jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

96
KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT RATNA MEGAWANGI DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK PRASEKOLAH SKRIPSI Disusun Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Memperoleh Sarjana Program S.1 Ilmu Tarbiyah Oleh : ANISA’ IKHWATUN NIM. 3103106 FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008

Upload: clds

Post on 05-Apr-2016

240 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT RATNA

MEGAWANGI DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBENTUKAN

AKHLAK ANAK PRASEKOLAH

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat

Memperoleh Sarjana Program S.1

Ilmu Tarbiyah

Oleh :

ANISA’ IKHWATUN NIM. 3103106

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2008

Page 2: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

ii

ABSTRAK Anisa’ Ikhwatun (NIM: 3103106). “Konsep Pendidikan Karakter Menurut Ratna Megawangi dan Relevansinya dalam Pembentukan Akhlak Anak Prasekolah”. Skripsi. Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang 2008.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Bagaimana pemikiran dan konsep Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter dan implikasinya dalam pembentukan akhlak anak prasekolah.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian intellectual biography, yaitu penelitian dengan menelusuri perjalanan kehidupan tokoh dalam bidang keintelektualannya yang meliputi pola perjalanan karir tokoh dalam bidang pendidikan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter dimulai pada usia dini termasuk anak usia prasekolah. Karena dirasa tepat saat usia masih kanak-kanak, anak masih dapat menyerap dan menerima dengan mudah dan memiliki daya ingat yang kuat. Pendidikan ini direalisasikan dengan pengajaran dan pembelajaran yang menyenangkan dengan suasana dimana anak diajak berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.

Pendidikan karakter berisi materi-materi tentang pengembangan potensi individu (anak) yang diantaranya adalah kejujuran, kemandirian, tanggung jawab, dan sebagainya. Model pendidikan ini menekankan pada tiga aspek, yaitu: knowing the good, loving the good, dan acting the good, yang mana ketiga aspek tersebut diuraiakan dalam sembilan nilai karakter. Dari sembilan nilai karakter tersebut, anak diajari tentang perbuatan-perbuatan, ucapan, pengetahuan dan tindakan yang baik, yang diharapkan efek dari pengajaran itu, anak juga bisa merasakan manfaatnya, sehingga perasaan menyukai kebaikan akan tumbuh, dan akhirnya anak akan terbiasa melakukan kebaikan, yang mana hal tersebut merupakan salah satu tujuan pendidikan karakter.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi masukan bagi

mahasiswa, tenaga pengajar, para orang tua, dan masyarakat. Terutama kepada lembaga pendidikan beserta steakholdernya dan orang tua, bahwa betapa pentingnya penanaman nilai-nilai karakter sejak dini untuk membentuk akhlak mulia dan mewujudkan generasi bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. Penulis berharap, para pembaca dapat memahami arti pentingnya pendidikan karakter, dan bersama-sama mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Page 3: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

iii

Page 4: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

iv

DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

FAKULTAS TARBIYAH SEMARANG

Alamat : Jl. Raya Ngaliyan Telp. (024) 7601295 Semarang 50185

PENGESAHAN PENGUJI

Tanggal Tanda Tangan

Dra. Hj. Nur Uhbiyati, M.Pd. ______________ __________________ Ketua Siti Tarwiyah, S.S.M.Hum. ______________ __________________ Sekretaris Prof. Dr. H. Ibnu Hadjar, M.Ed. ______________ __________________ Anggota Mufidah, M.Pd. ______________ __________________ Anggota

Page 5: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

v

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi

ini tidak mengandung materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.

Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali

informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan sebagai bahan rujukan.

Semarang, 23 Desember 2007

Deklarator

Annisa’ Ikhwatun NIM. 3103106

Page 6: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

vi

MOTTO

البرية خير هم اولئك الصلحت عملوا و امنوا الذين إن

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan-kebaikan

(amal shaleh), mereka itulah sebaik-baiknya makhluk”.1

1 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, (Bandung: CV PENERBIT J-ART,

2004), hlm. 593

Page 7: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

vii

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, segala puji dan syukur kepada Allah SWT. Shalawat serta salam

terlimpahkan selalu kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, pada keluarga,

para sahabat, dan para pengikutnya.

Dalam skripsi yang berjudul: “Konsep Pendidikan Karakter Menurut

Ratna Megawangi dan Relevansinya dalam Pembentukan Akhlak Anak

Prasekolah”, sepenuhnya penulis sadari masih banyak kekurangan dalam

penulisan skripsi ini. Akan tetapi merupakan suatu kebahagiaan tersendiri, karena

atas petunjuk-Nya, bimbingan serta dukungan yang penulis dapatkan, penulis

mampu menyelesaikan skripsi ini.

Untuk itu, dengan sepenuh hati, penulis sampaikan terima kasih kepada:

1. Drs. Abdur Rahman, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

2. Ridwan, M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas

Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.

3. Drs. H. Fatah Syukur, M.Ag., dan Mursyid, M.Ag., selaku Pembimbing

penulis. Terima kasih untuk waktu, tenaga, dan pikiran yang diluangkan untuk

memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini.

4. Ratna Megawangi, Ph.D., terima kasih atas izinnya dalam penelitian ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen serta wali studi (Drs. Ahmat Solikin, M.Ag), yang telah

membekali ilmu pengetahuan dan keterampilan, serta membantu kelancaran

studi selama ini.

6. Bapak dan Ibuku (Bapak Mahfudz dan Ibu Maemunatun) yang telah

mencurahkan kasih sayang, doa, serta dukungannya, sehingga saya dapat

menyelesaikan studi dengan baik.

7. Kakakku Siti Imronah dan suaminya Agus Ghozali, terima kasih atas motivasi

dan dukungannya; adikku tersayang Ahmad Rif’an Hanifudin, keponakanku

yang lucu-lucu yang selalu membawa keceriaan hatiku (Diana, Fitria, Iqbal,

Nabila).

Page 8: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

viii

8. Sahabat dan teman diskusiku : Auliya Himawati, terima kasih atas semua

masukan dan ide-idenya.

9. Sahabat-sahabatku : Himma, Aenyah, Eni, Nita, Isti, Nisa’, Lina, Iin, Tiyas,

Rina, Jannah, Firin, Rif’an, Hanani, Heny, Roni, dan Deny, terima kasih untuk

semangat yang selalu diberikan selama ini.

Semarang, 23 Desember 2007

Penulis,

Annisa' Ikhatun NIM. 3103106

Page 9: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

ix

PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati dan kebanggaan hati, kupersembahkan

skripsi ini untuk orang-orang yang selalu memberikan semangat dan

dukungannya, serta memberikan arti dalam perjalanan hidupku.

Untuk Ibunda tersayang dan Ayahanda tercinta, yang keduanya tiada

pernah berhenti dan bosan dalam memberikan kasih sayangnya, mendukung,

membimbing, membiayai, serta mendoakan anak-anaknya untuk mencapai

kesuksesan dan keberhasilan dalam mengikuti jenjang pendidikan dalam

menggapai cita-cita. Terima kasih untuk semua yang telah diberikan , hingga aku

mengerti dan memahami akan arti sebuah kehidupan.

Untuk kakakku tercinta dan adikku tersayang, keponakan-keponakanku,

dan semua sahabat-sahabatku, yang selalu memberi inspirasi dalam

perjalananku

Page 10: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

ABSTRAK ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING iii

PENGESAHAN ------------------------------------------------------------------------- iv

DEKLARASI v

MOTTO vi

KATA PENGANTAR vii

PERSEMBAHAN ix

DAFTAR ISI x

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Penegasan Istilah 7

C. Rumusan Masalah 8

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat 8

E. Kajian Pustaka 9

F. Metode Penelitian 9

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Pendidikan Karakter 13

1. Pengertian Pendidikan Karakter 14

2. Landasan Dasar Pendidikan Karakter 21

3. Tujuan Pendidikan Karakter 22

4. Fitrah Manusia dalam Pendidikan Karakter 24

B. Pembentukan Akhlak

1. Pengertian Pembentukan Akhlak 27

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak 31

Page 11: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

xi

C. Pendidikan Prasekolah dan Anak

1. Pendidikan Prasekolah 37

2. Pengertian Anak Prasekolah 38

3. Karakteristik Anak Prasekolah 39

BAB III. PEMIKIRAN RATNA MEGAWANGI TENTANG PENDIDIKAN

KARAKTER

A. Biografi Ratna Megawangi

1. Riwayat Hidup Ratna Megawangi 41

2. Latar Belakang Pendidikan Ratna Megawangi 44

3. Karya-Karya dan Kiprah Ratna Megawangi 45

B. Pemikiran Ratna Megawangi tentang Pendidikan Karakter

1. Pendidikan Karakter Menurut Ratna Megawangi 48

2. Nilai-Nilai Karakter yang Perlu Ditanamkan dalam

Pendidikan Karakter 52

3. Pengembangan Potensi dengan Pendidikan Karakter

a. Pendidikan Karakter di dalam Keluarga 54

b. Pendidikan Karakter di Sekolah 57

4. PendidikanKarakter yang Sesuai dengan Tahapan

Perkembangan Moral Anak 62

BAB IV. ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT

RATNA MEGAWANGI DAN RELEVANSINYA PADA

PEMBENTUKAN ANAK PRASEKOLAH

A. Alasan Munculnya dan Diperlukannya Pendidikan Karakter 65

B. Analisis Pemikiran Ratna Megawangi tentang Pendidikan

Karakter 70

C. Relevansi Pendidikan Karakter dalam Pembentukan Akhlak

Anak Prasekolah 73

Page 12: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

xii

BAB V. PENUTUP

A. Simpulan 77

B. Saran-Saran 79

C. Penutup 79

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 13: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 1

Pada dasarnya pendidikan adalah mengembangkan potensi individu

sebagai manusia sehingga dapat hidup secara optimal, baik sebagai pribadi

maupun sebagai bagian dari masyarakat serta memiliki nilai-nilai moral dan

sosial sebagai pedoman hidup.2

Pendidikan memegang peranan penting dalam menentukan hitam

putihnya manusia, dan akhlak juga menjadi standar kualitas manusia. Baik

buruknya akhlak merupakan salah satu indikator berhasil atau tidaknya

pendidikan. Karena dengan pendidikan diharapkan dapat menciptakan

manusia yang tidak hanya cerdas saja (kognitif), tetapi juga dapat

berperilaku baik (berakhlak mulia). Menjadi manusia yang tidak hanya

mengasah kecerdasan otak kiri saja, tetapi juga dapat menempatkan dirinya

pada posisi yang benar, dalam artian bahwa tidak hanya mengandalkan

pemikirannya saja, tetapi juga respect terhadap lingkungan dan kehidupan

sehari-harinya. Kualitas moral sangat penting untuk dijaga dan

dipertahankan dalam kehidupan manusia, terutama dalam pendidikan.

Karena pendidikan merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan

untuk mewujudkan manusia yang baik (yang berkarakter baik).

Pembahasan tentang pendidikan bukanlah hal yang baru, bahkan

setiap kali pergantian pemerintahan, maka berganti pula kebijakan dalam

pendidikan. Dengan berbagai kebijakan pendidikan itu, diharapkan dapat

1 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Baandung: Citra Utama, 2003), hlm. 3.

2 Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung : Sinar Baru,1991), hlm. 2.

Page 14: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

2

menciptakan sumber daya manusia yang baik demi kemajuan sebuah

bangsa. Tetapi sangat ironis, meski berbagai kebijakan telah ditetapkan

ternyata hasil pendidikan di Indonesia belum juga mampu mencapai pada

tujuan yang maksimal, yang sesuai dengan UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003

tersebut di atas. Meski memiliki peran penting dalam pembentukan

moral/akhlak bangsa, pendidikan seperti sistem yang sekarang masih juga

belum berhasil. Masih banyak perilaku-perilaku negatif yang terjadi di

negara ini. Perilaku-perilaku negatif tersebut tidak hanya terjadi di

lingkungan masyarakat saja, tetapi juga di kalangan pejabat negara, yang

notabene mereka adalah dipercaya untuk mengorganisir negara ini.

Kondisi lingkungan masyarakat demikian rentan bagi tumbuhnya perilaku yang agresif dan menyimpang di kalangan siswa. Hampir setiap hari kita dapat menyaksikan dalam realitas sosial banyaknya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh siswa, seperti menurunnya moral dan tata krama sosial dalam praktik kehidupan sekolah maupun masyarakat yang pada dasarnya tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya lokal yang dianut masyarakat sosial.3

Oleh karena itu, upaya mencerdaskan anak didik yang menekankan kepada intelektual perlu diimbangi dengan kecerdasan emosi dan spiritual. Pencerdasan emosi menggarap ranah pengendalian diri dan kemampuan mengelola potensi pribadi agar dapat secara fleksibel dan bijak menyikapi kondisi yang ada. Pencerdasan spiritual diperlukan untuk menanamkan nilai-nilai kerohanian dan memberi makna bagi kehidupan terbingkai dalam semangat spiritual.

Hal tersebut perlu dilakukan karena melihat realitas yang ada pada masa sekarang. Dekadensi moral semakin merajalela di negeri ini, di kalangan masyarakat, di kalangan muda, bahkan termasuk para siswa. Beberapa tindakan negatif yang sudah menjadi hal yang biasa, seperti pembunuhan, pelecehan seksual, dan masih banyak lainnya terjadi di masyarakat kita. Tidak hanya pada masyarakat, tindakan-tindakan negatif juga terjadi pada siswa/ pelajar.

3 Mukhtar, Desain Pembelajaran PAI, (Jakarta : Misaka Galiza, 2003), hlm. 3.

Page 15: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

3

Di satu sisi, bangsa ini sedang menatap pada tantangan hari esok sangat berat, yang mengharuskan kondisi kebangsaan kita harus fit, dan juga harus mempunyai kemampuan lebih/tambahan untuk mampu bersaing dengan era tersebut. Tetapi di sisi yang lain, kita disuguhi contoh-contoh yang menyedihkan, seperti tawuran pelajar, kebiasaan membolos, menyontek, kemalasan, ketidakdisiplinan, ketidakjujuran, ketidaktulusan, kelemahan etos kerja, ketiadaan jiwa menolong terhadap sesama atau kepada orang lain, ketidakhormatan terhadap orang tua atau guru dan sederet perilaku tidak terpuji, di tambah lagi kerendahan prestasi, apalagi kreatifitas dan inovasi.4

Kemerosotan moral tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat dan pelajar saja, bahkan di kalangan para pejabat pun juga terjadi seperti perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Krisis multidemensi ini sebetulnya mengakar pada menurunnya kualitas moral bangsa yang dicirikan oleh membudayanya praktek KKN, konflik (antar etnis, agama, politisi, remaja, dan sebagainya), meningkatnya kriminalitas, menurunnya etos kerja, dan banyak lagi. Budaya korupsi yang yang merupakan praktek pelanggaran moral (ketidakjujuran, tidak bertanggung jawab, rendahnya disiplin, rendahnya komitmen kepada nilai-nilai kebaikan) adalah penyebab utama negara kita sulit untuk bangkit dari krisis ini.

Krisis moral dan akhlak di negeri juga tampak pada kalangan siswa. Banyak tindakan negatif yang mengarah pada kebiasaan, seperti : membolos sekolah, menyontek, kemalasan, ketidakdisiplinan ketidakjujuran, ketidaktulusan, kelemahan etos kerja, kenihilan jiwa menolong terhadap sesama atau kepada orang lain, tidak hormat kepada orang tua dan guru, dan masih banyak perilaku tidak terpuji yang dilakukan oleh para siswa. Hal ini ditambah lagi dengan rendahnya prestasi, daya kreatif dan inovatif.5

Dari berbagai contoh kemerosotan moral tersebut ada kaitannya dengan pendidikan kita yang berupa kegagalan dalam sistem pendidikan.

4 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter : Solusi Yang Tepat Untuk Membangun Bangsa,

(Jakarta : Indonesia Heritage Foundation,2004), hlm. 3-4. 5 A. Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang

:Anek Ilmu,2003), hlm. 60.

Page 16: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

4

Untuk menghadapi persaingan bebas dalam era globalisasi seharusnya kondisi bangsa dan pelajar Indonesia adalah kebalikan dari apa yang tersebut di atas. Contoh-contoh dekadensi moral seperti tersebut di atas adalah mengacu pada kesamaan inti permasalahan, yaitu rapuhnya pondasi morality. Moralitas bangsa kita saat ini berada pada titik rendah.6

Untuk mewujudkan bangsa yang berpribadian atau berakhlak (moral) baik, maka akhlak harus terbentuk mulai dari masing-masing individu, sehingga menjadi masyarakat yang berakhlakul karimah dan sampai pada akhirnya terbentuk sebuah peradaban dari sebuah bangsa. Tanpa memperhatikan perbentukan tersebut, peradaban yang semula kokoh dapat hamcur, baik secara perlahan ataupun dalam sekejap.

Penyair besar Asy-Syaoqi dalam bukunya M.’Athiyah Al-Abrasy, dalam syairnya yaitu :7

.انما األمم اال خالق ما بقيت فإن هموا ذهبت اخالقهم ذهبوا

“Sesungguhnya kekalnya suatu bangsa adalah selama akhlaknya kekal, bila akhlaknya sudah rusak, maka sirnalah bangsa itu”.

Melalui akhlak individu yang baik, peradaban yang meliputi arah

manusia akan terwujud. Inilah yang akan mendorong individu dan

masyarakat pada kemajuan. Pesona akhlak individu itu muncul tidak secara

tiba-tiba, melainkan melalui proses pendidikan.8

Berkaitan dengan permasalahan-permasalahan tersebut di atas,

pendidikan berperan penting sebagai salah satu upaya pembentukan dan

perbaikan akhlak moral bangsa. Pendidikan merupakan unsur yang tidak

dapat dipisah-pisahkan dari diri manusia. Karena manusia sangat

membutuhkan pendidikan melalui proses penyadaran yang berusaha

menggali dan mengembangkan potensi dirinya. Pendidikan agama

hendaknya dapat mewarnai kepribadian anak, sehingga agama itu benar-

benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan menjadi pengendali dalam

6 Ibid., hlm. 61. 7 M. Athiyah Al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terjm. Bustami al-Goni,

(Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hlm. 102. 8 Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral : Aspek Penddikan Yang Terlupakan, (Jakarta :

Pustaka Pelajar,1996), hlm. 11.

Page 17: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

5

hidup di kemudian hari. Pendidikan agama selain diberikan oleh orang tua di

dalam keluarga juga harus diberikan oleh guru yang benar-benar tercermin

dalam sikap, tingkah laku, cara menghadapi persoalan dalam keseluruhan

pribadinya.9

Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa manusia

mutlak tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan, karena dengan

pendidikan mampu mengantarkan manusia untuk memperoleh pengetahuan,

ketrampilan dan mengembangkan sikap serta nilai yang ada dalam dirinya.

Pendidikan diyakini dapat mengantar manusia kepada akhlak yang lebih

baik.

Dengan pendidikan sikap serta nilai yang ada dalam diri manusia

dikembangkan. Manusia pada dasarnya memiliki potensi (nilai dalam diri)

berupa fitrah sejak awal kehidupannya di dunia. Yang mana potensi tersebut

sebenarnya mengarah pada kebaikan (tindakan positif). Namun, bersamaan

dengan waktu, banyak hal yang dapat mempengaruhi potensi baik tersebut.

manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang di dalam dirinya diberi

kelengakapan-kelengkapan psikologis dan fisik yang memiliki

kecenderungan ke arah yang baik dan buruk. Sesuai dengan firman Allah

SWT dalam Q.S. Asy-Syams :

وقد خاب من . افلح من زكها قد. فالهمها فجورها وتقوها. ونفس وما سوها

)١٠−٧:الشمس . (دسها

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.10

Dari ayat tersebut kaitannya dalam pendidikan karakter adalah

berfungsi untuk tetap menjaga kesempurnaan jiwa agar tetap pada fitrah

yang baik.

9 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hlm. 107. 10 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV. Penerbit J-Art,

2004), hlm. 596.

Page 18: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

6

Untuk menumbuhkan dan mengembangkan akhlak, perlu adanya sebuah pendidikan pembentukan akhlak yang keberadaannya merupakan salah satu sarana untuk membangun kebaikan individu, masyarakat, dan peradaban manusia. Dan salah satunya adalah dengan pendidikan karakter, yang mana pendidikan ini bertujuan membentuk akhlak dengan mengajarkan beberapa karakter yang diarahkan sebagai sebuah kebiasaan. Sehingga dengan kebiasaan-kebiasaan karakter tersebut akan muncul akhlak yang baik.

Ratna Megawangi adalah seorang muslimah yang memiliki visi toleransi yang sangat tinggi. Muslimah bergelar doktor dari Post Doktoral ini adalah pelopor pendidikan berbasis karakter di Indonesia.11 Menurutnya, pendidikan karakter sangat dibutuhkan bangsa ini, karena bangsa Indonesia sekarang ini sedang terpuruk akibat krisis moral dan rendahnya akhlak, sehingga banyak tindakan-tindakan anarkis dan negatif yang sering terjadi di bangsa kita.

Begitu pentingnya pendidikan karakter yang diberikan kepada anak dalam pembentukan akhlakul karimah bagi anak, sehingga karakter tersebut menjadikan anak tumbuh dan memiliki akhlak mulia hingga dewasa bahkan sampai tua. Maka, pemikiran Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter yang berisi tentang sembilan pilar karakter (cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran, diplomatis, hormat dan santun, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong, percaya diri dan pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan)12 yang harus ditanamkan kepada anak sejak usia prasekolah/usia dini.

Dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengangkat judul skripsi dengan judul “KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT RATNA MEGAWANGI DAN RELEVANSINYA PADA PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK PRASEKOLAH”.

11“Ensiklopedi Tokoh Indonesia” http://www.tokohindonesia.com./r/ratna-

megawangi/biografi 12 Ratna Megawangi, Op.Cit., hlm. 95.

Page 19: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

7

B. PENEGASAN ISTILAH Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pengertian terhadap

penulisan skripsi ini, maka penting kiranya ada penegasan istilah yang berkaitan dengan judul skripsi tersebut. Adapun istilah-istilah yang penulis tegaskan pengertiannya adalah sebagai berikut : 1. Konsep

Konsep dari akar kata “cept”, yang artinya memperoleh. Mendapat awalan “ion”, yang artinya mengerti, maka yang dimaksud dengan konsep adalah suatu gagasan yang diperoleh setelah mempelajari berbagai sumber.13 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti konsep adalah ide atau pengertian yang diabstraksikan dari peristiwa kongkrit.

2. Karakter Dalam Kamus Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak.14

3. Pembentukan Dari akar kata “bentuk” yang mempunyai arti proses, perbuatan dan cara membentuk.15

4. Akhlak Secara etimologi, akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq (اخالق). Bentuk jama’ dari mufrodnya khuluq (خلق), yang berarti budi pekerti, sinonimnya etika dan moral.16 Sedangkan menurut istilah, Ahmad Amin berpendapat bahwa akhlak adalah kebiasaan kehendak, yaitu berarti kehendak tersebut bila dibiasakan, maka kebiasaan tersebut disebut akhlak.17

5. Anak Prasekolah Yang dimaksud dengan anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun menurut Biechler dan Snowman (1993). Di Indonesia,

13 Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : BalaiPustaka, 1994), hlm. 520. 14 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hlm. 445. 15 Ibid.,hlm. 374. 16 Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islam (Akhlak Mulia), (Jakarta : Pustaka Panjimas,

1996), hlm. 26. 17 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hlm. 63..

Page 20: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

8

mereka umumnya mengikuti program Tempat Penitipan Anak (3 bulan-5 tahun) dan Kelompok Bermain (usia 3 tahun).18

Jadi, yang dimaksud dengan judul dalam penelitian ini adalah pemikiran Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter yang diberikan kepada anak usia prasekolah dan relevansi dalam membentuk akhlak anak.

C. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka ada beberapa permasalahan yang menjadi pokok kajian penulis dalam skripsi ini, yaitu : 1. Bagaimanakah konsep pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi? 2. Bagaimanakah relevansi konsep pendidikan karakter menurut Ratna

Megawangi dalam pembentukan akhlak pada anak prasekolah?

D. TUJUAN PENELITIAN DAN MANFAAT Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan mengenai pemikiran Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter.

2. Untuk mengetahui relevansi dari pemikiran Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter dalam pembentukan akhlak anak prasekolah.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan informasi tentang konsep pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi dan juga diharapkan dapat memberikan masukan dalam peningkatan kualitas pendidikan saat ini sebagai upaya pertumbuhan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT., penguasaan ketrampilan hidup, kemampuan akademik, seni dan pengembangan kepribadian yang paripurna.

E. KAJIAN PUSTAKA

Sebagai acuan dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa kajian pustaka sebagai landasan berpikir. Yang mana kajian pustaka yang penulis gunakan adalah beberapa hasil penelitian skripsi dan tesis. Beberapa kajian pustaka tersebut di antaranya adalah :

18 Soemiarti Padmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000),

hlm. 19.

Page 21: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

9

Lift Anis Ma’sumah (529814) 2000. Jurusan Pemikiran Pendidikan Islam, dengan judul tesis : ”Aktualisasi Potensi Wanita dalam Pendidikan Islam (Analisis Terhadap Pemikiran Ratna Megawangi)”. Membahas pemikiran Ratna Megawangi tentang feminisme (dalam buku “Membiarkan Berbeda”). Bahwa potensi yang diberikan oleh Allah kepada wanita dan juga laki-laki adalah merupakan daya atau kemampuan dasar yang secara dramatis dapat berkembang melalui kehidupan.

Ahmadi Wahid (520059) Jurusan Pemikiran Pendidikan Islam, dengan judul tesis : “Metode Pendidikan Anak dalam Islam Menurut Ulama Klasik dan Kontemporer (Telaah Atas Pemikiran Al-Ghazali dan Abdullah Nasih Ulwan)”. Al-Ghazali dan Abdullah Nasih Ulwan memiliki pandangan yang sama, bahwa tidak ada metode tertentu yang harus digunakan dalam mendidik anak, kecuali harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi anak, serta mampu memilih metode yang paling tepat.

Siti Farida, Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI (2001). Skripsi dengan judul “Metode Pendidikan Akhlak Pada Anak Prasekolah Menurut Fauzil Adhim”. Berisi tentang metode-metode pendidikan akhlak, bahwa metode yang digunakan untuk pendidikan akhlak prasekolah adalah dengan metode cerita.

Dari kajian pustaka di atas menunjukkan bahwa skripsi yang penulis angkat berbeda dengan skripsi dan tesis yang telah lalu. Namun memang ada satu tesis (Lift Anis MS) yang mengambil tokoh yang sama, akan tetapi focus pembahasannya berbeda. Pada tesis tersebut membahas pemikiran Ratna Megawangi tentang Feminisme, sedangkan pada skripsi ini membahas tentang Pendidikan Karakter.

F. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini menggunakan

penelitian kepustakaan dan penelitian pada intelektual biografi tokoh, yaitu berupa penelusuran pada riwayat hidup dan latar belakang dari pemikiran/ teori dari Ratna Megawangi mengenai pendidikan karakter.

Page 22: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

10

Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku karya Ratna Megawangi yang berjudul Pendidikan Karakter dan karya lain yang menunjang.

Penelitian ini memfokuskan pada pembahasan tentang pemikiran dan konsep Pendidikan Karakter menurut Ratna Megawangi. Di dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keseluruhan kegiatan pada upaya proses pembentukan akhlak anak dengan metode pendidikan karakter yang terdapat dalam buku pendidikan karakter karya Ratna Megawangi.

2. Metode Pengumpulan Data Metode yang dipergunakan untuk memperoleh data dalam

penulisan skripsi ini menggunakan metode library research.19 Maksudnya adalah mencari data dengan cara melakukan penelusuran buku-buku, sejumlah tulisan pustakaan dan menelaahnya. 1) Metode Interview

Metode interview adalah suatu metode yang dipakai dalam pengumpulan data dengan menggunakan teknik tanya jawab secara langsung dan sistematis yang berlandaskan pada tujuan pendidikan.20 Metode ini digunakan untuk mendapatkan data dari Ratna Megawangi secara langsung dengan menggunakan telepon.

2) Metode Dokumentasi Metode dokumentasi adalah suatu metode untuk mencari data

mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang meliputi beberapa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.21 Maksudnya adalah mengumpulkan data-data hasil pemikiran Ratna Megawangi, baik yang berbentuk buku atau tulisan-tulisan lain, seperti makalah atau artikel.

Adapun data-data yang dikumpulkan oleh penulis adalah meliputi :

19 Winarno Surahmat, Dasar-Dasar Teknik Research, (Bandung : Tarsito,1987), hlm. 139. 20 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 2, (Bandung : Tarsito, 2002), hlm. 193. 21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta : Rineka

Cipta, 1998), hlm. 206.

Page 23: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

11

a. Data Primer Yang dimaksud dengan data primer adalah data otentik

atau data langsung dari tangan pertama tentang masalah yang diungkapkan, disebut juga dengan data asli.22 Data primer dalam penulisan skripsi ini adalah dari buku “Pendidikan Karakter”, karangan Ratna Megawangi, yang diterbitkan oleh IHF (Indonesia Heritage Foundation), Jakarta, tahun 2004, cetakan I, dan juga wawancara langsung dengan Ratna Megawangi melalui telepon.

b. Data Sekunder Yaitu sejumlah kepustakaan yang ada relevansinya

dengan judul skripsi ini yang berasal dari tulisan-tulisan Ratna Megawangi dan juga tulisan-tulisan atau buku-buku lain yang mendukung pembahasan materi skripsi ini. Data sekunder merupakan data yang dapat melengkapi sumber data primer.

3. Analisis Data Sebelum membahas metode analisis data dalam skripsi ini akan

diterangkan pengertian analisis terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan analisis adalah menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian.23 Jadi, analisis adalah hasil dari pengamatan-pengamatan atas beberapa yang dikumpulkan dan untuk kemudian dapat disimpulkan hasil dari pengamatan tersebut.

Metode-metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah sebagai berikut : a. Metode Diskriptif

Yaitu suatu sistem penulisan dengan cara mendeskripsikan realitas dan fenomena sebagaimana adanya yang dipilih dari persepsi subyek. Metode ini terutama digunakan untuk menjelaskan pandangan Ratna Megawangi tentang pendidikan karakter, dalam kaitannya dengan pembentukan akhlak anak prasekolah.

b. Metode Content Analisis

22 Ibid., hlm. 80. 23Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Rosda Karya,t.th),

hlm. 103.

Page 24: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

12

Yaitu merupakan analisis isi. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, mempelajari dan kemudian melakukan sintesis terhadap apa yang diselidiki.

Untuk merealisasikan metode content analysis ini, terkait

dengan data, maka data-data yang sudah ada, baik dari sumber

primer atau sekunder, yang kemudian dianalisis memiliki tiga syarat,

yaitu obyektivitas, pendekatan sistematis dan generalisasi.24 Artinya,

dari semua data yang telah dianalisis harus menyajikan generalisasi,

yang temuannya haruslah mempunyai sumbangan teoritik.

c. Metode Interpretatif

Yaitu metode yang menggunakan karya tokoh, kemudian

diselami untuk menangkap arti dari nuansa yang dimaksudkan tokoh

secara khas.25 Maksudnya adalah penganalisaan dengan

menggunakan karya atau hasil pemikiran tokoh yang diangkat dalam

skripsi ini.

Dalam hal ini, penganalisaan juga berorientasi pada sebab

atau alasan munculnya teori pendidikan karakter yang dikemukakan,

menganalisa dalam kondisi ataupun keadaan yang bagaimana

sehingga pendidikan karakter diperlukan. Dari permasalahan yang

ada, apa solusi yang tepat untuk penyelesaiannya/yang dapat

digunakan.

24 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta : Rakesa,1998), hlm. 49. 25 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat,(Yogyakarta : Kanisius,1992), hlm. 63.

Page 25: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pendidikan Karakter

Pendidikan merupakan proses belajar bagi setiap manusia dalam

usaha pengembangan potensi diri. Sekolah merupakan lembaga kedua

setelah di dalam lingkungan keluarga (rumah). Lingkungan keluarga

merupakan yang paling pertama yang menentukan bagaimana seorang

anak tumbuh dan berkembang dalam perilaku nantinya. Pendidikan di

sekolah merupakan pendukung utama dalam perkembangan anak tersebut.

Dengan adanya pendidikan diharapkan seorang anak tidak hanya

cerdas secara kognitif saja, akan tetapi juga secara emosionalnya, sehingga

seorang anak akan tumbuh dengan kecerdasan yang cukup dan juga

memiliki rasa simpati dan empati (respek) dalam kehidupan sehari-hari di

sekitar lingkungannya. Terkait dengan keadaan bangsa Indonesia

sekarang, maka seharusnya pendidikan tidak hanya menekankan pada nilai

(peringkat/prestasi di kelas) dan tidak hanya mementingkan kecerdasan

sepihak (kognitif) saja. Sudah saatnya bangsa ini memikirkan tentang

pendidikan yang berorientasi pada pembentukan akhlak dan moral,

sehingga hasil dari pada pendidikan itu adalah manusia-manusia yang

berkarakter.

Menurut Syaikh Mustafa al-Ghulayani, bahwa pendidikan adalah :

وسقيها مباء االرشاد الناشئنيىف نفوس الفاضلة هي غرس االخالق التربية يلهالفاضا ر مثن تكو مث ملكات النفس لكة من م ة حيت تصبحيحوالنص

1.واللخري وحب العمل لنفع الوطن Pendidikan adalah menanamkan akhlak yang mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasihat, sehingga

1 Mustafa Al-Ghulayani, Idhah al-Nasihi, (Pekalongan : Raja Murah, 1953), hlm. 189

Page 26: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

14

menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan, kebaikan, serta cinta bekerja yang berguna bagi tanah air.

Dari penjelasan al-Ghulayani tersebut, jelas bahwa pendidikan

selain mengajarkan tentang ilmu pengetahuan juga harus memberikan

pembelajaran yang baik, yang dapat membentuk pribadi baik, memiliki

keutamaan dalam akhlak. Dan hal tersebut dilakukan dengan pembinaan

dan pembiasaan. Karena sesungguhnya manusia sejak awal memiliki

potensi baik (fitrah).

Manusia2 selaku makhluk Tuhan dibekali berbagai potensi yang

dibawa sejak lahir dan salah satunya adalah fitrah. Menurut M. Arifin,

bahwa fitrah manusia diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar

dan yang salah, kemampuan ini diperoleh dari proses pendidikan yang

telah mempengaruhinya.3

1. Pengertian Pendidikan Karakter

Untuk mendapatkan pengertian tentang pendidikan karakter

secara keseluruhan, maka dalam sub bab ini akan diuraikan masing-

masing unsur dari pendidikan dan karakter secara terpisah.

a. Pengertian Pendidikan

Secara etimologi, pengertian pendidikan yang diberikan

oleh ahli John Dewey, seperti yang dikutip oleh M. Arifin

menyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu proses

pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang

menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan

(emosional) menuju ke arah tabiat manusia dan manusia biasa.4

Dalam bukunya M. ‘Athiyah Al-Abrasyi, menurut Sully,

salah seorang tokoh filosof pendidikan, pendidikan diartikan :

2 Manusia memiliki desain kejiwaan yang sempurna, memiliki potensi untuk

memahamikebaikan dan kejhatan dan biasa ditingkatkan kualitasnya menjadi suci dan dapat tercemar menjadi kotor. Lihat selengkapnya dalam M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan, 1997), Cet. I, hlm.282.

3 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta :Bumi Aksara, 1995), hlm. 70. 4 M. Arifin, Op.Cit., hlm.1.

Page 27: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

15

كى يكون قادرا على ان يقود : يب القوى الطبعية للطفلالتر بية ذ 5 .حياة خلقية صحية سعدة

Pendidikan adalah pengajaran watak bagi anak-anak agar dia mampu untuk mandiri.

Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya

mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta’dib dan al-ta’lim. Dari ketiga

istilah tersebut yang paling populer digunakan dalam praktik

pendidikan Islam adalah al-tarbiyah, sedangkan al-ta’dib dan al-

ta’lim jarang sekali.6

Mortiner J. Adler mengartikan pendidikan adalah proses di

mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang

diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan,

disempurnakan dengan kebiasaan yang baik melalui sarana yang

artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang

lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkannya, yaitu

kebiasaan yang baik.7

Dari pengertian pendidikan yang telah diuraikan, maka

dapat dipahami bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang

dilakukan dengan penuh kesadaran dan terkonsep serta terencana

untuk memberikan pembinaan dan pembimbingan pada peserta

didik (anak-anak). Yang mana bimbingan dan pembinaan tersebut

tidak hanya berorientasi pada daya pikir (intelektual) saja, akan

5 Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi, Ruhuttarbiyah wa Ta’limu, (Mesir : ‘Isalbab Alhalabi

Watsirkah, t.th), hlm. 6. 6 Tentang perbedaan tiga istilah dengan pengertian yang sama tersebut. Hasan

Langgulung, mengutip pendapatnya Al-Attas, bahwa kata ta’lim hanya berarti pengajaran, sedangkan kata tarbiyah kaitannya lebih luas, sebab itu berlaku bagi seluruh makhluk dengan pengertian memelihara atau membela dan lain-lain lagi. Padahal kata pendidikan yang diambil dari education itu hanya untuk manusia saja, sedangkan kata ta’dib lebih tepat sebab tidak terlalu sempit (tidak sekedar mengajar) dan tidak meliputi makhluk-makhluk lain selain manusia. Jadi, kata ta’dib sudah meliputi kata ta’lim dan tarbiyah. Selain ta’dib lebih erat hubungannya dengan kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam isi pendidikan. Baca lebih lengkap Hasan Langgulung, Asas-asasPendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1992), Cet. 2, hlm. 5.

7 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), Cet. I, hlm. 35.

Page 28: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

16

tetapi juga pada segi emosional yang dengan pembinaan dan

bimbingan akan dapat membawa perubahan pada arah yang lebih

positif.

Proses pendidikan merupakan rangkaian usaha

membimbing, mengarahkan potensi manusia yang berupa

kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga

terjadilah perubahan (positif) di dalam kehidupan pribadinya

sebagai makhluk individual dan sosial serta dalam hubungannya

dengan alam sekitar di mana ia hidup. Proses tersebut senantiasa

berada dalam nilai-nilai yang melahirkan akhlaq al-karimah atau

menanamkannya, sehingga dengan pendidikan dapat terbentuk

manusia yang berbudi pekerti dan berpribadi luhur.

Dalam pandangan Andragogie8, seorang anak dianggap

memiliki potensi dan kemampuan serta pengalaman dan tugas

pendidikan adalah untuk mengaktualkannya.9

b. Pengertian Karakter

Karakter dalam kamus pendidikan berarti watak, sifat-sifat

kejiwaan. Dan ilmu yang mempelajari tentang watak seseorang

seseorang berdasarkan tingkah laku disebut dengan karakterologi.10

Karakter atau watak dapat dikembangkan oleh faktor-faktor

pembawaan dan faktor-faktor eksogen seperti alam sekitar,

pendidikan dan pengaruh dari luar pada umumnya.11

8 Andragogie adalah ilmu tata cara orang dewasa belajar, Kamus Bahasa Indonesia,

(Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, 2005), Edisi Ketiga, hlm. 46. Andragogie berasal dari bahasa Yunanu Kuno, yaitu “andr”, yang berarti laki-laki atau orang dewasa (bukan anak laki-laki), dan “agogos”, yang berarti membimbing atau membina.secara harfiah (etimologi), andragogie adalah ilmu atau seni mengajar orang dewasa. Pada intinya teori ini mengungkapkan bagaimana proses pendidikan harus dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi aktif dari peserta didik. Muis Sad Iman, Pendidikan Pasrtisipatif, (Yogyakarta : Safiria Insania Press,2004), hlm. 4.

9 Suharsono, Membelajarkan Anak dengan Cinta, (Jakarta : Inisiasi Press, 2003), hlm. 146.

10 Saliman dan Sudarsono, Kamus Pendidikan, Pengajaran dan Umum, (Jakarta : Rineka Cipta, Cet. I, 1994), hlm. 116.

11 Soegarda Poerbakawatja dan Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung, Cet. III. Edisi II, 1976), hlm. 161.

Page 29: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

17

Dalam bukunya Netty Haratati, karakter (character) adalah

watak, perangai, sifat dasar yang khas, satu sifat atau kualitas yang

tetap terus menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk

mengidentifikasi seorang pribadi. Ia disebabkan oleh bakat

pembawaan dan sifat-sifat hereditas sejaklahir dan sebagian

disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Ia berkemungkinan untuk

dapat dididik. Elemen karakter terdiri atas dorongan-dorongan,

insting,12 refleksi-refleksi, kebiasaan-kebiasaan, kecenderungan-

kecenderungan, organ perasaan, sentimen, minat, kebajikan dan

dosa, serta kemauan.13

Menurut Wynne (1991) :

Kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu, seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia.14 Menurut Ratna Megawangi, karakter berasal dari bahasa

Yunani, yaitu charassein, yang artinya adalah mengukir hingga

terbentuk sebuah pola. Jadi, untuk mendidik anak agar memiliki

karakter diperlukan proses “mengukir”, yakni pengasuhan dan

pendidikan yang tepat. Karakter adalah sikap yang dapat dilihat

atau ditandai dari perilaku, tutur kata, dan tindakan lainnya. Dalam

padanannya dengan istilah bahasa Arab, karakter mirip artinya

12 Insting, istilah ini kebanyakan untuk binatang dan jarang sekali digunakan untuk

manusia. Baca Murtada Muthahari, Fitrah, (Jakarta : Lentera, 1998), hlm. 18. Serta tidak pernah digunakan untuk benda-benda dan tumbuh-tumbuhan. Insting adalah suatu kemampuan berbuat dan bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar. Kemampuan insting ini pun merupakan pembawaan sejak lahir. Dalam. Dunia psikologi pendidikan, kemampuan ini disebut dengan “kapabilitas”. Baca M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta : Bumi Aksara, 1994), hlm. 101.

13 Netty Hartati, dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 137-138.

14 Dwi Hastuti Martianto, Pendidikan Karakter : Paradigma Baru dalam Pembentukan Manusia Berkualitas, http://tumoutou.net/702-05123/dwi-hastuti-htm. 7 juni 2007

Page 30: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

18

dengan akhlak mulia yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal-hal

yang baik.15

Karakter merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini

menyebabkan jiwa bertindak tanpa pikir atau dipertimbangkan

secara mendalam. Keadaan ini ada dua jenis. Yang pertama,

alamiah dan bertolak dari watak. Misalnya pada orang yang

gampang sekali marah karena hal-hal yang paling kecil. Yang

kedua, tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Pada mulanya

keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan difikirkan. Namun,

kemudian melalui pratek terus menerus menjadi karakter.16

Pengertian ini sama dengan beberapa pengertian akhlak dalam

beberapa literatur, ini karena dari beberapa versi hampir sama

dinyatakan bahwa akhlak dan karakter adalah sama-sama yang

melekat dalam jiwa dan dilakukan tanpa pertimbangan.

