bab i
DESCRIPTION
BAB ITRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kurang energi dan Protein (KEP) pada anak masih menjadi masalah gizi
dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun
2013, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun
2013. Secara nasional, pada tahun 2013 adalah 19,6%, terdiri dari 5,7% gizi buruk
dan 13,9% gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun
2007 (18,4%) dan tahun 2010 (17,9%) terlihat meningkat.
Keadaan ini berpengaruh kepada masih tingginya angka kematian bayi.
Menurut WHO lebih dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan gizi kurang
dan gizi buruk, oleh karena itu masalah gizi perlu ditangani secara cepat dan tepat.
Salah satu cara untuk menanggulangi masalah gizi kurang dan gizi buruk
adalah dengan menjadikan tatalaksana gizi buruk sebagai upaya menangani setiap
kasus yang ditemukan. Pada saat ini seiring dengan perkembangan ilmu dan
teknologi tatalaksana gizi buruk menunjukkan bahwa kasus ini dapat ditangani
dengan dua pendekatan. Gizi buruk dengan komplikasi (anoreksia, pneumonia
berat, anemia berat, dehidrasi berat, demam tinggi dan penurunan kesadaran)
harus dirawat di rumah sakit, Puskesmas perawatan, Pusat Pemulihan Gizi (PPG)
atau Therapeutic Feeding Center (TFC), sedangkan gizi buruk tanpa komplikasi
dapat dilakukan secara rawat jalan.
Masalah KEP di Kabupaten Probolinggo berdasarkan data IPKM hasil
Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi balita gizi buruk dan
kurang adalah 27,8% (Jawa Timur 19,3%, Nasional 19,63%). Pada tahun 2013
Kabupaten Probolinggo menempati urutan kelima tertinggi dari seluruh kabupaten
dan kota di provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan data tersebut, kasus KEP di Kabupaten Probolinggo perlu
mendapatkan perhatian serius. Salah satu dari penyebab terjadinya KEP pada
balita diantranya adalah rendahnya pengetahuan dan kurangnya keterampilan
keluarga, khususnya ibu, tentang cara pengasuhan anak, meliputi praktek
pemberian makan anak, upaya pemeliharaan kesehatan dan praktek pengobatan
anak, serta praktek kebersihan anak.
Kecamatan Sumberasih merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Probolinggo dengan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk yang tergolong tinggi.
Pada tahun 2014, Kecamatan Sumberasih menempati urutan kedua untuk gizi
sangat kurang sebesar 3,6 dan menempati urutan keenambelas untuk gizi kurang
sebesar 5,9 dari seluruh kecamatan di Kabupaten Probolinggo (Data Dinkes
Kab.Probolinggo, 2014).
Pada bulan Januari 2015 Puskesmas Sumberasih telah melaksanakan
program TFC yang melibatkan 14 anak dengan gizi kurang dan sangat kurang
selama 19 hari. Kegiatan ini melibatkan dokter umum, ahli gizi, bidan, dan kader.
Namun output dari kegiatan belum maksimal, karena terdapat banyak kendala
selama kegiatan berlangsung. Diantaranya banyak ibu dari balita yang tidak
optimal untuk hadir selama kegiatan CFC (Community Feeding Center), kader
pendamping yang harus berkeliling ke rumah-rumah penderita, serta keterbatasan
dana dan waktu untuk melanjutkan kegiatan CFC hingga seluruh balita berstatus
gizi baik. Upaya merujuk balita gizi buruk ke Puskesmas (TFC) bagi balita gizi
buruk dengan komplikasi juga belum dapat diterima oleh keluarga, dengan alasan-
alasan: anak dianggap tidak sakit, tidak ada yang mengurus keluarga, waktu, dan
ekonomi.
