file meis 2

21
MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017 22 Peran Partai Al-Nahdhah Dalam Rekonsiliasi Politik Di Tunisia Tahun 2011-2015 Libasut Taqwa, Hendra Kurniawan Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia Email: [email protected], [email protected] Abstract This research aims to examine the role of Al-Nahdhah Party’ in Tunisia’s Political Reconciliation in 2011-2015 period. Al-Nahdhah is an Islamic party that has won the first election in post-revolutionary Tunisia in 2011 and managed to play an important role in the political transition process to embrace all different classes to have a common goal to struggle with them. In addition, there is no studies yet that have specifically discussed the political reconciliation efforts by a political party as a method to improve relations between the divided political factions in Tunisia’s political context. The analysis of this research uses qualitative methods to explain the observed phenomena qualitatively. Descriptive analysis is used to interpret the empirical data into words and as an overview of the research report. To get the data that will be analyze, the authors used data collection methods such as interviews, documents, and audio-visual information. The purpose of this study explain how the role and achievements that were achieved by the Al-Nahdhah party in Tunisia’s political reconciliation in 2011-2015 periods by applying the theory and the conceptual framework that explains about political reconciliation. This research is expected to provide a new contribution on the role of Al-Nahdhah Islamic political party in Tunisia’s political contestation after Ben Ali regime and its efforts in political reconciliation. The result assumed that Al-Nahdhah has an important role in Tunisia’s political reconciliation after the revolution. Keywords: Political Reconciliation, Al-Nahdhah, Tunisia, Revolution PENDAHULUAN Arab Spring 1 yang melanda sebagian negara Timur Tengah sejak akhir 2010 turut mempengaruhi konstelasi politik di wilayah tersebut. Kekacauan politik yang 1 Istilah ini pertama kali digunakan pada 6 januari 2011 oleh Marc Lynch, seorang kontributor Foreign Policy dalam artikelnya berjudul “Obama’s Arab Spring.” Asaad Al-Saleh. Voices of The Arab Spring: Personal Stories of The Arab Revolution. New York: Columbia University Press, 2015. Hal. 3; Rangkaian revolusi di beberapa negara Afrika Utara dan Timur Tengah tersebut juga seringkali disebut Arab Uprising atau Arab Awakening. Chandra semula berawal dari kasus pembakaran diri Mohammed Bouazizi di Tunisia pada 17 Desember 2010, 2 pada akhirnya menyeruak dan membakar amarah seluruh negeri. Aksi protes yang menjelma menjadi gerakan Muzaffar. Whither Wana? Reflections Of The Arab Uprisings. International Movement for a Just World, ebook; Lihat juga Tariq Ramadan, Islam And The Arab Awakening. London: Oxford Press. 2012. 2 Khamami Zada. Gelombang Revolusi dan Transisi Politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i. Vol. 2 No. 1 Juni 2015. Hlm. 68

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

22

Peran Partai Al-Nahdhah Dalam Rekonsiliasi Politik Di Tunisia Tahun 2011-2015

Libasut Taqwa, Hendra Kurniawan

Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

Abstract

This research aims to examine the role of Al-Nahdhah Party’ in Tunisia’s Political Reconciliation in 2011-2015 period. Al-Nahdhah is an Islamic party that has won the first election in post-revolutionary Tunisia in 2011 and managed to play an important role in the political transition process to embrace all different classes to have a common goal to struggle with them. In addition, there is no studies yet that have specifically discussed the political reconciliation efforts by a political party as a method to improve relations between the divided political factions in Tunisia’s political context. The analysis of this research uses qualitative methods to explain the observed phenomena qualitatively. Descriptive analysis is used to interpret the empirical data into words and as an overview of the research report. To get the data that will be analyze, the authors used data collection methods such as interviews, documents, and audio-visual information. The purpose of this study explain how the role and achievements that were achieved by the Al-Nahdhah party in Tunisia’s political reconciliation in 2011-2015 periods by applying the theory and the conceptual framework that explains about political reconciliation. This research is expected to provide a new contribution on the role of Al-Nahdhah Islamic political party in Tunisia’s political contestation after Ben Ali regime and its efforts in political reconciliation. The result assumed that Al-Nahdhah has an important role in Tunisia’s political reconciliation after the revolution. Keywords: Political Reconciliation, Al-Nahdhah, Tunisia, Revolution

PENDAHULUAN

Arab Spring1 yang melanda

sebagian negara Timur Tengah sejak akhir

2010 turut mempengaruhi konstelasi politik

di wilayah tersebut. Kekacauan politik yang

1 Istilah ini pertama kali digunakan pada 6 januari 2011 oleh Marc Lynch, seorang kontributor Foreign Policy dalam artikelnya berjudul “Obama’s Arab Spring.” Asaad Al-Saleh. Voices of The Arab Spring: Personal Stories of The Arab Revolution. New York: Columbia University Press, 2015. Hal. 3; Rangkaian revolusi di beberapa negara Afrika Utara dan Timur Tengah tersebut juga seringkali disebut Arab Uprising atau Arab Awakening. Chandra

semula berawal dari kasus pembakaran diri

Mohammed Bouazizi di Tunisia pada 17

Desember 2010,2 pada akhirnya menyeruak

dan membakar amarah seluruh negeri. Aksi

protes yang menjelma menjadi gerakan

Muzaffar. Whither Wana? Reflections Of The Arab Uprisings. International Movement for a Just World, ebook; Lihat juga Tariq Ramadan, Islam And The Arab Awakening. London: Oxford Press. 2012. 2 Khamami Zada. Gelombang Revolusi dan Transisi Politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i. Vol. 2 No. 1 Juni 2015. Hlm. 68

Page 2: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

23

revolusi ini menuntut diakhirinya rezim

Zine el-Abidine Ben Ali yang telah

berkuasa sebagai Presiden Tunisia selama

lebih dari 23 tahun.

Aksi Bouazizi dan rakyat Tunisia

lebih jauh turut menginspirasi gerakan

serupa di negara-negara lain di regional

Timur Tengah. Di Mesir, revolusi rakyat

berhasil menjatuhkan pemerintahan

Mubarak.3 Di Libya, gerakan anti-Khadafy

mengadakan perlawanan bersenjata.4

Begitu pula halnya di Sudan, Yaman, dan

Bahrain.5 Berbagai perubahan dan

restrukturisasi kepemimpinan di wilayah

yang dilanda konflik berangsur-angsur

membawa arah baru demokratisasi.

Gejolak politik yang terjadi

memang tidak lahir dari satu faktor.

Kemiskinan, ketimpangan ekonomi,

pengangguran, kebijakan yang represif, dan

otoritarianisme menjadi faktor penting yang

menandai perubahan tersebut. Minggu-

minggu pasca aksi dramatis Bouazizi, peta

politik Tunisia berubah drastis. Rezim

diktator yang berkuasa puluhan tahun

lengser dari pemerintahan diganti sistem

kepemimpinan baru yang menunjang arah

perubahan sosial politik negara, Afrika

Utara, dan dunia. Namun demikian, transisi

3 Paul Aarts, dkk. From Resilience to Revolt: Making Sense of The Arab Spring. Amsterdam: University of Amsterdam, 2012. Hlm. 1 4 Ibid, hlm. 1 5 Amjad M. Saleem, Ed. The Arab Revolution: Hopes, Challenges, and Transitions. London: The Cordoba Foundation, Vol. 6 Ed. 10, 2012. Hlm. 4

revolusi Tunisia tidak berlangsung lama

seperti negara Timur Tengah lain. Pada 14

Januari 2011, 10 hari pasca meninggalnya

Bouazizi, Ben Ali akhirnya mengasingkan

diri ke Saudi Arabia dan menyerahkan

kekuasaan pada Mohammad Ghannouchi.6

Namun tidak berapa lama

Ghannouchi menjabat sebagai presiden,

Fouad Mebazaa, presiden lembaga

parlemen Tunisia, menganggap penyerahan

kekuasaan tersebut tidak sah dan kemudian

mengambil alih kepemimpinan –presiden-

dari Ghannouchi serta selanjutnya pada

Senin, 28 Februari 2011, mengangkat

Mohamed Beji Caid Essebsi –belakangan

sebagai inisiator partai Nidaa Tounes-

sebagai Perdana Menteri.7 Pasca perubahan

singkat tersebut, ternyata penggantian

Perdana Menteri belum menenangkan

situasi. Sebaliknya, protes anti pemerintah

terus berlangsung. Aksi protes demonstran

dilandasi fakta bahwa perdana menteri baru

dipilih tanpa berkonsultasi dengan partai

politik lainnya sehingga banyak kelompok

muda tidak merasa terwakili oleh Essebsi

yang digambarkan sebagai antek rezim

lama. Konsekwensinya, di tengah suasana

yang semakin tegang, beberapa menteri

negara mengundurkan diri. Upaya Essebsi

6 Tariq Ramahan, Islam And The Arab Awakening. London: Oxford Press. 2012. Hlm. 6 7 http://www.abo.net/oilportal/blog/post/view.do?blogid=108330&contentId=627132, diakses pada 02 Oktober 2016

Page 3: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

24

mempertahankan posisi politik rupanya

turut juga mempengaruhi sistem

perekonomian Tunisia yang melemah.