Dari beberapa pengertian karakter di atas ada dua versi

yang agak berbeda. Satu pandangan menyatakan bahwa karakter

adalah watak atau perangai (sifat), dan yang lain mengungkapkan

bahwa karakter adalah sama dengan akhlak, yaitut sesuatu yang

melekat pada jiwa yang diwujudkan dengan perilaku yang

dilakukan tanpa pertimbangan. Tapi sebenarnya bila dikerucutkan

dari kedua pendapat tersebut adalah bermakna pada sesuatu yang

ada pada diri manusia yang dapat menjadikan ciri kekhasan pada

diri seseorang.

Karakter sama dengan kepribadian17, tetapi dipandang dari

sudut yang berlainan. Istilah karakter dipandang dari sudut

15 Ratna Megawangi. Pendidikan Karakter, Op. Cit., hlm. 25 16 Abu Ali Akhmad Al-Miskawaih, Tahdhib Al-Akhlak, Trjm. Helmi Hidayat, Menuju

Kesempurnaan Akhlak , (Bandung : Mizan, 1994), hlm.56 17 Menurut Erich Fromm, yang dikutip oleh Hanna Djumhana Bastaman, bahwa :

personality is the totality of inherited and acquired psychic qualitries which are characteristic of one individual and which make the individual unique. (Kepribadian adalah keseluruhan yang diwarisi dan diperoleh dari kualitas kejiwaan yang mana adalah karakter dari satu individu dan yang membuat ke khassan individu. Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta : Yayasan Insan Kamil, 2001), Cet. III, hlm. 103.

Page 31: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

19

”penilaian”, baik-buruk, senang-benci, menerima-menolak, suatu

tingkah laku berdasarkan norma-norma yang dianut. Sedangkan

istilah kepriabadian dipandang dari sudut ”penggambaran”,

manusia apa adanya tanpa disertai penilaian.18

Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, kepribadian dalam

bahasa Inggris disebut personality, yang berasal dar bahasa Yunani

per dan sonare yang berarti topeng, tetapi juga berasal dari kata

personae yang berarti pemain sandiwara, yaitu pemain yang

memakai topeng tersebut. Kepribadian diartikan dalam dua

macam. Pertama, sebagai topeng (mask personalty), yaitu

kepribadian yang berpura-pura, yang dibuat-buat, yang semua

mengandung kepalsuan. Kedua, kepribadan sejati (real personalty)

yaitu kepribadian yang sesungguhnya, yang asli.19

Seperti dalam bukunya Elzabeth B. Hurlock Child

Development, menyebutkan bahwa :

The term "personality" comes from the Latin word "persona". Personality is the dinamis organization within the individual of those psychophysical system that determine the individual's unique adjusments to the enviroment.20 Istilah personality berasal dari kata Latin persona yang berarti topeng. Kepribadian adalah susunan sistem-sistem psikofisik yang dinamai dalam diri suatu individu yang unik terhadap lingkungan. Dari konotasi kata persona diartikan bagaimana seseorang

tampak pada orang lain dan bukan pribadi yang sesungguhnya..

Apa yang dipikir, dirasakan, dan siapa dia sesungguhnya termasuk

dalam keseluruhan “make up”(polesan luar) psikologis seseorang

dan sebagian besar terungkap melalui perilaku. Karena itu,

18 Netty Hartati, dkk., Op.Cit., hlm.119 19 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung :

Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 136 20 Elizabeth B. Hurlock, Child Development, (Japan : Mc Graw-Hill, 1978), hlm. 524

Page 32: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

20

kepribadian bukanlah suatu atribut yang pasti dan spesifik,

melainkan merupakan kualitas perilaku total seseorang.

Dari pengertian pendidikan dan pengertian karakter di atas,

maka pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk pola

sifat atau karakter baik mulai dari usia dini, agar karakter baik tersebut

tertanam dan mengakar pada jiwa anak.

Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui

proses knowing the good, loving the good and acting the good yaitu

proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi dan fisik,

sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart

and hands. Maksudnya adalah pertama, anak mengerti baik-buruk,

mengerti tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan

prioritas hal-hal yang baik. Kedua, mempunyai kecintaan terhadap

kebajiakn dan membenci perbuatan buruk kecintaan ini merupakan

semangat untuk berbuat kebajikan. Ketiga, anak mampu melakukan

kebajikan dan terbiasa melakukannya.21

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang tidak hanya

berorientasi pada aspek kognitif saja, akan tetapi lebih berorientasi

pada proses pembinaan potensi yang ada dalam diri anak,

dikembangkan melalui pembiasaan sifat-sifat baik yaitu berupa

pengajaran nilai-nilai karakter yang baik. Yang mana dalam

pendidikan karakter bahwa setiap individu dilatih agar tetap dapat

memelihara sifat baik dalam diri (fitrah) sehingga karakter tersebut

akan melekat kuat dengan latihan melalui pendidikan sehingga akan

terbentuk akhlaqul karimah.

Pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep dan

metodologi dengan pendidikan moral, seperti kewarganegaraan, budi

pekerti atau bahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan moral

misalnya kewarganegaraan dan pelajaran agama hanya melibatkan

21 Stefan Sikone, ”Pembentukan Karakter Dalam Sekolah”,

http:www.//mirifica.net/wmview.php? 15:04, 12 Mei 2006.

Page 33: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

21

aspek kognitif (hafalan) tanpa ada apresiasi (emosi) dan praktik.

Sehingga banyak yang hafal isi Pancasila atau ayat-ayat suci, tetapi

tidak tahu bagaimana berlaku benar (seperti membuang sampah pada

tempatnya), berlaku jujur, beretos kerja tinggi dan menjalin hubungan

harmonis dengan sesama.22

Pendidikan karakter di sini yang dimaksud adalah pendidikan

dengan proses membiasakan anak melatih sifat-sifat baik yang ada

dalam dirinya sehingga proses tersebut dapat menjadi kebiasaan dalam

diri anak. Dalam pendidikan karakter tidak hanya bertujuan untuk

mencerdaskan anak dalam aspek kognitif saja, akan tetapi juga

melibatkan emosi dan spiritual, tidak sekedar memenuhi otak anak

dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga dengan mendidik akhlak anak

Anak dipersiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang

bertanggung jawab dan respek terhadap lingkungan sekitarnya.

2. Landasan Dasar Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter berorientasi pada pembentukan manusia

yang berakhlak mulia dan berkepribadian luhur. Maka dalam hal ini,

landasan dasar dari pada pendidikan karakter adalah sesuai dengan UU

SISIDIKNAS No. 20 Tahun 2003, yaitu :

Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembalajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengenalan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.23 Pendidikan karakter didasarkan pada UU SISIDIKNAS karena

dalam uraian undang-undang tersebut salah satu tujuan dari pendidikan

adalah dapat mengembangkan potensi manusia. Yang mana arah dari

pengembangan potensi tersebut adalah terwujudmnya akhlak mulia.

Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan daripada pendidikan karakter.

22 Ibid. 23 Undang-Undang SISDIKNAS, Op.Cit., hlm. 3.

Page 34: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

22

Selain itu, pendidikan karakter juga sesuai dengan Al-Qur’an :

عمالس ل لكمعجئاوين شولمعال ت تكمهن امطوب من كمجراهللا اخو

)78: النحل . (واالبصار واالفئدة لعلكم تشكرون

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur. (Q.S. An-Nahl : 78)24 Menurut Dr. Muhammad Fadhil al-Djamaly yang dikutip oleh

M. Arifin, bahwa dalam ayat tersebut memberikan sebuah petunjuk

bahwa manusia harus melakukan usaha pendidikan aspek eksternal

(mempengaruhi dari luar diri anak didik). Dengan kemampuan yang

ada dalam diri anak didik terhadap pengaruh eksternal yang bersumber

dari fitrah itulah, maka pendidikan secara operasional bersifat hidayah

(petunjuk).25 Kaitannya dengan pendidikan karakter adalah bahwa

pendidikan karakter adalah sebuah usaha pendidikan dalam proses

pengembangan potensi (fitrah) manusia dari sisi eksternal yang berupa

pengaruh lingkungan.

3. Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk manusia

secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek

fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara

optimal. Selain itu, untuk membentuk manusia yang lifelong learners

(pembelajar sejati).26

“Character education, aimed at the inculcation of specific

virtues, depends heavly on the indentification and description of

24 Departemen Agama RI., Op.Cit., hlm.269. 25 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Op.Cit., hlm. 44. 26 Ratna Megawangi, “Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistik

Berbasis Karakter”, http://www.co.id/file/indonesiaberprestasi/presentasi ratnamegawangi.pdf. Maret 2007.

Page 35: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

23

exemplars.”27 Pendidikan karakter ditujukan pada penanaman nilai

kebajikan, membangun kepercayaan pada pengenalan dan

penggambaran dari contoh-contoh yang patut ditiru.

Selanjutnya, Dwi Hastuti Martianto dalam makalahnya

mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan karakter adalah :

Character education have major role to develop individual man into a man that knowing the good, feeling the good, loving the good, desiring the good,and acting the good. Therefore familiy and school should give hand in hand through practice and habituation instead of memorization to build human capacity building.28 Pendidikan karakter memiliki peran utama untuk mengembangkan manusia secara individual menjadi seorang manusia yang berpengetahuan baik, berperasaan baik (empati), bernafsu baik, dan berperilaku (melakukan) baik. Kemudian keluarga dan sekolah harus bekerjasama memberikan contoh yang diteruskan dengan praktek dan pembiasaan sebagai pengganti dari hafalan untuk membangun manusia yang berkapasitas pembangun. Hal tersebut bermaksud bahwa pendidikan karakter berperan

dalam mengembangkan manusia secara individu, yang mana keluarga

dan sekolah harus mendukungnya dengan bekerjasama memberikan

pendidikan secara praktek sebagai kelanjutan dari proses pengajaran

secara material di sekolah.

Jadi, pada intinya pendidikan karakter adalah bertujuan untuk

menanamkan nilai-nilai kebaikan dan membentuk manusia secara

keseluruhan serta mengembangkan potensi yang dimilikinya. Yang

tidak hanya memiliki kepandaian dalam berpikir tetapi juga respek

terhadap lingkungan, dan juga melatih setiap potensi diri anak agar

dapat berkembang ke arah yang positif.

Selain itu, pendidikan karakter juga berfungsi untuk

menumbuhkan kesadaran diri. Yang mana kesadaran diri ini pada

27 Nel Noddings, Philosophy of Education, (United State of America : Westview Press,

1998), hlm.150 28 Dwi Hastuti Martianto, Op.Cit.

Page 36: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

24

dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Tuhan Yang

Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, sebagai

bagian dari lingkungan serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan

kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal

untuk meningkatkan diri sebagai individu yang bermanfaat bagi diri

sendiri maupun lingkungannya.29 Jika kesadaran diri sebagai makhluk

Tuhan, sebagai makhluk sosial dan makhluk lingkungan, serta

kesadaran diri akan potensi diri dapat dikembangkan akan mampu

menumbuhkan kepercayaan diri pada anak, karena mengetahui potensi

yang dimiliki, sekaligus toleransi kepada sesama teman yang mungkin

saja memiliki potensi yang berbeda.

4. Fitrah Manusia Dalam Pendidikan Karakter

Manusia adalah salah satu makhluk Allah yang diciptakan

dengan potensi, yaitu disebut dengan fitrah (potensi baik). Dalam

kaitannya dengan pembentukan akhlak adalah bahwa fitrah dalam diri

dapat dikembangkan dengan pendidikan, yang kemudian dapat

terbentuk akhlak manusia.

Dalam pandangan Islam, kemampuan dasar atau pembawaan

itu disebut dengan fitrah. Kata yang berasal dari fatoro dalam

pengertian etimologis mengandung arti kejadian. Kata fitrah ini

disebutkan dalam al-Qur’an, surat ar-Rum ayat 30.30

قأقم وجهك للدين حنيفا فطرت اهللا التى فطر الناس عليها ال تبديل لخلق

القيم نالدي ناهللا ذلكولمعاس ال يالن اكثر لكنوم . ( و30: الر(

Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya, (sesuai dengan kecenderungan aslinya), itulah fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah. Itulah agama yang

29 Stefan Sikone, http://mirifica.net., Op. Cit. 30 M.Arifin, Op.Cit., hlm. 42.

Page 37: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

25

lurus. Namun, kebanyakan orang tidak mengetahuinya. (Q.S. Ar-Ruum : 30)31 Dalam tafsir Fi Zhilalil-Qur’an dijelaskan bahwa, Al-Qur’an

mengaitkan antara fitrah jiwa manusia dengan tabiat agama, keduanya

berasal dari Allah. Allah yang menciptakan hati manusia dan yang

menurunkan agama ini kepadanya (manusia), untuk mengaturnya,

menggerakkannya dan mengobati sakitnya serta meluruskannya dari

penyimpangan. Fitrah itu sesuatu yang konstan demikian pula dengan

agama Allah itu konstan.32

Menurut Achmadi, dalam surat ar-Rum di atas menjelaskan

bahwa pengertian fitrah dalam ayat tersebut adalah ciptaan Allah.

Manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu

agama tauhid. Karena itu, manusia yang tidak beragama tauhid

merupakan penyimpangan atas fitrahnya.33 Meskipun manusia sejak

awal telah dibekali dengan potensi baik, akan tetapi berjalannya

dengan waktu banyak faktor yang dapat mempengaruhi potensi baik

itu menjadi potensi jahat.

Kata fitrah34 dalam ayat di atas berkonotasi pada paham

Nativisme, di mana dalam paham ini menyatakan bahwa

perkembangan manusia secara mutlak ditentukan oleh potensi

dasarnya, yaitu pembawaan atau faktor keturunan (hereditas)

Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:

أخربين : أخربنا يونس عن الزهري قال : حدثنا عبد أن أخربنا عبد اهللا قال رسول اهللا : أبوسلمة بن عبد الرمحن أن أبا هريرة رضي اهللا عنه قال

31 Departemen Agama RI., Op.Cit. 32 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, Jilid 9, Terjemahan As’ad Yasin, dkk., (Jakarta :

Gema Insani Press, 2004), hlm. 143. 33 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 ), hlm. 47. 34 Fitrah berisi daya-daya yang wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha

manusia sendiri. Oleh karena itu, fitrah harus dikembalikan dalam bentuk-bentuk keahlian, laksana emas atau minyak yang terpendam di perut bumi, tidak ada gunanya kalau tidak digali dan diolah untuk kegunaan manusia. Maka, di sinilah letak tugas utama pendidikan bagaimana bisa dan tetap mengarahkan fitrah pada pendidikan yang baik. Muis Sad Iman, Op.Cit., hlm.27.

Page 38: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

26

فأبوه يهودانه , ما من مولود إال يولد على الفطرة: صلى اهللا عليه و سلم صني انه أوسجمي انه أو35 ) رواه بوخري. (ر

“Telah menceritakan kepada kita, Abdan telah mengabarkan kepada kita, Abdullah telah mengabarkan kepada kita Yunus dari Zuhri, telah mengabarkan kepada kami Abu salamah bin Abdurrohman, sesungguhnya Abu Hurairah ra. berkata: Tiada seorangpun anak yang lahir kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Bukhari).

Diungkapkan oleh Imam Sa’aduddin bahwa manusia

diciptakan berpotensi baik dan buruk secara bersamaan. Hal ini sejalan

dengan pernyataan Islam bahwa manusia itu diciptakan cenderung

kepada kebaikan dan keburukan. Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Balad

ayat 10 :

)10: البلد . (وهدينه النجدين

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (jalan kebaikan dan keburukan).36 Dari ayat tersebut di atas, jelas bahwa meskipun manusia lahir

dengan fitrahnya (potensi baik) untuk menjadikan manusia baik (insan

kamil) tetap memerlukan pendidikan dan pembinaan. Nah, dalam

kaitannya fitrah dengan pendidikan karakter adalah bahwa pendidikan

karakter berfungsi untuk mengembangkan potensi-potensi baik yang

ada dalam diri manusia, sehingga potensi itu tetap terjaga pada

kebaikan. Fitrah baik tidak menjamin manusia akan menjadi baik

selamanya, karena manusia hidup di lingkungan yang mampu

mempengaruhi atau bahkan merubah fitrah tersebut. Dalam pendidikan

karakter ditanamkan nilai-nilai dan karakter-karakter yang dapat

mengembangkan potensi manusia.

35 Shahih Bukhari Juz III, (Bairut-Libanon: Darul Kutub, tt.), hlm. 413

36 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Op.Cit., hlm. 47.

Page 39: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

27

B. Pembentukan Akhlak

1. Pengertian Pembentukan Akhlak

a. Pengertian Akhlak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak

diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak

walaupun terambil dari bahasa Arab, namun kata seperti itu tidak

ditemukan dalam al-Qur’an. Yang ditemukan hanyalah bentuk

tunggal kata tersebut, yaitu khuluk yang tercantum dalam al-Qur’an

surat al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans

pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul.37

Akhlak menurut Rahmat Djatnika adalah dibedakan

menjadi dua macam, di antaranya menurut etimologi, kata akhlak

berasal dari bahasa Arab akhlaq ( قالخا ) bentuk jamak dari

mufrodnya khulluq (خلق), yang berarti budi pekerti. Sinonimnya

adalah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Latin, etos yang

berarti kebiasaan. Moral berasal dari bahasa Latin juga, mores

yang juga berarti kebiasaan. Sedangkan menurut terminologinya,

kata budi pekerti terdiri dari kata budi dan pekerti. Budi adalah

yang ada pada manusia yang berhubungan dengan kesadaran yang

didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut karakter. Pekerti

adalah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh

perasaan hati yang disebut dengan behavior. Jadi, budi pekerti

merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi

pada karsa dan tingkah laku manusia.38 Maka dalam hati ini dapat

diartikan bahwa akhlak adalah hasil dari perpaduan antara rasio

dan rasayang diwujudkan dengan tingkah laku.

Moral berasal dari bahas Latin mores yang berarti ”adat

kebiasaan”. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan

37 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Loc.Cit. 38 Rahmat Djatnika, Op .Cit., hlm. 26.

Page 40: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

28

arti ”susila”. Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan

ide-ide yang umum diterima, tentang tindakan manusia, mana yang

baik dan yang wajar. Sedangkan etika berasal dari bahasa Yunani,

yaitu ethos yang memiliki arti ”adat istiadat”, perasaan batin

kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan.39

Dengan demikian, jelas persamaan antara etika dan moral.

Namun ada pula perbedaannya. Dalam pembicaraan etika, untuk

menentukan nilai perbuatan manusia (baik dan buruk) dengan tolak

ukur akal pikiran, sedangkan dalam pembahasan moral, tolak

ukurnya adalah norma-norma yang berlaku di masyarakat.40

Dari uraian tersebut dapat diartikan bahwa untuk mengukur

tingkah laku manusia dapat dilihat dari persesuaiannya dengan adat

istiadat yang umum diterima. Yang mana meliputi kesatuan sosial

atau lingkungan tersebut. Sehingga baik atau buruknya moral

bangsa hanya bersifat secara lokal.

"Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai basis rujukan umat

Islam, secara general yang telah menyepakati bahwa yang mampu

menjelaskan kriteria baik buruknya suatu perbuatan adalah Al-

Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW."41

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa persamaan

antara akhlak, etika dan moral, yaitu dari ketiganya sama-sama

menentukan hukum atau nilai perbuatan manusia dengan tolak

ukurnya masing-masing. Dimana akhlak dalam menilai perbuatan

manusia dengan tolak ukur ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, etika

dengan pertimbangan akal pikiran, dan moral dengan adat

kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.

“Morality come from the latin word “moralist” it mean

“customs, manners, or patterns of behavior that con from to the

39 Zahruddin AR., Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),

hlm. 45 40 Ibid., hlm. 47 41 Ibid., hlm 49

Page 41: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

29

standards of the group.”42 Moral berasal dari kata Latin “moralist”

yang berarti “kebiasaan, kelakuan, atau pola keteladanan” dari

tingkah laku yang dibentuk untuk standar dari sebuah kelompok.

“Moral adalah kualitas perbuatan manusia yang dengan itu

dapat dikatakan bahwa perbuatan itu salah atau benar, baik atau

buruk. Norma adalah aturan, standar, ukuran yang berlaku (yang

dipakai dalam lingkungan masyarakat).”43

Menurut Azyumardi Azra, etika adalah mengacu kepada

hal-hal tentang dan justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas

berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik

yang bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan

sebagainya.44

b. Pembentukan Akhlak

Pembahasan mengenai pembentukan akhlak sama halnya

dengan membahas tentang tujuan dari pendidikan Islam. Yang

mana tujuan dari pendidikan Islam adalah membentuk akhlak

melalui pendidikan, sehingga akhlak yang dibawa sejak lahir dapat

terjaga dan melekat dalam diri manusia. Dalam pembahasan

pembentukan akhlak para ulama berbeda pendapat. Ada yang

berpendapat bahwa akhlak dapat dibentuk, seperti pendapat Al-

Ghazali, bahwa akhlak dapat dibentuk dengan latihan dan

pembinaan melalui pendidikan.

Dalam Ihya ‘Ulumuddin al-Ghozali menegaskan bahwa

akhlak seseorng yang dibawa sejak lahir memiliki kemungkinan

dapat dirubah (ke arah yang positif).

