasan (respiratorik) terlah

terjadi melalui hiperventilasi sehingga asidosis metabolik yang terjadi bersifat ringan.

Pada anak P juga terjadi penurunan kadar albumin (hipolbumin) yang merupakan

protein utama yang dihasilkan oleh hati dimana berfungsi banyak dalam transportasi

berbagai zat dalam sel yakni endogen (bilirubin, hormon tiroid) dan eksogen (obat-

obatan)(Smeltzer & Bare 2002).

2.4 WOC Kasus (terlampir)

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda dari trauma abdomen sangat tergantung dari organ mana yang

terkena, apabila yang terkena organ-organ solid (hati dan lien) maka akan tampak

gejala perdarahan secara umum seperti pucat, anemis bahkan sampai dengan tanda-

tanda syok hemoragic. Gejala perdarahan di intra peritoneal akan ditemukan klien

mengeluh nyeri dari mulai nyeri ringan sampai dengan nyeri hebat, nyeri tekan dan

kadang nyeri lepas, defans muskular (kaku otot), bising usus menurun, dan pada klien

Page 7: BAB 1,2,4 Fix Roi

yang kurus akan tampak perut membesar, dari hasil perkusi ditemukan bunyi pekak

( Bjorkman 2007).

Bila yang terkena organ berlumen gejala yang mungkin timbul adalah peritonitis

yang dapat berlangsung cepat bila organ yang terkena gaster tetapi gejala peritonitis

akan timbul lambat bila usus halus dan kolon yang terkena. Klien mengeluh nyeri pada

seluruh kuadran abdomen, bising usus menurun, kaku otot (defans muskular), nyeri

tekan, nyeri lepas dan nyeri ketok (Lanas 2005).

Gejala klinis ACS antara lain (Paula Richard MD, 2009) :

1. Distensi abdomen yang berat

2. Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang

berkurang, tingginya tekanan puncak inspirasi.

3. Curah jantung yang menurun

4. Tekanan darah yang labil

5. pH rendah yang menetap

6. Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional

7. Tekanan intra abdomen yang meningkat (> 40 mm Hg)

Gejala klinis yang terjadi pada ACS dikenal dengan 5P (Irga, 2008), yaitu :

1. Pain (nyeri), nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang

terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling

penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik

(pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih

banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala

yang spesifik dan sering.

2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut

3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)

4. Parastesia (rasa kesemutan)

5. Paralysis, merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang

berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.

2.6 Pemeriksaan penunjang

Pada saat kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan fisik

biasanya akurat dalam menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan

kesadaran yang terjaga dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan

Page 8: BAB 1,2,4 Fix Roi

fisik. Banyak pasien dengan perdarahan intra-abdomen yang moderat datang dalam

kondisi hemodinamik yang terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal

ACS ditetapkan dengan terjadinya peningkatan IAP dan adanya kegagalan

sistemorgan. Derajat Intra-abdominal hypertension (IAH):

1. Grade I IAP 12-15 mmHg

2. Grade II IAP 16-20 mmHg

3. Grade III IAP 21-25 mmHg

4. Grade IV IAP > 25 mmHg

Pasien yang dirawat di ICU sebaiknya diskrining untuk melihat faktor resiko

terjadinya IAH / ACS dan dengan kegagalan organ yang baru atau progresif. Bila dua atau lebih

faktor resiko dijumpai, pengukuran IAP harus dilakukan. Dan bila IAH ditemukan,

pengukuran IAP serial harus dilakukan pada pasien tersebut.

Pengukuran IAP terdiri dari berbagai teknik yaitu penempatan metal intra-abdomen

langsung (sudah lama ditinggalkan), tekanan vena kava inferior (beresiko thrombosis

dan infeksi), tekanan gaster (jarang digunakan tetapi berguna bila terdapat trauma buli-

buli dimana distensi buli merupakan kontraindikasi) dan tekanan buli-buli. Gold

standard pengukuran IAP adalah dengan tekanan buli-buli.

