lapsus opik celecai.doc

56
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Laparatomi merupakan suatu proses insisi bedah ke dalam rongga abdomen yang dilakukan dengan berbagai indikasi seperti trauma abdomen, infeksi pada rongga abdomen, perdarahan saluran cerna, sumbatan pada usus halus dan usus besar serta masa pada abdomen (Anonim, 2009). Tindakan laparotomi dapat menimbulkan berbagai komplikasi pasca bedah antara lain gangguan perfusi jaringan, infeksi pada luka yang menyebabkan buruknya integritas kulit serta terjadinya dehisensi luka operasi (Anonim, 2009). Wound dehiscence atau Burst Abdomen post laparotomy merupakan komplikasi utama yang serius. kejadiannya berkisar antara 0,25% sampai 3% dari seluruh operasi laparotomi yang dilakukan, dengan angka kematian berkisar antara 10-20% (Spiloitis et al, 2009; Afzal et al, 2008). Terjadinya wound dehiscence berkaitan dengan berbagai kondisi seperti anemia, hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan diabetes, usia lanjut, prosedur pembedahan spesifik seperti pembedahan pada kolon atau laparotomi emergency. Wound dehiscence juga dapat terjadi

Upload: pii-lyra-ramadati

Post on 02-Jan-2016

124 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ggg

TRANSCRIPT

Page 1: lapsus opik celecai.doc

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Laparatomi merupakan suatu proses insisi bedah ke dalam rongga abdomen

yang dilakukan dengan berbagai indikasi seperti trauma abdomen, infeksi pada rongga

abdomen, perdarahan saluran cerna, sumbatan pada usus halus dan usus besar serta

masa pada abdomen (Anonim, 2009).

Tindakan laparotomi dapat menimbulkan berbagai komplikasi pasca bedah

antara lain gangguan perfusi jaringan, infeksi pada luka yang menyebabkan buruknya

integritas kulit serta terjadinya dehisensi luka operasi (Anonim, 2009).

Wound dehiscence atau Burst Abdomen post laparotomy merupakan komplikasi

utama yang serius. kejadiannya berkisar antara 0,25% sampai 3% dari seluruh operasi

laparotomi yang dilakukan, dengan angka kematian berkisar antara 10-20% (Spiloitis

et al, 2009; Afzal et al, 2008).

Terjadinya wound dehiscence berkaitan dengan berbagai kondisi seperti anemia,

hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan diabetes, usia lanjut, prosedur

pembedahan spesifik seperti pembedahan pada kolon atau laparotomi emergency.

Wound dehiscence juga dapat terjadi karena perawatan luka yang tidak adekuat serta

faktor mekanik seperti batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta

teknik operasi yang kurang baik (Afzal et al, 2008; Anonim, 2008).

Penanganan wound dehiscence secara umum dibedakan menjadi penanganan

operatif dan penanganan non operatif. Penanganan operatif dilakukan pada sebagian

besar penderita luka operasi terbuka. Sedangkan penanganan non operatif dilakukan

diberikan kepada penderita yang sangat tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi

(Singh, 2009; Spiolitis et al, 2009).

Page 2: lapsus opik celecai.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Luka dan Penyembuhan Luka

1. Luka

Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses

patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu.

Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat

kimia, ledakan, sengatan listrik atau animal bite (Sinaga, 2009).

Ada beberapa penggolongan klasifikasi luka. Namun yang umum dipakai adalah

sebagai berikut :

a. Berdasarkan waktu terjadinya

1) Luka Akut

Luka akut merupakan luka yang biasanya segera mendapat penanganan dan

biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria

luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan

waktu yang diperkirakan. Sebagai contoh pada luka sayat, luka bakar, luka

tusuk dan crush injury. Luka operasi juga dapat dianggap sebagai luka akut

yang dibuat oleh ahli bedah. Contoh pada luka jahit dan skin grafting

(Sinaga, 2009; Yadi, 2008).

2) Luka Kronik

Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering timbul

kembali (recurrent), dimana terjadi gangguan pada proses penyembuhan

yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita. Pada

luka kronik terjadi luka yang gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan,

tidak berespon baik terhadap terapi dan mempunyai kemungkinan untuk

Page 3: lapsus opik celecai.doc

timbul kembali. Contoh pada ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus

venosus, luka bakar dan lain sebagainya (Sinaga, 2009; Yadi, 2008).

b. Berdasarkan kedalaman luka

1) Stadium I : Luka Superfisial atau Non-Blanching Erithema : yaitu luka yang

terjadi pada lapisan epidermis kulit.

2) Stadium II : Luka Partial Thickness : yaitu hilangnya lapisan kulit pada

lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial

ditambah dengan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang

dangkal.

3) Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit secara keseluruhan

meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas

sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Luka yang

terjadi mengenai lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai

otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan

atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

4) Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon

dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan yang luas (Sinaga,

2009; Tawi, 2008).

c. Berdasarkan tingkat kontaminasi

1) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang mana

tidak terjadi proses peradangan dan infeksi pada sistem pernafasan,

pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi (Hidayat, 2007).

Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan

dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar

1% – 5%.

2) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), yaitu luka

pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan

Page 4: lapsus opik celecai.doc

dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan

timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.

3) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh,

luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik

aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk

insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.

4) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya

mikroorganisme pada luka (Hidayat, 2007).

d. Berdasarkan Mekanisme terjadinya

1) Luka insisi (Incised Wound), terjadi karena teriris oleh instrument yang

tajam. Missal yang terjadi akibat pembedahan.

2) Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan

dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan

bengkak.

3) Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda

lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.

4) Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti pisau

yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang kecil.

5) Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh

kaca atau oleh kawat.

6) Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh

biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian

ujung biasanya lukanya akan melebar.

7) Luka bakar (Combustio), yaitu luka akibat terkena suhu panas seperti api,

matahari, listrik, maupun bahan kimia (Hidayat, 2007).

2. Penyembuhan Luka

Page 5: lapsus opik celecai.doc

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena berbagai

kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkesinambungan. Penggabungan respons

vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di

daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka.

