bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, model...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pembahasan tentang masalah perubahan gaya hidup masyarakat sudah banyak
dilakukan oleh beberapa pakar, baik dalam buku, jurnal, maupun dalam penelitian.
akan tetapi, khusus tentang gaya hidup masyarakat pascapenjualan tanah di Desa
Kutuh belum ada yang membahas. Meskipun demikian, penelusuran pustaka atau
kajian terhadap buku, jurnal, dan hasil penelitian terdahulu penting dilakukan untuk
menghindari terjadinya pengulangan terhadap hal yang sama. Selain itu, kajian
pustaka juga bermanfaat untuk menambah informasi, inspirasi, ide, dan wawasan
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.
Penjelajahan berbagai kajian yang sudah ada dimaksudkan untuk
menunjukkan perbedaan yang substansial penelitian ini dengan penelitian yang sudah
dilakukan sehingga orisinalitas penelitian ini dapat dibuktikan. Beberapa pustaka dan
hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah perubahan gaya hidup masyarakat
yang sudah ditelusuri dapat disebutkan seperti terurai berikut ini.
Penelitian Putra (2014) berjudul “Gaya Hidup Masyarakat Pemilik Tanah
Sewa di Kelurahan Ubud.” Simpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama,
karakteristik keluarga pemilik tanah sewa ini beragam, artinya ada yang kaya dan ada
yang sedang. Kedua, terjadi proses perubahan gaya hidup masyarakat pemilik tanah
sewa ini dari gaya hidup tradisional ke gaya hidup modern. Ketiga, implikasi gaya
hidup pemilik tanah sewa terhadap keluarga semakin merenggang, akibat rasionalitas
dalam segala aktivitas.
Penelitian Putra sangat bermanfaat dalam penelitian ini untuk menjadi
perbandingan dalam memahami fenomena gaya hidup masyarakat pemilik tanah sewa
di Kelurahan Ubud ada yang kaya dan ada yang sedang, dari tradisional ke modern,
hubungan keluarga semakin merenggang dan tanah yang di sewakan masih milik
sendiri. Di pihak lain penelitian ini mengkaji gaya hidup masyarakat pascapenjualan
tanah di Desa Kutuh dari tadisional ke modern, ideologi dalam penggunaan hasil
penjualan tanah, dan implikasi penjualan tanah ada yang konsumtif dan ada yang
ekonomi kreatif, terakhir tanah yang dijual dimiliki oleh orang lain.
Sugita (2015) mengadakan penelitian dengan judul “Dampak
Perkembangan Pariwisata Terhadap Keberlanjutan Usahatani Rumput Laut di
Desa Kutuh, Kuta Selatan Kabupaten Badung”. Hasil penelitian tersebut adalah (1)
kondisi usahatani pertanian rumput laut di Desa Kutuh semakin menurun karena
terdesak oleh kemajuan perkembangan pariwisata, (2) pariwisata di Desa Kutuh
mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dicirikan oleh peningkatan
pembangunan fasilitas pariwisata dan jumlah kunjungan wisatawan, dan (3)
perkembangan pariwisata berdampak melumpuhkan usaha tani budi daya rumput laut
di Desa Kutuh dan telah menyimpang dari konsep pengembangan kawasan
minapolitan.
Menurut Sugita, kondisi usaha tani pertanian rumput laut di Desa Kutuh
semakin menurun karena terdesak oleh kemajuan perkembangan pariwisata. Pada saat
peneliti melakukan observasi di lapangan petani rumput laut sudah tidak ada lagi dan
berpindah profesi menjadi pedagang di Pantai Pandawa. Dampak masuknya
pariwisata ke Desa Kutuh tidak saja menyebabkan hilangnya petani rumput laut di
Desa Kutuh. Akan tetapi, dampak lain dengan masuknya pariwisata ke Desa Kutuh
akan mengubah gaya hidup masyarakat seperti dikaji dalam penelitian ini, yaitu gaya
hidup masyarakat pascapenjualan tanah di Desa Kutuh.
Penelitian Lamopia (2010) berjudul “Gaya Hidup Subkultur Punk
Komunitas Singapadu Underground di Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati,
Kabupaten Gianyar”. Dari penelitian Lamopia diketahui adanya gaya hidup yang
dijalankan oleh subkultur punk Komunitas Singapadu Underground (remaja)
mencakup berpakaian dan musik, di antaranya fashion dengan gaya rambut
Mohawk Spiky, Faux-hawk, Fanned Mohawk, Liberty Spike, layered Messy Faux-
hawk, Mohawk tanpa Spike, Deathhawk, Dreadhawk, dan gaya rambut Skinhead.
Penelitian Lamopia tentang gaya hidup subkultur punk komunitas
Singapadu underground di Desa Singapadu mengkaji gaya hidup remaja dilihat
dari gaya rambut dan gaya berpakaian di pihak lain penelitian penulis tentang
gaya hidup masyarakat pascapenjualan tanah di Desa Kutuh bukan hanya gaya
hidup remaja, melainkan juga gaya hidup anak-anak dan orang tua pascapenjualan
tanah, seperti berpakaian, makanan, mengisi waktu senggang, kepemilikan alat
transportasi, serta tempat ibadah dan rumah.
Mangihut (2015) mengadakan penelitian dengan judul “Konsumerisme
Dalam Upacara Perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar”. Dari penelitian yang
dilakukan disimpulkan bahwa konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba
di Kota Denpasar disebabkan oleh adanya pergeseran nilai guna dan nilai tukar
menjadi nilai tanda dan nilai simbolik. Pergeseran ini terjadi karena gaya hidup, citra,
gengsi sebagai gaya hidup modern. Budaya konsumerisme menjadi hal yang biasa
dan dianggap menjadi suatu keharusan. Melalui tulisan ini disarankan kepada tokoh
adat, tokoh agama, pemerintah daerah di Sumatera Utara, dan masyarakat Batak Toba
umumnya agar melakukan suatu kerja sama untuk mengurangi praktik upacara
perkawinan yang semakin konsumerisme.
Penelitian Mangihut tentang konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak
Toba di Kota Denpasar menghabiskan waktu yang panjang dan biaya yang banyak.
Bentuk konsumerisme yang dilakukan dalam upacara perkawinan yaitu, upacara
dilangsungkan di tempat yang mewah, mengundang banyak orang, mengonsumsi
objek yang tidak perlu, jumlah mahar yang besar, dan menghabiskan durasi yang
panjang. Perilaku ini terjadi karena faktor globalisasi, gaya hidup, budaya populer,
media massa, dan pemahaman yang kurang tentang upacara perkawinan itu sendiri.
Implikasi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar
adalah menguatnya sifat individualis, menguatnya sifat materialis, dan menguatnya
sifat globalis. Di pihak lain penelitian ini mengkaji gaya hidup keseharian masyarakat
Desa Kutuh pascapenjualan tanah seperti benda-benda budaya yang digunakan.
Dewi (2014) mengadakan penelitian dengan judul “Marginalisasi petani
subak Saba, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur”. Globalisasi dalam bentuk
kapitalisme pasar telah memengaruhi petani subak Saba sebagaimana tampak dari
sikap konsumerisme yang dilakukan masyarakat petani di subak Saba. Gaya hidup
petani tampak dalam pemilikan rumah mewah, mobil, dan peralatan rumah tangga.
Gaya hidup itu terkesan agak dipaksakan karena belum tepat di tengah kehidupannya
yang masih belum mapan sehingga hanya akan menambah kesengsaraan. Begitu juga
masuknya sistem kredit dalam pembelian barang untuk memenuhi selera gaya hidup
kontemporer. Gaya hidup telah mengubah watak kerja keras dan pada akhirnya
menjerat petani ke dalam kehidupan yang kurang menguntungkan jika tidak
dipikirkan secara lebih dini.
Penelitian Dewi dengan penelitian ini sama-sama meneliti gaya hidup petani
yang dahulunya tradisional berubah ke modern dan mengakibatkan konsumersime
dengan cara menjual tanah agar mendapatkan uang untuk bergaya hidup mewah.
Penelitian Antari lebih mengarah ke marginalisasi petani, sedangkan penulis fokus
meneliti gaya hidup masyarakat pascapenjualan tanah. Jika hal ini dibiarkan akan
mengakibatkan kemiskinan karena uang hasil penjualan tanah tidak digunakan untuk
usaha produktif.
2.2 Konsep
Konsep bertujuan untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang isi
atau maksud konsep atau istilah yang bersangkutan agar pembaca tidak
mempersepsikan dengan cara lain. Konsep-konsep tersebut adalah konsep gaya
hidup masyarakat pascapenjualan tanah di Desa Kutuh.
