lapsus abortus
DESCRIPTION
Lapsus AbortusTRANSCRIPT
4.3.4 Klasifikasi
1. Abortus spontan
Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk
mengosongkan uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata
lain yang luas digunakan adalah keguguran (Miscarriage) (Sastrawinata et al.,
2005).
2. Abortus imminens (keguguran mengancam)
Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20
minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi
serviks. Abortus iminens didiagnosa bila seseorang wanita hamil kurang
daripada 20 minggu mengeluarkan darah sedikit pada vagina. Perdarahan
dapat berlanjut beberapa hari atau dapat berulang, dapat pula disertai sedikit
nyeri perut bawah atau nyeri punggung bawah seperti saat menstruasi. Polip
serviks, ulserasi vagina, karsinoma serviks, kehamilan ektopik, dan kelainan
trofoblast harus dibedakan dari abortus iminens karena dapat memberikan
perdarahan pada vagina. Pemeriksaan spekulum dapat membedakan polip,
ulserasi vagina atau karsinoma serviks, sedangkan kelainan lain membutuhkan
pemeriksaan ultrasonografi (Sastrawinata et al., 2005).
3. Abortus insipiens (keguguran berlangsung)
Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu
dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi
masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat,
perdarahan bertambah. Abortus insipiens didiagnosis apabila pada wanita
hamil ditemukan perdarahan banyak, kadang-kadang keluar gumpalan darah
yang disertai nyeri karena kontraksi rahim kuat dan ditemukan adanya dilatasi
serviks sehingga jari pemeriksa dapat masuk dan ketuban dapat teraba.
Kadang-kadang perdarahan dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan
jaringan yang tertinggal dapat menyebabkan infeksi sehingga evakuasi harus
segera dilakukan. Janin biasanya sudah mati dan mempertahankan kehamilan
pada keadaan ini merupakan kontraindikasi (Sastrawinata et al., 2005).
4. Abortus inkomplet (keguguran tidak lengkap)
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan
vaginal, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri
atau sudah menonjol dari ostium uteri eksternum. Abortus inkomplet
didiagnosis apabila sebagian dari hasil konsepsi telah lahir atau teraba pada
vagina, tetapi sebagian tertinggal (biasanya jaringan plasenta). Perdarahan
biasanya terus berlangsung, banyak, dan membahayakan ibu. Sering serviks
tetap terbuka karena masih ada benda di dalam rahim yang dianggap sebagai
benda asing (corpus alienum). Oleh karena itu, uterus akan berusaha
mengeluarkannya dengan mengadakan kontraksi sehingga ibu merasakan
nyeri, namun tidak sehebat pada abortus insipiens. Jika hasil konsepsi lahir
dengan lengkap, maka disebut abortus komplet. Pada keadaan ini kuretase
tidak perlu dilakukan (Sastrawinata et al., 2005).
5. Abortus complet (keguguran lengkap)
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi telah
di keluarkan dari kavum uteri. Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan
lengkap. Pada abortus kompletus, perdarahan segera berkurang setelah isi
rahim dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti
sama sekali karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi
telah selesai. Serviks juga dengan segera menutup kembali. Kalau 10 hari
setelah abortus masih ada perdarahan juga, abortus inkompletus atau
endometritis pasca abortus harus dipikirkan (Sastrawinata et al., 2005).
6. Missed abortion (retensi janin mati)
Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin yang mati
tertahan di dalam kavum uteri tidak dikeluarkkan selama 8 minggu atau lebih
(Prawirohardjo, 2007). Pada abortus tertunda akan dijumpai amenorea, yaitu
perdarahan sedikit-sedikit yang berulang pada permulaannya, serta selama
observasi fundus tidak bertambah tinggi, malahan tambah rendah. Pada
pemeriksaan dalam, serviks tertutup dan ada darah sedikit (Sastrawinata et al.,
2005).
7. Abortus Habitualis (Recurrent abortion)
Abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut- turut, yang
disebabkan oleh anomali kromosom parental, gangguan trombofilik pada ibu
hamil, dan kelainan struktural uterus merupakan penyebab langsung pada
abortus habitualis (Jauniaux et al., 2006). Menurut Mochtar (1998), abortus
habitualis merupakan abortus yang terjadi tiga kali berturut-turut atau lebih.
Etiologi abortus ini adalah kelainan dari ovum atau spermatozoa, dimana
sekiranya terjadi pembuahan, hasilnya adalah patologis. Selain itu, disfungsi
tiroid, kesalahan korpus luteum dan kesalahan plasenta yaitu tidak sanggupnya
plasenta menghasilkan progesteron sesudah korpus luteum atropi juga
merupakan etiologi dari abortus habitualis (Sastrawinata et al., 2005).
