Download - Hid Rog Rafi
i
LEMBAGA KAJIAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN (LKPP)
LAPORAN MODUL PEMBELAJARAN BERBASIS SCL
Judul: EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN MELALUI PENERAPAN
STUDENT CENTER LEARNING PADA MATA KULIAH HIDROGRAFI
Oleh:
SABARUDDIN RAHMAN, ST.,MT.
Dibiayai oleh Dana DIPA Universitas Hasanuddin sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan
Nomor: 469/H4.23/PM.05/08 Tanggal 04 Pebruari 2008
JURUSAN PERKAPALAN FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN PEBRUARI, 2008
ii
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN MODUL PEMBELAJARAN PROGRAM TRANSFORMASI DARI TEACHING KE LEARNING
UNIVERSITAS HASANUDDIN 2008 Judul : Efektifitas Pembelajaran melalui Penerapan Student
Center Learning pada Mata Kuliah Hidrografi
Nama Lengkap : Sabaruddin Rahman, ST.,MT.
NIP : 132 296 282
Pangkat/Golongan : Penata Muda/III.a
Jurusan : Perkapalan
Fakultas/Universitas : Teknik/Universitas Hasanuddin
Jangka waktu kegiatan : 1 (satu) bulan Mulai 04 Januari 2008 s/d 04 Pebruari 2008
Biaya yang diusulkan : Rp. 4.000.000,- (Empat juta rupiah) Dibiayai oleh Dana DIPA Universitas Hasanuddin sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Nomor: 469/4423/PM.05/2008 Tanggal 04 Januari 2008
Makassar, 04 Pebruari 2008 Mengetahui: Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Pembuat Modul, Dekan, Prof. Dr. Ir. H. Muh. Saleh Pallu, M.Eng. Sabaruddin Rahman, ST.,MT. NIP. 131 287 807 NIP. 132 296 282
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Semesta Alam atas telah terselesaikannya penulisan Modul Pemblajaran untuk mata kuliah Hidrografi. Pembuatan Modul ini dilakukan mengingat perlunya tersedia bahan acuan mata kuliah untuk memudahkan pelaksanaan pembelajaran baik bagi mahasiswa maupun dosen. Materi yang tersaji merupakan suatu rangkaian yang saling terkait secara langsung dan tiap bab merupakan dasar untuk bab berikutnya. Kompilasi Modul ini merupakan implementasi dari GBPP dan SAP mata kuliah Hidrografi. Dan kami selaku tim berharap dengan adanya Modul ini mahasiswa dan tim pengajar memperoleh sumber pegangan untuk kelancaran proses belajar mengajar di kelas. Kepada rekan-rekan dosen pengajar ataupun pembaca Modul ini, kami selaku tim penulis mohon kritik dan sarannya untuk perbaikannya. Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan Modul ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaiaan penulisan Modul ini khususnya Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan (LKPP-Unhas) yang telah banyak mengarahkan penulis dalam penyusunannya.
Makassar, Januari 2008 Penulis
iv
PETA KEDUDUKAN MODUL
07. Aplikasi Pengukuran Pasang Surut, Survey Batimetri, Arus Laut dan Pengambilan Sampel Sedimen
06. Peralatan Survey Sederhana
01. Penentuan posisi di laut, Sistem referensi geodetik
02. Pengukuran pasang surut
05. Pengambilan Sampel Sedimen
03. Survey batimetri
04. Pengukuran arus laut
kuliah interaktif
kuliah interaktif, collaborative learning
project based learning
v
RINGKASAN Modul SCL mata kuliah Hidrografi ini merupakan kesatuan modul yang diberikan untuk
perkuliahan minggu pertama sampai minggu ke-16. Materi ini sangat penting diajarkan
karena menjadi dasar bagi mahasiswa dalam pelaksanaan survey di laut. Ada tiga metode
pembelajaran yang digunakan pada modul ini yaitu kuliah interaktif, collaborative learning
dan project based learning. Kuliah interaktif diberikan dengan harapan mahasiswa
mendapatkan pemahaman awal mengenai materi yang diajarkan, sehingga mereka mampu
mengembangkannya dalam penerapan metode yang lain. Dengan menggunakan metode
collaborative learning mahasiswa akan dapat menuangkan ide-ide kreatifnya dalam bentuk
diskusi kelompok, sehingga pemahaman materi yang diberikan akan dapat lebih mendalam.
Tidak hanya sampai di situ, dengan penerapan metode Project Based Learning, mahasiswa
dapat melaksanakan sendiri pekerjaan survei di laut sehingga ide kreatif tersebut tertuang
dalam penerapan. Hasil yang diperoleh di penghujung perkuliahan berupa laporan survey
lapangan yang meliputi hasil pengukuran arus laut, pasang surut, pengambilan sampel
sediment serta peta batimetri.
Modul pertama diberikan pada perkuliahan minggu pertama sampai minggu ketiga. Metode
yang digunakan pada modul ini adalah kuliah interaktif. Pada awal perkuliahan dibahas
mengenai kontrak perkuliahan dan pentingnya mata kuliah ini. Minggu ke-2 dan ke-3
digunakan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang pentingnya
penentuan posisi di laut. Di akhir perkuliahan setiap minggunya mahasiswa dianjurkan
untuk mempelajari kembali di rumah materi yang telah diberikan.
Modul kedua diberikan pada perkuliahan minggu keempat dan kelima. Materi tentang
pengukuran pasang surut diberikan pada modul ini. Minggu kelima digunakan untuk
memberikan teori dasar pengukuran pasang surut, faktor-faktor yang berpengaruh serta
metode yang digunakan. Materi ini akan dikembangkan oleh mahasiswa melalui diskusi
kelompok. Tiap kelompok membuat makalah dengan tema Pasang Surut dan Cara
pengukurannya. Untuk menyelesaikan tugas tersebut diberikan beberapa sumber bacaan, di
samping sumber bacaan lainnya yang ditemukan oleh mahasiswa. Pada saatu diskusi
kelompok, dosen melakukan penilaian kepada mahasiswa.
vi
Modul ketiga diberikan pada perkuliahan minggu keenam dan ketujuh. Materi tentang
survey batimetri diberikan pada modul ini. Minggu keenam digunakan untuk memberikan
teori dasar survei batimetri, hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat survei serta alat-alat
yang digunakan. Seperti pada modul sebelumnya, materi ini akan dikembangkan oleh
mahasiswa melalui diskusi, dimana tiap mahasiswa akan dinilai keaktifannya.
Modul keempat diberikan pada perkuliahan minggu kedelapan dan kesembilan. Materi
tentang pengukuran arus laut diberikan pada modul ini. Minggu kedelapan digunakan untuk
memberikan teori dasar pengukuran arus laut, hal-hal yang perlu diperhatikan pada saatu
survei serta alat-alat yang digunakan. Diskusi kelompok mahasiswa dilakukan pada
pertemuan kesembilan setelah menyusun makalah dan membuat materi presentasi. Tutor
menilai keaktifan mahasiswa dalam forum diskusi tersebut.
Modul kelima diberikan pada perkuliahan minggu kesepuluh dan kesebelas. Materi tentang
pengambilan sampel sedimen diberikan pada modul ini. Minggu kesepuluh digunakan
untuk memberikan teori dasar pengambilan sampel sedimen, hal-hal yang perlu
diperhatikan pada pengambilan sampel sedimen serta alat-alat yang digunakan. Diskusi
kelompok mahasiswa dilakukan pada pertemuan kesebelas setelah menyusun makalah dan
membuat materi presentasi. Tutor menilai keaktifan mahasiswa dalam forum diskusi
tersebut.
Modul keenam diberikan pada perkuliahan minggu kedua belas dan ketiga belas. Materi
tentang peralatan survey diberikan pada modul ini menggunakan metode roject based
learning. Minggu minggu ketiga belas digunakan mahasiswa untuk membuat peralatan
survey. Tutor menilai keaktifan mahasiswa dalam pembuatan alat tersebut.
Modul ketujuh diberikan pada perkuliahan minggu keempat belas sampai enam belas. Pada
sesi terakhir ini mahasiswa melakukan survey lapangan. Minggu keempat belas digunakan
untuk persiapan survey, minggu kelima belas untuk survey lapangan dan minggu keenam
belas untuk pengolahan data dan seminar laporan hasil survey. Penilai dilakukan pada
pelaksanaan survey dan seminar laporan hasil survey.
vii
DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... iii
PETA KEDUDUKAN MODUL ...........................................................................................iv
RINGKASAN.........................................................................................................................v
DAFTAR ISI........................................................................................................................ vii
MODUL I PENENTUAN POSISI DI LAUT, SISTEM REFERENSI GEODETIK.............1
MODUL II PENGUKURAN PASANG SURUT ................................................................10
MODUL III SURVEY BATIMETRI ...................................................................................21
MODUL IV PENGUKURAN ARUS LAUT.......................................................................31
MODUL V PENGAMBILAN SAMPEL SEDIMEN ..........................................................40
MODUL VI PERALATAN SURVEY SEDERHANA........................................................49
MODUL VII APLIKASI PENGUKURAN DI LAUT.........................................................61
1
MODUL I
PENENTUAN POSISI DI LAUT, SISTEM REFERENSI GEODETIK
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pelaksanaan survey di laut memerlukan pemahaman tentang penentuan posisi, utamanya
variable-variabel yang merupakan fungsi ruang. Materi ini diajarkan pada minggu ke-2 dan
ke-3. Mahasiswa sudah memiliki pemahaman dasar dalam pelajaran Matematika di SMA,
khususnya materi tentang koordinat.
B. Ruang Lingkup Isi Lima metode penentuan posisi dibahas dalam modul ini yaitu: penentuan posisi berbasis
garis posisi, metode optik, elektronik dan GPS. Keempat metode tersebut dijelaskan
mengenai prinsip dasar dan cara melakukan pengukurannya.
C. Kaitan Modul Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa memiliki pemahaman awal tentang penentuan
posisi yang menjadi dasar untuk dapat mempelajari modul-modul berikutnya, yaitu survey
batimetri (Modul III), pengukuran arus (Modul IV) dan pengambilan sample sediment
(Modul V).
D. Sasaran Pembelajaran Modul Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa akan dapat menjelaskan metode-metode yang
digunakan untuk penentuan posisi di laut, serta dapat menjelaskan kelebihan dan
kelemahan antara metode yang satu dan lainnya.
BAB II PEMBELAJARAN
A. Penentuan Posisi Di Laut, Sistem Referensi Geodetik Penentuan posisi (suatu objek) di laut (termasuk juga wilayah perairan lainnya) merupakan
kegiatan utama dalam survei hidrografi. Objek yang dimaksud dapat terletak di (i)
permukaan laut, (ii) antara permukaan dan dasar laut atau (iii) dasar laut. Objek tersebut
diwakili oleh sebuah titik yang memiliki posisi yang dinyatakan terhadap suatu sistem
referensi geodetik tertentu.
3
1. Penentuan posisi berbasis garis posisi Kombinasi (perpotongan) LOP untuk penentuan posisi suatu titik di atas bidang datar dapat
diperoleh dengan pasangan LOP garis lurus (kombinasi pengamatan arah), lingkaran
konsentrik (kombinasi pengamatan jarak), lingkaran eksentrik (kombinasi pengamatan
sudut) dan hiperbolik (kombinasi pengamatan selisih jarak). Visualisasi masing-masing
pasang garis posisi tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.10 dalam Poerbandono, 2005
dengan keterangan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Perpotongan LOP garis lurus: posisi u diperoleh dengan mengukur arah-arah αiu dan αju
dari dua buah titik ikat (referensi) i dan j di pantai. dari perpotongan kedua garis lurus
(pengamtan arah tersebut dapat diperoleh posisi titik u (Gambar 2.10a) dalam
Poerbandono, 2005. Pengukuran arah biasanya dilakkan menggunakan teodolit kompas.
2. Perpotongan LOP lingkaran konsentrik: posisi u diperoleh dari minimal dua titik
referensi i dan j yang diketahui posisinya dan pengamatan jarak-jarak horisontal Siu
dan Sju. Posisi titik u ditentukan dari perpotongan dua jarak terhadap titik referensi
tersebut (Gambar 2.10b) dalam Poerbandono, 2005. Jarak horisontal dapat diperoleh
dengan memanfaatkan cahaya tampak (menggunakan substence bar), gelombang radio
(mengukur beda fase atau beda pulsa) atau sinar laser.
3. Perpotongan LOP lingkaran eksentrik atau disebut juga metode perpotongan sudut
(resection): posisi titik u diketahui dari minimal tiga titik referensi i, j dan k yang
koordinat-koordinatnya diketahui. Koordinat titik u ditentukan dari perpotongan antara
dua sudut βiuj dan βjuk yang diukur dari u terhadap ketiga titik referensi tersebut
(Gambar 2.10c) dalam Poerbandono, 2005. Sudut dapat diukur secara optik dengan
sekstan atau dengan alat elektro elektro-optik rotating laser beam.
4. Perpotongan LOP hiperbolik: Posisi titik u diketahui dari minimal tiga titik referensi i, j
dan k. Posisi titik u ditentukan dari perpotongan antara LOP yang mempunyai beda
jarak ∆S1 dan ∆S2 yang sama antara titik referensi (disebut: master) dengan titik ikat
penunjang (disebut: slave) (Gambar 2.10d) dalam Poerbandono, 2005. Kombinasi LOP
ini dipakai dalam penentuan posisi menggunakan gelombang radio. Beda jarak
diperoleh dengan mengukur beda pulsa antara ketiga titik tersebut.
