jurnal das tanralili (bpk makassar) final_rev 3 (4) ok
TRANSCRIPT
1
ANALISIS PENGARUH POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI TANRALILI TERHADAP DEBIT DAN
SEDIMENTASI (Analysis Of Land Use Patterns Of Debit And Sedimentation In
Sub Tanralili Watershed)Analisis Perubahan Penutupan Lahan terhadap Debit
Limpasan Permukaan dan Erosi pada Sub DAS Tanralili(Analysis of Changes to Discharge Surface runoff and Erosion in Sub
DAS Tanralili)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan pola penutupan lahan terhadap fluktuasi debit air dan sedimen pada Bendung Lekopancing selama priode 1996-2005 di Sub DAS Tanralili. Penelitian ini dilaksanakan di Sub DAS Tanralili merupakan salah satu Sub DAS dari DAS Maros yang meliputi sebagian wilayah Kabupaten Maros dan Gowa Sulawesi Selatan. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah menganalisis data sekunder dan primer dengan cara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Data dianalisis dengan melakukan overlay peta-peta tematik melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menghasilkan data dan informasi spasial tentang perubahan penutupan lahan yang terjadi dalam kurun waktu selama sepuluh tahun pada Sub DAS Tanralili. Hasil penelitian menujukkan bahwa penurunan kualitas Sub DAS Tanralili akibat perubahan pola penutupan selama sepuluh tahun menimbulkan berbagai kerusakan di daerah hulu sehingga menyebabkan tingginya tingkat erosi yang terjadi setiap tahunnya yaitu sebesar 74,72 ton/ha/tahun. Volume debit total aliran sungai pada outlet Tompobulu sebesar 776 x 106 m3 pada tahun 1997 dan 1.036 x 106 m3 pada tahun 2000 dan pada tahun 2005 hanya mencapai 201 x 106 m3. Luas areal hutan selama sepuluh tahun (1996-2005) telah terdegradasi seluas 5.795 Ha. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa luas kawasan lindung yang diperlukan di DAS Tanralili adalah 18.754,41 Ha atau 71,19 %, kawasan penyangga seluas 3.112,18 Ha atau 11,81%, dan pembangunan kawasan budidaya tanaman tahunan maupun tanaman semusim seluas 4476,91 Ha atau 16,98 % dari luas wilayah Sub DAS Tanralli.
Kata Kunci : Penggunaan lahan, fluktuasi, debit air, degradasi
ABSTRACT
This study aimed to describe the pattern of changes in land cover to fluctuations in water and sediment discharge at the Weir Lekopancing during the period 1996-2005 in Sub-watershed Tanralili. This research was carried out in Sub Tanralili watershed, as one of the sub catchment of Maros watershed, of Maros and Gowa Regency area of South Sulawesi. The data consisted of primary and secondary data. The methods used were descriptive qualitative and quantitative methods. The data were analized by overlying thematic maps trough Geographical Information System (GIS). The results show that decrease of quality of Sub Tanralili watershed due to the changes of land use pattern for ten years which then cause various damages in upstream area so it affects a high level of erosion is 74.72 ton/ha/year. Total discharge volume of river flow at the outlet Tompobulu of 776 x 106 m3 in 1997 and 1,036 x 106 m3 in 2000 and in 2005 was only 201 x 106 m3. For (1996-2005) forest area volume has degraded as much as 5.795 Ha. The results of analysis indicated that the needed area of protection region in Tanralili watershed is 18.754,41 Ha or 71,19%, buffer area is 3.112,18 Ha or 11.81%, and development of
2
annual plant cultivation or seasonal plant was 4.476.91 Ha or 16.98% of total Sub Tanralili watershed.
Key Words : Land use , fluctuation, charge the water, degraded
3
I. PENDAHULUAN
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) bertujuan untuk mewujudkan
kondisi yang optimal dari sumber daya vegetasi, tanah dan air sehingga
mampu memberi manfaat yang maksimal dan berkesinambungan bagi
kesejahteraan manusia (lestari). Dalam kenyataannya system
pengelolaannya memiliki permasalahan yang terus meningkat dari tahun ke
tahun. Perubahan penutupan lahan yang tidak sesuai fungsinya, disebabkan
kebutuhan penduduk akan lahan serta pembangunan infrastruktur yang
terus mengalami peningkatan dalam suatu wilayah pengelolaan DAS,
sehingga peristiwa banjir maupun kekeringan menjadi sulit untuk diatasi.
Maryono (2005), meguraikan bahwa banjir yang terus berlangsung di
Indonesia disebabkan oleh empat hal yaitu factor hujan yang lebat,
penurunan resistensi DAS terhadap banjir, kesalahan pembangunan alur
sungai dan pendangkalan sungai. Faktor hujan merupakan factor alami
yang dapat menyebabkan banjir, namun hal ini tidak selamanya
menyebabkan banjir karena tergantung besar intensitasnya.
Daya dukung air juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan
maksimal suatu wilayah dalam menyediakan air bagi penduduk dalam
jumlah tertentu, berserta kegiatannya. Apabila daya dukung wilayah telah
terlampaui, maka penduduk dan kegiatan pembangunan tidak mampu
mendapatkan air dalam jumlah yang memadai sehingga gejala krisis air
atau defisit air.
Daya dukung air suatu wilayah merupakan parameter yang
memperlihatkan perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air.
Suatu negara dikatakan menghadapi krisis air secara serius ketika air yang
tersedia lebih rendah dari 1000 m3per orang per tahun (Desi.N, 2006).
