bab i
DESCRIPTION
bab 1 tonsilitisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. 1
Jaringan limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali digambarkan
anatominya oleh Heinrich von Waldeyer, seorang ahli anatomi Jerman.
Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-
kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah
mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius
(tonsil Gerlach’s).1
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius
(lateral band dinding faring atau Gerlach’s tonsil). Tonsilitis merupakan
inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel. Tonsilektomi
adalah pengangkatan tonsil dan struktur adenoid, bagian jaringan limfoid yang
mengelilingi faring melalui pembedahan.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Tonsillitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Tonsil hampir selalu diartikan sebagai tonsil pa;atina.
Tonsillitis akut merupakan infeksi tonsil yang sifatnya akut, sedangkan
tonsillitis kronik merupakan tonsillitis yang terjadi berulang kali (kronik).1,2,3
2.2. EPIDEMIOLOGI
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, meskipun jarang terjadi
pada anak-anak usia kurang dari dua tahun. Tonsillitis akibat infeksi
Sterptokokus secara khusus terjadi pada anaak-anak usia 6-15 tahun. Kasus
terbanyak ditemukan pada anak-anak usia sekolah, yang berkontak dengan
anak lain yang menderita tonsillitis akibat bakteri maupun virus.1,3,4
2.3 ANATOMI & FISIOLOGI TONSIL
a. Embriologi
Pembentukan tonsil berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang
melapisi kantong faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong
faringeal kedua diserap dan bagian dorsal menetap kemudian menjadi
epitel tonsil. Pilar tonsil dibentuk dari arkus brakial ke-2 dan ke-3. Secara
nyata perkembangan tonsil terlihat pada usia 14 minggu kehamilan
dengan terjadinya infiltrasi sel-sel limfatik ke dalam mesenkim di bawah
mukosa yang dibentuk di dalam fossa tonsil. Pembentukan kripta tonsil
terjadi pada usia 12-18 minggu kehamilan. Kapsul dan jaringan ikat lain
tonsil terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu dengan demikian
terbentuk massa jaringan tonsil. Secara histology tonsil mengandung 3
unsur utama yaitu jaringan ikat atau trabekula sebagai rangka penunjang
pembuluh darah, saraf dan limfa, folikel germinativum sebagai pusat
pembentukan sel limfoid muda serta jaringan interfolikel jaringan limfoid
dari berbagai stadium.3
2
b. Anatomi
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi
faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal
(adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral
faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa
Rosenmuller, di bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat
orifisium tuba eustachius. 5
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terdapat
di dalam faring, diliputi epitel skuamosa dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsila
faringeal (adenoid), tonsila palatina (tonsil faucium), dan tonsila lingualis
yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.5
Dalam pengertian sehari-hari yang dimaksud dengan tonsil adalah
tonsila palatina, sedang tonsila faringeal lebih dikenal sebagai adenoid.
Untuk kepentingan klinis, faring dibagi menjadi 3 bagian utama:
nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Satu pertiga bagian atas atau
nasofaring adalah bagian pernafasan dari faring dan tidak dapat bergerak
kecuali palatum molle bagian bawah. Bagian tengah faring disebut
orofaring, meluas dari batas bawah palatum molle sampai permukaan
lingual epiglotis. Bagian bawah faring dikenal dengan nama hipofaring
atau laringofaring, menunjukkan daerah jalan nafas bagian atas yang
terpisah dari saluran pencernaan bagian atas.5
Gambar 1 . Anatomi Faring dan Tonsil (Snow, 2003)
3
Pada orofaring yang disebut juga mesofaring, terdapat cincin
jaringan limfoid yang melingkar dikenal dengan Cincin Waldeyer, terdiri
dari Tonsila pharingeal (adenoid), Tonsila palatina, dan Tonsila
lingualis.5
Gambar 2. Letak Tonsil Faringeal (adenoid), Tonsil Palatina dan Tonsil
Lingual
Vaskularisasi
Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang a. karotis eksterna, yaitu1:
1) a. maksilaris eksterna (a.fasialis); cabangnya a. tonsilaris dan a.