Mengingat penyebab terjadinya gizi buruk sangat kompleks dan masalah
yang ditimbulkan juga kompleks, maka penanggulangannya tidak dapat dilakukan
dengan pendekatan medis saja, melainkan harus melibatkan sektor terkait. Oleh
karena itu upaya komprehensif perbaikan gizi masyarakat perlu dilakukan
melalului pemberdayaan keluarga khususnya ibu, sehingga dapat meningkatkan
kemandirian keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi serta mengatasi masalah
gizi dan kesehatan keluarganya hingga terbebas dari gizi buruk.
Pemerintah melalui Dinas Kesehatan selama ini telah berupaya untuk
menanggulangi kasus gizi buruk dengan memberikan bantuan berupa PMT
(Pemberian Makanan Tambahan) kepada balita penderita gizi buruk maupun
kepada ibu hamil KEK. Namun hal tersebut dirasa kurang efektif karena hanya
bersifat sementara, sehingga perlu adanya upaya kegiatan lain yang
berkesinambungan, yaitu melalui kegiatan mitra gizi keluarga dengan melibatkan
berbagai sektor terkait serta pemberdayaan kader kesehatan. Tujuan utama
kegiatan ini adalah agar kader dapat mendampingi ibu penderita gizi buruk dalam
pemberian makanan sehingga dapat meningkatkan status gizi balita.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Apakah kegiatan mitra gizi keluarga yang dilakukan melalui
pendampingan kasus balita gizi buruk oleh kader dapat meningkatkan status gizi
balita dengan gizi buruk?
1.3. TUJUAN
1. Tujuan Umum:
Meningkatkan peran petugas kesehatan dan kader dalam upaya perbaikan
gizi keluarga melalui kegiatan pendampingan kepada keluarga penderita
kurang gizi.
2. Tujuan Khusus:
a) Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang pentingnya perbaikan
gizi keluarga.
b) Meningkatkan kemandirian keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi
anggota keluarganya.
c) Meningkatkan peran kader pendamping keluarga penderita kurang
gizi dalam menyelenggarakan PMT pemulihan berbasis bahan
makanan lokal bagi balita kurang gizi 6-24 bulan.
d) Meningkatkan status gizi dan kesehatan keluarga melalui
pemberdayaan keluarga dan masyarakat.
1.4. MANFAAT
1. Pengetahuan dan keterampilan kader bertambah dalam hal penanganan
anak balita gizi buruk.
2. Pengetahuan dan kemandirian keluarga bertambah dalam memenuhi
kebutuhan gizi anggota keluarganya.
3. Angka balita status gizi baik meningkat dan balita yang mengalami
gangguan gizi dapat tertangani.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan tentang Gizi Buruk
Gizi Buruk adalah akibat dari kegagalan untuk memenuhi persyaratan
energi dan gizi yang sudah bersifat kumulatif dan kronis. Manifestasi proses ini
tergantung pada beberapa faktor, seperti: usia, infeksi, kondisi gizi sebelumnya,
dan keterbatasan makanan, dan sebagainya. Studi eksperimental klasik terhadap
kekurangan energi makanan dan kelaparan para hewan dan manusia dan
penelitian pada anak yang kekurangan gizi parah pada awal penelitian dan selama
penyembuhan telah menambah pemahaman kita, walaupun situasi ini semakin
dipersulit dengan berbagai penyebab malnutrisi pada kebanyakan anak.
Tanpa adanya infeksi, kondisi kelaparan bisa menyebabkan berkurangnya
simpanan lemak dan simpanan glikogen yang dimediasi oleh perubahan metabolik
dan endokrin yang memiliki fungsi umum untuk menjaga fungsi-fungsi vital,
sehingga memungkinkan hewan atau manusia bertahan hidup sampai energi
makanan bisa dipulihkan. Perubahan-perubahan secara dini antara lain
berkurangnya aktivitas yang menghemat pengeluaran energi. Pertumbuhan
lambat, mengurangi energi yang diperlukan untuk mempertahankan kondisi ini,
dan perubahan terjadi pada komposisi tubuh. Laju metabolisme dinyatakan dalam
kaitannya dengan tinggi atau pengurangan massa tubuh. Otak dan viscera relatif
terlindungi, yang menghasilkan komposisi tubuh yang merupakan ciri khas dari
anak penderita marasmus. Ada peningkatan total air dalam tubuh, yang utamanya
berada di luar sel tapi bisa juga berada dalam sel.
