diaper rash aishahkhan.docx
TRANSCRIPT
whatever
0
ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN REFERAT MINI
FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2015
UNIVERSITAS HASANUDDIN
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
DIAPER RASH
Oleh:
Siti Aishah Binti Khairudin
C11111849
Pembimbing:
dr. Dwi Aryanigrum
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
1
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
Nama : Siti Aishah Binti Khairudin
Nim : C11111849
Telah menyelesaikan referat dengan judul Diagnosis Dan
Penatalaksanaan Diaper rash untuk dibacakan dalam rangka kepaniteraan Klinik
pada bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
Makassar, Agustus 20115
PEMBIMBING COASS
Dr. Dwi Aryanigrum Siti Aishah Binti Khairudin
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... 1
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ 2
DAFTAR ISI.................................................................................................. 3
1. PENDAHULUAN............................................................................ 4
1.1 Definisi............................................................................................ 4
1.2 Epidemiologi.................................................................................. 5
1.3 Faktor Resiko.................................................................................. 6
2. PEMBAHASAN............................................................................ 7
2.1 Patofisiologi................................................................................... 7
2.2 Gejala klinik.................................................................................. 8
2.3 Pemeriksaan penunjang................................................................. 9
2.4 Manajemen terapi......................................................................... 10
2.5 Prognosis....................................................................................... 11
3 PENUTUP........................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 13
3
DIAPER RASH
I. Pendahuluan
Kebiasaan memakaikan popok pada bayi baru lahir hampir universal,
dengan pemasangan popok pertama dalam beberapa menit dari pemeriksaan bayi
baru lahir di ruang bersalin. Sebagaimana bayi menyesuaikan dengan lingkungan
kering, popok menjadi faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya barrier
epidermis dan properti penanganan air pada kulit.Diaper rash sering juga disebut
juga napkin dermatitis yang menunjukkan terjadinya erupsi inflamasi pada daerah
popok.1,2
Kondisi kulit akan ditandai dengan menggunakan pengukuran biofisik dan
optik fungsi epidermal penghalang, hidrasi, dan sifat penanganan air dari stratum
korneum. Karakteristik visual kulit, seperti kekeringan/scaling, eritema, papula
dan lainnya merupakan manifestasi dari interaksi popok-kulit. Istilah "diaper
rash" umumnya digunakan untuk merujuk kepada berbagai erupsi kulit atau
deviasi dari kulit yang sehat dan normal. Setiap erups imempunyai banyak
penyebab, sehingga istilah diaper rash sebaiknya dihindari danhanya dipakai
untuk pengertian yang lebih luas.Istilah Dermatitis Popok Iritan Primer (DPIP)
lebih tepat dipakai pada keadaan dimana erupsi yang terjadi akibat kontak iritan
dengan baha nexcreta. Rendahnya tingkat ruam popok dikaitkan dengan
kompromi dalam integritas kulit, sebagaimana dibuktikan oleh kekeringan/scaling
