ebm

19
TUGAS SEMESTER PADAT BLOK BUDAYA ILMIAH EVIDENCE – BASED MEDICINE Oleh: Abdullah M Azam (G0009002) Devi Purnamasari S (G0009054) G Harldy Parendra (G0009089) Rizal Tahta M (G0009186) Pembimbing: Sugiarto, dr., Sp.PD

Upload: p

Post on 09-Dec-2014

119 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

Evidence Based Medicine in bahasa

TRANSCRIPT

Page 1: EBM

TUGAS SEMESTER PADAT BLOK BUDAYA ILMIAH

EVIDENCE – BASED MEDICINE

Oleh:

Abdullah M Azam (G0009002)

Devi Purnamasari S (G0009054)

G Harldy Parendra (G0009089)

Rizal Tahta M (G0009186)

Pembimbing: Sugiarto, dr., Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

2013

Page 2: EBM

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kesehatan merupakan salah satu aspek hidup yang penting untuk

dimiliki setiap makhluk hidup. Untuk mencapai kesehatan ini, diperlukan peran

tenaga medis dalam menangani setiap penyakit. Namun seiring

berkembangnya jaman, banyak penyakit yang ditemukan maupun yang telah

berubah, di mana ilmu kedokteran yang lampau tidak dapat diterapkan lagi.

Ilmu tersebut harus ditemukan dan diperbaharui. Oleh karena itu ilmu

kedokteran dari masa ke masa harus terus berkembang.

Seiring dengan kemajuan jaman, teknologi masa kini dapat turut

berperan dalam menjunjung perkembangan ilmu kedokteran. Salah satu

contohnya adalah internet. Dalam internet terdapat banyak situs – situs ilmiah

yang memuat informasi – informasi dan jurnal – jurnal ilmu kedokteran yang

terus dikembangkan. Namun, tidak sembarang informasi dapat dipakai dan

dipraktikkan oleh tenaga medis dalam menangani pasien. Ilmu itu perlu

ditinjau ulang kebenarannya. Selain itu jumlah informasi yang sangat besar

membuat para tenaga medis kesulitan menelaah semua informasi tersebut.

Agar ilmu yang dipelajari tepat sasaran, digunakan suatu teknik. Cara meninjau

ilmu kedokteran saat ini adalah dengan menggunakan Evidence – Based

Medicine (EBM).

Evidence – Based Medicine bertujuan untuk dapat memberikan

pelayanan kesehatan dengan meninjau perkembangan kesehatan yang lebih

baik, dengan mempertimbangkan tiga aspek, yaitu bukti klinis yang terbaik,

keterampilan klinis tenaga medis, dan ekspetasi pasien terhadap tenaga medis

dan masalah kesehatannya. Evidence – Based Medicine diharapkan dapat

membuat para tenaga medis memiliki pertimbangan lebih baik sesuai dengan

ilmu kedokteran yang terbaru.

2

Page 3: EBM

B. TUJUAN PENULISAN

1. Mahasiswa mengetahui makna dan pentingnya Evidence – Based Medicine.

2. Mahasiswa mengetahui langkah – langkah Evidence – Based Medicine.

3. Mahasiswa mengetahui penerapan dari Evidence – Based Medicine.

3

Page 4: EBM

BAB II

MATERI EVIDENCE – BASED MEDICINE

A. DEFINISI

Evidence – based medicine (EBM) merupakan penerapan epidemiologi

klinik dalam pelayanan pasien (Fletcher dan Fletcher, 2005). Epidemiologi

klinik merupakan perkawinan antara konsep kuantitatif yang digunakan ahli

epidemiologi untuk mempelajari penyakit pada populasi dan pengambilan

keputusan pada individu kasus yang merupakan kegiatan sehari – hari

kedokteran klinis (Last, 1988). Sedangkan epidemiologi sendiri adalah ilmu

tentang distribusi dan determinan keadaan atau peristiwa terkait kesehatan pada

populasi tertentu dan penerapannya untuk mengendalikan masalah kesehatan

(Last, 2001).

Namun tidak semua bukti ilmiah memiliki kualitas yang baik. Sebagian

memang berkualitas tinggi, namun sebagian lain juga dapat berkualitas buruk.

Dalam EBM, semua bukti ilmiah ini harus disaring untuk mendapatkan yang

terbaik. Salah satu cara untuk memilahnya adalah dengan critical appraisal

(CorpBlack, 2010). Sehingga EBM saat ini merupakan integrasi bukti – bukti

riset terbaik dengan keterampilan klinis dan nilai – nilai pasien, atau disebut

juga triad EBM (Sackett et al., 2000).