2.2.1 Gaya Hidup
Untuk memahami fenomena yang kompleks tentang gaya hidup di lokasi
penelitian diungkap beberapa pendapat sebagai berikut. Gaya hidup adalah pola
hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opini
(Assael, 1984:230). Gaya hidup merupakan sebuah pola kehidupan yang dapat
diidentifikasikan melalui bagaimana seseorang menghabiskan waktunya, apa yang
dianggap penting di dalam lingkungan masyarakatnya, dan apa yang dipikirkan
tentang dirinya sendiri di dunia yang mengitari mereka. Gaya hidup
menggambarkan keseluruhan diri seseorang dalam berinteraksi dengan
lingkungannya (Kottler, 2002:225). Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang
hidup, bagaimana membelanjakan uang, dan bagaimana mengalokasikan waktu
(Minor dan Mowen, 2002:32).
Gaya hidup adalah pola hidup seseorang dalam dunia kehidupan sehari-
hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat, dan pendapat yang bersangkutan.
Gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan
lingkungan (Suratno dan Rismiati, 2001:73). Life style is way of living based on
identifiable pattern of behavior which are determined by the interplay between an
individuals personal caharacteristics, sosial interactions, and socioeconomic and
environmental living condition (Gaya hidup adalah cara hidup berdasarkan pola
perilaku yang dapat diidentifikasi yang ditentukan oleh interaksi antara
karakteristik pribadi, interaksi sosial, dan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan
hidup) (WHO, 1998:27). Pola-pola perilaku akan selalu berbeda dalam situasi
atau lingkungan sosial yang berbeda dan senantiasa berubah, tidak ada yang
menetap.
Gaya hidup juga berkaitan sangat erat dengan perkembangan zaman dan
teknologi. Semakin bertambahnya zaman semakin berkembang luas pula
penerapan gaya hidup oleh masyarakat yang menjual tanah dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam arti lain, perubahan gaya hidup dapat memberikan pengaruh
positif atau negatif bagi yang menjalankannya, bergantung pada bagaimana orang
tersebut menjalaninya. Dewasa ini gaya hidup sering disalahgunakan oleh
sebagian besar remaja. Apalagi para remaja yang berada dalam kota-kota besar.
Mereka cenderung bergaya hidup dengan mengikuti mode masa kini. Tentu saja
mode yang ditiru adalah mode dari orang barat.
Jika mereka dapat memfilter dengan baik dan tepat, pengaruhnya juga
akan positif. Sebaliknya, jika tidak pintar dalam memfilter mode dari orang barat
tersebut, akan berpengaruh negatif bagi mereka sendiri (Nurhasanah, 2009:37).
Gaya hidup adalah gaya, tata cara, atau cara menggunakan barang, tempat, dan
waktu khas kelompok masyarakat tertentu (Piliang, 2011:237).
Perilaku seseorang membeli produk budaya, mengonsumsi produk budaya
dan memanfaatkannya, sering dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial: kelas,
perbedaan, usia, dan gender. Hal yang tidak kalah penting adalah perilaku
konsumsi acap kali juga dipengaruhi dan dibentuk oleh gaya hidup. Yang
dimaksud gaya hidup di sini adalah adaptasi aktif individu terhadap kondisi sosial
dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan
orang lain (Suyatno, 2013:138).
Gaya hidup mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan, dan pola-pola
respons terhadap hidup, terutama perlengkapan untuk hidup. Cara berpakaian,
cara kerja, pola konsumsi, bagaimana individu mengisi kesehariannya merupakan
unsur-unsur yang membentuk gaya hidup. Gaya hidup dipengaruhi oleh
keterlibatan seseorang dalam kelompok sosial, dari seringnya berinteraksi dan
menanggapi beragai stimulus di sana (Adlin, 2006:36).
Menurut Piliang (2013:247), karakteristik seseorang yang dapat diamati,
yang memadai, yang menandai sistem nilai serta sikap terhadap diri sendiri dan
lingkungannya. Karakteristik tersebut berkaitan dengan pola penggunaan waktu,
uang, ruang, dan objek-objek yang berkaitan dengan semuanya. Misalnya, cara
berpakaian, cara makan, cara berbicara, kebiasaan di rumah, kebiasaan di kantor,
kebiasaan belanja; pilihan teman, pilihan restoran, pilihan hiburan; tata ruang, tata
rambut, tata busana. Dengan demikian, gaya hidup merupakan kombinasi dan
totalitas dari cara, tata, kebiasaan, pilihan serta objek-objek yang mendukungnya,
yang pelaksanaannya dilandasi oleh sistem nilai atau sistem kepercayaan tertentu.
Gaya hidup dibentuk, diubah, dikembangkan sebagai hasil dari interaksi
disposisi habitus dengan batas serta berbagai kemungkinan realitas. Dengan gaya
hidup individu menjaga tindakan-tindakannya dalam batas dan kemungkinan
tertentu. Berdasarkan pengalaman sendiri yang diperbandingkan dengan realitas
sosial, individu memilih rangkaian tindakan dan penampilan mana yang
menurutnya sesuai dan mana yang tidak sesuai untuk ditampilkan dalam ruang
sosial (Adlin, 2006:53 - 54).
Gaya hidup sering disebut merupakan ciri sebuah dunia modern atau
modernitas oleh berbagai ahli. Artinya, siapa pun yang hidup dalam masyarakat
modern akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan
tindakannya, baik sendiri maupun orang lain. Gaya hidup adalah pola-pola
tindakan yang membedakan satu orang dengan yang lain (Chaney, 2004:40).
Istilah gaya hidup, baik dari sudut pandang individual maupun kolektif,
mengandung pengertian bahwa gaya hidup sebagai cara hidup mencakup
sekumpulan kebiasaan, pandangan dan pola-pola respons terhadap hidup, serta
terutama perlengkapan untuk hidup. Cara sendiri bukan sesuatu yang alamiah,
melainkan hal yang ditemukan, diadopsi atau diciptakan, dikembangkan, dan
digunakan untuk menampilkan tindakan agar mencapai tujuan tertentu. Untuk
dapat dikuasai, cara harus diketahui, digunakan, dan dibiasakan (Dony, 2006:37).
Dalam kehidupan sehari-hari, menurut Piliang (2011:317), selalu ada
hubungan timbal balik dan tidak dapat dipisahkan antara keberadaan citra dan
gaya hidup. Gaya hidup adalah cara manusia memberikan makna pada dunia
kehidupannya. Dalam hal ini diperlukan medium dan ruang untuk
mengekspresikan makna tersebut, yaitu ruang bahasa dan benda-benda. Di
dalamnya citra mempunyai peran yang sangat sentral. Di pihak lain, citra sebagai
sebuah kategori di dalam relasi simbolis di antara manusia dan dunia objek
membutuhkan aktualisasi dirinya ke dalam berbagai dunia realitas, termasuk gaya
hidup.
Gaya hidup sangat kuat berpengaruh pada frekuensi orang berinteraksi
dengan jenis gaya hidup tertentu. Sebuah teori serupa menunjukkan bahwa latar
belakang dan karakteristik aktivitas sehari-hari berpengaruh pada waktu yang
diluangkan dalam gaya hidup yang berisiko, yaitu gaya hidup tersebut akan
membawa orang ke jalan yang lebih berbahaya lagi (Kennedy dan Forde,
1990:173). Sementara itu dinyatakan bahwa seseorang dapat menjadi korban dari
sebuah gaya hidup apabila mereka terus-menerus berinteraksi dengan kelompok
yang memiliki potensi membahayakan, yaitu seseorang memiliki pertahanan diri
lemah. George Simmel menenkankan interaksi pertukaran, terutama dalam
perekonomian. Munculnya uang sebagai alat tukar dan munculnya perkotaan
memunculkan model baru dalam mengonsumsi. Pertumbuhan kelas sosial urban
dan model konsumsi baru tidak bisa dipisahkan dari modifikasi barang konsumsi.
