bab ii

46
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Menurut International Association for the Study of Pain (IASP) nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang subyektif dan tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadi terjadinya kerusakan. (International Association for the Study of Pain. 2012. IASP Taxonomy. www.iasp-pain.org . (diakses tanggal 26 Juni 2015)) Menurut British Pain Society nyeri adalah pengalaman emosional yang terjadi di otak tidak seperti sentuhan, rasa, penglihatan, penciuman, ataupun pendengaran, yang merupakan suatu pertanda adanya kerusakan potensial yang terjadi dalam tubuh. (British Pain Society. 2015. Useful Definitions and Glossary. www.britishpainsociety.org. (diakses tanggal 26 Juni 2015) 2.2. Klasifikasi Nyeri Nyeri di klasifikasikan berdasarkan lokasi, durasi, frekuensi, penyebab, dan intensitas. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 2.2.1. Nyeri Berdasarkan Lokasi

Upload: septyan-putra-yusandy

Post on 13-Sep-2015

217 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

referat nyeri

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. DefinisiMenurut International Association for the Study of Pain (IASP) nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang subyektif dan tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadi terjadinya kerusakan. (International Association for the Study of Pain. 2012. IASP Taxonomy. www.iasp-pain.org. (diakses tanggal 26 Juni 2015))Menurut British Pain Society nyeri adalah pengalaman emosional yang terjadi di otak tidak seperti sentuhan, rasa, penglihatan, penciuman, ataupun pendengaran, yang merupakan suatu pertanda adanya kerusakan potensial yang terjadi dalam tubuh. (British Pain Society. 2015. Useful Definitions and Glossary. www.britishpainsociety.org. (diakses tanggal 26 Juni 2015)

2.2. Klasifikasi NyeriNyeri di klasifikasikan berdasarkan lokasi, durasi, frekuensi, penyebab, dan intensitas. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:2.2.1. Nyeri Berdasarkan LokasiNyeri sering diklasifikasikan berdasarkan lokasi dari tubuh. Ada dua skema yang tumpang tindih mengenai nyeri berdasarkan sistem atau anatomi tubuh. Skema yang pertama mengklasifikasikan nyeri dilihat dari perspektif regional ( contoh, nyeri punggung, sakit kepala, nyeri panggul). Sedangkan skema yang lain mengklasifikasikan nyeri dilihat dari sistem tubuh (contoh muskuloskeletal, neurologis, vaskular). Namun, dua skema ini hanya mengarahkan nyeri menjadi satu dimensi (yaitu, dimana atau mengapa pasien menjadi sakit) dan hal ini mempersulit dalam hal penentuan masalah neurofisiologis yang mendasari masalah tersebut.

2.2.2. Nyeri Berdasarkan DurasiNyeri diklasifikasi menjadi 3 jenis jika berdasarkan durasi nyeri, yaitu nyeri akut, nyeri sub-akut, dan nyeri kronik. Nyeri akut merupakan nyeri yang durasinya terjadi kurang dari 1 bulan serta mempunyai tujuan protektif seperti untuk memperingatkan bahaya ataupun sebagai tanda batas menggunakan bagian tubuh yang terluka atau sakit, contoh dari nyeri ini adalah nyeri pasca operasi. Sedangkan nyeri sub-akut didefinisikan sebagai nyeri yang durasinya terjadi lebih dari 1 bulan dan kurang dari 6 bulan. Selanjutnya, nyeri kronik merupakan nyeri yang durasinya lebih dari 6 bulan dan berdasarkan etiologinya nyeri kronik dapat dibedakan menjadi nyeri yang tidak berhubungan dengan kanker (benign/non-malignant pain) dan nyeri yang berhubungan dengan kanker (malignant cancer). Selain dari 3 diatas, ada satu klasifikasi nyeri lagi yaitu nyeri akut berulang yang merupakan rasa nyeri yang memiliki pola dan menetap beberapa waktu yang terjadi karena episode nyeri yang terisolasi, contoh dari tipe nyeri ini terjadi pada kondisi sakit kepala, gangguan motilitas gastrointestinal, penyakit sendi degeneratif, gangguan vaskular dan kolagen. Nyeri akut dan sub-akut harus diketahui dan ditatalaksana secepat mungkin karena memerlukan penatalaksanaan yang berbeda jika sudah menjadi nyeri kronik ataupun nyeri akut yang berulang. Untuk nyeri kronik dan nyeri akut berulang selain pengobatan dibutuhkan juga upaya rehabilitasi agar lebih efektif.

