bab i
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Cedera kepala atau trauma kapitis merupakan proses terjadinya trauma
langsung atau deselerasi terhadap kepala atau wajah yang berakibat disfungsi
serebral sementara.1 Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian
dan gangguan fisik maupun mental yang utama terjadi pada kelompok usia
produktif, dewasa maupun anak-anak dan sebagian besar disebabkan karena
kecelakaan lalu lintas.2 Gangguan yang ditimbulkan dari cedera kepala dapat
bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif, psikis, intelektual,
serta gangguan fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena cedera
kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar
hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak.3
Di Amerika serikat insidensi cedera kepala diperkirakan sekitar 1,6 juta
orang pertahunnya dan lebih dari 550.000 orang dirawat di rumah sakit karena
cedera fatal. Dari keseluruhannya, 60.000 orang meninggal dan 70.000 sampai
90.000 orang mengalami cacat neurologis permanen.2,4 Di indonesia walaupun
belum tersedia data secara nasional, cedera kepala juga merupakan kasus yang
sangat sering dijumpai disetiap rumah sakit. Pada tahun 2005 di RSCM
terdapat 434 pasien cedera kepala ringan, 315 cedera kepala sedang, dan 28
pasien cedera kepala berat. 3
Penderita cedera kepala memerlukan pemeriksaan dan resusitasi yang
sangat cepat. Salah satu jenis pemeriksaannya dengan menggunakan Glasglow
Coma Scale (GCS) dan Revised Trauma Score (RTS) untuk menentukan
tingkat keparahan cedera kepala.3 Tingginya angka kematian pada kasus
cedera kepala menunjukan bahwa kasus tersebut sangat serius dan perlu
tindakan yang cepat dan tepat.3 Oleh karena itu, sangatlah penting bagi
seorang klinisi untuk mengerti menegenai cedera kepala, mengingat
konsenkuensi yang ditimbulkan sangat fatal. Hal yang lebih mendalam
mengenai cedera kepala akan dibahas dalam bab selanjutnya.
2
I.2 Tujuan dan Manfaat
I.2.1 Tujuan Umum
Syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Blok.
I.2.2 Tujuan Khusus
Mengetahui mengenai cedera kepala, anatomi kepala, aspek fisiologis,
patofisiologi, klasifikasi serta penatalaksanaan pada cedera kepala.
I.2.3 Manfaat
a. Menjadi bahan pembelajaran pribadi yang menambah pengetahuan
serta wawasan penulis mengenai cedera kepala.
b. Pembaca dapat memahami lebih jauh tentang cedera kepala serta
penanganannya.
c. Dapat menambah bahan bahan pustaka institusi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI CEDERA KEPALA
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat
pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang
dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik.5
II.2 ANATOMI KEPALA
a. Kulit
Kulit kepala menutupicranium dan meluasdari line nuchalis superior
pada os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Kulit kepala
terdiri dari lima lapis jaringan :
Kulit yang tipis kecuali didaerah occipitale, mengandung banyak
kelenjar keringat serta folikel rambut.
Jaringan ikat (connective tissue) yang merupakan lapis subkutan ,
memiliki banyak pembuluh darah dan saraf.
Aponeusis atau galea aponeurotica adalah selembar jaringan ikat
yang kuat dan merupakan lembar tendo dari muskulus occipitalis
dan muskulus frontalis.
Loose areolar tissue jaringan ikat jarang yang menyerupai spons.
Pericranium
Pericranium adalah periosteum dari tulang tengkorak. Sepanjang
garis sutura pericranium berlanjut menjadi endosteum. Karena itu,
subperiosteal hematom terbentuk pada tulang tengkorak.
4
Gambar 2.1 Lapisan Kepala
b. Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga
dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi
dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa
anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.6
c. Meninges
Selaput meninges membungkus seluruh bagian otak dan terdiri atas 3
lapisan yaitu:
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat pada permukaan dalam cranium. Karena tidak melekat pada
selaput aracnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan aracnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural.5
Pada cedera otak pembuluh – pembuluh vena yang berjalan pada
5
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah
vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus –
sinus tersebut dapat menimbulkan perdarahan hebat.5
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam
dari cranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala
dapat menyebabkan laserasi pada arteri – arteri tersebut dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera arteri meningea media yang terletak di fossa temporalis (fossa
media).5
2) Selaput arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan selaput yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletaak antara piamater sebelah dalam
dan diramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini
dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari piamater oleh spatium sub arakhnoid yang terisi
liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya
disebabkan oleh cedera kepala.7
3) Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater
adalah membrana vaskuler yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyrus danb masuk kedalam sulcus yang paling dalam.
Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumya. Arteri – arteri yang masuk kedalam subtansi otak juga
diliputi oleh piamater. 5
d. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan baerat pada orang dewasa
14 kg. Otak terdiri daribeberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon (bagian terbesar yang terdiri dari
thalamus dan hypothalamus) merupakn bagian sentral otak. Mesensefalon
(midbrain) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla
6
oblongata dan serebelum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur funsi memori tertentu, lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses pengelihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebelum bertanggung
jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.7
Gambar 2.2. Otak beserta area fungsinya
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20ml/jam. Cairan serebrospinal mengalir dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari
aquaductus sylvius menuju ventrikel IV. Cairan serebrospinal akan
direabsorpsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid (villi
aracnoidea) yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah
dalam cairan serebrospinal dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan cairan serebrospinaldan menyebabkan kenaikan
tekanan intrakranial. Angka rata – rata pada kelompok populasi dewasa
7
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.8
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fossa cranii anterior dan fossa cranii media) dan
ruangan infratentorial (berisi fossa cranii posterior).5
g. Vaskularisasi
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena – vena otak tidak mempunyai jaringan
otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke sinus venosus cranialis.5
II.3 ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Tekanan intrakranial
Tekanan intrakranial dapat meningkat oleh beberapa proses patologi
yang selanjutnya dapat menggangu fungsi otak yang akhirnya berdampak
buruk terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat
menimbulkan konsekuensi yang menggangu fungsi otak. Tekanan
intracranial normal kira – kira 10 mmHg, Tekanan intracranial lebih tinggi
dari 20 mmHg dianggap tidak normal. Semakin tinggi tekanan intracranial
setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.7
b. Hukum Monroe – Kellie
Konsep utama volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat
dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastis. Volume intracranial (Vic)
adalah sama dengan jumlah total voleme komponen – komponennya yaitu
volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan
volume darah (V bl).
Vic = V br + V csf + V bl.
Volume tekanan intracranial pada dewasa 1500 mL, karena volume
intracranial tetap, tekanan dalam kompartemen tersebut karena beberapi
tindakan kompensasi terjadi, seperti penurunan komponen intrakranial.4
c. Tekanan Perfusi otak
8
Tekanan perfusi otak merupakn selisih antara tekanan arteri rata – rata
(mean arteral pressure) dengan tekanan intracranial. Pada otak manusia
normal tekanan perfusi otak adalah konstan dikisaran 50 – 150 mmHg, hal
ini dipengaruhi karena autoregulasi arteiol. Apabila tekanan perfusi otak
kurang dari 50 mmHg atau lebih besar dari 150 mmHg akan memberikan
prognosa yang buruk bagi penderita.4
d. Aliran darah otak
Aliran darah otak normal kira – kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit.
Bila aliran darah otak menurun sampai 20 – 25 ml/100 gr/menit EEG
(sebagai alat pemantau fungi otak melalui sinyal yang dipancarkan) akan
menghilang. Apabila aliran darah otak sebesar 5 ml/100 gr/menit maka sel –
sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.4
II.4 PATOFISOLOGI CEDERA KEPALA
Kerusakan otak pada penderita cedera kepala dapat terjadi dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan awal cedera
otak sebagai akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras.
Gambar 2.3 Cedera kepala
Mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan countercoup.
9
Cedera primer yang diakibatkan aleh adanya benturan pada tulang tengkorak
pada daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan
dengan tempat benturan akan terjadi lesi countercoup. Akselarasi-deselarasi
terjadi akibat kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat
terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tualng tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intracranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (countercoup).5
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intracranial dan perubahan neurokimiawi.4
II.5 KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera
kepala, dan morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanisme cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul
dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda
tumpul. Sedangkan untuk cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru
atau tusukan.9
b. Beratnya cedera kepala
Beratnya cedera kepala pada penderita dan untuk mengukur tingkat
kesadaran umum, dapat diklasifikasikan berdasarkan Glasgow Coma
Scale (GCS).4 Derajat kesadaran terbagi menjadi 2 yaitu secara kuantitif
dan secara kualitatif. Derajat kesadaran kualitatif meliputi :
1) Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh
asupan panca indera (aware atau awas) dan bereaksi secara
optimal terhadap seluruh rangsangan dari luar maupun dari dalam
10
(arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan
waspada.