Untuk mengukur tekanan buli-buli, suntikkan 50-100 ml saline steril ke dalam

Foley kateter melalui lubang aspirasi, klem silang selang steril dari drain kantong urin

letak distal dari lubang aspirasi, hubungkan ujung selang drain kantong urin ke Foley

kateter, lepaskan klem sesaat agar cairan dari buli keluar dan kemudian klem ulang, Y-

connect transduser tekanan ke kantong drain melalui lubang aspirasi menggunakan

jarum G 16, pastikan IAP dari transduser menggunakan puncak dari tulang simfisis

pubis sebagai titik nol dalam posisi telentang. Manometer tangan yang dihubungkan ke

Foley kateter melalui kolom cairan di selang dapat digunakan untuk menentukan

tekanan sebagai ganti transduser.

Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP

(Intra-abdominal Preassure). IAP kritis yang menimbulkan berbagai disfungsi organ

bergantung pada keadaan premorbid pasien. Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP

tetapi telah terkompensasi dengan hal tersebut. (Irga, 2008)

1. Grade I IAH (Intra-abdominal Hypertension) secara umum hanya memerlukan

resusitasi volume dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien

tidak membaik keadaannya.

TOSHIBA, 05/04/12,
maksudnya apa? Apakah resusitasi cairan?
Page 9: BAB 1,2,4 Fix Roi

2. Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya. Bila oliguria

ringan dengan kompresi jantung dan paru minimal, dapat diresusitasi lebih

lanjut dan dilanjutkan dengan memantau tekanan. Bila pasien mengalami

cedera intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi dekompresi harus

dipikirkan.

3. Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Saat ini sebagian besar

penulis menyetujui bahwa tekanan kritis untuk ACS adalah antara 20 hingga 25

mmHg.

Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP

1. Memperbaiki komplians dinding abdomen

a. Sedasi dan analgesic

b. Blokade neuromuscular

c. Hindari ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees

2. Evakuasi isi intra-lumen

a. Dekompresi nasogaster

b. Dekompresi rectum

c. Agent gastro-/colo-prokinetik

3. Evakuasi kumpulan cairan abdominal

a. Parasentesis

b. Drainase perkutan

4. Koreksi keseimbangan cairan positif

a. Hindari resusitasi cairan berlebih

b. Diuretik

c. Koloid / cairan hipertonik

d. Hemodialisis / ultrafiltrasi

5. Organ Pendukung

a. Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor

b. Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment

c. Gunakan tekanan jalan napas transmural

d. Pplattm = Pplat – IAP

e. Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices

f. Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural

g. PAOPtm = PAOP – 0.5 * IAP

Page 10: BAB 1,2,4 Fix Roi

h. CVPtm = CVP – 0.5 * IAP

Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH / ACS yang terdiri dari lima intervensi

terapi

1. Evakuasi isi intralumen

2. Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen

3. Memperbaiki komplians dinding abdomen

4. Optimalkan kebutuhan cairan

Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik

2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin yang meliputi Hemoglobin, hematokrit untuk

melihat pendarahan dimana kalo pendarahan maka Hemoglobin dan hematokrit

akan menurun selain itu leukosit akan meninggi karena adanya proses infeksi.

Jika kadar serum amilase 100 unit dalam 100 ml cairan intra abdomen,

kemungkinan besar terjadi trauma pada pankreas. Lipase amilse serum tidak

sensitive maupun spesifik sebagai penanda untuk cedera pankreas atau usus

besar. Tingkat normal tidak mengecualikan cedera pankreas utama. Amilase

atau lipase mungkin meningkat karena iskemia pankreas yang disebabkan oleh

hipotensi sistemik yang menyertai trauma. Namun, hiperamilasemia persisten

atau hiperlipasemia meningkatkan kemungkinan cedera intra-abdomen yang

signifikan dan merupakan indikasi untuk penyelidikan radiografi dan bedah

agresif lainnya. LFT mungkin berguna pada pasien dengan trauma tumpul

abdomen, namun hasil tes mungkin meningkat dalam kondisi lain misalnya,

penyalahgunaan alkohol (Bethel et al 2008)

a. BGA ( analisa gas darah)