42 Elizabeth B. Hurlock, Adolescent Development, ( Kogakusha: Mc Graw – Hill, 1973),

hlm.246. 43 Poespoprodjo Wasito, Filsafat Moral, ( Bandung : Remaja Karya, 1988), hml. 102 44 Azyumardi Azra, PAradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta : Penerbit Buku

Kompas, 2002), hlm. 179

Page 42: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

30

يغل التقبالت القت االخكانلوريعظ لبوالما وايصأ طلت الوالتو اتبدي

القكما اخنوسح لمسل اهللا ول اهللا صوسا قال رلم45 .و

Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadits Nabi SAW menyatakan “perbaikilah akhlak kamu sendiri”.

Sedangkan ulama lain seperti Mansur Ali Rajab

berpendapat bahwa akhlak adalah insting yang dibawa sejak

lahir.46 Akhlak diartikan sebagai pembawaan dari manusia sendiri,

yaitu kecenderungan kepada kebaikan atau fitrah yang ada dalam

diri manusia dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang

selalu cenderung kepada kebenaran. Dengan pandangan-pandangan

seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun

tanpa dibentuk atau diusahakan.

Meskipun demikian, diungkapkan pendapat yang tidak

setuju bahwa akhlak merupakan hasil dari pembinaan dan pada

kenyataannya banyak usaha-usaha pembinaan akhlak melalui

berbagai metode yang kemudian dikembangkan

Hal ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina

yang mana pembinaan ini akan membawa hasil berupa

terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat

kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu bapak, sayang

kepada sesama makhluk Tuhan dan sebagainya.47 Dan sebaliknya,

bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya dan dibiarkan tanpa

bimbingan, arahan dan pendidikan menjadi anak-anak yang nakal,

seperti mengganggu masyarakat, melakukan perbuatan yang

45 Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, III, (Beirut-Libanon : Darul Kutub, tt.), hlm. 60 46 Asmaran AS., Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : Rajawali Press,1992), hlm. 45. 47 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo, 2003), hlm. 155.

Page 43: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

31

tercela serta tidak memiliki sopan santun. Maka jelas dalam hal ini

akhlak memang perlu dibina.

Dengan demikian yang dimaksud dengan pembentukan

akhlak adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sungguh-

sungguh untuk membentuk pribadi anak yang berakhlak mulia.

Tentunya usaha tersebut adalah dengan melalui sarana pendidikan

dan pembinaan yang terprogram dan terkonsep dengan baik dan

dilaksanakan dengan benar dan konsisten.

Pembentukan akhlak dilakukan berdasarkan asumsi bahwa

akhlak adalah hasil usaha pembinaan dan merupakan sebuah proses

bukan terjadi dengan sendirinya, potensi rohaniah yang ada dalam

diri manusia, termasuk di dalamnya akal, nafsu, amarah, nafsu

syahwat, fitrah, kata hati nurani, dan intuisi dibina secara optimal

dengan cara pendekatan yang tepat.48

Pembentukan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia

yang berakhlak mulia. Akhlak yang mulia akan terwujud secara

kukuh dalam diri seseorang apabila setiap empat unsur utama

kebatinan diri yaitu daya akal, daya marah, daya syahwat dan daya

keadilan dapat dibawa ke tahap yang seimbang dan adil sehingga

masing-masing unsur dapat dengan mudah mentaati kehendak

syarak dan akal.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak

Pada awalnya manusia itu terlahir dengan fitrah (suci), apapun

agama orang tuanya (meski non muslim) sesungguhnya manusia itu

muslim. Namun, beberapa faktor, maka dapat merubah kesucian

tersebut. Seorang anak karena terlahir di keluarga non muslim maka ia

tumbuh menjadi non muslim. Dalam hal ini beberapa faktor yang

mempengaruhi pembentukan akhlak adalah, di antaranya :

48 Ibid., hlm. 156.

Page 44: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

32

a. Faktor Pembawaan

Pembawaan atau bakat merupakan potensi-potensi yang

memberikan kemungkinan kepada seseorang untuk berkembang

menjadi sesuatu. Berkembang atau tidaknya potensi fitrah yang ada

pada diri individu sangat bergantung kepada faktor-faktor yang

lain.49 Faktor pembawaan adalah sesuai dengan aliran Nativisme,

yang mana sifat ataupun perilaku seseorang tidak akan mampu

berubah karena pengaruh luar dan apapun yang melekat pada diri

manusia itu sudah merupakan ketetapan dari awal dia lahir ke

dunia.

Aliran Nativisme50 berpendapat bahwa pembawaan yang

telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil

perkembangannya. Menurut kaum Nativis, pendidikan tidak dapat

mengubah sifat-sifat pembawaan, maka pendidikan akan percuma.

Hal ini dalam ilmu pendidikan disebut dengan “pesimisme

pedagogis”.51 Potensi yang bercorak Nativisme ini berkaitan

dengan dengan faktor hereditas yang bersumber dari orang tua,

termasuk keturunan beragama (religiusitas).52 Aliran Nativisme

memandang hereditas53 sebagai penentu kepribadian.

49 Amir Daien Indra Kusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya : Usaha

Nasional,1973), hlm. 183. 50 Nativisme berasal dari bahasa Latin dari kata nativier yang artinya terlahir. Seorang

anak akan berkembang berdasarkan dari apa yang dibawanya sejaklahir. Hasilakhir perkembangannya dan pendidikan manusia ditentukan oleh sifat pembawaannya dari lahir. Pembawaan yang baik atau yang buruk yang akan menentukan seseorang itu baik atau buruk. Pendidikan tidak berpengaruh sama sekali terhadap perkembangan seseorang. Aliran Nativisme dipelopori oleh Arthur Scopenhauer (1788-1860), seorang psikolog berkepanjangan Jepang. Tokoh lain yang termasuk aliran ini adalah Plato, Descartes, dan Lombroso, Lihat Netty Hartanty,dkk., Op.Cit., hlm. 175.

51 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 59.

52 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 64. 53 Hereditas lazim disebut dengan pembawaan atau keturunan. Hereditas merupakan

totalitas karakteristik individu yang diwariskan orang tua kepada anak atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi (pembuahan ovum oleh sperma) sehingga kewarisan orang tua melalui gen-gen. Lihat Syamsu Yusuf, Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.31.

Page 45: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

33

Menurut Sayyid Qutub dalam bukunya Mansur Isna,

berkaitan dengan pembawaan mengungkapkan bahwa dimana anak

itu mewarisi apa yang ada pada orang tuanya, entah baik atau

buruk, anak tidak bisa menolaknya bentuk warisan pembawaan

tersebut.54 Sehingga dalam konteks ini, senada dengan aliran

Nativisme bahwa sekeras apapun usaha yang dilakukan dalam

pendidikan formal atau masyarakat untuk merubah anak dari sifat

bawaan orang tuanya akan sulit, dan membutuhkan usaha yan

sungguh-sungguh.

Aliran Nativisme menyatakan bahwa proses dalam

pendidikan itu lebih menunjukkan peran pembawaan atau bakat.

Berarti pendidikan tidak lain adalah upaya untuk mengembangkan

pembawaan atau bakat sebagai potensi-potensi yang ada pada

peserta didik.55

b. Faktor Lingkungan

Menurut Ahmad Musa, yang dikutip oleh M. Ngalim

Purwanto dalam bukunya Psikologi Pendidikan, bahwa pengaruh

lingkungan terhadap perkembangan pribadi anak sejak kecil adalah

sangat mendalam dan menentukan perkembangan pribadi anak

selanjutnya.56 Seorang anak (yang masih kecil) akan merekam

segala sesuatu yang ada di sekitarnya, sentah itu baik atau buruk,

sehingga apa yang ia lihat itu merupakan pengalaman awal yang

akan melekat pada pemikirannya.

Begitu pentingnya pengaruh lingkungan dalam proses

pembentukan akhlak. Akhlaqul Karimah akan terbentuk apabila

didukung dengan lingkungan yang baik dengan memberikan

contoh-contoh baik dalam perilaku sehari-hari. Adapun unsur-

unsur dalam faktor lingkungan adalah :

54 Ibid., hlm. 128. 55 Ibid., hlm.152. 56 M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya,1997),

hlm. 162.

Page 46: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

34

1) Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan pendidikan pertama yang dikenal

oleh anak, orang tua merupakan pembina pribadi yang pertama

dalam hidup anak, yang berupa kepribadian, sikap, dan cara

hidup mereka. Kepribadian orang, sikap dan cara hidup orang

tua merupakan unsur pendidikan yang langsung dengan

sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang

bertumbuh tersebut.57 Sehingga orang tua sudah seharusnya

selalu memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya

agar pada masa pertumbuhannya anak mendapatkan

pengalaman yang baik, yang pada akhirnya pengalaman baik

itu akan membantu anak dalam terbentuknya akhlak.

2) Lingkungan Sekolah

Lingkungan sekolah merupakan lingkungan kedua

setelah lingkungan keluarga dalam proses pembentukan akhlak

anak, baik segi fisik maupun non fisik. Sekolah bukan sekedar

menuangkan pengetahuan ke dalam otak murid, akan tetapi

juga harus membina kepribadian dan akhlak anak.58

Guru adalah sebagai unsur terpenting dalam pendidikan

di sekolah harus memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian

itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan

pembina yang baik atau tidak, ataukah akan menjadi perusak

bagi masa depan anak didiknya.59 Sama halnya dengan orang

tua dalam lingkungan keluarga, maka guru dalam lingkungan

sekolah merupakan teladan bagi para siswanya. Segala sesuatu

tentang tindakan dan tingkah laku guru dilihat dan ditiru oleh

anak didiknya.

57 Zakiah Daradjat, Op.Cit., hlm. 56. 58 Zakiah Daradjat, Loc. Cit., hlm. 56. 59 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), hlm.16.

Page 47: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

35

3) Lingkungan Masyarakat/Sosial

Masyarakat merupakan lembaga pendidikan non

formal. Dalam pendidikan non formal, kepribadian dan akhlak

seseorang dapat tumbuh dan berkembang sesuai situasi dan

kondisi yang dilandasi sikap yang selektif berdasarkan rasio,

idealisme, dan falsafah hidupnya. Pada umumnya kepribadian

seseorang terbentuk melalui pendidikan, maka kepribadian

pada hakikatnya adalah gejala sosial, dan kepribadian individu

bertalian erat dengan kebudayaan lingkungannya.60

Lingkungan sosial adalah semua orang atau manusia

lain yang mempengaruhi pribadi manusia. Pengaruh

lingkungan sosial ada yang diterima secara langsung dan ada

yang tidak langsung. Lingkungan sosial mempunyai pengaruh

yang sangat besar dalam pertumbuhan rohani atau kepribadian

anak.61 Hal ini karena masyarakat dan sosial ada di sekitar

kehidupan manusia yang tidak mungkin dan tidak bisa

terelakkan. Mau tidak mau manusia hidup bersama dengan

lingkungan di sekitar setiap hari, sehingga hal tersebutlah dapat

mempengaruhi sikap, perilaku, pribadi dan akhlak seseorang.

Dalam kaitannya dengan faktor lingkungan, maka

sesuai dengan teori empirisme.62 Yang mana teori ini

memandang bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap

pembentukan akhlak seseorang adalah faktor dari luar, yaitu

lingkungan sosial termasuk pembinaan dan pendidikan yang

diberikan.

60 Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta,2000), hlm. 58. 61 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Op.Cit., hlm. 73. 62 Empirisme berasal dari bahasa Latin, dari kata empiricus artinya pengalaman. Aliran

ini dinamakan aliran Tabularosa, artinya meja berlapis lilin yang belum ada tulisan di atasnya, atau dengan kata lain seseorang dilahirkan seperti kertas kosong yang belum ditulisi, maka pendidikanlah yang menulisinya. Aliran ini dipelopori oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris John Locke (1632-1704). Lihat Netti Hartati, dkk., Op.Cit., hlm.172.

Page 48: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

36

Asumsi psikologis yang mendasari aliran empirisme

adalah bahwa manusia lahir dalam keadaan netral, tidak

memiliki pembawaan apa-apa. Perwujudan kepribadian

ditentukan oleh luar diri atau lingkungan.63 Aliran ini

berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi dewasa

itu sama sekali ditentukan oleh lingkungan atau pendidikan

yang berupa pengalamannya sejak kecil.

c. Faktor Adat atau Kebiasaan

Adat atau kebiasaan memiliki peranan penting, karena

kebiasaan perilaku atau tindakan yang dilakukan dengan frekuensi

sering, di mana jika kebiasaan itu baik, maka baik pula perilakunya

dan sebaliknya.

Akhlak dibentuk melalui praktik, kebiasaan, banyak

mengulangi perbuatan dan terus menerus pada perbuatan itu.

Platon mengatakan :

“Bahwa yang baik itu belum bisa dicapai jika mengerjakannya sekali saja supaya benar-benar tercapai mesti hasil pekerjaan yang panjang (dikerjakan terus menerus-ed).”64

Kepribadian manusia ditentukan oleh faktor dasar dan ajar.

Kedua faktor ini (empirisme dan nativisme) mempengaruhi

perkembangan kehidupan manusia, hanya saja salah satu faktor itu

ada yang lebih dominan dalam pembentukan kepribadian,

sementara faktor lain lebih sedikit pengaruhnya.

Aliran Konvergensi65 meskipun dapat menjembatani dan

memberikan sintesis antara kedua aliran di atas, namun sebenarnya

aliran ini tidak memiliki kerangka filosofis tersendiri tentang

63 Ibid. 64 Imam Abdul Mukmin Sa’aduddin, terjm. Dadang Zobar Ali, Op. Cit., hlm. 40. 65 Konvergensi berasal dari bahasa Inggris yaitu convergency, artinya pertemuan pada

satu titik, aliran ini mempertemukan dua aliran, Nativisme dan Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan seseorang tergantung kepada pembawaan lingkungan, dengan kata lain pembawaan dan lingkungan mempengaruhi perkembangan seseorang, pembawaan seseorang baru berkembang karena pengaruh suatu lingkungan. Aliran ini dipelopori oleh William Stern (1871-1938) dan Adler, Lihat Netti Hartati, dkk., Op.Cit., hlm. 178.

Page 49: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

37

hakikat manusia. Ia tiba-tiba muncul menetralisir antara kedua

belah pihak yang bertentangan.66

Dapat dipahami bahwa dalam aliran konvergensi,

perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan

lingkungan. Hal inilah yang kemudian menjembatani antara paham

empiris dan nativis, karena paham konvergensi tidak cenderung

pada salah satunya. Dan jika dilihat, ternyata paham konvergensi

lebih fleksibel.

C. Pendidikan Prasekolah dan Anak Prasekolah

1. Pendidikan Prasekolah

Pendidikan prasekolah adalah pendidikan yang diberikan

kepada anak-anak pada usia sebelum memasuki pendidikan sekolah

(pendidikan dasar). TK merupakan salah satu bentuk pendidikan

prasekolah yang bertujuan membantu pertumbuhan anak sebelum

memasuki pendidikan dasar. Dalam Peraturan Pemerintah No. 27/1990

tentang pendidikan prasekolah, dinyatakan :

Pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar yang diselenggarakan di jalur pendidikan prasekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah. (Pasal 1) Bentuk satuan pendidikan prasekolah meliputi Taman Kanak-Kanak, Kelompok Bermain, Penitipan Anak dan bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri (Pasal 4). Pendidikan prasekolah bertujuan untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.67

66 Ibid. 67 Dedi Supriadi dan Rohmat Mulyana, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan,

(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 38.

Page 50: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

38

Pendidikan kepada anak prasekolah pada dasarnya lebih

diarahkan pada penanaman nilai moral, pembentukan sikap dan

perilaku yang diperlukan agar anak-anak mampu untuk

mengembangkan dirinya secara optimal. Anak-anak usia prasekolah

memiliki daya tangkap dan potensi yang sangat besar untuk menerima

pengajaran dan pembiasaan dibanding pada usia lainnya.68

Hal demikian karena seorang anak masih memiliki daya serap

dan daya ingat yang sangat kuat. Apa yang pernah dialaminya akan

membekas dalam ingatannya. Jika diibaratkan, seperti menulis di atas

batu yang akan terus menerus berbekas sampai tua. Sedangkan

mengajarkan pada orang dewasa diibaratkan seperti menulis di atas air,

yang akan cepat sirna dan tidak berbekas.

2. Pengertian Anak Prasekolah

Dalam memberikan pengertian anak prasekolah dari segi unsur

batasan umur dan kecakapan anak dapat dipengaruhi banyak faktor.

Dengan demikian banyak ahli yang berbeda pendapat untuk

memberikan batasan umur anak prasekolah.

Pendapat mengenai pengertian anak prasekolah berbeda-beda

antara masing-masing orang. Menurut The National Association for

The Education, yang dikutip dalam buku Pendidik Anak Usia Dini

dalam Islam, istilah preschool adalah anak antara usia todler (1-3

tahun).69

Dalam hal anak prasekolah Dr. Syamsu Yusuf mengungkapkan

bahwa, anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu

sekitar 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang

dirinya sebagai pria atau wanita dapat mengatur diri dalam buang air

68 Sri Harini dan Aba Firdaus, Mendidik Anak Usia Dini, (Yogyakarta : Kreasi Wacana,

2003), hlm. 126. 69 Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 110.

Page 51: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

39

(toilet training) dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya

(mencelakakan dirinya).70

Berbeda sedikit dengan pendapat di atas, Feni Akbar

Hawadimasa berpendapat bahwa anak prasekolah yaitu rentan antara

3-6 tahun.71 Masa prasekolah adalah masa di mana anak-anak mulai

mengenal lingkungannya (dimulai dari keluarga). Pada masa ini pun

anak dapat dengan mudah mengadopsi segala tingkah laku orang-

orang di sekitarnya. Maka dalam hal ini orang tua (sebagai pendidik

yang pertama dan utama) harus selalu berhati-hati dalam perilakunya

dan senantiasa dituntut menjadi figur yangbaik bagi anak-anaknya.

Biechler dan Snowman berpendapat bahwa yang dimaksud

dengan anak prasekolah adalah anak yang biasanya mengikuti program

prasekolah dan Kindergarden. Sedangkan menurut E.B. Hurlock,

mengatakan bahwa usia prasekolah atau prakelompok disebut juga

masa kanak-kanak dini, yaitu anak yang berumur 2-6 tahun. Biechler

dan Snowman menambahkan bawa usia prasekolah adalah anak usia 3-

6 tahun.72

Meskipun terdapat beberapa perbedaan dalam mengartikan atau

dalam memberi batasan umur anak prasekolah, tetapi dapat

disimpulkan bahwa pada intinya pengertian anak prasekolah adalah

anak-anak di bawah usia sekolah atau anak-anak yang belum

memasuki usia sekolah (SD).

3. Karakteristik Anak Prasekolah

Manusia lahir ke dunia dengan membawa fitrahnya masing-

masing dan satu sama lain memiliki perbedaan. Masa anak-anak

adalah awal dari pembentukan kepribadian anak yang masing-masing

memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

70 Syamsu Yusuf, Op.Cit., hlm. 162. 71 Feni Akbar Hawadimasa, Psikologi Perkembangan, Mengenai Sifat, Bakat dan

Kemampuan Anak, (Jakarta : Grasindo, 2001), hlm. 3. 72 Sri Harini dan Aba Firdaus, Op.Cit., hlm. 54.

Page 52: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

40

Menurut Piaget yang dikutip oleh Saefuddin Azwar dalam

bukunya “Psikologi Intelegensi” mengemukakan bahwa, karakteristik

anak usia praoperasional (2-7 tahun) adalah :

- Cara berpikir anak bersifat egosentris, yaitu berupa pandangan

yang sempit dan mengacu pada diri sendiri

- Adanya cara berpikir kompleksif, yaitu berpikir tidak dengan jalan

menyatakan beberapa pikiran kepada satu konsep yang berarti

justru meloncat dari satu gagasan ke gagasan yang lain.

- Terdapat kecenderungan yang kuat untuk menempatkan sifat-sifat

manusia pada benda mati (tidak penting perbedaan antara benda

dan manusia)

- Ketidakmampuan anak untuk melakukan tugas-tugas yang

menuntut pengarahan dan koordinasi pikiran. Maka memerlukan

petunjuk luar yang langsung dapat membimbing dan memantapkan

perilakunya untuk dapat melakukan tugas tertentu.73

Dari uraian di atas tentang karakteristik anak-anak, maka dapt

diketahui bahwa pada usia anak-anak, pola pikirnya masih labil.

Kepolosan, keluguan, dan kekritisan yang kadang timbul secara

spontan menjadikan anak kadang melakukan sesuatu yang kurang

sesuai dengan apa yang dipikirkan. Sifat egois dan manja adalah

sebuah bukti bahwa anak-anak ingin selalu mendapat perhatian dari

orang-orang disekitarnya. Maka dalam hal ini, pembinaan dan

pengarahan yang berupa contoh dan nasihat akan sangat membantu

dalam pertumbuhannya di masa mendatang.

73 Saefuddin Azwar, Pengantar Psikologi Intelegensi, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2002),

hlm. 38-39.

Page 53: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

41

BAB III

PEMIKIRAN RATNA MEGAWANGI TENTANG

PENDIDIKAN KARAKTER

A. Biografi Ratna Megawangi

1. Riwayat Hidup Ratna Megawangi

Ratna Megawangi lahir di Jakarta, pada tanggal 24 Agustus

1958. Seorang perempuan cerdas dan berkarakter kuat, muslimah,

bergelar doktor dan post doktoral ini adalah pelopor pendidikan

holistik berbasis karakter di Indonesia. Pendiri dan Direktur Eksekutif

Indonesia Heritage Foundation (IHF). Ratna Megawangi telah

mengelola hampir 200 lebih sekolah karakter di berbagai penjuru tanah

air.1 Ia juga seorang penulis terkemuka. Diantara beberapa bukunya

yang berkaitan dengan Pendidikan Krakter adalah ; Character

Parenting Space, Yang Terbaik untuk Buah Hatiku, Pendidikan

Karkter Solusi Terbaik untuk Membangun Bangsa, dan lain-lain. Serta

ada juga yang berbentuk artikel dan makalah.

