bab ii

46
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kehamilan Kembar (Gemelli) Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dengan dua janin atau lebih. Kembar dizigotik memiliki dua amnion (diamniotik) dan dua plasenta (dikorionik). Pada kembar monozigot dapat terbentuk satu plasenta (monokorionik), satu amnion (monoamniotik) atau bahkan satu organ fetal (kembar siam). (Gomella dkk, 2013; Cunningham dkk, 2014) Gambar 2.1. Gambaran kehamilan kembar (Sumber : Moses, 2000) 2.2. Klasifikasi Kehamilan Kembar Kehamilan kembar dapat dibagi atas beberapa tipe (Moses, 2000; CDC, 2002): a. Kembar dizigotik/binovular-fraternal twins (66%), yaitu: 1) Fertilisasi dari 2 ovum oleh 2 sperma 2) Dikorionik, korion yang terpisah memiliki 2 plasenta 3) Diamnotik, amnion terpisah (kantong amnion) b. Kembar monozigtik/mono ovular identical twins (33%), yaitu: 7

Upload: arthoclase

Post on 19-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Gemelli

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kehamilan Kembar (Gemelli)

Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dengan dua janin atau lebih. Kembar

dizigotik memiliki dua amnion (diamniotik) dan dua plasenta (dikorionik). Pada kembar

monozigot dapat terbentuk satu plasenta (monokorionik), satu amnion (monoamniotik)

atau bahkan satu organ fetal (kembar siam). (Gomella dkk, 2013; Cunningham dkk,

2014)

Gambar 2.1. Gambaran kehamilan kembar(Sumber : Moses, 2000)

2.2. Klasifikasi Kehamilan Kembar

Kehamilan kembar dapat dibagi atas beberapa tipe (Moses, 2000; CDC, 2002):

a. Kembar dizigotik/binovular-fraternal twins (66%), yaitu:

1) Fertilisasi dari 2 ovum oleh 2 sperma

2) Dikorionik, korion yang terpisah memiliki 2 plasenta

3) Diamnotik, amnion terpisah (kantong amnion)

b. Kembar monozigtik/mono ovular identical twins (33%), yaitu:

1) Pembelahan dari 1 ovum, fertilisasi oleh 1 sperma

2) Jika pembelahan terjadi sebelum terbentuknya inner cell mass (morula) dalam 3

hari (72 jam pertama) dari fertilisasi, yang terjadi pada 1/3 dari kembar

monozigotik, maka setiap fetus akan memiliki kantong amnion dan plasenta

masing-masing (kembar dikorionik diamniotik) sekitar 96%.

7

Page 2: BAB II

8

3) Jika pembelahan embrio terjadi setelah 3 hari fertilisasi (antara 4-8 hari),

dimana morulla sudah terbentuk, makan akan terjadi komunikasi antara

sirkulasi plasenta sehingga terjadi kembar diamniotik monokorionik sekitar 4%.

4) Jika pembelahan ovum pada hari 8-13 hari setelah fertilisasi, dimana lapisan

amnion sudah terbentuk akan menjadi kembar monokorionik, monoamniotik.

5) Pembelahan ovum > 13 hari setelah fertilisasi, dimana segmentasi terhambat

dan setelah primitive streak terbentuk makan akan terjadi kembar dempet

(kembar siam), dan dapat dibagi sesuai anatomis dempetnya.

c. Fetus papyraceous

1) Salah satu fetus yang kembar tidak berkembang

2) Tak berbentuk, mengkerut dan rata.

Gambar 2.2. Beberapa tipe kehamilan kembar berdasarkan pembelahan ovum(Sumber : Moses, 2000)

2.3. Epidemiologi

Angka kelahiran kembar dua antara tahun 1980 hingga 2009 meningkat 76% dari

18,9 menjadi 32,1 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan angka kelahiran kembar 3 atau

lebih, menurun sebanyak 10% dari 153 per 100.000 kelahiran pada tahun 2009 menjadi

138 per 100.000 kelahiran pada tahun 2010 (Martin dkk, 2012). Kenaikan prevalensi dari

kelahiran kembar menjadi perhatian karena berhubungan dengan kenaikan rata-rata

kelahiran preterm yang berkaitan dengan kemampuan neonatus bertahan hidup dan risiko

Page 3: BAB II

9

kecacatan seumur hidup. Rata-rata mortalitas kelahiran kembar 5 kali lebih tinggi dari

pada kelahiran tunggal (Mathews dkk, 2013). Morbiditas dan mortalitas dari ibu yang

melahirkan kembar juga meningkat. Pada suatu penelitian lebih dari 44.000 kelahiran

kembar, Walker dkk (2004) melaporkan bahwa risiko preeklamsia, perdarahan

postpartum, dan kematian maternal meningkat 2 kali atau lebih dibandingkan dengan

kelahiran tunggal. Risiko histerektomi peripartum juga meningkat, Francois dkk (2005)

melaporkan risiko histerektomi peripartum pada kehamilan kembar 3 kali lipat dan 24

kali lipat bagi kehamilan kembar 3 atau 4.

2.4. Faktor Risiko

2.4.1. Ras

Frekuensi kehamilan multipel bervariasi pada setiap ras. Abel dan Kruger (2012)

menganalisis lebih dari 8 juta kelahiran di Amerika Serikat antara tahun 2004-2008. Hasil

dari penelitian ini menunjukkan rata-rata kelahiran kembar pada wanita Afrika Amerika

3,5% dan pada wanita kulit putih 3%. Hasil survei pada salah satu komunitas di

Nigeria menunjukkan kehamilan multipel terjadi setiap 20 kehamilan. Perbedaan

ini mungkin merupakan akibat variasi ras terhadap tingkat follicle-stimulating

hormone (FSH) (Cunningham dkk, 2014)

2.4.2. Herediter

Pada kehamilan multipel, riwayat dari keluarga ibu lebih penting daripada ayah.

Pada sebuah penelitian terhadap suatu komunitas menemukan bahwa wanita yang

merupakan kembar dizigotik melahirkan anak kembar 1 kali per 58 kelahiran, sedangkan

wanita yang bukan anak kembar, tetapi bersuami yang merupakan kembar dizigotik

melahirkan anak kembar 1 kali per 116 kehamilan. Hal ini disebabkan oleh pelepasan

ovum multipel pada wanita sifatnya diturunkan (Cunningham dkk, 2014)

2.4.3. Usia ibu

Frekuensi kehamilan kembar dizigotik meningkat hampir 4 kali lipat diantara usia 15

sampai 37 tahun (Painter dkk, 2010). Hal ini karena pada rentang usia tersebut, stimulasi

hormon maksimal meningkatkan kemungkinan terjadinya pelepasan ovum ganda

(Beemsterboer dkk, 2006). Penurunan insidensi setelah usia ibu melewati 37 tahun

kemungkinan karena deplesi dari folikel Graaf (Cunningham dkk, 2014).

Page 4: BAB II

10

2.4.4. Jumlah paritas

Meningkatnya jumlah paritas secara independen meningkatkan insidensi kelahiran

kembar pada seluruh populasi. Antsaklis dkk (2013) menemukan bahwa terjadi

peningkatan yang progresif kelahiran kembar pada multipara selama periode usia 30

tahun. Pada penelitian selama 2 tahun di Nigeria, Olusanya dan Solanke (2012)

mengkalkulasi terjadi kehamilan kembar meningkat 8 kali lipat ketika jumlah paritas 4

atau kurang dan 20 kail lipat ketika jumlah paritas 5 atau lebih dibandingkan pada

primipara.

2.4.5. Nutrisi

Menurut Cunningham dkk (2014) terdapat hubungan antara nutrisi ibu dan kejadian

kehamilan multipel. Wanita yang lebih tinggi dan berat mempunyai kemungkinan

mengalami kehamilan multipel 25-30% lebih tinggi daripada wanita yang pendek dengan

nutrisi kurang. Beberapa peneliti telah melaporkan kenaikan 40% insidensi kehamilan

kembar pada wanita yang mengkonsumsi suplemen asam folat (Hasbargen dkk, 2000;

Ericson dkk, 2001; Haggarty dkk, 2006).

2.4.6. Pituitary Gonadotropin

Faktor yang menghubungkan antara kehamilan multipel dengan ras, usia, berat

badan, dan kesuburan adalah level FSH, teori ini didukung dengan fakta meningkatnya

kehamilan multipel pada wanita yang berhenti menggunakan kontrasepsi oral selama 1

bulan tetapi tidak pada bulan selanjutnya. Hal ini disebabkan pelepasan pituitary

gonadotropin secara tiba-tiba dalam jumlah yang lebih tinggi daripada biasanya pada

siklus pertama setelah berhenti menggunakan kontrasepsi hormonal (Cunningham dkk,

2014).

2.4.7. Terapi infertilitas

Induksi ovulasi dengan menggunakan FSH dengan korionik gonadotropin atau

clomiphene citrate meningkatkan kemungkinan terjadinya kehamilan multipel. Insidensi

kehamilan multipel pada terapi gonadotropin konvensional 16-40%. Terapi superovulasi

yang meningkatkan kemungkinan kehamilan dengan cara mengambil folikel multipel

menghasilkan 25-30% kehamilan multipel.

Faktor risiko fetus multipel setelah stimulasi ovarium dengan menggunakan hMG

yaitu peningkatan level estradiol pada hari penyuntikkan gonadotropin serta konsentrasi

dan pergerakkan sperma (Cunningham dkk, 2014).

2.4.8. Assisted reproductive technology

Page 5: BAB II

11

Teknik seperti ART yang dirancang untuk meningkatkan kemungkinan kehamilan

dapat pula meningkatkan kemungkinan kehamilan multipel. Mekanismenya masih

kontroversial, diantaranya termasuk beberapa faktor yaitu: induksi ovulasi, keadaan

kultur in vitro, mikromanipulasi terhadap zona pelusida dan riwayat pasien. Umumnya

pada pasien yang melakukan superovulasi, fertilisasi in vitro dimasukkan 2-4 embrio ke

dalam uterusnya sehingga semakin besar risiko terjadinya kehamilan multipel

(Cunningham dkk, 2014).

2.5. Patofisiologi

2.5.1. Patofisiologi fetus multipel

Fetus multipel umumnya disebabkan oleh fertilisasi dua ovum yang terpisah yang

disebut double-ovum, dizigotik, atau kembar fraternal. Sedangkan sebagian berasal dari

ovum tunggal yang difertilisasi yang kemudian berkembang menjadi dua struktur yang

serupa yang masing-masing mempunyai potensi untuk menjadi individu yang terpisah.

Kembar ini disebut single-ovum, monozigotik atau kembar identik. Kedua jenis proses

kehamilan kembar ini dapat melibatkan pembentukkan fetus yang lebih dari dua

(Cunningham dkk, 2014).

Kembar dizigotik sebenarnya bukan merupakan kembar sejati karena dihasilkan dari

fertilisasi dua ovum yang berbeda dalam satu siklus ovulasi. Selain itu juga kembar

identik atau monozigotik tidak selalu identik karena pembelahan dari satu ovum yang

difertilisasi tidak selalu menghasilkan pembagian material protoplasma yang seimbang.

Proses pembelahan pada kembar monozigotik merupakan suatu kejadian yang teratogenik

sehingga insidensi terjadinya malformasi meningkat (Cunningham dkk, 2014).

a. Kembar monozigotik

Terbentuknya kembar monozigotik diperkirakan merupakan hasil dari

keterlambatan perkembangan normal pada ovum yang sudah dibuahi. Hal ini dapat

disebabkan oleh keterlambatan transpor ovum melalui tuba fallopi karena

penggunaan agen progestasional dan kontrasepsi kombinasi serta karena trauma

minor pada blastocyst selama during assisted reproductive technology (ART)

(Cunningham dkk, 2014). Hasil dari proses kembar ini tergantung kapan

pembelahannya terjadi.

1) Pembelahan terjadi dalam 72 jam setelah fertilisasi, morula belum terbentuk

dan blastocyst belum membentuk chorion. Terbentuklah dua embrio, dua

amnion dan dua chorion sehingga menjadi kehamilan kembar monozigotik,

Page 6: BAB II

12

diamnionik, dikhorionik. Plasenta dapat terbentuk tunggal maupun ganda

(Cunningham dkk, 2014).

2) Jika pembelahan terjadi antara hari keempat dan kedelapan morula sudah

terbentuk sedangkan sel yang akan menjadi chorion sudah berdiferensiasi

tetapi belum terbentuk amnion. Pada pembelahan ini terbentuklah dua embrio

yang berada pada dua kantung amnion yang dilapisi chorion sehingga

menghasilkan kehamilan kembar monozigotik, diamnionik, monokhorionik

(Cunningham dkk, 2014).

3) Jika sedemikian sehingga chorion dan amnion sudah berdiferensiasi pada ±

delapan hari setelah fertilisasi, pembelahan menghasilkan 2 embrio dalam satu

kantung amnion,sehingga menjadi kehamilan kembar monozigotik,

monoamnionik, monochorionik (Cunningham dkk, 2014).

4) Jika pembelahannya terjadi setelah diskus embrionik telah terbentuk,

pembelahannya menjadi tidak sempurna dan terbentuklah kembar siam /

conjoined twins (Cunningham dkk, 2014).

Kembar monozigotik selalu mempunyai jenis kelamin yang sama, tetapi

perkembangannya lebih lanjut dapat berbeda tergantung dari waktu

preimplantasinya. Biasanya, kembar monozigotik mempunyai karakteristik fisik

(kulit, warna mata dan rambut, bentuk tubuh) serta genetik (golongan darah, grup

serum, haptoglobin, kecocokan pada skin graft) yang sama dan terkadang mereka

merupakan gambaran cermin dengan yang lain (dominansi tangan kanan dan kiri,

dll). Meskipun demikian sidik jari pada anak kembar monozigotik tidak sama.

Triplet monozigot merupakan hasil dari pembelahan berulang dari satu ovum yang

disebut juga supertwinning. (Cunningham dkk, 2014).

b. Kembar dizigotik

Kembar dizigotik merupakan produk dari dua ovum dan dua sperma. Kedua ovum

dilepaskan dari folikel yang berbeda, atau dari satu folikel tetapi sangat jarang,

pada waktu yang hampir bersamaan. Kembar dizigotik atau fraternal dapat

mempunyai jenis kelamin dan golongan darah yang sama ataupun berbeda.

Kemiripan diantara kembar dizigotik menyerupai kemiripan pada saudara kandung

(Cunningham dkk, 2014).

Page 7: BAB II

13

Gambar 2.3. Mekanisme pembelahan kembar monozigotik(Sumber : Cunningham dkk, 2014)

c. Kehamilan multipel bentuk lain

1) Superfetasi

Pada Superfetasi diperlukan interval antara fertilisasi sepanjang atau lebih

panjang dari siklus menstruasi. Superfetasi memerlukan ovulasi dan fertilisasi

pada saat terjadinya kehamilan yang secara teori mungkin dapat terjadi sampai

cavum uteri mengalami obliterasi akibat terjadinya fusi antara desidua

kapsularis dan vera. Namun teori lain mengatakan bahwa Superfetasi tidak

mungkin terjadi pada manusia karena diperlukan 2 ovum yang dilepaskan dari

dua siklus berbeda sedangkan hal ini tidak mungkin terjadi karena adanya

corpus luteum gravidarum. Meskipun sudah diketahui dapat terjadi pada kuda,

Superfetasi belum terbukti dapat terjadi pada manusia (Cunningham dkk,

2014).

Page 8: BAB II

14

2) Superfekudasi

Superfekudasi adalah fertilisasi dua ovum dalam satu siklus menstruasi tetapi

pada coitus yang berbeda, tidak diperlukan sperma dari laki-laki yang sama.

Pada Superfekudasi fetus yang dihasilkan mempunyai ukuran tubuh, warna

kulit dan golongan darah yang sesuai dengan ibu dan ayahnya masing-masing

(Cunningham dkk, 2014)

Gambar 2.4. Kembar dizigotik yang merupakan superfekudasi(Cunningham dkk, 2014)

3) Vanishing twin

Kemajuan teknologi telah memperbaiki kinerja ultrasonografi pada awal

kehamilan. Penelitian menunjukkan insidensi kehamilan kembar pada

trimester pertama lebih tinggi daripada saat kelahiran. Kembar monozigotik

berisiko abortus lebih tinggi daripada kembar dizigotik. Pada banyak kasus

hanya satu fetus yang meninggal sedangkan yang lainnya lahir sebagai

kelahiran tunggal. Pada penelitian oleh Doubilet M, dimana dilakukan

pemantauan fetus dengan USG menunjukkan satu dari fetus yang kembar

”menghilang” umumnya terjadi pada trimester pertama (Cunningham dkk,

2014).

2.5.2. Adaptasi maternal

Secara umum perubahan fisiologis maternal pada kehamilan multipel lebih besar

daripada kehamilan tunggal. Pada awal trimester pertama wanita dengan kehamilan

multipel sering mengalami mual dan muntah serta peningkatan volume darah pada

kehamilan mutipel yang lebih berat yaitu sekitar 50-60% sedangkan pada kehamilan

Page 9: BAB II

15

tunggal hanya 40-50% (penambahan ±500cc). Jumlah eritrosit juga meningkat tetapi

tidak setinggi pada kehamilan tunggal sehingga terjadi ”anemia fisiologis”. Perdarahan

saat persalinan pervaginam lebih kurang 935ml atau lebih banyak 500ml daripada

persalinan pada kehamilan tunggal. Hal ini dikompensasikan dengan peningkatan volume

darah maternal, dan peningkatan kebutuhan zat besi dan asam folat sehingga

memperbesar risiko anemia maternal (Cunningham dkk, 2014).

Penelitian menurut Cunningham menunjukkan adanya peningkatan cardiac output

sebesar 20% dibandingkan kehamilan tunggal. Terutama disebabkan oleh peningkatan

stroke volume dan frekuensi denyut jantung. sedangkan fungsi paru wanita dengan

kehamilan multipel sama dengan kehamilan tunggal (Cunningham dkk, 2014).

Pertumbuhan uterus pada kehamilan multipel dapat mencapai volume 10 L dengan

berat lebih dari 20 pon. Khususnya pada kembar monozigotik dapat terjadi akumulasi

cairan amnion yang tinggi (akut hidramnion). Pada keadaan seperti ini organ abdomen

dan paru-paru ibu dapat terkompresi oleh uterus. Pada kehamilan multipel dengan

komplikasi hidramnion, fungsi ginjal ibu dapat terganggu umumnya akibat terjadinya

obstructive uropathy sehingga terjadi oliguria dan azotemia. Urine output dan level

kreatinin plasma ibu akan kembali normal setelah persalinan. Pada hidramnion yang berat

dapat dilakukan amniocentesis terapeutik dapat membuat ibu lebih nyaman, mengurangi

obstructive uropathy, menurunkan risiko persalinan prematur dan KPSW. Tetapi

hidramnion umumnya cepat terjadi reakumulasi setelah amniosentesis (Cunningham dkk,

2014).

2.6. Patologi

Patologi yang dapat terjadi dapat dibagi tiga, yaitu patologi maternal, plasenta dan

tali pusat serta patologi fetal. Lebih jelasnya dibahas sebagai berikut.

2.6.1. Patologi maternal

Meskipun volume darah meningkat, pada kehamilan multipel sering terjadi anemia

maternal karena tingginya kebutuhan fetus akan zat besi serta peningkatan volume

plasma yang tidak sebanding dengan peningkatan sel darah merah mengakibatkan kadar

hemoblobin menjadi turun, keadaan ini berhubungan dengan kejadian edema pulmonum

pada pemberian tokolitik yang lebih tinggi dibandingkan kehamilan kembar. Angka

kejadian persalinan preterm ( umur kehamilan kurang 37 minggu ) pada kehamilan

kembar 43,6 % dibandingkan dengan kehamilan tunggal sebesar 5,6 % (Bush, 2013).

Page 10: BAB II

16

Volume tidal respirasi meningkat tetapi wanita dengan kehamilan multipel umumnya

”breathless” (kemungkinan karena peningkatan progesteron). Distensi uterus dan

peninggian tekanan pada organ viseral sekitar dan vaskularisasi pelvis umum terjadi pada

kehamilan multipel. Terkadang kista lutein bahkan asites dapat terjadi karena level

hormon korionik gonadotropin yang meninggi secara abnormal. Kemungkinan terjadinya

plasenta previa lebih tinggi karena ukuran plasenta lebih besar atau terdapat dua plasenta

(Bush, 2013).

Sistem kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, renal dan muskuloskeletal ibu

mengalami stress dikombinasikan dengan tingginya kebutuhan nutrisi maternal-fetal.

Frekuensi terjadinya hipertensi yang diperberat kehamilan, preklamsia dan eklamsia

meningkat pada kehamilan kembar. Pendarahan antepartum oleh karena solutio plasenta

disebabkan permukaan plasenta pada kehamilan kembar jelek sehingga plasenta mudah

terlepas. Perdarahan postpartum dalam persalinan kembar disebabkan oleh distensi uterus

yang berlebihan, meningkatkan risiko terjadinya atonia uterus (Bush, 2013).

2.6.2. Placenta dan tali pusat

Pada kembar monozigotik keadaan plasenta dan membrannya dapat bervariasi,

tergantung waktu mulainya pembelahan dari diskus embrionik. Variasi yang dapat terjadi

antara lain sebagai berikut (Bush, 2013):

a. Pembelahan pada stadium morula dan diferensiasi trofoblas (hari ke-3)

menghasilkan plasenta yang terpisah atau bersatu (fusi), 2 korion, 2 amnion. Proses

ini secara umum menyerupai kembar dizigotik dan terjadi 1/3 dari jumlah

kehamilan kembar monozigotik. Hal ini mendukung manifestasi klinik dimana

kembar dizigotik berisiko komplikasi klinik.

b. Pembelahan setelah diferensiasi trofoblas tetapi sebelum pembentukkan amnion

(hari ke 4-8) menghasilkan satu plasenta, korion dan 2 amnion. Hal ini terjadi

sekitar 2/3 dari jumlah kehamilan kembar monozigotik.

c. Pembelahan yang terjadi setelah diferensiasi dari amnion (hari 8-13) akan

menghasilkan plasenta, korion, dan amnion tunggal, tetapi hal ini jarang terjadi.

d. Pembelahan pada usia kehamilan >15 hari dapat mengakibatkan kembar yang

inkomplit, jika pembelahan terjadi pada usia 13-15 hari akan menghasilkan kembar

siam (conjoined twins).

Page 11: BAB II

17

Gambar 2.5. Variasi plasenta pada kehamilan multipel(Sumber : Pernoll, 2001)

Saat persalinan, septum membranosa berbentuk T atau membran plasenta yang

membatasi antara kedua janin harus diinspeksi dan dipisahkan untuk menentukan tipe

kehamilan kembar. Kembar monozigotik umumnya memiliki septum transparan (<2mm)

yang tersusun dari 2 membran amnion (tanpa korion dan desidua). Kembar dizigotik

hampir selalu memiliki septum yang tebal dan opak yang terdiri dari 2 korion, 2 amnion

dan desidua diantaranya (Bush, 2013).

Pada plasenta monokorionik dapat diidentifikasi dengan memisahkan amnion

dengan amnion untuk melihat adanya korion tunggal dengan satu plasenta. Umumnya

plasenta monokorionik mempunyai anastomosis, sebaliknya pada plasenta dikorionik

jarang memiliki anastomosis di antara pembuluh darah fetus. Kembar monozigotik jarang

sekali memiliki fenotip jenis kelamin yang sama, hal ini dapat terjadi jika salah satu janin

berjenis kelamin wanita dengan sindrom Turner (45, XO) dan yang lain laki-laki (46,XY)

(Bush, 2013).

Plasenta monokorionik mempunyai masalah yang lebih rumit seperti gangguan

vaskularisasi plasenta yang dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin. Masalah

yang lebih berat adalah kemungkinan terjadinya kelainan yang disebut twin-twin

transfusion syndrome yang disebabkan oleh adanya anastomosis vaskuler antara janin

dapat berbentuk arteri-arteri, vena-vena atau kombinasi arteri-vena. Pada kasus yang

tidak terkompensasi, janin yang secara genetik identik berbeda jauh dalam bentuk dan

ukuran. Janin yang merupakan resipien mengalami plethoric, oedem, hipertensi, kern

ikterus, ascites, jantung, hati dan ginjal dapat membesar, hidramnion dapat terjadi akibat

poliuria. Meskipun terlihat sehat janin resipien dengan hipervolemik dapat meninggal

Page 12: BAB II

18

karena gagal jantung dalam 24 jam pertama kehidupan. Janin donor berukuran lebih kecil

dan dehidrasi karena pertumbuhan terhambat, malnutrisi dan hipovolemia dapat pula

disertai oligohidramnion, anemia berat yang berkembang menjadi gagal jantung.

Berbagai terapi untuk twin-twin transfusion syndrome telah dikembangkan antara lain

amnioreduction, amniotic septotomy dan ablasi laser pada pembuluh darah yang

berhubungan. Percobaan secara acak menunjukkan ablasi dengan laser memberikan hasil

yang lebih baik tetapi prosedur ini masih mempunyai keterbatasan dalam pengadaan alat

dan tenaga (Bush, 2013).

Kedua janin kembar berisiko mengalami prolaps tali pusat. Janin ke-2 terancam

karena pelepasan plasenta yang prematur, hipoksia, constriction ring dystocia, manipulasi

operatif atau prolonged anesthesia (Bush, 2013).

2.6.3. Fetus

Malformasi lebih banyak muncul pada bayi dengan kembar dibandingkan kehamilan

tunggal. Kembar monozigotik berisiko lebih besar dibandingkan kembar dizigotik.

Kembar siam atau conjoined merupakan hasil pembelahan yang tidak sempurna dari satu

ovum yang terjadi pada hari ke-13 dan ke-14. Jika pembelahan setelah itu akan terbentuk

kembar inkomplit (2 kepala, 1 badan). Kembar siam dapat dibagi berdasarkan tempat

bersatunya, yaitu: pygopagus (pada sacrum), thoracopagus (pada thoraks), craniopagus

(pada kepala), and omphalopagus (pada dinding abdomen) (Bush, 2013).

Bayi kembar dan plasentanya umumnya lebih ringan dari pada bayi tunggal.

Semakin besar jumlah bayi kembar, semakin berat tingkat gangguan pertumbuhannya.

Berat badan lahir rendah pada bayi kembar kemungkinan merupakan suatu bukti adanya

nutrisi yang tidak adekuat. Hal ini merupakan salah satu penyebab kematian bayi pada

kehamilan kembar. Pada usia kehamilan lanjut, fetus dapat mengalami kelahiran

prematur, kelainan letak, dan hidramnion (Bush, 2013).

Kematian satu janin pada kehamilan kembar dapat terjadi, penyebab kematian yang

umum adalah saling membelitnya tali pusat. Bahaya yang perlu dipertimbangkan pada

kematian satu janin adanya koagulopati konsumtif berat yang dapat mengakibatkan

terjadinya disseminated intravascular coagulopathy (Bush, 2013).

Fetus acardiacus adalah fetus monozigotik parasitik yang tidak mempunyai jantung

dan berkembang mengandalkan reversed circulation yang disuplai oleh 1 anastomosis

arteri-arteri dan 1 vena-vena. Hal ini disebut sindrom twin reversed arterial perfusion

(TRAP). Fetus donor berisiko mengalami hipertropi jantung bahkan dapat terjadi gagal

Page 13: BAB II

19

jantung dengan tingkat mortalitas 35%. Berbagai cara untuk menimbulkan oklusi tali

pusat dapat dilakukan dengan terapi in-utero (Bush, 2013).

Fetus papiraseous merupakan fetus yang kecil, termumifikasi umumnya ditemukan

saat persalinan bayi yang sehat. Insidensinya secara umum 1 dalam 17.000-20.000

kehamilan. Fetus papyraceous disebabkan kematian salah satu fetus yang kembar,

kehilangan cairan amnion, atau resorpsi dan kompresi oleh janin yang hidup (Bush,

2013).

2.7. Manifestasi Klinis

Kelahiran kembar lebih mudah mengalami prematuritas, intrauterine growth

restriction (IUGR), anomali kongenital dan twin-twin transfusion syndrome (TTTS)

(Gomella dkk, 2013).

2.7.1. Prematuritas dan insufisiensi uteroplasenta

Prematuritas dan insufisiensi uteroplasenta merupakan komplikasi perinatal utama.

Pada tahun 2008, 1% kelahiran tunggal, 10% kelahiran kembar 2, dan 36% kelahiran

kembar 3 memiliki berat badan lahir < 1.500 gr (Gomella dkk, 2013).

Gambar 2.6. Kurva pertumbuhan yang menunjukkan rata-rata berat badan anak dari kehamilan tunggal dan multipel berdasarkan usia gestasi.

Page 14: BAB II

20

(sumber : Gomella dkk, 2013)2.7.2. Intrauterine growth restriction (IUGR)

Insidensi berat lahir rendah pada kelahiran kembar sekitar 50-60% atau 5-7 kali lipat

lebih tinggi daripada kelahiran tunggal. Umumnya, semakin banyak fetus, semakin kecil

berat badan berdasarkan usia gestasi. Fetus yang kembar cenderung tumbuh dengan

kecepatan rata-rata normal sampai usia gestasi 30-34 minggu ketika berat total mereka

mencapai 4 kg. Setelah itu, tumbuh semakin lambat. 2/3 dari kelahiran kembar

menunjukkan beberapa gejala restriksi pertumbuhan saat lahir (Gomella dkk, 2013).

2.7.3. Insufisiensi uteroplasenta

Insidensi insufisiensi akut dan kronik uteroplasenta meningkat pada gestasi multipel.

Skor Apgar 0-3 pada menit ke-5 pernah dilaporkan pada 5-10% kelahiran kembar. Skor

yang rendah ini berhubungan dengan stress akut saat kelahiran, prolapse talipusat (5%)

atau trauma proses kelahiran (Gomella dkk, 2013).

2.7.4. Anomali kongenital

Defek saat lahir terjadi 2-3 kali lebih sering pada kembar monozigot dibandingkan

kelahiran tunggal atau kembar dizigot, dimana sekitar 2-3% defek utama didiagnosis saat

lahir. Tiga mekanisme yang diketahui meningkatkan frekuensi defek structural pada

kembar monozigot, yaitu deformitas disebabkan oleh adanya ruang pembatas intrauterine,

gangguan aliran darah normal akibat anastomosis vaskular plasenta, dan defek pada

morfogenesis. Kehamilan kembar secara fertilisasi in vitro memiliki risiko 2 kali lipat

mengalami anomaly kongenital dibandingkan kembar secara alami (Gomella dkk, 2013).

a. Anomali khas dari kehamilan multipel. Anomali tertentu, seperti kembar siam dan

acardia adalah anomali khas bagi kehamilan multipel.

b. Deformitas. Kehamilan kembar lebih sering mengalami keterbatasan gerak yang

menyebabkan synostosis, tortikolis, facial palsy, defek posisi kaki, dan defek

lainnya.

c. Gangguan vaskular. Gangguan ini berhubungan dengan aliran vaskular monozigot

yang menyebabkan defek saat lahir. Acardia terjadi dari aliran arteri plasenta satu

ke lainnya, yang dimana aliran balik menyebabkan perkembangan yang tidak

berbentuk pada kembar resipien. Kematian intra uterin dari salah satu kembar

mungkin menyebabkan fenomena tromboembolik, termasuk DIC, cutis aplasia,

porencephaly or hydanencephaly, defek berkurangnya ekstremitas, atresia

intestinal atau gastroschisis.

Page 15: BAB II

21

2.7.5. Twin-twin transfusion syndrome

a. Definisi

Twin to twin transfusion syndrome adalah suatu keadaan dimana terjadi transfusi

darah intrauterine dari janin satu ke janin yang lainnya pada kehamilan kembar.

TTTS merupakan komplikasi dari kehamilan kembar monochorionik dimana dari

gambaran sonografi terlihat ditemukan polihidroamnion pada satu kantong dan

oligohidroamnion pada kantong lainnya pada suatu kehamilan ganda

monochorionik-diamniotik (Quintero dkk, 2002)

Darah ditransfusikan dari kembar donor ke kembarannya sebagai resipien

sedemikian rupa sehingga donor menjadi anemic dan pertumbuhannya terganggu,

sementara resipien menjadi polisitemik dan mungkin mengalami kelebihan beban

sirkulasi yang bermanifestasi sebagai hidrops (Gomella dkk, 2013).

b. Epidemiologi

Angka kejadian TTTS berkisar antara 4% sampai 35% dari seluruh kehamilan

kembar monochorionic dan menyebabkan kematian pada lebih dari 17% dari

seluruh kehamilan kembar (Blickstein dkk, 1999). Bila tidak diberikan penanganan

adekuat, > 80% janin dari kehamilan tersebut akan mati intrauterine atau mati

selama masa neonatus. Kematian dari satu janin intrauterine akan membawa

konsekuensi disseminated intravascular coagulation (DIC) (Neilson dan Bajoria,

2001).

c. Klasifikasi

Twin to twin transfusion syndrome (TTTS) berdasarkan berat ringannya penyakit

dibagi atas (Quintero dkk, 1999):

1) TTTS tipe berat, biasanya terjadi pada awal trimester ke II, umur kehamilan

16-18 minggu. Perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5 minggu kehamilan.

Ukuran tali pusat juga berbeda. Konsentrasi Hb biasanya sama pada kedua

janin. Polihidroamnion terjadi pada kembar resipien karena adanya volume

overload dan peningkatan jumlah urin janin. Oligohidroamnion terjadi pada

kembar donor oleh karena hipovolemia dan penurunan jumlah urin janin.

Oligohidroamnion yang berat bisa menyebabkan terjadinya fenomena stuck-

twin dimana janin terfiksir pada dinding uterus.

2) TTTS tipe sedang, terjadi pada akhir trimester ke II, umur kehamilan 24-30

minggu. Walaupun terdapat perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5

Page 16: BAB II

22

minggu kehamilan, polihidroamnion dan oligohidroamnion tidak terjadi.

Kembar donor menjadi anemia, hipovolemia dan pertumbuhan terhambat.

Sedangkan kembar resipien mengalami plethoric, hipovolemia, dan

makrosomia. Kedua janin bisa berkembang menjadi hidrops.

3) TTTS tipe ringan, terjadi secara perlahan pada trimester III. Polihidramnion

dan oligohdroamnion biasanya tidak terjadi. Konsentrasi Hb berbeda lebih

dari 5 gr%. Ukuran besar janin berbeda lebih drai 20%.

Twin to twin transfusion syndrome juga dapat diklasifikasikan menjadi akut dan

kronik. Patofisiologi yang mendasar penyakit ini, gambaran klinis, morbiditas dan

mortalitas pada kedua tipe ini sangat berbeda. Angka kematian perinatal yang

tinggi pada twin to twin transfusion syndrome terutama disebabkan oleh tipe yang

kronik (Quintero dkk, 1999).

1) Tipe akut jika terjadi transfuse darah secara akut/tiba-tiba dari satu janin ke

janin yang lain, biasanya pada trimester ke tiga atau selama persalinan dari

kehamilan monokorionik yang tidak berkomplikasi, menyebabkan

hipovolemia pada kembar donor dan hipervolemia pada kembar resipien,

dengan berat badan lahir yang sama. Transfuse dari kembar pertama ke

kembar kedua saat kelahiran kembar pertama. Namun demikian, bila tali pusat

kembar pertama terlambat dijepit, darah dari kembar yang belum dilahirkan

dapat ditransfusikan ke kembar pertama. Diagnosis biasa dibuat pada saat

postnatal.

2) Tipe Kronik biasanya terjadi pada kehamilan dini (umur kehamilan 12-26

minggu). Kasus tipe ini merupakan yang paling bermasalah karena bayinya

masih imatur dan tidak dapat dilahirkan, sehingga dalam pertumbuhannya di

uterus, bisa mengalami kelainan akibat dari twin-to-twin transfusion syndrome

seperti hydrops. Tanpa terapi, sebagian besar bayi tidak dapat bertahan hidup

atau bila survival, akan timbul kecacatan. Walaupun arah transfuse darah

menuju kembar resipien, tetapi thrombus dapat secara bebas berpindah arah

melalui anstomosis pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan infark atau

kematian pada kedua janin.

d. Patofisiologi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi patofisiologi terjadinya TTTS, yakni

(Cunningham, 2014):

Page 17: BAB II

23

1) Tipe dan jumlah dari anstomosis yang ada, juga dipengaruhi letak yang sangat

bergantung pada ukuran zona plasenta dan insersi tali pusat (sentral, eksentrik,

marginal, velamentosa)

2) Tekanan yang abnormal pada insersi dari umbilical cord

3) Insufisiensi aliran uteroplasenta

Teori yang banyak dipahami adalah bahwa transfusi darah dari donor kepada

penerima kembar terjadi melalui anastomosis vaskular plasenta. Dimana koneksi

vaskuler antar janin kembar terdiri dari 2 tipe, yaitu: Pertama tipe superficial dan

kedua tipe profunda. Masing-masing tipe mempunyai karakteristik aliran, pola

resistensi tersendiri yang mempengaruhi pertumbuhan janin kembar monokorionik.

Koneksi tipe superficial seperti arterioarteriosa (a↔a); venovenosa (v↔v).

Gambaran ini terlihat jelas pertemuannya di atas lempeng korion, dimana

hubungan ini jarang menimbulkan antenatal TTS. Justru hubungan ini akan

melindungi supaya tidak berkembang menjadi TTS. Koneksi arterioarteriosa lebih

sering dibanding koneksi venavenosa. Dalam Shandra Rajene, 1999 Koneksi

arterioarteriosa dan venavenosa memberikan pembagian darah yang seimbang pada

kedua janin dan tidak ada anastomosis arteriovenosa. Koneksi tipe profunda atau

sirkulasi ketiga bersifat arteriovenosa (a-v) dimana salah satu janin bersifat sebagai

donor dan janin yang lain sebagai resipien. Anastomosis ini tidak tampak pada

lempeng korionik dikarenakan adanya perbedaan tekanan (gradien) yang terjadi

pada sirkulasi tersebut. Anastomosis ini jarang terjadi, kebanyakan jika terjadi

anastomosis arteriovenosa diikuti dengan anastomosis arterioarteriosa yang

melindungi terjadinya sirkulasi ketiga. Karena sirkulasi menghasilkan

keseimbangan dinamis dimana disamping terjadinya penurunan tekanan donor juga

terjadi peningkatan resipien (Cunningham, 2013).

Page 18: BAB II

24

Gambar 2.7. Anastomosis vaskular plasenta TTTS(sumber : Cunningham dkk, 2013)

e. Diagnosis

Diagnosis prenatal TTTS dibuat dengan menggunakan ultrasonografi. Dengan

berbagai variasi, para ahli memberikan criteria untuk diagnosis TTTS antenatal

sebagai berikut (Rusda dan Roeshadi, 2005):

Tabel 1. Keadaan pada trimester I untuk diagnosis TTTS

1) Kehamilan monokorionik

2) Ukuran nuchal translucency > 3 mm pada umur kehamilan 10-14 minggu

3) Ukuran crown-rump length yang kurang pada satu janin

4) Membrane pemisah pada umur kehamilan 10-13 minggu

(Sumber : Rusda dan Roeshadi, 2005)

Kriteria diagnostik trimester kedua dan awal trimester ketiga termasuk, kehamilan

monochorionik, kembar dengan jenis kelamin sama, kombinasi polihidroamnion

pada satu kantong dan oligohidroamnion pada kantong yang lainnya, dan kecil atau

tidak terlihatnya kandung kemih pada donor sementara pada resipien memiliki

kandung kemih yang besar (Rusda dan Roeshadi, 2005). (Tabel. 2)

Tabel 2. Kriteria diagnostik TTTS pada trimester kedua atau awal trimester ketiga (kriteria diagnostik ultrasonografi)

1) Kehamilan monokorionik

2) Jenis kelamin yang sama

3) Satu massa plasenta

4) Membrane pemisah yang tipis

5) Kelainan volume cairan amnion

Page 19: BAB II

25

a) Satu kantong amnion oligohidroamnion, ukuran vertical 2,0 cm

b) Satu kantong amnion polihidroamnion, ukuran vertical 8,0 cm

6) Kantung kencing yang persisten

a) Kantung kencing yang kecil atau tidak tampak pada kembar

oligohdroamnion

b) Tampak kantung kencing yang besar pada kembar polihidroamnion

c) Tambahan untuk membantu diagnosis

7) Perkiraan perbedaan berat janin (20% lebih berat kembar besar)

8) Adanya stuck twin

9) Hindrops fetalis (adanya satu atau lebih gejala: edema kulit [tebal 5 mm],

efusi pericardial, efusi pleura, dan ascites)

10) Membrane pembungkus pada umur kehamilan 14-17 minggu

(Sumber : Rusda dan Roeshadi, 2005)

Gambar 2.8. Alogaritma penatalaksanaan TTTS

(sumber : Rusda dan Roeshadi, 2005)

Page 20: BAB II

26

Diagnosis postnatal TTTS dapat ditegakkan dengan (Roberts dkk, 2003; Gomella

dkk, 2013):

1) Adanya perbedaan berat badan kedua janin yang > 500 g, atau perbedaan>20

% pada janin pretemi (untuk TTTS yang kronis).

2) Terdapat perbedaan kadar Hemoglobin > 5 gr/dl

3) Perbedaan ukuran pada organ-organ jantung, ginjal, hepar dan thymus.

f. Tatalaksana

Beberapa jenis teknik terapi telah dilakukan dalam usaha memperbaiki hasil luaran

kehamilan kasus twin-to-twin transfusion syndrome. Pendekatan ini meliputi terapi

amniosentesis, septostomi, ablasi laser terhadap anastomosis pembuluh darah,

selektif feticide, dan terapi ibu dengan memakai digoksin (Blickstein dkk, 1999;

Roberts dkk, 2003).

Tabel 3. Pilihan Terapi

1) Pemeriksaan antenatal dengan ultrasonografi, analisa aliran darah dengan

Doppler, echokardiografi fetus dan kardiotokografi fetus atau non stress

test, pemberian tokolisis untuk mencegah partus prematurus.

2) Pengurangan volume cairan amnion secara serial (amnioreduksi)

3) Oklusi fetoskopik dengan penggunaan laser pada Pembuluh darah plasenta

4) Septostomi

5) Terminasi selektif

6) Histerotomi dengan mengangkat salah satu janin

7) Ligasi tali pusat secara endoskopi atau percutaneus

(Sumber : Rusda dan Roeshadi, 2005)

Terapi amniosentesis dilakukan dengan mengurangi cairan amnion yaug

berlebihan pada kantung amnion kembar resipien. Terapi ini mempunyai beberapa

keuntungan yaitu: memberi ruang yang lebih pada kembar yang lebih kecil (stuck

twin), menstabilkan kembar yang besar, mengurangi ketidaknyamanan ibu akibat

jumlah cairan amnion yang banyak, dan kehamilan dapat berlanjut lebih aman

dengan berkurangnya risiko persalinan prematur. Komplikasi terapi ini (sekitar

8%) meliputi korioamnionitis, persalinan prematur, ketuban pecah dini, dan solusio

plasenta. Secara keseluruhan. keberhasilan terapi amniosintesis cukup baik.

Dengan sekitar 44% kehamilan kedua janin hidup. dan 66% satu janin hidup,

Page 21: BAB II

27

survival rate 30%-83%, namun kelainan neurologi masih tinggi 5%-32% (Rusda

dan Roeshadi, 2005)

Septostomi (diperkenalkan oleh Dr. George Saade dkk dari Amerika) dilakukan

dengan cara membuat lubang kecil pada membran pemisah, yang akan berfungsi

sebagai tempat lewatnya cairan amnion dari satu kantung amnion ke kantung

amnion yang lain sehingga terjadi keseimbangan cairan amnion. Komplikasi terapi

ini meliputi pecahnya selaput pemisah, terjadi pertautan tali pusat kedua janin dan

kematian janin (Rusda dan Roeshadi, 2005)

Terapi laser (dipelopori Dr. Julian De Lia dkk dari Amerika Serikat) dilakukan

dengan memasang endoskopi melalui perut ibu ke kantung amnion kembar

resipien. Fetoskop dan laser dilewatkan melalui endoskop. Dengan bantuan USG

dan petunjuk pada video realtime . laser digunakan untuk mengkoagulasi atau

merusak anastomosis pembuluh darah secara selektif (Rusda dan Roeshadi, 2005)

Selektif feticide dilakukan pada kronik twin-to-twin transfusion syndrome sebelum

umur kehamilan 25 minggu. Cara yang dipergunakan berupa ligasi tali pusat

dengan bantuan USG dan injeksi larutan NaCl kedalam kaviun pericardial sehingga

terjadi tamponade jantung. Pemakaian digoksin bertujuan mengatasi gagal jantung

kembar resipien, namun sering tidak berhasil oleh karena digoksin tidak dapat

melewati plasenta dalam jumlah yang cukup untuk terapi tersebut (Rusda dan

Roeshadi, 2005)

Pilihan penanganan kasus dengan kematian satu janin adalah persalinan preterm

elektif terhadap janin yang hidup (dengan steroid untuk mematangkan paru)

dengan segala risiko prematuritas atau konservatif yang juga berisiko kematian

janin dalam uterus dan kelainan neurologis (Rusda dan Roeshadi, 2005).

2.8. Diagnosis

2.8.1. Anamnesis dan manifestasi klinik

Riwayat kehamilan multipel dalam keluarga, usia ibu yang tua, paritas tinggi, ukuran

tubuh ibu yang besar dan riwayat kehamilan multipel pribadi merupakan petunjuk yang

mengarahkan diagnosis kehamilan multipel. Riwayat penggunaan clomiphene citrate,

gonadotropin dan kehamilan dengan ART semakin memperkuat kemungkinan.

Manifestasi klinik pada kehamilan multipel pada umumnya sama dengan kehamilan

tunggal tetapi dengan intensitas yang lebih berat, seperti penekanan berat pada pelvis,

Page 22: BAB II

28

mual, nyeri punggung, varikosis, konstipasi, haemorrhoid, distensi abdominal dan

kesulitan bernapas (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).

2.8.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yaitu dengan pengukuran tinggi fundus yang akurat merupakan

salah satu petunjuk yang penting. Pada trimester ke-2 ukuran uterus membesar lebih dari

usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT). Menurut

cunningham F tinggi fundus uteri pada 336 kehamilan, pada usia kehamilan 20-30

minggu tinggi fundus pada kehamilan kembar rata-rata lebih tinggi 5cm daripada

kehamilan tunggal dengan usia kehamilan yang sama (Bush, 2013; Cunningham dkk,

2013).

Pada palpasi uterus teraba 2 kepala janin yang biasanya terdapat pada kuadran uterus

yang berbeda. Diagnosis dengan palpasi ini sulit ditegakkan sebelum trimester ketiga,

bahkan jika posisi janin bertumpuk, ibu obesitas dan adanya hidramnion palpasi

abdominal sulit untuk mengidentifikasi kehamilan multipel meskipun pada usia

kehamilan tua.

Pada timester pertama, denyut jantung janin dapat dideteksi dengan USG doppler.

Pemeriksaan teliti dengan aural fetal stethoscope dapat mengidentifikasi bunyi jantung

janin pada usia 18-20 minggu (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).

Secara umum pemeriksaan fisik yang dapat mengarahkan diagnosis kehamilan

multipel, yaitu (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013):

a. Uterus yang lebih besar dari usia kehamilan.

b. Peningkatan berat badan ibu yang berlebihan tanpa adanya obesitas atau oedem.

c. Polihidramnion.

d. Terdapat ballotement yang lebih dari satu fetus.

e. Bagian kecil yang multipel.

f. Bunyi jantung yang berbeda dengan denyut jantung janin dan ibu, dengan

perbedaan 8 denyut per menit.

2.8.3. Pemeriksaan penunjang

a. USG

USG merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis kehamilan multipel dan

dapat ditentukan pada usia kehamilan 4 minggu dengan probe intravaginal. Selain

itu dapat ditentukan keadaan plasenta. Untuk dapat mengidentifikasi kehamilan

Page 23: BAB II

29

multipel USG rutin sebaiknya dilakukan pada usia kehamilan 18-20 minggu.

Diagnosis kehamilan multipel pada trimester pertama harus dilakukan dengan hati-

hati sampai dengan pasti dapat dua embrio yang viabel. Kesalahan diagnosis

dengan bekuan darah intrauterin atau koleksi cairan sebagai janin non-viabel dapat

menimbulkan trauma pada pasien (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).

USG pada trimester pertama kehamilan penting untuk menentukan sifat korion.

Pada janin dikorionik biasanya ditemukan jenis kelamin yang berbeda, plasenta

yang berbeda, membran pembagi yang tebal (>2mm) atau adanya tanda twin peak

yaitu berupa membran yang menyusup diantara 2 plasenta yang berfusi.Bila salah

satu plasenta berada pada dinding bagian depan uterus sedangkan plasenta yang

lain pada dinding belakang, saat pencitraan dengan USG akan terlihat plasenta

yang menumpuk seperti satu plasenta. Pada kasus seperti ini akan terlihat bentuk

segitiga pada pertemuan membran dan plasenta disebut tanda lambda. Menurut

penelitian oleh Sepulveda W dan teman-teman, pemeriksaan dengan USG pada

usia kehamilan 10-14 dapat menentukan kehamilan multipel diklasifikasikan

sebagai monokorionik atau dikorionik. Kehamilan multipel diklasifikasikan

sebagai monokorionik jika terdapat satu plasenta tanpa tanda lambda pada

hubungan membran-plasenta diantara janin dan diklasifikasikan sebagai dikorionik

jika terdapat satu plasenta dengan tanda lambda atau terdapat dua plasenta. Cara ini

merupakan cara yang dapat diandalakan dan akurat dalam menentukan jenis

kehamilan multipel (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).

Pada janin multipel monokorionik diamnionik, terdapat satu plasenta dan janin

dipisahkan hanya dengan membran amnion yang tipis sehingga akan terbentuk

tanda berbentuk huruf T. Kriteria USG untuk mendiagnosis sifat koriondan amnion

pada kehamilan ganda dapat dilihat pada tabel berikut ini (Bush, 2013;

Cunningham dkk, 2013).

Tabel 4. Kriteria USG untuk mendiagnosis sifat koriondan amnion pada kehamilan ganda

Gambaran USG Sifat korion dan amnion

Jenis kelamin fetus berbeda Dikorionik/diamniotik (dan

dizigotik)

Plasenta yang terpisah Dikorionik/diamniotik

Tanda ”lambda” atau ”twin peak” Dikorionik/diamniotik

Membran pembatas yang tebal Dikorionik/diamniotik

Page 24: BAB II

30

(subjektif)

Membran pembatas yang tipis

(subjektif)

Monokorionik/diamniotik

Tidak ada membran pembatas Monokorionik/monoamniotik

Sumber: Cunningham dkk, 2013

Gambar 2.9. USG pada kehamilan 7 minggu, tampak dua kantong gestasi berisi fetus

Sumber: Cunningham dkk, 2013

Gambar 2.10. Gambaran USG dari tanda twin peak (A) dan diagram skematik tanda twin-peak (B)

Sumber: Cunningham dkk, 2013

Page 25: BAB II

31

Gambar 2.11. Gambaran USG dari tanda berbentuk huruf T (T shape) pada kembar monokorionik diamnionik (panah menunjuk pada septum membran interfetal (<1,5

mm) pada kembar monokorionik yang membentuk huruf ”T” pada dasarnyaSumber: http://www.worldtttsawarenessday.org/pictures.php.

Pada kehamilan multipel yang lebih dari dua janin, evaluasi dengan USG untuk

menentukan jumlah janin dan posisinya terutama pada trimester pertama sulit

dilakukan. Pada 50% kasus kehamilan multipel ditemukan presentasi kepala untuk

kedua janin. Sedangkan 33% kasus presentasi janin A kepala dan janin B bokong,

pada 10% kasus kedua janin dalam presentasi bokong dan sisanya dapat salah satu

atau keduanya dalam posisi lintang (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).

Gambar 2.12. Kiri: kedua janin presentasi kepala, kanan: presentasi kepala dan bokongSumber: Bush, 2013

b. Pemeriksaan darah

Page 26: BAB II

32

Nilai hematokrit, hemoglobin dan jumlah eritrosit biasanya menurun berhubungan

dengan peningkatan volume darah. Anemia hipokrom normositer sering terjadi

pada kehamilan multipel karena peningkatan kebutuhan zat besi pada trimester

kedua. Tes toleransi glukosa menunjukkan diabetes melitus gestasional dan

hipoglikemia gestasional meningkat pada kehamilan multipel daripada kehamilan

tunggal.

Jumlah korionik gonadotropin dalam plasma dan urine rata-rata lebih tinggi

daripada kehamilan tunggal, level alfa-fetoprotein juga dapat meningkat. Jumlah

rata-rata serum alfa-fetoprotein maternal 2,5 kali lebih tinggi pada kehamilan

multipel dibandingan kehamilan tunggal. Hal ini diduga disebabkan tingginya

tingkat protein yang dilepaskan oleh hati janin yang multipel dan ditemukan pada

darah ibu dibandingkan janin tunggal (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).

c. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan dengan rontgen sudah jarang dilakukan untuk mendiagnosis

kehamilan ganda karena cahaya penyinaran berisiko menganggu perkembangan

janin (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).

2.9. Penanganan

2.9.1. Prenatal care

Untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas dalam kehamilan multipel perlu

diperhatikan (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013):

a. Kontrol prenatal pada wanita dengan kehamilan multipel harus lebih sering

daripada kehamilan tunggal. Jadwal kontrol tergantung dari masalah obstetrik pada

masing-masing individu.

b. Umumnya mulai umur kehamilan 24 minggu pemeriksaan antenatal dilakukan tiap

2 minggu, dan sesudah usia kehamilan 36 minggu pemeriksaan dilakukan tiap

minggu.

c. Wanita dengan kehamilan multipel harus mengurangi aktivitasnya sehari-hari

terutama pada usia kehamilan 5-9 bulan sehingga aliran darah ke plasenta

meningkat agar pertumbuhan janin baik .

d. Untuk menghindari persalinan prematur, diagnosis dan pencegahannya harus

dilakukan sedini mungkin.

e. Pemantauan dengan USG harus dilakukan setiap 3-6 minggu, tes antenatal seperti

Non-Stress Test (NST) dilakukan setiap minggu pada trimester ketiga.

Page 27: BAB II

33

f. Pemeriksaan volume cairan amnion penting untuk mendeteksi adanya

oligohidramnion yang mengindikasikan adanya gangguan uteroplasenta.

Pengukurannya dapat menggunakan amnionic fluid index (AFI).

g. Jika terdapat risiko kelahiran prematur, pada minggu ke-34 sebaiknya diberikan

kortikosteriod untuk mengurangi risiko respiratory distress syndrome pada

neonatus dan perdarahan intraventrikular, berupa betamethsone 12 mg/hari , untuk

2 hari saja. Bila tak ada betamethasone dapat diberikan dexamethasone serta

pemberian tokolitik. Kortikosteroid mempercepat produksi surfaktan dari

pneumosit dan mengurangi insidensi kematian neonatus, perdarahan intraserebral,

dan enterokolitis. Dosis betametason yang dianjurkan adalah 12.0 mg

intramuskular, diulang dalam 24 jam. Deksametason diberikan dalam dosis 5 mg

dengan interval 6 jam hingga tercapai dosis total 20 mg. Pemberian kortikosteroid

harus dimulai 24-48 jam sebelum persalinan.8 Kortikosteroid diberikan untuk

menginduksi pematangan paru janin pada kehamilan 24 sampai 34 minggu jika

tidak ditemukan tanda-tanda infeksi. Pemberian kortikosteriod pada kehamilan

kurang dari 23 minggu masih kontroversi. Pemberian kortikosteroid pada

kehamilan kurang dari 23 minggu tidak berguna untuk memperbaiki keadaan

pernafasan karena pada janin kurang dari 23 minggu belum terbentuk sel

pneumosit yang memproduksi surfaktan.

h. Angka kelahiran prematur meningkat seiring dengan tingginya jumlah fetus,

sehingga reduksi pada kehamilan multipel yang lebih dari dua dapat

dipertimbangkan.

i. Kebutuhan kalori, protein, mineral, vitamin dan asam lemak esensial sangat

meningkat pada wanita dengan kehamilan multipel. Konsumsi kalori harus

ditingkatkan 300Kcal/ hari. Menurut penelitian Brown dan Carlson pada tahun

2000 sebaiknya peningkatan berat badan wanita hamil disesuaikan dengan berat

badan sebelum hamil, tetapi wanita dengan kehamilan triplet (kembar tiga)

setidaknya mengalami peningkatan berat badan sebesar 50 pon. Peningkatan kalori

sebaiknya dilengkapi dengan suplemen zat besi 60-100mg/hari dan asam folat

1mg/hari.

2.9.2. Persalinan

Banyak komplikasi yang dapat terjadi pada kehamilan multipel, oleh karena itu

persiapan khusus diperlukan saat persalinan. Rekomendasi penanganan intrapartum yang

Page 28: BAB II

34

dapat dilakukan saat persalinan dengan janin lebih dari satu antara lain (Bush, 2013;

Cunningham dkk, 2013):

a. Penolong persalinan yang terlatih harus mengawasi pasien selama proses

persalinan disertai observasi pembukaan serviks dan keadaan janin.

b. Pemasangan infus intravena harus dilakukan untuk memasukkan cairan secara

cepat. Bila tidak terdapat perdarahan atau gangguan metabolisme selama persalinan

diberikan cairan infus dengan dextrose atau ringer laktat sebanyak 60-120ml/jam.

c. Seorang dokter spesialis kandungan yang terampil dalam mengidentifikasi bagian-

bagian janin dan dapat melakukan manipulasi intrauteri harus ada.

d. Mesin USG tersedia untuk megevaluasi posisi dan status janin yang kedua setelah

janin yang pertama lahir.

e. Seorang dokter spesialis anestesi harus siap bila diperlukan persalinan dengan

seksio sesarea.

f. Terdapat orang yang terlatih melakukan resusitasi untuk masing-masing janin.

g. Ruangan bersalin harus cukup luas untuk semua anggota tim agar dapat berkerja

dengan baik.

Presentasi janin berperan besar dalam dilatasi serviks dan jalan lahir. Jika presentasi

janin pertama adalah kepala maka persalinan dapat dilakukan secara spontan ataupun

dengan forceps. Bila presentasi janin pertama adalah bokong, masalah utama yang

biasanya muncul adalah (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013):

a. Janin biasanya besar dan kemungkinan terjadi aftercoming head.

b. Janin kecil sehingga lahirnya ektremitas tidak menyebabkan dilatasi yang adekuat

pada serviks dan jalan lahir sehingga kepala sulit lahir.

c. Terjadi prolaps tali pusat.

Jika muncul masalah, biasanya persalinan dengan seksio sesarea dipilih, kecuali

pada bayi yang prematur dengan kemungkinan bertahan hidup yang rendah. Pada janin

dengan presentasi kepala dan bokong dapat terjadi fenomena lock twin. Fenomena ini

terjadi saat penurunan janin dengan presentasi bokong melalui jalan lahir, dagu janin

pertama dan kedua terkunci. Bila terjadi fenomena lock twin teridentifikasi persalinan

dengan seksio saesaria direkomendasikan. (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013)

Page 29: BAB II

35

Gambar 2.13. Lock twinSumber: Bush dkk, 2013

Persalinan pervaginam janin kedua harus dilakukan secara tepat dan cepat. Setelah

janin pertama dilahirkan, presentasi, ukuran, dan hubungannya dengan jalan lahir harus

setelah ditentukan dengan mengkombinasikan pemeriksaan abdominal, vaginal dan

terkadang intrauterin. Jika kepala atau bokong sudah terfiksasi jalan lahir, dilakukan

penekanan fundus moderat dan membrannya akan ruptur. Segera setelah itu, pemeriksaan

digital serviks diulang terus untuk mencegah prolaps tali pusat. Persalinan akan segera

dimulai dan denyut jantung janin harus dimonitor. Induksi persalinan tidak perlu

dilakukan kecuali jika terjadi penurunan denyut jantung janin atau perdarahan.

Perdarahan menandakan pelepasan plasenta mulai terjadi, hal ini dapat membahayakan

ibu dan bayinya. Bila tidak ada kontraksi dalam 10 menit harus dilakukan stimulasi

dengan oxytocin yang diencerkan (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013).

Bila presentasi occipital atau bokong sudah masuk ke pintu atas panggul tetapi

belum terfiksasi, bagian terendahnya dapat diarahkan dengan satu tangan dari dalam

vagina dan tangan yang lain menekan fundus uteri dari luar. Pada janin kedua dengan

letak non-cephalic dapat dilakukan versi luar intrauterin. Prinsip penanganan kehamilan

ganda (Bush, 2013; Cunningham dkk, 2013):

a. Bayi I

1) Cek persentasi

a) Bila verteks lakukan pertolongan sama dengan presentasi normal dan

lakukan monitoring dengan partograf

Page 30: BAB II

36

b) Bila persentasi bokong, lakukan pertolongan sama dengan bayi tunggal

presentasi bokong

c) Bila letak lintang lakukan seksio sesaria

2) Monitoring janin dengan auskurtasi berkala DJJ

3) Pada kala II beri oksitosis 2,5 IU dalam 500 ml dekstrose 5% atau ringer

laktat/ 10 tts / mt.

b. Bayi II

1) Segera setelah kelahiran bayi I

a) Lakukan palpasi abdomen untuk menentukan adanya bayi selanjutnya

b) Bila letak lintang lakukan versi luar

c) Periksa DJJ

d) Lakukan pemeriksaan vaginal untuk : adanya prolaps funikuli, ketuban

pecah atau intak, presentasi bayi.

2) Bila presentasi verteks

a) Bila kepala belum masuk, masukan pada PAP secara manual

b) Ketuban dipecah

c) Periksa DJJ

d) Bila tak timbul konteraksi dalam 10 menit, tetesan oksitosin dipercepat

sampai his adekuat

e) Bila 30 menit bayi belum lahir lakukan tindakan menurut persyaratan

yang ada (vakum, forceps, seksio)

3) Bila presentasi bokong

a) Lakukan persalinan pervaginan bila pembukaan lengkap dan bayi

tersebut tidak lebih besar dari bayi I

b) Bila tak ada konteraksi sampai 10 menit, tetesan oksidosin dipercepat

sampai his adekuat

c) Pecahkan ketuban

d) Periksa DJJ

e) Bila gawat, janin lakukan ekstraksi

f) Bila tidak mungkin melakukan persalinan pervaginam lakukan seksio

secarea.

4) Bila letak lintang

a) Bila ketuban intak, lakukan versi luar

b) Bila gagal lakukan seksio secarea

Page 31: BAB II

37

5) Pasca persalinan berikan oksitosin drip 20 IU dalam 1 liter cairan 60

tetes/menit atau berikan ergometrin 0,2 mg IM 1 menit sesudah kelahiran anak

yang terakhir dan lakukan manajemen aktif kala II. Untuk mengurangi

perdarahan pasca persalinan.

Dulu umumnya interval persalinan antara janin kembar pertama dan kedua adalah 30

menit. Menurut penelitian oleh Rayburn dan kelompoknya (1984), jika monitoring fetus

dilakukan terus-menerus interval yang lebih panjang akan memberikan hasil yang lebih

baik. American College of Obstetricians and Gynecologists (1998) telah menetapkan

bahwa interval antara kelahiran janin multipel tidak mempengaruhi kesejahteraan janin.

Leung dan kelompoknya (2002) menggambarkan hubungan langsung antara penurunan

nilai gas darah dari tali pusat dengan interval persalinan (Bush, 2013; Cunningham dkk,

2013).