hubungan antara pola asuh orangtua dengan konsep diri siswa kelas ii sma kristen 1 salatiga
DESCRIPTION
skripsiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Prinsip bimbingan konseling yang diselenggarakan di Sekolah berupa bantuan dalam
rangka menemukan potensi pribadi. Hal ini dimaksudkan untuk membantu peserta didik
mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri terutama yang berkaitan dengan beberapa
aspek kepribadiannya, serta menerimanya secara positif dan dinamis sebagai modal
pengembangan diri lebih lanjut, terutama pengembangan kerpibadiannya. Secara ideal
sebenarnya pihak sekolah dalam hal ini guru BK menindaklanjutinya dengan berbagai
bantuan layanan untuk pengembangan diri peserta didik, seperti layanan pengenalan kondisi
lingkungan, untuk penyesuaian diri, layanan perencanaan masa depan siswa dalam rangka
membantu peserta didik untuk mengambil keputusan tentang masa depan dirinya sendiri, baik
di bidang pendidikan, karier, maupun budaya/keluarga/kemasyarakatan (Prayitno. 1999).
Berdasarkan hakekat keberadaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah-
sekolah tersebut dapat diidentifikasi dua komponen yaitu: (a) adanya peranan berbagai
layanan bantuan, dan (b) seharusnya ada tindak lanjutnya berupa layanan pengembangan
potensi diri/individu peserta didik berdasarkan hasil Tes kepribadian tersebut untuk
pemanfaatan pengembangannya secara optimal, dalam hal ini peningkatan.
Salah satu dimensi yang penting dalam kepribadian adalah konsep diri yaitu sebagai
salah satu faktor yang mempengaruhi bagaimana seseorang bersikap dan berperilaku. Jika
akan memandang diri sendiri tidak mampu, tidak berdaya dan hal negatif lainnya, akan
mempengaruhi diri sendiri dalam berusaha (Wahyurini & Mahsum, 2003). Selanjutnya
konsep diri didefinisikan sebagai semua perasaan dan pemikiran seseorang mengenai diri
sendiri, yang meliputi kemampuan, karakter diri, sikap, tujuan hidup, kebutuhan dan
penampilan diri.
Rini (2002) mengatakan bahwa konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak
masa perkembangan seseorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman
dan pola asuh orang tua turut memberi pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang
terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan mengembangkan konsep diri
dan pemikiran yang positif serta menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan
mengundang pertanyaan pada anak dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup
berharga untuk dikasihi, disayangi. Semua ini akibat kekurangan yang ada padanya sehingga
orang tua tidak menyayangi.
Rosenberg & Thompson (dalam Yenas, 2002) mengemukakan konsep diri
berkembang dari interaksi seseorang dengan orang yang berpengaruh dalam kehidupannya,
apakah itu orang tua, guru atau teman. Konsep diri muncul dari pengalaman hidupnya,
sebagai contoh orang tua yang masa bodoh atau memiliki harapan yang tak rasionalterhadap
anaknya dapat membuat anak memiliki konsep diri yang kurang.
Hasil penelitian Nova (http.//www.psikologi-untar.com/abstrak/tampil.php)
menunjukkan bahwa konsep diri remaja obesitas mengalami pola asuh orang tua yang
demokratik lebih tinggi dibandingkan dengan yang otoriter. Konsep diri remaja obesitas yang
mengalami pola asuh orang tua yang demokratik lebih tinggi dibandingkan dengan yang
permisif, dan tidak ada perbedaan konsep diri remaja obesitas yang mengalami pola asuh
yang otoriter dan permisif. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hutabarat (2001)
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua tipe
demokratik dengan harga diri dan ada hubungan yang signifikan antara pola asuh tipe
pengabaian dengan harga diri. Menurut Rakhmat (2000) harga diri merupakan komponen
afektif dari konsep diri, jadi ada hubungan yang positif antara konsep diri dengan pola asuh
orang tua.
Robert Agnew (1985) bahwa pengaruh negatif yang timbul jika orang tua
menggunakan hubungan badan yang tidak konsisten terhadap anak, adalah remaja yang
semakin menjadi. Michaela Lifshitz (1978) menyatakan bahwa remaja yang berasal dari
keluarga kacau (gagal) lebih banyak memiliki konsep diri negatif, lebih banyak mengalami
kesulitan dalam hubungan sosial, lebih ekstrim mengekspreasikan perasaan, lebih penakut,
dan lebih sulit mengontrol jasmaninya daripada remaja dari keluarga utuh. Dua pernyataan
tersebut dikutip dari Scochib (1998).
Pada tanggal Agustus 2014 penulis melakukan wawancara kepada guru BK di SMA
Kristen 1 Salatiga. Dari hasil wawancara diperoleh gambaran ditemukan siswa yang memiliki
konsep diri positif yaitu siswa yang penuh optimis, yakin akan kemampuannya mengatasi
masalah dapat menerima diri kelebihan, kekurangannya dan mempunyai sikap yang positif
terhadap kegagalan yang dialaminya, sedangkan orang yang mempunyai konsep diri negatif
akan merasa kurang percaya diri, pesimis, tidak yakin akan kemampuannya dalam mengatasi
masalah dan mempunyai sikap negatif terhadap kegagalan yang dialaminya. Konsep diri
sendiri diperoleh individu dari hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan
refleksi dari “diri sendiri” yang diperoleh dari orang-orang yang dekat dengan dirinya, dalam
hal ini yang menjadi orang terdekat adalah keluarga (orang tua) oleh sebab itu baik atau
buruknya konsep diri seseorang dipengarungu oleh keluarga(orang tua).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis ingin meneliti adanya hubungan yang
signifikan antara pola asuh orang tua dengan konsep diri siswa kelas II di SMA Kristen 1
Salatiga.
1.2. Rumusan Masalah
Dari apa yang telah dipaparkan diambil perumusan masalah sebagai berikut :
a. Adakah hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan konsep diri siswa
kelas II SMA Kristen 1 Salatiga.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan peneilitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui apakah ada Hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua
dengan konsep diri siswa kelas II SMA Kristen 1 Salatiga.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan Praktis. Manfaat
teoritik, dapat memberi sumbangan ilmu pengetahuan (pendidikan), yaitu sumbangan
informasi tentang hubungan antara konsep diri dengan pola asuh orang tua. Sedangkan
manfaat praktis penelitihan ini dapat memberikan masukan atau informasi bagi guru BK
disekolahan tentang adanya hubungan yang positif antara konsep diri dengan pola asuh orang
tua.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Konsep diri
Berikut ini akan diuraikan beberapa landasan teori tentang konsep diri, dan pola asuh
yang menjadi dasar/landasan dalam penelitian ini.
2.1.1. Pengertian Konsep Diri
Banyak para ahli yang mengartikan konsep diri dengan penekanannya masing-masing.
William D. Brooks (dalam Rahmat, 2000) mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan
tentang totalitas psikis, sosial dan fisik tentang dirinya yang berasal dari pengalaman-
pengalaman dan interaksinya dengan orang lain. Konsep diri meliputi apa yang kita pikirkan
dan apa yang kita rasakan tentang diri kita sendiri. Komponen konsep diri antara lain: 1)
Komponen kognitif yang disebut juga citra diri (Self Image), komponen ini berhubungan
dengan pikiran. Citra diri (Self Image) ini meliputi: kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik
fisik, tujuan hidup, kedudukan dan peran sosial, kesukaan orang lain pada dirinya. 2)
Komponen afektif yang sering disebut juga harga diri (Self Esteem), komponen ini
berhubungan dengan perasaan. Harga diri (Self Esteem) meliputi: perasaan, penyesuaian diri,
penerimaan diri, penghargaan, pujian.
Menurut Rini (2000) konsep diri secara umum sebagai keyakinan, pandangan, atau
penelitian seseorang terhadap dirinya. Pengalaman tersebut merupakan hasil eksploirasi
individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi dari “diri sendiri” yang diterima dari
orang-orang dekat dengan dirinya. Konsep diri merupakan gambaran mental diri kita sendiri
yang terdiri atas pengetahuan tentang diri kita sendiri, pengetahuan tentang diri kita adalah
informasi yang kita miliki tentang diri sendiri, harapan adalah gagasan tentang kemungkinan
apa yang individu inginkan dalam hidup ini. (Hidayat & Utamadi, 2002) –
www.kompas.com. Taylor, et al; 1977, menyebutkan bahwa konsep diri bukan hanya sekedar
gambaran diskriptif, tetapi juga penelitian seseorang tentang diri sendiri. Jadi konsep diri
meliputi apa yang seseorang rasakan tentang dirinya. (“all you think and feel about you, the
entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself”). Sedangkan menurut Susilo,
B (1992), konsep diri atau self concept adalah persepsi individu tentang dirinya sendiri yang
muncul akibat interaksinya dengan lingkungan dan mempengaruhi berbagai perilaku
individu.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka penulis mengemukakan
bahwa konsep diri adalah pandangan dan penilitian seseorang terhadap diri sendiri baik
secara fisik, sosial maupun psikologis sebagai hasil interaksi dengan orang lain atau
lingkungannya.