palatine asendens
2) a. maksilaris interna; cabangnya a. palatina desendens
3) a. lingualis; cabangnya a. lingualis dorsalis
4) a. faringeal asendens
Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil3:
1) Anterior: a. lingualis dorsal
2) Posterior: a. palatine asenden
3) Diantara keduanya: a. tonsilaris
4
Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil3:
1) a. faringeal asenden
2) a. palatina desenden
Gambar 3. Sistem perdarahan tonsil palatina (Pulungan, 2005)
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor
superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri
palatina asenden, mengirimkan cabang melalui m. konstriktor posterior
menuju tonsil. Arteri faringeal asendens juga memberikan cabangnya ke
tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal
naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior,
dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau arteri palatina posterior
member vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk
anostomosis dengan a. palatina asendens. Kutub bawah tonsil bagian
anterior (a. lingualis dorsal) dan bagian posterior (a. palatine asenden),
5
diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh a. tonsilaris. Kutub atas
tonsil diperdarahi oleh a. faringeal asendens dan a. palatina desendens.1,5
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena disekitar kapsul
tonsil, vena lidah, dan pleksus faringeal.3,4
Aliran getah bening menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugularis node). Bagian superior dibawah m.
sternokleidomasteideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya
menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah
bening eferen sedangkan pembuluh darah getah bening aferen tidak ada.3,4
Innervasi
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke v melalui
ganglion sfenoplatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus (saraf
IX).3,4
c. Histologi
Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan
ikat atau trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan
limfa), folikel germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid
muda) serta jaringan interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium).7
d. Fisiologi & Imunologi
Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan
sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.8
Sewaktu baru lahir tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum
germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis,
barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yamg pada
6
permulaan kehidupan masa kanak-kanak dianggap normal dan dipakai
sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sebelum
masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses
involusi.4
Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M
(sel membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin
spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel
pembawa IgG. Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel
limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%.8
Terdapat 2 bentuk mekanisme pertahanan tubuh, yaitu :
1. Mekanisme pertahanan non spesifik
Berupa kemampuan sel limfoid untuk menghancurkan
mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa tonsil sangat
tipis sehingga menjadi tempat yang lemah terhadap masuknya kuman
ke dalam jaringan tonsil. Dengan masuknya kuman ke dalam lapisan
mukosa, maka kuman ini akan ditangkap oleh sel fagosit, dalam hal ini
adalah elemen tonsil. Selanjutnya sel fagosit akan membunuh kuman
dengan proses oksidasi dan digesti.8
2. Mekanisme pertahanan spesifik
Merupakan mekanisme pertahanan yang penting dalam mekanisme
pertahanan tubuh terhadap udaran pernafasan sebelum masuk ke dalam
saluran nafas bawah. Tonsil dapat memproduksi IgA yang akan
menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen.
Disamping itu, tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan IgE yang
berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel
tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu
histamin. Sel basofil yang terutama adalah sel basofil dalam sirkulasi
(sel basofil mononuklear) dan sel basofil dalam jaringan (sel
mastosit).8
7
Bila ada alergen, maka alergen tersebut akan bereaksi dengan IgE
sehingga permukaan sel membrannya terangsang dan terjadilah proses
degranulasi. Proses ini akan menyebabkan keluarnya histamin
sehingga timbul reaksi hipersensitivitas tipe 1, yaitu atopi, anafilaksis,
urtikaria, dan angioedema.8
Dengan teknik immunoperoksida, dapat diketahui bahwa IgE
dihasilkan dari plasma sel terutama dari epitel yang menutupi
permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil. Sedangkan mekanisme
kerja IgA, bukanlah menghancurkan antigen akan tetapi mencegah
substansi tersebut masuk ke dalam proses imunologi, sehingga dalam
proses netralisasi dari infeksi virus, IgA mencegah terjadinya penyakit
autoimun. Oleh karena itu, IgA merupakan barier untuk mencegah
reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.8
2.4 KLASIFIKASI
Macam-macam tonsillitis
1. Tonsillitis akut
Dibagi lagi menjadi 2, yaitu :
a. Tonsilitis viral
Ini lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.