Analisa Gas Darah ( 11 November 2014 ) pH 7,427 N : 7,35 – 7,45

pCO2 29,5 mmHg N : 35 – 45

pO2 79,6 mmHg N : 80 – 100

HCO3 19,6 mmol/L N : 19 – 25

TCO2 20,5 mmol/ L

BE ecf - 5,0 mmol/ L N : -2 - +2

Page 11: BAB 1,2,4 Fix Roi

SO2 96,2

AaDO2 33,4 mmHg

BE –b -2,7 mmol/ L

SBC 22,1 mmol/ L

A 113,0 mmol/ L

a/A 0,7

RI 0,4

PO2 / FiO2 380,9 mmHg

Interpretasi : Asidosis metabolik terkompensasi respiratorik

b. Kadar Albumin (11 November 2014)

Albumin 2,37 gr/dl N : 3,5 - 5,0

Interpretasi : Hipoalbumin

c. Elektrolit

Na 140 mmol/ L N : 136 – 145 Cl 44 mmol/ L N : 98 – 107 Ca 7,3 mmol/ L N : 3,5 – 5,1

2.6.2 Pemeriksaan Radiologi

1. X-Ray

Meskipun nilai keseluruhan film polos dalam evaluasi pasien

dengan trauma tumpul abdomen terbatas tetapi dapat menscreening

trauma tumpul dengan foto servical lateral, Thorax AP dan foto

abdomen dengan posisi terlentang, setengah tegak dan lateral

dekubitus.

Foto toraks dapat membantu dalam diagnosis cedera perut

seperti hemidiaphragma yang pecah (misalnya, pipa nasogastrik

terlihat di dada) atau pneumoperitoneum. Rontgen panggul atau dada

dapat menunjukkan fraktur tulang belakang torakolumbalis.

Foto abdomen menunjukkan kemungkinan yang lebih tinggi

cedera tumpul untuk usus. Selain itu, udara bebas intraperitoneal, atau

Page 12: BAB 1,2,4 Fix Roi

terperangkap udara retroperitoneal dari perforasi duodenum, dapat

dilihat.

Pada trauma dengan hemodinamik tidak stabil tidak diperlukan

pemeriksaan screening x-ray, tetapi pasien stabil dengan sangkaan

cedera thoracoabdominal atau pada cedera diatas umbilicus berguna

untuk menyingkirkan hemo atau pneumothorax dan bisa juga melihat

udara di intraperitoneal.

2. CT Scan

CT scan merupakan kriteria standar untuk mendeteksi cedera

organ padat. Selain itu, CT scan perut dapat mengungkapkan

cedera yang terkait lainnya, terutama patah tulang belakang dan

panggul dan cedera di rongga dada. Pada Blunt abdominal

trauma dengan cedera limpa dan hemoperitoneum, CT scan

memberikan pencitraan yang sangat baik dari duodenum,

pancreas, dan system Genitourinary. Gambar dapat membantu

melihat jumlah darah di perut dan dapat mengungkapkan

gambaran organ yang cedera. Walaupun dengan keterbatasan

CT scan memiliki sensitivitas untuk mendiagnosa cedera viskus

diafragma, pancreas, dan berongga walaupun relatif mahal dan

memakan waktu dan memerlukan kontras oral atau intravena,

yang dapat menyebabkan reaksi alergi.

Hasil CT scan pada kasus trauma tumpul yang menyebabkan

ruptur hepar grade II pada An. P:

Gambar : Grade II liver injury

3. Focused Assessment Sonograghy in Trauma (FAST)

Page 13: BAB 1,2,4 Fix Roi

Ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang cepat, portable,

noninvasive, dan akurat yang dapat dilakukan oleh dokter ahli

bedah darurat dan trauma untuk mendektesi hemoperitoneum.

Bahkan, di pusat medis, pemeriksaan FAST telah hamper

menggantikan DPL sebagai prosedur pilihan dalam evaluasi

pasien trauma hemodinamik tidak stabil. Pemeriksaan FAST

didasarkan pada factor-faktor seperti habitus tubuh, lokasi

cedera, adanya darah beku, posisi pasien, dan jumlah dari cairan

bebas. Dicari scan dari kantung pericard, fossa hepatorenalis,

fossa splenorenalis ataupun cavum douglas.