2.1.2. Konsep Diri Positif dan Konsep Diri Negatif
Seseorang dapat mempunyai konsep diri yang positif atau negatif. Konsep diri positif
bukanlah berarti kebanggaan yang besar terhadap diri sendiri, tetapi lebih berupa penerimaan
atas diri kita apa adanya, baik kelebihan maupun kekuragan yang kita miliki sehingga dapat
menerima diri sendiri juga orang lain. konsep diri negatif dapat berakibat pada
ketidakpercayaan diri sehingga merasa bahwa dirinya tidak dapat mencapai sesuatu apapun
yang berharga dalam hidup ini (Hidayati & Utamadi, G; 2002). Konsep diri tersebut dapat
diketahui dari tanda-tanda atau ciri yang ada pada diri seseorang tersebut. Broiks, W.D. dan
Emmert, P (1976), mengemukakan bahwa ada lima tanda orang yang memiliki konsep diri
negatif, yaitu : pertama ia peka terhadap kritik, merupakan orang yang sangat tidak tahan
kritik yang diterimanya dan mudah marah atua naik pitam. Bagi orang ini, koreksi seringkali
dipersepsikan sebagi usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Dalam berkomunikasi, orang
yang memiliki konsep diri yang negatif cenderung menghindari dialog yang terbuka, dan
bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai justifikasi atau logika yang keliru.
Kedua orang yang memiliki konsep diri yang negatif responsif sekali terhadap pujian.
Meskipun ia berpura-pura menghidari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan
antuasiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang-orang seperti ini, segala macam
embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya. Ketiga adalah sikap
hiperkritis. Bersamaan dengan kesenangannya terhadap pujian, merekapun bersikap
hiperkritis terhada orang lain. ia selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apapun dan
siapapun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau
pengakuan pada kelebihan orang lain. keempat, orang yang konsep dirinya negatif cenderung
merasa tidak disenangi orang lain dan merasa tidak diperhatikan. Oleh karena itu ia bereaksi
kepada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban
persahabata. Ia tidak pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya
sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres. Kelima, orang konsep dirinya negatif
bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing
dengan orang lain dalam membuat prestasi. Menganggap tidak akan berdaya melawan
persaingan yang merugikan dirinya.
Sedangkan orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal
sebagai berikut:
- Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah
- ia merasa setara dengan orang lain
- Ia menerima pujian tanpa rasa malu
- Ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan
perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.
- Ia mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek
kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
Sedangkan Hamachek, D.E, (Rahmad. J. 2000) menyebutkan 11 ciri orang
yang mempunyai konsep diri yang positif adalah sebagai berikut:
- Ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia memepertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat.
- Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.
- Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi esok, apa yang terjadi waktu lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang.
- Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran.
- Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya.
- Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.
- Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa rasa bersalah.
- Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.- Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai
dorongan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.
- Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu luang.
- Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain.
Dari pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa konsep diri yang positif memiliki
peranan penting dalam kehidupan sosial kita agar didalam bergaul kita bisa bertindak
berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa salah.
Menurut Rini, J.F (2002) seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia
menyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa,
tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai, dan kehilangan daya tarik
terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik,
terhadap kehidupannya dan kesempatan yang dihadapinya. Sedangkan seseorang dengan
konsep diri positif, akan terlihat optimistik, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif
terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan
dipandang sebagai kematian, tetapi lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran
berharga untuk melangkah kedepan. Orang dengan konsep diri positif akan mampu untuk
menghargai dirinya yang dapat dilakukan demi keberhasilan.
Menurut penulis, orang yang mempunyai konsep diri positif lebih percaya diri, penuh
optimis, yakin akan kemampuannya mengatasi masalah dapat menerima diri kelebihan,
kekurangannya dan mempunyai sikap yang positif terhadap kegagalan yang dialaminya,
sedangkan orang yang mempunyai konsep diri negatif akan merasa kurang percaya diri,
pesimis, tidak yakin akan kemampuannya dalam mengatasi masalah dan mempunyai sikap
negatif terhadap kegagalan yang dialaminya.
Konsep diri adalah persepsi individu tentang dirinya sendiri yang muncul akibat
interaksinya dengan lingkungan dan mempengaruhi berbagai perilaku individu (Susilo, B.
1992). Sedangkan Hasbiansyah, O. (1987) dalam Majalah Anda, berisi 132 tahun 1987,
konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Pandangan seseorang
tentang dirinya bisa bersifat psikologis, sosial dan fisis. Konsep diri merupakan semua
perasaan dan pemikiran seseorang mengenai dirinya sendiri, hal ini meliputi kemampuan diri,
sikap, tujuan hidup, kebutuhan, dan penampilan diri (Wahyurini dan Mashum, 2003).
Calhoun (1995) mendefinisikan konsep diri adalah pandangan diri adalah tentang
anda sendiri, yang memiliki tiga dimensi, yaitu pengetahuan anda tentang anda sendiri (apa
yang kita ketahui tentang sendiri), pengharapan diri anda tentang diri anda (kita mau
menjadi apa di masa yang akan datang) dan penilaian tentang diri anda sendiri (saya dapat
menjadi apa dan saya seharusnya menjadi apa).
Pendapat tersebut tidak jauh beda dengan apa yang diungkapkan oleh Marsh (1990)
yang mendefinisikan konsep diri sebagai gambaran mental diri sendiri yang terdiri atas
pengetahuan, harapan dan penilaian tentang diri sendiri. Pengetahuan ialah informasi yang
dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri, harapan ialah gagasan tentang apa yang individu
inginkan dalam hidup ini, penilaian adalah pengukuran diri atas kondis ideal yang seharusnya
terjadi pada diri sendiri. Sedangkan Soetoe (1982) berpendapat bahwa konsep diri serangkian
kesimpulan yang diperoleh seserang mengenai dirinya berdasarkan pengalaman, baik secara
lansung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, misalkan seorang anak mengetahui
bahwa ialah yang terkuat (secara fisik) diantara teman-temannya di sekolah, karena setiap
dalam perlombaan dan pertandingan memerlukan kekuatan fisik selalu unggul. Sedangkan
yang secara tidak langsung, misalkan guru selalu mengatakan bahwa si A lemah dalam
matematika, A menerima hal itu sebagai konsep yang dapat dipercaya dan ia menambahkan
“gelar” itu pada konsep dirinya dengan berkata ”saya tidak begitu pandai dalam Matematika
(kedua pernyataan tersebut dikutip oleh Pasaribu, 2004).
Rini (2002) mendefinisikan konsep diri secara umum sebagai keyakian, pandangan
atau penilaian seseorang terhadap dirinya. seseorang dikatakan mempunyai konsep diri
negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat
berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan
daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap
pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Sebaliknya seseorang
dengan konsep diri positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap
positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan
dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran
berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri positif akan mampu
menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan
di masa akan datang.
Burns (1993) berpendapat bahwa suatu konsep diri yang positif maka dapat
disamakan dengan evaluasi diri yang positif, penghargaan diri yang positif, perasaan harga
diri yang positif, penerimaan diri yang positif, konsep diri yang negatif menjadi sinonim
dengan evaluasi diri yang negatif, membenci diri, perasaan rendah diri dan tiadanya perasaan
yang menghargai pribadi dan penerimaan diri.
Berdasarkan beberapa definisi dari ahli yang tertulis di atas, maka penulis
mengemukakan bahwa konsep diri adalah pandangan individu terhadap dirinya sendiri baik
itu psikologi, fisik maupun sosial yang mengandung pengetahuan, harapan dan penilaian
tentang dirinya sendiri dan pandangan trsebut diperoleh dari interaksi dengan lingkungannya.
2.1.3. Unsur-unsur Konsep Diri
Beberapa unsur dalam konsep diri menurut Wahyurini dan Mashum (2003) antara
lain :
1. Penilaian diri merupakan pandangan diri kita terhadap : a. Pengendalian keinginan dan dorongan-dorongan dalam diri. Bagaimana kita
mengetahui dan mengendalikan dorongan, kebutuhan dan perasaan-perasaan dalam diri kita.
b. Suasana hati yang sedang kita hayati seperti bahagia, sedih, cemas. Keadaan ini akan mempengaruhi konsep diri kita positif atau negatif.
c. Bayangan subyektif terhadapat kondisi tubuh kita. Konsep diri yang positif akan miliki kalau kita merasa puas (menerima) keadaan fisik kita. Bila sebaliknya yang terjadi, yaitu jikalau kita tidak merasa puas (tidak menerima) keadaan, maka konsep diri kita juga negatif atau kita jadi meimiliki perasaan rendah diri.