Kebutuhan air bersih di Kota Makassar yang jumlah penduduknya >
1.000.0000 jiwa standar rata-rata sebesar 190 liter/orang/hari dan
kebutuhan air bersih bukan domestik didasarkan pada angka 20 hingga
30% dari kebutuhan air bersih domestik.
Sub DAS Tanralili – DAS Maros Sulawesi Selatan yang merupakan salah
satu sumber pasokan air bersih untuk air minum bagi masyarakat kota
Makassar timur dan utara, juga termasuk sumber air bagi pengembangan
sektor pertanian dan perikanan masyarakat di daerah pengelolaan hulu,
tengah, dan hilir. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan peningkatan
4
aktivitas ekonomi maka persoalan yang terkait dengan air atau sumber
daya air telah dan terus berlangsung, sementara ketersediaan air
cenderung menurun namun dilain pihak kebutuhan akan air semakin
meningkat. Menurut laporan Asri AK. (2011), melalui Proyek Pengembangan
Sistem Penyediaan Air Bersih Kota Ujung Pandang pada tahun 1998 - 2001
telah dibangun Instalasi Pengolahan Air (IPA) yang bersumber dari
Lekopancing (Sub DAS Tanralili) dan Bili-bili (DAS Jeneberang) dengan total
kapasitas terpasang produksi air bersih PDAM Kota Makassar sebesar 2.335
l/d namun penambahan demi penambahan kapasitas produksi air bersih
rupanya belum mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk,
pemukiman dan industri.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penelitian ini, bertujuan untuk
mengetahui secara deskriptif perubahan pola penutupan lahan terhadap
fluktuasi debit air dan sedimen pada bendung Lekopancing selama priode
1996-2005 di Sub DAS Tanralili. Diharapkan hasil penelitian ini dapat
bermanfaat dalam upaya menyusun perencanaan rehabilitasi hutan dan
lahan, khususnya pada aspek konservasi air.
II. METHODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Maros (Kec Tompobulu
dan Kec. Tanralili) dan Kabupaten Gowa (Kec. Tombolo Pao) Provinsi
Sulawesi Selatan. Menurut satuan pengelolaan DAS, lokasi penelitian
termasuk dalam wilayah Sub DAS Tanralili yang merupakan Sub dari DAS
Maros. Secara geografis DAS Tanralili terletak antara 5º 0’ s/d 5º 12’ LS dan
119º 34’ s/d 119º 56’ BT, dengan luas 26.343,4 ha. Penelitian dilaksanakan
pada bulan Mei hingga Desember 2007.
5
Gambar (Figure) 1. Lokasi Penelitian – Sub DAS Tanralili di Sulawesi Selatan (Research area– The Sub Tanralili Watershed in South Sulawesi)
6
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peta Rupa Bumi,
Skala 1:50.000, Peta Wilayah Hujan, Peta Jenis Tanah, Peta Erodibilitas, Peta
Lereng, Peta Penutupan Lahan, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (Konsep,
Bappeda Maros,2005), dan Peta Administrasi Kabupaten Maros.
Sedangkan alat yang digunakan adalah : GPS (Global Positioning
System), altimeter, sample tanah, perangkat komputer, perangkat lunak
berupa program pengelola data dan interpretasi peta, perlengkapan ATK,
kamera digital, dan perangkat lunak program GIS.
C. Analisis Data
Data hasil interpretasi peta disesuaikan dengan hasil pengecekan di
lapangan (ground check) agar diperoleh data yang akurat. Analisis data baik
data primer maupun sekunder lalu ditabulasi dan selanjutnya dianalisis
secara kuantitatif. Hasil analisis ini mengungkap keadaan berupa fakta,
variabel-variabel dan berbagai fenomena yang berlangsung selama sepuluh
tahun.
1) Erosi
Untuk menghasilkan informasi serta data tentang erosi yang merupakan
terangkutnya tanah yang terjadi pada setiap unit lahan hasil perkalian dari
faktor erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, faktor panjang dan
kemiringan lereng, faktor penutupan vegetasi dan konservasi tanah dalam
ton/tahun, maka digunakan formula USLE (Universal Soil Loss Equation)
secara deskriptif model tersebut diformulasikan dalam Asdak (1995)
sebagai berikut :
A = R K LS C P
dimana :
A = jumlah tanah tererosi (ton/ha/tahun)
R = erosivitas curah hujan, tahunan rata-rata.
K = faktor erodibilitas tanah
LS = faktor panjang dan kemiringan lereng
7
C = factor penutupan dan pengelolaan tanaman
P = faktor Pengelolaan dan Konservasi Tanah.
a. Faktor Erositivitas Hujan (R)
A1R1 + A2R2 …+ AnRn R = ----------------------------------- A1 + A2…… …+ An
Dimana R = curah hujan wilayah, A1, A2, An = unit lahan tiap titik pengamatan, R1, R2, Rn = curah hujan ditiap titik pengamatan
b. Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Hammer (1981) sebagai alternatif kedua selain menggunakan nomograf dapat juga digunakan rumus K, informasi yang dibutuhkan adalah % debu, % pasir sangat halus dan % lempung dengan persamaan berikut ;
K = {(2.71 x 10 –4 x (12-OM) x M1.14 + 4.20 x (S-2) + 3.23 x (p-3)}
Dimana :K = erodibilitas tanahOM = persentase bahan organikS = kode klasifikasi struktur tanah (granular, platy, massive, dll)P = kelas permeabilitas tanahM = persentase ukuran partikel (persen debu + persen pasir)
c. Faktor Panjang Lereng dan Kemiringan Lereng (LS)
Dalam perhitungan besarnya kemiringan lereng (S) digunakan rumus (Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1998) sebagai berikut;
(n –1) x C1S = --------------- x 100%
2a2
Dimana:S = kemiringan Lereng (%)n = jumlah garis kontur yang memotong diagonalC1 = kontur Intervala = panjang jaringan-jaring sebenarnya
d. Faktor Pengelolaan Tanaman (C)
Nilai faktor pengelolaan tanaman berkisar antara 0.01 pada hutan tak terganggu hingga 1.0 pada tanah kosong (Asdak, 1995).