2.2.3. Nyeri Berdasarkan Penyebabnya Nyeri dibagi menjadi 4 berdasarkan penyebabnya yaitu nyeri somatik, viseral, neuropatik (yang sering disebut deafferentation pain), dan psikosomatik. Nyeri somatik dan viseral merupakan kelompok nyeri nosiseptik. Nyeri somatik biasanya perifer, bisa dilokalisasi dengan baik, konstan, dan sangat perih. Nyeri viseral biasanya sulit dilokalisir jika di intra-abdomen namun nyeri bersifat konstant, sakit, dan nyerinya merujuk ke daerah kulit. Nyeri neuropatik bersifat seperti kesemutan, paroksismal tajam, dan terbakar. Nyeri psikosomatik ditandai dengan nyeri di satu atau lebih situs anatomi yang merupakan fokus utama dari klinis pasien dan hal tersebut dapat menimbulkan perhatian klinis. Nyeri psikosomatik ini dipengaruhi oleh mood, depresi, dan motivasi. Tabel dibawah ini memperlihatkan contoh-contoh nyeri somatik, viseral, dan neuropatik.Tabel1. Tipe Nyeri Berdasarkan PenyebabnyaSomatikViseralNeuropatik

FrakturObstruksi ususNeuropati akibat alkoholik dan nutrisi

Luka sayatanKonstipasiPoli atau mononeuropati diabetik

Luka akibat suhuEndometriosisTumor Pancoast

Luka akibat traumaMetastaseNeuralgia postherpes

Jika didasarkan hubungannya dengan kanker, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri yang berhubungan dengan kanker dan tidak berhubungan dengan kanker. Dari hal tersebut, Foley mengklasifikasikan pasien menjadi 5 group yaitu, pasien dengan nyeri akut yang berhubungan dengan kanker, pasien dengan nyeri kanker yang berhubungan dengan kanker yang disebabkan progresitifitas penyakit atau terapi, pasien dengan nyeri kronis yang sudah ada sebelumnya baik terkait ataupun tidak dengan kanker, pasien dengan riwayat ketergantungan zat kimia dan berhubungan dengan kanker, dan pasien yang sekarat yang membutuhkan kenyamanan dalam meringankan penyakitnya.

2.2.4. Nyeri Berdasarkan IntensitasnyaKlasifikasi nyeri berdasarkan intensitasnya merupakan klasifikasi yang cukup rumit karena intensitas nyeri yang dialami pasien berbeda-beda dan sangat subyektif. Karena ada pasien yang merasakan nyeri dengan angka 10 sedangkan pasien lain merasakannya dengan angka 5 dalam suatu kondisi patologis yang sama (lihat skala numeruk pada gambar 2.). Sementara itu untuk nyeri yang tidak berhubungan dengan kanker biasanya dinyatakan secara continuum (contoh ringan, sedang, sampai berat). Biasanya intensitas nyeri dinyatakan dengan berbagai skala seperti gambar dibawah ini.

Gambar 1. Skala Nyeri Deskriptif

Gambar 2. Skala Nyeri Numerik

Gambar 3. Skala Analog Visual

Gambar 4. Skala Nyeri Menurut Bourbanis

Keterangan :0 :Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

Cole, B. Eliot. 2002. Pain Management: Classifying, Understanding, and Treating Pain. Turner White Communications Inc. Page 24-30, diunduh dari www.turner-white.com pada 26 Juni 2015

2.3 Fisiologi dan Anatomi Nyeri.Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai beberapa komponen (gambar 2.1):6a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.(orde 1)b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS.c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak. d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus. (orde 2)e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3)

Gambar 2.1. Lintasan sensibitlitas10f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri,ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris (termasuk withdrawl respon).g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level medulla spinalis.2.4 Patofisiologi NyeriBila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.2,3

Tabel 2.1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri 3ZatSumberMenimbulkan nyeriEfek pada aferen primer

KaliumSeroroninBradikininHistramin ProstaglandinLekotrienSubstansi PSel-sel rusakTrombosisKininogen plasmaSel-sel mastAsam arakidonat dan sel rusakAsam arakidonat dan sel rusakAferen primer++++++++MengaktifkanMengaktifkanMengaktifkanMengaktifkanSensitisasiSensitisasiSensitisasi

Gambar 2.2 Fisiologi nyeri6

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu:2,31. Tranduksi Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri. 2. TransmisiAdalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.3. ModulasiMerupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.4. PersepsiImpuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.