Sektor pariwisata yang menjadi andalan

semakin merosot. Pantai dan hotel-hotel

terlihat sepi. Sejak Januari 2011, ribuan

pegawai hotel kehilangan pekerjaan.8

Walau demikian, Tunisia mendapat

nafas baru di bidang politik. MTI (The

Movement of Islamic Tendency) yang

dikekang selama puluhan tahun oleh rezim

Ben Ali dan telah absen dari panggung

politik Tunisia9 sejak 1992 kembali ke

permukaan setelah Rashid al-Ghannouchi,

pimpinan yang mengasingkan diri ke

London kembali ke Tunisia pada 30 Januari

2011 dan memimpin gerakan Al-Nahdhah.

Anggota-anggota partai, termasuk Rashid

al-Ghannouchi yang pada era Ben Ali

dilarang keras pemerintah mulai

mengumpulkan dukungan dari para

simpatisan di seluruh Tunisia guna

mempersiapkan diri mengikuti pemilu yang

segera diadakan. Sesuai dengan semangat

perubahan dari pemegang kekuasaan

sementara Tunisia, pada Februari 2011,

gerakan Al-Nahdhah secara resmi menjadi

partai politik dan mempersiapkan diri

8 http://www.dw.com/id/tunisia-enam-bulan-setelah-revolusi/a-15235268, diakses pada 21 September 2016 9 Apriadi Tamburaka, Revolusi Timur Tengah: Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di Negara-negara Timur Tengah. Yogyakarta: Narasi, 2011. Hlm. 46 10 https://www.britannica.com/biography/Rachid-al-Ghannouchi, diakses pada 02 Oktober 2016

memasuki pemilu Majelis Konstitusi.10

Walaupun demikian, Al-Nahdhah bukanlah

pemain baru dalam kancah perpolitikan

Tunisia. Terbentuk dari embiro Al-Jama’ah

Al-Islamiyyah (JI) pada 1971 oleh Rashid

Al-Ghannouchi dan Abd Al-Fattah Muru,11

gerakan ini menjadi inisiator perlawanan

kelompok Islam di Tunisia yang diilhami

gerakan Ikhwan Al-Muslimin di Mesir

dengan tokoh-tokoh seperti Hassan Al-

Banna dan Sayyid Qutb. Dengan membaca

buah pemikiran para tokoh tersebut, Al-

Ghannouchi merasa mendapat jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan yang menjadi

kegusarannya selama ini, khususnya dalam

konteks keislaman dan masalah sosial

politik di Tunisia.12

Delapan bulan pasca revolusi,

antusisme rakyat Tunisia dalam mengiringi

jalannya revolusi mencapai puncak dengan

dilaksanakannya pemilu pada hari Minggu,

23 Oktober 2011 yang memilih Majelis

Konstitusi berjumlah 217 orang guna

mempersiapkan perubahan dasar negara

dan mempersiapkan pemilihan Presiden.

Pemilihan umum yang secara internasional

diakui sebagai penyelenggaraan yang bebas

dan adil dalam sejarah Tunisia modern

11 Mega Kharismawati. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemenangan Partai Al-Nahdhah Pada Pemilu National Constituen Assembly Tahun 2011 di Tunisia. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Tesis. 2013. Hlm. 30 12 Azzam S. Tamimi. Rachid Ghannouchi: A Democrat Within Islamism. Oxford: Oxford University Press, 2001. Hlm. 70

Page 4: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

25

untuk pertama kalinya terjadi dalam

beberapa dekade terakhir. Rakyat Tunisia

diberi kebebasan oleh pemerintahan transisi

untuk membentuk partai politik, mengatur

agenda dan visi-misi, dan memilih secara

bebas. Pada pemilu ini, partai Al-Nahdhah,

sebagai partai Islam terbesar,

memenangkan 41,7 persen (89 kursi) dari

total 217 kursi di Parlemen.13 Walaupun

demikian, raihan suara Al-Nahdhah tidak

cukup untuk membentuk pemerintahan

tunggal dengan suara mayoritas sebab

banyak rakyat yang juga percaya bahwa

partai tidak memiliki legitimasi moral untuk

memaksakan ideologinya pada

masyarakat.14

Setelah memenangkan pemilihan

umum, Al-Nahdhah membantah anggapan

internasional yang menuduh15 Rashid al-

Ghannushi akan membentuk pemerintahan

otoriter dengan sebaliknya menolak

menjadi presiden atau Perdana Menteri

dengan membentuk pemerintahan koalisi

antar ideologi yang dikenal dengan

“Troika” bersama dua partai sekuler

(Congress for the Republic (CPR) dan

Ettakatol).16 Langkah Al-Nahdhah

13 International Civil Society Action Network Fro Women’s Right, Peace, and Security. What the Women Say: The End of the Beginning: Tunisia’s Revolution and Fighting for the Future. Brief Report 2. April 2012. Hlm. 3 14 Ibid, hlm. 3 15 Tuduhan-tuduhan terhadap partai En-Nahdhah antara lain seperti dilontarkan oleh BBC, pada tahun 2012 yang menyatakan bahwa Ghannouchi akan membentuk pemerintahan otoriter dan

menunjukkan upaya konsesi politik brilian

dalam perjalanan transisi politik Tunisia

Pasca Ben Ali. Menurut Harun Yahya17, Al-

Nahdhah merupakan suatu kemajuan yang

dilakukan sebuah partai Islam. Baginya,

salah satu alasan terpenting dari kemajuan

transisi politik Tunisia adalah sikap

akomodatif Al-Nahdhah terhadap oposisi

dan kelompok yang berseberangan dengan

mereka. Alih-alih mengambil kekuasaan,

Rashid al-Gannouchi lebih memilih konsep

politik Power Sharing dengan berbagai

elemen di Tunisia.

Tidak hanya itu, terobosan-

terobosan politik Al-Nahdhah terlihat

dalam beberapa pendekatan nilai politik

Islam moderat dan kompromi politik yang

secara eksplisit menunjukan komitmen

eksistensi antara Islam dan negara yang

komplementer. Sebagaimana diungkapkan

Rory McCarthy, “Often overlooked is the

fact that in 2005, Ennahda sat down with

several opposition parties, including leftists

and communists, and agreed a joint

platform on issues such as women’s rights,

gender equality, freedom of opinion and

memberangus oposisi. Lihat, http://www.bbc.com/news/business-22464773, diakses pada 02 Oktober 2016 16 Monica Marks, Tunisia’s Ennahda: Rethinking Islamism in the context of ISIS and the Egyptian Coup. USA: Brookings Institution, 2015. Hlm 4 17 Harun Yahya, “Reconciliation is the winner in Tunisia.” Dalam http://muslimmirror.com/eng/reconciliation-is-the-winner-in-tunisia/, diakses pada 04 Mei 2016

Page 5: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

26

relations between the state, religion and

identity.”18

Bagi Rashid al-Ghannouchi,19 untuk

menentukan tingkat perkembangan

masyarakat, maka sangat diperlukan konsep

yang menunjang posisi perempuan dan laki-

laki diperlakukan. Menurutnya, Tunisia

memimpin jalan bagi negara-negara Arab

lainnya dalam hal perlindungan konstitusi

untuk perempuan. Dalam sebuah

wawancara dengan A9 TV di Istanbul pada

8 Maret 2014, Rashid al-Ghannouchi

menjelaskan betapa pentingnya bagi

mereka untuk melindungi hak-hak

perempuan dan bagaimana perempuan

dapat membantu kesuksesan partai.