Ratna Megawangi terlahir sebagai anak kedua dari enam

bersaudara. Dia bersama lima saudaranya dibesarkan dalam sebuah

keluarga yang mapan dan cukup. Ayahnya, Drs. Harmonie Djaffar

berasal dari Banjarmasin adalah seorang profesional yang bekerja di

sebuah perusahaan farmasi milik swasta asing, sedangkan ibunya

bernama Sri Mulyati, seorang wanita berdarah campuran Jawa dan

Sunda.2

Sejak kecil, Ratna Megawangi dan kelima saudaranya

mendapatkan pendidikan dan pengasuhan serta berdisiplin keras.

Didikan disiplin keras, hemat dan hidup sederhana semenjak kecil

telah menjadikan Ratna Megawangi dan kelima saudaranya memiliki

sifat kemandirian, pekerja keras dan perasaan tidak mau dibantu orang

1 Ensiklopedi Tokoh Indonesia, http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/r/ratna-megawangi/biografi. 14 Maret 2007

2 Ibid.

Page 54: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

42

lain (merepotkan orang lain). Orang tua Ratna Megawangi sejak dini

sudah menanamkan kebiasaan untuk harus hidup sederhana..3

Ratna Megawangi adalah ibu dari tiga orang putra, yaitu

Muhammad Rumi, lahir pada tahun 1985, Safitri Mutia (1990) dan

Muhammad Lutfi (1998). Seperti yang diterima Ratna Megawangi

sejak kecil, maka pendidikan dan pengasuhan berdisiplin keras juga

diberikan kepada anak-anaknya. Dia membiarkan anak-anaknya untuk

bergaul dengan lingkungan sekitar. Bahkan, ketika berangkat sekolah

pun dibiasakan naik bis kota. 4 Hal tersebut dilakukannya agar anak-

anaknya tahu denyut nadi dan keprihatinan masyarakat atau tetangga.

Menurut Ratna Megawangi, dia menyebutkan bahwa anak-anak sejak

kecil harus dididik sederhana dan tidak steril dari masyarakat.5

Ratna Megawangi mulai masuk di Perguruan Tinggi pada

tahun 1978. Pada saat itu, dari ayahnya Ratna Megawangi mengetahui

kampus Institut Pertanian Bogor mempunyai program bagus berupa

kesempatan mengikuti tes ujian akhir menyelesaikan kuliah dalam

waktu singkat, empat tahun. Tiada motivasi lain kecuali menyelesaikan

kuliah dengan cepat tanpa memperdulikan jurusan apa yang dirasa

terbaik dan di mana hendak berkiprah. Karena pada saat itu Ratna

Megawangi masih belum menemukan apa bakat dan kesenangannya

yang permanen. Ratna juga mengikuti tes psikologi dan hasilnya di

semua bidang dia mencatat nilai rata-rata yang sama-sama bagus.6

Sama seperti ketika masuk menjadi mahasiswa jurusan Gizi

Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK), Fakultas Pertanian

IPB Bogor di tahun 1978, Ratna Megawangi dapat dengan mudah

masuk menjadi tenaga pengajar di jurusan dan fakultas yang sama

dengan almamaternya pada tahun 1982. Pada tahun itu, adalah tahun

yang penuh berkah bagi Ratna Megawangi, karena pada tahun tersebut

3 Ibid. 4 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter Op.Cit. 5 Tokohindonesia DotCom., Op. Cit. 6 Ibid.

Page 55: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

43

ada tiga hal istimewa yang dia raih, yaitu lulus sebagai lulusan (S.1)

terbaik, menikah dengan Sofyan A. Djalil dan yang ketiga adalah

diterima sebagai staf pengajar di IPB.7

Selain aktivitas mengajar, Ratna Megawangi seorang aktivis

gender. Dia menjabat sebagai Ketua Kesetaraan Gender mulai tahun

2000-sekarang. Diantara karyanya yang membahas tentang kesetaraan

gender adalah buku yang berjudul “Membiarkan Berbeda”, yang telah

menjadi best seller. Ini menunjukkan bahwa dia merupakan tokoh

wanita muslimah yang bersemangat dalam menanggapi isu-isu seputar

kewanitaan, terutama mengenai isu feminisme atau gender.8

Minatnya pada masalah feminisme dan keluarga dapat

terbilang tidak sengaja. Antara tahun 1991-1993, ia melanjutkan Post-

Doktoral Program di Tufts University dalam bidang keluarga yang

terkait dengan perkembangananak (Child Development), yang hasil

penelitiannya bersama dengan Prof. Marian Zaitlin. Kemudian

dibukukan dan diterbitkan oleh United Nation University Press,

Tokyo, pada tahun 1995 dengan judul “Strengthening The Family :

Implication for International Development”.9 Hal ini pulalah yang

merupakan salah satu faktor dari ide pendirian IHF.

Di Post-Doktoral Program (tahun 1991-1993), Ratna

Megawangi menjalankan tugas sebagai independent research. Ia

mengadakan riset tentang keluarga dan perkembangan anak di

berbagai negara. Ketika itu, ia mulai menyadari bakat dan

kesenangannya ada di bidang humaniora yang multidisiplin ilmu,

seperti ilmu sosial, sosiologi, psikologi, budaya, hingga filsafat. Secara

spesifik ia tertarik pada ilmu tentang anak, kultur keluarga atau segala

hal yang terkait dengan anak dan keluarga. Dia mulai menyadari hal

7 Ibid. 8 Ibid. 9 Ibid.

Page 56: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

44

tersebut adalah karena setelah lulus sarjana dia masih belum

menemukan talenta atau kesenangan hati yang sesungguhnya.10

Berbekal dari pengalaman risetnya dari negeri Paman Sam

ketika kembali ke Indonesia, Ratna Megawangi bertekad untuk berbuat

sesuatu yang bersifat kongkrit bagi bangsa, yakni membangun bangsa

berkarakter. Ia bersama dengan suaminya sejak tahun 2000

memberanikan diri membangun Indonesia Heritage Foundation atau

Yayasan Warisan Leluhur Indonesia.11 Dan mulai saat itu, dia intens di

dunia pendidikan.

Ratna Megawangi adalah termasuk salah satu penerima

pernghargaan “80 Tokoh Wanita Muslim Paling Terkemuka

Indonesia” pada tahun 2002.

2. Latar Belakang Pendidikan Ratna Megawangi

Ratna Megawangi sejak kecil menghabiskan waktunya berada

di Jakarta untuk menempuh jenjang pendidikan, mulai dari tingkat

dasar (SD) sampai ke tingkat menengah atas (SMA). Kemudian pada

tahun 1978 masuk di IPB (Institut Pertanian Bogor) dengan jurusan

Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) yang telah dapat

diselesaikan dengan cepat, yakni empat tahun kuliah dan menjadi

lulusan terbaik pada tahun 1982. Karena kecerdasannya, maka pada

tahun 1982 pula, ia diterima masuk sebagai staf pengajar di Fakultas

dan Jurusan yang sama di almamaternya.

Pada tahun 1986, Ratna Megawangi berangkat ke Amerika

Serikat untuk melanjutkan kuliah S2-nya. Studi tentang Gizi di School

of Nutrition, Tufts University, Medford, Massachuset, USA. Ratna

Megawangi mendapatkan beasiswa dari Ford Foundation untuk tahun

pertama dan dari World Bank untuk tahun kedua. Dia berhasil

menyelesaikan kuliahnya dan meraih gelar S.2 Master of Science

10 Ibid. 11 Ibid.

Page 57: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

45

(M.Sc.) pada tahun 1988. Meskipun telah lulus S.2, Ratna Megawangi

merasakan hidup yang biasa-biasa saja. Kuliah masih terasa sekedar

menjalankan kewajiban tanpa tahu harus ke mana, yang penting dapat

sekolah saja dan terus belajar.

Setelah lulus S.2, sambil menunggu suaminya menyelesaikan

kuliah S.2.,12 Ratna Megawangi melanjutkan kuliah S.3 dengan

mengajukan beasiswa dalam bentuk lain, yaitu berupa pekerjaan

sebagai tenaga research assistant. Dia bekerja sebagai asisten kepada

seorang Profesor mantan Dekannya, sehingga tidak perlu membayar

kuliah. Pada tahun 1988 dia mulai kuliah S.3., kemudian pada tahun

1990, ia melahirkan anak kedua, sehingga baru pada tahun 1991, Ratna

Megawangi lulus sebagai doktor dalam bidang International Food and

Nutrition Policy (Kebijakan Internasional Makanan dan Gizi) di

Universitas yang sama ketika menempuh S.2-nya.

Kemudian setelah lulus S.3, Ratna Megawangi mendapatkan

tawaran dari dosennya untuk masuk Post-Doktoral Program.dia

mengambil tawaran tersebut meskipun belajar tentang anak, keluarga,

proyek keluarga dan child development. Meskipun bidang ini adalah

hal yang baru bagi dia, namun tetap saja diambil tawaran tersebut,

karena hanya disiplin ilmu iniyang memiliki dana beasiswa di tingkat

post-doktoral program. Dan pada tahun 1993, dia selesai kuliah dan

berhasil mendapatkan gelar Ph.D.

3. Karya-Karya dan Kiprah Ratna Megawangi

Setelah mengetahui perjalanan hidup Ratna Megawangi, maka

dapat dipahami bahwa Ratna Megawangi tidak hanya intens di dunia

pendidikan di Indonesia,akan tetapi juga aktif di bidang gender dan

feminisme. Sepanjang kariernya, dia telah banyak memberikan

kontribusi dalam bidang karya ilmiah atau tulisan dan juga dalam

12 Ratna Megawangi berangkat ke Amerika Serikat satu tahun lebih awal daripada

suaminya, sehingga ketika Ratna Megawangi telah lulus S.2,Sofyan Djalil baru tahun pertama kuliah S.2 di Universitas yang sama.

Page 58: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

46

bidang pengabdian terhadap bangsa dan masyarakat, dalam dunia

pendidikan anak dan gender (feminisme). Adapun kontribusi yang

telah diberikannya antara lain adalah :

- Pendidikan Karakter : Solusi Yang Tepat Untuk Membangun

Bangsa, Indonesia Heritage Foundation, Jakarta, 2004.

- Yang Terbaik Untuk Buah Hatiku, MQS Publishing, Bandung,

2004.

- Pendidikan Yang Patut dan Menyenangkan, Indonesia Heritage

Foundation, Jakarta, 2004.

- Character Parenting Space, Read Publishing House (Kelompok

Mizan), Bandung, 2007.

- Membiarkan Berbeda : Sudut Pandang Baru Tentang Relasi

Gender, Mizan, Bandung, 1999.

- Perbaiki Moral Bangsa Lewat Sekolah Karakter, Mitranetra, 24

Mei 2006.

- Mendidik 1,3 Milyar Manusia, Suara Pembaharuan Daily, Maret

2006.

- Bangsa Yang Tegar, Suara Pembaharuan,25 Januari 2004.

- Hikmah Puasa dalam Penyempurnaan Kualitas, ”Yin-Yang,

Kompas, 14 November 2001.

- Sekolah Membuat Generasi Pasif, Suara Pembaharuan Daily, 4

Januari 2004.

Pengalaman bidang akademik yang pernah digelutinya, antara lain :

- Pengajar Pengantar Teori Keluarga, S.1., IPB Bogor, tahun 1995-

sekarang.

- Pengajar Dinamika Keluarga, S.2., IPB Bogor, tahun 1995-

sekarang.

- Pengajar Teori Keluarga Lanjutan, S.1., IPB Bogor, tahun 2000-

sekarang.

- Pengajar Individu, Keluarga dan Masyarakat, S.2., IPB Bogor,

tahun 2002-sekarang.

Page 59: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

47

- Dosen tamu pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,

Jurusan Intervensi Sosial, dengan topik “Membangun Bangsa

Berkarakter Melalui Intervensi Sosial”, S.2., UI Jakarta, tahun

2002-sekarang.

- Pengajar Pengantar Ilmu Filsafat, S.2., IPB Bogor, tahun 1995-

1997.

- Pengajar Perencanaan Gizi, S.1., IPB Bogor, tahun 1993-1994.

- Pengajar Ekonomi Gizi, S.2., SEAMEO., UI Jakarta, tahun 1993-

1994.

- Pengajar Ekonomi Gizi, .1., IPB Bogor, tahun 1982-1986.

Pengalaman kerja yang pernah dilakoninya :

- Anggota Panitia Pengawas Nasional Broad Based Education,

Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2002 sampai sekarang.

- Konsultan pada proyek bersama “Model Development of

Character Based Integrated Curicullum, Life Skill Broad-Based

Education Program”, GMSK., IPB-Depdiknas, tahun2002-2003.

- Pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation,

tahun 2001-sekarang.

- Ketua Kesetaraan Gender, Indonesian Planned Parenthood

Association, tahun 2000-sekarang.

- Ketua Divisi Studi Keluarga Indonesia Sociologists Association,

tahun 1996-1999.

- Faculty Member (Research Associate) Tufts, School of Nutrition,

tahun 1991-1993.

Penghargaan yang pernah diraih :

- Mahasiswa lulusan terbaik Fakultas Pertanian IPB Bogor, Mei

1992.

- Penghargaan “80 Tokoh Wanita Muslim Indonesia Terbaik”,

Januari 2002.

- Ford Foundation Fellowship Award, tahun 1986-1987 dan 1989-

1991.

Page 60: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

48

- Inter-University Center Fellowship Award, tahun 1987-1988.

- Tufts University Graduate Fellowship Award, tahun 1988-1989.

B. Pemikiran Ratna Megawangi tentang Pendidikan Karakter

1. Pendidikan Karakter Menurut Ratna Megawangi

Islam mengajarkan, setiap manusia memiliki kecenderungan

untuk mencintai kebaikan (kebenaran) dan kesucian (fitrah).13 Akan

tetapi, meskipun begitu, ternyata masih banyak yang berprilaku tidak

sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia. Ternyata kesucian (fitrah)

manusia bersifat potensial, yang mana manusia tidak dengan

sendirinya (karena fitrah) dapat berakhlak mulia.

Menurut Ratna Megawangi, bahwa “Anugerah fitrah harus

dijaga, dirawat dan ditumbuhkan agar manusia bisa tumbuh menjadi

insan kamil, penuh kemuliaan. Dan lingkungan sangat berperan dalam

proses tumbuh dan berkembangnya fitrah”.14 Lingkungan yang baik

dapat memberikan pengaruh akhlak/karakter yang baik, sebaliknya

lingkungan yang pergaulan sehari-harinya tidak baik pun akan

membentuk akhlak yang buruk. Oleh sebab itu, sejak dini anak harus

dijaga dan dididik dengan perilaku yang baik agar fitrahnya tetap dapat

terjaga. Dan diajarkan nilai-nilai yang dapat menyuburkan fitrahnya

agar tumbuh kokoh.

Seperti pendapat seorang sufi, Bawa Muhaiyadeen, yang telah

disitir oleh Ratna Megawangi, menggambarkan bahwa manusia yang

seharusnya tumbuh sesuai dengan fitrahnya ibarat sebuah pohon yang

sedang tumbuh, diokulasi (ditempel) dengan jenis pohon lainnya yang

tidak sesuai dengan fitrahnya. Maka potensi “pohon” yang seharusnya

berbuah kemuliaan, ternyata berbuah kemudharatan. Namun,

potensinya (akar atau fitrahnya) masih tetap berada dalam kesucian.15

13 Ratna Megawangi, Yang Terbaik Untuk Buah Hatiku, (Bandung : MQS Publishing,

2005), hlm. 2. 14 Ibid., hlm. 3. 15 Ibid., hlm. 4.

Page 61: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

49

Maka untuk menjaga eksistensi dari pada kesucian (fitrah)

manusia perlu adanya faktor-faktor dari luar tubuh sebagai perangsang

potensi baik dalam diri manusia. Salah satunya adalah dengan upaya

pendidikan. Seperti yang diungkapkan Ratna, “Walaupun manusia

mempunyai fitrah kesucian, namun tanpa diikuti dengan instruksi

(pendidikan dan sosialisasi), manusia dapat berubah menjadi binatang,

bahkan lebih buruk lagi”.16

Ratna Megawangi mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan

adalah mempersiapkan individu agar mampu (dapat) hidup sesuai

dengan zamannya, yang mampu menghadapi segala arus perubahan

yang ada di dunia, sehingga anak menjadi tahu apa yang ia harus

lakukan ketika terjadi sesuatu di lingkungan sekitarnya (cekatan dan

peka terhadap lingkungan).17

Pendidikan ditujukan untuk membangun seluruh dimensi

manusia, yaitu untuk membangun dimensi sosial, emosional, motorik,

akademik, spiritual, kognitif, sehingga membentuk insan kamil.18

Bahwa intinya pendidikan harus menyentuh aspek diri manusia dengan

kata lain pendidikan secara menyeluruh (holistik). Pendidikan yang

tidak hanya berorientasi pada ranah kognitif saja (otak kiri), tetapi

pendidikan juga harus bisa menampakkan hasil yang riil dalam

tindakan dan perilaku berupa akhlakul karimah.

Ratna Megawangi juga menuturkan bahwa pendidikan karakter

adalah berorientasi pada pembentukan akhlak (karakter baik), yang

mana di dalamnya melibatkan berbagai potensi manusia yang dapat

dikembangkan. Pendidikan karakter merupakan usaha pengembangan

semua potensi anak, sehingga menjadi manusia yang seutuhnya,

manusia yang cerdas secara kognitif dan juga cerdas secara emosi.19

16 Ibid., hlm. 2. 17 Ratna Megawangi, Character Parenting Space, (Bandung : Mizan Media Utama, 2007)

, hlm. 22. 18 Ibid., hlm.23. 19 Wawancara dengan Ratna Megawangi,10 Oktober 2007.

Page 62: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

50

Menurut Ratna, pendidikan karakter berbeda konsep dan

metodologi dengan pendidikan moral, seperti PPKN, budi pekerti, atau

bahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan karakter adalah

untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good (mengetahui,

memahami kebaikan), loving the good (mencintai kebaikan), dan

acting the good (melakukan kebaikan), yang mana proses pendidikan

yang melibatkan aspek kognitif, emosi dan fisik, sehingga akhlak

mulia dapat terukir menjadi kebiasaan yang melekat dan mengakar

pada diri anak hingga dewasa.20

Konsep tersebut sesuai dengan konsep Thomas Lickona (1992),

yang mana dalam pendidikan karakter menekankan pada tiga

komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan

tentang moral) yang sama dengan knowing the good, moral feeling

(perasaan tentang moral) sama dengan loving the good, dan moral

action (perbuatan moral) sama dengan acting the good. Menurutnya,

ketiga hal tersebut diperlukan agar anak mampu memahami,

merasakan dan mengajarkan sekaligus nilai-nilai kebajikan.21

Pendidikan karakter yang hanya mengajarkan moral knowing,

seperti umumnya yang dilakukan di Indonesia dalam pendidikan

agama dan Pendidikan Moral Pancasila, tidak dapat menjamin

seseorang dapat berkarakter (baik), yaitu orang yang sesuai antara

pikiran, kata dan tindakan. Memang belum tentu pendidikan karakter

dapat menjamin, namun dalam pendidikan karakter terdapat penekanan

lebih dalam pengajaran dan pembelajarannya.

Selanjutnya Ratna Megawangi menegaskan, bahwa dengan

pendidikan karakter, seseorang anak dapat menjadi cerdas emosinya.

Menurutnya, kecerdasan emosi adalah bekal penting dalam

mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya

seorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam

20 Ratna Megawangi, “Mendidik Anak 1,3 Milyar Manusia”, http://www. semipalar.net/artikel/2006/03/html.

21 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter,Op.Cit., hlm.11.

Page 63: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

51

tantangan hidup, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.22

Karena sejatinya manusia hidup tidak hanya memerlukan kecerdasan

kognitif saja, namun akan lebih berarti apabila manusia hidup dapat

menyelesaikan permasalahan dan memberikan solusi dalam

masalahnya, dan hal demikian dilakukan dengan kecerdasan

emosinya.

Karakter adalah otot-otot yang sudah terbentuk yang

berkembang melalui proses panjang latihan dan kedisiplinan yang

dilakukan setiap hari.23 Selain itu, pendidikan karakter harus diberikan

sejak dini. Hal ini adalah agar karakter-karakter yang baik yang

diajarkan dapat mengakar dan melekat dalam diri anak hingga dewasa.

Ratna Megawangi juga menjelaskan bahwa dalam pendidikan

karakter ada tiga hal yang harus ditekankan, yaitu :24

Pertama, knowing the good. Dalam membentuk karakter, anak

tidak hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, akan tetapi

mereka harus dapat memahami apa makna dari perbuatan baik itu

(mengapa seseorang perlu melakukan hal tersebut). Dalam konteks ini

lebih ditekankan agar anak mengerti akan kebaikan dan keburukan,

mengerti tentang tindakan apa yang harus diambil serta mampu

memberikan prioritas hal-hal yang baik.

