bab iv peta sosial masyarakat...

30
33 BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGAN Bagian ini akan memuat beberapa indikator historis yang dianggap penting untuk memahami realitas Pekalongan saat ini. Beberapa indikator historis tersebut antara lain adalah peran bandar dimasa lalu; pertumbuhan infrastruktur wilayah dan pemerintahan; munculnya komunitas Arab dan Tionghoa; perkembangan Islam; dan dinamika politik di awal reformasi. Indikator-indikator historis tersebut merupakan faktor-faktor penting yang sangat berpengaruh dalam perkembangan masyarakat Pekalongan. Pekalongan di Masa Lalu: Geografi Sosial dan Peran Bandar Dalam sejarah sosial Jawa, Pekalongan merupakan salah satu diantara bandar-bandar pelabuhan di pesisir pantai utara Jawa yang menjadi tempat bersinggah kapal-kapal dari jazirah Arab. Mereka berlayar melalui semenanjung Hadramaut di India ke berbagai penjuru Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar di pantai utara Jawa seperti Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Jepara, Rembang, Tuban dan Gresik menjadi tempat singgah untuk mengisi bahan bakar dan perbekalan. Kedatangan para pedangan dari Jazira Arab semakin berkembang sejak dibukanya Terusan Suez. Tak jarang sebagian dari para pedagang itu kemudian menetap dan kawin dengan penduduk pribumi sehingga lambat laun terbentuklah komunitas-komunitas Islam (Van Leur 1983, Berg 1989,).

Upload: trannga

Post on 13-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

33

BAB IV

PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGAN

Bagian ini akan memuat beberapa indikator historis yang dianggap

penting untuk memahami realitas Pekalongan saat ini. Beberapa

indikator historis tersebut antara lain adalah peran bandar dimasa lalu;

pertumbuhan infrastruktur wilayah dan pemerintahan; munculnya

komunitas Arab dan Tionghoa; perkembangan Islam; dan dinamika

politik di awal reformasi. Indikator-indikator historis tersebut

merupakan faktor-faktor penting yang sangat berpengaruh dalam

perkembangan masyarakat Pekalongan.

Pekalongan di Masa Lalu: Geografi Sosial dan Peran Bandar

Dalam sejarah sosial Jawa, Pekalongan merupakan salah satu

diantara bandar-bandar pelabuhan di pesisir pantai utara Jawa yang

menjadi tempat bersinggah kapal-kapal dari jazirah Arab. Mereka

berlayar melalui semenanjung Hadramaut di India ke berbagai penjuru

Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota

bandar di pantai utara Jawa seperti Indramayu, Cirebon, Tegal,

Pekalongan, Semarang, Demak, Jepara, Rembang, Tuban dan Gresik

menjadi tempat singgah untuk mengisi bahan bakar dan perbekalan.

Kedatangan para pedangan dari Jazira Arab semakin berkembang sejak

dibukanya Terusan Suez. Tak jarang sebagian dari para pedagang itu

kemudian menetap dan kawin dengan penduduk pribumi sehingga

lambat laun terbentuklah komunitas-komunitas Islam (Van Leur 1983,

Berg 1989,).

Page 2: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

34

Namun demikian sumber-sumber sejarah lokal1 menceritakan

bahwa sebenarnya selain kapal-kapal dagang dari Jazirah Arab, bandar

Pekalongan juga disinggahi oleh pedagang-pedangang dari Cina.

Bahkan kedatangan kapal-kapal dagang Cina tersebut sudah jauh

sebelum pedagang Arab sampai di daerah ini. Keberadaan sebagai

Bandar tua ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah pelabuhan dan

perkembangan geomorfologi daerah Pekalongan sekitar abad pertama,

dimana garis pantai wilayah Pekalongan kuno meliputi desa-desa di

daerah pegunungan Selatan (Kusnin Aza 2008). Desa-desa tersebut

antara lain adalah Kajen, Petungkriono, Linggo Asri, Doro, Bandar, dan

Wonopringgo yang saat ini merupakan wilayah administrasi

Kabupaten Pekalongan. Sedangkan dataran pantai yang kini menjadi

kota Pekalongan saat itu belum ada dan masih berupa lautan. Pada saat

itu pelabuhan Pekalongan terletak di daerah Doro dan Bandar2 yang

dilaui oleh sungai yang dapat dipergunakan oleh kapal-kapal untuk

berlabuh dan menghindar dari ombak. Kedua daerah tersebut sekarang

telah berada jauh dari lautan.

Menurut Naskah Wai Tai Ta dua daerah ini berada dibawah

kekuasaan raja-raja keturunan Sanjaya dan Syailendra dari kerajaan

Mataram Hindu.3 Kedua daerah ini telah ramai dengan lalulintas

perdagangan, baik dari Cina, India, Melayu, dan Arab yang sengaja

mencari rempah-rempah atau berdagang. Dalam naskah tersebut

dikemukakan juga bahwa pada masa Dinasti Tsung, daerah pelabuhan

di pantai utara jawa ini diberi nama Poe Chua Lung yang dalam laval

masyarakat pribumi menjadi Pekalongan.

Proses sedimentasi yang berlangsung selama beberapa abad telah

membentuk dataran pantai yang pada sekitar abad 14 mulai

1 Dapat ditemukan pada beberapa buku yang ditulis oleh penulis lokal Pekalongan. Diantaranya yaitu: Aka, Emirul Chaq, dkk, “Pekalongan: Inspirasi Indonesia”, Tahun 2008; Dirhamsyah, Moch, “Pekalongan yang (Tak) Terlupakan: Subuah Katolog Warisan Budaya Pekalongan”, Tahun 2004; Oethomo, “Rasa Swarga Gapuraning Bumi: Menelusuri Berdirinya Kota Pekalongan”, Tahun 1985. 2 Aka, Emirul Chaq, dkk, Tahun 2008. 3 Aka, Emirul Chaq, dkk, Tahun 2008.

Page 3: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

35

berkembang menjadi tempat hunian baru dan mendorong

berpindahnya pelabuhan kemuara sungai Kupang4 seperti yang kita

jumpai sekarang ini.

Perkembangan Infrasturktur Wilayah dan Pemerintahan

Dimasa VOC mulai berkuasa, Pekalongan dijadikan pusat

penangkapan Ikan. Sementara itu Pekalongan juga berkembang

menjadi pusat pemukiman dan perdagangan. Oleh pemerintah Belanda

sejak tahun 1850 an pelabuhan Pekalongan semakin dikembangkan

dan pada tahun 1859 diresmikan sebagai pelabuhan import terbatas.

Barang yang diimport utamanya adalah tekstil yang menjadi bahan

utama bagi industri batik. Dengan demikian dapat diduga bahwa pada

masa itu industri batik tradisional yang menggunakan cara-cara

pembatikan tanpa mesin di Pekalongan sudah cukup maju dan meluas.

Kegiatan pembatikan itu dilakukan oleh penduduk sebagai industri

rumahan atau dalam kelompok-kelompok kecil.

Selain melalui jalur laut, pada awal abad 19 jalan darat yang

menghubungkan Pekalongan dengan kota lain di Jawa juga mulai

terbuka. Pada tahun 1808 Daendels, Gubernur Jendaral Hindia Belanda

membangun jalan raya (dikenal juga dengan Jalan Raya Pos) yang

menghubungan kota-kota penting di Jawa dari Anyer sampai

Panarukan melalui pantai Utara Jawa, melintasi kota Pekalongan. Ini

ditunjukkan dengan adanya tonggak penanda jarak (meilpaal) masih

terdapat di kota ini. Sedangkan jalur kereta api mulai terbuka pada

awal abad ke 20. Tepatnya pada tahun 1919 ketika dibukanya Stasiun

Pekalongan yang pada awalnya dimiliki oleh Semarang – Cheribon

Stoomtram Maatschappij (SCS).

Perlu dicatat bahwa menurut cerita dikalangan masyarakat

Tionghoa Bupati Pertama Pekalongan adalah seorang Tionghoa

bernama Tan Kwee Djan tahun 1741 yang diangkat oleh Sultan Agung.

4 Hasil wawancara dengan Moch. Dirhamsyah (wartawan serta pemerhati sejarah yang menulis buku “Pekalongan yang Tak Terlupakan”) pada bulan Juni 2015.

Page 4: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

36

Pada masa sebelumnya Pekalongan tidak memiliki kepala atau

penguasa daerah hingga untuk pengaturan pelabuhan/bandar pada

jaman Dinasti Ming pada abad ke 14 Masehi,Laksamana Chengho yang

tiba di tempat ini mengangkat kepala Bandar. Dalam legenda Bau

Rekso5 diceriterakan bahwa pengangkatan Tan Kwee Djan sebagai

Bupati adalah karena jasanya membatalkan pertapaan Ki Bau Rekso

untuk menghadap Sultan Agung. Apabila cerita ini benar maka dapat

diduga bahwa pada abad 18 Masehi, masyarakat etnis Tionghoa telah

menempati kedudukan dalam bidang pemerintahan di Pekalongan.

