bab ii kajian pustaka - perpustakaan digital...
TRANSCRIPT
II-1
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Industri Jasa Konstruksi
2.1.1 Peran Industri Jasa Konstruksi
Industri jasa konstruksi memiliki arti penting dan strategis dalam pembangunan suatu
bangsa. Industri jasa konstruksi memiliki peran dominan dalam membentuk
lingkungan terbangun (built environment) dari suatu negara. Industri jasa konstruksi
sangat penting dalam kontribusinya pada proses pembangunan, dimana hasil produk
industri jasa konstruksi seperti berbagai bangunan infrastruktur merupakan kebutuhan
mutlak pada proses pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat
(Henriod, 1984). Menurut Parikesit dan Suraji (2005), kerangka industri (usaha) jasa
konstruksi merupakan salah satu bagian dari kerangka teoritis sektor kontruksi selain
kerangka perdagangan (pengusahaan/pasar/demand) suatu produk konstruksi, dimana
modalitas dari sektor konstruksi adalah kapital, sumberdaya manusia, teknologi dan
model proses bisnis serta informasi pasar, akses pasar, sistem transaksi dan
penjaminan kualitas.
Industri jasa konstruksi juga telah menjadi salah satu industri penting dari
perekonomian nasional. Di berbagai negara, industri jasa konstruksi mampu
berkontribusi terhadap GFCF ( Gross Fixed Capital Formation) sampai 70-80% dan
5-9% GDP ( Gross National Product ). Pentingnya industri jasa konstruksi bagi
ekonomi nasional dapat dilihat dari beberapa indikator berikut (Hillebrandt, 1988;
World Bank, 1984):
1. Produk Domestik Bruto (PDB).
Studi oleh Turin and Edmonds (Hillebrandt, 1985) mengindikasikan bahwa
kontribusi industri konstruksi terhadap PDB berkisar antara 3-10%, umumnya
akan lebih rendah di negara berkembang dan lebih tinggi di negara maju. Menurut
Bank Dunia (1984), di negara-negara berkembang, industri konstruksi
berkontribusi 3-8% terhadap PDB.
II-2
Industri konstruksi Indonesia telah tumbuh sejak awal tahun 1970an. Data dari
Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kontribusi industri jasa konstruksi
meningkat dari 3,9% di tahun 1973 menjadi di atas 8% di tahun 1997. Pada tahun
1998 kontribusi industri konstruksi nasional terhadap PDB mengalami penurunan
dan berlanjut sampai tahun 2002 hingga menjadi sekitar 6%. Mulai tahun 2003,
kontribusi industri jasa konstruksi terhadap PDB mulai menunjukkan tren yang
membaik. Data tahun 2005 menunjukkan industri jasa konstruksi tehadap PDB
meningkat kembali menjadi 6,35%.
2. Kontribusi terhadap investasi, yang diukur dari pembentukkan aset tetap
(fixed capital formation); dan jumlah penyerapan tenaga kerja.
Industri jasa konstruksi berkontribusi 60% dari pembentukan aset tetap. Pada
sektor tenaga kerja, industri konstruksi berkontribusi 10% dari total tenaga kerja
nasional. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada sektor konstruksi dari awal
tahun 1970-an hingga 1997 di atas pertumbuhan tenaga kerja nasional. Setelah
peiode krisis ekonomi, penyerapan tenaga kerja pada sektor industri konstruksi
telah menunjukkan peningkatan, sejalan dengan mulai meningkatnya kembali
kontribusi industri konstruksi terhadap PDB.
Sebagian besar dari produk industri jasa konstruksi adalah barang investasi
(Hillebrandt, 1988; Wells, 1986; World Bank, 1984) yang diperlukan untuk
memproduksi barang, jasa atau fasilitas seperti: fasilitas untuk produksi lebih lanjut,
seperti bangunan pabrik; pembangunan atau peningkatan infrastruktur ekonomi,
seperti jalan raya, pelabuhan, jalan kereta; dan investasi sosial, seperti rumah sakit,
sekolah. Dengan demikian, permintaan terhadap produk industri jasa konstruksi
sangat berfluktuasi. Investasi dapat ditunda atau dipercepat, tergantung dari kondisi
ekonomi dan kebijakan pemerintah. Dalam kondisi depresi ekonomi uang dialami
Indonesia pada tahun 1977, industri jasa konstruksi mengalami dampak yang paling
besar. Setelah menikmati pertumbuhan sebesar 12,8% di tahun 1996, industri jasa
konstruksi tumbuh hanya sebesar 6,4% di tahun 1997, dan bahkan mengalami
kontraksi hampir 40% di tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 1998).
II-3
Data BPS (1994) yaitu Tabel input output BPS mengindikasikan industri jasa
konstruksi memiliki indeks penyebaran 1,24 dan indeks sensitifitas 1,23. Indeks
penyebaran menunjukan keterkaitan kebelakang (backward linkage) yaitu kesempatan
untuk menciptakan investasi bagi sektor lain disebabkan oleh permintaan pada salah
satu sektor ekonomi. Indeks sensitifitas mengukur keterkaitan ke depan, yang
menunjukkan penyediaan input oleh salah satu sektor ekonomi bagi sektor ekonomi
lainnya. Indeks di atas 1,0 menunjukkan stimulan di atas rata-rata, yang berarti
industri jasa konstruksi dapat mendorong pertumbuhan bagi sektor ekonomi lainnya.
2.1.2 Peluang Industri Jasa Konstruksi
Dengan dimulainya era globalisasi sebagai konsekuensi ditandatangani perjanjian
GATT, WTO, APEC oleh Pemerintah Indonesia, termasuk ratifikasi perubahan
AFTA dari semula tahun 2003 dipercepat menjadi tahun 2002 merupakan peluang
sekaligus tantangan bagi industri jasa konstruksi. Peluang industri jasa konstruksi ke
depan bergantung pada pasar konstruksi yang secara umum, terdiri atas pasar
konstruksi domestik dan pasar konstruksi global.
A. Pasar Konstruksi Domestik
Pada pasar konstruksi domestik, pemerintah Indonesia akan melakukan investasi
besar-besaran untuk pembangunan infrastruktur dimana Departemen Pekerjaan
Umum mengelola dana 38 trilyun untuk 2008 sebagai upaya mendukung
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terbukti pada
semua sektor dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga meningkat secara uphill
stedy growth. Faktor utama yang membuka peluang perubahan dan berbagai
percepatan pada pembangunan antara lain adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah,UU No. 25 Tahun 1999 tentang Keseimbangan Fiskal dan
Keuangan Daerah dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Desentralisasi. Otonomi
Daerah telah memberi wewenang dan pemberdayaan daerah untuk lebih berperan
dalam pembangunan nasional secara langsung baik berupa pembangunan
bangunan infrastruktur maupun pembangunan ideologi – politik – ekonomi –
sosial – budaya – pertahanan - keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Faktor penentu permintaan konstruksi secara agregat terbukti adalah investasi
II-4
dalam hal ini diwakili oleh pertumbuhan Gross Domestic Capital Foundation
antara tahun 1999-2003 yang dilakukan oleh para stakeholders swasta dan
pemerintah sehingga dapat menimbulkan pertumbuhan pada PDB Nasional.
Investasi dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang dengan waktu mendorong
atau menjadi driver peningkatan kebutuhan investasi.
Peluang pasar konstruksi domestik lain terdapat pada sektor perminyakan dan gas
yang menunjukkan kebutuhan pembangkit listrik dengan menggunakan batu bara
sebesar 10.600 MW (biaya ± US$ 7-8,5 Milyar).
B. Pasar Konstruksi Global
Pertumbuhan pasar konstruksi global akan terus meningkat khususnya di negara-
negara penghasil minyak, khususnya kawasan Timur Tengah dan negara-negara
Asia, seperti Cina dan India. Bahkan permintaan negara-negara Timur Tengah dan
Afrika serta Aljazair kepada Indonesia untuk terlibat dalam pasar konstruksi
mereka juga sangat besar dengan penawaran kontrak USD 50 billion.
Pasar konstruksi negara-negara teluk sangat besar untuk 5-10 tahun ke depan.
Kawasan ini akan mengerjakan lebih dari 2.100 proyek yang sedang direncanakan
dan sedang berjalan dengan total nilai lebih dari USD1.000 billion (Berger, 2006
diacu dari Suraji et.all, 2007). Distribusi pasar konstruksi di Timur Tengah
ditunjukkan pada Gambar berikut.
GULF PROJECTS - US$ BILLION
Kuwait, 211, 21%
Bahrain, 27, 3%
Qatar, 115, 11%
Oman, 33, 3%
Iran, 97, 10%
UAE, 294, 29%
Saudi, 201, 20%
Iraq, 28, 3%
Gambar 2. 1 Distribusi Pasar Konstruksi di Timur Tengah (Berger, 2006)
II-5
Di Asia, pasar konstruksi sampai tahun 2010 (Singapore ERC Report, 2003) akan
terus semakin besar. Cina merupakan negara dengan pasar konstruksi terbesar
(US$ 1,2 trillion), diikuti oleh Indonesia (US$ 120 billion), kemudian India (US$
114 billion) kemudian Thailand (US$ 71 billion).
Pasar konstruksi di sektor perminyakan dan gas khususnya di Timur Tengah akan
membangkitkan kebutuhan sumberdaya yang besar. Kebutuhan tenaga ahli jasa
konstruksi secara keseluruhan sebesar 533 juta manhour. Pada kondisi puncak
dibutuhkan 111 juta manhour, sedangkan tenaga terampil jasa konstruksi
dibutuhkan 10 milyar manhour (peak 2 milyar manhour) (Nazirin, 2006).
2.1.3 Kendala Industri Jasa Konstruksi
Struktur usaha jasa konstruksi terdiri dari 100.686 badan usaha kontraktor dan 3.525
badan usaha konsultan. Kelembagaan terkait industri jasa konstruksi meliputi 26
asosiasi profesi, 19 asosiasi terakreditasi dan 19.479 insinyur profesional yang
teregistrasi. Kondisi pasar konstruksi Indonesia menunjukkan pasar konstruksi
terbesar kedua di Asia setelah Cina dengan besaran pasar $120 billion (2010),
sedangkan analisis kebutuhan pembangunan terkait konstruksi menunjukkan besaran
pasar 186.911 triliun rupiah (2011). Namun demikian, pasar tersebut ditengarahi 65%
dikuasai oleh pelaku asing besar, terjadi ketidakseimbangan struktur pasar dan
industri, kondisi entry-exit mudah, asimetri informasi pasar dan transaksi lemah.
Perilaku bisnis konstruksi menunjukkan fokus pengadaan publik, biaya transaksi
besar, efesiensi rendah, kerjasama lemah, persaingan tidak sehat, KKN dan broker
serta rent seeking terjadi, manajemen bisnis lemah. Kinerja industri jasa konstruksi
menunjukkan kompetensi tenaga kerja konstruksi rendah, daya saing rendah,
pertumbuhan rendah, sustainabilitas rendah, serta kecakapan kerja atau workmanship
rendah.
II-6
Analisis industri jasa konstruksi, terkait dengan variabel-variabel antara lain:
konsentrasi, karakteristik produk, biaya, dan penelitian dan pengembangan (research
and development) yang terangkum dalam analisis Structure-Conduct-Performance
(Shy, 1995). Struktur pasar jasa konstruksi merupakan sebuah deskripsi dari perilaku-
perilaku badan-usaha konstruksi dalam industri atau pasar konstruksi.
Jumlah badan usaha jasa konstruksi di Indonesia sejak tahun 1998 mengalami
kenaikan. Tahun 1998 tercatat 28.738 badan usaha jasa konstruksi yang tersebar di
seluruh Indonesia. Jumlah badan usaha jasa konstruksi mengalami penurunan pada
tahun 1999 menjadi 25.086 badan usaha jasa konstruksi. Geliat badan usaha jasa
konstruksi mulai tampak pada tahun 2000, di tahun ini jumlah badan usaha jasa
konstruksi mengalami peningkatan menjadi 30.137 buah. Sampai dengan tahun 2002,
badan usaha jasa konstruksi terus mengalami kenaikan sampai dengan 36.341. Secara
kuantitatif, industri ini memiliki potensi sangat besar dengan jumlah kurang lebih
100.000 badan usaha jasa konstruksi kecil, menengah, dan besar. Namun demikian,
secara hipotetif kinerja para pelaku industri ini masih sering dikeluhkan oleh
konsumen industri jasa konstruksi. Permasalahan utama industri jasa konstruksi
nasional adalah belum terwujudnya profesionalitas pelaku usaha jasa konstruksi.
Beberapa indikator kondisi ini adalah tidak adanya kode etik bisnis konstruksi;
rendahnya kualitas proses dan produk; citra buruk korupsi dan kolusi sektor
konstruksi; resiko ekonomis yang besar dalam bisnis konstruksi; keterlambatan akibat
birokrasi penyelenggaraan proyek; fragmentasi antar pihak pelaku; dan ketiadaan data
serta informasi yang akurat mengenai kondisi riil industri konstruksi. Beberapa hal ini
dapat terjadi akibat disparitas idealisasi dan implementasi sistem regulasi dan
kebijakan pemerintah, serta perilaku oligopolis dan rendahnya kompetensi dalam
bisnis konstruksi.
