pengaruh pemberian akut jus wortel (daucus carota … · jenis uji toksikologi ... pemejanan jus...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

PENGARUH PEMBERIAN PADA TIKUS JANTAN
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
PEMBERIAN AKUT JUS WORTEL (Daucus carota PADA TIKUS JANTAN WISTAR : KAJIAN TERHADAP OR
DAN KADAR KREATININ SERUM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Daryono Thejo
NIM : 068114073
FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA2009
Daucus carota L.): KAJIAN TERHADAP ORGAN GINJAL

PENGARUH PEMBERIAN PADA TIKUS JANTAN
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
ii
PEMBERIAN AKUT JUS WORTEL (Daucus carota PADA TIKUS JANTAN WISTAR : KAJIAN TERHADAP OR
DAN KADAR KREATININ SERUM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Daryono Thejo
NIM : 068114073
FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA2009
Daucus carota L.): KAJIAN TERHADAP ORGAN GINJAL

iii

iv

Walaupun seseorang hidup seratus tahu
tetapi malas dan tidak bersemangat,
maka sesungguhnya,
lebih baik orang yang hidup hanya sehari
tetapi berjuang dengan penuh semangat
Semoga Sang Triratna selalu melindungi
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Papa dan Mama atas dukungan moral dan materialnya
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Walaupun seseorang hidup seratus tahun
tetapi malas dan tidak bersemangat,
maka sesungguhnya,
lebih baik orang yang hidup hanya sehari
berjuang dengan penuh semangat
(Dhammapada 112)
Semoga Sang Triratna selalu melindungi
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Karya ini kupersembahkan untuk :
Papa dan Mama atas dukungan moral dan materialnya
Kakak atas dukungan intelektualnya
Keluarga besarku atas dukungan semangatnya
Novianti atas doa dan sukacita yang diberikan
Sahabat dan teman-teman Almamaterku 2006 FST
yang telah memberikan semangat dan dukungan
Karya ini kupersembahkan untuk :
Papa dan Mama atas dukungan moral dan materialnya
Kakak atas dukungan intelektualnya
Keluarga besarku atas dukungan semangatnya
Novianti atas doa dan sukacita yang diberikan
Almamaterku 2006 FST
yang telah memberikan semangat dan dukungannya

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPERLUAN
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
Nomor Mahasiswa
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma
PENGARUH PEMBERIAN A
PADA TIKUS JANTAN
DAN KADAR KREATININ
Dengan demikian, saya memberikan kepada
Dharma, hak untuk menyimpan, men
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpaperlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada s
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 19 Desember 2009
Yang menyatakan
( Daryono Thejo )
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPERLUAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
: Daryono Thejo
Nomor Mahasiswa : 068114073
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PENGARUH PEMBERIAN AKUT JUS WORTEL (Daucus
PADA TIKUS JANTAN WISTAR : KAJIAN TERHADAP OR
DAN KADAR KREATININ SERUM
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma, hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpaperlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada s
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 19 Desember 2009
AKADEMIS
mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
aucus carota L.)
: KAJIAN TERHADAP ORGAN GINJAL
Perpustakaan Universitas Sanata
galihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpaperlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya

vii
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan kasih setianya,
penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Pengaruh Pemberian Akut Jus
Wortel (Daucus carota L.) Pada Tikus Jantan Wistar : Kajian Terhadap Organ
Ginjal dan Kadar Kreatinin Serum” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
program pendidikan S1 dan mendapatkan gelar S.Farm di Fakultas Farmasi,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan, motivasi, dan memberikan saran hingga terselesaikannya
skripsi ini, terutama kepada :
1. Ibu Rita Suhadi M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi, Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta,
2. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt. selaku Dosen Pembimbing skripsi yang
selalu meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengetahuan, dan
motivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi ini,
3. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dosen Penguji yang telah
meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan arahan demi
sempurnanya skripsi ini,
4. Bapak Dr. C.J. Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Penguji yang telah
meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan arahan demi
sempurnanya skripsi ini,
5. Ibu drh. Reny Kusumastuti, M.P., selaku Dosen yang membimbing dan
membantu dalam pengamatan histopatologi organ ginjal,