Untuk penghargaan terhadap jasa Bupati Pertama ini maka jalan di

dekat alun-alun kota diberi nama Jl. Kwee Djan. Hanya saja perlu di

catat bahwa dari sumber lain mengatakan bahwa bupati pertama adalah

Kyai Adipati Mandurareja (Kusnin Asa, 2008).

Tersedianya infrastrukur diatas memungkinkan Pekalongan sejak

jaman Hindia Belanda menjadi pusat perkembangan ekonomi

dikawasan ini, utamanya dibidang perikanan, perdagangan, industri

tekstil dan batik. Perkembangan ini menempatkan Pekalongan menjadi

daerah otonom yang oleh Pemeritah Hindia Belanda diperbolehkan

mengurus rumah tangganya sendiri. Sehingga pada saat itu (1906-1918)

misalnya dibentuklah Dewan Kota Praja Pekalongan yang anggotanya

terdiri dari delapan orang golongan Belanda, empat orang wakil

golongan pribumi, dan satu orang wakil Gologan Timur Asing. 6

Pada masa Kolonial Belanda, Pekalongan merupakan sebuah

karesidenan dengan wilayah yang meliputi Kabupaten Pekalongan,

5 Dalam versi cerita yang lain tentang legenda Bau Rekso, diceritakan bahwa di kerajaan Mataram ada patih yang sangat sakti bernama Patih Bau Rekso, tetapi raja tidak menyukainya. Supaya tersingkir tetapi dengan cara yang tersamar, ditugaskan patih itu untuk membuka Alas Roban yang dikenal dengan adanya banyak demit dan mahluk-mahluk penunggunya. Patih Bau Rekso melihat situasi Alas Roban ini kemudian bertapa dengan cara seperti Kalong. Usaha ini berhasil, tetapi Mataram tidak senang dengan itu lalu diadakan syembara siapa yang bisa mengalahkan Bau Rekso dijanjikan akan diangkat menjadi bupati diwilayah baru ini. Ada seroang Patih keturunan Tionghoa bernama Tan Kwie Djan yang berhasil mengalahkan Bau Rekso, sehingga kemudian diangkat menjadi Bupati Pertama Pekalongan dengan gelas Jayadiningrat. 6 Dirhamsyah, 2004; 161

Page 5: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

37

Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes.7 Namun

pada perkembangannya kemudian Kabupaten Pemalang, Kabupaten

Tegal, dan Kabupaten Brebes menjadi Karesidenan tersendiri dengan

Tegal sebagai ibukotanya. (Anton Lucas 1989 hal 9). Dalam statistic

tahun 1820 Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang di pecah

menjadi 15 devisi dan 14 distrik. Namun menjelang culturstasel devisi-

devisi tersebut dihapuskan, sedangkan jumlah distrik diserderhanakan

menjadi 12 distrik.

Berdasarkan Undang-undang no 16 tahun 1950 yang diubah

menjadi undang-undang no 13 tahun 1954, Pekalongan memperoleh

status menjadi Kota Besar sehingga lebih berpeluang untuk

berkembang secara luas. Di bidang tata pemerintahan dengan

keluarnya Undang-undang no 1 tahun 1957 tentang pokok

pemerintahan di Daerah, Kota Pekalongan di pimpin oleh seorang

Walikota yang bernama M. Soehartono Slamet Poespopranata dimana

peran walikota adalah sebagai pejabat pemerintah pusat dan sekaligus

sebagai kepala daerah.

Dewasa ini Kota Pekalongan memiliki luas wilayah 45.25 km2

terdiri dari 4 kecamatan dan 27 Kelurahan8, dengan batas wilayah:

disebelah Utara merupakan Laut Jawa, di sebelah Timur berbatasan

dengan Kabupaten Batang, di sebelah Selatan berbatasan dengan

Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang, dan di sebelah Barat

berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan. Kota Pekalongan memiliki

jumlah penduduk sebanyak 296.533 jiwa yang berarti kepadatan

penduduknya mencapai 6,554 per km2.

7 Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif pemerintahan yang dipakai sejak jaman Hindia Belanda hingga tahun 1950-an. Sebuah karesidenan (regentschappen) terdiri atas beberapa afdeeling (Kabupaten). Semenjak tahun 1950-an, struktur admintstrasi pemerintahan yang dinamai karesidenan tidak dipakai lagi.Karesidenan kemudian dikenal dengan istilah "Pembantu Gubernur" (istilah ini pun sekarang tidak digunakan lagi). Namun, sebutan "eks-karesidenan" masih dipakai secara informal. 8 27 Kelurahan merupakan hasil penggabungan kelurahan yang semula 47 Kelurahan dilakukan pada akhir masa jabatan Walikota dr. H. Muhammad Basyir tahun 2015.

Page 6: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

38

Sumber Pekalongan dalam Angka 2014, BPS Pekalongan

Gambar 4.1. Peta Pekalongan Tahun 2014

Pengamatan selama penelitian terhadap wilayah Kota

Pekalongan dan wilayah Kabupaten Pekalongan memberi kesan

bersatunya dua wilayah. Sebab berbagai jenis kegiatan ekonomi, sosial,

budaya dan bahkan politik berbaur sedemikian rupa, sehingga tidak

mudah untuk dipisahkan berdasarkan katagori wilayah adminisatratif.

Di bagian barat, misalnya, antara Kota Pekalongan dan Wiradesa

(kabupaten Pekalongan) dapat dikatakan secara fisik sudah menyatu,

dengan jenis kegiatan perdagangan, jasa dan industri kecil yang

berkembang. Di bagian Selatan, beberapa ibukota kecamatan

Kabupaten Pekalongan (Kecamatan Buaran, Kecamatan Kedungwuni)

juga sudah “menyatu” dengan Kota Pekalongan. Tidak berlebih jika ada

yang mengatakan dalam kegiatan sosial ekonomi wilayah Kabupaten

Pekalongan adalah hinterland dari Kota Pekalongan9.

9 Lihat Ir. MM. Sumarni, M.M., “Orientasi Ruang Kota Pekalongan: Kecenderungan Perkembangan Ruang Kota Pekalongan”, dalam Emirul Chaq Aka (eds), “Pekalongan

Page 7: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

39

Perkembangan terakhir, misalnya, di awal masa pemisahan

karisidenan Pekalongan menjadi tujuh kota/kabupaten10 di era pasca

kemerdekaan sekitar tahun 1950 an hingga tahun 2004. Pusat

pemerintahan Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan tetap

menjadi satu di Kota Pekalongan. Aset daerah Kabupaten Pekalongan

pun masih menjadi satu di Kota Pekalongan, seperti kantor

pemerintahan, kantor dinas atau instansi, kantor DPRD, rumah sakit,

gedung pertemuan, alun-alun, dll masih menjadi satu ditempat milik

kabupaten yang berada di Kota Pekalongan. Baru tahun 2001 rencana

pemindahan aset kabupaten ke wilayah Kajen mulai di rintis.

Pembangunan kompleks pemerintahan baik Kota maupun Kabupaten

mulai dilaksankan tahun ini. Di tahun 2004 pemindahan pemerintahan

baru terlaksana.

Pecinan dan Kampung Arab: dua komunitas esklusif di

Pekalongan

Peran penting sungai sebagai sarana transportasi dimasa lalu

menyebabkan munculnya pemukiman-pemukinmman dekat sungai

dari para pedagang yang datang dari tempat yang jauh. Kecenderungan

untuk tinggal bersama dari kelompok migran seasal menjadi latar

belakang terbentuknya perkampungan etnis yang ada sakarang ini dan

menjadi basis perkembangan landscape Pekalongan. Para pendatang

dari Cina banyak yang kemudian tinggal dan mendiami kampung

Sampangan yang berada di tepi muara Sungai Kupang. Begitu juga

pendatang dari Arab/Hedramawut yang datang sekitar abad ke 18 juga

tinggal dan mendiami wilayah disebelah timurnya. Mereka tinggal dan

membangun pusat perdagangan dan budaya disitu hingga terbentuklah

Kampung Cina yang dikenal dengan sebutan “Pecinan”, dan juga

Inspirasi Indonesia”, Pemda Kota Pekalongan, The Pekalongan Institute, Kirana Pustaka Indonesia, Pekalongan 2008. 10 Karisidenan Pekalongan meliputi: Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Batang.

Page 8: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

40

Kampung Arab yang secara fisik bisa dikenali secara mudah hingga saat

ini dan seakan-akan secara simbolis merepresentasikan kehadiran dua

komunitas pendatang yang memiliki peran dan kedudukan penting

dalam perkembangan ekonomi kota pekalongan.