4. Peritoneal Lavage

Indikasi DPL dalam mendiagnosa trauma tumpul dengan

sangkaan pasien dengan cedera tulang belakang, pasien dengan

beberapa luka dan shock, pasien dengan bekas cedera perut

pasien mabuk dan pasien dengan cedera intra-abdomen

potensial yang akan menjalani anestesi lama untuk prosedur

lain. Kontraindikasi mutlak untuk DPL adalah untuk

laparotomi. Kontraindikasi relatif meliputi obsesitas morbid,

sejarah operasi perut bertulang, dan kehamilan. DPL dianggap

positif pada pasien trauma tumpul jika 10 mL aspirasi keluar

darah (yaitu, 1 L normal saline dimasukkan ke dalam rongga

peritoneum melalui kateter dan diperiksa) memiliki > 100.000

RBC /mL, > 500 WBC/mL, kadar amilase tinggi, empedu,

bakteri, atau urin. Hanya sekitar 30 mL darah diperlukan dalam

peritoneum untuk menghasilkan hasil DPL mikroskopis positif.

Page 14: BAB 1,2,4 Fix Roi

Tabel 2. Tabel Perbandingan DPL, USG dan CT Scan

KRITERIA DPL USG CT SCAN

Indikasi Menentukan adanya

perdarahan bila

TD menurun

Menentukan cairan

bila TD menurun

Menentukan organ

cedera bila TD

normal

Keuntungan Diagnosis cepat dan

sensitif, akurasi 98

%

Diagnosis cepat,

tidak invasif dan

dapat diulang,

akurasi 86-97%

Paling spesifik untuk

cedera, akurasi

92-98%

Kerugian Invasif, gagal

mengetahui cedera

diafragma atau

cedera

retroperitoneum

Tergantung operator

distorsi gas usus

dan udara di

bawah kulit.

Gagal

mengetahui

cedera diafragma

usus, pancreas

Membutuhkan biaya

dan waktu yang

lebih lama, tidak

mengetahui

cedera diafragma

usus dan

pankreas.

1.7 Penatalaksanaan Trauma Tumpul Abdomen

Perawatan pra-rumah sakit berfokus pada evaluasi cepat masalah yang

mengancam jiwa, dengan memulai tindakan resusitasi, dan memulai transportasi yang

cepat ke situs perawatan definitif. Prinsip penatalaksanaan awalnya sama dengan

penanganan pada trauma lainnya yaitu dengan primary survey (Airway, Breathing,

Circulation, Disability, Exposure).

1. Airway

Nilai jalan nafas bebas atau tidak. Nilai apakah pasien dapat bicara dan

bernafas dengan bebas. Jika ada obstruksi, lakukan chin lift/ Jaw thrust, Suction,

Guedel Airway dan Intubasi trakea

2. Breathing

Bila jalan nafas tidak memadai, beri oksigen

3. Circulation

Menilai sirkulasi/peredaran darah dan lakukan tatalaksana berupa

menghentikan perdarahan eksternal bila ada, memasang dua jalur infus dgn jarum

Page 15: BAB 1,2,4 Fix Roi

besar (14-16G), memberi infus cairan dan penilaian ulang ABC diperlukan bila

kondisi pasien tidak stabil

4. Disability

Menilai kesadaran pasien dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respon

terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar.

Glasgow Coma Scale.

ALERT/AWAKE A

RESPON BICARA (VERBAL) V

RESPON NYERI (PAIN) P

TAK ADA RESPONS U

5. Exposure

Lepaskan baju dan semua penutup tubuh pasien, supaya dapat dicari semua

cedera yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang,

maka imobilisasi in line harus dikerjakan. Pasien cedera dengan resiko

perdarahan berlanjut dan membutuhkan transportasi yang cepat ke pusat trauma

atau fasilitas yang sesuai terdekat, dengan prosedur yang tepat dilakukan

stabilisasi selama perjalanan. Sehingga perlu pengamanan jalan nafas,

pemasangan IV line dan pemberian cairan. Gunakan intubasi endotrakeal untuk

mengamankan jalan napas dari setiap pasien yang tidak mampu mempertahankan

jalan napas atau yang memiliki potensi ancaman saluran napas. Mengamankan

jalan napas dalam hubungannya dengan in-line imobilisasi serviks pada setiap

pasien yang mungkin telah menderita trauma serviks. Menjaga saturasi oksigen

lebih dari 90 – 92%. Perdarahan eksternal jarang dikaitkan dengan trauma tumpul

abdomen. Jika ada perdarahan eksternal, kontrol dengan tekanan langsung.