dan deskuamasi menyimpang, dan eritema kulit dikaitkan dengan respon iritasi.1,2
Insiden keseluruhan kondisi ini sulit untuk ditentukan, dan sekarang
mungkin kurang dibandingkan sebelumnya, karena adanya perubahan umum
untuk popok sekali pakai, tetapi ada bukti bahwa sekitar 50% dari bayi
terpengaruh sampai tingkat tertentu pada beberapa tahap. Indeks lain dari tingkat
masalah ini diperlihatkan oleh fakta bahwa dalam satu survei, diaper rash
menyumbang sekitar 20% dari semua konsultasi kulit pada anak berusia di bawah
5 tahun di Inggris. Bagi kedua jenis kelamin dan semua ras tampak sama
terpengaruh.3
4
Tampaknya tidak mungkin bahwa setiap kasus primer iritasi diaper rash
memiliki kombinasi penyebab yang benar-benar sama. Hal ini sangat langka tanpa
adanya pemakaian popok, dan minimal suatu derajat tingkat inkontinensia urin
atau feses. Faktor-faktor berikut perlu dipertimbangkan dalam setiap diskusi
tentang etiologi dermatitis iritan primer.3
Maserasi oleh air
Stratum korneum menentukan fungsi pertahanan (barrier) pada
epidermis. Stratum korneum terdiri atas sel yang akan berhenti
mengelupas dan memperbarui diri pada siklus 12-24 hari. Matriks
ekstraselular hidrofobik berperan sebagai barier, mencegah kehilangan
cairan dan sebagai tempat masuknya air dan bahan hidrofilik lainnya. Sel
hidrofilik pada stratum korneum (korneosit) memberikan perlindungan
mekanis dari lingkungan luar dalam bentuk lapisan lilin. 2,3
Keadaan basah yang berlebihan akan memberikan dampak berat pada
stratum korneum. Pertama, keadaan ini akan membuat permukaan kulit
menjadi pecah-pecah dan lebih sensitif terhadap gesekan. Kedua, keadaan
ini mengganggu fungsi perlindungan, menambah penyerapan bahan iritan
kedalam lapisan sensitif pada kulit di bawah stratum korneum dan
membuka lapisan ini sehingga menjadi kering dan menjadi tempat
masuknya mikroorganisme. Oklusi kulit yang berkepanjangan dapat
menimbulkan eritema, terutama jika air kontak dengan permukaan kulit
dan akhirnya dapat terjadi dermatitis.3
Gesekan
Gesekan antara kulit dan popok merupakan faktor penting dalam
beberapa kasus diaper rash. Hal ini didukung oleh predileksi tersering
diaper rash yaitu di tempat yang paling sering terjadi gesekan, misalnya
pada permukaan dalam paha, permukaan genital, bokong dan pinggang.
Gesekan akan mampu menembus stratum korneum dengan adanya
maserasi.2,3
Urin
5
Bayi yang baru lahir mengeluarkan urin lebih dari 20 kali dalam 24
jam. Frekuensi berkemih ini berkurang seiring pertumbuhan dan
mencapai7 kali dalam 24 jam pada umur 12 bulan.2,3
Selama beberapa tahun, amonia dipercaya sebagai penyebab utama
terjadinya diaper rash. Namun sekarang telah diketahui bahwa amonia
bukan penyebab utama terjadinya diaper rash. Jumlah mikroorganisme
terkait amonia tidak berbeda antara bayi dengan atau tanpa diaper rash.
Hal ini menunjukkan bahwa hasil degradasi urin lainnya selain amonia
memegang peranan penting pada kejadian diaper rash. Suatu penelitian
membuktikan bahwa urin yang disimpan selama 18 jam pada suhu 37oC
dapat menginduksi terjadinya dermatitis ketika diberikan pada kulit bayi.
Saat ini jelas bahwa pH urin memegang peranan penting pada penyakit ini.
Urin yang memiliki pH tinggi (alkalis) pada bayi dapat menimbulkan
diaper rash.2,3
Feses
Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa feses manusia memiliki
efek iritan pada kulit. Pada feses bayi terdapat protease, pankreas,
lipase,dan enzim-enzim lainnya yang dihasilkan oleh bakteri dalam usus.