Pada tahun 1998 (berdasarkan laporan LPJK) jumlah perusahaan konstruksi asing di
Indonesia sebesar 446 buah baik konsultan maupun kontraktor. Jumlah terbanyak
yaitu badan usaha jasa konstruksi dari negara Jepang, yang banyak menanam
modalnya di Indonesia terutama untuk komoditas elektronika dan konstruksi. Jumlah
badan usaha jasa konstruksi nasional di Indonesia pada tahun 1998 sekitar 4.043 buah
(baik besar, menengah, maupun kecil), atau dengan kata lain jumlah badan usaha jasa
konstruksi asing di Indonesia menduduki 11% pasar industri konstruksi Indonesia.
II-7
Pada tahun 2003 berdasarkan survei Engineering News Report, di Indonesia terdapat
44 badan usaha jasa konstruksi asing yang termasuk dalam kategori badan usaha jasa
konstruksi terbaik dunia. Berdasarkan negara asal, Jepang merupakan negara dengan
jumlah badan usaha jasa konstruksi terbanyak 16 badan usaha, disusul kemudian oleh
Amerika Serikat 9 badan usaha, dan Cina 4 badan usaha (Engineering News Report).
Secara nasional, nilai proyek di pasar konstruksi relatif kecil bila dibandingkan
dengan jumlah badan usaha jasa konstuksi. Penelitian yang dilakukan oleh Badan
Pembinaan Konstruksi dan Investasi (Bapekin) menunjukkan bahwa pada tahun 2002,
volume pangsa konstruksi nasional mencapai Rp.156 triliun yang terdiri dari APBN
Rp.20,84 triliun, APBD Rp.5,987 triliun, BUMN/BUMD Rp.21,141 triliun, swasta
Rp.58,666 triliun, dan dana mega proyek migas yang dicanangkan pemerintah sebesar
Rp.50 triliun. Dari jumlah tersebut, 30 persennya masih dikuasai pasar konstruksi di
Jakarta dan propinsi yang ada di Pulau Jawa dan diperebutkan sekitar 97.000
kontraktor besar, kecil, dan menengah (Bisnis Indonesia 21 Oktober 2003). Dari
sejumlah kontraktor tersebut, 2,8 persennya adalah kontraktor skala besar yang
berdomisili di Jakarta. Meskipun jumlahnya sedikit tetapi menguasai pangsa pasar
konstruksi yang besar.
Untuk tahun 2003, potensi pasar (nilai proyek) nasional yang diperebutkan
masyarakat jasa konstruksi mencapai Rp.100 triliun yang terdiri atas 19 % merupakan
proyek APBN, 9% APBD, dan sisanya 72% melalui sektor swasta dan BUMN.
Melihat nilainya yang relatif terbatas,masyarakat konstruksi perlu terus meningkatkan
kemampuan dan profesionalisme. Pada tahun 2003, asosiasi yang diregistrasi LPJK
Nasional adalah 97.000 yang relatif tidak sebanding dengan potensi pasar konstruksi
yang ada. Banyaknya badan usaha jasa konstruksi yang baru disebabkan oleh relatif
mudahnya proses untuk menjadi kontraktor, sedangkan aspek profesionalisme sering
relatif kurang diperhatikan.
Dari uraian di atas, struktur pasar konstruksi di Indonesia relatif lebih mendekati pasar
persaingan monopolistik dimana memiliki karakteristik dominan sebagai berikut:
output konstruksi memiliki jenis yang bermacam-macam dan terdiferensiasi
(differentiated products); terdapat banyak badan usaha tetapi hanya terdapat beberapa
badan usaha jasa konstruksi yang menguasai pasar konstruksi di Indonesia sedangkan
II-8
total keseluruhan badan usaha jasa konstruksi sangat banyak (free entry of new brand-
producing firms).
Demikianlah yang terjadi di Indonesia. Pasar proyek-proyek besar dimana
membutuhkan investasi awal (biaya tetap) yang tinggi pasti dikuasai oleh beberapa
badan usaha konstruksi yang relatif sedikit jumlahnya. Sebaliknya, pasar proyek-
proyek kecil akan diperebutkan oleh perusahaan-perusahaan konstruksi kecil yang
relatif banyak jumlahnya. Perusahaan-perusahaan konstruksi kecil akan berusaha
bersaing antar mereka untuk mendapatkan proyek-proyek konstruksi kecil melalui
diferensiasi mereka. Diferensiasi konstruksi dapat dilakukan melalui penelitian dan
pengembangan (research and development), pengiklanan, strategi harga, strategi
pemasaran, informasi, dan lain-lain.
Di era global, perusahaan-perusahaan di berbagai sektor dituntut mampu bersaing,
tidak hanya di tingkat domestik dengan perusahaan-perusahaan lokasl, tetapi juga
perusahaan internasional. Secara umum, studi Bapekin (2004) tentang daya saing
konstruksi Indonesia menunjukkan karakteristik daya saing input, proses, output, dan
sistem manajemen yang relatif masih rendah. Penilaian kinerja pada tingkat meso dan
mikro level menunjukkan bahwa kinerja perusahaan-perusahaan konstruksi adalah
56,2% dari kinerja maksimum, kinerja tenaga kerja konstruksi adalah 67,2% dari
kinerja maksimum, dan kinerja industri konstruksi adalah 61,7% (Bapekin, 2003).
Selanjutnya, penilaian daya saing input, proses, output, dan sistem manajemen dari
badan usaha-badan usaha jasa konstruksi di Indonesia menunjukkan nilai rata-rata
masih di bawah 55% dari perusahaan konstruksi “benchmark” (Bapekin, 2004).
Distorsi transformasi konstruksi Indonesia akan menghadapkan sektor konstruksi
Indonesia terhadap berbagai resiko, seperti pertumbuhan rendah, profitabilitas kecil,
sustainabilitas tidak tercapai, daya saing rendah, dan produktivitas rendah. Peran
sektor konstruksi sebagai “construction driven socio-economic development” akan
menjadi tidak berhasil. Resiko tersebut akan berdampak pada mutu produk dan jasa,
serta kompetensi usaha dan tenaga kerja konstruksi akan semakin tertinggal dengan
negara-negara lain. Kondisi ini akan menyebabkan industri jasa konstruksi Indonesia
tidak sehat, selanjutnya tidak semakin konstruktif tetapi menuju destruktif.
II-9
Gelombang globalisasi dengan paket liberalisasi perdagangan jasa konstruksi akan
membuat Indonesia semakin tinggi ketergantungannya terhadap asing. Dominasi
asing di ranah domestik akan semakin tidak terkendali dan bangsa ini tidak akan
memiliki kebanggan dan nasionalisme. Berbagai infrastruktur dan properti akan
banyak dibuat oleh industri jasa konstruksi asing. Bangsa ini akan semakin
mengalami boros devisa. Keamanan dalam negeri (national security) menjadi lebih
rentan. Secara empiris, daya saing pelaku usaha jasa konstruksi nasional, baik pada
tingkat badan usaha maupun sumberdaya manusia masih di bawah pelaku usaha jasa
konstruksi negra-negara berkembang lain. Daya saing tinggi dari pelaku usaha jasa
konstruksi diperlukan dalam rangka menghadapi kompetisi global di ranah domestik
dan internasional akibat dari liberalisasi perdagangan barang dan jasa, termasuk jasa
konstruksi, baik tingkat regional melalui skema AFAS-ASEAN maupun internasional
melalui skema GATS-WTO. Secara prinsip tujuan ini akan berkaitan dengan
peningkatan kapasitas (capacity building) untuk mencapai kemampuan (competency)
yang tinggi, sehingga berkinerja (competitive).
Sesuai dengan karakteristiknya, usaha dan pengusahaan di sektor jasa konstruksi
memiliki resiko kegagalan yang sangat tinggi, baik dari sisi proses maupun produk
konstruksi bagi masyarakat pengguna (consumers) maupun pemanfaat (user). Resiko
kegagalan konstruksi dan bangunan dapat berkaitan dengan kegagalan
penyelenggaraan konstruksi dari sisi keterlambatan, pembengkakan biaya, dan mutu
produk konstruksi, kecelakaan konstruksi, kerusakan tata ruang, dan kerusakan
lingkungan, serta kerugian ekonomi. Oleh karena itu, perlindungan kepentingan
masyarakat ini merupakan hal yang dijamin oleh undang-unang (UU Perlindungan
Konsumen No. 8 Tahun 1999). Di samping itu, upaya ini perlu dilakukan sebagai
bagian dari mendorong pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan konstruksi
memberikan akuntabilitas publik tinggi dari proses dan produk konstruksi. Secara
faktual, pelaku industri jasa konstruksi di Indonesia tidak saja berasal dari domestik
tetapi juga internasional. Kehadiran industri konstruksi asing, baik melalui skema
pinjaman untuk pengadaan proyek-proyek pemerintah maupun penanaman modal
asing (PMA) telah meningkatkan persaingan di pasar konstruksi domestik. Kebijakan
pembinaan konstruksi perlu dikaitkan dengan upaya menjadikan industri konstruksi
nasional dapat menguasai pasar konstruksi domestik. Tindakan keberpihakan
(affirmative actions) kepada usaha mikro, kecil, dan menengah oleh pihak pemerintah
II-10
pada industri konstruksi domestik dapat dilakukan dengan memberikan peluang dan
akses kepada permodalan dan kemitraan (partnering) untuk proyek-proyek konstruksi
pemerintah skala tertentu. Di samping itu, kebijakan ini juga terkait dengan upaya
menciptakan kepemilikan saham dalam industri konstruksi nasional dikuasai oleh
badan usaha atau orang perseorangan warga negara Indonesia.
Perkembangan usaha di sektor konstruksi membutuhkan berbagai sumberdaya dan
cara-cara (modalities). Teknologi merupakan salah satu komponen penting dari usaha
jasa konstruksi. Peningkatan daya saing industri jasa konstruksi nasional akan sangat
membutuhkan dukungan teknologi konstruksi. Oleh karena itu, kebijakan ini akan erat
kaitannya dengan penerapan teknologi mutakhir di dunia pada proyek-proyek
konstruksi di Indonesia. Di samping itu, inventarisasi terhadap teknologi domestik
dan teknologi tepat guna perlu dilakukan agar dapat dimanfaatkan seluas-luasnya.
Kebijakan ini sesungguhnya tidak saja diarahkan untuk mendorong pelaku sektor
konstruksi menerapkan teknologi-teknologi yang sudah ada dan baru tetapi juga
menjadi mitra dalam riset dan pengembangan teknologi konstruksi.
Sejalan dengan perbaikan indikator makro ekonomi, pemerintah dapat berperan
penting dalam mendorong pertumbuhan sektor konstruksi baik dari adanya kegiatan
pembangunan properti maupun infrastruktur. Kegiatan konstruksi akan sangat
tergantung dari proporsi besarnya pendapatan pengguna. Ketersediaan pinjaman dan
tingkat bunga yang kompetitif akan mendorong permintaan (demand) sektor
konstruksi. Di samping itu, pelaku industri jasa konstruksi ini, misalnya kontraktor
dangat tergantung dari dana pinjaman untuk menjaga aliran tunai (cashflow) dari
proyek konstruksinya. Oleh karena itu, usaha di sektor jasa konstruksi jelas
membutuhkan pembiayaan atau kapital. Pemerintah perlu mendorong partisipasi
sektor keuangan untuk memberikan akses terhadap pelaku usaha di sektor konstruksi.
Lembaga perbankan dan pembiayaan swasta juga didorong untuk juga mampu
menyerap kebutuhan pembiayaan konstruksi. Pemerintah juga dapat mendorong
penyerapan pembiayaan UKM oleh industri konstruksi nasional.
Kompetensi tenaga kerja konstruksi merupakan persyaratan mutlak bagi peningkatan
saya saing industri jasa konstruksi nasional. Oleh karena itu, kebijakan pembinaan
konstruksi ini diarahkan untuk meningkatkan profesionalitas tenaga kerja konstruksi
Indonesia yang ditandai dengan pemberlakukan sertifikasi keahlian dan keterampilan,
II-11
baik tingkat nasional maupun internasional. Pemerintah dapat memfasilitasi dan
mendorong asosiasi profesi dan kelembagaan terkait di sektor konstruksi dalam
menetapkan bakuan kompetensi, penyelenggaraan konvensi dan proses sertifikasi
tenaga ahli dan tenaga terampil sektor konstruksi. Kebijakan ini diharapkan dapat
mendorong peningkatan jumlah tenaga kerja konstruksi nasional yang bersertifikat
keahlian dan keterampilan.
Daya saing pelaku usaha di industri jasa konstruksi akan sangat dipengaruhi oleh
kesehatan perusahaan. Oleh karena itu, revitalisasi transformasi konstruksi juga
berkaitan dengan upaya menjadikan badan usaha jasa konstruksi sehat secara finansial
berdasarkan parameter kondisi keuangan organisasi usaha. Upaya ini diarahkan agar
badan usaha jasa konstruksi memiliki ukuran-ukuran kesehatan keuangan yang tinggi.
