hal ini perlu disikapi dengan serius dengan menciptakan berbagai...
TRANSCRIPT
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendidikan Kewirausahaan di Persekolahan
Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, baik
pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial pada dasarnya
mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan yang ada di
masyarakat. Begitupun dengan ilmu yang satu ini memberikan secercah
harapan, bahwa setelah mempelajarinya diharapkan tergugah motivasinya
untuk berbuat, bertindah demi dirinya sendiri dan untuk orang lain.
Dewasa ini sudah menjadi rahasia umum bahwa tingkat pengangguran
profesional (lulusan sarjana) di Indonesia sudah cukup memprihatinkan,
hal ini perlu disikapi dengan serius dengan menciptakan berbagai pola
pengajaran dan pelatihan serta mensinergiskan kurikulum yang ada
dengan kebutuhan keahlian yang diterima oleh masyarakat. Salah satu
ilmu yang sangat diperlukan di masyarakat (mahasiswa) supaya
mahasiswa mempunyai sikap dan motivasi tidak hanya menjadi karyawan
tapi mempunyai motivasi untuk berwirausaha adalah dengan diberikannya
Ilmu Kewirausahaan. Dalam Suryana (2003 : 7), disebutkan bahwa, “Ilmu
kewirausahaan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai,
kemampuan (ability) dan prilaku seseorang dalam menghadapi tantangan
hidup untuk memperoleh peluang dengan berbagai resiko yang mungkin
dihadapinya”. Sementara dalam konteks bisnis, menurut Thomas W.
Zimmerer (1996), menyebutkan bahwa, “Kewirausahaan adalah hasil dari
16
suatu disiplin, proses sistematis, penerapan kreativitas dan inovasi dalam
memenuhi kebutuhan dan peluang di pasar”.
Pada jaman dahulu, ilmu kewirausahaan hanya dapat dipelajari
dengan pengalaman di lapangan (langsung praktek) berdagang/ berbisnis
seperti halnya yang dilakukan oleh para pengusaha terdahulu yang sudah
menyandang gelar sukses untuk sekarang, dari pengalaman yang mereka
kemukakan dalam setiap pertemuan kegiatan atau seminar, ternyata
pengalaman tersebut bisa dijadikan menjadi suatu teori yang dapat
dipelajari dan dipraktekkan oleh semua orang. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Suryana (2003 : 7) yang menyebutkan bahwa :
Kewirausahaan dianggap hanya dapat dilakukan melalui pengalaman langsung di lapangan dan merupakan bakat yang dibawa sejak lahir (enterpreneuship are born not made) sehingga kewirausahaan tidak dapat dipelajari dan diajarkan. Sekarang, kewirausahaan bukan hanya urusan lapangan, tetapi merupakan disiplin ilmu yang dapat dipelajari dan diajarkan. “Entrepreneurship are not only born but also made”, artinya kewirausahaan tidak hanya merupakan bakat bawaan sejak lahir atau urusan pengalaman lapangan tetapi dapat dipelajari dan diajarkan. Seseorang yang memiliki bakat kewirausahaan dapat mengembangkan bakatnya melalui pendidikan. Mereka yang menjadi enterpreneur adalah orang orang yang mengenal potensi dan belajar mengembangkan potensi untuk menangkap peluang serta mengorganisir usaha dalam mewujudkan cita citanya. Oleh karena itu, untuk menjadi wirausaha yang sukses, memiliki bakat saja tidak cukup tetapi juga harus memiliki pengetahuan mengenai segala aspek usaha yang akan ditekuninya Berdasarkan hal tersebut, sudah waktunya kita untuk memberikan
yang terbaik untuk masyarakat (mahasiswa) yang sedang menuntut ilmu
untuk sama-sama diberikan suatu ilmu yang bisa dijadikan bekal untuk
mengaktualisasikan dirinya di masyarakat, dan tidak menjadi beban
masyarakat (menganggur).
17
Melihat dari perkembangnnya, ilmu tentang kewirausahaan sudah
banyak diberikan dan dipelajari terutama di negara-negara yang notabene
sudah berkembang dan maju baik teknologi maupun tingkat kesejahtraan
masyarakatnya, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan dalam Suryana
(2003 : 8) bahwa :
......, sejak awal abad ke 20 kewirausahaan sudah diperkenalkan di beberapa negara. Misalnya di Belanda dikenal dengan “ondernemer” di Jerman dikenal dengan “unternehmer”. Dibeberapa negara kewirausahaan memiliki banyak tanggung jawab antara lain tanggung jawab dalam mengambil keputusan yang menyangkut kepemimpinan teknis, kepemimpinan organisasi dan komersial, penyediaan modal, penerimaan dan penanganan tenaga kerja, pembelian, penjualan pemasaran dan lain lain, kemudian pada tahun 1950-an pendidikan kewirausahaan mulai dirintis dibeberapa negara seperti Eropa, Amerika dan Canada. Bahkan sejak tahun 1970-an banyak universitas yang mengajarkan “Enterpreneurship”. Di Indonesia, pendidikan kewirausahaan masih terbatas pada beberapa sekolah atau perguruan tinggi tertentu saja. Sesuai dengan uraian tersebut di atas dan melihat perkembangan
pendidikan dewasa ini terutama di kota Bandung, banyak perguruan tinggi
yang sudah memberikan pendidikan kewirausahaan baik dalam bentuk
mata kuliah, pelatihan ataupun yang lainnya, bahkan ada perguruan tinggi
yang program studinya juga dinamakan Manajemen Bisnis, hal ini
menunjukkan bahwa kewirausahaan merupakan suatu ilmu yang sangat
penting dan bisa dipelajari di bangku kuliah bukan hanya sekedar
pengamatan dan pengalaman saja
Sejalan dengan tuntutan perubahan yang cepat pada paradigma
pertumbuhan yang wajar dan perubahan ke arah globalisasi yang
menuntut adanya keunggulan, pemerataan, dan persaingan, dewasa ini
sedang terjadi perubahan paradigma pendidikan. Menurut Soeharto
18
Prawirakusumo (1997 : 4) dalam Suryana (2003 : 8) disebutkan bahwa
pendidikan kewirausahaan telah diajarkan sebagai suatu disiplin ilmu
tersendiri yang independen karena :
1. kewirausahaan berisi body of knowledge yang utuh dan nyata, yaitu ada teori, konsep dan metode ilmiah yang lengkap.
2. Kewirausahaan memiliki dua konsep, yaitu posisi venture star-up dan venture-growth, ini jelas tidak masuk dalam kerangka manajemen umum (frame work general managemen courses) yang memisahkan manajemen dan kepemilikan usaha (business ownership).
3. Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang memilki objek tersendiri yaitu kemampuan untuk menciptkan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create new and different things).
4. Kewirausahaan merupakan alat untuk menciptakan pemerataan berusaha dan pemerataan pendapatan, atau pemerataan kesejahtraan rakyat yang adil dan makmur.
Seperti halnya dengan disiplin ilmu yang lain, ilmu kewirausahaan
dalam perkembangannya mengalami evolusi yang pesat. Pada mulanya
kewirausahaan berkembang dalam bidang perdagangan, kemudian
diterapkan dalam berbagai bidang lain, seperti industri, pendidikan,
kesehatan, dan institusi lain seperti pemerintah, perguruan tinggi dan
lembaga swadaya lainnya. Dalam bidang tertentu kewirausahaan telah
dijadikan sebagai kompetensi inti (core competency) dalam menciptakan
perubahan, pembaharuan dan kemajuan. Kewirausahaan tidak hanya
dapat digunakan sebagai kiat-kiat bisnis jangka pendek tetapi sudah
dipakai sebagai kiat kehidupan secara umum dalam jangka panjang untuk
menciptakan peluang. Dengan memiliki jiwa kewirausahaan, birokrasi dan
institusi akan memiliki motivasi, optimisme dan berlomba untuk
menciptakan cara-cara baru yang lebih efisien, efektif, inovatif, fleksibel
dan adaptif.
19
2.1.1. Sikap dan Kepribadian Wirausaha
Dalam Suryana (2003 : 29) disebutkan bahwa Alex Inkeles dan David H. Smith (1974 : 19-24) adalah salah satu diantara ahli yang mengemukakan tentang kualitas dan sikap orang modern, dia menyebutkan bahwa kualitas manusia modern tercermin pada orang yang berpartisipasi dalam produksi modern yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap, nilai dan tingkah laku dalam kehidupan sosial. Ciri cirinya meliputi keterbukaan terhadap pengalaman baru, selalu membaca perubahan sosial, lebih realistis terhadap fakta dan pendapat, berorientasi pada masa kini dan masa yang akan datang bukan pada masa lalu, berencana, percaya diri, memiliki aspirasi, berpendidikan dan mempunyai kehlian, respek, hati hati dan memahami produksi. Berdasarkan ciri yang disebutkan di atas sudah sangat jelas bahwa
mahasiswa tidak hanya cukup memiliki ilmu pengetahun yang diberikan di
bangku kuliah saja, tapi harus siap menerima ilmu dan pengetahuan lain
yang justru tidak dipelajari di perkuliahan. Perubahan sosial sangat cepat
untuk berubah kalau mahasiswa hanya mengandalkan ilmu yang terbatas,
dia akan tertinggal oleh kebutuhan jaman yang senantiasa berubah dan
secara otomatis mahasiswa atau lulusan perguruan tinggi tersebut harus
bisa dengan segera untuk melakukan perubahan dan menyesuaikan diri
dengan perubahan tersebut
Selain ciri orang modern yang disebutkan di atas juga dikemukakan
oleh Gunar Myrdal dalam Siagian (1972), yaitu :
1. kesetiaan diri dan keterbukaan terhadap inovasi 2. kebebasan yang besar dari tokoh tradisional 3. mempunyai jangkauan dan pandangan yang luas terhadap
berbagai masalah 4. berorientasi pada masa sekarang dan yang akan datang 5. selalu berencana dalam berbagai kegiatan 6. mempunyai keyakinan pada kegunaan ilmu pengetahuan dan
teknologi 7. percaya bahwa kehidupan tidak dikuasai oleh nasib dan orang
tertentu.
20
8. memiliki keyakinan dan menggunakan keadilan sesuai dengan prinsif masing masing
9. sadar dan menghormati orang lain Orang yang terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru akan
lebih siap untuk menanggapi segala peluang, tantangan dan perubahan
sosial, misalnya dalam mengubah standar hidupnya. Orang yang terbuka
terhadap ide-ide baru ini merupakan wirausahawan yang inovatif dan
kreatif yang ditemukan dalam jiwa kewirausahaan menurut Yurgen Kocka
(1975), “Pandangan yang luas dan dinamis serta kesediaan untuk
pembaharuan, bisa lebih cepat berkembang dalam lapangan industri,
tidak lepas dari suatu latar belakang pendidikan, pengalaman perjalanan
yang banyak” (Yuyun Wirasasmita, 1982 : 44). Dalam kontek ini juga
ditemukan perpaduan yang nyata antara usaha perdagangan yang
sistematis dan rasional dengan kemampuan bereaksi terhadap
kesempatan yang didasari keberanian berusaha.