PERCEPTIONMODULATIONTRANSMISSIONTRANSDUCTIONGambar 2.3. Proses perjalanan nyeri10

Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat). Serat A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan, baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal nociceptors. Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang merupakan polipeptida.

Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.1,3,5,6Gambar 2.4. Skema Sensitasi perifer1Tissue DamageInflammationSympathetic TerminalsSensitizing SOUP SoupHydrogen ion Histamine Purines LeucotrineNorepinephrine Potassium ion Cytokines Nerve Growth FactorBradykinin Prostaglandins 5-HTNeuropeptidesHigh Treshold NociceptorTransduction SensitivityLow Treshold NociceptorPrimary Hyperalgesia1Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas. Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti enzim siklooksigenase.

Sensitisasi Sentral. Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari nuron pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut A dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.1,3,5,6Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai sensitisasi sentral atau wind up. Wind-up ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai hard wired yang kaku tetapi seperti plastik , artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit disembuhkan.Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan sensitisasi sentral adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang. Dan yang terakhir, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif. Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri.Jika secara fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf. Gambar 2.5. Skema sensitasi sentral11

Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri. Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer. Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme wind-up dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian antargonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan penyekat reseptor NMDA.Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor. Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat produksi dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri.Fenomena wind-up merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya wind-up. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar pengelolaan nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat NSAID (COX, atau COX2), sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral.

2.5. Sistem Inhibisi Terhadap NyeriTidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini dapat terjadi karena ada suatu proses modulasi di kornua dorsalis medulla spinalis. Ini dimungkinkan karena ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti :21. Stimulasi serat afferent yang mempunyai diameter besar.Stimulasi serat afferent ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi interneuron inhibisi di kornua dorsalis. Stimulasi halus berulang serat A betha atau menggunakan alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.2. Serat inhibisi desendens.Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornua dorsalis medulla spinalis, yaitu :a. Lintasan I: Berawal dari nukleus raphe magnus.b. Lintasan II: Berawal dari nukleus lokus seruleusc. Lintasan III: Berawal dari nucleus Edinger WesphalKetiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini akan melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.3. Betha endorphin.Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor zat ini dibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di substansia gelatinosa.4. OpioidPAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua dorsalis medulla sinalis juga kaya dengan reseptor opioid.Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor opioid di substansia gelatinosa.

2.6. Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri.Nyeri akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh. Impuls nyeri oleh serat afferent selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis, juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis.1Nyeri pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri melalui serat saraf afferent diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis dan juga diteruskan melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis memberikan respon segmental seperti peningkatan muscle spasm (hipoventilasi dan penurunan aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera (distensi abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi respon suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan imunologi yang menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terjadap psikologis pasien seperti interpretasi nyeri, marah dan takut.3,8

Gambar 2.6. Respon tubuh terhadap nyeri6Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan mengaktifkan sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem simpatis akan teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada tubuh seperti :a. Sistem respirasiKarena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental, dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru. Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal dan kapasitas residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.3,8b. Sistem kardiovaskulerPembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi, hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa peningkatan produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard, sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.3,8c. Sistem gastrointestinal Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi sering terjadi. Distensi abdomen memperberat hilangnya volume paru dan pulmonary dysfunction. 3,8d. Sistem urogenitalPerangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.e. Sistem metabolisme dan endokrinKelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin. Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon dan menyebabkan penurunan hormon anabolik seperti insulin dan testosteron. Peningkatan kadar katekolamin dalam darah mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini mendorong pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan keseimbangan negative nitrogen, intoleransi karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antidiuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan ekstraseluler. 3,8f. Sistem hematologiNyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan hiperkoagulopati. 3g. Sistem imunitasNyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat mendepresi sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien beresiko menjadi mudah terinfeksi. 3h. Efek psikologisReaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety), ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri berkepanjangan dapat menyebabkan depresi. 8i. Homeostasis cairan dan elektrolitEfek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan penurunan produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.8

