jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p
DESCRIPTION
ÂTRANSCRIPT
KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT RATNA
MEGAWANGI DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBENTUKAN
AKHLAK ANAK PRASEKOLAH
SKRIPSI
Disusun Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Memperoleh Sarjana Program S.1
Ilmu Tarbiyah
Oleh :
ANISA’ IKHWATUN NIM. 3103106
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2008
ii
ABSTRAK Anisa’ Ikhwatun (NIM: 3103106). “Konsep Pendidikan Karakter Menurut Ratna Megawangi dan Relevansinya dalam Pembentukan Akhlak Anak Prasekolah”. Skripsi. Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang 2008.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Bagaimana pemikiran dan konsep Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter dan implikasinya dalam pembentukan akhlak anak prasekolah.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian intellectual biography, yaitu penelitian dengan menelusuri perjalanan kehidupan tokoh dalam bidang keintelektualannya yang meliputi pola perjalanan karir tokoh dalam bidang pendidikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter dimulai pada usia dini termasuk anak usia prasekolah. Karena dirasa tepat saat usia masih kanak-kanak, anak masih dapat menyerap dan menerima dengan mudah dan memiliki daya ingat yang kuat. Pendidikan ini direalisasikan dengan pengajaran dan pembelajaran yang menyenangkan dengan suasana dimana anak diajak berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
Pendidikan karakter berisi materi-materi tentang pengembangan potensi individu (anak) yang diantaranya adalah kejujuran, kemandirian, tanggung jawab, dan sebagainya. Model pendidikan ini menekankan pada tiga aspek, yaitu: knowing the good, loving the good, dan acting the good, yang mana ketiga aspek tersebut diuraiakan dalam sembilan nilai karakter. Dari sembilan nilai karakter tersebut, anak diajari tentang perbuatan-perbuatan, ucapan, pengetahuan dan tindakan yang baik, yang diharapkan efek dari pengajaran itu, anak juga bisa merasakan manfaatnya, sehingga perasaan menyukai kebaikan akan tumbuh, dan akhirnya anak akan terbiasa melakukan kebaikan, yang mana hal tersebut merupakan salah satu tujuan pendidikan karakter.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi masukan bagi
mahasiswa, tenaga pengajar, para orang tua, dan masyarakat. Terutama kepada lembaga pendidikan beserta steakholdernya dan orang tua, bahwa betapa pentingnya penanaman nilai-nilai karakter sejak dini untuk membentuk akhlak mulia dan mewujudkan generasi bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. Penulis berharap, para pembaca dapat memahami arti pentingnya pendidikan karakter, dan bersama-sama mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
iii
iv
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH SEMARANG
Alamat : Jl. Raya Ngaliyan Telp. (024) 7601295 Semarang 50185
PENGESAHAN PENGUJI
Tanggal Tanda Tangan
Dra. Hj. Nur Uhbiyati, M.Pd. ______________ __________________ Ketua Siti Tarwiyah, S.S.M.Hum. ______________ __________________ Sekretaris Prof. Dr. H. Ibnu Hadjar, M.Ed. ______________ __________________ Anggota Mufidah, M.Pd. ______________ __________________ Anggota
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi
ini tidak mengandung materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan sebagai bahan rujukan.
Semarang, 23 Desember 2007
Deklarator
Annisa’ Ikhwatun NIM. 3103106
vi
MOTTO
البرية خير هم اولئك الصلحت عملوا و امنوا الذين إن
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan-kebaikan
(amal shaleh), mereka itulah sebaik-baiknya makhluk”.1
1 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, (Bandung: CV PENERBIT J-ART,
2004), hlm. 593
vii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, segala puji dan syukur kepada Allah SWT. Shalawat serta salam
terlimpahkan selalu kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, pada keluarga,
para sahabat, dan para pengikutnya.
Dalam skripsi yang berjudul: “Konsep Pendidikan Karakter Menurut
Ratna Megawangi dan Relevansinya dalam Pembentukan Akhlak Anak
Prasekolah”, sepenuhnya penulis sadari masih banyak kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Akan tetapi merupakan suatu kebahagiaan tersendiri, karena
atas petunjuk-Nya, bimbingan serta dukungan yang penulis dapatkan, penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini.
Untuk itu, dengan sepenuh hati, penulis sampaikan terima kasih kepada:
1. Drs. Abdur Rahman, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
2. Ridwan, M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
3. Drs. H. Fatah Syukur, M.Ag., dan Mursyid, M.Ag., selaku Pembimbing
penulis. Terima kasih untuk waktu, tenaga, dan pikiran yang diluangkan untuk
memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini.
4. Ratna Megawangi, Ph.D., terima kasih atas izinnya dalam penelitian ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta wali studi (Drs. Ahmat Solikin, M.Ag), yang telah
membekali ilmu pengetahuan dan keterampilan, serta membantu kelancaran
studi selama ini.
6. Bapak dan Ibuku (Bapak Mahfudz dan Ibu Maemunatun) yang telah
mencurahkan kasih sayang, doa, serta dukungannya, sehingga saya dapat
menyelesaikan studi dengan baik.
7. Kakakku Siti Imronah dan suaminya Agus Ghozali, terima kasih atas motivasi
dan dukungannya; adikku tersayang Ahmad Rif’an Hanifudin, keponakanku
yang lucu-lucu yang selalu membawa keceriaan hatiku (Diana, Fitria, Iqbal,
Nabila).
viii
8. Sahabat dan teman diskusiku : Auliya Himawati, terima kasih atas semua
masukan dan ide-idenya.
9. Sahabat-sahabatku : Himma, Aenyah, Eni, Nita, Isti, Nisa’, Lina, Iin, Tiyas,
Rina, Jannah, Firin, Rif’an, Hanani, Heny, Roni, dan Deny, terima kasih untuk
semangat yang selalu diberikan selama ini.
Semarang, 23 Desember 2007
Penulis,
Annisa' Ikhatun NIM. 3103106
ix
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati dan kebanggaan hati, kupersembahkan
skripsi ini untuk orang-orang yang selalu memberikan semangat dan
dukungannya, serta memberikan arti dalam perjalanan hidupku.
Untuk Ibunda tersayang dan Ayahanda tercinta, yang keduanya tiada
pernah berhenti dan bosan dalam memberikan kasih sayangnya, mendukung,
membimbing, membiayai, serta mendoakan anak-anaknya untuk mencapai
kesuksesan dan keberhasilan dalam mengikuti jenjang pendidikan dalam
menggapai cita-cita. Terima kasih untuk semua yang telah diberikan , hingga aku
mengerti dan memahami akan arti sebuah kehidupan.
Untuk kakakku tercinta dan adikku tersayang, keponakan-keponakanku,
dan semua sahabat-sahabatku, yang selalu memberi inspirasi dalam
perjalananku
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
ABSTRAK ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
PENGESAHAN ------------------------------------------------------------------------- iv
DEKLARASI v
MOTTO vi
KATA PENGANTAR vii
PERSEMBAHAN ix
DAFTAR ISI x
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Penegasan Istilah 7
C. Rumusan Masalah 8
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat 8
E. Kajian Pustaka 9
F. Metode Penelitian 9
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Karakter 13
1. Pengertian Pendidikan Karakter 14
2. Landasan Dasar Pendidikan Karakter 21
3. Tujuan Pendidikan Karakter 22
4. Fitrah Manusia dalam Pendidikan Karakter 24
B. Pembentukan Akhlak
1. Pengertian Pembentukan Akhlak 27
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak 31
xi
C. Pendidikan Prasekolah dan Anak
1. Pendidikan Prasekolah 37
2. Pengertian Anak Prasekolah 38
3. Karakteristik Anak Prasekolah 39
BAB III. PEMIKIRAN RATNA MEGAWANGI TENTANG PENDIDIKAN
KARAKTER
A. Biografi Ratna Megawangi
1. Riwayat Hidup Ratna Megawangi 41
2. Latar Belakang Pendidikan Ratna Megawangi 44
3. Karya-Karya dan Kiprah Ratna Megawangi 45
B. Pemikiran Ratna Megawangi tentang Pendidikan Karakter
1. Pendidikan Karakter Menurut Ratna Megawangi 48
2. Nilai-Nilai Karakter yang Perlu Ditanamkan dalam
Pendidikan Karakter 52
3. Pengembangan Potensi dengan Pendidikan Karakter
a. Pendidikan Karakter di dalam Keluarga 54
b. Pendidikan Karakter di Sekolah 57
4. PendidikanKarakter yang Sesuai dengan Tahapan
Perkembangan Moral Anak 62
BAB IV. ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT
RATNA MEGAWANGI DAN RELEVANSINYA PADA
PEMBENTUKAN ANAK PRASEKOLAH
A. Alasan Munculnya dan Diperlukannya Pendidikan Karakter 65
B. Analisis Pemikiran Ratna Megawangi tentang Pendidikan
Karakter 70
C. Relevansi Pendidikan Karakter dalam Pembentukan Akhlak
Anak Prasekolah 73
xii
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan 77
B. Saran-Saran 79
C. Penutup 79
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 1
Pada dasarnya pendidikan adalah mengembangkan potensi individu
sebagai manusia sehingga dapat hidup secara optimal, baik sebagai pribadi
maupun sebagai bagian dari masyarakat serta memiliki nilai-nilai moral dan
sosial sebagai pedoman hidup.2
Pendidikan memegang peranan penting dalam menentukan hitam
putihnya manusia, dan akhlak juga menjadi standar kualitas manusia. Baik
buruknya akhlak merupakan salah satu indikator berhasil atau tidaknya
pendidikan. Karena dengan pendidikan diharapkan dapat menciptakan
manusia yang tidak hanya cerdas saja (kognitif), tetapi juga dapat
berperilaku baik (berakhlak mulia). Menjadi manusia yang tidak hanya
mengasah kecerdasan otak kiri saja, tetapi juga dapat menempatkan dirinya
pada posisi yang benar, dalam artian bahwa tidak hanya mengandalkan
pemikirannya saja, tetapi juga respect terhadap lingkungan dan kehidupan
sehari-harinya. Kualitas moral sangat penting untuk dijaga dan
dipertahankan dalam kehidupan manusia, terutama dalam pendidikan.
Karena pendidikan merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan
untuk mewujudkan manusia yang baik (yang berkarakter baik).
Pembahasan tentang pendidikan bukanlah hal yang baru, bahkan
setiap kali pergantian pemerintahan, maka berganti pula kebijakan dalam
pendidikan. Dengan berbagai kebijakan pendidikan itu, diharapkan dapat
1 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Baandung: Citra Utama, 2003), hlm. 3.
2 Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung : Sinar Baru,1991), hlm. 2.
2
menciptakan sumber daya manusia yang baik demi kemajuan sebuah
bangsa. Tetapi sangat ironis, meski berbagai kebijakan telah ditetapkan
ternyata hasil pendidikan di Indonesia belum juga mampu mencapai pada
tujuan yang maksimal, yang sesuai dengan UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003
tersebut di atas. Meski memiliki peran penting dalam pembentukan
moral/akhlak bangsa, pendidikan seperti sistem yang sekarang masih juga
belum berhasil. Masih banyak perilaku-perilaku negatif yang terjadi di
negara ini. Perilaku-perilaku negatif tersebut tidak hanya terjadi di
lingkungan masyarakat saja, tetapi juga di kalangan pejabat negara, yang
notabene mereka adalah dipercaya untuk mengorganisir negara ini.
Kondisi lingkungan masyarakat demikian rentan bagi tumbuhnya perilaku yang agresif dan menyimpang di kalangan siswa. Hampir setiap hari kita dapat menyaksikan dalam realitas sosial banyaknya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh siswa, seperti menurunnya moral dan tata krama sosial dalam praktik kehidupan sekolah maupun masyarakat yang pada dasarnya tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya lokal yang dianut masyarakat sosial.3
Oleh karena itu, upaya mencerdaskan anak didik yang menekankan kepada intelektual perlu diimbangi dengan kecerdasan emosi dan spiritual. Pencerdasan emosi menggarap ranah pengendalian diri dan kemampuan mengelola potensi pribadi agar dapat secara fleksibel dan bijak menyikapi kondisi yang ada. Pencerdasan spiritual diperlukan untuk menanamkan nilai-nilai kerohanian dan memberi makna bagi kehidupan terbingkai dalam semangat spiritual.
Hal tersebut perlu dilakukan karena melihat realitas yang ada pada masa sekarang. Dekadensi moral semakin merajalela di negeri ini, di kalangan masyarakat, di kalangan muda, bahkan termasuk para siswa. Beberapa tindakan negatif yang sudah menjadi hal yang biasa, seperti pembunuhan, pelecehan seksual, dan masih banyak lainnya terjadi di masyarakat kita. Tidak hanya pada masyarakat, tindakan-tindakan negatif juga terjadi pada siswa/ pelajar.
3 Mukhtar, Desain Pembelajaran PAI, (Jakarta : Misaka Galiza, 2003), hlm. 3.
3
Di satu sisi, bangsa ini sedang menatap pada tantangan hari esok sangat berat, yang mengharuskan kondisi kebangsaan kita harus fit, dan juga harus mempunyai kemampuan lebih/tambahan untuk mampu bersaing dengan era tersebut. Tetapi di sisi yang lain, kita disuguhi contoh-contoh yang menyedihkan, seperti tawuran pelajar, kebiasaan membolos, menyontek, kemalasan, ketidakdisiplinan, ketidakjujuran, ketidaktulusan, kelemahan etos kerja, ketiadaan jiwa menolong terhadap sesama atau kepada orang lain, ketidakhormatan terhadap orang tua atau guru dan sederet perilaku tidak terpuji, di tambah lagi kerendahan prestasi, apalagi kreatifitas dan inovasi.4
Kemerosotan moral tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat dan pelajar saja, bahkan di kalangan para pejabat pun juga terjadi seperti perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Krisis multidemensi ini sebetulnya mengakar pada menurunnya kualitas moral bangsa yang dicirikan oleh membudayanya praktek KKN, konflik (antar etnis, agama, politisi, remaja, dan sebagainya), meningkatnya kriminalitas, menurunnya etos kerja, dan banyak lagi. Budaya korupsi yang yang merupakan praktek pelanggaran moral (ketidakjujuran, tidak bertanggung jawab, rendahnya disiplin, rendahnya komitmen kepada nilai-nilai kebaikan) adalah penyebab utama negara kita sulit untuk bangkit dari krisis ini.
Krisis moral dan akhlak di negeri juga tampak pada kalangan siswa. Banyak tindakan negatif yang mengarah pada kebiasaan, seperti : membolos sekolah, menyontek, kemalasan, ketidakdisiplinan ketidakjujuran, ketidaktulusan, kelemahan etos kerja, kenihilan jiwa menolong terhadap sesama atau kepada orang lain, tidak hormat kepada orang tua dan guru, dan masih banyak perilaku tidak terpuji yang dilakukan oleh para siswa. Hal ini ditambah lagi dengan rendahnya prestasi, daya kreatif dan inovatif.5
Dari berbagai contoh kemerosotan moral tersebut ada kaitannya dengan pendidikan kita yang berupa kegagalan dalam sistem pendidikan.
4 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter : Solusi Yang Tepat Untuk Membangun Bangsa,
(Jakarta : Indonesia Heritage Foundation,2004), hlm. 3-4. 5 A. Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang
:Anek Ilmu,2003), hlm. 60.
4
Untuk menghadapi persaingan bebas dalam era globalisasi seharusnya kondisi bangsa dan pelajar Indonesia adalah kebalikan dari apa yang tersebut di atas. Contoh-contoh dekadensi moral seperti tersebut di atas adalah mengacu pada kesamaan inti permasalahan, yaitu rapuhnya pondasi morality. Moralitas bangsa kita saat ini berada pada titik rendah.6
Untuk mewujudkan bangsa yang berpribadian atau berakhlak (moral) baik, maka akhlak harus terbentuk mulai dari masing-masing individu, sehingga menjadi masyarakat yang berakhlakul karimah dan sampai pada akhirnya terbentuk sebuah peradaban dari sebuah bangsa. Tanpa memperhatikan perbentukan tersebut, peradaban yang semula kokoh dapat hamcur, baik secara perlahan ataupun dalam sekejap.
Penyair besar Asy-Syaoqi dalam bukunya M.’Athiyah Al-Abrasy, dalam syairnya yaitu :7
.انما األمم اال خالق ما بقيت فإن هموا ذهبت اخالقهم ذهبوا
“Sesungguhnya kekalnya suatu bangsa adalah selama akhlaknya kekal, bila akhlaknya sudah rusak, maka sirnalah bangsa itu”.
Melalui akhlak individu yang baik, peradaban yang meliputi arah
manusia akan terwujud. Inilah yang akan mendorong individu dan
masyarakat pada kemajuan. Pesona akhlak individu itu muncul tidak secara
tiba-tiba, melainkan melalui proses pendidikan.8
Berkaitan dengan permasalahan-permasalahan tersebut di atas,
pendidikan berperan penting sebagai salah satu upaya pembentukan dan
perbaikan akhlak moral bangsa. Pendidikan merupakan unsur yang tidak
dapat dipisah-pisahkan dari diri manusia. Karena manusia sangat
membutuhkan pendidikan melalui proses penyadaran yang berusaha
menggali dan mengembangkan potensi dirinya. Pendidikan agama
hendaknya dapat mewarnai kepribadian anak, sehingga agama itu benar-
benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan menjadi pengendali dalam
6 Ibid., hlm. 61. 7 M. Athiyah Al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terjm. Bustami al-Goni,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hlm. 102. 8 Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral : Aspek Penddikan Yang Terlupakan, (Jakarta :
Pustaka Pelajar,1996), hlm. 11.
5
hidup di kemudian hari. Pendidikan agama selain diberikan oleh orang tua di
dalam keluarga juga harus diberikan oleh guru yang benar-benar tercermin
dalam sikap, tingkah laku, cara menghadapi persoalan dalam keseluruhan
pribadinya.9
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa manusia
mutlak tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan, karena dengan
pendidikan mampu mengantarkan manusia untuk memperoleh pengetahuan,
ketrampilan dan mengembangkan sikap serta nilai yang ada dalam dirinya.
Pendidikan diyakini dapat mengantar manusia kepada akhlak yang lebih
baik.
Dengan pendidikan sikap serta nilai yang ada dalam diri manusia
dikembangkan. Manusia pada dasarnya memiliki potensi (nilai dalam diri)
berupa fitrah sejak awal kehidupannya di dunia. Yang mana potensi tersebut
sebenarnya mengarah pada kebaikan (tindakan positif). Namun, bersamaan
dengan waktu, banyak hal yang dapat mempengaruhi potensi baik tersebut.
manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang di dalam dirinya diberi
kelengakapan-kelengkapan psikologis dan fisik yang memiliki
kecenderungan ke arah yang baik dan buruk. Sesuai dengan firman Allah
SWT dalam Q.S. Asy-Syams :
وقد خاب من . افلح من زكها قد. فالهمها فجورها وتقوها. ونفس وما سوها
)١٠−٧:الشمس . (دسها
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.10
Dari ayat tersebut kaitannya dalam pendidikan karakter adalah
berfungsi untuk tetap menjaga kesempurnaan jiwa agar tetap pada fitrah
yang baik.
9 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hlm. 107. 10 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV. Penerbit J-Art,
2004), hlm. 596.
6
Untuk menumbuhkan dan mengembangkan akhlak, perlu adanya sebuah pendidikan pembentukan akhlak yang keberadaannya merupakan salah satu sarana untuk membangun kebaikan individu, masyarakat, dan peradaban manusia. Dan salah satunya adalah dengan pendidikan karakter, yang mana pendidikan ini bertujuan membentuk akhlak dengan mengajarkan beberapa karakter yang diarahkan sebagai sebuah kebiasaan. Sehingga dengan kebiasaan-kebiasaan karakter tersebut akan muncul akhlak yang baik.
Ratna Megawangi adalah seorang muslimah yang memiliki visi toleransi yang sangat tinggi. Muslimah bergelar doktor dari Post Doktoral ini adalah pelopor pendidikan berbasis karakter di Indonesia.11 Menurutnya, pendidikan karakter sangat dibutuhkan bangsa ini, karena bangsa Indonesia sekarang ini sedang terpuruk akibat krisis moral dan rendahnya akhlak, sehingga banyak tindakan-tindakan anarkis dan negatif yang sering terjadi di bangsa kita.
Begitu pentingnya pendidikan karakter yang diberikan kepada anak dalam pembentukan akhlakul karimah bagi anak, sehingga karakter tersebut menjadikan anak tumbuh dan memiliki akhlak mulia hingga dewasa bahkan sampai tua. Maka, pemikiran Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter yang berisi tentang sembilan pilar karakter (cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran, diplomatis, hormat dan santun, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong, percaya diri dan pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan)12 yang harus ditanamkan kepada anak sejak usia prasekolah/usia dini.
Dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengangkat judul skripsi dengan judul “KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT RATNA MEGAWANGI DAN RELEVANSINYA PADA PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK PRASEKOLAH”.
11“Ensiklopedi Tokoh Indonesia” http://www.tokohindonesia.com./r/ratna-
megawangi/biografi 12 Ratna Megawangi, Op.Cit., hlm. 95.