Proses ini berlangsung dinamis melibatkan mediator cair, sel darah, matriks

ekstraseluler, serta sel-sel parenkim. Proses penyembuhan luka secara umum terdiri

atas tiga fase yaitu inflamasi, pembentukan jaringan atau proliferasi dan maturasi atau

remodeling (Tawi, 2008; Yadi, 2005).

a. Inflamasi

Inflamasi merupakan tahap pertama penyembuhan luka. Fase ini dimulai

sejak terjadinya luka dan berlangsung selama 3 sampai 7 hari. Fase inflamasi secara

klinis ditandai dengan cardinal sign: kemerahan karena kapiler melebar (rubor),

suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor) serta function

laesa (Anonim, 2008).

Setelah terjadinya luka jaringan pembuluh darah segera mengalami

vasikonstriksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama

jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan

mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like

Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming

Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil,

makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas. Pada fase ini kemudian terjadi

vasodilatasi dan akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit

akan mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF

b1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF b1 akan mengaktivasi

fibroblas untuk mensintesis kolagen (Yadi, 2005; Braz, 2007; Baxter, 2003).

Faktor apapun yang mengganggu proses ini akan memperlambat

penyembuhan luka. Selama fase inflamasi akut, jaringan tidak akan memperoleh

kekuatan regangan yang cukup tetapi tergantung pada pendekatan tepi luka (Braz

et al, 2007).

Page 6: lapsus opik celecai.doc

b. Proliferasi

Fase proliferasi penyembuhan luka dimulai kira-kira 2-3 hari setelah

terjadinya luka, ditandai dengan munculnya fibroblast. Proses kegiatan seluler yang

penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai

dengan proliferasi sel. Tahap proliferasi ini disebut juga fase fibroplasias karena

yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Peran fibroblas sangat besar

pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan

produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan

(Sjamsudidajat, 2005; Tawi, 2008).

Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka

ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang serta mengeluarkan beberapa

substansi seperti kolagen, elastin, asam hyaluronic, fibronectin dan profeoglycans

yang berperan dalam rekonstruksi jaringan baru (Tawi, 2008).

Kolagen yang merupakan substansi protein adalah konstituen utama dari

jaringan ikat. Pembentukan serat kolagen menentukan kekuatan regangan dan

kelenturan penyembuhan luka. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah

membentuk cikal bakal jaringan baru (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru

tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblas

dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Respons yang dilakukan fibroblas

terhadap proses fibroplasia adalah: proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks

dan kontraksi luka (Tawi, 2008).

Ketika serat kolagen terisi dengan pembuluh darah baru, jaringan granulasi

akan menjadi terang dan merah. Bantalan kapiler tebal yang mengisi matriks akan

memberikan suplai nutrien dan oksigen yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka.

Fase ini terjadi setelah hari ketiga. Kolagen ini kemudian akan berada diantara luka

dan akan memberikan tekanan normal. Lamanya fase ini bervariasi berdasarkan

Page 7: lapsus opik celecai.doc

tipe jaringan yang terlibat dan tekanan atau tegangan yang diberikan luka selama

periode ini (Sjamsudidajat, 2005; Braz et al, 2007).

Angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka

juga mempunyai arti penting pada tahap proliferasi proses penyembuhan luka.

Kegagalan vaskuler akibat penyakit misalnya diabetes, radiasi atau penggunaan

preparat steroid dalam jangka waktuyang lama mengakibatkan lambatnya proses

penyembuhan luka. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka

merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di

daerah luka karena pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya

tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses

terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan

makrofag (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan

keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel

epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk

barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas,

pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur

keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru

tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast

yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi

akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka

minimal (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

Kontraksi luka adalah proses yang mendorong tepi luka bersama untuk

penutupan luka. Hal ini akan mengurangi area yang terbuka dan jika berhasil akan

menghasilkan luka yang kecil. Kontraksi luka akan sangat menguntungkan pada

penutupan luka pada area-area seperti glutea dan trokanter, tetapi akan

membahayakan pada area seperti tangan atau sekitar leher dan wajah dimana hal ini

akan menyebabkan kelainan bentuk dan jaringan parut berlebihan. Luka operasi

yang ditutup secara perprimum memiliki respon kontraksi yang minimal. Graft

Page 8: lapsus opik celecai.doc

kulit digunakan untuk menurunkan kontraksi pada lokasi yang tidak diinginkan

(Braz et al, 2007).

Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah

terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth factor

yang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Tawi, 2008).

Gambar 1. Penyembuhan luka perprimum dan persekundum

c. Remodelling

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan kembali

jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi dan akhirnya

perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dimulai pada minggu ke-3

setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase ini

adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan

penyembuhan yang kuat dan bermutu (Sjamsudidajat, 2005).

Ketika deposisi kolagen selesai, fibroblas sudah mulai meninggalkan

jaringan garunalasi, pembuluh darah pada luka akan berangsur-angsur menurun dan

kemerahan dari jaringan mulai berkurang sehingga permukaannya akan menjadi

Page 9: lapsus opik celecai.doc

lebih pucat dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat

jaringan parut. Jumlah kolagen yang terbentuk bergantung pada volume awal

jaringan granulasi (Braz et al, 2007).

Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10

setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan

dilanjutkan pada fase maturasi atau remodelling. Selain pembentukan kolagen juga

akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous

collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang

lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik pada fase remodeling

(Tawi, 2008).

Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan

antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan

akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi

yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu

terbuka. Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan

ajringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang

normal (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

Page 10: lapsus opik celecai.doc

Gambar 2. penyembuhan luka (Braz et al, 2007)

Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar seperti yang telah

diterangkan tadi, berjalan secara alami. Penyembuhan ini disebut penyembuhan

sekunder. Cara ini biasanya membutuhkan waktu yang lama dan meninggalkan parut

yang kurang baik, terutama jika lukanya terbuka lebar. Dalam penatalaksanaan bedah

terdapat 3 bentuk penyembuhan luka, yaitu penyembuhan melalui intensi pertama,

kedua, atau ketiga (Sinaga, 2009).

a. Penyembuhan melalui Intensi Pertama (Penyatuan Primer). Luka dibuat secara

aseptik, dengan perusakan jaringan minimum, dan penutupan dengan baik, seperti

dengan suture atau proses penjahitan untuk mentautkan luka, sembuh dengan

sedikit reaksi jaringan melalui intensi pertama. Ketika luka sembuh melalui

instensi pertama, jaringan granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan parut

minimal.

b. Penyembuhan melalui Instensi Kedua (Granulasi). Pada luka dimana terjadi

pembentukan pus (supurasi) atau dimana tepi luka tidak saling merapat, proses

perbaikannya kurang sederhana dan membutuhkan waktu lebih lama.

c. Penyembuhan melalui Instensi Ketiga (Suture Sekunder). Jika luka dalam baik

yang belum dijahit atau terlepas dan kemudian dijahit kembali nantinya, dua

permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal ini mengakibatkan

jaringan parut yang lebih dalam dan luas (Sinaga, 2009).

Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka terbagi

menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor – faktor eksternal yang

mempengaruhi penyembuhan luka antara lain :

a. Lingkungan

b. Tradisi

c. Pengetahuan

Page 11: lapsus opik celecai.doc

d. Sosial ekonomi

e. Penanganan petugas

f. Gizi

Sedangkan faktor – faktor internal yang berpengaruh terhadap proses

penyembuhan luka dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu faktor lokal, faktor

sistemik dan faktor tekhnik (Yadi, 2005).

1. Faktor Lokal

a. Iskemia : kurangnya suplai darah ke jaringan luka dapat berupa tidak

adekuatnya aliran darah ke jaringan luka misalnya akibat ligasi, peripheral

vascular disease, atau hipotensi generalisata, dapat pula karena sudah ada

jaringan nekrotik pada tepi luka sebelumnya, penutupan luka yang terlalu rapat

sehingga merusak kapiler pada tepi luka, atau regangan yang kuat sehingga

mengganggu merapatnya kontraksi luka.

b. Ketegangan luka : Ketegangan dalam penjahitan juga hendaknya diperhatikan,

terlalu tegang dapat menyebabkan iskemia. Jika terlalu longgar juga dapat

menyebabkan terjadinya dead space .

c. Infeksi : adanya dead space menyebabkan terkumpulnya darah dan cairan

serous lainnya menjadi media yang baik untuk bakteri sehingga terjadi infeksi.

d. Trauma lokal : adanya trauma lokal misalnya benturan dapat menyebakan

kerusakan jaringan pada bekas operasi dan menyebabkan iskemia lokal atau

total.

e. Penyakit kronik jaringan : keadaan seperti limfadenopati kronik, iskemia

kronik, hipertensi dan jaringan parut yang luas dapat menyebabkan

penyembuhan luka yang buruk.

f. Radiasi : radiasi sebelum atau sesudah operasi dapat menyebaban buruknya

penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis dan mikroangiopati

(Anonim, 2008; Baxter, 2003; Yadi, 2005).

Page 12: lapsus opik celecai.doc

2. Faktor sistemik

Faktor-faktor sistemik seperti usia, diabetes, gagal ginjal, anemia, hipoksia

atau syok hipovolemia, kekurangan nutrisi, keganasan dan penggunaan steroid

jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan sintesis kolagen dan terganggunya

fungsi imun sehingga menimbulkan gangguan pada penyembuhan luka (Anonim,

2008).

3. Faktor teknik

Tindakan asepsis sebelum operasi dan pemberian antibiotic profilaksis dapat

berpengaruh pada penyembuhan luka pasca operasi. Selain itu tekhnik operasi dan

perawatan luka juga sangat berpengaruh terhadap penyembuhan luka operasi (Yadi,

2005).

Sejumlah komplikasi dapat terjadi selama proses penyembuhan luka.

Komplikasi tersebut dapat disebabkan oleh proses yang mendasari, penyakit yang

diderita, kondisi gizi dan kesalahan teknik operasi atau terapi yang tidak adekuat,

antara lain:

1. Infeksi

Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan

atau setelah pembedahan. Gejala muncul 2 – 7 hari setelah pembedahan, antara lain

adanya sekret purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di

sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih

(Anonim, 2008; Ismail, 2008).

2. Perdarahan

Perdarahan dapat menunjukkan adanya suatu pelepasan jahitan, adanya

gangguan faktor pembekuan pada daerah jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh

darah oleh benda asing (seperti drain). Tanda-tanda hipovolemia tidak langsung

terlihat saat terjadi perdarahan. Jika perdarahan terjadi terus menerus, penambahan

Page 13: lapsus opik celecai.doc

tekanan balutan luka steril , pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin

diperlukan (Anonim, 2008; Ismail, 2008).

3. Dehiscence dan Eviscerasi

Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius.

Dehisensi adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Sedangkan eviscerasi

adalah keluarnya isidi bawah jahitan luka melalui daerah irisan. Biasanya didahului

oleh infeksi, selain itu sejumlah faktor meliputi kegemukan, kurang nutrisi,

multiple trauma, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi mempertinggi

resiko terjadinya dehisensi luka. Dehisensi luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah

operasi sebelum kolagen meluas di daerah luka (Sjamsudidajat R, 2005).

B. Laparatomi

Laparatomi merupakan suatu prosedur tindakan pembedahan dengan melibatkan

suatu insisi pada dinding abdomen. Kata Laparatomi terbentuk dari dua kata Yunani,

“lapara” dan “tome”. Kata “lapara” berarti bagian lunak dari tubuh yg terletak di antara

tulang rusuk dan pinggul. Sedangkan “tome” berarti pemotongan (Sjamsudidajat,

2005). Laparatomi dilakukan dengan berbagai macam sayatan, yaitu :

1. Midline incision

Metode ini merupakan insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit

perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup, serta tidak

memotong ligamen dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis insisi ini adalah

terjadinya hernia sikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi gaster, pankreas, hepar,

dan lien serta di bawah umbilikus untuk eksplorasi ginekologis, rektosigmoid, dan

organ dalam pelvis (Anita, 2009; Anonim, 2009).