Penyebab utama timbulnya kurang gizi yaitu konsumsi makanan yang
rendah gizi dan kualitasnya disamping keadaan kesehatan atau penyakit infeksi
yang mungkin diderita anak. Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi
sering diserang diare, demam, ISPA, akhirnya dapat menderita kurang gizi.
Demikian juga pada anak yang konsumsi makanannya kurang, maka daya tahan
tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga dalam keadaan demikian mudah
diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya menderita
kurang gizi. Dalam kenyataannya keduanya (konsumsi makanan dan infeksi
penyakit) secara bersama-sama merupakan penyebab langsung kurang gizi.
Kurang gizi berarti pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu baik fisik
maupun mental.
Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga
yang tidak cukup (dapat juga akibat kemiskinan), pelayanan kesehatan (anak tidak
diimunisasi, tidak menimbang berat badan di posyandu secara teratur, tidak
membawa anak ke yankes jika sakit) dan sanitasai lingkungan yang tidak
mendukung. Pengasuhan anak yang kurang, sanitasi dan penyediaan air bersih
yang tidak memenuhi syarat merupakan agen utama infeksi penyakit.
2.2. Penilaian Gizi Buruk
a. Tanda-tanda dan gejala
Anak tampak sangat kurus, kadang-kadang disertai pembengkakan
(edema) di kedua kaki, mata cekung yang baru saja muncul, adanya
kejadian muntah/diare, tangan dan kaki teraba dingin, sering merasa
kehauasan/dehidrasi, perut kembung, suara usus, dan adanya suara seperti
pukulan pada permukaan air (abdominal splash), pucat yang sangat berat
terutama pada telapak tangan, telinga, mulut dan tenggorokan terdapat
tanda-tanda infeksi dan terdapat purpura (tanda-tanda infeksi) pada kulit.
Tanda lainnya adalah kebiasaan makan yang menurun dibanding biasanya
dan anak selalu gelisah dan rewel (Depkes 2007).
Gizi buruk dengan gejala klinis yaltu kwarshiorkor, marasmus dan
kombinasi kwarshiorkor-marasmus, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Kwashiorkor
Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki
(dorsum pedis)
Wajah membulat dan sembab
Pandangan mata sayu
Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah
dicabut tanpa rasa sakit, rontok
Perubahan status mental, apatis, dan rewel
Pembesaran hati
Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi
berdiri atau duduk
Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan
berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Sering disertai : penyakit infeksi, umumnya akut, anemia, diare.
Marasmus:
o Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
o Wajah seperti orang tua
o Cengeng, rewel
o Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai
tidak ada (baggy pant/pakai celana longgar)
- Perut cekung
- Iga gambang
o Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) dan
diare kronik atau konstipasi/susah buang air
Marasmik-Kwashiorkor:
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala
klinik Kwashiorkor dan Marasmus, dengan BB/U <-3 SD Z-
Score disertai edema yang tidak mencolok.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan secara antropometri dan biokimia.
Secara antropometri status gizi buruk dapat diukur melalui berat badan dan
tinggi badan anak, umumnya menggunakan indeks berat badan menurut
umur (BB/u) Z-Score dan berat badan menurut tinggi badan (panjang badan)
atau BB/TB-PB Z-Score. Anak diklasifikasikan gizi buruk jika indeks BB/u
Z-Score atau BB/TB-PB Z-Score < -3 SD.
Gambar 2.1. Penentuan Status Gizi Secara Klinis dan Antropometri
Pemeriksaan fisik secara biokimia dilakukan untuk melihat apakah
ada komplikasi dan menentukan keadaan beratnya. Pemeriksaan meliputi
denyut nadi (bila denyut nadi ≥ 25 kali/menit), pernafasan cepat (≥ 40 kali
permenit untuk anak usia 12 bulan ke atas, dan peningkatan pernafasan ≥ 5
kali/menit), suhu/hipotermia (naik/turun secara tiba-tiba dan suhu aksiler
<36,5oC), hipoglikemia (kadar gula darah < 54 mg/dl), capilay refill (bila
perubahan warna putih menjadi merah kembali pada kuku ibu jari yang
ditekan > 3 detik tanda-tanda renjatan, syok), anemia dan lain-lain.
