kti smso_rahman & franz_ fk unsri

37
PENGGUNAAN TEKNOLOGI POLYMERASE CHAIN REACTION SEBAGAI ALAT DETEKSI DINI PADA PENYAKIT LEPRA DISUSUN OLEH FRANZ SINATRA YOGA NIM 04081001071 RAHMAN SETIAWAN NIM 04081001112 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA TAHUN 2010

Upload: franz-sinatra-yoga

Post on 27-Jun-2015

294 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

PENGGUNAAN TEKNOLOGI POLYMERASE

CHAIN REACTION SEBAGAI ALAT DETEKSI

DINI PADA PENYAKIT LEPRA

DISUSUN OLEH

FRANZ SINATRA YOGA

NIM 04081001071

RAHMAN SETIAWAN

NIM 04081001112

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN 2010

Page 2: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Karya Tulis Ilmiah : Penggunaan Teknologi Polymerase Chain Reaction

sebagai Alat Deteksi Dini pada Penyakit Lepra 2. Penulis : Franz Sinatra Yoga

NIM 04081001071

Rahman Setiawan

NIM 04081001112

Palembang, 1 Juni 2010

Mengetahui,

Pembantu Dekan III Dosen Pembimbing

dr. Syarif Husin, MS Dr. dr. Mgs. Irsan Saleh., M. Biomed

NIP 19611209-199203 1 003 NIP 19660929-199601 1 001

Page 3: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

ABSTRAK

Salah satu kemajuan yang luar biasa pada setengah abad terakhir ini adalah berkembang pesatnya teknologi DNA dalam bidang kedokteran. Salah satu pusat perhatian peneliti akhir-akhir ini adalah teknik Polymerase Chain Reaction. PCR dapat membuat miliaran salinan segmen DNA target dalam beberapa jam, jauh lebih cepat daripada pengklonan sepotong DNA yang butuh berhari-hari dengan membuat plasmid rekombinan dan membiarkannya bereplikasi di dalam bakteri. PCR telah digunakan untuk memperkuat DNA dari berbagai macam sumber DNA dari sedikit darah, jaringan, atau air mani yang ditemukan di tempat kejadian perkara kriminal. DNA dari sel embrionik tunggal untuk diagnosis kelainan genetik sebelum kelahiran dan DNA gen virus dari sel yeng terinfeksi oleh virus. Dengan demikian, diharapkan dengan penggunaan PCR penegakan diagnosis untuk penyakit infeksi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan tepat

Salah satu permasalahan dalam bidang kedokteran adalah pendeteksian dini suatu penyakit yang sulit dilakukan. Salah satu contohnya adalah penyakit lepra. Potensi penularan penyakit lepra di Indonesia masih tinggi. Penyebab tingginya penularan lebih disebabkan karena sulitnya deteksi dini penyakit lepra. Ketika memakai BTA, pasien yang dinyatakan sudah negatif oleh bakteri lepra sebenarnya belum sembuh betul. Pemeriksaan yang lebih spesifik dan sensitif ini berguna untuk mencegah penularan bakteri lepra di masyarakat Indonesia. Sebab, mengetahui masih ada atau tidaknya bakteri lepra yang hidup dalam tubuh manusia sampai saat ini masih sulit dilakukan. Karena bakteri lepra tidak dapat dibiakkan melalui media di laboratorium

Kemungkinan penerapan teknologi Poyimerase Chain Reaction dalam mendeteksi kelainan endokrin reproduksi wanita adalah kemampuan teknologi ini untuk mengetahui jenis bakteri penyebab penyakit kulit yang sering kita anggap ringan. Teknologi ini diyakini akan lebih efisien dibanding dengan teknologi diagnosis konvensional karena pada teknologi Polymerase Chain reaction, penyakit lepra dapat dideteksi sedini mungkin sebelum terjadi manifestasi klinis yang lebih lanjut karena 88% pasien lepra yang datang ke dokter sudah berada dalam stadium lanjut. Kata Kunci : teknologi DNA, polymerase chain reaction, penyakit lepra

Page 4: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Mahakuasa atas segala rahmat dan kasih-Nya kepada kita selama ini. Terlebih dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai mahasiswa, sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan literatur yang ada, disamping itu diambil dalam berbagai situs internet. Karya ilmiah ini memberikan suatu aspirasi bagi mahasiswa untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan khususnya tentang Penggunaan Teknologi Polymerase Chain Reaction sebagai Alat Deteksi Dini pada Penyakit Lepra. Di sisi lain, banyak manfaat yang dapat diperoleh pada setiap mahasiswa dalam melakukan tugas dan tanggung jawab sebagai harapan bangsa. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan arahan dari seluruh dosen, khususnya dosen pembimbing, yaitu Dr. dr. Mgs. Irsan Saleh., M. Biomed dan para dosen yang melakukan seleksi karya tulis ilmiah Sriwijaya Medical Scientific Olympiade dalam penyempurnaan karya ilmiah ini. Dengan tangan-tangan terbuka penulis menerima berbagai saran, kritik, dan arahan dari pembaca khususnya rekan-rekan mahasiswa. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga karya ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

Palembang, 1 Juni 2010

Penulis

Page 5: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN................................................................................... ii ABSTRAK............................................................................................................ iii KATA PENGANTAR........................................................................................... iv DAFTAR ISI......................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR............................................................................................ vi BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1 1.2 Perumusan masalah............................................................................. 2 1.3 Tujuan................................................................................................. 3 1.4 Manfaat................................................................................................ 3

BAB II TELAAH PUSTAKA...............................................................................4 2.1. DNA (Deoxyribonucleid acid)........................................................ 4 2.1.1.Karakteristik Kimia DNA…………………........................... 5 2.1.2. Replikasi DNA……………………………........................... 5 2.1.3. Isolasi DNA............................................................................ 5 2.2. Metode Reaksi Rantai Polimerase (Polymerase Chain Reaction).... 6 2.2.1. Teknik Dasar Amplifikasi PCR............................................. 7 2.2.2. Denaturasi untai ganda DNA................................................. 8

2.2.3. Primer Annealing................................................................... 9 2.2.4. DNA Polymerase extension................................................... 10

2.2.5. Sequencing............................................................................. 12 2.2.6. Prinsip Dasar DNA Sequencing.............................................12 2.2.7. Cara Klasik.............................................................................13 2.2.8. Dye Primers dengan Label Berbeda...................................... 14 2.2.9. Dye-Terminators Sequencing................................................. 15 BAB III METODE PENULISAN......................................................................... 17 BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS................................................................... 18

4.1. Kemungkinan aplikasi dari PCR.............................................. 18 4.1.1 Peranan Primer dalam PCR.................................................... 19 4.1.2. Analisis Primer Spesifik 18kDA pada Penyakit Leprae.... 19

4.1.3. PCR- Analisis Sekuen......................................................... 21 4.2.Perbandingan Metode Diagnosis pada leprae, dengan

menggunakan uji BTA dan PCR.................................................. 23 4.3. Aspek Farmakoterapi dan Pentingnya Deteksi Dini Lepra...... 24 BAB V PENUTUP................................................................................................ 26

5.1. Kesimpulan .............................................................................. 26 5.2. Saran......................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 28 DAFTAR RIWAYAT HIDUP.............................................................................. 30

Page 6: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Siklus dasar PCR. A. Sistem tiga temperatur yang berbeda. B.