8
e. Faktor Konservasi Tanah (P)
Nlai faktor aktivitas manusia dalam pengawetan dalam tanah adalah nisbah atau perbandingan antara besarnya erosi tanah yang hilanh pada lahan tindakan pengawetan tertentu terhadap besarnya erosi tanah pada lahan tanpa tindakan konservasi tanah sama sekali pada keadaan panjang dan kemiringan lereng yang sama (Sarief, 1985).
2) Debit
Debit aliran merupakan laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang
melewati penampang melintang sungai per satuan waktu. Besarnya debit
maksimum (Q maks m3/dt) berdasarkan perolehan data sekunder yang
dikumpulkan, merupakan jumlah dari data debit tahunan dalam sepuluh
tahunan sedangkan debit minimum (Q min m3/dt) dipilih jumlah debit yang
terendah pada satu kejadian dalam sepuluh tahun.
3) Koefisien limpasan
Koefisien limpasan/air larian (c) adalah bilangan yang menunjukkan
perbandingan antara besarnya air larian dengan besarnya curah hujan. Nilai
C yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi air
larian. Angka C berkisar antara 0 sampai 1. Angka 0 menunjukkan bahwa
semua air hujan terdistribusi menjadi air intersepsi dan terutama infiltrasi.
Sedang angka c = 1 menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir sebagai
air limpasan (Pintubatu et al 2013). Cara sederhana untuk menghitung
besarnya c seperti yang ditunjukkan oleh Ambar et.al (1985) dalam Asdak
(1995) di bawah ini :
c = (d x 86400 x Q) / (P/1000) (A)
dimana : c = koefisien air limpasan
d = jumlah hari
Q = debit rata-rata bulanan (m3 / dt)
P = curah hujan rata-rata setahun (mm / th)
A = luas DAS (m2).
9
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Pengaruh Pola Penggunaan Lahan
1. Kondisi Aktual Penutupan Lahan
Optimalisasi penggunaan sumber daya lahan merupakan suatu
alternatif untuk meningkatkan produktivitas lahan (Syafruddin et,al.
2004). Penggunaan lahan dinyatakan optimal bila penggunaan lahan
tersebut menghasilkan aliran permukaan terendah dan aliran dasar
tertinggi karena kedua komponen aliran tersebut menentukan distribusi
debit. Semakin tinggi aliran permukaan, semakin tinggi pula debit di
musim hujan dan semakin rendah aliran dasar, maka semakin rendah
debit di musim kemarau. (Ardiansyah. M et.al. 2005)
Mudiyarso dan Kurnianto, (2007) menyatakan bahwa hutan dapat
mengatur fluktuasi aliran sungai terhadap tata air karena perannya
dalam mengatur limpasan dan infiltrasi dan perannya terhadap tata air
dan hasil air dapat dilihat lebih jelas dalam konteks Daerah Aliran Sungai
(DAS).
Permasalahan penggunaan lahan di Sulawesi Selatan umumnya
masih didominasi dengan usaha pertanian, baik untuk tanaman semusim
maupun tanaman tahunan selain untuk peternakan perikanan.
Untuk manganalisis permasalahan yang terjadi dalam wilayah
penelitian dapat diketahui melalui pendekatan sistem analisis perubahan
jenis penggunaan lahan yang terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun.
Hasil klasifikasi teknik interpretasi visual berdasarkan ground check
position (GCP) yang dikombinasi dengan analisis digital berdasarkan
interpretasi citra Landsat tahun 1996 serta citra satelit SPOT 4 dan 5
tahun 2005. maka diperoleh gambaran umum jenis penggunaan lahan
DAS Tanralili seperti disajikan pada Tabel 1 :
10
Tabel (Table) 1. Tipe penggunaan lahan Sub DAS Tanralili pada tahun 1996 dan 2005 (Analisis SIG, 2007). (Land use type in Sub Tanralili watershed at 1996 and 2005) ( Analysis SIG, 2007).