Penyebab paling tersering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus
influenza merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. Jika terjadi
infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan
tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri
dirasakan pasien1
b. Tonsilitis Bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptococcus beta
hemoliticus yang dikenal sebagai strept throat,pneumococcus,
streptococcus viridian dan streptococcus piogenes. Infiltrasi bakteri
pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang
berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk
detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati
8
dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus
tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.1
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk
alur-alur maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini juga
dapat melebar sehingga terbentuk semacam membrane semu
(pseudomembran yang menutupi tonsil).1
Masa inkubasi 2-4 hari. Gejalan dan tanda yang sering ditemukan
adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu
tubuh tang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu
makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Pada pemeriksaan tampak
tonsil yang membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk
folikel, lacuna atau tertutup oleh membrane semu. Kelenjar
submandibula membengkak dan nyeri tekan.
Gambar 4. Perbedaan Tonsilitis bakterial dan viral
2. Tonsilitis membranosa
a. Tonsilitis Difteri
Penyebabnya yaitu oleh kuman Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran napas bagian
atas yaitu hidung, faring dan laring. Tonsillitis difteri sering ditemukan
9
pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada
usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita
penyakit ini.1
Gejala klinik terbagi dalam tiga golongan yaitu: umu, local, dan
gejala akibat eksootoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi
lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyei kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri
menelan. Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluaas dan bersatu
membentuk membran semu (pseudomembran) yang melekat erat pada
dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Jjika infeksinya
berjalan terus, kelenjar linfa leher akan membengkak sedemikian
besarnya sehingga lehernya menyerupai leher sapi (Bull neck). Gejala
akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu
pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cardio,
pada saraf cranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan
otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria1,2
Gambar 5. Tonsilitis Difteri
b. Tonsilitis Septik
Penyebab Streptococcus hemoliticus yang terdapat dalam susu sapi
sehingga menimbulkan epidemi. Oleh karena di Indonesia susu sapi
dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum maka
penyakit ini jarang ditemukan.1
c. Angina Plout Vincent
10
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema
yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan
defisiensi vitamin C. Gejala berupa demam sampai 39° C, nyeri kepala
,badan lemah dan kadang gangguan pecernaan. Rasa nyeri di mulut,
hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.1
d. Penyakit kelainan darah
- Leukemia akut1
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di
mukosa mulut, gusi dan dibawah kulit sehingga kulit tampak
bercak kebiruan. Tonsil membengkak ditutupi membrane semu
tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang hebat di tenggorok.
- Angina agranulositosis1
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan
amidopirin, sulfa dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di
mukosa mulut dan faring serta disekitar ulkus tampak gejala
radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran
cerna.
- Infeksi mononukleosis1
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa
bilateral. Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat
tanpa timbul perdarahan. Terdapat pembesaran kelenjar limfa
leher, ketiak dan regioinguinal. Gambaran darah khas yaitu
terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas
yang lain ialah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi
terhadap sel darah merah domba (Paul Bunnel).