Kenaikan hasil amplifikasi menunjukkan pertumbuhan sigmoid. .

Gambar 2. Reaksi skematis proses amplifikasi.

Gambar 3. Amplifikasi

Gambar 4. Amplifikasi eksponensial

Gambar 5. Proses Cycle Sequencing

Gambar 6. Prinsip Sanger Method dengan primer labelling

Gambar 7. Prinsip Sanger Method dengan primer fluorescent labelling yang

berbeda-beda

Gambar 8. Visualisasi Metode Sanger

Gambar 9. Prinsip Sanger Method dengan dye dideoxy terminator

Gambar 10. Contoh Electropherogram

Gambar 11. Nucleotide sequences of a segment of the 18-kDa antigen gene and

amino acid sequencesof 18-kDa HSP peptide from different samples

Gambar 12.Representative electropherogram of 18-kDa antigen gene. The

sequence from 143 to 160 bp alone is shown for clarity.

Gambar 13. The mutation at codon 53(ACC→GCC) in the folP gene.

A: Wild type M. leprae. B: M. leprae from the relapsed case

Page 7: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit lepra adalah penyakit yang di sebabkan oleh bakteri

Mycobacterium leprae. Penyakit ini memiliki manifestasi klinis seperti anastesia

pada daerah lesi tubuh manusia. Penyakit ini bisa menular melalui kontak

langsung dengan penderita. Potensi penularan penyakit lepra di Indonesia masih

tinggi. Penyebab tingginya penularan lebih disebabkan karena sulitnya deteksi

dini penyakit lepra. Ketika memakai BTA, pasien yang dinyatakan sudah negatif

oleh bakteri lepra sebenarnya belum bisa dikatakan sembuh. Masih ada kuman

dalam tubuhnya yang tidak dapat dideteksi. Pemeriksaan yang lebih spesifik dan

sensitif diperlukan untuk mencegah penularan bakteri lepra di masayarakat

Indonesia. Sebab, mengetahui masih ada atau tidaknya bakteri lepra yang hidup di

dalam tubuh manusia sampai saat ini masih sulit dilakukan karena bakteri leprae

tidak dapat dibiakkan melaui media di dalam laboratorium. Untuk penelitian pada

bidatang pun terbatas. Hanya dapat dilakukan pada armadillo dan kera jenis

tertentu saja.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat menghasilkan

teknologi yang semakin tinggi pula. Dengan semakin berkembangnya kajian

biologi molekular, tanpa disadari kita sudah berada di depan revolusi iptek yang

akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap berbagai aspek kehidupan

manusia, khususnya aspek medis. Pengklonan DNA dalam setiap sel merupakan

metode terbaik untuk mempersiapkan gen tertentu atau urutan DNA lainnya

dalam jumlah banyak. Akan tetapi, ketika sumber DNA sedikit atau tidak murni,

suatu metode yang disebut PCR bisa melakukan lebih cepat dan lebih efektif.

PCR, reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction), merupakan teknik di

mana setiap fragmen dapat diperkuat (diamplifikasi/ disalin beberapa kali) dengan

cepat tanpa menggunakan sel. DNA diinkubasi dalam tabung reaksi dengan DNA

polimerase jenis khusus, suatu pasokan nukleotida, dan potongan pendek DNA

untai-tunggal sintetik yang berfungsi sebagai primer untuk sintesis DNA. Ingat

Page 8: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

bahwa DNA polimerase membutuhkan primer karena polimerase ini dapat

menambahkan nukleotida hanya pada rantai nukleotida yang telah ada

sebelumnya. Secara otomatis, PCR dapat membuat miliaran salinan segmen DNA

target dalam beberapa jam, jauh lebih cepat daripada pengklonan sepotong DNA

yang butuh berhari-hari dengan membuat plasmid rekombinan dan

membiarkannya bereplikasi di dalam bakteri.

Kunci dari mudahnya otomatisasi PCR adalah DNA polimerase yang tidak

biasa, yang pertama kali diisolasi dari bakteri yang hidup dalam sumber air panas.

Tidak seperti bagian besar protein, enzim ini dapat menahan panas yang

dibutuhkan untuk memisahkan untai-untai DNA pada tahap awal setiap siklus.

Yang sama mengesankannya seperti kecepatan PCR adalah kekhususannya.

Primer menentukan urutan DNA yang diperkuat. Misalnya PCR dapat digunakan

untuk memperkuat gen spesifik sebelum pengklonan lebih lanjut di dalam sel.

PCR membuat gen dengan fragmen DNA yang sangat berlimpah, dengan

demikian menyederhanakan tugas berukutnya untuk mencari suatu klon yang

membawa gen itu. Penggunaan PCR ini memungkinkan pendeksian dini suatu

penyakit secara lebih spesifik dan sensitif dengan menggunakan primer-primer

yang sudah ada.

1.2. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam karya tulis ilmiah ini adalah:

1. Bagaimana kemungkinan cara penggunaan PCR dalam mendiagnosis

kelainan penyakit lepra?

2. Apakah PCR cukup efektif dan efisien dalam mendiagnosis penyakti

lepra?

3. Apa saja keuntungan dan kerugian penggunaan PCR sebagai alat diagnosis

dini penyakit lepra?

Page 9: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

1.3. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan

penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan cara penggunaan penggunaan PCR dalam

mendiagnosis kelainan penyakit lepra.

2. Untuk menilai efektifitas dan efisiensi teknologi PCR dalam mendiagnosis

penyakti lepra.

3. Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian penggunaan penggunaan

PCR sebagai alat diagnosis dini penyakit lepra di negara Indonesia.

1.4. Manfaat

Hasil penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Masyarakat

2. Para pekerja kesehatan

3. Pemerintah

4. Pengembangan ilmu pengetahuan

5. Penelitian lebih lanjut mengenai diagnosis dengan PCR

Page 10: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1. DNA (Deoxyribonucleid Acid)

Asam deoksiribonukleat, lebih dikenal dengan DNA (bahasa Inggris:

deoxyribonucleic acid), adalah sejenis asam nukleat yang tergolong biomolekul

utama penyusun berat kering setiap organisme. Di dalam sel, DNA umumnya

terletak di dalam inti sel. Secara garis besar, peran DNA di dalam sebuah sel

adalah sebagai materi genetik; artinya, DNA menyimpan cetak biru bagi segala

aktivitas sel.

2.1.1. Karakteristik Kimia DNA

DNA merupakan polimer yang terdiri dari tiga komponen utama, yaitu

gugus fosfat, gula deoksiribosa, dan basa nitrogen. Sebuah unit monomer DNA

yang terdiri dari ketiga komponen tersebut dinamakan nukleotida, sehingga DNA

tergolong sebagai polinukleotida.