Pendapat Chaney didukung oleh Adlin dan Piliang untuk mengungkap
gaya hidup, yaitu mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan, dan pola-pola
respons terhadap hidup, terutama perlengkapan untuk hidup. Cara berpakaian,
cara kerja, pola konsumsi, bagaimana individu mengisi kesehariannya merupakan
unsur-unsur yang membentuk gaya hidup. Gaya hidup dipengaruhi oleh
keterlibatan seseorang dalam kelompok sosial, dari seringnya berinteraksi, dan
menanggapi berbagai stimulus di sana. Gaya hidup adalah perilaku masyarakat
yang menjual tanah di Desa Kutuh yang ditunjukkan dalam aktivitas, minat, dan
opini, khususnya yang berkaitan dengan citra diri untuk merefleksikan status
sosialnya. Secara operasional konsep gaya hidup digunakan untuk mengkaji
rumusan masalah artikulasi gaya hidup masyarakat pascapenjualan tanah, seperti
tempat ibadah, rumah, kendaraan, pakaian, makanan, ideologi di balik gaya hidup
masyarakat pascapenjualan tanah, dan implikasi gaya hidup masyarakat
pascapenjualan tanah.
2.2.1.1 Gaya Hidup Hedonis
Hedonis merupakan suatu gaya hidup yang mementingkan dan meninggi-
ninggikan kesenangan fisik material (https://id.wikipedia.org/wiki/Hedonisme).
Selama hidup di muka bumi mempunyai gaya hidup hedonis selalu beranggapan
bahwa timbunan harta, kedudukan, pangkat, jabatan, dan sejenisnya yang bersifat
lahiriah merupakan suatu kebahagiaan dan kesenangannya. Pada era globalisasi
banyak masyarakat yang menjual tanah mengikuti gaya hidup hedonis karena
pada saat ini banyak media yang menawarkan suatu kesenangan hidup dengan
gaya modern, konsumtif.
Pemikiran-pemikiran gaya hidup yang dituntut dan dikejar sebagai
perilaku kehidupan yang bebas tanpa batas, baik batas etika kesopanan, moral,
maupun akhlak. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh ketatnya dunia kompetisi,
khususnya di bidang ekonomi dan prinsip-prinsip pemenuhan kebutuhan serta
keinginan yang tak terbatas. Gaya hidup hedonis masyarakat ini tidak peka
terhadap keadaan, tetapi selalu melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan, tidak
memedulikan lingkungan sekitarnya.
Dalam kondisi yang tidak menentu, mereka justru hidup berfoya-foya
dengan kemewahan fasilitas yang serba canggih. Ironisnya, semua barang itu
belum tentu dibeli dari uang sendiri, melainkan dari utang. Sikap seperti inilah
oleh para ahli disebut sebagai gaya hidup hedonis. Dalam konteks Desa Kutuh
masyarakatnya yang menjual tanah cenderung lebih banyak menghabiskan uang
untuk aktivitas yang bersifat konsumtif atau untuk hiburan semata. Pertimbangan
penting setidaknya suatu aktivitas bukan lagi prioritas, yang lebih penting dapat
melahirkan kebahagiaan sesaat. Lihatlah bagaimana masyarakat ini berlomba-
lomba dengan kemewahan, rumah, kendaraan, handphone, dan fasilitas mewah
lainnya.
Semua itu sering tidak berdasarkan kebutuhan semata, tetapi titik tekannya
lebih pada nilai prestise atau kebanggaan semata. Alhasil, orang yang tidak
mampu akan tergoda melakukan segala cara untuk mengikuti trend masa kini.
Gaya hidup seperti ini merupakan sebuah ilusi. Ilusi yang memberikan
kebahagiaan semu. Kebahagiaan dalam mimpi yang akhirnya akan
mengecewakan diri sendiri. Dikatakan demikian karena tanpa disadari, biaya
hidup terlalu besar yang terbuang percuma (Emnuel Subangun, 2004:96).
Ditegaskan bahwa tindakan ini sebagai sesuatu yang mematikan. Bagaimana
tidak, barang-barang mewah yang dinikmati oleh masyarakat adalah barang
impor. Itu sebabnya semua pengeluaran yang dibelanjakan bukan untuk kemajuan
bangsa sendiri, melainkan untuk bangsa lain yang secara ekonomi, sosial, politik
telah menjajah. Itulah kebodohan yang paling mendalam di dalam diri individu.
Sikap hedonis dan materialis juga telah menciptakan kompetisi yang tidak
sehat antarmasyarakat. Adanya sikap seperti ini melahirkan kesenjangan sosial
yang tidak sehat. Di sisi lain ada golongan yang penuh kemewahan, sedangkan
yang lain hidup dalam keterbatasan. Dengan keprihatinan dan kesederhanaan,
perlu adanya penyadaran kembali akan karakteristik terpuji itu. Hal itu penting
karena lama-kelamaan masyarakat ini akan hancur berkeping-keping akibat sikap
masyarakatnya sendiri yang tidak mendukung pembangunan di negeri ini.
Orientasi kemewahan saat ini akan sangat terpengaruh gaya hidup generasi
penerus, bahkan di tingkat pemimpin di negeri ini.
Secara operasional gaya hidup hedonis, yakni gaya hidup masyarakat yang
menjual tanahnya mementingkan dan meninggi-ninggikan kesenangan fisik
material selama hidup di muka bumi. Kelompok gaya hidup hedonis selalu
beranggapan bahwa timbunan harta, kedudukan, pangkat, jabatan, dan sejenisnya
yang bersifat lahiriah itu merupakan suatu kebahagian dan kesenangannya. Gaya
hidup hedonis menyebabkan sifat egois, mengganggap segala sesuatu semata-
mata urusan pribadi sebagai hak asasi. Gaya hidup hedonis tidak akan
memedulikan bagaimana pendapat orang lain tentang apa yang dilakukan. Selalu
acuh tak acuh tentang penilaian gaya hidup yang dinilai baik ataupun tidak.
2.2.1.2 Gaya Hidup Konsumtif
Gaya hidup konsumtif adalah keinginan mengonsumsi atau memakai
barang-barang secara berlebihan untuk mencapai kepuasan
(http://resipitori.usu.ac.id). Jadi, gaya hidup konsumtif adalah pola tingkah laku
sehari-hari golongan, termasuk masyarakat yang menjual tanahnya dalam
memakai dan mengonsumsi barang secara berlebihan untuk mencapai kepuasan.
Dengan kata lain orientasi gaya hidup konsumtif adalah pada kepuasan, bukan
pada kebutuhan.
Faktor-faktor yang memengaruhi gaya hidup konsumtif adalah sebagai
berikut. Pertama, pengaruh media massa. Media massa juga mempunyai andil
dalam memopulerkan budaya konsumtif kepada masyarakat yang menjual
tanahnya. Lewat iklan, film, dan bentuk informasi lainnya, media massa seolah
membentuk konstruksi bahwa memiliki benda yang dipopulerkan adalah syarat
jika ingin diakui dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, pergaulan, bentuk
pergaulan juga bisa menjadi faktor lain gaya hidup konsumtif. Bentuk pergaulan
tertentu membuat masyarakat yang menjual tanah merasa harus mengikuti trend
dan mode agar dianggap tidak ketinggalan zaman. Selain itu, pergaulan
masyarakat ini terjerumus ke dalam gaya hidup yang sebenarnya berada di luar
batas kemampuannya secara finansial (Vicynthia, 2010:72).
Ketiga, tidak adanya kontrol diri, semua keputusan dalam menjalani hidup
adalah tanggung jawab masyarakat yang menjual tanah termasuk dalam pola
tingkah laku sehari-hari. Gaya hidup konsumtif terjadi karena tidak adanya
kontrol diri yang kuat sehingga tidak memiliki kendali atas apa yang diinginkan.
Dampak gaya hidup konsumtif adalah menumpuk sifat dan gaya hidup
konsumerisme (sifat dan gaya hidup yang mengganggap barang-barang sebagai
kesenangan, kebahagiaan, dan harga diri).
Sifat dan gaya hidup, masyarakat yang menjual tanah akan terdorong
untuk membeli barang dan jasa yang sebenarnya belum menjadi kebutuhannya.
Gaya hidup konsumtif lebih mementingkan prestise sehingga para pecandu gaya
hidup konsumtif yang sudah parah tidak lagi peduli dengan halal atau haram dari
produk yang dikonsumsinya.
Perilaku konsumtif dapat terus mengakar di dalam gaya hidup sekelompok
remaja. Dalam perkembangannya akan menjadi orang-orang dewasa dengan gaya
hidup konsumtif. Gaya hidup konsumtif ini mesti didukung oleh kekuatan
finansial yang memadai.
Secara operasional gaya hidup konsumtif adalah keinginan masyarakat
yang menjual tanah mengonsumsi atau memakai barang-barang secara berlebihan
untuk mencapai kepuasan. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh media massa
yang mempunyai andil dalam memopulerkan budaya konsumtif lewat iklan, film,
dan bentuk informasi lainnya.