Penggunaan Lahan
(Land Use)
Tahun (year)1996 Tahun (year)2005
∆ ( Ha ) ∆ (%)Luas (Ha)
(Area)
%Luas
(%Area)
Luas (Ha)
(%Area)
(%) Luas
(%Area)
Hutan(Forestry)
11.815,9
6
44,85 6.021,84 22.86 - 5.794,12 - 21,99
Perkebunan(Planting)
107,92 0,41 10.800,3
0
40,99 +
10.692,38
+40,59
Ladang/Tegalan(Farming)
4.764,84 18,09 223,07 0.85 - 4.541,77 - 17,24
Permukiman(Settlement)
11,24 0,04 149,16 0,57 + 137,92 + 0,52
Sawah(Rice Fild)
15,49 0,06 3.844,92 14.59 + 3.829,43 +14,54
Semak Belukar(Shrub)
9.628,00 36,55 5.304,18 20.14 - 4.323,82 - 16,41
Luas Total(Total Area)
26.343,4
5
100,00 26.343,4
5
100,00
Keterangan (Remarks) :∆ = perubahan (change)- = penurunan luas (decsending area)+ = peningkatan luas (increasing area)
Perubahan penutupan lahan selama sepuluh tahun (1996 – 2005)
seperti pada Tabel 1, bahwa kawasan hutan yang ditemukan di Sub DAS
Tanralili telah mengalami degradasi atau penurunan yang signifikan. Dari
luas 11.815,96 ha menjadi 6.021,4 ha, dengan tingkat penyebaran yang
tidak merata. Jika dibandingkan dengan luas areal hutan pada tahun 1996
telah terjadi degradasi seluas 5.794 Ha atau mengalami laju kerusakan
sebesar 1,58 ha/hari. Konsentrasi penyebarannya terluas hanya terdapat di
wilayah perbatasan Bantimurung dan kab. Gowa. Penelitian yang telah
dilakukan Khasanah et al., (2004) menunjukkan bahwa perubahan kualitas
struktur tanah akan terjadi sebagai akibat dari kegiatan alih guna lahan dari
hutan menjadi perkebunan/pertanian. Sudah dapat dipastikan bahwa
dengan pengurangan ini akan menimbulkan dampak lingkungan DAS yang
negatif, utamanya daerah-daerah hilir secara luas. Menurut Asir (2008),
Konversi hutan menjadi lahan pertanian akan mengakibatkan penurunan
fungsinya dalam mengatur sistem hidrologi DAS, utamanya pada daerah
11
hulu (upper catchment) dimana akan terjadi daur air yang tidak seimbang,
erosi, banjir dan perubahan iklim.
Menurut Hewlett dan Nutter dalam Pujiharta (2008), daerah hulu yang
tertutup hutan dengan baik maka akan menghasilkan 80 hingga 85% dari
total aliran yang dihasilkan berasal dari aliran dasar dan selebihnya barasal
dari aliran langsung. Pada daerah dengan kemiringan 25 - 40% luas hutan
adalah 2.430 ha atau 9,22% dari luas wilayah DAS sedangkan pada wilayah
dengan kemiringan >40% luas hutan adalah 1.155 ha atau hanya 4,38 %
dari luas wilayah DAS. Dari luasan ini masih jauh dari luas yang diharapkan,
dalam perannya sebagai daerah peresapan air. Dengan demikian
keberadaan hutan di Sub DAS Tanralili perlu mendapat perhatian untuk
dilakukan upaya penambahan luas serta pemilihan jenis tanaman yang
dapat mendukung sistem pengatur tata air dan pengendalian erosi.
Pemilihan jenis-jenis vegetasi yang tepat dalam teknik rehabilitasi lahan
yang terdegradasi harus disesuaikan dengan zona agroklimat dan
kesesuaian lahannya, khususnya pada areal kawasan hutan (Sukresno,
2009). Menurut Junaedi (2011) hutan dapat mengendalikan proses erosi dan
sedimentasi dan yang sangat berperan dalam mengendalikan erosi adalah
vegetasi yang tumbuh di bawahnya dan tumpukan humus di lantai hutan.
Luas areal perkebunan dari 107,92 ha pada tahun 1996, menjadi
10.800,30 ha pada tahun 2005 hal ini berarti terjadi peningkatan seluas
10.692,38 ha atau 40,59 % dari luas wilayah DAS. Dilihat dari
penyebarannya, perkebunan ini dominan berada pada daerah kemiringan >
25% hingga > 40% (curam hingga sangat curam). Adapun jenis tanaman
yang ada didominasi dengan tanaman Bambu, jenis kayu rimba, tanaman
Aren, Pinus dll; dan pada daerah-daerah pemukiman terdapat aktivitas
usahatani dengan jenis komoditi tertentu (umbi-umbian), di lahan-lahan
miring yang dilakukan dengan cara intensif, sehingga dapat menyebabkan
timbulnya erosi maupun longsoran. Hasil penelitian Sihite. J. (2001),
menyatakan bahwa pada wilayah DAS Besai, perubahan penggunaan lahan
dari hutan berganti menjadi lahan perkebunan (kopi) lewat pembukaan
lahan, telah menyebabkan terjadinya penurunan permukaan air tanah, erosi
bertambah dan infiltrasi berkurang.
Penurunan luas areal hutan ini mendorong terjadinya fluktuasi antara
debit minimum dan maksimum pada musim penghujan dan musim kemarau
12
yang sangat tajam. Pramono et al. (2008), menyatakan bahwa makin kecil
prosentase luas hutan maka makin besar debit puncaknya, demikian pula
sebaliknya. Dampak dari perubahan tersebut terjadi kesulitan air bersih
disebabkan debit air Lekopancing turun hingga 80 persen atau dari 1.000
liter per detik (kondisi normal) menjadi 200 liter per detik (Harian Fajar,
2006). Perubahan luas hutan dapat dilihat seperti pada gambar dua di
bawah ini :
Gambar. (Figure) 2. Perubahan Penutupan Lahan 1996 – 2005. (Land use alteration is the year 1996 – 2005).