Terobosan ini terbukti pasca pemilihan

umum National Constituen Assembly pada

oktober 2011, 42 dari total 49 wakil

perempuan terpilih merupakan anggota

partai Al-Nahdhah.20 Kesinambungan relasi

antara kelas rakyat dan elit partai,

sebagaimana ungkap Feldman (2016)21,

menjadi salah satu syarat utama

keberhasilan penyelenggaraan pemilu pasca

revolusi. Dengan begitu, disparitas antara

kelompok elit dan massa rakyat akan segera

menemukan jalan tengah. Sebab, banyak

18 Rory McCarthy. “Islamism and secularism in Tunisia.” Dalam https://www.opendemocracy.net/rory-mccarthy/islamism-and-secularism-in-tunisia, diakses pada 09 Mei 2016 19 Harun Yahya, “Reconciliation… 20 International Civil Society Action Network Fro Women’s Right, Peace, and Security. What the Women Say: The End of the Beginning..Hlm. 3

rakyat Tunisia yang melihat Islam sebagai

bagian dari personifikasi diri dan

identitasnya. Dan Rashid al-Ghannouchi

serta Al-Nahdhah telah melakukan itu.

Peran fleksibilitas politik partai Al-

Nahdhah terutama pada tahun 2014 ketika

Tunisia mengalami periode resesi dan

kebuntuan politik telah menyebabkan

terjadinya perimbangan kekuasaan yang

mengintrodusir para sekularis yang

dipimpin Beji Caid Essebsi, tokoh partai

Nidaa Tounes, maju dan meraih

kemenangan dalam pemilu presiden dan

parlemen pada akhir tahun 2014.22 Upaya

tersebut juga terlihat ketika Al-Nahdhah

menjadi katalisator peredam sikap radikal

kelompok Salafi dengan menempatkan diri

sebagai pendukung terlibatnya kelompok

salafi dalam pemilihan umum dan

berpartisipasi dalam proses politik,

walaupun kelompok salafi, sebagaimana

direpresentasikan oleh Jabhat Al-Islah dan

Anshar Al-Syari’ah, memiliki

kecenderungan bertindak anti-demokratis.

KERANGKA TEORI

Dalam masyarakat Arab modern,

kehidupan sosial menjadi kian bercorak

21 Noah Feldman. “Islamists’ Victory in Tunisia a Win for Democracy.” Lihat https://www.bloomberg.com/view/articles/2011-10-30/islamists-victory-in-tunisia-a-win-for-democracy-noah-feldman, diakses pada 02 Oktober 2016 22http://parstoday.com/id/radio/world-i20143-tunisia_model_demokrasi_atau_kembali_ke_masa_lalu. Diakses pada 28 november 2016.

Page 6: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

27

“masyarakat pemerintah (government

society)” dan bukan masyarakat sipil. Bagi

Barakat (2012),23 hal ini disebabkan karena

pemerintah negara-negara Arab bersikap

tiran terhadap masyarakat dan mengabaikan

hak-hak dasar rakyat. Lebih lanjut, Barakat

menjelaskan bahwa warga negara Arab

dibiarkan oleh rezim tanpa kekuatan,

dihalang-halangi dan dicabut haknya untuk

beraktifitas dalam gerakan politik.24

Dampaknya, terjadi gap yang besar antara

kebijakan pemerintah di satu sisi, dan

keinginan rakyat di sisi lain. Sejalan dengan

Barakat, Fergany (2005) meneguhkan,

bahwa salah satu dimensi mayor dalam

pemerintahan negara-negara Arab adalah

pola pengelolaan kekuasaan yang bertumpu

pada individu-individu dominan yang

otoriter dan tidak melalui institusi

sebagaimana syarat utama dalam sistem

good governance.25

Dengan pola kepemimpinan tiran

tersebut, basis sosial pemerintah menjadi

lemah. Di negara-negara dengan tingkat

heterogenitas tinggi seperti Libanon dan

Sudan (Barakat, 2012), penolakan terhadap

rezim demikian mudah terjadi apabila

ketimpangan sosial semakin meningkat

walaupun hanya dapat memicu konflik pada

23 Halim Barakat. Dunia Arab; masyarakat, Budaya, dan Negara. Terj. Irfan M/Zakkie. Bandung: Penerbit Nusa media. 2012. Hlm. 238 24 Ibid, hlm. 238 25 Nader Fergany. The UNDP’s Arab Human Development; Reports and their readings. Dalam Democratisation in the Middle East Dilemmas and

tataran perang sipil. Di sisi lain, negara

dengan homogenitas lebih tinggi seperti

Tunisia dan Mesir, lebih potensial akan

terjadinya revolusi rakyat26 ketika

masyarakat mengalami tingkat

ketimpangan yang besar, sebab akan

meningkatkan solidaritas kelas dan

mobilisasi massa.

Revolusi Tunisia sebagai akibat

ketimpangan sosial dan otoritarianisme

yang dipicu aksi bakar diri Buazizi

membuktikan tesis Barakat bahwa efek

domino dalam pergolakan struktur

masyarakat homogen lebih mudah

diintrodusir apabila terjadi banyak

penyimpangan oleh negara. Situasi sosial

politik pra revolusi yang timpang dan

otoritarian tersebut akhirnya melahirkan

kecenderungan perubahan sosial secara

signifikan dan sangat cepat. Implikasinya,

keruntuhan solidaritas sosial terbentuk dan

mengakibatkan terjadinya

ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam

masyarakat, negara, dan pemerintahan.

Dalam kondisi kolaps tersebut, situasi

negara dapat bertambah parah menuju

perpecahan. Johnson (1986),27 mengatakan

demikian:

Perspectives. Ed. Birgitte Rahbek. Denmark: The authors and Aarhus University Press, 2005. Hlm. 24 26 Halim Barakat. Dunia Arab..Hlm. 27 27 Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terj. Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia. 1986

Page 7: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

28

“Perubahan sosial yang

cepat hampir selalu disertai

munculnya ketegangan-

ketegangan dan

perpecahan-perpecahan

dalam struktur sosial dan

kesenjangan budaya serta

diskuntinuitas. Semua ini

dialami sebagai masalah-

masalah sosial dimana

tradisi yang sudah mapan

tidak menyediakan

jawaban-jawaban yang siap

dipakai. Mencari jalan

keluar, kadang-kadang

mengakibatkan orang

mempertanyakan asumsi-

asumsi tradisional dan

menciptakan bentuk-

bentuk baru. Tetapi bisa

juga orang berusaha untuk

membela asumsi-asumsi

tradisional, dengan jalan

menginterpretasikannya

kembali, di mana artinya

dapat disesuaikan dengan

situasi baru.”

Menurut Zisenwine (2015)28,

disintegrasi Tunisia pasca revolusi memiliki

28 Daniel Zisenwine. Tunisia's Revolution, 4 Years On: Achievements and Challenges. Tel Aviv Notes; An Update On Middle Eastern Developments By The Moshe Dayan Center. Vol.9 No. 2. 2015. Hlm. 1-2

kecenderungan peningkatan disebabkan

beberapa hal, seperti; bahwa Sepanjang

2012, Tunisia dihadapkan realitas baru yang

berasal dari proses pasca-revolusi walaupun

diakui belum seakut negara-negara Timur

Tengah lainnya. Ekonomi juga berjalan

tetap lamban dan sulit lepas dari dampak

revolusi. Pengangguran meningkat drastis

(lebih dari 16 persen), investasi menurun,

dan komponen penting dari industri-turis

negara serta ekonomi-tidak bangkit kembali

pasca revolusi. Selain itu, situasi keamanan

internal memburuk dengan munculnya

kelompok-kelompok Islam garis keras.

Apa yang terjadi di antara pemegang

kekuatan dan kekuasaan dalam

pemerintahan Tunisia ibarat telah

membusuk dan hanya tinggal menunggu

waktu untuk mengundang pergolakan

rakyat. Masyarakat mengharapkan

perbaikan dan perdamaian antara pihak-

pihak yang berseteru yang bukan

dipaksakan oleh hasil rekayasa punguasa,

namun lahir dari aktor-aktor penting negeri

yang di dalamnya melibatkan dialog

intensif hingga Rekonsiliasi Nasional.

Rekonsiliasi Nasional, sebagaimana

diserukan Ghannouchi29, bukanlah “safqa

taht al-tawila” (deal bawah tangan) tapi

29 Sayida Ounissi and Monica Marks. Ennahda from within: Islamists or “Muslim Democrats”? A conversation dalam https://www.brookings.edu/research/ennahda-from-within-islamists-or-muslim-democrats-a-conversation/, diakses pada 06 Oktober 2016

Page 8: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

29

mewakili keseluruhan sejarah Tunisia yang

merangkul semua pihak.

