imuno patogen virus

24

Click here to load reader

Upload: purplemiebee

Post on 30-Nov-2015

23 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

imun

TRANSCRIPT

Page 1: Imuno Patogen Virus

MEKANISME SISTEM IMUN TERHADAP VIRUS

Definisi Virus

Virus ( bahasa latin yang artinya toxin atau racun) adalah suatu partikel sub-

mikroskopik (ukurannya berkisar antara 15-600 nm) yang dapat menginfeksi sel dari

suatu organisme biologis. Mengandung inti dari DNA / RNA.

Beberapa kelompok virus :

I: Double-stranded DNA (e.g. Adenoviruses, Herpesviruses, Poxviruses)

II: Single-stranded (+)sense DNA (e.g. Parvoviruses)

III: Double-stranded RNA (e.g. Reoviruses)

IV: Single-stranded (+)sense RNA (e.g. Picornaviruses, Togaviruses)

V: Single-stranded (-)sense RNA (e.g. Orthomyxoviruses, Rhabdoviruses)

VI: Single-stranded (+)sense RNA with DNA intermediate in life-cycle (e.g.Retroviruses)

VII: Double-stranded DNA with RNA intermediate (e.g. Hepadnaviruses)

Virus dapat berepliksi sendiri jika menginfeksi host cell(bereplikasi di DALAM

tubuh inang menggunakan sistem enzimatik inang, oleh karena ini dia tidak dapat

bereproduksi sendiri.

Virus memiliki material genetic,yang berupa protective protein coat yang

disebut kapsid. Virus Dapat menginfeksi berbagai varietas organisme, baik eukariot

(hewan, tumbuhan, protista, dan fungi) maupun prokariot (bacteria dan archae).Virus

yang menginfeksi bakteri dikenal bakteriophage (phage).

Virus dapat menyebabkan penyakit yang seris bagi manusia seperti AIDS,

HIV, rsbies dll. Terapi untuk menangani virus (yang memiliki viral deasis) viral

diseases seperti antibiotic tidak memberikan efek terapi terhadap virus dan

penggantinya adalah antiviral.

Page 2: Imuno Patogen Virus

Struktur

virus yang komplit memiliki virion, dimana asam nukleatnya dikelilingi olek

protective coat yang disebut kapsid (protein). Capsid terdiri dari protein yang di kode

oleh viral genome.

Siklus Hidup Virus

Terdiri dari 5 tahap yaitu :

1. Attachment

Attachment adalah ikatan khas diantara viral capsid proteins and specific

receptors pada permukaan sel inang. Virus akan menyerang sel inang yang spesifik,

contohnya human immunodeficiency virus (HIV) hanya menginfeksi manusia pada

sel T. karena membran protein virus(gp120) dapat berinteraksi dengan CD4 and

reseptor pada permukaan sel T.

2. Penetration

Viruse masuk ke sel inang menembus reseptor secara endocytosis atau

melalui mekanisme lain.

3. Uncoating

Uncoating adalah proses terdegradasinya viral kapsid oleh enzim viral atau

host enzymes yang dihasilkan oleh viral genomic nucleic acid.

Page 3: Imuno Patogen Virus

4. Replication

Replikasi virus :

Dapat dilakukan dengan litik atau lisogenik.

Sel T

HIV Virus

Page 4: Imuno Patogen Virus

5.Release

Virus dilepaskan dari sel inang melalui lisis. Enveloped viruses (e.g., HIV)

dilepaskan dari sel inangnya melalui “budding”. Disamping itu,virus mendapatkan

phospholipid envelope yang berisi kumpulan viral glycoproteins.

Mekanisme Sistem Imun Khusus Untuk Virus

Host Immune Response

Bagian yang paling pertama menghadapi virus adalah sistem imun alami.

Bagian ini terdiri dari berbagai sel dan mekanisme lain untuk melindungi sel inang

dari infeksi secara non spesifik. Ini berarti sistem imun alami mengenal dan merespon

patogen secara pintas, lain halnya dengan sistem imun dapatan, respon tersebut tidak

bertahan lama dalam melindungi sistem imun sel inang.