7
B. PENEGASAN ISTILAH Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pengertian terhadap
penulisan skripsi ini, maka penting kiranya ada penegasan istilah yang berkaitan dengan judul skripsi tersebut. Adapun istilah-istilah yang penulis tegaskan pengertiannya adalah sebagai berikut : 1. Konsep
Konsep dari akar kata “cept”, yang artinya memperoleh. Mendapat awalan “ion”, yang artinya mengerti, maka yang dimaksud dengan konsep adalah suatu gagasan yang diperoleh setelah mempelajari berbagai sumber.13 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti konsep adalah ide atau pengertian yang diabstraksikan dari peristiwa kongkrit.
2. Karakter Dalam Kamus Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak.14
3. Pembentukan Dari akar kata “bentuk” yang mempunyai arti proses, perbuatan dan cara membentuk.15
4. Akhlak Secara etimologi, akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq (اخالق). Bentuk jama’ dari mufrodnya khuluq (خلق), yang berarti budi pekerti, sinonimnya etika dan moral.16 Sedangkan menurut istilah, Ahmad Amin berpendapat bahwa akhlak adalah kebiasaan kehendak, yaitu berarti kehendak tersebut bila dibiasakan, maka kebiasaan tersebut disebut akhlak.17
5. Anak Prasekolah Yang dimaksud dengan anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun menurut Biechler dan Snowman (1993). Di Indonesia,
13 Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : BalaiPustaka, 1994), hlm. 520. 14 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hlm. 445. 15 Ibid.,hlm. 374. 16 Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islam (Akhlak Mulia), (Jakarta : Pustaka Panjimas,
1996), hlm. 26. 17 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hlm. 63..
8
mereka umumnya mengikuti program Tempat Penitipan Anak (3 bulan-5 tahun) dan Kelompok Bermain (usia 3 tahun).18
Jadi, yang dimaksud dengan judul dalam penelitian ini adalah pemikiran Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter yang diberikan kepada anak usia prasekolah dan relevansi dalam membentuk akhlak anak.
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka ada beberapa permasalahan yang menjadi pokok kajian penulis dalam skripsi ini, yaitu : 1. Bagaimanakah konsep pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi? 2. Bagaimanakah relevansi konsep pendidikan karakter menurut Ratna
Megawangi dalam pembentukan akhlak pada anak prasekolah?
D. TUJUAN PENELITIAN DAN MANFAAT Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan mengenai pemikiran Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter.
2. Untuk mengetahui relevansi dari pemikiran Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter dalam pembentukan akhlak anak prasekolah.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan informasi tentang konsep pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi dan juga diharapkan dapat memberikan masukan dalam peningkatan kualitas pendidikan saat ini sebagai upaya pertumbuhan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT., penguasaan ketrampilan hidup, kemampuan akademik, seni dan pengembangan kepribadian yang paripurna.
E. KAJIAN PUSTAKA
Sebagai acuan dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa kajian pustaka sebagai landasan berpikir. Yang mana kajian pustaka yang penulis gunakan adalah beberapa hasil penelitian skripsi dan tesis. Beberapa kajian pustaka tersebut di antaranya adalah :
18 Soemiarti Padmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000),
hlm. 19.
9
Lift Anis Ma’sumah (529814) 2000. Jurusan Pemikiran Pendidikan Islam, dengan judul tesis : ”Aktualisasi Potensi Wanita dalam Pendidikan Islam (Analisis Terhadap Pemikiran Ratna Megawangi)”. Membahas pemikiran Ratna Megawangi tentang feminisme (dalam buku “Membiarkan Berbeda”). Bahwa potensi yang diberikan oleh Allah kepada wanita dan juga laki-laki adalah merupakan daya atau kemampuan dasar yang secara dramatis dapat berkembang melalui kehidupan.
Ahmadi Wahid (520059) Jurusan Pemikiran Pendidikan Islam, dengan judul tesis : “Metode Pendidikan Anak dalam Islam Menurut Ulama Klasik dan Kontemporer (Telaah Atas Pemikiran Al-Ghazali dan Abdullah Nasih Ulwan)”. Al-Ghazali dan Abdullah Nasih Ulwan memiliki pandangan yang sama, bahwa tidak ada metode tertentu yang harus digunakan dalam mendidik anak, kecuali harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi anak, serta mampu memilih metode yang paling tepat.
Siti Farida, Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI (2001). Skripsi dengan judul “Metode Pendidikan Akhlak Pada Anak Prasekolah Menurut Fauzil Adhim”. Berisi tentang metode-metode pendidikan akhlak, bahwa metode yang digunakan untuk pendidikan akhlak prasekolah adalah dengan metode cerita.
Dari kajian pustaka di atas menunjukkan bahwa skripsi yang penulis angkat berbeda dengan skripsi dan tesis yang telah lalu. Namun memang ada satu tesis (Lift Anis MS) yang mengambil tokoh yang sama, akan tetapi focus pembahasannya berbeda. Pada tesis tersebut membahas pemikiran Ratna Megawangi tentang Feminisme, sedangkan pada skripsi ini membahas tentang Pendidikan Karakter.
F. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini menggunakan
penelitian kepustakaan dan penelitian pada intelektual biografi tokoh, yaitu berupa penelusuran pada riwayat hidup dan latar belakang dari pemikiran/ teori dari Ratna Megawangi mengenai pendidikan karakter.
10
Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku karya Ratna Megawangi yang berjudul Pendidikan Karakter dan karya lain yang menunjang.
Penelitian ini memfokuskan pada pembahasan tentang pemikiran dan konsep Pendidikan Karakter menurut Ratna Megawangi. Di dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keseluruhan kegiatan pada upaya proses pembentukan akhlak anak dengan metode pendidikan karakter yang terdapat dalam buku pendidikan karakter karya Ratna Megawangi.
2. Metode Pengumpulan Data Metode yang dipergunakan untuk memperoleh data dalam
penulisan skripsi ini menggunakan metode library research.19 Maksudnya adalah mencari data dengan cara melakukan penelusuran buku-buku, sejumlah tulisan pustakaan dan menelaahnya. 1) Metode Interview
Metode interview adalah suatu metode yang dipakai dalam pengumpulan data dengan menggunakan teknik tanya jawab secara langsung dan sistematis yang berlandaskan pada tujuan pendidikan.20 Metode ini digunakan untuk mendapatkan data dari Ratna Megawangi secara langsung dengan menggunakan telepon.
2) Metode Dokumentasi Metode dokumentasi adalah suatu metode untuk mencari data
mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang meliputi beberapa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.21 Maksudnya adalah mengumpulkan data-data hasil pemikiran Ratna Megawangi, baik yang berbentuk buku atau tulisan-tulisan lain, seperti makalah atau artikel.
Adapun data-data yang dikumpulkan oleh penulis adalah meliputi :
19 Winarno Surahmat, Dasar-Dasar Teknik Research, (Bandung : Tarsito,1987), hlm. 139. 20 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 2, (Bandung : Tarsito, 2002), hlm. 193. 21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta : Rineka
Cipta, 1998), hlm. 206.
11
a. Data Primer Yang dimaksud dengan data primer adalah data otentik
atau data langsung dari tangan pertama tentang masalah yang diungkapkan, disebut juga dengan data asli.22 Data primer dalam penulisan skripsi ini adalah dari buku “Pendidikan Karakter”, karangan Ratna Megawangi, yang diterbitkan oleh IHF (Indonesia Heritage Foundation), Jakarta, tahun 2004, cetakan I, dan juga wawancara langsung dengan Ratna Megawangi melalui telepon.
b. Data Sekunder Yaitu sejumlah kepustakaan yang ada relevansinya
dengan judul skripsi ini yang berasal dari tulisan-tulisan Ratna Megawangi dan juga tulisan-tulisan atau buku-buku lain yang mendukung pembahasan materi skripsi ini. Data sekunder merupakan data yang dapat melengkapi sumber data primer.
3. Analisis Data Sebelum membahas metode analisis data dalam skripsi ini akan
diterangkan pengertian analisis terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan analisis adalah menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian.23 Jadi, analisis adalah hasil dari pengamatan-pengamatan atas beberapa yang dikumpulkan dan untuk kemudian dapat disimpulkan hasil dari pengamatan tersebut.
Metode-metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah sebagai berikut : a. Metode Diskriptif
Yaitu suatu sistem penulisan dengan cara mendeskripsikan realitas dan fenomena sebagaimana adanya yang dipilih dari persepsi subyek. Metode ini terutama digunakan untuk menjelaskan pandangan Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter, dalam kaitannya dengan pembentukan akhlak anak prasekolah.
b. Metode Content Analisis
22 Ibid., hlm. 80. 23Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Rosda Karya,t.th),
hlm. 103.
12
Yaitu merupakan analisis isi. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, mempelajari dan kemudian melakukan sintesis terhadap apa yang diselidiki.
Untuk merealisasikan metode content analysis ini, terkait
dengan data, maka data-data yang sudah ada, baik dari sumber
primer atau sekunder, yang kemudian dianalisis memiliki tiga syarat,
yaitu obyektivitas, pendekatan sistematis dan generalisasi.24 Artinya,
dari semua data yang telah dianalisis harus menyajikan generalisasi,
yang temuannya haruslah mempunyai sumbangan teoritik.
c. Metode Interpretatif
Yaitu metode yang menggunakan karya tokoh, kemudian
diselami untuk menangkap arti dari nuansa yang dimaksudkan tokoh
secara khas.25 Maksudnya adalah penganalisaan dengan
menggunakan karya atau hasil pemikiran tokoh yang diangkat dalam
skripsi ini.
Dalam hal ini, penganalisaan juga berorientasi pada sebab
atau alasan munculnya teori pendidikan karakter yang dikemukakan,
menganalisa dalam kondisi ataupun keadaan yang bagaimana
sehingga pendidikan karakter diperlukan. Dari permasalahan yang
ada, apa solusi yang tepat untuk penyelesaiannya/yang dapat
digunakan.
24 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta : Rakesa,1998), hlm. 49. 25 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat,(Yogyakarta : Kanisius,1992), hlm. 63.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Karakter
Pendidikan merupakan proses belajar bagi setiap manusia dalam
usaha pengembangan potensi diri. Sekolah merupakan lembaga kedua
setelah di dalam lingkungan keluarga (rumah). Lingkungan keluarga
merupakan yang paling pertama yang menentukan bagaimana seorang
anak tumbuh dan berkembang dalam perilaku nantinya. Pendidikan di
sekolah merupakan pendukung utama dalam perkembangan anak tersebut.
Dengan adanya pendidikan diharapkan seorang anak tidak hanya
cerdas secara kognitif saja, akan tetapi juga secara emosionalnya, sehingga
seorang anak akan tumbuh dengan kecerdasan yang cukup dan juga
memiliki rasa simpati dan empati (respek) dalam kehidupan sehari-hari di
sekitar lingkungannya. Terkait dengan keadaan bangsa Indonesia
sekarang, maka seharusnya pendidikan tidak hanya menekankan pada nilai
(peringkat/prestasi di kelas) dan tidak hanya mementingkan kecerdasan
sepihak (kognitif) saja. Sudah saatnya bangsa ini memikirkan tentang
pendidikan yang berorientasi pada pembentukan akhlak dan moral,
sehingga hasil dari pada pendidikan itu adalah manusia-manusia yang
berkarakter.
Menurut Syaikh Mustafa al-Ghulayani, bahwa pendidikan adalah :
وسقيها مباء االرشاد الناشئنيىف نفوس الفاضلة هي غرس االخالق التربية يلهالفاضا ر مثن تكو مث ملكات النفس لكة من م ة حيت تصبحيحوالنص
1.واللخري وحب العمل لنفع الوطن Pendidikan adalah menanamkan akhlak yang mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasihat, sehingga
1 Mustafa Al-Ghulayani, Idhah al-Nasihi, (Pekalongan : Raja Murah, 1953), hlm. 189
14
menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan, kebaikan, serta cinta bekerja yang berguna bagi tanah air.
Dari penjelasan al-Ghulayani tersebut, jelas bahwa pendidikan
selain mengajarkan tentang ilmu pengetahuan juga harus memberikan
pembelajaran yang baik, yang dapat membentuk pribadi baik, memiliki
keutamaan dalam akhlak. Dan hal tersebut dilakukan dengan pembinaan
dan pembiasaan. Karena sesungguhnya manusia sejak awal memiliki
potensi baik (fitrah).
Manusia2 selaku makhluk Tuhan dibekali berbagai potensi yang
dibawa sejak lahir dan salah satunya adalah fitrah. Menurut M. Arifin,
bahwa fitrah manusia diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar
dan yang salah, kemampuan ini diperoleh dari proses pendidikan yang
telah mempengaruhinya.3
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Untuk mendapatkan pengertian tentang pendidikan karakter
secara keseluruhan, maka dalam sub bab ini akan diuraikan masing-
masing unsur dari pendidikan dan karakter secara terpisah.
a. Pengertian Pendidikan
Secara etimologi, pengertian pendidikan yang diberikan
oleh ahli John Dewey, seperti yang dikutip oleh M. Arifin
menyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu proses
pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang
menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan
(emosional) menuju ke arah tabiat manusia dan manusia biasa.4
Dalam bukunya M. ‘Athiyah Al-Abrasyi, menurut Sully,
salah seorang tokoh filosof pendidikan, pendidikan diartikan :
2 Manusia memiliki desain kejiwaan yang sempurna, memiliki potensi untuk
memahamikebaikan dan kejhatan dan biasa ditingkatkan kualitasnya menjadi suci dan dapat tercemar menjadi kotor. Lihat selengkapnya dalam M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan, 1997), Cet. I, hlm.282.
3 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta :Bumi Aksara, 1995), hlm. 70. 4 M. Arifin, Op.Cit., hlm.1.
15
كى يكون قادرا على ان يقود : يب القوى الطبعية للطفلالتر بية ذ 5 .حياة خلقية صحية سعدة
Pendidikan adalah pengajaran watak bagi anak-anak agar dia mampu untuk mandiri.
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya
mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta’dib dan al-ta’lim. Dari ketiga
istilah tersebut yang paling populer digunakan dalam praktik
pendidikan Islam adalah al-tarbiyah, sedangkan al-ta’dib dan al-
ta’lim jarang sekali.6
Mortiner J. Adler mengartikan pendidikan adalah proses di
mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang
diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan,
disempurnakan dengan kebiasaan yang baik melalui sarana yang
artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang
lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkannya, yaitu
kebiasaan yang baik.7
Dari pengertian pendidikan yang telah diuraikan, maka
dapat dipahami bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang
dilakukan dengan penuh kesadaran dan terkonsep serta terencana
untuk memberikan pembinaan dan pembimbingan pada peserta
didik (anak-anak). Yang mana bimbingan dan pembinaan tersebut
tidak hanya berorientasi pada daya pikir (intelektual) saja, akan
5 Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi, Ruhuttarbiyah wa Ta’limu, (Mesir : ‘Isalbab Alhalabi
Watsirkah, t.th), hlm. 6. 6 Tentang perbedaan tiga istilah dengan pengertian yang sama tersebut. Hasan
Langgulung, mengutip pendapatnya Al-Attas, bahwa kata ta’lim hanya berarti pengajaran, sedangkan kata tarbiyah kaitannya lebih luas, sebab itu berlaku bagi seluruh makhluk dengan pengertian memelihara atau membela dan lain-lain lagi. Padahal kata pendidikan yang diambil dari education itu hanya untuk manusia saja, sedangkan kata ta’dib lebih tepat sebab tidak terlalu sempit (tidak sekedar mengajar) dan tidak meliputi makhluk-makhluk lain selain manusia. Jadi, kata ta’dib sudah meliputi kata ta’lim dan tarbiyah. Selain ta’dib lebih erat hubungannya dengan kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam isi pendidikan. Baca lebih lengkap Hasan Langgulung, Asas-asasPendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1992), Cet. 2, hlm. 5.
7 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), Cet. I, hlm. 35.
16
tetapi juga pada segi emosional yang dengan pembinaan dan
bimbingan akan dapat membawa perubahan pada arah yang lebih
positif.
Proses pendidikan merupakan rangkaian usaha
membimbing, mengarahkan potensi manusia yang berupa
kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga
terjadilah perubahan (positif) di dalam kehidupan pribadinya
sebagai makhluk individual dan sosial serta dalam hubungannya
dengan alam sekitar di mana ia hidup. Proses tersebut senantiasa
berada dalam nilai-nilai yang melahirkan akhlaq al-karimah atau
menanamkannya, sehingga dengan pendidikan dapat terbentuk
manusia yang berbudi pekerti dan berpribadi luhur.
Dalam pandangan Andragogie8, seorang anak dianggap
memiliki potensi dan kemampuan serta pengalaman dan tugas
pendidikan adalah untuk mengaktualkannya.9
b. Pengertian Karakter
Karakter dalam kamus pendidikan berarti watak, sifat-sifat
kejiwaan. Dan ilmu yang mempelajari tentang watak seseorang
seseorang berdasarkan tingkah laku disebut dengan karakterologi.10
Karakter atau watak dapat dikembangkan oleh faktor-faktor
pembawaan dan faktor-faktor eksogen seperti alam sekitar,
pendidikan dan pengaruh dari luar pada umumnya.11
8 Andragogie adalah ilmu tata cara orang dewasa belajar, Kamus Bahasa Indonesia,
(Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, 2005), Edisi Ketiga, hlm. 46. Andragogie berasal dari bahasa Yunanu Kuno, yaitu “andr”, yang berarti laki-laki atau orang dewasa (bukan anak laki-laki), dan “agogos”, yang berarti membimbing atau membina.secara harfiah (etimologi), andragogie adalah ilmu atau seni mengajar orang dewasa. Pada intinya teori ini mengungkapkan bagaimana proses pendidikan harus dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi aktif dari peserta didik. Muis Sad Iman, Pendidikan Pasrtisipatif, (Yogyakarta : Safiria Insania Press,2004), hlm. 4.
9 Suharsono, Membelajarkan Anak dengan Cinta, (Jakarta : Inisiasi Press, 2003), hlm. 146.
10 Saliman dan Sudarsono, Kamus Pendidikan, Pengajaran dan Umum, (Jakarta : Rineka Cipta, Cet. I, 1994), hlm. 116.
11 Soegarda Poerbakawatja dan Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung, Cet. III. Edisi II, 1976), hlm. 161.
17
Dalam bukunya Netty Haratati, karakter (character) adalah
watak, perangai, sifat dasar yang khas, satu sifat atau kualitas yang
tetap terus menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk
mengidentifikasi seorang pribadi. Ia disebabkan oleh bakat
pembawaan dan sifat-sifat hereditas sejaklahir dan sebagian
disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Ia berkemungkinan untuk
dapat dididik. Elemen karakter terdiri atas dorongan-dorongan,
insting,12 refleksi-refleksi, kebiasaan-kebiasaan, kecenderungan-
kecenderungan, organ perasaan, sentimen, minat, kebajikan dan
dosa, serta kemauan.13
Menurut Wynne (1991) :
Kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu, seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia.14 Menurut Ratna Megawangi, karakter berasal dari bahasa
Yunani, yaitu charassein, yang artinya adalah mengukir hingga
terbentuk sebuah pola. Jadi, untuk mendidik anak agar memiliki
karakter diperlukan proses “mengukir”, yakni pengasuhan dan
pendidikan yang tepat. Karakter adalah sikap yang dapat dilihat
atau ditandai dari perilaku, tutur kata, dan tindakan lainnya. Dalam
padanannya dengan istilah bahasa Arab, karakter mirip artinya
12 Insting, istilah ini kebanyakan untuk binatang dan jarang sekali digunakan untuk
manusia. Baca Murtada Muthahari, Fitrah, (Jakarta : Lentera, 1998), hlm. 18. Serta tidak pernah digunakan untuk benda-benda dan tumbuh-tumbuhan. Insting adalah suatu kemampuan berbuat dan bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar. Kemampuan insting ini pun merupakan pembawaan sejak lahir. Dalam. Dunia psikologi pendidikan, kemampuan ini disebut dengan “kapabilitas”. Baca M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta : Bumi Aksara, 1994), hlm. 101.
13 Netty Hartati, dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 137-138.
14 Dwi Hastuti Martianto, Pendidikan Karakter : Paradigma Baru dalam Pembentukan Manusia Berkualitas, http://tumoutou.net/702-05123/dwi-hastuti-htm. 7 juni 2007
18
dengan akhlak mulia yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal-hal
yang baik.15
Karakter merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini
menyebabkan jiwa bertindak tanpa pikir atau dipertimbangkan
secara mendalam. Keadaan ini ada dua jenis. Yang pertama,
alamiah dan bertolak dari watak. Misalnya pada orang yang
gampang sekali marah karena hal-hal yang paling kecil. Yang
kedua, tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Pada mulanya
keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan difikirkan. Namun,
kemudian melalui pratek terus menerus menjadi karakter.16
Pengertian ini sama dengan beberapa pengertian akhlak dalam
beberapa literatur, ini karena dari beberapa versi hampir sama
dinyatakan bahwa akhlak dan karakter adalah sama-sama yang
melekat dalam jiwa dan dilakukan tanpa pertimbangan.