Melihat dari pengertian yang dikemukakan di atas, bisa dikatakan
bahwa wirausaha adalah kepribadian unggul yang mencerminkan budi
yang luhur dan suatu sifat yang pantas diteladani, karena atas dasar
kemampuannya sendiri dapat melahirkan suatu sumbangsih dan karya
untuk kemajuan kemanusiaan yang berlandaskan kebenaran dan
kebaikan. Dengan memiliki jiwa wirausaha, seseorang bisa dikatakan
menjadi seorang inovator atau individu yang mempunyai kemampuan
naluriah untuk melihat benda-benda materi sedemikian rupa yang
kemudian terbukti benar, mempunyai semangat dan kemampuan serta
pikiran untuk menaklukan cara berpikir yang tidak berubah dan
21
mempunyai kemampuan untuk bertahan terhadap oposisi sosial
(Heijhrachman Ranupandoyo, 1982:1)
Wirausaha berperan dalam mencari kombinasi-kombinasi baru
yang merupakan gabungan dari tiga proses inovasi yaitu menemukan
pasar pasar baru, pengenalan barang baru, metode produksi baru, dan
lain lain. Wirausaha merupakan inovator yang dapat menggunakan
kemampuan untuk mencari kreasi-kreasi baru.
Didalam suatu perusahaan, wirausaha adalah seorang inisiator
atau organisatoris penting suatu perusahaan. Menurut Dusselman (1989 :
16) seorang yang memiliki jiwa kewirausahaan ditandai oleh pola tingkah
laku sebagai berikut :
1. Inovasi, yaitu usaha untuk menciptakan, menemukan dan menerima ide ide baru.
2. keberanian untuk menghadapi resiko, yaitu usaha untuk menimbang dan menerima resiko dalam pengambilan keputusan dan dalam menghadapi ketidakpastian.
3. Kemampuan manajerial, yaitu usaha usaha yang dilakukan untuk melaksanakan fungsi fungsi manajemen, meliputi
a. Usaha perencanaan b. Usaha untuk mengkoordinir c. Usaha untuk menjaga kelancaran usaha d. Usaha untuk mengawasi dan mengevaluasi usaha
4. Kepemimpinan, yaitu usaha memotivasi, melaksanakan, dan mengarahkan tujuan usaha.
Menurut Katheleen L. Hawkins & Peter A Turla (1986) dalam
Suryana (2003 : 31) disebutkan, bahwa pola tingkah laku kewirausahaan
tersebut tergambar pula dalam perilaku dan kemampuan sebagai berikut :
1. Kepribadian, aspek ini bisa diamati dari segi kreativitas, disiplin diri, kepercayaan diri, keberanian menghadapi resiko, memiliki dorongan dan kemampuan kuat.
2. Hubungan, dapat dilihat dari indikator komunikasi dan hubungan antar personal kepemimpinan dan manajemen.
22
3. Pemasaran, meliputi kemampuan dalam menentukan produk dan harga, periklanan dan promosi.
4. Keahl;ian dalam mengatur, diwujudkan dalam bentuk penentuan tujuan, perencanaan dan penjadwalan serta pengaturan pribadi.
5. Keuangan, indikatornya adalah sikap terhadap uang dan cara mengatur uang.
Telah dijelaskan bahwa wirausaha adalah inovator dalam
pengkombinasian sumber sumber bahan baru, teknologi baru, metode
produksi baru, akses pasar baru, dan pangsa pasar baru (Schumpeter,
1934), Juga Ibnu Sudjono (1993) menyebutkan bahwa “........ prilaku
kreatif dan inovatif tersebut dinamakan “enterpreneuriel action” yang ciri
cirinya adalah (1) selalu mengamankan investasi terhadap resiko, (2)
mandiri, (3) berkreasi menciptakan nilai tambah, (4) selalu mencari
peluang, (5) berorientasi ke masa depan”.
Perilaku tersebut dipengaruhi oleh nilai-nilai kepribadian wirausaha,
yaitu nilai-nilai keberanian menghadapi resiko, sikap positif dan optimis,
keberanian mandiri dan memimpin, serta kemauan belajar dari
pengalaman. Keberhasilan atau kegagalan wirausaha sangat dipengaruhi
oleh berbagai faktor baik eksternal maupun internal. Menurut Sujuti Jahja
(1977), faktor internal yang berpengaruh adalah kemauan, kemampuan
dan kelemahan, sedangkan faktor yang berasal dari eksternal adalah
kesempatan atau peluang.
2.1.2. Motivasi Wirausaha
Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti dorongan
atau menggerakan. Anwar Prabu Mangku Negara (2004:93) dalam
bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan menyebutkan
bahwa untuk mempermudah pemahaman motivasi, terlebih dahulu kita
23
harus memahami pengertian motif, motivasi dan motivasi kerja. Di
antaranya dikemukakan oleh Abraham Sperling (1987:183) bahwa “motive
is defined as a tendency to activity, started by a drive and ended by an
adjusment. The adjusment is said to satisfy the motive” (Motif adalah
suatu kecendurungan untuk beraktivitas, dimulai dari dorongan dalam diri
(drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri. penyesuaian diri dinyatakan
untuk memuaskan motif)
Menurut Wiliam J. Stanton (1981:101) mendefinisikan bahwa “A motive
is a stimulated need which a goal-oriented individual seeks to saisfy”
(suatu motif adalah kebutuhan yang distimulasi yang berorientasi kepada
tujuan individu dalam mencapai rasa puas).
Menurut Malayu SP. Hasibuan (2005:144) menyebutkan bahwa
motif adalah suatu perangsang keinginan (Want) dan daya penggerak
kemajuan pekerja seseorang, setiap motif mempunyai tujuan tertentu
yang ingin dicapai. Sementara motivasi didefinisikan oleh Fillmore H.
Stanford (1969:173) bahwa “A motivation as an energizing condition of the
organism that serves to direct that organism toward the goal of certain
class” (motivasi sebagai suatu kondisi yang menggerakan manusia ke
arah suatu tujuan tertentu).
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
motif merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri seseorang yang
perlu dipenuhi agar dapat meneyesuaikan diri terhadap lingkungannya,
sedangkan motivasi adalah kondisi yag menggerakan seseorang agar
mampu mencapai tujuan dari motifnya.
24
Motivasi dapat pula dikatakan sebagai energi untuk
membangkitkan dorongan dalam diri (drive arausal). Hal ini akan lebih
jelas jika melihat gambar dibawah ini yang dikemukakan oleh Robert A.
Baronet. Al,. (1980 : 295) dibawah ini :
Gambar : 2.1
Motivasi sebagai Pembangkit Dorongan
Sumber : MSDM Perusahaan Anwar Prabu Mangku Negara (2004 : 94)
Keterangan : Bilamana suatu kebutuhan tidak terpuaskan maka timbul dorongan (drive) dan aktivitas individu untuk merespon perangsang (incentive) dalam tujuan yang diinginkan. Pencapaian tujuan akan menjadikan individu merasa puas
Dalam hubungannya dengan lingkungan kerja, Ernest J. Mc.
Cormick (1985:268) mengemukakan bahwa, “Work motivation is defined
as conditions which influences the arausal, direction and maintenance of
behavior relevant in work settings” (Motivasi kerja didefinisikan sebagai
kondisi yag berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara
prilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja).
Malayu SP. Hasibuan (2005:141) menyebutkan bahwa “pentingnya
motivasi karena motivasi adalah hal yang menyebabkan menyalurkan dan
mendukung prilaku manusia supaya mau bekerja giat dan antusias untuk
mencapai hasil yang optimal”. Selanjutnya GR. Terry dalam Malayu SP.
Drive Incentive Goal
Satisfied Need
Unstastified Need
25
Hasibuan (2005:142) mengemukakan bahwa “motivasi adalah keinginan
yang terdapat pada diri seseorang individu yang merangsangnya untuk
melakukan tindakan-tindakan”
Motivasi ini tampak dalam dua segi yang berbeda yaitu :
Pertama : kalau dilihat dari segi aktif/ dinamis, motivasi tampak sebagai suatu usaha positif dalam menggerakan, mengerahkan dan mengarahkan daya serta potensi diri agar secara produktif berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Kedua : jika dilihat dari segi fasif/ statis motivasi akan tampak sebagai kebutuhan sekaligus sebagai perangsang untuk dapat menggerakan, mengerahkan dan mengarahkan potensi diri ke arah yang diinginkan.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas jika dikaitkan dengan
motivasi kewirausahaan sangat relevan sekali yang intinya adalah bahwa
seseorang ingin berprestasi, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan
para ahli bahwa “seseorang memilki minat berwirausaha karena adanya
suatu motif tertentu yaitu motif berprestasi (achiepement motive). Motif
berprestasi adalah suatu nilai sosial yang menekankan terhadap hasrat
untuk mencapai hal yang terbaik guna mencapai kepuasan secara pribadi”
(Gede Anggan Suhandana, 1980 : 55) dalam Suryana (2003 :32).
Teori motivasi pertama kali dikemukakan oleh Maslow (1934) Ia
mengemukakan hierarki kebutuhan yang mendasari motivasi.
Menurutnya, kebutuhan itu bertingkat sesuai dengan tingkat
pemuasannya, yaitu kebutuhan fisik (physiological needs), kebutuhan
keamanan (security needs), kebutruhan sosial (social needs), kebutuhan
harga diri (esteem needs), dan kebutuhan akan aktualisasi diri (self-
actualization nedds). Hal ini akan terlihat dalam tabel sebagai berikut :
26
Tabel : 2.1
Tingkat Kebutuhan Maslow
Contoh Umum Tingkatan Kebutuhan Contoh dalam
Organisasi
Pemenuhan Diri Kebutuhan Aktualisasi Diri
Tantangan Kerja
Status Kebutuhan Harga Diri Jabatan
Berteman Kebutuhan Sosial Teman Bekerja
Stabilitas Kebutuhan Keamanan Jaminan Pensiun
Perlindungan Kebutuhan Fisik Gaji
Sumber dari Hierarki Kebutuhan Maslow dalam Suryana (2003:33) diadobsi sesuai kebutuhan
Kebutuhan berprestasi wirausaha (n’Ach) terlihat dalam bentuk
tindakan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dan lebih efisien di
banding sebelumnya. Menurut Suryana (2003 : 33) menyebutkan bahwa
Wirausaha yang memiliki motif berprestasi tinggi pada umumnya memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
1. Ingin mengatasi sendiri kesulitan dan persoalan persoalan yang timbul pada dirinya.
2. selalu memerlukan umpan balik yang segera untuk melihat keberhasilan dan kegagalan
3. Memiliki tanggung jawab personil yang tinggi 4. Berani menghadapi resiko dengan penuh perhitungan 5. Menyukai tantangan dan melihat tantangan secara seimbang,
jika tugas yang diembannya sangat ringan, maka wirausaha merasa sangat kurang tantangan, tetapi ia selalu menghindari tantangan yang paling sulit yang memungkinkan pencapaian keberhasilan sangat rendah.