2.3. Mekanisme Monitoring Pertumbuhan Anak
a. Posyandu
Mekanisme monitoring pertumbuhan anak adalah setelah anak
ditimbang maka hasil penimbangannya akan diisikan ke dalam KMS
(Kartu Menuju Sehat). Jika hasil penimbangan menunjukkan bahwa BB/U
kurang dari 60% atau berada pada >-3SD<-2SD maka anak Berat
Badannya Kurang. Namun jika terjadi edema perlu diwaspadai anak
menderita gizi buruk. Bila hasil penimbangan BB/U menunjukkan hasil
kurang dari 60% atau <-3 SD maka tentukan status gizi anak dengan
BB/TB-PB. Jika hasilnya menunjukkan BB/TB
Ibu memperoleh penyuluhan gizi/kesehatan serta demontrasi cara
menyiapkan makanan untuk anak KEP
Kader menganjurkan pada ibu untuk tetap melaksanakan nasehat
yang diberikan tentang gizi dan kesehatan
Kader melakukan kunjungan rumah untuk memantau
perkembangan kesehatan dan gizi anak
b. Puskesmas
Puskesmas menerima rujukan KEP Berat/Gizi buruk dari posyandu
dalam wilayah kerjanya serta pasien pulang dari rawat inap di rumah sakit,
kemudian menyeleksi kasus dengan cara menimbang ulang dan dicek
dengan Tabel BB/U Z-Score WHO-NCHS apabila ternyata berat badan
anak berada di bawah garis merah (BGM) dianjurkan kembali ke
PPG/posyandu untuk mendapatkan PMT pemulihan, apabila anak dengan
KEP berat/gizi buruk (BB < 60% Tabel BB/U Baku Median WHO-NCHS)
tanpa disertai komplikasi, anak dapat dirawat jalan di puskesmas sampai
berat badan nya mulai naik 0,5 Kg selama 2 minggu dan mendapat PMT-P
dari PPG, apabila setelah 2 minggu berat badannya tidak naik, lakukan
pemeriksaan untuk evaluasi mengenai asupan makanan dan kemungkinan
penyakit penyerta, rujuk ke rumah sakit untuk mencari penyebab lain
Anak KEP berat/Gizi Buruk dengan komplikasi serta ada tanda-
tanda kegawatdaruratan segera dirujuk ke rumah sakit umum, tindakan
yang dapat dilakukan di puskesmas pada anak KEP berat/ gizi buruk tanpa
komplikasi :
Memberikan penyuluhan gizi dan konseling diet KEP berat/Gizi
buruk (dilakukan di pojok gizi)
Melakukan pemeriksaan fisik dan pengobatan minimal 1 kali per
minggu
Melakukan evaluasi pertumbuhan berat badan balita gizi buruk
setiap dua minggu sekali
Melakukan peragaan cara menyiapkan makanan untuk KEP
berat/Gizi buruk
Melakukan pencatatan dan pelaporan tentang perkembangan berat
badan dan kemajuan asupan makanan
Untuk keperluan data pemantauan gizi buruk di lapangan,
posyandu, dan puskesmas diperlukan laporan segera jumlah balita
KEP berat/gizi buruk ke Dinas kesehatan kabupaten/kota dalam
24 jam dengan menggunakan formulir W1 dan laporan mingguan
dengan menggunakan formulir W2
Apabila berat badan anak mulai naik, anak dapat dipulangkan dan
dirujuk ke posyandu/PPG serta dianjurkan untuk pemantauan kesehatan
setiap bulan sekali. Petugas kesehatan memberikan bimbingan terhadap
kader untuk melakukan pemantauan keadaan balita pada saat kunjungan
rumah.