2) Somnolen atau drowsiness atau clouding of consciousness,
berarti mengantuk, mata tampak cenderung menutup, masih dapat
dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan
walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi
terhadap sekitarnya menurun. Stupor atau sopor lebih rendah
daripada somnolen. Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau
suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata.
Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.
3) Semikoma atau soporokoma, mata tetap tertutup walaupun
dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti,
motorik hanya berupa gerakan primitif.
4) Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah.
Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik
dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi motorik.9
Derajat kesadaran secara kualitatif bukan merupakan sebuah patokan
bagi penderita cedera kepala, karena dapat saja pasien dengan keadaan
komposmentis namun dari segi kuntitatifnya terdapat penurunan nilai
motorik pada pemeriksaan GCS. Derajat kesadaran secara kuantitatif dapat
di ukur dengan metode GCS. Glasgow Coma Scale merupakan salah satu
komponen yang digunakan sebagai acuan pengobatan, dan dasar
pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien serta memiliki peranan
penting untuk memprediksi resiko kematian diawal trauma.3 Glasgow
Coma Scale yang digunakan meliputi 3 kategori yaitu respon membuka
mata, respon verbal dan respon motorik. Skor ditentukan oleh jumlah skor
di masing – masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan skor
minimum 3, adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Penilaian Glasgow coma scale (GCS)
Kategori Instruksi
11
Respon membuka mata (E)
Respon motorik (M)
Respon verbal (V)
4 = Spontan
3 = Dengan perintah verbal
2 = Dengan nyeri
1 = Tidak ada respons
6 = Menurut perintah
5 = Dapat melokalisasi nyeri
4 = Fleksi terhadap nyeri
3 = Fleksi abnormal
2 = Ekstensi
1 = Tidak ada respon
5 = Orientasi baik dan berbicara
4 = Disorientasi (bingung) dan berbicara
3 = Kata – kata yang tidak tepat atau menangis
2 = Suara yang tidak jelas
1 = Tidak ada respon
1. Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepala berat.
(Koma – somnolen)
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9 – 13. (Somnolen)
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15. (Composmentis)
c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepal dapat dibagi atas fraktur cranium dan
12
lesi intrakranial.
II.5.1 Fraktur tulang tengkorak
Fraktur tulang tengkorak (cranium) dapat terjadi pada atap atau
dasar tengkorak (basis cranii), dan dapat berbentuk garis atau
bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Tulang tengkorak
terdiri dari 3 lapisan yaitu:
Tabula eksterna.
Diploe.
Tabula interna.
Luas dan tipe fraktur ditentukan oleh beberapa hal:
Besarnya energi yang membentur kepala ( energi kinetik
objek)
Arah benturan
Bentuk tiga dimensi (geometris) objek yang membentur.
Lokasi anatomis tulang tengkorak tempat benturan terjadi.
Klasifikasi fraktur tengkorak dapat dilakukan berdasarkan:
1. Gambaran fraktur dibedakan atas:
a. Linear
b. Distase
c. Comminuted
d. Depresed
2. Lokasi anatomis, dibedakan atas:
a. Konveksitas (kubah tengkorak)
b. Basis Cranii (dasar tengkorak)
3. Keadaan luka, dibedakan atas:
a. Terbuka
b. Tertutup
Deskripsi keadaan fraktur dapat menggunakan kombinasi ketiga
klasifikasi di atas. Gambaran fraktur sangat ditentukan oleh tiga hal
yaitu:
1. Besarnya energi benturan
13
2. Perbandingan antara besar energi dan luasnya daerah benturan,
semakin besar nilai perbandingan ini akan cenderung
menyebabkan fraktur depresed.