Komunitas Pecinan, di Pekalongan

Memasuki kampung Pecinan di Sampangan (Jln Blimbing) atau

disekitar pasar Banjarsari yang terletak tidak jauh dari tepian sungai

Kupang,11 kita akan dikesankan oleh bau hio, toko2 cina, klenteng, dan

dibelakang toko-toko terdapat rumah hunian dengan bangunan khas

Cina. Warung dan restoran yang menjual daging babi serta masakan

cina dengan mudah dapat kita temukan disini. Sekalipun Pekalongan

dikenal sebagai kota batik, namun kita tidak menjumpai toko-toko

batik di kampung ini.

Kedatangan para migran Tionghoa ke Pekalongan sesungguhnya

tidak hanya terjadi melalui Bandar; perdagangan yang singgah dan

kemudian menetap. Secara berangsur-angsur banyak pula para

pendatang dari daratan Cina itu datang secara berantai tidak langsung

datang ketempat tujuan (transito) yaitu melalui jalur memanfaatkan

hubungan keluarga dan kenalan. Banyak dari mereka meninggalkan

tanah leluhur dan merantau mencari tempat yang baru karena faktor

keamanan, bencana alam serta adanya keinginan untuk mencari

sumber penghidupan baru. Untuk sampai ke suatu tempat di Indonesia

yang kemudian menjadi tempat mereka menetap umumnya melalui

mata rantai migrasi yang panjang. Mata rantai itu berupa relasi-relasi

keluarga dan teman yang datang dan menetap sebelumnya untuk

menjadi tempat menumpang dan mendapatkan berbagai pertolongan

11 Menurut ceritera penduduk pada masa lalu saat sungai masih menjadi jalur utama untuk transportasi, maka tedapat bayak bangunan dengan pintu-pintu menghadap ke sungai Kupang.

Page 9: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

41

bagi para migran yang baru seperti yang diceritakan oleh Heru

Wijayanto12.

... kakek Heru datang ke Indonesia dibawa oleh orang tuanya di tahun 1917 saat kakeknya itu masih berumur 3 tahun. Konon mereka meninggalkan daratan Cina karena situasi di daerah asal mereka banyak terjadi peperangan dan perampokan. Mereka melalui jalur laut untuk tiba di Batavia. Mereka datang ke Indonesia tanpa membawa modal sehingga saat tiba di Indonesia mereka di tampung oleh para pendatang dari Cina yang sudah lebih dulu datang dan menetap di Batavia sebelumnya. Ikatan kesetiakawanan sangat kuat diantara perantauan sehingga orang Tionghoa yang telah maju13 dalam usaha akan membantu mereka yang masih berusaha dan lemah, apa lagi bila masih ada ikatan keluarga atau asal daerah. Dari Batavia mereka pindah ke Yogya menumpang di rumah kakaknya yang telah punya usaha barang klontong di sana. Setelah mampu sang kakek membuka usaha kelontong sendiri di Wonasari, Gunung Kidul, Disanalah eyang pak Heru lahir pada tahun 1941. Setelah dewasa ayah pak Heru bekerja di perusahaan teh Bandulan di Pekalongan dan menjadi menantu dari pengusaha Teh Bandulan tersebut. Perusahaan teh Bandulan, kini dipegang oleh adik pak Heru , sedangkan pak Heru mengelola perkebunan bunga melati guna disetor kepabrik teh. Pak Heru dan keluarganya kini tinggal di daerah Pecinan.

Kampung Pecinan di daerah Sampang tersebut tidak hanya

menjadi tempat tinggal dan mengembangkan ekonomi namun juga

mengembangkan kebudayaan, tradisi dan agama mereka. Mereka

membangun klenteng di tengah perkampungan sebagai tempat

peribadatan, berkumpul dan bersembahyang berdasar kepercayaam

Tao, Budha dan Konghucu. Klenteng ini diberi nama Po An Thian yang

artinya Istana Keselamatan. Tidak diketahui secara pasti kapan

klenteng tersebut didirikannya, hanya saja diketahui bahwa pemugaran

telah dilakukan pada tahun 1885. Tradisi-tradisi Implek, Cap Go Meh,

Pek Chun, dll masih mereka selenggarakan di klenteng hingga

sekarang.

12 Wawancara dengan Heru Wijayanto (Ketua Pengurus Tempat Ibadah Tridarma Yayasan Klenteng Po An Thian Pekalongan) pada bulan Juni 2015. 13 Digambarkan oleh Heru bahwa pada masa itu tidak ada orang Tionghoa yang kaya.

Page 10: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

42

Keterlibatan jaringan Islam tradisional dalam

ritual Pek Chun

Di era orde baru, posisi etnis Tionghoa menjadi sulit ketika pada

tahun 1967 muncul Impres 14 tahun 1967 tentang Adat Istiadat dan

Kepercayaan Cina. Impres

14/67 ini walaupun tidak secara

eksplisit melarang orang

Tionghoa memeluk agama

leluhurnya namun dalam

praktek berdampak pada

pelarangan semua agama yang

berasal dari Cina14. Pelarangan

ini disebabkan karena pada

tahun 1967, gerakan anti

komunis menguat. Pengaruh yang kuat dirasakan masyarakat etnis

Tionghoa dalam pelaksanaan ibadah di Klenteng, mengembangkan

sekolah Tionghoa, menggunakan bahasa Cina, menggunakan nama

Cina, adanya kesulitan untuk menikah, tidak bisa menjadi PNS atau

Polisi atau tentara, dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. Beberapa

sekolahan Tionghoa dalam berbagai tingkat SD, SMP, dan SMA di

tutup dan diambil alih pengelolaannya menjadi sekolah Negeri.

Di era Presiden Soeharto, dengan tidak diakuinya klenteng sebagai

agama membawa kesulitan bagi mereka untuk mengurus KTP

utamanya karena adanya keharusan mengisi kolom agama. Untuk

mengatasi ini sekitar tahun 1968 masyarakat etnis keturunan Tionghoa

yang kebanyakan beragama Konghucu membentuk Majelis Agama

Konghucu Indonesia (MAKIN) ditingkat daerah dan ditingkat Pusat

membentuk Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN).

14 Dalam Impres 14 tahun 1967 tentang Adat Istiadat dan Kepercayaan Cina, ada beberapa hal pokok yang diatur diantaranya yaitu: PERTAMA, Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata-cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan; KEDUA, Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga; KETIGA, Penentuan katagori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina diatur oleh menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung (PAKEM).

Page 11: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

43

Pembentukan Makin dan Matakin ini dimaksudkan agar ada

pengakuan dari pemerintah. Tetapi ternyata pemerintah tidak

mensahkan Konghucu menjadi sebuah agama bahkan kemudian di

bubarkan oleh pemerintahan Orde Baru.

Komunitas Klenteng kemudian mendirikan Tridarma pada tahun

1969 untuk menaungi tiga ajaran/keyakinan yang ada di Klenteng yaitu

Tao, Budha dan Konghucu. Tridarma berdiri secara serentak dibanyak

klenteng di Indonesia yang kemudian terciptalah PITD (Perhimpunan

Tempat Ibadah Tridarma). Dan sebagai usaha lanjutan agar dapat

memperoleh pengakuan dari pemerintah orde baru dan

menyelamatkan Klenteng dari penutupan/pelarangan pemerintah,

PITD kemudian masuk menjadi aliran dalam Agama Budha yang telah

diakui oleh Pemerintah. Masyarakat Klentengpun kemudian

mencantumkan agama Budha dalam KTP mereka. Lebih lanjut agar

keberadaan Klenteng bisa dipertahankan maka Perhimpunan Tempat

Ibadah Tridarma (PTITD) pun menginduk pada Walubi (Perhimpunan

Umat Budha Indonesia) yang telah diakui oleh pemerintah sebagai

agama resmi.

Berbagai kesulitan diatas dan adanya kebutuhan akan

perlindungan politik maka banyak warga Tionghoa berpindah agama

menjadi Kristen, Perpindahan agama ini berakibat lanjut pada

berkurangnya secara signifikan jumlah warga Tionghoa yang masih

beribadah di Klenteng. Pada tahun 2015 jumlah warga Tionghoa yang

masih beribadah di Kelenteng itu tinggal 10% saja bahkan kurang dari

itu.15 Dilain pihak usaha untuk menyelamatkan keberadaan Klenteng

sebagai tempat ibadah ternyata tidak terbebas dari konflik perpecahan

internal terutama berkenaan dengan perebutan kepemilikan asset.16

Perpecahan itu muncul dipermukaan dalam berbagai wujud seperti

umat Tridarma tidak ada yang hadir dalam perayaan Pehcun

(konghucu). Begitu juga ketika ada perayaan yang diselenggarakan oleh

15 Wawancara dengan Herman Mulyanto selaku Pengurus Makin (Majelis Konghucu Indonesia) pada bulan Juni 2015. 16 Wawancara dengan Kyai Marzuki pada bulan Juni 2015.