Secara etimologis, rekonsiliasi

berasal dari bahasa latin dari kata

‘reconciliatio’ dan kata kerja ‘reconciliare’

yang berarti membawa kembali,

membangun kembali, memperbaharui,

merukunkan.30 Corrimeela (2016)31

mendefinisikannya sebagai “the restoring

and transforming of relationships and

structures harmed by division and conflict,

so that they reflect a shared humanity and

seek a shared future in which we live well

with and for others.” Rekonsiliasi dapat

berguna sebagai alat proses transformasi

hubungan dalam masyarakat yang

terbelah.32

Dalam perkembangannya, upaya

rekonsiliasi dapat melibatkan multi-

generasi dan berlaku pada setiap tingkat

perkembangan komunitas. baik masyarakat

yang mengalami konflik kekerasan atau

tidak. Rekonsiliasi memiliki ragam

pendekatan baik sebagai pencegah konflik

juga pemulihan pasca konflik dan

berhubungan erat dengan masalah inklusi

struktural dan keadilan sosial.33 Oleh

30 Ulber Silalahi. Rekonsiliasi Sosial; Satu Kerangka Analisis dan Teori Konsensus. Universitas Parahyangan. Jurnal Administrasi Publik, Vol. 5, No. 2, 2008: 193-208 31 Rebbeca Dudley. What Is Reconciliation. Human Right’s And Reconciliation Reports. Tt. Hlm. 3 32 Quaker United Nation Office. Reconciliation – transforming relationships in divided societies. Remarks given on 4th May, 2015 at the UNITAR

karenanya, upaya rekonsiliasi dapat bersifat

individual, namun juga dapat berarti

kolektif menyangkut perbaikan kehidupan

masyarakat banyak dengan kekuatan

solidaritas yang tinggi. Rekonsiliasi adalah

tentang mendukung evolusi masyarakat,

yang menyediakan lensa untuk melihat

perubahan sosial dan segala bentuk bantuan

eksternal. Rekonsiliasi, sebagai

transformasi hubungan-hubungan, juga

merupakan konsep inti dalam

mengembangkan ketahanan suatu

masyarakat.

Rekonsiliasi dapat dilakukan

apabila telah terjadi konflik yang memenuhi

beberapa persyaratan seperti disebutkan

Lederach (1995)34: Pertama, ketidakadilan

struktural yang terjadi seperti kemiskinan

dan penindasan oleh penguasa. Kedua, alur

konflik secara tipikal terjadi apabila

kelompok yang satu menindas kelompok

lainnya. Ketiga, konflik telah berlangsung

lama dan lintas generasi. Keempat,

kelompok yang berkonflik biasanya berada

dalam batas geografis yang dekat. Dan

kelima, ada kekerasan fisik langsung

(Rigby 2012).35

Workshop on Reconciliation & Peacebuilding. Hlm. 3-4 33 Ibid, hlm. 4 34 Cheryl de la Rey. “Reconciliation in Divided Society.” Dalam Daniel J. Christie, dkk. Peace, Conflict, And Peace; Peace Psychology for The 21st Century. New jersey: Prentice-Hall, Inc. 2001. Hlm. 251 35 Andrew Rigby, “How do Post-Conflict Societies Deal With Traumatic Past and Promote National

Page 9: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

30

Dalam konteks penelitian ini,

rekonsiliasi dipahami sebagai upaya

perbaikan relasi. Suatu konsep relasional

dan tidak sebagai suatu kejadian “revolusi”

itu sendiri. Oleh karenanya, peta

rekonsiliasi yang digunakan diambil dari

konsep Cohen (1997)36 yang menyatakan

bahwa rekonsiliasi digunakan sebagai

proses memperbaiki relasi antar elemen

yang bertikai. Struktur politik Tunisia yang

terganggu setelah terjadinya perubahan

sosial politik hasil revolusi melati dan

restrukturisasi kepemimpinan Nasional

sejak 2011 membuat banyak elemen rakyat

terpecah. Untuk mengukur konsep

rekonsiliasi, metode dan mekanisme yang

digunakan; Pertama, Dialogue. Dalam

proses dialog, pertanyaan-pertanyaan yang

diajukan dimaksudkan untuk tujuan

klarifikasi dan kesepahaman bersama

hingga kedua pihak yang berdialog menilai

dan menghargai lawan dialognya sebagai

manusia juga sama seperti dirinya.37 Hal ini

menjadi sangat penting untuk proses

terjadinya rekonsiliasi. Upaya pembentukan

dialog nasional dan koalisi dengan partai

sekuler yang dilakukan Al-Nahdhah

menjadi sangat penting dilihat dari

mekanisme ini

Kedua, Legislation And Policies.

Upaya penegakan Hak Asasi Manusia

Unity And Reconciliation?” dalam Charles P. Webel & Jorgen Johansen Peace And Conflict Studies; A Reader. London & New York. 2012. Hlm 234

menjadi salah satu hal penting di zaman

modern. Upaya-upaya tersebut dapat dilihat

sebagai mekanisme rekonsiliasi yang dapat

dibangun secara struktural melalui legislasi

dan kebijakan oleh penguasa. Selain itu,

kebijakan dalam hal aksi afirmasi yang

bermanfaat sebagai pereduksi ketidakadilan

dan ketimpangan peranan dalam ruang

publik dan politik,38 sebagai contoh pria dan

wanita, sangat mempengaruhi tingkat

keberhasilan sebuah rekonsiliasi. Peranan

Al-Nahdhah dalam proses tersebut menjadi

perhatian tersendiri. Selain berupaya dalam

perubahan mendasar konstitusi baru

Tunisia, Al-Nahdhah juga mengembangkan

kebijakan-kebijakan partai yang memberi

kesempatan kepada perempuan dalam

berpolitik.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan Metode

kualitatif sebab melihat Peran partai Al-

Nahdhah dalam rekonsiliasi politik di

Tunisia tahun 2011-2015 yang melibatkan

interpretasi terhadap teks, konteks sosial-

politik dan fenomena yang terjadi. Jenis

penelitian ini adalah studi kasus yang

berusaha menemukan makna, menyelidiki

proses dari revolusi Tunisia dan rekonsiliasi

oleh partai Al-Nahdhah, serta memperoleh

pengertian dan pemahaman yang mendalam

36 Ibid, hlm. 254 37 Cheryl de la Rey. Reconciliation…Hlm. 260 38 Cheryl de la Rey. Reconciliation…Hlm. 261

Page 10: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

31

dari individu, kelompok atau situasi.

Dengan mengacu pada jenis penelitian studi

kasus, penelitian mengeksplorasi

bagaimana peran Al-Nahdhah sebagai

partai politik Islam di Tunisia secara

mendalam, baik kejadian, aktivitas, maupun

proses atas individu, kelompok atau situasi

yang berkaitan dengan situasi dan kejadian

yang melibatkan partai Al-Nahdhah pasca

revolusi Tunisia tahun 2011.

Selain itu, penelitian menggunakan

beberapa metode penggalian data. Pertama,

interview peneliti lakukan terhadap

perwakilan kedutaan Besar Tunisia dengan

konsep pertanyaan wawancara terstruktur

dengan tatap muka langsung. Kedua

Documents, berupa bahan dan dokumen

tulis baik internal maupun eksternal berupa

buku, jurnal, laporan berkala, artikel media

massa, website, publikasi dan laporan

resmi, serta tanggapan tertulis yang

berkaitan baik langsung maupun tidak

langsung dengan partai Al-Nahdhah.

Ketiga, Audio Visual Information.39

Kegunaan media audio visual menjadi salah

satu hal yang menurut peneliti patut

dipertimbangkan walaupun tidak bisa

dijadikan sumber primer.

HASIL PENELITIAN

39 John W. Creswell. Research Design,.. hlm. 242-243

Al-Nahdhah sebagai salah satu aktor

penting pasca revolusi memainkan peranan

krusial dalam mengawal transisi politik

sebagai pemimpin pemerintahan Tunisia.

Setelah memenangkan pemilu National

Constituen Assembly ( يسیسأتلا ينطولا سلجملا )

pada Oktober 2011, Al-Nahdhah

membangun komunikasi dan dialog politik

dengan berbagai pihak termasuk kelompok

sekuler dan komunis tanpa memonopoli

kepemimpinan. Ini terbukti dengan

kesediaannya membentuk Koalisi Troika

dan bersedia mengkompromikan pasal-

pasal penting dalam konstitusi mengenai

term Syariat Islam dan posisi wanita dalam

kehidupan sosial dan politik Tunisia pasca

revolusi. Konstitusi sebagai hasil dari

legislasi pun terwujud tanpa pasal yang

menyantumkan Syariat Islam, dan

menegaskan bahwa posisi perempuan dan

laki-laki adalah sama dalam ranah sosial-

politik. Al-Nahdhah juga tampil

mengeluarkan berbagai pernyataan

persuasif baik melalui wawancara, maupun

pidato untuk turut mengonsolidasikan

situasi pelik di masa transisi khususnya

ketika terjadi pembunuhan atas dua tokoh

oposisi dan bangkitnya kelompok teroris.