Berdasarkan ciri tersebut, terlihat dengan jelas bahwa seorang
wirausaha adalah seorang pejuang yang mempunyai semangat membara
untuk mencapai tujuan yang diinginkannya, mempunyai strategi dan cara,
berjiwa kreatif dan inovatif dalam bekerja dan melaksanakan tugas, selalu
27
menghargai informasi demi keberhasilan pekerjaan yang sedang
digelutinya, selalu berjuang sampai tujuan yang diinginkannya betul-betul
terwujud. Jika hal ini dimiliki oleh seorang mahasiswa (Sarjana) maka
sudah dapat dipastikan tingkat pengangguran yang ada di negeri ini akan
berkurang.
Dalam Enterpreneur’s Handbook, yang dikutif oleh Yuyun
Wirasasmita (1994 : 8) dalam Suryana (2003:35), dikemukakan beberapa
alasan mengapa seseorang berwirausaha :
1. Alasan Keuangan, yaitu untuk mencari nafkah, untuk menjadi kaya, untuk merncari pendapatan tambahan, sebagai jaminan stabilitas keuangan.
2. Alasan Sosial, yaitu untuk memperoleh gengsi/ status untuk dapat dikenal dan dihormati, untuk menjadi contoh orang tua di desa, agar dapat bertemu dengan orang banyak.
3. Alasan Pelayanan, yaitu untuk memberi pekerjaan pada masyarakat, untuk menetar masyarakat, untuk membentu ekonomin masyarakat, demi masa depan anak anak dan keluarga untuk mendapatkan kesetiaan suami/ istri, untuk membahagiakan ayah dan ibu.
4. Alasan Pemenuhan diri, yaitu untuk menjadi atasan/ mandiri untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, untuk menghindari ketergantugan pada orang lain, untuk menjadi lebih produktif, dan untuk menggunakan kemampuan pribadi.
Menurut Zimmerer (1996 :3) ada beberapa peluang yang dapat
diambil dari kewirausahaan yaitu :
1. Peluang memperoleh kontrol atas kemampuan diri. 2. Peluang memanfaatkan potensi yang dimiliki secara penuh 3. Peluang memperoleh manfaat secara finansial 4. Peluang berkontribusi kepada masyarakat dan menghargai usaha
usaha seseorang. Kita sudah maklum bahwa pebisnis atau pelaku wirausaha adalah
pejuang tangguh dengan berbagai alasan yang ingin diperolehnya, kita
akan mengetahui potensi dan kemampuan diri sendiri dengan berjuang
28
dan terjun langsung ke dalam persaingan nyata untuk berani memulai dan
mengelola usaha sendiri, besar atau kecil bentuk usaha bukan menjadi
ukuran, yang terpenting adalah keberanian untuk memulai itu merupakan
awal dari penilaian terhadap kemauan dan kemampun diri sendiri.
2.2. Kurikulum Pendidikan dan Pelatihan Kewirausahaan
Pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu bentuk investasi
bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensi diri. Oleh karena itu
proses pembelajaran yang termasuk di dalamnya harus mendapatkan
perhatian utama dari lembaga yang melaksanakannya maupun pihak-
pihak terkait seperti instruktur atau mahasiswa itu sendiri. Proses
pendidikan dan pelatihan diharapkan dapat menghasilkan suatu
perubahan perilaku bagi mahasiswa. Perubahan perilaku itu berbentuk
peningkatan kemampuan yang mencakup kemampuan kogitif, afektif,
maupun psikomotor. Adapun yang mempengaruhi proses pembelajaran
pelatihan itu sendiri mencakup, materi kurikulum, metode belajar-
mengajar, evaluasi, instruktur, ataupun sarana dan prasarana. Sedangkan
materi kurikulum itu sendiri merupakan faktor yang sangat besar
pengaruhnya terhadap proses pembelajaran.
Kurikulum merupakan landasan dasar proses pembelajaran dalam
upaya mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum diatur dalam seperangkat
perencanaan pembelajaran yang efektif dan efisien sehingga mampu
menghasilkan rangkaian aktivitas pendidikan yang terarah dan
terkoordinasi.
29
Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat mengenai pengertian
kurikulum:
Kurikulum menurut Komarudin (2000: 129)
1. Mata pelajaran atau rangkaian pelajaran pada umumnya, khususnya diterapkan pada pelajaran dalam studi di suatu universitas.
2. Sejumlah matapelajaran di sekolah atau matakuliah di perguruan tinggi yang harus ditempuh siswa atau mahasiswa untuk mencapai suatu sertifikat.
3. Keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan baik formal maupun informal.
Menurut Miller dan Seller (1985: 3)
Curriculum is an explicity and implicity intentional set of interactions designed to facilitate learning and development and to impose meaning on experience. The explecity intentions usually are expressed in the written curricula and in courses of study; the implicit intentions are found in the “hidden curriculum..
Kurikulum menurut Hamalik (2002:27) “Sejumlah mata pelajaran yang
harus ditempuh oleh siswa untuk memperoleh ijasah atau semua
pengalaman yang dengan sengaja disediakan oleh sekolah bagi siswanya
untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kurikulum menurut Nurgiyanto (1988: 3)
1. Sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang ditempuh atau dikuasai untuk mencapai tingkat tertentu atau ijasah.
2. Suatu rencana yang sengaja dirancang untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan.
3. Rencana pelajaran yang merupakan salahsatu komponen dalam asas-asas didaktik yang harus dikuasai (atau paling tidak diketahui) oleh seorang guru atau calon guru)
Menurut Robert S. Jais (1976: 6)
The word curriculum comes from latin root meaning racecours, and traditionally, the school’s figuratively speaking of course to most people. Indeed, until quite recently, event the most knowledgable prfessional educators regarded curriculum as the relatively standarized ground covered by students in their race toward the
30
finish line (a diploma). It should not be surprised then, to find the may current concepts of the curriculum are grounded firmly in this nation is a race course of subject matters to be mastered.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kurikulum
merupakan proses, prosedur, dan langkah-langkah yang harus
dilaksanakan siswa dalam mempelajari aspek substansif yang terdiri dari
pandangan, tema, topik, fenomena, fakta, peristiwa, prosedur, konsep,
generalisasi, dan teori. Aplikasi dari penggunaan teori itu sendiri
dilaksanakan melalui proses belajar mengajar dalam kelas. Dalam
pengertian pada sistem pelatihan, materi kurikulum mengandung apa
yang dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Artinya, kurikulum
sebagai sarana untuk mencapai tujuan pelatihan harus mengandung
pengalaman yang kaya akan nuansa-nuansa untuk merealisasikan tujuan
pelatihan.
Pengembangan kurikulum dimaksudkan untuk menuju proses
pembelajaran ke arah perbaikan dan kemajuan. Dalam hal ini, Program
Studi Manajemen Fakultas Ekonomi UNIVERSITAS AL-GHIFARI dituntut
untuk menghasilkan lulusan yang mengacu ke arah kecakapan profesi,
diharapkan mampu mengembangkan suatu bentuk model kurikulum yang
dapat menunjang proses pembelajaran ke arah pengembangan sumber
daya manusianya. Oleh sebab itu, bentuk kurikulum yang diberikan bagi
mahasiswanya, diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang mampu
bersikap dan bermotivasi kewirausahaan. Adapun Kurikulum yang berlaku
pada Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Al-Ghifari
adalah terlihat dalam tabel sebagai berikut:
31
Tabel 2.2 SEBARAN MATA KULIAH, FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN, UNIVERSITAS AL-GHIFARI
Semester I Semester II No Mata Kuliah SKS No Mata Kuliah SKS
1 Pancasila 2 1 Pendidikan Agama Islam II 2
2 Pendidikan Agama Islam I 2 2 Pend. Kewarganegaraan 2
3 Bahasa Indonesia 2 3 General English II 2
4 General English I 2 4 Pengantar Ekonomi Makro 3
5 Pengantar Ekonomi Mikro 3 5 Pengantar Kewirausahaan 2
6 Pengantar Manajemen 3 6 Pengantar Akuntansi II 2
7 Pengantar Akuntansi I 2 7 Pengantar Bisnis 2
8 Pengantar Aplikasi Komputer 2 8 Statistik I 3
9 Mat. Ekonomi dan Bisnis 3 9 Komputer Aplikasi Bisnis 2 Semester III Semester IV No Mata Kuliah SKS No Mata Kuliah SKS
1 Seminar PAI 2 1 Manajemen Keuangan 3
2 Pengantar Kewirausahaan II 2 2 Manajemen SDM 3
3 Ekonomi Koperasi "UKM" 2 3 Teori Pengambilan Kep. 2
4 Statistik II 3 4 Manajemen Pemasaran 3
5 Teori Ekonomi 3 5 Etika & Aspek Hk. dalam Ek. 2
6 Ekonomi Internasional 2 6 Akuntansi Biaya 2
7 Ekonomi Moneter 2 7 Sistem Informasi Manajemen 3
8 English For Economics 2 8 Pelatihan Kewirausahaan
9 Sosiologi dan Politik Ekonomi 2
Semester V Semester VI
No Mata Kuliah SKS No Mata Kuliah SKS
1 Manajemen Keuangan Syariah 3 1 Metode Penelitian 2
2 Bank dan Lembaga Keuangan 2 2 Penganggaran Perusahaan 2
3 Studi Kelayakan Bisnis 2 3 Prinsif Manajemen Keuangan 3
4 Akuntansi Manajemen 3 4 Prilaku Organisasi 3
5 Manajemen Investasi 3 5 Komputer Aplikasi Akuntansi 2
6 Akuntansi Keuangan I 3 6 Akuntansi Keuangan II 3
7 Manajemen Operasional 3 7 Perpajakan 2
8 Pelatihan Kewirausahaan 8 Ekonomi Manajerial 3
9 Pelatihan Kewirausahaan Semester VII Semester VIII
No Mata Kuliah SKS No Mata Kuliah SKS
1 Electronic Commerce 2 1 Praktek Kerja Lapangan 2
2 Analisa Laporan Keuangan 2 2 Skripsi 5
3 Manajemen Strategi 3 4 Analisa Inv & Manaj Portopolio 3
5 Riset Operasional 2
6 Seminar Manajemen Keu 3
7 Seminar Usulan Penelitian 1
8 Pelatihan Kewirausahaan
32
2.3. Pelatihan Kewirausahaan
Dalam meningkatkan sikap kewirausahaan, terlebih dahulu harus
dipahami mengenai kewirausahaan itu sendiri. Secara epistimologi,
wirausaha atau kewirausahaan menurut Suryana (2000:5) adalah “suatu
kemampuan dalam berfikir kreatif dan berprilaku inovatif yang dijadikan
dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat dalam
menghadapi tantangan hidup”. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa
kewirausahaan dipandang sebagai nilai, perilaku dan perangai yang
melekat pada ciri-ciri kewirausahaan. Kewirausahaan menjadi salah satu
alternatif dalam meningkatkan sumber daya manusia yang saling
berkompetisi dalam era globalisasi.
Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
kewirausahaan dalam mengembangkan usaha. Sikap kewirausahaan
dalam penelitian ini maksudnya adalah suatu kesediaan mental seorang
mahasiswa untuk menanggapi suatu objek di lingkungan sosialnya
khususnya aktivitas ekonomi dan sosial, serta bisnis baik bersifat positif,
netral, maupun negatif. Hal ini berfungsi sebagai pedornan tingkah laku
yang diharapkan pada mahasiswa.
Pada saat sekarang pengetahuan kewirausahaan telah
berkembang sangat pesat bahkan tidak hanya di perguruan tinggi tapi
juga dimulai dari sekolah dasar, sekolah menengah, serta berbagai kursus
bisnis dan pendidikan pelatihan. Seringkali kita mengalami penggunaan
istilah kewirausahaan dan kewiraswastaan dipakai secara bergantian.
Dalam hal ini, Alma (2000 : 19) menyatakan bahwa kewirausahaan dan
33
kewiraswastaan merujuk pada sifat, watak, dan ciri yang melekat pada
wirausaha atau wiraswasta, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
keduanya pada prinsipnya memilki makna yang sama.
Kewirausahaan merupakan salah satu hal penting yang perlu
diperhatikan dalam pembangunan ekonomi di suatu negara. Pertumbuhan
kewirausahaan di kalangan masyarakat secara tidak langsung akan
memunculkan bentuk–bentuk usaha baru yang akan semakin
menyemarakkan lingkungan dunia usaha (industri). Hal ini tentu saja akan
menjadi tolak ukur laju pertumbuhan ekonomi negara, mengingat salah
satu alat ukur pembangunan ekonomi adalah tingkat pertumbuhan dalam
kemampuan berproduksi. Selain dari pada itu, kewirausahaan juga
dianggap mampu mengatasi permasalahan pengangguran dengan
pengurangan secara bertahap melalui penyediaan lapangan kerja.
Wirausahawan menurut Meredith (1996 : 13) adalah “orang-orang yang
mempunyai kemampuan untuk melihat dan menilai kesempatan bisnis,
mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil
keuntungan daripadanya dan mengambil tindakan yang tepat guna
memastikan sukses”. Kewirausahaan menurut Fuad et al. (2001:39)
“Kemampuan dan kemauan seseorang untuk beresiko dengan
menginvestasikan dan mempertaruhkan waktu, uang, dan usaha untuk
memulai sesuatu perusahaan dan menjadikannya berhasil”. Sedangkan
menurut Robert Hisrich (1993:35): “Enterpreneur is the process of creating
something different with value by devoting the necessary time and effort,
34
asumsing the companying financial, psicological, and personal
satisfaction”.
Berdasarkan batasan-batasan di atas, dapat dilihat bahwa
kewirausahaan dapat digolongkan ke dalam masyarakat bisnis.
dikemukakan oleh Kwik Kian Gie (Nangoi, 1996 :155), “masyarakat bisnis
sekaligus merupakan dunia usaha dan ruang lingkup kegiatan produktif
yang menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi keperluan konsumtif
dan melalui proses produksi dan konsumsi ini membentuk pendapatan
nasional”. Dengan demikian sebagai salah satu fungsi bisnis dan
ekonomi, kewirausahaan perlu diberikan peranan dalam pengembangan
dunia usaha dan ekonomi nasional.
Pembentukan kewirausahaan memerlukan individu yang menjadi
pelaku sentralnya. Pelaku sentral tersebut dinamakan wirausaha, yang
diartikan Longenecker, Moor, dan Petty (2000:4), “Seorang pembuat
keputusan yang membantu terbentuknya sistem ekonomi perusahaan
yang bebas”.
Pendidikan kewirausahaan merupakan salah satu bentuk aplikasi
kepedulian dunia pendidikan terhadap kemajuan bangsanya. Di dalam
pendidikan kewirausahaan diperhatikan di antaranya adalah nilai dan
bentuk kerja keras untuk mencapai kesuksesan. Dalam hal ini, mahasiswa
diajak memahami sejak dini pentingnya kewirausahaan dan bagaimana
mengaplikasikannya dalam kehidupan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
pendidikan kewirausahaan akan membentuk mahasiswa dalam bersikap
sebagai seorang wirausaha dan berkecimpung di medan kewirausahaan
35
untuk kemudian mengembangkannya melalui proses berpikir yang lebih
maju dikemudian hari.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sikap dan motivasi
kewirausahaan terbentuk dari interaksi antara berbagai komponen sikap
kewirausahaan secara kompleks sehingga terbentuk karakteristik
wirausaha. Longenecker,G. Justin et al. yang diterjemahkan oleh Thomas
Learning Asia P-L (2001:10) mengemukakan karaktenstik wirausaha yaitu:
“(a). Kebutuhan akan keberhasilan, (b). Keinginan untuk mengambil
resiko, (c). Percaya diri, (d). Keinginan kuat untuk berbisnis”. Geoffrey G.
Meredith (1996 : 5-6) menjelaskan tentang ciri-ciri yang terdapat pada
seorang yang memiliki sikap dan motivasi kewirausahaan pada tabel 2.3
Tabel : 2.3
Ciri-ciri dan Watak Kewirausahaan
Ciri Ciri Watak
1. Percaya Diri Kepercayaan (Keteguhan) Ketidaktergantungan Optimisme
2. Berorientasi pada tugas dan hasil
Kebutuhan atau haus akan prestasi Berorientasi laba/ hasil Tekun dan Tabah Tekad keras dan motivasi, energik penuh dengan inisiatif
3. Pengambilan Resiko Mampu mengambil resiko dan suka terhadap tantangan
4. Kepemimpinan Mampu memimpin, dapat bergaul dengan orang lain, Menanggapi saran dan kritik
5. Kreatifitas dan inovasi Inovatif, kreatif, Fleksibel, Banyak sumber, Serba bisa, mengetahui banyak hal
6. Berorientasi pada masa depan Pandangan kedepan, prespektif
36
Sikap dan motivasi kewirausahaan mahasiswa Program Studi
Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas AL-GHIFARI, salah satunya
dapat terbentuk melalui sistem pelatihan kewirausahaan dan latar
belakang instruktur. Pelatihan merupakan suatu proses pembelajaran
terhadap seseorang atau kelompok untuk meningkatkan kemampuan atau
perilaku (pengetahuan, keterampilan dan sikap) untuk mencapai tujuan
tertentu yang diinginkan. Seperti yang dijelaskan oleh Scippers (1993 - 65)
bahwa, "Metode pelatihan adalah cara-cara atau teknik komunikasi yang
digunakan oleh instruktur dalam menyajikan dan melaksanakan proses
pembelajaran". Mahasiswa dituntut untuk dapat memahami lingkungan
kerja nyata dan memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap
kewirausahaan, dan diharapkan dengan melakukan pengembangan
kurikulum mata kuliah kewirausahaan dengan mengambil model
pembelajaran berbasis pelatihan, tujuan untuk membentuk sikap
kewirausahaan pada mahasiswa dapat terwujud.
Proses pelatihan kewirausahaan yang diselenggarakan oleh
Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Al-Ghifari lebih
lanjut dijelaskan pada bab empat dalam tesis ini.
2.4. Pelatihan Kewirausahaan dan Latar Belakang Instruktur
Kebutuhan akan tenaga kerja yang berkualitas bukan hanya dilihat
dari segi ilmu pengetahuan yang dimiliki tapi juga dari segi seberapa
besar pemilik ilmu pengetahuan tersebut mampu mengaplikasikannya
dalam bentuk pekerjaan. Pemikiran inilah yang menyebabkan lahirnya
37
sistem pelatihan dalam dunia pendidikan, walaupun masih terbatas pada
program-program tertentu.
Menurut Sastradipoera (2002 : 51):
“Pelatihan (training) adalah salah satu jenis proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu relatif singkat dan dengan metode yang lebih mengutamakan praktek dari pada teori”.
Sedangkan menurut Suherman (1998 : 51), pelatihan adalah “suatu
proses pembelajaran seseorang atau kelompok untuk meningkatkan
kemampuan atau perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) untuk
mencapai suatu tujuan”.
Dalam pelaksanaannya, pelatihan memerlukan beberapa orang
sebagai instruktur. Adapun kriteria yang dibutuhkan seorang instruktur
pelatihan menurut Zaenuddin (1996: 52) adalah Instruktur harus : (1).
Memahami teknologi, memilki kemampuan berpikir logis, kreatif dan
ilmiah. (2). jujur. (3). memilki pengalaman di lapangan kerja dan industri.
Lebih lanjut lagi, Wena (1996: 31) mengungkapkan tugas dari seorang
instruktur adalah merancang program pembelajaran pelatihan,
membimbing siswa, serta, mengevaluasi kemajuan belajar siswa.
Garis-garis besar program pembelajaran yang harus dikuasai oleh
instruktur menurut Purwanto (2002 : 32) adalah sebagai berikut:
1. Alokasi Waktu; berisi rincian waktu pelaksanaan kegiatan pelatihan 2. Tujuan pembelajaran pelatihan; berisi uraian tentang apa-apa yang
harus dikuasai siswa setelah selesai mengikuti pelatihan. 3. Materi; berisi semua materi yang akan diajarkan pada siswa. 4. Kegiatan; berisi uraian umum tentang metode yang digunakan
untuk mangajarkan materi pembelajaran.
38
5. Evaluasi; berisi strategi yang digunakan untuk menilai kemampuan belajar.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran, diperlukan strategi
pembelajaran yang akan memberikan pengaruh besar bagi hasil sebuah
proses pembelajaran, strategi tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta pelatihan; dimana strategi ini menekankan bahwa peserta pelatihan adalah memegang proses keseluruhan kegiatan pembelajaran, sedangkan instruktur berfungsi untuk memfasilitasi peserta pelatihan dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
2. Strategi pembelajaran yang berpusat pada instruktur, dimana didalamnya ditekankan terhadap pentingnya aktivitas instruktur dalam mengajar atau membelajarkan peserta pelatihan. Perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian proses serta hasil pembelajaran dilakukan dan dikendalikan oleh instruktur. Sementara peserta pelatihan berperan sebagai pengikut kegiatan yang diberikan oleh instruktur.