Page 12: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

44

Tridarma, seperti ketika peringatan hari renovasi Klenteng yang ke 130

tahun. Umat Konghucu dan Tao tidak datang, hanya pandita Konghucu

beserta anak dan Istri yang datang untuk bersembahyang dan tidak ikut

dalam rangkaian acara yang disusun oleh Tridharma.

Komunitas Kampung Arab, di Pekalongan

Kampung Arab terletak disebelah Timur Pecinan, berada dalam

wilayah administrasi tiga kelurahan di Kecamatan Pekalongan Timur,

yaitu Klego, Krapyak, dan Sugih Waras. Dari tiga kelurahan ini,

keberadaan komunitas keturanan Arab terbesar ada di Kelurahan Sugih

Waras, dan walau mayoritas di kelurahan ini adalah orang Arab,

namun mereka juga tinggal berdampingan dengan masyarakat pribumi.

Perlu di catat bahwa Keturunan Arab memiliki kecenderungan tinggal

di Kampung Arab. Hanya segelintir keturunan Arab yang tinggal di

luar tiga kelurahan ini atau kecamatan Pekalongan Timur.

Memasuki kampung Arab suasana Islami sangat terasa kuat. Masjid

Jami, salah satu masjid tua di Pekalongan terletak disini. Toko-toko

Arab yang menjual tekstil, menjual baju-baju muslimin, parfum kas

Timur Tengah, souvenir haji dengan mudah kita jumpai di kampung

Arab ini. Demikian juga restoran yang menjual nasi kebuli, kebab, sate

kambing dan berbagai masakan khas timur tengah ada disini.

Dikampung ini juga terdapat bangunan fisik dari lembaga-lembaga,

sekolah-sekolahan, dan rumah sakit Islam milik Al-Irsyad yang

sebagian besar pengelolanya adalah orang-orang keturunan Arab.

Menambah suasana islami, dikampung arab ini juga terdapat pondok

pesantren Al-Hadi yang di kelola oleh orang-orang Arab dan

merupakan salah satu dari lima poros utama perkembangan Syiah di

Indonesia.

Ulama Arab yang ada di Indonesia ada dua golongan. Golongan

pertama yaitu Habaib (kata majemuk dari Habib) atau Shyaid yang

merupakan keturunan dari Nabi. Habaib di Pekalongan mayoritas

Page 13: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

45

adalah keturuan dari Syaid Ali Kumaidi, dan pada umumnya mereka

ini keturuan ke 36 sampai ke 42 dari Nabi.17

Dari golongan Habaib juga terbagi dalam dua kelompok yang

memiliki paham ke Islaman yang berbeda. Kelompok yang pertama

adalah habaib yang menganut paham Suni, dan kelompok yang kedua

adalah habaib yang menganut pemahaman Syiah. Kedua kelompok ini

sebenarnya memiliki budaya yang sama seperti budaya Haul, Ziarah

Kubur, Tahlilan,dll. Perbedaan yang paling utama terkait dengan

pengakuan terhadap kalifahnya. Kalau Suni atau yang di Indonesia

kelompok terbesanya adalah Nahdlatul Ulama, ada empat kalifah yang

diakui yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Sedangkan ke kalifahan

Syiah hanya mengakui Ali.

Dengan adanya persamaan dan perbedaan antara Suni dan Syiah,

di Pekalongan antara tokoh agamanya ada yang bisa berrelasi dengan

baik, tetapi ada yang menutup diri. Sedangkan relasi antara Syiah

dengan kelompok Al-Irzad tidak mungkin terjadi, karena kelompok

Syiah dipandang sebagai aliran sesat.

Perlu dikemukakan bahwa keturanan Arab di Pekalongan tidak

hanya dari golongan shyaid atau habaib, namun juga banyak yang

merupakan keturunan non habaib. Kebanyakan dari mereka yang

bukan habaib ini berafiliasi pada Al-Irsyad, yang merupakan gerakan

pembaharuan Islam dimana kelompok ini tidak senangan terhadap

tradisi mengagungkan keturunan Nabi yang dijaga kuat oleh golongan

Habaib.

Perkembangan Islam di Pekalongan

Seperti halnya di kebanyakan kantong-kantong Islam di pesisir

Utara pulau Jawa, Islam yang berkembang di Pekalongan adalah Islam

tradsional. Islam pada awalnya masuk ke Pekalongan dibawa oleh para

17 Wawancara dengan Habib Ridho pada bulan Mei 2015.

Page 14: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

46

Makam Habib Ahmad Bin Abdullah Bin

Tholib Al Athas di Sapuro Pekalongan

pedagang dari Jazirah Arab yang melewati India, mereka singgah.

kawin dan menetap di Pekalongan.

Proses masuknya Islam yang

dibawa oleh kaum awam, dan

bukan oleh guru dakwah atau

ahli agama semcam itu,

menjadikan Islam yang

berkembang cenderung

bersifat lentur, adaptif dan

akomodatif, bercampur

dengan tradisi Hindu, atau pun

tradisi lokal yang hidup

dikalangan masyarakat setempat. Dengan perkataan lain proses

Islamisasi Jawa di Pekalongan melalui praktek keseharian secara alami

terjadi bersamaan dengan Jawanisasi Islam, Islam yang di Jawakan.

(Pradjarta Dirdjosanjoto hal 24) Dalam buku Dhofier tentang Tradisi

Pesantren, Pekalongan tidak memiliki pesantren besar yang masuk

kedalam jaringan pesantren-pesantren besar di Jawa. Di Jawa jaringan

pesantren besar itu meliputi: Pesantren Tambakberas, Pesantren

Gedang, Pesantren Keras, Pesantren Sewulan, Pesantren Tebuireng,

Pesantren Denanyar, Pesantren Peterongan, Pesantren

Maskumambang, Pesantren Seblak, Pesantren Cukir, Pesantren

Lirboyo, Pesantren Paculgowang, Pesantren Singosari, dan Pesantren

Tremas.

Menurut data yang dihimpun oleh Dhofier dari Van der Chys,

“Bijdragen tot de Geschiedenis van het Inlandsch Onderwijs in

Nerderlandsch- Indie, in Tijdschrischrift voor Indische Taal”, tahun

1864, tidak tercatat adanya lembaga pendidikan Islam tradisional

(pesantren) di Pekalongan. Menurut data tersebut, kota-kota di Jawa

Tengah, yang memiliki lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional

Page 15: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

47

adalah Cirebon, Semarang, Kendal, Demak, Grobogan, Kedu, dan

Jepara. 18

Perlu di catat bahwa NU sebagai sebagai wadah organisasi

keagamaan Islam tradisional terbesar di Inosesia telah menancapkan

kakinya di Pekalongan sejak masa-masa awal kelahiran organisasi tsb.

Bahkan menurut cerita lokal yang berkembang dikalangan para warga

NU di Pekalongan bahwa terdapat keterlibatan tokoh-tokoh lokal

Pekalongan didalam proses kelahiran NU. Menurut ceritanya19 KH

Hasyim Al Asy'ari, tokoh pendiri NU, sebelum pembentukan NU Kyai

Hasyim mendapat petunjuk untuk melakukan silahturami pada Habib

Hasyim20 yang tinggal di Pekalongan dan meminta masukan untuk

pembentukan NU ini. Oleh karena itu lah dalam cerita lokal

selanjutnya ada cerita bahwa konon paska silahturami tersebut,

Muktamar NU pertama dilakukan di Pekalongan. 21 Namun menurut

jurnal Risalah Edisi 55/ Tahun 2015 yang di terbitkan oleh PBNU

(Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Muktamar NU pertama pada

tanggal 21 Oktober 1926 diselenggarakan di Kota Surabaya. Muktamar

NU di Pekalongan terjadi pada tahun 1930 atau pada Muktamar NU ke

V.

Di Pekalongan kelompok Aliran Rifa‟iyah merupakan kelompok

yang cukup besar dan merupakan pusat dari penyebaran ajaran

keberbagai daerah lainnya. Rifa‟iyah merupakan kelompok Islam yang

mengikuti ajaran dari Kyai Ahmad Rifa‟i22. Aliran Rifa‟iyah ini

18 Lihat Dhofier, 1982, hal 35. 19 Wawancara dengan Mas Fauzin, Kyai Zakaria dan Kyai Marzuqi, di bulan November 2015. 20 Habib Hasyim adalah kakek dari Habib Luthfi bin Yahya salah seorang tokoh NU Jawa Tengah yang tinggal dan berasal dari Pekalongan. 21 Dalam versi yang lain Muktamar NU pertama berlangsung di Surabaya. 22 Dalam wawancara dengan Agus Syaefudin, Ketua Harian DPD (Dewan Pengurus Daerah) Kota Pekalongan didapat informasi tentang Kyai Ahmad Rifa‟i. Kyai Ahmad Rifa‟i merupakan seorang ulama di abad ke 19. Beliau berasal dari Kaliwungu Kabupaten Kendal. Setelah pulang dari menimba ilmu agama Islam di Mekah bersama Kyai Kholil Bangkalan (guru dari KH. Hasyim Asy'ari pendiri NU dan Ahmad Dahlan pendiri Muhamadiyah) dan Kyai Nawawi dari Batang, Kyai Ahmad Rifa‟i mengajarkan kepada umatnya dengan cara yang berbeda untuk memudahkan pemahaman orang

Page 16: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

48

mengacu pada kitab Tarojumah23 yang ditulis oleh Kyai Rifa‟i dalam

bahasa jawa. Saat ini Aliran Rifa‟iyah memiliki tempat pendidikan

tradisional yang berupa pesantren maupun moderen seperti Paud, TK

Rifa‟iyah, MI Rifa‟iyah, Mts Rifa‟iyah, Aliyah Rifa‟iyah, dan SMA

Rifa‟iyah. Pesantren Rifa‟iyah sebagian besar ada di Kabupaten

Pekalongan, khususnya di daerah Kedungwuni, Paesan dan Kesesi.