Ketika sistem imun dapatan dari suatu vertebrata dimasuki virus, sel inang

akan memproduksi antibodi spesifik yang akan mengikat virus dan akan

mempertahankan keadaan normalnya. Sistem ini disebut imunitas humoral. Dua tipe

antibodi yang penting adalah IgM(sangat efektif untuk menetralisir virus tetapi hanya

diproduksi oleh sel sistem imun dalam beberapa minggu. Anti bodi yang lainnya

adalah IgG yang diproduksi dalam waktu tak terbatas. Kehadiran IgM dalam darah

pada sel inang digunakan untuk tes infeksi akut dimana IgG mengindikasikan infeksi

yang pernah terjadi(memori). Dua tipe antibodi ini diukur ketika melakukan tes imun.

Pertahanan kedua dari vertebrata dalam melawan virus disebut cell-mediated

immunity meliputi sel imun yang dikenal dengan sel T. Sel tubuh selalu menyajikan

fragmen-fragmen kecil proteinnya ke permukaan sel. Dan jika sel T mengenali

terdapatnya fragmen viral yang asing, maka sel inang akan merusak dengan sel T

killer dan virus specific T-cells proliferate. Makrofage merupakan antigen

presentation utama.

Page 5: Imuno Patogen Virus

Perlakuan diatas tidak berlaku untuk semua infeksi virus, contohnya HIV

menghindari sistem imun dengan selalu mengubah asam amino dari protein pada

permukaan virion. Virus persisten juga selalu menghindari kontrol imun dengan

pengasingan, blokade antigen presentation, resistensi sitokin, menghindari aktivitas

NK sel, menghindari sel dari apoptosis dan antigen shift.

Produksi interferon juga merupakan mekanisme yang penting dalam

pertahanan sel inang.

Cara Virus Menghindari Sistem Imun

Viruses and disease

Virus memiliki banyak mekanisme yang berbeda yang dapat mengakibatkan

penyakit pada organisme yang sangat tergantung pada sel lisis , Pecahnya sel yang

akan menyebabkan kematian sel. Pada organisme multiselular, jika banyak organisme

yang mati seluruh organisme akan merasakan efeknya. Walaupun banyak virus

merusak homeostasis( menyebabkan penyakit) mereka juga menguntung bagi

organisme. Sebagai contoh kemampuan herpes simplex virus, yang menyebabkan

coldsores yang membekas pada keadaan dorman dalam tubuh keadaan tersebuk

disebut keadaan laten. Hal tersebut juga berlaku untuk Epstein-Barr virus yang

menyenankan demam glandular, Varicella zoster virus, yang menyebabkan chicken

pox.

Epidemics

The Ebola virus

Page 6: Imuno Patogen Virus

Contoh Penyakit Yang Disebabkan Oleh Virus

INFEKSI VIRUS PADA S.S.P

Virus adalah parasit intraseluler yang hanya membawa satu jenis asam

nukleik. Diklasifikasikan menurut jenis asam nukleiknya dan disubdivisi berdasar

ukuran dan bentuk selubung proteinnya. Ada 10 kelompok virus RNA dan 5

kelompok virus DNA. Semua virus RNA mengalami replikasi didalam sitoplasma

sel, sedangkan virus DNA kecuali poxvirus dinukleus sel. Tidak setiap kontak sel-

virus berakhir dengan infeksi. Sel bersangkutan memiliki sisi reseptor yang

memadai pada membrana sitoplasmiknya yang sebanding dengan molekul pelekat

polipeptida pada permukaan viral. Keterancaman spesies atau jenis sel tertentu

terhadap virus tergantung sisi reseptor ini.

Virus biasanya memasuki badan melalui membrane mukosa saluran

respiratori, gastrointestinal dan urinari. Epidermis adalah sawar yang efektif

terhadap masuknya virus, dan rusaknya kulit seperti akibat gigitan nyamuk atau

suntikan hipodermik, diperlukan untuk penyebaran melalui sawar ini. Sementara

beberapa virus dihambat oleh permukaan, lainnya mampu menyebar luas melalui

sistema limfatik dan sirkulatori. Virus masuk SSP melalui saraf perifer dan via

aliran darah. Jalur saraf perifer sangat penting dalam migrasi dan disseminasi virus

rabies, herpes simplex dan varicella oster. Namun infeksi kebanyakan virus pada

SSP terjadi akibat viremia. Pada viremia yang hebat, virus mencapai parenkhima

Page 7: Imuno Patogen Virus

otak walau sawar darah otak dibentuk oleh sel endotel. Virus bisa masuk melalui sel

endotel dan mungkin menyerang dan menginfeksinya. Bila partikel telah masuk

SSP, mereka harus mendapatkan sel yang bisa dipengaruhi hingga bisa terjadi

infeksi. Tidak semua jenis sel SSP terancam oleh virus bersangkutan dan

progresi penyakit akan terhenti kecuali bila virus menemukan reseptor sel sesuai.