2. Paramedian incision

Insisi paramedian yaitu insisi abdomen dengan sedikit ke tepi dari garis

tengah (± 2,5 cm), dengan panjang insisi ± 12,5 cm. Terbagi atas 2 yaitu

paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis operasi lambung, eksplorasi

pankreas, organ pelvis, usus bagian  bagian bawah, serta plenoktomi. Insisi

paramedian memiliki keuntungan antara lain : merupakan bentuk insisi anatomis

Page 14: lapsus opik celecai.doc

dan fisiologis, tidak memotong ligamen dan saraf, dan insisi mudah diperluas ke

arah atas dan bawah (Anita, 2009; Anonim, 2009).

3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya

pembedahan colesistotomy dan splenektomy.

4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah ±4cm

di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendectomy (Anonim,

2009).

Bedah laparatomi dilakuakan atas berbagai indikasi, terutama indikasi dalam

bidang digestif dan kandungan, antara lain : Trauma abdomen baik tumpul maupun

tajam, peritonitis, appendicitis, perdarahan saluran cerna, obstruksi usus, kehamilan

ektopik, mioma uteri, adhesi atau perlengketan jaringan abdomen, pancreatitis dan

sebagainya (Kate, 2009; Wain,2009).

Laparotomi terdiri dari beberapa jenis, diantaranya: adrenalektomi,

appendiktomi, gastrektomi, histerektomi, kolektomi, nefrektomi, pankreatektomi,

prostatektomi, seksio sesarea, sistektomi, salpingo oofarektomi dan vagotomi. (Wain,

2009)

Seperti halnya jenis pembedahan yang lain, laparatomi juga dapat menimbulkan

beberapa komplikasi pasca pembedahan, antara lain :

1. Syok

Digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang disertai

dengan ketidakmampuan tubuh untuk mengekspresikan produk metabolisme.

Manifestasi klinisnya antara lain : anemis, akral dingin, takipnea, sianosis pada

bibir, gusi dan lidah, takikardi dengan penurunan tekanan nadi serta tekanan darah

rendah dan urine pekat (Anita, 2009).

2. Hemorhagi

Hemoragi post laparotomi bisa terjadi primer, intermidiet maupun sekunder.

Hemoragi primer terjadi pada waktu pembedahan, hemoragi intermediet terjadi

Page 15: lapsus opik celecai.doc

beberapa jam setelah pembedahan, sedangkan hemoragi sekunder terjadi beberapa

waktu setelah pembedahan karena pembuluh darah tidak terikat dengan baik atau

menjadi terinfeksi atau mengalami erosi oleh selang drainase.

3. Tromboplebitis.

Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi.

Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding

pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan

otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi dan ambulatif dini

(Kate, 2009).

4. Infeksi

Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang

paling sering menimbulkan infeksi adalah Staphylokokus aureus yang merupakan

organisme gram positif. Bakteri ini mengakibatkan pernanahan atau abses (Kate,

2009).

5. Dehisensi luka dan Eviserasi

Dehisensi luka merupakan terbukanya kembali tepi-tepi luka, sedangkan

eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam tubuh melalui insisi yang

terbuka kembali. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka,

kesalahan menutup luka saat pembedahan, dan peningkatan tekanan intraabdominal

akibat dari batuk atau muntah (Anonim, 2009; Kate, 2009).

C. Brust Abdomen

1. Definisi

Burst abdomen juga dikenal sebagai abdominal wound dehiscence atau luka

operasi terbuka, didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai terbukanya

sebagian atau seluruh luka operasi yang disertai protrusi atau keluarnya isi rongga

abdomen. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses penyembuhan luka operasi.

Page 16: lapsus opik celecai.doc

Wound dehiscence merupakan komplikasi utama dari pembedahan abdominal.

Insidensinya sekitar 0,2%-0,6% dengan angka mortalitas cukup tinggi, mencapai

10%-40%, disebabkan penyembuhan lukaoperasi yang inadekuat (Baxter, 2003;

Spiolitis, 2009)

2. Klasifikasi

Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi

dua:

a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi yang

biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak

baik.

b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari

paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya

infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Anonim, 2008; Sjamsudidajat R,2005).

Gambar 3. Penyembuhan luka paska operasi abdomen

3. Ma

nife

stasi

Klinik

Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita

sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar

Page 17: lapsus opik celecai.doc

disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85%

kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula

tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan hiperemis pada

daerah sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka

operasi (Anonim, 2008; Sjamsudidajat R,2005).

Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis

terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan

klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang

sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar luka operasi didapatkan reaksi

radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus

(Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).

Gambar 5. Burst abdomen pascaoperasi abdomen

4. Etiologi

Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme kerjanya

dibedakan atas tiga yaitu:

a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan semakin

meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor mekanik

Page 18: lapsus opik celecai.doc

tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom

serta teknik operasi yang kurang.

b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan

keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat mempengaruhi proses

penyembuhan luka.

c. Faktor infeksi

Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi akan

meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis biasanya terjadi

pada hari ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala suhu badan yang meningkat

disertai tanda peradangan disekitar luka.

Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System, luka operasi

dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi dan

kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan

temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan.

Dehisensi luka operasi akan segera terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini

seringkali disebkan oleh streptococcus B haemolyticus. Sedangkan pada infeksi

lanjut seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus,

dan terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus. (Webster et al, 2003;

Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).

5. Faktor Resiko

Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas faktor preoperasi

yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik penderita, faktor operasi

yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik penjahitan, serta faktor

pascaoperasi (Webster et al, 2003).

Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih rentan

dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi, obesitas, diabetes

mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi dan kemoterapi, keganasan,

Page 19: lapsus opik celecai.doc

sepsis, penyakit paru obstruktif serta pemakaian preparat kortikosteroid jangka

panjang (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela, 2005; Singh, 2009).