Kedua, feeling the good. Konsep ini lebih menekankan

bagaimana membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan

perbuatan baik. Anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan

yang baik yang dilakukan. Anak mempunyai kecintaan terhadap

kebajikan dan membenci perbuatan buruk. Jika aspek ini telah

tertanam dalam jiwa seseorang anak, maka hal tersebut bisa menjadi

kekuatan luas biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan

22 Wawancara, 10 Oktober 2007. 23 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, Loc. Cit., hlm. 105. 24 Ratna Megawangi, “Perbaiki Moral Bangsa Lewat Sekolah Karakter”, Mitranetra, 24

Mei 2006.

Page 64: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

52

kebaikan atau mengerem (kontrol) dirinya agar terhindar dari

perbuatan negatif, (jelas Ratna dalam wawancara).

Ketiga, acting the good. Pada aspek ini, anak dilatih untuk

melakukan perbuatan baik. Tanpa melakukan apa yang sudah

diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya anak

harus mampu melakukan kebajikan dan dapat terbiasa melakukannya.

Melakukan kebaikan tidak hanya menjadi sebatas pengetahuan, namun

dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata.

Pada intinya, bahwa pendidikan karakter adalah menekankan

pada tiga komponen, knowing the good, feeling the good, dan acting

the good. Knowing the good dapat dengan mudah diajarkan karena

hanya bersifat pengetahuan kognitif saja. Selanjutnya, feeling the

good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan yang dapat

menjadi sumber energi yang selalu bekerja membuat orang mau

melakukan hal atau sesuatu baik. Orang mau melakukan kebajikan

karena mencintai perilaku kebajikan tersebut. Setelah terbiasa

melakukan kebajikan, acting the good kemudian akan berubah menjadi

kebiasaan.

2. Nilai-Nilai Karakter Yang Perlu Ditanamkan dalam Pendidikan

Karakter

Selanjutnya, dengan metode ketiga komponen tersebut di atas,

Ratna Megawangi merangkumnya menjadi sembilan nilai karakter,

yang mana sembilan nilai karakter inilah yang kemudian diajarkan

pada anak-anak (siswa) yang disebut dengan sembilan pilar

karakter, yaitu :25

1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya

2. Kemandirian dan tanggung jawab

3. Kejujuran/amanah, bijaksana

4. Hormat dan santun

25 Ibid., hlm. 95.

Page 65: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

53

5. Dermawan, suka menolong dan gotong royong

6. Percaya diri, kreatif dan pekerja keras

7. Kepemimpinan dan keadilan

8. Baik dan rendah hati

9. Toleransi, kedamaian dan kesatuan

Sembilan pilar karakter tersebut adalah kunci daripada

pendidikan karakter. Karakter-karakter tersebut akan mudah dipahami

oleh anak apabila diajarkan secara terus menerus. Dari kesembilan

pilar tersebut tidak hanya diajarkan sebagai hafalan (kognitif) saja,

namun harus disertai dengan praktiknya. Misalnya pilar yang pertama,

Cinta Tuhan dan Ciptaan-Nya. Pada pilar ini ditunjukkan bagaimana

manusia harus menghargai sesama makhluk hidup sekalipun itu

tumbuhan.

Dalam masyarakat yang heterogen seperti di Indonesia, nilai-

nilai yang ditanamkan harus dapat menjadi perekat pada elemen-

elemen masyarakat yang berbeda, sehingga masyarakat dapat hidup

berdampingan secara damai dan tertib, yang akhirnya menciptakan

suasana yang sinergi dan yang sangat produktif bagi kemajuan

bangsa.26

Dari kesembilan pilar tersebut sesuai dengan yang diungkapkan

oleh Schopenhaver27 yang mempunyai prinsip yang sama dalam hal

pendidikan karakter. Hanya saja kecintaan kepada Tuhan dan alam

semesta beserta isinya dimasukkan dan ditempatkan sebagai pilar

pertama. Untuk di Indonesia, aspek ke-Tuhanan ini memang sesuai

dengan apa yang terdapat dalam dasar ideologi (Pancasila) yang

ditempatkan pada sila pertama.28

26 Ibid., hlm. 96. 27 Arthur Schopenhaver (1788-1860), bahwa siapa saja (manusia) yang hatinya dipenuhi

rasa kasih sayang pasti tidak akan melukai seorang pun, tidak membahayakan siapapun, tidakakan mengambil hak orang lain, ia akan selalu menghormati siapa saja, memaafkan semuanya sebisanya dan seluruh tindakannya akan menunjukkan karakter dari keadilan dan cinta kebajikan.

28 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, Op. Cit., hlm.102.

Page 66: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

54

Poin terpenting dalam pendidikan karakter adalah mengajarkan

anak untuk berperilaku sesuai dengan fitrahnya. Yang mana seperti

konsep fitrah adalah bahwa sesungguhnya manusia adalah berpotensi

baik. Meski demikian, potensi tersebut harus senantiasa dijaga, dirawat

dan dikembangkan sebagai usaha agar potensi baik itu selalu eksis.

Akhlakul karimah adalah tidak serta merta telah ada sejak manusia

lahir, melainkan harus dibentuk dengan berbagai instrumen.

Pendidikan karakter merupakan salah satu instrumennya dengan

mencakup nilai-nilai yang telah ditentukan.

Maka untuk dapat membentuk akhlakul karimah yang tidak

hanya sebagai pengetahuan kognitif saja, pendidikan karakter harus

dilakukan sejak usia dini, termasuk anak-anak usia sebelum sekolah

(prasekolah). Karena pada usia anak-anak akan sangat mudah

menerima segala rangsangan dari luar.

3. Pengembangan Potensi dengan Pendidikan Karakter

1) Pendidikan Karakter di Dalam Keluarga

Membangun masyarakat yang bermoral adalah tanggung

jawab semua pihak. Hal ini merupakan tantangan yang luar biasa

besarnya, maka perlu ada suatu kesadaran dari seluruh konstituen

yang melingkupi dan mempengaruhi kehidupan anak-anak, bahwa

pendidikan karakter adalah hal yang vital untuk dilakukan. Oleh

karena itu, pendidikan karakter harus dilakukan secara eksplisit

(terencana), terfokus dan komprehensif, agar mampu menciptakan

manusia yang berakhlakulkarimah (berkarakter baik).29

Keluarga adalah tempat pertama dan utama di mana

seorang anak dididik dan dibesarkan. Fungsi keluarga adalah

sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan

anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat

menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta

29 Ibid., hlm. 62.

Page 67: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

55

memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya

keluarga yang sejahtera.30

Keluargalah yang pertama dan utama memberikan

pendidikan secara intensif kepada anak. Pada dasarnya, dari dalam

keluargalah yang membentuk sifat dan kepribadian anak, yang

nantinya anak akan berkarakter baik atau buruk. Sekolah hanyalah

menjadi sarana pembantu daripada keluarga.

Peran keluarga dalam pendidikan, sosialisasi dan

penanaman nilai kepada anak adalah sangat besar. Peran keluarga

dalam hal ini adalah meliputi segala perilaku orang tua dan pola

asuh yang diterapkan dalam keluarga. Semua itu akan sangat

berpengaruh bagi perkembangan potensi anak dan juga pada

pembentukan akhlaknya.

Perilaku-perilaku ini adalah menyangkut bagaimana kasih

sayang, sentuhan, kelekatan emosi (emotional bonding) orang tua

terutama ibu. Perilaku-perilaku tersebut juga disertai dengan

penanaman nilai-nilai yang dapat mempengaruhi kepribadian

anak.31

Dalam pendidikan karakter di keluarga, kedua orang tua

harus terlibat, karena keterlibatan ayah dalam pengasuhan di masa

kecil sampai usia remaja juga menentukan pembentukan karakter

(akhlak) anak. Keluarga yang harmonis di mana ayah dan ibu

saling berinteraksi dengan kasih sayang dan selalu ada

kebersamaan keluarga, akan memberikan suatu lingkungan yang

kondusif bagi pembentukan akhlak anak.32

Meskipun secara umum anak lebih dekat dengan seorang

ibu, maka bukan berarti seorang ayah tidak lagi berhak atas anak.

Contoh kebersamaan antara ayah dan ibu juga akan dapat

menjadikan anak yang berhati lembut. Hal itu akan muncul dari

30 Ibid., hlm.63. 31 Ibid., hlm. 64. 32 Ibid., hlm. 65.

Page 68: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

56

dalam diri anak karena melihat contoh keharmonisan antara orang

tuanya. Anak tidak hanya membutuhkan figur lembut dan feminin

dari seorang ibu, tetapi juga figur seorang ayahnya sangat

berperan.

Menurut Ratna Megawangi, peran wanita (ibu) dalam

mendidik anak-anaknya memang harus dilakukan sejak mereka

dilahirkan, bahkan sejak anak masih di dalam kandungan. Ratna

Megawangi juga menyitir sebuah hadits yang berbunyi bahwa

“wanita adalah tiang negara”, yang dikaitkan dengan teori

sosiologi yaitu “keluarga adalah fondasi masyarakat”. Yang mana

ini berarti bahwa peran wanita dalam keluarga sangat penting

dalam proses pembentukan akhlak seorang anak. Ada beberapa

kebutuhan fundamental yang harus dipenuhi seorang anak agar

dapat berkepribadian baik dan ini semua sangat tergantung pada

peran perempuan sebagai ibu.

Beberapa kebutuhan dasar itu adalah :33

Pertama, adalah kebutuhan akan “kelekatan psikologis”

(maternal bonding). Salah satu kebutuhan terpenting anak yang

harus dipenuhi sejak lahir adalah kelekatan psikologis yang erat

dengan ibunya. Kelekatan psikologis ini penting agar anak dapat

membentuk kepercayaan kepada orang lain, merasa diri

diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman.

Kedua, adalah kebutuhan rasa aman, dimana aanak

memerlukan lingkungan yang stabil aman. Lingkungan yang

berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi. Salah

satu lingkungan yang tidak baik adalah hubungan antara pengasuh

dan anak yang tidak harmonis. Hal ini juga dapat mempengaruhi

pada pola nafsu makananak.

Ketiga, adalah kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental.

Hal ini memerlukan perhatian yangbesar dari orang tuanya dan

33 Ibid., hlm. 67-68.

Page 69: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

57

reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Seorang ibu sangat

perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya,

mengelus, menggendong dan berbicara kepada anaknya) di usia di

bawah 6 bulan, akan mempengaruhi sikap bayinya menjadi anak

yang gembira, antusias mengeskplor lingkungannya dan

menjadikannya anak yang kreatif.

2) Pendidikan Karakter di Sekolah

Sekolah merupakan tempat kedua setelah keluarga sebagai

tempat pendidikan. Selain keluarga yang sangat berperan dalam

membentuk akhlak anak, maka faktor sekolah juga tidka kalah

penting. Kematangan secara emosi-sosial juga sangat dipengaruhi

oleh lingkungan sekolah, yang mana mulai dari usia prasekolah

sampai remaja.

Sekolah adalah tempat yang sangat strategis untuk

pendidikan karakter karena anak-anak dari semua lapisan akan

mengenyam pendidikan di sekolah. Selain itu anak juga akan

menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah, sehingga apa

yang didapatkannya di sekolah akan mempengaruhi pembentukan

karakternya.34

Menurut Ratna Megawangi, pendidikan karakter disekolah

harus mengandung nilai-nilai yang menjadi acuan nilai moral.

Yang mana dalam pendidikan karakter selalu ada nilai-nilai yang

ditanamkan pada anak. Nilai-nilai ini adalah terdiri 9 nilai karakter

(yang telah dibahas pada sub bab 2). Nilai-nilai tersebut dijadikan

bahan pelajaran, diskusi, dan acuan model yang harus ditujukan

oleh guru-guru dan seluruh staf disekolah.35

Pendidikan karakter di sekolah yang berhasil tergantung

dari komitmen kepala sekolah. Model pendidikan karakter yang

dikembangkan oleh Ratna Megawangi adalah sebuah model

34 Ibid.,hlm. 78. 35 Ibid., hlm. 110.

Page 70: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

58

pendidikan karakter secara eksplisit dan bersifat komprehensif.

Yang mana model ini memang dikhususkan untuk anak usia dini

termasuk prasekolah :

a. Memakai acuan nilai dari 9 nilai karakter

b. Mengajarkan sembilan nilai karakter tersebut dalam waktu 2

tahun sekolah di mana setiap tema pilar ditugas secara

bergantian setiap minggu sekali.

c. Menggunakan kurikulum karakter (kurikulum eksplisit) yang

diterapkan dengan refleksi 9 pilar setiap hari, yaitu dengan

menerapkan prinsip knowing the good, loving the good dan

desiring the good.

d. Menggunakan sistem “Pembelajaran Terpadu Berbasis

Karakter”

e. Menggunakan teori DAP (Developmentally Appropriate

Practices). Pada intinya teori ini adalah belajar dengan

menyenangkan. Suasana belajar yang menyenangkan dapat

mengurangi stres, meningkatkan motivasi anak, dan

meningkatkan rasa kemampuan anak yang semuanya ini dapat

mendukung pembentukan karakter (akhlak) anak.

f. Menerapkan co-parenting. Ini merupakan usaha pemberitahuan

sekolah kepada orang tua tentang aktifitas anak di sekolah dan

orang tua melanjutkan secara praktis di rumah.36

a) Pendidikan Karakter Secara Eksplisit (Terencana)

Salah satu kurikulum pendidikan karakter yang secara

eksplisit dijalankan adalah metode pendidikan STAR (Stop,

Think, Act and Review) yang dikembangkan oleh Jefferson

Center for Character Education yang berkedudukan di

California, Amerika Serikat. Metode ini hanya memerlukan

36 Ibid., hlm. 106.

Page 71: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

59

waktu sampai 10 sampai 15 menit sehari sebelum kelas

dimulai.37

Di Indonesia yang dikembangkan oleh Ratna

Megawangi metode secara eksplisit ini yaitu dengan

pengajaran 9 nilai karakter yang diberikan sepanjang tahun

selama anak-anak di kelas; dengan cara:

- Anak-anak diberikan refleksi pilar selama 15-20 menit

yang temanya bergantian setiap 3 minggu.

- Anak-anak dikondsikan untuk mengerti secara jelas apa arti

setiap pilar, bagaimana menimbulkan perasaan cinta

terhadap nilai-nilai pilar yang sedang diajarkan, dan

bagaimana mempraktikannya.

- Pembelajaran dilaksanakan dengan suasana yang

menyenangkan yaitu dengan diskusi terbuka, bermain,

bernyanyi, membaca buku-buku cerita dan latihan dalam

tindakan nyata.

Untuk kurikulum 9 pilar karakter ini dilengkapi oleh

120 cerita anak-anak yang terbagi sesuai dengan tema pilar dan

buku-buku lembar kerja anak yang menarik untuk anak-anak.38

Peran buku cerita sangat besar dalam pendidikan karakter.

Cerita-cerita yang bagus akan memperluas pikiran dan hati para

anak.

b) Konsep Developmentally Appropiate Practices (DAP)

Sistem pembelajaran DAP adalah memperlakukan anak

sebagai individu yang utuh (the whole child) yang melibatkan 4

komponen : pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills),

sifat alamiah (dispositions), dan perasaan (feelings), karena

37 Ibid.,hlm. 119. 38 Ibid., hlm. 120.

Page 72: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

60

keempat komponen tersebut bekerja secara bersamaan dan

saling berhubungan.39

Pengetahuan (knoeldge) adalah adalah pembelajran

yang melibatkan ranah kognitif. Dalam hal ini anak/siswa

diberikan materi yang dapat difahami dengan pemikirannya,

misalnya sifat pemaaf itu baik. Pada bidang keterampilan

(skills) adalah pembelajaran dengan melibatkan daya

kreativitasnya anak. Dalam ranah sifat alamiah (disposition),

sifat alamiah anak yang senang dengan bermain digunakan

untuk belajar secara kongkrit dengan alat-alat permainannya

misalnya. Dan dalam ranah perasaan (feeling) adalah sebagai

sumber energi dari dalam diri anak untuk bertindak sesuai

dengan prinsip-prinsip moral. Apabila sistem pembelajaran di

sekolah dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan,

maka perkembangan intelektual, sosial, dan karakter (akhlak)

anak dapat terbentuk secara simultan.

Dalam sistem DAP lebih menekankan kepada daya

kreatifitas dan belajar melalui kesenangan bermain pada anak-

anak. Menurut Ratna, bermain adalah cara yang paling efektif

untuk perkembangan anak pada usia prasekolah dan pada masa

sekolah dasar, baik di bidang akademik (kognitif), maupun

pada aspek fisik dan sosial-emosi.

Pendidikan karakter yang sesuai dengan prinsip DAP

untuk anak usia dini adalah dengan melibatkan aspek motorik,

emosi, sosial, kreatifitas, dan intelektual anak. Model ini

menekankan pentingnya prinsip belajar yang menyenangkan.

Dalam hal ini para guru harus dapat membina hubungan baik

yang dekat dengan anak-anak dan mengetahui sifat-sifat anak

secara individu, sehingga pendekatan yang dilakukan sesuai

dengan sifat spesifik anak. Guru ditekankan untuk membangun

39 Ibid., hlm. 123.

Page 73: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

61

rasa percaya diri anak dengan cara berdiskusi dan menghargai

setiap pendapat anak.40

c) Sistem Pembelajaran Terpadu Berbasis Karakter

Sistem pembelajaran ini adalah salah satu aspek dari

DAP. Siswa diajak belajar aktif, bukan dianggap sebagai

bejana kosong yang harus diisi. Sistem DAP dihubungkan

dengan kurikulum pembelajaran terpadu, agar anak-anak dapat

menjadi manusia yang ingin belajar seumur hidup, sehingga

dapat berpikir secara kritis, imajinatif, dapat mengungkapkan

pertanyaan-pertanyaan kritis, dapat bekerjasama, dan dapat

menjadi insan yang peduli.

Sama halnya dengan sistem DAP, disini anak-anak

memang dijadikan pusat kegiatan, yaitu dengan melibatkan

mereka dalam pengalaman konkrit. Dengan melibatkan anak

dalam pengalaman konkrit, maka subyek yang diajarkan dapat

dengan mudah dimengerti. Dan juga tidak mudah hilang dari

memori anak, karena mereka ikut merasakan dan melakukan

secara langsung. Hal yang dilakukan secara langsung oleh

anak-anak akan tersimpan dalam rekaman ingatan mereka

sehingga mudah diingat.

Sebagaimana dicontohkan oleh Ratna dalam bukunya,

adalah cara dari seorang guru matematika dalam mengajar,

yaitu :

Ketika para siswa diberikan pelajaran Matematika tentang bagaimana membuat grafik, para siswa diajak ke lapangan dan disuruh membuat garis koordinat X dan Y. Kemudian setiap siswa disuruh berdiri diantara kedua koordinat tersebut satu persatu, sehingga mereka berpura-pura menjadi titik-titik dalam sebuah pola garis.41

40 Ibid., hlm. 124. 41 Ibid., hlm. 127.

Page 74: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

62

Dengan cara melibatkan anak aktif seperti ini mempermudah

anak dalam memahami pelajaran, karena anak akan merasa

nyata bahwa pelajaran itu tidak sekedar dibaca dan

dibayangkan. Dan akan melekat dalam daya ingat, serta siswa

tidak akan mudah merasa bosan dalam belajar.

4. Pendidikan Karakter yang Sesuai dengan Tahapan

Perkembangan Moral Anak Seperti halnya aspek perkembangan motorik, mental, dan sosial

anak yang berjalan secara bertahap dan memerlukan pendekatan yang patut sesuai dengan tahapan umur anak, pendidikan karakter yang diberikan kepada anak juga harus memperhatikan tahap-tahap perkembangan moral anak. Pada anak usia prasekolah, proses sosialisasi pada tahapan ini dapat dilakukan dengan metode menumbuhkan kecintaan kepada kebajikan dengan contoh-contoh konkrit, seperti membaca buku cerita, permainan, musik, dan menyanyi, dan sebagainya.

Menurut Ratna, ada 6 fase dalam perkembangan moral anak, yaitu:42 a. Fase bayi (membangun fondasi moral)

Pada fase bayi belum mengerti tentang moral (amoral), sehingga belum mengerti arti baik dan buruk. Pada fase ini peran orang tua sangat berpengaruh, karena fondasi moral dibentuk pada fase ini. Pada awal kehidupan bayi, kedekatan ibu dan anak sangat diperlukan.

Pada fase ini, anak sangat membutuhkan cinta dan kasih sayang dari orang disekitarnya terutama dari orang tuanya. Kekurangan cinta pada fase ini akan berakibat negative pada perkembangan psikologis anak. Anak-anak yang mempunyai kelekatan psikologis yang erat dengan ibunya mempunyai lebih baik, yaitu mudah bergaul, mudah diatur, mempunyai motivasi belajar tinggi, antusias dengan aktifitas di sekolah, dibandingkan

42 Ibid., hlm. 143

Page 75: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

63

dengan anak-anak yang ketika bayi kurang lekat hubungannya dengan ibunya.

b. Fase 1 (berfikir egosentris) Pada fase 1 anak berfikir sangat egois (usia antara 1 - 5

tahun). Pendidikan karakter pada fase ini bisa dilakukan dengan memberikan insentif agar anak berperilaku baik (misalnya dengan pujian), memberikan arahan yang jelas tentang bagaimana perbuatan yang baik (misalnya, anak yang baik tidak akan memukul temannya), memberikan aturan/sanksi yang jelas (misalnya, anak yang berteriak tidak sopan tidak akan diberi kesempatan untuk menggambar di papan tulis).