6. Bapak Ign. Y. Kristio Budiasmoro, M.Si.
S.J., M.Sc. dan Bapak
waktunya untuk membagikan pengetahuan statistikanya seputar pengolahan
data skripsi ini,
7. Bapak Parjiman, Bapak Heru, dan
banyak membantu selama penelitian ini,
8. Pius dan Thomas yang membantu dalam menekropsi
Terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan.
9. Semua angkatan 2006 terlebih kelas FST dan pihak yang
per satu, yang telah membantu selama penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi penyempurnaan
skripsi ini. Akhir kata be
perkembangan ilmu dan berbagai pihak.
viii
Kristio Budiasmoro, M.Si., Romo Drs. P. Sunu Hardiyanto,
dan Bapak Drs. Antonius Tri Priantoro, M. For. Sc
waktunya untuk membagikan pengetahuan statistikanya seputar pengolahan
Bapak Parjiman, Bapak Heru, dan Bapak Kayat selaku laboran yang telah
banyak membantu selama penelitian ini,
Pius dan Thomas yang membantu dalam menekropsi (membunuh)
Terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan.
Semua angkatan 2006 terlebih kelas FST dan pihak yang tidak disebutkan satu
per satu, yang telah membantu selama penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi penyempurnaan
skripsi ini. Akhir kata besar harapan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu dan berbagai pihak.
Yogyakarta, 26
Drs. P. Sunu Hardiyanto,
Drs. Antonius Tri Priantoro, M. For. Sc yang merelakan
waktunya untuk membagikan pengetahuan statistikanya seputar pengolahan
selaku laboran yang telah
(membunuh) subyek uji.
tidak disebutkan satu
per satu, yang telah membantu selama penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi penyempurnaan
sar harapan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
November 2009
Penulis
Daryono Thejo

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 26 November 2009
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 26 November 2009
Penulis
Daryono Thejo

x
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keamanan penggunaan jus wortel (Daucus carota L.) yaitu dengan menentukan ketoksikan akut jus wortel secara oral yang dinyatakan dengan nilai LD50, pengaruh terhadap organ ginjal tikus jantan Wistar dan kadar kreatinin serumnya.
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Obyek uji yang digunakan adalah jus wortel yang terbagi dalam empat peringkat dosis, yaitu 1,094; 2,188; 4,375 dan 8,750 g/kgBB yang diberikan secara peroral ke subyek uji. Subyek uji yang digunakan adalah tikus jantan galur Wistar sebanyak 30 ekor dengan umur 60-90 hari, dan berat 100-200 gram. Subyek uji dibagi dalam 5 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdapat 6 ekor tikus, yaitu : kelompok I sebagai kelompok kontrol negatif diberi diberi air putih merk “Aqua” 25 ml/kgBB, kelompok II-V sebagai kelompok perlakuan diberi jus wortel dalam 4 peringkat dosis.
Data hasil pengamatan kemudian diolah dengan analisis statistik Kruskal-Wallis untuk rasio berat organ ginjal, kadar kreatinin serum praperlakuan, dan kadar kreatinin serum pascaperlakuan (1 hari dan 14 hari), Two-Way Anovauntuk analisis profil kenaikan berat badan, Paired t-test untuk analisis kadar kreatinin serum pascaperlakuan banding praperlakuan, dan Unpaired t-test untuk analisis kadar kreatinin serum pascaperlakuan 1 hari banding 14 hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jus akut wortel memiliki efek toksik pada ginjal yang kemungkinan disebabkan ketoksikan dari bentuk autooksidasi beta karoten dalam wortel, ditunjukkan dengan adanya hemorrhagic, nekrosis tubulus dan glomerulus pada ginjal, namun tidak sampai mematikan subyek uji (LD50 semu). Sifat efek toksik pada organ ginjal mulai mengalami pemulihan. Kadar kreatinin serum antara perlakuan jus wortel dengan kontrol negatif berbeda tidak bermakna. Kadar kreatinin serum pada penelitian ini tidak berkorelasi dengan kondisi ginjal.
Kata kunci : jus wortel (Daucus carota L.), LD50, ginjal, kadar kreatinin serum.