2. Penilaian sosial merupakan evaluasi terhadap bagaimana kita menerimaa penilaian lingkungan sosial pada diri kita. Penilaian sosial terhadap diri kita yang cerdas, supel akan mampu meningkatkan konsep diri dan kepercayaan diri kita.
3. Konsep lain yang terdapat dalam pengertian konsep diri adalah self image atau citra diri, yaitu merupakan gambaran :
a. Siapa saya ; yaitu bagaimana menilai keadaan pribadi seperti tingkat kecerdasan, status sosial ekonomi keluarga atau peran lingkungan sosial kita.
b. Saya ingin jadi apa ; kita memiliki harapan-harapan dan cita-cita ideal yang ingin dicapai yang cenderung tidak realistis. Bayang-bayang kita mengenai ingin jadi apa kita nantinya, tanpa disadari sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh ideal yang menjadi idola, baik itu di lingkungan kita atau tokoh fantasi kita.
c. Bagaimana orang lain memandang saya ; pertanyaan ini menunjukkan pda perasaan keberartian diri kita bagi lingkungan sosial maupun bagi diri kita sendiri.
Dari pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa ada 3 unsur penting dalam konsep diri
yaitu: 1. memiliki penilain diri yang merupakan pandangan tehadap diri kita, 2. Memiliki
penilai sosial, 3. Memiliki citra diri. Ketiga unsur tersebut sangat penting, dan ketiga unsur
itu tidak dapat dipisahkan satu sama lainya, karena ketiga unsur tersebut saling berkaitan dan
merupakan satu kesatuan.
Menurut Marsh (Pasaribu, 2004), konsep diri terdiri dari 11 aspek yang terbagi
menjadi tiga konsep diri akademik, tujuh konsep diri non akademik, dan satu konsep diri
secara umum. Secara rinci, semua hal itu akan dikemukakan di bawah ini.
1. Konsep Diri Akademik, terdiri dari : a. Matematika (Math)
Aspek ini termasuk dalam konsep diri akademik yang ditujukan untuk mengetahui kamampuan, kesukaan dan ketertarikannya terhadap Mata Pelajaran Matematika di sekolah.b. Bahasa (Verbal)
Aspek ini termasuk dalam konsep diri akademik yang bertujuan agar siswa dapat mengetahui sejauh mana penguasaan, kesenangan terhadap Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, membaca dan bertutur kata dengan orang lain. Burns (1993) berpendapat bahwa perkembangan bahasa membantu perkembangan dari konsep diri, karena penggunaan ‘me’, ‘he’, dan ‘them’ berguna untuk membedakan diri (self) dari orang-orang lainnya. Simbol-simbol bahasa juga membentuk dasar dari konsepsi-konsepsi dan evaluasi-evaluasi tentang diri, misalnya sedang sedih, merasa bahagia. Umpan balik dari orang – orang lain sering kali dari dalam bentuk verbal. Dengan perkataan lain, konsep diri dipahami di dalam hubungannya dengan bahasa dan perkembangannya dibuat mudah oleh bahasa. Pemakaian dan ketepatan kata-kata ganti yang bertanda mencerminkan kemampuan yang bertambah dari anak tersebut untuk memahami dirinya sendiri sebagai seorang individu dengan mempunyai perasaan, kebutuhan-kebutuhan dan sifat. c. Sekolah secara umum (General School)
Aspek ini termasuk dalam konsep diri akademik bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap, tingkah laku dan penyesuaian diri terhadap guru, teman, pelajaran dan lingkungan sekolah itu sendiri. Penyelidikan Alban Metcalfe (1978) dalam Burns (1993) menunjukkan bahwa adalah remaja yang masih muda dengan konsep diri yang tinggi yang mempunyai kemungkinan paling besar untuk gagal di dalam penyesuaian diri pada lingkungan sekolah yang berubah. Anak dengan konsep diri rendah kemungkinan besar juga untuk menjadi mudah terancam, lebih banyak lagi perhatian yang harus diberikan untuk memberikan dukungan dan persiapan yang lebih besar bagi peralihan ke sekolah menengah oleh guru-guru dari kedua tipe sekolah tersebut. Pada masa remaja bahwa guru-guru dan kelompok teman-teman sebaya mulai menggantikan orang tua sebagai sumber untuk informasi diri. Dengan pancaran keahlian mereka, otoritas dan evaluasi mereka, guru merupakan orang lain yang dihormati yang memberikan kepada konsep diri murid-murid mereka penguatan yang positif, netral dan yang negatif, dan menciptakan sebuah etos di dalam hubungan tersebut yang mungkin meningkatkan ataupun menurunkan prestasi akademis.
2. Konsep Diri Non Akademik. Hal ini terdiri dari : a. Penampilan Fisik (Phisical Apperiance)
Aspek ini termasuk dalam konsep diri Non Akademik yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana siswa menilai penampilan fisik dirinya, kekurangan dan kelebihan dan penampilan fisik yang dimiliki siswa. Burns (1993) mengemukakan bahwa
konsep diri pada mulanya adalah citra tubuh, sebuah gambaran yang dievaluasikan mengenai diri fisik. Dari fisik diterima sebagai unsur yang vital dari konsep diri oleh William James pada awal tahun 1980. Seperti anak wanita melakukan diet sampai tingkat yang berlebihan karena mereka percaya bahwa tubuh mereka kegemukan, walaupun pengamat-pengamat hanya menyaksikannya dan menggunakan pengukuran untuk membuktikan bahkan memiliki bintik-bintik di wajahnya ataupun memakai kaca mata dapat menjadi diperkuat sebagai cacat-cacat besar, tetapi memiliki cacat fisik mungkin dapat dipandang sebagai keadaan puncak yang mengarah kepada perasaan tidak puas dan penolakan dari diri fisik b. Kejujuran-Kepercayaan (Honesty – Trustworthiness)
Aspek ini termasuk dalam konsep diri Non Akademik yang bertujuan untuk mengetahui kejujuran dan kepercayaan siswa terhadap orang lain dan juga terhadap diri sendiri dalam segala hal yang dilakukan. Kepercayaan diri yang rendah tidak hanya dapat membawa ke arah kegagalan tetapi juga ke arah ketidakjujuran – suatu kemungkinan yang dinyatakan dalam suatu eksperimen yang dilakukan oleh Eliot Aronson dan David Mette (1968). Penelitian lain, Maracek Mette (1972) menunjukkan bahwa orang dengan harga diri rendah akan menolak penggunaan secara penuh kemampuan dasarnya, kemungkinan karena mereka tidak memandang tinggi sekali kemampuan dasarnya. Tetapi apa yang ingin dikemukakan penelitian ini adalah bahwa orang-orang seperti itu juga akan mengkompensasi, melalui ketidakjujuran, apa yang mereka rasa tidak akan meraka capai dengan kemampuan mereka. Hal ini menunjukkan selanjutnya bahwa rasa harga-diri dapat menjadi sebab utama terjadinya tingkah laku kriminal (Calhoun:1994). c. Kemampuan Fisik (Phisical Aliibitas)
Aspek ini termasuk dalam konsep diri Non Akademik yang bertujuan agar siswa dapat mengukur sampai dimana kemampuannya dalam melakukan hal yang berkaitan dengan fisiknya, seperti olah raga, menari.d. Stabilitas Emosional (Emotional Stability)
Aspek ini termasuk dalam konsep diri Non Akademik yang bertujuan untuk mengetahui, bagaimana siswa mengenal, mengendalikan dan menunjukkan emosinya dan segala situasi dan kondisi di sekelilingnya.
e. Hubungan dengan Orang Tua (Parent Relation) Aspek ini termasuk dalam konsep ini Non Akademik yang bertujuan untuk
mengetahui bagaimana hubungan antara siswa dengan orang tuanya selama ini terutama dalam komunikasi. Karena konsep diri ini berhubungan erat dengan nilai-nilai, harapan, dan perilaku yang diterima, maka nilai sistem, harapan dan perilaku yang paling awal berpengaruh adalah dari orang tua. Nilai sistem yang akan diserap anak adalah yang terjadi dalam pengalaman dan percakapan sehari-hari di dalam keluarga. Maier, dalam hal ini sangat menyoroti perubahan nilai sistem yang disodorkan oleh orang tua pada masa kini. Dikatakan bahwa diantara orang tua Kristenpun, nilai yang ditekankan lebih kepada materialisme, atletik atau olahraga, kepandaian intelektual, humanisme, penampilan (good looks), dari pada kharakter yang saleh (godly caharacter). Dengan demikian pujian-pujian yang diberikan oleh orang tua dalam membangun konsep diri anak yang bertumpu pada kemampuan intelektual dan bersifat fisik, dari kharakter dan kebiasaan yang baik dari anak, menghasilkan konsep diri yang lebih bernilai duniawi. Ini berarti bahwa orang tua lebih menginginkan anaknya dalam bidang intelektual dari pada kepatuhan seorang anak terhadap agama (http://www.kompas.com/kompascetak/0311/07/muda/673004.htm)
f. Hubungan dengan Teman Sejenis Kelamin (Same Sex Relation) Aspek ini termasuk dalam konsep diri Non Akademik yang bertujuan untuk
mengetahui bagaimana hubungan siswa terhadap teman sekolah maupun luar sekolah yang berjenis kelamin sama, apakah mudah bergaul atau tidak apakah mempunyai hubungan yang baik atau tidak dengan teman berjenis kelamin sama.
g. Hubungan dengan Teman Lawan Jenis Kelamin (Opposite-Sex Relation). Aspek ini termasuk dalam konsep diri Non Akademik yang bertujuan untuk
mengetahui bagaimana hubungan siswa terhadap teman sekolah maupun luar sekolah yang berjenis kelamin berbeda, apakah mudah bergaul atau tidak dan apakah mempunyai hubungan yang baik atau tidak dengan teman berjenis kelamin berbeda.