Selain itu, ketika meraih posisi kedua pada

Pemilu parlemen tahun 2014, Al-Nahdhah

bersedia menerima ajakan Nidaa Tounis,

Page 11: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

32

pemenang pemilu, untuk berkoalisi dan

membangun pemerintahan secara bersama-

sama sejak 2015. Situasi ini memenuhi

unsur rekonsiliasi politik sebagai sebuah

konsep yang mensyaratkan kerjasama

sebagai bagian dari upaya membangun

pemerintahan yang baik pasca revolusi dan

kebuntuan politik yang terjadi setelahnya.

PEMBAHASAN

Sebagai sebuah metode, rekonsiliasi

politik mensyaratkan kooperasi, yaitu

kerjasama berkelanjutan antar elit yang

memimpin transisi politik secara bersama-

sama tanpa memandang kekhususan dan

tingkatan peran masing-masing kelompok

dalam proses transisi. Dalam rekonsiliasi

politik, konstituen yang beraneka ragam

harus setuju dalam satu tujuan politik

bersama. Kerjasama, dengan demikian

bergantung pada seberapa besar keinginan

dari partisipannya untuk mencapai

konsensus bersama akan persamaan hak,

persamaan dalam perimbangan kekuasaan,

dan saling menghormati satu sama lain.

Dengan kata lain, rekonsiliasi, dalam artian

politik, adalah menerima hak untuk

didengarkan, hak untuk tidak menyetujui

pendapat, serta hak untuk mengambil

langkah legal dan sah dalam memperbaiki

perpecahan. Alhasil, upaya demikian akan

mewujudkan suatu sistem dimana

40 Ibid. Hlm. 205-206

masyarakat, baik kelompok maupun

individu, bersikap loyal terhadap negara

dengan sikap kewarganegaraan yang baik.40

Setelah revolusi 2011, Tunisia

memasuki masa transisi politik dan

perlahan berbenah. Upaya-upaya

konsolidasi perdamaian secara

berkelanjutan dilakukan oleh elit politik

dalam berbagai kesempatan. Pertama, hasil

dari pemilihan umum National Constituen

Assembly ( يسیسأتلا ينطولا سلجملا ) Oktober

2011 menghasilkan suatu konfigurasi

politik baru dalam lanskap politik Tunisia.

Partai Al-Nahdhah meraih kemenangan

disusul CPR, dan Ettakatol. Hasil pemilu

pertama setelah revolusi ini menunjukan

bahwa rakyat Tunisia tidak sepenuhnya

memilih karena platform politik masing-

masing partai, namun lebih melihat

keterpisahan kelompok tersebut dengan

rezim masa lalu. Kemenangan ketiga partai

tersebut mengilustrasikan kelahiran aktor

politik baru pembawa pesan ganda:

menghormati aturan demokrasi dan

kemajuan tradisi serta identitas Arab-

Muslim. Namun demikian, harus diakui,

bahwa ketiganya tidak memiliki

pengalaman dalam mengelola

pemerintahan dalam arti kolektif.

Implikasinya, koalisi Troika dapat

dikatakan memang tidak bersatu, walau

dapat bekerja bersama-sama.

Page 12: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

33

Tanpa pengalaman di pemerintahan,

celah dengan cepat muncul dalam

pelaksanaan koalisi ini. Pertama antara tiga

pihak dan kemudian dalam internal masing-

masing pihak.41 Di NCA, para pemimpin

dari tiga partai berbagi fungsi politik selama

masa transisi untuk mengarahkan Tunisia

pada persiapan di pemilihan umum resmi di

tahun-tahun mendatang setelah transisi:

Moncef Marzouki terpilih sebagai Presiden

Republik, Hamadi Jebali dari Al-Nahdhah

sebagai Perdana Menteri, dan Ben Ja’afar

sebagai Presiden NCA. Kesulitan ketiga

partai ini bekerja bersama-sama untuk

berdialog, memerintah negara, dan

merancang konstitusi diperparah oleh

ketegangan konstan yang sering beralih ke

konflik antara dua segmen yang sangat

berbeda dari masyarakat Tunisia. Meskipun

ada dua kubu efektif dalam konflik sejak

kepergian Presiden Ben Ali, kelompok

modernis “anti” islamisasi di satu sisi, dan

kelompok Islam di sisi lain termasuk partai

Al-Nahdhah, namun koalisi ini cukup

mampu bertahan dalam berbagai hadangan

41 Wawancara Perwakilan Kedutaan Besar Tunisia, 20 Desember 2016 42 Khadija Mohsen-Finan. From Revolution to The Project of Democracy: The Difficulties of Organising the Tunisian Transition. http://www.iemed.org/observatori-en/arees-danalisi/arxiusadjunts/anuari/med.2012/Mohsen_Finan_en.pdf-en, diakses pada 02 Januari 2017. 43 Draf pertama diajukan pada 14 August 2012, dan seterusnya berturut-turut pada 14 Desember 2012, 22 April 2013, 1 Juni 2013. 44 https://www.nytimes.com/2014/01/10/world/middle

protes yang berlangsung, hingga terjadi

pembunuhan atas dua tokoh oposisi yang

memperburuk situasi.42

Tekanan demi tekanan, termasuk

aksi massa yang terjadi setelah hampir dua

tahun berdampak pada sedikitnya capaian

yang berarti. Tuntutan atas penyelesaian

draf konstitusi juga mengemuka setelah dua

kali perubahan draf, konstitusi belum

menunjukan tanda-tanda penyelesaian.43

Selain itu, penyerangan teroris atas

Kedutaan Besar Amerika pada 2012,44 serta

ancaman kekerasan dari kelompok

Radikal,45 membawa kekhawatiran di tubuh

pemerintah. Hamadi Jebali akhirnya

menyatakan pengunduran diri sebagai

pemimpin pemerintahan (Perdana Menteri)

pada 13 Maret 2013 akibat krisis politik

sebagaimana disebutkan di atas. Pada 14

Maret, sehari setelahnya, presiden Moncef

Marzouki menunjuk Ali Layaaredh46, juga

aktivis senior Al-Nahdhah, sebagai

Pimpinan pemerintahan yang baru. Masa

Layaaredh juga bukannya tanpa halangan.

Mewarisi gerakan Al-Nahdhah yang sedang

east/tunisias-leader-resigns.html, diakses pada 3 Januari 2017 45 Alexis Arieff & Carla E. Humud. Political Transition in Tunisia. Congressional Research Service, 10 Februari 2015. www.crs.gov. Hlm. 1-19, diakses pada 5 Oktober 2016 46 Ali Layaaredh adalah salah satu aktivis Al-Nahdhah yang lama menjadi tahanan politik masa Ben Ali. Lahir pada 1955, Layaaredh menghabiskan kurang lebih 14 tahun di balik penjara dan penyiksaan oleh rezim Ben Ali. http://www.nytimes.com/2011/01/21/world/africa/21islamist.html?_r=1&pagewanted=all&, diakses pada 3 Januari 2017

Page 13: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

34

dilanda ketidakpercayaan publik akibat

terbunuhnya tokoh-tokoh oposisi vokal,

pemerintahan pimpinan Layaaredh

perlahan menunjukan kompromi lebih maju

dibanding pimpinan sebelumnya. Ia

mendorong lebih lanjut pembahasan draf

konstitusi pada April dan Juni 2013.

Kedua, Pada 3 Oktober 2013, Al-

Nahdhah, diwakili Al-Ghannouchi

menyetujui dialog nasional yang

dicanangkan Quartet Nasional setelah

bertemu dengan Sekretaris Jenderal The

Tunisian General Labor Union (UGTT),

Houcine Abbasi. Sebagai kelanjutan guna

meneguhkan jalannya pemerintahan, Pada 5

Oktober 2013, Ali Layaaredh memimpin

pendekatan atas dua dari tiga partai koalisi,

Al-Nahdhah dan Ettakatol, untuk

menyetujui Roadmap arah pembangunan

bangsa tersebut. Walaupun ditolak oleh

CPR dengan alasan tidak menyetujui hasil

diskusi yang merugikan pihak partai karena

mengindikasikan penyerahan kekuasaan

pada tangan independen, namun Roadmap

telah disetujui dan banyak mendapat

dukungan baik di dalam maupun di luar

parlemen. Berdasarkan Roadmap tersebut,

para penandatangan menyetujui seorang

tokoh nasional independen yang memimpin

dan membentuk pemerintahan para

teknokrat dalam jangka waktu tiga minggu.