Anak-anak fase ini juga sudah mempunyai kapasitas untuk berempati, karenanya cukup efektif seorang diajarkan untuk melihat dari perspektif orang lain (misalnya, ibumu akan sedih kalau kamu berbohong).

c. Fase 2 (patuh tanpa syarat) Fase ini adalah anak percaya sekali kepada definisi baik

dan buruk menurut pigur otoritas, seperti orang tua atau guru. Anak-anak pada usia ini (antara 4,5 - 6 tahun) lebih mudah menurut dan diajak kerjasama, sehingga mereka mudah mengerjakan perintah orang tua atau guru.

Pada fase ini pendidikan karakter dapat diberikan secara control eksternal dimana guru dapat secara otoritatif mengajarkan moral baik atau buruk. Mereka percaya sekali bahwa apa yang dikatakan guru adalah benar adanya, maka penekanan pentingnya perilaku baik dan sopan akan sangat efektif dilakukan pada fase ini. Akan tetapi anak juga harus pula diberikan peluang untuk mengerti alasan-alasan lain di luar alasan otoritas guru (misalnya, alasan mengapa mencuri tidak tidak baik).

d. Fase 3 (memenuhi Harapan Lingkungan) Pada tahapan ini kebenaran ditentukan oleh lingkungan

sebayanya (peer group). Dalam fase ini, anak-anak ingin diterima oleh kawan-kawannya, sehingga tindakannya cenderung ingin

Page 76: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

64

disesuaikan dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan sebayanya. Pada masa ini, anak sudah mengerti moral baik dan buruk (golden rule), tetapi lebih didorong oleh keinginan untuk dikatakan anak baik oleh lingkungannya. Masa ini berlangsung santara usia 8 ½ sampai 14 tahun.

Dalam fase ini, orang tua atau pendidik agar dapat membantu anak meningkatkan perkembangan moral ke tahap selanjutnya dengan memelihara hubungan yang baik dengan anak dengan menjalin komunikasi, turut serta dalam memecahkan masalahnya, dan membantu mereka untuk menemukan identitas dirinya.

e. Fase 4 (Ingin Menjaga Kelompok) Pada masa ini anak merasa bahwa ia mempunyai tugas

untuk menjaga keutuhan kelompoknya. Orang pada tahapa ini ingin menjalankan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat dimana ia berada, karena ingin menjaga ketertiban masyarakat. Fase ini adalah usia remaja.

Para orang tua dan pendidik dapat membantu anak agar dapat mencapai tahapan moral tertinggi, yaitu berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.

f. Fase 5 (Moralitas tidak Berpihak) Fase ini adalah tahapan moral tertinggi yang seharusnya

dicapai manusia, karena mengacu pada prinsip moral universal, yaitu tergantung pada kepentingan pribadi, atau kepentingan kelompok. Fase ini dicapai pada usia 20 tahun. Orang yang sudah mencapai tahap ini akan mengacu kepada moral hati nurani. Ratna menjelaskan bahwa menurut orang, pada tahapan ini : “Saya harus menghormati setiap manusia dan memenuhi hak orang lain, serta harus setia kepada sistem yang melindungi hak asasi, bukan karena kepentingan pribadi atau kelompok atau sistemnya.

Page 77: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

65

BAB IV

ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT RATNA

MEGAWANGI DAN RELEVANSINYA PADA PEMBENTUKAN

AKHLAK ANAK PRASEKOLAH

A. Alasan Muncul dan Diperlukannya Pendidikan Karakter

Dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 pada pasal 3 telah dijelaskan

tentang fungsi dari pendidikan nasional, yang pada intinya pendidikan

bertujuan mengembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh. Yaitu

potensi yang berupa akhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri.1 Hal

ini telah menunjukkan bahwa sebenarnya pendidikan diharapkan mampu

menghasilkan manusia yang tidak hanya cerdas (kognitif) saja tetapi juga

berakhlak mulia, manusia yang bertanggung jawab dan berguna bagi tanah air.

Menurut Ratna Megawangi, sebenarnya isi dan materi Pelajaran Moral

Pancasila dan Agama di sekolah-sekolah sudah bagus. Tetapi pendekatan yang

dipakai hanya mengandalkan kemampuan kognitif saja, sehingga semua anak

hanya mengetahui mana yang baik dan yang buruk pada tingkatan kognisi.

Oleh karena itu diperlukan suatu pendidikan karakter yang eksplisit, yang

mencakup bukan saja kesadaran atau pengetahuan tentang baik dan buruk,

tetapi juga mencakup bagaimana menumbuhkan cinta kepada kebajikan, dan

melatih secara terus menerus perbuatan baik dalam tindakan nyata.2

Pendidikan karakter tersebut sebenarnya sama dengan fungsi dari

pendidikan nasional seperti yang telah diuraikan. Hanya saja pendekatan yang

digunakan belum tepat, yakni masih saja menekankan aspek kognitif.

Sehingga siswa belum secara tepat memahami akan apa yang disampaikan

guru, karena dalam penyampaiannya pun masih hanya sebatas penguraian

materi. Akibatnya seperti yang telah sering terjadi adalah semakin marak

tindakan-tindakan negatif yang semakin anarkis. Seperti tawuran antar siswa,

perang antar etnis dan kepercayaan (agama), merupakan sedikit contoh

1 Undang-Undang Sisdiknas, Op. Cit., hlm. 7 2 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, Op. Cit., hlm. vii

Page 78: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

66

tindakan demoralisasi. Ini semua adalah karena buruknya kualitas akhlak yang

dimiliki.

Seperti yang diungkapkan Abdullah Gymnastiar, bahwa keburukan

akhlak sangat berpotensi memicu timbulnya perilaku-perilaku negatif. Akhlak

sangat berkaitan dengan pola pikir, sikap hidup, dan perilaku manusia. Jika

akhlak dari seseorang individu buruk, maka sangat mungkin ia akan

melahirkan berbagai perilaku yang dampaknya dapat merugikan orang lain.3

Pendidikan selama ini masih cenderung mengajarkan pada dasar-dasar

agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum

sepenuhnya disampaikan. Metode pengajarannya masih cenderung berpusat

pada pendekatan kognitif, yaitu hanya mewajibkan siswa didik untuk

mengetahui dan menghafalkan konsep dan kebenaran tanpa menyentuh

perasaan, emosi, dan nuraninya.4

Dalam hal ini, Ratna berpikiran bahwa pendidikan tentang moral dan

agama masih sebatas pengajaran materi yang hasil akhirnya adalah pada nilai

atau prestasi. Sehingga siswa memahaminya pun juga sebagai pelajaran biasa

yang harus dipelajari, dibaca, dan bahkan dihafalkan. Padahal pendidikan

moral dan agama bertujuan untuk membentuk siswa yang berkepribadian baik.

Akibatnya sama juga, bahwa siswa akan merasa terbebani untuk mendapatkan

nilai yang tinggi, bukan berakhlak baik. Sehingga walaupun mendapatkan

nilai yang tinggi, tetapi akhlaknya rendah.

Seperti yang diungkapkan as-Syantut dalam bukunya terjemahan

Rosyadi, bahwa manusia sekarang sedang menghadapi krisis moral. Dusta,

tipu daya, korupsi, maksiat adalah diantara penyakit moral yang telah

menyebar di masyarakat. Meskipun seseorang beribadah dan berdzikir di

masjid, kemudian keluar dari masjid ia menjadi orang yang berbeda (tidak

sesuai dengan ibadah dan dzikirnya).5 Tingkah laku dan akhlak mulia adalah

3 Abdullah Gymnastiar, Refleksi Untuk Membangun Nurani Bangsa, (Bandung: MQS

Publishing, 2004), hlm. 36 4 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, Op. Cit. 5 Khalid Ahmad asy-Syantut, Daurul Bait fi Tarbiyatil Athfalil Muslim, Terjm. Rosyad

Nurdin, Rumah: Pilar Utama Pendidikan Anak, (Jakarta: Robbani Press, 2005), hlm. 54

Page 79: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

67

cermin perkembangan yang baik dari rohani, jiwa dan akal. Jika tingkah

lakunya buruk berarti seseorang itu jiwa dan rohani, serta akal tidak

mengalami perkembangan atau bahkan potensi baik yang dimilikinya dalam

keadaan stagnan.

Diperlukannya pendidikan karakter adalah untuk memberikan

pengetahuan akan mana yang baik dan mana yang buruk, serta membuat sifat-

sifat baik mengakar di dalam diri anak, sehingga membuatnya menjadi insan

kamil. Oleh karena itu, pendidikan karakter adalah usaha untuk mencegah

timbulnya sifat-sifat buruk yang dapat menutupi fitrah manusia, serta melatih

anak untuk terus melakukan perbuatan baik sehingga mengakar kuat dalam

dirinya dan akan tercermin dalam tindakannya yang senantiasa melakukan

kewajiban.6

Dari uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan karakter

adalah sebagai salah satu dari unsur pendidikan yang bertujuan mengajarkan

dan menanamkan nilai-nilai karakter baik. Yang dari hal tersebut diharapkan

mampu membawa perubahan atau membentuk akhlak yang baik dari individu

dan untuk membentuk bangsa yang baik.

Mengenai pentingnya pendidikan karakter, Azyumardi Azra dalam

bukunya yang berjudul Paradigma Baru Pendidikan Nasional, menjelaskan

bahwa munculnya kembali pendidikan budi pekerti (karakter) adalah berkaitan

erat dengan semakin berkembangnya pandangan dalam masyarakat luas,

bahwa pendidikan nasional telah gagal dalam membentuk peserta didik yang

memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Dan kemerosotan akhlak,

moral, dan etika peserta didik disebabkan gagalnya pendidikan agama di

sekolah. Menurutnya, pendidikan (sekolah) bertanggung jawab bukan hanya

dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan

teknologi, tetapi juga dalam akhlak dan kepribadian.7

Sehingga jelas bahwa munculnya pendidikan karakter juga merupakan

sebuah usaha untuk memperbaiki kemerosotan moral dan membentuk akhlak

6 Ratna Megawangi, Op. Cit. 7 Azyumardi Azra, Op. Cit., hlm. 178

Page 80: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

68

mulia. Pendidikan yang menanamkan nilai-nilai, pendidikan yang tidak hanya

mencetak manusia yang berpengetahuan, akan tetapi juga berperilaku mulia.

a. Pendidikan Karakter untuk Merawat Fitrah Anak

Seorang anak lahir dalam keadaan suci. Ada yang berpendapat

bahwa pembawaan (hereditas) yang akan membentuk perilaku anak,

adapula yang berpendapat lingkungan lebih dominan. Bahkan ada yang

netral bahwa antara hereditas dan lingkungan yang membentuk perilaku

dan pribadi anak.

Fitrah manusia dalam Qur’an surat ar-Rum ayat: 30 dijelaskan

bahwa fitrah manusia adalah suci, yang maksudnya adalah beragama,

tauhid (Islam). Dalam ayat tersebut yang mana secara eksplisit dapat

dipahami bahwa manusia sejak awal adalah beragama. Namun ketika telah

lahir dan dewasa, banyak faktor yang merubah fitrah tersebut.

Dalam hal ini, Ratna Megawangi berpendapat bahwa fitrah

manusia cenderung kepada kebaikan, akan tetapi lingkungan dimana anak

dibesarkan dapat mengotori fitrah tersebut. Sehingga perlu adanya usaha

untuk merawat fitrah anak agar tetap berpotensi baik.

Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa fitrah adalah anugerah yang

harus dijaga., dirawat, dan ditumbuhkan agar manusia bisa tumbuh

menjadi insan kamil. Karena tidak mungkin dapat menjadi manusia

sempurna (akhlaknya) tanpa ada usaha-usaha berupa pembinaan. Dalam

hal ini orang tua sangat berperan penting.

Untuk merawat dan menjaga fitrah anak harus dilakukan sejk dini

agar dapat benar-benar melekat pada jiwa anak. Hal itu dapat dilakukan

dengan penanaman nilai-nilai kebajikan.

Menurut Ratna, bahwa perawatan fitrah anak dapat diumpamakan

seperti pohon kecil yang mempunyai potensi untuk menjadi pohon besar.

Oleh sebab itu, sejak usia dini, anak harus dirawat dan dididik dengan

Page 81: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

69

nilai-nilai yang akan menyuburkan fitrah (kesucian manusia) agar tumbuh

kokoh. Kemudian disirami dan diberi “pupuk” berupa nilai-nilai akhlak.8

Dari uraian tersebut, sebenarnya yang dimaksudkan adalah, bahwa

fitrah anak yang dari lahir suci dan berpotensi baik itu dapat dapat dirawat,

dijaga, dan ditumbuhkan dengan penanaman nilai-nilai kebajikan yang

diwujudkan dalam sembilan nilai karakter. Yang artinya, perawatan fitrah

anak (menurut Ratna Megawangi) dapat dilakukan dengan pendidikan

karakter. Karena, pendidikan karakter selain memberikan materi juga

memberikan contoh atau refleksi dari materi yang diajarkan. Sehingga,

seorang anak dapat benar-benar memahami dan melakukan apa yang

diberikan orang tua dan pendidik.

b. Pendidikan Karakter Sebagai Solusi Pembangun Karakter Bangsa

Krisis multidimensi di Indonesia sampai saat ini masih marak, atau

bahkan menjadi lebih parah. Seperti adanya tawuran pelajar, keterpurukan

ekonomi, ketidakstabilan politik, ancaman disintegrasi, dan juga korupsi

yang sangat membudaya. Hal ini menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia

telah mengalami keadaan yang sangat buruk, bisa dikatakan kemunduran,

bukan kemajuan. Ironis sekali ketika Bangsa ini sedang ingin bangkit dari

keterpurukan, dan hendak menata kembali keadaannya, tetapi masih saja

marak perilaku-perilaku menyimpang.

Abdullah Gymnastiar mengungkapkan, dalam bukunya, bahwa

sesungguhnya yang terjadi saat ini adalah krisis akhlak. Akhlak sangat

berkaitan dengan pola pikir, sikap hidup, dan perilaku manusia. Jika

akhlak dari seorang individu buruk, maka sangat mungkin ia akan

melahirkan berbagai perilaku yang dampaknya dapat merugikan orang

lain. Dalam konteks ini, keterpurukan bangsa bisa jadi diakibatkan oleh

keterpurukan akhlak dari individu-individu yang ada didalamnya.9

Selanjutnya diungkapkan pula, bahwa dengan keadaan tersebut

maka perlu adanya upaya perbaikan akhlak. Salah satu aspek penting yang

8 Ratna Megawangi, Yang Terbaik untuk Buah Hatiku, Op. Cit., hlm. 5 9 Abdullah Gymnastiar, Op. Cit.

Page 82: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

70

sangat terkait dengan upaya perbaikan akhlak adalah pola pendidikan,

yang mana pendidikan dalam keluarga dan sekolah. Jika kesuksesan anak

diukur dari nilai atau prestasi saja, maka akibatnya akhlak terlupakan.10

Dalam pendidikan karakter jelas telah diungkapkan pada bab

sebelumnya, bahwa pendidikan karakter tidak hanya menekankan pada

kecenderungan kognitif saja, akan tetapi juga menekankan pada

pembentukan akhlaqul karimah. Dan salah satu alasan dari pendidikan

karakter adalah juga dilatarbelakangi atas pemikiran (Ratna Megawangi)

bahwa Bangsa Indonesia semakin terpuruk dengan semakin maraknya

tindakan korupsi. Konsep pendidikan karakter adalah merupakan salah

satu solusi terpuruknya moral bangsa. Melalui pendidikan karakter yang

menekankan pada tiga aspek (knowing the good, loving the good, and

acting the good) yang diberikan sejak usia dini pada anak-anak,

diharapkan akan mampu menghasilkan produk pendidikan yang baik dan

berbudi pekerti baik.

B. Analisis Pemikiran Ratna Megawangi Tentang Pendidikan Karakter

Dalam bukunya, Pendidikan Karakter, Ratna mengungkapkan bahwa:

Sebuah peradaban akan menurun apabila terjadi demoralisasi pada masyarakatnya. Faktor moral (akhlak) adalah hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah masyarakat yang tertib, aman, dan sejahtera. Salah satu kewajiban utama yang harus dijalankan oleh para orang tua dan pendidik adalah melestarikan dan mengajarkan nilai-nilai moral kepada anak-anak. Nilai-nilai moral yang ditanamkan akan membentuk akhlak mulia yang merupakan fondasi penting bagi terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang beradab dan sejahtera.11

Dari ungkapan tersebut, menjelaskan bahwa betapa pentingnya faktor akhlak

dalam perkembangan sebuah bangsa. Ratna berpendapat bahwa bangsa yang

lemah akan akhlak masyarakatnya, maka bangsa tersebut akan terpuruk. Hal

ini pulalah yang menjadi pemikiran utama Ratna tentang pendidikan karakter.

10 Ibid., hlm. 37 11 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, Op. Cit., hlm. 1

Page 83: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

71

Konsep pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Ratna (knowing the

good,loving the good, and acting the good) adalah penerapan dari konsep

Thomas Lickona yaitu, moral knowing, moral feeling, and moral action. Dan

dalam konsepnya, Ratna melengkapi dengan pengajaran dan pembelajaran

sembilan nilai karakter.

Menurut Ratna, untuk mencapai pada peradaban lebih baik harus

dimulai dari pembangunan individu. Setiap individu harus memiliki karakter

baik (akhlak mulia). Dan pembangunan individu tersebut dimulai dari hal

yang paling mendasar adalah dengan memelihara fitrah manusia yang mana

fitrah tersebut cenderung pada kebaikan. Pendidikan karakter adalah salah satu

usaha dalam memelihara fitrah tersebut. dalam hal ini Ratna berpendapat dan

memiliki pemikiran bahwa fitrah manusia yang cenderung baik tidak

menjamin seseorang akan berakhlak baik. Seorang pelajar yang telah

menerima pendidikan agama dan moral masih dapat melakukan perbuatan

tercela. Bahkan para pejabat lebih parah dengan melakukan korupsi.

Ratna memiliki pemikiran yang kritis, kekritisannya dalam menanggapi

fenomena bangsa ini menjadikannya ingin melakukan sesuatu yang konkrit

bagi bangsa, yakni membangun bangsa berkarakter (baik). Dengan hal itu

timbul pemikiran bahwa untuk mewujudkan keinginannya, maka harus

dilakukan dari sesuatu yang paling mendasar dari dalam diri masing-masing

individu.

Namun begitu, pendidikan karakter tidak akan maksimal jika dilakukan

oleh satu institusi atau lembaga sekolah saja. Dalam hal ini, pendidikan

karakter masih ditujukan untuk anak-anak. Karena pembentukan akhlak akan

lebih baik diawali sedini mungkin.

Meskipun Ratna Megawangi tidak berlatar belakang pendidikan yang

intens dalam hal pendidikan, tetapi sifat kritisnya dalam menanggapi keadaan

bangsa ini cukup menonjol. Dia melihat bahwa pendidikan budi pekerti

selama ini belum berhasil. Menurutnya, buruknya kondisi moral masyarakat

pada masa reformasi tahun 1998 masih ada dan semakin menjadi. Bangsa

Indonesia dipenuhi rasa marah, caci maki, curiga, dan sebagainya. Pendidikan

Page 84: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

72

budi pekerti hanyalah sebatas teori tanpa adanya refleksi dari pendidikan

tersebut. Dampaknya, anak-anak tumbuh menjadi manusia yang tidak

memiliki akhlak baik. Keadaan tersebut menjadikan Ratna yakin bahwa ada

yang salah dengan pendidikan yang diterapkan selama ini.

“Orang yang cerdas adalah orang yang mampu menyelesaikan masalah

dalam hidupnya dan juga mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat”.

Pendidikan karakter memberikan pengajaran nilai-nilai yang juga

direfleksikan melalui contoh dan tindakan yang melibatkan siswa secara.12

langsung. Dengan begitu, siswa selain cerdas dalam ranah kognitif juga cerdas

dalam menghadapi keadaan hidupnya.

Selanjutnya, Ratna mengungkapkan bahwa anak yang kualitas

karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi.-sosialnya

rendah. Maka penerapan karakter di usia dini merupakan hal yang sangat

penting untuk dilakukan. Ratna mempelopori pendidikan ini sebagai solusi

untuk membangun bangsa, bangsa yang berkarakter baik.

Seperti yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, Ratna

berpendapat bahwa pendidikan karakter adalah yang baik selama ini kurang

mendapat penekanan dalam sistem pendidikan negara. Pengajaran yang

disampaikan hanya sebatas teori tanpa adanya refleksi dari pengajaran yang

disampaikan. Sehingga anak tumbuh menjadi manusia yang tidak memiliki

karakter, dan bahkan lebih buruk lagi menjadi generasi tidak bermoral. Pada

kenyataannya, bukti-bukti kongkrit telah banyak, banyak anak-anak kecil

berbicara layaknya orang-orang dewasa, banyak anak/siswa dibawah umur

melakukan tindakan amoral (sex), narkoba, dan sebagainya.

Dengan kondisi semacam itu, tampaknya pendidikan karakter yang

dipelopori Ratna Megawangi cukup tepat. Karena didalamnya juga

mengajarkan kecerdasan emosi yang dalam refleksinya adalah menumbuhkan

rasa empati pada anak (feeling the good). Konsep yang dibangun adalah habit

of the mind, habit of the heart, and habit of the hands. Yang mana dalam

konsep ini, intinya bahwa segala tindakan baik adalah dilakukan atau diawali

12 Ratna Megawangi, Character Parenting Space, Op. Cit., hlm. 59

Page 85: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

73

dengan membiasakan dan mengulang terus menerus sampai menjadi suatu

keadaan yang terbiasa dilakukan. Misalnya, seorang anak yang dibiasakan

sebelum tidur agar menggosok gigi, maka suatu ketika akan merasa janggal

jika tidak melakukannya.

