keratitis herpes simplex

36
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelainan mata yang diakibatkan oleh infeksi virus herpes simpleks meliputi bleparitis, konjungtivitis, keratitis, uveitis, dan glaukoma sekunder. Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Di negara-negara barat 90% dari populasi orang dewasa dilaporkan memiliki antibodi terhadap herpes simpleks. (1) Namun demikian, hanya kurang dari 1% yang menimbulkan kelainan pada mata. (2) Sebagian besar bersifat subklinis dan tidak terdiagnosis. Frekuensi keratitis herpes simpleks di AmerikaSerikat sebesar 5% di antara seluruh kasus kelainan mata. (3) Di Negara-negara berkembang insidensi keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. (4) Di Tanzania 35-60% ulkus kornea disebabkan oleh keratitis herpes simpleks. (5) Keratitis herpes simpleks dapat merupakan infeksi primer dan bentuk kambuhan. Kelainan akibat infeksi primer biasanya bersifat epitelial dan ringan. 1

Upload: lusy-octavia-saputri

Post on 04-Jul-2015

1.160 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Keratitis Herpes Simplex

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelainan mata yang diakibatkan oleh infeksi virus herpes simpleks

meliputi bleparitis, konjungtivitis, keratitis, uveitis, dan glaukoma sekunder.

Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh

infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Di negara-negara barat

90% dari populasi orang dewasa dilaporkan memiliki antibodi terhadap herpes

simpleks.(1) Namun demikian, hanya kurang dari 1% yang menimbulkan

kelainan pada mata.(2) Sebagian besar bersifat subklinis dan tidak terdiagnosis.

Frekuensi keratitis herpes simpleks di AmerikaSerikat sebesar 5% di

antara seluruh kasus kelainan mata.(3) Di Negara-negara berkembang insidensi

keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000 orang tiap

tahun.(4) Di Tanzania 35-60% ulkus kornea disebabkan oleh keratitis herpes

simpleks.(5)

Keratitis herpes simpleks dapat merupakan infeksi primer dan bentuk

kambuhan. Kelainan akibat infeksi primer biasanya bersifat epitelial dan

ringan. Gejala-gejala klinis keratitis herpes simpleks kambuhan tergantung

berat ringannya daerah yang terkena. Dibedakan atas bentuk lesi epitelial,

ulserasi trophik, stromal, iridosiklitis, dan trabekulitis.(6) Namun demikian

secara umum gejalanya meliputi: mata merah, nrocos, penglihatan kabur,

adanya infiltrat maupun defek kornea dan yang sangat spesifik adanya

insensibilitas kornea.

Diagnosis keratitis herpes simpleks kadang-kadang sulit dibedakan dengan

kelainan kornea yang lain. Dalam hal ini pemeriksaan laboratorium perlu

dilakukan untuk membedakan dengan keratitis lain, misalnya keratitis bakteri,

jamur, dan trauma kimia. Pemeriksaan laboratorium yang sangat mendukung

1

Page 2: Keratitis Herpes Simplex

konfirmasi diagnosis adalah pemeriksaan cuplikan debridement kornea

dengan immunofluorescent assay maupun DNA probes.

Pengobatan keratitis herpes simpleks makin marak semenjak

ditemukannya idoksunidina pada tahun 1962, kemudian diikuti dengan

penemuan vidarabina; namun ternyata kedua obat tersebut bersifat toksik

terhadap set kornea normal. Penemuan obat-obat anti viral terus berkembang

dengan ditemukannya asiklovir, gansikiovir, dan penggunaan interferon tetes

mata.

Beberapa permasalahan yang mungkin dijumpai dalam penanganan

keratitis herpes simplek antara lain: kekambuhan yang berulang, resistensi

antiviral, tingkat keparahan penyakit pada saat mendapat pelayanan kesehatan

yang memadai, dan kemungkinan semakin meningkatnya jumlah kasus.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang pembuatan

diagnosis maupun penatalaksanaan keratitis herpes simpleks serta pengalaman

praktis dalam penggunaan antiviral. Diharapkan informasi ini akan menambah

wawasan para klinisi dalam menangani keratitis herpes simpleks.

1.2. Tujuan

Penulisan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai gejala,

diagnosis dan penatalaksanaan keratitis herpes simpleks.

2

Page 3: Keratitis Herpes Simplex

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Mata

A. Rongga Orbita

Rongga orbita merupakan suatu rongga yang dibatasi dinding tulang

dan berbentuk seperti pyramid bersisi empat dengan puncak menuju

kearah foramen optik. Masing-masing sisi tulang orbita berbentuk

lengkung seperti buah peer (jambu) yang menguncup kea rah apeks dank

anal optic. Dinding medial rongga orbita kanan berjalan kurang lebih

sejajar dengan dinding medial rongga orbita kiri dan berjarak 25 mm pada

orang dewasa. Di bagian belakang rongga orbita terdapat tiga lubang,

yaitu:

1. Foramen optik yang merupakan ujung bagian orbita kanal optic yang

member jalan kepada saraf optic, arteri oftalmik dan saraf simpatik.