Perhatikan tanda-tanda perfusi sistemik yang tidak memadai. Pertimbangkan

perdarahan intraperitoneal jika ada tanda syok hemoragik tanpa adanya

perdarahan eksternal.

Semua pasien trauma tumpul dengan hemodinamik yang tidak stabil harus

segera dinilai kemungkinan perdarahan intraabdominal maupun kontaminasi GI

tract dengan melakukan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) ataupun FAST

(Focused Assesment Sonography in Trauma). Adapun indikasi laparotomi untuk

trauma tumpul abdomen adalah:

1. Adanya tanda-tanda peritonitis

2. Perdarahan atau syok yang tidak terkontrol

Page 16: BAB 1,2,4 Fix Roi

3. Perburukan klinis selama observasi

4. Adanya perdarahan peritoneum setelah pemeriksaan FAST dan DPL

5. Udara bebas, udara retroperitoneal atau rupture diafragma

6. Hipotensi dengan dugaan adanya perdarahan intraabdomina

7. CT scan dengan kontras menunjukkan adanya ruptur saluran cerna,

cedera buli intraperitoneal, cedera pembuluh darah ginjal ataupun

kerusakan parenchyma viscera (Lanas 2005).

Penatalaksanaan non operatif

Merupakan pilihan pertama pada penderita dengan hemodinamik stabil.

Angka keberhasilan yang tinggi tidak tergantung pada derajat keparahan

berdasarkan CT scan, atau derajat hemoperitoneum yang terjadi. Keuntungan dari

penatalaksanaan non-operatif adalah menghindari terjadinya laparotomi non-

terapetik beserta komplikasinya, mengurangi kebutuhan transfusi, dan komplikasi

intra-abdominal yang lebih sedikit.

CT abdomen merupakan studi yang paling sensitif dan spesifik dalam

mengidentifikasi dan menentukan derajat kerusakan hepar dan lien. Adanya kontras

yang bebas atau perdarahan yang sedang berlangsung merupakan indikasi untuk

angiografi dan embolisasi.8,16

Penatalaksanaan non-operatif meliputi observasi tanda vital, pemeriksaan fisik, dan

nilai laboratorium yang dilakukan secara serial. Bila salah satu memburuk, maka hal

tersebut merupakan indikasi untuk intervensi pembedahan.

Penatalaksanaan operatif

Tatalaksananya meliputi tiga upaya dasar, yaitu mengatasi perdarahan,

mencegah infeksidengan debrideman jaringan hati yang avaskuler dan penyaliran,

serta rekonstruksi saluran empedu. Penghentian untuk sementara waktu

dilakukan dengan cara penekanan manual langsung daerah yang be rdarah

dengan t ampon , a t au dengan k lem vasku le r a t r aumat ik d i dae rah

foramen winslow. Penutupan ligamentum hepatoduodenale di dinding

foramen winslow dengan jari atau klem vaskuler, yang disebut perasat Pringle

menyebabkan a. hepatika dan v. porta tertutup sama sekali. Jaringan hati dapat

menahan keadaan iskemia sampai 60 menit apabila dilakukan oklusi itu. Waktu

Page 17: BAB 1,2,4 Fix Roi

tersebut umumnya cukup untuk melakukan resusitasi dan menghentikan perdarahan

secara definitif. Upaya kedua adalah mencegah atau mengatasi infeksi dengan

memasang penyalir ektern karena penyebab infeksi adalah kebocoran empedu dan

jaringan nekrotik. Kadang di pasang penyalir T ke dalam duktus koledokus dengan

tujuan dekompresi dan mencegah pembuntuan akibat edema. Upaya ketiga adalah

rekonstruksi saluran empedu. Karena kerusakan empedu yang besar tidak mungkin

sembuh spontan maka tempat kebocoran harus dicar dan dilakukan rekonstruksi.