Khusus di daerah Kedungwuni, terdapat Pesantren Anirsad yang

menjadi pusat awal penyebaran Rifa‟iyah di Pekalongan. Sedangkan

kantong terbesar kelompok ini ada di Paesan24.

Dalam perjalanan waktu berbagai aliran dan organisasi keagamaan

Islam modern juga berkembang di Pekalongan. Organisasi Serikat

Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi SI sudah ada di

Pekalongan yaitu sejak tahun 1913 atau satu tahun setelah SDI berdiri

di Solo oleh Haji Samanhudi. Di bawah kepemimpinan HOS

jawa. Cara yang digunakan adalah dengan penyampaian dengan bahasa jawa tetapi secara fiqih, Touhid dan Sufinya. Pengikut ajaran dari Kyai Ahmad Rifa‟i kemudian disebut Aliran Rifa‟iyah. Perbedaan cara penyampaian dapat dilihat dari contoh seperti Kyai Rifa‟i menyampaikan bahwa rukun Islam ada satu, sedangkan kalau NU ada lima. Satu rukun Islam ini adalah mengucapkan dua kalimat shahadat yang berbunyi „Ashadualailahaillallah Waashadu anna Muhammadarrosulullah‟. Dengan mengucapkan dua kalimat shahadat tersebut dan disaksikan oleh dua orang ahli yang bersikap adil maka seseorang sudah tunduk pada hukum Islam. Lalu orang yang telah tunduk pada hukum Islam atau menjadi Muslim, wajib melaksanakan 4 kewajiban yaitu menjalankan Sholat, Zakat, Puasa di bulan Rahmadan, dan berangkat Haji bila mampu. Jadi menurut pengikut Kyai Rifa‟i, rukunnya ada satu tetapi kewajiban yang mengikuti ada empat. 23 Kitab Tarojumah merupakan hasil tulisan dari Kyai Rifa‟i. Kitab ini berbahasa jawa kromo, tetapi kitab yang beredar di luar jawa (Menado khususnya) menggunakan bahasa Melayu. Penggunaan bahasa Melayu terjadi ketika Kyai Rifa‟i diasingkan di Menado. Kitabnya sama Cuma berbeda bahasa. Kitab Tarojumah ini berisi nadhom (syair-syair) disusun dengan referensi dari Al‟quran, Hadis, dan kitab-kitab fiqih dari para ulama salaf. Kitab ini menjelaskan 3 perkara yaitu usuludin (keimanan), fiqih (ibadah) dan tasawuf (metode). Dalam fiqih terdiri dari dua, yaitu fiqih muamalah (dengan sesama manusia) dan fiqih ibadah (dengan Tuhan). Kitab ini tidak di jual bebas, karena untuk mempelajari kitab ini perlu pendampingan dari seorang guru. Aliran Rifa‟iyah meyakini bahwa jika mempelajari kitab ini tanpa pendampingan seorang guru, walau berbahasa jawa apa yang di pelajari tidak muthasil (tidak utuh/menyatu antara teks dan makna). Menurut Mas Agus, dalam kitab yang berbahasa jawa ini banyak kata-kata yang mengandung makna-makna yang khusus. 24 Wawancara dengan Agus pada bulan Juni 2015.

Page 17: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

49

Tjokroaminoto, SDI berkembang di Pekalongan sebagai sebuah gerakan

pembaharuhan Islam yang memilih bidang politik sebagai basis

kegiatannya. Pada tahun 1927 SI menyelenggarakan Konggres Al-

Islam ke-8 di Pekalongan. Dalam konggres tersebut Muhammadiayah

dan NU secara bersama-sama menolak terjemahan Al-Quran yang di

lakukan HOS Tjokoaminto.

Sementara Al-Irsyad berkembang di Pekalongan sejak tahun 1917.

Berkembangnya Al-Irsyad di Pekalongan dilakukan kebanyakan oleh

orang arab dari golongan non Shyaid25. Berkembang setelah pada

kisaran tahun 1913 di Jakarta sekelompok orang Arab keluar dari

Jamiat Kheir dan mendirikan Al-Irsyad. Al-Irsyad yang pada tahun

awalnya berkembang hanya di Jakarta dengan dibukanya sekolah guru

serta sekolah-sekolah dasar, menengah dan atas. Kemudian mulai

berkembang ke daerah yang banyak terdapat orang-orang Arab seperti

Cirebon, Bumiayu, Tegal, Pekalongan, Surabaya, dan Lawang.

Perkembangan Al-Irsyad di Pekalongan tidak lepas dari upaya tokoh

pendiri Al-Irsyad yaitu Syaikh Ahmad Soorkatti yang pernah menetap

beberapa tahun di Pekalongan sebelum kembali ke Jakarta hingga akhir

hayatnya. Sejarawan Deliar Noer menyatakan bahwa Syaikh Ahmad

Surkati memainkan peran penting sebagai mufti di Indonesia. Begitu

pula sejarawan Belanda G.F. Pijper menyebut Ahmad Sukarti sebagai

seorang pembaharu Islam di Indonesia. Pijper juga menyebut Al-Irsyad

sebagai gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan

reformasi di Mesir. Pada masa ini Lembaga pendidikan Al-Irsyad

memberi warna pada cara pendidikan moderen dan memberikan warna

fundamentalis menurut beberapa ahli sejarah lainnya.

Muhamadiyah yang merupakan kelompok puritan dan modern

mulai berkembang di Pekalongan sejak tahun 1923.26 Gerakan yang

disemangati oleh pembaharuan dan pemurnian Islam ini di Pekalongan

banyak bergerak di bidang pendidikan/persekolahan, panti asuhan dan

25 Wawancara dengan Habib Rido pada bulan Mei 2015. 26 Secara resmi pengurus pertama Muhamadiyah Cabang Pekalongan diketuai oleh Sutan Mansyur dan disyahkan tanggal 1 Juli 1928.

Page 18: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

50

rumah sakit. Di Pekalongan gerakan Muhamadiyah berkembang

terutama di daerah Pekajangan yang merupakan salah satu pusat

Industri tekstil di pekalongan.

Semantara itu aliran Syi‟ah mulai berkembang di Pekalongan pada

sekitar tahun 1989 setelah Ustadz Ahmad Baraghbah mendirikan

pesantren Al Hadi di kampung Arab. Di Pekalongan, perkembangan

komunitas Syi‟ah di Pekalongan kurang menggembirakan bahkan

mendapat penolakan dan tekanan. Pada tahun 1999 pada saat pesantren

Al Hadi mengembangkan sayapnya dengan mendirikan pondok

pesantren di desa Brokoh, Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten

Batang. Pesantren baru ini dibubarkan secara paksa oleh gerakan massa

karena dituduh menyebarkan ajaran yang tidak lazim dan bertentang

dengan ajaran Islam.

Di era reformasi, organisasi-organisasi Islam baru juga mulai

berkembang di Pekalongan. Seperti Organisasi FPI (Fron Pembela

Islam) yang mulai berdiri pada tahun 2000. Organisasi ini mendapat

dukungan oleh 17 elemen organisasi masyarakat dan partai politik27.

Salah satu tokoh yang mengemuka di Pekalongan adalah Said Sungkar.

Said Sungkar merupakan salah satu tokoh penting yang menjabat

sebagai ketua Dewan Syuro FPI Pekalongan. Dia juga merupakan salah

satu orang penting dalam gerakan Islam di Indonesia. Dia diduga

memiliki kedekatan dengan jaringan Jamaah Islamiyah Indonesia dan

memiliki keterkaitan dengan kasus kerusuhan Temanggung, meski

tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas perannya itu.