Dari beberapa pengertian karakter di atas ada dua versi
yang agak berbeda. Satu pandangan menyatakan bahwa karakter
adalah watak atau perangai (sifat), dan yang lain mengungkapkan
bahwa karakter adalah sama dengan akhlak, yaitut sesuatu yang
melekat pada jiwa yang diwujudkan dengan perilaku yang
dilakukan tanpa pertimbangan. Tapi sebenarnya bila dikerucutkan
dari kedua pendapat tersebut adalah bermakna pada sesuatu yang
ada pada diri manusia yang dapat menjadikan ciri kekhasan pada
diri seseorang.
Karakter sama dengan kepribadian17, tetapi dipandang dari
sudut yang berlainan. Istilah karakter dipandang dari sudut
15 Ratna Megawangi. Pendidikan Karakter, Op. Cit., hlm. 25 16 Abu Ali Akhmad Al-Miskawaih, Tahdhib Al-Akhlak, Trjm. Helmi Hidayat, Menuju
Kesempurnaan Akhlak , (Bandung : Mizan, 1994), hlm.56 17 Menurut Erich Fromm, yang dikutip oleh Hanna Djumhana Bastaman, bahwa :
personality is the totality of inherited and acquired psychic qualitries which are characteristic of one individual and which make the individual unique. (Kepribadian adalah keseluruhan yang diwarisi dan diperoleh dari kualitas kejiwaan yang mana adalah karakter dari satu individu dan yang membuat ke khassan individu. Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta : Yayasan Insan Kamil, 2001), Cet. III, hlm. 103.
19
”penilaian”, baik-buruk, senang-benci, menerima-menolak, suatu
tingkah laku berdasarkan norma-norma yang dianut. Sedangkan
istilah kepriabadian dipandang dari sudut ”penggambaran”,
manusia apa adanya tanpa disertai penilaian.18
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, kepribadian dalam
bahasa Inggris disebut personality, yang berasal dar bahasa Yunani
per dan sonare yang berarti topeng, tetapi juga berasal dari kata
personae yang berarti pemain sandiwara, yaitu pemain yang
memakai topeng tersebut. Kepribadian diartikan dalam dua
macam. Pertama, sebagai topeng (mask personalty), yaitu
kepribadian yang berpura-pura, yang dibuat-buat, yang semua
mengandung kepalsuan. Kedua, kepribadan sejati (real personalty)
yaitu kepribadian yang sesungguhnya, yang asli.19
Seperti dalam bukunya Elzabeth B. Hurlock Child
Development, menyebutkan bahwa :
The term "personality" comes from the Latin word "persona". Personality is the dinamis organization within the individual of those psychophysical system that determine the individual's unique adjusments to the enviroment.20 Istilah personality berasal dari kata Latin persona yang berarti topeng. Kepribadian adalah susunan sistem-sistem psikofisik yang dinamai dalam diri suatu individu yang unik terhadap lingkungan. Dari konotasi kata persona diartikan bagaimana seseorang
tampak pada orang lain dan bukan pribadi yang sesungguhnya..
Apa yang dipikir, dirasakan, dan siapa dia sesungguhnya termasuk
dalam keseluruhan “make up”(polesan luar) psikologis seseorang
dan sebagian besar terungkap melalui perilaku. Karena itu,
18 Netty Hartati, dkk., Op.Cit., hlm.119 19 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 136 20 Elizabeth B. Hurlock, Child Development, (Japan : Mc Graw-Hill, 1978), hlm. 524
20
kepribadian bukanlah suatu atribut yang pasti dan spesifik,
melainkan merupakan kualitas perilaku total seseorang.
Dari pengertian pendidikan dan pengertian karakter di atas,
maka pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk pola
sifat atau karakter baik mulai dari usia dini, agar karakter baik tersebut
tertanam dan mengakar pada jiwa anak.
Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui
proses knowing the good, loving the good and acting the good yaitu
proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi dan fisik,
sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart
and hands. Maksudnya adalah pertama, anak mengerti baik-buruk,
mengerti tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan
prioritas hal-hal yang baik. Kedua, mempunyai kecintaan terhadap
kebajiakn dan membenci perbuatan buruk kecintaan ini merupakan
semangat untuk berbuat kebajikan. Ketiga, anak mampu melakukan
kebajikan dan terbiasa melakukannya.21
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang tidak hanya
berorientasi pada aspek kognitif saja, akan tetapi lebih berorientasi
pada proses pembinaan potensi yang ada dalam diri anak,
dikembangkan melalui pembiasaan sifat-sifat baik yaitu berupa
pengajaran nilai-nilai karakter yang baik. Yang mana dalam
pendidikan karakter bahwa setiap individu dilatih agar tetap dapat
memelihara sifat baik dalam diri (fitrah) sehingga karakter tersebut
akan melekat kuat dengan latihan melalui pendidikan sehingga akan
terbentuk akhlaqul karimah.
Pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep dan
metodologi dengan pendidikan moral, seperti kewarganegaraan, budi
pekerti atau bahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan moral
misalnya kewarganegaraan dan pelajaran agama hanya melibatkan
21 Stefan Sikone, ”Pembentukan Karakter Dalam Sekolah”,
http:www.//mirifica.net/wmview.php? 15:04, 12 Mei 2006.
21
aspek kognitif (hafalan) tanpa ada apresiasi (emosi) dan praktik.
Sehingga banyak yang hafal isi Pancasila atau ayat-ayat suci, tetapi
tidak tahu bagaimana berlaku benar (seperti membuang sampah pada
tempatnya), berlaku jujur, beretos kerja tinggi dan menjalin hubungan
harmonis dengan sesama.22
Pendidikan karakter di sini yang dimaksud adalah pendidikan
dengan proses membiasakan anak melatih sifat-sifat baik yang ada
dalam dirinya sehingga proses tersebut dapat menjadi kebiasaan dalam
diri anak. Dalam pendidikan karakter tidak hanya bertujuan untuk
mencerdaskan anak dalam aspek kognitif saja, akan tetapi juga
melibatkan emosi dan spiritual, tidak sekedar memenuhi otak anak
dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga dengan mendidik akhlak anak
Anak dipersiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang
bertanggung jawab dan respek terhadap lingkungan sekitarnya.
2. Landasan Dasar Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter berorientasi pada pembentukan manusia
yang berakhlak mulia dan berkepribadian luhur. Maka dalam hal ini,
landasan dasar dari pada pendidikan karakter adalah sesuai dengan UU
SISIDIKNAS No. 20 Tahun 2003, yaitu :
Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembalajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengenalan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.23 Pendidikan karakter didasarkan pada UU SISIDIKNAS karena
dalam uraian undang-undang tersebut salah satu tujuan dari pendidikan
adalah dapat mengembangkan potensi manusia. Yang mana arah dari
pengembangan potensi tersebut adalah terwujudmnya akhlak mulia.
Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan daripada pendidikan karakter.
22 Ibid. 23 Undang-Undang SISDIKNAS, Op.Cit., hlm. 3.
22
Selain itu, pendidikan karakter juga sesuai dengan Al-Qur’an :
عمالس ل لكمعجئاوين شولمعال ت تكمهن امطوب من كمجراهللا اخو
)78: النحل . (واالبصار واالفئدة لعلكم تشكرون
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur. (Q.S. An-Nahl : 78)24 Menurut Dr. Muhammad Fadhil al-Djamaly yang dikutip oleh
M. Arifin, bahwa dalam ayat tersebut memberikan sebuah petunjuk
bahwa manusia harus melakukan usaha pendidikan aspek eksternal
(mempengaruhi dari luar diri anak didik). Dengan kemampuan yang
ada dalam diri anak didik terhadap pengaruh eksternal yang bersumber
dari fitrah itulah, maka pendidikan secara operasional bersifat hidayah
(petunjuk).25 Kaitannya dengan pendidikan karakter adalah bahwa
pendidikan karakter adalah sebuah usaha pendidikan dalam proses
pengembangan potensi (fitrah) manusia dari sisi eksternal yang berupa
pengaruh lingkungan.
3. Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk manusia
secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek
fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara
optimal. Selain itu, untuk membentuk manusia yang lifelong learners
(pembelajar sejati).26
“Character education, aimed at the inculcation of specific
virtues, depends heavly on the indentification and description of
24 Departemen Agama RI., Op.Cit., hlm.269. 25 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Op.Cit., hlm. 44. 26 Ratna Megawangi, “Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistik
Berbasis Karakter”, http://www.co.id/file/indonesiaberprestasi/presentasi ratnamegawangi.pdf. Maret 2007.
23
exemplars.”27 Pendidikan karakter ditujukan pada penanaman nilai
kebajikan, membangun kepercayaan pada pengenalan dan
penggambaran dari contoh-contoh yang patut ditiru.
Selanjutnya, Dwi Hastuti Martianto dalam makalahnya
mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan karakter adalah :
Character education have major role to develop individual man into a man that knowing the good, feeling the good, loving the good, desiring the good,and acting the good. Therefore familiy and school should give hand in hand through practice and habituation instead of memorization to build human capacity building.28 Pendidikan karakter memiliki peran utama untuk mengembangkan manusia secara individual menjadi seorang manusia yang berpengetahuan baik, berperasaan baik (empati), bernafsu baik, dan berperilaku (melakukan) baik. Kemudian keluarga dan sekolah harus bekerjasama memberikan contoh yang diteruskan dengan praktek dan pembiasaan sebagai pengganti dari hafalan untuk membangun manusia yang berkapasitas pembangun. Hal tersebut bermaksud bahwa pendidikan karakter berperan
dalam mengembangkan manusia secara individu, yang mana keluarga
dan sekolah harus mendukungnya dengan bekerjasama memberikan
pendidikan secara praktek sebagai kelanjutan dari proses pengajaran
secara material di sekolah.
Jadi, pada intinya pendidikan karakter adalah bertujuan untuk
menanamkan nilai-nilai kebaikan dan membentuk manusia secara
keseluruhan serta mengembangkan potensi yang dimilikinya. Yang
tidak hanya memiliki kepandaian dalam berpikir tetapi juga respek
terhadap lingkungan, dan juga melatih setiap potensi diri anak agar
dapat berkembang ke arah yang positif.
Selain itu, pendidikan karakter juga berfungsi untuk
menumbuhkan kesadaran diri. Yang mana kesadaran diri ini pada
27 Nel Noddings, Philosophy of Education, (United State of America : Westview Press,
1998), hlm.150 28 Dwi Hastuti Martianto, Op.Cit.
24
dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Tuhan Yang
Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, sebagai
bagian dari lingkungan serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal
untuk meningkatkan diri sebagai individu yang bermanfaat bagi diri
sendiri maupun lingkungannya.29 Jika kesadaran diri sebagai makhluk
Tuhan, sebagai makhluk sosial dan makhluk lingkungan, serta
kesadaran diri akan potensi diri dapat dikembangkan akan mampu
menumbuhkan kepercayaan diri pada anak, karena mengetahui potensi
yang dimiliki, sekaligus toleransi kepada sesama teman yang mungkin
saja memiliki potensi yang berbeda.
4. Fitrah Manusia Dalam Pendidikan Karakter
Manusia adalah salah satu makhluk Allah yang diciptakan
dengan potensi, yaitu disebut dengan fitrah (potensi baik). Dalam
kaitannya dengan pembentukan akhlak adalah bahwa fitrah dalam diri
dapat dikembangkan dengan pendidikan, yang kemudian dapat
terbentuk akhlak manusia.
Dalam pandangan Islam, kemampuan dasar atau pembawaan
itu disebut dengan fitrah. Kata yang berasal dari fatoro dalam
pengertian etimologis mengandung arti kejadian. Kata fitrah ini
disebutkan dalam al-Qur’an, surat ar-Rum ayat 30.30
قأقم وجهك للدين حنيفا فطرت اهللا التى فطر الناس عليها ال تبديل لخلق
القيم نالدي ناهللا ذلكولمعاس ال يالن اكثر لكنوم . ( و30: الر(
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya, (sesuai dengan kecenderungan aslinya), itulah fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah. Itulah agama yang
29 Stefan Sikone, http://mirifica.net., Op. Cit. 30 M.Arifin, Op.Cit., hlm. 42.
25
lurus. Namun, kebanyakan orang tidak mengetahuinya. (Q.S. Ar-Ruum : 30)31 Dalam tafsir Fi Zhilalil-Qur’an dijelaskan bahwa, Al-Qur’an
mengaitkan antara fitrah jiwa manusia dengan tabiat agama, keduanya
berasal dari Allah. Allah yang menciptakan hati manusia dan yang
menurunkan agama ini kepadanya (manusia), untuk mengaturnya,
menggerakkannya dan mengobati sakitnya serta meluruskannya dari
penyimpangan. Fitrah itu sesuatu yang konstan demikian pula dengan
agama Allah itu konstan.32
Menurut Achmadi, dalam surat ar-Rum di atas menjelaskan
bahwa pengertian fitrah dalam ayat tersebut adalah ciptaan Allah.
Manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu
agama tauhid. Karena itu, manusia yang tidak beragama tauhid
merupakan penyimpangan atas fitrahnya.33 Meskipun manusia sejak
awal telah dibekali dengan potensi baik, akan tetapi berjalannya
dengan waktu banyak faktor yang dapat mempengaruhi potensi baik
itu menjadi potensi jahat.
Kata fitrah34 dalam ayat di atas berkonotasi pada paham
Nativisme, di mana dalam paham ini menyatakan bahwa
perkembangan manusia secara mutlak ditentukan oleh potensi
dasarnya, yaitu pembawaan atau faktor keturunan (hereditas)
Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
أخربين : أخربنا يونس عن الزهري قال : حدثنا عبد أن أخربنا عبد اهللا قال رسول اهللا : أبوسلمة بن عبد الرمحن أن أبا هريرة رضي اهللا عنه قال
31 Departemen Agama RI., Op.Cit. 32 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, Jilid 9, Terjemahan As’ad Yasin, dkk., (Jakarta :
Gema Insani Press, 2004), hlm. 143. 33 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 ), hlm. 47. 34 Fitrah berisi daya-daya yang wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha
manusia sendiri. Oleh karena itu, fitrah harus dikembalikan dalam bentuk-bentuk keahlian, laksana emas atau minyak yang terpendam di perut bumi, tidak ada gunanya kalau tidak digali dan diolah untuk kegunaan manusia. Maka, di sinilah letak tugas utama pendidikan bagaimana bisa dan tetap mengarahkan fitrah pada pendidikan yang baik. Muis Sad Iman, Op.Cit., hlm.27.
26
فأبوه يهودانه , ما من مولود إال يولد على الفطرة: صلى اهللا عليه و سلم صني انه أوسجمي انه أو35 ) رواه بوخري. (ر
“Telah menceritakan kepada kita, Abdan telah mengabarkan kepada kita, Abdullah telah mengabarkan kepada kita Yunus dari Zuhri, telah mengabarkan kepada kami Abu salamah bin Abdurrohman, sesungguhnya Abu Hurairah ra. berkata: Tiada seorangpun anak yang lahir kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Bukhari).
Diungkapkan oleh Imam Sa’aduddin bahwa manusia
diciptakan berpotensi baik dan buruk secara bersamaan. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Islam bahwa manusia itu diciptakan cenderung
kepada kebaikan dan keburukan. Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Balad
ayat 10 :
)10: البلد . (وهدينه النجدين
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (jalan kebaikan dan keburukan).36 Dari ayat tersebut di atas, jelas bahwa meskipun manusia lahir
dengan fitrahnya (potensi baik) untuk menjadikan manusia baik (insan
kamil) tetap memerlukan pendidikan dan pembinaan. Nah, dalam
kaitannya fitrah dengan pendidikan karakter adalah bahwa pendidikan
karakter berfungsi untuk mengembangkan potensi-potensi baik yang
ada dalam diri manusia, sehingga potensi itu tetap terjaga pada
kebaikan. Fitrah baik tidak menjamin manusia akan menjadi baik
selamanya, karena manusia hidup di lingkungan yang mampu
mempengaruhi atau bahkan merubah fitrah tersebut. Dalam pendidikan
karakter ditanamkan nilai-nilai dan karakter-karakter yang dapat
mengembangkan potensi manusia.
35 Shahih Bukhari Juz III, (Bairut-Libanon: Darul Kutub, tt.), hlm. 413
36 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Op.Cit., hlm. 47.
27
B. Pembentukan Akhlak
1. Pengertian Pembentukan Akhlak
a. Pengertian Akhlak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak
diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak
walaupun terambil dari bahasa Arab, namun kata seperti itu tidak
ditemukan dalam al-Qur’an. Yang ditemukan hanyalah bentuk
tunggal kata tersebut, yaitu khuluk yang tercantum dalam al-Qur’an
surat al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans
pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul.37
Akhlak menurut Rahmat Djatnika adalah dibedakan
menjadi dua macam, di antaranya menurut etimologi, kata akhlak
berasal dari bahasa Arab akhlaq ( قالخا ) bentuk jamak dari
mufrodnya khulluq (خلق), yang berarti budi pekerti. Sinonimnya
adalah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Latin, etos yang
berarti kebiasaan. Moral berasal dari bahasa Latin juga, mores
yang juga berarti kebiasaan. Sedangkan menurut terminologinya,
kata budi pekerti terdiri dari kata budi dan pekerti. Budi adalah
yang ada pada manusia yang berhubungan dengan kesadaran yang
didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut karakter. Pekerti
adalah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh
perasaan hati yang disebut dengan behavior. Jadi, budi pekerti
merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi
pada karsa dan tingkah laku manusia.38 Maka dalam hati ini dapat
diartikan bahwa akhlak adalah hasil dari perpaduan antara rasio
dan rasayang diwujudkan dengan tingkah laku.
Moral berasal dari bahas Latin mores yang berarti ”adat
kebiasaan”. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan
37 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Loc.Cit. 38 Rahmat Djatnika, Op .Cit., hlm. 26.
28
arti ”susila”. Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan
ide-ide yang umum diterima, tentang tindakan manusia, mana yang
baik dan yang wajar. Sedangkan etika berasal dari bahasa Yunani,
yaitu ethos yang memiliki arti ”adat istiadat”, perasaan batin
kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan.39
Dengan demikian, jelas persamaan antara etika dan moral.
Namun ada pula perbedaannya. Dalam pembicaraan etika, untuk
menentukan nilai perbuatan manusia (baik dan buruk) dengan tolak
ukur akal pikiran, sedangkan dalam pembahasan moral, tolak
ukurnya adalah norma-norma yang berlaku di masyarakat.40
Dari uraian tersebut dapat diartikan bahwa untuk mengukur
tingkah laku manusia dapat dilihat dari persesuaiannya dengan adat
istiadat yang umum diterima. Yang mana meliputi kesatuan sosial
atau lingkungan tersebut. Sehingga baik atau buruknya moral
bangsa hanya bersifat secara lokal.
"Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai basis rujukan umat
Islam, secara general yang telah menyepakati bahwa yang mampu
menjelaskan kriteria baik buruknya suatu perbuatan adalah Al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW."41
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa persamaan
antara akhlak, etika dan moral, yaitu dari ketiganya sama-sama
menentukan hukum atau nilai perbuatan manusia dengan tolak
ukurnya masing-masing. Dimana akhlak dalam menilai perbuatan
manusia dengan tolak ukur ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, etika
dengan pertimbangan akal pikiran, dan moral dengan adat
kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.
“Morality come from the latin word “moralist” it mean
“customs, manners, or patterns of behavior that con from to the
39 Zahruddin AR., Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
hlm. 45 40 Ibid., hlm. 47 41 Ibid., hlm 49
29
standards of the group.”42 Moral berasal dari kata Latin “moralist”
yang berarti “kebiasaan, kelakuan, atau pola keteladanan” dari
tingkah laku yang dibentuk untuk standar dari sebuah kelompok.
“Moral adalah kualitas perbuatan manusia yang dengan itu
dapat dikatakan bahwa perbuatan itu salah atau benar, baik atau
buruk. Norma adalah aturan, standar, ukuran yang berlaku (yang
dipakai dalam lingkungan masyarakat).”43
Menurut Azyumardi Azra, etika adalah mengacu kepada
hal-hal tentang dan justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas
berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik
yang bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan
sebagainya.44
b. Pembentukan Akhlak
Pembahasan mengenai pembentukan akhlak sama halnya
dengan membahas tentang tujuan dari pendidikan Islam. Yang
mana tujuan dari pendidikan Islam adalah membentuk akhlak
melalui pendidikan, sehingga akhlak yang dibawa sejak lahir dapat
terjaga dan melekat dalam diri manusia. Dalam pembahasan
pembentukan akhlak para ulama berbeda pendapat. Ada yang
berpendapat bahwa akhlak dapat dibentuk, seperti pendapat Al-
Ghazali, bahwa akhlak dapat dibentuk dengan latihan dan
pembinaan melalui pendidikan.
Dalam Ihya ‘Ulumuddin al-Ghozali menegaskan bahwa
akhlak seseorng yang dibawa sejak lahir memiliki kemungkinan
dapat dirubah (ke arah yang positif).
42 Elizabeth B. Hurlock, Adolescent Development, ( Kogakusha: Mc Graw – Hill, 1973),
hlm.246. 43 Poespoprodjo Wasito, Filsafat Moral, ( Bandung : Remaja Karya, 1988), hml. 102 44 Azyumardi Azra, PAradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta : Penerbit Buku
Kompas, 2002), hlm. 179
30
يغل التقبالت القت االخكانلوريعظ لبوالما وايصأ طلت الوالتو اتبدي
القكما اخنوسح لمسل اهللا ول اهللا صوسا قال رلم45 .و
Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadits Nabi SAW menyatakan “perbaikilah akhlak kamu sendiri”.