4

Page 5: EBM

B. TUJUAN

Tujuan dari EBM adalah membantu klinisi memberikan pelayanan

medis yang lebih baik agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang

optimal bagi pasien, dengan cara memadukan bukti terbaik yang ada,

keterampilan klinis, dan nilai – nilai pasien.

Untuk mencapai tujuan ini, digunakan dua strategi:

1. Sistem pengambilan keputusan klinis harus berbasis bukti terbaik dari riset

dengan menggunakan metodologi yang benar. Terdapat dua keputusan

klinis, yaitu berbasis bukti dan berbasis opini. Tidak semua informasi yang

didapatkan adalah berbasis bukti. Seringkali tenaga medis berargumen

bahwa pengambilan keputusannya sudah berbasis bukti. Padahal bukti

tersebut belum dibuktikan dengan benar melalui riset dan metode yang

benar. Hal ini dapat dikatakan keputusan yang berbasis opini (Murti, 2010).

Selain itu dalam mengambil keputusan perlu dipadukan dengan ketrampilan

klinis dokter (Evidence-Based Medicine Working Group, 1992).

2. Fokus perhatian yang awalnya berorientasi pada penyakit kini dialihkan

kepada pasien. Dalam hal ini hubungan antara dokter dan pasien sangat

penting (Shaugnessy dan Slawson, 1997). Pada pasien, relasi ini dapat

menuntun kepada perasaan kepercayaan, harapan, dan diakui oleh dokter,

dan dapat meningkatkan prosentase kesembuhan berdasarkan faktor psikis

(Scott et al., 2008). Hal ini juga menuntut dokter untuk memperhatikan

preferensi, keprihatinan, nilai – nilai, ekspetasi, dan keunikan biologi tiap

individu. Nilai – nilai pasien meliputi biaya, keyakinan dan moral, dan

otonomi atau pengambilan keputusan medis pasien dalam menentukan

pilihan yang terbaik bagi dirinya (Murti, 2010).

C. LANGKAH – LANGKAH EBM

a. Merumuskan pertanyaan klinis

Ada dua macam pertanyaan dalam merumuskan pertanyaan klinis:

5

Page 6: EBM

a. Background questions: Pertanyaan yang cukup sederhana atau

merupakan pertanyaan rutin yang mudah dijawab. Pertanyaan latar

belakang dikemukakan untuk memperoleh pengetahuan medis yang

bersifat umum yang lazim dikemukakan. Pertanyaan ini dapat terjawab

dengan pengetahuan medis dalam ilmu kedokteran. Contohnya adalah

pertanyaan bagaimana diagnosis tuberkulosis paru, apakah indikasi

pemberian kortikosteroid, dan sebagainya (Sackett et al., 2000; Hawkins,

2005).

b. Foreground questions: Pertanyaan latar depan bertujuan untuk

memperoleh informasi spesifik yang dibutuhkan untuk membuat

keputusan klinis. Pertanyaan ini sulit dijawab dan membutuhkan

pencarian bukti – bukti untuk menjawabnya. Contohnya adalah

pertanyaan manakah yang lebih akurat antara MRI dan CT – scan dalam

mengidentifikasi stroke kecil dalam otak, manakah yang lebih efektif

antara parasetamol dan ibuprofen dalam menurunkan demam pada anak,

dan sebagainya (Sackett et al., 2000; Hawkins, 2005).

Agar jawaban yang benar atas pertanyaan klinis latar depan bisa

diperoleh dari database, maka pertanyaan itu perlu dirumuskan dengan

spesifik, dengan struktur terdiri atas empat komponen, disingkat PICO:

a. Patient and problem: adalah deskripsi yang jelas mengenai karakteristik

dari pasien dan masalah klinis pasien.

b. Intervention: adalah intervensi spesifik yang ingin diketahui manfaat

klinisnya. Intervensi dapat berupa diagnostik maupun terapetik.

Intervensi diagnostik dapat berupa tes skrining, alat atau prosedur

diagnostik, dan biomarker. Intervensi teraptik meliputi terapi obat,

vaksin, prosedur bedah, konseling, penyuluhan kesehatan, upaya

rehabilitatif, intervensi medis, dan pelayanan kesehatan lain. selain itu

intervensi dapat juga berupa paparan suatu faktor maupun faktor

prognostik.

c. Comparison: adalah melakukan perbandingan untuk memperoleh

kesimpulan apakah intervensi tersebut bermanfaat. Perbandingan tidak

6

Page 7: EBM

hanya dibandingkan dengan plasebo, tetapi juga dapat dibandingan

dengan intervensi alternatif atau intervensi standar.

d. Outcome: adalah penilaian efektivitas berdasarkan perubahan pada hasil

klinis. Intervensi medis seharusnya bertujuan untuk mencegah 3D, yaitu

death (kematian), disability (kecacatan), dan discomfort

(ketidaknyamanan) (Murti, 2010).