Wong Kaji dan Pronggok: pertumbuhan kelas menengah

Islam di Pekalongan

Selain kota santri, Pekalongan dikenal dengan kota batik. Kalau

kita berkunjung ke Pekalongan suasana yang menunjukkan hal

tersebut mulai tampak ketika memasuki kota Pekalongan. Jika dari

27 Studi Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, 2012, halaman 59-63

Page 19: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

51

Industri batik tradisional rumahan

arah Semarang kita akan menemukan baliho-baliho berukuran besar

mengiklankan produk batik. Selain itu kita mendapati pasar atau toko-

toko grosir batik. Bila dari arah Jakarta di kanan jalan setelah pasar

Wiradesa kita dapat jumpai

pasar batik yaitu IBS

(Internasional Batik Center).

Jalan-jalan didalam kota pun

sering dipadati banyak

pengendara motor atau becak

yang lalu lalang membawa mori

atau kain batik yang telah jadi

untuk dibawa ke pasar. Jika

lebih masuk kedalam kampung-

kampung akan kita temukan pemandangan yang khas kampong batik:

rumah-rumah pengrajin batik, yang sedang melakuan kegiatan

membatik tulis dan cap, maupun yang menjahit bahan batik menjadi

pakaian siap pakai. Di lingkungan rumah-rumah akan nampak orang

yang lalu lalang melakukan aktivitas perbatikan seperti menstempel

kain, menyelup kain untuk memberi warna, mencuci, dan menjemur.

Didekat rumah-rumah ini akan tampak tiang-tiang bambu tempat

menjemur kain yang telah selesai diberi warna dan di cuci.

Kegiatan perdagangan dan industri batik tradisional telah

berlangsung cukup lama di Pekalongan.28 Industri batik tradisional

tersebut merupakan industri rumah tangga yang tersebar di kampung-

kampung. Bahan bakunya terutama kain mori dan gundo rukem di

diimport. Itu sebabnya sebagaimana telah disinggung terdahulu pada

tahun 1850 an pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan

Pekalongan sebagai pelabuhan import tebatas. Apabila para pengrajin

batik tradisional kebanyakan adalah penduduk pribumi Jawa, maka

para pemasok bahan baku dan juga pemasaran berada di tangan para

pedagang Cina dan Arab.

28 Beberapa penulis memperkirakan industry batik sudah ada sejak awal abad XVI; M. Dirhamsyah, 2014

Page 20: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

52

Batik tradisional, merupakan batik yang dihasilkan melalui proses

manual tanpa mesin Batik jenis tulis dihasilkan melalui kerajinan

tangan dengan menggambar ornament-ornament yang dikehendaki

dengan dengan lilin memakai canting pada selembar kain mori. Baru

sesudahnya proses memberi warna dilakukan. Itu sebabnya satu lembar

kain membutuhkan waktu pengerjaan 4-6 bulan.

Perkembangan batik tradisional ini semakin meningkat di sekitar

tahun 1940, dengan dipakainya teknik cap. Tehnik membatik ini

menggunakan alat sederhana untuk menempelkan ornamen-ornamen

pada kain. Pengerjaan dengan tehnik ini lebih cepat dari pada cara

membatik dengan canting karena ornamen sudah siap. Sehingga

dengan teknik cap kain batik yang dapat dihasilkan sekitar 100 potong

perminggu29.

Usaha industri rumah tangga batik tradisional ini dikelola dengan

managemen “satu dompet” yang artinya tidak ada pemisahan keuangan

antara usaha dan pengeluaran rumah tangga (Amalinda Savirani, 2008).

Dalam situasi itu industri tradisional yang berbasis rumah tangga ini

cenderung untuk tetap menjadi industri kecil-kecil. Studi Lance Castle

tentang pengusaha muslim pribumi dilingkungan industry rokok di

Kudus menemukan adanya kecenderungan dari pengusaha mulsim

untuk memecah perusahaannya untuk dibagikan kepada anak-anaknya

dengan akibat mengecilnya secara terus manerus daya perusahaan

pribumi muslim.30

Dalam penelitan di Pekalongan diperoleh informasi bahwa strategi

untuk memecah perusahaan itu sebenarnya juga dilakukan dengan

maksud justru menjaga agar perusahaannya tetap kecil (namun banyak)

untuk menghindari ketentuan hukum yang rumit, antara lain

menyangkut perpajakan, perijinan, perburuhan dsb bila statusnya

menjadi perusahaan besar. Sebelum mereka mampu memenuhi

29 Baca artikel berjudul “Kota Batik di Pekalongan, Bukan Jogja eh bukan Solo” yang dimuat diweb LKiS oleh Linda (Staf peneliti LKiS). 30 Lihat buku Castles, Lance, “Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus”, Sinar Harapan, 1982.

Page 21: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

53

persyaratan-persyaratan yang ada mereka merasa lebih nyaman

menjadi perusahaan kecil.31 Menurut Arbi Sanit perusahaan-

perusahaan batik tradisional di Pekalongan itu memiliki sifat

kemandirian yang tinggi. 32

Usaha batik tradisional yang berbasis rumah tangga dalam istilah

lokal dinamai Pranggok. Pranggok merupakan istilah bagi rumah

usaha batik tradisional baik itu batik tulis maupun batik cap. Para

pengusaha pranggok bisa memiliki 1-5 pranggok. Tiap pranggok

memiliki seorang atau lebih mandor yang bertugas mengawasi dan

mengatur para pegawai yang berjumlah sekitar 50-100 orang, selain

juga mengatur jalannya produksi.

Semakin banyaknya pengusaha pronggok yang berhasil

mengembangkan usahanya sehingga memiliki modal dan relative kaya

sehingga berpeluang untuk naik haji nampaknya merupakan salah satu

indikasi berkembangnya kelas menengah dikalangan pengrajin batik

tradisional. Mereka itu dilingkungan masyarakat Pekalongan dikenal

dengan sebutan „wong kaji‟ walaupun tidak semua mereka telah naik

haji ke Mekah.

Perkembangan usaha perbatikan tradisional itu kemudian

meningkat lagi di era tahun 1950 dengan dikeluarkannya “program

benteng”33 oleh Soekarno untuk mengembangkan usaha perekonomian

pribumi. Sayangnya kebijakan ekonomi ini hanya berlangsung hingga

tahun 1957. Untuk menunjang infrastruktur Batik yang menjadi ikon

penting pekalongan, sejak tahun 1960 koperasi batik dibawah

Persatuan Pembatikan Indonesia Pekalongan (PPIP) diberi hak

monopoli impor kapas dan kain putih selain memproduksi benang serta

31 Hasil wawancara dengan Kartolo pada bulan November 2015. 32 Lihat Arbi Sanit dalam bukunya Samsuddin Haris, tahun 1999, hal 28 33 Program Benteng adalah kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah Indonesia bulan April 1950 dan secara resmi dihentikan tahun 1957. Tujuannya adalah membina pembentukan suatu kelas pengusaha Indonesia "pribumi" (dalam arti "non-Tionghoa).

Page 22: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

54

kain mori bersama pendistribusiannya untuk kota tersebut dan wilayah

pedalaman.34

Namun walaupun demikian para pengusaha batik tradisional juga

di perhadapkan pada proses konglomerasi, dengan jaringan ekonomi

kuat dari para pemilik pabrik. Ketimpangan dalam persaingan juga

dirasakan ketika order-order dalam skala besar seperti batik seragam

PNS (korpri) pada tahun 1995 dari pemerintah diberikan kepada

perusahaan batik printing, sehingga semakin berkurang daya tahan dari

pengusaha tradisional.35

Perlu dicatat bahwa industri Kota Pekalongan pada kisaran tahun

1995 dikuasai oleh usaha kecil. Ini dapat dilihat dari data tahun 1995

bahwa terdapat 22 buah industri batik moderen yang menampung

sekitar 5.849 orang tenaga kerja, yang jika dibandingkan dengan

industri kecil yang berjumlah 3.884 buah yang memberi lapangan kerja

bagi 29.802 orang. (Arbi Sanit, 1998)

Sebagian pengusaha batik tradisional dapat bertahan, dengan cara

menjadi sub perusahaan dari para konglomerat atau mencari pasar yang

berbeda seperti pasar diluar negeri. Akan tetapi banyak yang harus

gulung tikar karena tidak mampu untuk bersaing dipasar batik lokal.

Tercatat 50 industri batik tradisional pada tahun 1995 gulung tikar,

yang berakibat pada meningkatnya jumlah pengangguaran. PT

Panisatex yang memiliki 245 orang karyawan terpaksa merumahkan

karyawannya selama 1 tahun. PHK juga dilakukan oleh tiga perusahaan

yang memilki 518 orang pekerja.