Media massa seolah membentuk konstruksi bahwa memiliki benda yang
dipopulerkan adalah syarat jika ingin diakui dalam kehidupan sehari-hari. Untuk
itu, produsen memprioritaskan kelompok usia remaja sebagai salah satu pasar
yang potensial. Alasannya, antara lain karena pola konsumsi masyarakat terbentuk
pada usia remaja.
Gaya hidup konsumtif ini didukung oleh kekuatan finansial yang
memadai. Pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala macam cara,
yaitu mulai dari kerja berlebihan sampai tidak halal. Dengan sifat dan gaya hidup
masyarakat ini akan terdorong untuk membeli barang dan jasa yang sebenarnya
belum menjadi kebutuhannya.
2.2.1.3 Hierarki Kebutuhan Maslow
Hierarki dipahami merupakan interpretasi dari tingkat kebutuhan manusia
yang direpresentasikan dalam bentuk piramida dengan kebutuhan yang lebih
mendasar ada di bagian paling bawah. Digunakan piramida sebagai peraga untuk
memvisualisasi gagasan mengenai hierarki kebutuhan. Menurut Maslow, manusia
termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-
kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hierarki, mulai dari yang paling
rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri)
(Maslow, 2005:78).
Berdasarkan pendapat Maslow ada lima tingkat kebutuhan sebagai berikut.
Pertama, kebutuhan yang bersifat fisiologis, yang dapat dimanifestasikan dalam
hal kebutuhan akan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan lain
yang bersifat fisik, misalnya kebutuhan bebas akan rasa sakit. Kedua, kebutuhan
akan rasa aman, misalnya dalam bentuk kebutuhan akan kebebasan dari segala
bentuk ancaman, baik di dalam dinas maupun di luar jam dinas, bebas dari segala
macam tuduhan, kebutuhan akan keamanan jiwa dan harta. Ketiga, kebutuhan
sosial dan rasa memiliki. Termasuk dalam kebutuhan ini antara lain kebutuhan
berkelompok (berteman), afiliasi, interaksi, dicintai, dan mencintai. Keempat,
kebutuhan dan penghargaan atau prestise, kebutuhan ingin dihargai pendapatnya
dan dihormati. Kelima, kebutuhan untuk mempertinggi kapasitas kerja/aktualisasi
diri, yaitu kebutuhan untuk memenuhi diri sendiri dengan menggunakan
kemampuan, keterampilan, dan potensi.
Secara operasional, hierarksi kebutuhan Maslow, yaitu merupakan
interpretasi dari tingkat kebutuhan manusia yang direpresentasikan dalam bentuk
piramida dengan kebutuhan yang lebih mendasar ada di bagian paling bawah.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hierarki, mulai dari yang
paling rendah sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Dalam hal ini persoalan
hidup masyarakat yang menjual tanah merupakan sesuatu yang perlu dihadapi dan
dipecahkan, tidak dihindari.
2.2.2 Globalisasi
Konsep globalisasi merujuk pada semakin meningkatnya hubungan-
hubungan multiarah dari ranah ekonomi, sosial kultural, dan politis yang
membentuk dunia. Globalisasi menyangkut “proses pengerucutan dunia” yang
semakin meningkat akan proses itu. Pengerucutan dunia bisa dipahami dalam
bingkai semakin menyebarnya lembaga-lembaga modernitas ke seluruh pelosok
dunia sementara peningkatan kesadaran reflektif tentang dunia bisa dilihat dengan
kacamata kultural. Untuk sebagiannya, globalisasi dibentuk oleh aktivitas
ekonomi seluas dunia yang menciptakan ekonomi dunia yang saling terhubung
meskipun tidak seimbang.
Globalisasi tentu saja tidak melulu soal ekonomi, tetapi juga menyangkut
isu-isu makna budaya. Meskipun pelbagai nilai dan makna yang melekat pada
tempat masih dianggap signifikan, kini semakin terlibat dalam “jejaring” yang
merentang melampaui lokasi fisik kita yang dekat. Indonesia masih belum
menjadi bagian dari negara dunia atau kampung global, integrasi, dan disintegrasi
budaya, yang tidak bergantung pada relasi antarnegara. Secara khusus,
kosmopolitanisme adalah aspek hidup sehari-hari dunia Barat tatkala beraneka
macam budaya yang (tadinya) jauh kini bisa diakses, baik sebagai tanda maupun
sebagai komoditas, melalui televisi, radio, supermarket, dan pusat-pusat
perbelanjaan.
Giddens mengibaratkan lembaga-lembaga modernitas dengan “mesin
besar” yang lepas kendali dan melibas habis apa pun yang menghalangi jalannya.
Secara khusus, globalisasi pantas juga dipikirkan dalam kerangka ekspansionisme
sistem ekonomi kapitalis, sistem informasi global, sistem negarabangsa, dan
tatanan dunia yang didukung militer (Barker, 2014:108).
Modernitas berawal dari Eropa Barat dan menyebar ke seluruh dunia.
Model penggambaran globalisasi semacam ini menuai kritik yang di antaranya
berbunyi bahwa globalisasi seperti digambarkan di atas bersifat terlalu Eropa
sentris, menggambarkan hanya satu jenis modernitas, yaitu Barat. Di sejumlah
wilayah yang berbeda-beda terjadi modernisasi dalam beragam cara, dalam hal ini
diharuskan untuk berbicara tentang sejumlah modernitas global.
Di level budaya, globalisasi tidak bisa dikatakan sebagai proses ekspansi
Barat yang didorong oleh kepentingan ekonomi, yang berjalan secara seimbang.
Lebih tepat jika dikatakan bahwa globalisasi adalah relasi-relasi disjungtif
(pemisahan) antara arus uang, teknologi, media, ide, dan orang. Artinya,
globalisasi melibatkan dinamika gerakan kelompok-kelompok etnis, teknologi,
transaksi finansial, gambar-gambar yang ditayangkan media, dan konflik-konflik
ideologis, baik arah maupun tujuannya, tidak bisa ditentukan atau disetir oleh satu
“rencana induk” (Barker, 2014:108).
Kecepatan, cakupan, dan dampak dari arus-arus di atas bersifat pecah
belah dan tidak saling terhubung. Metafora yang sering digunakan adalah
ketidakpastian, kontegensi, dan kekacauan yang menggantikan tatanan, stabilitas,
dan sistem. Globalisasi dan arus-arus budaya berskala global tidak bisa dipahami
sebagai sebuah susunan atau penentuan linier yang rapi, tetapi lebih baik dipahami
sebagai serangkaian kondisi yang saling tumpang-tindih, tak tertentukan,
kompleks, kacau yang menggumpal di “simpul-simpul kunci” tertentu (Barker,
2014:109).
Secara operasional globalisasi adalah semakin meningkatnya hubungan-
hubungan multiarah dari ranah ekonomi, sosial kultural, dan politis yang masuk
ke Desa Kutuh dengan adanya pariwisata ke desa. Globalisasi menyangkut
“proses pengerucutan dunia” yang semakin meningkat akan proses itu.
2.2.3 Artikulasi
Konsep artikulasi digunakan untuk melengkapi teori relasi antara unsur-
unsur yang membentuk wacana (unsur diskursif) dengan komponen-komponen
formal sosial. Terkait dengan konsep artikulasi, Laclau berargumen bahwa tidak
ada kaitan yang niscaya antara konsep diskursif atau antara “tingkat-tingkat”
formasi sosial. Kalaupun ada hubungan di antara konsep diskursif dan tingkat
formasi sosial, sifatnya hanyalah sementara, diartikulasikan, dan diikat oleh
kebiasaan dan kesepakatan. Menurut Stuart Hall, konsep artikulasi menunjukkan
bahwa unsur-unsur diskursif yang bersatu untuk sementara tidak harus berjalan
bersama sehingga artikulasi adalah soal koneksi yang bisa jadi (bisa juga tidak)
membentuk kesatuan dari dua unsur yang berbeda dalam kondisi-kondisi tertentu
(Barker, 2014:12).
Artikulasi memuat unsur, baik mengekspresikan maupun
merepresentasikan sekaligus menyatukan. Dalam konsep ini individu dipahami
sebagai artikulasi unsur-unsur diskursif yang spesifik dan unik secara historis
yang bersifat kontigen, tetapi sekaligus dideteminasi atau diatur secara sosial.
Mengingat tidak ada hubungan otomatis antara beraneka macam wacana identitas,
kelas, gender, ras, umur, dan seterusnya, mereka bisa diartikulasikan bersama
dengan sejumlah cara yang berbeda. Konsep artikulasi memampukan sejumlah
konsep pemersatu seperti “masyarakat” dan “bangsa” untuk dilihat sebagai
stabilisasi dari gugus relasi dan makna yang bersifat unik, historis, spesifik, dan
sementara.