3. Konsep Diri Secara Umum Konsep diri ini terdiri aspek diri secara umum (General Self) ; aspek ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran umum diri siswa itu sendiri, bagaimana kepercayaan terhadap dirinya sendiri, kepuasan terhadap dirinya sendiri dan apa kekurangan serta kelebihan yang dimiliki dari siswa itu sendiri.
Kesimpulan yang didapat dari ahli diatas adalah bahwa konsep diri memiliki 11 aspek
yang dibagi manjadi 3 kategori, yaitu: konsep diri akademik, konsep diri non akademik dan
konsep diri umum, yang ketiganya memiliki fungsi masing-masing.
Burns (1993) mengkategorikan konsep diri sebagai berikut :
1. Karakterisik-karakteristik fisik, termasuk dalam penampilan secara umum, ukuran tubuh dan berat tubuh ; sosok dan bentuk tubuh, dan detail-detail dari kepala dan tungkai lengan.
2. Cara berpakaian, model rambut dan make-up. 3. Kesehatan dan kondisi fisik. 4. Benda-benda yang dipunyainya dan pemilikan. 5. Binatang peliharaan dan sikap-sikap terhadap mereka. 6. Rumah dan hubungan keluarga. 7. Olahraga, permainan dan hobi-hobi, berpartisipasi dan kemampuannya. 8. Sekolah dan pekerjaan sekolah-kemampuannya dan sikapnya. 9. Status intelektual atau kecerdasan. 10. Bakat khusus dan kemampuan khusus atau minat khusus. 11. Ciri kepribadian termauk di dalamnya temperamen, disposisi, ciri karakter, tendensi
emosional, dan lain-lainnya. 12. Sikap dan hubungan sosial. 13. Ide religius, minat religius, keyakinan dan praktek religius. 14. Pengelolaan peristiwa-peristiwa praktis kemandirian.
Kesimpulan yang didapat dari ahli diatas adalah konsep diri berhubungan erat dengan
keadaan orang itu sendiri dimana kebanyakan dipengaruhi dari fisik, seperti penampilan, cara
berpakain dan lain-lain.
2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Faktor yang mempengaruhi proses pembentukan konsep diri menurut Rini (2002)
adalah berupa :
1. Pola Asuh Orang Tua Pola asuh orang tua turut menjadi faktor signifikan dalam mempenaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai ; dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua tidak sayang.
2. Kegagalan Kegagalan yang terus-menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna.
3. Depresi Orang yang sedang mengalami depresi akan memiliki pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri. Segala situasi atau stimulus yang netral akan dipersepsi secara negatif.
4. Kritik InternalKritik diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi konsep diri
ada 4 yaitu: pola asuh orang tua, kegagalan, depresi dan kritik internal, dimana menurut
penulis pola asuh orang tualah yang berpengaruh penting dalam faktor yang mempengaruhi
konsep diri seseorang.
Sedangkan menurut Gunarso (2000) Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep
diri adalah :
1. Jenis kelamin. Dorongan biologis menyebabkan seseorang secara bawaan bertingkah laku, berpikir dan berperasaan yang berbeda antara jenis kelamin yang satu dengan yang lainnya.
2. Harapan-harapan. Stereotip sosial mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan harapan-harapan apa yang dipunyai seseorang remaja terhadap dirinya sendiri di mana harapan mereka terhadap dirinya sendiri itu merupakan cerminan dari harapan-harapan orang lain terhadap dirinya. Harapan-harapan ini penting untuk perkembangan konsep diri seorang remaja.
3. Suku bangsa. Suku minoritas pada umumnya memiliki konsep diri yang cenderung lebih negatif dari pada suku atau kelompok yang bukan minoritas. Dalam hal ini bukan hanya menyangkut suku bangsa saja melainkan kelompok minoritas lainnya, seperti sekelompok anak-anak cacat, dan kelompok anak-anak ekonomi lemah.
4. Nama dan pakaian. Kedua hal ini umumnya dianggap sebagai faktor yang kurang penting dibandingkan faktor-faktor lainnya, tetapi nyatanya hal ini mempunyai pengaauh yang cukup dalam perkembangan konsep diri seorang remaja.
Kesimpulan yang didapat dari ahli diatas, bahwa yang mempengaruhi konsep
diri adalah jenis kelamin, harapan-harapan, suku bangsa, dan nama dan pakaian.
Dimana keempat bagian tersebut tidak bisa dipisakan dari konsep diri.
Konsep diri anak juga dipengaruhi oleh penggolongan jenis kelamin dan
identitas sejak masa kanak-kanak awal seorang telah dipengaruhi oleh pengertian
penggolongan jenis kelamin, harapan sosial dan pemakaian perilaku yang berbeda
antara pria dan wanita. Dengan demikian anak sejak awal mulai mengidentifikasikan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai harapan dan pola perilaku yang diterima dari
lingkungan, khususya orang tua.
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/07/muda/673004.htm).
2.2. Pola Asuh Orang Tua
2.2.1. Pengertian Pola Asuh
Pada dasarnya setiap manusia yang dilahirkan ke dunia memiliki sifat-sifat bawaan
yang tidak jauh dari kedua orang tuanya. Selain sifat bawaan manusia juga dibentuk oleh
lingkungan dimana ia tinggal. Ketika manusia lahir kedunia pertama-tama yang ia mampu
lakukan hanyalah tangisan semata. Kemudian semakin berjalannya waktu iapun bertumbuh,
namun dalam pertumbuhan itu bukan berarti lepas dari asuhan dan bimbingan orang tua.
Tetapi justru pada usia 0 (nol) tahun hingga pada batas waktu tertentu anak akan bergantung
sepenuhnya pada orang tua. Dari mulai mandi makan dan segala kebutuhan yang ia butuhkan
semuanya tanpa kecuali ia bergantung pada orang tua terlebih pada ibu yang hampir
sepanjang waktu tercurah untuk memperhatikan anaknya tercinta.
Peletakan dasar pola asuh pertama yang diterapkan pada anak sangat berpengaruh
besar pada pertumbuhan pembentukan pribadi anak nantinya termasuk juga dalam
kedisiplinannya. Orang tua hendaklah memberikan kepercayaan, kepedulian dan perhatian
yang dibutuhkan oleh anak. Mengapa demikian? Karena anak bukanlah barang atau benda
yang dapat kita atur sedemikian rupa sesuai dengan kemauan hati kita tetapi anak adalah
wujud mahkluk hidup yang memiliki perasaan butuh diperhatikan dan dihargai atau
dimanusiakan sekalipun ia masih sangat kecil atau muda usia. Biasanya bagi kaum sibuk atau
orang tua yang berkarier kedua-duanya, anak lebih dipercayakan penuh pada tangan baby
sitter atau pembantu. Orang tua hanya sebagai sumber pemenuh kebutuhan sang anak tanpa
pernah berpikir apa yang sebenarnya dicari oleh si anak. Berangkat dari sinilah apabila
didikan yang diterapkan pada anak salah langkah cara penanganannya, maka runyamlah
karakter pribadi anak, yang diharapkan manis, berbudi, patuh baik dilingkungan rumah,
sekolah, taat pada agama dan orang tua, disiplin dapat berubah akan menjadi anak yang
agresif, pembangkang dan tidak berinisiatif.
Peran orang tua juga dituntut untuk dapat mendidik anak-anaknya untuk
mengembangkan disiplin diri yang berarti anak memiliki keteraturan diri berdasarkan acuan
nilai moral. Sehubungan dengan itu disiplin diri dibangun dari asimilasi dan penggabungan
nilai-nilai moral untuk diinternalisasi oleh subjek didik sebagai dasar-dasar untuk
mengarahkan perilakunya. (Wayson 1985)
Anak yang berdisiplin diri memiliki keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai
budaya, aturan-aturan pergaulan, pandangan hidup yang bermakna bagi dirinya sendiri,
masyarakat, bangsa dan negara. Artinya orang tua bertanggung jawab untuk mengupayakan
agar anak berdisiplin diri untuk melaksanakan hubungan dengan Tuhan sebagai sang
Pencipta, sesamanya, diri sendiri dan juga lingkungan alam serta mahluk hidup lainnya
berdasar nilai moral. Orang tua yang mampu berperilaku diatas, berarti mereka telah
mencerminkan nilai-nilai moral dan tanggung jawabnya sebagai orang tua
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi
anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang kehidupan, baik
agama maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk
mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat (Shochib, 1998).