3. Lokasi dan keadaan fisik tulang tengkorak.
II.5.1.1 Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak
yang meliputi selkuruh ketebalan tulang. Pada pemeriksaan
radiologi akan terlihat sebagai garis radiolusen.5
II.5.1.2 Fraktur Distase
Fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi pemisahan
sutura kranial. Fraktur ini sering terjadi pada anak usia 3 tahun.5
II.5.1.3 Fraktur Comminuted
Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur. Ketiga fraktur
di atas tidak memerlukan tindakan khusus, kecuali jika disertai
lesi intrakranial seperti epidural hematoma, subdural hematoma,
dll. Jika disertai dengan laserasi SCALP, maka perlu dilakukan
debrimen yang baik dan luka dapat segera ditutup dengan
penjahitan.5
II.5.1.4 Fraktur Depressed
Diartikan sebagai fraktur tabula eksterna pada satu atau lebih
tepi fraktur terletak dibawah level anatomiknormal dari tabula
interna tulang tengkorak sekitarnya yang masih utuh. Jenis fraktur
ini terjadi jika energi benturan relatif besar terhadap area yang
relatif kecil. Misalnya benturan oleh martil, kayu, batu, pipa besi.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk tindakan operasi
terhadap fraktur depressed, antara lain:
Perubahan bentuk secara kosmetik
Laserasi SCALP yang menyebabkan fraktur terbuka.
Konstutio atau laserasi jaringan otak di bawahnya.
Lokasi fraktur, misalnya diatas sinus paranasal atau sinus
vena (sinus trombosis).
14
Adanya lesi intrakranial lain yang menyertai misalnya EDH
(Epidural hematoma), SDH (Subdural hematoma), ICH
(Intraserebral hematoma).5
II.5.1.5 Fraktur Konveksitas
Fraktur yang terjadi pada tulang – tulang yang membentuk
koveksitas (kubah) tengkorak seperti os. Frontalis, os.
Temporalis, os. Parietalis, dan os. Occipitalis.
II.5.1.6 Fraktur Basis Cranii
Fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar
tengkorak. Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian yaitu:
1. Fossa anterior.
2. Fossa media.
3. Fossa posterior
Fraktur pada masing – masing fossa akan memberikan
manifestasi yang berbeda.
a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior
Bagian posterior dari fossa anterior dibatasi oleh os.
Sphenoid, processus clinoidalis anterior dan jugum
sphenoidalis.
Manifestasi klinis:
Ecchymosis periorbita, bisa bilateral dan disebut ‘brill
hematoma’ atau ‘racoon eyes’.
Eccymosis ini kadang – kadang sulit dibedakan dengan
ecchymosis yang timbul karena cedera langsung.5
b. Fraktur Basis Cranii Fossa Media
Bagian anterior langsung berbatasan dengan fossa anterior
sedangkan bagian posterior dibatasi oleh pyramida petrosus os.
Temporalis, processus clinoidalis posterior dan dorsum sella.
Manifestasi klinis:
Ecchymosis pada mastoid (battle’s sign).
Otorrhea, pembuktiannya sama dengan rhinorahea.
15
Hemotympanum; jika membran tympani robek maka
dijumpai darah pada kanalis auricularis eksterna.
Kelumpuhan nervus fasialis (N. VII) dan atau nervus
vestibulococlearis (N. VIII), hal ini terjasi bila garis
frakturnya transversal terhadap aksis pyramida petrosus.
Jenis ini hanya 25 %, sedangkan sisanya longitudinal
terhadap aksis pyramida petrosus.
Carotid – Cavernosus Fistula (CCF) yang ditandai dengan
chymosis, sakit kepala, adanya bruit, exopthalmus yang
berdenyut mengikuti irama jantung, gangguan visus dan
gangguan gerakan bola mata.
c. Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior
Merupakan dasar dari kompartemen infratentorial. Adanya
fraktur pada daerah ini harus waspada terhadap kemungkinan
timbulnya hematoma. Sering tidaak disertai dengan gejala dan
tanda yang jelas, tetapi dapat segera menimbulkan kematian
karena penekanan terhadap batang otak. Fraktur ini kadang –
kadang juga menyebabkan memar pada mastoid (battle’s sign).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
penanganan fraktur basis cranii antara lain:
1. Lakukan observasi terhadap adanya kebocoran LCS,
biasanya membaik secara spontan.
2. Tidak perlu memberikan antibiotika profilaksis karena:
a. Biasanya antibiotika tidak efektif mencegah
terjadinya meningitis.
b. Akan menseleksi organisme yang resisten terhadap
antibiotika yang diberikan, jika terjadi meningitis atau
infeksi intrakranial lainnya, akan sulit diatasi.