DNA terdiri atas dua untai yang berpilin membentuk struktur heliks

ganda. Pada struktur heliks ganda, orientasi rantai nukleotida pada satu untai

berlawanan dengan orientasi nukleotida untai lainnya. Hal ini disebut sebagai

antiparalel. Masing-masing untai terdiri dari rangka utama, sebagai struktur

utama, dan basa nitrogen, yang berinteraksi dengan untai DNA satunya pada

heliks. Kedua untai pada heliks ganda DNA disatukan oleh ikatan hidrogen antara

basa-basa yang terdapat pada kedua untai tersebut. Empat basa yang ditemukan

pada DNA adalah adenin (dilambangkan A), sitosin (C, dari cytosine), guanin (G),

dan timin (T). Adenin berikatan hidrogen dengan timin, sedangkan guanin

berikatan dengan sitosin.

2.1.2. Replikasi DNA

Replikasi merupakan proses pelipatgandaan DNA. Proses replikasi ini

diperlukan ketika sel akan membelah diri. Pada setiap sel, kecuali sel gamet,

Page 11: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

pembelahan diri harus disertai dengan replikasi DNA supaya semua sel turunan

memiliki informasi genetik yang sama . Pada dasarnya, proses replikasi

memanfaatkan fakta bahwa DNA terdiri dari dua rantai dan rantai yang satu

merupakan "konjugat" dari rantai pasangannya. Dengan kata lain, dengan

mengetahui susunan satu rantai, maka susunan rantai pasangan dapat dengan

mudah dibentuk.

Proses replikasi DNA ini merupakan proses yang rumit namun teliti.

Proses sintesis rantai DNA baru memiliki suatu mekanisme yang mencegah

terjadinya kesalahan pemasukan monomer yang dapat berakibat fatal. Karena

mekanisme inilah kemungkinan terjadinya kesalahan sintesis amatlah kecil.

2.1.3. Isolasi DNA

Isolasi DNA gen bakteri dari sel terinfeksi yang kita ambil dengan biopsi

dapat kita dapatkan dengan melakukan ultrasentrifugasi. Densitas dari DNA kira

kira sama dengan konsentrasi larutan cesium chloride, CsCl (1,6 -1,8 g/ml).

Sentrifugasi dari larutan CsCl dengan rotasi yang tinggi (400.000 rpm) dengan

kekuatan 105 kali lebih kuat dari kekuatan gravitasi mengakibatkan terbentuknya

gradien densitas dalam larutan. Bila DNA terdapat dalam larutan CsCl yang

disentrifugasi, ia akan bergerak menuju posisi keseimbangan.

Sentrifugasi CsCl bertujuan untuk membersihkan DNA dari RNA dan

protein. Densitas DNA sedikit lebih besar dari 1,7 g/cm3, dimana densitas RNA

lebih dari 1,8 g/cm3 dan protein mempunyai densitas kurang dari 1,3 g/cm3. Pada

akhirnya DNA akan berada di tengah tabung, RNA akan berada didasar tabung,

dan protein mengapung di atas.

Perjalanan partikel yang terlarut dalam ultrasentrifugasi merupakan hasil

dari dua proses. Difusi (dari daerah dengan konsentrasi tinggi menuju daerah

konsentrasi rendah) dan sedimentasi karena kekuatan sentrifugasi. Secara umum

kecepatan difusi dari molekul berbanding terbalik dengan berat molekul. Molekul

yang berukuran besar akan berdifusi lebih lambat dari yang berukuran kecil. Di

sisi lain, sedimentasi meningkat seiring bertambahnya berat molekul. Terlihat

Page 12: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

bahwa makromolekul dalam ekstrak akan mencapai posisi keseimbangan pada

ultrasentrifugasi membentuk sebuah cincin material.

2.2. Metode Reaksi Rantai Polimerase (Polymerase Chain Reaction)

Reaksi rantai polimerase merupakan suatu metode untuk membuat salinan

segmen spesifik dari suatu DNA. Metode ini jauh lebih cepat daripada pengklonan

gen dengan DNA plasmid atau DNA faga yang seluruhnya dilakukan in-vitro.

Materi awal untuk PCR adalah suatu larutan DNA untai ganda yang mengandung

urutan nukleotida yang ditargetkan untuk disalin. Saintis menambahkan jenis

DNA polimerase yang resisten panas (yang mengkatalis reaksi) suatu pasokan

yang terdiri dari keempat nukleotida (untuk disusun menjadi DNA baru dan

primer. Primer ini dibutuhkan agar DNA polimerase dapat memulai sintesis DNA.

Primer yang digunakan dalam PCR ini merupakan molekul DNA rantai tunggal

sintetik yang pendek, primer ini komplementer terhadap ujung-ujung DNA target

sehingga menentukan segmen DNA tertentu yang akan diperkuat :

1. DNA dipanasi secara singkat untuk memisahkan untainya

2. Didinginkan untuk membiarkan primer berikatan dengan ujung-ujung

urutan target melalui ikatan hidrogen suatu primer

3. DNA polimerase menambahkan nukleotida pada ujung 3’ primer dengan

menggunakan untai DNA yang lebih panjang sebagai cetakannya. Dalam

waktu lebih kurang 5 menit urutan DNA yang panjangnya bisa mencapai

seratus pasang basa telah dilipatgandakan. Larutan ini kemudian

dipanaskan lagi, memulai siklus pemisahan untai yang lain, pengikatan

primer, dan sintesis DNA. Siklus ini berjalan berulang-ulang hingga

urutan target telah terduplikasi semua. Sampai kira-kira 20 siklus, hampir

semua molekul DNA yang dihasilkan akan terdiri atas urutan target yang

tepat

Page 13: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

2.2.1. Teknik Dasar Amplifikasi PCR

Proses PCR merupakan proses siklus yang berulang meliputi denaturasi,

annealing dan ekstensi oleh enzim DNA polimerase. Sepasang primer

oligonukleotida yang spesifik digunakan untuk membuat hibrid dengan ujung-5’

menuju ujung-3’ untai DNA target dan mengamplifikasi untuk urutan yang

diinginkan. Dasar siklus PCR ada 30-35 siklus meliputi:

– denaturation (95°C), 30 detik

– annealing (55–60°C), 30 detik

– extension (72°C), waktu tergantung panjang pendeknya ukuran

DNA yang diinginkan sebagai produk amplifikasi.

Peningkatan jumlah siklus PCR diatas 35 siklus tidak memberikan efek

yang positif, seperti yang terlihat pada gambar1B

Gambar 1. Siklus dasar PCR. A. Sistem tiga temperatur yang berbeda. B.

Kenaikan hasil amplifikasi menunjukkan pertumbuhan sigmoid.