Menurut Sudjana (2001: 38-40), kedua strategi pembelajaran
tersebut memilki berbagai keunggulan dan kelemahan. Keunggulan dari
strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik adalah :
(1) peserta didik diberikan kesempatan yang luas untuk berpartisipasi, (2)
peserta didik memiliki motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan
pembelajaran, (3) tumbuhnya suasana demokratis dalam pembelajaran,
(4) dapat menambah wawasan pikiran dan pengetahuan bagi pendidik
karena sesuatu yang dialami peserta didik belum tentu diketahui pendidik.
Adapun kelemahan dari strategi ini adalah : (1) membutuhkan waktu yang
relatif lama dari perkuliahan biasanya, (2) aktivitas dan pembicaraan
cenderung akan didominasi oleh peserta didik yang biasa atau senang
berbicara, dan (3) pembicaraan dapat menyimpang dari arah
pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
39
Sedangkan keunggulan strategi pembelajaran yang berpusat pada
Instruktur (pendidik) diantaranya adalah, (1) materi dapat disampaikan
secara tertulis oleh pendidik, (2) dapat diikuti oleh peserta didik dalam
jumlah besar, (3) waktu yang digunakan akan tepat sesuai dengan jadwal
pembelajaran, (4) target materi pelajaran yang telah direncanakan relatif
mudah tercapai. Kelemahan strategi ini adalah; (1) mudah menimbulkan
rasa bosan pada peserta didik terhadap kegiatan pembelajaran sehingga
dapat mengurangi motivasi, perhatian, dan konsentrasi peserta didik
terhadap kegiatan pembelajaran. (2) keberhasilan pembelajaran pada
umumnya hanya menyentuh ranah kognisi, dan (3) kualitas pencapaian
tujuan pembelajaran relatif rendah.
Keberhasilan seorang instruktur dalam melaksanakan tugasya
dipengaruhi oleh berbagai kompetensi yang ada dalam dirinya dan
bagaimana ia mampu menganalisa situasi yang ada dalam sebuah proses
pembelajaran. Menganalisa situasi dalam proses pembelajaran perlu
dilakukan agar instruktur mengetahui teknik dan strategi pembelajaran
yang tepat utuk diberikan kepada peserta pelatihan. Sudjana (2001 : 55)
menjelaskan bahwa seorang pendidik perlu meningkatkan tiga kompetensi
yang ada dalam diri mereka, yaitu; (1) kompetensi pribadi, yang
mencakup kedewasaan psikis, dedikasi, idealisme, itikad untuk membantu
orang lain, menghargai orang lain, keteladanan, kejujuran, keikhlasan,
terbuka, dan tidak kaku. (2) kompetensi profesional, yang mencakup
kemampuan dan kewenangan khusus dalam materi dan proses
pembelajaran, berwawasan luas, mengembangkan diri menjadi spesialis
40
dalam materi dan proses pembelajaran, memperoleh pengakuan dari
masyarakat yang menjadi layanannya, serta mempunyai jaringan
profesional dengan pihak lain, dan (3) kompetensi sosial, yang mencakup
kepemilikan sikap pengabdian kepada masyarakat, memahami prinsip-
prinsip sebagai peneliti dan pengembang masyarakat dan berpartisipasi
dalam kegiatan sosial atau pembangunan masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, sistem pelatihan tidak terlepas dari sistem
pendidikan. Keduanya saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan yang
diharapkan, yaitu menghasilkan sumber daya yang berkualitas.
Perbedaan di antara keduanya terletak dari segi teoritis dan aplikasi,
dimana pendidikan memberikan pengetahuan secara umum dan bersifat
teoritis sedangkan pelatihan merupakan bentuk dari aplikasi pengetahuan
itu sendiri. Untuk jelasnya, Sastradipoera (2002: 52) mengemukakan
perbedaan pendidikan dan pelatihan sebagai berikut :
Tabel : 2.4
Perbedaan Pendidikan dan Pelatihan
Dimensi Pembelajaran Pelatihan Pendidikan
Siapa Nonmenejer Menejer
Apa Pelaksanaan
Mekanis Teknis
Gagasan Konseptual
Teoritis
Mengapa Menawarkan Jabatan Pengetahuan Umum
Kapan Jangka Pendek tak
berjenjang
Jangka panjang
berjenjang
Sumber: Sastradipoera (2002: 52)
41
Dalam proses pembelajarannya, para instruktur harus memiliki
persiapan pengajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan. Hal ini
sebagaimana yang dikemukakan Hamalik (2002: 194) sebagai berikut:
Tabel : 2.5
Prosedur Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan
Sebelum Sesudah
Cara mempersiapkan pengajaran: 1. Persiapan jadwal waktu bergantung pada beberapa banyak keterampilan yang perlu dimilki siswa
Cara melaksanakan pengajaran: Langkah ke-1:
a. Hadapkan mereka pada persoalan b. Usahakan untuk mengenali apa yang
mereka telah ketahui tentang pekerjaan (job) itu.
2. Analisis pekerjaan: membuat daftar langkah-langkah pokok dan perilaku-perilaku kunci
Langkah ke-2: Penyajian pelaksanaan (operation)
a. Penjelasan, mempertunjukkan, ilustrasi, dan pertanyaan
b. Penekanan ada pokok-pokok (key points) saja. Ajarkan secara jelas dan lengkap sesuatu pokok pada waktunya.
3. Mempersiapkan perlengkapan, bahan, dan alat-alat yang cocok
Langkah ke-3: Uji Coba perilaku
a. Mengetes hingga bagaimana dia dapat melakukan tugas.
b. Apakah dia dapat mengemukakan dan mempertunjukkan
c. Dapatkah dia menjelaskan pokok-pokok kunci
d. Ajukan pertanyaan dan adakan koreksi e. Lanjutkasn sampai anda yakin bahwa
dia telah mengetahui 4. Mempersiapkan tempat kerja yang ditata dengan baik, agar dapat bekerja sebagaimana seharusnya
Langkah ke-4: Tindak Lanjut
a. Usahakan agar dia merasakan bahwa telah terjadi peningkatan atas dirinya
b. Tunjukkan apa yang harus dikerjakan selanjutnya
c. Sering-sering diadakan pemerikasaan (pengecekan)
d. Dorongkah agar ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau persoalan-persoalan
e. Penyimpulan dan tindak lanjut Sumber: Hamalik (2002 : 194)
42
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa diperlukan suatu
usaha keras dari instruktur untuk mampu membangkitkan minat
mahasiswa dalam memahami dan mendalami arti pendidikan dan
pelatihan yang mereka jalani. Dalam hal ini motivasi yang terdapat pada
diri setiap individu merupakan salah satu faktor utama yang harus
ditanamkan untuk menghasilkan reaksi positif terhadap sistem pelatihan
yang dilaksanakan.
Jenis-jenis pelatihan itu menurut Yoder, et al. (1958) sebagaimana
dikemukakan oleh Abdul Haris (2000 : 69) dapat dilihat dari 4 sudut
pandang sebagai berikut:
a. How he gets trained, artinya bagaimana ia dilatih. Maksudnya
dengan metode apa dia dilatih.
b. Where he gets trained, dimana ia dilatih. Maksudnya menunjukkan
dimana tempat dimana ia dilatih
c. When he gets trained, artinya bilamana ia dilatih. Maksudnya
menunjukkan waktu kapan pelaksanaan pelatihan diberikan.
d. Who gets trained, artinya siapa yang dilatih. Maksudnya bahwa
kepada siapa pelatihan itu diberikan.
Metode yang digunakan pada pelatihan pada umumnya
dikembangkan berdasarkan pendekatan standar pengajaran dan latihan
dalam pengajaran. Pengertian dari metode pelatihan itu sendiri menurut
Schipper (1993: 65) adalah cara-cara atau teknik komunikasi yang
digunakan oleh instruktur dalam menyajikan dan melaksanakan proses
pembelajaran.
43
Dalam mengukur pendidikan dan pelatihan, diperlukan beberapa
metode. Dalam hal ini terdapat beberapa metode evaluasi pendidikan dan
pelatihan yang dikemukakan Sastradipoera (2002 : 61) sebagai berikut:
1. Metode evaluasi dengan mengkaji kelompok setelah latihan selesai 2. Metode evaluasi yang lebih baik dilakukan dengan membandigkan
produktivitas sebelum dan sesudah mengikuti pendidikan dan pelatihan
3. Metode evaluasi dengan mengikuti perkembangan menurut kurun waktu bagi yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan
4. Metode evaluasi dengan cara membandingkan antara kelompok (individu) yang telah mengikuti dengan kelompok (individu) yang belum mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagai pengontrol dalam penelitian.
5. Metode evaluasi dengan cara membandingkan antara setiap metode pendidikan dan pelatihan pengembangan sumber daya manusia untuk mengukur efektivitas pengembangan dlam hubungannya (relevansi) dengan tujuan manajemen keseluruhan.
Adapun metode evaluasi yang dilaksanakan penulis adalah metode
evaluasi pertama, yaitu penulis mengevaluasi hasil dari pelatihan
kewirausahaan dan latar belakang instruktur yang dilaksanakan oleh
Fakultas Ekonomi Universitas Al-Ghifari Jurusan Manajemen dalam
kaitannya dengan pembentukan sikap dan motivasi kewirausahaan
mahasiswa.
Metode evaluasi yang dilaksanakan harus disesuaikan juga dengan
pemilihan model latihan. Dalam hal ini, Abdul Haris (2000 : 79)
mengemukakan model-model pelatihan sebagai berikut: (1). Model
Pelatihan yang berorientasi pada tujuan yang telah ditetapkan. (2). Model
Pelatihan yang berorientasi pada kebutuhan peserta. (3). Model Pelatihan
yang berorientasi pada kompetensi peserta. (4). Model Pelatihan yang
merupakan kombinasi antara ketiga orientasi
44
Pelatihan yang dilaksanakan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Al-Ghifari pada dasarnya dilaksanakan
dalam rangka mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi tugas akhir,
yaitu magang di dunia kerja yang sesungguhnya. Pelatihan itu sendiri
merupakan bentuk aplikasi dari pendidikan kewirausahaan, dimana
mahasiswa bukan hanya dibekali ilmu pengetahuan tapi juga kemampuan
untuk memotivasi diri sebelum terjun ke dunia kerja yang sesungguhnya.