Faktor risiko operasi antara lain :

a. Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka daripada

transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik, sehingga arah

kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan arah insisi sehingga akan

mereganggkan jahitan operasi.

b. Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis juga

berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi memiliki

keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan jaringan, namun di

sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya (Afzal, 2008; Spiloitis et al,

2009; Makela J, 2005).

c. Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman daripada

tekhnik penjaitan kontinyu.

d. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi suatu

perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh tubuh sering kali

tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).

Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan terjadinya

dehisensi luka antara lain:

a. Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan retensio

urin. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-otot dinding

abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding abdomen iniah yang

akan menyebabkan berkurangnya kekuatan jahitan bahkan pada kasus yang

berat akan menyebabkan putusnya benang pada jahitan luka operasi dan

keluarnya jaringan dalam rongga abdomen.

b. Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal

Perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan terjadinya

infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya dehisensi luka operasi.

Page 20: lapsus opik celecai.doc

c. Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak adekuat

terutama protein salah satunya akan menyebabkan hipoalbuminemia, keadaan

ini akan mengurangi sintesa kolagen yang merupakan bahan dasar

penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan mempengaruhi proses fibroblasi

dan kolagenisasi yang merupakan proses awal penyembuhan luka.

e. Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker : radiasi pasca operasi dapat

menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis

dan mikroangiopati (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi penatalaksanaan

non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas keadaan

umum penderita.

1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif

Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak

stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita berbaring

di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau pakaian khusus

steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat dipertimbangkan untuk

mengurangi perburukan luka operasi terbuka (Anonim, 2008; Ismail, 2008).

Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat untuk

mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula antibiotik yang

memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka (Singh, 2008; Ismail, 2008).

2. Penanganan Operatif

Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita dehisensi.

Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka yang dilakukan

antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang terbuka, mesh repair,

vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota bag repair (Sukumar, 2004).

Page 21: lapsus opik celecai.doc

Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan hingga

saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan keadaan stabil, dan penyebab

terbukanya luka operasi murni karena kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar,

2004).

Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan debridemen

terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi. Dalam perencanaan

jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik seperti laboratorium

lengkap dan foto throraks. Selain penjahitan ulang dilakukan pula tindakan

debridement pada luka (Spiloitis et al, 2009; Sjamsudidajat, 2005).

Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi luka

jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu mengidentifikasi

sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi dilakukan dalam 48 ± 72

jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di tegakkan. Tehnik yang sering

digunakan adalah dengan melepas jahitan lama dan menjahit kembali luka operasi

dengan cara satu lapisan sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi

dilakukan, membebaskan omentum dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka

operasi dilakukan secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen

menjadi satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan

berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan

penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis akibat

luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka operasi secara

terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Anonim, 2008; Ismail, 2008;

Spiloitis, 2009).

Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang

monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik terputus

sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik pada

jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan karet atau tabung plastic

lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna mengurangi erosi pada kulit. Jangan

Page 22: lapsus opik celecai.doc

mengikat terlalu erat. Jahitan penguat luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu

(Anonim, 2008; Ismail, 2008).

Selain Rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup dehisensi

luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa dilakukan antara lain

mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan sintetis yaitu mesh yang berbentuk

semacam kasa halus elastis yang berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang

terbuka tersebut dan bersifat diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan

angka komplikasi yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien

dengan mesh repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric

fistulation (Sukumar, 2004).

Selain itu digunakan pula vacuum pack. Tekhnik ini menggunakan sponge

steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu ditutup dengan

vacuum bag dengan sambungan semacam suction di bagian bawahnya. Tekhnik

lain yang digunakan adalah Bogota bag. Tekhnik ini dilakukan pada dehisensi yang

telah mengalami eviserasi. Bogota bag adalah kantung dengan bahan dasar plastik

steril yang merupakan kantong irigasi genitourin dengan daya tampung 3 liter yang

digunakan untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali. Plastik ini dijahit ke

kulit atau fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar, 2004).

Page 23: lapsus opik celecai.doc

BAB III

LAPORAN KASUS

I. REKAM MEDIS

A. Identifikasi

Nama : Tn. Marino

Rekam medik/registrasi : 098584/59481

Umur : 65 tahun

Suku bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Pekerjaan : buruh

Alamat : jl. Sel selan no 54 RT 01/02 Pakjo Palembang

MRS : 23 Agustus 2013 Pukul 15.06 WIB

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama

Bekas luka operasi terbuka disertai terlihatnya isi perut (operasi tanggal 02 - 08 - 2013)

2. Riwayat Perjalanan Penyakit

Lebih kurang 1 bulan yang lalu, os berobat ke IGD RSMH dengan keluhan nyeri di

perut dan tidak bisa berkemih. Bab tidak lancar dan konsistensinya pun sedikit.

Disini os diberi tindakan pemasangan kateter dan dilakukan USG pada keesokan

harinya. Hasil menunjukkan pada USG terdapat tumor pada abdomen. 3 minggu

yang lalu os berobat ke RS Charitas dan konsultasi ke dokter spesialis bedah

kemudian disarankan untuk melakukan operasi. 2 minggu yang lalu, os MRS untuk

dijadwalkan operasi. Kemudian os dirawat selama 10 hari di RS charitas. Setelah

operasi os sempat koma lebih kurang 6 hari. setelah sadar os mengeluhkan batuk

batuk disertai nyeri perut. Tepatnya 3 hari menderita batuk batuk, luka operasi os

Page 24: lapsus opik celecai.doc

terbuka sedikit. Dokter spesialis bedah yang melakukan operasi tersebut

menyarankan operasi ulang, tetapi karena alasan tertentu kerluarga os menolak

untuk dilakukan operasi ulang di RS Charitas. 10 hari pasca operasi, os datang ke

IGD RSUD Bari dengan keluhan luka jahitan operasi terbuka. Jahitan terbuka lebar

lebih dari pada saat terbuka pertama. Selain itu semenjak terbuka bekas jahitan

operasi, os mengeluh perut terasa penuh dan sesak disertai nyeri perut. Os MRS di

zaal bedah RSUD Bari selama 4 hari dan menjalani operasi penutupan jahitan pasca

operasi. Pada tanggal 1 september 2013 os diperbolehkan pulang.