Liquidity ratio tersebut dapat direpresentasikan, misalnya dari perbandingan nilai aset
sekarang (current asset) dengan jumlah pertanggungan (liabilities). Activity ratio
dapat dinyatakan, misalnya, nilai perbandingan dari jumlah penjualan (sales) terhadap
nilai aset tetap (fixed asset). Profitability ratio merupakan batas keuntungan bersih
(net profit margin) yang dihitung dengan membandingkan pendapatan bersih (net
income) dan penjualan (sales). Sedangkan growth ratio dapat dinyatakan sebagai
pendapatan bersih (net income) yang dihitung berdasarkan persentase pertumbuhan
keuntungan tahunan (annual percentage growth in profit). Badan usaha jasa
konstruksi perlu didorong untuk memperbesar nilai aset, peningkatan penjualan,
pertumuhan nilai keuntungan tahunan dan mengurangi jumlah pertanggungan.
Leverage ratio merupakan perbandingan, misalnya, jumlah keseluruhan utang
dibandingkan jumlah keseluruhan aset perusahaan.
Persaingan usaha di industri jasa konstruksi menuntut badan usaha jasa konstruksi,
kontraktor dan konsultan, memiliki manajemen produksi berkualitas tinggi. Kebijakan
ini berkaitan dengan upaya mendorong badan usaha jasa konstruksi untuk melakukan
proses produksi dengan efektif dan efesien. Di samping itu, badan usaha jasa
konstruksi didorong dan dibina agar secara berkelanjutan dapat meningkatkan
kapasitas produksi; memiliki perangkat inventori yang andal; satuan kerja yang
profesional; mengutamakan kualitas proses dan produk
Kepuasan pelanggan (clients, consumers, dan user satisfaction) merupakan sasaran
dari penyelenggaraan proyek konstruksi. Keluaran (output) dan hasil guna (outcome)
II-12
produk konstruksi akan dirasakan oleh masyarakat pemakai dan pemanfaat produk
konstruksi. Revitalisasi transformasi perlu diarahkan agar pelaku usaha konstruksi
dapat menyediakan produk konstruksi yang prima agar dapat mengurangi keluhan
(complaint) dan tuntutan (claim) dari pemakai dan pemanfaat, misalnya, adanya cacat
bangunan, ketidaktepatan ukuran, ketidaktahanan bangunan, dan timbulnya kerusakan
dini bangunan.
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor ekonomi yang dapat menyerap
tenaga kerja cukup besar, khususnya tenaga tidak terampil (unskilled labour).
Penggunaan teknologi berbasis tenaga kerja (labour based technology) pada
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur pedesaan, misalnya jalan pedesaan,
irigasi pedesaan, dan jaringan air bersih untuk masyarakat desa akan sangat
menguntungkan untuk memberikan perluasan kerja sekaligus meningkatkan
pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan ini akan terkait dengan tindakan
keberpihakan (affirmative actions) terhadap pengembangan kontrak-kontrak skala
kecil untuk kontraktor skala kecil (petty and small scale contractor) bagi pelaksanaan
pembangunan infrastruktur pedesaaan.
Pengusahaan industri jasa konstruksi membutuhkan ketersediaan informasi dan akses
informasi yang terpercaya dan koordinasi antar lembaga yang baik. Asosiasi profesi
dan badan usaha didorong untuk dapat memberikan layanan informasi, misalnya
program sertifikasi, pendidikan profesi, data kecelakaan konstruksi, dan profil badan
usaha jasa konstruksi.
Secara ringkas, isu-isu utama terkait dengan industri jasa konstruksi Indonesia adalah
sangat beragam. Isu-isu tersebut akan memiliki dampak terhadap konstruksi Indonesia
pada tataran makro, meso, dan mikro dari konstruksi Indonesia. Dampak yang terjadi
sesungguhnya memiliki penyebab. Dengan mengenali dampak dan penyebab akan
mempermudah bagi stakeholder jasa konstruksi Indonesia untuk merumuskan agenda
atau upaya strategis ke depan. Selanjutnya isu-isu utama, dampak, dan penyebab
dijelaskan dalam bentuk tabel di bawah ini.
II-13
Tabel 2. 1 Isu Utama, Dampak, dan Penyebab (LPJKN, 2007)
No. Isu Utama Dampak Penyebab
1 Dirty, dangerous, difficult Bad image No commitment
2 Peran terhadap GFCF rendah Hidup tidak efesien Tidak menarik investasi
3 Distribusi manfaat tidak seimbang Ketidakadilan tinggi Unfair practice
4 Value for money rendah Cost-effectiveness rendah Lack of control
5 For the sake of projects Kualitas input dan produk rendah Lack of proper supply
6 Tidak memiliki kebanggaan Kreatifitas kurang berkembang Non sense of belonging
7 Kelemahan marketing Produk tidak dikenal Keterbatasan kapasitas
8 Diplomasi tidak optimal Posisi tawar rendah Tidak percaya diri
9 Kerjasama internasional lemah Ketiadaan partnership Berkutat di dalam
10 Networking tidak terjadi Kemandulan berinteraksi Inward looking
11 Permodalan lemah Ekspansi kurang Dukungan lembaga keuangan rendah
12 Fasilitas pemerintah kurang Tidak progressive Kemauan politik rendah
13 Kapasitas rendah Produktivitas rendah Stagnasi pertumbuhan
14 Kesulitan mengakses pasar Keterbatasan peluang Tidak berdaya
15 Penguasaan teknologi rendah Tidak punya keunggulan Keterbatasan Penelitian dan Pengembangan
16 Public intrust tinggi Ketiadaan harmonisasi Fairness rendah
17 Kompetensi tenaga kerja konstruksi rendah Kurang inovasi kreatif Pendidikan lemah
18 Capacity building tidak terjadi Tidak berdaya Komitmen maju rendah
19 Hubungan pemerintah swasta tidak sinkron Berjalan sendiri-sendiri Koordinasi lemah
20 Regulasi yang tidak harmonis dan tumpang tindih Sasaran tidak tercapai Over reality
21 Reciprocity antar stakeholder tidak terjadi Persatuan lemah Mementingkan diri sendiri
22 Supply chain antar pelaku Efesiensi dan efektifitas rendah Ketimpangan struktur
23 Kartel dan monopoli Harga tidak wajar Kesempatan tidak terbuka
24 Saling memangsa Kekuatan bersama rendah Perebutan hegemoni
25 Hubungan stakeholders lemah Kerjasama tidak kokoh Tanpa visi bersama
26 Dukungan mass media rendah
Partisipasi masyarakat rendah Keterbatasan perhatian
27 Ketidakseimbangan supply-demand Distorsi kompetisi No entry-exit barriers
28 Market information assimetry Monopoli Ketertutupan informasi
29 Kepatuhan hukum rendah Tidak tertib dan teratur Low enforcement rendah
II-14
No. Isu Utama Dampak Penyebab
30 Usia layanan hasil konstruksi pendek Manfaat rendah Kualitas rendah
31 Ketidaksetaraan posisi antara pemilik-penyedia Eksploitasi Oligopoli monopsoni
32 Barriers to entry Persaingan tidak sehat Ketidakwajaran
33 Ketidakpatuhan tata ruang Kerusakan lingkungan Konsistensi rendah
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa isu utama, dampak, dan
penyebab terkait dengan permasalahan masih lemahnya kompetensi tenaga kerja
konstruksi sehingga menciptakan berbagai situasi yang kurang menguntungkan bagi
perkembangan dunia usaha jasa konstruksi.
2.1.4 Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat, seperti dinyatakan dalam pasal 1 UU No 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Selanjutnya UU tersebut menyebutkan bahwa Ketenagakerjaan
adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama, dan sesudah masa kerja. Berkaitan dengan buruh, UU tersebut menyebutkan
bahwa Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain dan Tenaga Kerja Konstruksi adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan di bidang Jasa Konstruksi guna menghasilkan jasa
perencanaan, pemborongan dan pengawasan pekerjaan konstruksi, baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Berbagai definisi dan standar atau acuan untuk mengukur kompetensi tenaga kerja
termasuk tenaga kerja konstruksi. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menetapkan, yang dimaksud kompetensi kerja adalah kemampuan
kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap
kerja, sesuai dengan standar yang ditetapkan.
II-15
A. UNESCO
Ketiga aspek kemampuan kerja setiap individu tersebut sejalan dengan substansi
kompetensi umum menurut UNESCO, yaitu:
a) Pengetahuan (knowledge): memahami dan menguasai pengetahuan
dibidangnya.
b) Keterampilan (skill): terampil/produktif melaksanakan pekerjaan dalam
bidangnya.
c) Sikap (attitude): memiliki sikap profesional berlandaskan etika, moral, dan
kemandirian.
B. Konvensi Nasional Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI)
Konvensi Nasional Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI) mendefinisikan
kompetensi kerja bukan saja kemampuan kerja setiap individu, tetapi mencakup
juga kemauan kerja setiap individu. Selengkapnya SKKNI menetapkan standar
kompetensi kerja setiap individu meliputi kemampuan dan kemauan setiap
individu untuk melakukan jenis pekerjaan (x) sebanyak (y) kali, dengan kualitas
(z), dan selesai dalam waktu (t). Kompetensi kerja SKKNI tersebut meliputi 3
(tiga) aspek yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif. Selanjutnya kompetensi
kerja menurut SKKNI tersebut dibagi atas 6 tingkatan atau lapis kompetensi
dengan karakteristik kompetensi seperti tertera pada tabel 2.2.
II-16
Tabel 2. 2 Kompetensi Kerja menurut Konvensi Nasional SKKNI
(Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia)
Evaluasi Refleksi original Kepribadian 6
Sintesa Gerakan terampil Kebiasaan 5
Analisis Gerakan melatih diri Konsep diri 4
Aplikasi Gerakan selaras konsep teori Pengakuan diri 3
Memahami Gerakan dasar yang disadari Tanggap 2
Mengetahui Gerakan menirukan Kesadaran menerima 1 KOGNITIF PSIKOMOTORIK AFEKTIF LAPIS
C. Hirata dan Spencer
Hirata (1999) menyatakan kompetensi adalah karakteristik atau kemampuan
individu yang menghasilkan kinerja yang tinggi dan efisien dalam pekerjaan dan
situasi tertentu. Dimana menurut Spencer (1993) terdapat 5 (lima) karakteristik
kompetensi kerja setiap individu yaitu:
1. Motives, yaitu sesuatu yang mendorong dan mengarahkan individu untuk
melakukan tindakan tertentu dalam mencapai tujuan.
2. Traits, yaitu karakteristik fisik dan respon konsisten individu terhadap situasi
atau informasi tertentu.
3. Self-concept, yaitu sikap, nilai, dan citra diri individu.
4. Knowledge, yaitu informasi yang dimiliki individu dalam bidang tertentu.
5. Skill, yaitu kemampuan individu untuk melakukan aktivitas fisik maupun
mental.
Kelima karakteristik kompetensi tersebut di atas dapat dibagi atas 2 bagian
kompetensi. Pertama, bagian kompetensi yang mudah dikenali dan relatif
merupakan kompetensi permukaan seseorang, seperti knowledge dan skill. Kedua,
bagian kompetensi jauh di dalam diri seseorang dan merupakan central
personality seseorang seperti self-concept, traits, dan motive.
P
AK
KOMPETENSI KERJA
II-17
D. Persatuan Insinyur Indonesia (PII)
Sesuai uraian berbagai pengertian kompetensi di atas, berkembang pengertian
kompetensi profesional. Persatuan Insinyur Indonesia (PII) menyatakan
kompetensi profesional adalah kemampuan kerja individu yang telah teruji dan
diakui komunitas profesinya dalam melaksanakan kerja profesional. Kompetensi
profesional PII meliputi 3 (tiga) aspek (gambar 2.2), yaitu aspek attitude (sikap
kerja), aspek knowhow (kemampuan), dan aspek knowledge (pengetahuan).
ATTITUDE (SIKAP KERJA)
ResponsibilityLiabilityAccountabilityIntegrity
KNOWLEDGE (PENGETAHUAN)
Specific Technical IssuesSpecific Legal & Practice IssuesEnvironmental Issues
KNOWHOW (KEMAMPUAN)
Language & CommunicationInterpersonal SkillTechnical SkillManagement & Business Skill
Gambar 2. 2 Kompetensi Profesional Persatuan Insinyur Indonesia (PII)
E. Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI)
Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI) membedakan Kompetensi
Tenaga Kerja Konstruksi (Tenaga Ahli) atas 2 (dua) kompetensi, Kompetensi
Dasar dan Kompetensi Keahlian.
1. Kompetensi Dasar, meliputi:
a. Mematuhi Kode Etik HATTI
b. Menjalankan Pedoman Perilaku Profesional Geoteknik
c. Menerima “legal responsibility” dan ”legal liability” seorang
profesional
II-18
2. Kompetensi Keahlian, meliputi:
a. Menguasai teori dasar geoteknik
b. Menguasai keahlian praktis geoteknik
c. Berpengalaman melakukan pekerjaan professional di bidang geoteknik
d. Memahami perkembangan ilmu dan keahlian geoteknik
Berikut Ikhtisar Bakuan Kompetensi Sub Bidang Geoteknik HATTI.