xi
ABSTRACT
The aims of this study is to determine safety use of carrot juice (Daucus carota L.) thats determine the acute toxicity of carrot juice orally expressed by LD50 values, the effect to the kidney organ Wistar male rats and serum creatinine levels.
Research method used is a pure experimental with one-way randomized completely design. Test object used is carrot juice which is divided in 4 doses ranking, namely 1.094; 2.188; 4.375 and 8.750 g/kgBB the peroral given to test subjects. Test subjects used were male rats of Wistar strain 30 rats with age 60 –90 days, and weighting 100 – 200 grams. Test subjects were divided into 5 treatment groups, each group consist of 6 rats, namely: group I as a negative control group were given water brand "Aqua" 25 ml/kgBB, group II-V in the treatment group were given carrot juice in 4 rating doses.
Observation data was processed with statistical analysis Kruskal-Wallis for kidney organ weight ratios, serum creatinine levels pretreatment, and serum creatinine levels posttreatment (1 day and 14 days), Two-Way Anova for profile changes in weight analysis, Paired t-test for analysis of serum creatinine levels posttreatment versus pretreatment, and Unpaired t-test for analysis of serum creatinine levels posttreatment 1 day versus 14 days.
The results showed that the carrot juice has acute toxic effects on the kidney is probably due toxicity of autooxydation form of beta carotene in carrots, indicated by a hemorrhagic, necrotic tubules and glomerulus of the kidney, but not to kill the test subject (pseudo LD50). Toxic effects to kidney organ are starting to recover. Serum creatinine levels between carrot juice treatment and a negative control treatment showed no significant difference between them. Serum creatinine levels in this study did not correlate with kidney conditions.
Keywords: carrot juice (Daucus carota L.), LD50, kidney, serum creatinine levels.

xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL.............................................................................. i
HALAMAN JUDUL ................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPERLUAN AKADEMIS ........................ vi
PRAKATA................................................................................................. vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................... ix
INTISARI .................................................................................................. x
ABSTRACT................................................................................................. xi
DAFTAR ISI.............................................................................................. xii
DAFTAR TABEL...................................................................................... xviii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xix
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. xxiv
BAB I PENGANTAR................................................................................ 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1. Permasalahan ................................................................................. 3
2. Keaslian penelitian......................................................................... 4
3. Manfaat penelitian ......................................................................... 9

xiii
B. Tujuan Penelitian ................................................................................. 9
1. Tujuan umum ................................................................................. 9
2. Tujuan khusus ................................................................................ 9
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ........................................................ 10
A. Tanaman Wortel................................................................................... 10
1. Sistematika tanaman ...................................................................... 10
2. Nama sinonim ................................................................................ 10
3. Nama daerah .................................................................................. 10
4. Morfologi ....................................................................................... 10
5. Kultivar wortel ............................................................................... 11
6. Kandungan kimia ........................................................................... 12
7. Khasiat ........................................................................................... 12
B. Beta Karoten ........................................................................................ 12
C. Toksikologi .......................................................................................... 16
1. Definisi toksikologi........................................................................ 16
2. Asas umum toksikologi.................................................................. 16
a. Kondisi efek toksik .................................................................. 16
b. Mekanisme aksi efek toksik..................................................... 17
c. Wujud efek toksik .................................................................... 17
d. Sifat efek toksik ....................................................................... 18
3. Jenis uji toksikologi ....................................................................... 18
a. Uji ketoksikan tak khas ............................................................ 19
b. Uji ketoksikan khas.................................................................. 19