2.5. Profil Kewirausahaan
Berbagai ahli mengemukakan profil wirausaha dengan
pengelompokkan yang berbeda beda. Ada yang mengelompokkan
berdasarkan pemiliknya, pengelompokkan berdasarkan perkembangan
dan pengelompokkan berdasarkan kegiatan usahanya. Roopke (1995 : 5)
dalam Suryana (2003 : 49) mengelompokkan kewirausahaan berdasarkan
perannya sebagai berikut :
1. Kewirausahaan rutin (wirt) yaitu wirausaha yang dalam kegiatan sehari harinya cenderung menekankan pada pemecahan masalah dan perbaikan standar prestasi tradisional. Fungsi wirausaha rutin adalah mengadakan perbaikan perbaikan terhadap standar tradisional, bukan penyusunan dan pengalokasian sumber-sumber. Wirausaha ini berusaha untuk menghasilkan barang, pasar, dan teknologi, misalnya seorang pegawai/ manajer. wirausaha rutin dibayar dalam bentuk gaji.
2. Kewirausahaan arbitrase, yaitu wirausaha yang selalu mencari peluang melalui kegiatan penemuan (pengetahuan) dan pemanfaatan (pembukaan). Misalnya bila tidak terjadi ekuilibrium dalam penawaran dan permintaan pasar, maka ia akan membeli dengan murah dan menjual dengan mahal. Kegiatan wirausaha arbitrase tidak perlu melibatkan pembuatan barang dan tidak perlu menyerap dana pribadi wirausaha. Kegiatannya melibatkan spekulasi dalam pemanfaatan perbedaan harga jual dan harga beli.
3. Wirausahawan inovatif, yaitu wirausahawan dinamis yang menghasilkan ide-ide dan kreasi-kreasi baru yang berbeda, ia merupakan promotor, tidak saja dalam memperkenalkan teknik dan
45
produk baru, tetapi juga dalam pasar dan sumber pengadaan, peningkatan teknik manajemen dan metoda distribusi baru, ia mengadakan proses dinamis pada produk, proses, hasil, sumber pengadaan dan organisasi yang baru.
Sedangkan Zimmerer (1996) dalam Suryana (2003 : 50)
mengelompokan profil kewirausahaan sebagai berikut :
1. Part-time Enterpreneur, yaitu wirausaha yang melakukan usahanya hanya sebagian waktu saja sebagai hobi, kegiatan bisnis biasanya hanya bersifat sampingan.
2. Home Base New Ventures, yaitu usaha yang dirintis dari rumah/ tempat tinggalnya.
3. Family-Owned Business, yaitu usaha yang dilakukan/ dimiliki oleh beberapa anggota keluarga secara turun temurun.
4. Copreneurs, yaitu usaha yang dilakukan oleh dua orang wirausaha yang bekerjasama sebagai pemilik dan menjalankan usaha bersama sama.
2.6. Sikap dan Kepribadian Kewirausahaan
Pengertian sikap banyak diartikan dengan berbagai cara yang
berbeda. Perbedaan pengertian sikap ini didasarkan pada perbedaan
konsep dari apa yang didefinisikan. Louis Thurstone (1928) dalam
Rosyadi (1997:7) mendefinisikan sikap sebagai, “sejumlah kecenderungan
dari perasaan, kecurigaan, dan prasangka, pra-pemahaman, yang detail,
ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal yang
khusus”. Selanjutnya, pada tahun 1938 dalam sebuah tulisannya,
Thurstone mengemukakan lagi bahwa sikap adalah, “menyukai atau
menolak suatu objek psikologi”. Definisi lain dikemukakan oleh Emory
Borgadus (1931) menyatakan bahwa sikap adalah, “suatu
kecenderungan bertindak ke arah atau menolak suatu faktor lingkungan”.
Donald Campbell (1950) mendefinisikan sikap sebagai, “konsistensi dalam
menjawab objek-objek sosial”.
46
Secara spesifik LaPierre (1934) dalam Azwar (2000 ; 4) mendefinisikan
sikap sebagai, “suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif,
prediposisi untuk meyesuaikan diri dalam situasi sosial atau secara
sederhana sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah
terkondisikan“. Sedangkan secord dan Backman (1964) mendefinisikan
sikap sebagai, “keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi),
pemikiran (kognisi) dan perdiposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap
suatu aspek di lingkungan sekitarnya”
G. W. Allport (1935 : 810) dalam Freedman (1970 : 246) yang
dimaksud dengan sikap adalah, “an attitude is a mental and neural state of
readiness, organized, through experience, exerting a directive or
dynamicinfluence upon the individual’s response to all objects and
situation with it is related”. Pengertian di atas sedikitnya memiliki 5 aspek
yaitu (1) suatu suasana mental dan neural; (2) suatu kesiapan bereaksi;
(3) terorganisasikan; (4) terbentuk berdasarkan pengalaman; (5) memberi
arah dan dinamika dalam pengaruhnya dalam perilaku (McGuire,
1969:142). Selanjutnya McGuire (1975:149) mengungkapkan pengertian
sikap secara lebih operasional yaitu: “typically the person’s attitude
regarding in object is operationally defined as the response by which he
indicates where he as signs the object of judgment a long a dimension of
variability”.
Menurut Commins dan Fagin (1954) sebagaimana yang
dikemukakan Sudjana (2000:134) adalah kecenderungan atau
predisposisi perasaan dan perbuatan yang konsisten pada diri seseorang.
47
Sedangkan menurut Kao (1995: 135) sikap adalah how we deal with
realities. Menurutnya, sebagian orang cenderung untuk mejadi negatif dan
menolak adanya perubahan, dan sebagaimana lainnya cenderung untuk
bersikap positif. Dalam hubungannya dengan penelitian ini, sikap baru
yang diharapkan muncul adalah dalam diri mahasiswa sebagai peserta
didik. Dalam hal ini, Sudjana (2000 : 135) menyatakan bahwa terdapat
lima tahapan dalam proses pembentukan sikap pada diri seseorang, yaitu
sebagai berikut:
1. Penerimaan Stimulus, artinya peserta didik menyadari kehadiran stimulus dan mempunyai keinginan untuk menerimanya sehingga dapat lebih memusatkan pada stimulus itu.
2. Merespons stimulus. Respon ini dilakukan setelah peserta didik memandang perlu untuk melakukan respon. Artinya peserta didik mulai berfikir bahwa dengan memberikan respon, ia akan mendapatkan kepuasan dan kesenangan.
3. Peserta didik menerima nilai (values) dari respons yang telah ia lakukan. Nilai diperoleh setelah peserta didik memilih nilai tersebut dan merasakan keterlibatan dirinya terhadap nilai tersebut.
4. Mengorganisasi nilai dalam dirinya setelah terlebih dahulu peserta didik memahami konsep nilai tersebut.
5. Penampilan ciri yang tetap pada dirinya setelah peserta didik memilki nilai itu.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa untuk mentransfer suatu
sikap baru dalam diri seseorang pada dasarnya diperlukan motivasi yang
kuat dari individu yang bersangkutan untuk merubah dan meleburkan
dirinya dengan sikap yang baru. Berkaitan dengan penelitian ini, sikap
yang akan ditanamkan adalah sikap kewirausahaan. Dalam hal ini, peneliti
ingin melihat sejauh mana mahasiswa sebagai peserta didik mampu
48
mengadopsi nilai-nilai kewirausahaan dan menyajikannya sebagai bagian
dari hidupnya dengan membentuk sikap kewirausahaan melalui pelatihan.
Untuk mengarahkan mahasiswa dalam pembentukan sikap
kewirausahaan, terlebih dahulu kita harus mengenali dulu ciri dan
karakteristik dari kewirausahaan itu sendiri. Mc. Clelland mengemukakan
ciri kewirausahaan sebagaimana dikemukakan Syihabudin (2001 : 51)
sebagai berikut :
a. Keinginan untuk berprestasi b. Keinginan Untuk bertanggungjawab c. Preferensi kepada resiko-resiko menengah d. Persepsi pada kemungkinan berhasil e. Rangsangan sebagai umpan balik f. Aktivitas enerjik g. Orientasi ke masa depan h. Keterampilan dan pengorganisasian i. Sikap terhadap uang
Ciri-ciri kewirausahaan tersebut, menunjukkan kecenderungan
sikap ke arah positif. Menurut Kao (1995 : 135) sebagai seorang
wirausaha, untuk melihat segala sesuatu secara lebih positif, sedikitnya
diperlukan tiga aspek yang menunjang, yaitu: “be positive, positive
reinforcement, and the attitude towards risk”.
Dijelaskan bahwa manusia pada dasarnya memilki sikap positif dan
hanya akan menjadi negatif bila mereka mengalami penderitaan, situasi
yang tidak mengenakkan, ketidaknyamanan, dan sesuatu yang
mengancam. Menjadi positif artinya selalu melihat segala sesuatunya
dengan positif. Sikap seperti itu membantu seseorang untuk
mengembangkan mental wirausaha dan memahami masalah secara
berbeda. Masalah akan tetap menjadi masalah, tetapi di dalamnya masih
49
terdapat kesempatan untuk menghadapinya dalam setiap situasi. Bagi
seorang wirausaha, kegagalan dalam menjalankan sebuah bisnis
memberikan kesempatan belajar untuk meningkatkan berbagai
kemugkinan sukses di masa depan.
Sementara pengertian dari Positive Reinforcement menurut Kao
(1995 : 136) adalah, “an entrepreneurial attitude applying to situations to
encourge initiative and to be supportive in the pressence of unfortunate
happenings, including errors, solcisms, blunders and other unpleasent
incidents”. Sikap kewirausahaan yang dimaksud tersebut merupakan
pengambilan inisiatif dari bersikap suportif atas kejadian-kejadian buruk,
termasuk kekeliruan-kekeliruan, pelanggaran-pelanggaran, kesalahan
besar dan peristiwa buruk yang menimpa lainnya. Dalam hal ini, sikap
untuk berani mengambil resiko merupakan sesuatu yang sangat
dibutuhkan dalam diri seorang wirausaha, apabila seseorang sudah
berada dalam situasi yang beresiko, tidak ada jalan lain untuk
menghadapinya selain berusaha menghadapinya dan berusaha untuk
keluar dari masalah tersebut.
Seorang wirausaha harus paham bahwa resiko meningkatkan
kekuatan dan kemampuan individu untuk menghadapi berbagai krisis atau
juga mendapatkan temuan-temuan baru.
Inti dari bagaimana mengembangkan sikap kewirausahaan pada dasarnya
adalah motivasi. Secara bersama-sama atau individual, manusia
termotivasi untuk menjadi responsif terhadap ancaman, kenyamanan,
pikiran-pikiran, perasaan, dan berbagai informasi yang akan datang. Hal
50
tersebut akan menggerakkan respon seseorang, bahkan kenyataannya
faktor-faktor negatif memotivasi banyak orang untuk lebih menjadi efektif
daripada hal-hal positif.