2.9. Diagnostik NyeriNyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini meliputi langkah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan kalau perlu pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan imaging dan lain-lain. Dengan demikian diagnostik terutama ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa nyeri tidak ada.2,3Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama yng dilakukan sebelum pengobatan dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap saat bila ada laporan nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam setelah pemberian peroral.a. Anamnesis yang telitiDalam melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengatahui bagaimana kualitas nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi yang ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga harus mengetahui lokasi dari nyeri yang diderita apakah dirasakan diseluruh tubuh atau hanya pada bagian tubuh tertentu. intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk menetapkan derajat nyeri. Tanyakan pula keadaan yang memperberat atau memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang penyakit sebelumnya, penggobatan yang pernah dijalani, dan alergi obat.4b. Pemeriksaan fisikPemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan stimulus simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan Glasgow come scale rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial.4 Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia, hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan nyeri neurogenik.3,9c. Pemeriksaan psikologisMengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri yang subjektife, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus dilakukan dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor kejiwaan yang menyertai.Test yang biasanya digunakan untuk menilai psikologis pasien berupa the Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI). Dalam menetahui permasalahan psikologis yang ada maka akan memudahkan dalam pemilihan obat yang tepat untuk penaggulangan nyeri. 3,4d. Pemeriksaan penunjangPemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui penyebab dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan imaging seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan. 3,43.1. Terapi Multimodal13Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak seharusnya demikian. Kontrol nyeri sering bisa diperbaiki dengan strategi sederhana, yaitu nilai nyeri, atasi dengan obat dan teknik yang sudah ada, nilai kembali nyeri setelah terapi dan bersiap untuk memodifikasi pengobatan jika perlu. Analgesia yang baik mengurangi komplikasi pasca bedah seperti infeksi paru, mual dan muntah, DVT ,dan ileus.Penyebabnya biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga penanggulangannya biasanya lebih mudah pula. Nyeri akut ini akan mereda dan hilang seiring dengan laju proses penyembuhan jaringan yang sakit. Semua obat analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri akut ini. Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih dahulu. Bersamaan dengan usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga diatasi. Intinya, diagnosa penyebab ditegakkan, usaha mengatasi nyeri sejalan dengan usaha mengatasi penyebabnya.1,2,3Setelah diagnosis ditetapkan, perencanaan pengobatan harus disusun. Untuk itu berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat digolongkan sebagai berikut13 :a. Modalitas fisikLatihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup.b. Modalitas kognitif-behavioralRelaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasiern, dan pendekatan spiritual. c. Modalitas InvasifPendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.d. Modalitas PsikoterapiDilakukan secara terstruktur dan terencana, khususnya bagi merreka yang mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh dirie. Modalitas FarmakoterapiMengikuti WHO Three-Step Analgesic Ladder

3.2. Farmakoterapi NyeriSemua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk mengatasi nyeri akut. Hal ini dimungkinkan karena nyeri akut akan mereda atau hilang sejalan dengan laju proses penyembuhan jaringan yang sakit.Dalam melaksanakan farmakoterapi terdapat beberapa prinsip umum dalam pengobatan nyeri. Perlu diketahui sejumlah terbatas obat dan pertimbangkan berikut: Bisakan pasien minum analgesik oral? Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesik cepat? Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan dalam kombinasi dengan analgesik sistemik? Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri, misal pemasangan bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.

Non opioid +/- Adjuvant Opioid for mild to moderate pain +/- Non opioid , +/- Adjuvant Opioid for moderate to severe pain+/- AdjuvantStep 1Step 2Step 3Persisting PainPersisting PainFreedom from pain Gambar 3.1. WHO Three Step Analgesic LadderPraktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi mengikuti WHO Three Step Analgesic Ladder yaitu :11. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID atau COX2 spesific inhibitors.2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih kuat.Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri paada proses transduksi dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada transmisi inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan pada persepsi diberikan anestetik umum, narkotik, atau parasetamol