Tabel 2. 3 Ikhtisar Bakuan Kompetensi Sub Bidang Geoteknik
No. KELOMPOK KUALIFIKASI G0 G1 G2
UMUM 1 Kode Etik Profesi ● ● ● 2 Kemampuan Manajerial ● ● 3 Kemampuan Komunikasi ● ● 4 Kewirausahaan ● ●
INTI1 Sifat indeks tanah ● ● ● 2 Sifat mekanika tanah ● ● ● 3 Sifat hidrolis tanah ● ● ● 4 Pengujian tanah di laboratorium ● ● ● 5 Pengujian tanah di lapangan ● ● ● 6 Teori tekanan tanah ● ● 7 Sifat kompaksi tanah ● ● 8 Sifat-sifat khusus ● 9 Pondasi dangkal ● ●
10 Pondasi dalam ● ● 11 Sistem penahan tanah dangkal/sederhana ● ● 12 Sistem penahan tanah dalam/kompleks ● 13 Stabilitas lereng sederhana ● ● 14 Stabilitas lereng kompleks ● 15 Kontrol air tanah ● 16 Konstruksi khusus ● 17 Teknik khusus ● 18 Keahlian geoteknik khusus ●
PENUNJANG1 Pengetahuan aplikasi komputer ● ● ● 2 Pengetahuan peralatan geoteknik ● ● ●
F. Kompetensi Tenaga Kerja Kontraktor (Pelaksana Konstruksi)
Bagi penyedia jasa kontraktor, Tenaga Kerja Konstruksi-nya dititikberatkan pada
permasalahan pokok kontraktor, harus mendukung kegiatan utama perusahaan
yaitu bisnis jasa pelaksanaan konstruksi. Kegiatan utama kontraktor meliputi
kegiatan pemasaran, pelaksanaan konstruksi, dan penyerahan pekerjaan. Pekerjaan
II-19
kontraktor mempunyai karakteristik: keras, mobilitas tinggi, bekerja di bawah
tekanan, penuh negosiasi/ adu argumentasi, tempo kerja yang tinggi, kualitas
pelayanan tinggi, kompetitif, dan tuntutan kualitas produk konstruksi yang tinggi.
PT. Pembangunan Perumahan (Persero) (2003) menetapkan kompetensi Tenaga
Kerja Konstruksi profesional kontraktor adalah perpaduan antara kemampuan
teknis yang tinggi dengan kepribadian yang ideal, dan dibagi menurut aspek
bidang teknis dan aspek bidang kepribadian (attitude). Bidang teknis tenaga kerja
konstruksi harus memiliki penguasaan di bidang teknis operasionil, sesuai dengan
tugas pekerjaan dan fungsinya dalam struktur organisasi perusahaan. Di samping
penguasaan teknis, maka tenaga kerja konstruksi harus mempunyai perilaku kerja
yang sesuai dengan karakteristik pekerjaan kontraktor yang mendukung
keberhasilan individu dalam melakukan tugasnya.
Berkaitan peluang dan tantangan industri konstruksi Indonesia di masa depan, tenaga
kerja konstruksi Indonesia dituntut untuk dapat memenuhi berbagai kriteria atau
kompetensi. Soekirno,2006 menyatakan bahwa tenaga kerja konstruksi Indonesia di
masa depan harus mempunyai 10 kompetensi:
1. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, harus memiliki kompetensi kerja dengan
karakteristik kompetensi yang spesifik, sesuai lingkup kerja dan tangggung jawab.
2. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, bukan saja harus memiliki pengetahuan
(knowledge), dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan lingkup tugas dan
tanggung jawabnya, tetapi juga mempunyai sikap kerja (attitude) profesional
berlandaskan etika, moral, dan kemandirian.
3. Tenaga Kerja Konstruksi ndonesia, harus memiliki kemampuan kerja dan
kemauan kerja untuk menghasilkan produk konstruksi yang berkualitas dan
berkelas dunia.
4. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, harus mampu berpikir dan berwawasan
global, tetapi tetap bertindak dengan konteks nasional.
5. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, harus mempunyai kemampuan dan kemauan
bersaing di tingkat lokal maupun global.
6. Disamping kemampuan dan kemauan, Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia harus
mampu dan mau bekerja sama membentuk jejaring secara lokal maupun global
untuk mewujudkan cita-cita masa depan konstruksi Indonesia.
II-20
7. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, harus mempunyai kompetensi profesional:
kompetensi teknis, pengembangan tim kerja dan kerjasama tim, kepemimpinan
dan kedisiplinan kerja, perhatian pada pelayanan, dan kemampuan berkomunikasi.
8. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, harus mempunyai kompetensi untuk
mengedepankan pembangunan berkelanjutan (sustainable development secara
nasional).
9. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, khususnya di lingkungan usa konstruksi harus
mempunyai kompetensi manajemen dan bisnis (management and business).
10. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, harus mempunyai kompetensi berkaitan
aspek legal konstruksi maupun aspek legal yang terkait.
Sistem Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi
Tenaga Kerja, Kompetensi, dan Sertifikasi
Kajian Pengembangan Kapasitas Profesional Unit Sertifikasi Independen dan
Lembaga Diklat Bidang Jasa Konstruksi yang dilakukan BPKSDM Departemen
Pekerjaan Umum (BPKSDM, 2007), menyatakan bahwa penggunaan berbagai istilah
yang terkait dalam Sistem Akreditasi dan Sertifikasi Tenaga Kerja terkadang
memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Dalam seluruh metoda yang terkait dengan
pemberian kepercayaan atau mandat (creditials) kepada suatu organisasi atau
perseorangan dalam melakukan aktivitas profesinya, dikenal beberapa istilah, yaitu
antara lain sertifikasi profesi, akreditasi, registrasi dan lisensi. Istilah-istilah ini
berasal dari bahasa asing yang setelah digunakan di Indonesia dan terkadang
mengandung makna yang berbeda dengan aslinya.
A. Licensure, Lisensi
Penggunaan istilah ”Lisensi” dalam konteks Sistem Akreditasi dan Sertifikasi
Tenaga Kerja, berbeda dengan definisi ”Licensure” yang biasa digunakan di luar
negeri, yaitu ”a mandatory process by which a governmental agency grants time-
limited permission to an individual to engage in a given occupation after
verifying that he or she has met predetermined and standardized criteria”
(Mickie S. Rops, CAE article). Proses licensure ini dilakukan sebagai salah satu
alat untuk melindungi kepentingan masyarakat umum. Sedangkan di Indonesia,
II-21
istilah ”lisensi” yang digunakan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)
memiliki arti ”pendelegasian pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi profesi
kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).” Di sini terlihat bahwa terdapat
perbedaan mendasar penggunaan istilah. Di luar negeri, ”Licensure” diberikan
oleh Pihak Pemerintah; sedang di Indonesia, ”lisensi” dikeluarkan oleh BNSP,
yaitu suatu badan independen.
B. Professional Certification, Sertifikasi Profesi
Professional Certification didefinisikan sebagai ”a voluntary process by which a
non-governmental entity grants a time-limited recognition to an individual after
verifying that he or she has met predetermined and standardized criteria”
(Mickie S. Rops, CAE article). Di Indonesia, istilah Sertifikasi Profesi digunakan
pada dua peraturan perundangan. Pada PP No 23/2004 tentang Pembentukan
Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), dinyatakan bahwa ”BNSP
merupakan badan independen yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden, dengan tugas “menyelenggarakan sertifikasi profesi melalui uji
kompetensi”. Dan pada UU 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, dinyatakan bahwa
”Tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada
perencana/pengawas/pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat
keterampilan/ keahlian kerja.” Jadi, di Indonesia proses sertifikasi profesi
adalah suatu hal yang wajib dilalui oleh seorang tenaga kerja (ahli maupun
trampil) agar dapat melakukan kegiatan profesinya, dan proses ini dilaksanakan
oleh suatu badan independen, bukan oleh pihak Pemerintah.
Di samping itu, yang dimaksud dengan sertifikasi, menurut PP No.28 Tahun 2000
tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi adalah “a. proses penilaian
untuk mendapatkan pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas
kompetensi dan kemampuan usaha di bidang jasa konstruksi yang berbentuk
usaha orang perseorangan atau badan usaha; atau b. proses penilaian kompetensi
dan kemampuan profesi keterampilan kerja dan keahlian kerja seseorang di
bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu
dan atau kefungsian dan atau keahlian tertentu”. Selanjutnya, pengertian pada
bagian b mengenai sertifikasi tenaga kerja konstruksi di atas diikuti dalam
Pedoman Akreditasi, Sertifikasi,dan Registrasi untuk Sertifikasi Keahlian dan
II-22
Keterampilan Kerja yang dikeluarkan oleh Dewan Pengurus LPJK Nasional
dalam SK No. 70 Tahun 2001, SK No. 71 Tahun 2001, SK No. 112 Tahun 2004,
SK No. 113 Tahun 2004, dan SK No. 95 Tahun 2005.
C. Accreditation, Akreditasi
Accreditation adalah ”a voluntary process by which a nongovernmental entity
grants a time-limited recognition to an organization after verifying that it has met
predetermined and standardized criteria”(Mickie S. Rops, CAE article). Proses
accreditation, walaupun bukan merupakan suatu kewajiban namun sering kali
menjadi suatu hal yang sangat perlu untuk dilalui., misalnya dalam hal akreditasi
badan-badan pendidikan termasuk perguruan tinggi, karena akan berdampak
kerugian (misalnya tidak mendapatkan dana bantuan pendidikan, dll) pada badan
yang tidak memiliki akreditasi.
Di Indonesia, istilah ”Akreditasi” juga digunakan pada sistem pendidikan dan
istilah ini memiliki definisi yang pada umumnya sama. Namun pada jasa
konstruksi, akreditasi memiliki arti yang agak berbeda. Istilah ”Akreditasi” yang
digunakan pada PP No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa
Konstruksi adalah sebagai berikut: ”Akreditasi adalah suatu proses penilaian
yang dilakukan oleh Lembaga terhadap: a. asosiasi perusahaan jasa konstruksi
dan asosiasi profesi jasa konstruksi atas kompetensi dan kinerja asosiasi untuk
dapat melakukan sertifikasi anggota asosiasi; atau b. institusi pendidikan dan
pelatihan jasa konstruksi atas kompetensi dan kinerja institusi tersebut untuk
dapat menerbitkan sertifikat keterampilan kerja dan atau sertifikat keahlian
kerja.” Jadi akreditasi adalah pelimpahan wewenang LPJK kepada badan lain
untuk menjalankan salah satu wewenangnya, yaitu dalam sistem serifikasi tenaga
kerja konstruksi.
Sistem Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi di Indonesia
A. Kerangka Hukum Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi di Indonesia
Sistem sertifikasi tenaga kerja di Indonesia diatur dengan 2 dasar kerangka hukum
yaitu, pertama, yang terlebih dahulu dilahirkan UU Jasa Konstruksi No.18 Tahun
II-23
1999 yang dilengkapi PP No.28, No.29, dan No.30 yang kesemuanya khusus
mengatur tentang sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi baik tenaga ahli
maupun tenaga terampil di Indonesia. Kedua, UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun
2003 yang dilengkapi dengan PP No.23 Tahun 2004 dan PP No.31 Tahun 2006
yang kesemuanya pada dasarnya mengatur tentang sistem sertifikasi tenaga kerja
terampil di Indonesia, namun karena lahir belakangan dan menghindari
pelanggaran atas UU Jasa Konstruksi, pada PP No.23 Tahun 2004 Pasal 18 diberi
aturan tambahan bahwa pelaksanaan sertifikasi yang telah dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat tetap dilaksanakan oleh
lembaga yang bersangkutan.
Adanya 2 kerangka hukum yang sangat kuat yang mengatur sistem sertifikasi
tenaga kerja khususnya tenaga kerja konstruksi di Indonesia, menyebabkan
banyak aturan-aturan pelaksana yang saling tumpang tindih, sehingga
menimbulkan kebingungan bagi tenaga kerja konstruksi, dan menyebabkan
kekacauan organisasi dalam penentuan siapa yang lebih berhak menjadi leader
dalam pelaksanaan sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi di Indonesia. Namun
kondisi saat ini antara dua sektor Dep. PU dan Dep. Naker masih kondusif dengan
seringnya berkoordinasi dalam pengaturan ketenagakerjaan konstruksi, dan sikap
Dep. Naker yang menyerahkan pengaturannya ke Dep PU. Namun dalam jangka
panjang, tentunya dibutuhkan pengaturan ketenagakerjaan yang komprehensif dan
seragam pada seluruh sektor pembangunan.
Pada Tabel 2.4, perbandingan antara UU Jasa Konstruksi dan peraturan-peraturan
pelengkapnya yang mana Departemen PU sebagai pembinanya, dengan UU
Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan pelengkapnya yang mana Departemen
Nakertrans sebagai pembinanya. Pada Gambar 2.3 perbandingan 2 (dua)
kebijakan hukum sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi di Indonesia. Dari
kedua perbandingan tersebut dapat dilihat ada cukup banyak aturan-aturan yang
tumpang tindih dan bertolak belakang, meskipun tidak sedikit juga yang sejalan
dan saling melengkapi. (BPKSDM, 2007).
Tabel 2. 4 Pengaturan Tenaga Kerja Konstruksi Berdasarkan UU Jasa Konstruksi dan UU Ketenagakerjaan (BPKSDM, 2007)
Yang Diatur Dep. Pekerjaan Umum Dep. Tenaga Kerja & Transmigrasi
Keterangan UU dan Peraturan Tentang Tentang UU dan
Peraturan
Sertifikasi UUJK No.18/1999 Pasal 33
Tugas Lembaga (LPJK) melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi, dan sertfikasi keterampilan dan keahlian kerja
Sertifikasi kompetensi dilaksanakan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)
UUNaker No.13/2003 Pasal
18
Bertolak Belakang. Adanya dua lembaga yang berbeda dalam menerbitkan sertifikasi kompetensi dengan syarat minimum sertifikasi yang berbeda pula.