Penatalaksanaan Khusus berdasarkan Grade pada Trauma Duodenum

1. Hematom intramural (grade I)

Cedera duodenum yang jarang, lebih banyak terjadi pada anak-anak yang

mengalami trauma pada abdomen bagian atas, oleh karena fleksibilitas dan kelenturan

otot dinding perut anak. Cedera ini dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah

dalam lapisan submukosa dan subserosa dinding duodenum, yang memperlihatkan

bentuk seperti sosis dan dapat menimbulkan obstruksi duodenum parsial atau komplit.

Foto polos abdomen akan memperlihatkan bayangan massa tak jelas pada  kuadran

kanan atas dan obliterasi bayangan psoas kanan. Pemeriksaan serial traktus

gastrointestinal atas memperlihatkan dilatasi lumen duodenum seperti “gulungan

kumparan” pada bagian kedua dan ketiga duodenum yang berhubungan dengan

banyaknya valvula koniventes. Diagnosis dapat dibuat dengan CT-scan double

kontras atau pemeriksaan saluran cerna bagian atas dengan menggunakan kontras

(meglumine diatrizoate), diikuti dengan pemeriksaan barium untuk mendeteksi tanda

coiled- spring sign atau stacked coin sign. Tanda ini adalah karakteristik untuk

hematom duodenum intramural.

Cedera ini biasanya ditangani tanpa pembedahan dan hasil terbaik biasanya

diperoleh melalui pengobatan konservatif, apabila cedera yang lain dapat

dikesampingkan. Setelah penanganan konservatif selama 3 minggu dengan aspirasi

NGT secara kontinyu dan nutrisi parenteral total. Bila tanda obstruksi tidak meredah/

sembuh spontan, pasien kembali dievaluasi dengan pemeriksaan kontras saluran cerna

bagian atas dengan interval 5-7 hari. USG dapat juga dilakukan untuk follow up

resolusi hematom duodenum. Bila tidak ada perkembangan maka disarankan

tindakkan laparotomi untuk menyingkirkan adanya perforasi duodenum atau cedera

Page 18: BAB 1,2,4 Fix Roi

kaput pankreas (pada sekitar 20% pasien) yang juga dapat menjadi penyebab

alternatif  untuk terjadinya obstruksi duodenum. Pada penelitian 6 kasus hematom

duodenum dan yeyunum akibat trauma tumpul, hematom mengalami resolusi tanpa

tindakan operasi sebanyak 5 kasus, durasi lama rawat rat-rata 16 hari ( antara 10- 23

hari) dan durasi nutrisi parenteral total rata-rata 9 hari ( antara 4-16 hari). Pada kasus

ke 6 pemeriksaan serial abdomen bagian atas mempelihatkan adanya obstruksi yang

gagal mengalami resolusi setelah penanganan konservatif selama 18 hari dan pada

saat dilakukan laparotomi ditemukan striktur pada yeyunum dan kolon karena

terbentuk fibrosis, tetapi akhirnya dapat direseksi dengan sukses.

Hematom intramural yang besar yang melibatkan dua atau lebih segmen

jarang sembuh secara spontan. Penanganan hematom intramural ditemukan pada

laparotomi kontroversial. Salah satu pilihan yaitu dengan melakukan insisi

longitudinal sepanjang serosa kebatas antemesenterika, membuka serosa,

mengevakuasi hematom dan serosa yang melekat ke lapisan muskular tanpa merusak

mukosa dan dengan hati-hati memperbaiki dinding usus dengan melakukan

penjahitan  menggunakan jahitan interuptus 4-0. Perlu diperhatikan bahwa hal ini

dapat menimbulkan sedikit robekan bahkan sampai robekan yang tebal pada dinding

duodenum. Bila hal itu terjadi maka diperlukan dekompresi gastrik yang lama bahkan

feeding yeyunostomi sebaiknya di buat. Pada kasus ini drainase tidak diperlukan.

Pilihan lain adalah dengan hati-hati mengeksplorasi duodenum untuk menyingkirkan

perforasi. Drainase perkutaneus terhadap hematom duodenum sudah pernah

dilaporkan.

2. Perforasi Duodenum (grade II)

Sebagian besar perforasi duodenum dapat ditangani dengan prosedur operasi

yang sederhana, terutama untuk kasus trauma tembus dimana  interval waktu antara

trauma dan operasi harus  singkat. Metoda perbaikan cedera duodenum dan prosedur

supportif untuk pencegahan dehisensi akan di jelaskan berikut ini.

