bab ii
DESCRIPTION
skripsiTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bina Keluarga Balita (BKB)
2.1.1 Konsep Bina Keluarga Balita (BKB)
Bina Keluarga Balita (BKB) adalah program pembinaan yang ditujukan
kepada orang tua dan anggota keluarga lain yang mempunyai anak balita tentang
cara membina tumbuh kembang anak balita secara optimal (BKKBN, 1995).
Gerakan BKB (Bina Keluarga Balita) adalah suatu upaya untuk
meningkatkan pengetahuan, kesadaran, keterampilan dan sikap ibu serta anggota
keluarga lainnya dalam membina tumbuh kembang balita secara optimal terutama
melalui kegiatan rangsangan mental emosional, moral dan sosial agar menjadi
manusia Indonesia yang berkualitas. Kegiatan rangsangan mental emosional,
moral dan sosial kepada balita dilakukan dalam kegiatan bermain dengan anak
balita.
BKB (Bina Keluarga Balita) diupayakan mampu memberikan pengetahuan
dan keterampilan berupa pembinaan dan pola asuh tumbuh kembang balita agar
para ibu mampu mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anaknya
dengan pengasuhan yang baik. Dari uraian diatas dapat dideskripsikan bahwa
BKB (Bina Keluarga Balita) adalah sebuah alternatif lembaga pendidikan anak
usia dini. BKB (Bina Keluarga Balita) tidak hanya memfasilitasi pendidikan
untuk anak, namun bagi orang tua pula terutama bagi para ibu.
14
15
2.1.2 Dasar Pembentukan Bina Keluarga Balita (BKB)
BKKBN (1995) dalam Sari (2010) menerangkan bahwa program BKB
dicanangkan Bapak Soeharto pada hari ibu tahun 1981. Program ini merupakan
suatu program yang melengkapi program-program pengembangan sumber daya
manusia yang telah dilaksanakan seperti misalnya program-program perbaikan
kesehatan dan gizi ibu dan anak.
BKKBN (2007) dalam Sari (2010) menjelaskan dalam pelaksanaan program
BKB dimulai pada tahun anggaran 1985/1986. Hal ini berdasarkan pengarahan
Ibu Negara pada tanggal 21 Juli 1984 melalui Surat Keputusan Bersama Menteri
Negara UPW dan Kepala BKKBN No 11 KEPMEN UPW/IX/84 dan No
170/HK010/E3/84 tentang kerjasama pelaksanaan pengembangan proyek BKB
dalam keterpaduan dengan program Keluarga Berencana (KB) dalam rangka
mempercepat proses pelembagaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera
(NKKBS). Keputusan Bersama ini menggariskan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) sebagai penanggung jawab operasional BKB.
2.1.3 Ciri Khusus Bina Keluarga Balita (BKB)
BKKBN (2009) menyebutkan bahwa Bina Keluarga Balita (BKB)
mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan dari kegiatan atau upaya lain
sejenis, yaitu:
1. Bina Keluarga Balita (BKB) menitikberatkan pada pembinaan orang tua dan
anggota keluarga lainnya yang memiliki anak balita.
2. Membina tumbuh kembang balita
16
3. Menggunakan alat bantu dalam hubungan timbal balik antara orang tua dan
anak berupa alat permainan antara lain Alat Permainan Edukatif (APE),
cerita, dongeng, nyanyian, dan sebagainya dalam menstimulasi tumbuh
kembang anak.
4. Bina Keluarga Balita (BKB) menitikberatkan perlakuan orang tua yang
tidak membedakan anak laki-laki dan perempuan.
2.1.4 Tujuan Bina Keluarga Balita (BKB)
Tujuan umum Bina Keluarga Balita (BKB) yaitu meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, kesadaran, dan sikap orang tua serta anggota keluarga lainnya
dalam membina tumbuh kembang balita secara menyeluruh dan terpadu guna
mencapai tumbuh kembang yang optimal terutama melalui kegiatan rangsangan
fisik, mental intelektual dan spiritual, sosial, emosional, serta moral sebagai
komponen utama upaya Nasional untuk membina anak menjadi manusia
seutuhnya, sejalan dengan upaya mempercepat proses pencapaian NKKBS yang
dilandasi Pancasila (BKKBN, 1995).
Soetjiningih (1995) juga menjelaskan bahwa BKB dilaksanakan dengan
tujuan sebagai berikut:
1. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran ibu dan anggota keluarga lainnya
tentang pentingnya:
a. Proses tumbuh kembang anak balita dalam aspek fisik, mental, dan
sosial.
17
b. Pelayanan yang tepat dan terpadu yang tersedia bagi anak, misalnya di
Posyandu.