Page 14: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

2.2.2. Denaturasi untai ganda DNA

Materi awal untuk PCR adalah suatu larutan DNA untai ganda yang

mengandung urutan nukleotida yang ditargetkan akan disalin. DNA diinkubasi

dalam tabung reaksi dengan DNA polimerase jenis khusus, suatu pasokan

nukleotida, dan potongan pendek DNA untai-tunggal sintetik yang berfungsi

sebagai primer untuk sintesis DNA. Denaturasi untai ganda DNA merupakan

langkah yang kritis selama proses PCR. Temperatur yang tinggi pada awal proses

menyebabkan pemisahan untai ganda DNA. Temperatur pada tahap denaturasi

pada kisaran 92-95ºC, suhu 94ºC merupakan pilihan standar.

Gambar 2. Reaksi skematis proses amplifikasi.

Page 15: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

Kunci dari mudahnya otomatisasi PCR adalah DNA polimerase yang tidak

biasa, yang pertama kali diisolasi dari bakteri yang hidup dalam sumber air panas.

Tidak seperti bagian besar protein, enzim ini dapat menahan panas yang

dibutuhkan untuk memisahkan untai-untai DNA pada tahap awal setiap siklus.

2.2.3. Primer Annealing

Primer Annealing, pengenalan (annealing) suatu primer terhadap DNA

target tergantung pada panjang untai, banyaknya kandungan GC, dan konsentrasi

primer itu sendiri. Primer menentukan urutan DNA yang diperkuat. Ingat bahwa

DNA polimerase membutuhkan primer karena polimerase ini dapat menambahkan

nukleotida hanya pada rantai nukleotida yang telah ada sebelumnya.

Primer yang digunakan dalam PCR ini merupakan DNA untai tunggal

sintetik yang pendek dan komplementer terhadap ujung DNA target sehingga

menentukan segmen DNA tertentu yang akan diperkkuat. Primer disusun dari

sintesis oligonukleotida sepanjang 15-32bp dan primer ini harus mampu

mengenali urutan yang akan diamplifikasi. Untuk standar amplifikasi sepasang

primer akan mempunyai kisaran pasangan basa sekitar 20 basa panjangnya pada

tiap primernya.

Amplifikasi akan lebih effisien bila temperatur annealing tidak kurang dari

37ºC agar tidak terjadi mispriming. Oleh karena itu, pada temperatur sekitar 55ºC

akan dihasilkan amplifikasi produk yang mempunyai spesifitas yang tinggi.

Primer ini akan menempel pada urutan nukleotida yang sesuai dengan urutan

primer itu sendiri, dan menempel pada posisi ujung-5’ dari untai DNA target yang

telah terurai pada proses sebelumnya.

Annealing temperatur antara primer yang digunakan harus berkisar antara

1°C. Ujung 3’ dari setiap primer harus G atau C, akan tetapi hindari susunan

nukleotida G/C berturut-turut tiga pada ujung ini, misal CCG, GCG, GGC, GGG,

CCC, GCC. Pada penentuan atau penyusunan sepasang primer, penting

diperhatikan urutan primer tidak saling komplementer sehingga membentuk

dimer-primers, berikatan satu sama lain, atau membentuk hairpins. Hal lainnya

hindari menyusun primer pada daerah DNA repetitif. Selain itu, faktor homologi

Page 16: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

urutan nukleotida dengan urutan DNA target sangat mempengaruhi kestabilan

ikatan keduanya. Semakin tinggi prosentase homologi semakin stabil ikatan yang

terbentuk.

5´-ACCGGTAGCCACGAATTCGT-3´

| | | | | | | | | |

3´-TGCTTAAGCACCGATGGCCA-5´

Gambar 3. Bentuk dimer-primer dari sepasang primer

2.2.4. DNA Polymerase extension

Pada tahap extension ini terjadi proses pemanjangan untai baru DNA,

dimulai dari posisi primer yang telah menempel di urutan basa nukleotida DNA

target akan bergerak dari ujung 5’ menuju ujung 3’ dari untai tunggal DNA.

Proses pemanjangan atau pembacaan informasi DNA yang diinginkan sesuai

dengan panjang urutan basa nukleotida yang ditargetkan. Pada setiap satu kilobase

(1000bp) yang akan diamplifikasi memerlukan waktu 1 menit. Sedang bila kurang

dari 500bp hanya 30 detik dan pada kisaran 500 tapi kurang dari 1kb perlu waktu

45 detik, namun apabila lebih dari 1kb akan memerlukan waktu 2 menit di setiap

siklusnya. Adapun temperatur ekstensi berkisar antara 70-72°C.

Dalam waktu 5 menit urutan DNA target telah digandakan. Larutan ini

kemudian dipanaskan lagi, memulai siklus denaturasi, annealing, dan extension.

Siklus ini berjalan berulang ulang sehingga urutan target telah terduplikasi

berjalan berulang kali. Tetapi ada batasan praktis untuk jumlah salinan yang dapat

dibuat, yang sering dipaksakan oleh akumulasi kesalahan dalam salinan salinan

DNA (versi mutasi in vitro). Untuk mempersiapkan jumlah segmen DNA yang

lebih banyak, PCR dapat diikuti dengan pengklonan DNA dalam sel.

Page 17: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

Gambar 4. Amplifikasi eksponensial

Tabel 1 Amplifikasi Geometrik (X=2 n)

Siklus PCR Jumlah Relatif Molekul

1 2

2 4

3 8

4 16

5 32

6 64

10 1.024

20 1. 048.576

30 1.073.741.824

Page 18: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

2.2.5. Sequencing

DNA sequencing adalah metode yang digunakan untuk menentukan urutan

basa nukleotida (adenine, guanine, cytosine dan thymine) pada molekul DNA.

Saat ini teknik DNA sequencing sudah memasuki tahap baru yang mengarah pada

large scale atau high-throughput sequencing yang memungkinkan jutaan bahkan

miliaran basa nukleotida DNA dapat ditentukan urutannya.Meskipun begitu,

teknik lama berbasis chain-termination masih umum digunakan, bahkan sangat

efisien untuk menentukan sekuen DNA fragmen pendek (masih dalam hitungan

kilobasa). Jadi ditemukannya teknik DNA Sequencing yang lebih canggih tidak

serta merta bakal menggantikan mesin-mesin capillary sequencing yang

umumnya telah ada di berbagai laboratorium biologi molekuler di seluruh dunia.

2.2.6. Prinsip Dasar DNA Sequencing

DNA sequencing menggunakan metode PCR (Polymerase Chain

Reaction) sebagai pijakannya. DNA yang akan ditentukan urutan basa ACGT-nya

dijadikan sebagai cetakan (template) untuk kemudian diamplifikasi menggunakan

enzim dan bahan-bahan yang mirip dengan reaksi PCR, namun ada penambahan

beberapa pereaksi tertentu. Proses ini dinamakan cycle sequencing.