47 https://www.wsws.org/en/articles/2013/10/15/tuni-o15.html, diakses pada 2 Januari 2017

Rancangan tersebut juga mengharuskan

NCA untuk menyelesaikan draf konstitusi

dalam empat minggu ke depan,

menyelesaikan undang-undang pemilihan

umum, dan memilih anggota komite

pemilihan umum untuk mempersiapkan

pemilu 2014.

Roadmap tersebut akhirnya

dirancang oleh Quartet dialog nasional yang

terdiri atas the Tunisian General Labor

Union (UGTT), Tunisia's employers'

organization (UTICA), the Tunisian League

of Human Rights (LTDH) dan the Order of

Advocates. Dalam satu bulan, Quartet telah

berhasil memediasi partai dan kelompok

yang berbeda tersebut guna menentukan

tujuan bersama. Sebagai penegasan, Al-

Nahdhah bersikeras mempertahankan

keterlibatannya dalam dialog-dialog yang

dicanangkan Quartet karena merasa harus

melanjutkan misi politiknya walaupun

dengan mengorbankan pengunduran diri

Ali Layaaredh di awal 2014.47

Sejak 9 Oktober 2013, Dialog

Quartet nasional Tunisia mulai bergerak

cepat untuk mengonsolidasikan berbagai

kekuatan yang terpecah. Konstitusi kembali

menjadi pembahasan dengan melibatkan

banyak pihak termasuk masyarakat umum.

Pada 25 Oktober 2013, perdebatan akan

konstitusi dan masa depan pemerintahan

Page 14: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

35

semakin memanas akibat indikasi

kecurigaan politik yang tajam. Namun

akhirnya, pada Desember 2013 hingga

Januari 2014, kesepakatan atas beberapa hal

dalam konstitusi tercapai. Konstitusi baru

pada akhirnya berhasil disahkan pada 26

Januari 2014.48

Para pemimpin oposisi akhirnya

kembali menyatakan dukungan atas

parlemen namun tetap mendesak Ali

Layaaredh untuk mundur dan sesegera

mungkin menyerahkan kepemimpinan pada

Quartet Nasional hingga pemilu Parlemen

dan Presiden diadakan. Akhirnya, pada 9

Januari, Ali Layaaredh mengundurkan diri

sebagai pimpinan pemerintahan dan Quartet

Nasional dengan segera memilih Mehdi

Jomaa, tokoh independen, sebagai kepala

pemerintahan yang baru.

Kompromi-kompromi politik dalam

dialog yang melibatkan Al-Nahdhah dapat

ditinjau dalam ruang lebih luas. Di konteks

regional, revolusi Tunisia yang beriringan

dengan jatuh bangunnya beberapa negara

sekitar Afrika Utara dan Timur Tengah

akibat Arab Spring, menjadi bahan

48 http://www.huffingtonpost.com/2015/10/11/tunisia-national-dialogue_n_8275014.html, diakses pada 2 Januari 2017 49 Dalam wawancara dengan Konrad Pedziwiatr, Maret 2015, Al-Ghannouchi membeberkan alasannya tidak menerima jabatan apapun setelah kemenangan Al-Nahdhah di pemilu NCA 2011. Selain untuk mencegah polarisasi antara Islamis dan sekularis, Al-Ghannouchi juga mengkhawatirkan nasib yang sama atas kasus yang menimpa kelompok

pelajaran penting Al-Nahdhah dalam

menyusun strategi politiknya serta

mengukur dan menentukan sejauh mana

agenda islamisasi dapat diadopsi dan secara

resmi diakui dalam konstitusi negara. Al-

Ghannouchi, dan para pemimpin Al-

Nahdhah sadar betul,49 bagaimana nasib

para Islamis lain seperti di Mesir yang tak

mampu berkata banyak setelah

memenangkan Pemilu secara demokratis,

namun dalam waktu singkat harus dikudeta

oleh militer karena gagal melakukan

kompromi politik. Muhammad Morsi,

kader Ikhwan al-Muslimin Mesir yang

meraih kekuasaan pasca kudeta Husni

Mubarak, harus rela kembali menjadi

korban akibat gagal berkompromi dengan

militer dan elit politik lainnya. Morsi

dikudeta pada 3 Juli 2013 malam oleh

Abdul Fattah As-Sisi.50 Kekhawatiran akan

nasib serupa telah membawa Al-Nahdhah

bertransformasi menjadi salah satu partai

Islam yang mengakui jalan dialog dan

kompromi dengan semua pihak dapat

menjadi strategi politik efektif untuk

membawa mereka mempertahankan

Islam di Mesir. http://english.religion.info/2015/03/24/tunisia-islamists-in-fragile-democracy-interview-with-rashid-ghannouchi/, diakses pada 31 Desember 2016. 50 M. Hamdan Basyar. Demokrasi dan Kekuatan Politik Islam di Mesir. Dalam Agama dan Demokrasi; Munculnya Kekuatan Politik Islam di Tunisia, Mesir, dan Libya. Indriana Kartini, Ed. Bandung: Pustaka Jaya. Hlm. 113-144

Page 15: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

36

kekuasaan walaupun terganggu berbagai

tantangan.

Selain itu, di dalam internal tubuh

Al-Nahdhah sendiri, pengalaman

penindasan yang dialami oleh para

tokohnya telah membuat mereka berhati-

hati dalam bertindak. Potensi kebangkitan

para pendukung rezim lama akan tetap ada

mengingat sebagian tokoh-tokohnya telah

membentuk –seperti Nidaa Tounis- partai

baru pasca revolusi. Yang penting juga

menjadi catatan adalah diaspora para

pemimpin Al-Nahdhah saat menjadi eksil di

luar negeri khususnya Eropa dan Amerika

telah banyak membuat perubahan visi partai

dalam melihat relasi antara negara dan

agama serta bagaimana kedua hal tersebut

mampu berperan dalam kehidupan

masyarakat khususnya di Tunisia.

Yang patut diperhatikan, kehadiran

konstitusi 2014 sebagai landasan bernegara

yang baru pasca revolusi menjadi tolak

ukur, sejauh mana Tunisia mampu

mengadopsi nilai-nilai hidup yang

berkembang di masyarakatnya tanpa

indikasi diskriminatif, timpang, dan

mementingkan kelompok dan golongan

tertentu. Hal ini menjadi penting mengingat

revolusi, sebagai sebuah proses,

menghendaki sebuah pembentukan sistem

politik baru yang semestinya melibatkan

semua elemen masyarakat dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Dalam konteks

Tunisia, perdebatan mengenai posisi Islam

dan negara, sistem pemerintahan pasca

revolusi, atau juga peran perempuan dan

laki-laki dalam politik dan wilayah sosial

menjadi perbincangan tidak hanya oleh

internal parlemen, namun juga oleh publik

secara luas. Perdebatan-perdebatan tersebut

telah membawa banyak perubahan di wajah

transisi politik Tunisia sejak 2011. Sebagai

fondasi penting dalam membangun suatu

negara, keberadaan sebuah konstitusi

menjadi penting khususnya setelah revolusi

dimana segala hal mengenai sendi-sendi

bernegara kembali diformat ulang untuk

menyesuaikannya dengan keadaan

masyarakat dan konteks sosial politik yang

terjadi pasca revolusi.

Setelah dua tahun dengan empat

draft konstitusi, konstitusi Tunisia pada

akhirnya selesai, dan disahkan pada 26

Januari 2014. Draft pertama dibuat oleh

NCA yang secara demokratis terpilih pada

2011. Selain itu, bantuan dari media

nasional, civil society, dan partai oposisi

lainnya telah banyak berperan dalam

perumusan draft sebagai bagian dari proses

selanjutnya akibat kekhawatiran akan

kurangnya ahli Al-Nahdhah di bidang

hukum serta kecurigaan akan

dimasukannya agenda islamisasi dalam

konstitusi. Tim pemantau luar negeri,

walaupun terlihat memantau kinerja Al-

Nahdhah, namun lebih memilih

memfokuskan diri pada isu komunikasi dan

hal-hal prosedural NCA. Terlepas dari itu,

Page 16: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

37

baik oposisi maupun pemantau luar negeri,

telah setidaknya mengakui upaya Al-

Nahdhah sebagai pemersatu dan partai yang

mampu membangun komunikasi dengan

kelompok lain.