Gambar 2.2. Alur Pemeriksaan Anak Gizi Buruk
2.4. Prinsip Penanganan
Dalam proses penangnan KEP berat/Gizi buruk terdapat 3 fase yaitu fase
stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil
memilih langkah mana yang sesuai untuk setiap fase. tata laksana ini digunakan
pada pasien Kwashiorkor, Marasmus maupun Marasmik-Kwashiorkor.
Pada KEP berat/gizi buruk terjadi keterlambatan perkembangan mental dan
perilaku, karenanya stimulasi harus diberikan dengan cara :
Kasih sayang
Ciptakan lingkungan yang menyenangkan
Lakukan terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari
Rencanakan aktifitas fisik segera setelah sembuh
Tingkatkan keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan,
bermain dan sebagainya)
Gambar 2.3. Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk
Bila berat badan anak berada di garis warna kuning anak dapat dirawat di
rumah dan dipantau oleh tenaga kesehatan puskesmas atau bidan di desa. Pola
pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap diberikan dirumah dan ikuti
pemberian makanan seperti pada lampiran 5, dan aktifitas bermain.
Kader Posyandu yang pernah dilatih sebelumnya tentang penilaian anak
gizi buruk, pencatatan dan tatalaksana diet untuk balita gizi buruk berdasarkan
Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk Depkes 2007 dapat melakukan
penanganan awal pada anak yang mulai terdeteksi KEP ringan. Kader Posyandu
dapat menjaring anak yang berisiko mengalami gizi buruk serta menetapkan
penanggulangannya dan menangani jika terdapat anak balita gizi buruk (tanpa
edema) lebih cepat agar balita tersebut tidak jatuh lebih parah.
2.5. Makanan untuk Pemulihan Gizi
a. Prinsip
1) Makanan untuk Pemulihan Gizi adalah makanan pada energi yang
diperkaya dengan vitamin dan mineral.
2) Makanan untuk Pemulihan Gizi diberikan kepada anak gizi buruk selama
masa pemulihan.
3) Makanan untuk Pemulihan Gizi dapat berupa: F100, makanan
therapeutic/gizi siap saji dan makanan lokal. Makanan lokal dengan
bentuk mulai dari makanan bentuk cair, lumat, lembik, padat.
4) Bahan dasar utama Makanan Untuk Pemulihan Gizi dalam formula F100
dan makanan gizi siap saji (therapeutic feeding) adalah minyak, susu,
tepung, gula, kacangkacangan dan sumber hewani. Kandungan lemak
sebagai sumber energi sebesar 30-60 % dari total kalori.
5) Makanan lokal dengan kalori 200 kkal/Kg BB per hari, yang diperoleh
dari lemak 30-60% dari total energi, protein 4-6 g/Kg BB per hari.
6) Apabila akan menggunakan makanan lokal tidak dilakukan secara tunggal
(makanan lokal saja) tetapi harus dikombinasikan dengan makanan
formula.
Tabel 2.1. Kebutuhan Gizi Menurut Fase Pemberian Makan
FASE
STABILISASI TRANSISI REHABILITASI
Energi 100 Kkal/kgbb/hr 150 Kkal/kgbb/hr
150-200 Kkal/kgbb/hr
Protein 1-1,5 g/kgbb/hr 2-3 g/kgbb/hr 4-6 g/kgbb/hrVitamin A Lihat langkah 6 Lihat langkah 6 Lihat langkah 6Asam Folat Idem Idem IdemZink Idem Idem IdemCuprum Idem Idem IdemFe Idem Idem IdemCairan 130 ml/Kgbb/hr
atau 100 ml/kgbb/hr bila ada edema
150 ml/Kgbb/hr 150-200 ml/Kgbb/hr
b. Jumlah dan Frekuensi
Makanan untuk Pemulihan Gizi bukan makanan biasa tetapi merupakan
makanan khusus untuk pemulihan gizi anak yang diberikan secara bertahap:
1) Anak gizi buruk dengan tanda klinis diberikan secara bertahap:
Fase rehabilitasi awal 150 kkal/kg BB per hari, yang diberikan 5-7
kali pemberian/hari. Diberikan selama satu minggu dalam bentuk
makanan cair (Formula 100).