2. Meningkatkan keterampilan ibu dan anggota keluarga lainnya dalam
menggusahakan tumbuh kembang anak secara optimal, antara lain dengan
stimulasi mental menggunakan Alat Permainan Edukatif (APE) dan
memanfaatkan pelayanan yang tersedia.
2.1.5 Sasaran Bina Keluarga Balita (BKB)
BKKBN (1995) menjelaskan bahwa sasaran dalam Bina Keluarga Balita
(BKB) adalah antara lain:
1. Sasaran langsung
Kelompok sasaran BKB adalah orang tua yang mempunyai anak balita 0-5
tahun.
2. Sasaran tidak langsung
a. Seluruh keluarga (Nenek/kakek dan kakak-kakaknya serta anggota
keluarga lain yang tinggal bersama keluarga balita).
b. Intitusi masyarakat, LSM, Organisasi Profesi, Sektor Swasta, pengelola
dan pelaksana gerakan KB.
c. Tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
3. Sasaran wilayah
Desa/kelurahan, RW/Dukuh, RT.
18
4. Wadah pembentukan kelompok BKB
Wadah pembentukan kelompok BKB dapat dilaksanakan pada Posyandu, Pos
Penimbangan, kelompok pengajian, dan sebagainya, terutama sebagai wadah
untuk memotivasi orang tua balita agar mengikuti kegiatan BKB.
2.1.6 Kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB)
Kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB) dilakukan satu kali dalam sebulan.
Penanggung jawab umum gerakan BKB adalah Lurah atau Kepala Desa. BKB
direncanakan dan dikembangkan oleh kader, LKMD dan Pemberdayaan dan
Kesejahteraan Keluarga (PKK) serta Tim Pembina LKMD tingkat kecamatan.
Penyelenggarannya dilakukan oleh kader terlatih berasal dari anggota masyarakat
yang bersedia secara sukarela bertugas memberikan peyuluhan kepada sasaran
gerakan BKB (BKKBN, 1995).
Soetjiningsih (1995) menerangkan bahwa kegiatan BKB dilaksanakan untuk
membina ibu kelompok sasaran yang mempunyai anak balita. Ibu sasaran dibagi
menjadi lima kelompok menurut umur anaknya, yaitu:
1) Kelompok ibu dengan anak umur 0-1 tahun;
2) Kelompok ibu dengan anak umur 1-2 tahun;
3) Kelompok ibu dengan anak umur 2-3 tahun;
4) Kelompok ibu dengan anak umur 3-4 tahun;
5) Kelompok ibu dengan anak umur 4-5 tahun.
Pembagian kelompok umur tersebut sesuai dengan tugas perkembangan anak,
dan tiap-tiap kelompok umur tersebut mempunyai tugas perkembangan yang
19
berbeda, sehingga cara stimulasi maupun media yang diperlukan untuk interaksi
antara ibu dan anak pun berbeda. Adapun kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB)
yang dilakukan antara lain:
1. Penyuluhan Bina Keluarga Balita (BKB)
Peraturan Walikota Surabaya nomor 20 tahun 2008 tentang pedoman
umum program PAUD terpadu menjelaskan bahwa penyuluhan kegiatan
Bina Keluarga Balita (BKB) dilakukan kepada orang tua (ayah dan ibu) dan
anggota keluarga lainnya tentang :
a. Peranan orang tua (ayah dan ibu) dalam pengasuhan dan pembinaan
tumbuh kembang anak;
b. Konsep diri orangtua;
c. Tumbuh kembang balita meliputi : aspek gizi dan kesehatan balita;
perkembangan balita perawatan ibu hamil dan bayi baru lahir; pembinaan
delapan aspek perkembangan, yaitu kemampuan gerakan kasar/halus,
kecerdasan, komunikasi aktif/pasif, menolong diri sendiri, dan
kemampuan bergaul sesuai dengan umur anak.
Setiap kali penyuluhan berlangsung selama kurang lebih 90 menit atau
1,5 jam. Waktu penyuluhan dapat disesuaikan dengan kondisi setempat sesuai
kesepakatan kader dan orang tua peserta BKB. Agar penyuluhan berjalan
tertib dan lancar sesuai rencana, sebaiknya kader membuat persiapan yang
memadai meliputi penguasaan materi yang akan disajikan, contoh-contoh
yang akan diberikan, alat peraga yang dipergunakan, pengisian kegiatan
pemanasan (BKKBN, 1995).
