ii. kelimpahan relatif hama dan musuh alami dalam sistem pertanian sip(2)

27
KELIMPAHAN RELATIF HAMA DAN MUSUH ALAMI DALAM SISTEM PERTANIAN Oleh : Risa B1J012055 Tedi Septiadi B1J012063 Nurlita Prahastuti B1J012065 Lifa Chotimah B1J012068 Erwin Tri Wicaksono B1J012071 Muhammad Tholib B1J012077 Gita Rahmayanti B1J012093 Rima Ramadhania B1J012106 Aris Purnomo Edi B1J012107 Meilinda Yudistira B1J012114 Kelompok : 3 Rombongan : I Asisten : Alfik Indarto LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN HAYATI

Upload: rima-ramadhania

Post on 16-Sep-2015

55 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

pengendalian hayati

TRANSCRIPT

KELIMPAHAN RELATIF HAMA DAN MUSUH ALAMI DALAM SISTEM PERTANIAN

Oleh :Risa

B1J012055Tedi Septiadi

B1J012063Nurlita Prahastuti

B1J012065Lifa Chotimah

B1J012068Erwin Tri WicaksonoB1J012071Muhammad Tholib

B1J012077Gita Rahmayanti

B1J012093Rima Ramadhania

B1J012106Aris Purnomo Edi

B1J012107Meilinda Yudistira

B1J012114Kelompok : 3Rombongan : IAsisten : Alfik IndartoLAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN HAYATI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS BIOLOGI

PURWOKERTO

2015

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keragaman jenis adalah sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada didalamnya. Cara untuk memperoleh keanekaragaman jenis cukup diperlukan kemampuan mengenal atau membedakan jenis meskipun tidak dapat mengidentifikasi jenis hama. Keragaman hayati merupakan variabilitas antar mahluk hidup dari semua sumber daya, termasuk di daratan, ekosistem perairan dan kompleks ekologis termasuk juga keanekaragaman dalam speies di antara spesies dan ekosistemnya (Bugg et al., 2008).

Jasa-jasa ekologis yang diemban oleh keanekaragaman hayati pertanian, diantaranya jasa penyerbukan, jasa penguraian, dan jasa pengendali hayati (predator, parasitoid, dan patogen) untuk mengendalikan hama, sangatlah penting bagi pertanian berkelanjutan. Adanya kemajuan pertanian modern, prinsip ekologi telah diabaikan secara berkesinambungan, akibatnya agroekosistem menjadi tidak stabil. Perusakan-perusakan tersebut menimbulkan munculnya hama secara berulang dalam sistem pertanian, salinisasi, erosi tanah, pencemaran air, timbulnya penyakit dan sebagainya Brewer dan Elliot, 2004).Unsur abiotik dan biotik saling berinteraksi pada suatu lingkungan membentuk suatu ekosistem, misalnya ekosistem sungai terdiri dari unsur biotik seperti katak, ular, ikan, dan unsur abiotik seperti batu, tanah, air, udara, dan lain-lain. Selain dalam lingkungan sungai, keanekaragaman organisme juga dapat dijumpai dalam sistem pertanian. Kita dapat jumpai berbagai organisme seperti capung, keong mas, bekicot, belalang, kodok, ulat, atau bahkan mikroorganisme yang tidak dapat kita lihat dengan mata telanjang dalam sistem pertanian. Organisme tersebut berinteraksi dengan organisme lain, dengan bentuk interaksi yang beraneka ragam, mulai dari simbiosis, predasi, dan kompetisi hingga membentuk suatu peristiwa makan dan dimakan antar organisme tersebut yang membentuk rantai makanan dan jaring-jaring makanan (Amir, 2000).