2. Fisura orbita superior yang dilalui vena oftalmik, serat-serat saraf

untuk otot-otot mata (N III, N IV, N VI) serta cabang pertama saraf

trigeminal.

3. Fisura orbita inferior yang dilalui cabang ke-II N V, nervus maksilaris

serta arteri infraorbita yang merupakan sensorik untuk daerah kelopak

mata bawah, pipi, bibir bagian atas, dan gigi bagian atas.(6)

B. Bola Mata

Bola mata terdiri atas:

1. Dinding bola mata

a. Sklera

Merupakan jaringan ikat kolagen, kenyal dan tebal kira-kira 1

mm. Di bagian posterior bola mata saraf optic menembus sclera

dan tempat tersebut disebut lamina kribosa. Bagian luar sclera

3

Page 4: Keratitis Herpes Simplex

berwarna putih dan halus, dilapisi kapsul tenon dan bagian depan

oleh konjungtiva. Di antara stroma sclera dan kapsul tenon

terdapat episklera. Bagian dalamnya berwarna coklat dan kasar

dan dihubungkan dengan koroid oleh filament-filamen jaringan

ikat yang berpigmen, yang merupakan dinding luar ruangan

supra koroid.(6,7)

b. Kornea

Dinding bola mata bagian depan ialah kornea yang

merupakan jaringan yang jernih dan bening, bentuknya hamper

sebagai lingkaran dan sedikit lebih lebar pada arah transversal

(12 mm) dibanding arah vertikal. Batas kornea dan sclera disebut

limbus. Tebal kornea berkisar 0.6-1.0 mm dan terdiri atas 5

lapisan yaitu epitel, membrana bowman, stroma, membran

descemet, dan endotel.

Gambar 2.1. Anatomi Kornea

Epitel

4

Page 5: Keratitis Herpes Simplex

Epitel kornea merupakan lapisan paling luar kornea dan

berbentuk epitel pipih berlapis tanpa tanduk. Bagian terbesar

ujung saraf kornea berakhir pada epitel ini. Setiap gangguan

epitel akan memberikan gangguan sensibilitas kornea berupa rasa

sakit atau mengganjal. Daya regenerasi epitel cukup besar

sehingga apabila terjadi kerusakan, aan diperbaiki dalam

beberapa hari tanpa membentuk jaringan parut.

Membrana Bowman

Terletak di bawah epitel dan merupakan suatu membrane

tipis yang homogeny dan terdiri atas susunan serat kolagen kuat

yang mempertahankan bentuk kornea. Bila terjadi kerusakan

pada membrane bowman maka akan berakhir dengan

terbentuknya jaringan parut.

Stroma

Merupakan lapisan paling tebal dari kornea dan terdiri dari

atas jaringan kolagen yang tersusun dalam lamel-lamel dan

berjalan sejajar dengan permukaan kornea. Diantara serat-serat

kolagen ini terdapat matriks. Stroma bersifat higroskopis yang

menarik air dari bilik mata depan. Kadar air di dalam stroma

kurang lebih 70%. Kadar air di dalam stroma relative yang diatur

oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh epitel.

Apabila fungsi sel endotel kurang baik maka akan terjadi

kelebihan kadar air sehingga timbul edem kornea. Serat di dalam

stroma demikian teratur sehingga memberikan gambaran kornea

yang transparent atau jernih. Bila terjadi gangguan susunan serat

di dalam stroma seperti edema kornea dan sikatriks kornea akan

mengakibatkan sinar yang melalui kornea terpecah dan kornea

terlihat keruh.

Membran Descement

Merupakan suatu lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat,

tidak berstuktur dan bening. Terletak di bawah stroma, lapisan ini

5

Page 6: Keratitis Herpes Simplex

merupakan pelindung atau barier infeksi dan masuknya

pembuluh darah.

Endotel

Terdiri atas satu lapis sel yang merupakan jaringan terpenting

untuk mempertahankan kejernihan kornea. Sel endotel adalah sel

yang mengatur cairan di dalam stroma kornea. Endotel tidak

mempunyai daya regenerasi sehingga bila terjadi kerusakan,

endotel tidak akan normal lagi. Endotel dapat rusak atau

terganggu fungsinya akibat trauma bedah, dan penyakit

intraocular. Usia lanjut dapat menyebabkan jumlah endotel

berkurang.

Kornea tidak mengandung pembuluh darah, jernih dan

bening sebagai dinding, juga berfungsi sebagai media

pengelihatan, dan dipersyarafi oleh N.V.(6)

Gambar 2.2 Kornea Potongan Melintang

2. Isi Bola Mata

a. Lensa

Merupakan badan yang bening, bikonveks dengan

ketebalan sekitar 5 mm dan berdiameter 9 mm pada orang

dewasa. Permukaan lensa bagian posterior lebih melengkung

dibandingkan dengan bagian anterior. Kedua permukaan

6

Page 7: Keratitis Herpes Simplex

tersebut bertemu pada tepi lensa yang dinamakan ekuator.