3. Jika setelah 2 minggu kebocoran CSS tidak berhenti atau
berkurang serta dinilai bahwa usaha atau penatalaksanaan
secara konservatif gagal, maka dilakukan operasi untuk
16
memperbaiki dura yang bocor tersebut oleh ahli bedah
saraf.5
II.5.2 Lesi intrakranial
Lesi intrakranial dapat duiklasifikasikan sebagai fokal atau difus,
walau kedua bentuk cedera tersebut sering terjadi secara bersamaan.
Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan
konstusi (hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera
otak difus menunjukan koma di kinis.10
a. Hematoma epidural
Hematoma epidural terjadi akibat fraktur tulang kepala yang
dapat merobek pembuluh darah terutama arteri meningea media
yang masuk kedalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara duramater dan tulang di permukaan os. Temporal.
Pada bayi hematom epidural ini dapat dilihat bila ubun – ubun
bayi mengembung setelah trauma terjadi.11 Robeknya arteri
meningea media menimbulkan hematom epidural dan desakan
oleh hematom memisahkan duramater dari tulang kepala
sehingga hematom dapat bertambah besar dan dapat menekan
batang otak hingga terjadi kematian.11 Penderita akan
mengalami sakit kepala, mual dan muntah diikuti dengan
penurunan kesadaran setelah trauma. Gejala neurologik yang
terpenting adalah pupil mata anisokor, yaitu pupil ipsilateral
melebar, terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia.
Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam,
pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai ahkirnya
kedua pupil tidak menunjukan reaksi terhadap cahaya.8
Ciri khas hematom epidural murni adalah terdapatnya jarak
waktu antara saat terjadinya trauma dan munculnya tanda
hematom epidural. Jeda waktu yang terjadi selama beberapa
menit hingga jam. Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta
pemeriksaan penunjang seperti foto Roentgen kepala. Adanya
17
garis fraktur menyokong diagnosis hematom epidural bila sisi
fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar, garis
fraktur dapat menunjukan lokasi hematom.8
b. Hematom subdural (SDH)
Hematom subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi
diantara duramater dan arakhnoid. Sekitar 30 % hematom
subdural terjadi pada kasus cedera kepala berat. Hematom
tesebut terjadi akibat robeknya vena penghubung (bridging
veins) antara korteks serebri dan sinus dura. Hematom tersebut
biasanya terjadi pada kasus cedera karena pukulan. Hematom
subdural terbagi menjadi kaut dan kronis.11
1). Hematom subdural akut
Hematom subdural akut biasanya berkaitan dengan riwayat
trauma yang jelas dan yang paling sering terjadi pada regio
frontoparietal.11
2). Hematom subdural kronis
Terjadi pada riwayat trauma yang tidak jelas, hematom
tersebut sering berkaitan dengan atrofi otak, yang pada
akhirnya meningkatkan mobilitas otak di dalam kubah
tengkorak sehingga vena penghubung menjadi semakin
mudah robek.11
Gambar 2.4 Hematom subdural
18
c. Hematom intraserebral.
Hematom intraserebral adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya
laserasi atau kontusio jariagan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak
tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainya (countercoup). Defisit neurologis
yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi
dan luas perdarahan.8
Penyebab yang paling sering dari hematom intraserebral
adalah penyakit hipertensi vaskuler, perdarahan paling sering
terjadi pada ganglia basalis (80% kasus), batang otak, serebelum
dan korteks serebral. Hematom yang mengisi ruang
menyebabkan kenaikan intrakranial. Sebagian besar perdarahan
intraserebral yang terjadi pada penderita hipertensi, akibat dari
ruptur pada arteriol kecil, terutama pada cabang lentikulostriata
dari arteri serebral media.12
Gambar 2.5 Perdarahan otak
19
Kontusi serebral murni biasanya jarang terjadi. Selanjutnya
kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematom subdural
akut. Sebagian besar kontusi terjadi pada lobus frontal dan
temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak. Perbedaan antar kontusi dan
hematom intarserebral traumatika tidak jelas batasnya.
Bagaimana pun, terjadi zona peralihan, dan kontusi dapat secara
lambat laun menjadi hematom intraserebral dalam beberapa
hari.
d. Kontusi
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah
yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan
dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainya
`(countercoup). Defisit neurologis yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.
e. Edema Serebral.
Edema serebral traumatika merupakan keadaan dan gejala
patologis pada penderita cedera kepala dan terjadi akibat
pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan intrakranial.