Gambar 3.1. Tangga dosis obat analgetikDari gambar tangga dosis di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi inisial dilakukan pada dosis yang lebih tinggi, dan kemudian diturunkan pelan-pelan hingga sesuai dosis analgesia yang tepat.Tabel 3.1. Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan derajat nyeri

4-6 jam sekali8-12 jam sekali4-6 jam sekali12,5 mgAwalan 440 mgSelanjutnya 220 mg200 mgKetoprofenSodium NaproksenIbuprofenFarmakoterapi Tingkat II4-6 jam sekali325-650 mgAsetaminofen4 jam sekali325-650 mg, maks 4 g/hariAspirinDosisFarmakoterapi Tingkat IJadwalNama ObatNYERI RINGAN

Opioid (misal:codein)Farmakoterapi Tingkat VJika farmakoterapi tingkat III gagal, OAINS yang dipilih dapat diganti. Pilihan OAINS ke-2 sebaiknya dari kelompok kimia yang berbeda (Lihat tabel analgesik non-opioid yang sering digunakan)Farmakoterapi Tingkat IV4-6 jam sekali8-12 jam sekali4-6 jam sekali4-6 jam sekaliJadwalPenyesuaian dosis.Misal: Aspirin 1000 mgDosisKetoprofenSodium NaproksenIbuprofenAsetaminofenNama ObatFarmakoterapi Tingkat IIINYERI SEDANG

Blok aktifasi komponen m kompleks reseptorBlok aktifasi komponen m kompleks reseptorMekanismeIndikasiNama ObatBila terapi non narkotik tidak efektif & terdapat riwayat terapi narkotik untuk nyeriAgonis parsialCampuran agonis-antagonis pentazosinMorfinFarmakoterapi Tingkat VIINYERI BERATFarmakoterapi Tingkat VI50-100 mgDosisJadwalNama Obat4-6 jamTramadolNYERI SEDANG

Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang dapat digunakan untuk menanggulangi nyeri akut.1. Obat analgetika nonnarkotika.Termasuk disini adalah obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS)Banyak jenis obat ini. Manfaat dan efek samping obat-obat ini wajib dipahami sebelum memberikan obat ini pada penderita. Obat antiinflamasi nonsteroid mempunyai titik tangkap kerja dengan mencegah kerja ensim siklooksigenase untuk mensintesa prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini.Obat ini efektif untuk mengatasi nyeri akut dengan intensitas ringan sampai sedang. Obat ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral (tablet, kapsul, sirup), dalam kemasan suntik. Kemasan suntik dapat diberikan secara intra muskuler, dan intravena. Pemberian intravena dapat secara bolus atau infus. Obat ini juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara supositoria Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang. Efektif untuk bedah mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi kebutuhan akan opioid setelah bedah mayor. Obat-obat AINS memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi dua obat AINS yang berbeda pada waktu bersamaan. Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah kehilangan darah. Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal, topikal. Pemberian oral lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena nyeri dan bisa menimbulkan abses steril pada tempat suntikan.

Kontraindikasi AINS Riwayat tukak peptik Insufisiensi ginjal atau oliguria Hiperkalemia Transplantasi ginjal Antikoagulasi atau koagulopati lain Disfungsi hati berat Dehidrasi atau hipovolemia Terapi dengan frusemide Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS

Gunakan AINS dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada : Pasien > 65 tahun Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit pembuluh darah ginjal Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium, penyekat beta, cyclosporin, atau metoreksat. Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal atau gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS.Ibuprofen aman dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam) cenderung memiliki efek samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari siklo-oksigenase 2 (COX-2) misal meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap sistem COX gastrointestinal dan ginjal.Pemberian AINS dalam jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping daripada pemberian singkat pada periode perioperatif. Antagonis H2 (misal ranitidin) yang diberikan bersama AINS bisa melindungi lambung dari efek samping..2. Obat analgetika narkotikObat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak terdapat didaerah susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk menanggulangi nyeri akut dengan intensitas berat. Terdapat 5 macam reseptor opioid, Mu, Kappa, Sigma, Delta dan Epsilon.Obat analgetika narkotika yang digunakan dapat berupa preparat alkaloidnya atau preparat sintetiknya. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan efek depresi pusat nafas bila dosis yang diberikan relatif tinggi.Efek samping yang tidak tergantung dosis, yang juga dapat terjadi adalah mual sampai muntah serta pruritus. Pemakaian untuk waktu yang relatif lama dapat diikuti oleh efek toleransi dan ketergantungan.Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan untuk pemberian secara suntik, baik intra muskuler maupun intravena.Pemberian intravena, dapat secara bolus atau infus. Dapat diberikan secara epidural atau intra tekal, baik bolus maupun infuse (epidural infus). Preparat opioid Fentanyl juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara intranasal atau dengan patch dikulit. Sudah tersedia dalam bentuk tablet (morfin tablet). Juga tersedia dalam kemasan supositoria.Penggunaan obat narkotik ini harus disertai dengan pencatatan yang detail dan ketat, serta harus ada pelaporan yang rinci tentang penggunaan obat ini ke instansi pengawas penggunaan obat-obat narkotika.