Walaupun bekerja dalam tekanan,

ekspektasi besar, dan isu-isu kritikal dalam

kurang lebih empat tahun masa

kepemimpinannya di parlemen sementara,

Al-Nahdhah telah terbukti memainkan

strategi sangat baik untuk mempertahankan

kekuasaan. Menurut Marks (2014),51

kepemimpinan Al-Nahdhah telah

merasionalisasi dan mengelaborasi prinsip

dan ideologinya dalam menghadapi

tuntutan politik yang ada sehingga masalah-

masalah krusial terkait posisi agama dan

negara dipinggirkan guna meraih konsensus

politik yang lebih merangkul semua

elemen. Dalam perihal Syariat misalnya,

partai telah secara tegas memutuskan untuk

tidak memilih penyantuman kata tersebut

dalam konstitusi. Pertentangan secara

internal memang terjadi karena sebagian

anggota Al-Nahdhah masih melihat Syariah

sebagai etika ideal dalam framework

politik, namun sebagian besarnya lebih

memilih menerima definisi yang lebih

abstrak tentang Syariat dengan berfokus

pada keadilan sosial, persamaan hak, dan

pengelolaan pemerintahan yang baik serta

51 Monica L. Marks. Convince, Coerce, Or Compromise?.., hlm. 1-8

guna mencegah perpecahan yang dapat saja

terjadi. Penolakan Al-Nahdhah akan posisi

Syariat di konstitusi juga tidak sepenuhnya

lahir dari desakan oposisi. Namun, harus

diakui sebagai bagian dari pandangan

konseptual yang menjadi warisan pemikiran

para tokoh terkemuka partai ini. Banyak

pemimpin Al-Nahdhah memiliki

pandangan yang sama dan mengakui bahwa

Syariat Islam sebagai konsep yang ingin

diperjuangkan, tidak akan dengan mudah

ditransformasi dalam sebuah ketentuan

legal. Fathi Makni52 misalnya, salah satu

anggota Al-Nahdhah mengatakan bahwa

Syariat akan tereduksi maknanya apabila

dicantumkan dalam sebuah bagian dari

buku kumpulan pasal-pasal sebab baginya

Syariat adalah Way of Life yang mencakup

semua dan bukan hanya perkara hukum

semata.

Keadaan politik yang belum cukup

kondusif membuat Al-Nahdhah memilih

pendekatan gradual dengan menempatkan

dirinya pada kondisi sosial politik terkini.

Kondisi tersebut, dimana Tunisia

merupakan negara yang lebih sekuler

dibanding negara-negara Afrika Utara

lainnya, lebih kuat dipengaruhi oleh nilai-

nilai sekuler dibanding nilai-nilai Islam,

sehingga perjuangan menegakkan sebuah

52 Ibid, hlm. 21

Page 17: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

38

masyarakat Islami, lebih-lebih Islamisasi,

merupakan jalan panjang dan terjal.

Selain isu Syariat, draft konstitusi

pertama juga berkaitan dengan isu hak dan

posisi perempuan. Pada draft pertama

konstitusi 14 Agustus 2012, wanita

berposisi sebagai komplementer dari laki-

laki. Namun, sebagaimana disebutkan,

terjadi banyak pertentangan baik di dalam

maupun di luar parlemen, dan partai melihat

kemungkinan penolakan tersebut akan

berdampak panjang sehingga memilih

berkompromi dan perlahan beradaptasi

dengan realitas politik. Akhirnya, hingga

naskah konstitusi final pada 2014, posisi

perempuan dirubah menjadi sama rata,

equal dengan laki-laki.

Posisi Wanita di Tunisia sebenarnya

berada pada situasi dilematis, untuk tidak

menyebutnya paradoksal. Menurut laporan

Euromed, ada total 92% wanita di Tunisia

menyelesaikan sekolah dasar mereka

dengan perbandingan hanya ada 90% laki-

laki yang melakukan hal serupa. Di

samping itu, 87% persen wanita telah

menyelesaikan sekolah mereka ke tingkat

lanjut berbanding 80% laki-laki. Walaupun

demikian, menurut World Bank, hanya

sekitar 25% dari wanita yang aktif bekerja

sehingga secara langsung juga terkena

imbas ketidakstabilan ekonomi yang

53 Youth Work in Tunisia After The Revolution. Euromed, The European Union, 2013. Hlm. 11

melanda dan berakibat pada banyaknya

pengangguran.53

Menilik lebih jauh, harus diakui

bahwa wanita di Tunisia secara natural

dapat dikatakan punya orientasi modern dan

berpendidikan lebih tinggi dibanding

kebanyakan laki-laki di sana. Tetapi di sisi

lain, kompetisi antara kelompok Islam dan

mereka yang mewarisi pendidikan sekuler

Perancis, punya kecenderungan berbeda

dalam melihat peran wanita. Sebagai

contoh, kompetisi antara Nahdawiyat

(Wanita Al-Nahdhah) and laicistes (mereka

yang terinspirasi sekularisme Perancis)

telah menjadi narasi historis Tunisia

berpuluh tahun sejak merdeka. Kompetisi

tersebut terlihat dalam hasil pemilu NCA

2011 dimana 42 dari 49 wanita yang duduk

sebagai 217 anggota NCA merupakan

anggota Al-Nahdhah. Sikap keterbukaan

Al-Nahdhah ini ditanggapi mereka yang

berpandangan sekuler dengan cukup sinis,

alih-alih memuji pencapaian afirmatif Al-

Nahdhah tersebut, mereka malah meyakini

wanita dalam tradisi Al-Nahdhah tidak

lebih hanya sebagai pelengkap dan

menuduhnya sebagai pembawa model

beragama a la Iran yang pada akhirnya

bertujuan untuk mewajibkan Hijab dan

memaksa pemisahan posisi sosial laki-laki

dan perempuan.54 Pandangan tersebut

54 Monica Marks. Women’s Rights before and after the Revolution. Dalam The Making of the Tunisian Revolution: Contexts, Architects, Prospects. Nouri

Page 18: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

39

ditolak Al-Nahdhah, mengakui bahwa isu

hak perempuan pasca revolusi menjadi

pembahasan sangat penting dalam konteks

sosial-politik Tunisia, para wanita Al-

Nahdhah mengartikan bahwa hubungan

laki-laki dan wanita lebih relasional, dan

sesungguhnya wanita dan laki-laki punya

status yang sama di hadapan Tuhan,

walaupun mereka memiliki orientasi

berbeda baik secara biologis maupun dalam

aturan berumah tangga, dan dengan

demikian saling mengisi satu sama lain

dalam keluarga.55

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemaparan dan

analisis atas partai Al-Nahdhah dalam

rekonsiliasi politik di Tunisia tahun 2011-

2015, maka disimpulkan bahwa-Nahdhah

sebagai pemenang Pemilu National

Constituen Assembly 2011 bertindak

sebagai aktor rekonsiliasi politik dengan

maju. Setelah upaya rekonsiliasi selama 4

tahun terakhir yang melibatkan banyak

perdebatan dengan berbagai pihak, capaian

politik nasional Tunisia dapat diakui telah

berjalan baik dan lancar. Tunisia berhasil

menjalankan tiga kali pemilihan umum

yang demokratis, yaitu Oktober 2011 untuk

National Constituen Assembly, Oktober

2014 untuk pemilu Parlemen, serta

Gana, Ed. Edinburgh University Press, 2013. Hlm. 224-251.

Desember 2014 untuk pemilu Presiden.

Selanjutnya, perumusan konstitusi yang

walaupun memakan waktu 3 tahun, telah

memuluskan jalan tercapainya kesepakatan

dan kerjasama berkelanjutan antar elit dan

rakyat Tunisia secara umum.

SARAN

Realitas politik Tunisia pasca

revolusi dapat dikatakan lebih baik

dibanding negara-negara Afrika Utara dan

Timur Tengah lainnya yang juga dilanda hal

serupa. Realitas ini dapat terjadi akibat

keterlibatan berbagai pihak dan elit politik

dalam membangun pemerintahan yang

merangkul semua pihak termasuk para

tokoh warisan rezim Ben Ali. Dalam kajian

rekonsiliasi, keadaan ini dapat menjadi

jalan yang baik dalam membangun

peradaban politik yang demokratis. Oleh

karena itu diperlukan langkah dan strategi

taktis guna merawat pemerintahan secara

bersama-sama dengan memperkuat posisi

Balance of Power antar institusi

pemerintahan seperti Eksekutif, Legislatif,

dan Yudikatif, serta peran partai politik

dalam menjalankan pemerintahan bersama-

sama.