4
2. Teknik penentuan posisi secara optik Penentuan posisi secara optik dilakukan dengan teodolit (theodolite). Berkas cahaya paa
garis bidik instrumen menggantikan garis-garis pengamatan. Jenis kombinasi LOP yang
dapat diterapkan dengan metode ini adalah garis lurus (pengamtan arah), lingkaran
konsentrik (pengamatan jarak) dan lingkaran eksentrik (pengamatan sudut). Metode optik
murni hanya memanfaatkan berkas sinar tampak sebagai pengganti garis pengamatan.
Instrumen elektronik dipakai bersama-sama dengan instrumen optik menghasilkan metode
pengukuran secara ektro-optik atau optik hibrid. Instrumen elektronik digunakan untuk
melakukan pengukuran jarak dengan memanfaatkan laser atau gelombang elektromagentik
atau gelombang radio. Instrumen untuk penentuan posisi secara optik dan elektro-optik
umumnya digunakan untuk pengukuran daerah pesisir dengan jangkauan antara 200 meter
hingga 5 kilometer dari garis pantai.
Penggunaan metode optik untuk penentuan posisi menuntut target yang harus terlihat dari
pengamat. Faktor-faktor dominan yang membatasi kemmapuan pengamat untuk melihat
target adalah kelengkungan bumi dan refraksi. Jika lukisan jalannya berkas cahaya
diasumsikan berupa garis lurus, maka untuk penggunaan instrumen optik di permukaan
bumi yang melengkung akan terjadi kondisi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.12
dalam Poerbandono, 2005. Fenomena yang disebut dengan keterbatasan garis penglihatan
(line of sight) ini merupakan akibat melengkungnya permukaan bumi.
3. Penentuan posisi secara elektronik Penggunaan gelombang elektromagnetik untuk mendapatkan besaran pengamatan jarak
merupakan prinsip penting dalam penentuan posisi elektronik. Metode penentuan posisi
yang digunakan adalah kombinasi LOP lingkaran konsentrik (pengukuran jarak) dan
hiperbolik (pengukuran selisih jarak). Pengukuran jarak tidak dilakukan secara langsung
melainkan diperoleh dengan mengenali laju gelombang elektromagnetik pada medium
atmosfer dan selang waktu sejak gelombang dipancarkan dari pengamat sampai dengan saat
diterima oleh target. Instrumen elektronik digunakan untuk mengukur jarak yang relaif
jauh, yang tidak dapat dijangkau oleh instrumen optik. Gelombang elektromagnetik
memiliki spektrum yang sangat luas. Tabel 2.1 dalam Poerbandono, 2005 memperlihatkan
spektrum gelombang elektromagnetik menurut panjang gelombang (λ) dan frekuensinya
(f).
5
4. Pengukuran jarak secara elektonik Pengukuran jarak secara elektronik dilakukan dengan metode-metode two way ranging, one
way ranging atau range difference. Teknik two way ranging dilakukan dengan satu
instrumen pemancar gelombang yang disebut dengan master dan satu instrumen pemantul
gelombang yang disebut dengan remote atau reflektor. Pengukuran selang waktu dilakukan
oleh jam pada master yang mengukur selang waktu sejak gelombang meninggalkan master,
dipantulkan oleh remote dan diterima kembali oleh master. Teknik ini dapat dipakai untuk
melakukan penentuan posisi dengan melakukan pengukuran jarak-jarak yang relatif pendek
dengan sistem alat antara lain Elektronic Dinstance Meter (EDM) atau EODM (Electro
Optic Dinstance Meter).
Teknik one way ranging dilakukan dengan menggunakan satu instrumen pemancar yang
disebut dengan transmitter dan satu instrumen penerima yang disebut dengan receiver. Pada
sistem ini pemancar disebut sebagai unit aktif dan penerima disebut sebagai unit pasif.
Pengukuran
5. Penentuan Posisi dengan GPS GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang
dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi
dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh
dunia tanpa tergantung waktu dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan. Pada saat
ini, sistem GPS sudah sangat banyak digunakan orang di seluruh dunia. Di Indonesia pun,
GPS sudah banyakdiaplikasikan, terutama yang terkait dengan aplikasi-aplikasi yang
menuntut informasi tentang posisi.
6
Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS adalah pengukuran jarak ke beberapa satelit
(yang koordinatnya telah diketahui) sekaligus, yang tidak lain merupakan kombinasi dari
beberapa permukaan posisi bola konsentrik dalam ruang, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.17 dalam Poerbandono, 2005.
Dibandingkan dengan sistem dan metode penentuan posisi lainnya, GPS mempunyai
banyak kelebihan dan menawarkan lebih banyak keuntungan, baik dalam segi
operasionalisas maupun kualitas posisi yang diberikan. Saat ini ada juga sistem penenutan
posisi berbasis satelit yang operasional, yaitu GLONASS yang dimiliki Rusia. Di samping
itu, dalam waktu dekat Komunitas Eropa akan meluncurkan sistem satelit GALILEO.
Dalam hal survei dan pemetaan serta penentuan posisi di laut, GPS telah digunakan untuk
keperluan survei hidro-oseanografi, survei seismik, penentuan posisi rambu-rambu dan
peralatan bantu navigasi serta titik-titik pengeboran minyak lepas pantai, ataupun untuk
mempelajari karakteristik arus, gelombang, ataupun pasut di lepas pantai. Bahkan beberapa
peneliti di Amerika Serikat juga telah menggunakan GPS, dikombinasikan dengan sistem
penentuan posisi akustik, untuk menentukan posisi titik-titik di dasar laut secara teliti,
dalam rangka mempelajari dinamika lempeng-lempeng benua di bawah lautan. GPS juga
telah digunakan untuk membantu proses pengerukan pelabuhan.
Sebelum adanya GPS, survei hidro-oseanografi umumnya menggunakan sistem penentuan
posisi elektronik yang memanfaatkan gelombang radio seperti Mini Ranger, Polarfix,
Syledis, Hyperfix dan Argo untuk mendapatkan informasi tentang posisi. Kadangkala
sekstan dan theodolit juga masih digunakan. Satelit Doppler (Transit) juga digunakan oleh
7
beberapa pihak. Saat ini penggunaan GPS dalam survei hidro-oseanografi terutama terkait
dengan:
- penentuan posisi titik-titik kontrol di pantai
- navigasi kapal survei
- penentuan posisi titik-titik perum (sounding)
- penentuan posisi sensor-sensor hidrografi dan oseanografi, serta
- penentuan posisi struktur atau objek di laut seperti wahana pengeboran (rig).
Dalam kaitannya dengan aktivitas pemetaan laut di atas, metode penentuan posisi yang
digunakan umumnya adalah:
1. Metode survei GPS: untuk penentuan posisi titik-titik kontrol di pantai;
2. Metode kinematik diferensial: untuk tahapan lainnya, baik menggunakan data
pseudorange untuk aplikasi-aplikasi yang menuntut ketelitian menengah (level meter),
maupun menggunakan data fase untuk ketelitian yang lebih tinggi (level cm);
3. Sistem DGPS dan RTK; untuk aplikasi-aplikasi yang menuntut informasi posisi secara
instan (real-time); dimana sistem DGPS umumnya digunakan untuk melayani aplikasi
berketelititan menengah dan sistem RTK untuk aplikasi berketelitian lebih tinggi.
Keunggulan metode penentuan posisis GPS adalah:
1. Dapat digunakan setiap saat tanpa tergantung waktu dan cuaca, baik siang maupun
malam hari, dalam kondisi cuaca yang buruk sekalipun seperti hujan ataupun kabut.
2. Ketinggian orbit yang cukup tinggi yaitu sekitar 20.000 km di atas permukaan bumi,
dan jumlahnya relatif banyak yaitu 24 satelit, sehingga dapat meliput wilayah yang
cukup luas.
3. Tidak terlalu terpengaruh dengan kondisi topografis dan pantai sekitar kawasan survei
kelautan, serta jarak kawasan survei dari pantai, dibandingkandengna penggunaan
metode optik maupun metode elektronik.
4. Posisi yang ditentukan mengacu ke suatu datum global yang dinamakan WGS-84.
Dengan kata lain, posisi yang diberikan oleh GPS akan selalu mengacu ke datum yang
sama, tidak tergantung pada lokasi dari kawasan-kawasan survei laut yang ditangani.
5. Memberikan ketelitian posisi yang spektrumnya cukup luas. Dari yang sangat teliti
(orde milimeter) sampai yang biasa-biasa saja (orde puluhan meter).
8
6. Tidak dikenakan biaya (gratis). Investasi yang pelru dilakukan oleh pengguna hanyalah
untuk alat penerima sinyal GPS beserta perangkat keras dan lunak untuk pemrosesan
datanya.
7. Alat penerima sinyal (receiver) GPS cenderung menjadi lebih kecil ukurannya, lebih
murah harganya, lebih baik kualitas data yang dibeirkannya, dan lebih tinggi
keandalannya.
Kendala GPS dalam penentuan posisi:
1. Tidak boleh ada penghalang antara alat penerima tersebut dengan satelit yang
bersangkutan.
2. Datum penentuan posisi yang digunakan adalah WGS-84, jika harus dipresentasikan
dalam datum lainnya, maka diperlukan proses transformasi koordinat dari datum WGS
1984 ke datum bersangkutan.
3. Komponen tinggi koordinat tiga-dimensi yang diberikan adalah tinggi yang mengacu ke
permukaan ellipsoid, yaitu ellipsoid referensi WGS-84. Jadi, tinggi titik yang
didapatkan dengan GPS bukanlah tinggi ortometris, yaitu tinggi yang mengacu ke
permukaan geoid (umum didekati dengan muka laut rata-rata, MSL).
4. Sumber daya manusia yang menguasai masalah teknologi ini di Indonesia relatif masih
belum terlalu banyak.
B. Proses Pembelajaran Secara SCL
1. Strategi pembelajaran Bentuk pembelajaran yang dilakukan untuk materi kuliah pada bagian ini adalah dengan
cara kuliah interaktif pada awal pembelajaran yang selanjutnya dikombinasikan dengan
metode tanya jawab.
2. Kegiatan Tutor a. Mempersiapkan materi dan rencana pembelajaran yang akan diberikan kepada
mahasiswa.
b. Menjelaskan rumusan kompetensi yang akan diperoleh mahasiswa setelah mengikuti
kuliah materi berikut ini (maksimum 5 menit)
c. Menjelaskan materi perkuliahan sesi minggu ini secara umum.
9
d. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menanggapai/mempertanyakan bagian
materi yang kurang jelas.
e. Memberikan umpan balik atau jawaban atas pertanyaan mahasiswa
f. Mengisi tabel evaluasi kompetensi akhir sesi pembelajaran
g. Menyampaikan bahan atau gambaran materi pertemuan berikutnya.
3. Kegiatan Mahasiswa a. Mahasiswa mengikuti kuliah pengantar dari dosen
b. Setiap mahasiswa mencatat/mencermati uraian materi yang diberikan.
c. Melakukan aktifitas pembelajaran mandiri dan berkelompok sesuai tugasnya dari
sumber-sumber belajar (Bahan Ajar, Jurnal, Referensi, dan lain-lain), baik yang sudah
disiapkan oleh dosen maupun dari perpustakaan.
d. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh dosen dalam sesi tanya jawab untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai materi yang diajarkan.
e. Setelah perkuliahan, mengulang kembali di rumah materi yang telah diberikan dari
sumber-sumber bacaan maupun media ajar lainnya.
BAB III PENUTUP
Materi yang disajikan pada modul ini merupakan garis besar dari materi yang ada,
mahasiswa dapat mengembangkan lebih jauh dengan membaca referensi yang ada pada
daftar bahan bacaan dan juga dari sumber-sumber lain yang relevan. Pengembangan isi
modul ini akan dilakukan secara berkelanjutan sehingga dapat memberi informasi yang
lebih baik bagi mahasiswa maupun tim dosen pengajar mata kuliah.
BAHAN BACAAN a. Poerbandono dan Djunarsjah, E., 2005. “Survei Hidrografi”. Aditama, Bandung.
b. Sujatmiko, E. “Global Positioning System, Pemandu Arah yang Luar Biasa”. Kompas, 4 Desember 2006.
c. Ikawati, Y. “GPS, Alat Pemandu Akurat dan Terukur”. Kompas, 30 Agustus 2006.
d. http://en.wikipedia.org/wiki/Gps. “Global Positioning System”. 12 Maret 2003.
10
MODUL II
PENGUKURAN PASANG SURUT
11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bangunan yang ditempatkan di laut, serta proses-proses alamiah yang terjadi di laut
umumnya dipengaruhi oleh pasang surut. Materi ini diajarkan pada minggu ke-4 dan ke-5.
Mahasiswa sudah memiliki pemahaman dasar dalam pelajaran Geografi, khususnya materi
tentang pergerakan benda-benda langit. Pergerakan benda langit tersebut menentukan
terjadinya pasang surut.
B. Ruang Lingkup Isi Modul ini membahas proses terjadinya pasang surut, pengaruh benda-benda langit serta
faktor-faktor lainnya yang turut berpengaruh pada besar kecil amplitude pasang surut (tidal
range). Di sini juga dibahas metode-metode yang digunakan untuk pengamatan pasang
surut.