Sedangkan ulama lain seperti Mansur Ali Rajab
berpendapat bahwa akhlak adalah insting yang dibawa sejak
lahir.46 Akhlak diartikan sebagai pembawaan dari manusia sendiri,
yaitu kecenderungan kepada kebaikan atau fitrah yang ada dalam
diri manusia dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang
selalu cenderung kepada kebenaran. Dengan pandangan-pandangan
seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun
tanpa dibentuk atau diusahakan.
Meskipun demikian, diungkapkan pendapat yang tidak
setuju bahwa akhlak merupakan hasil dari pembinaan dan pada
kenyataannya banyak usaha-usaha pembinaan akhlak melalui
berbagai metode yang kemudian dikembangkan
Hal ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina
yang mana pembinaan ini akan membawa hasil berupa
terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu bapak, sayang
kepada sesama makhluk Tuhan dan sebagainya.47 Dan sebaliknya,
bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya dan dibiarkan tanpa
bimbingan, arahan dan pendidikan menjadi anak-anak yang nakal,
seperti mengganggu masyarakat, melakukan perbuatan yang
45 Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, III, (Beirut-Libanon : Darul Kutub, tt.), hlm. 60 46 Asmaran AS., Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : Rajawali Press,1992), hlm. 45. 47 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo, 2003), hlm. 155.
31
tercela serta tidak memiliki sopan santun. Maka jelas dalam hal ini
akhlak memang perlu dibina.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pembentukan
akhlak adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sungguh-
sungguh untuk membentuk pribadi anak yang berakhlak mulia.
Tentunya usaha tersebut adalah dengan melalui sarana pendidikan
dan pembinaan yang terprogram dan terkonsep dengan baik dan
dilaksanakan dengan benar dan konsisten.
Pembentukan akhlak dilakukan berdasarkan asumsi bahwa
akhlak adalah hasil usaha pembinaan dan merupakan sebuah proses
bukan terjadi dengan sendirinya, potensi rohaniah yang ada dalam
diri manusia, termasuk di dalamnya akal, nafsu, amarah, nafsu
syahwat, fitrah, kata hati nurani, dan intuisi dibina secara optimal
dengan cara pendekatan yang tepat.48
Pembentukan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia
yang berakhlak mulia. Akhlak yang mulia akan terwujud secara
kukuh dalam diri seseorang apabila setiap empat unsur utama
kebatinan diri yaitu daya akal, daya marah, daya syahwat dan daya
keadilan dapat dibawa ke tahap yang seimbang dan adil sehingga
masing-masing unsur dapat dengan mudah mentaati kehendak
syarak dan akal.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak
Pada awalnya manusia itu terlahir dengan fitrah (suci), apapun
agama orang tuanya (meski non muslim) sesungguhnya manusia itu
muslim. Namun, beberapa faktor, maka dapat merubah kesucian
tersebut. Seorang anak karena terlahir di keluarga non muslim maka ia
tumbuh menjadi non muslim. Dalam hal ini beberapa faktor yang
mempengaruhi pembentukan akhlak adalah, di antaranya :
48 Ibid., hlm. 156.
32
a. Faktor Pembawaan
Pembawaan atau bakat merupakan potensi-potensi yang
memberikan kemungkinan kepada seseorang untuk berkembang
menjadi sesuatu. Berkembang atau tidaknya potensi fitrah yang ada
pada diri individu sangat bergantung kepada faktor-faktor yang
lain.49 Faktor pembawaan adalah sesuai dengan aliran Nativisme,
yang mana sifat ataupun perilaku seseorang tidak akan mampu
berubah karena pengaruh luar dan apapun yang melekat pada diri
manusia itu sudah merupakan ketetapan dari awal dia lahir ke
dunia.
Aliran Nativisme50 berpendapat bahwa pembawaan yang
telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil
perkembangannya. Menurut kaum Nativis, pendidikan tidak dapat
mengubah sifat-sifat pembawaan, maka pendidikan akan percuma.
Hal ini dalam ilmu pendidikan disebut dengan “pesimisme
pedagogis”.51 Potensi yang bercorak Nativisme ini berkaitan
dengan dengan faktor hereditas yang bersumber dari orang tua,
termasuk keturunan beragama (religiusitas).52 Aliran Nativisme
memandang hereditas53 sebagai penentu kepribadian.
49 Amir Daien Indra Kusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya : Usaha
Nasional,1973), hlm. 183. 50 Nativisme berasal dari bahasa Latin dari kata nativier yang artinya terlahir. Seorang
anak akan berkembang berdasarkan dari apa yang dibawanya sejaklahir. Hasilakhir perkembangannya dan pendidikan manusia ditentukan oleh sifat pembawaannya dari lahir. Pembawaan yang baik atau yang buruk yang akan menentukan seseorang itu baik atau buruk. Pendidikan tidak berpengaruh sama sekali terhadap perkembangan seseorang. Aliran Nativisme dipelopori oleh Arthur Scopenhauer (1788-1860), seorang psikolog berkepanjangan Jepang. Tokoh lain yang termasuk aliran ini adalah Plato, Descartes, dan Lombroso, Lihat Netty Hartanty,dkk., Op.Cit., hlm. 175.
51 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 59.
52 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 64. 53 Hereditas lazim disebut dengan pembawaan atau keturunan. Hereditas merupakan
totalitas karakteristik individu yang diwariskan orang tua kepada anak atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi (pembuahan ovum oleh sperma) sehingga kewarisan orang tua melalui gen-gen. Lihat Syamsu Yusuf, Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.31.
33
Menurut Sayyid Qutub dalam bukunya Mansur Isna,
berkaitan dengan pembawaan mengungkapkan bahwa dimana anak
itu mewarisi apa yang ada pada orang tuanya, entah baik atau
buruk, anak tidak bisa menolaknya bentuk warisan pembawaan
tersebut.54 Sehingga dalam konteks ini, senada dengan aliran
Nativisme bahwa sekeras apapun usaha yang dilakukan dalam
pendidikan formal atau masyarakat untuk merubah anak dari sifat
bawaan orang tuanya akan sulit, dan membutuhkan usaha yan
sungguh-sungguh.
Aliran Nativisme menyatakan bahwa proses dalam
pendidikan itu lebih menunjukkan peran pembawaan atau bakat.
Berarti pendidikan tidak lain adalah upaya untuk mengembangkan
pembawaan atau bakat sebagai potensi-potensi yang ada pada
peserta didik.55
b. Faktor Lingkungan
Menurut Ahmad Musa, yang dikutip oleh M. Ngalim
Purwanto dalam bukunya Psikologi Pendidikan, bahwa pengaruh
lingkungan terhadap perkembangan pribadi anak sejak kecil adalah
sangat mendalam dan menentukan perkembangan pribadi anak
selanjutnya.56 Seorang anak (yang masih kecil) akan merekam
segala sesuatu yang ada di sekitarnya, sentah itu baik atau buruk,
sehingga apa yang ia lihat itu merupakan pengalaman awal yang
akan melekat pada pemikirannya.
Begitu pentingnya pengaruh lingkungan dalam proses
pembentukan akhlak. Akhlaqul Karimah akan terbentuk apabila
didukung dengan lingkungan yang baik dengan memberikan
contoh-contoh baik dalam perilaku sehari-hari. Adapun unsur-
unsur dalam faktor lingkungan adalah :
54 Ibid., hlm. 128. 55 Ibid., hlm.152. 56 M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya,1997),
hlm. 162.
34
1) Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan pendidikan pertama yang dikenal
oleh anak, orang tua merupakan pembina pribadi yang pertama
dalam hidup anak, yang berupa kepribadian, sikap, dan cara
hidup mereka. Kepribadian orang, sikap dan cara hidup orang
tua merupakan unsur pendidikan yang langsung dengan
sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang
bertumbuh tersebut.57 Sehingga orang tua sudah seharusnya
selalu memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya
agar pada masa pertumbuhannya anak mendapatkan
pengalaman yang baik, yang pada akhirnya pengalaman baik
itu akan membantu anak dalam terbentuknya akhlak.
2) Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan lingkungan kedua
setelah lingkungan keluarga dalam proses pembentukan akhlak
anak, baik segi fisik maupun non fisik. Sekolah bukan sekedar
menuangkan pengetahuan ke dalam otak murid, akan tetapi
juga harus membina kepribadian dan akhlak anak.58
Guru adalah sebagai unsur terpenting dalam pendidikan
di sekolah harus memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian
itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan
pembina yang baik atau tidak, ataukah akan menjadi perusak
bagi masa depan anak didiknya.59 Sama halnya dengan orang
tua dalam lingkungan keluarga, maka guru dalam lingkungan
sekolah merupakan teladan bagi para siswanya. Segala sesuatu
tentang tindakan dan tingkah laku guru dilihat dan ditiru oleh
anak didiknya.
57 Zakiah Daradjat, Op.Cit., hlm. 56. 58 Zakiah Daradjat, Loc. Cit., hlm. 56. 59 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), hlm.16.
35
3) Lingkungan Masyarakat/Sosial
Masyarakat merupakan lembaga pendidikan non
formal. Dalam pendidikan non formal, kepribadian dan akhlak
seseorang dapat tumbuh dan berkembang sesuai situasi dan
kondisi yang dilandasi sikap yang selektif berdasarkan rasio,
idealisme, dan falsafah hidupnya. Pada umumnya kepribadian
seseorang terbentuk melalui pendidikan, maka kepribadian
pada hakikatnya adalah gejala sosial, dan kepribadian individu
bertalian erat dengan kebudayaan lingkungannya.60
Lingkungan sosial adalah semua orang atau manusia
lain yang mempengaruhi pribadi manusia. Pengaruh
lingkungan sosial ada yang diterima secara langsung dan ada
yang tidak langsung. Lingkungan sosial mempunyai pengaruh
yang sangat besar dalam pertumbuhan rohani atau kepribadian
anak.61 Hal ini karena masyarakat dan sosial ada di sekitar
kehidupan manusia yang tidak mungkin dan tidak bisa
terelakkan. Mau tidak mau manusia hidup bersama dengan
lingkungan di sekitar setiap hari, sehingga hal tersebutlah dapat
mempengaruhi sikap, perilaku, pribadi dan akhlak seseorang.
Dalam kaitannya dengan faktor lingkungan, maka
sesuai dengan teori empirisme.62 Yang mana teori ini
memandang bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap
pembentukan akhlak seseorang adalah faktor dari luar, yaitu
lingkungan sosial termasuk pembinaan dan pendidikan yang
diberikan.
60 Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta,2000), hlm. 58. 61 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Op.Cit., hlm. 73. 62 Empirisme berasal dari bahasa Latin, dari kata empiricus artinya pengalaman. Aliran
ini dinamakan aliran Tabularosa, artinya meja berlapis lilin yang belum ada tulisan di atasnya, atau dengan kata lain seseorang dilahirkan seperti kertas kosong yang belum ditulisi, maka pendidikanlah yang menulisinya. Aliran ini dipelopori oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris John Locke (1632-1704). Lihat Netti Hartati, dkk., Op.Cit., hlm.172.
36
Asumsi psikologis yang mendasari aliran empirisme
adalah bahwa manusia lahir dalam keadaan netral, tidak
memiliki pembawaan apa-apa. Perwujudan kepribadian
ditentukan oleh luar diri atau lingkungan.63 Aliran ini
berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi dewasa
itu sama sekali ditentukan oleh lingkungan atau pendidikan
yang berupa pengalamannya sejak kecil.
c. Faktor Adat atau Kebiasaan
Adat atau kebiasaan memiliki peranan penting, karena
kebiasaan perilaku atau tindakan yang dilakukan dengan frekuensi
sering, di mana jika kebiasaan itu baik, maka baik pula perilakunya
dan sebaliknya.
Akhlak dibentuk melalui praktik, kebiasaan, banyak
mengulangi perbuatan dan terus menerus pada perbuatan itu.
Platon mengatakan :
“Bahwa yang baik itu belum bisa dicapai jika mengerjakannya sekali saja supaya benar-benar tercapai mesti hasil pekerjaan yang panjang (dikerjakan terus menerus-ed).”64
Kepribadian manusia ditentukan oleh faktor dasar dan ajar.
Kedua faktor ini (empirisme dan nativisme) mempengaruhi
perkembangan kehidupan manusia, hanya saja salah satu faktor itu
ada yang lebih dominan dalam pembentukan kepribadian,
sementara faktor lain lebih sedikit pengaruhnya.
Aliran Konvergensi65 meskipun dapat menjembatani dan
memberikan sintesis antara kedua aliran di atas, namun sebenarnya
aliran ini tidak memiliki kerangka filosofis tersendiri tentang
63 Ibid. 64 Imam Abdul Mukmin Sa’aduddin, terjm. Dadang Zobar Ali, Op. Cit., hlm. 40. 65 Konvergensi berasal dari bahasa Inggris yaitu convergency, artinya pertemuan pada
satu titik, aliran ini mempertemukan dua aliran, Nativisme dan Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan seseorang tergantung kepada pembawaan lingkungan, dengan kata lain pembawaan dan lingkungan mempengaruhi perkembangan seseorang, pembawaan seseorang baru berkembang karena pengaruh suatu lingkungan. Aliran ini dipelopori oleh William Stern (1871-1938) dan Adler, Lihat Netti Hartati, dkk., Op.Cit., hlm. 178.
37
hakikat manusia. Ia tiba-tiba muncul menetralisir antara kedua
belah pihak yang bertentangan.66
Dapat dipahami bahwa dalam aliran konvergensi,
perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan
lingkungan. Hal inilah yang kemudian menjembatani antara paham
empiris dan nativis, karena paham konvergensi tidak cenderung
pada salah satunya. Dan jika dilihat, ternyata paham konvergensi
lebih fleksibel.
C. Pendidikan Prasekolah dan Anak Prasekolah
1. Pendidikan Prasekolah
Pendidikan prasekolah adalah pendidikan yang diberikan
kepada anak-anak pada usia sebelum memasuki pendidikan sekolah
(pendidikan dasar). TK merupakan salah satu bentuk pendidikan
prasekolah yang bertujuan membantu pertumbuhan anak sebelum
memasuki pendidikan dasar. Dalam Peraturan Pemerintah No. 27/1990
tentang pendidikan prasekolah, dinyatakan :
Pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar yang diselenggarakan di jalur pendidikan prasekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah. (Pasal 1) Bentuk satuan pendidikan prasekolah meliputi Taman Kanak-Kanak, Kelompok Bermain, Penitipan Anak dan bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri (Pasal 4). Pendidikan prasekolah bertujuan untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.67
66 Ibid. 67 Dedi Supriadi dan Rohmat Mulyana, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan,
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 38.
38
Pendidikan kepada anak prasekolah pada dasarnya lebih
diarahkan pada penanaman nilai moral, pembentukan sikap dan
perilaku yang diperlukan agar anak-anak mampu untuk
mengembangkan dirinya secara optimal. Anak-anak usia prasekolah
memiliki daya tangkap dan potensi yang sangat besar untuk menerima
pengajaran dan pembiasaan dibanding pada usia lainnya.68
Hal demikian karena seorang anak masih memiliki daya serap
dan daya ingat yang sangat kuat. Apa yang pernah dialaminya akan
membekas dalam ingatannya. Jika diibaratkan, seperti menulis di atas
batu yang akan terus menerus berbekas sampai tua. Sedangkan
mengajarkan pada orang dewasa diibaratkan seperti menulis di atas air,
yang akan cepat sirna dan tidak berbekas.
2. Pengertian Anak Prasekolah
Dalam memberikan pengertian anak prasekolah dari segi unsur
batasan umur dan kecakapan anak dapat dipengaruhi banyak faktor.
Dengan demikian banyak ahli yang berbeda pendapat untuk
memberikan batasan umur anak prasekolah.
Pendapat mengenai pengertian anak prasekolah berbeda-beda
antara masing-masing orang. Menurut The National Association for
The Education, yang dikutip dalam buku Pendidik Anak Usia Dini
dalam Islam, istilah preschool adalah anak antara usia todler (1-3
tahun).69
Dalam hal anak prasekolah Dr. Syamsu Yusuf mengungkapkan
bahwa, anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu
sekitar 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang
dirinya sebagai pria atau wanita dapat mengatur diri dalam buang air
68 Sri Harini dan Aba Firdaus, Mendidik Anak Usia Dini, (Yogyakarta : Kreasi Wacana,
2003), hlm. 126. 69 Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 110.
39
(toilet training) dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya
(mencelakakan dirinya).70
Berbeda sedikit dengan pendapat di atas, Feni Akbar
Hawadimasa berpendapat bahwa anak prasekolah yaitu rentan antara
3-6 tahun.71 Masa prasekolah adalah masa di mana anak-anak mulai
mengenal lingkungannya (dimulai dari keluarga). Pada masa ini pun
anak dapat dengan mudah mengadopsi segala tingkah laku orang-
orang di sekitarnya. Maka dalam hal ini orang tua (sebagai pendidik
yang pertama dan utama) harus selalu berhati-hati dalam perilakunya
dan senantiasa dituntut menjadi figur yangbaik bagi anak-anaknya.
Biechler dan Snowman berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan anak prasekolah adalah anak yang biasanya mengikuti program
prasekolah dan Kindergarden. Sedangkan menurut E.B. Hurlock,
mengatakan bahwa usia prasekolah atau prakelompok disebut juga
masa kanak-kanak dini, yaitu anak yang berumur 2-6 tahun. Biechler
dan Snowman menambahkan bawa usia prasekolah adalah anak usia 3-
6 tahun.72
Meskipun terdapat beberapa perbedaan dalam mengartikan atau
dalam memberi batasan umur anak prasekolah, tetapi dapat
disimpulkan bahwa pada intinya pengertian anak prasekolah adalah
anak-anak di bawah usia sekolah atau anak-anak yang belum
memasuki usia sekolah (SD).
3. Karakteristik Anak Prasekolah
Manusia lahir ke dunia dengan membawa fitrahnya masing-
masing dan satu sama lain memiliki perbedaan. Masa anak-anak
adalah awal dari pembentukan kepribadian anak yang masing-masing
memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
70 Syamsu Yusuf, Op.Cit., hlm. 162. 71 Feni Akbar Hawadimasa, Psikologi Perkembangan, Mengenai Sifat, Bakat dan
Kemampuan Anak, (Jakarta : Grasindo, 2001), hlm. 3. 72 Sri Harini dan Aba Firdaus, Op.Cit., hlm. 54.
40
Menurut Piaget yang dikutip oleh Saefuddin Azwar dalam
bukunya “Psikologi Intelegensi” mengemukakan bahwa, karakteristik
anak usia praoperasional (2-7 tahun) adalah :
- Cara berpikir anak bersifat egosentris, yaitu berupa pandangan
yang sempit dan mengacu pada diri sendiri
- Adanya cara berpikir kompleksif, yaitu berpikir tidak dengan jalan
menyatakan beberapa pikiran kepada satu konsep yang berarti
justru meloncat dari satu gagasan ke gagasan yang lain.
- Terdapat kecenderungan yang kuat untuk menempatkan sifat-sifat
manusia pada benda mati (tidak penting perbedaan antara benda
dan manusia)
- Ketidakmampuan anak untuk melakukan tugas-tugas yang
menuntut pengarahan dan koordinasi pikiran. Maka memerlukan
petunjuk luar yang langsung dapat membimbing dan memantapkan
perilakunya untuk dapat melakukan tugas tertentu.73
Dari uraian di atas tentang karakteristik anak-anak, maka dapt
diketahui bahwa pada usia anak-anak, pola pikirnya masih labil.
Kepolosan, keluguan, dan kekritisan yang kadang timbul secara
spontan menjadikan anak kadang melakukan sesuatu yang kurang
sesuai dengan apa yang dipikirkan. Sifat egois dan manja adalah
sebuah bukti bahwa anak-anak ingin selalu mendapat perhatian dari
orang-orang disekitarnya. Maka dalam hal ini, pembinaan dan
pengarahan yang berupa contoh dan nasihat akan sangat membantu
dalam pertumbuhannya di masa mendatang.
73 Saefuddin Azwar, Pengantar Psikologi Intelegensi, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2002),
hlm. 38-39.
41
BAB III
PEMIKIRAN RATNA MEGAWANGI TENTANG
PENDIDIKAN KARAKTER
A. Biografi Ratna Megawangi
1. Riwayat Hidup Ratna Megawangi
Ratna Megawangi lahir di Jakarta, pada tanggal 24 Agustus
1958. Seorang perempuan cerdas dan berkarakter kuat, muslimah,
bergelar doktor dan post doktoral ini adalah pelopor pendidikan
holistik berbasis karakter di Indonesia. Pendiri dan Direktur Eksekutif
Indonesia Heritage Foundation (IHF). Ratna Megawangi telah
mengelola hampir 200 lebih sekolah karakter di berbagai penjuru tanah
air.1 Ia juga seorang penulis terkemuka. Diantara beberapa bukunya
yang berkaitan dengan Pendidikan Krakter adalah ; Character
Parenting Space, Yang Terbaik untuk Buah Hatiku, Pendidikan
Karkter Solusi Terbaik untuk Membangun Bangsa, dan lain-lain. Serta
ada juga yang berbentuk artikel dan makalah.