Menurut pembahagian luas wilayah administrasi menurut penunjukan
status kawasan hutan negara di daerah Sub DAS Tanralili secara rinci dapat
dilihat seperti pada Tabel 2 :
Tabel. (table) 2. Kondisi Vegetasi Hutan Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Keadaan Pentupan Lahan Tahun 2005 dalam Wilayah Administrasi di Sub DAS Tanralili, (Analisis Data GIS, 2007). (Forest Vegetation Condition Based Forest Area Designation Map and State Land Cover in 2005 in the Sub Watershed Tanralili Administration), (GIS Data Analysis, 2007).
NoKabupaten/ district
Kecamatan/sub district
FungsiK H(Forest area
fungtion)
Berhutan (Forested)
(ha)
Tidak Berhutan(Barren)
Jumlah(Total)
(ha)
1 M a r o sTompobulu
H L (Protectioan Forest) 1.588,37 5.479,55 7.067,92
H P (Production forest) 713,93 10.248,73 10.962,66
H P T (Limited production forest) 138,20 1.043,92 1.182,12
Tanralili H P (Production forest) 0,00 543,66 543,66
2 G o w a Tombolopao
H L(Protectioan Forest) 416,36 1.360,53 1.776,89
H P T (Limited production forest) 664,60 465,87 1.330,46
J u m l a h (Total) 3.521,46 19.142,26 22.863,71
Dari Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa perubahan penutupan lahan
selama sepuluh tahun, telah terdegradasi hingga mencapai angka
13
19.141,26 ha dari luas hutan yang telah di tentukan berdasarkan peta
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, yaitu 22.863,71 ha 86,79 % dari
luas DAS.
14
2. Debit Air
Debit aliran merupakan laju aliran air (dalam bentuk volume air)
yang melewati penampang melintang sungai per satuan waktu. Hasil
analisis menunjukkan volume debit total aliran sungai pada outlet
Tompobulu sebesar 776 x 106 m3 pada tahun 1997 dan 1.036 x 106 m3 pada
tahun 2000. Secara rinci besarnya volume debit aliran total yang melewati
outlet di pos duga air Lekopancing dapat dilihat seperti pada Tabel 3.
Tabel (Table 3). Volume debit aliran total pada pos duga air Tompobulu (Analisis
Data,2007). (Total flow discharge volume on water estimate in
Tompobulu post) (Data Analysis, 2007)
Bulan (Month)
Volume debit total (Discharge volume) ( X 106M3)
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Januari 150,34 208,7 32,33101,9
1 107,06125,9
1155,4
3 - - 37,36
Pebr 140,36266,8
6 31,4125,2
9 92,44 20,27 90,82 - - 36,8
Maret 111,31178,5
2 32,73 99,53 95,35126,6
6 95,89 - - 12,27April 54,22 32,66 56,79 70,94 93,21 37,69 70,27 3,6 - 11,87
M e i - 16,39 35,62 31,58 47,73 21,16 34,69 1,8718,2
7 13,02Juni 17,52 9,41 21,8 19,96 62,99 33,07 16,61 3,08 3,42 7,18Juli 11,73 3,37 29,19 28,36 31,15 18,94 10,95 2,25 - 5,46Agust 3,59 1,71 24,08 9,51 17,49 - 6,75 4,07 - 2,44
Sept 5,99 0,49 12,39 4,48 6,95 - - -11,5
3 1,53
Okto 19,74 0,11 23,76 4,87 95,59 - -12,8
6 4,02 14,52
Nov 54,15 3,42 105,8 85,64 90,69 321,1 -15,1
6 4,15 58,76
Des 198,38 54,67 118,4 218,1 295,72152,3
2 - - - -
Juml767,33
776,31
524,23
800,17
1036,37
857,12
481,41
42,89
41,39
201,21
15
Gambar (figure 3). Hidrograf aliran pada Pos Duga Air Tompobulu tahun 1996 dan 2005 .(Hidrograf expected flow of water in the postal Tompobulu years 1996 – 2005).
Berdasarkan hasil analisis, seperti gambar hidrograf 4 di atas
menunjukkan bahwa debit total pada tahun 1996 dan 2005 terjadi
penurunan volume debit aliran total pada outlet Lekopancing. Hal tersebut
diduga sangat dipengaruhi oleh sebaran curah hujan dan perubahan
penutupan lahan di daeah hulu yang merupakan daerah resapan. Menurut
hasil penelitian Pramono dan Wahyuningrum, (2010) dikemukakan bahwa
faktor luas hutan dalam suatu catchment area berpengaruh terhadap
besarnya debit puncak dan sedimentasi. Selanjutnya Pramonono dan Ady
(2010) menjelaskan bahwa kondisi DAS Wuryantoro bagian hulu penutupan
lahannya didominasi oleh tegal dan hutan, jenis tanahnya didominasi oleh
Lithosol (Entisol) dimana solumnya relatif tipis (< 30 cm) dengan
kelerengan > 25%. Kondisi ini menyebabkan kemampuan tanah menahan
air cukup kecil sehingga pada waktu bulan-bulan kering potensi airnya
rendah.
Secara rinci antara debit maksimimum dan minimum pada outlet di
daerah penelitian dapat dilihat seperti Tabel 4.