Terbentuknya kelainan neurologis klinis tergantung pengaruh virus pada sel

yang dimasukinya. Herpes simplex menyebabkan perubahan metabolisme

protein seluler yang menyebabkan sel segera mati. Virus lainnya mungkin berakibat

sedikit perubahan pada metabolisme seluler esensial, akan tetapi menyebabkan

perubahan metabolisme fungsional, seperti produksi enzim dan transmiter neural,

menyebabkan kelainan utama fungsi faal saraf khas. Tapi virus lainnya mungkin

bertahan untuk masa yang lama di SSP sebelum menyebabkan bukti adanya

kelainan. Masa laten yang panjang ini paling umum tampak pada virus DNA dan

berkaitan dengan infeksi kronik seperti panensefalitis sklerosing subakuta akibat

virus campak dan leukoensefalopati multifokal progresif yang disebabkan

papovavirus.

Variasi luas gejala pada kelainan viral adalah akibat perbedaan

keterancaman populasi sel SSP terhadap berbagai virus. Keberagaman yang luas dari

spesialisasi dan kompleksitas membrana sel SSP mungkin menjelaskan

keterancaman yang khas kelompok sel saraf dan glia tertentu terhadap virus

tertentu. Misalnya virus rabies mengenai saraf sistema limbik namun tidak

terhadap saraf neokortikal, sedang papovavirus secara selektif menyerang

oligodendrosit, dan virus herpes memiliki predileksi pada lobus temporal namun

dapat dengan baik menyerang berbagai jenis sel. Kebanyakan infeksi virus pada SSP

disebabkan oleh virus yang umum dijumpai pada populasi umumnya dan

biasanya berkaitan dengan perjalanan yang jinak dan self limited. Antibodi atas

virus yang umum menyebabkan infeksi SSP terbentuk secara luas. Kenyataan ini

menunjukkan bahwa infeksi SSP tidaklah secara sederhana diakibatkan agen virus,

namun lebih oleh karena rusaknya mekanisme pertahanan tubuh normal. Kemajuan

Page 8: Imuno Patogen Virus

besar dari pengobatan telah mengembangkan strain viral yang telah dibunuh dan

dilumpuhkan untuk immunisasi terhadap polio, mumps dan campak.

Meningitis viral, infeksi viral paling umum pada SSP, tampil sebagai

meningitis aseptik. Meningitis enteroviral dapat mulai mendadak tanpa

prodroma, perjalanannya terkadang menyerupai PSA ringan, dan mungkin

menyebabkannya segera dirujuk kebedah saraf. Seperti meningitis, ensefalitis viral

biasanya ringan dan self limited; namun mungkin tampil dengan penurunan derajat

kesadaran, kejang, kelemahan atau paralisis fokal, dan jarang-jarang menyebabkan

tanda serebeler seperti ataksia atau nistagmus. Konsekuensi serius dan bahkan

kematian dapat terjadi karena ensefalitis herpes simplex, ensefalitides ekuina, dan

polio.

Kelainan viral dan kelainan berkaitan dengan viral yang bisa dijumpai pada

praktek bedah saraf adalah ensefalitis herpes simplex, kelainan Jakob-Creutzfeldt,

sindroma Reye, dan infeksi HIV.