C. Kaitan Modul Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa memiliki pemahaman tentang proses terjadinya
pasang surut serta metode yang digunakan untuk pengamatan pasang surut, sehingga sudah
ada pemahaman awal saat akan mempelajari materi survey batimetri (Modul III) dan
pembuatan alat survey sederhana (Modul VI) serta pengukuran pasang surut (Modul VII).
D. Sasaran Pembelajaran Modul Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa akan dapat menemukan paling sedikit 3 alat
ukur pasang surut serta dapat menjelaskan cara penggunaannya.
BAB II PEMBELAJARAN
A. Teori
Pasut laut (ocean tide) adalah fenomena naik dan turunnya permukaan air laut secara
periodik yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi benda-benda langit terutama bulan dan
matahari. Pengaruh gravitasi benda-benda langit terhadap bumi tidak hanya menyebabkan
pasut laut, tetapi juga mengakibatkan perubahan bentuk bumi (bodily tides) dan atmosfer
(atmospheric tides). Istilah pasut laut pada buku ini akan dinyatakan dengan pasut yang
merupakan gerak naik dan turun muka laut dengan periode rata-rata sekitar 12,4 jam atau
12
24,8 jam. Fenomena lain yang berhubungan dengan pasut adalah arus pasut, yaitu gerak
badan air menuju dan meninggalkan pantai saat air pasang dan surut.
Permukaan air laut dipakai sebagai tinggi nol. Kedalaman suatu titik di dasar perairan atau
ketinggian titik di pantai mengacu pada permukaan laut yang dianggap sebagai bidang
regernsi (atau datum) vertikal. Karena posisi muka laut selalu berubah, maka penentuan
tinggi nol harus dilakukan dengan merata-ratakan data tinggi muka air yang diamati pada
rentang waktu tertentu. Data tinggi muka air pada rentang waktu tertentu juga berguna
untuk keperluan peramalan pasut. Analisis data pengamatan tinggi muka air juga akan
berguna untuk mengenali karakter pasut dan fenomena lain yang mempengaruhi tinggi
muka air laut.
Gravitasi bulan merupakan pembangkit utama pasut. Walaupun massa matahari jauh lebih
besar dibanding massa bulan, namun karena jarak bulan yang jauh lebih dekat ke bumi
dibanding matahari, matahari hanya memberikan pengaruh yang lebih kecil terhadap
pembangkitan pasut di bumi.
Pengamatan pasut dilakukan untuk memperoleh data tinggi muka air laut di suatu lokasi.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat ditetapkan datum vertikal tertentu sesuai
untuk keperluan-keperluan tertentu pula. Pengamatan pasut dilakukan dengan mencatat
atau merekam data tinggi muka air laut pada setiap interval waktu terntentu. Rentang
pengamatan pasut sebaiknya dilakukan selama selang waktu keseluruhan periodisasi benda-
benda langit yang mempengaruhi terjadinya pasut telah kembali pada posisinya semula.
Rentang waktu pengamtan pasut yang lazim dilakukan untuk keperluan praktis adalah 15
atau 29 piantan (1 piantan = 25 jam). Interval waktu pencatatan atau perekaman tinggi
muka air laut biasanya adalah 15, 30 atau 60 menit.
Cara yang paling sederhana untuk mengamati pasut dilakukan dengan palem atau rambu
pengamat pasut (Gambar 3.8 dalam Poerbandono, 2005). Tinggi muka iar setiap jam
diamati secara manual oleh operator (pencatat) dan dicatat pada suatu fomrulir pengamatan
pasut. Pada palem dilukis tanda-tanda skala bacaan dalam satuan desimeter. Pencatat akan
menuliskan kedudukan tinggi muka air laut relatif terhadap palem pada jam-jam tertentu
sesuai dnegan skala bacaan yang tertulis pada palem. Muka air laut yang relatif tidak
tenang membatasi kemampuan pencatatan dalam menaksir bacaan skala. Walaupun
demikian, cara ini cukup efekti untuk memperoleh data pasut dengan ketelitian hinga
13
sekitar 2,5 cm. Tinggi palem disesuaikan dengan karakter tunggang air pada wilayah
periaran yang diamati pola pasutnya, yang biasanya sekitar 4 hingga 6 meter.
Teknologi pengamatan pasut yang lebih maju tidak lagi menggunakan cara manual dan
memerlukan orang yang ditugasi untuk mengamati dan mencatat tinggi muka air. Sebuah
alat pengamat pasut mekanik yang digunakan untuk ini adalah tide gauge. Gerakan naik
dan turunnya air laut dideteksi dengan sebuah pelampung yang digantungkan pada kawat
baja. Kawat baja tersebut digulungkan pada suatu silinder penggulung. Sebuah sistem
mekanik melakukan peredaman dan konversi gerakan silinder penggulung kawat baja dari
ke arah vertikal menjadi ke arah horsiontal. Gerakan horisontal bolak-balik tersebut
kemudian disambungkan pada sebuah pena yang menggoreskan tinta pada gulugan kertas
perekam data yang digulungkan pada suatu silinder. Gambar 3.9 dalam Poerbandono, 2005
memperlihatkan rekaman tinggi muka air pada kertas perekam berskala dari pengukuran
menggunakan tide gauge mekanik.
Kertas perekam digerakkan dengan sistem mekanik berenaga lisrk sehingga memungkinkan
memberikan kecepatan sudut yang konstan dan setara dengan jam pengamatan. Pada kertas
perekam juga terdapat skala bacaan yang memungkinkan untuk melakukan kalibrasi dan
pembacaan rekaman data yang efisien. Tide gauge semacam ini disebut dengan tide gauge
mekanik, karena sensor tinggi muka air dan pencatatannya pun dilakukan secara mekanik.
Pelampung biasanya diletakkan pada pipa dalam sistem bejana berhubungan untuk
mereduksi gerak muka laut sesaat karena gelombang dan angin. Pengembangan dari sistem
ini adlaaha penggunaan sensor akustik atau optik (sebagai pengganti sensor mekanik) untuk
mengukur tinggi muka air dengan perekaman secara digital.
Untuk skala regional dan global, satelit altimetri Topex/Poseidon yang bekerja
menggunakan pulsa RADAR kini dapat dimanfaatkan untkm emngukur tinggi muka air
laut yang berada jauh dari pantai. Satelit altimetri adalah satelit pengamt global dan dipakai
untuk memantau tinggi permkaan laut di seluruh bagian bumi. Sistem ini mempunyai
footprint beam pada radius sekitar 7 km dan sangat rentan terhadap noise yang ditimbulkan
oleh daratan, sehingga tidak memungkinkan untuk pemantaun lokal. Sistem pengamatan
pasut lokal dan dekat pantai yang paling maju saat ini adalah dengan suatu sebaran stasiun
pengamat pasut permanen dengan sensor laser dan perekaman secara digital. Data
14
pengamatan ditransmisikan melalui jaringan telepon atau gelombang radio ke suatu stasiun
pusat pengolahan data.
Pengikatan stasiun pengamat pasut adalah prosedur standar yang dilakukan untuk
mengetahui kedudukan nol palem relatif terhadap suatu titik di pantai yang ditetapkan
untuk keperluan rekonstuksi. Titik pengikatan nol palem tersebut perlu didokumentasikan
(atau dibuat permanen sebagai bench mark) dengan baik agar mudah ditentukan kembali.
Pengikatan stasiun pengamat pasut dilakukan dengan pengukuran sipat datar untuk
menentukan beda tinggi nol palem relatif terhadap titik pengikat. Jika selisih tinggi palem
terhadap titik ikat dikeathui, maka selisih tinggi tersebut nantinya akan digunakan untuk
mendefinisikan tinggi titik ikat itu sendiri setelah datum vertikal ditentukan dari pengamtan
pasut. Gambar 3.10 dalam Poerbandono, 2005 memperlihatkan kedudukan palem (atau alat
pengamat pasut lain) di P sebesar ∆hpz terhadap titik pengikat Z. Tinggi muka air yang
diamati, diukur relatif terhadap nol palem berdasarkan beda tinggi yang diukur dengan sipat
datar.
Beberapa persyaratan untuk penempatan lokasi stasiun pasut yang harus dipenuhi antara
lain adalah:
- Lokasi stasiunpasut harus menggambarkan karakteristik pasang susurt di daerah
sekitarnya.
- Tanah di daerah lokasi stasiun pasut harus keras (tidak berlumpur).
- Lokasi stasiun pasut sebaiknya jauh dari muara sungai, untuk menghindari pengaruh
aliran serta endapan dan sampah yang terbawa menuju ke laut.
- Perairan di lokasi stasiun pasut diupayakan bersih dan jernih serta tidak terganggu oleh
tetumbuhan laut yang ada di sekitarnya.
- Lokasi dicari sedemikian rupa agar memudahkan pengawasan dan pemeliharaan stasiun
pasut.
- Terlindung dari pengaruh ombak dan gelombang serta pengaruh lainnya secara
langsung.
15
16
17
B. Proses Pembelajaran Secara SCL
1. Strategi pembelajaran Modul ini diselesaikan dengan alokasi waktu dua pertemuan. Pada pertemuan pertama
adalah dengan cara kuliah interaktif yang dikombinasikan dengan metode tanya jawab.
Pertemuan kedua dilakukan dengan metode collaborative learning.
2. Kegiatan Tutor a. Mempersiapkan materi dan rencana pembelajaran yang akan diberikan kepada
mahasiswa.
b. Menjelaskan rumusan kompetensi yang akan diperoleh mahasiswa setelah
mengikuti kuliah materi ini.
c. Menjelaskan materi perkuliahan sesi minggu ini secara umum.
18
d. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menanggapai/mempertanyakan
bagian materi yang kurang jelas.
e. Memberikan umpan balik atau jawaban atas pertanyaan mahasiswa
f. Membentuk kelompok diskusi mahasiswa.
g. Memberi tugas kelompok kepada mahasiswa.
h. Mengarahkan mahasiswa dalam proses collaborative learning.
i. Mengisi tabel evaluasi kompetensi akhir sesi pembelajaran.
j. Menyampaikan bahan atau gambaran materi pertemuan berikutnya.
3. Kegiatan Mahasiswa a. Mahasiswa mengikuti kuliah pengantar dari dosen
b. Setiap mahasiswa mencatat/mencermati uraian materi yang diberikan.
c. Melakukan aktifitas pembelajaran mandiri dan berkelompok sesuai tugasnya dari
sumber-sumber belajar (Bahan Ajar, Jurnal, Referensi, dan lain-lain), baik yang
sudah disiapkan oleh dosen maupun dari perpustakaan.
d. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh dosen dalam sesi tanya jawab untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai materi yang diajarkan.
e. Setelah perkuliahan, mengulang kembali di rumah materi yang telah diberikan
dari sumber-sumber bacaan maupun media ajar lainnya.
4. Lembar Kerja Mahasiswa Tugas Kelompok (mahasiswa dibagi ke dalam 4 kelompok):
Buat makalah dan bahan presentasi dengan judul ”Pasang Surut dan Cara Pengukurannya”.
Makalah dibuat dengan susunan penulisan sebagai berikut:
A. Pengertian Pasang Surut
B. Proses Terjadinya Pasang Surut
C. Alat Ukur Pasang Surut dan Prinsip Kerjanya
D. Referensi
Petunjuk:
Gunakan sumber bacaan dari buku dan internet. Untuk sumber dari internet, dengan
menggunakan fasilitas search pada google atau program lainnya, masukkan kata kunci
berikut: ”tide gauge”, ”tide level”
19
5. Lembar Evaluasi Nilai Indikator No. Nama Mahasiswa 1 (35%) 2 (35%) 3 (30%)
Penilaian yang diberikan pada modul ini mempunyai nilai bobot 10% terhadap nilai akhir.
Skala nilai pada tiap indikator berada pada angka 0 – 10 dengan rincian sebagai berikut:
a. Jika jumlah variasi alat (n) yang diperoleh (untuk indikator 1): n = 0, mendapat nilai 0 n = 1, mendapat nilai 5 n = 2, mendapat nilai 6 n = 3, mendapat nilai 7 n = 4, mendapat nilai 8 n = 5, mendapat nilai 9 n ≥ 5, mendapat nilai 10
b. Kebenaran penjelasan penggunaan alat (kelompok pemateri, indikator 2): Tidak pernah menjawab, mendapat nilai 0 1 x jawaban salah, mendapat nilai 5 2 x jawaban salah, mendapat nilai 6 3 x jawaban salah, mendapat nilai 7 1 x jawaban benar, mendapat nilai 8 2 x jawaban benar, mendapat nilai 9 3 x jawaban benar, mendapat nilai 10 Jika sekurang-kurangnya ada 1 jawaban benar, maka jawaban salah tidak diberi nilai
c. Keaktifan dalam diskusi (bukan kelompok pemateri, indikator 3):
Tidak aktif dalam diskusi, mendapat nilai 0 1 x mengajukan pertanyaan, mendapat nilai 5 2 x mengajukan pertanyaan, mendapat nilai 6 3 x mengajukan pertanyaan, mendapat nilai 7 1 x jawaban benar, mendapat nilai 8 2 x jawaban benar, mendapat nilai 9 3 x jawaban benar, mendapat nilai 10
20
BAB III PENUTUP
Materi yang disajikan pada modul ini merupakan garis besar dari materi yang ada,
mahasiswa dapat mengembangkan lebih jauh dengan membaca referensi yang ada pada
daftar bahan bacaan dan juga dari sumber-sumber lain yang relevan. Pengembangan isi
modul ini akan dilakukan secara berkelanjutan sehingga dapat memberi informasi yang
lebih baik bagi mahasiswa maupun tim dosen pengajar mata kuliah.