Gambar 5. Proses Cycle Sequencing (Image from appliedbiosystems.com)

Jadi yang membedakan cycle sequencing dengan PCR biasa adalah:

Page 19: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

1. Primer yang digunakan hanya satu untuk satu arah pembacaan, tidak dua

(sepasang) seperti PCR

2. ddNTPs (dideoxy-Nucleotide Triphosphate) adalah modifikasi dari dNTPs

dengan menghilangkan gugus 3′-OH pada ribosa.

Pada akhir cycle sequencing, yang dihasilkan adalah fragmen-fragmen

DNA dengan panjang bervariasi. Jika fragmen-fragmen tersebut dipisahkan

dengan elektroforesis, maka akan terpisah-pisah dengan jarak antar fragmennya

satu basa-satu basa. Lalu bagaimana caranya menentukan urutan basa DNA dari

produk cycle sequencing ini?

2.2.7. Cara Klasik

Metode yang pertama kali dikembangkan oleh Frederick Sanger pada

tahun 1975, yaitu dengan melakukan reaksi cycle sequencing pada empat tabung

terpisah yang masing-masing berisi semua pereaksi yang dibutuhkan. DNA

polimerase ditambahkan bersama sama keempat campuran deoksiribonukleosida

trifosfat (dATP, dCTP, dGTP, dTTP; secara keseluruhan disebut sebagai dNTP-

deoksiribonukleotida) dan keempat campuran dideoksiribonukleosida trifosfat

(ddATP, ddCTP, ddGTP, ddTTP; secara keseluruhan disebut sebagai ddNTP-

dideoksiribonukleotida).

Setelah reaksi cycle sequencing selesai, keempat hasil reaksi tersebut

dilarikan pada gel electrophoresis sehingga fragmen-fragmen yang dihasilkan

dapat terpisah. Urutan basa DNA dapat ditentukan dengan mengurutkan fragmen

yang muncul dimulai dari yang paling bawah (paling pendek). Fragmen DNA

dapat divisualisasi karena primer yang digunakan dilabel dengan radioaktif atau

fluorescent. Pada teknik lain, bukan primer yang dilabel melainkan dNTP.

Page 20: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

Gambar 6. Prinsip Sanger Method dengan primer labelling (Image from noaa.gov)

2.2.8. Dye Primers dengan Label Berbeda

Agar proses pemisahan fragmen pada gel electrophoresis bisa digabung

dalam 1 lajur saja, digunakanlah pelabel fluorescent dengan 4 warna berbeda

untuk setiap reaksi cycle sequencing.

Gambar 7. Prinsip Sanger Method dengan primer fluorescent labelling yang

berbeda-beda (Image from appliedbiosystems.com)

Dengan teknik ini visualisasi dan penentuan urutan basa dapat dilakukan

dengan lebih mudah karena keempat reaksi dipisahkan dalam satu lajur

electrophoresis dengan 4 warna berbeda.

Page 21: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

Gambar 8. Visualisasi Metode Sanger 2.2.9. Dye-Terminators Sequencing

Metode yang lebih simple akhirnya ditemukan juga. Yaitu dengan

memberi label ddNTP dengan 4 label fluorescent yang berbeda-beda untuk

ddATP, ddCTP, ddGTP dan ddTTP. Dengan demikian, reaksi cycle sequencing

dapat dilakukan dalam 1 tabung reaksi dan dirun pada satu lajur gel

electrophoresis saja. Sangat simple dan cepat.

Gambar. 9. Prinsip Sanger Method dengan dye dideoxy terminator

(Image from appliedbiosystems.com)

Dengan ditemukannya mesin Automated Capillary Sequencer, proses

pemisahan fragmen dan pembacaan urutan basa DNA dapat dilakukan dengan

lebih simple, cepat dan terotomatisasi. Jumlah kapiler pada mesin ini bervariasi,

mulai dari 1, 4, 16, 48 hingga 96 kapiler dalam satu mesin, semakin banyak

jumlah kapiler, semakin banyak pula jumlah sampel DNA yang bisa ditentukan

urutan basanya. Hasil pembacaan mesin sequencer disebut electropherogram,

yaitu peak-peak berwarna yang menunjukkan urutan basa DNA-nya.

Page 22: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

Gambar 10. Contoh Electropherogram (image from ggpht.com)

Teknik DNA Sequencing yang berbasis fragment analysis saat ini tidak

hanya digunakan untuk menentukan urutan basa-basa DNA semata, tapi bisa

dikembangkan untuk berbagai aplikasi, seperti penentuan SNP (Single Nucleotide

Polymorphism), analisa keragaman genetik seperti DNA Microsatellite dan AFLP

(Amplified Fragment Length Polymorphism), community analysis seperti tRFLP

(Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism) dan segudang aplikasi

lainnya.

Page 23: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

BAB III

METODE PENULISAN

Untuk mencapai tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini, maka

metode yang diambil dalam menyusun karya tulis ilmiah ini yaitu dengan

menentukan topik dan permasalahan yang akan dibahas sebagai sumber awal.

Kemudian diadakan pengkajian terhadap literatur yang berhubungan dengan

Penggunaan PCR sebagai alat deteksi dini penyakit lepra dengan cara studi

internet dan studi kepustakaan yang berhubungan dengan pembahasan pada

penulisan karya ilmiah ini.

Page 24: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

BAB IV

ANALISIS DAN SINTESIS

4.1. Kemungkinan aplikasi dari PCR

Perkembangan bioteknologi modern di awal tahun 1970-an telah

membuka cakrawala baru dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai

disiplin ilmu bergerak bersama dalam proses pengembangan teknik-teknik yang

digunakan dalam penelitian biologi molekuler. Kajian aktivitas terpadu antar

ilmu-ilmu biologi, biokimia, genetika, mikrobiologi, teknik kimia, komputasi, dan

biofisika menggunakan pendekatan biologi molekuler untuk menghasilkan suatu

barang dan jasa yang terkait dengan perkembangan IPTEK. Reaksi Polimerase

Berantai atau dikenal sebagai Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu

bentuk kemajuan dari integrasi disiplin ilmu dalam hal pengklonan DNA.

Pada prinsipnya, PCR merupakan proses sintesis enzimatik untuk

mengamplifikasi nukleotida. PCR sendiri dirancang pada tahun 1985 dan telah

memberikan dampak besar pada penelitian biologis dan bioteknologi. Secara

otomatis, PCR dapat membuat miliaran salinan segmen DNA target dalam

beberaapa jam, jauh lebih cepat daripada pengklonan sepotong DNA yang butuh

berhari-hari dengan membuat plasmid rekombinan dan membiarkannya

bereplikasi di dalam bakteri. PCR telah digunakan untuk memperkuat DNA dari

berbagai macam sumber DNA dari sedikit darah, jaringan, atau air mani yang

ditemukan di tempat kejadian perkara kriminal. DNA dari sel embrionik tunggal

untuk diagnosis kelainan genetik sebelum kelahiran dan DNA gen virus dari sel

yeng terinfeksi oleh virus. Dengan demikian, diharapkan dengan penggunaan PCR

penegakan diagnosis untuk penyakit infeksi dapat dilakukan dengan lebih cepat

dan tepat.