Pelaksana Sertifikasi
PP No.28/2000 Pasal 15 dan 19
Pelaksanaan sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja dapat dilakukan oleh asosiasi profesi atau institusi diklat yang telah mendapat akreditasi dari Lembaga (LPJK)
BNSP dapat memberikan lisensi kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja
PP No.23/2004 Pasal 4;
PP No.31/2006 Pasal 14
Bertolak Belakang. Pelaksanaan sertifikasi di serahkan kepada lembaga yang berbeda dalam mengeluarkan sertifikasi.
Pelaksana Pelatihan
Kerja
Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah memiliki tanda daftar atau lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota
UU Naker No.13/2003 Pasal
14 PP No.31/2006 Pasal 12 ayat 1
Melengkapi. Mengisi kekurangan peraturan yang dimiliki oleh Dep. PU mengenai pelaksanaan pelatihan kerja.
Akreditasi Lembaga Pelatihan
Kerja
Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi (Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan kerja).
UUNaker No.13/2003 Pasal
16 PP No.31/2006 Pasal 12 ayat 2
Melengkapi. Mengisi kekurangan peraturan yang dimiliki oleh Dep. PU mengenai Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja
Yang Diatur Dep. Pekerjaan Umum Dep. Tenaga Kerja & Transmigrasi
Keterangan UU dan Peraturan Tentang Tentang UU dan
Peraturan
Lembaga Koordinasi Pelatihan
Kerja
Koordinasi pelatihan kerja dilakukan oleh Lembaga Koordinasi Pelatihan Kerja Nasional (LKPKN)
PP No.31/2006 Pasal 20
Melengkapi. Mengisi kekurangan peraturan yang dimiliki oleh Dep. PU mengenai Lembaga Koordinasi Pelatihan Kerja
Registrasi Tenaga Kerja
PP No.28/2000 Pasal 17
Tenaga kerja konstruksi yang telah mendapat sertifikat
keterampilan kerja atau sertifikat keahlian kerja wajib mengikuti registrasi yang dilakukan oleh
Lembaga (LPJK)
Melengkapi dan Bertolak Belakang. Mengisi kekurangan peraturan yang dimiliki oleh Dep. PU mengenai Registrasi Tenaga Kerja namun kewajiban registrasi setelah mendapatkan sertifikasi tidak ada didalam kebijakan BNSP
Sertifikat Kompetensi
PP No.28/2000 Pasal 15
Sertifikat keterampilan dan/atau keahlian kerja diberikan kepada tenaga kerja terampil dan ahli
yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu
Sertifikat kompetensi kerja diberikan oleh BNSP kepada
lulusan pelatihan dan/atau tenaga kerja berpengalaman setelah lulus
uji kompetensi
PP No.31/2006 Pasal 14 ayat 4
Melengkapi dan Bertolak Belakang. Saling mengisi kekurangan peraturan yang dimiliki oleh Dep. PU dan Depnaker mengenai Sertifikat Kompetensi namun syarat minimum pemberian sertifikat berbeda.
Keanggotaan LPJK, BNSP,
Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan
UUJK No.18/1999 Pasal 33
Lembaga (LPJK) beranggotakan wakil-wakil dari asosiasi perusahaan jasa konstruksi, asosiasi profesi jasa konstruksi, pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan bidang jasa
Keanggotaan BNSP terdiri dari unsur Pemerintah dan unsur masyarakat. Keanggotaan dari unsur Pemerintah sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh) orang
PP No.23/2004 Pasal 6
Tumpang Tindih. Adanya peran ganda keanggotaan , khususnya peran yang dimiliki oleh pemerintah, asoasi pfofesi, dan pakar didalam melaksanakan sitem sertifikasi
Yang Diatur Dep. Pekerjaan Umum Dep. Tenaga Kerja & Transmigrasi
Keterangan UU dan Peraturan Tentang Tentang UU dan
Peraturan Kerja konstruksi, dan instansi
pemerintah yang terkait. Keanggotaan Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja (LALPK) terdiri dari unsur asosiasi lembaga pelatihan kerja, asosiasi perusahaan, asosiasi profesi atau pakar di bidang pelatihan kerja, dan instansi pemerintah yang terkait
Kepmen No.225/2003
Pasal 5
Sifat Lembaga`
PP No.28/2000 Pasal 25
Lembaga (LPJK) mempunyai sifat nasional, independen, mandiri, dan terbuka yang dalam kegiatannya bersifat nirlaba
BNSP merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugasnya dan bertanggung jawab kepada Presiden
PP No.23/2004 Pasal 2
Tumpang Tindih. Sifat lembaga yang sama-sama independent didalam melaksanakan sistem sertifikasi
Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja yang selanjutnya disebut lembaga akreditasi merupakan lembaga yang bersifat independen, serta ditetapkan oleh Menteri
Kepmen No.225/2003
Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 15
Posisi/Letak Lembaga
PP No.28/2000 Pasal 24
Lembaga jasa konstruksi didirikan di tingkat nasional dan di tingkat daerah untuk melaksanakan kegiatan pengembangan jasa konstruksi
Sekretariat BNSP dibentuk dan berada di lingkungan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
PP No.23/2004 Pasal 10 Tumpang Tindih. Adanya
overlapping posisi/Letak lembaga dalam melaksanakan tugas lembaga/ overlapping wilayah kerja. Lembaga Akreditasi Lembaga
Pelatihan Kerja berdomisili di Jakarta
Kepmen No.225/2003 Pasal 2 ayat 2
SERTIFIKASI KETERAMPILAN SERTIFIKASI KEAHLIAN
LPJK
Meng-AkreditasiInstitusi Diklat dan/atau BSK Asosiasi
Profesi
Institusi Diklat dan/atau BSK Asosiasi
Profesi(ACCREDITED)
Examination, Assessment
TENAGA TERAMPIL
CertifiedTENAGA TERAMPIL
Meng-AkreditasiBSA Profesi
BSA Profesi(ACCREDITED)
Examination, Assessment
TENAGA AHLI
CertifiedTENAGA AHLI
Registrasi Registrasi
SISTEM SERTIFIKASI LPJK
SERTIFIKASI KETERAMPILAN
SISTEM SERTIFIKASI SISLATKERNAS
LKPKN(Lembaga Koordinasi Pelatihan Kerja Nasional)
LALPK(Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja)
Meng-AkreditasiLembaga Pelatihan Kerja
(LPK)
LPK(Mendapatkan IZIN terlebih dahulu, kemudian
bisa di-AKREDITASI)
Training and ExaminationTENAGA TERAMPIL
Sertifikat PelatihanTENAGA TERAMPIL
Instansi Pemerintah Bidang Ketenagakerjaan Kab./Kota
(Dinas Tenaga Kerja)
Memberikan IZIN pendirianLembaga Pelatihan Kerja (LPK)
Tenaga TerampilBer-Sertifikat Pelatihan
dan/atauMemiliki Pengalaman
BNSP
Me-LisensiLembaga Sertifikasi Profesi
(LSP)
LSP(LICENSED)
Competence AssessmentTENAGA TERAMPIL
(Menggunakan SKKNI)
Sertifikat KompetensiTENAGA TERAMPIL
Gambar 2. 3 Pengaturan Tenaga Kerja Konstruksi Berdasarkan UU Jasa Konstruksi dan UU Ketenagakerjaan (BPKSDM, 2007)
II-28
B. Sistem Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi menurut LPJK
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) merupakan lembaga yang
dimaksud dalam UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. LPJK didirikan
di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 1999 dengan Pemerintah sebagai inisiator dan
fasilitator. LPJK beranggotakan unsur-unsur dari Asosiasi Perusahaan Jasa
Konstruksi, Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi, Pakar dan Perguruan Tinggi yang
berkaitan dengan bidang jasa konstruksi serta Instansi Pemerintah terkait. LPJK
didirikan di tingkat Nasional (LPJK Nasional) dan tingkat Daerah (LPJK Daerah).
LPJK Nasional berkedudukan di ibukota negara dan LPJK Daerah berkedudukan
di ibukota daerah yang bersangkutan.
LPJK memiliki 5 (lima) tugas utama yang termaktub dalam UU No. 18 Tahun
1999 dan salah satunya berkaitan dengan peningkatan kompetensi tenaga kerja
konstruksi yaitu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta melakukan
registrasi tenaga kerja. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, LPJK dapat
mendelegasikan wewenang pelaksanaan sertifikasi tenaga kerja konstruksi kepada
Asosiasi Profesi dan Institusi Diklat melalui suatu proses yang disebut akreditasi.
Kemudian, Tenaga kerja konstruksi yang telah mendapat sertifikat keterampilan
kerja atau sertifikat keahlian kerja dari Asosiasi Profesi terakreditasi dan Institusi
Diklat terakreditasi tersebut wajib mengikuti registrasi yang dilakukan oleh LPJK.
Dari studi literatur mengenai bentuk pembinaan jasa konstruksi dengan program
sertifikasi, didapat sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi yang dilakukan oleh
LPJK seperti pada Gambar 2.4.
Secara umum, pengaturan yang dilakukan oleh LPJK sehubungan dengan
pelaksanaan sertifikasi tenaga kerja konstruksi, sebagai berikut:
1) Klasifikasi dan Kualifikasi SKA dan SKTK
Sertifikasi tenaga kerja konstruksi menurut PP No.28 Tahun 2000 dibedakan
atas sertifikasi keterampilan kerja dan sertifikasi keahlian kerja. Sertifikat
keterampilan kerja diberikan kepada tenaga kerja terampil yang telah
memenuhi persyaratan berdasarkan disiplin keilmuan/keterampilan tertentu,
sementara sertifikat keahlian kerja diberikan kepada tenaga kerja ahli yang
II-29
telah memenuhi persyaratan berdasarkan disiplin
keilmuan/kefungsian/keahlian tertentu. Sertifikasi keterampilan kerja dan
sertifikasi keahlian kerja dilakukan melalui klasifikasi dan kualifikasi tenaga
kerja konstruksi, yang mana jenis-jenis klasifikasi dan kualifikasi tersebut
ditetapkan oleh LPJK. Saat ini klasifikasi keahlian (SKA) dan keterampilan
(SKT) yang telah ditentukan LPJK dalam bentuk bidang/sub-bidang,
sementara kualifikasi dibedakan atas 3-4 tingkat kedalaman kompetensi,
seperti pada Tabel 2.5 dibawah ini.
Tabel 2. 5 Klasifikasi dan Kualifikasi SKA dan SKTK yang ditetapkan LPJK
No. Tenaga Kerja
Industri Konstruksi
Klasifikasi Kualifikasi Bidang Sub-Bidang
1. Tenaga Ahli 1. Arsitektur 1. Arsitek 2. Desain Interior 3. Arsitek Lansekap
1. Ahli Utama 2. Ahli Madya 3. Ahli Muda 4. SKA - P 2. Sipil 1. Teknik Sipil
2. Struktur 3. Transportasi 4. Sumber Daya Air 5. Geoteknik 6. Geodesi
3. Mekanikal 1. Teknik Mesin 2. Sistem Tata Udara dan Refrigerator 3. Sistem Plumbing 4. Sistem Transportasi dalam Gedung
4. Elektrikal 1. Teknik Tenaga Listrik 2. Teknik Elektronika dan
Telekomunikasi 5. Tata
Lingkungan 1. Teknik Lingkungan 2. Wilayah dan Perkotaan
6. Lain-lain 1. Manajemen 2. Quantity Surveyor 3. Penilai
2. Tenaga Terampil 1. Arsitek - Pelaksana/Pengawas/Juru Gambar/dst.nya
1. Tingkat I (tertinggi)
2. Tingkat II 3. Tingkat III 4. SKT - P
2. Sipil - Pelaksana/Pengawas/Juru Gambar/dst.nya
3. Mekanikal - Pelaksana/Pengawas/Juru Gambar/dst.nya
4. Elektrikal - Pelaksana/Pengawas/Juru Gambar/dst.nya
5. Tata Lingkungan
- Pelaksana/Pengawas/Juru Gambar/dst.nya
6. Lain-lain - Mandor/Estimator
II-30
2) Badan-Lembaga Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi menurut LPJK
Pelaksanaan sertifikasi tenaga kerja konstruksi dilakukan oleh Badan
Sertifikasi Asosiasi (BSA) dan/atau Badan Sertifikasi Keterampilan (BSK)
Asosiasi Profesi atau Badan Sertifikasi Keterampilan (BSK) Institusi
Pendidikan dan Pelatihan (Institusi Diklat) yang telah mendapat akreditasi dari
LPJK. Asosiasi Profesi yang BSA/BSK-nya telah diakreditasi dapat
melakukan sertifikasi tenaga ahli dan tenaga terampil, sedangkan Institusi
Diklat yang BSK-nya telah diakreditasi hanya dapat melakukan sertifikasi
tenaga terampil. Kemudian, Tenaga kerja konstruksi yang telah mendapat
sertifikat keterampilan kerja atau sertifikat keahlian kerja wajib mengikuti
registrasi yang dilakukan oleh LPJK.