20
BKKBN (1995) menjelaskan mengenai tatalaksana pertemuan
penyuluhan BKB yang secara umum diselenggarakan dengan mengikuti
urutan kegiatan sebagai berikut:
1) Bagian Permulaan
Bagian permulaan berlangsung kurang dari sama dengan 20 menit,
yang terdiri dari:
a. Kegiatan pemanasan diikuti pembukaan
b. Pemantapan hasil pertemuan sebelumnya
c. Diskusi pekerjaan rumah yang telah diberikan pada pertemuan
sebelumnya
2) Bagian Inti
Bagian inti berlangsung kurang dari sama dengan 50 menit, yang terdiri
dari:
a. Penjelasan bahan baru dan demonstrasi atau peragaan cara
pembinaan anak.
b. Penentuan pekerjaan rumah.
3) Bagian Penutupan
Bagian penutupan berlangsung kurang dari sama dengan 20 menit, yang
terdiri dari:
a. Kesimpulan hasil pertemuan.
b. Pengisian laporan/catatan.
c. Pemberian pekerjaan rumah.
21
2. Penggunaan Alat Permainan Edukatif (APE)
Alat Permainan Edukatif (APE) adalah alat permainan yang dapat
mengoptimalkan perkembangan anak, disesuaikan dengan usianya dan
tingkat perkembangannya, serta berguna untuk: a) Pengembangan aspek
fisik, yaitu kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang atau merangsang
pertumbuhan fisik anak; b) Pengembangan bahasa, dengan melatih
berbicara, menggunakan kalimat yang benar; c) Pengembangan aspek
kognitif, yaitu dengan pengenalan suara, ukuran, bentuk, warna, dan lain-
lain; d) Pengembangan aspek sosial, khususnya dalam hubungannya dengan
interaksi antara ibu dan anak, keluarga dan masyarakat (Soetjiningsih,
1995).
Kegiatan yang dilaksanakan dalam penggunaan Alat Permainan
Edukatif adalah: 1) Kegiatan bermain APE secara teratur dilaksanakan di
BKB oleh balita dengan bimbangan kader; 2) Kader juga menjelaskan
kepada ibu yang mempunyai balita dalam hal penggunaan APE agar dapat
diaplikasikan di rumah; 3) Pencatatan hasil perkembangan ke dalam Kartu
Kembang Anak (KKA).
3. Kartu Kembang Anak (KKA)
Satoto (1990) dalam Soetjiningsih (1995) telah mengembangkan Kartu
Kembang Anak (KKA), yang berfungsi ganda yaitu sebagai alat penanda
dan sekaligus sebagai alat komunikasi dalam membahas perkembangan
anak, dari dan untuk ibu serta keluarga dalam masyarakat. Namun yang
22
paling utama adalah untuk memfasilitasi interaksi antara ibu (beserta
keluarga seluruhnya) dengan anak.
Kartu Kembang Anak (KKA) dapat dipergunakan dalam setiap
kesempatan interaksi ibu dan anak serta dalam keluarga dan pertemuan ibu-
ibu, sebagai wahana belajar bersama. Sehingga penggunaan Kartu Kembang
Anak (KKA) di kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB) bersama Kartu
Menuju Sehat (KMS) di Posyandu, dapat digunakan untuk memantau
tumbuh kembang anak.
2.2 Kader Bina Keluarga Balita (BKB)
2.2.1 Pengertian Kader Bina Keluarga Balita (BKB)
Mantra (1985) dalam Koeshandajani (2004) mengartikan kader kesehatan
masyarakat bersal dari masyarakat yang dipilih oleh masyarakat dan bekerja
bersama untuk masyarakat secara sukarela, sehingga harus punya pendidikan yang
cukup minimal dapat membaca, menulis, dan menghitung sederhana.
Kemetrian Kesehatan RI memberikan batasan menegenai kader, yakni kader
adalah warga masyarakat setempat yang dipilih dan ditinjau oleh masyarakat dan
dapat bekerja secara sukarela (Zulkifli, 2003).
Koeshandajani (2004) menjelaskan bahwa kader BKB merupakan pelaksana
kegiatan di lapangan atau penyuluh yang memberikan bekal ilmunya kepada
orang tua balita atau keluarga balita ssesuai dengan materi yang telah ditentukan
serta memberikan pelayanan semaksimal mungkin dari masing-masing
kelompoknya.
23
Kader dalam Bina Keluarga Balita (BKB) adalah anggota masyarakat yang
telah mendapat pendidikan atau magang serta menjalankan tugassnya secara
sukarela (BKKBN, 1995).
2.2.2 Persyaratan Kader Bina Keluarga Balita (BKB)
BKKBN (1995) menyebutkan bahwa persyaratan untuk menjadi kader Bina
Keluarga Balita (BKB) antara lain:
1. Diutamakan wanita berumur 20-44 tahun, tinggal di lokasi kegiatan BKB,
lebih disukai yang mempunyai minat terhadap anak-anak.
2. Paling sedikit dapat membaca dan menulis, menguasai bahasa Indonesia,
bahasa daerah setempat.