Kloning DNA dalam setiap sel tetap merupakan metode terbaik untuk

mempersiapkan gen tertentu atau urutan DNA lainnya dalam jumlah banyak.

Pengklonan DNA pada awalnya digunakan dengan menggunakan plasmid bakteri,

plasmid-plasmid tersebut diisolasi dari bakteri dan kita selipkan DNA yang akan

kita klon. Selanjutnya, plasmid dimasukan ke dalam sel lagi dan dibiakkan secara

Page 25: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

in vitro, akhirnya kita sampai pada tahap penyaringan koloni untuk gen yang kita

harapkan dan merupakan hal yang paling sulit. Tetapi pada kasus leprae, patogen

penyakit lepra yaitu Mycobacterium leprae tidak dapat dibiakkan secara in vitro.

PCR merupakan teknik di mana setiap fragmen dapat diperkuat

(diamplifikasi/disalin beberapa kali) dengan cepat tanpa menggunakan sel. Oleh

karena itu, PCR bisa melakukan pengklonan DNA tersebut dengan lebih cepat dan

lebih efektif. Sehingga diharapkan bisa menjadi pemeriksaan penunjang yang

berguna untuk penegakan diagnosis penyakit leprae.

4.1.1. Peranan Primer dalam PCR

Beberapa teknik analisis keanekaragaman genetik seperti RAPD, RFLP,

dan DGGE membutuhkan amplifikasi daerah genom tertentu dari suatu

organisme. Amplifikasi ini membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida

khusus) untuk daerah tersebut. Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan

dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Makin panjang

primer, makin harus spesifik daerah yang diamplifikasi. Jika suatu kelompok

organisme memang berkerabat dekat, maka primer dapat digunakan untuk

mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok tersebut.

Beberapa faktor seperti konsentrasi DNA contoh, ukuran panjang primer,

komposisi basa primer, konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus

dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik.

Keberhasilan teknik ini lebih didasarkan kepada kesesuaian primer dan efisiensi

dan optimasi proses PCR. Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan

teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau

sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi.

4.1.2. Analisis Primer Spesifik 18kDA pada Penyakit Leprae

Mycobacterium leprae, agen penyebab kusta, merupakan salah satu dari

beberapa bakteri patogen dan diketahui tidak dapat dibiakkan secara in vitro.

Telah banyak kajian biologi molekuler yang telah dilakukan untuk

mengidentifikasi dan mengkarakterisasi protein-protein antigenik imunodominan

Page 26: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

dari M. leprae (Hunter dkk., 1990; Rivoire dkk., 1994; Pessolani dan Brennan,

1996). Beberapa gen yang telah diidentifikasi untuk antigen-antigen ini juga telah

berhasil dikloning dan diurutkan (Thole dkk., 1995). Diantaranya, sebuah antigen

18-kDa, yang merupakan anggota dari kelompok protein kejut panas (HSP),

diketahui spesifik bagi M. leprae. Gen 18-kDa secara khusus teraktivasi selama

pertumbuhan intraseluler dan bisa terlibat dalam kelangsungan hidup M. leprae

dalam makrofage (Dellagostin dkk., 1995).

Antigen HSP 18-kDa dari M. leprae termasuk kedalam famili protein kejut

panas kecil yaitu famili alfa-crystallin dan dilaporkan sebagai antigen sel-T utama.

Gen yang mengkodekan gen HSP ini telah berhasil diklonkan dan dan sekuensi.

Gen antigen 18-kDa, HSP berbobot molekul rendah ini sangat spesifik untuk M.

Leprae. walaupun gen-gen dengan homologi sekuensi terbatas dilaporkan pada M.

avium, M. scrofulaceum, M. gordonae, M. chelonei, M. intracellular dan M.

habana berdasarkan analisis hibridisasi Southern. Akan tetapi, probe yang

dirancang untuk menargetkan antigen 18-kDa menghibridisasi pada DNA

manusia, mencit atau armadillo. Dengan demikian. Gen ini telah digunakan

sebagai target untuk beberapa penelitian dalam pendeteksian M. leprae dari

sampel-sampel kusta dengan menggunakan PCR dan RT-PCR.

Ada beberapa metode berbasis PCR-spesifik untuk mendeteksi DNA

Mycobacterium leprae, tetapi amplikon DNA cukup besar. Sebagai contoh,

primer-primer yang menargetkan gen antigen 36-kDa dan digunakan secara umum

untuk tujuan diagnostik menghasilkan produk 530-bp. Metode-metode ini

menargetkan bagian genom M. leprae yang berbeda dan menghasilkan amplikon-

amplikon yang relatif besar (320 – 530 bp) dibanding dengan yang digunakan

secara rutin untuk pendeteksian M. tuberculosis (123 bp).

Ini bisa menjadi kekurangan ketika menguji sampel-sampel dimana DNA

kemungkinan rusak dan terfragmentasi.

Primer-primer yang dirancang oleh Hartskeerl dkk. didasarkan pada gen

antigen 36-kDa dan masih digunakan oleh banyak laboratorium. Walaupun

amplikonnya memiliki ukuran 530-bp, para peneliti melaporkan bahwa model ini

memungkinkan pendeteksian bakterium tunggal. Williams dkk menggunakan

Page 27: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

primer untuk gen antigen 18-kDa M. leprae yang menghasilkan sebuah produk

360-bp dan dapat mendeteksi sedikitnya 100 M. leprae dalam siapan biopsi kulit

manusia tidak-terinfeksi yang dibiakkan, adapun urutan sekuens primer dari M.

leprae 18-kDa adalah Forward primer 5ATGCTGATGCGTACTGACCC dan

reverse primer 5TTAGGCATCTATGATTTCGT. Plikaytis dkk. melaporkan

sebuah reaksi PCR dua-tahapan nested yang mengamplifikasi produk luar 578-bp

dan produk dalam 347-bp dari groEL M. leprae (antigen 65-kDa) dan dapat

mendeteksi sedikitnya 3 fg DNA, yang bisa sama dengan jumlah yang ditemukan

dalam sebuah basilus tunggal.

Primer spesifik gen antigen 18-kDa memiliki sensitifitas yang lebih besar

dibanding primer yang umum digunakan seperti dilaporkan oleh Hartskeerl dkk,

jika dibandingkan dengan primer-primer gen antigen 36-kDa, primer luar gen

antigen 18-kDa 100-kali lipat lebih sensitif.. Salah satu alasan untuk perbedaan ini

adalah ukuran target yang lebih kecil. Primer yang menargetkan gen antigen 18-

kDa memberikan produk luar 136 bp dan produk dalam 110 bp sedangkan primer

spesifik gen antigen 36-kDa yang menghasilkan produk 530-bp karena ini lebih

besar kemungkinannya menghasilkan uji PCR yang berhasil terhadap DNA yang

rusak dan terfragmentasi.