Gagasan artikulasi juga digunakan untuk membahas relasi antara budaya
dan ekonomi politik sehingga budaya “diartikulasikan” lewat momen-momen
produksi, tetapi budaya tidak ditentukan secara niscaya oleh momen-momen
tersebut, begitu juga sebaliknya. Dalam model momen dan artikulasi semacam ini
makna budaya diproduksi dan tertanam di tiap level “sirkuit budaya” (relasi antara
ekonomi dan budaya) yang saling terkait dengan momen-momen yang lain, tetapi
tidak saling menentukan atau menjadi prasyarat. Tiap-tiap momen, yakni
produksi, representasi, identitas, konsumsi, dan regulasi akan menghasilkan
maknanya sendiri-sendiri yang diartikulasikan dan dikaitkan dengan momen
berikutnya (Barker, 2014:12).
Secara operasional artikulasi dalam hal ini dapat diartikan sebagai upaya
menyatukan dua hal yang berbeda dan tidak mempunyai kaitan yang niscaya.
Oleh karena itu, salah satu masalah yang perlu dijadikan fokus penelitian ini
adalah cara masyarakat Desa Kutuh mengartikulasikan gaya hidupnya. Hal ini
penting unrtuk mengetahui bobot dimensi tradisional dan modernitas dalam gaya
hidup masyarakat Desa Kutuh. Dalam konsep ini masyarakat di Desa Kutuh
mengartikulasikan gaya hidupnya dengan pola pakaian, pola makan, pola
rekreasi, kepemilikan alat transportasi, kondisi arsitektur tempat tinggal dan
tempat ibadah.
2.2.4 Ideologi
Konsep ideologi sangat sentral dalam kajian budaya sehingga ada yang
menyamakan kajian budaya sebagai “studi tentang ideologi”. Tentu saja istilah
ideologi sendiri mempunyai sejarah yang panjang dan mengalami beberapa fase
pembentukan dan penggunaan.
Ideologi adalah usaha untuk memapankan makna dan pandangan dunia
untuk mendukung pihak yang kuat. Peta makna kendatipun mereka mengklaim
dirinya sebagai kebenaran universal, secara historis merupakan pemahaman yang
khas yang mengaburkan dan mempertahankan kekuasaan kelompok social,
misalnya kelas, gender, dan ras (Barker, 2013:410).
Aspek ideologi menjadi penting dalam penelitian ini, selain karena
penelitian ini adalah penelitian kajian budaya juga mengingat gaya hidup
sebagaimana dikemukakan merupakan pilihan. Hal ini sejalan dengan gagasan
Ibrahim (2011:12 - 13) berikut.
“…ternyata pilihan gaya hidup yang kita buat dari sekian banyak pilihan
model gaya hidup yang ditawarkan dalam masyarakat adalah hasil dari
pergulatan diri kita dalam pencarian identitas dan sensibilitas kita dengan
lingkungan di mana kita hidup”.
Tentu saja memilih gaya hidup merupakan suatu tindakan, sedangkan
tindakan manusia dipandu oleh ideologi yang diturunkan ke dalam kerangka aksi
dan aturan-aturan tindakan (Takwin, 2003:7). Ideologi dijadikan kerangka suatu
aksi atau aturan tindakan karena ideologi sebagaimana dikemukakan oleh Jones
dan Wareing (dalam Atmadja dan Anantawikrama, 2008:240) juga bisa dilihat
sebagai “keyakinan-keyakinan yang dirasakan logis dan „wajar‟ oleh orang-orang
yang menganutnya”. Jadi, melalui kajian aspek ideologi di balik gaya hidup
dimungkinkan untuk diperoleh gambaran yang lebih dalam lagi mengenai gaya
hidup masyarakat yang bersangkutan.
Secara operasional ideologi adalah keyakinan-keyakinan yang dirasakan
logis dan „wajar‟ oleh orang-orang yang menganutnya. Jadi, melalui kajian aspek
ideologi di balik gaya hidup dimungkinkan untuk diperoleh gambaran yang lebih
dalam lagi mengenai gaya hidup masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini
ideologi di balik gaya hidup masyarakat pascapenjualan tanah di Desa Kutuh
seperti pemanfaatan hasil penjualan tanah, penentuan pembagian uang hasil
penjualan tanah, arsitektur bangunan rumah dan tempat ibadah, serta kepemilikan
peralatan rumah tangga.
2.2.5 Implikasi
Konsep implikasi dalam hal ini mengacu kepada pengertian istilah
implikasi yang dikemukakan oleh Keraf (1985) dan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008). Menurut Keraf (1985:8), “implikasi adalah rangkuman, yaitu
sesuatu dianggap ada karena sudah dirangkum dalam fakta atau evidensi itu
sendiri”. Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa implikasi berada dalam suatu
fakta. Meskipun ada dalam suatu fakta, kiranya implikasi tidaklah bersifat
eksplisit, tetapi bersifat implisit.
Sifat implisitnya itu sesuai pula dengan pengertian implikasi yang ada
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:529), yakni sebagai “yang termasuk
atau tersimpul; yang tersugestikan, tetapi tidak dinyatakan: apakah ada – dalam
pertanyaan itu?” Berdasarkan pengertian ini dapat dikatakan bahwa implikasi
bersifat implisit karena tidak dinyatakan dalam suatu fakta, tetapi sudah termasuk
atau tersimpul dan disugestikan dalam suatu fakta.
Karena implikasi berada dalam suatu fakta, tetapi bersifat implisit, untuk
mengetahui dan memahami implikasi yang ada dalam suatu fakta, justru faktanya
itu perlu dicermati. Jadi, implikasi tidak sama dengan dampak, pengaruh, dan
akibat. Karena implikasi disugestikan, tampaknya implikasi bisa pula berdampak
atau berpengaruh terhadap suatu hal yang berkaitan dengan implikasi tersebut.
Secara operasional bahwa implikasi bersifat implisit karena tidak
dinyatakan dalam suatu fakta, tetapi sudah termasuk atau tersimpul dan
disugestikan dalam suatu fakta tertentu. Dalam hal ini adalah terjadinya
perubahan gaya hidup petani Desa Kutuh pascapenjualan tanah.
2.3 Landasan Teori
Guna memperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh tentang gaya hidup
masyarakat pascapenjualan tanah di Desa Kutuh, diperlukan adanya kerangka
teori. Sehubungan dengan hal itu, untuk menganalisis fenomena yang ada
dilakukan melalui paradigma teori kritis yang melibatkan beberapa teori post-
modernisme atau post-strukturalisme sebagai grand teori yang selanjutnya
dipadukan dengan teori lain sebagai pendukungnya. Dengan kata lain,
penggunaan teori-teori tersebut secara eklektik diharapkan dapat memperoleh
suatu pemahaman yang lebih memadai. Adapun teori-teori yang digunakan dalam
penelitian ini sebagai berikut.
2.3.1 Teori Praktik Sosial
Gagasan-gagasan pokok Bourdieu dalam kaitannya dengan memahami dan
menafsirkan kerangka berpikirnya yang bersifat formal. Alat intelektual Bourdieu
bisa ditemukan di dalam gagasan pokok mengenai habitus dan ranah.
Dalam pengertian Bourdieu, habitus sebagai perlengkapan dan postur
sebagai posisi tubuh/fisik, juga kualitas sebagai sifat-sifat yang menetap dalam
diri, tetapi tidak dapat dipilah karena perlengkapan menghasilkan postur yang
lama-kelamaan membentuk sifat yang relatif menetap. Bahkan, kategori relasio
sebagai peran dari substansi, aksio sebagai tindakan aktif dari substansi, dan
passio sebagai reaksi dari aksi di luar diri pun terkait secara erat dan tak
terpisahkan dari ketiga kategori tadi. Semua itu disatukan pengertiannya dalam
habitus. Pengertian postur, kualitas, relasio, aksio, dan passio dari Aristoteles
merupakan atribut atau karakteristik habitus dalam terminologi Bourdieu
(Takwin, 2006:44).