3) Standar Kompetensi
Menurut SK Dewan Pengurus LPJK No. 70 Tahun 2001 Pasal 12, suatu BSA
untuk mendapatkan akreditasi dari LPJK disyaratkan mempunyai standar
dasar pendidikan keahlian sebagai salah satu persyaratan kelayakan program
sertifikasi. Sedangkan suatu BSK Institusi Diklat dan BSK Asosiasi Profesi
sebelum mendapatkan akreditasi dari LPJK, menurut SK Dewan Pengurus
LPJK No. 112 Tahun 2001 Pasal 19 dan SK Dewan Pengurus LPJK No. 95
Tahun 2005 Pasal 18, disyaratkan menyampaikan Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) atau Standar Kompetensi Kerja
lainnya, Standar Latihan Kerja (SLK) dan Materi Uji Keterampilan (MUK)
yang akan dipergunakan sebagai acuan sertifikasi sebagai salah satu kelayakan
program sertifikasi.
Dengan demikian, setiap Asosiasi Profesi dan Institusi Diklat yang akan
mengajukan akreditasi bebas menentukan standar kompetensi yang akan
digunakan dalam pelaksanaan program sertifikasinya. Adanya ketidaktegasan
aturan mengenai standar kompetensi yang digunakan memungkinkan
pelaksanaan program sertifikasi untuk suatu klasifikasi bidang/sub bidang
yang sama menggunakan standar kompetensi yang berbeda. Keberagaman ini
lebih besar terjadi pada sertifikasi keahlian dibandingkan dengan sertifikasi
keterampilan kerja, karena pada umumnya untuk sertifikasi keterampilan kerja
menggunakan SKKNI. Walaupun demikian, penggunaan standar kompetensi
II-31
yang berbeda-beda tersebut telah berusaha dikendalikan dengan adanya
persyaratan pembakuan standar kompetensi dan adanya penilaian terhadap
standar kompetensi yang digunakan dalam program sertifikasi BSA/BSK pada
saat akreditasi oleh LPJK (BPKSDM, 2007).
Sebagai gambaran permasalahan sehubungan dengan beragamnya standar
kompetensi yang ada di Indonesia adalah Departemen PU telah menerbitkan
standar kompetensi untuk tenaga ahli dan tenaga terampil bidang jasa
konstruksi. Melalui Kepmen PU No.340/KPTS/M/2007 diterbitkan 53 Standar
Kompetensi Kerja tenaga terampil bidang jasa konstruksi, dan 23 Standar
Kompetensi Kerja tenaga ahli bidang jasa konstruksi. Adapun klasifikasi dan
kualifikasi SKA dan SKT yang ditetapkan LPJK dengan standar kompetensi
untuk tenaga ahli dan tenaga terampil bidang jasa konstruksi yang diterbitkan
Departemen PU terdapat ketidakcocokan satu sama lain, hal tersebut
menunjukkan tidak ada koordinasi dalam penyusunan standar kompetensi
tenaga kerja konstruksi, sehingga menyebabkan ketidakjelasan akan standar
kompetensi mana yang dipakai dan dijadikan acuan dalam mensertifikasi
tenaga kerja konstruksi.
II-32
Gambar 2. 4 Sistem Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi menurut LPJK
II-33
C. Sistem Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi menurut BNSP
Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dibentuk berdasarkan PP No. 23
Tahun 2004, adalah lembaga independen yang bertanggung jawab langsung
kepada Presiden, dengan tugas menyelenggarakan sertifikasi tenaga kerja melalui
uji kompetensi. Dengan tugas seperti itu, pada dasarnya BNSP adalah lembaga
pengendali mutu/kualitas tenaga kerja di Indonesia. Keberadaan BNSP kurang
lebih sama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Apabila BSN
mengendalikan mutu barang dan jasa, maka BNSP mengendalikan mutu tenaga
kerjanya. Ke dua badan ini akan saling melengkapi, sehingga peningkatan mutu
dan produktivitas nasional Indonesia akan dapat dilakukan lebih cepat. Hal ini
penting untuk peningkatan daya saing indonesia di pasar global.
Pembentukan BNSP merupakan bagian integral dari pengembngan sistem dan
kelembagaan paradigma baru pengembangan SDM berbasis kompetensi. Dalam
pengembangan SDM berbasis kompetensi. Dalam pengembangan SDM berbasis
kompetensi, ada tiga pilar utama yang harus dibangun secara sinerjik, yaitu
pengembangan standar kompetensi nasional, pengembangan pendidikan, pelatihan
berbasis kompetensi, serta pengembagan sistem kelembagaan sertifikasi
kompetensi yang independen.
Pembentukan BNSP dimulai dari SKB Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pendidikan
Nasional dan Menteri Perdagangan serta Ketua Umum Kadin Indonesia pada
bulan Mei tahun 2000. Dalam melaksanakan tugasnya, BNSP dapat
mendelegasikan pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi kompetensi profesi
tersebut kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) melalui pemberian lisensi.
Dalam upaya pengaturan pelaksanaan sertifikasi kompetensi profesi, BNSP telah
mengeluarkan beberapa pedoman sebagai acuan kerja bagi BNSP meliputi,
antara lain:
1) BNSP 201 Rev.1 Penilaian Kesesuaian Persyaratan Umum LSP
2) BNSP 202 Rev.1 2006 Pedoman Penyiapan & Lisensi LSP
3) BNSP 203 Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Asesor Lisensi 2007
4) BNSP 204 Kriteria Asesor Lisensi
II-34
5) BNSP 205 Kriteria Lembaga Penyelenggara Pelatihan Asesor Lisensi
6) BNSP 206 Persyaratan Umum TUK
7) BNSP 207 Persyaratan Pembentukan LSP Cabang
8) BNSP 208 Pedoman Prosedur Lisensi LSP
9) BNSP 301 Pedoman Pelaksanaan Uji Kompetensi
10) BNSP 302 Penerbitan Sertifikat
11) BNSP 401 Pembentukan Badan Koordinasi SP
Secara umum, pada BNSP, badan-lembaga sertifikasi tenaga kerja konstruksi
yang melaksanakan uji kompetensi dinamakan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)
yaitu Lembaga pelaksana kegiatan sertifikasi profesi yang mendapatkan lisensi
dari BNSP. LSP merupakan organisasi tingkat nasional yang berkedudukan di
wilayah Republik Indonesia. LSP dapat memiliki cabang yang berkedudukan di
kota lain. Dalam mekanisme sertifikasi kompetensi BNSP, LSP Pusat dapat
menetapkan LSP Cabang di Daerah. Kemudian LSP Cabang dengan berkoordinasi
dengan BNSP menugaskan Asesor Kompetensi untuk melakukan pengujian di
Tempat Uji Kompetensi (TUK).
Berikut ditunjukkan mekanisme sertifikasi kompetensi yang dilakukan oleh BNSP
pada Gambar 2.5.
Gambar 2. 5 Mekanisme Sertifikasi Kompetensi BNSP
II-36
Sistem Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi di Negara Lain Berikut disampaikan hasil kajian dan review yang dilakukan BPKSDM (2007) di
negara lain (Malaysia, Singapura, dan Australia) sebagai benchmarking mulai dari
tentang bagaimana sistem sertifikasi di negara-negara tersebut berjalan, hingga
kapasitas apa saja yang harus dimiliki sebuah lembaga pelatihan (training providers)
untuk bisa melakukan pelatihan dan sertifikasi tenaga terampil.
A. Malaysia
Pemerintah Malaysia melalui Board of Engineers Malaysia (BEM), yang didirikan
pada tahun 1972, dan bertujuan untuk mengatur kegiatan registrasi engineer agar
dapat bersaing di masyarakat. Fungsi dari Board of Engineers Malaysia (BEM)
adalah:
Maintaining the Register
Processing Application for Registration
Assessment of Academic Qualifications
Regulating the Conduct and Ethics of the Engineering Profession
Fixing the Scale of Fees
Publication
Promotion of Continued Learning Education
Sistem Sertifikasi Tenaga Ahli di Malaysia dapat dilihat pada Gambar 2.6 di
berikut.
II-37
Gambar 2. 6 Sistem Akreditasi dan Sertifikasi Tenaga Ahli di Malaysia
B. Singapura
Pemerintah Singapura melalui Institution of Engineering Singapore (IES), yaitu
suatu badan nasional yang bekerjasama dengan pemerintah, berusaha untuk
mengembangkan dan meningkatkan profession of engineering di Singapura.
Pada Gambar 2.7 berikut dapat dilihat Sistem Sertifikasi Tenaga Ahli di
Singapura, yang dilakukan unit atau Tim di bawah Intitution of Engineering
Singapura)
II-38
Gambar 2. 7 Sistem Akreditasi dan Sertifikasi Tenaga Ahli di Singapura
II-39
C. ASEAN Mutual Recognition Agreement (MRA) for Engineering Services
Di era globalisasi yang mengarah kepada perdagangan bebas, keberadaan MRA
dirasakan sangat penting. Perjanjian Saling Mengakui atau Mutual Recognition
Agreement (MRA) merupakan fasilitas atau bentuk akhir dari mata rantai/proses
perdagangan internasional dimana tercapai suatu kesepakatan antar negara untuk
saling mengakui dan saling bekerjasama dalam bidang-bidang yang telah
disepakati. Kesepakatan tersebut tertuang dalam bentuk Memorandum of
Understanding (MOU) sebagai wujud dari kepercayaan bersama dalam hal
kemampuan teknis.
ASEAN Mutual Recognition Agreement (MRA) for Engineering Services
merupakan Perjanjian Saling Mengakui dalam hubungan kerjasama regional
negara-negara ASEAN yaitu Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos,
Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, dalam bidang
engineering services. Adapun tujuan MRA ini untuk memfasilitasi mobilitas
engineering services professionals di seluruh negara-negara ASEAN, serta untuk
memudahkan pertukaran informasi dengan dasar tujuan to promote adoption of
best practices on standards and qualifications antar sesama negara-negara di
ASEAN.
Dalam Memorandum of Understanding (MOU) yang tertuang dalam ASEAN
Mutual Recognition Agreement (MRA) for Engineering Services, untuk bisa
teregistrasi sebagai Professional Engineer dalam tenaga ahli tersebut harus :
1. Mengikuti dan lulus program sertifikasi dari lembaga yang telah
diakreditasi oleh ASEAN;
2. Telah lulus sebagai tenaga ahli oleh tim penilai ASEAN
3. Memiliki pengalaman selama 7 tahun
4. Telah menangani sebagai penanggung jawab pekerjaan pada pekerjaan
yang besar.
5. Mematuhi kebijakan Continuing Professional Development (CPD).
6. Setiap professional engineers harus;
i. Mematuhi kebijakan kode etik professional engineers
ii. Bertanggung jawab
II-40
Dilihat dari persyaratan yang dimiliki dalam ASEAN Mutual Recognition
Agreement (MRA) for Engineering Services kriteria tersebut sudah setara dengan
SKA muda atau madya bila dibandingkan dengan sistem SKA yang dimiliki oleh
Indonesia. Hal ini dilihat dari syarat pengalaman yang harus dimiliki oleh seorang
professional engineer adalah 7 tahun.
Dengan telah dilakukannya MRA oleh negara-negara yang tergabung dalam
ASEAN mengenai pengaturan Engineering Services, maka pengaturan tenaga
kerja konstruksi di Indonesia juga sudah perlu mengacu kepada hal tersebut.
Sehingga tenaga kerja konstruksi nasional yang memenuhi bakuan kompetensi
yang telah disepakati bersama (ASEAN), dapat melakukan kegiatan profesinya di
semua negara-negara ASEAN tersebut.
D. Australia
Pemerintah Australia melalui Institution of Engineers Australia (IEAust), yaitu
sebuah badan nasional yang bekerjasama dengan pemerintah, industri dan badan
pendidikan, berusaha untuk memajukan bidang pendidikan teknik dan praktek
konstruksi di Australia dan sistem sertifikasi yang digunakan IEAust adalah
seperti Gambar 2.8 berikut.
II-41
Gambar 2. 8 Sistem Akreditasi dan Sertifikasi Tenaga Ahli di Australia
II-42
Sistem Pengukuran Kinerja
2.3.1 Kinerja dan Indikator Kinerja
A. Kinerja
Secara singkat kinerja dapat diartikan sebagai tingkat pencapaian kegiatan
dibandingkan terhadap tujuan atau target yang hendak dicapai. Pengertian lain
yang sejalan dengan definisi kinerja yang diuraikan oleh beberapa pakar berikut.
1. Kinerja mengacu pada sesuatu yang terkait dengan kegiatan melakukan
pekerjaan, dalam hal ini meliputi hasil yang dicapai kerja tersebut (Otley,
1999).
2. Kinerja adalah kontribusi individu terhadap pelaksanaan dari tugas yang
harus dikerjakan di dalam menyelesaikan proyek konstruksi (Liu and
Walker, 1998).
3. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan
tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi
ekonomi (Armstrong dan Baron, 1998).
Kinerja merupakan suatu konstruk (construct) yang bersifat multidimensional,
pengukurannya juga bervariasi tergantung pada kompleksitas faktor-faktor yang
membentuk kinerja. Beberapa pihak berpendapat bahwa kinerja mestinya
didefinisikan sebagai hasil kerja itu sendiri (outcomes of work), karena hasil kerja
memberikan keterkaitan yang kuat terhadap tujuan-tujuan strategik organisasi,
kepuasan pelanggan, dan kontribusi ekonomi (Rogers, 1994).