1. Penilaian untuk penguasaan materi dengan poin maksimal 8 meliputi : ketepatan
dalam menjawab pertanyaan, sistematika menjawab pertanyaan
Kerapihan laporan tugas dengan poin penilaian maksimal 2 BAHAN BACAAN a. Poerbandono dan Djunarsjah, E., 2005. “Survei Hidrografi”. Aditama, Bandung.
b. http://www.dec.ny.gov/imsmaps/benthic/webpages/benthicdata.html. 7 Maret 2008.
c. http://woodshole.er.usgs.gov/operations/sfmapping/seaboss.htm. “WHSC Ground-Truth systems”. 7 Maret 2008.
d. http://ioc3.unesco.org/itic/contents.php?id=23. “Tide, Mareograph, Sea Level” 9 Maret 2008.
e. http://celebrating200years.noaa.gov/transformations/tides/image3.html. Transformation: Tides and Current”. 9 Maret 2008.
f. http://www.vims.edu/physical/research/TCTutorial/tidemeasure.htm. “Water Level Measurement”. 9 Maret 2008.
21
MODUL III
SURVEY BATIMETRI
22
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Modul ini digunakan untuk perkuliahan minggu ke-6 dan ke-7. Peta batimetri sangat
berguna pada saat melakukan pekerjaan di laut, seperti perencanaan bangunan pelindung
pantai, studi tentang proses morfologi pantai, pembangunan pelabuhan dan lain-lain. Oleh
karena itu mahasiswa diberikan pemahaman awal cara membuat peta batimetri.
B. Ruang Lingkup Isi Modul ini membahas prinsip dasar pengukuran kedalaman di laut, alat-alat yang digunakan,
pengaruh pasang surut dalam pelaksanaan survey, pembuatan detai situasi dan garis pantai.
C. Kaitan Modul Mahasiswa telah mengetahui pengetahuan tentang penentuan posisi (Modul I), cara
pengukuran pasan surut (Modul II). Modul ini menjadi dasar dalam membuat peralatan
sederhana (Modul VI) dan melakukan survey batimetri (Modul VII).
D. Sasaran Pembelajaran Modul Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa akan dapat menemukan paling sedikit 4 alat
yang digunakan pada survey batimetri serta dapat menjelaskan cara penggunaannya.
BAB II PEMBELAJARAN
A. Teori
Pemeruman adalah proses dan aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh gambaran
(model) bentuk permkaan (topografi) dasar perairan (seabed surface). Proses penggambaran
dasar perairan tersebut (sejak pengukuran, pengolahan hingga visualisasinya) disebut
sebagai survei batimetri. Gambar dasar perairan dapat diasjikan dalam garis-garis kontur
atau model permukaan digital. Gambar 4.1 dan 4.2 dalam Poerbandono, 2005
memperlihatkan visualisasi dasar perairan sebuah pulau.
Garis-garis kontur kedalaman atau model batimetri diperoleh dengan menginterpolasikan
titik-titik pengukuran kedalaman bergantung pada skala model yang hendak dibuat. Titik-
titik kedalaman berada pada lajur-lajur pengukuran kedalaman yang disebut sebgai lajur
23
perum atau sounding line. Pada contoh Gambar 4.1 dan 4.2 jarak antar lajur perum adalah
100 m yang melingkupi daerah survei seluas sekitar 3 x 6 km2.
Jarak antar titik-titik fiks perum pada suatu lajur pemeruman setidak-tidaknya sama dengan
atau lebih rapat dari interval lajur perum. Saat ini, teknik perekaman data kedalaman sudah
dapat dilakukan secara digital. Laju perekaman data telah mencapai kecepatan yang lebih
baik dari 1 titik per detik.
1. Pengukuran Kedalaman Pengukuran kedalaman dilakukan pada titik-titik yang dipilih untuk mewakili keseluruhan
daerah yang akan dipetakan. Pada titik-titik tersebut juga dilakukan pengukuran untuk
penentuan posisi. Titik-titik tempat dilakukannya pengukuran untuk penentuan posisi dan
kedalaman disebut sebagai titik fiks perum. Pada setiap titik fiks perum harus juga
dilakukan pencatatan waktu (saat) pengukuran untuk reduksi hasil pengukuran karena
pasut.
Pemeruman dilakukan dengan membuat profil (potongan) pengukuran kedalaman. Lajur
perum dapat berbentuk garis-garis lurus, lingkaran-lingkaran konsentrik, atau lainnya
sesuai metode yang digunakan untuk penentuan posisi titik-titik fiks perumnya. Lajur-lajur
perum didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan pendeteksian perubahan
kedalaman yang lebih ekstrem. Untuk itu, desain lajur-lajur perum harus memperhatikan
kecenderungan bentuk dan topografi pantai sekitar perairan yang akan disurvei. Agar
mampu mendeteksi perubahan kedalaman yang lebih ekstrem lajur perum dipilih dengan
arah yang tegak lurus terhadap kecenderungan arah garis pantai (Gambar 4.4) dalam
Poerbandono, 2005.
Dari pengukuran kedalaman di titik-titik fiks perum pada lajur-lajur perum yang telah
didesain, akan didapatkan sebaran titik-titik fiks perum pada daerah survei yang nilai-nilai
pengukuran kedalamannya dapat dipakai untuk menggambarkan batimetri yang diinginkan
(Gambar 4.5) dalam Poerbandono, 2005. Berdasarkan sebaran angka-angka kedalaman
pada titik –titik fiks perum itu, batimetri perairan yang disurvei dapat diperoleh dengan
menarik garis-garis kontur kedalaman. Penarikan garis kontur kedalaman dilakukan dengan
membangun grid dari sebaran data kedalaman. Dari grid yang dibangun, dapat ditarik garis-
garis yang menunjukkan angka-angka kedalaman yang sama.
24
Teknik yang paling sederhana untuk menarik garis kontur adalah dengan teknik triangulasi
menggunakan intepolasi linier. Grid dengan interval yang seragam dibangun di atas sebaran
titik-titik tersebut. Nilai kedalaman di setiap titik-titik grid dihitung berdasarkan tiga titik
kedalaman terdekat dengan pembobotan menurut jarak. Dari angka-angka kedalaman
terdekat dengan pembobotan menurut jarak. Dari angka-angka kedalaman di setiap titik-
titik grid, dapat dihubungkan dari titik-titik yang mempunyai nilai kedalaman yang sama.
Gambar 4.6 dalam Poerbandono, 2005 memperlihatkan teknik penentuan tinggi pada suatu
titik grid (D) dari tiga titik kedalaman pengukuran terdekat (1, 2 dan 3).
Pengukuran kedalaman merupakan bagian terpenting dari pemeruman yang menurut
prinsip dan karakter teknologi yang digunakan dapat dilakukan dengan metode mekanik,
optik atau akustik.
Metode mekanik merupakan metode yang paling awal yang pernah dilakukan manusia
untuk melakukan pengukuran kedalaman. Metode ini sering disebut juga dengan metode
pengukuran kedalaman secara langsung. Pada beberapa kondisi lapangan tertentu, misalnya
daerah perairan yang sangat dangkal atau rawa, cara ini masih cukup efektif untuk
digunakan. Instrumen yang dipakai untuk melakukan pengukuran kedalaman dengan
metode ini adalah tongkat ukur atau rantai ukur yang dilakukan dengan bantuan wahana
apung. Bentuk dan penampilan tongkat ukur kurang lebih tidak jauh berbeda dengan rambu
ukur yang dipakai untuk pengukuran sipat datar. Sedangkan rantai ukur, karena fleksibilitas
bentuknya, biasanya dipakai untuk melakukan pengukuran kedalaman perairan yang rata-
rata lebih dalam dibanding tongkat ukur.
Pengukuran kedalaman dengan metode optik merupakan cara teraru yang digunakan untuk
pemeruman. Metode ini memanfaatkan transmisi sinar laser dari pesawat terbang dan
prinsip-prinsip optik untuk mengukuran kedalaman perairan. Teknologi ini dikenal dengan
sebutan laser airborne bathymetry (LAB) dan telah dikembangkan menjadi suatu sistem
pemeruman oleh beberapa negara di Amerika dan Australia. Pada metode ini sudut
transmisi sinar laser diarahkan tegak lurus terhadap arah lintasan pesawat. Gambar 4.7
dalam Poerbandono, 2005 menunjukkan profil prinsip kerja LADS dalam melakukan
pengukuran kedalaman di titik P.
Penggunaan gelombang akustik untuk pengukuran-pengukuran bawah air (termasuk:
pengukuran kedalaman, arus dan sedimen) merupakan teknik yang paling populer dalam
25
hidrografi hingga saat ini. Gelombang akustik dengan frekuensi 5 kHz atau 100 Hz akan
mempertahankan kehilangan intensitasnya hingga kurang dari 10% pada kedalaman 10 km,
sedangkan gelombang akustik dengan frekuensi 500 kHz akan kehilangan intensitasnya
pada kedalaman kurang dari 100 m. Secara khusus, teknik ini dipelajari dalam hidro-
akustik. Untuk pengukuran kedalaman, digunakan echosounder atau perum gema yang
pertama kali dikembangkan di Jerman tahun 1920. Alat ini dapat dipakai untuk
menghasilkan profil kedalaman yang kontinyu sepanjang lajur perum dengan ketelitian
yang cukup baik.
Alur perum gema menggunakan prinsip pengukuran jarak dengan memanfaatkan
gelombang akustik yang dipancarkan dari tranduser (Gambar 4.9) dalam Poerbandono,
2005. Tranduser adalah bagian dari alat perum gema yang mengubah energi listrik menjadi
mekanik (untuk membangkitkan gleombang suara) dan sebaliknya. Gelombang akustik
tersebut merambat pada medium air dengan cepat rampat yang relatif diketahui atau dapat
diprediksi hingga menyentuh dasar perairan dan dipantulkan kembali ke transduser.
Perum gema menghitung selang waktu sejak gelombang dipancarkan dan diterima kembali
(∆t), sehingga jarak dasar perairan relatif terhadap transduser adalah:
tvdu ∆=21
Dengan du = kedalaman hasil ukuran dan v = kecepatan gelombang akustik pada medium
air. Hasil pengukuran kedalaman akan direkam sekaligus ditampilkan pada suatu gulungan
kertas (roll paper) yang disebut sebagai echogram (kertas perum) atau direkam dan
ditampilkan secara digital. Pada kertas perum akan terlukis profil kedalaman perairan
sepanjang jalur survei kapal (lajur perum). Jika pada titik-titik tertentu ditandai saat (waktu)
pengukurannya dan pengukuran untuk penentuan posisi dilakukan secara kontinyu dengan
saat yang tercatat, maka hasil pencatatan waktu tersebut dapat digunakan untuk
merekonstruksi posisi kapal saat melakukan pengukuran kedalaman dilakukan. Gambar
4.10 dalam Poerbandono, 2005 memperlihatkan rekaman pengukuran kedalaman pada
kertas perum (echogram). Garis-garis vertikal menunjukkan saat-saat penentuan posisi
dilakukan dan disebut sebagai garis-garis fiks (fix mark). Pada garis-garis fiks tersebut,
waktu perekaman data juga harus dicatat untuk sinkronisasi dengan koreksi pasut. Profil
26
kedalaman yang dicontohkan pada Gambar 4.10 dalam Poerbandono, 2005 sangat curam,
sehingga setiap potongan profil harus dibaca menurut skala pengukuran yang berbeda.
2. Detil Situasi dan Garis Pantai Detil situasi yang dimaksud di sini adalah unsur-unsur yang terdapat di sepanjang pantai,
yang seringkali ikut tergambarkan pada peta-peta laut. Untuk keperluan pelayaran, detil
situasi dibutuhkan oleh pelaut untuk melakukan navigasi secara visual. Artinya, detil
tersebut dibutuhkan oleh pelaut untuk membantunya dalam penentuan posisi kapal. Secara
umum, detil situasi yang terdapat di sepanjang pantai, dapat berupa unsur-unsur alam
(misalnya: pohon kelapa, bakau, karang, tebing dan lain-lain) atau buatan manusia
(pelabuhan, mercusuar, menara, bangunan dan lain-lain). Seberapa jauh detil yang harus
diukur untuk keperluan pembuatan peta laut sangat tergantung dari tujuan pembuatan peta
lautnya. Yang jelas, semakin besar skala peta yang akan dibuat, akan semakin rapat detil
situasi yang harus diukur.
Garis pantai merupakan garis pertemuan antara pantai (daratan) dan air (lautan). Walaupun
secara periodik permukaan air laut selalu berubah, suatu tinggi muka air tertentu yang tetap
harus dipilih untuk menjelaskan posisi garis pantai. Pada peta laut biasanya digunakan garis
air tinggi (high water line) sebagai garis pantai (Gambar 4.16 dalam Poerbandono, 2005).
Sedangkan untuk acuan kedalaman biasanya digunakan garis air rendah (low water line).