Kondisi persaingan ini juga mempengaruhi relasi antar etnis yang

kemudian menjadi salah satu akar berbagai konflik kepentingan dan

perebutan penguasaan sumber ekonomi. Persaiangan ini juga meluas

menjadi persoalan etnis, dengan adanya kebijakan pemerintah diatas

yang dianggap oleh para pengerajin tradisional lebih memihak etnis

China yang memiliki modal besar. Sebenarnya kelembagaan industri

34 Lihat Arbi Sanit, 1999, hal 18. 35 Arbi Sanit, 1999, hal 26.

Page 23: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

55

batik cukup kuat dalam hal relasi antar etnis. Etnis Tionghoa (China)

menjadi pemilik toko bahan baku kain/pewarna, etnis arab mengambil

pembagian produksi dan marketing, dan etnis jawa sebagai penggarap

(buruh) dan produsen. Relasi antar etnis menjadi terganggu, karena

kolomerasi yang begitu kuat dari industri modern.

Kejatuhan pengusaha-pengusaha batik tradisional ini kemudian

ikut memicu timbulnya ketegangan-ketegangan sosial hingga

kemudian terjadi beberapa kali kerusuhan di Pekalongan antara tahun

1997-1998 yang walau tidak terkait persoalan antar perusaahn

tradisional dan modern, namun kalau milihat korban dari etnis cina

dan fasilitas negara disetiap kerusuhan dapat diduga bahwa salah satu

faktor yang mendukung terjadi kerusuhan adalah karena kesenjangan

ekonomi, pengangguran, dan menurunnya industri batik tradisional.

Namun walaupun demikian, tren batik tidak selalu menurun. Tern

batik mulai naik kembali setelah di nobatkannya batik sebagai warisan

budaya dunia pada tahun 2010 oleh UNESCO36, kemudian juga ada

usaha dari pemerintah daerah pekalongan untuk menaikkan tren batik

ini melalui berbagai kegiatan vestival, karnaval, pembukaan musium,

dll. Data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro,

Kecil dan Menenngah (UMKM) Kota Pekalongan, menunjukkan,

hingga tahun 2012, jumlah industri batik didaerah ini sebanyak 634

unit usaha, dengan 9.992 tenaga kerja. Di luar industri batik, juga

terdapat ratusan industri lain yang mendukung industri batik, antara

lain industri tenun, aksesori tekstil, dan bordir.

Dinamika sosial politik di era reformasi di Pekalongan

Di kota Pekalongan dinamika politik pada awal era reformasi

ditandai oleh gejala berikut: (1) ketegangan dan konflik yang

diakibatkan oleh liberalisasi politik; (2) dampak dari pembangunan

36 Baca artikel Kompas, “Dari Batik Pekalongan Mendunia”, Rabu, 17 Juli 2013.

Page 24: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

56

daerah yang tidak merata; dan (3) koflik kepentingan sebagai dampak

modernisasi.

Dampak dari liberalisasi politik

Untuk waktu yang cukup lama sejak masa Orde Baru, pemilu di

Pekalongan selalu dimenangkan oleh PPP sebagai representasi partai-

partai Islam. Hanya sekali saja di era Orde Baru tersebut golkar

memenangkannya yaitu pada perolehan kursi DPRD II pada tahun

1987. Kekalahan PPP tersebut merupakan dampak dari seruan NU di

tahun 1984 untuk kembali ke Khittah yang artinya kembali kepada

hakekad NU sebagai lembaga atau organisasi keagamaan (Ormas)

seperti saat kalahirannya di tahun 1926, bukan atau tidak lagi sebagai

organisasi politik. Perlu dicatat bahwa Pada tahun 1952 NU telah

memutuskan untuk masuk ke ranah politik praktis, bahkan pada

Pemilu 1955 menjadi partai politik peserta pamilu dan menang.37

Salah satu arti kembali ke kittah adalah bahwa warga NU bebas

untuk memilih partai politik yang dikehendaki. Akibatnya seruan

kembali ke Khittah merupakan ancaman bagi kekuatan PPP. Banyak

kyai yang loyal ke PPP menentang keras seruan kembali ke Kittah. Di

lain pihak kebebasan ini mengakibatkan banyak kyai atau habaib yang

memiliki pengaruh dirangkul oleh Golkar. Baru pada pemilu 1992,

PPP kembali memenangkan pemilu.

Pada masa Orde Baru ketegangan antara PPP dan Golkar dari

pemilu ke pemilu cenderung semakin meningkat.38 Di daerah-daerah

basis PPP tersebut masyarakat memiliki kecenderungan mengambil

posisi berhadapan dengan pemerintah. Konon tidak ada orang yang

berani memakai kaos selain PPP di wilayah ini. Makanan Bakso, kalau

mienya dibiarkan kuning tidak akan laris, sehingga mienya akan diberi

warna hijau. Toko-toko di sepanjang jalan Urip Sumoharjo hingga ke

37 Baca Pradjarta, 1994, hal 160. 38 Ketengangan tersebut sangat di rasakan terutama di daerah basis PPP seperti Jenggot, Buaran, Banyuurip Alit, Banyuurip Ageng, Ponolawen, Pringlangu, Simbangkulon dan Kelurahan Kradenan di wilayah kecamatan Pekalongan Selatan, dan memasuki Desa Kertijayan hingga ke Kedungwuni atau wilayah Kabupaten Pekalongan.

Page 25: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

57

Kedungwuni semuanya di cat hijau, termasuk toko milik warga etnis

Tionghoa. Demikian juga dengan Pegawai Negeri Sipil yang tinggal di

daerah-daerah ini, mereka harus menyembunyikan identitas

kepegawainegriannya agar aman. Salah seorang sumber informasi

menceriterakan bahwa ia sebagai seorang PNS yang tinggal di Buaran

bila hendak pergi kekantor dia harus memakai pakaian biasa terlebih

dahulu dan menggantinya dengan seragam Korpri di Pom Bensin.39

Menjelang Pemilu 1997, Kota Pekalongan diwarnai bentrok massa

antara massa pendukung PPP dan para pendukung Golkar. Peristiwa

bentrok massa ini terkait penolakan massa pendukung PPP terhadap

upaya-upaya Golkar dalam rangka mendongkrak suara perolehan pada

Pemilu 1997. Salah satu cara Golkar mendongkrak suara yaitu dengan

mengadakan tabliq akbar yang menghadirkan Ny. Siti Hardiyanti

Rukmana (Ketua DPP Golkar), KH Zaenuddin MZ, Rhoma Irama dan

Ustad Choril Amar. Panggung tabliq akbar yang dipersiapkan untuk

mereka dimuka Pesantren Alquran menjadi sasaran amuk massa hingga

hangus dibakar. Hal ini dipicu oleh penurunan bendera OPP PPP

disekitar pondok pesantren Alquran pada tanggal 24 Maret 1997, sehari

sebelum tabliq akbar di selenggarakan. Kerusuhan ini berlangsung tiga

hari dan meluas hingga ke pusat pertokoan hingga terjadi penjarahan,

perusakan dan mengeluarkan barang-barang dari toko untuk di bakar

di jalan. 40

Pada Pemilu 1999 yang merupakan pemilu multi partai pertama di

era reformasi, pemilu di Kota Pekalongan diwarnai bentrok antara

massa pendukung PPP dan massa pendukung PKB. Peristiwa bentrok

massa itu terjadi di wilayah kelurahan Jenggot, Buaran, Simbang,

Banyu Urip, dan Pringlangu. Peristiwa saling lempar batu, merusak

rumah-rumah penduduk, penjarahan massa terhadap toko-toko Cina

sempat terjadi kala itu. Karena terbelahnya pemilih Islam dalam

mendukung PPP dan PKB, maka PDIP justru bisa meraih kemenangan

39 Wawancara dengan Marzuki, tanggal 2 Juli 2015. 40 Analisa terhadap kasus kerusuhan politik ini lihat artikel Arbi Sanit dalam bukunya Samsuddin Haris, tahun 1999, hal 12-17.

Page 26: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

58

di Kota Pekalongan. Kemenangan PDIP ini bisa dilihat sebagai

memudarnya loyalitas aliran dilingkungan partai islam yang dulunya

didominasi oleh PPP, diikuti dengan menguatnya pragmatism dalam

pemilu. Pada Pemilu 2004 Kota Pekalongan dimenangkan Partai

Golkar.

Selain berlakunya sistem multi partai yang menyebabkan

terbelahnya warga partai-partai yang telah mapan seperti dalam kasus

PPP dan PKB, dinamika politik di Pekalongan menjadi semakin

kompleks dengan diberlakukan pilkada langsung dalam pemilihan

kepala daerah. Dalam pilkada langsung para calon akan terdorong

untuk memiliki kedekatan langsung dengan para pemilih dengan atau

tanpa melalui jalur partai. Dalam hal ini kualitas calon, tim sukses dan

aktor-aktor politik didalamnya acap kali mengalahkan peran partai-

partai pengusung.

Liberalisasi politik di Pekalongan nampak membawa perubahan-

perubahan aliansi politik baru yang tidak terkungkung pada kerangka

partai-partai yang telah mapan. Ini nampak dari adanya aktor-aktor

politik yang dengan mudah bisa berpindah dari satu partai ke partai

yang lain. Para calon tidak selalu mencari dukungan dalam pilkada dari

partai “asal”nya namun juga maju pilkada dengan menggunakan partai

politik lain sebagai kendaraannya.