Gambar 3.3. Algoritme untuk pemberian opioid im. Skor nyeri: 0, tidak ada nyeri; 1 nyeri ringan;2, nyeri sedang; 3, nyeri berat. Skor sedasi: 0, bangun; 1, ngantuk kadang-kadang; 2 kebanyakan tertidur; 3, sukar dibangunkan. Morfin:berat 40-65 kg: 7,5 mg; berat 65- 100 kg: 10 mg : Naloxone:200 g iv, sesuai kebutuhan.

Dengan ditemukannya reseptor opioid didaerah kornua dorsalis medulla spinalis di tahun 1970 an, obat ini dapat diberikan secara injeksi kedalam ruang epidural atau kedalam ruang intratekal. Bila cara ini dikerjakan, dosis obat yang digunakan menjadi sangat kecil, menghasilkan efek analgesia yang sangat baik dan durasi analgesia yang sangat lama/panjang.Pemakaian obat analgetika narkotika secara epidural atau intratekal, dapat dikombinasi dengan obat-obat Alfa-2 agonist, antikolinesterase atau adrenalin.Dengan kombinasi obat-obat ini, akan didapat efek analgesia yang sangat adekuat serta durasi yang lebih panjang, sedangkan dosis yang diperlukan menjadi sangat kecil.3. Kelompok obat anestesia lokal.Obat ini bekerja pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase depolarisasi pada saraf tepi tersebut. Obat ini dapat disuntikkan pada daerah cedera, didaerah perjalanan saraf tepi yang melayani dermatom sumber nyeri, didaerah perjalanan plexus saraf dan kedalam ruang epidural atau interatekal. Tabel 3.2. Dosis maksimum aman dari anestesi lokalObatMaksimum untuk infiltrasi lokalMaksimum untuk anestesi pleksus

Lidocaine (lignocaine)3 mg/kg4 mg/kg

Lidocaine (lignocaine) dengan adrenalin (epinefrin)5 mg/kg7 mg/kg

Bupivacaine1,5 mg/kg2 mg/kg

Bupivacaine dengan adrenalin(epinefrin)2 mg/kg3,5 mg/kg

Prilocaine5 mg/kg7 mg/kg

Prilocaine dengan adrenalin(epinefrin)5 mg/kg8 mg/kg

Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik. Analgesia yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang diberikan intratekal hanyalah obat yang direkomendasikan dapat diberikan secara intratekal. Obat anesthesia lokal tidak boleh langsung disuntikkan kedalam pembuluh darah. Memberikan analgesia tambahan untuk semua jenis operasi. Bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh terhadap kesadaran. Teknik sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir prosedur akan menghasilkan analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak menggunakannya. Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan untuk berlangsung beberapa jam atau hari jika digunakan teknik kateter.Komplikasi bisa terjadi: Komplikasi tersering berkaitan dengan teknik spesifik, misal hipotensi pada anestesi epidural karena blok simpatis, dan kelemahan otot yang menyertai blok saraf besar. Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau pemberian aksidental dari anestesi lokal secara sistemik. Ini bermanifestasi mulai dari kebingungan ringan, sampai hilang kesadaran, kejang, aritmia jantung dan henti jantung. Pemberian obat yang salah merupakan malapetaka pribadi dan mediko-legal. Ekstra hati-hati diperlukan ketika memberikan obat.3.3. Analgesia Balans12Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang. Sedangkan obat analgetika narkotika efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas berat. Dipihak lain blok saraf tidak selalu mudah dapat dikerjakan.2 Tidak jarang, untuk mendapatkan efek analgesia yang adekuat diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini dapat diikuti oleh timbulnya efek samping. Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan menggunakan beberapa macam obat analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda. Dapat digunakan dua atau lebih jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing individu obat tersebut menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kwalitas analgesia yang lebih adekuat dengan durasi yang lebih panjang. Dengan demikian efek samping yang dapat ditimbulkan oleh masing masing obat dapat dihindari.