3. Bersedia bekerja sebagai tenaga sukarela dan bekerja di tengah masyarakat.
4. Bersedia dilatih sebelum mulai melaksanakan tugas.
2.2.3 Tugas atau Peran Kader Bina Keluarga Balita (BKB)
BKKBN (1995) menyebutkan bahwa tugas atau peran kader Bina Keluarga
Balita (BKB) antara lain:
1. Memberikan penyuluhan sesuai dengan materi yang telah ditentukan.
2. Mengadakan pengamatan perkembangan peserta BKB dan anak balitanya.
3. Memberikan pelayanan dan mengadakan kunjungan rumah apabila perlu.
4. Bersama PLKB membuat laporan kegiatan dari masing-masing kelompok
pada formulir yang disediakan.
24
2.2.4 Faktor yang Berhubungan dengan Peran Aktif Kader
Perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari dalam
maupun dari luar subyek tersebut. Seperti pada kader, keaktifan kader dipengaruhi
oleh karakteristik internal dan eksternal. Faktor yang membentuk perilaku inilah
yang disebut dengan faktor determinan. Salah satu faktor determinan yang biasa
digunakan adalah teori Lawrence Green yang terdiri dari :
1. Faktor Predisposisi
a. Usia/Umur
Usia/Umur didefinisikan sebagai lama seseorang hidup dari dilahirkan
hingga meninggal. Usia/Umur sangat mempengaruhi seseorang dalam
melaksanakan kegiatannya. Kader yang ada di dalam usia produktif secara
konseptual cenderung memiliki keaktifan yang baik karena secara fisik
akan lebih kuat, dinamis, dan kreatif. Sementara itu kader yang tergolong
dalam kelompok usia tidak produktif biasanya secara fisik telah
mengalami degenerasi tetapi memiliki rasa tanggung jawab yang besar
terhadap pekerjaan, semangat, dan ulet (Isaura, 2011).
b. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah tingkatan pendidikan formal yang telah
ditempuh oleh seorang kader dengan dibuktikan adanya ijazah yang telah
diterima. Tingkatan pendidikan dapat dimulai dari tingakatan dasar (SD),
Menengah pertama (SMP), Menengah Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi
(PT). Azwar (2007) dalam Wulandari (2011) menyebutkan bahwa
25
pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap seseorang.
c. Lama sebagai Kader
Makin lama menjadi seorang kader, maka makin banyak pengalaman
yang dimiliki oleh seorang kader. Sehingga seorang kader akan makin
mengerti mengenai peranan yang dimilikinya dalam menggerakkan
masyarakat. Kader yang belum memiliki cukup pengalaman akan sering
ragu dalam mengambil tindakan, sehingga kondisi ini akan menghambat
peran serta kader dalam suatu kegiatan (Wulandari, 2011).
d. Pekerjaan
UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa
pekerjaan merupakan sesuatu yang biasa dikerjakan oleh seseorang dalam
frekuensi tertentu sesuai dengan bakat dan minat seseorang serta
menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan masyarakat.
Soegianto (2005) dalam Wulandari (2011) menjelaskan bahwa seorang
pekerja akan disibukkan dengan pekerjaanya, sehingga terkadang akan
lupa dengan tanggung jawab lainnya. Seperti halnya kader, sebaiknya
tidak perlu memiliki pekerjaan yang tetap dan memiliki pengalaman
menjadi kader dan tidak ada pergantian selama satu tahun.
e. Pengetahuan
Dodo (2008) dalam Isaura (2011) menyebutkan bahwa tingginya
tingkat pengetahuan kader menjadikan tingginya kinerja kader dan
berdampak baik terhadap program yang ada di posyandu. Hal serupa juga
26
disampaikan oleh Notoatmodjo (2005) bahwa pengetahuan merupakan
faktor penentu yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.
f. Sikap Kader
Menurut Louis Thourstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood dalam
Azwar (2005) menyebutkan bahwa sikap merupakan suatu bentuk reaksi
dari perasaan, dimana sikap dapat dinyatakan dengan perasaan mendukung
atau memihak maupun tidak mendukung atau tidak memihak. Peran aktif
seorang kader sangat dipengaruhi oleh perasaan mendukung terhadap
tugasnya dan perananannya sebagai seorang kader. Hal ini senada dengan
teori domain perilaku bahwa sikap seseorang terhadap sesuatu akan sangat
mempengaruhi tindakan yang diambilnya nanti (Notoatdmojo, 2005)
2. Faktor Pemungkin
a. Keterjangkuan Pelayanan Kesehatan
Lokasi Pelayanan kesehatan diberikan memungkinkan untuk
mempengaruhi tingkat keaktifan dari seorang kader. Semakin jauh lokasi
pelaksanaan pelayanan kesehatan, maka semakin rendah motivasi kerja
seorang kader.
b. Kelengkapan Fasilitas dalam Pelayanan Kesehatan
Kelengakapan sebuah fasilitas dapat mempengaruhi keaktifan peran
seorang kader.