Walaupun secara teoritis, garis pantai diambil dari kedudukan garis air tinggi, pada
kenyataannya, penentuan garis pantai di lapangan akan menghadapi berbagai kendala
dalam penentuan titik representatif yang mewakili batas antar daratan dan perairan pada
pantai-pantai dengan karakteristik seperti: pantai lumpur, pantai pasir, pantai batu/batu
kersik/batu besar, pantai karang/karang terjal, pantai curam, pantai pepohonan, pantai
rerumputan atau pantai buatan. Penentuan garis pantai di lapangan dapat dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
(a) Untuk daerah pantai yang landai (berpasir), garis pantai ditentukan dengan melihat jejak
atau bekas genangan saat air pasang tertinggi.
(b) Untuk pantai berlumpur, garis pantai diwakili oleh garis pertemuan antara daratan
(tanah keras) dengan lautan. Garis pantai dalam hal ini diwakili oleh garis air tinggi,
berupa jejak permukaan air laut yang paling tinggi yang dapat terjadi pada daratan.
27
(c) Untuk daerah pantai yang bertebing terjal, garis pantainya adalah bibir bibir tebing
tersebut.
(d) Untuk daerah rawa dan tumbuhan semak, garis pantainya adalah batas tumbuhan terluar
ke arah laut.
(e) Untuk pantai buatan, garis pantainya diwakili oleh garis batas terluar suatu bangunan
permanen buatan manusia yang terletak di pinggi pantai.
Sebelum kegiatan pengukuran garis pantai dilakukan, sebaiknya terlebih dahulu harus
dilakukan survei pendahuluan untuk mengenal karakteristik pantai yang akan ditemui. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara memeriksa peta-peta lama yang tersedia. Kegiatan ini
dapat dianggap sebagai bagian dari kegiatan perencanaan sebelum survei lapangan
dilaksanakan. Berdasarkan informasi awal ini, dapat ditentukan metode dan peralatan apa
yang akan digunakan untuk penentuan garis pantai.
B. Proses Pembelajaran Secara SCL
1. Strategi pembelajaran Modul ini diselesaikan dengan alokasi waktu dua pertemuan. Pada pertemuan pertama
adalah dengan cara kuliah interaktif yang dikombinasikan dengan metode tanya jawab.
Pertemuan kedua dilakukan dengan metode collaborative learning.
2. Kegiatan Tutor a. Mempersiapkan materi dan rencana pembelajaran yang akan diberikan kepada
mahasiswa.
b. Menjelaskan rumusan kompetensi yang akan diperoleh mahasiswa setelah
mengikuti kuliah materi ini.
c. Menjelaskan materi perkuliahan sesi minggu ini secara umum.
d. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menanggapai/mempertanyakan
bagian materi yang kurang jelas.
e. Memberikan umpan balik atau jawaban atas pertanyaan mahasiswa
f. Membentuk kelompok diskusi mahasiswa.
g. Memberi tugas kelompok kepada mahasiswa.
28
h. Mengarahkan mahasiswa dalam proses collaborative learning.
i. Mengisi tabel evaluasi kompetensi akhir sesi pembelajaran.
j. Menyampaikan bahan atau gambaran materi pertemuan berikutnya.
3. Kegiatan Mahasiswa a. Mahasiswa mengikuti kuliah pengantar dari dosen
b. Setiap mahasiswa mencatat/mencermati uraian materi yang diberikan.
c. Melakukan aktifitas pembelajaran mandiri dan berkelompok sesuai tugasnya dari
sumber-sumber belajar (Bahan Ajar, Jurnal, Referensi, dan lain-lain), baik yang
sudah disiapkan oleh dosen maupun dari perpustakaan.
d. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh dosen dalam sesi tanya jawab untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai materi yang diajarkan.
e. Setelah perkuliahan, mengulang kembali di rumah materi yang telah diberikan
dari sumber-sumber bacaan maupun media ajar lainnya.
4. Lembar Kerja Mahasiswa Tugas Kelompok (mahasiswa dibagi ke dalam 4 kelompok):
Buat makalah dan bahan presentasi dengan judul ”Survei Batimetri dan Tahapan
Pelaksanaannya”.
Makalah dibuat dengan susunan penulisan sebagai berikut:
A. Pengertian Survei Batimetri
B. Hal-hal yang Diperhatikan pada Pelaksanaan Survei
C. Alat yang Digunakan dan Prinsip Kerjanya
D. Referensi
Petunjuk:
Gunakan sumber bacaan dari buku dan internet. Untuk sumber dari internet, dengan
menggunakan fasilitas search pada google atau program lainnya, masukkan kata kunci
berikut: ”beach profiling”, ”sidescan sonar”, “multibeam sidescan sonar”, echosounder.
29
5. Lembar Evaluasi Nilai Maksimum Indikator No. Nama Mahasiswa 1 (35%) 2 (35%) 3 (30%)
Penilaian yang diberikan pada modul ini mempunyai nilai bobot 10% terhadap nilai akhir.
Skala nilai pada tiap indikator berada pada angka 0 – 10 dengan rincian sebagai berikut:
d. Jika jumlah variasi alat (n) yang diperoleh (untuk indikator 1): n = 0, mendapat nilai 0 n = 1, mendapat nilai 5 n = 2, mendapat nilai 6 n = 3, mendapat nilai 7 n = 4, mendapat nilai 8 n = 5, mendapat nilai 9 n ≥ 5, mendapat nilai 10
e. Kebenaran penjelasan penggunaan alat (kelompok pemateri, indikator 2): Tidak pernah menjawab, mendapat nilai 0 1 x jawaban salah, mendapat nilai 5 2 x jawaban salah, mendapat nilai 6 3 x jawaban salah, mendapat nilai 7 1 x jawaban benar, mendapat nilai 8 2 x jawaban benar, mendapat nilai 9 3 x jawaban benar, mendapat nilai 10 Jika sekurang-kurangnya ada 1 jawaban benar, maka jawaban salah tidak diberi nilai
f. Keaktifan dalam diskusi (bukan kelompok pemateri, indikator 3):
Tidak aktif dalam diskusi, mendapat nilai 0 1 x mengajukan pertanyaan, mendapat nilai 5 2 x mengajukan pertanyaan, mendapat nilai 6 3 x mengajukan pertanyaan, mendapat nilai 7 1 x jawaban benar, mendapat nilai 8 2 x jawaban benar, mendapat nilai 9 3 x jawaban benar, mendapat nilai 10
30
BAB III PENUTUP
Materi yang disajikan pada modul ini merupakan garis besar dari materi yang ada,
mahasiswa dapat mengembangkan lebih jauh dengan membaca referensi yang ada pada
daftar bahan bacaan dan juga dari sumber-sumber lain yang relevan. Pengembangan isi
modul ini akan dilakukan secara berkelanjutan sehingga dapat memberi informasi yang
lebih baik bagi mahasiswa maupun tim dosen pengajar mata kuliah.
BAHAN BACAAN a. Poerbandono dan Djunarsjah, E., 2005. “Survei Hidrografi”. Aditama, Bandung.
b. http://woodshole.er.usgs.gov/operations/sfmapping/bathy.htm. Bathymetry systems. 7 Maret 2008.
c. http://woodshole.er.usgs.gov/operations/sfmapping/bathyhist.htm. Bathymetry systems. 7 Maret 2008.
31
MODUL IV
PENGUKURAN ARUS LAUT
32
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Arus laut memiliki peranan yang besar pada proses morfologi pantai, berpengaruh dalam
keseimbangan ekosistem laut dan sebagainya. Untuk melakukan pekerjaan perencanaan
bangunan pelindung pantai, pengaturan inlet dan outlet kawasan tambak, dan sebagainya,
maka pemahaman pengukuran arus laut sangat diperlukan. Mahasiswa sudah mendapatkan
pemahaman mengenai proses terjadinya gelombang, pasang surut, serta bagaimana suhu air
di laut yang berpengaruh dalam pembangkitan arus laut.
B. Ruang Lingkup Isi
Modul ini menguraikan prinsip dasar terjadinya arus di laut, prosedur pengukuran arus serta
alat-alat yang dapat digunakan.
C. Kaitan Modul
Mahasiswa telah mendapatkan pemahaman tentang cara penentuan posisi di laut (Modul I),
sehingga prinsip dasar pengukuran arus dengan menggunakan alat apung dapat dipahami
mahasiswa. Setelah memahami prinsip dasar pengukuran, mahasiswa akan memperoleh
pemahaman awal untuk membuat alat ukur (Modul VI) serta melaksanakan pengukuran
arus laut (Modul VII).
D. Sasaran Pembelajaran Modul Setelah mendapatkan materi ini, mahasiswa akan dapat menemukan paling sedikit 3 alat
yang digunakan pada pengukuran arus laut serta dapat menjelaskan cara penggunaannya.
BAB II PENGUKURAN ARUS LAUT
A. Teori
Arus adalah gerakan badan air. Di pantai dengan perairan dangkal, arus dapat dibangkitkan
oleh pasut, gelombang dan -sampai tingkat tertentu- angin. Pengetahuan mengenai
dinamika arus pada suatu wilayah perairan sangat penting untuk kajian mengenai dinamika
dan kualitas lingkungan serta rekayasa wilayah. Teknik pengukuran arus dapat dilakukan
dengan pendekatan Lagrangian atau Eulerian. Pendekatan Lagrangian dilakukan dengan
pengamatan gerakan massa air permukaan dalam rentang waktu tertentu. Implementasinya
33
biasanya dilakukan dengan sebuah pelampung. Selama selang waktu tertentu dan dalam
interval waktu yang tertentu pula, pengamat mencatat posisi pelampung tersebut. Studi
dinamika arus yang demikian sangat penting –misalnya- untuk mengkaji model tumpahan
minyak atau pengangkutan materi oleh badan air di permukaan. Sementara, pendekatan
Eulerian dilakukandengan pengamatan arus pada suatu posisi tertentu di suatu kolom air.
Data yang diperoleh dengan pendekatan ini adalah kekuatan dan arah arus pada suatu
tempat sebagai fungsi dari waktu. Buku ini hanya akan mendiskusikan teknik pengukuran
arus dengan pendekatan Eulerian.
Pada lingkungan laut yang didominasi oleh pasut, maka durasi pengukuran arus pasut
setidak-tidaknya adalah sepanjang periode pasut. Untuk daerah dengan sifat pasut yang
diurnal atau campuran, maka durasi pengukuran arus adalah sekurang-kurangnya 25 jam.
Sementara, untuk daerah dengan sifat pasut yang semi-diurnal, maka durasi pengukuran
arus adalah sekurang-kurangnya 13 jam. Cakupan waktu tersebut sangat diperlukan untuk
memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang arah dan kecepatan arus pasut pada satu
perioda pasut.
Saat pengukuran arus pasut, sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga mewakili kondisi
pada saat bulan purnama dan bulan perbani. Untuk itu, pengukuran perlu dijadwalkan
selama dua kali dengan selang waktu sekitar 7 hari. Buku pasut yang diterbitkan Dishidros
TNI-AL akan sangat membantu dalam mengambil keputusan untuk merencanakan saat
pengukuran arus. Interval pengukuran dapat dilakukan setiap 1 jam untuk pengukuran pada
pantai yang mempunyai sifat pasut diurnal. Pada pantai yang mempunyai sifat pasut semi-
diurnal dan campuran sebaiknya pengukuran dilakukan sekurang-kurangnya dengan
interval 30’.
Pemilihan lokasi pengukuran ditentukan berdasarkan pertimbangan kemampuan alat,
kondisi lapangan, dan permintaan ketelitian (Gambar 5.3 dalam Poerbandono, 2005). Jika
yang digunakan adalah alat ukur mekanik, maka sebaiknya pengukuran dilakukan di
ketinggian sekitar 40% dari dasar perairan. Tempat yang diukur harus mewakili kondis
batimetri perairan setempat. Jika pengukuran dilakukan di suatu sungai atau kanal pasut,
maka alat ukur ditempatkan setidak-tidaknya di tengah-tengah sungai dan jika mungkin
ditambahkan 2 lokasi antara sumbu dan tepi-tepi sungai. Pada suatu sistem sungai atau
kanal pasut (yang bercabang-cabang), pengukuran arus dilakukan pada setiap percabangan.
34
Untuk muara sungai, pengukuran perlu dilakukan pada 2 potongan. Potongan tersebut
hendaknya tegak lurus terhadap kecenderungan arah arus. Untuk pantai, pengukuran arus
dilakukan pada beberapa potongan tegak lurus garis pantai. Walaupun demikian, keputusan
pemilihan lokasi pengukuran akan bervariasi menurut tujuan survei.
Current meter adalah alat pengukur arus yang sangat populer. Pada saat awal
dikembangkannya, alat ini bekerja secara mekanik (Gambar 5.4 dalam Poerbandono, 2005).
Badan air yang bergerak memutar baling-baling yang dihubungkan dengan sebuah roda
gigi. Pada roda gigi tersebut terdapat penghitung (counter) dan pencatat waktu (time-
keeper) yang merekam jumlah putaran untuk setiap satuan waktu. Melalui proses kalibrasi,
jumlah putaran per satuan waktu yang dicatat dari alat ini dikonversi ke kecepatan arus
dalam meter per sekon (m/s). Alat ukur ini mempunyai ketelitian pengukuran yang relatif
sangat baik. Beberapa desain current meter mampu mengukur perubahan kecepatan gerak
badan air sampai dengan 1 mm/s. Kini, telah berkembang current meter yang bekerja secara
elektronik dan mempunyai kemampuan perekaman data yang sangat besar.