Berdasarkan berbagai pendapat tentang definisi sikap di atas,
untuk memberikan arah yang jelas dalam penelitian sikap diperlukan
suatu definisi operasional yaitu respon seseorang terhadap suatu objek
yang ditunjukkannya dengan menandai objek itu pada suatu
variabilitasnya (Mc.Guire, 1975) untuk menunjukan keteraturan antar
afeksi, kognisi, dan konasi sebagai suatu kesatuan sikap (Backman, 1964)
yang akan memberi arah dan dinamika terhadap perilaku (Allport, 1935).
Krech dkk. (1982 : 177) mengatakan bahwa sikap adalah, “…. An
enduring system of positive or negative evaluations, emotional, feeling,
and pre or conation tendencies with respect to a social object”. Sejalan
dengan itu Morgan (1979:450) mengemukakan bahwa sikap adalah “an
attitude can be defend as a learned predisposition to behave in a
consistent evaluative manner to ward a person, a group of people an
object”. Dan Allport (1954) dalam Mar’at (1982) mempertegas pemikiran di
atas bahwa sikap adalah, “the cognitive component casuist of beliefs
about the attitude object, the affektive component casuist of emotional
feeling connected with the beliefs and the behavioral tendency is what
Allport as the readiness to response in particular way”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sikap memiliki tiga komponen
yaitu (1) komponen kognisi yang berhubungan dengan beliefs, ide dan
konsep; (2) komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional
51
seseorang; (3) komponen konasi yang merupakan kecenderungan
bertingkah laku.
Ketiga komponen sikap tersebut berinterkorelasi satu dengan lainnya
secara mutualistis. Kognisi seseorang misalnya, dipengaruhi oleh feeling
dan kecenderungan bertindaknya terhadap objek sikap. Sebaliknya
perubahan yang terjadi dalm kognitif seseorang akan cenderung
menimbulkan perubahan pula dalam feeling dan kecenderungan
tindakannya terhadap objek yang bersangkutan. Jalinan ketiga komponen
sikap tadi membentuk apa yang disebut “total attitude” (Mar’at, 1982:14)
Dengan kata lain ketiga komponen saling mengikat, dalam arti bahwa
pemahaman individu terhadap objek tertentu dipengaruhi oleh perasaan
dan kecenderungan bertindak. Apabila terjadi perubahan pada salah satu
komponen tersebut, maka komponen yang lainya turut berubah.
2.7. Proses Pembentukan Sikap Kewirausahaan
Sikap tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi terbentuk karena
adanya interaksi dengan sosial (lingkungan) yang dialami oleh individu.
Interaksi sosial terjadi meliputi hubungan antara individu dengan
lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya. Dalam interaksi sosialnya
individu berinteraksi membentuk pola sikap terhadap berbagai psikologis
yang dihadapinya (Saifuddin, 2000:30). Keterkaitan perubahan sikap lebih
jauh Mar’at (1982:25) dan Mc.Guire (1975 : 165-271) mengungkapkan
teori-teori perubahan sikap itu terbagi kepada : (1) Pendekatan Teori
52
Belajar; (2) Pendekatan Teori Persepsi ; (3) Teori consistensi; (4) Teori
Fungsional.
Mar’at maupun Mc.Guire dalam pembahasannya tentang teori
perubahan sikap memiliki kesamaan, untuk memudahkan penguraian dan
penulisan maka teori yang digunakan adalah yang dikemukakan oleh
Mc.Guire (1975) antara lain:
1. Pendekatan Teori Belajar
Hosland, Janis dan Kelley (1953) dalam Mar’at (1982 : 26)
mengemukakan bahwa “proses dari perubahan sikap adalah serupa
dengan proses belajar”. Berkaitan dengan proses belajar terhadap
perubahan sikap, Mar’at, (1982 : 28) mengungkapkan bahwa hal itu
ditentukan oleh sumber yang dapat diterima sebagai suatu otoritas yang
dapat dipercaya dan teknik penyajian yang dapat menghasilkan
perubahan sikap. Sedangkan Pidarta (1980 : 33) mengungkapkan
perubahan sikap sehubungan dengan teori belajar ditentukan oleh
intensitas individu itu belajar dan ia belajar dengan baik serta bahan
pelajaran yang dihidangkan dengan baik pula, maka kemungkinan besar
sikapnya akan berubah. Seperti yang diungkapkan Mc.Guire (1975 : 266)
bahwa:
The essence of this approach is to predict the relationship between a given independent variable and attitude change in terms of the know (or conjectured) relationship of that independent to learning; positing that learning of the persuasive material will be conductive to attitude change, one then predict that the relationship of the independent variable to attitude change will follow from its relationship to the learning mediator.
53
Berkaitan dengan pendekatan teori belajar di atas maka sikap
berubah berkaitan dengan bahan pelajaran dan guru/instruktur yang
menyajikan bahan pelajaran yang dipelajari oleh individu yang dapat
merubah sikap semula. Bahan pelajaran dan guru/instruktur sebagai
penyaji merupakan variabel bebas (independen), sedangkan sikap
sebagai variabel terikat (dependen) kepada varibel-varibel tersebut,
varibel bebas dapat mempengaruhi variabel terikat sehingga berubah dari
keadaan semula.
2. Pendekatan Teori Persepsi
Menurut Banny dan Johnson (1975:377) sikap adalah, “Part of
larger and smaller and perceptual and cognitive context of individual”. Ini
berarti bahwa sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun
kognisi individu. Persepsi adalah “suatu proses psikologis yang
memproduksi bayangan sehingga dapat mengenal objek melalui berpikir
asosiatif dengan cara indrawi”, (Komarudin, 2000 : 191) Sedangkan
menurut Mar’at (1982:22) persepsi adalah, “merupakan proses
pengamatan seseorang yang berawal dari kognisi”. Berkaitan dengan
pendekatan teori persepsi terhadap perubahan sikap, kognisi adalah
merupakan aspek penggerak perubahan karena informasi yang diterima
menentukan perasaan dan kemauan berbuat.
Teori ini dapat dikatakan menggunakan pendekatan kognisi dalam
pembentukan persepsi individu, tetapi bila dinyatakan bagaimana sikap itu
dapat berubah atau dibentuk akan menyangkut faktor-faktor yang
54
mempengaruhi persepsi individu itu sendiri yaitu: pengalaman, proses
belajar, cakrawala dan pengetahuannya. Melalui pengalaman, proses
belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa
yang dilihatnya, sedangkan pengetahuannya dan cakrawalanya
memberikan arti terhadap objek psikologik tersebut. Berdasarkan
pendekatan ini seseorang akan berusaha mencari keseimbangan
kognisinya dan akan terbentuk sikap dari yang bersangkutan, apabila
terjadi ketidakseimbangan.
3. Pendekatan Teori Konsistensi
Dasar pendekatan teori konsistensi pada perubahan sikap seperti
yang diungkapkan Mc.Guire (1975 : 268) bahwa: “that the person adjusts
his attitudes and behavior in order to keep a maximum degree of internal
harmony within his belief system and between his beliefs and his overt
actions”. Bahwa setiap orang akan berusaha memelihara harmoni internal,
yaitu sistem nilai dirinya dan perilakunya. Berkenaan dengan teori
konsistensi, Mar’at (1982:37) mengungkapkan, ada tiga bagian yang
berkenaan dengan teori konsistensi yaitu: (1) Balance Theory (teori
keseimbangan), teori ini merupakan formulasi awal dan sederhana dari
prinsip konsistensi. Heider (1958) mengungkapkan pengertian keadaan
keseimbangan menunjuk kepada situasi di mana hubungan antara unsur-
unsur keseimbangan (individu, orang lain, dan objek) yang berjalan
harmonis, apabila tidak terdapat keseimbangan maka akan timbul suatu
kekuatan yang akan mendorong mengembalikan keseimbangan; (2)
55
Congruity Theory (teori kesesuaian), dasar dari teori ini adalah terletak
pada mengatasi suatu “frame of reference” melalui struktur kognitif
(Mar’at, 1982); (3) Cognitive dissonance Theory, merupakan keadaan
ketidakseimbangan psikologis yang meliputi ketegangan diri yang
berusaha mencari keseimbangan kembali, ketidakseimbangan ini
disebabkan karen ada elemen kognisi (pengetahuan, pendapat dan
keyakinan) yang tidak seimbang.
4. Pendekatan Teori Fungsi
Pendekatan teori fungsi pada perubahan sikap menekankan
hubungan antara sikap seseorang dengan objek dan informasi. Seperti
yang diungkapkan Mc.Guire (1975:270) bahwa, “….the functional
approaches put on the relationship between the person’s attitude toward
an object and his information about it”. Sikap seseorang akan berubah
atau tidak terhadap objek atau informasi yang diterimanya tergantung
pada motivasi pada dirinya. Seperti yang dikemukakan Katz (1965) dalam
Azwar (2000 : 53), bahwa sebagai dasar motivasional merupakan fungsi
sikap bagi individu yang bersangkutan.
Selanjutnya Katz (1965) merumuskan fungsi sikap ke dalam empat
macam yaitu: (a) fungsi intrumental, fungsi penyesuaian atau fungsi
manfaat, fungsi ini menyatakan bahwa individu dengan sikapnya berusaha
untuk memaksimalkan hal-hal yang diinginkannya dan meminimalkan hal-
hal yang tidak diinginkannya, (b) fungsi pertahanan ego, fungsi ini
menyatakan sewaktu individu mengalami hal yang tidak menyenangkan
56
dan dirasakan akan mengancam egonya, sikapnya dapat berfungsi
sebagai mekanisme mempertahankan ego yang akan melindungi dari
kepahitan kenyataan tersebut. Sikap dalam hal ini, merefleksikan problem
pribadi yang tidak terselesaikan; (c) fungsi pernyataan nilai, nilai adalah
konsep dasar mengenai apa sebagai baik dan diinginkan Menurut
Rokeach (1979) . Brigham (1991) dalam Azwar (2000:54) nilai terbagi
pada dua yaitu nilai terminal dan nilai instrumental. Nilai-nilai merupakan
Prefernsi mengenai keadaan akhir seperti: persamaan, kemerdekaan, hak
azasi. Sedangkan nilai instrumental merupakan preferensi atau pilihan
berbagai perilaku dan sifat seperti kejujuran, keberanian. Dengan
demikian, fungsi sikap sering digunakan sebagai sarana ekspresi dirinya
dan dalam menyatakan bahwa manusia mempunyai dorongan dasar
untuk ingin tahu, mencari penalaran, dan mengorganisasikan
pengalamannya untuk disusun, ditata kembali sehingga tercapai
konsistensi.