Terdapat dua terminologi yaitu edema dan swelling yang sering
diartikan sama yaitu bengkak. Edema otak menadakan adanya
penambahan kandungan air didalam jariungan otak, sedangkan
brain swelling merupakan keadaan yang diakibatkan hiperemia
dan dilatasi sistem serebrovaskular.13
f. Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI)
Cedera ini terjadi karena terputusnya dan tertariknya prosesus
neuron akibat dari gerak putar otak di dalam tengkorak kepala.
Keadaan ini sering terjadi tanpa adanya fraktur tulang tengkorak
dan kontusio serebral. Cedera aksonal difus terjadi pada hampir
keseluruhan cedera kepala fatal. Cedera aksonal difus terjadi
20
pada hampir keseluruhan cedera kepala fatal, dua komponen
penting yang ditemukan , yaitu
Lesi perdarahan kecil dalam korpus klosum dan kuadran
dorsolateral batang otak.
Kerusakan difus pada akson, yang hanya dapat dideteksi
dengan pemeriksaan mikroskopis yang berbentuk bola
retraksi aksonal.12
Gambar 2.6 CT Scan Lesi Intrakranial
II.6 PEMERIKSAAN NEUROLOGIS CEDERA KEPALA
21
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala memiliki beberapa
kegunaan antara lain:
1. Follow-up perkembangan keadaan penderita, jika terjadi perburukan
yang mengancam jiwa akan segera diketahui.
2. Dapat memperkirakan prognosis.
3. Merencanakan pengobatan dan tindakan bedah.
4. Memudahkan komunikasi, terutama dalam sistem informasi rujukan.
Pemeriksaan neurologis yang harus segera dilakukan terhadap penderita
cedera kepala setelah resusitasi meliputi:
1. Tingkat kesadaran.
2. Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf kranial.
3. Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar.
4. Reaksi motorik terbaik.
5. Pola pernapasan.
Terapi harus diingat bahwa hasil penilaian yang paling prediktif dalam
perkiraan prognosis adalah penilaian yang dilakukan setelah 24 jam post
resusitasi, karena penilaian sebelumnya masih banyak dipengaruhi oleh
keadaan sistemik yang belum begitu stabil.
1. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS. Penilaian tersebut harus
dilakukan secara periodik untuk menilai apakah keadaan penderita
membaik atau memburuk. Dari ketiga komponen GCS tersebut, motorik
merupakan komponen yang paling objektif. Komponen yang menjadi
tolak ukur penilaian adalah reaksi (respons) terbaik. Tingkat kesadaran
tidak akan terganggu jika cedera hanya terbatas pada satu hemisfer otak,
tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua hemisfer mulai terlibat,
atau juka ada proses patologis akibat penekanan atau cedera pada batang
otak.
2. Pupil dan Pergerakan bola mata , termasuk saraf kranial.
Reaksi pupil, konstriksi, dan dilatasi diatur oleh sistem saraf otonom,
yaitu simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis mulai dari hipotalamus ,
melalui batang otak terutama yang ipsilateral sampai ke thorakal medula
22
spinalis pada bagian intermediolateral. Sedangkan aferen parasimpatis
berawal dari sel ganglion retina, mengikuti nervus dan traktus optikus
hingga mencapai pretektum. Bagian eferen akan mengikuti saraf
okulomotorius ke orbita. Dua alasan penting penilaian pupil pada cedera
kepala:
Karena batang otak yang mengendalikan kesadaran secara
anatomis terletak berdekatan dengan pusat yang mengendalikan
reaksi pupil.
Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap
gangguan metabolik, sehingga ada tidaknya refleks cahaya
merupakan tanda penting untuk membedakan koma metabolik dan
koma struktural.
Gambar 2.7
Gambaran pupil pada penderita koma (sumber: Plum F, Posner
JB: The Diagnosis of stupor and coma, FA Davis, Philadelphia,
3th Ed, 1982).
Reflek cahaya menunjukan fungsi mesensefalon. Lakukan juga penilaian
langsung dan tidak langsung. Reaksi langsung terjadi pada mata yang
langsung diberi rangsang cahaya, sedangkan reaksi tidak langsung pada mata
23
kontralateral dari mata yang diberi rangsang cahaya. Bandingkan antara yang
kanan dengan kiri isokor atau tidak.5
Gambar 2.7
Reaksi okulosefalik dan okulovestibuler. Atas: pada batang otak yang
masih baik. Tengah:pada kerusakan FLM (Fasikulus Longitudinalis
Medialis). Bawah: pada kerusakan batang otak bagian bawah. (sumber:
Plum F, Posner JB: The Diagnosis of stupor and coma, FA Davis,
Philadelphia, 3th Ed, 1982).