xiv
D. Toksisitas Akut .................................................................................... 20
1. Definisi........................................................................................... 20
2. Rancangan percobaan .................................................................... 20
a. Pemilihan spesies hewan.......................................................... 20
b. Cara pemberian ........................................................................ 20
c. Dosis dan jumlah hewan .......................................................... 20
d. Faktor lingkungan .................................................................... 21
e. Pengamatan dan pemeriksaan .................................................. 22
3. Penggolongan LD50........................................................................ 22
E. Ginjal.................................................................................................... 23
1. Definisi dan fungsi ......................................................................... 23
2. Anatomi dan fisiologi ginjal .......................................................... 23
3. Fotomikroskopi ginjal .................................................................... 25
a. Korteks ..................................................................................... 25
b. Medula ..................................................................................... 26
c. Pelvis........................................................................................ 26
4. Nefrotoksikan................................................................................. 26
a. Glomerulus (glomerulonefropati) ............................................ 27
b. Nefropati tubulus proksimal .................................................... 27
c. Nefropati tubulus distal............................................................ 28
F. Kreatinin .............................................................................................. 28
1. Definisi........................................................................................... 28
2. Mekanisme pembentukan kreatinin ............................................... 28

xv
3. Fungsi kreatinin serum................................................................... 29
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 30
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ........................................................... 30
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...................................... 30
1. Variabel penelitian ......................................................................... 30
a. Variabel bebas.......................................................................... 30
b. Variabel tergantung.................................................................. 30
2. Variabel pengacau terkendali......................................................... 30
3. Variabel pengacau tak terkendali................................................... 31
4. Definisi operasional ....................................................................... 31
C. Alat atau Instrumen Penelitian............................................................. 31
D. Bahan atau Materi Penelitian ............................................................... 32
1. Subyek uji ...................................................................................... 32
2. Sediaan uji...................................................................................... 32
3. Kontrol negatif ............................................................................... 32
4. Formalin 10%................................................................................. 32
5. Pakan dan minum subyek uji ......................................................... 32
6. Garam NaCl fisiologis ................................................................... 32
E. Tata Cara Peneltitian............................................................................ 33
1. Determinasi tanaman wortel (Daucus carota L.) .......................... 33
2. Pengelompokan subyek uji ............................................................ 33
3. Penanganan subyek uji................................................................... 33
4. Orientasi penetapan konsentrasi jus wortel (Daucus carota L.).... 34

xvi
5. Orientasi penetapan dosis jus wortel (Daucus carota L.).............. 34
6. Pemejanan jus wortel ..................................................................... 35
7. Pengamatan .................................................................................... 35
8. Pengukuran kadar kreatinin serum................................................. 38
a. Pengukuran kadar kreatinin serum praperlakuan..................... 38
b. Pengukuran kadar kreatinin serum pascaperlakuan................. 38
9. Histopatologi organ ginjal.............................................................. 39
a. Pengambilan dan pengamatan histopatologi............................ 39
b. Pembuatan preparat histopatologi............................................ 39
c. Pemeriksaan histopatologi organ ginjal ................................... 40
F. Analisis Hasil ....................................................................................... 40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 42
A. Determinasi Tanaman Wortel .............................................................. 42
B. Pengamatan Gejala-Gejala Klinis ........................................................ 43
C. Potensi Ketoksikan Akut Jus Wortel (LD50)........................................ 45
D. Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis Ginjal ............................. 45
1. Analisis hasil histopatologis 24 jam .............................................. 50
2. Analisis hasil histopatologis 14 hari .............................................. 57
E. Analisis Berat Rasio Organ Ginjal....................................................... 67
F. Analisis Kadar Kreatinin Serum .......................................................... 68
1. Kreatinin serum praperlakuan........................................................ 68
2. Kreatinin serum pascaperlakuan .................................................... 69
G. Analisis Berat Badan Tikus ................................................................. 72

xvii
H. Analisis Berat Pakan dan Minum ........................................................ 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 76
A. Kesimpulan .......................................................................................... 76
B. Saran .................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 78
LAMPIRAN............................................................................................... 82
BIOGRAFI PENULIS ............................................................................... 109

xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Potensi ketoksikan akut zat kimia pada hewan........................ 23
Tabel 2. Gejala klinis dalam uji ketoksikan akut ................................... 37
Tabel 3. Gejala-gejala klinis tikus jantan Wistar akibat pemberian
akut jus wortel.......................................................................... 44
Tabel 4. Hasil pemeriksaan makroskopis organ ginjal tikus jantan
Wistar akibat pemberian akut jus wortel.................................. 46
Tabel 5. Hasil pemeriksaan histopatologi organ ginjal tikus jantan
Wistar akibat pemberian akut jus wortel.................................. 47
Tabel 6. Berat rasio organ ginjal ............................................................ 67
Tabel 7. Kadar kreatinin serum praperlakuan........................................ 69
Tabel 8. Kadar kreatinin serum pascaperlakuan banding
praperlakuan............................................................................. 70
Tabel 9. Kadar kreatinin serum kelompok pascaperlakuan H-1 dan
H-14 ......................................................................................... 70
Tabel 10. Kadar kreatinin serum pascaperlakuan H-1 banding
pascaperlakuan H-14................................................................ 71

xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur beta karoten................................................................ 13
Gambar 2. Penangkapan radikal peroksil (ROO.) oleh beta karoten......... 13
Gambar 3. Struktur beta apo-8’-karotenal, salah satu produk degradasi
oksidatif dari beta karoten........................................................ 15
Gambar 4. Struktur ginjal .......................................................................... 24
Gambar 5. Struktur nefron ......................................................................... 24
Gambar 6. Bagian-bagian ginjal ................................................................ 25
Gambar 7. Bagian korteks ......................................................................... 25
Gambar 8. Bagian Medula ......................................................................... 26
Gambar 9 Mekanisme pembentukan kreatinin ......................................... 29
Gambar 10. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian air putih 25 ml/kgBB yang mengalami
hemorrhagic (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan
24 jam dengan perbesaran 400x) ............................................. 51
Gambar 11. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian air putih 25 ml/kgBB yang mengalami
hemorrhagic (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan
24 jam dengan perbesaran 100x) ............................................. 51
Gambar 12. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 1,094 g/kgBB yang mengalami
nekrosis tubulus fokal (pengecatan hematoksilin-eosin
pembedahan 24 jam dengan perbesaran 400x) ........................ 52

xx
Gambar 13. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 2,188 g/kgBB yang mengalami
nekrosis tubulus fokal menuju multifokal (pengecatan
hematoksilin-eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran
400x) ........................................................................................ 53
Gambar 14. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 2,188 g/kgBB yang mengalami
nekrosis glomerulus fokal menuju multifokal (pengecatan
hematoksilin-eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran
100x) ........................................................................................ 54
Gambar 15. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 4,375 g/kgBB yang mengalami
nekrosis tubulus multifokal (pengecatan hematoksilin-eosin
pembedahan 24 jam dengan perbesaran 400x) ........................ 55
Gambar 16. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 4,375 g/kgBB yang mengalami
nekrosis glomerulus multifokal (pengecatan hematoksilin-
eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran 100x)............... 55
Gambar 17. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 8,750 g/kgBB yang mengalami
nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse (pengecatan
hematoksilin-eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran
400x) ........................................................................................ 56

xxi
Gambar 18. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 8,750 g/kgBB yang mengalami
nekrosis glomerulus multifokal (pengecatan hematoksilin-
eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran 100x)............... 57
Gambar 19. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian air putih 25 ml/kgBB yang mengalami
hemorrhagic (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan
14 hari dengan perbesaran 100x) ............................................. 58
Gambar 20. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 1,094 g/kgBB yang mengalami
nekrosis tubulus fokal menuju multifokal (pengecatan
hematoksilin-eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran
400x) ........................................................................................ 59
Gambar 21. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 1,094 g/kgBB yang mengalami
nekrosis glomerulus fokal menuju multifokal (pengecatan
hematoksilin-eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran
100x) ........................................................................................ 60
Gambar 22. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 2,188 g/kgBB yang mengalami
nekrosis tubulus multifokal (pengecatan hematoksilin-eosin
pembedahan 14 hari dengan perbesaran 400x) ........................ 61