Laserasi berat duodenum ditutup secara primeràdebridement minimal. Lapisan

dalam ditutup dengan jahitan absorbel 4-0. Diikuti jahitan seromuskular nonabsorbel

interuptus 4-0. Luka obliq atau longitudinal ditutup sesuai arah cedera dengan jahitan

sekaligus lapisan serosa,muscular dan submukosa. . Laserasi simpel pada duodenum

dapat ditutup primer. Laserasi sepanjang axis duodenum dapat dijahit longitudinal

atau transverse. Penjahitan secara transverse lebih disukai oleh karena bisa terjadi

Page 19: BAB 1,2,4 Fix Roi

penyempitan lumen apabila penjahitan secara longitudinal.

3. Repair Perforasi

Kebanyakkan cedera duodenum dapat diperbaiki dengan repair primer satu

atau dua lapis. Penutupan dapat dilakukan secara tranversal, jika memungkinkan

hindari kontak dengan lumen dan dalam penjahitan hindari juga inversi yang

berlebihan. Duodenotomi longitudinal dapat menyerupai tranversal bila panjang

cedera duodenum <50% lingkar duodenum. Bila penutupan primer dapat merusak

lumen duodenum, maka ada beberapa pilihan yang direkomendasikan. ´Pedicled

mucosal graft´ menggunakan segmen yeyunum atau dengan flap  ‘gastric island’ dari

corpus gastricum  yang dianjurkan untuk defek duodenum yang lebar. Kemungkinan

lain adalah menggunakan tambahan dari serosa yeyunum untuk menutup defek

duodenum. Walaupun cukup memuaskan dalam penelitian, aplikasi klinik kedua

metoda ini sangat terbatas dan pernah dilaporkan terjadi kebocoran pada garis sutura

duodenum. Meletakan loop yeyunum diatas daerah yang cedera seperti serosa

yeyunum untuk melapisi duodenum juga bisa disarankan.

4. Laserasi dan Transeksi Duodenum (grade III)

Pada transeksi duodenum komplit, metoda perbaikan yang lebih di sukai

adalah anastomosis primer. Anastomosis primer dapat dilakukan setelah tepi mukosa

dapat di debridement, duodenum dapat dimobilisasi, selain itu bila kehilangan

jaringan minimal, bila ampula tidak terlibat dan efek dapat ditutup tanpa tension.

Perforasi duodenum sederhana ditutup dengan jahitan simpul kontinyu dengan benang

3-0 yang dapat diserap, melalui seluruh lapisan dinding, diikuti pada lapisan luar

dengan jahitan matras terputus dengan benang yang tidak dapat diserap pada lapisan

seromuskular. Cara ini biasanya dilakukan untuk kasus cedera duodenum pars I,III

dan IV dimana teknik mobilisasinya tidak sulit.

Grade III : Transeksi pada duodenum diterapi dengan debridement dan   

penjahitan end to end:

1. Pada cedera dengan transeksi lengkap dari D1,D2 dan D3 dapat

diperbaiki dengan anastomosis primer  end to end.

2. Anastomosis 2 lapis dilakukan dengan menjahit dinding posterior

dengan jahitan seromuskular interuptus

3. Jepit duodenum dengan klem usus untuk menghindari tumpahnya isi

usus sewaktu penjahitan lapisan dalam

Page 20: BAB 1,2,4 Fix Roi

4. Penjahitan seromuskular pada dinding anterior menggunakan jahitan

matras horizontal atau teknik Lambert

Namun demikian apabila terdapat sejumlah besar kehilangan jaringan dan

aproksimasi ujung duodenum tidak bisa di lakukan karena kemunginan terjadi tension

dan bila kasus  transeksi komplit ini terjadi pada bagian pertama duodenum maka

dilakukan anterectomi dengan penutupan stump duodenum dan gastroyeyunostomi

(Billroth II).