8. Abortus Septik (Septic abortion)
Abortus septik adalah keguguran disertai infeksi berat dengan
penyebaran kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritoneum.
Hal ini sering ditemukan pada abortus inkompletus atau abortus buatan,
terutama yang kriminalis tanpa memperhatikan syarat-syarat asepsis dan
antisepsis. Bakteri yang dapat menyebabkan abortus septik adalah seperti
Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Proteus vulgaris, Hemolytic
streptococci dan Staphylococci (Mochtar, 1998; Dulay, 2010).
4.4. Penegakan Diagnosis
4.4.1 Anamnesis
Anamnesa merupakan suatu cara penegakan diagnosis yang dilakukan
pertama kali. Di mana anamnesa yang baik dan benar dapat mengarahkan
diagnosis. Anamnesa pada kasus obstetri dan ginekologi memiliki prinsip yang
sama dengan anamnesa pada umumnya, yaitu meliputi identitas, keluhan utama,
penyakit saat ini, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat pengobatan, riwayat
keluarga, riwayat sosial. Pada kasus obstetri dan ginekologi, anamnesis
dititikberatkan pada riwayat perkawinan, kehamilan, siklus menstruasi, penyakit
yang pernah diderita khususnya penyakit obstetri dan ginekologi, serta
pengobatan, riwayat KB, serta keluhan-keluhan seperti perdarahan dari jalan
lahir, keputihan (fluor albus), nyeri, maupun benjolan (Prawirohardjo, 2011).
Anamnesa dilakukan untuk mencari etiologi dari abortus. Dengan anamnesa
yang teliti dan menjurus maka akan dikembangkan, pemikiran mengenai
pemeriksan selanjutnya yang dapat memperkuat dugaan kita pada suatu etiologi
yang mendasari terjadinya abortus. Hal ini akan berpengaruh juga pada rencana
terapi yang akan dilakukan sesuai dengan etiologinya (Fransisca, 2007).
Pada anamnesa didapatkan pasien seorang wanita berusia 19 tahun
(tergolong usia reproduktif), 1 kali menikah selama 9 bulan, riwayat kehamilan 1
kali Pertama kali menstruasi (menarche) pada usia 12 tahun dengan siklus haid
pasien teratur yaitu 28 hari dan lama haid 7 hari. HPHT pasien 23 oktober 2014.
Pasien datang ke Poliklinik Ginekologi RSUD Dr.Saiful Anwar Malang
pada tanggal 24 november 2014 dengan keluhan utama perdarahan dari jalan
lahir seperti menstruasi sejak 5 hari yang lalu. Perdarahan disertai dengan rasa
nyeri dari perut bagian bawah menembus dubur dan menjalar sampai ke paha.
Rasa nyeri terasa hilang timbul, namun menyusahkan pasien untuk melakukan
aktivitas sehari-hari. Pasien pernah jatuh terpeleset dikamar mandi 1 hari yang
lalu, kemudian besoknya perdarahan dan tidak berobat.
Menurut Sastrawinata et al., pada tahun 2005, abortus memiliki
manifestasi klinik sebagai berikut:
- Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu
- Pendarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi.
- Rasa mulas atau kram perut didaerah atas simfisis, sering disertai nyeri
pinggang akibat kontraksi uterus.
Adanya keluhan perdarahan dari jalan lahir yang mungkin disertai
keluarnya jaringan konsepsi, rasa mulas atau kram perut didaerah atas simfisis,
sering disertai nyeri pingang adalah keluhan yang biasa ditemui pada kasus
abortus. Hal tersebut terjadi karena uterus berkontraksi untuk mengeluarkan
jaringan sisa hasil konsepsi yang gugur yang telah dianggap sebagai benda
asing.
Menurut WHO, setiap wanita pada usia reproduktif yang mengalami dua
dari tiga gejala seperti; (i) perdarahan pervaginam, (ii) nyeri pada abdomen
bawah, (iii) riwayat amenorea, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya abortus.
Dari hasil anamnesa pada pasien, didapatkan memenuhi ketiga gejala tersebut.
Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya abortus harus dipikirkan.
4.4.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan fisik untuk penegakan diagnosis abortus menurut Prawirohardjo,
2007 adalah sebagai berikut:
Inspeksi Vulva: Pendarahan pervaginam ada atau tidaknya jaringan hasil
konsepsi, tercium atau tidak bau busuk dari vulva.
Inspekulo: Pendarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah
tertutup ada atau tidaknya jaringan keluar dari ostium, ada atau tidaknya
cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium.