Umi (1989) mendefinisikan pola asuh anak adalah cara bentuk atau strategi dalam
pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Pembentukan pribadi
anak yang positif tidak terlepas dari pola asuh anak yang diterapkan orang tua di dalam
keluarga. Orang tua sebagai kepala dalam keluarga mempunyai peranan penuh untuk
mengatur dan mendidik anak-anaknya. Meichati mendefinisikan pola asuh adalah perlakuan
orang tua dalam memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam
kehidupan sehari-hari. Dua pernyataan tersebut di atas dikutip dalam Hutabarat (2001).
Dari beberapa definisi tersebut di atas penulis mengemukakan pola asuh orang tua
adalah cara bentuk atau strategi dalam pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang tua
kepada anaknya, perlakuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan
dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari, serta orang tua dalam keluarga mempunyai
peranan penuh untuk mengatur dan mendidik anak-anaknya.
2.2.2. Tipe Pola Asuh Orang Tua
Terdapat beberapa pola sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak dan dampaknya
terhadap kepribadian anak (Hurlock, 1956;Schneiders, 1964;Lore, 1970 yang dikutip oleh
Shochib, 1998).
Tabel 2.2
Pola Perlakuan Orang Tua, Perilaku Orang Tua
Dan Profil Tingkah Laku Anak
Pola perlakuan orang
tua
Perilaku orang tua Profil tingkah laku
Anak
1. Overprotection (tidak
melindungi)
1. Kontak yang berlebihan dengan
anak.
2. Perawatan/pemberian bantuan
kepada anak yang terus-
menerus, meskipun anak sudah
mampu merawat dirinya sendiri.
3. Mengawasi kegiatan anak secara
berlebihan.
4. Memaksakan masalah anak.
1. Perasaan tidak aman
2. Agresif dan dengki
3. Mudah merasa gugup
4. Melarikan diri dari
kenyataan
5. Sangat tergantung
6. Ingin menjadi pusat
perhatian.
7. Bersikap menyerah.
8. Lemah dalam “ego
strengh”. Asprasi dan
toleransi terhadap frustasi.
9. Kurang mampu
mengendalikan emosi.
10. Menolak tanggung jawab.
11. Kurang percaya diri.
12. Mudah terpengaruh.
13. Peka terhadap kritik.
14. Bersikap “Yes men”
15. Egois/selfish.
16. Suka bertengkar.
17. Troublemaker.
18. Sulit dalam bergaul.
19. Mengalami “homesick”
2. Permissiveness
(pembolehan)
1. Memberi kebebasan untuk
berpikir dan berusaha.
2. Menerima gagasan/pendapat.
3. Membuat anak merasa diterima
dan merasa kuat.
4. Toleran dan memahami
kelemahan anak.
5. Cenderung lebih suka memberi
yang diminta anak daripada
menerima.
1. Pandai mencari jalan
keluar.
2. Dapat bekerjasama.
3. Percaya diri.
4. Penuntut dan tidak
sabaran.
3. Rejection
(penolakan)
1. Bersikap masa bodoh.
2. Bersikap kaku.
3. Kurang memperdulikan
kesejahteraan anak.
4. Menampilkan sikap permusuhan
dan dominasi terhadap anak.
1. Agresif (mudah marah,
gelisah, tidak patuh/keras
kepala, suka bertengkar
dan nakal).
2. Submissive (kurang dapat
mengerjakan tugas,
pemalu, suka
mengasingkan diri, mudah
tersinggung dan penakut).
3. Sulit bergaul.
4. Pendiam.
5. Sadis.
4. Acceptance
(Penerimaan)
1. Memberikan perhatian dan cinta
kasih kepada anak.
2. Menempatkan anak pada posisi
yang penting di dalam rumah.
3. Mengembangkan hubungan
yang hangat dengan anak.
4. Bersikap respek pada anak.
5. Mendorong anak untuk
menyatakan perasaan atau
pendapatnya.
6. Berkomunikasi dengan anak
secara terbuka dan mau
mendengarkan masalahnya.
1. Mau bekerjasama.
2. Bersahabat.
3. Loyal.
4. Emosinya stabil.
5. Ceria dan bersikap
optimis.
6. Mau menerima tanggung
jawab.
7. Jujur.
8. Dapat dipercaya.
9. Memiliki perencanaan
yang jelas untuk
mencapai masa depan.
10. Bersikap realistik
(memahami kekuatan dan
kelemahan dirinya secara
objektif).
5. Domination
(Dominasi)
Mendominasi anak 1. Bersikap sopan dan sangat
hati-hati.
2. Pemalu, penurut, inferior
dan mudah bingung.
3. Tidak dapat bekerjasama.
6. Submission
(penyerahan)
1. Senantiasa memberikan sesuatu
yang diminta anak.
2. Membiarkan anak berperilaku
semaunya di rumah.
1. Tidak patuh.
2. Tidak bertanggung jawab.
3. Agresif dan teledor/lalai.
4. Bersikap otoriter.
5. Terlalu percaya diri.
7. Punitieness Overdis
(Terlalu disiplin)
1. Mudah memberikan hukuman.
2. Menanamkan kedisiplinan
secara keras.
1. Impulsif.
2. Tidak bisa mengambil
keputusan.
3. Nakal.
4. Sikap bermusuhan atau
agresif.
Sumber : dari Schochib (1998).
Hurlock (1999) dalam Setiawan (2012) menyatakan ada tiga tipe cara yang digunakan
oleh orang tua dalam mendidik putra-putrinya, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis,
pola asuh permisif. Dalam penerapannya tidak bisa dibedakan secara tegas sehingga
kecenderungan pola asuh tertentu yang diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya.
Ketiga pola asuh tersebut sebagai berikut :
1. Pola Asuh OtoriterAdanya kontrol yang ketat dari orang tua, aturan dan batasan dari orang tua harus ditaati oleh anak, anak harus bertingkah sesuai aturan yang ditetapkan orang tua. Orang tua tidak memperhatikan pendapat anak. Apabila anak melanggar ketentuan yang telah digariskan oleh orang tua, anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan alasan atau penjelasan sebelum hukuman diterima anak.
2. Pola Asuh Permisif
Tidak ada bimbingan dan aturan dari orang tua, tidak ada tuntutan kepada anak, tidak ada pengendalian atau pengontrolan orang tua,anak harus belajar sendiri untuk berperilaku dalam lingkungan sosial. Tidak adanya hukuman terhadap anak. Meskipun melanggar peraturan dan tidak diberi ganjaran atau hadih bila berperilaku baik. Karena tidak ada kontrol dari orang tua, anak dapat berbuat sekehendak hatinya. Maka anak kurang respek terhadap orang tua, kurang menghargai apa yang diperbuat orang tua untuk anak. Anak yang diasuh dan dididik dengan pola asuh ini biasanya dapat proteksi yang berlebihan, sehingga apapun yang dilakukan anak dibiarkan oleh orang tua. Dengan demikian, perhatian serta hubungan orang tua dengan anak akan terganggu, karena tidak ada pengarahan atau informasi dari orang tua dengan anak terganggu, karena tidak ada pengarahan atau informasi dari orang tua, maka anak tidak akan mengerti apa yang sebaiknya dikerjakan dan mana yang sebaiknya ditinggalkan. Pola asuh seperti ini biasanya anak berperilaku sering melanggar norma-norma masyarakat karena itu akan terbentuk sikap penolakan dari lingkungan dan akibatnya kepercayaan diri goyah serta penghargaan pada diri sendiri kurang.
3. Pola Asuh DemokratisAturan dibuat oleh seluruh keluarga, orang tua memperhatikan pendapat anak, selalu mengadakan diskusi untuk mengambil keputusan. Anak mendapat kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan diberi kepercayaan. Pola asuh semacam ini baik digunakan dalam lingkungan pendidikan,bagaimana guru sebagai pendidik apabila siswa harus melakukan tugas tertentu. Orang tua atau guru memberikan penjelasan atau alasan perlunya hal tersebut dilakukan dan bila melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Hukuman yang diberikan berkaitan dengan perbuatannya dan berat ringannya hukuman tergantung pada pelanggarannya. Hadiah atau pujian diberikan oleh orang tua untuk perilaku yang diharapkan. Pada tipe ini hubungan antara anak dan orang tua harmonis, kontrol orang tua terhadap anaknya tidak berlebihan.