Berbicara soal tentang sistem pertanian, ekosistem sawah tentu identik dengan ekosistem pertanian yang tak lain merupakan sistem ekosistem sederhana juga monokultur. Ekosistem persawahan jika ditinjau dari segi teoritik adalah jenis ekosistem yang tidak stabil. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kestabilan dari ekosistem sawah ini antara lain interaksi antara komponen ekosistem di dalam sawah itu sendiri. Komponen dalam ekosistem sawah mencakup semua komponen abiotik dan biotik yang ada di dalam lingkungan sawah itu sendiri mulai dari tanah, bebatuan, padi, hama, predator dan masih banyak lagi lainnya. B. Tujuan

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui kelimpahan organisme dalam sistem pertanian.II. MATERI DAN METODEA. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam acara praktikum ini adalah penggaris, tali rafia sepanjang 8 m dan kamera. Bahan yang digunakan adalah tanaman padi di area persawahan belakang kampus Biologi.B. Metode

1. Area pesawahan yang akan diamati kelimpahan hama dan musuh alaminya ditentukan terlebih dahulu.2. Tali raffia sepanjang 8 m, dibuat bentuk petakan persegi sehingga masing-masing panjangnya sekitar 2 m. petakan tersebut digunakan sebagai tempat pengamatan kelimpahan hama dan musuh alami bagi sistem pertanian.3. Setiap oraganisme yang ada dalam area petakan tersebut diamati, dicatat dan dihitung jumlah maupun jenisnya. Organisme yang diamati dapat berupa serangga, kutu, capung, lab-laba, keong mas dan lain-lain.4. Setiap organisme dikelompokkan ke dalam kelompok hama, musuh alami atau lainnya.5. Jumlah individu per hektar dihitung, dengan menggunakan rumus berikut:Jumlah Individu Per Hektar =

Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000

Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar Hasil Pengamatan

Gambar 1. KeongGambar 2.

Gambar 3. Gambar 4.

Gambar 5.Gambar 6.

Data Pengamatan Kelimpahan Relatif Hama dan Musuh Alami dalam Sistem Pertanian

No.OrganismeJumlah

1Wereng 1

2Kepik2

3Keong Mas2

4Tomcat2

5Capung2

6Belalang1

7Laba-laba1

8Lalat1

9Semut hitam2

Total14

Perhitungan:

Jarak tanaman = 30 cm = 0,3 mJumlah Individu Per Hektar = Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000 Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei= 14x 10.000 0,3 x 8= 58333,3333 individu/hektar

B. PembahasanBerdasarkan praktikum yang dilakukan, kelimpahan organisme dalam sistem pertanian dapat didefinisikan sebagai banyaknya organisme atau melimpahnya organisme yang menghuni suatu area pertanian yang membentuk satu komunitas, dimana organisme itu mempunyai peran masing-masing. Kelimpahan ini kemungkinan diakibatkan karena adanya sumber makanan (sumber nutrisi) yang tersedia secara terus menerus serta kondisi suatu area pertanian yang mendukung jalannya sistem rantai makanan yang melibatkan semua organisme yang berada di area pertanian tersebut (Erawati dan Sih Kahono, 2010). Kelimpahan jenis serangga sangat ditentukan oleh aktifitas reproduksinya yang didukung oleh lingkungan yang cocok dan tercukupinya kebutuhan sumber makanannya. Kelimpahan dan aktifitas reproduksi serangga di daerah tropik sangat dipengaruhi oleh musim , karena musim berpengaruh kepada ketersediaan sumber pakan dan kemampuan hidup serangga yang secara langsung mempengaruhi kelimpahan (Erawati dan Sih Kahono, 2010). Menurut Baiquni (2007), ada beberapa cara mendeteksi dan sekaligus menaksir populasi serangga yang ada pada sistim pertanian, yaitu:1.Pengamatan langsung

(1) Pemeriksaan satu tumbuhan

Tumbuhan dengan secara acak dipilih. Serangga besar terdapat di tumbuhan diamati. Tumbuhan tersebut diamati serangga yang besar dan bergerak dengan cepat. Semua daun (permukaan atas dan bawah), tangkai daun, batang, bunga, dan buahnya diperiksa. Hasil pengamatan mengenai jenis serangga yang diperkirakan ada dan jumlahnya, stadium yang ada serta keadaan lainnya ditabelkan.

(2) Perhitungan untuk suatu jarak

Penaksiran populasi dilakukan menurut kenampakan dengan berjalan menempuh suatu jarak yang telah ditentukan sambil membolak-balik bagian tumbuhan. Cara ini baik dilakukan untuk tumbuhan stadium muda dengan mengamati serangga yang tidak begitu aktif atau yang cepat menjatuhkan diri. Cara yang digunakan untuk serangga aktif cukup dengan mengetuk tumbuhan dan menghitung serangga yang terbang atau meloncat.