ENSEFALITIS HERPES SIMPLEX

Herpes simplex adalah virus DNA dengan dua subjenis yang secara

antigenikal berbeda, dikenal sebagai HSV jenis 1 dan HSV jenis 2. HSV jenis 1

menyebar melalui droplet respirator dan saliva, diketahui dengan baik sebagai

agen yang tersebar dimana-mana dan penyebab cold sore jinak yang rekuren dari

mukosa oral. Sekitar 90 % dewasa memiliki antibodi sirkulatori terhadap HSV-1

dan sekitar 25 % mengalami cold sore rekuren. Untuk alasan yang belum jelas,

virus ini virulensinya terhadap SSP bertambah dan menyebabkan ensefalitis

nekrotising terlokalisir pada anak dan dewasa. HSV-2 menyebar melalui kontak

seksual, adalah penyebab lesi mukosal dan dapat menjadi infeksi sistemik

mematikan pada neonatus. Ensefalitis HSV-2 diffusa bisa sebagai begian kelainan

ini. Herpes neonatal dikira ditularkan dari ibu saat pasasi melalui jalan lahir

yang terinfeksi.

Karakteristik penting HSV-1 adalah kemampuan untuk tetap pada keadaan

'tidur', keadaan asimtomatik untuk jangka lama pada badan sel neuron sensori

Page 9: Imuno Patogen Virus

ganglion trigeminal, dan secara berkala berulang sebagai lesi mukokutan sekitar

mulut. Virus mencapai ganglia trigeminal melalui transport aksoplasmik

retrograd mencapai akson yang mencatu daerah lesi oral. Virus yang 'tidur' dapat

diaktifkan berbagai stimuli seperti demam, cedera, sinar ultraviolet, dan trauma pada

saraf trigeminal; membentuk lesi kulit yang baru, diduga melalui perjalanan

sentrifugal partikel virus menuruni akson sensori. Tidak ada partikel virus atau

antigen viral dapat ditemukan pada ganglia trigeminal selama keadaan 'tidur'. Virus

DNA karenanya dikatakan tidak memproduksi partikel viral dan tanpa merusak

integritas seluler metabolisme neuron sensori. Setelah stimulasi replikasi virus

berperan dengan cepat.

Ensefalitis HSV-1 adalah penyebab tersering ensefalitis fatal yang

sporadik di USA. Bila tidak diobati, angka kematian sekitar 70 %, jauh lebih tinggi

dari kebanyakan ensefalitides. Hubungan ensefalitis HSV-1 dengan infeksi herpes

oral tidak jelas. Walau beberapa pasien memiliki lesi oral aktif pada saat onset

ensefalitis, ini umumnya tidak ada artinya. Riwayat lesi herpetik dijumpai pada

25 % kasus ensefalitis, persentasi yang sama dengan populasi umum. Mekanisme

infeksi SSP adalah invasi HSV-1 pada epitel nasal dan migrasi sepanjang akson

dari saluran olfaktori kelobus temporal. Proses ensefalitik, umumnya paling serius

pada lobus frontal inferior dan temporal, yaitu invasi dan diikuti lisis sel glial dan

neuronal.

Sekitar 90 % pasien memperlihatkan tanda neuro-logis segera yang

menunjukkan lokalisasi fronto-temporal: halusinasi, kelainan tingkah-laku, dan

perubahan kepribadian. demam dan nyeri kepala, umum terjadi pada tahap awal

seperti juga kejang, baik motor fokal, GM, atau kompleks partial. Gangguan

memori, menunjukkan terkenanya temporal basal bilateral, tampak pada banyak

pasien. Defisit motor fokal, biasanya pada muka dan lengan, bisa terjadi dan afasia

sering bila daerah frontotemporal dominan yang terkena. Dengan perjalanan

penyakit, daerah frontotemporal menjadi edema dan sering bertindak sebagai

massa intrakranial dan menyebabkan peninggikan TIK serta herniasi unkal. Koma,

Page 10: Imuno Patogen Virus

pada usia lebih dari 30 tahun, disertai dengan terlambatnya terapi antiviral

menunjukkan prognosis buruk.

Pemeriksaan CSS hanya sedikit membantu dalam enegakkan diagnosis

ensefalitis HSV. Pleositosis CSS paling sering berupa campuran sel neutrofil

dan mononuklir dengan yang terakhir lebih dominan. Sel darah merah, sangat

jarang pada ensefalitides lain, sering tampil dan merupakan kunci penting

diagnostik. Protein cukup meninggi dan glukosa normal. Biakan HSV jarang positif

dari CSS dan perlu waktu lama bila akan dipakai sebagai nilai diagnostik awal.