Teori umum perubahan sikap yang diuraikan atas menyangkut
masalah individu dapat dibahas dengan lingkungan sosial. Bagaimana
individu menempatkan diri pada lingkungan sosial atau bagaimana
kedudukan lingkungan sosial terhadap diri individu, dapat dibahas melalui
teori-teori tersebut, tetapi bila dinyatakan bagaimana sikap itu dapat
berubah atau dibentuk akan menyangkut faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap. Seperti yang diungkapkan Krech et al (1982:213)
menyebutkan faktor-faktor tersebut adalah : (1) attitude develops in proses
of want satisfaction. Panduan ini menunjukkan bahwa sikap berkembang
57
dan terbentuk dalam rangka memuaskan suatu keinginan atau kebutuhan
seseorang. Seorang individu akan mengembangkan sikap yang positif
terhadap objek-objek dan orang-orang untuk memenuhi keinginannya.
Sebaliknya, mereka akan mengembangkan sikap negatif terhadap objek
yang dianggap mengganggu, menghambat atau menghalangi
keinginannya sebagai upaya meredakan ketegangan akibat adanya
dorongan dalam dirinya. (2) the attitude of individual are shoped by the
information to which he exposed. Panduan ini menunjukkan bahwa
informasi memegang peranan penting dalam membentuk sikap
seseorang. Peran informasi ini erat kaitannya dengan komponen kognisi.
Informasi ini merupakan penghubung dari fakta-fakta yang diketahuinya
pada saat yang lalu, sekarang, dan masa yang akan datang. Dengan kata
lain, bahwa kaitan fakta-fakta dengan keadaan objek sikap ditentukan oleh
pengetahuan informasi yang didapatnya, (3) the group affiliation of the
individual help determine the formation of his attitude. Panduan ini
menjelaskan peran partisipasi dalam kelompok. Hal ini menunjukkan
adanya pengaruh interaksi antara anggota kelompok terhadap
pembentukan sikap. Artinya, bahwa sampai tarap tertentu, keyakinan,
norma atau nilai-nilai dalam kelompok mengidentifikasikan dirinya, (4) the
attitude of individual respect his personality. Panduan ini menegaskan
sikap dapat mencerminkan kepribadian. Artinya seseorang cenderung
menunjukan suatu sikap tertentu sebagai bagian dari kepribadian.
Menurut Carol Noore yang dikutip Bygrape dalam Suryana,
(2003:40) bahwa proses pembentukkan sikap kewirausahaan diawali
58
dengan adanya inovasi. Inovasi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor,
baik internal maupun eksternal, seperti : pendidikan, sosiologi, organisasi,
kebudayaan dan lingkungan. Soeharto Prawirokusumo dalam Suryana
(2003 ; 40), mengemukakan bahwa faktor faktor tersebut membentuk
locus of control, toleransi, kreativitas, inovasi. Implementasi, dan
pertumbuhan yang kemudian berkembang menjadi wirausaha yang besar.
Secara internal inovasi dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari
individu seperti toleransi, nilai pendidikan, pengalaman, sedangkan faktor
yang berasal dari lingkungan yang mempengaruhi diantaranya model
peran aktivitas dan peluang. Oleh karena itu, inovasi berkembang menjadi
kewirausahaan melalui proses yang dipengaruhi oleh lingkungan,
organisasi dan keluarga. Faktor individu yang memicu kewirausahaan
adalah pencapaian locus of Controll, toleransi, pengambilan resiko, nilai
nilai pribadi, pendidikan, pengalaman, usia, komitmen dan ketidakpuasan.
Sedangkan faktor pemicu yang berasal dari lingkungan adalah peluang,
model peran, aktivitas, pesaing, inkubator, sumber daya, dan kebijakan
pemerintah dan yang menjadi faktor pemicu dari lingkungan sosial adalah
keluarga, orang tua dan jaringan kelompok.
Pertumbuhan kewirausahaan sangat tergantung kepada
kemampuan pribadi, organisasi dan lingkungan. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan kewirausahaan adalah pesaing, pelanggan,
pemasok dan lembaga keuangan yang akan membantu pendanaan.
Sedangkan faktor yang berasal dari pribadi adalah komitmen, visi,
kepemimpinan, dan kemampuan manajerial, selanjutnya faktor yang
59
berasal dari organisasi adalah kelompok, struktur, budaya, dan startegi.
Dengan demikian seseorang yang berhasil dalam kewirausahaan adalah
orang yang dapat menggabungkan nilai nilai, sifat sifat utama (pola sikap)
dan perilaku dengan bekal pengetahuan pengalaman dan keterampilan
praktis (knowledge and practice) jadi pedoman-pedoman, pengharapan
pengharapan dan nilai-nilai baik yang berasal dari pribadi maupun
kelompok berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan motivasi
kewirausahaan.
2.8. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang Efektifitas Sistem
Pelatihan Kewirausahaan dan Latar Belakang Instruktur terhadap
Pembentukan Sikap dan Motivasi Berwirausaha Mahasiswa pada
Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Al-Ghifari,
penulis mencoba mengkaji terlebih dahulu terhadap penelitian sejenis
yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Iwan Purwanto dalam tesisnya yang berjudul “Pengaruh Pelatihan
Kerja Industri terhadap Sikap Kewirausahaan” (2002:120-124) yang
penelitiannya dilakukan terhadap siswa SMK N 2 Majalengka
menyebutkan bahwa :
1. Pembentukan sikap kewirausahaan pada penelitiannaya adalah merupakan proses pembelajaran, dan sebagai hasil pembelajaran yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengsn lingkungan kewirausahaan yang sesungguhnya sebagai lingkungan proses pembelajaran pelatihan kerja industri, untuk mencapai keberhasilan ini diperlukan berbagai komponen pembelajaran (latihan) harus dilaksanakan dengan baik yaitu : tujuan, bahan ajar, metoda, alat, sumber serta evaluasi pembelajaran.
60
2. Pembentukan sikap kewirausahaan pada pelatihan kerja industri salah satunya dipengaruhi oleh instruktur yang mampu membimbing siswa, memiliki kemampuan, pengetahuan dan keterampilan dengan baik serta didukung oleh sikap keteladanan antara lain disiplin, kerja keras, prestatif, tabah, tekun, kreatif dan inovatif serta memiliki kewibawaan.
3. Sikap kewirausahaan pada siswa SMK N 2 Majalengka salah
satunya dapat dibentuk melalui proses interaksi dengan lingkungan industri sebagai salah satu tempat proses pembelajaran pelatihan kerja industri, untuk mencapai keberhasilan itu diperlukan lingkungan industri yang kondusif
4. Kewirausahaan merupakan bagian dari ilmu sosial yang bisa
dipelajari, serta pemahamannya dapat dipandang dari berbagai aspek yaitu aspek ekonomi, psikologi, prilaku, dan sosiologi. Selanjutnya pendidikan IPS memeliki tujuan untuk menjadikan siswa sebagai warga negara yang baik yang mampu memahami lingkungan sosial yaitu dengan mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan, sedangkan keterhubungan dengan PIPS dengan pelatihan kerja industri dapat dilihat dari tujuan kerja industri yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan pengetahuan keterampilan serta sikap melalui proses pembelajaran dan interaksi dengan lingkungan industri.
Yudith Dwi Astuty dalam tesisnya yang berjudul “Hubungan Antara
Pelatihan Kewirausahaan Berbasis Kompetensi dengan Sikap
Kewirausahaan” (2003 : 125-127) yang penelitiannya dilakukan terhadap
mahasiswa Program D III Manajemen Bisnis IKOPIN menyebutkan
bahwa:
1. Pelatihan kewirausahaan bebasis kompetensi merupakan salah satu bagian terpenting untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan dan sikap kewirausahaan mahasiswa artinya untuk mencapai tujuan yang diharapkan diperlukan berbagai komponen pembelajaran yang mendukung aktivitas kegiatan dalam pelatihan seperti : tujuan, materi, sarana dan prasarana, serta evaluasi pembelajaran.
2. Instruktur merupakan elemen penting pada proses pembelajaran
pelatihan kewirausahaan bebasis kompetensi, kemampuan yang dimilkki oleh instruktur mempunyai pengaruh yang cukup berarti bagi pembentukan sikapkewirausahaan mahasiswa, dalam hal ini instruktur tidak hanya tahu bagaimana cara memberikan materi
61
pada mahasiswa tetapi juga mampu memotivasi perta, menjalin komunikasi, menguasai metode dan strategi pembelajaran serta menguasai sebuah evaluasi. Selain itu instruktur juga diharaqpkan memiliki sikap keteladanan seperti : disiplin, kerja keras, telaten, tabah, tekun, krestif, dan inovatif serta berwibawa.
3. terdapat hubungan yang positif antara pelatihan kewirausahaan
berbasis kompetensi dengan sikap kewirausahaan. Hasil uji korellasi kendalls menunjukan bahwa hubungan antara pelatihan kewirausahaan berbasis kompetensi dengan sikap kewirausahaan memiliki tingkat korellasi yang kuat. Hal ini ditunjukan dengan 0.603 sedangkan melalui uji signifakansi diperoleh angka 0.000, oleh karena angka tersebut dibawah 0.05 maka H₀ ditolak, dengan demikian terdapat hubungan yang signifikan (positif) antara pelatihan kewirausahaan berbasis kompetensi dengan sikap kewirausahaan.
4. Terdapat hubungan yang positif antara kemampuan instruktur
pelatihan dengan sikap mkewirausahaan. Hasil uji korelasi Kendalls menunjukan bahwa hubungan antara kemampuan instruktur pelatihan dengan sikap kewirausahaan mahasiswa memiliki tingkst korelasi yang sedang yaitu 0.415 sedangkan uji signifikansi yang dipoeroleh adalah 0.005 karena angka tersebut dibaw ah 0.05 maka H₀ ditolak, jadi hipotesis bahwa terdapat hubungan yang positif antara kemampuan instruktur pelatihan dengan sikap kewirausahaan dapat diterima.
5. Terdapat hubungan yang positif antara pelatihan kewirausahaan
berbasis kompetansi, kemampuan instruktur pelatihan, dengan sikap kewirausahaan. Hasil uji korelasi kendalls tau menunjukan hubungan antara pelatihan kewirausahaan berbasis kompetensi, kemampuan instruktur pelatihan dengan sikap kewirausahaan memilki keberartian yang nyata (signifikan) dengan tingkat korelasi yang sedang yaitu 0.445 sedasngkan uji signifikansi yang diperoleh adalah 0.000 oleh karena angka tersebut berada diba wah 0.05 maka H₀ ditolak. Jadi hipotesis bahwa terdapat hubungan yang positif antara pelatihan kewirausahaan, kemampuan instruktur pelatihan dengan sikap kewirausahaan dapat diterima.
Hasil kajian terhadap penelitian terdahulu tersebut diharapkan akan
memberikan gambaran awal terhadap penelitian yang akan dilakukan
oleh penulis.