Beberapa hal prinsipal yang menjadi ciri khas habitus (Fashri, 2014:100-
104). Pertama, habitus mencakup dimensi kognitif dan afektif yang
terejewantahkan dalam sistem disposisi merujuk pada tiga makna yang berbeda,
yaitu (1) disposisi dimengerti sebagai hasil dari tindakan yang mengatur; (2)
merujuk pada cara mengada, kondisi habitual; dan (3) disposisi sebagai sebuah
predisposisi, tendensi, niat, atau kecenderungan. Disposisi terbentuk melalui
praktik individu dengan pengalaman personalnya, interaksi individu dengan orang
lain, dan dengan struktur objektif. Kecenderungan-kecenderungan ini dipupuk di
dalam posisi-posisi sosial suatu ranah dan memberikan kerangka penyesuaian
subjektif terhadap posisi sosial tersebut.
Disposisi bisa diandaikan sebagai sikap, kecenderungan dalam memersepsi,
merasakan, melakukan, dan berpikir, yang diinternalisasikan oleh individu berkat
kondisi objektif seseorang. Contoh: gaya berbicara seorang pengusaha jelas
berbeda dari seorang seniman. Hal ini terjadi karena posisi sosial seorang
pengusaha menuntut adanya pengambilan keputusan yang cepat dan berdasarkan
kalkulasi untung rugi sehingga cara berbicaranya lebih tegas. Lain halnya dengan
seniman yang mana posisi sosialnya diwarnai oleh dimensi artistik sehingga gaya
bicaranya cenderung mendalam dan lebih lentur.
Kedua, habitus merupakan “struktur-struktur yang dibentuk” dan struktur-
struktur yang membentuk. Di satu sisi, habitus berperan sebagai sebuah struktur
yang membentuk kehidupan sosial, sedangkan di sisi lain, habitus dipandang
sebagai struktur yang dibentuk oleh kehidupan sosial. Dari skema yang telah
dibatinkan, seorang aktor menggunakannya untuk memperoleh keterampilan
tertentu sebagai tindakan praktis yang diwujudkan menjadi suatu kemampuan
yang dianggap alamiah dan berkembang dalam ranah sosial tertentu.
Struktur-struktur yang dibentuk menjelma menjadi struktur-struktur yang
membentuk. Misalnya, untuk menjadi seorang pemain sepakbola andal dilalui
lewat proses pembatinan aturan-aturan permainannya, melatih diri dalam
mengolah bola, dan sebagainya. Melalui internalisasi kode-kode tersebut seorang
pemain baru bisa menciptakan, pola, gaya, teknik gocekan baru, unik, dan kreatif.
Dari sini habitus bisa dimengerti sebagai proses “dialektika internalisasi
eksternalisasi dan eksternalisasi internalitas.
Ketiga, habitus dilihat sebagai produk sejarah. Habitus senantiasa terikat
dalam ruang dan waktu serta kondisi material yang mengelilinginya. Habitus
merupakan hasil akumulasi pembelajaran dan sosialisasi, baik individu maupun
kelompok. Pengaruh masa lalu tidak disadari sepenuhnya dan dianggap sebagai
sesuatu yang alamiah dan wajar. Ketidaksadaran kultural yang melekat dalam
habitus senantiasa diawetkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan terus
menerus diproduksi ulang bagi pembentukan praksis kehidupan sehari-hari.
Keempat, habitus bekerja di bawah kesadaran dan bahasa, melampui
jangkauan pengamatan introspektif atau kontrol oleh keinginan aktor. Karena
mengarahkan praktik secara praktis, skema-skema habitus menyatu pada apa yang
disebut gerak-gerak (gesture) tubuh yang paling otomatis, seperti cara berjalan,
membuang ingus, cara makan, dan gaya bicara. Habitus terkait pula dengan
prinsip-prinsip konstruksi dan evaluasi yang sangat mendasar terhadap dunia
sosial. Hal ini bisa dilihat dalam proses pembagian kerja atau pembagian
pekerjaan dominasi.
Selain habitus, alat teoretik Bourdieu lainnya yang tak kalah penting, yaitu
ranah (arena). Konsep ranah tak bisa dilepaskan dari ruang sosial yang mengacu
pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Konsep ini memandang realitas
sosial sebagai suatu tipologi (ruang). Artinya, pemahaman ruang sosial mencakup
banyak ranah di dalamnya yang memiliki keterkaitan satu sama lain dan terdapat
titik-titik kontak yang saling berhubungan. Sistem ranah juga dapat dianalogikan
dengan sebuah sistem planet yang memiliki gravitasi, mengandung energi, dan
memiliki semacam atmosfer yang bisa melindungi dari daya rusak yang datang
dari luar planet. Dengan kata lain, setiap ranah memiliki struktur dan kekuatan-
kekuatan sendiri, serta ditempatkan dalam suatu ranah yang lebih besar yang juga
memiliki kekuatan, strukturnya sendiri, dan seterusnya (Takwin, 2006;49).
Dalam sebuah wawancara dengan Cheelan Mahar, Bourdieu menjelaskaan
lebih lanjut kontruksi teoretiknya tentang ranah, seperti uraian Bourdieu di bawah
ini.
“Salah satu perkuliahan yang saya berikan di College de France adalah
mengenai relasi-relasi antara habitus dan ranah, mengenai bagaimana
tindakan (praktik) merupakan produk dari relasi antara habitus (yang
merupakan produk sejarah) dan ranah, yang juga merupakan produk sejarah.
Habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada
dalam masyarakat. Dalam suatu ranah, terdapat pertaruhan, kekuatan-
kekuatan, dan orang yang memiliki modal besar dan orang yang tidak
memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu
kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Dalam ranah intelektual,
Anda harus memiliki sebuah modal istimewa dan spesifik, yaitu otoritas,
prestise, dan sebagainya. Ini semua adalah hal-hal yang tidak dapat Anda
beli, tapi sering kali dianugerahkan oleh modal ekonomi dalam ranah-ranah
tertentu. Ranah ini merupakan ranah kekuatan, tapi pada saat yang sama ia
adalah ranah di mana orang-orang berjuang untuk mengubah struktur.
Misalnya, ketika mereka melihat ranah, mereka memiliki opini-opini dan
berkata „ia terkenal, tapi ia tidak pantas mendapatkan itu‟. Demikianlah,
ranah kekuatan pada saat yang sama adalah ranah perjuangan” (dalam
Harker, 2005:46).
Menurut Bourdieu, modal bisa digolongkan ke dalam empat jenis,
Pertama, modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh),
materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang yang dengan mudah digunakan
untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kedua, modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa
diproduksi baik melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk
modal budaya antara lain kemampuan menampilkan diri di depan publik,
pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, dan pengetahuan (gelar
kesarjanaan). Ketiga, modal sosial menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki
pelaku (individu dan kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang
memiliki kuasa. Keempat, modal simbolik, yaitu segala bentuk prestise, status,
otoritas, dan legitimasi yang terakumulasi (Fashri, 2014:109).
Dari semua bentuk modal yang ada, modal ekonomi dan budaya yang
memiliki daya besar untuk menentukan jenjang hierarkis dalam masyarakat maju.
Prinsip hierarki dan diferensiasi masyarakat bergantung pada jumlah modal yang
diakumulasi dan struktur modal itu sendiri. Mereka yang menguasai keempat
modal tadi dalam jumlah yang besar akan memperoleh kekuasaan yang besar pula
dan menempati posisi hierarki tertinggi (kelas dominan). Tercakup di dalamnya
pemilik perusahaan besar, kaum intelektual jebolan institusi pendidikan
prestisius. Sementara yang hanya menguasai beberapa modal dari keseluruhan
modal menempati posisi hierarki sebagai kelas menengah. Peningkatan jenjang
bagi kelompok ini sangat bergantung pada kemampuan mereka memperbesar dan
mengembangkan modal yang dimiliki. Kelompok ini bisa kaum wiraswasta,
karyawan, dosen baru. Berbeda dari kedua kelas tersebut, mereka yang tidak
memiliki modal sama sekali menempati jenjang hierarki sosial terendah.
Secara operasional, gaya hidup dapat menjadi cara individu untuk
menyesuaikan diri dengan ruang sosial berdasarkan habitus dan posisinya dalam
ranah. Di sisi lain, gaya hidup juga dapat menjadi bentuk penentangan terhadap
pengaruh kekuasaan tertentu dalam ruang sosial. Apakah respons afiliasi atau
penentangan yang ditampilkan individu terhadap pihak-pihak tertentu dalam
ruang sosial bergantung pada bagaimana relasi-relasi dan penempatan setiap
individu dalam ranah.
Habitus memberikan kerangka persepsi dan penilaian terhadap ranah dan
ruang sosial dengan modal sebagai variabel yang mengarahkan valensinya
(positif, negatif, atau netral). Dengan habitus dan modal tertentu ia menentuka
apakah posisinya perlu dipertahankan, diubah, atau ditingkatkan melalui
serangkaian praktik sosial yang terkemas dalam gaya hidupnya.