Dari pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa tipe pola asuh orang tua akan
berpengaruh pada konsep diri anak, dimana anak akan mencontoh apa yang sering orang tua
lakukan padanya dan dipraktikan dalam kehidupannya.
2.3. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dengan Konsep Diri
Di dalam proses perkembangannya, seorang anak membutuhkan teladan yang jelas
dari orangtuanya. Standar yang jelas dan yang diolakukan oleh orang tua, yang akan
membekali anak bahwa apa yang dilakukan adalah benar. Demikian juga untuk menemukan
konsep dirinya, anak membutuhkan figur seorang pemimpin. Figur seorang pemimpin yang
dimulai dari rumah akan sangat membantu anak untuk berkembang dengan sehat.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Reynold (1975) menyatakan bahwa anak yang
berhasil di sekolah adalah anak yang berlatar belakang dari keluarga yang berhubungan
akrab, penuh kasih sayang, dan menerapkan disiplin berdasarkan kecintaan. Robert, Agnew
(1985) bahwa pengaruh negatif yang timbul jika orang tua menggunakan hukuman badan
yang tidak konsisten terhadap anak, adalah kenakalan remaja yang semakin menjadi.
Michaela lifshitz (1978) menyatakan bahwa anak remaja yang berasal dari keluarga kacau
(gagal) lebih banyak memiliki konsep diri negatif, lebih banyak mengalami kesulitan dalam
hubungan sosial, lebih ekstrim mengekspresikan perasaan, lebih penakut, dan lebih sulit
mengontrol jasmaninya dari pada anak remaja dari keluarga utuh. Tiga pernyataan tersebut
dikutip dari Schochib, Moh (1998).
Hasil penelitian Nova (htp://www.psikologi-untar.com/abstrak/tampil.php)
menunjukkan bahwa konsep diri remaja obesitas mengalami pola asuh orang tua yang
demokratik lebih tinggi dibandingkan dengan yang otoriter. Konsep diri remaja obsitas yang
mengalami pola asuh orang tua yang demokratik lebih tinggi dibandingkan dengan yang
permisif, dan tidak ada perbedaan konsep diri remaja obesitas yang mengalami pola asuh
yang otoriter dan permisif. Laksmisari (http://www.psikologi-untar.com/abstrak/tampil.php)
meneliti 201 siswa SD bahwa ada perbedaan yang signifikan pada konsep diri anak usia (10
th – 12 th) yang mengalami pola pengasuhan ibu yang demokratik, otoruter, dan permisif.
Sedangkan penelitian yang diakukan oleh Hutabarat (2001) menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua tipe demokratik dengan harga diri dan
ada hubungan yang signifikan antara pola asuh tipe pengabaian dengan harga diri. Menurut
Rakhmat (2000) harga diri merupakan komponen afektif dari konsep diri, jadi ada hubungan
yang positif antara pola asuh orang tua dengan konsep diri.
Scott (1939) yang mempelajari 1.800 anak-anak remaja mencatat bahwa anak-anak
yang berasal dari kelurga di mana terdapat penerimaan, rasa saling percaya, dan kecocokan
diantara orang tua dan anak, lebih banyak penyesuaian dirinya, lebih mandiri dan
berpandangan lebih positif tentang diri mereka sendiri. Anak-anak yang berasal dari anggota
di mana terdapat ketidakcocokan di antara anggota-angota keluarga pada umumnya
kemampuan untuk menyesuaikan dirinya kurang. Behrens (1954) juga memperlihatkan gaya
pribadi orang tua dapat mempengaruhi konsep diri anak untuk menjadi lebih baik ataupun
lebih buruk dikutip dari Burns (1993).
Berdasarkan apa yang telah diungkapkan di atas penulis menyimpulkan bahwa pola
asuh orang tua memberi pengaruh yang besar terhadap konsep diri seseorang. Jadi tinggi
rendahnya konsep diri seseorang dipengaruhi oleh pola orang tua
2.4. Hipotesa
Hipotesa penelitian adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang
kebenarannya masih harus diuji secara empiris (Suryabrata 2003). Hipotesa yang diajukan
dalam penelitihan ini adalah: ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua
dengan konsep diri siswa kelas II SMA Kristen 1 Salatiga.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian korelasional, yaitu ingin mengetahui apakah
ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan konsep diri siswa kelas II SMA Kristen 1
Salatiga.
31. Populasi dan Sampel
Subyek penelitian ini adalah semua siswa kelas II SMA Kristen 1 Salatiga, yang
berjumlah keseluruhan 157 siswa sekaligus sebagai total sampel.
3.2. Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
Variabel bebas adalah himpunan sejumlah gejala yang memiliki berbagai aspek atau unsur
yang berfungsi untuk mempengaruhi atau menetukan munculnya variabel lain yang disebut
variabel terikat. Variabel terikat adalah himpunan sejumlah gejala yang memiliki sejumlah
aspek atau unsur di dalamnya yang berfungsi untuk menerima atau menyesuaikan diri
dengan kondisi variabel yang lain yang disebut bebas (Nawawi dan Martini, 1994). Di dalam
penelitian yang menjadi variabel bebas adalah pola asuh orangtua dan yang menjadi variabel
terikat adalah konsep diri.
1. Pola asuh orangtua adalah cara bentuk atau strategi dalam pendidikan keluarga yang
dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Pembentukan pribadi anak yang positif
tidak terlepas dari pola asuh anak yang diterapkan orang tua di dalam keluarga. Orang
tua sebagai kepala dalam keluarga mempunyai peranan penuh untuk mengatur dan
mendidik anak-anaknya.
2. Konsep diri adalah pandangan individu terhadap dirinya sendiri baik itu psikologi,
fisik maupun sosial yang mengandung pengetahuan, harapan dan penilaian tentang
dirinya sendiri dan pandangan tersebut diperoleh dari interaksinya dengan
lingkungannya. Dalam penelitian ini penulis mengukur konsep diri dari 3 aspek, yaitu
konsep diri akademik, non akademik dan konsep diri secara umum.
3.3. Pengukuran variabel
Konsep dari masing-masing variabel dijabarkan menjadi beberapa aspek, kemudian
dijabarkan lagi menjadi berapa indikator yang kemudian dikembangkan menjadi item-item
angket yang berjumlah 45 item untuk kuesioner/angket pola asuh orang tua dan 102 item
untuk kuesioner/angket konsep diri. Untuk mengukur pola asuh orang tua siswa SMA
menggunakan instrumen atau angket siswa yang disadur dari Yuliarti (2004) berdasarkan
teori dari Hurlock (1999) yang terdiri 45 item pertanyaan, sedangkan untuk mengukur konsep
diri siswa penulis menggunakan Self Concept Qoesionare II (SDQ) dari Marsh (1990),
Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Kisi-kisi Skala Pola Asuh Orang Tua
No Sub variabel
Indikator No item
1
Pola Asuh Otoriter
1. Orang tua cenderung bersifat kaku2. Orang tua memaksa kehendak3. Orang tua selalu mengatur4. Orang tua merasa selalu benar5. Orang suka menghukum6. Adanya kontrol yang ketat dari orang tua
1-16
2
Pola Asuh Permisif
1. Orang tua memberikan kebebasan penuh kepada anak
2. Anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab3. Orang tua menerima semua tindakan anak 4. Orang tua membiarkan semua tindakan anak5. Orang tua tidak pernah menghukum6. Orang tua kurang kontrol terhadap anak7. Orang tua kurang membimbing8. Orang tua kurang berkomunikasi dengan anak
17-30
3 1. Orang tua berdiskusi dengan anak
Pola Asuh Demokratis
2. Orang tua mendengarkan keluhan anak3. Orang tua memberi tanggapan 4. Pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan
bersama5. Keputusan orang tua dipertimbangkan anak6. Orang tua tidak bersifat kaku atau luwes
31-45
Prosedur pengisian instrument atau angket pola asuh orang tua sangatlah mudah dan
sederhana. Responden hanya diminta memilih jawaban SS untuk jawaban sangat setuju, S
untuk jawaban setuju, AS untuk jawaban agak setuju, KS untuk jawaban kurang setuju, TS
untuk jawaban tidak setuju, dan STS untuk jawaban sangat tidak setuju terhadap item-item
yang tercantum pada angket tersebut sesuai dengan keadaan.
Cara pemakaian dengan memberi skor 6 untuk jawaban SS, skor 5 untuk jawaban S, skor
4 untuk jawaban AS, skor 3 untuk jawaban KS, skor 2 untuk jawaban TS dan skor 1 untuk
jawaban STS.