27
3. Faktor Pendorong
a. Pelatihan dan Pembinaan
Pelatihan bagi kader berfungsi untuk menambah wawasan kader
mengenai perannya dalam kegiatan pelayanan kesehatan. Semakin sering
seorang kader mendapatkan pelatihan maka pengetahuannya akan makin
bertambah dan dapat diaplikasikan langsung dalam peran sertanya sebagai
seorang kader. Sementara pembinaan diadakan dengan tujuan agar kader
dapat melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan tugasnya sehingga
tercapainya tujuan dari kader tersebut (Wulandari, 2011).
b. Motivasi Kader
Teori Motivasi dan Higiene yang dicetuskan oleh Herzberg
(Motivation – Hyiene Theory) dalam Siagian (2002) menjelaskan bahwa
jika seseorang memiliki pandangan yang positif terhadap tugasnya, maka
tingkat kepuasan yang diperoleh juga tinggi. Namun sebaliknya jika
seseorang memiliki pandangan yang negatif maka hasil pekerjaan yang
didapat juga akan kurang memuaskan. Hal ini berlaku juga untuk kader
dimana jika seorang kader memiliki motivasi tinggi dan berpandangan
positif dalam menjalankan perannya.
c. Dukungan keluarga
Salah satu faktor pendorong seseorang untuk mampu melakukan
tindakan dengan baik adalah dengan mendapatkan dukungan penuh dari
pihak lain untuk melaksanakan tindakannya. Dukunngan atau dorongan
tersebut dapat datang dari pihak kader itu sendiri maupun dari pihak lain
28
seperti pihak kelurahan, keluarga, tokoh masyarakat maupun dari pihak
petugas kesehatan ( Notoatmodjo, 2005).
2.3 Pengetahuan
2.3.1 Pengertian Pengetahuan
Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari
keingintahuan yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap
sesuatu melalui panca indra manusia yang sebagian besar diperoleh melalui mata
dan telinga. Pengetahuan atau kognitif juga merupakan hal yang sangat penting
yaitu penentu dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).
2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Notoatmodjo (2003) menjelaskan terdapat faktor internal dan faktor eksternal
yang mempengaruhi terbentuknya pengetahuan yaitu antara lain:
1. Intelegensi
Intelegensi merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang
memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Salah satu
faktor yang mempengaruhi dalam penerimaan pesan dalam komunikasi
adalah taraf intelegensi seseorang. Seseorang dengan taraf intelegensi tinggi
akan mempunyai pengetahuan yang baik dan sebaliknya.
2. Pendidikan
Pendidikan dapat memberikan atau meningkatkan pengetahuan,
menimbulkan sifat positif, serta meningkatkan kemampuan individu
29
mengenai aspek yang bersangkutan. Sehingga tingkat pengetahuan seseorang
terhadap suatu objek sangat ditentukan oleh tingkat pendidikannya.
3. Pengalaman
Seseorang berperilaku disebabkan adanya pemikiran dan perasaan dalam
diri yang terbentuk dalam pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan
penilaian seseorang terhadap hal tertentu, dan pengetahuan tersebut dapat
berasal baik dari pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain.
4. Informasi
Media massa yang dianggap sebagai sistem informasi memiliki peranan
penting dalam pembentukan fungsi kognitif, afektif, dan behavioral
seseorang. Fungsi kognitif yang dimaksud merupakan pengetahuan seseorang
tersebut.
5. Kepercayaan
Kepercayaan yang telah terbentuk pada diri seseorang akan menjadi
dasar pengetahuan mengenai apa yang dapat diharapkan dari objek tertentu.
6. Umur
Umur dapat mempengaruhi seseorang. Semakin cukup umur seseorang
maka semakin matang kemampuan berpikir dan menerima informasi.
7. Sosial budaya
Meliputi pandangan agama, kelompok/etnis maupun budaya yang dapat
mempengaruhi proses pengetahuan.
30
8. Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi mempengaruhi tingkah laku individu. Individu
yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi baik dimungkinkan
lebih mempunyai sikap positif memandang diri dan masa depannya
dibandingkan individu yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi
rendah.
Selain itu, Notoatmodjo (2003) cara orang belajar itu berbeda-beda antara
yang satu dengan yang lain, dalam proses belajar terdapat tiga persoalan pokok
yaitu input, proses, dan output.