Dari definisi di atas dapat diketahui pula bahwa kinerja dapat merupakan kinerja
individu maupun kinerja organisasi. Di samping itu, kinerja menunjukkan dua hal
utama yaitu seberapa besar usaha yang dilakukan oleh individu atau organisasi
untuk mencapai tujuan atau target yang telah ditetapkan dan sejauh mana hasilnya
dibandingkan dengan tujuan atau target tersebut. Uraian di atas ditampilkan dalam
bentuk matriks yang memberikan informasi posisi kinerja yang akan diukur.
II-43
Tabel 2. 6 Matriks Kinerja
Individu Organisasi
Output √ √
Proses √ √
Outcome √ √
Dalam hal kinerja merupakan suatu konstruk multidimensional yang mencakup
banyak faktor yang mempengaruhi, pada sistem pengukuran kinerja tradisional,
kinerja hanya dikaitkan dengan faktor personal, namun dalam kenyataannya,
kinerja sering diakibatkan oleh faktor-faktor lain di luar faktor personal seperti
sistem, situasi, kepemimpinan, atau tim. Proses pengukuran kinerja individual
harus diperluas dengan pengukuran kinerja tim dan efektivitas manajernya. Hal itu
karena yang dilakukan individu merupakan refleksi perilaku anggota grup dan
pimpinan. Dengan demikian, kinerja organisasi pada dasarnya merupakan
tanggung jawab setiap individu yang bekerja dalam organisasi.
B. Indikator Kinerja
Konsep dasar indikator kinerja adalah suatu ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif
yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu tujuan atau target yang telah
ditetapkan. Oleh sebab itu indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang dapat
diukur dan dihitung, serta dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai atau
melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun
setelah kegiatan selesai.
Penetapan indikator kinerja merupakan proses identifikasi dan klasifikasi
indikator kinerja melalui sistem pengumpulan dan pengolahan data/informasi
untuk menentukan capaian tingkat kinerja kegiatan/ program. Penetapan indikator
kinerja tersebut dapat didasarkan pada kelompok menurut masukan (input),
keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact) serta
indikator proses jika diperlukan untuk menunjukkan proses manajemen kegiatan
yang telah terjadi.
Dengan demikian indikator tersebut dapat digunakan untuk evaluasi baik dalam
tahap perencanaan(ex-ante), tahap pelaksanaan (on-going) atau pun tahap setelah
II-44
kegiatan itu selesai dan berfungi (ex-post). Perlu dicatat bahwa untuk indikator
kinerja input dan output dapat dinilai sebelum kegiatan yang dilakukan selesai.
Sedangkan untuk indikator outcomes, benefit dan impact mungkin baru diperoleh
setelah beberapa waktu kegiatan berlalu.
Pada umumnya KPI itu memiliki 4 tingkatan yaitu KPI Eksak (Exact), Proksi
(Proxy), Aktivitas (Activity), dan Proyek (Project). Dapat dilihat pada Gambar
2.9 berikut.
Gambar 2. 9 Empat Jenis Indikator Kinerja
Indikator kinerja memiliki dimensi lain yaitu indikator kinerja makro dan indikator
kinerja mikro. Antara indikator kinerja makro dengan mikro harus terdapat hubungan
yang selaras dan konsisten karena kinerja makro merupakan agregat dari kinerja
mikro. Kinerja tiap-tiap unit kerja (mikro) apabila digabungkan secara bersama-sama
akan membentuk kinerja organisasi secara keseluruhan (makro). Pada umumnya
publik dan pihak ketiga akan lebih tertarik untuk mengukur kinerja makro karena
lebih bersifat strategik dan global. Sementara itu, manajemen membutuhkan indikator
kinerja mikro untuk mengelola kinerja organisasi dengan baik.
Dalam mengembangkan indikator kinerja, harus diperhatikan berbagai aspek agar
indikator kinerja yang dihasilkan tidak memberikan gambaran kinerja yang terdistorsi.
II-45
Sistem pengukuran kinerja yang efektif dan tidak terdistorsi diperoleh melalui desain
indikator kinerja yang baik. Beberapa syarat indikator kinerja yang baik antara lain:
1. Konsistensi terhadap waktu dan juga konsisten antarunit.
2. Dapat diperbandingkan terhadap waktu dan juga konsisten antarunit.
3. Jelas dan sederhana agar mudah dipahami.
4. Dapat dikontrol oleh manajemen.
5. Fleksibel karena indikator kinerja dipengaruhi oleh perubahan faktor lingkungan.
6. Komprehensif dan dapat merefleksikan semua aspek yang diukur
7. Fokus pada sesuatu yang diukur.
8. Relevan dengan kebutuhan dan kondisi agar manajemen mampu berkonsentrasi
pada kinerja yang membutuhkan prioritas.
9. Realistis. Indikator kinerja dan target kinerja yang ditetapkan harus didasarkan
pada harapan yang realistis sehingga memungkinkan untuk dicapai.
Adapun langkah-langkah dalam menyusun indikator kinerja, antara lain:
1. Menentukan jenis program
2. Menentukan outcome yang diharapkan dan masyarakat sasaran
3. Menentukan tujuan dan indikator efektivitas
4. Menentukan output dan indikator efisiensi
2.3.2 Manajemen berbasis Kinerja
Manajemen berbasis kinerja merupakann suatu metode untuk mengukur kemajuan
program atau aktivitas yang dilakukan organisasi sektor publik dalam mencapai hasil
atau outcome yang diharapkan oleh klien, pelanggan, dan stakeholder lainnya. Dalam
Performance Managemen Handbook Departemen Energi USA, manajemen berbasis
kinerja didefinisikan sebagai berikut :
” Performance based management is a systematic approach to performance
improvement through an ongoing process of establishing strategic performance
objectives; measuring performace; collecting, analyzing, reviewing, and reporting
performance data; and using that data to drive performance improvement”
II-46
Berdasarkan definisi tersebuit, kata kunci manajemen berbasis kinerja, yaitu
• Proses yang sistematik
• Untuk memperbaiki kinerja
• Melalui proses berkelanjutan dan berjangka panjang
• Meliputi penetapan sasaran kinerja strategic
• Mengukur kinerja
• Mengumpulkan, menganalisis, menelaah, dan melaporkan data kinerja
• Menggunakannya untuk perbaikan kinerja secara berkelanjutan.
Manajemen kinerja adalah proses yang sistematik, artinya untuk memperbaiki kinerja
diperlukan langka-langkah atau tahap-tahap yang terencana dengan baik. Proses
perbaikan kinerja bukan merupakan kerja jangka pendek, melainkan merupakan
proses evolutif yang berjangka panjang. Manajemen berbasis kinerja tersebut pada
akhirnya akan berdampak pada perbaikan budaya kinerja. Budaya merupakan produk
suatu tradisi yang panjang. Perubahan budaya memerlukan waktu yang lama.
Demikian juga melakukan perubahan budaya kinerja memerlukan perencanaan yang
matang, holistic dan jangka panjang.
Manajemen berbasis kinerja dilakuakn secara berkelanjutan dan berjangka panjang
yang meliputi kegiatan penetapan sasaran-sasaran kinerja strategic, pengukuran
kinerja pengumpulan data kinerja dan pelaporan kinerja. Data kinerja dan pelaporan
kinerja memberikan umpan balik (feedback) untuk melalukan perbaikan kinerja.
Dengan demikian, manajemen berbasis kinerja menghendaki dilakukannya perbaikan
kinerja secara berkelanjutan (continuous performance improvement)
Manajemen berbasis kinerja membutukan alat yang disebut pengukuran kinerja.
Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk melakukan penilaian kinerja, yaitu
untuk menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan. Dengan
kata lain pengukuran kinerja merupakan elemen pokok manajemenberbasis kinerja.
Jika sebelumnya kita sudah mengetahui makna manajemen berbasis kinerja, maka
pertanyaannya sekarang ada apa makna kinerja dan pengukuran kinerja itu ?
Pertanyaan ini sangat penting diajukan karena ada pernyataan ” if you can’t define
performance, you can’t measure or manage it.”
II-47
Fokus manajemen kinerja pada salah satu komponen tersebut akan membepngaruhi
pendekatan manajemen kinerja yang dipilih. Manajemen kinerja mungkin akan
berfokus pada : a) pelakunya (pegawai), b) perilaku (proses), atau hasilnya. Perbedaan
penekanan ini akan mempengaruhi pendekatan manajemen kinerja yang dipilih,
apakah berfokus pada orangnya prosesnya (means), ataukah hasil (ends). Gambar
2.10. menunjukkan berbagai pendekatan manajemen kinerja.
Gambar 2.10 Model Pendekatan Manajemen Kinerja
2.3.3 Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, termasuk informasi atas efesiensi
penggunaan sumberdaya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan
jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam
mencapai tujuan (Robertson, 2002).
Salah satu bentuk kebutuhan pengukuran kinerja adalah kebutuhan pengukuran
kinerja operasi manufaktur maupun operasi non manufaktur dan pengukuran tersebut
berbentuk suatu sistem yang terdiri atas beberapa sub sistem. Globerson (1985)
menyatakan bahwa suatu pengukuran kinerja adalah suatu cara sistematik untuk
mengevaluasi masukan (input), keluaran (output), transformasi (transformation) dan
produktifitas (productivity) dalam operasi manufaktur ataupun operasi non
manufaktur (Globerson, 1985).
Manajemen Kinerja Berfokus
Pada Pelaku (Performance)
Manajemen Kinerja Berfokus
Pada Perilaku (Proses)
Manajemen Kinerja Berfokus
Pada Hasil (Output)
Pelaku (Pegawai)
Perilaku (Proses)
Hasil (Outcome/Result)
II-48
Bentuk lain kebutuhan pengukuran kinerja dalam sebuah organisasi publik, seperti
menurut U.S General Accounting Office (GAO) dalam buku “Performance
Measurement and Evaluation: Definitions and Relationships” (GAO/GGD-98-26),
sistem pengukuran kinerja (performance measurement system) adalah: “Performance
measurement system is the ongoing monitoring and reporting of program
accomplishments, particularly progress towards preestablished goals. It is typically
conducted by program or agency management. Performance measures may address
the type or level of program activities conducted (process), the direct products and
services delivered by a program (outputs), and/or the results of those products and
services (outcomes). A program” may be any activity, project, function, or policy that
has an identifiable purpose or set of objectives.”
Dari beberapa pengertian pengukuran kinerja di atas, penting untuk ditentukan apakah
tujuan pengukuran adalah untuk menilai hasil kinerja (performance outcome) ataukah
menilai perilaku (personality). Oleh karena itu, suatu organisasi seharusnya
membedakan antara outcome (hasil), perilaku (proses), dan alat pengukur kinerja yang
tepat (John Isaac Mwita, 2000). Pengukuran kinerja paling tidak harus mencakup tiga
variabel penting yang harus dipertimbangkan, yaitu
1. Perilaku (proses),
2. Output (produk langsung suatu aktivitas/program), dan
3. Outcome (value added atau dampak aktivitas/program)
Perilaku, hasil, dan nilai tambah merupakan variabel yang tidak dapat dipisahkan dan
saling tergantung satu dengan lainnya. Pengukuran kinerja meliputi aktivitas
penetapan serangkaian ukuran atau indikator kinerja yang memberikan informasi
sehingga memungkinkan bagi unit kerja sektor publik memonitor kinerjanya dalam
menghasilkan output dan outcome terhadap masyarakat (pelanggan).
Pengukuran kinerja sektor publik dalam beberapa hal berbeda dengan sektor swasta
(Mahmudi, 2007). Di sektor swasta, tujuan utama organisasi lebih jelas yaitu
menghasilkan laba yang dapat diukur dengan ukuran (indikator) finansial. Berbeda
halnya dengan sektor publik , kehadirannya dalah untuk memperbaiki kehidupan
masyarakat dengan cara memberikan pelayanan terbaik yang hal itu seringkali sulit
diukur dengan ukuran finansial.
II-49
Pengukuran kinerja sektor publik
Pengukuran kinerja di sektor publik bermanfaat untuk membantu manajer unit kerja
dalam memonitor dan memperbaiki kinerja dan berfokus pada tujuan organisasi
dalam rangka memenuhi tuntutan akuntabilitas (pertanggungjawaban) publik. Hal ini
berkaitan dengan adanya tekanan terhadap organisasi sektor publik, khususnya
organisasi pemerintah baik pusat dan daerah serta perusahaan milik pemerintah, dan
organisasi sektor publik lainnya untuk memperbaiki kinerjanya dan membuat sistem
akuntabilitas berbasis hasil (result-based accountability system).
Menurut Mahmudi, 2007, maksud dan tujuan dilakukannya pengukuran kinerja di
sektor publik adalah:
- Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi
- Menyediakan sarana pembelajaran pegawai
- Memperbaiki kinerja periode berikutnya
- Memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan
pemberian reward dan punishment
- Memotivasi pegawai
- Menciptakan akuntabilitas publik
Dengan kata lain, pengukuran kinerja merupakan alat untuk menilai kesuksesan
organisasi. Dalam konteks organisasi sektor publik, kesuksesan organisasi itu akan
digunakan untuk legitimasi dan dukungan publik. Masyarakat akan menilai
kesuksesan organisasi sektor publik melalui kemampuan organisasi dalam
memberikan pelayanan publik yang relatif murah dan berkualitas. Mengukur
kesuksesan sektor publik tidak semudah mengukur kesuksesan perusahaan bisnis.