Jika melihat kultur dan budaya di Indonesia, pendidikan model ini

adalah memerlukan usaha yang keras. Untuk itu, sudah merupakan kewajiban

smampu bekerjasama untuk mewujudkannya. Lebih lanjut, Ratna menegaskan

bahwa pendidikan ini juga melibatkan orang tua yang mengawasi

perkembangan anak. Yang diberikan sekolah adalah laporan untuk orang

tuanya, dan orang tua melanjutkan di rumah.

Dalam artian, bahwa orang tua harus menjadi partner dalam membentuk

karakter anak, bahkan mempunyai peran utama. Dalam hal ini adalah

kerjasama antara sekolah dengan orang tua.

Seperti yang disampaikan Azyumadi Azra dalam bukunya, bahwa

pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak

rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah lebih luas

(masyarakat). Karena itu, agar pendidikan karakter berhasil, maka antara

ketiga lingkungan tadi harus saling berkesinambungan dan harmonis.13

C. Relevansi Pendidikan Karakter dalam Pembentukan Akhlak Anak

Prasekolah

Seorang anak pertama kalinya memperoleh pendidikan dalam keluarga.

Dengan demikian keluarga dapat dikatakan sebagai peletak dasar bagi

pendidikan seorang anak. Artinya keluarga sangat berperan dalam

perkembangan kepribadian anak. Namun pada masa sekarang sekolah

dibutuhkan karena masyarakat modern dengan kebudayaan dan peradaban

yang telah maju menawarkan demikian banyak kepandaian dengan kerumitan

dan kompleksitas yang tinggi sehingga tidak mungkin lagi mempelajari

kepandaian yang diperlukan hanya sambil lalu dalam praktek.

13 Azyumardi Azra, Op. Cit.

Page 86: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

74

Dalam bukunya Ratna Megawangi, diungkapkan bahwa anak-anak usia

prasekolah sudah dapat diberikan pendidikan karakter dengan mengaktifkan

rasa empati anak yang sudah ada, yang merupakan bagian dari fitrahnya.

Memberikan cinta dan kasih sayang saja tidak cukup, tetapi anak perlu

diajarkan disiplin dan diarahkan kepada hal-hal yang baik terutama ketika

anak semakin besar.14 Arah tersebut bisa berupa contoh-contoh yang baik,

misalnya dengan menimbulkan rasa sensitifitas anak, “Ibu Guru akan sedih

dan kecewa kalau kamu memukul kawanmu”, atau “Anak yang baik akan

saling mengasihi dengan teman-temannya.”

Selanjutnya diungkapkan pula, bahwa anak usia 2-3 tahun sudah dapat

diperkenalkan sopan santun, dan perbuatan baik dan buruk. Namun pada usia

ini agak sulit diatur, karena pada fase ini selain bersifat egois, anak juga

senang melanggar aturan, memamerkan diri, dan senang memaksakan

keinginannya. Akan tetapi anak pada fase ini bisa mengerti kaidah moral (baik

atau buruk) bila diajarkan. Mereka mau berperilaku baik karena ingin

mendapatkan hadiah atau pujian, dan menghindari hukuman. Pendidikan

karakter pada fase ini bisa dilakukan dengan memberikan insentif agar anak

berperilaku baik (misalnya dengan pujian), memberikan arahan yang jelas

tentang bagaimana perbuatan yang baik (misalnya, anak yang baik tidak akan

nakal).15

Usia anak-anak adalah masa yang sangat penuh dengan pengalaman baru

bagi mereka. Seorang anak memang dilahirkan suci, sehingga diperlukan

penjagaan agar kesucian itu tetap eksis. Dengan keadaan yang suci itu pula

anak sangat mudah menyerap semua rangsangan dari luar dirinya.

Pendidikan karakter akan sangat efektif jika diberikan sejak usia dini,

karena di usia tersebut akan mudah ditangkap oleh pikiran mereka.

Penanaman nilai-nilai kebaikan di usia ini akan sangat membantu dalam

pembentukan akhlaknya. Karena sesuai dengan uraian di atas, bahwa anak

usia 2-3 tahun sudah dapat dan mampu mengerti apa dan bagaimana sopan

14 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, Loc. Cit., hlm. 30 15 Ibid., hlm. 135

Page 87: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

75

santun dan perilaku baik dan buruk. Tentunya hal tersebut dengan diberikan

pembinaan dan arahan.

Dalam pendidikan karakter, diajarkan nilai-nilai kebaikan yang juga

disertai dengan refleksinya. Maka pendidikan karakter adalah sesuai dengan

pembentukan akhlak anak. Anak diajarkan bagaimana mencintai lingkungan

dan masyarakatnya dengan cara bergotong royong, anak diajarkan bagaimana

mencintai Tuhan dengan cara memelihara lingkungan sekitar, bagaimana

bertanggung jawab, mandiri, toleransi dan sebagainya. Yang mana nilai-nilai

itu adalah mencakup apa yang ada dalam pendidikan akhlak.

Sehingga cukup relevan jika pendidikan karakter diberikan sejak usia

dini, tujuannya agar pengajaran dan pembelajaran yang disampaikan akan

melekat pada diri anak, sampai menjadi kebiasaan yang baik dan akhirnya

dapat terbentuk akhlak mulia. Meskipun pendidikan karakter memiliki proses

panjang, namun ibarat pohon yang ditanam dengan kesabaran dan

pemeliharaan yang baik, maka pohon itu akan tumbuh subur dan berbuah

manis. Karena untuk mencapai dan mewujudkan bangsa yang berkarakter baik

bukanlah dengan cara instant. Sebuah keyakinan yang harus dimiliki adalah

bahwa kesabaran adalah manis buahnya dan keuletan adalah kesuksesan

hasilnya.

Anak usia prasekolah adalah usia dimana anak sedang senang-senangnya

bermain dan berkreatifitas bersama teman sebayanya. Maka sebuah lembaga

pendidikan untuk anak usia prasekolah, sudah seharusnya memberikan

pendidikan yang sesuai dengan usia siswanya, sehingga dalam hal lembaga

tersebut harus memberikan pendidikan yang menyenangkan bagi siswanya,

pendidikan yang tidak membatasi serta mendukung kreatifitas dan

perkembangan anak.

Seperti yang telah disampaikan oleh Ratna Megawangi, bahwa sekolah

seharusnya bertanggung jawab untuk menumbuhkan kesenangan anak untuk

belajar, sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuan dan bakatnya

secara optimal. Dan sistem pengajaran klasikal yang menganggap anak

sebagai individu pasif dan gelas kosong yang perlu diisi, tidak dapat

Page 88: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

76

merangsang anak untuk cinta belajar. Anak akan bersikap pasif, tidak kritis,

dan tidak kreatif.16

Bagi anak-anak, belajar sambil bermain adalah cara yang tepat. Dengan

demikian, anak tidak merasa berat, tidak merasakan bahwa belajar adalah

suatu beban. Dengan membuat anak mudah mengerti, akan meningkatkan

daya minat anak, anak lebih percaya diri, dan akhirnya akan bersemangat

untuk terus belajar.

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada

penanaman nilai-nilai kebajikan sejak dini yang direfleksikan perbuatan yang

dilakukan secara berulang-ulang hingga menjadi kebiasaan (baik).

Ditinjau dari kata “karakter”, Ratna Megawangi mengibaratkan bahwa

karakter ibarat otot. Otot-otot karakter akan menjadi lembek apabila tidak

dilatih. Sebaliknya, ia akan kuat dan kokoh kalau sering dipakai, seperti

contoh seorang binaragawan yang terus menerus melatih ototnya, sama halnya

yang diungkapkan Al-Ghozali, bahwa akhlak adalah tabiat atau kebiasaan

dalam melakukan hal-hal yang baik.17 Pada bab sebelumnya juga telah

dijelaskan bahwa akhlak mulia bukanlah hasil instant, akan tetapi hasil dari

pembinaan dan pemeliharaan fitrah (potensi baik) manusia, karena meskipun

manusia terlahir dalam keadaan fitrah tidak menjamin ketika dewasa juga

akan menjadi manusia yang berakhlak baik.

Sembilan nilai karakter (pada bab III) adalah berisi tentang materi-materi

yang mengajarkan kecintaan kepada Tuhan dan segenap ciptaan-Nya,

kemandirian, jujur, tanggung jawab, toleransi, gotong royong, dan sebagainya,

yang kesemuanya itu merupakan unsur-unsur dalam karakter baik (akhlaqul

karimah). Melalui pendidikan karakter yang menanamkan nilai kebajikan

yang direfleksikan dengan contoh kongkrit yang terus menerus diajarkan,

maka akan menjadi kebiasaan, yang nantinya kebiasaan-kebiasaan baik itu

yang akan membentuk akhlak mulia.

16 Ibid., hlm. 126 17 Ratna Megawangi, Yang Terbaik untuk Buah Hatiku, Op. Cit., hlm. 18

Page 89: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

77

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari telaah yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

Bahwa pendidikan adalah unsur yang paling penting dalam menata dan menentukan moral bangsa. Pendidikan yang baik akan membawa kemajuan bagi bangsa. Karena fungsi pendidikan secara umum adalah untuk mencerdaskan bangsa dan juga membentuk moral dan akhlak yang baik.

- Konsep pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi adalah sebuah konsep pendidikan yang berorientasi pada pendidikan moral dan akhlak. Yang mana dalam hal ini materi yang diajarkan adalah lebih menekankan pada pembentukan sifat-sifat baik. Dengan menanamkan dan membiasakan anak atau siswa untuk senantiasa melakukan kebaikan. Dengan penekanan materi pada segi pengetahuan, perasan, dan, tindakan.

- Pendidikan karakter merupakan solusi dalam pendidikan yang ditawarkan oleh Ratna Megawangi untuk membangun karakter bangsa., tentunya karakter baik. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang memberi pengajaran disertai dengan refleksi dari nilai-nilai karakter yang diajarkan. Dalam model pendidikan ini menekankan pada tiga hal, yaitu: knowing the good (mengetahui kebaikan), loving the good (mencintai kebaikan), dan acting the good (berbuat atau melakukan kebaikan). Yang mana ketiga hal tersebut dilengkapi dengan sembilan karakter yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Konsep pendidikan karakter ini adalah penerapan dari konsep pendidikan karakter yang dipelopori oleh Thomas Lickona, yang mana konsepnya adalah moral knowing, moral feeling, dan moral action.

- Setiap manusia lahir ke dunia dalam keadaan fitrah, yang mana fitrah tersebut cenderung dan berpotensi baik. Akan tetapi itu tidak menjamin bahwa manusia akan memiliki akhlak mulia sampai dewasa. Karena ada banyak faktor yang mempengaruhi kesucian fitrah tersebut, sehingga

1.

Page 90: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

78

bisa saja ketika dewasa seseorang dapat berubah sifat. Dalam hal ini, kaitannya dengan pendidikan karakter adalah sebagai salah satu pembinaan untuk memelihara kesucian fitrah manusia agar tetap terjaga kesucian atau kebaikannya.

- Implikasi dari pendidikan karakter pada akhlak anak prasekolah adalah terbentuknya sikap dan tindakan yang selaras antara pikiran ada yang dilakukan. Yaitu pada terwujudnya akhlaqul karimah. Anak-anak akan menirukan setiap tindakan yang baru yang diketahuinya, sehingga apapun yang ia lihat dari orang tua dan orang-orang disekitarnya akan dilakukannya.

- Akhlaqul karimah harus dibentuk dan dibina. Hal tersebut tidak bisa instant sekalipun fitrah manusia berpotensi baik. Beberapa faktor, salah satunya faktor lingkungan masyarakat, sangat bisa mempengaruhinya. Adapun pembentukan akhlak dapat dilakukan dengan pembiasaan dan latihan yang dilakukan secara continue. Kaitannya dengan pendidikan karakter adalah sebagai unsur pembinaan dalam pengajaran kebaikan yang berupa pembiasaan dan latihan yang direfleksikan dalam tindakan sehari-hari.

- Pendidikan karakter dalam upaya pembentukan akhlak sangat tepat pada usia prasekolah. Karena di usia ini anak masih memiliki daya pikir dan ingatan yang sangat cemerlang. Dan juga, pembentukan akhlak merupakan suatu proses, sebuah akhir dari perkembangan anak. Seorang anak yang dibina akhlaknya sedari kecil akan terbiasa dan jika hendak meninggalkan kebiasaan itu akan dirasa ganjal. Sebaliknya, anak yang tidak mendapatkan binaan akan hidup liar tanpa kontrol dan kendali dalam dirinya.

- Karakter yang berkualitas perlu dibina dan dibentuk sejak usia dini. Karena usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan seseorang. Dan menanamkan moral sejak dini adalah usaha yang strategis. Seperti yang diungkapkan oleh Ratna, bahwa pendidikan karakter adalah proses mengukir akhlak hingga terbentuk pola. Maka tepat jika pendidikan karakter diberikan sejak dini.

2.

Page 91: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

79

B. Saran-Saran 1. Kepada orang tua, sebaiknya memberikan pendidikan yang terbaik untuk

anaknya terutama dalam pembentukan akhlak. Dan pendidikan tentang karakter atau akhlak dapat dilakukan bahkan lebih efektif dilaksanakan sejak anak usia dini.

2. Kepada lembaga pendidikan beserta stake holdernya agar dapat memberikan pendidikan yang tidak hanya menekankan pada ranah kognitif saja, akan tetapi juga pada ranah motorik dan afektif. Pendidikan moral yang diberikan hendaknya juga dapat direfleksikan dalam bentuk tindakan, dan tidak hanya sebatas materi saja.

3. Kepada semua pihak lingkungan dan masyarakat, hendaknya lebih memahami arti pentingnya pendidikan(karakter) yang berkaitan dengan pembentukan akhlak. Hendaknya lingkungan masyarakat dapat bekerjasama mewujudkan bangsa yang berkarakter dengan lembaga pendidikan dan keluarga dalam pembentukan akhlak generasi muda bangsa.

4. Dan hendaknya dari masing-masing individu memiliki kesadaran diri akan arti kedamaian dari hasil terwujudnya akhlak mulia, memiliki kesadaran diri untuk berbuat kebaikan kepada sesama manusia dan kepada sesama makhluk Tuhan.

C. Penutup

Puji syukur Alhamdulillah senantiasa dipanjatkan kepada Allah SWT karena dengan ridho, taufiq, dan hidayah-Nya penulis telah dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang mulia pembawa Risalah Ilahiah, beserta sahabat dan keluarganya.

Penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, baik secara materiil dan moril, khususnya kepada Pembimbing skripsi yang telah meluangkan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk memberikan saran dan pembinaan kepada penulis.

Akhirnya penulis sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan dalam skripsi ini. Dengan diiringi doa semoga Allah SWT senantiasa meridhoi semua yang telah kita lakukan selama ini. Amin.

Page 92: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 Al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyah, Ruhuttarbiyah wa Ta’limu, Mesir : ‘Isalbab

Alhalabi Watsirkah, t.th ____________________________, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta

: Bulan Bintang, 1974 Al-Ghazali, Imam, Ihya’ ‘Ulum al-Din, III, Kairo : al-Masyhad al-Husain, t.th Al-Ghulayani, Mustafa, Idhah al-Nasihi, Pekalongan: Raja Murah, 1953 Al-Miskawaih, Abu Ali Akhmad, Tahdhib Al-Akhlak, Trjm. Helmi Hidayat,

Menuju Kesempurnaan Akhlak , Bandung : Mizan, 1994 Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta : Bulan Bintang, 1991 Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000 ________, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan

Pendekatan Multidisipliner, Jakarta : Bumi Aksara, 1994 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jkarta :

Rineka Cipta, 1998 Asmaran, AS., Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : Rajawali Press,1992) Asy-Syantut, Khalid Ahmad, Daurul Bait fi Tarbiyatil Athfalil Muslim, trjm.

Rosyad Nurdin, Rumah: Pilar Utama Pendidikan Anak, Jakarta: Robbani Press, 2005

Azizy, A. Qodri A., Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial,

Semarang: Anek Ilmu, 2003 Azra, Azyumardi, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Penerbit Buku

Kompas, 2002 Azwar, Saifuddin, Pengantar Psikologi Intelegensi, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju Psikologi

Islami, Yogyakarta : Yayasan Insan Kamil, 2001 Daradjat, Zakiah, Kepribadian Guru, Jakarta : Bulan Bintang, 1980

Page 93: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

_____________, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : PT.Bulan Bintang, 1991 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, andung : Penerbit J-Art.,

2004 Djatnika, Rachmat, Sistem Ethika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta : Pustaka

Panjimas, 1996 Ensiklopedi Tokoh Indonesia, http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/ratna-

megawangi/biografi. 14 Maret 2007 Gunawan, Ary H., Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2000 Gymnastiar, Abdullah, Refleksi Untuk Membangun Nurani Bangsa, Bandung:

MQS Publishing, 2004 Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid 2, Bandung : Tarsito, 2002 Harini, Sri, dan Aba Firdaus, Mendidik Anak Usia Dini, Yogyakarta : Kreasi

Wacana, 2003 Hartati, Netty, dkk., Islam dan Psikologi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004 Hawadimasa, Feni Akbar, Psikologi Perkembangan, Mengenai Sifat, Bakat dan

Kemampuan Anak, Jakarta : Grasindo, 2001 Hurlock, Elizabeth B., Child Development, Japan : Mc Graw-Hill, 1978 _________________, Adolescent Development, Kogakusha: Mc Graw – Hill,

1973 Iman, Muis Sad, Pendidikan Pasrtisipatif, Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2004 Kusuma, Amir Daien Indra, Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya : Usaha

Nasional, 1973 Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Al-Husna,

1992 Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 Martianto, Dwi Hastuti, Pendidikan Karakter : Paradigma Baru dalam

Pembentukan Manusia Berkualitas, http://tumoutou.net/702-05123/dwi-hastuti-htm. 7 juni 2007

Page 94: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

Megawangi, Ratna, Yang Terbaik Untuk Buah Hatiku, Bandung : MQS Publishing, 2005

_______________, “Mendidik Anak 1,3 Milyar Manusia”, http://www.

semipalar.net/artikel/2006/03/html. _______________, “Perbaiki Moral Bangsa Lewat Sekolah Karakter”, Mitranetra,

24 Mei 2006 _______________, Charater Parenting Space, Bandung : Mizan Media Utama,

2007 _______________, Pendidikan Karakter : Solusi Yang Tepat Untuk Membangun

Bangsa, Jakarta : Indonesia Heritage Foundation, 2004 _______________, Makalah : “Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan

Holistik Berbasis Karakter”, http://www.co.id/ file/indonesiaberprestasi/presentasi ratnamegawangi.pdf. Maret 2007.

Moelong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Rosda Karya,

t.th Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rakesa,1998 Mukhtar, Desain Pembelajaran PAI, Jakarta : Misaka Galiza, 2003 Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo, 2003 Noddings, Nel, Philosophy of Education, United State of America : Westview

Press, 1998 Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung : Remaja

Rosda Karya, 2000 __________________, Psikologi Pendidikan, Bandung : Remaja

Rosdakarya,1997 Padmonodewo, Soemiarti, Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta : Rineka Cipta,

2000 Poerbakawatja, Soegarda, dan Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta : Gunung

Agung,1976 Quthb, Sayyid, Fi Zhilalil-Qur’an, Jilid 9, Terjemahan As’ad Yasin, dkk., Jakarta :

Gema Insani Press, 2004

Page 95: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004 Saliman dan Sudarsono, Kamus Pendidikan, Pengajaran dan Umum, Jakarta :

Rineka Cipta, 1994 Shahih Bukhari Juz III Jilid 3, Bairut Libanon: Darul Kutub Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai

Persoalan Umat, Bandung : Mizan, 1997 Sikone, Stevan, ”Pembentukan Karakter Dalam Sekolah”,

http:www.//mirifica.net/wmview.php? 15:04, 12 Mei 2006. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1992 Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung :

Sinar Baru,1991 Suharsono, Membelajarkan Anak dengan Cinta, Jakarta : Inisiasi Press, 2003 Sukmadinata, Nana Syaodih, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung :

Ren\maja Rosdakarya, 2003 Supriadi, Dedi, dan Rohmat Mulyana, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan,

Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004 Surahmat, Winarno, Dasar-Dasar Teknik Research, Bandung : Tarsito, 1987 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

Bandung: Citra Utama, 2003 Wasito, Poespoprodjo, Filsafat Moral, Bandung : Remaja Karya, 1988 Wawancara dengan Dr. Ratna Megawangi, Ph.D., 10 Oktober 2007 Wirawan, Sarlito, Psikologi Remaja, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994 Yaljan, Miqdad, Kecerdasan Moral : Aspek Penddikan Yang Terlupakan, Jakarta:

Pustaka Pelajar,1996 Yusuf, Syamsu, Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung : Remaja Rosdakarya,

2000 Zahruddin, AR., Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004

Page 96: Jtptiain gdl anisaikhwa 3910 1 3103106 p

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Anisa’ Ikhwatun

Tempat/Tanggal Lahir : Kendal, 11 September 1984

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Tambakrejo, Patebon, Kendal

Riwayat Pendidikan : a. SDN 01 Tambakrejo, Patebon, Kendal, Lulus 1997

b MTs. NU 07 Patebon Lulus 2000

c MAN Kendal, lulus 2003

d IAIN Walisongo Semarang, Masuk di Fakultas

Tarbiyah tahun 2003

Demikian riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Semarang, 31 Januari 2008

Penulis

(Anisa’ Ikhwatun)