Kisi-kisi Skala Penilaian Konsep Diri
No. Indikator Item Jumlah
1. Matematika 1,12,23,34,45,56,67,78,89,96 10
2. Bahasa 6,17,28,39,50,61,72,83,92,99 10
3. Sekolah secara umum 9,20,31,42,53,64,75,86,94,101 10
4. Penampilan fisik 2,13,24,35,46,57,68,79 8
5. Kejujuran-kepercayaan 4,15,26,37,48,59,70,81,91,98 10
6. Kemampuan fisik 5,16,27,38,49,60,71,82 8
7 Stabilitas emosional 7,18,29,40,51,62,73,84,93,100 10
8 Hubungan dengan orang tua 8,19,30,41,52,63,74,85 8
9 Hubungan dengan teman sejenis kelamin 10,21,22,32,43,44,54,55,65,76
,77,87,95,101,102
15
10 Hubungan dengan teman lawan jenis
kelamin
11,12,22,33,43,44,54,55,66,76
,77,88,102
13
11 Konsep diri secara umum 3,14,25,36,47,58,69,80,90,97 10
Alternatif jawaban dalam konsep diri adalah 6. Item tersebut terdiri dari item positif
dan item negatif. Item positif pada angket konsep diri adalah nomor : 1, 3, 5, 7, 9, 15, 17, 19,
21, 21, 23, 25, 27, 29, 31, 35, 37, 39, 40, 43, 44, 45, 47, 49, 51, 53, 57, 59, 61, 63, 65, 66, 67,
69, 71, 75, 79, 81, 83, 85, 87, 88, 89, 90, 93, 94, 98, 99, 102. Adapun penilaian pada item
positif adalah B : 6, HB : 5, AB : 4, AS : 3, HS : 2, S : 1. Item negatif pada angket konsep diri
adalah nomor : 2, 4, 6, 8, 10, 11, 12, 14, 16, 18, 2, 24, 26, 30, 32, 33, 34, 36, 38, 40, 42, 46,
48, 50, 52, 54, 55, 56, 58, 60, 62, 68, 70, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 80, 82, 84, 86, 91, 92, 95, 96,
97, 100, 101. Penilaian pada item negatif adalah sebagai berikut : B : 1, HB : 2, AB : 3, AS :
4, HS : 5, S : 6.
3.4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner yang terdiri dari 102 item untuk
mengukur konsep diri siwa, sedangkan untuk mengukur pola asuh orang tua menggunakan
skala pola asuh orang tua yang terdiri dari 45 item.
3.5. Tehnik Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan
Korelasi Spearman Rank. Korelasi antara pola asuh orang tua dengan konsep diri siswa akan
dianalisis menggunakan Korelasi Spearman Rank dengan bantuan program SPSS for
Windows versi 16.0.
.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1983. Prosedur Penelitian : Suara Pendekatan Praktis. Jakarta : PT.
Bina Aksara
Azwar, Saifudin. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Burns, R.B. 1993. Konsep Diri : Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku, Jakarta.
Arean.
Calhoun, James F., Acocella, James F., 1995. Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan
Kemanusiaan. Terjemahan : Satmoko, R.S., Semarang ; IKIP Semarang press.
Gunarso, S.D. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta : BPK. Gunung
Mulia.
Harbiansyah, O., 1987. Konsep Diri. Majalah Anda Edisi 132.
Hutabarat, M. T., 2001. Hubungan antara Pola Asuh dengan harga Diri Siswa SLTP Kristen
Satya Wacana Salatiga Tahun Ajaran 2000-2001. Skripsi, Salatiga; Universitas
Kristen Satya Wacana.
Nawawi, H. Hadari., Martini., 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Nova, C. Perbandingan Remaja Obesitas yang Mengalami Pola Asuh Orang Tua yang
Otoriter, Permisif, dan Demkrasi. Suatu Studi pada SMU IPEKA Tomang.
http://www.psikologi-untar.com/abstrak/tampil.php?id=65.
Pasaraibu, Diana M. 2004. Hubungan Konsep Diri dengan Prestasi Belajar Siswa SMA
Theresiana Salatiga. Skripsi. Salatiga ; Universitas Kristen Satya Wacana.
Rakhmat, J. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Rini, JF., 2000., Konsep Diri. http://www.e-psikologi.com/dewasa/1605023.htm.
Setiawan, Albertus H. 2012. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kemampuan Berfikir
Divergen Pada Siswa Kelas 4-5 Sekolah Dasar Di SDK Girisonta Karangjati Kab.
Semarang. Skripsi. Salatiga ; Universitas Kristen Satya Wacana.
Shochib. Moh. 1998. Pola Asuh Orang Tua : Dalam Membantu Anak Mengembangkan
Disiplin Diri. Jakarta : Rineka Cipta.
Sudjana, Nana., 1987. Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah : Makalah-Skripsi-Tesis-Disertasi.
Bandung : Sinar Baru.
Sudjono, Anas. 1987. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta : Rajawali Press.
Sugiono. 2009. Metode Penelitihan kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung: CV . Alfabeta.
Suryabrata, Sumadi. 2003. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Raja Grafindo Persada.
Susilo, B., 1992. Psikologi Perkembangan : Perspektif Sepanjang Hayat. Salatiga: FKIP
UKSW.
Yenas, Lucy, MY. G. 2002. Hubungan Antraa Konsep Diri dengan Intelegence Quotient
Siswa Kelas V SD I, II, Sidorejo Lor. Skripsi, Salatiga; Universitas Kristen Satya
Wacana.
Yusuf, Syamsu. 2002. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
ANGKET : KONSEP DIRI
Nama :
Kelas :
Usia :
Tanggal mengerjakan :
Jenis Kelamin :
Petunjuk Pengisian 1. Anda dimohon untuk menjawab setiap pertanyaan dengan bebas, jujur dan obyektif dan
tanpa prasangka.
2. Ada 102 item pertanyaan dalam angket ini. Untuk masing-masing pertanyaan tuliskan jawaban anda pada tempat yang telah disediakan atau tentukanlah pilihan anda dengan memberikan tanda chek (V) pada alternatif jawaban sebagai berikut :
S : Salah
HS : Hampir salah
AS : Agak salah
AB : Agak benar
HS : Hampir benar
B : Benar
3. Pernyataan yang bertanda ** hanya diisi oleh siswa laki-laki, sedang pertanyaan yang
bertanda * hanya diisi oleh siswi perempuan.
4. Tidak ada jawaban yang “benar” atau “salah”. Jadi pilihlah jawaban yang paling tepat untuk
menggambarkan anda sendiri.
*) Adaptasi Marsh, 1990
Terima kasih Atas kerjasama Anda !
S : Salah HS : Hampir salah AS : Agak salah AB : Agak benar HB : Hampir benar B : Benar
No. Pertanyaan S HS AS AB HB B
1. Matematika adalah Mata Pelajaran terbaik saya.
2. Tidak ada yang berpikir bahwa saya menarik.
3. Secara umum banyak hal yang saya banggakan.
4. Terkadang saya mengambil barang milik orang lain.
5. Saya menyukai olahraga, senam dan menari.
6. Saya sukar memahami pelajaran Bahasa Indonesia.
7. Saya terbiasa santai.
8. Orang tua saya biasanya tidak suka apa yang saya lakukan.
9. Teman-teman biasa meminta bantuan saya pada sebagian
besar mata pelajaran sekolah.
10. Saya sulit berteman dengan sesama jenis kelamin.
11. Orang atau lawan jenis yang saya sukai tak menyukai saya.
12. Saya sering membutuhkan bantuan dalam mata pelajaran
Matematika.
13. Wajah saya menarik.
14. Secara jujur saya tidak berguna.
15. Saya jujur.
16. Saya malas bila harus berolahraga atau melakukan kegiatan
fisik yang berat lainnya.
17. Saya menyukai pelajaran Bahasa Indonesia.
18. Saya terlalu khawatir.
19. Saya akbrab dengan orang tua saya.
20. Saya terlalu bodoh untuk diterima di Perguruan tinggi yang
bagus.
21** Saya mudah berteman dengan laki-laki.
22 * Saya mudah berteman dengan perempuan.
23 Saya menyukai pelajaran Matematika
24. Kebanyakan teman-teman saya lebih menarik dibandingkan
saya.
25. Banyak hal-hal dapat saya kerjakan.
26. Terkadang saya berbohong untuk menghindari masalah.
27. Saya mahir olah raga, senam, dan menari.
28. Saya mendapat nilai yang jelek untuk tes yang mengharuskan
saya banyak membaca.
29. Saya tidak mudah kecewa.
30. Sulit untuk berbicara dengan orang tua saya.
31. Jika saya bekerja keras, saya dapat menjadi salah satu siswa
terbaik.
32. Tak banyak teman sesama jenis kelamin yang menyukai saya.
33. Saya tidak populer diantara teman lawan jenis saya.
34. Saya sulit memahami hal yang berhubungan dengan pelajaran
Matematika.