Ratna Megawangi terlahir sebagai anak kedua dari enam
bersaudara. Dia bersama lima saudaranya dibesarkan dalam sebuah
keluarga yang mapan dan cukup. Ayahnya, Drs. Harmonie Djaffar
berasal dari Banjarmasin adalah seorang profesional yang bekerja di
sebuah perusahaan farmasi milik swasta asing, sedangkan ibunya
bernama Sri Mulyati, seorang wanita berdarah campuran Jawa dan
Sunda.2
Sejak kecil, Ratna Megawangi dan kelima saudaranya
mendapatkan pendidikan dan pengasuhan serta berdisiplin keras.
Didikan disiplin keras, hemat dan hidup sederhana semenjak kecil
telah menjadikan Ratna Megawangi dan kelima saudaranya memiliki
sifat kemandirian, pekerja keras dan perasaan tidak mau dibantu orang
1 Ensiklopedi Tokoh Indonesia, http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/r/ratna-megawangi/biografi. 14 Maret 2007
2 Ibid.
42
lain (merepotkan orang lain). Orang tua Ratna Megawangi sejak dini
sudah menanamkan kebiasaan untuk harus hidup sederhana..3
Ratna Megawangi adalah ibu dari tiga orang putra, yaitu
Muhammad Rumi, lahir pada tahun 1985, Safitri Mutia (1990) dan
Muhammad Lutfi (1998). Seperti yang diterima Ratna Megawangi
sejak kecil, maka pendidikan dan pengasuhan berdisiplin keras juga
diberikan kepada anak-anaknya. Dia membiarkan anak-anaknya untuk
bergaul dengan lingkungan sekitar. Bahkan, ketika berangkat sekolah
pun dibiasakan naik bis kota. 4 Hal tersebut dilakukannya agar anak-
anaknya tahu denyut nadi dan keprihatinan masyarakat atau tetangga.
Menurut Ratna Megawangi, dia menyebutkan bahwa anak-anak sejak
kecil harus dididik sederhana dan tidak steril dari masyarakat.5
Ratna Megawangi mulai masuk di Perguruan Tinggi pada
tahun 1978. Pada saat itu, dari ayahnya Ratna Megawangi mengetahui
kampus Institut Pertanian Bogor mempunyai program bagus berupa
kesempatan mengikuti tes ujian akhir menyelesaikan kuliah dalam
waktu singkat, empat tahun. Tiada motivasi lain kecuali menyelesaikan
kuliah dengan cepat tanpa memperdulikan jurusan apa yang dirasa
terbaik dan di mana hendak berkiprah. Karena pada saat itu Ratna
Megawangi masih belum menemukan apa bakat dan kesenangannya
yang permanen. Ratna juga mengikuti tes psikologi dan hasilnya di
semua bidang dia mencatat nilai rata-rata yang sama-sama bagus.6
Sama seperti ketika masuk menjadi mahasiswa jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK), Fakultas Pertanian
IPB Bogor di tahun 1978, Ratna Megawangi dapat dengan mudah
masuk menjadi tenaga pengajar di jurusan dan fakultas yang sama
dengan almamaternya pada tahun 1982. Pada tahun itu, adalah tahun
yang penuh berkah bagi Ratna Megawangi, karena pada tahun tersebut
3 Ibid. 4 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter Op.Cit. 5 Tokohindonesia DotCom., Op. Cit. 6 Ibid.
43
ada tiga hal istimewa yang dia raih, yaitu lulus sebagai lulusan (S.1)
terbaik, menikah dengan Sofyan A. Djalil dan yang ketiga adalah
diterima sebagai staf pengajar di IPB.7
Selain aktivitas mengajar, Ratna Megawangi seorang aktivis
gender. Dia menjabat sebagai Ketua Kesetaraan Gender mulai tahun
2000-sekarang. Diantara karyanya yang membahas tentang kesetaraan
gender adalah buku yang berjudul “Membiarkan Berbeda”, yang telah
menjadi best seller. Ini menunjukkan bahwa dia merupakan tokoh
wanita muslimah yang bersemangat dalam menanggapi isu-isu seputar
kewanitaan, terutama mengenai isu feminisme atau gender.8
Minatnya pada masalah feminisme dan keluarga dapat
terbilang tidak sengaja. Antara tahun 1991-1993, ia melanjutkan Post-
Doktoral Program di Tufts University dalam bidang keluarga yang
terkait dengan perkembangananak (Child Development), yang hasil
penelitiannya bersama dengan Prof. Marian Zaitlin. Kemudian
dibukukan dan diterbitkan oleh United Nation University Press,
Tokyo, pada tahun 1995 dengan judul “Strengthening The Family :
Implication for International Development”.9 Hal ini pulalah yang
merupakan salah satu faktor dari ide pendirian IHF.
Di Post-Doktoral Program (tahun 1991-1993), Ratna
Megawangi menjalankan tugas sebagai independent research. Ia
mengadakan riset tentang keluarga dan perkembangan anak di
berbagai negara. Ketika itu, ia mulai menyadari bakat dan
kesenangannya ada di bidang humaniora yang multidisiplin ilmu,
seperti ilmu sosial, sosiologi, psikologi, budaya, hingga filsafat. Secara
spesifik ia tertarik pada ilmu tentang anak, kultur keluarga atau segala
hal yang terkait dengan anak dan keluarga. Dia mulai menyadari hal
7 Ibid. 8 Ibid. 9 Ibid.
44
tersebut adalah karena setelah lulus sarjana dia masih belum
menemukan talenta atau kesenangan hati yang sesungguhnya.10
Berbekal dari pengalaman risetnya dari negeri Paman Sam
ketika kembali ke Indonesia, Ratna Megawangi bertekad untuk berbuat
sesuatu yang bersifat kongkrit bagi bangsa, yakni membangun bangsa
berkarakter. Ia bersama dengan suaminya sejak tahun 2000
memberanikan diri membangun Indonesia Heritage Foundation atau
Yayasan Warisan Leluhur Indonesia.11 Dan mulai saat itu, dia intens di
dunia pendidikan.
Ratna Megawangi adalah termasuk salah satu penerima
pernghargaan “80 Tokoh Wanita Muslim Paling Terkemuka
Indonesia” pada tahun 2002.
2. Latar Belakang Pendidikan Ratna Megawangi
Ratna Megawangi sejak kecil menghabiskan waktunya berada
di Jakarta untuk menempuh jenjang pendidikan, mulai dari tingkat
dasar (SD) sampai ke tingkat menengah atas (SMA). Kemudian pada
tahun 1978 masuk di IPB (Institut Pertanian Bogor) dengan jurusan
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) yang telah dapat
diselesaikan dengan cepat, yakni empat tahun kuliah dan menjadi
lulusan terbaik pada tahun 1982. Karena kecerdasannya, maka pada
tahun 1982 pula, ia diterima masuk sebagai staf pengajar di Fakultas
dan Jurusan yang sama di almamaternya.
Pada tahun 1986, Ratna Megawangi berangkat ke Amerika
Serikat untuk melanjutkan kuliah S2-nya. Studi tentang Gizi di School
of Nutrition, Tufts University, Medford, Massachuset, USA. Ratna
Megawangi mendapatkan beasiswa dari Ford Foundation untuk tahun
pertama dan dari World Bank untuk tahun kedua. Dia berhasil
menyelesaikan kuliahnya dan meraih gelar S.2 Master of Science
10 Ibid. 11 Ibid.
45
(M.Sc.) pada tahun 1988. Meskipun telah lulus S.2, Ratna Megawangi
merasakan hidup yang biasa-biasa saja. Kuliah masih terasa sekedar
menjalankan kewajiban tanpa tahu harus ke mana, yang penting dapat
sekolah saja dan terus belajar.
Setelah lulus S.2, sambil menunggu suaminya menyelesaikan
kuliah S.2.,12 Ratna Megawangi melanjutkan kuliah S.3 dengan
mengajukan beasiswa dalam bentuk lain, yaitu berupa pekerjaan
sebagai tenaga research assistant. Dia bekerja sebagai asisten kepada
seorang Profesor mantan Dekannya, sehingga tidak perlu membayar
kuliah. Pada tahun 1988 dia mulai kuliah S.3., kemudian pada tahun
1990, ia melahirkan anak kedua, sehingga baru pada tahun 1991, Ratna
Megawangi lulus sebagai doktor dalam bidang International Food and
Nutrition Policy (Kebijakan Internasional Makanan dan Gizi) di
Universitas yang sama ketika menempuh S.2-nya.
Kemudian setelah lulus S.3, Ratna Megawangi mendapatkan
tawaran dari dosennya untuk masuk Post-Doktoral Program.dia
mengambil tawaran tersebut meskipun belajar tentang anak, keluarga,
proyek keluarga dan child development. Meskipun bidang ini adalah
hal yang baru bagi dia, namun tetap saja diambil tawaran tersebut,
karena hanya disiplin ilmu iniyang memiliki dana beasiswa di tingkat
post-doktoral program. Dan pada tahun 1993, dia selesai kuliah dan
berhasil mendapatkan gelar Ph.D.
3. Karya-Karya dan Kiprah Ratna Megawangi
Setelah mengetahui perjalanan hidup Ratna Megawangi, maka
dapat dipahami bahwa Ratna Megawangi tidak hanya intens di dunia
pendidikan di Indonesia,akan tetapi juga aktif di bidang gender dan
feminisme. Sepanjang kariernya, dia telah banyak memberikan
kontribusi dalam bidang karya ilmiah atau tulisan dan juga dalam
12 Ratna Megawangi berangkat ke Amerika Serikat satu tahun lebih awal daripada
suaminya, sehingga ketika Ratna Megawangi telah lulus S.2,Sofyan Djalil baru tahun pertama kuliah S.2 di Universitas yang sama.
46
bidang pengabdian terhadap bangsa dan masyarakat, dalam dunia
pendidikan anak dan gender (feminisme). Adapun kontribusi yang
telah diberikannya antara lain adalah :
- Pendidikan Karakter : Solusi Yang Tepat Untuk Membangun
Bangsa, Indonesia Heritage Foundation, Jakarta, 2004.
- Yang Terbaik Untuk Buah Hatiku, MQS Publishing, Bandung,
2004.
- Pendidikan Yang Patut dan Menyenangkan, Indonesia Heritage
Foundation, Jakarta, 2004.
- Character Parenting Space, Read Publishing House (Kelompok
Mizan), Bandung, 2007.
- Membiarkan Berbeda : Sudut Pandang Baru Tentang Relasi
Gender, Mizan, Bandung, 1999.
- Perbaiki Moral Bangsa Lewat Sekolah Karakter, Mitranetra, 24
Mei 2006.
- Mendidik 1,3 Milyar Manusia, Suara Pembaharuan Daily, Maret
2006.
- Bangsa Yang Tegar, Suara Pembaharuan,25 Januari 2004.
- Hikmah Puasa dalam Penyempurnaan Kualitas, ”Yin-Yang,
Kompas, 14 November 2001.
- Sekolah Membuat Generasi Pasif, Suara Pembaharuan Daily, 4
Januari 2004.
Pengalaman bidang akademik yang pernah digelutinya, antara lain :
- Pengajar Pengantar Teori Keluarga, S.1., IPB Bogor, tahun 1995-
sekarang.
- Pengajar Dinamika Keluarga, S.2., IPB Bogor, tahun 1995-
sekarang.
- Pengajar Teori Keluarga Lanjutan, S.1., IPB Bogor, tahun 2000-
sekarang.
- Pengajar Individu, Keluarga dan Masyarakat, S.2., IPB Bogor,
tahun 2002-sekarang.
47
- Dosen tamu pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,
Jurusan Intervensi Sosial, dengan topik “Membangun Bangsa
Berkarakter Melalui Intervensi Sosial”, S.2., UI Jakarta, tahun
2002-sekarang.
- Pengajar Pengantar Ilmu Filsafat, S.2., IPB Bogor, tahun 1995-
1997.
- Pengajar Perencanaan Gizi, S.1., IPB Bogor, tahun 1993-1994.
- Pengajar Ekonomi Gizi, S.2., SEAMEO., UI Jakarta, tahun 1993-
1994.
- Pengajar Ekonomi Gizi, .1., IPB Bogor, tahun 1982-1986.
Pengalaman kerja yang pernah dilakoninya :
- Anggota Panitia Pengawas Nasional Broad Based Education,
Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2002 sampai sekarang.
- Konsultan pada proyek bersama “Model Development of
Character Based Integrated Curicullum, Life Skill Broad-Based
Education Program”, GMSK., IPB-Depdiknas, tahun2002-2003.
- Pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation,
tahun 2001-sekarang.
- Ketua Kesetaraan Gender, Indonesian Planned Parenthood
Association, tahun 2000-sekarang.
- Ketua Divisi Studi Keluarga Indonesia Sociologists Association,
tahun 1996-1999.
- Faculty Member (Research Associate) Tufts, School of Nutrition,
tahun 1991-1993.
Penghargaan yang pernah diraih :
- Mahasiswa lulusan terbaik Fakultas Pertanian IPB Bogor, Mei
1992.
- Penghargaan “80 Tokoh Wanita Muslim Indonesia Terbaik”,
Januari 2002.
- Ford Foundation Fellowship Award, tahun 1986-1987 dan 1989-
1991.
48
- Inter-University Center Fellowship Award, tahun 1987-1988.
- Tufts University Graduate Fellowship Award, tahun 1988-1989.
B. Pemikiran Ratna Megawangi tentang Pendidikan Karakter
1. Pendidikan Karakter Menurut Ratna Megawangi
Islam mengajarkan, setiap manusia memiliki kecenderungan
untuk mencintai kebaikan (kebenaran) dan kesucian (fitrah).13 Akan
tetapi, meskipun begitu, ternyata masih banyak yang berprilaku tidak
sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia. Ternyata kesucian (fitrah)
manusia bersifat potensial, yang mana manusia tidak dengan
sendirinya (karena fitrah) dapat berakhlak mulia.
Menurut Ratna Megawangi, bahwa “Anugerah fitrah harus
dijaga, dirawat dan ditumbuhkan agar manusia bisa tumbuh menjadi
insan kamil, penuh kemuliaan. Dan lingkungan sangat berperan dalam
proses tumbuh dan berkembangnya fitrah”.14 Lingkungan yang baik
dapat memberikan pengaruh akhlak/karakter yang baik, sebaliknya
lingkungan yang pergaulan sehari-harinya tidak baik pun akan
membentuk akhlak yang buruk. Oleh sebab itu, sejak dini anak harus
dijaga dan dididik dengan perilaku yang baik agar fitrahnya tetap dapat
terjaga. Dan diajarkan nilai-nilai yang dapat menyuburkan fitrahnya
agar tumbuh kokoh.
Seperti pendapat seorang sufi, Bawa Muhaiyadeen, yang telah
disitir oleh Ratna Megawangi, menggambarkan bahwa manusia yang
seharusnya tumbuh sesuai dengan fitrahnya ibarat sebuah pohon yang
sedang tumbuh, diokulasi (ditempel) dengan jenis pohon lainnya yang
tidak sesuai dengan fitrahnya. Maka potensi “pohon” yang seharusnya
berbuah kemuliaan, ternyata berbuah kemudharatan. Namun,
potensinya (akar atau fitrahnya) masih tetap berada dalam kesucian.15
13 Ratna Megawangi, Yang Terbaik Untuk Buah Hatiku, (Bandung : MQS Publishing,
2005), hlm. 2. 14 Ibid., hlm. 3. 15 Ibid., hlm. 4.
49
Maka untuk menjaga eksistensi dari pada kesucian (fitrah)
manusia perlu adanya faktor-faktor dari luar tubuh sebagai perangsang
potensi baik dalam diri manusia. Salah satunya adalah dengan upaya
pendidikan. Seperti yang diungkapkan Ratna, “Walaupun manusia
mempunyai fitrah kesucian, namun tanpa diikuti dengan instruksi
(pendidikan dan sosialisasi), manusia dapat berubah menjadi binatang,
bahkan lebih buruk lagi”.16
Ratna Megawangi mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan
adalah mempersiapkan individu agar mampu (dapat) hidup sesuai
dengan zamannya, yang mampu menghadapi segala arus perubahan
yang ada di dunia, sehingga anak menjadi tahu apa yang ia harus
lakukan ketika terjadi sesuatu di lingkungan sekitarnya (cekatan dan
peka terhadap lingkungan).17
Pendidikan ditujukan untuk membangun seluruh dimensi
manusia, yaitu untuk membangun dimensi sosial, emosional, motorik,
akademik, spiritual, kognitif, sehingga membentuk insan kamil.18
Bahwa intinya pendidikan harus menyentuh aspek diri manusia dengan
kata lain pendidikan secara menyeluruh (holistik). Pendidikan yang
tidak hanya berorientasi pada ranah kognitif saja (otak kiri), tetapi
pendidikan juga harus bisa menampakkan hasil yang riil dalam
tindakan dan perilaku berupa akhlakul karimah.
Ratna Megawangi juga menuturkan bahwa pendidikan karakter
adalah berorientasi pada pembentukan akhlak (karakter baik), yang
mana di dalamnya melibatkan berbagai potensi manusia yang dapat
dikembangkan. Pendidikan karakter merupakan usaha pengembangan
semua potensi anak, sehingga menjadi manusia yang seutuhnya,
manusia yang cerdas secara kognitif dan juga cerdas secara emosi.19
16 Ibid., hlm. 2. 17 Ratna Megawangi, Character Parenting Space, (Bandung : Mizan Media Utama, 2007)
, hlm. 22. 18 Ibid., hlm.23. 19 Wawancara dengan Ratna Megawangi,10 Oktober 2007.
50
Menurut Ratna, pendidikan karakter berbeda konsep dan
metodologi dengan pendidikan moral, seperti PPKN, budi pekerti, atau
bahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan karakter adalah
untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good (mengetahui,
memahami kebaikan), loving the good (mencintai kebaikan), dan
acting the good (melakukan kebaikan), yang mana proses pendidikan
yang melibatkan aspek kognitif, emosi dan fisik, sehingga akhlak
mulia dapat terukir menjadi kebiasaan yang melekat dan mengakar
pada diri anak hingga dewasa.20
Konsep tersebut sesuai dengan konsep Thomas Lickona (1992),
yang mana dalam pendidikan karakter menekankan pada tiga
komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan
tentang moral) yang sama dengan knowing the good, moral feeling
(perasaan tentang moral) sama dengan loving the good, dan moral
action (perbuatan moral) sama dengan acting the good. Menurutnya,
ketiga hal tersebut diperlukan agar anak mampu memahami,
merasakan dan mengajarkan sekaligus nilai-nilai kebajikan.21
Pendidikan karakter yang hanya mengajarkan moral knowing,
seperti umumnya yang dilakukan di Indonesia dalam pendidikan
agama dan Pendidikan Moral Pancasila, tidak dapat menjamin
seseorang dapat berkarakter (baik), yaitu orang yang sesuai antara
pikiran, kata dan tindakan. Memang belum tentu pendidikan karakter
dapat menjamin, namun dalam pendidikan karakter terdapat penekanan
lebih dalam pengajaran dan pembelajarannya.
Selanjutnya Ratna Megawangi menegaskan, bahwa dengan
pendidikan karakter, seseorang anak dapat menjadi cerdas emosinya.
Menurutnya, kecerdasan emosi adalah bekal penting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya
seorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam
20 Ratna Megawangi, “Mendidik Anak 1,3 Milyar Manusia”, http://www. semipalar.net/artikel/2006/03/html.
21 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter,Op.Cit., hlm.11.
51
tantangan hidup, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.22
Karena sejatinya manusia hidup tidak hanya memerlukan kecerdasan
kognitif saja, namun akan lebih berarti apabila manusia hidup dapat
menyelesaikan permasalahan dan memberikan solusi dalam
masalahnya, dan hal demikian dilakukan dengan kecerdasan
emosinya.
Karakter adalah otot-otot yang sudah terbentuk yang
berkembang melalui proses panjang latihan dan kedisiplinan yang
dilakukan setiap hari.23 Selain itu, pendidikan karakter harus diberikan
sejak dini. Hal ini adalah agar karakter-karakter yang baik yang
diajarkan dapat mengakar dan melekat dalam diri anak hingga dewasa.
Ratna Megawangi juga menjelaskan bahwa dalam pendidikan
karakter ada tiga hal yang harus ditekankan, yaitu :24
Pertama, knowing the good. Dalam membentuk karakter, anak
tidak hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, akan tetapi
mereka harus dapat memahami apa makna dari perbuatan baik itu
(mengapa seseorang perlu melakukan hal tersebut). Dalam konteks ini
lebih ditekankan agar anak mengerti akan kebaikan dan keburukan,
mengerti tentang tindakan apa yang harus diambil serta mampu
memberikan prioritas hal-hal yang baik.
Kedua, feeling the good. Konsep ini lebih menekankan
bagaimana membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan
perbuatan baik. Anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan
yang baik yang dilakukan. Anak mempunyai kecintaan terhadap
kebajikan dan membenci perbuatan buruk. Jika aspek ini telah
tertanam dalam jiwa seseorang anak, maka hal tersebut bisa menjadi
kekuatan luas biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan
22 Wawancara, 10 Oktober 2007. 23 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, Loc. Cit., hlm. 105. 24 Ratna Megawangi, “Perbaiki Moral Bangsa Lewat Sekolah Karakter”, Mitranetra, 24
Mei 2006.