Pemikiran Bourdieu tentang teori praktik sosial relevan digunakan untuk
menganalisis dan memahami rumusan masalah artikulasi gaya hidup, ideologi
gaya hidup, dan implikasi gaya hidup masyarakat pasca penjualan tanah di Desa
Kutuh.
2.3.2 Teori Konsumerisme
Masyarakat dewasa ini telah menyadari rasionalitas hedonisme yang
bertumpu pada pemuasan kebutuhan dan kesenangan melalui konsumsi. Jika
diamati di dalam kehidupan tradisional yang penuh dengan ajaran-ajaran
mengenai kesalehan, kesederhanaan, sifat-sifat altruistik, dan pengekangan hasrat
atau nafsu, telah mengalami banyak pergeseran menjadi kehidupan yang
bertumpu pada moral hedonistik yang mengedepankan pemborosan yang
disebarkan oleh media massa (Baudrillard, 2015:84). Baudrillard berusaha
menunjukkan bahwa rasionalitas hidup masyarakat modern saat ini yang
senantiasa berorientasi dan merujuk pada objek-objek material bukanlah sifat
dasar manusia atau sesuatu yang alamiah terjadi begitu saja.
Selanjutnya dikatakan Baudrillard bahwa suatu hal yang memicu
perubahan paradigma berpikir masyarakat tentang kehidupan, terutama berkaitan
dengan objek-objek materi, demokrasi sosial yang sebenarnya terjadi sekarang
hanyalah demokrasi televisi, mobil, dan barang-barang konsumsi lainnya.
Demokrasi komoditas semacam itu memang tampak lebih nyata dan bisa dinilai
dibandingkan dengan demokrasi sosial yang berdasarkan atas konsep idealis
tentang keadilan dan kesetaraan yang abstrak parameternya. Selain itu, dengan
bentuk demokrasi sosial yang semacam itu “orientasi materi” didasarkan bahwa
semua manusia setara, yang membuat berbeda adalah masalah kebutuhan dan
kepuasan masing-masing. Masyarakat diarahkan untuk memahami bahwa
konsumsi memungkinkan hak yang sama terhadap pemenuhan hasrat dan
kebutuhan manusia. Ideologi konsumsi telah membuat masyarakat percaya bahwa
kehidupan manusia modern telah memasuki suatu era baru, yaitu manusia dan
hasrat-hasratnya dianggap telah memperoleh keadilannya kembali.
Sebaliknya, dengan pemikiran yang sama, masyarakat yang menjual tanah
sebagai konsumen mengganggap pengalaman menikmati kesenangan merupakan
suatu kewajiban. Tugas untuk meraih kesenangan dan kepuasan, setiap orang
diwajibkan untuk merasa bahagia, dicintai, dikagumi, diinginkan, berpartisipasi,
turut bergembira ria, dan dinamis (Baudrillard, 2015:73). Setiap individu dalam
masyarakat konsumen seolah-olah diwajibkan untuk menikmati pengalaman-
pengalaman konsumsi yang menyenangkan. Wajib untuk senang membeli baju-
baju baru sesuai dengan trend, wajib merasakan menu masakan barat di restoran,
wajib berganti handset sesuai dengan trend, dan sebagainya.
Teori Baudrillard bahwa konsumerisme merupakan ideologi yang
menjadikan masyarakat yang menjual tanah melakukan dan menjalankan proses
konsumsi barang-barang hasil produksi secara berlebihan tidak sepantasnya secara
sadar dan berkelanjutan. Kesenangan merupakan kewajiban dilihat dari etika baru
yang muncul dalam masyarakat dewasa ini, yaitu etika baru menyatakan bahwa
setiap orang siap mengaktualisasikan semua potensi dan kapasitas konsumsi.
Masyarakat konsumen menunjukkan logika produksi telah berubah menjadi
logika konsumsi. Logika konsumsi telah mengontrol dan memaksa setiap
masyarakat yang menjual tanah ikut berpartisipasi dalam konsumsi massa.
Dalam masyarakat konsumen, indoktrinasi sosial tentang konsumsi
merupakan proses terprogram, kaum kapitalis merasionalisasikan sektor produksi.
Artinya, konsumsi merupakan kesadaran palsu masyarakat karena mengemas
pemaksaan ketidaksadaran terhadap masyarakat, baik oleh sistem tanda maupun
sistem sosioekonomi dan sosial. Teori konsumerisme digunakan untuk mengkaji
rumusan masalah artikulasi gaya hidup (tempat ibadah, rumah, kendaraan,
pakaian, dan makanan), ideologi di balik gaya hidup (status sosial, konsumerisme,
dan pencitraan).
2.3.3 Teori Modernitas
Modernitas selama ini secara sederhana dikaitkan dengan pascazaman
pertengahan dan pascatatanan tradisional yang ditandai oleh perubahan, inovasi,
dan berbagai kedinamisan. Aliran modernis menunjukkan suatu keyakinan
optimis terhadap kekuatan ilmu pengetahuan, rasionalitas, dan industri untuk
mentransformasikan dunia menjadi lebih baik (Barker, 2013:141)
Pemikiran Simmel dibahas agak lebih terperinci di sini karena akhir-akhir
ini ia telah dilukiskan sebagai modernis (Weinstein dan Weinstein, 1993;
Jaworski, 1997). Frisby menerima pendapat yang memandang “Simmel adalah
sosiolog modernitas pertama” (1992:59). Simmel dipandang meneliti modernitas
terutama di dua sisi utama yang saling berhubungan kota dan ekonomi uang. Kota
adalah tempat modernitas dipusatkan atau diintensifkan, sedangkan ekonomi uang
menyebabkan penyebaran modernitas dan perluasannya (Frisby, 1992:69).
Poggi (1993) mengambil tema modernitas yang berkaitan dengan uang,
khususnya dalam Philisophy of Money (1907/1978) karya Simmel. Poggi melihat
tiga pandangan tentang modernitas yang dinyatakan dalam karya Simmel itu.
Pertama, modernisasi memberikan keuntungan bagi umat manusia, terutama fakta
bahwa melalui modernisasi manusia mampu mengekspresikan berbagai potensi
yang belum terungkapkan, tersembunyi, dan yang tertekan dalam masyarakat
pramodern. Dalam hal ini Simmel melihat modernitas sebagai “epiphany” dalam
arti sebagai tanda manifestasi kekuatan intrinsik manusia yang sebelumnya tak
terjelmakan” (Poggi, 1993:165).
Kedua, Simmel menguraikan besarnya pengaruh uang terhadap masyarakat
modern. Ketiga, Simmel memusatkan perhatian pada upaya menjelaskan akibat
merugikan dari uang terhadap modernitas, terutama alienasi. Masalah alienasi
membawa kembali ke masalah sentral, baik dalam teori sosiologi Simmel
umumnya maupun dalam sosiologinya tentang modernitas: “tragedi kultur”,
melebarnya jurang pemisah antara kultur objektif dan kultur subjektif atau seperti
dinyatakan Simmel, “terhentinya pertumbuhan kultur subjektif atau “terhentinya
pertumbuhan kultur individual dan pesatnya pertumbuhan kultur objektif” (Frisby,
1992:69).
Menurut Frisby, Simmel memusatkan perhatian pada “pengalaman”
modernitas. Unsur kunci pengalaman itu adalah waktu, ruang, dan hubungan
sebab akibat adalah aspek sentral dari sebagian teori modernitas.
Pengalaman modernitas yang dipandang oleh Simmel sebagai diskontinuitas
waktu adalah bersifat transitoris, di mana momen sesaat dan perasaan
kehadiran melebur, ruang adalah hubungan dialektika dari kejauhan dan
kedekatan dan kausalitasnya adalah kontigen, arbitrer, dan kebetulan
(Frisby, 1992:163 - 164)
Gidden mendefinisikan modernitas dilihat dari empat sudut institusi
mendasar. Pertama, kapitalisme yang ditandai oleh produksi komoditas,
pemilikian pribadi atas modal, tenaga kerja tanpa properti, dan sistem kelas yang
berasal dari ciri-ciri tersebut. Kedua, industrialisme yang melibatkan penggunaan
sumber daya alam dan mesin untuk memproduksi barang. Industrialisme tak
terbatas pada tempat bekerja saja dan industrialisme memengaruhi sederetan
lingkungan lain, seperti transportasi, komunikasi, bahkan kehidupan rumah tangga
(Gidden, 1990:56).