Kedua cara di atas sangat bersifat individual tergantung kepada kemampuan pengamat. Faktor angin juga dapat berpengaruh pada hasil perhitungan. Konversi harga relatif ke harga absolut dapat dilakukan sebagai berikut :

Jumlah Individu Per Hektar

= Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000

Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei

2. Lembar penutup tanah Lembar penutup tanah dibuat dari kain putih atau yang berwarna terang dengan panjang dan lebar yang sama dengan ukuran 0,5 sampai 1 m , kedua tepi kain dilekatkan pada tongkat kayu bergaris tengah 2-3 cm untuk menggulungnya. Tempat pengambilan sampel ditentukan, dan sampel diperoleh dengan merentangkan kain penutup di antara dua baris tumbuhan. Kedua baris tumbuhan dipegang dan diguncangkan ke arah kain sebanyak 10 sampai 15 kali sehingga serangga berjatuhan. Serangga ini dapat langsung dihitung jumlahnya sambil diidentifikasi atau dikumpulkan ke dalam botol pengawet untuk pengerjaan selanjutnya. Cara ini baik untuk menangani serangga yang bergerak lambat serta tumbuhan masih rendah dan muda sehingga tidak terjadi kerontokan daun atau bunga. Harga absolut dapat diperoleh dengan menggunakan rumus yang telah diberikan.

3. Jala ayun

Alat ini paling umum digunakan untuk mengambil contoh populasi serangga karena dengan alat ini dapat ditangkap serangga dalam jumlah relatif besar, waktu singkat, dan biaya tidak besar. Jala ayun terdiri dari bagian jala berbentuk kerucut, gelang kawat besar atau besi dan sebuah tangkai. Garis tengah jala 38 cm dengan kedalaman 75 cm, panjang tangkai 60 sampai 90 cm dengan garis tengah 2,2 cm.

Terdapat berbagai cara untuk mengayun jala ini, misalnya ayunan sepanjang satu baris tumbuhan dan setiap ayunan berbentuk huruf S. Dapat juga dilakukan ayunan sepanjang dua baris tumbuhan dengan cara ayunan huruf S. Tidak hanya ayunan berbentuk huruf S ada juga ayunan yang berbentuk angka 8. Meskipun metoda jala ayun merupakan salah satu metoda yang paling mudah dilaksanakan, tetapi penafsiran yang didapatkan tidaklah terlalu teliti. Beberapa faktor lingkungan sangat mempengaruhi hasil tangkapan :

Suhu yang memberikan pengaruh pada pergerakan serangga

Suhu dan Kelembaban Udara yang memberikan pengaruh pada posisi tumbuhan dan serangga

Kecepatan Angin yang berpengaruh pada tempat bersembunyi serangga

Posisi Matahari yang berpengaruh kepada perilaku serangga

Ukuran tumbuhan yang berpengaruh pada pelaksanaan ayunan

Kerapatan dan Tekstur Daun yang berpangaruh pada pelaksanaan ayunan

4. Jala pengisap atau alat penghisap

Tidak hanya perangkap yang mampu menghisap udara sehingga serangga tersedot ke dalamnya, ada juga alat pengambil sampel yang bernama D-Vac yang boleh juga dianggap semacam jala yang dapat menghisap udara. Hal ini merupakan jala dengan bingkai logam dihubungkan kepada blower dengan lorong lentur yang terbuat dari karet atau bahan kedap lainnya. Blower digerakkan dengan mesin penggerak kecil dan keseluruhan alat ini dapat dibawa di punggung. Cara pengambilan sampel mempunyai pola yang sama dengan jala ayun. Alat ini sangat cocok untuk mengambil serangga kecil. Segi yang kurang menguntungkan adalah harga dan perawatannya yang mahal.

5. Kotak fumigasi (absolut)

Kotak atau kandang fumigasi dapat berupa kotak sampah plastik yang besar dan diberi lubang untuk fumigasi atau dibuat khusus dari kerangka metal yang dibungkus dengan lembaran kayu, plastik, atau seng serta diberi lubang untuk fumigasi. Tinggi kandang sedikit melebihi tinggi tumbuhan dan perlu disediakan alas yang sedikit lebih luas dari dasar kandang. Landasan dapat terdiri dari dua belahan yang dapat disatukan di dasar tumbuhan.Pengambilan sampel dilakukan dengan menutupkan kandang atau kotak di atas landasan tumbuhan. Fumigasi dilakukan dengan aerosol yang berisi pyretrin 20%. Dalam waktu 5 sampai 8 detik serangga yang berada di kandang atau kotak berjatuhan. Kotak diangkat dan serangga dikumpulkan untuk diidentifikasi dan dihitung.