3. Riwayat Penyakit Dahulu.

Os menderita penyakit TB. Hipertensi disangkal. Diabetes mellitus disangkal.

Riwayat penyakit jantung disangkal.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Dalam keluarga tidak ada yang memiliki gejala penyakit yang sama seperti pasien.

5. Riwayat kebiasaan

Merokok (+)

C. Pemeriksaan Fisik

1. Status Present

a. Keadaan umum : sakit berat

Kesadaran :composmentis

Tipe badan : piknikus

Berat badan : 65 kg

Tinggi badan : 152 cm

Gizi : buruk

Tekanan darah : 120/90 mmHg

Nadi : 84 x/m

Pernafasan : 22 x/m

Suhu : 36,70C

Page 25: lapsus opik celecai.doc

b. Keadaan Khusus

- Kepala : normochepali, Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)

- Leher : pembesaran KGB (-), Tiroid (-)

- Thorax

Paru

Inspeksi : simetris, retraksi (-)

Palpasi : Fremitus Taktil dan Vokal simetris pada kedua lapang paru

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Rh +/+, Wh -/-

Jantung

Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba, thrill (-)

Perkusi : batas jantung dbn

Auskultasi : BJ I-II Reg G(-) M(-)

- Abdomen : status lokalis

Inspeksi : tampak luka terbuka linea mediana abdomen, tampak usus pada dasar

luka.

Palpasi : nyeri tekan (+), defance muscular (-)

Auskultasi : BU (+)

- Ekstremitas

Superior : Akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-).

Inferior : Akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)

Page 26: lapsus opik celecai.doc
Page 27: lapsus opik celecai.doc
Page 28: lapsus opik celecai.doc

D. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : 24 agustus 2013

Darah Lengkap

Hemoglobin : 10,5 gr/dl (↓)

Hematokrit :32 % (↓)

Leukosit : 11.450/ul (↑)

Trombosit : 435.000/ul (↑)

Hitung jenis :

Basophil : 0%, Eosinophil:2%

Batang : 2%, Segmen : 85%

Limposit : 6%, Monosit : 6%

(shift to the left)

Kimia Darah

Natrium :132 mmol/dl

Albumin : 2,1 g/dl (↓)

kalium : 4,2 mmol/dl

E. Diagnosis Kerja

Burst abdomen post laparotomy + hypoalbumin

F. Prognosis

Dubia

G. Penatalaksanaan

Perbaikan keadaan umum

Observasi vital sign

IVFD albumin/D5/RL, 3x100cc, 20 %

Injeksi ciprofloxaxin 2 x 500 gr IV

Metrodinazol 500 gr IV

Ambroxol syr 3 x 1

Amlodipin 1x5 mg

Rencana Re-hecting

Page 29: lapsus opik celecai.doc

H. Follow Up

25/08/1307.00

Keluhan Utama : Luka operasi terbuka, os merasa perut terasa penuh

Status PresentKU : sakit berat Sens : CMTD : 120/80mmHg Nadi : 88 x/mRR : 24 x/m Suhu : 36,80C

Diagnosis KerjaBurst abdomen post laparotomy + hypoalbumin

Penatalaksanaan Perbaikan keadaan umum

Observasi vital sign

IVFD albumin/D5/RL,

3x100cc, 20 %

Injeksi ciprofloxaxin 2 x 500

gr IV

Metrodinazol 500 gr IV

Ambroxol syr 3 x 1

Amlodipin 1x5 mg

Rencana Re-hecting

Laporan Operasi Re-Hecting

Nama pasien: Tn. Marino Jenis anestesi : anestesi umumOperator : dr. Ari W, Sp.B Jenis tindakan : Re-HectingAsisten : Jun Indikasi operasi : Burst abdomenInstrument : yandrimon Tanggal operasi : 26 Agustus 2013Anestesi : dr. Husni, SpAnPukul 09.30 Operasi dimulai

Penderita dalam posisi terlentang dalam narkose umum.

Dilakukan tindakan aseptic antiseptic pada lapangan operasi dan sekitarnya

Daerah operasi dipersempit dengan doek steril

Dilakukan irigasi dan pembersihan usus dengan NaCl 0,9% hangat, lalu

dilakukan pembebasan dari jaringan sekitar.

Dilakukan pembersihan jaringan nekrotik

Dilakukan penjahitan peritoneum, otot dan fascia dengan dexon1.0 secara

terputus satu-satu

Fascia tidak bisa menutup, dilakukan pemasangan abdominal mesh

Dilakukan penjahitan kutis dengan zide 0 terputus satu-satu

Pukul 11.00 Operasi selesai

Page 30: lapsus opik celecai.doc

Follow up26/08/13

11.00Keluhan Utama :Habis operasi ulang

Status PresentKU : sakit ringan Sens : CMTD : 120/90mmHg Nadi : 82 x/mRR : 20 x/m Suhu : 36,60C

Diagnosis KerjaPost rehecting ai burst abdomen

Penatalaksanaan Puasa sampai flatus Cek Hb <10 gr% transfuse 2

kolf PRC IVFD RL/D5/albumin gtt xx x/m Ciprofloxaxin 500 g IV Metrodinazol 500 g IV Ketorolac 2 amp Albumin 2x100cc

27/08/1307.00

Keluhan Utama :Nyeri bekas operasi, sesak nafas seperti terasa penuh pada perut

Status PresentKU : sakit ringan Sens : CMTD : 120/80mmHg Nadi : 82 x/mRR : 20 x/m Suhu : 36,60C

Abdomen:I: datarP: lemas, nyeri tekan (+), defans muscular (-)A: BU (+)

Lab: hb : 10,9 g/dl

Diagnosis KerjaPost rehecting a.i burst abdomen hari ke-1

Penatalaksanaan IVFD Nacl/Rl/albumin, 2/1/1 gtt

xx x/m Monitor urin output Monitor VS Cefotaxim 2x1gr IV Metrodinazol 500g IV Ranitidine IV Ketorolac IV