Enzim ini berperan penting dalam proses terjadinya iritasi kulit. Efek iritan
dari enzim tersebut semakin meningkat dengan adanya kenaikan pH dan
gangguan fungsi barier. Urea yang diproduksi oleh berbagai bakteri pada
feses dapat meningkatkan pH feses. Meningkatnya pH dapat
meningkatkan aktivitas enzim lipase dan protease pada feses. Produksi
feses cair yang berlebihan berhubungan dengan pemendekan waktu transit
dan feses ini mengandung sejumlah besar sisa enzim percernaan yang
dapat menyebabkan iritasi pada kulit. 2,3
Kesalahan atau kurangnya perawatan kulit
Penggunaan sabun cair dan bedak juga dapat berpengaruh. Keduanya
dapat meningkatkan resiko dari diaper rash. Cara pembersihan dan
6
pengeringan di daerah popok yang tidak tepat serta frekuensi penggantian
popok yang jarang juga dapat menjadi faktor pencetus.3
Mikroorganisme
Mikroorganisme seperti bakteri (Streptococcus dan Staphylococcus),
dan jamur (Candida) dapat menyebabkan diaper rash. Meskipun sering
dinyatakan bahwa infeksi bakteri berperan penting dalam terjadinya diaper
rash tipe iritasi primer, studi kuantitatif menunjukkan bahwa flora bakteri
yang diisolasi dari daerah yang mengalami erupsi tidak berbeda dengan
bakteri yang diisolasi di beberapa area kulit yang normal pada bayi.2,3
Antibiotik
Penggunaan antibiotik spektrum luas pada bayi dengan otitis media
dan infeksi traktus respiratorius menunjukkan peningkatan insiden
terjadinya irritant diaper dermatitis.3
Kelainan anomali
Kelainan anomali pada traktus urinarius dapat menyebabkanterjadinya
infeksi traktus urinarius.3
Urin dan feses berperan penting pada patogenesis DPIP. Urin meningkatkan
hidrasi dan pH kulit. Pada keadaan hidrasi yang berlebihan, kulit lebih mudah
mengalami abrasi dan infeksi, dan stratum korneum lebih dilalui oleh bahan iritan.
Popok dapat pula meningkatkan pH kulit akibat oklusi.2
Pada pH kulit yang lebih tinggi, enzim feses yang dihasilkan oleh bakteri pada
saluran cerna dapat mengiritasi kulit secara langsung dan dapat pula
meningkatkan kepekaan kulit terhadap bahan iritan lainnya. Organisme feses yang
berbaur dengan urin akan menghasilkan lebih banyak amoniak dan meningkatkan
pH kulit. Amoniak merupakan suatu bahan iritan yang sangat berperan, tetapi
bukan merupakan faktor penentu terjadinya DPIP. Gesekan akibat gerakan
menyebabkan kulit terluka dan memudahkan iritasi, dan peningkatan kepekaan
terhadap iritasi akan meningkatkan resiko inflamasi.2
7
II. Diagnosis
1. Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan bercak merah di daerah yang tertutup
popok yang sering membuat bayi gelisah, selain itu sering tercium bau amoniak
pada saat popok diganti.2
2. Gambaran Klinis
Diaper rash bermanifestasi klinis lembab, mengkilap dan eritema yang
sering perih mengenai daerah yang tertutup oleh popok pada umumnya, dengan
pengecualian dari lipatan kulit yang cenderung terhindar. Kondisi ini mungkin
juga diikuti dengan erosi dan ulserasi.4,5
Pada reaksi akut, eritema yang mengkilap mungkin akan tampak dan
disertai dengan pengelupasan. Pada kedua jenis kelamin, keterlibatan alat kelamin
dapat menyebabkan disuria, dan kadang-kadangbila glans penis terinfeksi, bayi
laki-laki dapat mengalami retensi urin akut.3
Sebuah presentasi herpetiform dari iritasi dermatitis popok primer juga
telah dijelaskan. Hal ini berbentuk erupsi vesikel dan pustula diikuti oleh erosi
dangkal, sangat menyerupai gambaran klinis dari herpes simpleks, tetapi tidak