Hingga dewasa ini, current meter sangat umum dipakai untuk mengukur arah dan
kecepatan arus pada suatu lokasi dengan ketinggian tertentu dari dasar perairan. Kedalaman
pengukuran yang dipilih biasanya sekitar 60% dari permukaan air (atau 40% kedalaman
dari dasar perairan). Pada kedalaman tersebut kecepatan yang terukur biasanya sama
dengan kecepatan arus rata-ratanya. Jika pada suatu kolom air diperlukan lebih dari satu
data pengukuran arus, maka akan diperlukan dua atau lebih current meter yang digantung
pada kedalaman pengukuran yang berbeda. Keputusan mengenai jumlah alat yang dipakai
pada suatu kolom pengukuran akan sangat tergantung pada kebutuhan dan penggunaan data
pengukuran tersebut, ketersediaan sumberdaya (alat dan biaya) dan kondisi lapangan
(utamanya sifat gerakan badan air).
Teknik pengukuran arus yang saat ini merupakan state-of-the-art dilakukan dengan
memanfaatkan gelombang akustik. Beberapa diantaranya adalah Acoustic Doppler Profiler
(ADP) dan Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP) (Gambar 5.5 dalam Poerbandono,
2005). Pada alat ini, gelombang akustik dipancarkan melalui transduser dan merambat di
sepanjang kolom air. Pada suatu lapisan air yang diukur kecepatan arusnya, gelombang
dipantulkan kembali menuju transduser oleh partikel sedimen dan plankton (yang bergerak
dengan kecepatan sama dengan kecepatan gerak air). Karena adanya gerak relatif pemantul
35
gelombang terhadap alat ukur arus akustik, maka gelomang yang diterima akan mengalami
efek Doppler atau berubah frekuensinya. Perubahan frekuensi ini sebanding dengan
perbedaan kecepatan antara alat ukur arus akustik dengan lapisan arus yang diukur. Alat
ukur arus akustik memiliki beberapa kelebihan dibandingkan current meter konvensional.
Current meter mempunyai sifat mengganggu badan air yang diukur (intrusive), sementara
alat ukur arus akustik cukup dioperasikan dari permukaan air dengan posisi menghadap ke
dasar perairan. Resolusi spasial dan temporal alat ukur arus akustik juga jauh lebih baik
dibanding current meter.
Efek Doppler adalah fenomena kesetaraan perubahan frekuensi suatu bunyi (yang diterima
oleh pengamat) dengan perubahan kecepatan sumber bunyi. Peristiwa ini biasanya
dijelaskan dengan peluit kereta api yang terdengar meninggi saat mendekati pengamat dan
merendah saat kereta api menjauhi pengamat. Di dalam air terdapat material-material padat
yang tersuspensi (misalnya: sedimen, plankton dan lainnya) dan bergerak dengan arh dan
kecepatan yang sama dengan arus. Jika gelombang akustik dengan frekuensi dan intensitas
tertentu dibangkitkan dan ditembakkan ke suatu kolom air, maka material-material padat
tersuspensi pada lapisan air yang diukur akan memantulkan gelombang yang ditembakkan
tersebut kembali ke pembangkit. Karena material pemantul bergerak relatif terhadap
sumber gelombang, maka frekuensi gelombang pantul relatif terhadap gelombang panar
diketahui, maka kecepatan relatif antara pembangkit gelombang dengan lapisan air yang
diukur akan dapat dihitung.
36
B. Proses Pembelajaran Secara SCL
1. Strategi pembelajaran Modul ini diselesaikan dengan alokasi waktu dua pertemuan. Pada pertemuan pertama
adalah dengan cara kuliah interaktif yang dikombinasikan dengan metode tanya jawab.
Pertemuan kedua dilakukan dengan metode collaborative learning.
2. Kegiatan Tutor a. Mempersiapkan materi dan rencana pembelajaran yang akan diberikan kepada
mahasiswa.
b. Menjelaskan rumusan kompetensi yang akan diperoleh mahasiswa setelah
mengikuti kuliah materi ini.
c. Menjelaskan materi perkuliahan sesi minggu ini secara umum.
37
d. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menanggapai/mempertanyakan
bagian materi yang kurang jelas.
e. Memberikan umpan balik atau jawaban atas pertanyaan mahasiswa
f. Membentuk kelompok diskusi mahasiswa.
g. Memberi tugas kelompok kepada mahasiswa.
h. Mengarahkan mahasiswa dalam proses collaborative learning.
i. Mengisi tabel evaluasi kompetensi akhir sesi pembelajaran.
j. Menyampaikan bahan atau gambaran materi pertemuan berikutnya.
3. Kegiatan Mahasiswa a. Mahasiswa mengikuti kuliah pengantar dari dosen
b. Setiap mahasiswa mencatat/mencermati uraian materi yang diberikan.
c. Melakukan aktifitas pembelajaran mandiri dan berkelompok sesuai tugasnya dari
sumber-sumber belajar (Bahan Ajar, Jurnal, Referensi, dan lain-lain), baik yang
sudah disiapkan oleh dosen maupun dari perpustakaan.
d. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh dosen dalam sesi tanya jawab untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai materi yang diajarkan.
e. Setelah perkuliahan, mengulang kembali di rumah materi yang telah diberikan
dari sumber-sumber bacaan maupun media ajar lainnya.
4. Lembar Kerja Mahasiswa Tugas Kelompok (mahasiswa dibagi ke dalam 4 kelompok):
Buat makalah dan bahan presentasi dengan judul ”Arus Laut dan Cara Pengukurannya”.
Makalah dibuat dengan susunan penulisan sebagai berikut:
A. Pengertian Arus
B. Proses Terjadinya Arus Laut
C. Alat Ukur Arus dan Prinsip Kerjanya
D. Referensi
Petunjuk:
Gunakan sumber bacaan dari buku dan internet. Untuk sumber dari internet, dengan
menggunakan fasilitas search pada google atau program lainnya, masukkan kata kunci
berikut: ”current meter”, ”sea surveying”
38
5. Lembar Evaluasi Nilai Maksimum Indikator No. Nama Mahasiswa 1 (35%) 2 (35%) 3 (30%)
Penilaian yang diberikan pada modul ini mempunyai nilai bobot 10% terhadap nilai akhir.
Skala nilai pada tiap indikator berada pada angka 0 – 10 dengan rincian sebagai berikut:
g. Jika jumlah variasi alat (n) yang diperoleh (untuk indikator 1): n = 0, mendapat nilai 0 n = 1, mendapat nilai 5 n = 2, mendapat nilai 6 n = 3, mendapat nilai 7 n = 4, mendapat nilai 8 n = 5, mendapat nilai 9 n ≥ 5, mendapat nilai 10
h. Kebenaran penjelasan penggunaan alat (kelompok pemateri, indikator 2): Tidak pernah menjawab, mendapat nilai 0 1 x jawaban salah, mendapat nilai 5 2 x jawaban salah, mendapat nilai 6 3 x jawaban salah, mendapat nilai 7 1 x jawaban benar, mendapat nilai 8 2 x jawaban benar, mendapat nilai 9 3 x jawaban benar, mendapat nilai 10 Jika sekurang-kurangnya ada 1 jawaban benar, maka jawaban salah tidak diberi nilai
i. Keaktifan dalam diskusi (bukan kelompok pemateri, indikator 3):
Tidak aktif dalam diskusi, mendapat nilai 0 1 x mengajukan pertanyaan, mendapat nilai 5 2 x mengajukan pertanyaan, mendapat nilai 6 3 x mengajukan pertanyaan, mendapat nilai 7 1 x jawaban benar, mendapat nilai 8 2 x jawaban benar, mendapat nilai 9 3 x jawaban benar, mendapat nilai 10
39
BAB III PENUTUP Materi yang disajikan pada modul ini merupakan garis besar dari materi yang ada,
mahasiswa dapat mengembangkan lebih jauh dengan membaca referensi yang ada pada
daftar bahan bacaan dan juga dari sumber-sumber lain yang relevan. Pengembangan isi
modul ini akan dilakukan secara berkelanjutan sehingga dapat memberi informasi yang
lebih baik bagi mahasiswa maupun tim dosen pengajar mata kuliah.
BAHAN BACAAN
a. Poerbandono dan Djunarsjah, E., 2005. “Survei Hidrografi”. Aditama, Bandung.
b. http://sealevel.colorado.edu/tidegauges.html. ”Historical Tide Gauge Measurements”. 9 Maret 2008.
c. http://www.global-greenhouse-warming.com/measuring-sea-level.html. ” Measuring Sea Level”. 9 Maret 2008.
d. http://www.interoceansystems.com/systems_main.htm. “Remote Environmental Monitoring and Data Collection Systems”. 9 Maret 2008.
40
MODUL V
PENGAMBILAN SAMPEL SEDIMEN
41
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Untuk mempelajari terjadinya transport sediment di pantai, mahasiswa harus mengetahui
karakteristik sediment serta cara pengambilan sampelnya, sehingga Modul ini penting
untuk dipelajari mahasiswa.
B. Ruang Lingkup Isi Modul ini menguraikan proses terjadinya transport sediment di pantai, serta faktor-faktor
penyebabnya. Pengambilan sampel sedimen diuraikan dengan menggunakan beberapa
metode yang sederhana.
C. Kaitan Modul Posisi pengambilan sampel sediment diperlukan, sehingga pemahaman materi yang telah
diperoleh pada Modul I akan membantu mahasiswa untuk mempelajari modul ini.
Pemahaman materi pada modul ini kemudian menjadi pemahaman awal bagi mahasiswa
untuk pembuatan alat ukur (Modul VI) serta pelaksanaan pengukuran (Modul VII)
D. Sasaran Pembelajaran Modul Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa akan dapat menemukan paling sedikit 3 alat
yang digunakan pada pengambilan sampel sedimen serta dapat menjelaskan cara
penggunaannya.
BAB II PEMBELAJARAN
A. Teori Sedimen adalah bahan utama pembentuk morfologi (topografi dan batimetri) pesisir.
Sedimen berasal dari fragmenasi (pemecahan) batuan. Pemecahan tersebut terjadi karena
pelapukan (weathering) yang dapat berlangsung secara fisik, kimiawi atau biologis.
Berbuahnya morfologi pesisir terjadi sebagai akibat berpindahnya sedimen yang
berlangsung melalui mekanisme erosi , pengangkutan (transport) dan pengendapan
(deposition). Sedimen yang dipindahkan adalah sediment yang terletak pada permukaan
dasar perairan. Agen yang berperan dalam perpindahan sedimen ini adalah arus. Sebagian
42
besar kandungan sedimen di bumi adalah kuarsa dengan massa jenis rata-rata ρs = 2650
kg/m3. Angka tersebut lazim dipakai untuk berbagai aplikasi kajian sedimentasi. Walaupun
demikian, pada lokasi-lokasi tertentu, misalnya pantai berterumbu karang atau pantai yang
bahan sedimennya didominasi oleh prouksi erupsi vulkanik atau bahan organik, massa jenis
sedimen rata-ratanya harus ditentukan berdasarkan hasil survei (pengambilan contoh
sedimen) setempat.
Sedimen diciri atau dikarakterisasi menurut sifat-sifat alami yang dimilikinya, yaitu
misalnya: ukuran butir (grain size), densitas, kecepatan jatuh, komposisi, porositas, bentuk
dan sebagainya. Dalam studi angkutan sedimen, ukuran butir merupakan karakter sedimen
yang sangat penting karena dipakai untuk merepresentasikan resistensinya terhadap agen
pengangkut. Ukuran butir sedimen diwakili oleh diameternya yang biasanya disimbolkan
sebagai d. Satuan yang lazim digunakan untuk ukuran butir sedimen adalah milimeter (mm)
dan mukrometer (µm). Berdasarkan ukuran butisnya, sedimen diklasfikasikan menurut:
lumpur (mud), pasir (sand) dan karikil (gravel). Klasifikasi tersebut mengikuti kriteria
Wentworth. Gambar 5.11 dalam Poerbandono, 2005 memperlihatkan klasifikasi sedimen
manurut ukuran butrinya berdasarkan skala Wentworth. Cara lain untuk menyatakan
klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran butirnya adalah menggunakan φ (phi).
φ = -log2 d
Sehingga:
d = 2-φ
dengan d dalam mm.
Kajian terhadap contoh sedimen sangat berguna untuk penentuan sifat fisik sedimen serta
komposisi kandungannya. Interpretasi terhadap informasi terhadap sifat fisik dan komposisi
kandungan sedimen sangat penting untuk dikembangkan menjadi kajian lanjutan untuk,
antara lain: analisis dinamika batimetri, ketahanan tanah, potensi penambangan atu
pencemaran. Sedimen yang berukuran besar (misalnya: pasir kasar dan kerikil) cenderung
resisten terhadap gerakan arus. Jika kekauatan arus cukup besar, sedimen tersebut
cenderung terangkut dengan kontak yang kontinu (menggelinding, meluncur atau
melompat-lompt) dengan dasar perairan. Sedimen yang berukuran lebih kecil (misalnya:
lumpr dengan konsentrasi rendah atau pasir halus) cenderung terangkut sebagai suspensi
dengan kecepatan dan arah yang mengikuti kecpeatan dan arah arus. Gambar 5.12 dalam
43
Poerbandono, 2005 memperlihatkan hubungan antara profil kecepatan arus dan konsentrasi
sedimen dengan lokasi pengambilan contoh sedimen di dasar periarn dan yang terangkut
sebagai suspensi pada suatu kolom air.