Faktor internal mempengaruhi terbentuknya pengetahuan terutama
pendidikan, yang merupakan segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat melalui
kegiatan untuk memberikan dan meningkatkan pengetahuan sehingga mereka
melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidik. Dari batasan tersebut
tersirat unsur-unsur pendidikan yakni : input adalah sasaran pendidikan (individu,
kelompok, dan masyarakat) dan pendidik (pelaku pendidikan), proses (upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi orang lain), dan output (meningkatnya
pengetahuan yang diharapkan).
Sedangkan menurut J. Gilbert dalam Notoatmodjo (2003) mengelompokkan
faktor yang mempengaruhi proses belajar ke dalam empat kelompok besar yaitu:
materi atau hal yang dipelajari, lingkungan fisik dan sosial, instrumental (misal
alat peraga, kurikulum, pengajar atau fasilitator serta metode belajar mengajar),
Metode
Proses Belajar Output (Hasil Belajar)
Input (Subyek Belajar)
Fasilitasi Belajar Bahan Belajar
Alat-alat bantu
31
dan kondisi individual subjek belajar. Keempat faktor tersebut dapat digambarkan
dalam bagan berikut:
2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Balita
2.4.1 Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan adalah penambahan ukuran fisik dan struktur tubuh yaitu
jumlah sel serta jaringan interseluler dalam arti sebagian atau keseluruhan
(Narendra, dkk, 2008).
Pertumbuhan dapat dipantau dengan menggunakan “Kartu Menuju Sehat”
(KMS) balita yang berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan
tetapi bukan penilaian status gizi (Arisman, 2008).
Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan besar, jumlah, ukuran, dan fungsi
tingkat sel, organ maupun individu (Supariasa, dkk, 2001). Sedangkan menurut
Jelliffe D. B. (1989) dalam Supariasa, dkk (2001) pertumbuhan adalah perubahan
dan peningkatan dari tubuh, organ, dan jaringan dari masa konsepsi sampai remaja
secara bertahap.
Gambar 2.1 Proses Belajar dan Faktor yang MempengaruhinyaSumber: Notoatmodjo (2003)
32
Soetjiningsih (1995) menerangkan bahwa pertumbuhan berkaitan dengan
perubahan dalam besar, jumlah, ukuran sel, organ maupun individu yang diukur
dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur
tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh).
Supariasa, dkk (2001) menjelaskan bahwa pertumbuhan dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut:
1. Pertumbuhan linier
Ukuran linier merupakan ukuran yang berhubungan dengan panjang
seperti panjang badan, lingkar dada, dan ingkar kepala. Ukuran linier yang
sering digunakan adalah panjang atau tinggi badan.
2. Pertumbuhan massa jaringan
Ukuran massa jaringan adalah massa tubuh seperti berat badan, lingkar
lengan atas (LILA), dan tebal lemak bawah kulit.Ukuran massa jaringan
yang ering digunakan adalah berat badan.
Perkembangan adalah penambahan kemampuan struktur dan fungsi tubuh
yang lebih kompleks, yang pengukurannya lebih sulit daripadda pengukuran
pertumbuhan atau bersifat kualitatif (Narendra, dkk, 2008).
Perkembangan adalah penambahan kemampuan struktur dan fungsi tubuh
yang lebih kompleks yang diakibatkan oleh kematangan sistem saraf pusat,
khususnya otak (Supriasa, dkk, 2001).
Soetjiningsih (1995) menerangkan bahwa perkembangan merupakan
penambahan kemampuan dalam stuktur dan fungsi tubuh yang dapat diramalkan
sebagai hassil proses pematangan, yang menyangkut proses differensiasi dan
33
perkembangan dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistem organ
serta termasuk pula perkembangan emosi, intelektual, dan tingkah laku dari hasil
interaksi dengan lingkungan.
Sulistyoningsih (2011) menjelaskan bahwa perkembangan balita dan anak
usia sekolah terdiri dari dua macam perkembangan yaitu sebagai berikut:
1. Perkembangan fisiologik
Perkembangan fisiologik mengikuti tahap pertumbuhan yaitu kekuatan
otot, koordinasi motorik, dan stamina balita dan anak usia sekolah yang
meningkat secara progresif. Pada masa tersebut, anak mampu melakukan
gerakan-gerakan dengan pola yang lebih kompleks. Pada masa ini akan
terjadi pula peningkatan persentase lemak tubuh tapi pada umumnya
perubahan ini tidak permanen dan akan terus meningkat sebagai persiapan
mengahadapi pertumbuhan pada masa remaja atau pubertas, sehingga
perbedaan komposisis tubuh akan lebih terlihat pada masa remaja.
2. Perkembangan kognitif
Pada masa balita dan anak usia sekolah pencapaian perkembangan
lebih pada kemampuan diri untuk bergerak dari periode perkembangan
praoperasional ke arah satu tindakan nyata.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan lebih menekankan pada aspek
fisik, sedangkan perkembangan lebih pada aspek pematangan fungsi organ
terutama kematangan sistem saraf. Namun, pertumbuhan dan perkembangan
berjalan sinkron pada setiap individu.
TUMBUH KEMBANG ANAK
Kecukupan Makanan Keadaaan Kesehatan
Asuhan bagi Ibu dan AnakPemanfaatan Yankes dan Sanitasi Lingk.Ketahanan makanan keluarga
Pendidikan Keluarga
Keberadaan dan Kontrol Sumber Daya Keluarga: Manusia, Ekonomi, dan Organisasi
Potensi Sumber Daya
Super Struktur Politik dan Ideologi
Struktur Ekonomi
Sebab Dasar
Sebab Tak Langsung
Sebab LangsungKecukupan Makanan Keadaan Kesehatan
34
Gambar 2.1 menjelaskan proses dari tumbuh kembang seorang anak yang
banyak dipengaruhi oleh berbagai hal. Salah satu faktor yang penting dalam
Gambar 2.2 Model Interelasi Tumbuh Kembang AnakSumber: Unicef (1992) dalam Setjiningsih (1995)
35
proses tumbuh kembang anak adalah pendidikan keluarga dalam membina dan
memantau tumbuh kembang anak, yang perlu dukungan penuh dari keluarga
terutama ibu yang sangat mengerti kondisi anaknya.
2.4.2 Pemantauan Pertumbuhan dan Perkembangan Balita
2.4.2.1 Pemantauan Pertumbuhan Balita
Depkes RI (2002) dalam Sari (2010) menerangkan bahwa perkembangan
status gizi dalam pemantauan pertumbuhan memiliki pengertian yang relatif (tidak
kaku). Pengertian relatif disini berarti perkembangan status gizi memiliki sifat
luwes tidak didasarkan pada kategori-kategori yang kaku misalnya gizi Iebih atau
gizi kurang, gemuk atau kurus, tinggi atau pendek. Oleh karena itu interpretasi
terhadap perkembangan status gizi yang didasarkan pada hasil pemantauan
pertumbuhan, hanya menyimpulkan bahwa gizi anak tetap baik, membaik atau
memburuk.
Pertumbuhan merupakan parameter kesehatan gizi yang cukup peka untuk
digunakan dalam menilai kesehatan anak, terutama anak bayi dan Balita.
Pertumbuhan dapat dipantau dengan menggunakan “Kartu Menuju Sehat” (KMS)
balita yang berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan tetapi
bukan untuk menilai status gizi yang memuat suatu grafik pertumbuhan BB
menurut Umur, yang menunjukkan batas-batas pertumbuhan BB anak Balita
(Arisman, 2008).
Penilaian pertumbuhan fisik anak sering menggunakan ukuran-ukuran
antropometri. Penilaian antropometri pada umumnya menggunakan indeks berat
36
badan menurut umur, tinggi badan menurut umur dan berat badan menurut tinggi
badan. Jelliffe pada tahun 1966 telah memperkenalkan indeks antropometri berat
badan menurut tinggi badan merupakan indikator yang baik untuk menilai status
gizi saat ini. Hal ini disebabkan berat badan memiliki hubungan yang linear
dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan
searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks berat
badan menurut tinggi badan merupakan indeks yang independen terhadap umur
(Supariasa, dkk, 2001).
2.4.2.2 Pemantauan Perkembangan Balita
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita.
Perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial emosional dan
intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan
berikutnya. Selain itu perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian juga
dibentuk pada masa balita.
Perkembangan anak pada fase awal dibagi menjadi 4 aspek kemampuan
fungsional yaitu motorik kasar; motorik halus dan penglihatan; berbicara, bahasa,
dan pendengaran; sosial emosi dan perilaku (Narendra, dkk, 2008).
Soetjiningsih (1995) menjelaskan pada program BKB, secara garis besar
terdapat 7 aspek perkembangan untuk memantau perkembangan anak, antara lain:
1. Perkembangan gerakan motorik kasar
2. Perkembangan gerakan motorik halus
3. Perkembangan komunikas pasif
37
4. Perkembangan komunikasi aktif
5. Perkembangan kecerdasan
6. Perkembangan kemampuan menolong diri sendiri
7. Perkembangan tingkah laku sosial
Ketujuh aspek perkembangan tersebut, kesemuanya saling kait mengkait
karena itu perlu diusahakan adanya stimulasi terhadap ketujuh aspek
perkembangan tersebut secara berimbang.