52
kebaikan atau mengerem (kontrol) dirinya agar terhindar dari
perbuatan negatif, (jelas Ratna dalam wawancara).
Ketiga, acting the good. Pada aspek ini, anak dilatih untuk
melakukan perbuatan baik. Tanpa melakukan apa yang sudah
diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya anak
harus mampu melakukan kebajikan dan dapat terbiasa melakukannya.
Melakukan kebaikan tidak hanya menjadi sebatas pengetahuan, namun
dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata.
Pada intinya, bahwa pendidikan karakter adalah menekankan
pada tiga komponen, knowing the good, feeling the good, dan acting
the good. Knowing the good dapat dengan mudah diajarkan karena
hanya bersifat pengetahuan kognitif saja. Selanjutnya, feeling the
good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan yang dapat
menjadi sumber energi yang selalu bekerja membuat orang mau
melakukan hal atau sesuatu baik. Orang mau melakukan kebajikan
karena mencintai perilaku kebajikan tersebut. Setelah terbiasa
melakukan kebajikan, acting the good kemudian akan berubah menjadi
kebiasaan.
2. Nilai-Nilai Karakter Yang Perlu Ditanamkan dalam Pendidikan
Karakter
Selanjutnya, dengan metode ketiga komponen tersebut di atas,
Ratna Megawangi merangkumnya menjadi sembilan nilai karakter,
yang mana sembilan nilai karakter inilah yang kemudian diajarkan
pada anak-anak (siswa) yang disebut dengan sembilan pilar
karakter, yaitu :25
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
2. Kemandirian dan tanggung jawab
3. Kejujuran/amanah, bijaksana
4. Hormat dan santun
25 Ibid., hlm. 95.
53
5. Dermawan, suka menolong dan gotong royong
6. Percaya diri, kreatif dan pekerja keras
7. Kepemimpinan dan keadilan
8. Baik dan rendah hati
9. Toleransi, kedamaian dan kesatuan
Sembilan pilar karakter tersebut adalah kunci daripada
pendidikan karakter. Karakter-karakter tersebut akan mudah dipahami
oleh anak apabila diajarkan secara terus menerus. Dari kesembilan
pilar tersebut tidak hanya diajarkan sebagai hafalan (kognitif) saja,
namun harus disertai dengan praktiknya. Misalnya pilar yang pertama,
Cinta Tuhan dan Ciptaan-Nya. Pada pilar ini ditunjukkan bagaimana
manusia harus menghargai sesama makhluk hidup sekalipun itu
tumbuhan.
Dalam masyarakat yang heterogen seperti di Indonesia, nilai-
nilai yang ditanamkan harus dapat menjadi perekat pada elemen-
elemen masyarakat yang berbeda, sehingga masyarakat dapat hidup
berdampingan secara damai dan tertib, yang akhirnya menciptakan
suasana yang sinergi dan yang sangat produktif bagi kemajuan
bangsa.26
Dari kesembilan pilar tersebut sesuai dengan yang diungkapkan
oleh Schopenhaver27 yang mempunyai prinsip yang sama dalam hal
pendidikan karakter. Hanya saja kecintaan kepada Tuhan dan alam
semesta beserta isinya dimasukkan dan ditempatkan sebagai pilar
pertama. Untuk di Indonesia, aspek ke-Tuhanan ini memang sesuai
dengan apa yang terdapat dalam dasar ideologi (Pancasila) yang
ditempatkan pada sila pertama.28
26 Ibid., hlm. 96. 27 Arthur Schopenhaver (1788-1860), bahwa siapa saja (manusia) yang hatinya dipenuhi
rasa kasih sayang pasti tidak akan melukai seorang pun, tidak membahayakan siapapun, tidakakan mengambil hak orang lain, ia akan selalu menghormati siapa saja, memaafkan semuanya sebisanya dan seluruh tindakannya akan menunjukkan karakter dari keadilan dan cinta kebajikan.
28 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, Op. Cit., hlm.102.
54
Poin terpenting dalam pendidikan karakter adalah mengajarkan
anak untuk berperilaku sesuai dengan fitrahnya. Yang mana seperti
konsep fitrah adalah bahwa sesungguhnya manusia adalah berpotensi
baik. Meski demikian, potensi tersebut harus senantiasa dijaga, dirawat
dan dikembangkan sebagai usaha agar potensi baik itu selalu eksis.
Akhlakul karimah adalah tidak serta merta telah ada sejak manusia
lahir, melainkan harus dibentuk dengan berbagai instrumen.
Pendidikan karakter merupakan salah satu instrumennya dengan
mencakup nilai-nilai yang telah ditentukan.
Maka untuk dapat membentuk akhlakul karimah yang tidak
hanya sebagai pengetahuan kognitif saja, pendidikan karakter harus
dilakukan sejak usia dini, termasuk anak-anak usia sebelum sekolah
(prasekolah). Karena pada usia anak-anak akan sangat mudah
menerima segala rangsangan dari luar.
3. Pengembangan Potensi dengan Pendidikan Karakter
1) Pendidikan Karakter di Dalam Keluarga
Membangun masyarakat yang bermoral adalah tanggung
jawab semua pihak. Hal ini merupakan tantangan yang luar biasa
besarnya, maka perlu ada suatu kesadaran dari seluruh konstituen
yang melingkupi dan mempengaruhi kehidupan anak-anak, bahwa
pendidikan karakter adalah hal yang vital untuk dilakukan. Oleh
karena itu, pendidikan karakter harus dilakukan secara eksplisit
(terencana), terfokus dan komprehensif, agar mampu menciptakan
manusia yang berakhlakulkarimah (berkarakter baik).29
Keluarga adalah tempat pertama dan utama di mana
seorang anak dididik dan dibesarkan. Fungsi keluarga adalah
sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan
anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat
menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta
29 Ibid., hlm. 62.
55
memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya
keluarga yang sejahtera.30
Keluargalah yang pertama dan utama memberikan
pendidikan secara intensif kepada anak. Pada dasarnya, dari dalam
keluargalah yang membentuk sifat dan kepribadian anak, yang
nantinya anak akan berkarakter baik atau buruk. Sekolah hanyalah
menjadi sarana pembantu daripada keluarga.
Peran keluarga dalam pendidikan, sosialisasi dan
penanaman nilai kepada anak adalah sangat besar. Peran keluarga
dalam hal ini adalah meliputi segala perilaku orang tua dan pola
asuh yang diterapkan dalam keluarga. Semua itu akan sangat
berpengaruh bagi perkembangan potensi anak dan juga pada
pembentukan akhlaknya.
Perilaku-perilaku ini adalah menyangkut bagaimana kasih
sayang, sentuhan, kelekatan emosi (emotional bonding) orang tua
terutama ibu. Perilaku-perilaku tersebut juga disertai dengan
penanaman nilai-nilai yang dapat mempengaruhi kepribadian
anak.31
Dalam pendidikan karakter di keluarga, kedua orang tua
harus terlibat, karena keterlibatan ayah dalam pengasuhan di masa
kecil sampai usia remaja juga menentukan pembentukan karakter
(akhlak) anak. Keluarga yang harmonis di mana ayah dan ibu
saling berinteraksi dengan kasih sayang dan selalu ada
kebersamaan keluarga, akan memberikan suatu lingkungan yang
kondusif bagi pembentukan akhlak anak.32
Meskipun secara umum anak lebih dekat dengan seorang
ibu, maka bukan berarti seorang ayah tidak lagi berhak atas anak.
Contoh kebersamaan antara ayah dan ibu juga akan dapat
menjadikan anak yang berhati lembut. Hal itu akan muncul dari
30 Ibid., hlm.63. 31 Ibid., hlm. 64. 32 Ibid., hlm. 65.
56
dalam diri anak karena melihat contoh keharmonisan antara orang
tuanya. Anak tidak hanya membutuhkan figur lembut dan feminin
dari seorang ibu, tetapi juga figur seorang ayahnya sangat
berperan.
Menurut Ratna Megawangi, peran wanita (ibu) dalam
mendidik anak-anaknya memang harus dilakukan sejak mereka
dilahirkan, bahkan sejak anak masih di dalam kandungan. Ratna
Megawangi juga menyitir sebuah hadits yang berbunyi bahwa
“wanita adalah tiang negara”, yang dikaitkan dengan teori
sosiologi yaitu “keluarga adalah fondasi masyarakat”. Yang mana
ini berarti bahwa peran wanita dalam keluarga sangat penting
dalam proses pembentukan akhlak seorang anak. Ada beberapa
kebutuhan fundamental yang harus dipenuhi seorang anak agar
dapat berkepribadian baik dan ini semua sangat tergantung pada
peran perempuan sebagai ibu.
Beberapa kebutuhan dasar itu adalah :33
Pertama, adalah kebutuhan akan “kelekatan psikologis”
(maternal bonding). Salah satu kebutuhan terpenting anak yang
harus dipenuhi sejak lahir adalah kelekatan psikologis yang erat
dengan ibunya. Kelekatan psikologis ini penting agar anak dapat
membentuk kepercayaan kepada orang lain, merasa diri
diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman.
Kedua, adalah kebutuhan rasa aman, dimana aanak
memerlukan lingkungan yang stabil aman. Lingkungan yang
berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi. Salah
satu lingkungan yang tidak baik adalah hubungan antara pengasuh
dan anak yang tidak harmonis. Hal ini juga dapat mempengaruhi
pada pola nafsu makananak.
Ketiga, adalah kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental.
Hal ini memerlukan perhatian yangbesar dari orang tuanya dan
33 Ibid., hlm. 67-68.
57
reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Seorang ibu sangat
perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya,
mengelus, menggendong dan berbicara kepada anaknya) di usia di
bawah 6 bulan, akan mempengaruhi sikap bayinya menjadi anak
yang gembira, antusias mengeskplor lingkungannya dan
menjadikannya anak yang kreatif.
2) Pendidikan Karakter di Sekolah
Sekolah merupakan tempat kedua setelah keluarga sebagai
tempat pendidikan. Selain keluarga yang sangat berperan dalam
membentuk akhlak anak, maka faktor sekolah juga tidka kalah
penting. Kematangan secara emosi-sosial juga sangat dipengaruhi
oleh lingkungan sekolah, yang mana mulai dari usia prasekolah
sampai remaja.
Sekolah adalah tempat yang sangat strategis untuk
pendidikan karakter karena anak-anak dari semua lapisan akan
mengenyam pendidikan di sekolah. Selain itu anak juga akan
menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah, sehingga apa
yang didapatkannya di sekolah akan mempengaruhi pembentukan
karakternya.34
Menurut Ratna Megawangi, pendidikan karakter disekolah
harus mengandung nilai-nilai yang menjadi acuan nilai moral.
Yang mana dalam pendidikan karakter selalu ada nilai-nilai yang
ditanamkan pada anak. Nilai-nilai ini adalah terdiri 9 nilai karakter
(yang telah dibahas pada sub bab 2). Nilai-nilai tersebut dijadikan
bahan pelajaran, diskusi, dan acuan model yang harus ditujukan
oleh guru-guru dan seluruh staf disekolah.35
Pendidikan karakter di sekolah yang berhasil tergantung
dari komitmen kepala sekolah. Model pendidikan karakter yang
dikembangkan oleh Ratna Megawangi adalah sebuah model
34 Ibid.,hlm. 78. 35 Ibid., hlm. 110.
58
pendidikan karakter secara eksplisit dan bersifat komprehensif.
Yang mana model ini memang dikhususkan untuk anak usia dini
termasuk prasekolah :
a. Memakai acuan nilai dari 9 nilai karakter
b. Mengajarkan sembilan nilai karakter tersebut dalam waktu 2
tahun sekolah di mana setiap tema pilar ditugas secara
bergantian setiap minggu sekali.
c. Menggunakan kurikulum karakter (kurikulum eksplisit) yang
diterapkan dengan refleksi 9 pilar setiap hari, yaitu dengan
menerapkan prinsip knowing the good, loving the good dan
desiring the good.
d. Menggunakan sistem “Pembelajaran Terpadu Berbasis
Karakter”
e. Menggunakan teori DAP (Developmentally Appropriate
Practices). Pada intinya teori ini adalah belajar dengan
menyenangkan. Suasana belajar yang menyenangkan dapat
mengurangi stres, meningkatkan motivasi anak, dan
meningkatkan rasa kemampuan anak yang semuanya ini dapat
mendukung pembentukan karakter (akhlak) anak.
f. Menerapkan co-parenting. Ini merupakan usaha pemberitahuan
sekolah kepada orang tua tentang aktifitas anak di sekolah dan
orang tua melanjutkan secara praktis di rumah.36
a) Pendidikan Karakter Secara Eksplisit (Terencana)
Salah satu kurikulum pendidikan karakter yang secara
eksplisit dijalankan adalah metode pendidikan STAR (Stop,
Think, Act and Review) yang dikembangkan oleh Jefferson
Center for Character Education yang berkedudukan di
California, Amerika Serikat. Metode ini hanya memerlukan
36 Ibid., hlm. 106.
59
waktu sampai 10 sampai 15 menit sehari sebelum kelas
dimulai.37
Di Indonesia yang dikembangkan oleh Ratna
Megawangi metode secara eksplisit ini yaitu dengan
pengajaran 9 nilai karakter yang diberikan sepanjang tahun
selama anak-anak di kelas; dengan cara:
- Anak-anak diberikan refleksi pilar selama 15-20 menit
yang temanya bergantian setiap 3 minggu.
- Anak-anak dikondsikan untuk mengerti secara jelas apa arti
setiap pilar, bagaimana menimbulkan perasaan cinta
terhadap nilai-nilai pilar yang sedang diajarkan, dan
bagaimana mempraktikannya.
- Pembelajaran dilaksanakan dengan suasana yang
menyenangkan yaitu dengan diskusi terbuka, bermain,
bernyanyi, membaca buku-buku cerita dan latihan dalam
tindakan nyata.
Untuk kurikulum 9 pilar karakter ini dilengkapi oleh
120 cerita anak-anak yang terbagi sesuai dengan tema pilar dan
buku-buku lembar kerja anak yang menarik untuk anak-anak.38
Peran buku cerita sangat besar dalam pendidikan karakter.
Cerita-cerita yang bagus akan memperluas pikiran dan hati para
anak.
b) Konsep Developmentally Appropiate Practices (DAP)
Sistem pembelajaran DAP adalah memperlakukan anak
sebagai individu yang utuh (the whole child) yang melibatkan 4
komponen : pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills),
sifat alamiah (dispositions), dan perasaan (feelings), karena
37 Ibid.,hlm. 119. 38 Ibid., hlm. 120.
60
keempat komponen tersebut bekerja secara bersamaan dan
saling berhubungan.39
Pengetahuan (knoeldge) adalah adalah pembelajran
yang melibatkan ranah kognitif. Dalam hal ini anak/siswa
diberikan materi yang dapat difahami dengan pemikirannya,
misalnya sifat pemaaf itu baik. Pada bidang keterampilan
(skills) adalah pembelajaran dengan melibatkan daya
kreativitasnya anak. Dalam ranah sifat alamiah (disposition),
sifat alamiah anak yang senang dengan bermain digunakan
untuk belajar secara kongkrit dengan alat-alat permainannya
misalnya. Dan dalam ranah perasaan (feeling) adalah sebagai
sumber energi dari dalam diri anak untuk bertindak sesuai
dengan prinsip-prinsip moral. Apabila sistem pembelajaran di
sekolah dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan,
maka perkembangan intelektual, sosial, dan karakter (akhlak)
anak dapat terbentuk secara simultan.
Dalam sistem DAP lebih menekankan kepada daya
kreatifitas dan belajar melalui kesenangan bermain pada anak-
anak. Menurut Ratna, bermain adalah cara yang paling efektif
untuk perkembangan anak pada usia prasekolah dan pada masa
sekolah dasar, baik di bidang akademik (kognitif), maupun
pada aspek fisik dan sosial-emosi.
Pendidikan karakter yang sesuai dengan prinsip DAP
untuk anak usia dini adalah dengan melibatkan aspek motorik,
emosi, sosial, kreatifitas, dan intelektual anak. Model ini
menekankan pentingnya prinsip belajar yang menyenangkan.
Dalam hal ini para guru harus dapat membina hubungan baik
yang dekat dengan anak-anak dan mengetahui sifat-sifat anak
secara individu, sehingga pendekatan yang dilakukan sesuai
dengan sifat spesifik anak. Guru ditekankan untuk membangun
39 Ibid., hlm. 123.
61
rasa percaya diri anak dengan cara berdiskusi dan menghargai
setiap pendapat anak.40
c) Sistem Pembelajaran Terpadu Berbasis Karakter
Sistem pembelajaran ini adalah salah satu aspek dari
DAP. Siswa diajak belajar aktif, bukan dianggap sebagai
bejana kosong yang harus diisi. Sistem DAP dihubungkan
dengan kurikulum pembelajaran terpadu, agar anak-anak dapat
menjadi manusia yang ingin belajar seumur hidup, sehingga
dapat berpikir secara kritis, imajinatif, dapat mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan kritis, dapat bekerjasama, dan dapat
menjadi insan yang peduli.
Sama halnya dengan sistem DAP, disini anak-anak
memang dijadikan pusat kegiatan, yaitu dengan melibatkan
mereka dalam pengalaman konkrit. Dengan melibatkan anak
dalam pengalaman konkrit, maka subyek yang diajarkan dapat
dengan mudah dimengerti. Dan juga tidak mudah hilang dari
memori anak, karena mereka ikut merasakan dan melakukan
secara langsung. Hal yang dilakukan secara langsung oleh
anak-anak akan tersimpan dalam rekaman ingatan mereka
sehingga mudah diingat.
Sebagaimana dicontohkan oleh Ratna dalam bukunya,
adalah cara dari seorang guru matematika dalam mengajar,
yaitu :
Ketika para siswa diberikan pelajaran Matematika tentang bagaimana membuat grafik, para siswa diajak ke lapangan dan disuruh membuat garis koordinat X dan Y. Kemudian setiap siswa disuruh berdiri diantara kedua koordinat tersebut satu persatu, sehingga mereka berpura-pura menjadi titik-titik dalam sebuah pola garis.41
40 Ibid., hlm. 124. 41 Ibid., hlm. 127.
62
Dengan cara melibatkan anak aktif seperti ini mempermudah
anak dalam memahami pelajaran, karena anak akan merasa
nyata bahwa pelajaran itu tidak sekedar dibaca dan
dibayangkan. Dan akan melekat dalam daya ingat, serta siswa
tidak akan mudah merasa bosan dalam belajar.
4. Pendidikan Karakter yang Sesuai dengan Tahapan
Perkembangan Moral Anak Seperti halnya aspek perkembangan motorik, mental, dan sosial
anak yang berjalan secara bertahap dan memerlukan pendekatan yang patut sesuai dengan tahapan umur anak, pendidikan karakter yang diberikan kepada anak juga harus memperhatikan tahap-tahap perkembangan moral anak. Pada anak usia prasekolah, proses sosialisasi pada tahapan ini dapat dilakukan dengan metode menumbuhkan kecintaan kepada kebajikan dengan contoh-contoh konkrit, seperti membaca buku cerita, permainan, musik, dan menyanyi, dan sebagainya.
Menurut Ratna, ada 6 fase dalam perkembangan moral anak, yaitu:42 a. Fase bayi (membangun fondasi moral)
Pada fase bayi belum mengerti tentang moral (amoral), sehingga belum mengerti arti baik dan buruk. Pada fase ini peran orang tua sangat berpengaruh, karena fondasi moral dibentuk pada fase ini. Pada awal kehidupan bayi, kedekatan ibu dan anak sangat diperlukan.
Pada fase ini, anak sangat membutuhkan cinta dan kasih sayang dari orang disekitarnya terutama dari orang tuanya. Kekurangan cinta pada fase ini akan berakibat negative pada perkembangan psikologis anak. Anak-anak yang mempunyai kelekatan psikologis yang erat dengan ibunya mempunyai lebih baik, yaitu mudah bergaul, mudah diatur, mempunyai motivasi belajar tinggi, antusias dengan aktifitas di sekolah, dibandingkan
42 Ibid., hlm. 143
63
dengan anak-anak yang ketika bayi kurang lekat hubungannya dengan ibunya.
b. Fase 1 (berfikir egosentris) Pada fase 1 anak berfikir sangat egois (usia antara 1 - 5
tahun). Pendidikan karakter pada fase ini bisa dilakukan dengan memberikan insentif agar anak berperilaku baik (misalnya dengan pujian), memberikan arahan yang jelas tentang bagaimana perbuatan yang baik (misalnya, anak yang baik tidak akan memukul temannya), memberikan aturan/sanksi yang jelas (misalnya, anak yang berteriak tidak sopan tidak akan diberi kesempatan untuk menggambar di papan tulis).