Tes untuk melacak antigen HSV juga perlu waktu, dan tidak terbukti cukup

sensitif atau spesifik. Terakhir ini, tehnik reaksi rantai polimerase untuk mengenal

DNA HSV pada CSS terbukti merupakan tes yang cepat dan sensitif. Tes ini

menjanjikan sebagai tes diagnostik terpilih.

EEG mungkin membantu dalam memastikan proses fokal engan

memperlihatkan pelepasan paroksismal periodik atau kompleks gelombang lambat

pada satu atau kedua lobus temporal. CT scan mungkin memperlihatkan adanya

penurunan penguatan pada hari ketiga penyakit. Penurunan penguatan ini

menunjukkan adanya edema dan

nekrosis didaerah ensefalitis. Penggunaan zat kontras memperlihatkan

daerah dengan penguatan abnormal sekitar daerah berdensitas rendah. MRI nyata

lebih sensitif dalam melacak perubahan edema awal dan akan mempercepat

ditemukannya perubahan ensefalitik HSV nonhemoragik.

Konfirmasi lengkap diagnosis herpes ensefaliti sering tergantung hasil

kultur atau histologis dari biopsi otak. Sebagian ahli menyetujui terapi asiklovir bila

kelainan diatas dijumpai. Sayangnya ketepatan diagnosis tanpa biopsi hanya

sekitar 35-45 %. Lainnya mengatakan bahwa diagnosis ensefalitis HSV dipastikan

dengan biopsi, dengan alasan morbiditas yang rendah dan akan mengenal kelainan

lain yang memerlukan terapi spesifik. Ahli lainnya sedikit lebih menyukai terapi

empirik dengan asiklovir, namun biopsi otak jelas berguna pada pasien dengan

glukosa CSS rendah pada pungsi lumbar pertama. Daerah biopsi ditentukan dengan

CT scan atau MRI. Bisa secara terbuka atau stereo-taktik. Penilaian CSS dengan

Page 11: Imuno Patogen Virus

reaksi rantai polimerase mungkin mengurangi perlunya biopsi dimasa mendatang.

Saat ini, alasan biopsi tidak hanya untuk memastikan ensefalitis HSV, namun lebih

sebagai pencari kelainan lain yang dapat ditindak.

Tindakan terpilih untuk ensefalitis HSV jenis 1 adalah asiklovir. Asiklovir

adalah analog asiklik guanosin yang menghambat sintesis DNA viral melalui

ikatan pada polimerase DNA viral setelah fosforilasi pada sel yang terinfeksi.

Terapi harus dimulai segera setelah diagnosis, karena keterlambatan dimulainya

terapi secara drastis mempengaruhi kematian pasien. Dosis 30mg/kg per hari

diberikan dengan selang 8 jam untuk paling tidak 10 hari. Kematian keseluruhan

tampak berkurang hingga 19-28 % dengan terapi asiklovir, nyata kurang dari terapi

vidarabin yang sekitar 50 %. Faktor yang sama pentingnya dalam menindak pasien

ini adalah pengontrolan peninggian TIK sehubungan dengan edema

frontotemporal. Cairan IV harus diamati ketat dan penggunaan hiperventilasi,

steroid, diuretik osmotik,dan pengamatan TIK semua penting dalam rencana

pengobatan.

SINDROMA IMMUNODEFISIENSI DIDAPAT (AIDS)

Agen penginfeksi pada AIDS, HIV, adalah retrovirus RNA beruntai satu dari

kelompok lentivirus. HIV mengandung nukleolid RNA padat, inti protein,

permukaan gliko-protein, dan reverse transcriptase enzyme. Enzim ini adalah

polimerase DNA yang mampu bergabung dengan kromosom tubuh. Sekali

berintegrasi, ia digunakan sebagai pembawa pesan transkripsi untuk sintesis virus.

Integrasi membantu virus untuk lolos dari mekanisme pertahanan tubuh.

Lentivirus tidak mempunyai potensi teratogenik seperti retrovirus onkogenik,

namun mampu menimbulkan lisis sel terinfeksi.