OtakMedullaSpinalisInhibisidesendenNE/5HTReseptoropioidSensitisasi perifer/ ion NaLesiGABAPENTINKarbamasepinOkskarbasepinPHENYTOINMexiletineLidocain, dllTh/Th/TCATramadolOpioiddllSensitisasisentral(NMDA,Calcium)Th/GABAPENTINOkskarbasepinLamotriginKetaminDextrome-thorphanGambar 3.4. Skema Farmakoterapi pada analgesia balans

Analgesia Balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan dengan AINS, proses transmisi dengan obat anestetik lokal, dan proses modulasi dengan opiat. Pendekatan ini, memberikan penderita obat analgetika dengan titik tangkap kerja yang berbeda seperti obat obat analgetika non narkotika, obat analgetika narkotika serta obat anesthesia lokal secara kombinasi disebut Balans analgesia atau pendekatan polifarmasi.123.4. Analgesia Preemptif.Diatas sudah dijelaskan bahwa bila seseorang tertimpa cedera dan yang bersangkutan menderita nyeri (berat) dan nyeri ini tidak ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh perubahan kepekaan reseptor nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu dorsalis) terhadap stimulus yang masuk.2Ambang rangsang organ-organ tersebut akan turun. Terjadinya plastisitas sistem saraf. Tindakan mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan memberikan obat-obat analgetika sebelum trauma terjadi disebut tindakan preemptif analgesia. Tindakan anestesia merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini. Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pembedahan merupakan saat yang tepat untuk melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif karena awitan dari sensari nyeri diketahui.3.5. PCA (patient controlled administration)Patient controlled Administration (PCA) merupakan metode yang saat ini tengah popular dan digunakan luas terutama di USA, bila opioid analgesia parenteral harus diberikan lebih dari 24 jam.1,6 PCA ini begitu popular disana karena selain menghindarkan dari injeksi intramuskular, onset yang dihasilkan juga cepat dan bisa dikontrol sendiri oleh pasien.6Bisa menghasilkan manajemen nyeri berkualitas tinggi. PCA memungkinkan pasien mengendalikan nyerinya sendiri. Perawat tidak diperlukan untuk memberikan analgesia dan pasien merasakan nyeri mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada : Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi. Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping. Dana : pompa infus PCA mahal.Tabel 3.3. Regimen PCA tipikalObat: morfinKonsentrasi: 1 mg/mlDosis bolus: 1 mgWaktu stop: 5 menitDosis bolus: jumlah obat yang diberikan oleh pompa bila pasien bisa menentukan kebutuhan.Waktu stop (lockout time): jumlah waktu di mana pasien akan mendapat hanya satu dosis dari pompa

Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas dasar itulah PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak ataupun lebih sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang analgesik, pasien dapat mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka butuhkan (selama masih dalam batasan terapi).6 Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah sesuai dengan kebutuhan individu. Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus khusus atau katup satu arah pada infus jaga (jika diberikan dengan piggyback). Ini mencegah akumulasi sejumlah besar opioid dalam infus

Mulai
Skor nyeri2 atau 3
Observasi rutin
Skorsedasi0 atau1
Frekuensinapas>8/menit?
Tekanan darahsistolik>100 mmHg
Sudah berlangsunglebih dari 60 menitsejak analgesia terakhir
Berikan dosis lanjut imdari analgesia sesuai resep
Hitung frekuensi napasminta nasihat tentang analgesia
Jika napas < 9/menit danskor sedasi 2 atau 3 minta nasihat dokter anestesiPikirkan pemberian naloxone
Minta bantuan dokter
Tunggu sampai 60 menittelah berlalu sebelummemberikan opioid
Tunggu10 menit
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya