bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori dan … · menyajikan makanan atau hidangan yang...
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian yang terkait dengan masalah pola kebiasaan makan, baik dari
perspektif teologi, sejarah, dan peranan aktor intelektual serta konflik-konflik
praksis pola kebiasaan makan sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, kajian secara
spesifik yang menyangkut eksistensi kuliner tinutuan dalam pola kebiasaan
makan di Kota Manado, sangat terbatas dan sulit ditemukan bahkan dapat
dikatakan belum pernah diteliti. Walaupun demikian, penelusuran dan pengkajian
dari hasil kajian terdahulu dan terkini serta beberapa buku, jurnal ilmiah, artikel
melalui internet, majalah, surat kabar yang relevan dengan penelitian ini tetap
dilakukan. Hal tersebut dimaksudkan sebagai upaya pengayaan wawasan, baik
yang terkait dengan metode, teori maupun strategi, sehingga minimal dapat
dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai kendala yang dihadapi dalam proses
penelitian. Sumber kajian mengenai pola kebiasaan makan kuliner tinutuan
dalam penelusuran pustaka menemukan beberapa penelitian yang menjadi acuan
dan penunjang bagi penulis untuk membandingkan bagian-bagian penelitian
mana yang belum tersentuh. Beberapa penelitian di antaranya adalah penelitian
oleh Tambahani (2002), Weichart (2004), Pamantung (2015), Kandou (2012),
Lasmanawati (2010), dan Nanariaini dkk (2015). Penelitian dimaksud sebagai
berikut.
Penelitian oleh Tambahani (2002) dalam tesis “Kontribusi Tinutuan
(Bubur Manado) terhadap Konsumsi Anak Sekolah Taman Kanak-kanak di
13
Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara” menjelaskan hasil analisisnya
tentang kandungan protein, lemak, karbohidrat, energi, vitamin C, dan besi yang
terdapat dalam daun gedi dan tinutuan. Di samping itu, Tambahani juga
menggambarkan bahwa frekuensi konsumsi tinutuan anak sekolah taman kanak-
kanak adalah 3 kali per minggu dengan rata-rata konsumsi 1,5 porsi per sekali
makan. Alasan mengonsumsi tinutuan karena kebiasaan dalam keluarga di
samping sekolah juga menjadwalkan makan tinutuan setiap hari Selasa.
Tambahani juga menyimpulkan bahwa kontribusi energi dan zat gizi tinutuan
relatif kecil karena tinutuan ini hanya sebagai makanan selingan dalam keluarga.
Kemudian ada pengaruh aspek sosial ekonomi keluarga sebesar dua puluh persen
yang berhubungan dengan konsumsi tinutuan pada anak sekolah taman kanak-
kanak di Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara.
Tujuan penelitian Tambahani ini menunjukkan beberapa kesamaan secara
umum dengan penelitian penulis, yaitu mengkaji kebiasaan makan dan konsumsi
pangan keluarga, frekuensi dan jumlah konsumsi, serta alasan mengonsumsi
tinutuan. Perbedaannya, yaitu Tambahani mengambil sasaran anak taman kanak-
kanak dan lokasi penelitiannya di Kota Tomohon. Adapun perbedaan yang lebih
prinsipil, yaitu penulis mengkaji secara mendalam faktor-faktor yang
memengaruhi eksistensi kuliner tinutuan serta dampak dan makna yang
terkandung dalam eksistensi kuliner tinutuan. Di pihak lain penelitian Tambahani
hanya membatasi faktor sosial ekonomi keluarga yang memengaruhi kontribusi
tinutuan, artinya sama sekali tidak menyinggung dampak dan maknanya. Akan
14
tetapi, penelitian tersebut dijadikan acuan karena memiliki relevansi dengan
penelitian yang dilakukan penulis.
Penelitian Weichart (2004) ber judul “Identitas Minahasa: Sebuah Praktik
Kuliner." Weichart mengulas sejarah identitas suku Minahasa, dengan beberapa
variabel yang memiliki peran penting dalam proses pembentukan dan
pemeliharaan identitas, seperti kebiasaan-kebiasaan seputar makanan, yang telah
dikenal di luar batas wilayah Minahasa. Salah satu diantaranya adalah tradisi dan
kebiasaan masa kini sehubungan dengan makanan dan kegiatan makan yang
dikaitkan dengan penanda utama identitas Minahasa, seperti tanah, nenek
moyang, sejarah pascakolonial, dan agama. Peneliti Weichart memberikan
argumen-argumennya tentang spesifik makanan yang digemari dan kerap disantap
masyarakat Minahasa. Persamaan dengan penelitian yang dilakukannya, yaitu
terkait dengan kuliner tinutuan sebagai isu sentral, baik dalam wacana publik
maupun pribadi, dalam tradisi dan kebiasaan makan dihubungkan dengan
golongan agama. Hal itu penting karena penulis juga berusaha menyajikan
pemahaman masyarakat terhadap tradisi dan kebiasaan makan kuliner tinutuan
sebagai warisan budaya bangsa yang mengandung nilai-nilai luhur yang dijadikan
pedoman masyarakat untuk dilestarikan. Perbedaannya Weichart tidak meneliti
secara khusus tentang eksistensi, faktor-faktor yang memengaruhi, serta dampak
dan makna kuliner tinutuan yang dikaji dalam penelitian penulis.
Pamantung (2015) mengadakan penelitian disertasinya berjudul
”Taksonomi Nomina Aspek Makanan dan Minuman Khas Minahasa dalam
Bahasa Melayu Manado.” Dalam penelitian itu diidentifikasi, dianalisis, dan
15
dideskripsikan sistem penamaan makanan dan minuman yang muncul pada
tradisi budaya Minahasa berdasarkan mitos cerita rakyat yang memiliki simbol
dan nilai mitis yang berfungsi dan bermakna sebagai konsep budaya Minahasa.
Pamantung juga mengkaji penamaan tinutuan di daerah wilayah Minahasa dan
menjelaskan seri komponen makna yang muncul pada perangkat leksikal atau
satuan leksikal tinutuan adalah bahan dasar makanan, lokasi pembuatan, dan
pemakaian bahasa lokal di Minahasa.
Pada perangkat leksikal atau satuan leksikal tinutuan bervariasi karena
lokasi pembuatan makanan berdasarkan pemakaian bahasa yang berbeda. Selain
itu, menurut Pamantung bila dicermati dari komponen makna tambahan berupa
referen tanaman hutan berupa sayuran maka sayur gedi menjadi ciri pembeda
antara leksem pedal dan peraal yaitu teori medan makna dapat menjadi salah
satu alat utama dalam penemuan leksikal yang bervariasi. Ada dua temuan baru
dari penelitian Pamantung. Pertama, teori medan makna dapat menjadi salah satu
alat utama dalam penemuan data leksem makanan dan minuman khas Minahasa
sebagai bentuk leksikal yang bervariasi. Kedua, secara empiris ditemukan hal-hal
baru yang tersingkap dengan makanan dan minuman khas Minahasa.
Penelitian Pamantung tersebut memunyai relevansi dengan penelitian ini
karena ada persamaan dalam mengulas akar sejarah sistem penamaan kuliner
tinutuan yang berasal dari budaya Minahasa. Perbedaannya, representasi di atas
belum mengkaji secara mendalam bagian-bagian yang berhubungan dengan
penelitian ini, terutama yang berhubungan dengan bentuk eksistensi kuliner
16
tinutuan, faktor-faktor yang memengaruhi, dampak dan makna kuliner tinutuan
terhadap pola kebiasaan makan di Kota Manado.
Hasil penelitian disertasi Kandou (2012) di Kota Manado dengan judul
“Etnik Minahasa Rentan Sakit Jantung?” mendeskripsikan bahwa seseorang yang
mengomsumsi jenis makanan berisiko PJK (penyakit jantung koroner) seperti
babi putar dengan frekuensi makan lebih dari dua kali/bulan mempunyai
kemungkinan terkena PJK 4,43 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang
mengonsumsi kurang dari sekali/bulan. Di samping itu, seseorang yang
mempunyai kebiasaan makan menu berlemak dengan frekuensi sering risikonya
tercatat 5,4 kali lebih besar untuk terkena PJK dibandingkan dengan yang jarang
makan. Hasil penelitian itu diperoleh setelah memperhitungkan beragam faktor,
seperti jenis kelamin, riwayat PJK dalam keluarga, dan diabetes mellitus. Hal
yang menarik dalam penelitian itu bahwa Kandou merekomandasikan kepada
instansi terkait dalam hal ini Departemen Kesehatan agar melakukan upaya
penyuluhan kepada masyarakat etnik Minahasa untuk mengurangi frekuensi
mengonsumsi menu yang berisiko terhadap PJK. Selain itu, juga mengganti
makanan yang berisiko dengan jenis makanan yang tidak berisiko, yaitu salah satu
diantaranya adalah tinutuan. Oleh sebab itu, penelitian Kandou tersebut dipakai
sebagai pembanding untuk mengarah ke kajian budaya. Artinya, mengidentifikasi
nilai-nilai yang memengaruhi perilaku pola kebiasaan makan kuliner tinutuan
pada frekuesi makan dan pola menu keseharian masyarakat di Kota Manado.
Penelitian yang dilakukan Lasmanawati (2010) dengan judul “Makanan
Khas Provinsi Sulawesi Utara” mempunyai persamaan dengan penelitian penulis,
17
yaitu memaparkan eksistensi tentang tinutuan. Perbedaannya, Lasmanawati
hanya memaparkan eksistensi tinutuan dalam deskripsi bentuk pengolahan dan
penyajiannya, tidak mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi eksistensi kuliner
tinutuan serta makna dan dampaknya.
Penelitian Nanariaini dan kawan-kawan (2015) dengan judul “Faktor-faktor
yang Berpengaruh terhadap Eksistensi Kegiatan Wisata Kuliner Tinutuan di
Koridor Jalan Wakeke Manado” dapat dijadikan acuan. Sekalipun berbeda
sasaran, lokasi penelitian, dan tidak mengkaji dampak dan makna eksistensi
kuliner tinutuan, tetapi ada persamaan tujuan dengan Nanariaini dan kawan-
kawan dalam membedah di balik persepsi eksistensi kuliner tinutuan.
Beberapa kajian di atas menunjukkan bahwa penelitian tentang eksistensi
kuliner tinutuan terhadap pola kebiasaan makan di Kota Manado belum pernah
diteliti. Akan tetapi, pengkajian dari sejumlah penelitian yang telah dilakukan
tersebut sudah tentu banyak memberikan kontribusi bagi penulis dalam upaya
memperluas wawasan, memahami dan memanfaatkan metode dan teori yang
relevan dengan penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu, penulis meyakini
penelitian ini akan menambah wacana yang positif dalam rangka melestarikan dan
mempertahankan budaya lokal di Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kajian budaya yang difokuskan
pada bentuk, faktor-faktor serta dampak dan makna dalam kuliner tinutuan di
Kota Manado. Berdasarkan kajian terhadap hasil penelitian di atas dapat
dijelaskan bahwa di samping ada persamaan juga ada perbedaan dengan penelitian
18
yang dilakukan penulis sehingga keaslian penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan.
2.2 Konsep
Konsep merupakan bingkai dari permasalahan yang diteliti. Oleh karena
itu, untuk mengantisipasi membiasnya permasalahan penelitian, maka konsep
sebagai batasan terminologis teknis menjadi sangat penting. Komponen yang
berkaitan langsung dengan masalah penelitian ini meliputi: (1) eksistensi kuliner;
(2) kuliner tinutuan; dan (3) pola kebiasaan makan. Selanjut nya, ketiga
komponen tersebut diuraikan sebagai berikut.
2.2.1 Eksistensi Kuliner
Eksistensi kuliner dalam penelitian ini diintegrasikan dari eksistensi dan
kuliner. Hal-hal tersebut dijelaskan seperti di bawah ini.
2.2.1.1 Eksistensi
Eksistensi berasal dari bahasa Latin existere yang terdiri atas kata ex
berarti keluar dan sistere berarti tampil atau muncul (KBBI, 1997:253). Dari arti
kata eksistensi tersebut, Bagus (2005:183--185) memberikan beberapa pengertian
tentang eksistensi. Pertama, eksistensi adalah apa yang ada. Kedua, eksistensi
adalah apa yang memiliki aktualitas. Ketiga, eksistensi adalah segala sesuatu
yang dialami dan menekankan bahwa sesuatu itu ada. Keempat, eksistensi adalah
kesempurnaan.
19
Secara umum, dapat dikatakan bahwa eksistensi berarti keberadaan,
merujuk pada sentral kajiannya yaitu wujud manusia. Akan tetapi, memiliki arti
berbeda jika pada wujud benda. Dalam filsafat eksistensialisme, benda hanya
sebatas “berada”, sedangkan manusia lebih dari sekedar apa yang dikatakan
“berada”, bukan sebatas ada, tetapi “bereksistensi” (Tafsir, 2006:218--219).
Hal inilah yang menunjukkan bahwa manusia sadar akan keberadaanya
di dunia, berada di dunia, dan mengalami keberadaanya berada di dunia. Di
pihak lain benda tidak sadar akan keberadaannya, tak ada hubungan antara benda
yang satu dan benda yang lainnya meskipun saling berdampingan.
Simpulannya, eksistensi adalah sesuatu yang akan mendapat makna jika
adanya keberlanjutan dan keberlanjutan tersebut akan mendapat maknanya jika
ada aktivitas sehingga eksistensi juga dapat diartikan sebagai keberlanjutan dari
suatu aktivitas (Hadiwijiono, 1980:150). Dalam penelitian ini eksistensi yang
dimaksud dalam wujud benda, yaitu eksistensi kuliner tinutuan di Kota Manado.
Jadi, eksistensi kuliner tinutuan adalah keberadaan, wujud benda yang tampak
dan yang memiliki aktualitas, serta akan bermakna jika diberikan makna oleh
keberadaan manusia (Muzairi, 2002:55).
2.2.1.2 Kuliner
Kata kuliner berarti suatu seni mengolah bahan makanan dimulai dari
memilih bahan makanan dan mempersiapkan bahan makanan yang akan dimasak,
teknik mengupas, mencuci, memotong-motong, memberikan bentuk, dan
memberikan bumbu, yang semuanya dikerjakan dengan benar dan tepat.
20
Kemudian diteruskan dengan memasak bahan makanan yang telah dipersiapkan
dengan berbagai macam teknik memasak. Di samping itu, juga bagaimana
menyajikan makanan atau hidangan yang menarik, dapat menggugah selera
makan, dan lezat rasanya (Tarwotjo, 1998:1).
Levi Strauss dengan metode segi tiga kulinernya membedakan makanan
menjadi makanan yang mentah atau tanpa diolah, makanan melalui proses
fermentasi dan makanan yang diolah dengan api atau melalui proses dimasak.
Lebih lanjut dikatakan oleh Levi Strauss bahwa secara universal makanan
merupakan kebutuhan pokok manusia dan mempunyai arti sosial, ekonomi,
keagamaan, dan simbolik (Putra dan Pitana, 2011:18).
Makanan sebagai kebutuhan pokok mempunyai tiga fungsi utama, sebagai
berikut. Pertama, sebagai sumber energi, yaitu zat makanan dapat menyediakan
energi untuk berbagai aktivitas tubuh. Zat makanan yang berperan dalam
menghasilkan energi adalah karbohidrat dan lemak. Dalam keadaan darurat,
protein juga bisa sebagai sumber energi. Kedua, sebagai pembangun tubuh, yaitu
zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan, dan
penggantian sel tubuh yang rusak. Zat makanan yang berperan adalah protein dan
beberapa mineral. Ketiga, sebagai pelindung, yaitu zat makanan yang berperan
menjaga keseimbangan (homeostasis) proses biologis atau metabolisme dalam
tubuh. Metabolisme itu misalnya mengatur kerja hormon, mengatur pertumbuhan
tulang, mempengaruhi kerja jantung, dan mengatur pengantaran impuls sel syaraf.
Zat makanan yang berperan adalah protein, vitamin, mineral, dan air.
21
Selain ketiga fungsi utama tersebut, makanan juga berfungsi untuk
menjaga tubuh dari kondisi stres yang biasanya terjadi jika seseorang terkena
penyakit, menerima tekanan kerja yang cukup berat, atau mendapat masalah yang
mengganggu emosionalnya. Jika cukup nutrien, akan tahan terhadap kondisi
stres ini karena nutrien yang cukup menjaga tubuh dalam kondisi optimal. Selain
itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecukupan gizi pada masa bayi
memengaruhi inteligensi. Ibu hamil kurang gizi (terutama jika kekurangan protein
dan karbohidrat) melahirkan anak dengan kemampuan belajar rendah
(Sediaoetama, 1997:190).
Kuliner Indonesia merupakan pencerminan beragam budaya dan tradisi
dari Kepulauan Indonesia yang terdiri atas sekitar 6.000 pulau dan memegang
peranan penting dalam budaya nasional secara umum. Dikatakan memegang
peranan penting karena salah satu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa
Program Magister (S2) Kajian Pariwisata Unud pada tahun 2002 menunjukkan
bahwa makanan lokal merupakan salah satu komponen budaya Bali sebagai daya
tarik wisata, sebagaimana diungkapkan Ardika (dalam Putra dan Pitana, 2011:19).
Daya tarik kuliner Indonesi, yaitu hampir seluruhnya kaya dengan bumbu yang
berasal dari rempah-rempah, seperti kemiri, cabai, temu kunci, lengkuas, jahe,
kencur, kunyit, kelapa, dan gula aren diikuti penggunaan teknik-teknik
memasak menurut bahan dan tradisi adat yang mendapat pengaruh melalui
perdagangan dari India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Eropa (Sediaoetama,
1997:128--131).
22
2.2.1.3 Tinutuan
Tinutuan adalah salah satu variasi makanan bergizi dari bahan dasar
campuran sayuran daun hijau, serealia, dan umbi sehingga dapat dimakan semua
kelompok umur, termasuk bayi yang sudah mendapat makanan tambahan.
Tinutuan dikenal juga dengan sebutan bubur manado, merupakan makanan khas
sarapan pagi atau smokol, umumnya disantap dengan lauk dan sambal. Di pihak
lain lauknya perkedel nike (ikan nike air tawar/laut), ikan cakalang (fufu/asap)
goreng, ikan asin goreng/bakar, tahu rebus/goreng, perkedel milu/jagung muda,
dan sambal/dabu-dabu roa atau terasi bakasang (perut ikan cakalang yang
diawetkan). Bahan dasar tinutuan, seperti beras, sayuran, dan umbian bisa
didapatkan dari pasar tradisonal, modern, pekarangan rumah, dan kebun.
Langkah-langkah pembuatan tinutuan ada tiga tahap, yaitu (1) persiapan,
(2) pengolahan, dan (3) penyajian. Langkah persiapan dimulai ketika mengambil
sumber bahan dasar tinutuan dari pasar tradisonal, modern, pekarangan rumah,
dan kebun. Kemudian pemilihan jenis bahan sebelum dibersihkan, umbian
dikupas dan dipotong-potong kecil juga sayuran. Beras yang dipilih adalah beras
biasa serta sayuran dan umbian masih segar.
Pengolahan memasak tinutuan dengan teknik merebus bahan pertama,
yaitu campuran beras, sambiki (labu kuning), umbian, dan jagung muda (milu).
Lama waktu rebusan bergantung pada banyaknya bahan makanan yang
dimasukkan. Setelah lunak seperti bubur dimasukkan sayurannya dan dicampur
dengan bahan pertama sampai masak sayurannya.
23
Langkah penyajian tinutuan ada dua bentuk, yaitu penyajian tinutuan
diletakkan di atas meja atau papan beralas daun pisang, di mangkuk atau piring.
Saat ini tinutuan disajikan variatif sesuai dengan selera peminatnya. Variasi yang
sudah lazim, antara lain tinutuan disajikan dicampur dengan mie (midal), atau
dicampur dengan brenebon (sup kacang merah). Komponen tinutuan, ramuannya
kadang kala dimodifikasi oleh penjual tinutuan sehingga selera tamu yang ingin
mencicipinya lebih terkesan.
Versi komponen tinutuan yang berlaku di Kota Manado bersifat umum,
walaupun sebenarnya setiap masyarakat Kota Manado yang berasal dari daerah di
Minahasa (ada 9 suku Minahasa dan 4 bahasa daerah) memiliki versi tinutuan
tersendiri sesuai bahasa daerah masing-masing (Pamantung, 2015). Tinutuan
versi bahasa Tontemboan menggunakan sayur bayam, jagung kangkung, dan
gedi. Sementara tinutuan versi bahasa Tombulu, menggunakan sayur, labu,
singkong, bayam, dan kangkung. Tinutuan versi bahasa Tonsea, menggunakan
sayur singkong, jagung, kangkung, dan ubi jalar. Selanjutnya, tinutuan versi
bahasa Tondano, menggunakan bahan-bahan berupa sayur kangkung, jagung,
singkong, dan ganemo.
Jenis bahan tinutuan yang berbeda sesuai bahasa daerah mempunyai
makna secara umum, yaitu bubur sayur yang dikonsumsi. Akan tetapi, Weichart
(2004:67) mengatakan bahwa perbedaan bukan pada jenis bahan tinutuan
melainkan ketidaksamaan bumbu antar wilayah di Minahasa. Hal tersebut
menurut Weichart terlihat pada variasi bumbu dari setiap wilayah pemakaian
bahasa di Minahasa. Selain itu, tidak semua hidangan yang digolongkan sebagai
24
‟khas Minahasa‟ dikonsumsi dengan cara yang sama di tiap-tiap wilayah
Kabupaten Minahasa. Hidangan-hidangan yang ada menunjukkan bahwa selain
bumbu-bumbu yang merupakan karakteristik tiap daerah, cara memasak yang
tidak sama juga menimbulkan besarnya variasi masakan.
2.2.2 Pola Kebiasaan Makan
Menurut Khumaidi (dalam Handajani, 1994:29), yang dimaksud dengan
pola kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam
memenuhi kebutuhan akan makanan; meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan
makanan. Tingkah laku manusia atau kelompok manusia terhadap makanan dapat
bersifat positif atau negatif berdasarkan nilai-nilai “affective”, yaitu berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan, seperti minat, sikap,
apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Nilai “affective” berasal dari lingkungan
alam, sosial budaya, dan ekonomi. Di pihak lain nilai-nilai “cognitive”, yaitu
kepercayaan orang terhadap makanan yang berkaitan dengan nilai-nilai buruk,
menarik atau tidak. Nilai “cognitive” berisi perilaku-perilaku yang menekankan
aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
Selanjutnya, pemilihan makanan berdasarkan sikap dan kepercayaan merupakan
proses “psychomotor”.
Pengertian pola kebiasaan makan seperti dijelaskan di atas pada dasarnya
mendekati definisi/pengertian diet dalam ilmu gizi/nutrisi. Diet diartikan sebagai
pengaturan jumlah dan jenis makanan yang dimakan agar seseorang tetap sehat.
Untuk mencapai tujuan diet/pola makan sehat tersebut tidak terlepas dari masukan
25
gizi yang merupakan proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi
melalui proses digesti (pencernaan), absorpsi (penyerapan), transportasi,
penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal organ-organ serta
menghasilkan energi (Nurrika, 2007:75).
Foster dan Anderson (2009) mengatakan bahwa para ahli antropologi
memandang pola kebiasaan makan sebagai suatu komplek kegiatan masak
memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kepercayaan-kepercayaan,
pantangan-pantangan, dan tahayul-tahayul yang berkaitan dengan produksi,
persiapan dan konsumsi makanan. Di pihak lain, Maryoto (t.t) mengemukakan
bahwa pola kebiasaan makan adalah suatu pola perilaku konsumsi pangan yang
diperoleh karena terjadi berulang-ulang (food consumption). Istilah kebiasaan
makan juga menunjukkan tindakan manusia terhadap makan dan makanan yang
dipengaruhi oleh pengetahuan (what people think), dan perasaan (what people
feel) serta persepsi (what people perceive).
Secara umum, seringkali sulit membedakan konsep dasar antara pola
makan (food pattern) dengan kebiasaan makan (food habbit). Hal itu disebabkan
karena sulit menemukan kata kunci dari kedua kata tersebut. Padahal prinsip
yang dapat dikemukakan, yaitu pola makan dan kebiasaan makan memiliki
persamaan. Artinya bahwa sama-sama tindakan yang dilakukan setiap hari, dan
terus menerus dalam waktu relatif lama. Perbedaannya secara umum bahwa pola
makan memiliki tiga komponen penting, yaitu jenis, frekuensi dan jumlah.
Mengenai jenis, Indonesia mengenal pola makanan pokok, lauk hewani,
26
lauk nabati, sayur dan buah. Sedangkan frekuensi, sangat tergantung kelompok
umur. Khusus untuk umur di atas satu tahun, pola frekuensi makan ialah tiga kali
makanan utama, dan dua kali makanan selingan. Pola ini berlaku untuk kelompok
masyarakat yang sehat, akan tetapi bagi yang menjalani diet khusus memiliki
pola tersendiri. Adapun, pola makan berdasarkan jumlah menggunakan acuan
angka kecukupan gizi (AKG) yang saat ini AKG terbaru adalah tahun 2012.
Berbeda dengan pola makan, kebiasaan makan sifatnya sangat personal.
Ada yang memiliki kebiasaan makan jenis makanan pokok dalam bentuk nasi,
tetapi ada pula jenis makanan pokok dalam bentuk jagung walaupun dalam
lingkungan tempat tinggal yang berdekatan. Bahkan dalam satu rumah tangga,
setiap anggota rumah tangga memiliki kebiasaan makan yang berbeda-beda,
apakah dari segi jenis, frekuensi, dan jumlah. Demikian pula, tentang jumlah,
seseorang memiliki kebiasaan makan dua potong ikan, akan tetapi orang lain
mungkin cukup satu potong saja.
Simpulan bahwa pola makan sifatnya lebih formal, berlaku secara umum,
dan dijadikan sebagai pedoman. Sedangkan kebiasaan makan lebih personal,
terbentuk berdasarkan selera, dan ketersediaan makanan di tingkat rumah tangga.
Dalam penelitian ini, konsep yang dikaji gabungan dari pola makan dan kebiasaan
makan baik dari segi jenis, frekuensi, dan jumlah.
2.3 Landasan Teori
Kaplan dan Manners (1999) menjelaskan bahwa teori adalah semacam
generalisasi, yang terdiri atas proposi yang menjadikan dua atau lebih kelas
27
fenomena yang saling berhubungan. Teori memiliki fungsi ganda, yaitu
menjelaskan fakta yang telah diketahui dan membuka celah pemandangan baru
yang dapat menghantarkan pada penemuan baru. Proposi yang dimaksud adalah
ide-ide atau dalil yang dalam penelitian sosial dapat digunakan untuk mencari dan
mendapatkan fokus penelitian. Teori sebenarnya bukan sekedar ikhtisar data yang
ringkas, karena teori tidak hanya mengatakan apa yang telah terjadi, tetapi juga
mengatakan sesuatu itu terjadi sebagai yang berlaku dalam kenyataan.
Natsir (1999), menjelaskan bahwa teori adalah instrumen dari ilmu yang
dapat digunakan sebagai (1) mendefinisikan orientasi utama dari ilmu dengan cara
memberikan definisi terhadap jenis-jenis data yang akan dibuat abstraknya, (2)
memberikan rencana terhadap fenomena-fenomena yang relevan disistematika,
diklasifikasikan, dan dihubung-hubungkan, (3) memberikan ringkasan terhadap
fakta dalam bentuk generalisasi empiris dan sistem generalisasi, (4) memberikan
prediksi terhadap fakta, dan (5) memperjelas celah-celah di dalam pengetahuan.
Teori pada hakikatnya merupakan abstraksi, sistematisasi, dan generalisasi
terhadap realitas sosial atau gejala yang kompleks di lapangan. Dengan demikian,
penulis secara kontinu harus mengkaji teori yang memiliki hubungan dengan
realitas yang membentuk teori tersebut.
Atas dasar pemikiran itu, teori yang digunakan dalam penelitian ini, adalah
sebagai berikut.
28
2.3.1 Teori Dekonstruksi
Teori dekonstruksi dipelopori oleh Jacques Derrida seorang filosof
Perancis yang secara terang-terangan mengkritik filosof barat, terutama mengenai
bahasa dan makna sebuah konsep. Dekonstruksi merupakan alat yang digunakan
untuk meruntuhkan konsep, deskripsi dan norma dogma dianut sebelumnya.
Barker (2005) berpendapat bahwa dekonstruksi itu memisahkan, membongkar
untuk menemukan serta menelanjangi berbagai asumsi, strategi retoris dan ruang
kosong.
Pilliang (2005) menegaskan bahwa dekonstruksi bukan metode tertentu
atau program sistematis, melainkan cara membaca teks yang menunjukkan
pengaruh dan ketergelincirannya; detail-detail kecil yang terlampaui atau
menghilang, mensugestikan pandangan lain, dan tafsiran. Gramsci (Beilharz,
2003), menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan proses pelonggaran,
pembongkaran bagian-bagian dari suatu keseluruhan (deconstruct).
Dekonstruksi dilakukan untuk menelanjangi titik-titik buta atau asumsi-
asumsi yang tidak diakui yang mendasari eksistensi kuliner tinutuan. Dengan
dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap eksistensi kuliner tinutuan selalu
hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu
kontekstual artinya anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang
menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada
makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa
dirunut pembentukannya dalam sejarah.
29
Pemaknaan akan selalu berubah sesuai dengan situasi yang berhadapan
dengan kehidupan manusia. Pencarian makna dilakukan dengan cara
pembongkaran sebagai proses terus-menerus. Melalui dekonstruksi akan
diperoleh segala sesuatu yang selama ini tidak mendapatkan perhatian atau
dengan sengaja dilupakan masyarakat.
Lubis (2004) mengatakan bahwa dekonstruksi mencoba untuk menjadikan
hal-hal yang semula dianggap tidak penting “pinggiran” menjadi sesuatu yang
penting. Jadi, yang dimaksudkan di sini bahwa dekonstruksi sebenarnya adalah
„menganalisis dengan teliti.‟ Barker (2005:101) mengatakan bahwa dekonstruksi
dilakukan dengan cara memberikan perhatian terhadap gejala-gejala yang
tersembunyi, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, dan ketidakadilan.
Demikian pula, Piliang (2003:126) mengemukakan bahwa dekonstruksi adalah
penyangkalan akan oposisi ucapan/tulisan, ada/tak ada, murni/tercemar, dan
penolakan akan kebenaran dan logos itu sendiri.
Upaya memaknai semua pendapat dari para pakar di atas, merupakan
salah satu tokoh dekonstruksi yang sangat terkenal yaitu Derrida. Barker
(2005:81) mengatakan bahwa Derrida biasanya dikaitkan dengan praktik
dekonstruksi. Secara khusus dekonstruksi melibatkan pelucutan oposisi biner
hierarkis semisal tuturan/tulisan, realitas/penampakan, alam/kebudayaan,
kewarasan/kegilaan, dan lain-lain yang berfungsi menjamin kebenaran dengan
cara mengesampingkan dan mengevaluasi bagian „inferior‟ oposisi biner tersebut.
Terdapat tiga poin penting dalam dekonstruksi Derrida (Dawne, 2009:22),
yaitu: pertama, dekonstruksi, seperti halnya perubahan terjadi terus-menerus, dan
30
ini terjadi dengan cara yang berbeda untuk mempertahankan kehidupan; kedua,
dekonstruksi terjadi dari dalam sistem-sistem yang hidup, termasuk bahasa dan
teks; ketiga, dekonstruksi bukan suatu kata, alat, atau teknik yang digunakan
dalam suatu kerja setelah fakta dan tanpa suatu subyek interpretasi.
Perspektif Derrida, filsafat cenderung mencari kebenaran absolut,
sehingga meninggalkan pengertian bahasa yang digunakan untuk menyusun
konsep dan teori. Filsafat percaya bahwa konsep dan teori mampu
mempresentasikan kebenaran seperti apa adanya. Oleh karena itu perilaku dan
etika kehidupan publik manapun harus mendasarkan dirinya di atas konsep
filosofis yang kuat klaim kesahihannya. Demikianlah yang diyakini para filsuf
seperti Plato. Hegel, Marx dan Teori Kritis Mahzab Frankfurt.
Derrida menginginkan kebenaran itu tidak harus dibatasi dalam kebenaran
tunggal, umum, dan universal, karena dalam kenyataannya kebenaran itu bersifat
plural, partikular, dan relatif. Untuk merealisasikan gagasannya sekaligus
kritiknya atas modernitas, Derrida mengungkapkannya dalam metode
dekonstruksi. Teori dekonstruksi digunakan untuk mempertajam analisis dalam
upaya menjawab identifikasi permasalahan eksistensi kuliner tinutuan dalam
pola kebiasaan makan di Kota Manado.
2.3.2 Teori Semiotik
Teori semiotik digunakan untuk menjelaskan praktik pemaknaan sebagai
praktik petandaan tata nilai yang terkandung dalam eksistensi kuliner tinutuan
yang dulu pernah menjadi bagian dari pola hidup masyarakat Kota Manado.
31
Sehubungan dengan hal tersebut, Hoed (2008:41) berpendapat bahwa semiotika
adalah studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dalam kehidupan
manusia. Hal senada juga dikatakan Danesi (2010) bahwa makna dalam semiotika
adalah makna yang berada pada akar-akar budaya.
Teori semiotik merupakan evolusi teori struktur yang dikembangkan oleh
ilmuwan Amerika Serikat, Carles Sanders Pierce pada tahun 1940. Teori itu
dapat membantu menjelaskan berbagai hal mengenai gejala budaya yang
melibatkan proses penafsiran. Pierce mengajukan tiga jenis tanda, yaitu ikon,
indeks, dan simbol. Ikon adalah hubungan antara petanda dan penanda yang
bersifat alamiah (berdasarkan identitas), indeks adalah hubungan kausalitas atau
bersifat langsung, sedangkan simbol adalah hubungan arbitrer (manasuka)
berdasarkan konvensi yang disepakati para pemakai bahasa bersangkutan.
Tanda-tanda merupakan basis dari seluruh komunikasi. Dengan
perantaraan tanda-tanda manusia dapat melakukan komunikasi dengan
sesamanya. Sehubungan dengan hal tersebut, Lechte (dalam Sobur, 2009:17)
mengatakan bahwa semiotika merupakan teori tentang tanda atau penandaan.
Lebih jelas lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk
komunikasi yang terjadi dengan sarana sign „tanda-tanda‟ dan berdasarkan sign
sistem ‘(code) sistem tanda‟. Pendekatan semiotik didasarkan pada asumsi bahwa
tindakan manusia atau hal yang dihasilkannya menunjukkan makna asalkan
tindakan tersebut berfungsi sebagai tanda. Artinya tentu ada sistem konvensi di
samping pembedaan yang mendasarinya dan yang memungkinkan adanya makna
tersebut.
32
Menurut Hoed (2008:22), ada empat hal yang harus diperhatikan dalam
semiotika, yaitu jenis tanda (ikon dan lambang), jenis sistem tanda (bahasa,
musik, gerak tubuh), jenis teks, dan jenis konteks atau situasi yang memengaruhi
makna tanda (kondisi psikologis, sosial, historis, dan kultural). Melalui
pemahaman di atas semiotika memberikan kemungkinan untuk berpikir kritis dan
memahami adanya kemungkinan makna lain atau penafsiran lain atas segala
sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya termasuk masyarakat Kota
Manado. Teori semiotik dalam penelitian ini digunakan sebagai alat analisis
dalam menginterpretasi dan memahami makna di balik eksistensi kuliner tinutuan
dalam pola kebiasaan makan di Kota Manado.
2.3.3 Teori Gastronomi
Kata gastronomi pertama kali muncul di Perancis pada puisi yang dikarang
oleh Jacques Berchoux pada tahun 1804. Kendati popularitas kata tersebut
semakin meningkat sejak saat itu, gastronomi masih sulit untuk didefinisikan.
Kata gastronomi berasal dari Bahasa Yunani kuno gastros yang artinya
"lambung" atau "perut" dan nomos yang artinya "hukum" atau "aturan" (Hjalager
dan Greg, 2002). Menurut Gillesoie dan Cousins (2001) gastronomi meliputi
studi dan apresiasi dari semua makanan dan minuman. Selain itu, gastronomi
juga mencakup pengetahuan mendetail mengenai makanan dan minuman nasional
dari berbagai negara besar di seluruh dunia. Peran gastronomi adalah sebagai
landasan untuk memahami bagaimana makanan dan minuman digunakan dalam
situasi-situasi tertentu. Melalui gastronomi dimungkinkan untuk membangun
33
sebuah gambaran dari persamaan atau perbedaan pendekatan atau perilaku
terhadap makanan dan minuman yang digunakan di berbagai negara dan budaya.
Gastronomi atau tata boga adalah seni, atau ilmu akan makanan yang baik
(good eating). Penjelasan yang lebih singkat menyebutkan gastronomi sebagai
segala sesutu yang berhubungan dengan kenikmatan dari makan dan minuman
(Gillesoie dan Cousins, 2001). Sumber lain, yaitu Fossali (2008:54--86)
menyebutkan gastronomi sebagai studi mengenai hubungan antara budaya dan
makanan, di mana gastronomi mempelajari berbagai komponen budaya dengan
makanan sebagai pusatnya (seni kuliner). Hubungan budaya dan gastronomi
terbentuk karena gastronomi adalah produk budidaya pada kegiatan pertanian
sehingga pengejawantahan warna, aroma, dan rasa dari suatu makanan dapat
ditelusuri asal-usulnya dari lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan (Barrera
dan Alvaradi, 2008).
Dalam hal ilmu akan makanan yang baik (good eating), teori gastronomi
tidak hanya berorientasi pada gastronomi praktis, tapi juga gastronomi teoretis
dan teknis. Cinotto (2006) mengemukakan bahwa gastronomi praktis meliputi
teknik dan standar yang terlibat dalam konversi bahan mentah menjadi produk
makanan yang spesifik dari segi nasional, regional, dan budaya. Adapun
gastronomi teoretis mendukung gastronomi praktis dengan cara mempelajari
pendekatan proses, sistem, resep, buku masakan, dan tulisan lainnya (Appendino,
2007:84--91). Sedangkan gastronomi teknis meninjau evaluasi sistematik dari hal
apapun di bidang gastronomi yang membutuhkan penilaian/pengukuran (Gillesoie
& Cousins, 2001).
34
Teori gastronomi ini sangat relevan untuk mengkaji para pelaku
gastronomi praktis dalam eksistensi kuliner tinutuan, contohnya terdiri dari juru
masak kuliner tinutuan dan semua orang yang berhubungan dengan pelanggan
termasuk pelayan. Singkatnya, konversi makanan dan minuman menjadi
hidangan yang utuh merupakan spesialisasi gastronomi praktis. Begitu pula
bidang ini mendokumentasikan berbagai macam prosedur yang harus dilakukan
untuk meningkatkan kesuksesan dalam mengolah suatu hidangan. Perencanaan
teoretis yang harus dilalui seseorang saat memformulasikan dan menyiapkan
acara, menu, hidangan dan minuman adalah bagian dari gastronomi teoretis.
Fungsi gastronomi teoretis adalah sebagai sumber kreativitas yang
menginspirasikan terciptanya kuliner tinutuan pada masa depan sebagai makanan
klasik dan nasional dunia selama berabad-abad. Adapun, bidang gastronomi
teknis dalam penelitian ini berperan untuk mengkaji performa setiap tahapan
eksistensi kuliner tinutuan dalam pola kebiasaan makan di Kota Manado. Teori
gastronomi digunakan dalam penelitian ini, khususnya dalam menganalisis data
yang berhubungan dengan tentang eksistensi bentuk kuliner tinutuan, faktor
budaya yang memengaruhinya, untuk menghasilkan pemaknaan dalam pola
kebiasaan makan di Kota Manado.
2.4 Model Penelitian
Alur pikir penelitian “Eksistensi Kuliner Tinutuan dalam Pola Kebiasaan
Makan di Kota Manado” dapat dilihat dalam gambar 2.1 berikut ini.
35
Gambar 2.1
Model Penelitian
Ket. Tanda
: Hubungan saling memengaruhi
: Hubungan langsung searah
Pengaruh Global Modernisasi
Konsep
- Eksistensi kuliner
- Kuliner tinutuan
- Pola kebiasaan
makan
Teori
- Dekonstruksi
- Semiotika
- Gastronomi
Bentuk eksistensi kuliner
tinutuan dalam pola
kebiasaan makan
Faktor-faktor yang
memengaruhi
eksistensi kuliner
tinutuan dalam pola
kebiasaan makan
Dampak dan makna
eksistensi kuliner tinutuan
dalam pola kebiasaan
makan
Simpulan
Temuan
Saran
Temuan
Budaya Lokal/Manado
gedi
Eksistensi Kuliner
Tinutuan dalam Pola
Kebiasaan Makan di
Kota Manado
36
Penjelasan Gambar 2.1 Model Penelitian
Eksistensi kuliner tinutuan dalam pola kebiasaan makan di Kota Manado
sebagai budaya lokal Kota Manado mempunyai arus hubungan yang saling
memengaruhi budaya global. Pola kebiasaan makan yang terbentuk dari budaya
lokal/Manado tidak mampu membendung kekuatan pengaruh budaya global.
Akan tetapi, pola kebiasaan makan lokal/Manado berusaha mempertahankan
ketradisiannya walaupun tidak bisa diingkari budaya global tetap hadir
memainkan peran dalam perubahan seperti modernisasi.
Kehadiran budaya global yang merambah di semua aspek kehidupan, baik
secara langsung maupun tidak langsung juga menggeser bentuk, faktor-faktor
yang memengaruhi eksistensi kuliner tinutuan dalam pola kebiasaan makan di
Kota Manado termasuk dampak dan makna. Kehadiran faktor-faktor yang
memengaruhi eksistensi kuliner tinutuan dalam pola kebiasaan makan di Kota
Manado akan terus bergulat memberikan penguatan atau pelemahan terhadap
eksistensi kuliner tinutuan di Kota Manado.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan eksplorasi eksistensi kuliner tinutuan
melalui paradigma kajian budaya dengan beberapa konsep dan landasan tiga teori
untuk menjawab permasalahan bentuk, faktor-faktor, dampak dan makna
eksistensi kuliner tinutuan terhadap pola kebiasaan makan di Kota Manado.
Melalui penelitian ini, eksistensi kuliner tinutuan sebagai bagian pola kebiasaan
makan budaya lokal Kota Manado dapat dimanfaatkan, dikembangkan,
direvitalisasi, dan dijaga dari kepunahannya.