Sebagai contoh, seorang tenaga medis ingin mencari dari pertanyaan

manakah yang paling efektif antara parasetamol dan ibuprofen dalam

menurunkan demam pada anak. Struktur PICO yang didapat adalah:

a. Patient and problem: anak (pediatri), manfaat terapi

b. Intervention: ibuprofen

c. Comparison: parasetamol

d. Outcome: penurunan demam

b. Mencari bukti

Setelah merumuskan pertanyaan klinis secara terstruktur, langkah

berikutnya adalah mencari bukti – bukti untuk menjawab pertanyaan

tersebut. Bukti adalah hasil dari pengamatan dan eksperimentasi sistematis.

Bukti ilmiah yang dicari dalam EBM memiliki ciri – ciri EUREKA

(Evidence that is Understandable, Relevant, Extendible, Current and

Appraised) yaitu bukti yang dapat dipahami, relevan, dapat

diterapkan/diekstrapolasi, terkini, dan telah dilakukan penilaian (Mathew,

2010).

7

Page 8: EBM

c. Menilai kritis bukti

Untuk membantu klinisi menilai bukti, dilakukan penilaian dengan

dasar “VIA”:

a. Validity

Setiap artikel laporan hasil riset perlu dinilai kritis tentang apakah

kesimpulan yang ditarik benar (valid), tidak mengandung bias. Bias

adalah kesalahan sistematis (systematic error) yang menyebabkan

kesimpulan hasil riset yang salah tentang akurasi tes diagnosis,

efektivitas intervensi, akurasi prognosis, maupun kerugian/etiologi

penyakit. Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti dapat terjadi pada

fase pengumpulan data dan analisis data, sehingga didapat kesumpulan

yang salah/bias/tidak valid (Murti, 2010).

Untuk memperoleh riset yang valid, maka riset tersebut harus

menggunakan desain studi yang tepat. misalnya bukti tentang terapetik,

maka bukti yang baik menggunakan desain seperti meta analisis, RCT,

serta randomisasi. Testimoni pasien, laporan kasus, dan pendapat pakar

memiliki nilai rendah sebagai bukti (Murti, 2010).

8

Page 9: EBM

b. Importance

Bukti yang disampaikan oleh suatu artikel tentang intervensi

medis perlu dinilai tidak hanya validitas/kebenarannya tetapi juga apakah

intervensi tersebut memberikan informasi diagnostik ataupun terapetik

yang substansial, yang cukup penting (important), sehingga berguna

untuk menegakkan diagnosis ataupun memilih terapi yang efektif. Suatu

intervensi disebut penting jika mampu memberikan perubahan secara

klinis dan statistik dengan signifikan, tidak hanya salah satunya saja

(Murti, 2010).

c. Applicability

Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika

bisa diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis atau dunia nyata

(Murti, 2010).

d. Menerapkan bukti

Langkah EBM diawali dengan merumuskan pertanyaan klinis

dengan struktur PICO, diakhiri dengan penerapan bukti intervensi yang

memperhatikan aspek PICO patient, intervention, comparison, dan

outcome. Selain itu, penerapan bukti intervensi perlu mempertimbangkan

kelayakan (feasibility) penerapan bukti di lingkungan praktik klinis (Murti,

2010).

a. Pertanyaan – pertanyaan patient sebelum menerapkan intervensi:

1) Apakah pasien dalam penelitian memiliki karakteristik sama dengan

pasien di tempat praktik?

2) Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan

dan kebutuhan sesungguhnya dari pasien?

3) Bagaimana dampak psikologis, sosial, dan kultural pasien sebelumnya

dalam menggunakan intervensi?

b. Pertanyaan – pertanyaan intervention sebelum intervensi diberikan pada

pasien:

1) Apakah intervensi memiliki bukti efektivitas yang valid?

2) Apakah intervensi memberikan perbaikan klinis yang signifikan?

9

Page 10: EBM

3) Apakah intervensi memberikan hasil yang konsisten?

c. Pertanyaan – pertanyaan comparison untuk menerapkan bukti:

1) Apakah terdapat kesesuaian antara pembanding/alternatif yang

digunakan oleh peneliti dan pembanding/alternatif yang dihadapi

klinisi pada pasien di tempat praktik?

2) Apakah manfaat intervensi lebih besar daripada kerugian yang

diakibatkannya?

3) Apakah terdapat alternatif intervensi lainnya?

d. Pertanyaan – pertanyaan outcome terkait hasil:

1) Apakah hasil intervensi yang diharapkan pasien?

2) Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan

dan kebutuhan sesungguhnya dari pasien?