Lensa mempunyai kapsul yang bening dan pada ekuator

difiksasi oleh zonula zinn pada bagian silier. Lensa pada orang

dewasa terdiri atas bagian inti (nucleus) dan bagian tepi

(korteks). Nukleus lebih keras dibandingkan korteks. Dengan

bertambahnya umur, nucleus makin membesar sedang korteks

makin menipis, sehingga akhirnya seluruh lensa mempunyai

konsistensi nucleus. Fungsi lensa adalah untuk membiaskan

cahaya, sehingga difokuskan pada retina. Peningkatan kekuatan

pembiasan lensa disebut akomodasi.(6)

b. Uvea

Uvea merupakan lapisan dinding kedua dari bola mata

setelah sclera dan tenon. Uvea merupakan jaringan yang lunak

yang terdiri atas 3 bagian, yaitu iris, badan silier, dan koroid.

Iris merupakan membrane yang berwarna, berbentuk silrkuler

yang ditengahnya terdapat lubang yang dinamakan pupil.

Berfungsi mengatur banyak sedikitnya cahaya yang masuk ke

dalam mata. Iris berpangkal pada badan silier yang merupakan

pemisah antara bilik mata depan dan bilik mata belakang.

Permukaan depan iris warnanya sangat bervariasi dan

mempunyai lekukan-lekukan kecil terutama di sekitar pupil

yang disebut kripti.(6)

Jaringan otot iris tersusun longgar dengan otot polos yang

berjalan melingkarai pupil (sfingter pupil) dan radial tegak

lurus (dilatators pupil). Iris menipis di dekat perlekatannya di

badan silier dan dan menebal di dekat pupil. Pembuluh darah di

sekeliling pupil deisebut sirkulus minor dan yang berada dekat

badan silier disebut sirkulus mayor. Iris dipersyarafi oleh

nervus nasosiliaris cabang dari saraf cranial III yang bersifat

simpatik untuk midriasis dan parasimpatik untuk miosis.(6)

7

Page 8: Keratitis Herpes Simplex

Badan silier dimulai dari pangkal iris ke belakang sampai

koroid terdiri atas otot-otot silier dan prosessus siliaris. Otot-

otot silier berfungsi untuk akomodasi, jika otot-otot ini

berkontraksi ia menarik prosessus silier dan koroid ke depan

dan ke dalam, mengendurkan zonula zinn sehingga lensa

menjadi lebih cembung. Fungsi prosesus silier adalah

memproduksi cairan mata-humour aquos. Koroid adalah suatu

membrane yang terbentang dari ora seratta sampai ke papil

saraf optic. Koroid kaya pembuluh darah dan berfungsi

terutama member nutrisi kepada retina bagian luar.(6)

c. Badan Kaca

Badan kaca mengisi sebagian besar bola mata di belakang

lensa, tidak berwarna, bening dan konistensinya lunak. Bagian

luar merupakan lapisan tipis (membrane hialoid). Badan kaca

ditengah-tengah ditembus oleh suatu saluran yang berjalan dari

papil saraf optic ke arah kapsul belakang lensa yang disebut

saluran hialoid yang dalam kehidupan fetal berisi arteri hialoid.

Stuktur badan kaca tidak mempunyai pembuluh dara dan

menerima nurisinya dari jaringan sekitarnya seperti koroid,

badan silier dan retina.(8)

d. Retina

Merupakan suatu membran yang tipis dan bening, yang

terdiri atas penyebaran serabut-serabut saraf optic yang

letaknya diantara badan kaca dan koroid. Bagian anterior

berakhir pada ora seratta. Di bagian retina yang letaknya sesuai

dengan sumbu pengelihatan terdapat macula lutea (bintik

kuning) kira-kira berdiameter 1-2 mm yang berperan penting

untuk tajam pengelihatan. Di tengah macula lutea terdapat

bercak mengkilat yang merupakan refleks fovea.(6)

Kira-kira 3 mm kea rah nasal kutub belakang bola mata

terdapat daerah bulat putih kemerah-merahan, yang disebut

8

Page 9: Keratitis Herpes Simplex

papil saraf optic, yang ditengahnya agak melekuk yang

dinamakan ekskavasi faali. Sel batang lebih banayak

dibandingkan sel kerucut, kecuali di daerah macula, dimana sel

kerucut lebih banyak. Daerah papil saraf optik terutama terdiri

atas serabut saraf optik dan tidak mempunyai daya

pengelihatan.(7)

Gambar 2.3 Anatomi Mata

2.2. Keratitis

A. Definisi

Keratitis adalah suatu keadaan dimana kornea mata yang

merupakan bagian terdepan bola mata mengalami suatu inflamasi.