Dampak Pembangunan Ekonomi

Potensi strategis yang dimiliki oleh Pekalongan untuk tumbuh

menjadi pusat perkembangan ekonomi regional mendapat dukungan

penuh dari Pemerintah Kota. Pembangunan infrastuktur ekonomi

mendapat perhatian. Disektor industri batik seperti yang telah di

uraikan diatas, pemerintah melakukan intervensi pasar dengan

merenovasi pasar-pasar grosir batik, guna menarik investor asing dan

pemercepatan industry batik, dan tidak hanya itu saja pemerintah pada

tahun 1970an melakukan intervensi di bidang modal dan teknologi.

Intervensi pemerintah ini mendorong perkembangan pesat batik

printing di era orde baru. Hanya saja batik printing yang

membutuhkan modal besar, tehnologi maju, dan pasar Global hanya

Page 27: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

59

mampu di tangkap oleh pengusaha bermodal besar yang kebanyakan

adalah beretnis cina. Sedangkan pengusaha jawa yang sejak semula

berkecimpung sebagai produsen dan buruh batik yang menguasai

tehnik dan seni perbatikan, tidak mampu untuk menangkap peluang

usaha batik printing. Sehingga pada era ini terjadi proses

pengambilalihan posisi produsen yang sebelumnya diperankan oleh

suku jawa melalui batik tradisional diambil alih oleh industry batik

printing yang kebanyakan dikuasai oleh etnis Cina. Etnis Cina yang

sebelumnya hanya bergerak pada aspek penyediaan bahan baku (obat-

obatan batik), dan pemasaran saja. Situasi ini ikut membangkitkan

sentiment anti Cina di Pekalongan. Namun demikian dalam

perkembangan waktu ternyata batik tradisional mampu

mempertahankan pasar dan peminatnya, sehingga mereka memasuki

segmen pasar yang berbeda. Batik sutra yang tidak bisa di produksi

masal dengan model printing menjadi salah satu keuntungan yang

dapat dikembangkan dikalangan batik tradisional. Dengan perkataan

lain mereka mampu bertahan hidup dan mengembangkan management

baru ala pranggok.

Dalam bidang perikanan, pelabuhan Pekalongan, sejak tahun 1974

dikembangkan menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan

(PPNP) yang menjadi pelabuhan sandar bagi kapal-kapal nelayan dari

berbagai penjuru nusantara. Sejak saat itu berbagai fasilitas dibangun

untuk mendukung fungsi dan status yang baru sebagai Pelabuhan

Perikanan Nusantara. Industri pembuatan kapal, bengkel, pabrik

penyedia peralatan dan kebutuhan-kebutuhan sarana pendukung, KUD

Mina yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan pelayaran (es batu,

garam, bahan makanan, dll), tumbuhnya sector informal seperti toko

kelontong, rumah makan. Disekitar Pelabuhan juga tumbuh kampung

Bagan; disebut demikian karena kebanyakan penghuninya berasal dari

Bagan Siapi-api.

Kapal-kapal besar yang bergerak di usaha penangkapan ikan

umumnya telah memiliki peralatan penangkapan ikan dan

penyimpanan yang canggih, sehingga dicurigai telah menghabiskan

Page 28: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

60

Bengkel perkapalan di kampung Bagan

Pekalongan

ikan-ikan di wilayah tangkapan nelayan tradisional dan bertanggung

jawab pada berkurangnya hasil tangkapan nelayan-nelayan kecil.

Dengan perkartaan lain nasib nelayan tradisional terpinggirkan.

Apalagi akses bagi nelayan tradisional untuk menjual hasil tangkapan

mereka ke PPNP tidak dimungkinkan karena kualitas produk yang

kurang memenuhi standart.41 Untuk menampung kepentingan nelayan

tradisional Pemda Pekalongan telah membangun dua TPI di bagian

Selatan dan di bagian Utara. Namun ke dua TPI tersebut hanya

memiliki fasilitas yang jauh lebih sederhana dibanding dengan fasilitas-

fasilitas yang ada di PPNP. Kedua TPI ini dikelola oleh KUD Mina.

Walaupun demikian usaha ini tidak sepenuhnya bisa mencegah

kecemburuan social yang diakibatkan semakin lebarnya jurang

ekonomi antara nelayan tradisioan dengan nelayan modern. Apalagi

dengan kehadiran nelayan-nelayan bermodal besar yang kebanyakan

beretnis cina.

Sejalan dengan perkembangan waktu maka berkembang berbagai

usaha industry dan bengkel perkapalan di sekitar pelabuhan. Daerah

ini kemudian dikenal dengan kampong Bagan karena di huni oleh

orang-orang Bagan.

Ketegangan sosial juga

muncul dengan terpinggirkan-

nya masyarakat “Alang-alang”

yaitu anak-anak atau orang

dewasa yang memperoleh

penghasilan dari jasa

menurunkan ikan dan mencuci

kapal-kapal.

41 Pada nelayan modern proses penyimpanan, penyotiran dari hasil tangkapan telah menerapkan cara-cara yang menghasilkan kualitas ikan yang lebih tinggi mutunya. Sedangkan hal itu tidak dimungkinkan dalam kapal-kapal tradisional.

Page 29: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

61

Apabila sebuah kapal nelayan penangkap ikan merapat di dermaga

maka biasanya sekelompok anak alang-alang42 mulai mendekati kapal

dengan berenang disampingnya. Ketika balok kayu yang merupakan

alat untuk meluncurkan “basket” (keranjang) yang berisikan ikan hasil

tangkapan mulai dipasang, beberapa „anak alang-alang‟ telah siap

berada dibawahnya. Mereka siap dengan kantong plastik untuk

mewadahi ikan yang jatuh tercecer ketika keranjang-keranjang itu

diluncurkan (slorokke). Sebagian dari alang-alang itu orang dewasa

atau bahkan orang yang sudah berusia lanjut. Mereka mengumpulkan

ceceran ikan yang jatuh kelaut atau ketanah dan setalah terkumpul

menjualnya ke pasar atau kepedagang ikan. Harga ikan tangkapan

nelayan setiap keranjang kecil (rombong) di TPI berkisar Rp.60.000

sementara harga ikan dari anak alang-alang biasanya hanya dihargai

Rp.25.000, untuk jumlah yang sama. Selain sebagai pengumpul ikan

anak alang-alang merupakan buruh murah bagi para pemilik kapal

karena mereka dapat dimitai tolong menghela serta mencuci kapal.

Nasib anak alang-alang menjadi suram dengan berkurangnya

tangkapan nelayan tradisional.

Konflik Kepentingan Akibat dari Dampak Modernisasi

Dinamika politik di Pekalongan yang bermuara pada konflik dan

ketegangan di awal reformasi sebenarnya merupakan bagian proses

panjang yang sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun

sebagian konflik kepentingan itu tidak terjembatani. Sebagai contoh

misalnya tingkat polusi yang sangat tinggi di Kali Banger, yang

sebelumnya merupakan sungai dimana penduduk mendapatkan air

yang relative bersih menjadi tercermar berat karena menjadi tempat

pembuangan limbah industry. Konflik juga terjadi di pasar-pasar

42 Tentang istilah Alang-alang ada beberapa pendapat terkait munculnya pengistilahan ini. Ada yang beranggapan bahwa sebutan alang-alang diberikan karena dulu ketika daerah pantai masih di tumbuhi banyak alang-alang, ketika hari gelap dan ada kapal yang sedang berlabuh untuk menurunkan ikan, anak-anak akan keluar dari alang-alang untuk mengambil ikan yang terjatuh dari keranjang ketika diturunkan dari kapal. Sedangkan ada juga yang beranggapan bahwa istilah alang-alang berasal dari bahasa Pekalongan yang berarti menghalangi (alang-alang) turunnya keranjang ikan yang di seluncurkan ke dermaga.

Page 30: BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT PEKALONGANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/4/T2_092013019_BAB IV... · Nusantara untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Kota-kota bandar

62

tradisional yang mengalami renovasi atau pembangunan pasar baru.

Antara pedagang tradisional dan pedagang-pedangan retail/eceran

bermodal kuat. Ketegangan juga muncul di kampung dimana banyak

real estet baru yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan perumahan

dari kalangan masyarakat yang relative kaya, sehingga menggeser lahan

mata pencaharian petani. Kemudian juga ketegangan antar pemilik

sarana transportasi tradisional (becak, andong, dll) dengan pengusaha

sarana transportasi modern dalam kota. Lalu ketegangan sopir

angkutan yang berebut jalur. Dan masih banyak lagi kesenjangan-

kesenjangan sosial yang sering menjadi isu-isu penting yang diangkat

dalam kampanya pemilu di Pekalongan.