3. Reaksi Terhahadap berbagai rangsangan dari luar
Rangsangan dari luar merupakan mekanisme penting untuk menilai
tingkat kesadaran . Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu
reaksi dari penderita berbanding lurus dengan dalamnya penurunan
kesadaran. Pada tahap awal dapat dicoba dengan rangsangan suara pada
berbagai tingkat intensitas, jika tidak memberikan reaksi, dilanjutkan
dengan goncangan ringan (light shaking), kemudian dengan rangsang
nyeri yang semakin progresif. Rangsang nyeri yang diberikan antara lain:
24
- Dengan menggunakan batangan pensil, pulpen, gagang ‘refleks
hammer’, atau benda tumpul yang lain, melakukan penekanan pada
kuku bagian proksimal
- Dengan melakukan penekanan tumpul pada sternum
- Dengan melakukan penekanan tumpul pada ‘supraorbita ridge’
4. Reaksi motorik terbaik
Pada keadaan normal, respons motorik diatur oleh korteks serebri yang
bekerja sama dengan berbagai pusat pengatur subkortikal lainnya.
Penilaian reaksi motorik terbaik sangat penting, karena memiliki nilai
objektif yang tinggi. Tingkat reaksi motorik dibagi atas:
a. Gerakan bertujuian jelas (puposeful movement)
b. Gerakana bertujuan tidak adekuat (semipurposeful movement)
c. Postur fleksor (dekortisasi)
d. Postur ekstensor (deserebrasi)
e. Diffuse musle flaccidity
Reaksi okulosefalik (Doll’s head eye phenomenon). Pemeriksaan nervus
trigeminus dan fasialis dapat dilakukan dengan dengan tes kapas pada kornea,
dilakukan dari samping.5
II.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala tidak semua penderita dengan cedera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan
kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas
lebih dari 5 cm, luka tembus(tembak/tajam), deformasi kepala (dari
inspeksi dan palpasi), nyeri kepal yang menetap, gejala fokal neurologis,
gangguan kesadaran.
b. CT – Scan
Indikasi CT Scan adalah :
25
1. Nyeri kepal menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat – obatan analgesia/antimuntah.
2. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna
terdapat lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
3. Penurunan GCS lebih dari 1 point dimana faktor – faktor
ekstrakranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat
terjadi karena misal syok, febris, dll).
4. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
5. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
6. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari
GCS.
c. MRI : digunakan sama seperti CT – Scan dengan atau tanpa kontas
radioaktif.
d. Cereral Angiography : Menunjukan anomali sirkulasi serebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi oedem, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
f. X – Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
g. CSF, Lumbal pungsi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarakhnoid.14
II.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki
tujuan yang memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat
membantu penyembuhan sel – sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera
kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan,
sedang, berat.
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei prumer hal – hal yang diprioristaskan antara
lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure yang kemudian
26
dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala berat survei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder. 14
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi
rawat antara lain:
a. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam).
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit).
c. Penurunan tingkat kesadaran.
d. Nyeri kepala sedang hingga berat.
e. Fraktur tengkorak.
f. Kebocoran CSS, rhinorrhea.
g. Cedera penyerta yang jelas.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal – hal yang
dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,
hiperventilasi, pemberian manitol, dan antikonvulsan.
a. Penggunaan Manitol pada cedera kepala.
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial.
Efek tersebut diperoleh melalui peningkatan volume darah sirkulasi
dan pengenceran viskositas darah. Manitol diperkirakan memiliki tiga
mekanisme kerja yang saling melengkapi yaitu meningkatkan tekanan
darah, memperbaiki aspek rheologik sirkulasi, dan dehidrasi serebral.
Manitol dapat menurunkan kandungan air pada jaringan otak yang
edema. Dosis manitol, sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dn
20 persen. Manitol diberikan bolus 0,25-0,5/kgBB dalam 10-20 menit,
dilakukan setip 6 jam.