xxii
Gambar 23. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 2,188 g/kgBB yang mengalami
nekrosis glomerulus multifokal (pengecatan hematoksilin-
eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran 100x)............... 61
Gambar 24. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 4,375 g/kgBB yang mengalami
nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse (pengecatan
hematoksilin-eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran
400x) ........................................................................................ 62
Gambar 25. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 4,375 g/kgBB yang mengalami
nekrosis glomerulus multifokal (pengecatan hematoksilin-
eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran 100x)............... 63
Gambar 26. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 8,750 g/kgBB yang mengalami
nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse (pengecatan
hematoksilin-eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran
400x) ........................................................................................ 64
Gambar 27. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 8,750 g/kgBB yang mengalami
nekrosis glomerulus multifokal (pengecatan hematoksilin-
eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran 100x)............... 64

xxiii
Gambar 28. Grafik kenaikan berat badan tikus jantan Wistar akibat
pemejanan akut jus wortel........................................................ 73
Gambar 29. Grafik rata-rata jumlah pakan tikus jantan Wistar per
harinya...................................................................................... 74
Gambar 30. Grafik rata-rata jumlah minum tikus jantan Wistar per
harinya...................................................................................... 75

xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar wortel ......................................................................... 82
Lampiran 2. Gambar jus wortel konsentrasi 35% dan 4,376% .................... 82
Lampiran 3. Foto blender ............................................................................. 82
Lampiran 4. Foto ruang pemeliharaan.......................................................... 83
Lampiran 5. Foto timbangan ........................................................................ 83
Lampiran 6. Foto pengambilan sampel darah .............................................. 83
Lampiran 7. Foto proses pembedahan.......................................................... 84
Lampiran 8. Penentuan dosis dari konsentrasi ............................................. 84
Lampiran 9. Konversi dari dosis terendah ke konsentrasi terendah............. 84
Lampiran 10. Perhitungan pemberian volume pada tikus .............................. 84
Lampiran 11. Konversi dosis tertinggi ke manusia 70 kg .............................. 85
Lampiran 12. Pengamatan gejala klinis kontrol negatif “Aqua”
(25 ml/kgBB) .......................................................................... 86
Lampiran 13. Pengamatan gejala klinis dosis I Jus Wortel
(1,094 g/kgBB) ........................................................................ 87
Lampiran 14. Pengamatan gejala klinis dosis II Jus Wortel
(2,188 g/kgBB) ........................................................................ 88
Lampiran 15. Pengamatan gejala klinis dosis III Jus Wortel
(4,375 g/kgBB) ........................................................................ 89
Lampiran 16. Pengamatan gejala klinis dosis IV Jus Wortel
(8,750 g/kgBB) ........................................................................ 90

xxv
Lampiran 17. Berkas pemeriksaan histopatologis organ ginjal
tikus jantan Wistar ................................................................... 91
Lampiran 18. Hasil analisis statistik............................................................... 94

1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang Penelitian
Sejak ribuan tahun yang lalu, obat dan pengobatan tradisional sudah ada
di Indonesia, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obatan
modernnya dikenal masyarakat. Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan
tumbuhan berkhasiat obat merupakan pengobatan yang dimanfaatkan dan diakui
masyarakat dunia, yang menandai kesadaran untuk kembali ke alam (back to
nature) adalah untuk mencapai kesehatan yang optimal dan untuk mengatasi
berbagai penyakit secara alami (Wijayakusuma, 2000).
Pengobatan tradisional pada umumnya lebih aman daripada obat-obatan
modern. Walaupun begitu, obat tradisional harus hati-hati dalam penggunaannya.
Beberapa tanaman yang digunakan dalam pengobatan tradisional dalam jumlah
sedikit merupakan obat, tetapi akan berubah menjadi racun bila dipakai dalam
jumlah berlebihan (Werner, 1989).
Salah satu contoh tanaman obat tradisional adalah wortel. Tanaman ini
sering dikonsumsi masyarakat dengan diolah menjadi sayur ataupun dibuat jus.
Menurut penelitian yang telah dilakukan, wortel dapat digunakan sebagai obat
anti inflamasi (Hapsari, 2003; Widarsih, 2003; Rasmandani, 2004; Kristama,
2007), analgesik (Putra, 2003; Widhianata, 2007), dan hepatoprotektif (Nuraeni,
2003; Widari, 2004). Menurut Dalimartha (2007) dan Hutapea (1993) wortel juga
memiliki khasiat lain yaitu sebagai obat antiseptik, laksatif, sebagai penurun