3. Tonsilitis kronik
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca kelemahan fisik dan pengobatan tonsilitis yang tidak
adekuat kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-
kadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif.1
11
Karena proses radang berulang yang timbul maka seain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehinga pada proses penyebuhan
jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula.1
Gambar 6. Tonsilitis Kronik
2.5 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya
secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu
melalui mulut masuk bersama makanan.1,10,11
Beberapa organism dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk
bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita
tonsillitis kronis jumlah kuman yang paling sering adalah Streptococcus Beta
Hemolitikus group A (SBGHA). Streptokokus grup A adalah flora normal
pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi infeksius yang
memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan
Haemophillus influenza, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan
Morexella catarrhalis.10,11
12
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis
Kronis yaitu Streptococcus aureus, Streptococcus beta Hemolitikus group A,
Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negative berupa enterobacter,
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E.Coli.10,11
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan
yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab
penting dari infeksi virus adalah adenovirus, Influenza A, dan Herpes
simpleks (pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan
Coxackievirus A,yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada
tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononucleosis, dapat
menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibbatkan
obstruksi jalan nafas yang akut. Infeksi jamur Candida Sp tidak jarang terjadi
khususnya di kalangan bayi atau pada anak-anak dengan
immunocompromised.10,11
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana
kuman meninfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil
mennyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi)
dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya
pada saat keadaan umum tubuh menurun.10,11
Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid siperkistal bereaksi dimana
terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Karena proses/radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
sehingga kripte melebar. Secara klinis kripte ini akan tampak diisi oleh
dendrites (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang
menutupi kripte berupa eksudat yang berwarna kekuning-kuningan). Proses
ini terus meluas hingga menembus kapsul sehingga terjadi perlekatan dengan
jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak, proses ini akan disertai
dengan pembesaran kelenjar submandibula.1,2
13
2.6 GEJALA KLINIS
Gejala klinis tonsilitis akut maupun kronik dapat ditemukan adanya nyeri
tenggorok, dimana pada tonsillitis kronik didahului gejala tonsillitis akut
seperti nyeri tenggorok yang tidak hilang sempurna, adapun gejala pada
tonsillitis akut ditandai dengan nyeri tenggorok, nyeri menlan, demam, dan
malaise. Halitosis akibat debris yang tertahan didalam kripta tonsil, yang
kemudian dapat menjadi sumber infeksi berikutnya.1,2
Apabila terjadi peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer, maka dapat terjadi pembesaran tonsil, berikut pembagian
menurut Thane & Cody :
T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior-
uvula
T2 : batas medial tonsil melewati ¼ pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar
anterior-uvula
T3 : batas medial tonsil melewati ½ pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar
anterior-uvula
T4 : batas medial tonsil melewati ¾ pilar anterior-uvula sampai uvula atau
lebih.
Gambar 7. Pembesaran Tonsil
Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi sehingga
timbul gangguan menelan, obstruksi sleep apnue dan gangguan suara. Pada
14
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar dalam berbagai
ukuran, dengan pembuluh darah yang dilatasi pada permukaan tonsil,
arsitektur kripta yang rusak seperti sikatrik, eksudat pada kripta tonsil dan
sikatrik pada pilar.1,2
2.7 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada anamnesis akan didapatkan riwayat:
Adanya rasa yang mengganjal di tenggorokan
Adanya rasa kering dan nyeri di tenggorok
Adanya rasa nyeri sewaktu menelan
Nafas/mulut yang berbau
Demam, kadang disertai malaise
Nafsu makan menurun
Serangan tonsilitis akut yang berulang
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik di daerah orofaring akan didapatkan:
Tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, hipetrofi, dan
jaringan parut.
Kriptus juga dapat melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus.
Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat
diperlihatkan pada kripta-kripta tersebut.
Pilar/plika anterior hiperemis
Inflamasi pada dinding faring
Terkadang uvula akan kelihatan edem dan inflamasi
Adanya perlekatan tonsil ke jaringan sekitar
Adanya pembesaran KGB submandibula pada anak-anak.
3. Pemeriksaan penunjang
Uji kultur dan resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil.
Biakan swab. Sering menghasilkan derajat keganasan yang rendah.
Kuman penyebabnya antara lain adalah Streptotokus Hemolitikus,
Streptotokus Viridans, Stafilokokus atau Pneumokokus.