Sedimen di dasar perairan dikaji dengan mengambil contoh (sample) menggunakan grab
sampler (Gambar 5.13) dalam Poerbandono, 2005. Berat contoh sedimen yang diambil
bervariasi menurut ukuran grap sampler yang digunakan. Pada umumnya, berat contoh
sedimen 1 kg sudah cukup untuk dipakai sebagai bahan untuk menganalisis beberapa
karakter sedimen dari suatu dasar perairan. Contoh sedimen yang diambil mewakili
karakter sedimen yang terletak di lapisan teratas dari suatu dasar perairan.
Selain sedimen yang berada di dasar perairan, terdapat juga sedimen yang terangkut oleh
arus sebagai suspensi. Pengukuran sedimen yang terangkut ini dilakukan dengan
mengambil contoh air dari suatu kolom pengukuran. Pengambilan contoh dapat dilakukan
secara sesaat menggunakan trap atau bottle sampler (Gambar 5.14) dalam Poerbandono,
2005. Pengambilan contoh dapat pula dilakukan menggunakan pump sampler untuk
mengamati perubahan atau dinamika konsentrasi sedimen dalam selang waktu pengamatan.
Teknik pengambilan contoh ini disebut pengukuran langsung (direct sampling).
Pengambilan contoh sedimen tersuspensi terutama ditujukan untuk mengetahui konsentrasi
sedimen (atau material padat tersuspensi lainnya) yang diangkut oleh arus. Konsentrasi
sedimen dapat dinyatakan secara absolut dalam kg/m3 (massa sedimen per volume contoh
air) atau relatif dalam m3/m3 (volume sedimen per volume contoh air).
Cara lain yang dapat dipakai untuk mengukur konsentrasi sedimen tersuspensi adalah
dengan teknik optik atau akustik. Cara-cara tersebut digolongkan sebagai pengukuran tak
langsung (indirect sampling). Pengukuran kekeruhan (turbidity). Teknik ini memanfaatkan
perambatan (transmission) (Gambar 5.15a dalam Poerbandono, 2005) atau pembelokan
(scattering) cahaya tampak (Gambar 5.15b dalam Poerbandono, 2005). Alat yang dipakai
biasanya optical beam transmissometer untuk sistem transmisi dan Optical Backscatterance
Sensor (OBS) untuk teknik pembelokan. Pengukuran konsentrasi sedimen dengan teknik
akustik dilakukan dengan pengukuran intensitas akustik (dari gelombang akustik
berfrekuensi tinggi, sekitar 1000 kHz) yang dipantulkan (backscatter) oleh sedimen yang
terdapat pada kolom air. Pengukuran secara tak langsung dengan teknik optik maupun
44
akustik hanya memberi informasi konsentrasi relatif, oleh karena itu, kalibrasi
menggunakan pengambilan contoh langsung harus dilakukan.
Hubungan antara pengukuran optik dengan konsentrasi sedimen untuk teknik transmisi dan
teknik pembelokan masing-masing dinyatakan dengan:
ck
o
t ekII
21
−=
ck
o
s ekII
23
−=
Dengan It = intensitas perambatan yang diterima receiver, Io = intensitas yang dikirim
melalui transmitter, c = konsentrasi sedimen dan k1, k2, serta k3 adalah konstanta-konstanta
kalibrasi yang dapat diperoleh melalui analisis regresi menggunakan beberapa data
konsentrasi sedimen yang diukur secara langsung.
Hubungan antara pengukuran akustik dengan konsentrasi sedimen secara empirik
dinyatakan dengan:
10log(c) = aI + b
Dengan I = intensitas akustik yang diterima transduser serta a dan b adalah konstanta-
konstanta regresi menggunakan beberapa data konsentrasi sedimen yang diukur secara
langsung.
Teknik baku yang dipakai untuk menganalisis sebaran ukuran butir sedimen adalah sieving.
Untuk itu, contoh sedimen terlebih dahulu dikeringkan, kemudian disaring melalui
saringan-saringan yang ukuran kerapatan jarinygnya berbeda-beda (tekecil 0,063 mm dan
terbesar 20 mm). Contoh sedimen yang tertinggal pada sebuah saringan pasti mempunyai
ukuran butir yang lebih besar dari kerapatan jaring pada saringan tersebut dan lebih kecil
dari ukuran kerapatan jaring pada saringan sebelumnya. Selanjutnya, sedimen yang
tertinggal pada setiap saringan masing-msaing ditimbang beratnya. Dari hasil penimbangan
tersebut akan diperoleh distribusi berat sedimen berdasarkan rentang ukuran kerapatan
jaring saringan. Tabel 5.1 memperlihatkan hasil penimbangan suatu contoh sedimen dasar
perairan dengan teknik sieving. Dari tabel tersebut dapat dibangun sebuah histogram
frekeunsi (gambar 5.16a dalam Poerbandono, 2005) dan distribusi kumulatif ukuran
sedimen (Gambar 5.16b dalam Poerbandono, 2005).
45
Conth air yang diambil dari suatu kolom air akan melalui proses filtrasi untuk memisahkan
partikel-partikel sedimen dari air melalui sebua filter. Massa sedimen pada contoh air yang
diambil diperoleh dengan menimbang selisih berat kering filter setelah dan sebelum filtrasi.
Konsentrasi sedimen diperoleh dengan membagi massa sedimen dengan volume air conth.
Data konsentrasi sedimen tersuspensi diperlukan terutama untuk mengukur laju
pengangkutan sedimen (dan materil padat tersuspensi lainnya) pada suatu kolom air atau
bidang potongan pengukuran. Jika diketahui konsentrasi sedimen c dalam kg/m3 dan
kecepatan arus u dalam m/s, maka laju angkutan sedimen q dalam kg/m2s diperoleh
dengan:
q = uc
Laju angkutan sedimen q menyatakan massa sedimen yang terangkut pada setiap m2 luas
penampang dalam setiap detik. Informasi laju pengangkutan seidmen dari dua penampang
pengukuran ditujukan untuk kajian dinamika batimetri (perubahan elevasi dasasr perairan)
di antara dua lokasi potongan pengukuran (Gambar 5.18 dalam Poerbandono, 2005).
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa tidak ada sumber sedimen lain kecuali yang berasal
dari dasar perairan. Pada sistem yang ditunjukkan pada Gambar 5.18 dalam Poerbandono,
2005, jika qin < qout maka arus kehilangan sebagian kapasitas angkutnya dan menjatuhkan
sedimen yang diangkutnya ke dasar perairan sehingga terjadi deposisi (pengendapan).
B. Proses Pembelajaran Secara SCL
1. Strategi pembelajaran Modul ini diselesaikan dengan alokasi waktu dua pertemuan. Pada pertemuan pertama
adalah dengan cara kuliah interaktif yang dikombinasikan dengan metode tanya jawab.
Pertemuan kedua dilakukan dengan metode collaborative learning.
2. Kegiatan Tutor a. Mempersiapkan materi dan rencana pembelajaran yang akan diberikan kepada
mahasiswa.
b. Menjelaskan rumusan kompetensi yang akan diperoleh mahasiswa setelah
mengikuti kuliah materi ini.
c. Menjelaskan materi perkuliahan sesi minggu ini secara umum.
46
d. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menanggapai/mempertanyakan
bagian materi yang kurang jelas.
e. Memberikan umpan balik atau jawaban atas pertanyaan mahasiswa
f. Membentuk kelompok diskusi mahasiswa.
g. Memberi tugas kelompok kepada mahasiswa.
h. Mengarahkan mahasiswa dalam proses collaborative learning.
i. Mengisi tabel evaluasi kompetensi akhir sesi pembelajaran.
j. Menyampaikan bahan atau gambaran materi pertemuan berikutnya.
3. Kegiatan Mahasiswa a. Mahasiswa mengikuti kuliah pengantar dari dosen
b. Setiap mahasiswa mencatat/mencermati uraian materi yang diberikan.
c. Melakukan aktifitas pembelajaran mandiri dan berkelompok sesuai tugasnya dari
sumber-sumber belajar (Bahan Ajar, Jurnal, Referensi, dan lain-lain), baik yang
sudah disiapkan oleh dosen maupun dari perpustakaan.
d. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh dosen dalam sesi tanya jawab untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai materi yang diajarkan.
e. Setelah perkuliahan, mengulang kembali di rumah materi yang telah diberikan
dari sumber-sumber bacaan maupun media ajar lainnya.
4. Lembar Kerja Mahasiswa Tugas Kelompok (mahasiswa dibagi ke dalam 4 kelompok):
Buat makalah dan bahan presentasi dengan judul ”Sedimen Pantai dan Cara Pengambilan
Sampelnya”. Makalah dibuat dengan susunan penulisan sebagai berikut:
A. Pengertian Sedimen Pantai
B. Proses Terjadinya Sedimen Pantai
C. Alat Pengambilan Sampel Sedimen dan Prinsip Kerjanya
D. Referensi
Petunjuk:
Gunakan sumber bacaan dari buku dan internet. Untuk sumber dari internet, dengan
menggunakan fasilitas search pada google atau program lainnya, masukkan kata kunci
berikut: ”grab sampler”, ”bottle sampler”, ”sediment sampler”
47
5. Lembar Evaluasi Nilai Maksimum Indikator No. Nama Mahasiswa 1 (35%) 2 (35%) 3 (30%)
Penilaian yang diberikan pada modul ini mempunyai nilai bobot 10% terhadap nilai akhir.
Skala nilai pada tiap indikator berada pada angka 0 – 10 dengan rincian sebagai berikut:
j. Jika jumlah variasi alat (n) yang diperoleh (untuk indikator 1): n = 0, mendapat nilai 0 n = 1, mendapat nilai 5 n = 2, mendapat nilai 6 n = 3, mendapat nilai 7 n = 4, mendapat nilai 8 n = 5, mendapat nilai 9 n ≥ 5, mendapat nilai 10
k. Kebenaran penjelasan penggunaan alat (kelompok pemateri, indikator 2): Tidak pernah menjawab, mendapat nilai 0 1 x jawaban salah, mendapat nilai 5 2 x jawaban salah, mendapat nilai 6 3 x jawaban salah, mendapat nilai 7 1 x jawaban benar, mendapat nilai 8 2 x jawaban benar, mendapat nilai 9 3 x jawaban benar, mendapat nilai 10 Jika sekurang-kurangnya ada 1 jawaban benar, maka jawaban salah tidak diberi nilai
l. Keaktifan dalam diskusi (bukan kelompok pemateri, indikator 3):
Tidak aktif dalam diskusi, mendapat nilai 0 1 x mengajukan pertanyaan, mendapat nilai 5 2 x mengajukan pertanyaan, mendapat nilai 6 3 x mengajukan pertanyaan, mendapat nilai 7 1 x jawaban benar, mendapat nilai 8 2 x jawaban benar, mendapat nilai 9 3 x jawaban benar, mendapat nilai 10
48
BAB III PENUTUP
Materi yang disajikan pada modul ini merupakan garis besar dari materi yang ada,
mahasiswa dapat mengembangkan lebih jauh dengan membaca referensi yang ada pada
daftar bahan bacaan dan juga dari sumber-sumber lain yang relevan. Pengembangan isi
modul ini akan dilakukan secara berkelanjutan sehingga dapat memberi informasi yang
lebih baik bagi mahasiswa maupun tim dosen pengajar mata kuliah.
BAHAN BACAAN a. Poerbandono dan Djunarsjah, E., 2005. “Survei Hidrografi”. Aditama, Bandung.
b. http://pubs.usgs.gov/of/2000/of00-358/text/chapter1.htm. “Grain-Size Analysis Of Marine Sediments: Methodology And Data Processing”.
c. http://staff.aist.go.jp/yuki.sawai/Hokkaido_E/Hokkaido_E.html
d. http://www.duncanandassociates.co.uk/fishcage. “Fish Cage and Mariculture Sampling Equipment”.
e. http://www.geoscientific.com/sampling. “Sampling Instruments”
f. http://www1.kaiho.mlit.go.jp/KANKYO/OSEN/chousa.files/e_kiki.htm. “Sampling Equipments”.
g. http://www.rickly.com/as/bottomgrab.htm. “Bottom Sediment Grab Samplers”. 7 Maret 2008.
h. http://www.fao.org/docrep/T0848E/t0848e-10.htm. “Sediment transport”. 7 Maret 2008.
49
MODUL VI
PERALATAN SURVEY SEDERHANA
50
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Saat ini alat pengukuran di laut terbilang sudah cukup modern. Alat tersebut memiliki
kemampuan yang cukup tinggi. Namun demikian, tanpa alat tersebut, pengukuran di laut
untuk kegiatan pembelajaran masih dapat dilakukan dengan menggunakan alat ukur
sederhana. Materi ini diberikan agar mahasiswa dapat membuat sendiri peralatan survey
sederhana.
B. Ruang Lingkup Isi Modul ini membahas prinsip kerja alat survey sederhana serta cara pembuatan. Alat survey
sederhana yang dimaksud adalah bench mark, emery rod, bak ukur, pelampung untuk
pengukuran arus laut, penangkap sedimen dan alat keselamatan survey.