2
tekanan darah tinggi dan untuk kesehatan mata, dimana zat yang dicurigai
berkhasiat adalah beta karoten.
Menurut Wijayakusuma (2000), penggunaan tanaman obat tradisional
dalam pengobatan tradisional di Indonesia dianggap kuno, tidak ilmiah, tidak
rasional karena tidak dilakukan uji farmakologi, toksisitas, uji klinik, dan berbagai
uji lainnya, sehingga khasiat dan keamanannya masih diragukan. Oleh karena itu
perlu diuji toksisitas akut jus wortel.
Toksisitas akut merupakan uji yang dilakukan dengan memberikan zat
kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali dalam jangka waktu 24 jam (Lu,
1995). Penelitian ketoksikan akut mencakup semua organ, namun dalam
penelitian ini hanya dipilih satu organ saja, yaitu ginjal. Hal ini dikarenakan arah
dari penelitian ini lebih mengenai pengaruh pemberian akut jus wortel (Daucus
carota L.) terhadap organ ginjal, karena pengaruh pemberian akut jus wortel bisa
berefek positif atau justru berefek negatif (toksik). Selain itu ginjal merupakan
organ sasaran utama dari efek toksik (Lu, 1995) sehingga mengundang
ketertarikan peneliti untuk meneliti apakah jus wortel dapat bersifat toksik
terhadap organ ginjal yang akan diperiksa kondisi ginjalnya secara makroskopik
dan mikroskopik (histopatologi).
Selain melihat perubahan struktural (histopatologi) yang terjadi pada
organ ginjal, penelitian ini juga dilakukan pengukuran terhadap kadar kreatinin
serum untuk melihat pengaruh pemberian akut jus wortel terhadap perubahan
biokimiawi dalam tubuh dan bagaimana hubungannya terhadap organ ginjal.
Kreatinin serum adalah produk samping pemecahan fosfokreatin otot dalam

3
menghasilkan energi yang akan mengalir lewat darah menuju ke ginjal untuk
diekskresikan. Apabila terjadi gangguan fungsi pada ginjal, akan mengurangi
ekskresi kreatinin dan akan berakibat terjadi peningkatan kadar kreatinin serum
sehingga kreatinin serum dapat menggambarkan kondisi ginjal (Fischbach and
Dunning, 2004). Karena hal itulah maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh
pemberian akut jus wortel (Daucus carota L.) pada tikus jantan Wistar : kajian
terhadap organ ginjal dan kadar kreatinin serum.
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, permasalahan yang
muncul adalah :
a. Berapa besar potensi ketoksikan akut jus wortel yang dinyatakan dengan
kisaran Median Lethal Dosage (LD50) ?
b. Bagaimana gejala, wujud, sifat dan mekanisme efek toksik dari jus wortel ?
c. Bagaimana pengaruh pemberian akut jus wortel terhadap organ ginjal pada
tikus Wistar ?
d. Bagaimana pengaruh pemberian akut jus wortel terhadap kadar kreatinin
serum pada tikus Wistar ?
e. Apakah terdapat suatu korelasi antara kondisi organ ginjal dengan kadar
kreatinin serum pada tikus galur Wistar yang terpejan jus wortel ?