Fase rehabilitasi lanjutan 200-220 kkal/kg BB per hari, yang
diberikan 5-7 kali pemberian/hari (Formula 100).
2) Anak gizi buruk tanpa tanda klinis langsung diberikan fase rehabilitasi
lanjutan 200-220 kkal/kg BB per hari, yang diberikan 5-7 kali
pemberian/hari (Formula 100).
Rehabilitasi lanjutan diberikan selama 5 minggu dengan pemberian
makanan secara bertahap dengan mengurangi frekuensi makanan cair dan
menambah frekuensi makanan padat.
Contoh Frekuensi Pemberian Makanan per hari
Gambar 2.4. Anak Gizi Buruk Tanpa Tanda Klinis
Gambar 2.5. Anak Gizi Buruk dengan Tanda Klinis
Catatan :
Bila berat badan anak < 7 Kg ; diberikan makanan bayi (lumat)
Bila berat badan anak > 7 Kg ; diberikan makanan anak (lunak)
1. Pemberian makanan rehabilitasi lanjutan dapat diteruskan bila kondisi
anak gizi buruk masih memerlukan makanan formula.
2. Bagi anak yang status gizinya pulih (≥ -2 SD) maka berangsur menuju ke
makanan anak sehat sesuai dengan anjuran makan menurut kelompok
umur (besar porsi, macam makanan, frekuensi pemberian).
3. Cara pemberian
Makanan untuk Pemulihan Gizi diberikan sesuai anjuran petugas
kesehatan. Cara Pemberian Makanan untuk Pemulihan Gizi kepada anak di
rumah:
Sebelum menyiapkan makanan, cucilah tangan dengan sabun.
Berikan makanan kepada anak dengan memperhatikan jarak waktu
makan.
Usahakan makanan tersebut dihabiskan sesuai dengan porsi yang
ditentukan.
Berikan makanan dalam bentuk cair dengan menggunakan gelas,
hindari menggunakan botol atau dot.
4. Cara penyimpanan
Makanan untuk Pemulihan Gizi dalam bentuk cair (Formula 100)
harus segera diberikan dan dihabiskan. Makanan dalam bentuk cair
tersebut hanya dapat disimpan dalam suhu ruang maksimal 2 jam.
Makanan untuk Pemulihan Gizi dalam bentuk kering yang diracik
secara terpisah oleh tenaga kesehatan Puskesmas dapat disimpan
maksimal 7 hari, dan disimpan di tempat yang sejuk dan kering,
aman, tertutup dan terhindar dari bahan cemaran dan binatang
pengganggu (semut, tikus, kecoa, cicak, kucing, anjing, unggas, dll).
Makanan untuk Pemulihan Gizi dalam kemasan agar diperhatikan
masa kadaluarsa yang terdapat pada kemasan.
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Hubungan yang diteliti
: Hubungan yang tidak diteliti
BAB IV
METODE PENELITIAN
KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI KELUARGA :
Umur orang tua Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Besar keluarga Pendapatan keluarga
PELAYANAN KESEHATAN SETEMPAT
KARAKTERISTIK BALITA :
Umur balita Jenis
kelamin
POLA ASUH :
Pemberian makan Hidup sehat Akses pelayanan
dasar
KONDISI LINGKUNGAN
MORBIDITAS/ PENYAKIT
INTAKE MAKANAN (PMT)
STATUS GIZI BALITA
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis eksperimental dengan menggunakan
One Group Before And After Design. Penelitian ini dilakukan dengan cara
memberikan makanan tambahan kepada balita gizi buruk berupa makanan lokal
dan snack yang telah ditentukan menunya selama 3 bulan dan dimasak oleh kader.