Kondisi ini seringkali ditandai dengan rasa yang sangat nyeri dan

kemudian dapat berkembang menjadi photofobia atau rasa silau bila

terkena cahaya.9

B. Gejala dan Tanda

Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa sangat nyeri,

rasa silau, penurunan visus mendadak, discharge kornea dan mata

merasa kelilipan.

C. Klasifikasi

9

Page 10: Keratitis Herpes Simplex

1. Keratitis Superfisial

a. Keratitis herpes simpleks superficial

b. Keratitis herpes zoster

c. Keratitis vaksinina

d. Keratitis flikten

e. Keratitis Sika

f. Keratitis Lepra

2. Keratitis Profunda

a. Keratitis Interstitial

b. Keratitis Sklerotikans

2.3. Keratitis Herpes Simpleks

A. Definisi

Keratitis yang disebabkan oleh virus herpes simpleks. Virus ini

menempati manusia sebagai host, dan merupakan parasit intrasellular

obligat yang dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga

mulut, vagina dan mata.

Penularan herpes simpleks dapat terjadi melalui kontak dengan

cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, dan alat kelamin yang

mengandung virus.

Gambar 2.5 keratitis herpes simpleks

B. Bentuk Infeksi

10

Page 11: Keratitis Herpes Simplex

Keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu epithelial

dan stromal, pada yang epithelial terjadi akibat pembelahan virus di

dalam sel epitel yang mengakibatkan kerusakan pada sel epitel dan

membentuk tukak kornea yang suferficial. Pada stromal terjadi suatu

reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi

antigen antibody yang menarik sel radang ke dalam stroma. Sel radang

ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus, tetapi juga

akan merusak jaringan stroma di sekitarnya.(6,7)

C. Gejala dan Tanda

Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer

dan rekuren. lnfeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise,

limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan

2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat

unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral

khususnya pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer dapat terjadi pada

setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25

tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki

pada umur 40 tahun ke atas.

Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: nrocos,

fotofobia, injeksi perikornea, dan penglihatan kabur. Berat ringannya

gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,

berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini

harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipoastesi

kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat

pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa,

dan keratitis kronik. Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3

minggu pasca infeksi primer.7 Dengan mekanisme yang tidak jelas,

virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion otonom. (10)

Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n. trigeminus, dan

ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus.(11) Namun akhir-

akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai

11

Page 12: Keratitis Herpes Simplex

tempat berlindung virus herpes simpleks.(4) Beberapa kondisi yang

berperan terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi

saluran nafas bagian atas, stres emosional, pemaparan sinar matahari

atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi imunosupresi.

Kremer, dkk. (1991) melaporkan pada 1,16% pasien pasca cangkok

ginjal yang disertai penggunaan imunosupresan dalam kurun waktu 4

minggu ternyata timbul keratitis herpes simp1eks.(10) Jumlah kasus

keratitis herpes mungkin semakin meningkat sehubungan dengan

bertambahnya kasus penderita AIDS di masa mendatang.

Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun

pertama, dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua.(14) Peneliti

lain bahkan melaporkan angka yang lebih besar yaitu 46-57% keratitis

herpes simpleks kambuh dalam kurun waktu 4 bulan setelah infeksi

primer.(1) Penelitian di Yogyakarta mendapatkan angka kekambuhan

hanya 11,5% dalam kurun waktu 6 bulan pengamatan setelah

penyembuhan.(15) Perbedaan angka-angka tersebut dimungkinkan oleh

perbedaan cara pengobatan. Terjadinya kekambuhan lebih sering

terjadi pada pasien dengan HLA-B5.(16) . Hasil penelitian di Tanzania

melaporkan adanya peningkatan jumlah kasus keratitis herpes

simpleks, yang Sebagian besar diderita oleh kelompok umur balita.(5)

Di Tanzania kejadian keratitis herpes simpleks dihubungkan dengan

terjadinya wabah malaria. Keratitis herpes simpleks kambuhan atau

lazim disebut keratitis herpes simpleks relaps dibedakan atas bentuk

superfisial, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato

uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan

geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari

keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan

menyebar sambil menimbulkañ kematian set serta membentuk defek

dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat berkembang

menjadi keratitis geografika, hal ini terjadi akibat bentukan ulkus

bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan

12

Page 13: Keratitis Herpes Simplex

demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki

cabang mengelilingi ulkus.