6. Ekstraksi tumbuhan utuh

Cara ini diperlukan sebuah sangkar kasa dengan ukuran 1,8 x 1,8 x 1,8 m yang berkerangka metal. Salah satu sisi sangkar diberi zipper untuk masuk satu dua orang. Sangkar ditempatkan pada lokasi yang dikehendaki. Pengambil sampel masuk ke dalam sangkar membawa alat pengumpul serangga (aspirator), pemotong tumbuhan, dan kantung plastik. Semua serangga di dinding sangkar diambil sampai habis, kemudian tumbuhan dipotong dan dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diikat erat. Serasah dan daun jatuhan juga dikumpulkan dalam plastik lainnya. Sangkar dibiarkan untuk satu dua jam lagi sehingga sisa serangga yang keluar dari persembunyiannya masih dapat dikumpulkan lagi.

7. Mengektraksi serangga dari tanah

Sangat sulit untuk dapat mengumpulkan serangga yang berada di dalam tanah, karena kepadatan dari tanah dan biasanya serangga di dalam tanah tidak dapat dengan mudah untuk dilihat atau diambil. Teknik untuk mengumpulkan serangga dari dalam tanah menjadi lebih kompleks, rumit, dan mahal. Walaupun demikian mengambil sampel serangga dari dalam tanah sangat penting karena lebih dari 90% spesies serangga menghabiskan sekurang-kurangnya satu tahapan hidup di dalam atau pada permukaan tanah. Cara yang paling umum digunakan untuk mengumpulkan serangga dari tanah adalah dengan menggunakan Berlese funnel, menyaring, dan mengambangkan. Semua teknik tersebut memerlukan sampel tanah terlebih dahulu. Sampel tanah diambil dengan menggunakan bor tanah atau sekop.

Berlese furnel merupakan salah satu alat yang paling umum digunakan untuk mengumpulkan serangga dari dalam tanah. Teknik ini, aslinya dikembangkan oleh seorang ahli serangga Italia A. Berlese pada awal tahun 1990, menggunakan air panas di sekeliling furnel untuk memanaskan dan mengeringkan sampel tanah yang terdapt di dalam furnel. A. Tullgreen, orang Swedia, mengganti sumber panas ini dengan lampu pijar yang diletakkan di atas sampel tanah. Modifikasi yang lain untuk efisiensi telah dikembangkan, tetapi semuanya memiliki satu prinsip yang sama, yaitu membuat kondisi lingkungan menjadi tidak sesuai bagi serangga sehingga memaksa mereka untuk keluar dari tanah atau memberikan suatu bentuk perangsangan bagi serangga untuk keluar dari dalam tanah. Bila menggunakan teknik ini, hal yang harus diperhatikan adalah pencegahan kematian serangga sebelum ia meninggalkan tanah. Biasanya pemanasan dilakukan secara bertahap sehingga serangga dapat terhindar dari kekeringan. Teknik ini tidak dapat digunakan untuk mengambil serangga yang berada dalam tahap tidak aktif seperti, telur, pupa, atau serangga-serangga yang dorman (Van Mele, 2004).Teknik pengayakan (penyaringan) merupakan suatu teknik yang sangat mekanik. Kelebihan dari teknik ini bila dibandingkan dengan menggunakan Berlese furnel adalah tidak tergantung kepada pergerakan dari serangga. Pengayakan kering atau basah dapat digunakan untuk mengumpulkan serangga. Ayakan yang digunakan adalah ayakan bertingkan dimulai dari ayakan kasar sampai ayakan halus. Metoda ini sangat mengandalkan ukuran tubuh dari serangga (Herlinda, 2010).Metoda pengambangan merupakan metoda yang didasarkan kepada prinsip bahwa partikel yang memiliki gravitasi lebih rendah dari mediumnya akan mengambang pada permukaan medium. Serangga pada umumnya dapat mengambang di atas permukaan air. Efisiensi dari metoda ini dapat ditingkatkan dengan menambahkan garam, seperti magnesium sulfat pada medium.8. Berbagai perangkap khusus