Penelitian ini bertujuan agar kader dapat mendampingi ibu penderita gizi buruk
dalam pemberian makanan sehingga dapat meningkatkan status gizi balita. Status
gizi balita dibandingkan sebelum dan setelah intervensi PMT.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sumberasih yang
terdapat balita gizi buruk, yakni desa Laweyan, desa Sumurmati, dan desa
Ambulu. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, yakni mulai tanggal 6 Juli 2015
sampai tanggal 6 September 2015.
4.3 Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah semua balita gizi buruk yang berumur 11-24
bulan yang berada di wilayah kecamatan Sumberasih. Berdasarkan hasil temuan
di lapangan, didapatkan 6 balita gizi buruk, yakni 1 balita di desa Laweyan, 2
balita di desa Sumurmati, dan 3 balita di desa Ambulu.
4.4 Variabel Penelitian
Status gizi balita sebelum intervensi
Status gizi balita setelah intervensi
4.5 Instrumen Penelitian
Instrument penelitian ini berupa kuesioner dan timbangan berat badan,
ditimbang menggunakan dacin dengan ketelitian 0,1 kg.
4.6 Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekuder. Pengumpulan data primer dilaksanakan melalui wawancara secara
langsung dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Adapun data primer yang
dikumpulkan meliputi data karakteristik keluarga (umur orang tua, pendidikan
orang tua, pekerjaan orang tua, besar keluarga), karakteristik balita (umur balita,
jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan balita), dan status gizi balita. Adapun
data status gizi diperoleh dengan cara antropometri yaitu mengukur berat badan
dan tinggi badan balita. Kader juga melakukan pencatatan jumlah PMT yang
dikonsumsi balita dan sisa makanan setiap harinya.
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari laporan tahunan
Puskesmas Sumberasih berupa data mengenai tingginya jumlah balita yang
menderita gizi buruk di wilayah Kecamatan Sumberasih.
4.7 Pengolahan Data
Data berat badan yang diperoleh dari pengukuran berat badan (BB) diolah
dengan menggunakan langkah – langkah sebagai berikut : editing, coding, entry
data dan cleaning data (menggunakan SPSS).
4.8 Analisis Data
Analisis univariat digunakan untuk mengetahui karakteristik dari variabel
penelitian, disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif yaitu
presentase. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh pemberian
makanan tambahan terhadap perubahan berat badan sebelum dan setelah
intervensi. Karena jenis datanya adalah data kategorik (rasio) diuji dengan uji
Paired t-test.
KUESIONER MINI PROYEK
PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN (PMT)TERHADAP PERUBAHAN BERAT BADAN BALITA GIZI BURUK
USIA 11–24 BULAN MELALUI KEGIATAN MITRA GIZI KELUARGA DI KECAMATAN SUMBERASIH, KABUPATEN PROBOLINGGO
A. KETERANGAN RUMAH TANGGA
1 Nama kepala rumah tangga:
2 Banyaknya anggota rumah tangga:
3 Nama Ayah :
4 Nama Ibu :
5 Umur Ayah/Ibu
/ tahun
6Pendidikan Ayah/ibu
/
7a Pekerjaan Ayah :
7b Pekerjaan Ibu :
Pengukuran Antropometri dan Pemeriksaan Ciri-ciri fisik tubuh
1. Nama Anak :
2. Tanggal Lahir :
3. Tanggal Pengukuran :
4. Umur Anak : Tanggal pengukuran – tanggal lahir (bulan)
5. Jenis Kelamin Anak :
6. Berat Badan Anak :
7. Panjang/Tinggi badan anak :
1=Tdk pernah sekolah; 2= Kejar paket ; 3=Tdk tamat SD; 4=Tamat SD; 5=SMP; 6=SMA; 7= PT/Akademi
8:
Ciri-ciri Fisik :
a. Rambut ________________________________________________b. Mata ______________________________________________c. Muka (secara keseluruhan) _____________________________d. Bibir _____________________________________e. Lidah ____________________________________f. Kulit _____________________________________g. Kuku _____________________________________h. Tubuh ____________________________________