Indikasi pemberian, manitol dapat diberikan sebelum dilakukan
pengukuran ICP, yaitu jika terdapat tanda- tanda herniasi transtentorial
atau adanya perburukan pada keadaan neurologis yang disebakan oleh
keadaan sistemik seperti hipovolemia, dll. Pilihan utama untuk
resusitasi awal pasien cedera kepala yang disertai dengan hipotensi,
dikenal dengan ‘small volume resuscitation fluid’.5
27
Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan
operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis
pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Kraniotomi
digunakan pada pasien dengan hematom epidural dan hematon subdural
sangat penting, untuk menghindari prognosis yang buruk. Secara umum
digunakan panduan sebagai berikut:
a. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial atau lebih 20 ml di daerah infratentorial.
b. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis.
c. Tanda fokal neurologis semakin berat.
d. Terjadi sakit kepala, mual dan muntah yang semakin berat.
II.9 PROGNOSIS
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah
mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak – anak biasanya memiliki
daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempuyai
kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala. Selain
itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.
28
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
1. Cedera kepala merupakan masalah yang serius karena merupakan
penyebab kematian yang paling sering terutama pada kecelakaan
kendaraan. Jenis dan beratnya kelainan akibat cedera kepala tergantung
pada lokasi dan beratnya kerusakan otak. Terjadinya cedera kepala,
kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cdera primer yang
merupakan akibat langsung dari benturan, dan cedera sekunder yang
terjadi akibat proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari
kerusakan otak.
2. Aspek – aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi
beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala,
beratnya cedera kepala dan morfologinya. Kerusakan otak seringkali
menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi
tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas
(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang
ditimbulakan juga tergantung pada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi,
berbicara, pengelihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang
difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, daan bisa
menyebabkan kebingunan dan koma. Untuk menentukan tingkat
keparahan pada penderita cedera kepala digunakan pemeriksaan
kesadaran dengan menggunakan skala koma glasgow (GCS). Dengan
jumlah yang paling kecil 3 dan paling besar 15 yang meliputi respon
verbal, respon motorik, respon membuka mata. Semakin kecil poin
GCS maka semakin berat cedera yang diderita.
29
III.2 Saran
Dalam menangani paseien penderita cedera kepala akibat trauma. Hal yang
paling penting yaitu melakukan pemeriksaan skala koma glasgow (GCS) yang
meliputi 3 kategori pemeriksaan yaitu, rspon verbal, respon motorik dan
respon membuka mata. Pemeriksaan tersebut digunakan untuk menentukan
derajat keparahan pada penderita cedera kepala untuk ditangani apakah perlu
dirawat atau tidak. Namun setelah dilakukan perawatan kita harus tetap
memantau perkembangan pasien cedera kepala dengan cara yang sama yaitu
pemeriksaan skala koma glasgow, untuk memantau apakah perkembangan
yang terjadi pada pasien membaik atau memburuk.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Grace, Pierce A. Neil R. Borley. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta . Erlangga. 2008
2. Graham, DI, Malntosh TK. Neuropathology of Brain Injury. In: Evan RW, editor. Neurology and Trauma. Philadelphia WB. Saunders Company; 1996
3. Dewanto, Georgius. Dewi et al. Perbandingan Glasgow Coma Scale dan Revisid Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien Trauma Kepala di Rumah sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia Vol. 60 Nomor 10. Oktober 2010.
4. Crippen, David W. 2011. Head Injury. Medscape Reference. (http://emedicine.medscape.com/article/433855-overview). Diunduh pada 26 Desember 2011
5. Japardi, Iskandar. Penatalaksanaan Cedera Kepala. Jakarta. PT. Bhuana Ilmu Populer. 2004
6. Moore, Keith L. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta. Hipokrates. 20027. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Suport. United
States of America: Firs Impression. 19978. Syamsuhidajat and Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3.
Jakatara. EGC. 20119. Bernhardt, David. 2011. Concussion. Medscape Reference.
(http://emedicine.medscape.com/article/92095-overview). Diunduh pada 28 Desember 2011
10. Harsono. Koma dalam Buku ajar Neurologi. Gajah Mada University. Yogyakarta. 2005
11. Kumar, Vinay and Denis K Burns. Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. Jakarta. EGC. 2007
12. Underwood, J.C.E. Patologi Umum dan Sistemik volume 2 edisi 2. Jakarta. EGC. 2000
13. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf edisi IV. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010
14. Ariwibowo, Haryo et al. Art Theraphy: Sub ilmu Bedah. Yogyakarta Pustaka Cendikia Pres of Yogyakarta. 2008