(1) Perangkap cahaya (lampu)

Perangkap ini khusus digunakan untuk serangga dewasa yang tertarik pada sinar. Serangga yang tertangkap dibunuh dengan air campur minyak tanah atau dengan sianida. Perangkap cahaya merupakan perangkap yang paling banyak digunakan terutama untuk menangkap serangga ham dari kelompok ngengat (Lepidoptera) dan nyamuk (Diptera : Culicidae). Hal ini karena banyak ngengat (terutama spesies dari kelompok Noctuidae) dan serangga lain yang tertarik dengan panjang gelombang cahaya yang pendek, makalampu ultra violet banyak digunakan pada perangkap cahaya(2) Perangkap dengan menggunakan umpan

Perangkap tipe ini mengandalkan kepada kemampuan mencium dan mengecap dari serangga. Umpan yang paling umum digunakan adalah makanan. Kairomone merupkan aroma dari makanan yang menyebabkan serangga tertarik atau merubah perilakunya disebut kairomone. Penarik lain yang sering digunakan adalah sex pheromone (feromon sex). Serangga yang tertarik oleh senyawa ini selanjutnya dapat dibunuh dengan menggunakan kertas berpelekat atau sianida.

(3) Perangkap Malaise

Perangkap ini merupakan suatu perangkap yang tidak menggunakan umpan dan mengandalkan kepada kebiasaan terbang serangga yang biasanya mengarah ke atas. Perangkap ini pada dasarnya merupakan suatu tenda yang terbuat dari jala halus yang terbuat dari katun atau nilon yang berfungsi untuk menangkap serangga yang terbang. Pada bagian puncak tenda terdapat wadah untuk menampung serangga.

(4) Suatu lembaran alumunium atau kain (karton) diberi perekat khusus dan direntangkan di tempat yang diperkirakan dilewati serangga terbang.

(5) Perangkap Pitfall merupakan qlat penangkap serangga yang merayap di tanah, terdiri dari tabung yang ditanam di tanah, corong, dan pelindung digunakan untuk menangkap serangga-serangga yang bergerak di permukaan tanah. Serangga yang melewatinya akan tergelincir masuk ke tabung. Serangga yang tertangkap dibunuh dengan formalin. Masalah yang banyak muncul dari penggunaan perangkap ini adalah curahan air hujan yang dapat menyebabkan air pada wadah penangkap meluap dan serangga yang tertangkap hilang, dengan menggunakan suatu struktur yang dapat mencegah curahan air hujan, masalah ini dapat diatasi (Van Mele, 2004).Berdasarkan hasil praktikum, jarak antar tanaman padi adalah sebesar 0,2 m, sedangkan jumlah individu per hektarnya adalah 187.500. Hewan yang berada disekitar petak yang kelompok kami buat diantaranya, lalat 1 ekor, katak sawah 1 ekor, lembing 1 ekor, capung, 2 ekor, belalang 2 ekor, dan serangga lainnya 4 ekor. Organisme yang terdapat di sawah ada yang berperan sebagai predator, parasitoid, parasit dan musuh alami. Musuh alami berperan dalam menurunkan populasi hama sampai pada tingkat populasi yang tidak merugikan (Arifin et al., 1997). Hal ini terbukti dari setiap pengamatan dilahan pertanian, khususnya padi, beberapa jenis musuh alami selalu hadir dipertanaman. Ekosistem persawahan secara teoritis merupakan ekosistem yang tidak stabil. Kestabilan ekosistem persawahan tidak hanya ditentukan oleh diversitas struktur komunitas, tetapi juga oleh sifat-sifat komponen, interaksi antar komponen ekosistem (Baehaki, 1991). Menurut Iriadi (1990) mendeskripsikan dengan sederhana bagaimana faktor biotik dan abiotik dapat mempengaruhi populasi serangga. Pengukuran faktor lingkungan serangga dilakukan dengan cara menghitung besarnya kelimpahan dan nilai diversitas dari pohon dan tumbuhan bawah, suhu dan kelembaban udara.Semua makhluk hidup dalam ekosistem alami berada dalam keadaan seimbang dan saling mengendalikan sehingga tidak terjadi hama. Keragaman jenis di ekosistem alamiah sangat tinggi yang berarti dalam setiap kesatuan ruang terdapat flora dan fauna tanah yang beragam. Sistem pertanaman yang beranekaragam berpengaruh kepada populasi spesies hama (Riyani, 1992). Menurut Irawan (2002), ada 6 faktor yang saling berkaitan menentukan derajat naik turunnya keragaman, jenis yaitu :

a) Waktu, kelimpahan komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari pada komunitas muda yang belum berkembang. Waktu dapat berjalan dalam ekologi lebih pendek atau hanya sampai puluhan generasi.b) Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin tinggi keragaman jenisnya.

c) Kompetisi, terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang sama yang ketersediannya kurang, atau walaupun ketersediannya cukup, namun persaingan tetap terjadi juga bila organisme-organisme itu memanfaatkan sumber tersebut, yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya.

d) Pemangsaan, untuk mempertahankan komunitas populasi dari jenis persaingan yang berbeda di bawah daya dukung masing-masing selalu memperbesar kemunginan hidup berdampingan sehingga mempertinggi keragaman. Apabila intensitas dari pemangsaan terlalu tinggi atau rendah dapat menurunkan keragaman jenis.

e) Kestabilan iklim, makin stabil, suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam suatu lingkungan tersebut. Lingkungan yang stabil, lebih memungkinkan keberlangsungan evolusi.

f) Produktifitas, juga dapat menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang tinggi.

Keenam faktor ini saling berinteraksi untuk menetapkan kelimpahan jenis dalam komunitas yang berbeda. Keanekaragaman spesies sangatlah penting dalam menentukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem alam akibat turut campur tangan manusia (Chan et al., 2006). Hambatan lingkungan merupakan faktor biotik dan abiotik di ekosistem yang cendrung menurunkan fertilitas dan kelangsungan hidup individu-individu dalam populsi organisme. Faktor tersebut menghalangi suatu organisme untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi biotiknya. Faktor-faktor ligkungan tersebut ada dua yaitu faktor yang berasal dari luar populasi (faktor ekstrinsik) terdiri dari faktor biotik seperti makanan, peredasi dan kompetisi dan faktor abiotik seperti iklim, tanah, air dan faktor yang berasal dari dalam populasi (faktor intrinsik) seperti persaingan intrasfesifik dalam bentuk teritorialitas dalam tekanan sosial (Nasution dan Nasoetion dan Rustiadi, 1990).Artropoda predator (serangga dan laba-laba) dalam ekosistem persawahan merupakan musuh alami yang paling berperan dalam menekan populasi hama padi (wereng coklat dan penggerek batang). Hal ini disebabkan predator memiliki kemampuan untuk beradaptasi di ekosistem efemeral tersebut (Irsan, 2003). Artropoda predator mengatur asupan makanan utnuk memaksimalkan nutrisi dan menghindari efek negatif dari memakan mangsa yang tidak seimbang secara berlebihan (Schmidt et. al., 2012). Artropoda predator yang telah terbukti efektif mengendalikan hama padi adalah laba-laba pemburu, misalnya Pardosa pseudoannulata dan kumbang Carabidae, dilaporkan bahwa ekosistem sawah yang kompleks menyediakan beragam tipe habitat. Berbagai tipe habitat itu dapat mendukung spesies laba-laba berkoeksistensi di dalamnya (Kartohardjono, 1988). Laba-laba merupakan predator generalis yang memiliki peran penting dalam jaring-jaring makanan terestrial. Laba-laba memilih mangsanya berdasarkan kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan. Salah satu penelitian terkini dalam bidang ekologi nutrisi menunjukkan bahwa wolf spider memilih mangsa yang dapat mengoptimalkan kebutuhan asam aminonya (Schmidt et. al., 2012). Rendahnya Indeks dominasi di tanaman padi berpengaruh terhadap tertingginya kemerataan spesies artropoda predator di ekosisem tersebut (Kartohardjono, 1988). IV. KESIMPULANBerdasarkan hasil praktikum dan pembahasan dapat disimpulkan :