Dengan demikian, primer spesifik M. leprae yang dirancang berdasarkan

pasangan-pasangan primer yang ada telah terbukti spesifik untuk M. leprae..

sensitive. Disimpulkan bahwa primer-primer baru ini merupakan sebuah sarana

yang bermanfaat dan akurat untuk mendeteksi DNA M. leprae yang rusak atau

terdapat dalam kadar yang sangat rendah.

4.1.3. PCR- Analisis Sekuen

Analisis sekuen merupakan suatu teknik yang dianggap paling baik untuk

melihat keanekaragaman hayati suatu kelompok organisme. Teknik ini

berkembang setelah orang menciptakan mesin DNA sequencer. Pada prinsipnya

polimorfisme dilihat dari urutan atau sekuen DNA dari fragmen tertentu dari suatu

genom organisme. Untuk melihat keanekaragaman jenis dapat dilakukan melalui

analisis sekuen gen 16S-rRNA bagi organisme prokaryota atau 18S-rRNA bagi

Page 28: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

organisme eukaryota. Perbandingan sekuen rRNA merupakan alat yang baik

untuk mendeduksi hubungan filogeni dan evolusi di antara organisme bacteria,

archaebacteria, dan eukaryot (Weisburg et al., 1991).

Sekuen yang dihasilkan dibandingkan dengan basis data (data-base) untuk

gen 16SrRNA dan 18S-rRNA tersedia dan disimpan misalnya dalam Gene-Bank,

dan dapat diakses misalnya melalui http:/// www.ebi.ac.uk maupun dengan

menggunakan program BLAST dari The National Center for Biotechnology

Information World Wide Web server.

Gambar 11. Nucleotide sequences of a segment of the 18-kDa antigen gene and

amino acid sequencesof 18-kDa HSP peptide from different samples.

Page 29: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

Gambar 12. Representative electropherogram of 18-kDa antigen gene. The

sequence from 143 to 160 bp alone is shown for clarity.

4.2. Perbandingan Metode Diagnosis pada leprae, dengan menggunakan uji

BTA dan PCR

Diagnosis penyakit didasarkan pada pemeriksaan klinis pasien,

histopatologi dan penunjukkan basilus tahan asam dalam hapusan atau biopsi

skin-slit. Akan tetapi, batas deteksi berdasarkan mikroskop adalah c. 104

basilus/mL. Untuk meningkatkan kesensitifan dan kespesifikan pendeteksian M.

leprae, beberapa peneliti telah melaporkan metode-metode berdasarkan PCR.

dr Cita Rosita Sigit Prakoeswa SpKK dalam disertasinya mengatakan

bahwa “Ketika memakai BTA, pasien yang dinyatakan sudah negatif oleh bakteri

lepra sebenarnya belum sembuh betul. Masih ada kuman yang hidup dalam

tubuhnya yang tidak dapat dideteksi,”

Sharma dkk. meneliti material biopsi dari pasien-pasien India dan

menemukan perbedaan gen antigen 18-kDa dengan menggunakan DNA M. leprae

sebagai template. Para peneliti ini melaporkan kesensitifan 100% pada sampel

yang positif basilus-tahan-asam dan kesensitifan 71% pada sampel yang negatif

Page 30: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

basilus-tahan-asam. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa mRNA antigen 18-

kDa pada 81% kasus yang positif AFB dan 75% kasus yang negatif AFB,

sehingga menandakan korelasi yang dekat. Hasil ini mendukung keterpercayaan

analisis RT-PCR dalam identifikasi gen.

4.3. Aspek Farmakoterapi dan Pentingnya Deteksi Dini Lepra

Selama in para dokter sangat jarang menemukan pasien lepra dalam

stadium dini. Hal ini ditandai dengan tangan dan kaki penderita yang cacat. Selain

itu sekitar 88% pasien menderita lepra tipe basah (multibasiler) yang sangat

menular kepada orang lain. Penularan bisa melalui kontak dengan pasien lepra.

Fakta ini menunjukkan bahwa seharusnya penangan penyakit lepra harus

dilakukan dengan serius dan deteksi dini penyakit ini sangat penring dilakukan.

World Health Organization merekomendasikan pengguanaan multidrug

pada terapi lepra. Kombinasi obat yang digunakan terdiri dari dapsone, rifampin,

dan ofloksasin. Kombinasi obat ini telah mengurangi jumlah penderita leprae

namun dari data-data yang di dapatkan, kasus relaps pada penderita leprae masih

tinggi. Resistensi obat antilepra telah diteliti sejak tahun 1964. Resistensi ini

berhubungan dengan mutasi gen Gen folP pada kodon 53 (ACCGCC) sehingga

mengubah asam amino threonine menjadi alanine.

Gambar 13. The mutation at codon 53(ACC→GCC) in the folP gene.

A: Wild type M. leprae. B: M. leprae from the relapsed case

Page 31: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

Mutasi pada kodon ini dapat menyebabkan resistensi obat antilepra.

Teknologi PCR akan membantu kita mendeteksi gen yang mengalami mutasi

sehingga kita dapat mengetahui apakah bakteri M. Leprae telah mengalami

resistensi terhadap obat tertentu. Teknologi ini akan lebih simpel dibandingkan

metode pembiakan bakteri dan uji resistensi pada mencit selama 12 bulan. Dengan

mengetahui metode uji resistensi ini maka penggunaan terapi yang tepat dapat

diterapkan untuk menuntaskan penyakit ini.

Page 32: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

PCR merupakan teknik di mana setiap fragmen dapat diperkuat

(diamplifikasi/disalin beberapa kali) dengan cepat tanpa menggunakan sel. Oleh

karena itu, PCR bisa melakukan pengklonan DNA tersebut dengan lebih cepat dan

lebih efektif. Sehingga diharapkan bisa menjadi pemeriksaan penunjang yang

berguna untuk pendeteksian dini dan penegakan diagnosis penyakit leprae.

Pemeriksaan yang lebih spesifik dan sensitif ini berguna untuk mencegah

penularan bakteri lepra di masyarakat Indonesia. Sebab, mengetahui masih ada

atau tidaknya bakteri lepra yang hidup dalam tubuh manusia sampai saat ini masih

sulit dilakukan. Karena bakteri lepra tidak dapat dibiakkan melalui media di

laboratorium. Untuk penelitian pada binatang pun terbatas. Hanya pada armadillo

dan kera jenis tertentu saja dapat dilakukan.

Selain itu sekitar 88% pasien menderita lepra tipe basah (multibasiler)

yang sangat menular kepada orang lain. Penularan bisa melalui kontak dengan

pasien lepra. Sementara itu, pasien yang datang ke dokter sangat jarang berada

dalam stadium dini. Hal ini ditandai dengan tanan dan kaki penderita cacat.