15
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, alergi, trauma dan toksin. Infeksi bakteri dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini
melepaskan tokin ekstraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik,
kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi
glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen antibodi.2,10,11
Gejala klinis secara umum pada faringitis berupa demam, nyeri
tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan tampak
tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat
dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak peteki pada
palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal dan nyeri
pada penekanan.2,10,11
Hipertrofi Adenoid
Adenoid adalah massa yang terdiri dari jarongan limfoid yang
terletak pada dinding posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian
cincin waldeyer. Secara fisiologik adenoid ini membesar pada anak usia 3
tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14
tahun. Bilea sering terjadi infeksi saluran napas bagian atas maka akan
terjadi hipertrofi adenoid. Akibat dari hipertrofi ini akan timbul sumbatan
koana dan tuba eustachi. Akibat sumbatan di koana pasien akan bernapas
melalui mulut. Akibat sumbatan tuba eustachi akan terjadi otitis media
akut berulang, otitis media kronik, daan akhirnya dapat terjadi otitis media
supuratif kronik. 2,10,11
Tumor Tonsil
Neoplasma bukanlah penyebab dari tonsillitis akut maupun kronik,
tetapi seringkali menjadi penanda akan adanya etiologi infeksi. Pasien
yang mendapat penanganan faringitis infeksi yang tidak membaik, perlu
dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya neoplasma. Gejala
umum dari tumor tonsil antara lain, nyeri tonsil unilateral, disfagia,
odinofagia, penurunan berat badan dan otalgia.
16
Pada pemeriksaan fisis, massa faring yang asimetris adalah
karakteristik penemuan yang memerlukan pemeriksaaan lebih lanjut.
Massa tersebut bias ulseratif, ditutupi oleh mukosa fungi dan hanya dapat
dideteksi dengan palpasi. Factor risiko meliputi penggunaan tambakau dan
alcohol. Human papilloma virus juga menjadi etiologinya pada sebagian
kecil kasus. Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan
dengan nyeri tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti
berdasarkan pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur, x-ray dan
biopsi.
2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tonsillitis terdiri atas terapi medikamentosa dan
operatif, yakni:
1. Medikamentosa1,2,12
Terapi medikamentosa diterapi sesuai dengan penyebabnya. Pada
tonsillitis viral dilakukan penatalaksanaan berupa istirahat, minum yang
cukup, analgetika, dan obat antiviral jika menunjukkan gejala yang berat.
Pada tonsillitis bacterial diberikan obat antibiotic spectrum luas
penisilin, eritromisin, antipiretik dan obat kumur yang mengandung
desinfektan. Pada tonsillitis difteri diberikan Anti Difteri Serum (ADS)
diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000-
100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit. Antibiotika
penisilin atau eritromisin 25-50mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama 14
hari. Kortikosteroid 1,2mg/kgBB/hari, antipiretik untuk simptomatis.
Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus di
tempat tidur selama 2-3 minggu. Pada Angina Plaut Vincent (stomatitis
ulsero membranosa) antibiotika spektrum lebar selama 1 minggu,
memperbaiki hygiene mulut, vitamin C dan vitamin B kompleks.
2. Operatif2,12
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang terdapat perbedaan prioritas
relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu
tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang.
17
Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi
tonsil
Indikasi Absolut :2,12
o Tonsil yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernafasan, nyeri
telan yang berat, gangguan tidur atau komplikasi penyakit-penyakit
kardiopulmonal.
o Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan pengobatan
o Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam.
o Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk
menentukan gambaran patologis jaringan.
Indikasi Relatif :
o Jika mengalami tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak
menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan
medikamentosa yang memadai.
o Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada tonsillitis
kronis yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan.
o Tonsillitis kronis atau berulang yang diduga sebagai carrier kuman
Streptokokus yang tidak menunjukkan repon positif terhadap
pengobatan dengan antibiotika.
o Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai
berhubungan dengan keganasan (neoplastik)
Kontraindikasi Tonsilektomi :2,12
1. Gangguan perdarahan
2. Penyakit paru-paru
3. Infeksi akut yang berat
4. Risiko anastesi yang besar atau berat.
Adapun Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology-
Head and Neck Surgery (AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi
terbagi menjadi.1
18
o Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
o Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
o Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara dan
corpulmonale.
o Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
o Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
o Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bekteri grup A streptococcus
beta hemoliticus.
o Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
o Otitis media efusa/ otitis media supuratif.