1. Kelimpahan organisme dalam sistem pertanian adalah banyaknya organisme yang menempati suatu area pertanian (sawah), salah satunya adalah serangga. Cara yang digunakan dalam mendeteksi dan menaksir populasi serangga yang ada pada sistim pertanian adalah dengan melakukan pengamatan langsung yang meliputi dua cara, yaitu pemeriksaan satu tumbuhan dan perhitungan untuk suatu jarak.2. Jarak antar tanaman padi adalah sebesar 0,2 m dan jumlah individu per hektarnya adalah 187.500, diantaranya kami amati, yaitu lalat 1 ekor, katak sawah 1 ekor, lembing 1 ekor, capung, 2 ekor, belalang 2 ekor, dan serangga lainnya 4 ekor.DAFTAR REFERENSIAmir M. 2002. Kumbang Lembing Pemangsa Coccinellidae (Coccinellinae) di Indonesia. Bogor: JICA Puslit Biologi LIPI.

Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto dan A. Alwi. 1997. Diversitas artropoda pada berbagai teknik budidaya padi di Pemalang, Jawa Tengah. Penelitian Pertanian Puslitbangtan 15 (2): 5-12.

Baehaki, S.E. 1991. Peranan musuh alami mengendalikan wereng coklat. Prosiding Seminar Sehari Tingkat Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Sudirman. hlm. 1-9.Baiquni, H. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Praktek Unggulan Program Pembangunan Berkelanjutan Untuk Industri Pertambangan. Department of Industry Tourism and Resources, Australia.

Bugg RL, Colfer RG, Chaney WE, Smith HA & Cannon J. 2008. Flower flies (Syrphidae) and other biological control agents for aphids in vegetable crops. ANR Publication 8285: 125.

Brewer MJ & Elliot NC. 2004. Biological control of cereal aphids in North America and mediating effects of host plant and habitat manipulations.Annu. Rev. Entomol 49: 21942.

Chan, K.M.A., M.R. Shaw, D.R. Cameron, E.C. Underwood and G.C. Daily. 2006. Conservation planning for ecosystem services. PLoS Biology 4: 2138-2152.

Erawati, Nety Virgo, Sih Kahono. 2010. Keanekaragaman dan Kelimpahan Belalang dan Kerabatnya (Orthoptera) pada Dua Ekosistem Pegunungan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Vol 7 (2) :100-115.

Herlinda S. 2005. Jenis dan kelimphan parasitoid Plutella xylostella L. (Lepidoptera: lutellidae) di Sumatera Selatan. Agria 1(2):7883.

Herlinda S. 2010. Spore density and viability of entomopathogenic fungal isolates from Indonesia, and its virulence against Aphis gossypii (Glover) (Homoptera: Aphididae).Tropical Life Sciences Research. 21(1):1321. Irsan C. 2003. Predator, parasitoid dan hiperparasitoid yang berasosiasi dengan kutudaun (Homoptera: Aphididae) pada tanaman talas. Hayati 10(2): 8184.Irawan, Bambang. 2002. Analisis nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian. Laporan Hasil penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Iriadi, M. 1990. Analisis konversi lahan sawah ke indutri dengan metode sewa ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.

Kartohardjono, A. 1988. Kemampuan beberapa predator (laba-laba, Paederus sp., Ophionea sp., Cyrtorhinus sp., dan Coccinella sp.) dalam mengurangi kepadatan wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) pada tanaman padi. Penelitian Pertanian 8(1): 25-31.

Nasoetion, L.I. dan E. Rustiadi. 1990. Masalah konversi lahan sawah ke penggunaan non-sawah fokus Jawa dan Bali. Paper pada Pertemuan Ilmiah Pembangunan Pedesaan dan Masalah Pertanahan, 13-15 Februari 1990; PAU Studi Sosial-UGM.

Riyani, W. 1992. Analisis konversi lahan dari pertanian ke lahan perumahan dengan metode sewa ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di wilayah Dati II Kodya Bogor, Propinsi Jawa Barat.Schmidt, J.M., Sebastian P., Wilder S.M., and Rypstra A.L. 2012. The Nutritional Content of Prey Affects the Foraging of a Generalist Arthropod Predator. PLoS ONE. 7(11): e49223.Van Mele, P. dan N.T.T. Cuc, 2004. Semut Sahabat Petani : meningkatkan hasil buah-buahan dan menjaga kelestarian lingkungan bersama semut rangrang (Alih bahasa oleh: Rahayu, S.). World Agroforestry Centre (ICRAF), 61 p._1432656108.doc