Gambar 2.4 Keratitis herpes simpleks recurrent

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan

keratitis herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi

suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus plaques; selain itu,

bentuk dendriform lebih kecil.(17) Tirosinemia juga sering

menimbulkan lesi dendriform, tetapi biasanya bilateral dan terjadi pada

anak-anak. Lesi semacam ini pernah pula dilaporkan sebagai akibat

infeksi Acanthamoeba, trauma kimia, dan akibat toksisitas

thiornerosal. Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus

metaherpetik, dalam hat ini terjadi perobekan membrana basalis. ulkus

metaherpetik bersifat steril, deepitelisasi meluas sampai stroma. ulkus

ini berbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran beberapa mm dan

bersifat tunggal. Pada kasus ini dapat dijumpai adanya edema stroma

yang berat disertai lipatan membrana descemet. Reaksi iritasi

konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek lakrimasi

berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatif tidak cukup.

Ulkus metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai

beberapa bulan. Untuk penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-

kurangnya 6 minggu

13

Page 14: Keratitis Herpes Simplex

Gambar 2.5 Ulkus dendritik

Terdapat dua bentuk keratitis stroma, yaitu keratitis disciform dan

keratitis interstitial. Keratitis disciform dihipotesiskan sebagai reaksi

hipersensitivitas tipe lambat, sedang keratitis interstitialis terjadi akibat

reaksi hipersensitivitas imun komp1ek.(10) Karakteristik keratitis

disciform berupa edema stroma berbentuk lonjong atau gambaran

melingkar seperti cakram dengan ukuran diameter 57 mm, biasanya

disertai infiltrat ringan. Edema dapat terbatas pada bagian depan

stroma, tetapi dapat juga meluas ke seluruh tebal stroma. Keratic

precipitates biasanya dijumpai menempel di endotel kornea belakang

daerah edema.

Gambar 2.6. Keratitis disciform

14

Page 15: Keratitis Herpes Simplex

Keluhan penderita antara lain: penglihatan kabur, nrocos, rasa

tidak enak, dan fotofobia terjadi bila disertai adanya iritis. Pada kasus

yang ringan, tanpa disertai nekrosis dan neovaskularisasi

penyembuhan dapat terjadi dalam beberapa bulan tanpa meninggalkan

sikatriks. Pada kasus yang berat, penyembuhan memerlukan waktu

sampai 1 tahun atau lebih, bahkan sering terjadi penyullt berupa

penipisan kornea maupun perforasi. Keratitis disciform dapat pula

terjadi akibat infeksi herpes zoster, varisela, campak, keratitis karena

bahan kimia, dan trauma tumpul yang mengenai kornea. Pada keratitis

discform dapat diisolir virus herpes simpleks dan cairan akuos.(20)

Keratitis instertitialis memiliki bentuk bervariasi, lesi dapat tunggal

maupun beberapa tempat. Gambaran klinisnya bahkan dapat mirip

keratitis bakteri maupun jamur. filtrat tampak mengelilingi daerah

stroma yang edema, dan dijumpai adanya neovaskularisasi. Kadang-

kadang dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai

Wessely ring, diduga sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi

antigen antibodi virus herpes simpleks.(21)

Gambar 2.6 Keratitis stromal

Beberapa penyulit keratitis stroma antara lain: kornea luluh,

descemetocele, penipisan kornea, superinfeksi, dan perforasi.

Terjadinya kornea luluh disebabkan oleh mekanisme aktif enzim

15

Page 16: Keratitis Herpes Simplex

kolagenase, nekrosis, replikasi virus, dan efek steroid. Enzim

kolagenase dilepaskan oleh sel epitel rusak, sel polimorfonuklear, dan

fibroblas selama reaksi radang.

D. Diagnosis Keratitis Herpes Simpleks

Gambaran spesifik dendirt tidak memerlukan konfirmasi

pemeriksaan yang lain. Apalagi gambaran lesi tidak spesifik maka

diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran klinik infeksi kornea yang

relative tenang, dengan tanda-tanda peradangan yang tidak berat serta

riwayat penggunaan obat-obatan yang menurunkan resistensi kornea

seperti: anastesi lokal, kortikosteroid dan obat-obatan imunosupresif.

Apabila fasilitas memungkinkan dilakukan kultur virus dari jaringan

epitel, dan lesi stroma.

E. Diagnosis Banding Keratitis Herpes Simpleks

Diagnosis banding keratitis herpes simpleks dapat meliputi

keratitis herpes zoster, keratitis vaksinia, dan keratitis stafilokokus

F. Klasifikasi Keratitis Herpes Simpleks

Hogan dkk. (1964) membuat kiasifikasi diagnosis keratitis herpes

simpleks sebagai berikut:

1. Superfisial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika dan stroma,

geografika.

2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan

penyembuhan, stroma dan ulserasi.

3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal ini

keratouveitis dibedakan atas bentukulserasi dan non ulserasi.

Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna, karena bentuk

keratitis pungtata yang merupakan awal keratitis dendnitik tidak

dimasukkan. Selain itu, pada beberapa kasus yang berat ternyata

16

Page 17: Keratitis Herpes Simplex

dijumpai glaukoma sekunder yang diakibatkan oleh radang jaringan

trabekulum.