menunjukkan bukti infeksi dari HSVsecara patologis.3 Diaper rash tidak terlihat
selama 3 minggu pertama kehidupan. Onset paling sering muncul pada minggu
ke-3 sampai minggu ke-12, dan prevalensi puncak terlihat antara bulan ke-7 dan
ke-12. Pada dasarnya kondisi yang sama telah dilaporkan pada anak-anak dan
orang dewasa yang mengalami inkontinensia urin. Pola khas lain yang baru-baru
ini telah dijelaskan adalah satu di mana erupsi terlokalisir pada bagian lateral paha
atas dan bokong, paling sering secara unilateral, namun jarang bilateral, dalam
posisi yang sesuai dengan daerah di mana kontak langsung dapat terjadi dengan
perekat yang mengencangkan popok. Tampaknya paling sering terjadi karena efek
iritasi, tetapi juga merupakan refleksi dari sensitisasi kontak dengan bahan kimia
karet atau lem.3
8
Gambar 1. Diaper rash, lesi tampak pada bagian yang tertutup popok tetapi
melewati daera hlipatan paha.3 ( Rook’s Textbook Of Dermatology )
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan pemeriksaan patologi sebagai pemeriksaan penunjang
untuk kasus ini, gambaran histologi yang tampak umumnya berupa spongiosis dan
inflamasi ringan pada dermis.2,3
Terdapat beberapa diagnosis banding yaitu :
Dermatitis seboroik infantil
Dermatitis seboroik infantil dialami pada minggu-minggu pertama kehidupan dan
cenderung mengenai lipatan tubuh, termasuk lipatan ketiak, daerah kemaluan dan
leher, tetapi juga dapat melibatkan wajah dan kulit kepala. Lesi pada lipatan
tampak sebagai sisik eritem mengkilat, tetapi pada kulit kepala dapat ditemukan
krusta kekuningan. Kondisi tersebut biasanya dapat dibedakan dengan diaper
dermatitis (tidak mengenai
lipatan), kandidosis (biasanya
pustuler) dan dermatitis atopik (lebih
gatal).5
9
Gambar2. Dermatitis seboroik infantil. Kondisi ini mengenai lipatan tubuh.2 ( Clinical
Dermatology )
Kandidosis
Sebuah konfluen mengilap, eritematosa bermarginasi tajam dengan
deskuamasi perifer dan/atau pustulasi, dan biasanya dengan pustula satelit,
bersama-sama dengan kandidiasis oral adalah presentasi khas candidiasis
neonatal, infeksi Candida superfisial ditularkan kepada bayi selama kelahiran.
Ruam biasanya muncul pada minggu kedua kehidupan, dan secara etiologi
berbeda dari daerah infeksi Candida sekunder dengan iritasi primer diaper rash.3
Sifilis kongenital
Lesi berupa makula coklat kemerahan, kadang-kadang sedikit meningkat,
timbul terutama pada ekstremitas termasuk telapak tangan dan kaki, dan pada
muka khususnya di daerah sekitar mulut. Daerah popok sering timbul bula atau
erosi.2,3
Defisiensi zink
Harus dipertimbangkan pada bayi dengan dermatitis popok yang tidak
berespon pada pengobatan. Kelahiran prematur meningkatkan kecurigaan pada
penyakit ini, dan kadar zink plasma yang normal tidak menyingkirkan diagnosis.
Bayi dengan erupsi popok yang disebabkan oleh defisiensi zink biasanya juga
mengalami dermatitis pada muka yang merupakan perluasan dari daerah perioral,
paronkia erosif pada daerah lipatan palmar telapak tangan.2,3
Prognosis dari Diaper Rash hampir selalu menunjukkan respon terhadap
terapi yang akan membaik bila pemakaian popok tidak terlalu lama. Pada
beberapa anak erupsi pada daerah popok merupakan tanda dini dari suatu
kelainan kulit yang kronis seperti dermatitis atopi atau psoriasis
III. Penatalaksanaan
Pengobatan diaper rash mencakup :2,5,6
1. Non Medikamentosa
10
Popok harus dibiarkan terbuka sesering mungkin ketika bayi tidur,
untuk pengeringan kulit.