16
Tabel (Table 4). Debit maksimum dan minimum pada Pos Duga Air Tompobulu.( Maximum and Minimum discharge on water estimate in Tompobulu post)
Tahun(Year)
Debit Maksimum (m3/dt)Maximum discharge (m3/dt)
Debit Minimum (m3/dt)Minimum discharge (m3/dt)
1997 110,31 0,04
2000 110,41 2,68
Perubahan ( Δ)Alteration
+ 0,10 + 2,64
Perubahan seperti pada tabel 6 di atas diduga adanya sebaran
intensitas curah hujan yang melebihi kemampuan infiltrasi dimusim
kemarau pada tahun 2000. Dikemukakan juga oleh Pramono (2013), bahwa
hubungan antara debit puncak dan karakteristik hujan di suatu daerah akan
berbeda dengan daerah lainnya, karena hubungan tersebut tergantung
pada jenis penutupan lahan dan karakteristik fisik lainnya seperti
kelerengan dan jenis tanah. Dari data-data tersebut di atas diketahui bahwa
Nilai Koefisien Rejim (KRS) yang merupakan perbandingan debit maksimum
dan debit maksimum yang ektrim (> 50) memberi arti bahwa kondisi DAS
Tanralili adalah buruk (Dir.RLPS,2009).
Gambar (Figure) 4. Bendung dan Pengairan pada outlet Sub DAS Tanralili (Weir and Watering the outlet weir and sub watersheds Tanralili)
3.Limpasan Permukaan
Dewijati (2003), menjelaskan bahwa tiga faktor yang memiliki
pengaruh yang besar terhadap limpasan permukaan adalah luas dan bentuk
DAS, topografi, dan tataguna lahan. Pembukaan lahan budidaya pertanian
dan peningkatan areal pemukiman pada catchment area Sub DAS Tanralili
menyebabkan meningkatnya aliran permukaan yang akan menimbulkan
erosi dan akhirnya meningkatkan laju sedimentasi. Seperti apa yang
dikemukakan oleh Pujiharta (2010), bahwa peningkatan hasil air sebagai
17
akibat dari pengurangan penutupan vegetasi akan membawa konsekuensi
pada meningkatnya muatan yang terbawa oleh aliran permukaan. Hasil
penelitian Suroso dan Susanto HA. (2006) menunjukkan bahwa kondisi DAS
Banjaran terutama yang berada di kawasan wisata Baturraden telah
mengalami perubahan tata guna lahan dari kawasan berhutan menjadi
kawasan pemukiman (perumahan, hotel, villa, dll), mengakibatkan air hujan
yang jatuh di kawasan wisata Baturraden tidak banyak lagi yang dapat
meresap kedalam tanah melainkan lebih banyak melimpas (run-off)
sehingga meningkatkan debit banjir di sungai Banjaran terutama di wilayah
hilir.
Untuk mengetahui secara rinci besarnya limpasan di DAS Tanralili
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel (Table) 5. Perhitungan Volume limpasan di Sub DAS Tanralili (Analisis Data,
2007), (Runoff volume in The Sub Tanralili watershed Calculation
(Data Analysis, 2007)
Penutupan Lahan
(Land Cover)
Th. 1996 (1996) Th. 2005 (2005)
CH (Rainfall) (mm)
Luas (Area) (Km2
)
Run – off (m3)
CH (Rainfall) (mm)
Luas (Area) (Km2)
Run – off (m3)
Hutan (Forestry)
15.866 118,1
6 1.875 10.791 60,22 650
Perkebunan(Planting)
15.866 1,08 171.226 10.791 109,00 117.625
Ladang/Tegalan(Farming)
15.866 47,65 604.792 10.791 2,23 19.259
Permukiman(Settlement)
15.866 0,11 71.334 10.791 0,49 2.122
Sawah(Rice Fild)
15.866 0,15 2.458 10.791 38,45 4.149
Semak Belukar(Shrub)
15.866 96,28 458.274 10.791 53,04 171.711
Total CH (m3)(Rainfall Total)
15,943 x 106m3 16,88 x 106m3
Total Run Off (Total runoff) (m3)1.309.95
7 315.516
Dari Tabel 5 menunjukkan bahwa aliran permukaan yang terjadi
sangat dipengaruhi oleh tingginya total curah hujan dan perubahan
penggunaan lahan. Pada tahun 1996 besarnya volume curah hujan 15,943 x
106m3 menghasilkan aliran permukaan sebesar 1.309.957 m3 , dan pada
18
tahun 2005 besarnya volume curah hujan 16,88 x 106m3 menghasilkan
aliran permukaan sebesar 315.516 m3.
Dengan menggunakan formula matematis sederhana ditemukan
bahwa pada tahun 1996 koefisien limpasan di daerah penelitian adalah
sebesar 0,60 dan pada tahun 2005 koefisien limpasan meningkat hingga
menjadi 0,64.
Hal ini memberikan pengertian bahwa di daerah penelitian, selama
sepuluh tahun terjadi peningkatan koefisien limpasan sebesar 0,04 atau
akibat dari perubahan pola penggunaan lahan terhadap koefisien limpasan,
yang berarti bahwa lahan yang menerima curah hujan mengalami
penurunan kualitas dalam menahan air, sehingga terjadi aliran permukaan.
4.Erosi
Tingkat kerusakan lahan di Sub DAS Tanralili dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan disebabkan pengalihan fungsi kawasan-kawasan
lindung sebagai pengatur sistem tata air menjadi areal perkebunan
masyarakat secara luas, menurut (Arsyad U. 2010) bahwa perbedaan-
perbedaan nilai besaran erosi yang ditemukan pada areal berhutan lebih
disebabkan oleh tingkat penutupan vegetasi terhadap tanah. Semakin
bagus penutupannya akan semakin mampu menekan erosi sehingga nilai
erosinya akan kecil. Sebaliknya, semakin jarang penutupannya akan
semakin besar nilai erosinya. Hasil penelitian Lihawa (2009) yang diperoleh
bahwa erosi yang terjadi pada lahan semak belukar dengan tanaman bawah
rapat akan berkurang 98,2% dari erosi pada lahan datar tanpa vegetasi.