Di sisi lain, sebagai bahan studi

ilmiah, rekonsiliasi politik tentu dapat

menjadi pertimbangan untuk dilakukan di

55 Monica Marks. Convince, Coerce, Or Compromise?.., Hlm. 22.24

Page 19: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

40

negara-negara pasca konflik selain Tunisia.

Pola strategi komunikasi dan kompromi

politik yang dilakukan Al-Nahdhah dapat

menjadi cermin bagi gerakan-gerakan Islam

lainnya agar tetap eksis dalam kancah

pertarungan politik modern yang berbeda

dan seringkali tidak mengakomodir

gagasan-gagasan yang mereka perjuangkan.

Model rekonsiliasi politik dapat saja

berbeda sesuai dengan konteks masing-

masing wilayah dan tingkat parahnya

dampak konflik. Untuk itu diperlukan

penelitian lebih lanjut setidaknya untuk

mengukur sejauhmana rekonsiliasi dalam

bidang politik khususnya dengan metode

testimony, dialogue, dan legislasi mampu

menjadi alternatif lain dalam bangunan

politik di masyarakat yang secara sosiologis

lebih heterogen, atau punya pendidikan

lebih rendah dibanding Tunisia. Selain itu,

perlu juga didalami peran-peran dari aktor

lain, khususnya dalam konteks Tunisia

mengingat rekonsiliasi yang terjadi juga

melibatkan banyak pihak dengan takaran

keterlibatan yang berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA Aarts, Paul, dkk. (2012). From Resilience to

Revolt: Making Sense of The Arab Spring. Amsterdam: University of Amsterdam.

Al-Saleh, Asaad. (2015). Voices of The Arab Spring: Personal Stories of The Arab Revolution. New York: Columbia University Press.

Arieff, Alexis & Carla E. Humud. (2016). Political Transition in Tunisia.

Congressional Research Service, 10 Februari 2015. www.crs.gov. Hlm. 1-19, diakses pada 5 Oktober.

Barakat, Halim. (2012). Dunia Arab; masyarakat, Budaya, dan Negara. Terj. Irfan M/Zakkie. Bandung: Penerbit Nusa media.

de la Rey, Cheryl. (2001). “Reconciliation in Divided Society.” Dalam Daniel J. Christie, dkk. Peace, Conflict, And Peace; Peace Psychology for The 21st Century. New jersey: Prentice-Hall, Inc.

Dudley, Rebbeca. What Is Reconciliation. Human Right’s And Reconciliation Reports. tt.

Feldman, Noah. “Islamists’ Victory in Tunisia a Win for Democracy.” Lihat https://www.bloomberg.com/view/articles/2011-10-30/islamists-victory-in-tunisia-a-win-for-democracy-noah-feldman, diakses pada 02 Oktober 2016

Fergany, Nader. (2005). The UNDP’s Arab Human Development; Reports and their readings. Dalam Democratisation in the Middle East Dilemmas and Perspectives. Ed. Birgitte Rahbek. Denmark: The authors and Aarhus University Press.

Kartini, Indriana, Ed. (2016). Agama dan Demokrasi; Munculnya Kekuatan Politik Islam di Tunisia, Mesir, dan Libya. Bandung: Pustaka Jaya.

International Civil Society Action Network Fro Women’s Right, Peace, and Security. (2012). What the Women Say: The End of the Beginning: Tunisia’s Revolution and Fighting for the Future. Brief Report 2. April

Kharismawati, Mega. (2013). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemenangan Partai Al-Nahdhah Pada Pemilu National Constituen Assembly Tahun 2011 di Tunisia. Jakarta: Tesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Page 20: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

41

M. Saleem, Amjad. Ed. (2012). The Arab Revolution: Hopes, Challenges, and Transitions. London: The Cordoba Foundation, Vol. 6 Ed. 10.

Marks, Monica. (2013). Women’s Rights before and after the Revolution. Dalam The Making of the Tunisian Revolution: Contexts, Architects, Prospects. Nouri Gana, Ed. Edinburgh University Press.

Marks, Monica. (2015). Tunisia’s Ennahda: Rethinking Islamism in the context of ISIS and the Egyptian Coup. USA: Brookings Institution.

McCarthy, Rory. “Islamism and secularism in Tunisia.” Dalam https://www.opendemocracy.net/rory-mccarthy/islamism-and-secularism-in-tunisia, diakses pada 09 Mei 2016

Mohsen-Finan, Khadija. From Revolution to The Project of Democracy: The Difficulties of Organising the Tunisian Transition.

Muzaffar, Chandra. Whither Wana? Reflections Of The Arab Uprisings. International Movement for a Just World, ebook;

Ounissi, Sayida and Monica Marks. Ennahda from within: Islamists or “Muslim Democrats”? A conversation dalam https://www.brookings.edu/research/ennahda-from-within-islamists-or-muslim-democrats-a-conversation/, diakses pada 06 Oktober 2016

Paul Johnson, Doyle. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terj. Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia.

Quaker United Nation Office. Reconciliation – transforming relationships in divided societies. Remarks given on 4th May, 2015 at the UNITAR Workshop on Reconciliation & Peacebuilding. tt.

Ramadan, Tariq. (2012). Islam And The Arab Awakening. London: Oxford Press.

Rigby, Andrew. (2012). “How do Post-Conflict Societies Deal With Traumatic Past and Promote National Unity And Reconciliation?” dalam Charles P. Webel & Jorgen Johansen Peace And Conflict Studies; A Reader. London & New York.

S. Tamimi, Azzam. (2001). Rachid Ghannouchi: A Democrat Within Islamism. Oxford: Oxford University Press.

Silalahi, Ulber. (2008). Rekonsiliasi Sosial; Satu Kerangka Analisis dan Teori Konsensus. Universitas Parahyangan. Jurnal Administrasi Publik, Vol. 5, No. 2, 193-208

Tamburaka, Apriadi. (2011). Revolusi Timur Tengah: Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di Negara-negara Timur Tengah. Yogyakarta: Narasi.

Yahya, Harun. “Reconciliation is the winner in Tunisia.” Dalam http://muslimmirror.com/eng/reconciliation-is-the-winner-in-tunisia/, diakses pada 04 Mei 2016

Youth Work in Tunisia After The Revolution. (2013). Euromed, The European Union.

Zada, Khamami. (2015). Gelombang Revolusi dan Transisi Politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i. Vol. 2 No. 1 Juni.

Zisenwine, Daniel. (2015). Tunisia's Revolution, 4 Years On: Achievements and Challenges. Tel Aviv Notes; An Update On Middle Eastern Developments By The Moshe Dayan Center. Vol.9 No. 2.

http://english.religion.info/2015/03/24/tunisia-islamists-in-fragile-democracy-interview-with-rashid-ghannouchi/, diakses pada 31 Desember 2016.

http://parstoday.com/id/radio/world-i20143-tunisia_model_demokrasi_atau_kembali_ke_masa_lalu. Diakses pada 28 november 2016.

Page 21: File MEIS 2

MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 4 No. 1 Januari – Juni 2017

42

http://www.bbc.com/news/business-22464773, diakses pada 02 Oktober 2016

http://www.abo.net/oilportal/blog/post/view.do?blogid=108330&contentId=627132, diakses pada 02 Oktober 2016

http://www.dw.com/id/tunisia-enam-bulan-setelah-revolusi/a-15235268, diakses pada 21 September 2016

http://www.huffingtonpost.com/2015/10/11/tunisia-national-dialogue_n_8275014.html, diakses pada 2 Januari 2017

http://www.iemed.org/observatori-en/arees-danalisi/arxiusadjunts/anuari/med.2012/Mohsen_Finan_en.pdf-en, diakses pada 02 Januari 2017.

http://www.nytimes.com/2011/01/21/world/africa/21islamist.html?_r=1&pagewanted=all&, diakses pada 3 Januari 2017

https://www.britannica.com/biography/Rachid-al-Ghannouchi, diakses pada 02 Oktober 2016

https://www.nytimes.com/2014/01/10/world/middleeast/tunisias-leader-resigns.html, diakses pada 3 Januari 2017

https://www.wsws.org/en/articles/2013/10/15/tuni-o15.html, diakses pada 2 Januari 2017

Interview Perwakilan Kedutaan Besar Tunisia, 20 Desember 2016.