Untuk membuat diagnosis, sekarang ini dianut kiasifikasi yang

dibuat oleh Pavan-Langston (1983) sebagai berikut:(10)

1. Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika,

dendrogeografika, geografika.

2. Ulserasi trophik atau metaherpetika.

3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis

interstitialis.

4. Uveitis anterior dan trabekulitis.

Klasifikasi menurut Pavan-Langston inipun belum sempuma,

mengingat sangat jarang ditemukan kasus uveitis anterior maupun

trabekulitis yang berdiri sendini tanpa melibatkan adanya keratitis.

G. Penatalaksanaan

Hal-hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis

keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal,

ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Tujuan dari terapi keratitis herpetik

yaitu untuk menghentikan replikasi virus di dalam kornea dan juga

memperkecil efek perusakan respon pandang.(8)

Pengobatan keratitis epitelial meliputi pemberian antiviral topikal

mata ditutup, dan pemberian antibiotik topikal untuk mencegah infeksi

sekunder. Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan

debridement sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan

untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan

sawar epitelial sehingga antiviral lebih mudah menembus. Dalam hal

ini juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang sering

mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu

mengurangi kandungan virus epitelial, konsekuensinya reaksi radang

akan cepat berkurang. Di antara 8 kelompok penelitian yang dilakukan

antara tahun 19761987 tentang peranan debridement ternyata 5

17

Page 18: Keratitis Herpes Simplex

kelompok peneliti menyimpulkan bahwa tindakan debridement

mempercepat penyembuhan. Apabila tidak ada perbaikan dalam 21

hari, perlu diganti dengan antiviral yang lain.(10)

Pada keratitis meta herpetik terjadi kerusakan membrana basalis,

untuk itu perlu dicegah kerusakan lebih lanjut dengan verban dan lensa

kontak lunak. Pengobatan yang diberikan meliputi pemberian antiviral,

air mata buatan, sikioplegik, dan asetil sistein 10-20% tetes mata tiap 2

jam bila ada tanda-tanda penipisan dan Iuluhnya stroma. Selain itu,

perlu ditambahkan lem cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya

stroma. Bila tindakan tersebut gagal, harus dilakukan flap konjungtiva,

bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti.(10) Flap konjungtiva hanya

dianjurkan bila asih ada sisa stroma kornea, bila sudah terjadi

descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan

keratoplastik lamellar.(22)

Pengobatan pada keratitis disciform meliputi pemberian steroid

topikal, antiviral salep, bila terjadi iritis perlu diberikan steroid oral 20-

30mg selama 7-10 hari. Antibiotik topikal perlu diberikan, jika steroid

topikal diberikan secara masif. Bila terjadi ulserasi, steroid topikal agar

dikurangi pembeniannya dan bila perlu distop. Apabila terjadi penyulit

misalnya luluh kornea, descemetocele, atau perforasi, kemudian

dikelola seperti pengelolaan ulkus metaherpetik yang mengalami

penyulit.

Pemilihan Antiviral

Antiviral yang efektif dan aman adalah jika mampu menghentikan

replikasi virus, tanpa merusak sel-sel sehat. Obat-obat lama sepenti

idoksuridina dan vidarabina memiliki toksisitas semacam dan khasiat

sepadan guna menghentikan replikasi virus. Efek samping pemberian

idoksuridina antara lain: keratitis pungtata, dermatitis kontakta,

konjungtivitis folikularis, dan oklusi pungtum lakrimalis.(23)

Efektivitas kedua obat tersebut untuk pengobatan keratitis dendritik

18

Page 19: Keratitis Herpes Simplex

sebesar 80%, sedang trifluridina mempunyal efektivitas 97% dengan

waktu penyembuhan 2 minggu. Tingkat kepatuhan pasien pengguna

trifluridma lebih baik dibanding kedua obat antiviral tendahulu, karena

lebih mudah larut dalam air.(24) Pada 3-5% kasus ternyata dalam 1

minggu tidak ada perbaikan dengan tnifluridin, dalam hal ini

diperlukan debridement. Resistensi terhadap triflunid sangat jarang,

dan bila dijumpai ternyata tidak dijumpai resistensi silang terhadap

idoksunidina maupun vidarahina.

Hasil penelitian tentang daya guna asikiovir dengan idoksuridina

pertama kali dilaponkan oleh Collum dkk. (1980) didapatkan hasil

benupa lama penyembuhan keratitis dendritik rata-rata 4,4 hari dan

secara bermakna lebih pendek dibandingkan kelompok idoksuridina.