35. Saya menarik.
S : Salah HS : Hampir salah AS : Agak salah AB : Agak benar HB : Hampir Benar B : Benar
No. Pertanyaan S HS AS AB HB B
36. Apa yang saya lakukan tidak pernah benar
37. Saya selalu berkata jujur.
38. Saya tidak begitu bisa dalam berolahraga, senam, dan menari.
39. Pelajaran Bahasa Indonesia mudah bagi saya.
40. Saya sering merasa depresi dan tertekan.
41. Orang tua saya memperlakukan saya dengan adil.
42. Sebagian besar nilai pelajaran saya jelek.
43 ** Saya populer diantara teman laki-laki.
44 * Saya populer diantara teman perempuan.
45. Saya suka belajar Matematika.
46. Saya benci penampilan saya.
47. Biasanya apa yang saya lakukan berhasil.
48. Bagi saya mencontek tidak apa-apa sepanjang tidak ketahuan.
49. Sayalebih baik dibandingkan teman-teman saya dalam hal
olahraga, senam dan menari.
50. Saya sulit memahami apa yang saya baca.
51. Orang lain l bih mudah merasa kecewa dibandingkan saya.
52. Saya sering beragumentasi dengan orang tua saya.
53. Saya cepat memahami sebagian besar mata pelajaran di
sekolah.
54 ** Saya tidak begitu akrab dengan teman laki-laki.
55 * Saya tidak begitu akrab dengan teman perempuan.
56 Nilai ulangan Matematika saya jelek.
57 Orang lain mengatakan saya menarik.
58. Tidak banyak hal yang dapat saya banggakan.
59. Kejujuran sangat penting bagi saya.
60. Saya mencoba tidak ikut dalam mata pelajaran olahraga,
kapanpun saya mau.
61. Bahasa Indonesia pelajaran terbaik saya.
62. Saya orang yang mudah gugup.
63. Orang tua saya memahami saya.
64. Saya bodoh pada sebagan besar mata pelajaran di sekolah.
65. Saya memiliki beberapa teman baik sesama jenis kelamin.
S : Salah HS : Hampir salah AS : Agak salah AB : Agak benar HB : Hampir Benar B : Benar
No. Pertanyaan S HS AS AB HB B
66. Saya memiliki banyak teman lawan jenis kelamin.
67. Saya mendapat nilai Matematika yang baik.
68. Saya jelek.
69. Saya dapat mengerjakan banyak hal sebaik orang lain.
70. Kadang saya berbuat curang.
71. Saya dapat berlari jarak jauh tanpa berhenti.
72. Saya benci membaca.
73. Saya sering merasa bingung.
74. Saya tidak menyukai orang tua saya sama sekali.
75. Saya dapat mengerjakan tes dengan baik di seluruh mata
pelajaran di sekolah.
76 ** Banyak teman laki-laki mahir dari saya.
77 * Banyak teman perempuan mahir dari saya.
78. Saya tidak pernah berkeinginan untuk mengambil les
tambahan pelajaran Matematika.
79. Tubuh saya menarik.
80. Saya merasa hidup saya sia-sia.
81. Ketika saya mengambil janji saya berusaha menepatinya.
82. Saya benci olahraga, senam dan menari.
83. Nilai saya bagus dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
84. Saya mudah sedih.
85. Orang tua saya sangat mencintai saya.
86. Saya bermasalahan di hmpir semua mata palajaran di sekolah.
87. Saya mudah berteman dengan teman sesama jenis.
88. Saya menarik perhatian bagi lawan jenis.
89. Nilai Matematika saya terlalu bagus.
90. Jika saya benar-benar berusaha, saya dapat melakukan segala
hal yang ingin saya lakukan.
91. Terkadang saya berbohong.
92. Saya sulit mengekspresikan diri melalui tulisan.
93. Saya orang yang berwatak tenang
94. Saya menguasai hampir semua mata pelajaran di sekolah.
95. Sedikit sekali teman saya yang sesama jenis kelamin.
96. Saya benci pelajaran Matematika.
97. Secara umum saya adalah orang yang gagal.
98. Orang-orang dapat mengandalkan saya untuk mengerjakan hal
yang benar.
99. Saya dapat memahami pelajaran Bahasa Indonesia.
100. Saya mengkhawatirkan banyak hal.
101. Kebanyakan mata pelajaran di sekolah terlalu sulit bagi saya.
102. Saya menghabiskan waktu senggang dengan teman sesama
jenis.
ANGKET : POLA ASUH ORANG TUA
Nama :
Kelas :
Usia :
Tanggal mengerjakan :
Jenis Kelamin :
Petunjuk Pengisian
Berikut ini ada beberapa pernyataan mengenai sikap orangtua. Anda diminta untuk memilih salah satu dari sikap orangtua yang paling sesuai atau paling mendekati dengan kehidupan anda sehari-hari, dengan cara memberikan tanda centang (√). Dalam hal ini tidak ada penilaian baik dan buruk, juga tidak ada benar dan salah. Usahakan agar tidak ada satupun pernyataan yang terlewatkan. Kami sangat menghargai kejujuran dan keterbukaan anda.
SS : Sangat Setuju S : Setuju AS : Agak Setuju KS : Kurang Setuju TS : Tidak Setuju STS : Sangat Tidak Setuju
No Pertanyaan Jawaban
SS S AS KS TS STS1 Jika saya tidak naik kelas, orangtua akan
menghukum2 Dalam segala hal orangtua mempunyai tuntutan
tinggi
3 Saya harus mengerjakan perintah orangtua walau memiliki kesibukan lain
4 Orang tua memilih siapa yang berhak menjadi teman saya
5 Orang tua akan menghukum saya bila pekerjaan yang ditugaskan tidak beres
6 Orang tua kurang kominikatif dengan anak
7 Bila saya mengambil barang dan tidak mengembalikan ketempat semula, maka orang tua akan marah
8 Perintah orangtua harus ditaati sepenuhnya
9 Bila saya tidak setuju dengan pendapat orangtua, saya dianggap lancang
10 Bila saya lalai mengerjakan tugas orangtua marah dan tidak membantu
11 Bila esok akan tes, orangtua mengontrol jam belajar dengan ketat
12 Bila saya bertengkar dengan adik, orangtua akan menyalakan saya dan tidak mau tahu alasanya
13 Bila saya pergi mengerjakan tugas kelompok orangtua tidak mengijinkan
14 Apapun yang menurut orangtua baik maka saya harus melakukanya
15 Saya tidak memiliki hak untuk berpendapat dirumah
16 Bila saya sakit orangtua tidak mau tahu
17 Orangtua menyetujui apa yang saya kerjakan
18 Bila saya dalam kesusahan orangtua tidak mau membantu
19 Saya bebas berprilaku sesuai keinginan saya
20 Orangtua tidak pernah menuntut saya untuk ikut dalam organisasi
21 Jika saya melakukan kesalahan orangtua tidak pernah memarahi saya
22 Orangtua jarang berkomunikasi dengan anak
23 Bila saya mengalami kesulitan dibiarkan oleh orangtua
24 Bila saya berprestasi orangtua tidak pernah memberi pujian
25 Orangtua tidak pernah menuntut prestasi saya dan menerima apa adanya
26 Saya tidak pernah dimarahi orangtua
27 Saya bebas bergaul dengan siapa saja
28 Komuikasi dalam keluarga saya kurang baik karena satu sama lain sama acuh
29 Orangtua tidak pernah menuntut saya untuk menuruti perintahnya
30 Bila saya tidak pulang tepat waktu orangtua tidak marah
31 Orangtua saya menyarankan untuk mengikuti kegiatan organisasi
32 Orangtua selalu memberi motivasi untuk berprestasi didalam maupun diluar sekolah
33 Jika saya membuat suatu kesalahan orangtua tidak langsung memarahi saya
34 Orangtua tidak pernah membandingkan saya dengan saudara saya
35 Orangtua melibatkan saya dalam menyelesaikan masalah keluarga
36 Bila raport saya jelek orangtua akan menanyakan kesulitan yang saya alami dan mencari jalan keluar yang baik untuk meningkatkan prestasi saya
37 Dalam hal pembagian tugas dalam keluarga tergantung dari kesepakatan antara anggota keluarga
38 Saya diberi kepercayaan oleh orangtua untuk memilih teman bermain
39 Saya sering bertukar pikiran dengan anggota keluarga
40 Bila saya mendapatkan nilai yang memuaskan orangtua memuji keberhasilan saya
41 Saya sering membahas masalah yang saya dapat di sekolahan dengan orangtua
42 Saya sering mendiskusikan masalah dengan orangtua
43 Bila saya berprestasi orangtua bangga dan memberi semangat
44 Bila saya ingin mengubah letak perabotan di rumah, orangtua tidak keberatan bila memang ide saya lebih baik dari mereka
45 Orangtua membuat peraturan dalam keluarga dengan melibatkan seluruh anggota keluarga
PROPOSAL PENELITIAN
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KONSEP
DIRI SISWA KELAS XI SMA KRISTEN 1 SALATIGA
TAHUN PELAJARAN 2014 / 2015
Disusun oleh:
Ganda Saputra (132011028)
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014