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan
pada abad 1 masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan
jari tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan
saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.2,12
a) Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag.
Tonsil dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi
pada membrane mucus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau
gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan dengan
menggunakan senar untuk mengangkat tonsil.
b) Guillotine: teknik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat
dilakukan bila tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh
infeksi berulang.
c) Elektrokauter: kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat
digunakan pada teknik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya
perdarahan, tetapi dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.
19
d) Laser tonsilektomi: diindikasikan pada penderia gangguan koagulasi.
Teknik yang dilakukan sama dengan yang dilakukan pada teknik
diseksi.
2.10 KOMPLIKASI2,12
1. Abses peritonsi l
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan
otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada
penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang
bermakna, odinofagi yang berat, dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan
melakukan aspirasi abses.
2. Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring
sehingga menonjol ke arah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi
servikal.
3. Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya
diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai
nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan
merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase
abses jika diperlukan, selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
4. Tonsilitis kronis dengan serangan akut
Biasanya terjadi karena tatalaksana tonsilitis akut yang tidak adekuat. Infeksi
kronis dapat terjadi pada folikel limfoid tonsil dalam bentuk mikroabses.
5. Otitis Media Akut
Serangan berulang otitis media akut berkaitan erat dengan serangan berulang
dari tonsilitis akibat infeksi yang menjalar melalui tuba eustachius.
6. Tonsilolith (kalkulus tonsil )
Tonsilolith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade
oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium
20
kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat
membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil.
Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak
nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah
dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata
pada perabaan.
7. Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran
kekuningan di atas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat
dengan mudah didrainasi.
8. Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis.
Anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis
dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus
pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring.
Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa
terjadinya penyakit Glomerulonefritis
2.11.PROGNOSIS2,12
Tonsilitis biasanya dapat sembuh dalam waktu beberapa hari dengan
beristirahat dan pengobatan suportif. Penanganan gejala klinis
dapat membuat penderita Tonsilitis lebih nyaman bila antibiotika diberikan
untuk mengatasi infeksi. Antibiotik tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan
demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami
perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya.
Infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-
kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti
demam rematik atau pneumonia
21
BAB III
KESIMPULAN
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.
Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur
yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding
posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.
Macam-macam tonsillitis yaitu : tonsillitis akut (tonsilitis viral dan
tonsilitis bakterial); tonsilitis membranosa (tonsilitis difteri, tonsilitis septik dan
Angina Plout Vincent); dan Tonsilitis kronik.
Gejala tonsillitis antara lain : pasien mengeluh ada penghalang di
tenggorokan, tenggorokan terasa kering, pernafasan bau, pada pemeriksaan tonsil
membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus membesar dan terisi detritus,
tidak nafsu makan, mudah lelah, nyeri abdomen, pucat, letargi, nyeri kepala,
disfagia (sakit saat menelan), mual dan muntah.
Penatalaksanaan tonsillitis akut antara lain dengan antibiotik golongan
penisilin atau diberikan eritromisin. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah
infeksi sekunder, kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan obat
simptomatik. Penatalaksanaan tonsillitis kronik antara lain: terapi lokal untuk
hygiene mulut dengan obat kumur/hisap, terapi radikal dengan tonsilektomi bila
terapi medikamentosa atau terapi konservatif tidak berhasil.
Komplikasi tonsillitis akut dan kronik yang dapat terjadi yaitu abses
peritonsil,otitis media akut, mastoiditis akut, laringitis, sinusitis dan rhinitis
22