Colok Vagina: Porsio terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan
dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan,
tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada peraban adneksa, kavum
douglasi tidak menonjol dan tidak nyeri.
Abortus inkompletus didiagnosis apabila sebagian dari hasil konsepsi telah
lahir atau teraba pada vagina, tetapi sebagian tertinggal (biasanya jaringan
plasenta). Perdarahan biasanya terus berlangsung, banyak, dan membahayakan
ibu. Sering serviks tetap terbuka karena masih ada benda di dalam rahim yang
dianggap sebagai benda asing (corpus alienum). Oleh karena itu, uterus akan
berusaha mengeluarkannya dengan mengadakan kontraksi sehingga ibu
merasakan nyeri, namun tidak sehebat pada abortus insipiens. Jika hasil konsepsi
lahir dengan lengkap, maka disebut abortus komplet. Pada keadaan ini kuretase
tidak perlu dilakukan. Pada abortus kompletus, perdarahan segera berkurang
setelah isi rahim dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan
berhenti sama sekali karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan
epitelisasi telah selesai. Serviks juga dengan segera menutup kembali. Apabila 10
hari setelah abortus masih ada perdarahan juga, abortus inkompletus atau
endometritis pasca abortus harus dipikirkan (Sastrawinata et al., 2005).
Gambar 4.1 Tabel kriteria diagnosis abortus (WHO, 2013)
Pada pemeriksaan didapatkan pasien dalam keadaan baik, status
generalis dalam batas normal. Tidak ada anemia maupun ikterus. Kondisi jantung
maupun paru juga dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen terlihat
membesar, namun bising usus terdengar normal dan tidak ada shifting dullness.
Inspeksi pada genitalia eksterna terlihat darah keluar minimal tanpa disertai fluor.
Kemudian dilakukan pembukaan dengan spekulum tampak adanya portio nullipara
terbuka kurang lebih 1 jari, licin, tampak adanya perdarahan minimal dan jaringan.
Pemeriksaan kemudian dilanjutkan dengan melakukan vaginal touché tidak
didapatkan kelainan dan corpus uteri retroflexi, dindingnya dalam batas normal.
Dalam corpus uteri teraba adanya jaringan. Pada pemeriksaan adnexa
perimetrium dextra dan sinistra tidak didapatkan massa ataupun nyeri.
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
perdarahan minimal benar keluar dari jalan lahir disertai dengan jaringan dengan
kondisi portio terbuka.
4.4.3 Pemeriksan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk konfirmasi anamnesa dan
pemeriksaan fisik pada kasus abortus adalah:
Pemeriksan laboratorium darah lengkap, hematokrit, golongan darah, serta
reaksi silang analisis gas darah, kultur darah, teresistensi.
Tes kehamilan: positif jika janin masih hidup, bahkan 2-3 minggu setelah
abortus.
Pemeriksan dopler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup.
Pemeriksan kadar fibrinogen darah pada missed abortion (Fransisca, 2007)
4.4.4 Diagnosis
Berdasarkan anamnesa, pasien mengeluhkan keluar darah dan flek dari
jalan lahir sejak 11 hari yang lalu. Kemudian didapatkan riwayat jatuh terpeleset
satu hari sebelum masuk rumah sakit dan keluar darah bergumpal. Didapatkan
pula tanda-tanda hamil muda pada pasien seperti terlambat haid.
Pada pemeriksaan fisik inspekulo didapatkan fluxus + minimal, portio
nullipara, licin, terbuka 1 jari dan tampak jaringan keluar dari OUE. Pada
pemeriksaan VT didapatkan fluxus + minimal, portio nullipara, licin dan teraba
jaringan keluar dari OUE. Kemudian didapatkan CURF 6-8 minggu. Sedangkan
dari pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan didapatkan tes kehamilan (+).
Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa pasien memenuhi kriteria
diagnostik abortus inkomplit.
4.4.5 Komplikasi Abortus
Komplikasi yang berbahaya pada abortus menurut Saifuddin et.al (2004)
adalah:
a. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa
hasil konsepsi dan jka perlu pemberian tranfusi darah. Kematian karena
perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
b. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam
posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamati dengan
teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi dan tergantung
dari luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi.
Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan
persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi
perlukaan kandung kemih atau usus. Degan adanya dugaan atau kepastian
terjadinya perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan
luasnya cidera, untuk selanjutnya mengambil tindakan seperlunya guna
mengatasi komplikasi.
c. Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus,
lebih sering pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan
asepsis. Umumnya pada abortus infeksius infeksi terbatas pada desidua.
d. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan
karena infeksi berat (syok endoseptik)