Anak-anak fase ini juga sudah mempunyai kapasitas untuk berempati, karenanya cukup efektif seorang diajarkan untuk melihat dari perspektif orang lain (misalnya, ibumu akan sedih kalau kamu berbohong).
c. Fase 2 (patuh tanpa syarat) Fase ini adalah anak percaya sekali kepada definisi baik
dan buruk menurut pigur otoritas, seperti orang tua atau guru. Anak-anak pada usia ini (antara 4,5 - 6 tahun) lebih mudah menurut dan diajak kerjasama, sehingga mereka mudah mengerjakan perintah orang tua atau guru.
Pada fase ini pendidikan karakter dapat diberikan secara control eksternal dimana guru dapat secara otoritatif mengajarkan moral baik atau buruk. Mereka percaya sekali bahwa apa yang dikatakan guru adalah benar adanya, maka penekanan pentingnya perilaku baik dan sopan akan sangat efektif dilakukan pada fase ini. Akan tetapi anak juga harus pula diberikan peluang untuk mengerti alasan-alasan lain di luar alasan otoritas guru (misalnya, alasan mengapa mencuri tidak tidak baik).
d. Fase 3 (memenuhi Harapan Lingkungan) Pada tahapan ini kebenaran ditentukan oleh lingkungan
sebayanya (peer group). Dalam fase ini, anak-anak ingin diterima oleh kawan-kawannya, sehingga tindakannya cenderung ingin
64
disesuaikan dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan sebayanya. Pada masa ini, anak sudah mengerti moral baik dan buruk (golden rule), tetapi lebih didorong oleh keinginan untuk dikatakan anak baik oleh lingkungannya. Masa ini berlangsung santara usia 8 ½ sampai 14 tahun.
Dalam fase ini, orang tua atau pendidik agar dapat membantu anak meningkatkan perkembangan moral ke tahap selanjutnya dengan memelihara hubungan yang baik dengan anak dengan menjalin komunikasi, turut serta dalam memecahkan masalahnya, dan membantu mereka untuk menemukan identitas dirinya.
e. Fase 4 (Ingin Menjaga Kelompok) Pada masa ini anak merasa bahwa ia mempunyai tugas
untuk menjaga keutuhan kelompoknya. Orang pada tahapa ini ingin menjalankan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat dimana ia berada, karena ingin menjaga ketertiban masyarakat. Fase ini adalah usia remaja.
Para orang tua dan pendidik dapat membantu anak agar dapat mencapai tahapan moral tertinggi, yaitu berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
f. Fase 5 (Moralitas tidak Berpihak) Fase ini adalah tahapan moral tertinggi yang seharusnya
dicapai manusia, karena mengacu pada prinsip moral universal, yaitu tergantung pada kepentingan pribadi, atau kepentingan kelompok. Fase ini dicapai pada usia 20 tahun. Orang yang sudah mencapai tahap ini akan mengacu kepada moral hati nurani. Ratna menjelaskan bahwa menurut orang, pada tahapan ini : “Saya harus menghormati setiap manusia dan memenuhi hak orang lain, serta harus setia kepada sistem yang melindungi hak asasi, bukan karena kepentingan pribadi atau kelompok atau sistemnya.
65
BAB IV
ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT RATNA
MEGAWANGI DAN RELEVANSINYA PADA PEMBENTUKAN
AKHLAK ANAK PRASEKOLAH
A. Alasan Muncul dan Diperlukannya Pendidikan Karakter
Dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 pada pasal 3 telah dijelaskan
tentang fungsi dari pendidikan nasional, yang pada intinya pendidikan
bertujuan mengembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh. Yaitu
potensi yang berupa akhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri.1 Hal
ini telah menunjukkan bahwa sebenarnya pendidikan diharapkan mampu
menghasilkan manusia yang tidak hanya cerdas (kognitif) saja tetapi juga
berakhlak mulia, manusia yang bertanggung jawab dan berguna bagi tanah air.
Menurut Ratna Megawangi, sebenarnya isi dan materi Pelajaran Moral
Pancasila dan Agama di sekolah-sekolah sudah bagus. Tetapi pendekatan yang
dipakai hanya mengandalkan kemampuan kognitif saja, sehingga semua anak
hanya mengetahui mana yang baik dan yang buruk pada tingkatan kognisi.
Oleh karena itu diperlukan suatu pendidikan karakter yang eksplisit, yang
mencakup bukan saja kesadaran atau pengetahuan tentang baik dan buruk,
tetapi juga mencakup bagaimana menumbuhkan cinta kepada kebajikan, dan
melatih secara terus menerus perbuatan baik dalam tindakan nyata.2
Pendidikan karakter tersebut sebenarnya sama dengan fungsi dari
pendidikan nasional seperti yang telah diuraikan. Hanya saja pendekatan yang
digunakan belum tepat, yakni masih saja menekankan aspek kognitif.
Sehingga siswa belum secara tepat memahami akan apa yang disampaikan
guru, karena dalam penyampaiannya pun masih hanya sebatas penguraian
materi. Akibatnya seperti yang telah sering terjadi adalah semakin marak
tindakan-tindakan negatif yang semakin anarkis. Seperti tawuran antar siswa,
perang antar etnis dan kepercayaan (agama), merupakan sedikit contoh
1 Undang-Undang Sisdiknas, Op. Cit., hlm. 7 2 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, Op. Cit., hlm. vii
66
tindakan demoralisasi. Ini semua adalah karena buruknya kualitas akhlak yang
dimiliki.
Seperti yang diungkapkan Abdullah Gymnastiar, bahwa keburukan
akhlak sangat berpotensi memicu timbulnya perilaku-perilaku negatif. Akhlak
sangat berkaitan dengan pola pikir, sikap hidup, dan perilaku manusia. Jika
akhlak dari seseorang individu buruk, maka sangat mungkin ia akan
melahirkan berbagai perilaku yang dampaknya dapat merugikan orang lain.3
Pendidikan selama ini masih cenderung mengajarkan pada dasar-dasar
agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum
sepenuhnya disampaikan. Metode pengajarannya masih cenderung berpusat
pada pendekatan kognitif, yaitu hanya mewajibkan siswa didik untuk
mengetahui dan menghafalkan konsep dan kebenaran tanpa menyentuh
perasaan, emosi, dan nuraninya.4
Dalam hal ini, Ratna berpikiran bahwa pendidikan tentang moral dan
agama masih sebatas pengajaran materi yang hasil akhirnya adalah pada nilai
atau prestasi. Sehingga siswa memahaminya pun juga sebagai pelajaran biasa
yang harus dipelajari, dibaca, dan bahkan dihafalkan. Padahal pendidikan
moral dan agama bertujuan untuk membentuk siswa yang berkepribadian baik.
Akibatnya sama juga, bahwa siswa akan merasa terbebani untuk mendapatkan
nilai yang tinggi, bukan berakhlak baik. Sehingga walaupun mendapatkan
nilai yang tinggi, tetapi akhlaknya rendah.
Seperti yang diungkapkan as-Syantut dalam bukunya terjemahan
Rosyadi, bahwa manusia sekarang sedang menghadapi krisis moral. Dusta,
tipu daya, korupsi, maksiat adalah diantara penyakit moral yang telah
menyebar di masyarakat. Meskipun seseorang beribadah dan berdzikir di
masjid, kemudian keluar dari masjid ia menjadi orang yang berbeda (tidak
sesuai dengan ibadah dan dzikirnya).5 Tingkah laku dan akhlak mulia adalah
3 Abdullah Gymnastiar, Refleksi Untuk Membangun Nurani Bangsa, (Bandung: MQS
Publishing, 2004), hlm. 36 4 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, Op. Cit. 5 Khalid Ahmad asy-Syantut, Daurul Bait fi Tarbiyatil Athfalil Muslim, Terjm. Rosyad
Nurdin, Rumah: Pilar Utama Pendidikan Anak, (Jakarta: Robbani Press, 2005), hlm. 54
67
cermin perkembangan yang baik dari rohani, jiwa dan akal. Jika tingkah
lakunya buruk berarti seseorang itu jiwa dan rohani, serta akal tidak
mengalami perkembangan atau bahkan potensi baik yang dimilikinya dalam
keadaan stagnan.
Diperlukannya pendidikan karakter adalah untuk memberikan
pengetahuan akan mana yang baik dan mana yang buruk, serta membuat sifat-
sifat baik mengakar di dalam diri anak, sehingga membuatnya menjadi insan
kamil. Oleh karena itu, pendidikan karakter adalah usaha untuk mencegah
timbulnya sifat-sifat buruk yang dapat menutupi fitrah manusia, serta melatih
anak untuk terus melakukan perbuatan baik sehingga mengakar kuat dalam
dirinya dan akan tercermin dalam tindakannya yang senantiasa melakukan
kewajiban.6
Dari uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan karakter
adalah sebagai salah satu dari unsur pendidikan yang bertujuan mengajarkan
dan menanamkan nilai-nilai karakter baik. Yang dari hal tersebut diharapkan
mampu membawa perubahan atau membentuk akhlak yang baik dari individu
dan untuk membentuk bangsa yang baik.
Mengenai pentingnya pendidikan karakter, Azyumardi Azra dalam
bukunya yang berjudul Paradigma Baru Pendidikan Nasional, menjelaskan
bahwa munculnya kembali pendidikan budi pekerti (karakter) adalah berkaitan
erat dengan semakin berkembangnya pandangan dalam masyarakat luas,
bahwa pendidikan nasional telah gagal dalam membentuk peserta didik yang
memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Dan kemerosotan akhlak,
moral, dan etika peserta didik disebabkan gagalnya pendidikan agama di
sekolah. Menurutnya, pendidikan (sekolah) bertanggung jawab bukan hanya
dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi juga dalam akhlak dan kepribadian.7
Sehingga jelas bahwa munculnya pendidikan karakter juga merupakan
sebuah usaha untuk memperbaiki kemerosotan moral dan membentuk akhlak
6 Ratna Megawangi, Op. Cit. 7 Azyumardi Azra, Op. Cit., hlm. 178
68
mulia. Pendidikan yang menanamkan nilai-nilai, pendidikan yang tidak hanya
mencetak manusia yang berpengetahuan, akan tetapi juga berperilaku mulia.
a. Pendidikan Karakter untuk Merawat Fitrah Anak
Seorang anak lahir dalam keadaan suci. Ada yang berpendapat
bahwa pembawaan (hereditas) yang akan membentuk perilaku anak,
adapula yang berpendapat lingkungan lebih dominan. Bahkan ada yang
netral bahwa antara hereditas dan lingkungan yang membentuk perilaku
dan pribadi anak.
Fitrah manusia dalam Qur’an surat ar-Rum ayat: 30 dijelaskan
bahwa fitrah manusia adalah suci, yang maksudnya adalah beragama,
tauhid (Islam). Dalam ayat tersebut yang mana secara eksplisit dapat
dipahami bahwa manusia sejak awal adalah beragama. Namun ketika telah
lahir dan dewasa, banyak faktor yang merubah fitrah tersebut.
Dalam hal ini, Ratna Megawangi berpendapat bahwa fitrah
manusia cenderung kepada kebaikan, akan tetapi lingkungan dimana anak
dibesarkan dapat mengotori fitrah tersebut. Sehingga perlu adanya usaha
untuk merawat fitrah anak agar tetap berpotensi baik.
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa fitrah adalah anugerah yang
harus dijaga., dirawat, dan ditumbuhkan agar manusia bisa tumbuh
menjadi insan kamil. Karena tidak mungkin dapat menjadi manusia
sempurna (akhlaknya) tanpa ada usaha-usaha berupa pembinaan. Dalam
hal ini orang tua sangat berperan penting.
Untuk merawat dan menjaga fitrah anak harus dilakukan sejk dini
agar dapat benar-benar melekat pada jiwa anak. Hal itu dapat dilakukan
dengan penanaman nilai-nilai kebajikan.
Menurut Ratna, bahwa perawatan fitrah anak dapat diumpamakan
seperti pohon kecil yang mempunyai potensi untuk menjadi pohon besar.
Oleh sebab itu, sejak usia dini, anak harus dirawat dan dididik dengan
69
nilai-nilai yang akan menyuburkan fitrah (kesucian manusia) agar tumbuh
kokoh. Kemudian disirami dan diberi “pupuk” berupa nilai-nilai akhlak.8
Dari uraian tersebut, sebenarnya yang dimaksudkan adalah, bahwa
fitrah anak yang dari lahir suci dan berpotensi baik itu dapat dapat dirawat,
dijaga, dan ditumbuhkan dengan penanaman nilai-nilai kebajikan yang
diwujudkan dalam sembilan nilai karakter. Yang artinya, perawatan fitrah
anak (menurut Ratna Megawangi) dapat dilakukan dengan pendidikan
karakter. Karena, pendidikan karakter selain memberikan materi juga
memberikan contoh atau refleksi dari materi yang diajarkan. Sehingga,
seorang anak dapat benar-benar memahami dan melakukan apa yang
diberikan orang tua dan pendidik.
b. Pendidikan Karakter Sebagai Solusi Pembangun Karakter Bangsa
Krisis multidimensi di Indonesia sampai saat ini masih marak, atau
bahkan menjadi lebih parah. Seperti adanya tawuran pelajar, keterpurukan
ekonomi, ketidakstabilan politik, ancaman disintegrasi, dan juga korupsi
yang sangat membudaya. Hal ini menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia
telah mengalami keadaan yang sangat buruk, bisa dikatakan kemunduran,
bukan kemajuan. Ironis sekali ketika Bangsa ini sedang ingin bangkit dari
keterpurukan, dan hendak menata kembali keadaannya, tetapi masih saja
marak perilaku-perilaku menyimpang.
Abdullah Gymnastiar mengungkapkan, dalam bukunya, bahwa
sesungguhnya yang terjadi saat ini adalah krisis akhlak. Akhlak sangat
berkaitan dengan pola pikir, sikap hidup, dan perilaku manusia. Jika
akhlak dari seorang individu buruk, maka sangat mungkin ia akan
melahirkan berbagai perilaku yang dampaknya dapat merugikan orang
lain. Dalam konteks ini, keterpurukan bangsa bisa jadi diakibatkan oleh
keterpurukan akhlak dari individu-individu yang ada didalamnya.9
Selanjutnya diungkapkan pula, bahwa dengan keadaan tersebut
maka perlu adanya upaya perbaikan akhlak. Salah satu aspek penting yang
8 Ratna Megawangi, Yang Terbaik untuk Buah Hatiku, Op. Cit., hlm. 5 9 Abdullah Gymnastiar, Op. Cit.
70
sangat terkait dengan upaya perbaikan akhlak adalah pola pendidikan,
yang mana pendidikan dalam keluarga dan sekolah. Jika kesuksesan anak
diukur dari nilai atau prestasi saja, maka akibatnya akhlak terlupakan.10
Dalam pendidikan karakter jelas telah diungkapkan pada bab
sebelumnya, bahwa pendidikan karakter tidak hanya menekankan pada
kecenderungan kognitif saja, akan tetapi juga menekankan pada
pembentukan akhlaqul karimah. Dan salah satu alasan dari pendidikan
karakter adalah juga dilatarbelakangi atas pemikiran (Ratna Megawangi)
bahwa Bangsa Indonesia semakin terpuruk dengan semakin maraknya
tindakan korupsi. Konsep pendidikan karakter adalah merupakan salah
satu solusi terpuruknya moral bangsa. Melalui pendidikan karakter yang
menekankan pada tiga aspek (knowing the good, loving the good, and
acting the good) yang diberikan sejak usia dini pada anak-anak,
diharapkan akan mampu menghasilkan produk pendidikan yang baik dan
berbudi pekerti baik.
B. Analisis Pemikiran Ratna Megawangi Tentang Pendidikan Karakter
Dalam bukunya, Pendidikan Karakter, Ratna mengungkapkan bahwa:
Sebuah peradaban akan menurun apabila terjadi demoralisasi pada masyarakatnya. Faktor moral (akhlak) adalah hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah masyarakat yang tertib, aman, dan sejahtera. Salah satu kewajiban utama yang harus dijalankan oleh para orang tua dan pendidik adalah melestarikan dan mengajarkan nilai-nilai moral kepada anak-anak. Nilai-nilai moral yang ditanamkan akan membentuk akhlak mulia yang merupakan fondasi penting bagi terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang beradab dan sejahtera.11
Dari ungkapan tersebut, menjelaskan bahwa betapa pentingnya faktor akhlak
dalam perkembangan sebuah bangsa. Ratna berpendapat bahwa bangsa yang
lemah akan akhlak masyarakatnya, maka bangsa tersebut akan terpuruk. Hal
ini pulalah yang menjadi pemikiran utama Ratna tentang pendidikan karakter.
10 Ibid., hlm. 37 11 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, Op. Cit., hlm. 1
71
Konsep pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Ratna (knowing the
good,loving the good, and acting the good) adalah penerapan dari konsep
Thomas Lickona yaitu, moral knowing, moral feeling, and moral action. Dan
dalam konsepnya, Ratna melengkapi dengan pengajaran dan pembelajaran
sembilan nilai karakter.
Menurut Ratna, untuk mencapai pada peradaban lebih baik harus
dimulai dari pembangunan individu. Setiap individu harus memiliki karakter
baik (akhlak mulia). Dan pembangunan individu tersebut dimulai dari hal
yang paling mendasar adalah dengan memelihara fitrah manusia yang mana
fitrah tersebut cenderung pada kebaikan. Pendidikan karakter adalah salah satu
usaha dalam memelihara fitrah tersebut. dalam hal ini Ratna berpendapat dan
memiliki pemikiran bahwa fitrah manusia yang cenderung baik tidak
menjamin seseorang akan berakhlak baik. Seorang pelajar yang telah
menerima pendidikan agama dan moral masih dapat melakukan perbuatan
tercela. Bahkan para pejabat lebih parah dengan melakukan korupsi.
Ratna memiliki pemikiran yang kritis, kekritisannya dalam menanggapi
fenomena bangsa ini menjadikannya ingin melakukan sesuatu yang konkrit
bagi bangsa, yakni membangun bangsa berkarakter (baik). Dengan hal itu
timbul pemikiran bahwa untuk mewujudkan keinginannya, maka harus
dilakukan dari sesuatu yang paling mendasar dari dalam diri masing-masing
individu.
Namun begitu, pendidikan karakter tidak akan maksimal jika dilakukan
oleh satu institusi atau lembaga sekolah saja. Dalam hal ini, pendidikan
karakter masih ditujukan untuk anak-anak. Karena pembentukan akhlak akan
lebih baik diawali sedini mungkin.
Meskipun Ratna Megawangi tidak berlatar belakang pendidikan yang
intens dalam hal pendidikan, tetapi sifat kritisnya dalam menanggapi keadaan
bangsa ini cukup menonjol. Dia melihat bahwa pendidikan budi pekerti
selama ini belum berhasil. Menurutnya, buruknya kondisi moral masyarakat
pada masa reformasi tahun 1998 masih ada dan semakin menjadi. Bangsa
Indonesia dipenuhi rasa marah, caci maki, curiga, dan sebagainya. Pendidikan
72
budi pekerti hanyalah sebatas teori tanpa adanya refleksi dari pendidikan
tersebut. Dampaknya, anak-anak tumbuh menjadi manusia yang tidak
memiliki akhlak baik. Keadaan tersebut menjadikan Ratna yakin bahwa ada
yang salah dengan pendidikan yang diterapkan selama ini.
“Orang yang cerdas adalah orang yang mampu menyelesaikan masalah
dalam hidupnya dan juga mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat”.
Pendidikan karakter memberikan pengajaran nilai-nilai yang juga
direfleksikan melalui contoh dan tindakan yang melibatkan siswa secara.12
langsung. Dengan begitu, siswa selain cerdas dalam ranah kognitif juga cerdas
dalam menghadapi keadaan hidupnya.
Selanjutnya, Ratna mengungkapkan bahwa anak yang kualitas
karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi.-sosialnya
rendah. Maka penerapan karakter di usia dini merupakan hal yang sangat
penting untuk dilakukan. Ratna mempelopori pendidikan ini sebagai solusi
untuk membangun bangsa, bangsa yang berkarakter baik.
Seperti yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, Ratna
berpendapat bahwa pendidikan karakter adalah yang baik selama ini kurang
mendapat penekanan dalam sistem pendidikan negara. Pengajaran yang
disampaikan hanya sebatas teori tanpa adanya refleksi dari pengajaran yang
disampaikan. Sehingga anak tumbuh menjadi manusia yang tidak memiliki
karakter, dan bahkan lebih buruk lagi menjadi generasi tidak bermoral. Pada
kenyataannya, bukti-bukti kongkrit telah banyak, banyak anak-anak kecil
berbicara layaknya orang-orang dewasa, banyak anak/siswa dibawah umur
melakukan tindakan amoral (sex), narkoba, dan sebagainya.
Dengan kondisi semacam itu, tampaknya pendidikan karakter yang
dipelopori Ratna Megawangi cukup tepat. Karena didalamnya juga
mengajarkan kecerdasan emosi yang dalam refleksinya adalah menumbuhkan
rasa empati pada anak (feeling the good). Konsep yang dibangun adalah habit
of the mind, habit of the heart, and habit of the hands. Yang mana dalam
konsep ini, intinya bahwa segala tindakan baik adalah dilakukan atau diawali
12 Ratna Megawangi, Character Parenting Space, Op. Cit., hlm. 59
73
dengan membiasakan dan mengulang terus menerus sampai menjadi suatu
keadaan yang terbiasa dilakukan. Misalnya, seorang anak yang dibiasakan
sebelum tidur agar menggosok gigi, maka suatu ketika akan merasa janggal
jika tidak melakukannya.