Untuk kasus-kasus keratitis geognafik memerlukan waktu

penyembuhan rata-rata 5,6 hari.(23)

Keratitis stroma memiliki hasil kurang baik bila diobati dengan

idoksuridina. Penggunaan kombinasi antara asikiovin dengan steroid

topikal dapat meningkatkan waktu penyembuhan. Steroid topikal dapat

membantu menekan reaksi radang, dan meaghambat vaskuIarisasi.(25)

Pornier dkk (1982) membuktikan bahwa asikiovir topikal

menghasilkan daya penetrasi terbaik dibandingkan vidarabina maupun

trifluridina.(20) Pada pasien-pasien keratitis stroma yang mendapat

pengobatan kombinasi asiklovir salep mata dan betametason 0,01%

ternyata sembuh komplit memerlukan waktu rata-rata 19,4 hari.(26)

Porter dkk. (1990) membandingkan pengobatan asiklovir secara

topikal dan oral pada kasus-kasus keratitis disciform. Masing-masing

kelompok menggunakan tambahan prednisolon 0,05% tetes mata 5

kali sehari. Hasil penelitian rnenunjukkan hilangnya lakrimasi dan

perbaikan visus lebih cepat pada kelompok pemberian oral, sedang

waktu penyembuhan tidak berbeda dan memerlukan waktu rata-rata 25

hari. Selain itu tidak dijumpai perbedaan angka kekambuhan pada

pengamatan sampai 3 tahun pasca penyembuhan.

19

Page 20: Keratitis Herpes Simplex

Mengenai resistensi klinik antiviral, pernah dilaporkan untuk

idoksuridina sebesar 37%, dan vidarabina sebesar 11 %.(28)

Berdasarkan hash uji laboratonik sensitivitas, beberapa antiviral

terhadap virus herpes simpleks mengalami penurunan, tetapi untuk

asiklovir maupun gansiklovir tidak sampai 10%; sedang untuk

foscarnet, vidarabina, dan icloksuridina didapatkan penurunan

sensitivitas jauh lebih banyak.(29)

Gansiklovir dan karbosiklik oksetanosin G merupakan calon obat

antiviral yang potensial, karena terbukti lebih baik dibandingkan

asiklovir pada percobaan binatang.(30) Interferon tetes mata sebagai

terapi tunggal pada keratitis dendritik kurang bermanfaat, tetapi akan

lebih efektif bila dikombinasi dengan antiviral selain vidarabina.(24)

Mekanisme dasar interferon sebagai terapi adalah membuat sel-sel

sehat menjadi resisten terhadap virus, dan memblok penyebaran virus.(31) Pada keratitis stroma pembenian kombinasi steroid dan interferon

memberikan hasil yang baik pada percobaan binatang.(30) Kombinasi

antiviral dan interferon diharapkan dapat mengatasi resistensi virus

herpes simpleks di masa mendatang.

20

Page 21: Keratitis Herpes Simplex

BAB III

KESIMPULAN

1. Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh

infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2.

2. Bentuk infeksi keratitis herpes simpleks dapat berupa keratitis epithelial dan

stromal

3. Keratitis herpes simpleks dapat bersifat infeksi primer maupun infeksi

rekuren. Infeksi rekuren dibagi menjadi keratitis superficial, profunda dan

keratouveitis.

4. Gejala subjektif yang ditimbulkan akibat keratitis herpes simpleks dapat

berupa nrocos, fotofobia, injeksi perikornea, dan penglihatan kabur

5. Debridement dan terapi medikamentosa merupakan penatalaksaan yang dapat

dilakukan pada keratitis herpes simpleks. Terapi medikamentosa dapat

dilakukan dengan pemberian pemberian antiviral, air mata buatan, sikioplegik,

dan asetil sistein. Antiviral yang dapat digunakan antara lain idoxuridine,

trifluridine, vidarabine, dan asyclovir.

21

Page 22: Keratitis Herpes Simplex

DAFTAR PUSTAKA

1. Day DM, iones BR. Herpes simplex keratitis, in T.D:Duane (ccl.): Clinical Ophthalmology Vol.4 External Eye Disease. Philadelphia: Harper & Row PubI. 1986. pp. 19. 15

2. Verdier DD, KrachmeriH. Clinical manifestations ofherpes simplex virus infectionoftheeye, in FC Blodi (ed): Herpes Simplex Infections of the Eye, vol. 1, chap 1, 1984. pp. 917.

3. Nahmias AJ, Josey WE. Herpes simplex viruses I and 2, in A Evans (ed): Viral Infection in Humans Epidemiology and Control. New York: Plenum PubI. Co., 1977.

4. Kaye SB, Lynas C, Patterson A, Risk JM, McCarthy K, Hart CA. Evidence for herpes simplex viral latency in the human cornea, Bri Ophthalmol 1991; 75: 195200.

5. Foster A, Yorston D. Comeal ulceration in Tanzanian children: relationship between malaria and herpes simplex keratitis, Trans R Soc Trop Med Hyg. 1992; 86: 4567.

6. Ilyas Sidarta, Malingkay, Taim Hilman, dkk. Ilmu Penyakit Mata : Untuk Dokter Umum Dan Mahasiswa Kedokteran. Ed 2. Jakarta: Sagung Seto. 2002; halaman 3-8, 120-123.