Apabila mobilisasi tidak adekuat sehingga bisa menyebabkan cedera pada

CBD  dan bila trauma dekat dengan ampulla Vater ,maka pilihan yang paling

mungkin adalah penutupan duodenum distal dan anastomose Roux-en-Y

duodenoyeyunal dapat dilakukan. Mobilisasi bagian kedua duodenum terbatas oleh

adanya pembagian asupan darah dengan caput pankreas. Anastomosis direk ke loop

Roux-en-Y diatas defek duodenum secara end to side merupakan cara terpilih. Hal ini

dapat juga di lakukan sebagai metoda alternatif penanganan operasi pada defek

ekstensif pada bagian lain duodenum saat anastomosis primer tidak dapat dilakukan.

Pada transeksi yang luas dengan udem atau inflamasi, loop Roux-en-Y pada

yeyunum dapat digunakan untuk menutup defek. Ruptur duodenum yang extensive

dapat diterapi dengan reseksi dan end to end Roux-en-Y duodenojejunostomy.

Alternatif lain adalah dengan mengunakan patch dari yeyunum untuk

menutupi defek yang besar sebagai graft serosa. Patch repair dengan mukosa

yeyunum (mucosal jejunal patch repair) jarang dilakukan.

Cedera duodenum yang tidak dapat direpair secara primer tanpa

mengakibatkan penyempitan dari lumen dapat direpair dengan tehnik serosa patch.

Serosa dari jejenum dijahit pada tepi defek duodenum. Studi experimental

memperlihatkan bahwa serosa yang terekspose ke dalam lumen duodenum akan

ditutupi oleh epitel.

Alternatif penggunaan serosa patch pada cedera duodenum yang berat dengan

menggunakan pedicle graft (A sampai D). Graft dapat diambil dari corpus gaster atau

dari jejenum. Defek duodenum yang besar dapat ditutup seperti pada gambar E.

Segment jejenum direpair secara end to end anastomosis. Pankreotikoduodenektomi

hanya dilakukan pada trauma duodenum bila terjadi perdarahan pankreas yang tidak

terkontrol atau bila trauma duodenum bersama-sama dengan trauma CBD distal atau

duktus pankreatikus. Drainase external juga sangat diperlukan karena mampu

mendeteksi dan mengontrol adanya fistula duodeni. Drain  sebaiknya sederhana dari

Page 21: BAB 1,2,4 Fix Roi

karet silikon lunak, sistim tertutup dan diletakan dekat dengan lokasi defek yang

diperbaiki (Savides & Jensen 2010).

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi adalah terjadinya peritonitis, dan syok hemoragik

dimana adanya perdarahan intraabdominal yang sulit dinilai sehingga berujung pada

kematian (Savides & Jensen 2010).

2.9 Prognosis

Tingkat kematian untuk pasien rawat inap adalah sekitar 5-10%. The National

Pediatric Trauma Registry melaporkan bahwa 9% dari pasien anak dengan trauma

tumpul abdomen meninggal. Dari jumlah tersebut, hanya 22% yang dilaporkan cedera

intraabdomen sebagai kemungkinan penyebab kematian.

Sebuah tinjauan dari Australia of intestinal injuries pada trauma tumpul

melaporkan bahwa 85% dari cedera terjadi akibat kecelakaan kendaraan. Tingkat

mortalitas adalah 6%. Dalam review besar kematian di ruang operasi di mana trauma

tumpul menyumbang 61% dari semua cedera, trauma abdomen adalah penyebab primer

kematian pada 53,4% kasus (Savides & Jensen 2010).

Page 22: BAB 1,2,4 Fix Roi

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN KRITIS

Page 23: BAB 1,2,4 Fix Roi

DAFTAR PUSTAKA

Bethel, Susan & Baird, Marianne Saunorus. (2008). Manual Of Critical Care Nursing:

Nursing Interventions and Collaborative Management (Sixth Edition). Philadelphia:

Lippincott Williams and Wilkins

Lanas, A. (2005). Gastrointestinal injury from NSAID therapy. How to reduce the risk of

complications. Postgrad Med 117:23, [PMID: 16001765

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2004). Textbook of medical-surgical nursing. (10th ed.) (Vol 2).

Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins

Bjorkman, D. (2007). GI hemorrhage and occult GI bleeding. In: Goldman L, Ausiello D.

Cecil Textbook of Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; chap 137.

Savides TJ, Jensen DM. (2010). Gastrointestinal bleeding. In: Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ, eds. Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; chap 19.