28/08/1307.00

Keluhan Utama :Nyeri bekas operasi

Status PresentKU : sakit ringan Sens : CMTD : 120/90mmHg Nadi : 82 x/mRR : 20 x/m

Penatalaksanaan IVFD Nacl/albumin, 2/1 gtt xx

x/m Transfuse PRC 1kolf Konsul gizi

Page 31: lapsus opik celecai.doc

Suhu : 36,60C

Abdomen:Datar, lemas, nyeri tekan (+), defans muscular (-), BU (+)

Lab: albumin: 2 g/dl

Urin output:500cc/jam1800cc/12jam

Diagnosis KerjaPost rehecting ai burst abdomen hari ke-2

29/08/1307.00

Keluhan Utama :Nyeri bekas operasi

Status PresentKU : sakit ringan Sens : CMTD : 110/90mmHg Nadi : 74 x/mRR : 20 x/m Suhu : 36,60C

Abdomen:Datar, lemas, nyeri tekan (+), defans muscular (-), BU (+)

Urin output:400cc/12jam

Diagnosis KerjaPost rehecting ai burst abdomen hari ke-3

Penatalaksanaan IVFD Nacl/albumin, 2/1 gtt xx

x/m Transfuse PRC ditunda Aff cateter

Page 32: lapsus opik celecai.doc

30/8/201308.00

Keluhan Utama :Nyeri bekas operasi

Status PresentKU : sakit ringan Sens : CMTD : 120/90mmHg Nadi : 74 x/mRR : 20 x/m Suhu : 36,60C

Abdomen:Datar, lemas, nyeri tekan (+), defans muscular (-), BU (+)

Diagnosis KerjaPost rehecting ai burst abdomen hari ke-4

Penatalaksanaan Injeksi cefotaxime Injeksi ketorolac 1 ampul Injeksi ranitidine 1 ampul Metronidazole infuse

31/8/13 Keluhan Utama :Nyeri bekas operasi

Status PresentKU : sakit ringan Sens : CMTD : 140/80mmHg Nadi : 80 x/mRR : 20 x/m Suhu : 36,60C

Abdomen:Datar, lemas, nyeri tekan (+), defans muscular (-), BU (+)

Diagnosis KerjaPost rehecting ai burst abdomen hari ke-5

Penatalaksanaan Injeksi ketorolac 1 ampul Injeksi ranitidine 1 ampul Metronidazole infuse

Page 33: lapsus opik celecai.doc

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada penderita ini, burst abdomen atau luka operasi abdomen terbuka

ditegakkan berdasarkan temuan terbukanya atau terpisahnya kembali semua

lapisan jahitan yang ditandai dengan keluarnya jaringan granulasi dan terlihat usus

pada dasar melalui luka operasi terbuka tersebut. Dehisensi luka operasi pada

penderita ini digolongkan pada dehisensi luka operasi lambat, yaitu terjadinya

pada hari ke 9 setelah operasi. Pada penderita ini terdapat beberapa faktor risiko

terjadinya dehisensi luka operasi antara lain faktor intraoperasi (jenis insisi

mediana, tehnik penjahitan dinding abdomen secara lapis demi lapis dan

pemililhan benang chromic cat gut), dan faktor pascaoperasi (peningkatan tekanan

intraabdominal, infeksi pada luka, nutrisi yang inadekuat dan perawatan

pascaoperasi yang kurang optimal).

Pada dehisensi luka operasi ini faktor risiko intraoperatif cukup berperan.

Tehnik insisi mediana diketahui lebih rentan untuk terbuka daripada transversal

dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik, sehingga arah kontraksi otot-otot

dinding perut berlawanan dengan arah insisi sehingga akan mereganggkan jahitan

operasi. Selain itu, pemilihan tehnik penutupan dinding abdomen secara lapis

demi lapis juga dapat berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu

sisi memiliki keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan jaringan,

namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya. Pemakaian benang

chromic catgut juga dapat menjadi suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan

penyerapannya oleh tubuh sering kali tidak dapat diperkirakan.

Adapun faktor pascaoperasi yang berperan pada penderita ini adalah adanya

peningkatan tekanan intraabdominal. Penderita mengeluh batuk hebat yang

dimulai sejak tujuh hari pasca operasi, berlanjut hingga penderita pulang dan

mencapai puncaknya dua hari sebelum penderita dirawat inap kembali, ditandai

dengan keluarnya jaringan usus dari luka bekas operasi. Tekanan intraabdominal

yang tinggi akan menekan otot-otot dinding abdomen sehingga akan teregang.

Regangan otot dinding abdomen iniah yang akan menyebabkan berkurangnya

kekuatan jahitan bahkan pada kasus yang berat akan menyebabkan putusnya

Page 34: lapsus opik celecai.doc

benang pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga abdomen.

Faktor pascaoperasi lainnya yang diduga berperan adalah nutrisi. Dari

anamnesis didapatkan penderita kurang konsumsi protein (telur, daging, ikan)..

Hal ini menyebabkan asupan nutrisi terutama protein penderita menjadi inadekuat,

hal ini dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu kadar albumin

yang rendah. Keadaan hipoalbuminemia ini akan mengurangi sintesa komponen

sulfasimukopolisarida dan kolagen yang merupakan bahan dasar penyembuhan

luka. Defisiensi tersebut akan mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi

yang merupakan proses awal penyembuhan luka. Hal ini akan memperlambat

proses penyembuhan luka.

Berdasarkan National Nosocomial Infection Surveilance System, Culver

membedakan luka jahitan menjadi bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi

dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan

temperatur dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan.

Dehisensi luka operasi akan segera terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini

seringkali disebabkan oleh A streptococcus B haemolyticus yang rentan terhadap

Penicillin. Sedangkan pada infeksi lanjut seringkali tidak disertai peningkatan

temperatur dan pembentukan pus, dan terutama disebabkan oleh Streptococcuc

aureus. Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis

terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan

klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang

sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar luka operasi didapatkan reaksi

radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus. Oleh

karenanya faktor infeksi juga diduga berperan pada dehisiensi luka operasi

penderita ini.