Direkomendasikan untuk membersihkan kulit dengan air bersih,
dan hindari gesekan atau digosok.
Popok harus diganti sesering mungkin dan secepatnya setelah
buang air
Edukasi orang tua dan pengasuh.Tujuan utama penatalaksanaan
diaper rash adalah mengurangi kelembaban, karenayang paling
penting adalah keberhasilan yang baik dan menjaga daerah popok
agar tetap bersih dan kering dengan mengganti popok secara
teratur dan menggunakan popok sekali pakai seperti popok
golongan sintesis yang mengurangi kontak kulit dengan urin.
2. Medikamentosa
Pasta Zinc oxide, petrolatum, dan campuran lainnya, sebagai
pelindung merupakan terapi utama. Pasta atau salep dioleskan
setiap sehabis popok diganti. Diaper rash sedang dan berat tidak
akan mengalami perbaikan bila hanya menggunakan krim
pelindung. Pada keadaan tersebut, dianjurkan penggunaan
kortikosteroid topical potensi rendah dan krim pelindung.
Krimhidrokortison 1% digunakandua kali sehariselama 3-5 hari.
Bila dicurigai terjadi super infeksi dengan kandida dapat digunakan
klotrimazol 1% ataumikonazol 2%. Hidrokortisondan anti jamur
dioleskan bersamaan dua kali sehari pada saatm engganti popok,
kemudian dioleskan barier ointment di atasnya. Dapat pula
digunakan hidrokortison kuat sebab popok bersifat oklusif dan
meningkatkan absorpsi kortikosteroid yang dapat menimbulkan
atrofi kulit dan penekanaan kelenjar adrenal. Untuk terapi lanjutan
dan pencegahan digunakan nistatin, amphoterin B atau imidazol
dalam bentuk powder.2,6
11
Anti-kandida topikal diberikan jika ada tanda-tanda infeksi
kandida. Padadiaper rash dengani nfeksi Candida albicans sedang
hingga berat diberikan mupirocin 2%. Mupirocin 2%
mengeradikasi Candida albicans dalam waktu 2-6 hari. Pada
diaper rash yang disertai infeksi jamur saluran cerna, dianjurkan
menambah nistatin oral 150.000 unit tiga kali sehari. Neomisin
sering menimbulkan sensitasi sehingga tidakdi gunakan pada
pengobatan diaper rash. Infeksi yang meliputi sebagian tubuh
kadang membutuhkan antibiotic sistemik. Pada infeksi
Staphylococcus sebaiknya menggunakan sepalosporin generasi
pertama, dicloxacinatauamoxilin-clavunat dan sebaiknya
menghindari pemakaian eritromisin..2,3
12
DAFTAR PUSAKA
1. Visscher MO, Hoath SB. Diaper Dermatitis. In: Chew A-L, Maibach HI,
editors. Irritant Dermatitis. Germany: Springer; 2006. p. 37-50.
2. Aminuddin, Dali. Diaper Dermatitis Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Makassar. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin;
2003. p. 357-62
3. D.J.Artherton, Gennery AR, Cant AJ. Ezcematous Eruptions in the Newborn.
In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of
Dermatology. 1-4. Oxford: Blackwell Publishing Company; 2004. p. 14.23-8.
4. Hunter J, Savin J, Dahl M. Ezcema and Dermatitis. In: Taylor S, Malde R,
Elliot J, editors. Clinical Dermatology. 3rd ed: Blackwell Publishing
Company; 2003. p. 92-3.
5. Dermatology, Pediatric Dermatology. In: Horne T, editor. Dermatology an
Illustrated Colour Text. London: Churchill Livingstone; 2003. p. 108.
6. Chang MW, OrlowsJ. Neonatal, Pediatric, and Adolscent Dermatology In:
Wolff K, Goldsmith LA, Ktz SI, Gilcrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Flitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. United States of
Amerika: McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008. p. 942-5.
13
14