Infeksi HIV tampaknya terbatas pada sel yang membawa reseptor

permukaan CD4. Populasi limfosit Thelper adalah yang paling kaya akan

reseptor CD4,

Page 12: Imuno Patogen Virus

menjelaskan kemampuan tropisme dan lisis oleh HIV terhadap sel ini.

Monosit, makrofag, dan mikroglia juga mengandung reseptor permukaan CD4,

namun kepadatannya sangat rendah. Ini mungkin menjelaskan mengapa makrofag

sering mengandung virus, namun jarang lisis, membuat mereka efektif sebagai

reservoir viral.

31-60 % pasien AIDS memiliki kelainan neurologis.

Kelainan ini mengenai SSP dan sedikit kesistem saraf tepi. Infeksi yang

mengenai SSP pada AIDS ada dua jenis; infeksi opportunis sekunder atas

immunosupresi yang diinduksi oleh hilangnya immunitas sel-T, dan infeksi HIV

langsung yang tampil sebagai meningitis atau kompleks dementia AIDS,

manifestasi ensefalitis HIV yang secara klinis dan biologis berjangkauan luas.

INFEKSI OPPORTUNIS PADA SSP PADA AIDS

Infeksi opportunis atas sistema saraf pada AIDS bisa oleh patogen viral

atau nonviral. Sindroma viral tersering adalah ensefalitis subakuta disebabkan sito-

megalovirus. Kelainan berikut, terjadi dengan frekuensi makin jarang menurut

urutannya, adalah ensefalitis herpes simplex, leukoensefalopati multifokal progresif

(PML), dan mielitis/ensefalitis varicella zoster.

Infeksi nonviral tersering adalah meningo-ensefalitis Toxoplasma

gondii. Infeksi fungal mening dan/atau otak sering juga terjadi. Paling sering, dalam

frekuensi makin rendah sesuai urutannya, Cryptococcus neoformans, Candida

albicans, Coccidioides immitis, dan Aspergillus fumigatus. Infeksi bakterial

intrakranial jarang, namun meningoensefalitis Mycobacterium aviam-intracellulare,

M. tuberculosis, E. coli, dan Treponema pallidum pernah dilaporkan. Harus diingat

bahwa lesi SSP pada AIDS dapat disebabkan proses neoplastik. Limfoma SSP

primer ditemukan sekitar 3 % dari pasien AIDS, dan limfoma sistemik juga bisa

menyebar pada mening. Beberapa sarkoma Kaposi yang metastase ke otak pernah

dilaporkan.

Page 13: Imuno Patogen Virus

INFEKSI HIV PRIMER PADA SSP

Mekanisme masuknya HIV ke SSP belum jelas, namun dipostulasikan

sebagi sekunder terhadap viremia dan penetrasi endotel atau via transport

monosit yang terinfeksi melalui sawar darah otak. Sekitar 30 % pasien

asimtomatis seropositif HIV dengan biakan CSS positif HIV, kemungkinan virus

menembus SSP pada awal perjalanan infeksi dan sering berada dalam keadaan

asimtomatis. Saat ini sudah jelas bahwa infeksi HIV primer berakibat spektrum

dari kelainan klinis SSP,meningitis, dan suatu demensia progresif yang disebut

kompleks demensia AIDS (ADC).

Dua jenis meningitis dapat terjadi pada infeksi HIV; sindroma febril akuta

yang serupa dengan mononukleosis dalam beberapa hari atau minggu dari munculan

HIV inisial dan meningitis aseptik disekitar saat sero-onversi. Gejala meningitis

berkaitan dengan pleo-sitosis CSS mononuklir dan biakan CSS positif HIV pada 50

% pasien. Kedua keadaan ini self limited.

ADC adalah sindroma neurologis khas dengan kelainan kognisi,

tampilan motor, dan tingkah laku.Gejala biasanya berupa kesulitan konsentrasi dan

memori menuju demensia yang jelas dengan tingkat aurosal intak. Gerakan

bergantian cepat yang melambat, hiperrefleksia, dan tanda-tanda lepasan

frontal biasanya dijumpai pada pemeriksaan, dengan imbalans, ataksia, dan

kelemahan aksial menjadi prominen pada tingkat penyakit yang lebih parah.