7. Ilyas Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008; halaman 3-10,150-152

8. Vaughan G Daniel, Asbury Taylor, Eva Paul Riordan. Oftalmologi Umum. Editor: Suyono Joko.Edisi 14. Jakarta: Widiya Medika. 2000. Halaman 136-139

9. Elmer Tu, Sugar Joel. Eye Conditions:Keratitis. 2011. University of Illonis Department of Ophtalmology and Visual Sciences. (http://www.uic.edu/com/eye/PatientCare/EyeConditions/Keratitis.shtml)

10. Pavan-Laiigston D. Herpetic diseases in G. Smolin and RA Thoft (eds.): The Cornea, Scientific Foundations and Clinical Practice, 1st ed. Boston: Brown & Co. 1983. pp. 1826.

22

Page 23: Keratitis Herpes Simplex

11. Stevens i, Cook M. Latent herpes simplex virus in sensory ganglia, Perspect Virol 1971;8: 1720.

12. Barringer JR. Herpes simplex virus infection of nervous tissue in animal and man, Pro Med Virol 1975; 20: 15.

13. Tullo AB, Eastly DL, Hill Ti, Blyth WA. Ocular herpes simplex and the establishment of latent infection, Trans Ophthalmol Soc UK 1982: 102: 158.

14. Krcmer I, Wagner A, Shmeal D, Yussim A, Shapira Z. Herpes simplex keratitis in renal transplant patient, BrJ Ophthalmol 1991; 75: 946.

15. Shuster ii, Kaufman HE, Nesbur HB. Statistical analysis of the rate of recurrence of herpes virus ocular epithelial disease, Am I Ophthalmol. 1981: 91: 32831.

16. Suhardjo, Agni AN. Penggunaan asiklovir salep mata 3% untuk pengobatan keratitis herpetika, Medika 1992; 11: 258.

17. Grayson M. Diseases of the Cornea, 2nd ed. London: CV Mosby Co. 1983.

18. Epstein RI, Wilhelmus KR. Dendritic keratitis, will wiping it off wipe it out, in TA Deutsch (ed): Ophthalmic Clinical Debates, Year Book Med. Publ., Chicago 1989. pp. 8590.

19. Kenyon KR, Fogle JA, Stone DL, Stark WL. Regeneration of corneal epithelial basement membrane following thermal cauterization. Invest Ophthalmol Vis Sci, 1977; 16: 2925. 16. Porrier RH, Kingham JJ, deMiranda P. Annel M. Intra ocular antiviral penetration, Arch Ophthalmol. 1982; 100: 19647.

20. Meyers-Elliot RH, Pettit TH. Maxwel A. Viral antigens in the immune ring of herpes simplex stromal keratitis, Arch Ophthalmol. 1980; 98: 98790.

21. Foster CS, Duncan J. Penetrating keratoplasty for herpes simplex keratitis. AmJ Ophthalmol. 1981; 92: 3369.

22. Collum LMT, Benedict-Smith A, Hilary lB. Randomized double.blind trial acyclovirand idoxuridine in dendritic corneal ulceration, Br J Ophihalniol. 1980; 64: 7669.

23. Kaufman HE. Herpes simplex in ophthalmology, in F.C. BloW (ed): Herpes Simplex Infections of the Eye, vol. l,chap. 12. New York: Churchill Livingstone Inc., 1984. pp. 15360.

23

Page 24: Keratitis Herpes Simplex

24. Cohen EJ, Laibson PR. Corneal transplantation in herpes simplex keratitis, in FC Blodi (ed): Herpes Simplex Infections of the Eye, vol. I, chap. 11. New York: Churchill Livingstone Inc., 1984. pp. 14752.

25. Collum LMT, Logan P. Rovenschott T. Acyclovir in herpetic disciform keratitis, Br I Ophthalmol. 1983; 67: 1158.

26. Poiler SM, Patterson A, Kho P. A comparison of local and systemic acyclovir in the management of herpetic disciform keralitis. Br J Ophthalrnol. 1990; 74: 2835.

27. McGill JL. Olgivie M. Viral drug resistence in herpes simplex ulceration. in P Trevor Roper (ed): VIth Congress of the European Society for Ophthalmology, London, 1980. pp. 814.

28. Charles SJ. Gray ii. Ocular herpes simplex virus infections: reducesensitivity to acyclovir in primary disease, BrJ Ophthalmol. 1990; 74: 2868.

29. Shiota H. Treatment of herpetic eye diseases. Abstr. XIlIth Congress of AI Kyoto. 1991.

30. Sundinacher R. The role of interferon in prophylazis and treatment of dendritic keintitis. In: FC Blodi (ed): Herpes Simplex Infections of the Eye, vol. I, chap. 10. New York: Churchill Livingstone Inc.. 1984. pp. 12946

24