Uraian di atas menyarankan bahwa metode diagnostik yang paling

potensial saat ini untuk diterapkan dalam mendeteteksi secara dinipenyakit kusta

adalah teknologi Polymerase Chain Reaction. Keterbatasan biaya dapat menjadi

penghambat penerapan teknik diagnosis yang membutuhkan instrumen dan bahan

yang mahal ini di Indonesia. Tetapi dengan dukungan penuh dari pemerintah dan

seiring dengan berkembangnya automatisasi serta komersialisasi dari metode

molekuler akan dapat dirancang aplikasi teknologi ini secara efisien, yang akan

bermuara pada makin terintegrasinya teknologi Polymerase Chain Reaction ke

dalam praktek klinik.

Page 33: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

5.2. Saran

Sebagai penutup, penulis mengajak pemerintah, para pekerja kesehatan,

pemerhati IPTEK, akademisi, pengusaha, dan seluruh komponen masyarakat

Indonesia untuk mulai meningkatkan perhatiannya pada teknologi Polymerase

Chain Reaction yang tepat guna bagi bangsa dan masyarakat Indonesia karena

kemajuan suatu bangsa dimulai dari peningkatan kualitas hidup dan pemanfaatan

sumber daya manusianya.

Page 34: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

DAFTAR PUSTAKA

1. Booth, R.J., et al. Homologs of Mycobacterium leprae 18-Kilodalton and

Mycobacterium tuberculosis 19-Kilodalton Antigens in Other

Mycobacteria. Infect Immun 1993; 61: 1509-1515

2. Campbell, Neil A, Jane B. Reece. 2002. Biology (edisi ke-5). Terjemahan

oleh: dra. Rahayu Lestari, drs. Ellyzar I.M. Adil, Nova Anita, S.Si, dkk).

Jakarta: Erlangga. halaman 298-314, 388-413.

3. Chae, Gue-Tae, et al. Mycobacterium leprae to assess the efficay of multi-

drug therapy for leprosy.J Med Microbiol 2002; 51: 417-422

4. Donoghue, H.D., J. Holton, and M. Spigelman. PCR primers that can

detect low levels of Mycobacterium leprae DNA. J Med Microbiol 2001;

50: 177-182

5. Fatchiyah. Polymerase Chain Reaction: Dasar Teknik Amplifikasi DNA

dan Applikasinya. Malang 2006

6. Garrett, Reginald H. and Vharles M. Grisham. 2007. Biochemistry update

third edition. United States of America: Thomson learning. Halaman 337-

343, 373

7. Hartskeerl RA, De Wit MYL, Klaster PR. Polymerase chain reaction for

detection of Mycobacterium leprae. J Gen Microbiol 1989; 135: 2357-

2364

8. Hirawati, et al. Detection of M. Leprae by reverse transcription-PCR in

biopsy specimens from leprosy cases: a preliminary study. J Commun Dis

2006; 38: 280-287

9. Ivette, Lopez-Roa Rocio, Fafutis-Morris Mary,and Matsuoka Masanori.

A drug resistant leprosy case detected by DNA sequence analysis from a

relapsed Mexican leprosy patient. Rev Lationam Microbiol 2006; 48: 256-

259

Page 35: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

10. Marques, M.A.M., et al. Further biochemical characterization of

Mycobacterium leprae laminin-binding protein. Braz J Med Biol Res

2001; 34: 463-470

11. Murray, Robert K, Darryl K. Granner, Victor W. Rodwell. 2006. Harper’s

Illustrated Biochemistry (edisi ke-27). Terjemahan oleh: dr. Brahm U.

Pendit. Jakarta : EGC. Halaman 304-414.

12. Nakata, Noboru, et al. Nucleotide sequence of the Mycobacterium Leprae

katG region. Journal of Bacteriology 1997; 179: 3053-3057

13. Shabaana, A.K., S.P. Shankernayan, and K. Dharmalingam.

Mycobacterium leprae 18-kDa heat shock protein gene in polymorphic.

Current science 2003; 84: 64-70

14. Shanmugam, Anusuya and Jeyakumar Natarajan. Computational genome

analyses of metabolic enzymes in Mycobacterium leprae for drug target

identification. Bioinformation 2010; 4: 393-395

15. Wichitwechkarn, Jesdawan, et al. Detection of Mycobacterium leprae

infection by PCR. Journal of Clinical Microbiology 1995; 33: 45-49

16. Young, Douglas. 2002. Leprosy- new opportunities in basic science.

Working papar for the Scientific working group meeting on leprosy

research. Geneva, 26-28 februari 2002

Page 36: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Rahman Setiawan 2. Tempat/ Tangggal lahir : Jambi/ 18 September 1990 3. Institusi : FK Unsri 4. Alamat : Jl. Mayor mahidin no. 93,

palembang 5. Handphone : 081994862740 6. Karya- Karya yang Pernah Dibuat :

a. Tata cara Upacara Pengobatan Suku Anak Dalam Jambi b. Korelasi antara Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas dengan Tingkat

Kedisiplinan Pengendara c. Pengaruh Pemberian Dana BOS dengan Tingkat Kehadiran Siswa

SMA PGRI IV Jambi d. Koralasi antara Angka Kemiskinan dengan Indeks Pembangunan

Manusia e. Identifikasi Tanaman Obat Tradisiona Di Taman Nasional Bukit 12

Jambi 7. Penghargaan-Penghargaan Ilmiah :

a. Juara 1 International Biology Olympiade Tingkat Provinsi Jambi 2006

b. Juara II International Biology Olympiade Tingkat Kota Jambi 2007 c. Finalis Olimpiade Sains Nasional bidang Biology di Semarang

2006 d. Finalis Pertukaran Pelajar Budaya Indonesia-Singapore di Jakarta

2007 e. Juara II Honda Best Student Tingkat Kota Jambi 2007 f. Juara II Honda Best Student Tingkat Provinsi Jambi 2007 g. Finalis Nasional AHMBS Jakarta 2007

Page 37: KTI SMSO_Rahman & Franz_ FK Unsri

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Franz Sinatra Yoga 2. Tempat/ Tangggal lahir : Aceh/ 18 Oktober 1990 3. Institusi : FK Unsri 4. Alamat : Jl. Mayor mahidin no.117.

Palembang 5. Handphone : 085769382203 6. Karya- Karya yang Pernah Dibuat :

a. Menghapus Bayang Bayang Korupsi Untuk Langkah ke Depan Bangsa

b. Budidaya Ikan kerapu Sebagai Investasi Provinsi Bengkulu c. Disiplin Masyarakat dalam Peningkatan Pekerti Bangsa d. Belajar Kimia Meningkatkan Kecerdasan Emosi dan Spiritual

Berdasar pada Nilai Nilai Islam 7. Penghargaan-Penghargaan Ilmiah :

a. Juara II Karya Tulis Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2007 Tingkat Provinsi Bengkulu

b. Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Fakultas Hukum FH UNIB 2007 tingkat Provinsi Bengkulu

c. Juara I LCT Biologi FKIP UNIB 2005 d. Juara III LCT Kimia 2007 tingkat Provinsi Bengkulu e. Juara II LCT Kimia 2008 tingkat Provinsi Bengkulu f. Chemis#8 Chemical Idol 2008 Ganesha Operation cabang

Bengkulu