2.5 Pos Pendidikan Anak Usia Dini Terpadu (PPT)
Pembinaan anak secara utuh tidak hanya dapat dilaksanakan sendiri oleh
orang tua, akan tetapi harus diintervensi dan difasilitasi oleh Pemerintah Daerah
melalui kerjasama lembaga/lintas sektoral. Untuk membantu pemenuhan
pertumbuhan dan kesehatan fisik anak dilakukan melalui program Pos Pelayanan
Terpadu (Posyandu), sementara untuk pembinaan tumbuh kembang anak balita
melalui rangsangan fisik, mental, intelektual, spiritual, sosial dan emosional
dilakukan dengan program Bina Keluarga Balita (BKB) dan program Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD). Ketiga program tersebut diatas yaitu Pos Pelayanan
Terpadu (Posyandu), Bina Keluarga Balita (BKB) dan Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) harus dilaksanakan secara terintegrasi (terpadu), sehingga program
pembinaan dan pengasuhan anak bagi keluarga yang memiliki bayi dan balita
dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien (Peraturan Walikota Surabaya nomor
20 tahun 2008).
38
Seksi Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Inklusif Divisi Pendidikan
Dasar Sektor Pendidikan UNESCO (2005) menjelaskan bahwa di Indonesia
pendidikan anak usia dini bukan bagian dari sistem pendidikan formal. UU No.20
tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah “Suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan lebih lanjut.” (pasal 1 butir 14).
Program PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak
sejak lahir sampai dengan usia 6 (enam) tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani
dan rohani agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut
Peraturan Walikota Surabaya nomor 20 tahun 2008 tentang pedoman umum
program PAUD terpadu menjelaskan bahwa satuan PAUD sejenis adalah salah
satu bentuk PAUD pada jalur pendidikan non formal (PAUD non formal) yang
dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan berbagai program layanan anak usia
dini yang telah ada di masyarakat seperti Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu),
Bina Keluarga Balita (BKB), dan Taman Pendidikan Anak (TPA).
Program Pos PAUD Terpadu adalah program layanan PAUD yang
diintegrasikan dengan program Bina Keluarga Balita (BKB) dan Pos Pelayanan
Terpadu (Posyandu). Pengintegrasian ketiganya adalah suatu upaya
mensinergikan kegiatan penyadaran dan peningkatan pemahaman masyarakat
terutama para orang tua dan keluarga yang memiliki anak dengan memberikan
pelayanan kesehatan dasar, perbaikan gizi, stimulan, deteksi dini tumbuh
39
kembang anak, intervensi layanan pendidikan dan keterampilan kepada orang tua
dan anak selama mengikuti kegiatan di Pos PAUD Terpadu (Peraturan Walikota
Surabaya nomor 20 tahun 2008).
Sasaran langsung kegiatan PPT ditujukan kepada anak usia 0-6 (nol sampai
dengan enam) tahun yang berasal dari keluarga miskin pada program Pos
Pelayanan Terpadu (Posyandu), program Bina Keluarga Balita (BKB) dan
program PAUD yang telah ada dan yang akan dibentuk yang tidak terlayani di
lembaga pendidikan anak usia dini lainnya, baik di Tempat Penitipan Anak,
Kelompok Bermain maupun Taman Kanak-Kanak (Peraturan Walikota Surabaya
nomor 20 tahun 2008).
Yang dimaksud anak diatas meliputi anak dalam kondisi normal dan anak
berkebutuhan khusus yang disebabkan karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Anak-anak
berkebutuhan khusus berhak memperoleh pendidikan khusus serta dilayani secara
insklusif sesuai dengan kapasitas yang dimiliki dan setiap kelompok Pos PAUD
Terpadu terus berusaha meningkatkan kemampuan diri dalam menangani anak-
anak berkebutuhan khusus (Peraturan Walikota Surabaya nomor 20 tahun 2008).
Kehidupan anak sebagian besar waktunya berada dalam pengasuhan keluarga,
maka orang tua menjadi sasaran tak langsung dari program PPT ini. Sasaran tak
langsung yang dimaksud adalah orang tua, diharapkan mendapatkan model
pengasuhan yang tepat sesuai dengan usia dan tingkat kemampuan
keterampilannya, sehingga kegiatan yang telah diberikan oleh pendidik dalam
40
Program Pos PAUD Terpadu dapat dilanjutkan di lingkungan rumah (Peraturan
Walikota Surabaya nomor 20 tahun 2008).
Pos PAUD Terpadu bukan untuk mendinikan sekolah dengan mengajarkan
hal-hal yang belum saatnya. Dalam pelaksanaan Pos PAUD Terpadu lebih
ditekankan pada pendidikan yang harus sesuai dengan tahap perkembangan dan
potensi masing-masing anak. Prakteknya dengan pembelajaran melalui bermain,
sehingga tidak merampas dunia anak.