Tingkat akhir ADC mendekati vegetatif dengan pandangan kosong, para-paresis,

dan inkontinens. Gambaran ADC adalah khas demensia subkortikal seperti

gangguan kognitif yang tampak pada kelainan Parkinson dan Huntington. Ada dan

beratnya ADC paralel dengan beratnya kelainan sistemik pasien AIDS. ADC jarang

pada pasien seropositif sehat, tampil pada 25-35 % dengan tampilan awal infeksi

opportunistik, dan timbul pada hampir setengah dari pasien dengan AIDS lanjut.

Perkembangan ADC yang paralel ini, walau HIV tampil awal pada pada sistema

saraf, menunjukkan bahwa walau HIV adalah neurogenik, ia relatif non patogenik

terhadap otak disaat tiadanya immunosupresi.

Page 14: Imuno Patogen Virus

Temuan patologis, karakteristiknya sudah diketahui dengan baik. Tanda khas

ensefalitis HIV adalah nodul mikroglia dan sel raksasa multinuklir. Sel SSP yang

dipastikan memperlihatkan antigen HIV 1 hanya makrofag, mikroglia, dan sel

raksasa multinuklir. Demielinasi dengan tiadanya perubahan inflamatori

(leukoensefalo-pati), seperti juga mielopati vakuoler, juga umum jumpai.

Tiadanya infeksi sitolitik dari sel saraf, oligodendrosit, dan astrosit memusatkan

perhatian pada kemungkinan peran mekanisme indirek pada disfungsi otak

berhubungan baik dengan virus maupun dengan toksin 'cellcoded'.

CT scan dan MRI relatif tidak sensitif pada suatu perubahan ensefalitis HIV

hingga penyakit betul-betul memberat. Perubahan leukoensefalopatik bisa

ditampilkan pencitra ini; MRIjelas lebih sensitif dari CT scan. Atrofi otak sering

merupakan temuan lanjut.

PEMERIKSAAN DAN TERAPI INFEKSI HIV

Saat ini tindakan pemeriksaan untuk kegunaan klinis ditekankan pada

pelacakan antibodi HIV pada pasien dan darah donor. Tes skrining ini adalah

'enzyme linked immunosorbant assay (ELISA)', sensitifitasnya 99.7 % dan

spesifisitasnya 98.5 %. Tes pengkonfirmasi, tehnik Western blot dengan spesifisitas

lebih besar, dilakukan bila dijumpai ELISA dengan seropositif. Pemastian sero-

positif HIV dibuat bila paling tidak dua antibodi HIV diisolasi pada Western blot,

yang mana memperlihatkan satu antibodi 'indeterminate'. FDA mensyaratkan darah

donor harus negatif pada ELISA dan Western blot untuk didonasikan. Saat antara

infeksi dan tanda pertama dijumpainya seropositif antibodi disebut 'window

period' dan biasanya antara 6-8 minggu. Karenanya risiko donor darah

seronegatif terinfeksi serta dapat menularkan ada. Penelitian terakhir

memperlihatkan risiko itu sangat kecil; hanya satu biakan positif HIV dijumpai pada

61.000 unit darah segar yang ELISA seronegatif. Beberapa tes yang lebih baru,

yang melacak antigen HIV, tes penangkapan antigen, dan yang lain melacak asam

Page 15: Imuno Patogen Virus

nukleik HIV, metoda reaksi rantai polimerase. Kegunaan tes-tes ini dalam

skrining belum jelas.

Terapi standar untuk AIDS adalah 3'-azido-3'-deoksitimidin (zidofudin,

AZT). AZT bermakna mengurangi infeksi opportunistik serta mortalitas pada

pasien dengan infeksi HIV, namun tidaklah mengobati. AZT menyebabkan

mielosupresi berat dengan efek samping konstitusional, mengakibatkan

terbatasnya dosis. Agen lain, seperti 2',3'-dideoksisitidin (ddC) dan 2',3'-

dideoksinosin (ddI), dicoba untuk mengobati pasien dengan infeksi HIV. Terapi

paling efektif untuk infeksi HIV mungkin kombinasi AZT dan terapi lain: ddC, ddI,

interferon a, serta asiklovirinisial. Trial terapi kombinasi tengah dilakukan dan

memungkinkan perbaikan manfaat dan penurunan efek samping.

Page 16: Imuno Patogen Virus