Untuk mengukur sukses atau tidaknya suatu organisasi sektor publik perlu diketahui
beberapa hal penting berikut:
- Apa yang sebenarnya akan diukur?
- Skala atau ukuran apa yang akan digunakan?
- Berapa toleransi kesalahan (margin of error) yang dapat diterima?
- Siapa yang akan mengukur?
- Untuk siapa informasi kinerja tersebut dan apa yang akan mereka lakukan dengan
laporan hasil kinerja tersebut?
II-50
Sebagai ilustrasi, ukuran kesuksesan pelayanan transportasi bukan hanya sekedar
ukuran kuantitatif seperti jumlah kilometer jalan yang dibangun atau bertambahnya
jumlah penumpang yang terangkut, tapi juga ukuran kualitatif seperti kualitas jalan.
Ilustrasi lain yang merupakan gambaran hasil yang diinginkan publik, misalnya untuk
suatu program pengentasan kemiskinan. Ukuran keberhasilan program tersebut
bukanlah banyaknya kegiatan seminar tentang kemiskinan yang telah dilakukan, atau
dana yang telah dikucurkan, namun hasil program itu apakah benar-benar mampu
menurunkan angka kemiskinan, berapa besar kontribusi program tersebut dalam
menurunkan tingkat kemiskinan.
2.3.4 Konsep dan Perkembangan Balanced Scorecard
Balanced Scorecard (BSC) merupakan konsep manajemen kinerja kontemporer yang
mulai banyak diaplikasikan pada organisasi sektor publik, termasuk organisasi
pemerintahan. Pada awalnya BSC diterapkan pada organisasi bisnis, terutama
perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat. BSC dinilai cocok untuk organisasi
sektor publik karena BSC tidak hanya menekankan pada aspek kuantitatif-finansial,
tetapi aspek kualitatif dan nonfinansial. Hal tersebut sejalan dengan sektor publik
yang menempatkan laba bukan sebagai ukuran (indikator) kinerja utama, namun
pelayanan yang cenderung bersifat kualitatif dan nonfinansial. Meskipun konsep ini
lahir di dunia bisnis, organisasi sektor publik juga dapat mengadopsi konsep BSC
dengan beberapa modifikasi (Mahmudi, 2007). Sebagai ilustrasi, pengalaman sukses
BSC untuk mendongkrak kinerja organisasi tidak hanya dialami oleh perusahaan
swasta, tetapi juga oleh beberapa pemerintahan daerah, misalnya City of Charlotte,
Amerika Serikat.
Dalam perkembangannya, BSC tidak hanya sekadar alat pengukuran kinerja, tetapi
sebagai sistem manajemen strategik perusahaan yang digunakan untuk
menterjemahkan visi, misi, tujuan, dan strategi ke dalam sasaran strategik dan inisiatif
strategic yang komprehensif, koheren, dan terukur. Perkembangan BSC telah
mengalami beberapa generasi.
II-51
A. BSC Generasi Pertama
Balanced Scorecard (BSC) pertama kali muncul pada tahun 1992, dalam artikel
yang ditulis oleh Kaplan dan Norton dalam majalah Harvard Business Review
edisi Januari-Februari 1992 (BSC Generasi Pertama). Pada generasi pertama ini,
BSC digunakan sebagai alat untuk pengukuran kinerja organisasi melalui empat
perspektif ukuran (indikator) kinerja, yang digambarkan dalam Gambar berikut.
Gambar 2.11 BSC Generasi Pertama: BSC sebagai alat pengukuran kinerja
Dengan menggunakan kerangka BSC, kinerja organisasi diukur melalui empat
kartu skor yang berimbang. Evaluasi kinerja dilakukan dengan cara
membandingkan rencana skor yang hendak diwujudkan dengan hasil kinerja yang
sesungguhnya dicapai. Kartu skor tersebut memiliki sifat berimbang, artinya
terdapat keseimbangan ukuran (indikator) kinerja yaitu antara ukuran (indikator)
finansial dengan nonfinansial, antara ukuran (indikator) kinerja masa lampau,
masa kini, dan masa depan, antara ukuran (indikator) internal dengan eksternal,
dan antara kinerja jangka pendek dengan jangka panjang.
II-52
Walaupun BSC Generasi Pertama telah membuat keterkaitan antara empat
perspektif, namun BSC Generasi Pertama masih menimbulkan kesulitan terutama
terkait dengan:
- Pemilihan atau penentuan ukuran (indikator) kinerja serta
- Pengelompokan ukuran (indikator) kinerja ke setiap perspektif.
B. BSC Generasi Kedua
Pada tahun 1996, Kaplan dan Norton merevisi BSC yang telah mereka bangun
sebelumnya. Perubahan BSC Generasi Kedua cukup signifikan bila dibandingkan
dengan BSC Generasi Pertama.
- Dalam BSC Generasi Kedua, BSC sebagai elemen utama sistem manajemen
strategik digunakan untuk mengimplementasikan strategi. Konsekuensi
perubahan tersebut adalah perubahan metodologi perancangan BSC.
- Dalam BSC Generasi Kedua mulai dikembangkan hubungan atau kaitan
strategik (strategic linkage) antara berbagai ukuran (indikator) kinerja dengan
sasaran strategik (strategic objectives), bukan sekadar keterkaitan
antarperspektif saja (BSC Generasi Pertama).
Model BSC Generasi Kedua telah membuat sasaran strategik (strategic
objectives) dan kaitan strategik (strategic linkage) sehingga manajemen dapat
mengetahui bahwa adanya hubungan kausalitas yang menyebabkan ukuran
(indikator) kinerja satu akan mempengaruhi ukuran (indikator) kinerja yang lain
dan memudahkan dilakukannya komunikasi strategi.
BSC Generasi Kedua lebih komprehensif dibandingkan BSC Generasi Pertama,
tetapi model tersebut masih menimbulkan beberapa kesulitan terutama:
- Ketika organisasi harus menentukan model kaitan strategik (strategic linkage)
antar ukuran (indikator) kinerja dalam keempat perspektif.
- Manajemen mengalami kesulitan dalam menentukan prioritas tujuan strategik
dan target yang mendukung pencapaian visi dan misi organisasi.
Beberapa kelemahan tersebut mendorong terus dilakukannya penyempurnaan
BSC sehingga muncul BSC Generasi Ketiga.
II-53
C. BSC Generasi Ketiga
BSC Generasi Ketiga merupakan perbaikan model dengan penekanan pada
peningkatan fungsi dan relevansi strategi. Pengembangan itu berakar pada
masalah yang terkait dengan penentuan target dan validitas pemilihan sasaran
strategik. Untuk mengatasinya maka perlu dilakukan pengecekan terhadap
pernyataan tujuan, ukuran (indikator) kinerja yang dipilih, dan penetapan target
kinerja. Relevansi strategi dan target kinerja menjadi isu penting dalam
kenyataannya banyak organisasi yang memiliki visi, misi, dan strategi yang bagus,
tetapi organisasi tersebut masih gagal atau kinerjanya rendah. Kegagalan
seringkali disebabkan organisasi tidak berfokus pada strategi. Dapat disimpulkan
bahwa BSC Generasi Ketiga digunakan sebagai alat untuk:
- Pemfokus strategi (strategy focused) dimana sangat powerful dalam mengatasi
masalah terjadinya keterputusan antara visi, misi, sasaran strategi, inisiatif
strategi, ukuran (indikator) kinerja, target kinerja, anggaran, dan pelaksanaan
anggaran.
- Pemetaan strategi (strategy mapping). Seberapa akurat, detail, dan aktual peta
strategi akan memepengaruhi tingkat kesuksesan yang akan dicapai.
Gambar 2.12 BSC Generasi Ketiga: BSC sebagai alat manajemen strategik untuk
menterjemahkan visi dan misi
II-54
Lebih lanjut, yang dilakukan BSC Generasi Ketiga sebagai alat manajemen
strategik adalah manajemen menjabarkan inisiatif strategik ke dalam program dan
anggaran (Gambar ). Sangat mungkin terjadi anggaran yang disusun manajemen
tidak terkait dengan pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi. Dalam kerangka
BSC, antara masing-masing tahapan dalam sistem manajemen strategik tidak
terjadi keterputusan (missing link).
Gambar 2.13 Balanced Scorecard sebagai alat sistem manajemen strategik
2.3.5 Balanced Scorecard untuk Organisasi Sektor Publik
Meskipun pada awalnya didesain untuk organisasi bisnis yang bergerak di sektor
swasta, namun pada perkembangnnnya BSC dapat diterapkan pada organisasi sektor
public dan organisasi nonprofit lainnya. Perbedaan utama organisasi sektor publik
dengan sektor swasta terutama adalah pada tujuannya (bottom line). Sektor swasta
(bisnis/komersial) bertujuan untuk mencari laba (profit maximization), sedangkan
II-55
sektor publik bersifat nonprofit motive yaitu maksimisasi pelayanan publik (public
service maximization).
Kaplan dan Norton memberikan gambaran bahwa memimpin organisasi seperti pilot
menjalankan pesawat terbang. Dalam menjalankan pesawat terbang, pilot
membutuhkan informasi yang lengkap mengenai tekanan udara, ketinggian,
kecepatan, keadaan bahan bakar, tujuan penerbangan, beban, dan ukuran (indikator)
lainnya. Jika hanya mengandalkan satu ukuran (indikator) saja maka dapat berakibat
fatal. Demikian pula dengan organisasi, jika organisasi hanya mengandalkan satu
ukuran (indikator) saja, misalnya indicator keuangan saja, dan mengabaikan ukuran
(indikator) lainnya maka organisasi akan mengalami kegagalan. BSC memberikan
kerangka bagi manager untuk melihat kinerja organisasi dari empat perspektif yaitu
perspektif pelanggan, finansial, proses internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.
Kerangka tersebut tidak terbatas untuk organisasi bisnis, akan tetapi organisasi sektor
public dapat menggunakannya dengan penempatan tumpuan (leverage) yang berbeda.
Tumpuan pada organisasi bisnis adalah perspektif finansial, sedangkan tumpuan pada
organisasi publik adalah perspektif pelanggan karena pelayanan publik merupakan
bottom line organisasi (Tabel ).
Tabel 2.7 Perbandingan Kerangka Balanced Scorecard sektor swasta dengan sektor publik
PERSPEKTIF SEKTOR SWASTA SEKTOR PUBLIK
Pelanggan Bagaimana pelanggan melihat kita? Bagaimana masyarakat pengguna pelayanan publik melihat kita?
Keuangan Bagaimana kita melihat pemegang saham?
Bagaimana kita meningkatkan pendapatan dan mengurangi biaya? Bagaimana kita melihat pembayar pajak?
Proses Internal Keunggulan apa yang harus kita miliki? Bagaimana kita membangun keunggulan?
Pertumbuhan dan Pembelajaran
Bagaimana kita harus memperbaiki dan menciptakan nilai?
Bagaimana kita terus melakukan perbaikan dan menambah nilai bagi pelanggan dan stakeholders?
Dalam suatu organisasi terdapat struktur pengendalian manajemen yang salah satu
bentuknya adalah pusat pertanggungjawaban. Pusat pertanggungjawaban dapat
dibedakan atas pusat pelayanan/pendukung (support centre) dan pusat misi. Adanya
konsep pusat pertanggungjawaban memberikan konsekuensi adanya berbagai level
strategi. Organisasi perlu membuat keterkaitan antara strategi organisasi dengan
struktur pusat pertanggungjawaban karena setiap unit organisasi beroperasi dengan
II-56
strategi yang berbeda-beda. Strategi yang berbeda akan berimplikasi pada ukuran
(indikator) kinerja yang berbeda. Jenis tingkatan strategi organisasi pada dasarnya
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Strategi organisasi pusat/induk, terkait dengan tiga hal utama:
a. Strategi pengarahan, misalnya pertumbuhan, stabilitas, atau pilihan keluar dari
bisnis saat ini
b. Strategi portofolio, misalnya strategi untuk masuk ke berbagai industri atau
pasar produk tertentu
c. Strategi induk, misalnya sistem alokasi sumberdaya, koordinasi aktivitas di
antara berbagai unit organisasi
Ukuran (indikator) kinerja untuk mengukur sukses atau tidaknya strategi pusat
adalah ukuran (indikator) kinerja makro. Dalam organisasi sektor publik, ukuran
kinerja makro misalnya tingkat pertumbuhan ekonomi, angka harapan hidup,
tingkat investasi, PDB, tingkat inflasi, serta ukuran (indikator) kinerja lainnya
yang biasanya termasuk dalam ukuran indeks pembangunan manusia (IPM).
2. Strategi unit bisnis atau unit pelayanan
Level strategi yang kedua adalah strategi tingkat unit kerja. Unit kerja ini dapat
berwujud unit bisnis atau unit pelayanan, misalnya departemen atau dinas. Strategi
unit kerja dipengaruhi oleh dua aspek yaitu:
a. Misi unit kerja, misalnya misi departemen pendidikan adalah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa
b. Keunggulan bersaing jika berupa unit bisnis, atau keunggulan pelayanan jika
merupakan unit pelayanan.
Berbeda halnya dengan strategi pusat, ukuran (indikator) kinerja strategi unit
bisnis atau unit pelayanan yang digunakan untuk mengukur kesuksesan adalah
ukuran (indikator) kinerja mikro yang bisa bervariasi antara satu unit dengan unit
lainnya.