Hasil analisis sebaran erosi menurut unit lahan di dalam wilayah DAS
Tanralili dapat dilihat seperti pada Tabel 6.
Tabel. Table 6 Kontribusi Erosi Setiap Penggunaan Lahan pada Sub DAS Tanralili (Analisis GIS, 2007). (Erosion Every contribution to the Sub Watershed TanraliliLand Use) (GIS Analysis, 2007).
No Penggunaan Lahan (Land use)
Erosi (Erosion) (ton/ha/thn)
1 Hutan((Forest)
2,44
2 Perkebunan(Planting)
32,01
3 Sawah 0,09
19
(Rice Fild)
4 Semak belukar(Shrub)
38,48
5 Tegalan(Farming)
1,97
Jumlah Total( Total)
74,99
Dari Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa di Sub DAS Tanralili erosi
yang terbesar terjadi di daerah semak belukar dan pada ereal pekebunan
atau sebesar 38,48 ton/ha/thn dan 32,01 ton/ha/thn. Sedangkan jumlah
total erosi yang terjadi di Sub DAS Tanralili adalah sebesar 74,99 ton/ha/thn.
Hal ini merupakan pemberi kontribusi terbesar terhadap proses
pendangkalan bendung Lekopancing.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Perubahan penutupan lahan di Sub DAS Tanralili, dalam rentan waktu
10 tahun (1996-2005) yaitu hutan terdegradasi seluas 5.795 Ha atau setara
kerusakan dengan laju 1,58 ha/hari. Perubahan tersebut seiring dengan
perubahan besarnya debit maksimum dan debit minimum memliki fluktuasi
yang cukup tinggi yakni antara 110,31 m3/dt pada tahun 1997 dan 110,41
m3/dt pada tahun 2000 atau mengalami perubahan peningkatan hanya
0,10 m3/dt sedangkan debit minimum hanya 0,04 m3/dt pada tahun 1997
dan 2,68 m3/dt atau mengalami perubahan peningkatan sebesar 2,64
m3/dt. Adapun tingginya tingkat erosi yang terjadi pada tahun 2007 yaitu
sebesar 74,99 ton/ha/tahun.
B. Saran
Perlunya analisis lebih lanjut untuk mengetahui dampak nilai sosial
ekonomi dari penggunaan lahan sehingga upaya rehabilitasi hutan dan
lahan dapat lebih terpadu, terencana, efektif dan efisien serta untuk
menghindari bertambah luasnya kerusakan lahan (terdegradasi) maka perlu
dilakukan penyuluhan serta bimbingan dari instansi terkait, (BPDAS
Jeneberang WalanaE, Dinas Kehutanan daerah, Pertanian, Peternakan dll)
dalam mewujudkan penerapan sistem teknik konservasi tanah pada daerah-
daerah bertopografi berat, pemilihan jenis tanaman kayu-kayuan yang
memiliki nilai ekonomi tinggi, serta keseriusan dari berbagai pihak untuk
20
melakukan perbaikan agar dapat tercapai kelestarian hutan yang dapat
memberikan pengaruh positip terhadap sistem tata air di Sub DAS Tanralili.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih sebanyak-banyaknya disampaikan kepada Bpk.
Hasnawir S.Hut. M.Sc. Ph.D., Peneliti Konsevasi Sumberdaya Hutan Balai
Penelitian Kehutanan Makassar atas bantuan dan informasi dalam
mendukung penyusunan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A. dan S. Sutono. 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. Hlm. 103-145 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Puslitbangtanak, Bogor.
Ardiansyah Muhammad , Suryani.E,.Tarigan,S.D dan Agus,F. 2005. Optimasi Perencanaan Penggunaan Lahan Dengan Bantuan Sig Dan Soil And Water Assessment Tool: Suatu Studi Di Das Cijalupang, Jawa Barat. Makala Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa” Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 – 15 September. pp.141-149.
Asri AK. 2011. Produksi Pdam Kota Makassar. http://waterenvirontmental.blogspot.com..html. diakses pada Tanggal, 1 Agustus 2014.
Arsyad, U. 2010. Analisis Erosi Pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan dan Kemiringan Lereng di Daerah Aliran Sungai Jeneberang Hulu. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, UNHAS.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (618).
Asir, L. 2008. Dampak Perubahan Penutupan Lahan Daerah Tangkapan Air (Dta) Limboto. Prosiding Fungsi Kawasan Hutan. Puslit Sosek. Bogor. Hal. 81-91.
Dewajati, Ratna. 2003. Pengaruh Perubahan Penggunaan DAS Kaligarang terhadap Banjir di Kota Semarang. Tesis. Semarang: Magister Teknik Pengembangan Kota. Universitas Diponegoro.
Desi,N. 2006. Kualitas Air Sungai pada Penyediaan Air Minum. (Studi Kasus: Kualitas Air Baku Sungai Jeneberang dan Perusahaan Daerah Air Minum Kota Makassar). Tesis, Program Magister. Program Studi Lingkungan. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. Jakarta.
Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2009, Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan. NOMOR : P.04/V-SET/2009. Jakarta.
21
Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1998. Pedoman Penyusunan RTLRehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan. Jakarta
Hammer, W. I. 1981. Soil Conservation Consultant Report Center for Soil Research. LPT Bogor. Indonesia.