Pencegahan dehisensi pada luka operasi dapat dilakukan dengan cara

mengenali dengan baik dan sedini mungkin faktor-faktor risiko yang dimiliki

penderita, penggunaan tehnik operasi/penjahitan yang tepat, cara penjahitan dan

perawatan luka setelah penjahitan yang baik. Penanganan pada penderita

dehisensi luka operasi adalah dengan mengobati penyebab dari dehisensi yang

terjadi. Prinsip dasarnya adalah dengan melakukan perawatan luka dengan baik.

Pengetahuan akan faktor penyebab dehisensi luka (mekanik, metabolik dan

Page 35: lapsus opik celecai.doc

infeksi) sangat berperan dalam pencegahannya. Koreksi terhadap faktor penyebab

tersebut akan sangat bermakna dalam keberhasilan pencegahan dehisensi luka

operasi. Pada kasus risiko tinggi, pemberian antibiotik dapat diberikan sebelum

tindakan dan diet tinggi kalori dan protein dapat memberikan arti klinis yang

sangat bermakna.

Pada dehisensi luka operasi, tehnik jahitan ulangan tidak seluruhnya

dilakukan. Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang

baik seperti laboratorium lengkap dan throraks foto. Penatalaksanaan penderita

dengan luka operasi terbuka tergantung atas keadaan umum penderita, dibedakan

atas penganganan operatif dan nonoperatif. Penatalaksanaan nonoperatif diberikan

kepada penderita yang sangat tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini

dilakukan dengan penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi

dengan kassa steril atau pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat

abdominal dapat dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi

terbuka, namun jika keadaan umum penderita membaik, dapat dilakukan operasi

ulang secara elektif.

Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita luka operasi

terbuka. Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi luka

jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu mengidentifikasi

sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi dilakukan dalam 48 – 72

jam sejak diagnosis dehisensi luka joperasi di tegakkan. Tehnik yang sering

digunakan adalah dengan melepas jahitan lama dan menjahit kembali luka operasi

dengan cara satu lapisan sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi

dilakukan, membebaskan omentun dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka

operasi dilakukan secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen

menjadi satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan

berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan

penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda-tanda sepsis akibat

luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka operasi secara

terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga.

Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang luka operasi terbuka adalah

benang monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik

Page 36: lapsus opik celecai.doc

terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm,

baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan karet atau

tabung plastik lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna mengurangi erosi pada

kulit. Jangan mengikat terlalu erat. Jahitan penguat luar diangkat setidaknya

setelah 3 minggu. Pada penjahitan kembali dehisensi luka operas pada kasus ini

telah sesuai dengan prosedur di atas.

Page 37: lapsus opik celecai.doc

DAFTAR PUSTAKA

Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal Surgery in Public Sector Hospital. Department of Community Medicine, King Edward Medical University Lahore . Annals 14:3

Amirlak, Bardia. 2008. Skin Anatomy. diakses Desember 2011 dari: http:// emedicine. medscape. com/ article/ 1294744-overviewAnita, Cecilia. 2009. Asuhan Keperawatan Laparotomy. FK UNAND: Padang

Anonim. 2008. Penyembuhan Luka dan Dehisensi. Diakses Desember 2011 dari: http://www.scribd.com/doc/56192741/DEHISENSI2

Anonim. 2009. Laparotomi. Diakses Desember 2011 dari: http://www.scribd.com/doc/74673683/LP-Laparatomi

Barnard, B. 2003. Prevention of surgical site infection. Infection Control Today Magazine, Virgo Publishing ; 1-6. http://www.infectioncontroltoday.com

Baxter, H. 2003. Management of surgical wound. Nur Time 99(13) ;1-9

Brannon, Heather. 2007. Skin Anatomy. Diakses Desember 2011 dari: http:// dermatoloy. about.com/cs/skinanatomy/a/anatomy.html

Braz FSV, Loss AB, Japiassi AM. 2007. Wound healing and sacrring sutures. The Federal University of Rio de Janeiro. 1-5. Diakses Desember 2011 dari : http://www.medstudents.com.br/cirur/cirur.htm

Hidayat, Nucki. 2007. Pencegahan Infeksi Luka Operasi. FK-UNPAD: Bandung. Diakses Desember 2011 dari : http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/04/pencegahan_infeksi_luka_operasi.pdf

Ismail. 2008. Luka dan Perawatannya. Diakses Desember 2011 dari : http://umy.ac.id/topik/files/2011/12/Merawat-luka.pdf

Kate, Vikram. 2011. Exploratory Laparotomy. Diakses Desember 2011 dari: http://emedicine.medscape.com/article/1829835-overview

Makela J, Kiviniemi H, Juvonen T, et al. 2005. Factors influencing wound dehiscence after midline laparotomy. American journal of surgery. 170 (4): 387-390

Page 38: lapsus opik celecai.doc

Sinaga, Yusuf. 2009. Wound Healing. Diakses Desember 2011 dari : http://ocw.usu.ac.id/course/download/128-KEBUTUHAN-DASAR-MANUSIA/kdm_slide_kebutuhan_dasar_manusia_konsep_luka.pdf

Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired bladder rupture in a 5 yr old girl – a case study. Resident Medical Officer, Max Heart and Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal 1:363

Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al. 2009. Wound dehiscence: is still a problem in the 21th century: a retrospective study. World Journal of Emergency Surgery 4:12

Sukumar N, Shaharin S, Razman J, et al. Bogota Bag in the Treatment of Abdominal Wound Dehiscence. Medical Journal Malaysia. 59:2

Tawi, Mizral. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Diakses Desember 2011 dari : http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/proses-penyembuhan-luka/

Wain, Yohana. 2009. Asuhan Keperawatan Laparotomi atas indikasi Kista Ovari. Akademi Keperawatan UPN: Jakarta

Webster C, Neumayer L, Smout R, et al. 2003. Prognostic models of abdominal wound dehiscence after laparotomy. Journal of Surgical Research. 109 (2): 130-137

Yadi, Muhammad. 2005. Tesis : Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar. FK UNDIP : Semarang