Jika melihat kultur dan budaya di Indonesia, pendidikan model ini
adalah memerlukan usaha yang keras. Untuk itu, sudah merupakan kewajiban
smampu bekerjasama untuk mewujudkannya. Lebih lanjut, Ratna menegaskan
bahwa pendidikan ini juga melibatkan orang tua yang mengawasi
perkembangan anak. Yang diberikan sekolah adalah laporan untuk orang
tuanya, dan orang tua melanjutkan di rumah.
Dalam artian, bahwa orang tua harus menjadi partner dalam membentuk
karakter anak, bahkan mempunyai peran utama. Dalam hal ini adalah
kerjasama antara sekolah dengan orang tua.
Seperti yang disampaikan Azyumadi Azra dalam bukunya, bahwa
pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak
rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah lebih luas
(masyarakat). Karena itu, agar pendidikan karakter berhasil, maka antara
ketiga lingkungan tadi harus saling berkesinambungan dan harmonis.13
C. Relevansi Pendidikan Karakter dalam Pembentukan Akhlak Anak
Prasekolah
Seorang anak pertama kalinya memperoleh pendidikan dalam keluarga.
Dengan demikian keluarga dapat dikatakan sebagai peletak dasar bagi
pendidikan seorang anak. Artinya keluarga sangat berperan dalam
perkembangan kepribadian anak. Namun pada masa sekarang sekolah
dibutuhkan karena masyarakat modern dengan kebudayaan dan peradaban
yang telah maju menawarkan demikian banyak kepandaian dengan kerumitan
dan kompleksitas yang tinggi sehingga tidak mungkin lagi mempelajari
kepandaian yang diperlukan hanya sambil lalu dalam praktek.
13 Azyumardi Azra, Op. Cit.
74
Dalam bukunya Ratna Megawangi, diungkapkan bahwa anak-anak usia
prasekolah sudah dapat diberikan pendidikan karakter dengan mengaktifkan
rasa empati anak yang sudah ada, yang merupakan bagian dari fitrahnya.
Memberikan cinta dan kasih sayang saja tidak cukup, tetapi anak perlu
diajarkan disiplin dan diarahkan kepada hal-hal yang baik terutama ketika
anak semakin besar.14 Arah tersebut bisa berupa contoh-contoh yang baik,
misalnya dengan menimbulkan rasa sensitifitas anak, “Ibu Guru akan sedih
dan kecewa kalau kamu memukul kawanmu”, atau “Anak yang baik akan
saling mengasihi dengan teman-temannya.”
Selanjutnya diungkapkan pula, bahwa anak usia 2-3 tahun sudah dapat
diperkenalkan sopan santun, dan perbuatan baik dan buruk. Namun pada usia
ini agak sulit diatur, karena pada fase ini selain bersifat egois, anak juga
senang melanggar aturan, memamerkan diri, dan senang memaksakan
keinginannya. Akan tetapi anak pada fase ini bisa mengerti kaidah moral (baik
atau buruk) bila diajarkan. Mereka mau berperilaku baik karena ingin
mendapatkan hadiah atau pujian, dan menghindari hukuman. Pendidikan
karakter pada fase ini bisa dilakukan dengan memberikan insentif agar anak
berperilaku baik (misalnya dengan pujian), memberikan arahan yang jelas
tentang bagaimana perbuatan yang baik (misalnya, anak yang baik tidak akan
nakal).15
Usia anak-anak adalah masa yang sangat penuh dengan pengalaman baru
bagi mereka. Seorang anak memang dilahirkan suci, sehingga diperlukan
penjagaan agar kesucian itu tetap eksis. Dengan keadaan yang suci itu pula
anak sangat mudah menyerap semua rangsangan dari luar dirinya.
Pendidikan karakter akan sangat efektif jika diberikan sejak usia dini,
karena di usia tersebut akan mudah ditangkap oleh pikiran mereka.
Penanaman nilai-nilai kebaikan di usia ini akan sangat membantu dalam
pembentukan akhlaknya. Karena sesuai dengan uraian di atas, bahwa anak
usia 2-3 tahun sudah dapat dan mampu mengerti apa dan bagaimana sopan
14 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, Loc. Cit., hlm. 30 15 Ibid., hlm. 135
75
santun dan perilaku baik dan buruk. Tentunya hal tersebut dengan diberikan
pembinaan dan arahan.
Dalam pendidikan karakter, diajarkan nilai-nilai kebaikan yang juga
disertai dengan refleksinya. Maka pendidikan karakter adalah sesuai dengan
pembentukan akhlak anak. Anak diajarkan bagaimana mencintai lingkungan
dan masyarakatnya dengan cara bergotong royong, anak diajarkan bagaimana
mencintai Tuhan dengan cara memelihara lingkungan sekitar, bagaimana
bertanggung jawab, mandiri, toleransi dan sebagainya. Yang mana nilai-nilai
itu adalah mencakup apa yang ada dalam pendidikan akhlak.
Sehingga cukup relevan jika pendidikan karakter diberikan sejak usia
dini, tujuannya agar pengajaran dan pembelajaran yang disampaikan akan
melekat pada diri anak, sampai menjadi kebiasaan yang baik dan akhirnya
dapat terbentuk akhlak mulia. Meskipun pendidikan karakter memiliki proses
panjang, namun ibarat pohon yang ditanam dengan kesabaran dan
pemeliharaan yang baik, maka pohon itu akan tumbuh subur dan berbuah
manis. Karena untuk mencapai dan mewujudkan bangsa yang berkarakter baik
bukanlah dengan cara instant. Sebuah keyakinan yang harus dimiliki adalah
bahwa kesabaran adalah manis buahnya dan keuletan adalah kesuksesan
hasilnya.
Anak usia prasekolah adalah usia dimana anak sedang senang-senangnya
bermain dan berkreatifitas bersama teman sebayanya. Maka sebuah lembaga
pendidikan untuk anak usia prasekolah, sudah seharusnya memberikan
pendidikan yang sesuai dengan usia siswanya, sehingga dalam hal lembaga
tersebut harus memberikan pendidikan yang menyenangkan bagi siswanya,
pendidikan yang tidak membatasi serta mendukung kreatifitas dan
perkembangan anak.
Seperti yang telah disampaikan oleh Ratna Megawangi, bahwa sekolah
seharusnya bertanggung jawab untuk menumbuhkan kesenangan anak untuk
belajar, sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuan dan bakatnya
secara optimal. Dan sistem pengajaran klasikal yang menganggap anak
sebagai individu pasif dan gelas kosong yang perlu diisi, tidak dapat
76
merangsang anak untuk cinta belajar. Anak akan bersikap pasif, tidak kritis,
dan tidak kreatif.16
Bagi anak-anak, belajar sambil bermain adalah cara yang tepat. Dengan
demikian, anak tidak merasa berat, tidak merasakan bahwa belajar adalah
suatu beban. Dengan membuat anak mudah mengerti, akan meningkatkan
daya minat anak, anak lebih percaya diri, dan akhirnya akan bersemangat
untuk terus belajar.
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada
penanaman nilai-nilai kebajikan sejak dini yang direfleksikan perbuatan yang
dilakukan secara berulang-ulang hingga menjadi kebiasaan (baik).
Ditinjau dari kata “karakter”, Ratna Megawangi mengibaratkan bahwa
karakter ibarat otot. Otot-otot karakter akan menjadi lembek apabila tidak
dilatih. Sebaliknya, ia akan kuat dan kokoh kalau sering dipakai, seperti
contoh seorang binaragawan yang terus menerus melatih ototnya, sama halnya
yang diungkapkan Al-Ghozali, bahwa akhlak adalah tabiat atau kebiasaan
dalam melakukan hal-hal yang baik.17 Pada bab sebelumnya juga telah
dijelaskan bahwa akhlak mulia bukanlah hasil instant, akan tetapi hasil dari
pembinaan dan pemeliharaan fitrah (potensi baik) manusia, karena meskipun
manusia terlahir dalam keadaan fitrah tidak menjamin ketika dewasa juga
akan menjadi manusia yang berakhlak baik.
Sembilan nilai karakter (pada bab III) adalah berisi tentang materi-materi
yang mengajarkan kecintaan kepada Tuhan dan segenap ciptaan-Nya,
kemandirian, jujur, tanggung jawab, toleransi, gotong royong, dan sebagainya,
yang kesemuanya itu merupakan unsur-unsur dalam karakter baik (akhlaqul
karimah). Melalui pendidikan karakter yang menanamkan nilai kebajikan
yang direfleksikan dengan contoh kongkrit yang terus menerus diajarkan,
maka akan menjadi kebiasaan, yang nantinya kebiasaan-kebiasaan baik itu
yang akan membentuk akhlak mulia.
16 Ibid., hlm. 126 17 Ratna Megawangi, Yang Terbaik untuk Buah Hatiku, Op. Cit., hlm. 18
77
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari telaah yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
Bahwa pendidikan adalah unsur yang paling penting dalam menata dan menentukan moral bangsa. Pendidikan yang baik akan membawa kemajuan bagi bangsa. Karena fungsi pendidikan secara umum adalah untuk mencerdaskan bangsa dan juga membentuk moral dan akhlak yang baik.
- Konsep pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi adalah sebuah konsep pendidikan yang berorientasi pada pendidikan moral dan akhlak. Yang mana dalam hal ini materi yang diajarkan adalah lebih menekankan pada pembentukan sifat-sifat baik. Dengan menanamkan dan membiasakan anak atau siswa untuk senantiasa melakukan kebaikan. Dengan penekanan materi pada segi pengetahuan, perasan, dan, tindakan.
- Pendidikan karakter merupakan solusi dalam pendidikan yang ditawarkan oleh Ratna Megawangi untuk membangun karakter bangsa., tentunya karakter baik. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang memberi pengajaran disertai dengan refleksi dari nilai-nilai karakter yang diajarkan. Dalam model pendidikan ini menekankan pada tiga hal, yaitu: knowing the good (mengetahui kebaikan), loving the good (mencintai kebaikan), dan acting the good (berbuat atau melakukan kebaikan). Yang mana ketiga hal tersebut dilengkapi dengan sembilan karakter yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Konsep pendidikan karakter ini adalah penerapan dari konsep pendidikan karakter yang dipelopori oleh Thomas Lickona, yang mana konsepnya adalah moral knowing, moral feeling, dan moral action.
- Setiap manusia lahir ke dunia dalam keadaan fitrah, yang mana fitrah tersebut cenderung dan berpotensi baik. Akan tetapi itu tidak menjamin bahwa manusia akan memiliki akhlak mulia sampai dewasa. Karena ada banyak faktor yang mempengaruhi kesucian fitrah tersebut, sehingga
1.
78
bisa saja ketika dewasa seseorang dapat berubah sifat. Dalam hal ini, kaitannya dengan pendidikan karakter adalah sebagai salah satu pembinaan untuk memelihara kesucian fitrah manusia agar tetap terjaga kesucian atau kebaikannya.
- Implikasi dari pendidikan karakter pada akhlak anak prasekolah adalah terbentuknya sikap dan tindakan yang selaras antara pikiran ada yang dilakukan. Yaitu pada terwujudnya akhlaqul karimah. Anak-anak akan menirukan setiap tindakan yang baru yang diketahuinya, sehingga apapun yang ia lihat dari orang tua dan orang-orang disekitarnya akan dilakukannya.
- Akhlaqul karimah harus dibentuk dan dibina. Hal tersebut tidak bisa instant sekalipun fitrah manusia berpotensi baik. Beberapa faktor, salah satunya faktor lingkungan masyarakat, sangat bisa mempengaruhinya. Adapun pembentukan akhlak dapat dilakukan dengan pembiasaan dan latihan yang dilakukan secara continue. Kaitannya dengan pendidikan karakter adalah sebagai unsur pembinaan dalam pengajaran kebaikan yang berupa pembiasaan dan latihan yang direfleksikan dalam tindakan sehari-hari.
- Pendidikan karakter dalam upaya pembentukan akhlak sangat tepat pada usia prasekolah. Karena di usia ini anak masih memiliki daya pikir dan ingatan yang sangat cemerlang. Dan juga, pembentukan akhlak merupakan suatu proses, sebuah akhir dari perkembangan anak. Seorang anak yang dibina akhlaknya sedari kecil akan terbiasa dan jika hendak meninggalkan kebiasaan itu akan dirasa ganjal. Sebaliknya, anak yang tidak mendapatkan binaan akan hidup liar tanpa kontrol dan kendali dalam dirinya.
- Karakter yang berkualitas perlu dibina dan dibentuk sejak usia dini. Karena usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan seseorang. Dan menanamkan moral sejak dini adalah usaha yang strategis. Seperti yang diungkapkan oleh Ratna, bahwa pendidikan karakter adalah proses mengukir akhlak hingga terbentuk pola. Maka tepat jika pendidikan karakter diberikan sejak dini.
2.
79
B. Saran-Saran 1. Kepada orang tua, sebaiknya memberikan pendidikan yang terbaik untuk
anaknya terutama dalam pembentukan akhlak. Dan pendidikan tentang karakter atau akhlak dapat dilakukan bahkan lebih efektif dilaksanakan sejak anak usia dini.
2. Kepada lembaga pendidikan beserta stake holdernya agar dapat memberikan pendidikan yang tidak hanya menekankan pada ranah kognitif saja, akan tetapi juga pada ranah motorik dan afektif. Pendidikan moral yang diberikan hendaknya juga dapat direfleksikan dalam bentuk tindakan, dan tidak hanya sebatas materi saja.
3. Kepada semua pihak lingkungan dan masyarakat, hendaknya lebih memahami arti pentingnya pendidikan(karakter) yang berkaitan dengan pembentukan akhlak. Hendaknya lingkungan masyarakat dapat bekerjasama mewujudkan bangsa yang berkarakter dengan lembaga pendidikan dan keluarga dalam pembentukan akhlak generasi muda bangsa.
4. Dan hendaknya dari masing-masing individu memiliki kesadaran diri akan arti kedamaian dari hasil terwujudnya akhlak mulia, memiliki kesadaran diri untuk berbuat kebaikan kepada sesama manusia dan kepada sesama makhluk Tuhan.
C. Penutup
Puji syukur Alhamdulillah senantiasa dipanjatkan kepada Allah SWT karena dengan ridho, taufiq, dan hidayah-Nya penulis telah dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang mulia pembawa Risalah Ilahiah, beserta sahabat dan keluarganya.
Penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, baik secara materiil dan moril, khususnya kepada Pembimbing skripsi yang telah meluangkan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk memberikan saran dan pembinaan kepada penulis.
Akhirnya penulis sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan dalam skripsi ini. Dengan diiringi doa semoga Allah SWT senantiasa meridhoi semua yang telah kita lakukan selama ini. Amin.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 Al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyah, Ruhuttarbiyah wa Ta’limu, Mesir : ‘Isalbab
Alhalabi Watsirkah, t.th ____________________________, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta
: Bulan Bintang, 1974 Al-Ghazali, Imam, Ihya’ ‘Ulum al-Din, III, Kairo : al-Masyhad al-Husain, t.th Al-Ghulayani, Mustafa, Idhah al-Nasihi, Pekalongan: Raja Murah, 1953 Al-Miskawaih, Abu Ali Akhmad, Tahdhib Al-Akhlak, Trjm. Helmi Hidayat,
Menuju Kesempurnaan Akhlak , Bandung : Mizan, 1994 Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta : Bulan Bintang, 1991 Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000 ________, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Multidisipliner, Jakarta : Bumi Aksara, 1994 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jkarta :
Rineka Cipta, 1998 Asmaran, AS., Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : Rajawali Press,1992) Asy-Syantut, Khalid Ahmad, Daurul Bait fi Tarbiyatil Athfalil Muslim, trjm.
Rosyad Nurdin, Rumah: Pilar Utama Pendidikan Anak, Jakarta: Robbani Press, 2005
Azizy, A. Qodri A., Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial,
Semarang: Anek Ilmu, 2003 Azra, Azyumardi, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2002 Azwar, Saifuddin, Pengantar Psikologi Intelegensi, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju Psikologi
Islami, Yogyakarta : Yayasan Insan Kamil, 2001 Daradjat, Zakiah, Kepribadian Guru, Jakarta : Bulan Bintang, 1980
_____________, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : PT.Bulan Bintang, 1991 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, andung : Penerbit J-Art.,
2004 Djatnika, Rachmat, Sistem Ethika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta : Pustaka
Panjimas, 1996 Ensiklopedi Tokoh Indonesia, http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/ratna-
megawangi/biografi. 14 Maret 2007 Gunawan, Ary H., Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2000 Gymnastiar, Abdullah, Refleksi Untuk Membangun Nurani Bangsa, Bandung:
MQS Publishing, 2004 Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid 2, Bandung : Tarsito, 2002 Harini, Sri, dan Aba Firdaus, Mendidik Anak Usia Dini, Yogyakarta : Kreasi
Wacana, 2003 Hartati, Netty, dkk., Islam dan Psikologi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004 Hawadimasa, Feni Akbar, Psikologi Perkembangan, Mengenai Sifat, Bakat dan
Kemampuan Anak, Jakarta : Grasindo, 2001 Hurlock, Elizabeth B., Child Development, Japan : Mc Graw-Hill, 1978 _________________, Adolescent Development, Kogakusha: Mc Graw – Hill,
1973 Iman, Muis Sad, Pendidikan Pasrtisipatif, Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2004 Kusuma, Amir Daien Indra, Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya : Usaha
Nasional, 1973 Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Al-Husna,
1992 Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 Martianto, Dwi Hastuti, Pendidikan Karakter : Paradigma Baru dalam
Pembentukan Manusia Berkualitas, http://tumoutou.net/702-05123/dwi-hastuti-htm. 7 juni 2007
Megawangi, Ratna, Yang Terbaik Untuk Buah Hatiku, Bandung : MQS Publishing, 2005
_______________, “Mendidik Anak 1,3 Milyar Manusia”, http://www.
semipalar.net/artikel/2006/03/html. _______________, “Perbaiki Moral Bangsa Lewat Sekolah Karakter”, Mitranetra,
24 Mei 2006 _______________, Charater Parenting Space, Bandung : Mizan Media Utama,
2007 _______________, Pendidikan Karakter : Solusi Yang Tepat Untuk Membangun
Bangsa, Jakarta : Indonesia Heritage Foundation, 2004 _______________, Makalah : “Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan
Holistik Berbasis Karakter”, http://www.co.id/ file/indonesiaberprestasi/presentasi ratnamegawangi.pdf. Maret 2007.
Moelong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Rosda Karya,
t.th Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rakesa,1998 Mukhtar, Desain Pembelajaran PAI, Jakarta : Misaka Galiza, 2003 Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo, 2003 Noddings, Nel, Philosophy of Education, United State of America : Westview
Press, 1998 Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung : Remaja
Rosda Karya, 2000 __________________, Psikologi Pendidikan, Bandung : Remaja
Rosdakarya,1997 Padmonodewo, Soemiarti, Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta : Rineka Cipta,
2000 Poerbakawatja, Soegarda, dan Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta : Gunung
Agung,1976 Quthb, Sayyid, Fi Zhilalil-Qur’an, Jilid 9, Terjemahan As’ad Yasin, dkk., Jakarta :
Gema Insani Press, 2004
Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004 Saliman dan Sudarsono, Kamus Pendidikan, Pengajaran dan Umum, Jakarta :
Rineka Cipta, 1994 Shahih Bukhari Juz III Jilid 3, Bairut Libanon: Darul Kutub Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung : Mizan, 1997 Sikone, Stevan, ”Pembentukan Karakter Dalam Sekolah”,
http:www.//mirifica.net/wmview.php? 15:04, 12 Mei 2006. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1992 Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung :
Sinar Baru,1991 Suharsono, Membelajarkan Anak dengan Cinta, Jakarta : Inisiasi Press, 2003 Sukmadinata, Nana Syaodih, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung :
Ren\maja Rosdakarya, 2003 Supriadi, Dedi, dan Rohmat Mulyana, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan,
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004 Surahmat, Winarno, Dasar-Dasar Teknik Research, Bandung : Tarsito, 1987 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Bandung: Citra Utama, 2003 Wasito, Poespoprodjo, Filsafat Moral, Bandung : Remaja Karya, 1988 Wawancara dengan Dr. Ratna Megawangi, Ph.D., 10 Oktober 2007 Wirawan, Sarlito, Psikologi Remaja, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994 Yaljan, Miqdad, Kecerdasan Moral : Aspek Penddikan Yang Terlupakan, Jakarta:
Pustaka Pelajar,1996 Yusuf, Syamsu, Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung : Remaja Rosdakarya,
2000 Zahruddin, AR., Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Anisa’ Ikhwatun
Tempat/Tanggal Lahir : Kendal, 11 September 1984
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Tambakrejo, Patebon, Kendal
Riwayat Pendidikan : a. SDN 01 Tambakrejo, Patebon, Kendal, Lulus 1997
b MTs. NU 07 Patebon Lulus 2000
c MAN Kendal, lulus 2003
d IAIN Walisongo Semarang, Masuk di Fakultas
Tarbiyah tahun 2003
Demikian riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Semarang, 31 Januari 2008
Penulis
(Anisa’ Ikhwatun)