C. Kaitan Modul Modul ini menguraikan alat-alat survey sederhana. Disajikan setelah mahasiswa memahami
prinsip-prinsip pengukuran di laut yang telah dibahas pada modul ke-2 sampai modul ke-5.
Setelah pelaksanaan modul ini, mahasiswa dapat melakukan survey hidrografi
menggunakan alat yang mereka buat. Pelaksanaan survey hidrografi lebih rinci dibahas
pada modul ke-7.
D. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami penggunaan alat
survey sederhana serta dapat membuatnya secara berkelompok.
51
BAB II ALAT SURVEY SEDERHANA
A. Teori
1. Bench mark
52
2. Alat ukur pasang surut
53
54
3. Emery rod Emery rod digunakan pada saat pelaksanaan survey topografi
55
4. Measuring stake
56
5. Alat penangkap sediment
6. Alat ukur arus
57
7. Alat ukur kedalaman laut
58
B. Proses Pembelajaran Secara SCL
1. Strategi pembelajaran Modul ini diselesaikan dengan alokasi waktu dua pertemuan. Metode pembelajaran yang
digunakan adalah Prokect Based Learning. Secara berkelompok mahasiswa membuat
peralatan survey sederhana
2. Kegiatan Tutor a. Mempersiapkan materi dan rencana pembelajaran yang akan diberikan kepada
mahasiswa.
b. Menjelaskan rumusan kompetensi yang akan diperoleh mahasiswa setelah
mengikuti kuliah materi ini.
c. Menjelaskan materi perkuliahan sesi minggu ini secara umum.
59
d. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menanggapai/mempertanyakan
bagian materi yang kurang jelas.
e. Memberikan umpan balik atau jawaban atas pertanyaan mahasiswa
f. Membentuk kelompok kerja mahasiswa.
g. Memberi tugas kelompok kepada mahasiswa.
h. Mengarahkan mahasiswa dalam pembuatan alat.
i. Mengisi tabel evaluasi kompetensi akhir sesi pembelajaran.
j. Menyampaikan bahan atau gambaran materi pertemuan berikutnya.
3. Kegiatan Mahasiswa a. Mahasiswa pengarahan pembuatan alat dari dosen
b. Mengidentifikasi bahan dan peralatan yang diperlukan untuk pembuatan alat.
c. Membuat alat survey sederhana di laboratorium.
d. Menguji kemampuan alat yang telah dibuat di laboratorium.
4. Lembar Kerja Mahasiswa Tugas Kelompok (mahasiswa dibagi ke dalam 4 kelompok):
Buat alat survey sederhana seperti gambar pada uraian di awal modul ini.
5. Lembar Evaluasi Nilai Maksimum Indikator No. Nama Mahasiswa 1 (35%) 2 (35%) 3 (30%)
Keterangan indikator:
1. Kedisiplinan pembuatan alat 2. Inovasi peralatan 3. Keterampilan pembuatan alat 4. Keaktifan dalam kelompok
60
BAB III. PENUTUP
Materi yang disajikan pada modul ini merupakan garis besar dari materi yang ada,
mahasiswa dapat mengembangkan lebih jauh dengan membaca referensi yang ada pada
daftar bahan bacaan dan juga dari sumber-sumber lain yang relevan. Pengembangan isi
modul ini akan dilakukan secara berkelanjutan sehingga dapat memberi informasi yang
lebih baik bagi mahasiswa maupun tim dosen pengajar mata kuliah.
BAHAN BACAAN Poerbandono dan Djunarsjah, E., 2005. Survei Hidrografi. Aditama, Bandung. http://www.whoi.edu/seagrant. “Beach and Dune Profiles: An Educational Tool for Observing and Comparing Dynamic Coastal Environments”.
61
MODUL VII
APLIKASI PENGUKURAN DI LAUT
62
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pekerjaan rekayasa yang dilakukan di laut tidak lepas dari pekerjaan survey hidrografi.
Sehingga mahasiswa harus dapat melakukan tahapan-tahapan survey tersebut mulai dari
persiapan, pelaksanaan dan pengolahan data.
B. Ruang Lingkup Isi Modul ini memberi pemahaman awal kepada mahasiswa tentang pelaksanaan survey di
laut. Hal-hal yang diuraikan adalah persiapan, pelaksanaan dan pengolahan data survey.
C. Kaitan Modul Pada Modul I sampai V telah dibahas prinsip dasar pelaksanaan pengukuran di laut. Modul
VI membas peralatan survey sederhana. Dengan demikian mahasiswa telah memperoleh
gambaran umum tentang pelaksanaan survey dan alat yang digunakan, sehingga dengan
modul ini mahasiswa akan mendapatkan panduan umum pelaksanaan survey di lapangan.
D. Sasaran Pembelajaran Modul Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menyusun persiapan survey
dengan benar dan mampu melakukan pengukuran dengan tepat.
BAB II APLIKASI PENGUKURAN DI LAUT
A. Teori
Lokasi titik-titik referensi sebaiknya ditempatkan di sekitar pantai dan berada di dekat titik-
titik dasar, pada tempat yang aman dan tidak tergenang air pasang, agar dapat bertahan
lama. Secara visual diupayakan posisi titik-titik referensi ini terletak sedemikian rupa
sehingg amasih dapat menjangkau posisi titik-titik dasar dengan alat ukur optis. Survei
batimetri dan pengukuran topografi pantai, idealnya dilakukan di sepanjang pantai di dekat
lokasi titik referensi dengan cakupan kea rah laut sejauh garis pasang surut. Akibatnya,
panjang jalur survey kea rah laut akan bervariasi, tergantung pada kelandaian topografi
dasar laut dan besarnya tunggang pasut. Semakin landai dan semakin besar tunggang air,
63
maka semakin panjang jalur survey yang diperlukan. Pengamatan pasut sebaiknya
dilakukan pada dua lokasi yang mewakili daerah survey batimetri. Lokasi daerah survey
secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 6.6.
Pemasangan pilar titik referensi Spesifikasi pilar titik referensi diperlukan agar terjadi keseragaman dalam pembuatan pilar
dan untuk memudahkan identifikasi di lapangan. Spesifikasi yang diusulkan adalah:
1. Titik referensi merupakan titik yang digunakan sebagai acuan untuk menetapkan titik-
titik pangkal di lapangan.
2. Titik referensi diwakili oleh sebuah pilar beton berangka besi dan dicat warna biru laut,
serta ditanam pada tanah yang cukup keras dengan bagian yang ditanam 70 cm,
sedangkan di atas tanah 30 cm.
3. Pada bagian tengah atas pilar dipasang sebuah kuningan berbentuk lempengan bulat
berdiameter 10 cm dengan tulisan Kode dan Nomor Titik Referensi, sedangkan pada
bagian samping pilar ke arah laut diberi marmer berukuran 20 x 16 cm2 dengan tulisan
Titik Referensi Batas Laut Propinsi.
Lokasi pilar dipasang sedemikian rupa sehingga relatif aman dari jangkauan air laut saat
pasang, dan jika memungkinkan ditempatkan di halaman kantor pemerintahan daerah.
Penempatan alat ukur pasang surut memperhatikan beberapa faktor berikut:
1. Alat ukur berhadapan langsung dengan laut terbuka, dan sebaiknya tidak berada di
dekat pada sungai.
2. Sebaiknya berada pada dasar laut yang keras (bedrock) tanpa shoals.
3. Tidak berada pada lokasi yang berpasir dan berlumpur.
4. Berada pada lokasi dengan tinggi gelombang relatif kecil.
5. Berhubungan dengan jaring elevasi tertentu.
B. Pelaksanaan
1. Strategi pembelajaran Strategi pembelajaran adalah Project Based Learning. Setelah pelaksanaan modul ini,
mahasiswa menghasilkan peta topografi batimetri, karakteristik arus pantai, sediment,
pasang surut.
64
2. Kegiatan dosen 1. Memberi pengarahan kepada asisten
2. Membagi mahasiswa ke dalam kelompok tim survey (sesuai dengan kelompok pada
Modul VI)
3. Memberi pengarahan umum sebelum pemberangkatan ke lokasi.
4. Mengarahkan mahasiswa dalam penentuan areal yang akan disurvey.
5. Mengarahkan mahasiswa dalam pemasangan alat survey.
6. Memantau mahasiswa saat melaksanakan survey.
7. Memberi penilaian selama kegiatan survey dilakukan.
8. Membimbing mahasiswa dalam pengolahan data survey.
9. Memberi penilaian laporan survey
3. Kegiatan mahasiswa
1. Tim panitia dibentuk untuk mendukung kelancaran pelaksanaan survey. Adapun
tugas panitia tersebut adalah mengkoordinir masalah transportasi, logistik,
peralatan.
2. Menyiapkan peralatan survey seperti pada Modul 6 serta alat-alat pendukung
lainnya seperti: Senter 1 (tiap kelompok), Kamera, Handycam, Papan catat 3 +
ballpoint 3 (tiap kelompok), Kertas 50 lbr (tiap kelompok), Payung ukuran besar 2
unit, Absen per kelompok, Format Tabel Data.
3. Memasang patok referensi. Elevasi patok referensi ditentukan berdasarkan kondisi
di lapangan. Semua pengukuran yang berkaitan dengan elevasi diikatkan pada
elevasi tersebut.
4. Melakukan pengukuran pasang surut. Perubahan elevasi muka air dicatat setiap jam
selama 24 jam.
5. Melakukan pengukuran arus. Pelampung diapungkan di tengah di laut, dan
dibiarkan hanyut terbawa oleh arus. Kedalaman pemberat yang digantung
disesuaikan dengan kedalaman air, kira-kira 1/3 kedalaman dari permukaan air.
Posisi di titik awal pelampung dicatat bersamaan dengan penunjukan jam saat itu.
Kira-kira satu jam berikutnya dicatat posisi pelampung, demikian seterusnya sampai
pada pencatatan ke 6. Data pengukuran kecepatan arus dicatat berdasarkan tabel
berikut
65
TABEL PENGAMBILAN DATA PENGUKURAN ARUS LAUT
Kelompok : ….....................
Asisten : …........................................
Posisi Pelampung No. Waktu (oLS) (oBT)
1
2
3
4
5
6
6. Melakukan survei batimetri. Setiap kelompok melakukan pengukuran di areal yang
telah ditentukan. Anggota kelompok dibagi ke dalam dua tim, satu bertugas di
perahu dan yang lain bertugas sebagai pencatat elevasi muka air. Pola lajur perum
terlebih dahulu ditentukan. Kedalaman air diukur mengikuti pola lajur perum.
Pengukuran dilakukan di beberapa titik pada setiap lajur. Pada saat pengukuran
kedalaman, secara bersamaan dicatat elevasi muka air dan posisi titik pengukuran.
Data pencatatan survei berdasarkan tabel berikut. Anggota tim yang bertugas di
perahu mengisi tabel pada kolom 4, 5 dan 6. Sedangkan anggota tim lainnya
mengisi tabel pada kolom 2 dan 3. Setelah kira-kira setengah data pengukuran telah
tercatat, tugas antara kedua anggota tim tersebut dirotasi, yang tadinya bertugas
diperahu selanjutnya bertugas mengukur elevasi muka air, demikian sebaliknya.
Setelah pengukuran selesai, data disatukan dalam tabel tersebut.
66
TABEL PENGAMBILAN DATA SURVEY BATIMETRI Kelompok : ........................
Asisten : ...........................................
Elev. Muka Air Kedalaman Posisi No. Jam (cm) (cm) (oLS) (oBT)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) 1
2
3
4
5
…….
7. Melakukan survey topografi. Survey topografi dilakukan secara berkelompok. Alat
yang digunakan adalah emery rod, theodolite. Pengambilan data dilakukan dengan
mengisi tabel berikut.
TABEL PENGAMBILAN DATA SURVEY TOPOGRAFI Kelompok : ........................
Asisten : ...........................................
Elevasi Posisi No. Jam No Patok (cm) (oLS) (oBT) 1
2
3
4
……
8. Memasang alat penangkap sedimen. Alat penangkap sedimen dipasang di daerah
surf zone.
9. Mengolah data yang diperoleh dari semua pengukuran yang dilakukan.
10. Seminar hasil survey
67
4. Lembar Penilaian Nilai Maksimum Indikator No. Nama Mahasiswa 1 (35%) 2 (35%) 3 (30%)
Keterangan indikator:
1. Kedisiplinan Penggunaan waktu 2. Ketepatan prosedur pengukuran 3. Ketepatan analisis hasil survey
BAB III PENUTUP
Materi yang disajikan pada modul ini merupakan garis besar dari materi yang ada,
mahasiswa dapat mengembangkan lebih jauh dengan membaca referensi yang ada pada
daftar bahan bacaan dan juga dari sumber-sumber lain yang relevan. Pengembangan isi
modul ini akan dilakukan secara berkelanjutan sehingga dapat memberi informasi yang
lebih baik bagi mahasiswa maupun tim dosen pengajar mata kuliah.
BAHAN BACAAN a. Poerbandono dan Djunarsjah, E., 2005. Survei Hidrografi. Aditama, Bandung.
b. http://tide.gsi.go.jp/ENGLISH/outline.html. “Roles of sea level measurement”. 9 Maret 2008.
68
LAMPIRAN