Harian Fajar, 2006. Debit Air Lekopancing Turun 80%. Kumpulan Berita (Klipping Air Minum). (http://www.fajar.co.id/news , di akses 29 Maret 2007)
Junaedi E. dan Tarigan S.D. 2011. Pengaruh Hutan Dalam Pengaturan Tata Air dan Proses Sedimentasi DAS. Studi Kasus di DAS Cisadane. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol.2 No.8 Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Balitbang Kehutanan, Bogor Hal. 155-176.
Khasanah, N., B. Lusiana, Farida dan M.V. Noordwijk. 2004. Simulasi Limpasan Permukaan Dan Kehilangan Tanah Pada Berbagai Umur Kebun Kopi: Studi Kasus Di Sumberjaya, Lampung Barat. Agrivita (26):81-89.
Kurnia, U., Sudirman, dan H. Kusnadi. 2005. Teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan. dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah , 22 NopLingkungan. Puslitbangtanak. Bogor. pp. 147-182
Lihawa, Fitryane., & Sutikno, 2009. The Effect of Watershed Environmental Conditions and Landuse od Sediment Yield ini Alo-Pohu Waterhed. International Journal of Geography, IJG. Vol. 41, No. 2,. Faculty of Geography Gadjah Mada Univ. & The Indonesian Geographers Association pp. 103-122.
Maryono, A. 2005. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Muriyarso, D. dan Kurnianto S. 2007. Peran vegetasi dalam mengatur pasokan air. Makalah Workshop “Peran hutan dan Kehutanan dalam meningkatkan daya dukung DAS”, di Surakarta, 22 Nopember 2007. Balai Penelitian Kehutanan Solo.
Pintubatu D.C, Sudarsono B, Wijaya A.P. 2013. Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Kerawanan Banjir di Daerah Aliran Sungai Tenggang Kota Semarang. Jurnal Geodesi Undip. Vo. 2. No 4. Hal 240-252. Semarang.
Pujiharta,A. 2008. Pengaruh Pengelolaan Hutan Pada Hidrologi. Invo Hutan Vo. V. No.2: Balitbang Kehutanan, Bogor 141-150.
Pujiharta,.A. 2010. Pengaruh Penggunaan Lahan Hutan Terhadap Hasil Air di Baturaden. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vo. VII. No.2: Balitbang Kehutanan, Bogor 119-126.
Pramono, I.B. R.N. Adi, A.B. Supangkat. 2008. Variasi Luas Hutan Pinus dan Pengaruhnya Terhadap Puncak Banjir dan Konsentrasi Sedimen Terlarut Aliran Sungai : Study Pendahuluan di Sub DAS Kedung Bulus, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman. 19 Desember. Puslitbang Hutan Tanaman Bogor. Bogor.
Pramono, I.B. dan R.N. Adi, A.B. 2010. Perbandingan Hasil Estimasi Potensi Air Bulanan Dan Hasil Pengukuran Langsung Di Sub DAS Wuryantoro, Wonogiri. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol.VII. No.2. Pusat Penelitian
22
dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Balitbang Kehutanan, Bogor Hal. 127 – 137.
Pramono, I.B. dan Tjakrawarsa G. 2013. Hubungan Antara Karakteristik Hujan dan Banjir di Sub DAS Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri. Panduan dan Makalah Seminar Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS. Surakarta. Hal. 30-40.
Pramono, I.B. dan Wahyuningsi N. 2010, Luas Optimal Hutan Jati Sebagai Pengatur Tata Air di DAS Berbahan Induk Kapur. Jurnal Penelitian Hutan dan konservasi Alam VII. (5). Pusat Litbang Hutan dan konservasi Alam . Bogor. 459 – 467.
Sarief, 1985. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung
Sihite Jamartin, 2001, Evaluasi Dampak Erosi Tanah. Model Pendekatan Ekonomi Lingkungan dalam Perlindungan DAS: Kasus Sub-DAS Besai DAS. Tulang Bawang Lampung. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. ICRAF SE-Asia Southeast Asian Regional Research. Programme Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 11
Syafruddin, A.N. Kairupan, A. Negara, J. Limbongan. 2004. Penataan Sistem Pertanian dan Penetapan Komoditas Unggulan Berdasarkan Zona Agroekologi di Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian dan pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Vol 23 (2), Hal. 54-61.
Sukresno, 2008. Peningkatan Upaya RHL dalam Pengelolaan DAS, Studi Kasus di DAS Serayu. Proseding seminar Nasional Hasil Penelitian “Teknologi, Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Sebagai Basis Pengelolaan DAS” di Purwokerto, 26 Agustus 2008. P3HKA. Bogor . Hal. 23-44.
Suroso dan Susanto H. A, 2006. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Banjir DAS Banjaran. Jurnal Teknik Sipil Universitas Jenderal Soedirman Purwekerto. Jawa Tengah. Vo. 3. No.2. Hal. 75-80.
23
Catatan Sekretariat :
DP Warna ungu = Daftar Pustaka yang masuk 10 tahun terakhir
DP Warna biru = Daftar Pustaka yang masuk acuan primer
Tahun Penelitian : 2007 (Mei - Des)
Pengiriman Naskah : Awal Rev1 Rev2
Jumlah Keseluruhan DP : 24 13 23
Jumlah DP Acuan Primer* (min.10) : 1 4 10
DP lingkup waktu 10 tahun terakhir (tahun 2005 ke atas)
: 1 8 18
Kemutakhiran DP (>80%) : 4,17 61,54% 78,26