Meskipun dua ciri modernitas pertama yang dikemukakan Gidden ini
hampir merupakan sesuatu yang baru, ciri ketiga, yaitu kemampuan mengawasi
tampaknya berasal dari pemikiran Michel Foucalt. Seperti didefinisikan Giddens,
“kemampuan mengawasi mengacu pada pengawasan atas aktivitas warga negara
individual (terutama, tetapi bukan semata-mata dalam bidang politik” (1990:58).
Dimensi institusional yang keempat dari modernitas adalah kekuatan militer atau
pengendalian atas alat-alat kekerasan, termasuk industrialisasi peralatan perang.
Perlu dicatat bahwa dalam analisisnya tentang modernitas, setidaknya di tingkat
makro, Giddens memusatkan perhatian pada negara-bangsa yang dilihatnya
sangat berbeda dari tipe komunitas yang menandai masyarakat modern.
Modernitas memperoleh dinamismenya melalui tiga aspek penting teori
strukturasi Gidden: Pertama, pemisahan waktu dan ruang (meskipun proses yang
makin memisah ini tidak unilinier, tetapi bersifat dialektik). Dalam masyarakat
pramodern, waktu selalu dikaitkan dengan ruang dan pengukuran waktu biasanya
tidak tepat. Dengan modernisasi, waktu dibakukan ukurannya dan kaitan erat
antara waktu dan ruang diputus. Dalam hal ini, baik waktu maupun ruang,
“dikosongkan” dari isinya; tak ada waktu dan ruang khusus yang istimewa;
keduanya menjadi bentuknya yang murni.
Dalam masyarakat pramodern, ruang umumnya ditentukan oleh kehadiran
secara fisik sehingga ditentukan oleh ruang yang dilokalisasi. Dengan datangnya
modernitas, ruang makin lama makin dilepaskan dari tempat. Berhubungan
dengan orang yang berjauhan jarak fisik makin lama makin besar peluangnya.
Menurut Giddens, tempat semakin menjadi “phantasmagoric”, artinya “tempat
terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus dan ditentukan oleh pengaruh sosial yang
jauh jaraknya dari tempat terjadinya peristiwa itu” (Giddens, 1990:19).
Pemisahan waktu dan ruang penting bagi modernitas karena beberapa
alasan. Pertama, memungkinkan tumbuhnya organisasi rasional seperti birokrasi
dan negara-bangsa dengan dinamismenya (dibandingkan dengan bentuk
pramodern) dan kemampuannya untuk menghubungkan otoritas lokal dan global.
Kedua, kehidupan modern ditempatkan dalam pengertian radikal dari sejarah
dunia. Hal itu dapat menimbulkan kesan bahwa searah membentuk masa kini.
Ketiga, pemisahan ruang dan waktu seperti itu merupakan syarat utama bagi
sumber kedua dinamisme dalam modernitas menurut Giddens, yakni keterlepasan.
Seperti didefinisikan Giddens, keterlepasan menyebabkan hubungan
menjadi “terangkat” dari konteks lokal interaksi ke tingkat yang melintasi ruang
dan waktu yang tak terbatas (1990:21). Ada dua tipe mekanisme keterlepasan
yang penting perannya dalam masyarakat modern; keduanya dapat disebut sistem
abstrak. Pertama, tanda simbolik, yang terkenal adalah uang. Uang
memungkinkan pemisahan ruang waktu. Uang mampu terlibat dalam transaksi
dengan orang lain yang jauh dipisahkan oleh waktu dan/atau ruang. Kedua, sistem
keahlian, yakni “sistem kecakapan teknis atau keahlian profesional yang
mengorganisasi bidang material dan lingkungan sosial di mana kita hidup kini
(Giddens, 1990:27).
Sistem keahlian yang paling menonjol adalah profesi seperti pengacara
dan dokter, tetapi fenomena sehari-hari seperti mobil dan rumah diciptakan dan
dipengaruhi oleh sistem keahlian. Sistem keahlian memberikan jaminan (tetapi
bukan tanpa risiko) pelaksanaan pekerjaan melintasi ruang dan waktu.
Kepercayaan yang sangat penting dalam masyarakat modern dipengaruhi
oleh sistem abstrak dan oleh pemisahan ruang waktu yang sangat besar.
Kebutuhan akan kepercayaan dihubungkan dengan pemisahan ruang waktu ini.
“Kita tak perlu memercayai seseorang yang terus-menerus kelihatan dan yang
aktivitasnya dapat dimonitor secara langsung” (Giddens, 1999:19). Kepercayaan
menjadi perlu bila tidak lagi mempunyai informasi lengkap tentang fenomena
sosial (Craib, 1992:99). Kepercayaan didefinisikan “sebagai kepercayaan terhadap
keandalan seseorang atau sistem berkenaan dengan sekumpulan kejadian atau
hasil tertentu dan kepercayaan itu menyatakan keyakinan terhadap kejujuran atas
kecintaan orang lain atau terhadap kebenaran prinsip-prinsip abstrak (pengetahuan
teknis)” (Giddens, 1990:34). Kepercayaan sangat besar perannya tak hanya dalam
masyarakat modern pada umumnya, tetapi juga terhadap tanda simbolik dan
sistem keahlian yang membantu memisahkan kehidupan dalam dunia modern
Ciri dinamis ketiga modernitas adalah refleksivitasnya. Meskipun
reflesivitas merupakan gambaran fundamental dari teori strukturasi Giddens (dan
kehidupan manusia menurut pandangannya), namun dalam modernitas
refleksivitas mempunyai arti khusus, di mana “praktik sosial terus-menerus diuji
dan diubah berdasarkan infomasi yang baru masuk yang paling praktis, sehingga
mengubah ciri modernitas itu” (Giddens, 1990:38). Apa saja terbuka untuk
direfleksikan dalam kehidupan modern termasuk refleksi itu sendiri. Jadi, apa saja
terbuka untuk dipertanyakan, dibuat untuk diresapi perasaan ketidakpastian.
Secara operasional teori modernitas menurut Simmel dan didukung oleh
Giddens relevan digunakan untuk menganalisis dan memahami rumusan masalah
artikulasi gaya hidup, ideologi gaya hidup, dan implikasi gaya hidup.
2.4 Model Penelitian
Masyarakat Desa
Kutuh
Pariwisata/
Globalisasi
Gaya Hidup
Masyarakat
Pascapenjualan Tanah
Artikulasi Gaya
Hidup
Pascapenjualan
Tanah
Implikasi
Gaya Hidup
Pascapenjualan
Tanah
Ideologi di Balik
Gaya Hidup
Pascapenjualan Tanah
- Komunalitas
Tradisional
- Sistem Subsisten
- Modernisme
- Kapitalisme
- Konsumerisme
Temuan Penelitian
Model penelitan pada dasarnya merupakan kerangka berpikir yang
dituangkan dalam bentuk bagan untuk dapat mempermudah pemahaman terhadap
masalah yang telah dirumuskan. Untuk itu, model penelitan ini ditampilkan
seperti bagan berikut ini.
Keterangan tanda:
: pengaruh
: saling memengaruhi
: korelasi/hubungan
Gambar 2.1 Model Penelitian
Penjelasan Model
Pembangunan tidak dapat dipisahkan dengan perubahan. Bahkan, banyak
pihak mengganggap bahwa pembangunan identik dengan perubahan. Akan tetapi,
perubahan yang dimakusd adalah perubahan yang terjadi secara berkelanjutan dan
terencana, bukan penyimpangan. Di samping itu, pembangunann dapat pula
memengaruhi perilaku dan gaya hidup.
Masyarakat Desa Kutuh yang dahulunya sebagai petani lahan kering yang
mengolah kebunnya untuk bercocok tanam palawija berupa kacang-kacangan,
jagung, dan umbi-umbian seperti ketela pohon dan ketela rambat, dengan ciri-ciri
komunalitas tradisional dan sistem subsisten. Masuknya pariwisata ke Desa Kutuh
menyebabkan terjadinya perubahan dengan ciri-ciri modernisme, kapitalisme, dan
konsumerisme. Hal tersebut mengakibatkan banyak masyarakat Desa Kutuh
menjual tanahnya untuk memenuhi gaya hidupnya.
Di sisi lain dalam diagram di atas masalah yang dikaji adalah (1)
bagaimanakah masyarakat Desa Kutuh mengartikulasikan gaya hidup
pascapenjualan tanah? (2) ideologi apakah yang ada di balik gaya hidup
masyarakat Desa Kutuh pascapenjualan tanah? (3) bagaimanakah implikasi gaya
hidup masyarakat pascapenjualan tanah di Desa Kutuh.