3) Apakah pasien memandang manfaat dari intervensi leih penting

daripada kerugian ang diakibatkannya?

Pertanyaan – pertanyaan feasibility/kelayakan intervensi yang akan

diberikan pasien:

1) Apakah intervensi tersedia di lingkungan pasien/praktik?

2) Apakah tersedia sumber daya yang dibutuhkan?

3) Apakah tersedia tenaga kesehatan yang mampu mengimplementasikan

intervensi?

4) Jika tersedia, apakah intervensi terjangkau secara finansial?

5) Apakah konteks sosial kultural pasien menerima penggunaan

intervensi tersebut?

e. Mengevaluasi kinerja penerapan EBM

Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, dengan tiga kegiatan:

a. Mengevaluasi efisiensi penerapan langkah – langkah EBM. Penerapan

EBM dikatakan belum berhasil jika klinisi membutuhkan waktu terlalu

lama untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi mendapat

bukti namun kualitas bukti tidak memenuhi VIA (Hollowing dan Jarvik,

2007).

10

Page 11: EBM

b. Melakukan audit keberhasilkan dalam menggunakan bukti terbaik

sebagai dasar praktik klinis. Dalam audit klinis dilakukan kajian

pelayanan yang telah diberikan untuk dievaluasi apakah terdapat

kesesuaian antara pelayanan yang diberiken dengan kriteria yang

ditetapkan. Jika belum, maka audit klinis memberikan saran agar

dilakukan upaya perbaikan pelayanan dan klinis pasien (Hollowing dan

Jarvik, 2007).

c. Mengidentifikasi area riset di masa mendatang (Hollowing dan Jarvik,

2007).

Evaluasi ini berguna untuk memperbaiki penerapan EBM menjadi

lebih baik, efektif, dan efisien, sehingga EBM menjadi program perbaikan

kualitas pelayanan kesehatan yang berkelanjutan (Ilic, 2009).

11

Page 12: EBM

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Evidence – Based Medicine adalah penerapan pelayanan kesehatan kepada

pasien dengan berdasarkan bukti – bukti ilmiah terbaik.

2. Cara merumuskan pertanyaan untuk mencari bukti adalah dengan metode

PICO, yaitu patient and problem, intervention, comparison, dan outcome.

3. Bukti – bukti ilmiah terbaik dapat disaring dengan menggunakan metode

VIA, yaitu dinilai validity, importance, dan applicability.

4. Bukti – bukti ilmiah perlu ditinjau ulang sebelum diberikan kepada pasien.

B. SARAN

Para klinisi dan tenaga medis sebaiknya mengerti prinsip Evidence –

Based Medicine agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik.

12

Page 13: EBM

DAFTAR PUSTAKA

CorpBlack (2010). The history of evidence based medicine. http://www.nettingtheevidence.org.uk/the-history-of-evidence-based-medicine/ – Diakses April 2013.

Evidence – Based Medicine Working Group (1992). Evidence – based medicine. A new approach to teaching the practice of medicine. JAMA 268 (17):2450 – 5.

Fletcher RH, Fletcher SW (2005). Clinical epidemiology: The essentials. Philadelphia, PA: Lippincot Williams & Wilkins.

Hawkins RC (2005). The evidence based medicine approach to diagnostic testing: Practicalities and limitations. Clin Biochem Rev, 26: 7 – 18.

Hollowing W, Jarvik JG (2007). Technology assessment in radiology: Putting the evidence in evidence – based radiology. Radiology: 244(1): 31 – 38.

Ilic D (2009). Assessing competency in evidence based practice: Strength and limitation of current tools in practice. http://www.biomedcentral.com/1472-6920/9/53 – Diakses April 2013.

Last J (1988). What is epidemiology? Editorial guest. http://www.jstor.org/stable/3343001 – Diakses April 2013.

Last JM (2001). A dictionary of epidemiology. Edisi ke – 4. New York: Oxford University Press.

Mathew JL (2010). Beneath, behind, besides and beyond evidence – based medicine. Indian Pediatrics, 47:225 – 227.

Murti B (2010). Pengantar evidence based medicine. Surakarta: UNS.

Sackett DL, Straus SE, Richardson WS, Rosenberg WM, Haynes B (2000). Evidence based medicine: How to practice and teach EBM. Edisi ke – 2. Toronto: Chrucill Livingstone.

Scott JG, Cohen D, DiCicco-Bloom B, Miller WL, Stange KC, Crabtree BF (2008). Understanding healing relationships in primary care. Ann Fam Med. 6(4): 315 – 322.

Shaughnessy AF, Slawson DC (1997). POEMs: Patient-Oriented Evidence That Matters. Annals of Internal Medicine, 126(8): 667.

13