4
2. Keaslian penelitian
Beberapa penelitian mengenai khasiat dan keamanan tanaman wortel
adalah sebagai berikut :
a. Daya Anti Inflamasi Infus Umbi Wortel (Daucus carota L.) Pada Mencit
Jantan (Hapsari, 2003).
Infusa umbi wortel (Daucus carota L.) mempunyai daya anti inflamasi yang
ditunjukkan dengan kemampuan infusa umbi wortel dalam mengurangi
pembengkakan akibat pemberian injeksi karagenin 1% secara subplanar. Daya
anti inflamasi air perasan umbi wortel dosis dosis 4,75; 9,5; 19; dan 38
g/kgBB berturut-turut adalah sebesar 38,62%; 67,43%; 54,47%; 26,25%.
b. Daya Anti Inflamasi Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Pada Mencit
Putih Jantan (Widarsih, 2003).
Air perasan umbi wortel (Daucus carota L.) mempunyai daya anti inflamasi
yang ditandai dengan penurunan bobot udema akibat pemberian injeksi
karagenin 1% secara subplanar. Daya anti inflamasi air perasan umbi wortel
dosis 1,25; 2,5; 5; 10; dan 20 ml/kgBB berturut-turut adalah sebesar 19,01%;
46,41%; 103,71%; 75,39%; dan 53,58%.
c. Efek Hepatoprotektif Air Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Terhadap
Mencit Jantan Terinduksi CCl4 (Nuraeni, 2003).
Air perasan umbi wortel (Daucus carota L.) mempunyai efek hepatoprotektif
terhadap mencit jantan terinduksi CCl4. Efek hepatoprotektif ditandai dengan
menurunnya aktivitas GPT-serum dan menurunnya derajat kerusakan sel hati
akibat hepatotoksikan CCl4. Efek hepatoprotektif air perasan umbi wortel

5
dosis 0,14; 0,392; 1,162; 3,50; 10,50 dan 31,50 ml/kgBB berturut-turut adalah
sebesar 10,53%; 12,83%; 18,87%; 28,26%; 35,70% dan 77,12%.
d. Efek Analgesik Air Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Pada Mencit
Putih Betina (Putra, 2003).
Air perasan umbi wortel (Daucus carota L.) mempunyai kemampuan
analgesik pada mencit putih betina. Efek analgesik air perasan umbi wortel
dosis 1,25; 2,5; 5; 10; dan 20 ml/kgBB secara berturut-turut adalah sebesar
29,72%; 43,68%; 67,36%; 60,74%, dan 31,18%.
e. Daya Anti Inflamasi Sari Umbi Wortel (Daucus carota L.) Pada Mencit Putih
Jantan (Kajian Terhadap Lama Masa Pemberian) (Rasmandani, 2004).
Lama masa pemberian mempengaruhi daya anti inflamasi sari umbi wortel
(Daucus carota L.) pada mencit jantan yang ditunjukkan bahwa pemberian
sari umbi wortel secara berlebihan dapat menurunkan daya anti inflamasi sari
umbi wortel. Pemberian sari umbi wortel dosis 5 ml/kgBB hari ke-1 sampai
hari ke-4 menunjukkan penurunan berat rata-rata udema kaki mencit, namun
pada hari ke-5 dan ke-6 mengalami peningkatan berat rata-rata udema kaki
mencit dibanding hari sebelumnya.
f. Efek Hepatoprotektif Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Pada Mencit
Jantan Terinduksi Parasetamol : Kajian Berdasarkan Perbedaan Tempat
Tumbuh (Widari, 2004).
Perasan umbi wortel (Daucus carota L.) dosis 1,47 ml/kgBB pada tempat
yang berbeda yaitu pada daerah Tawangmangu dan Kopeng memiliki efek

6
hepatoprotektif yang berbeda terhadap mencit jantan terinduksi parasetamol
dosis 250 mg/kgBB.
g. Pengaruh Perlakuan Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Secara
Subkronis Terhadap Gambaran Histopatologis Ginjal Tikus Putih (Adita,
2006).
Perasan umbi wortel (Daucus carota L.) memiliki potensi efek toksik terhadap
organ ginjal tikus putih bila digunakan dalam waktu jangka pendek, yaitu
selama 14 hari berturut-turut. Wujud efek toksiknya berupa hemorrhagic,
erosi epitel tubulus, dan peradangan. Sifat efek toksiknya terbalikkan pada
tikus jantan dan bersifat tak terbalikkan pada tikus betina.
h. Pengaruh Perlakuan Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Secara
Subkronis Terhadap Gambaran Histopatologis Hepar Tikus Putih Jantan dan
Betina (Mayana, 2006).
Perasan umbi wortel (Daucus carota L.) memiliki potensi efek toksik terhadap
organ hati tikus putih bila digunakan dalam waktu jangka pendek, yaitu
selama 14 hari berturut-turut. Wujud efek toksiknya berupa hyperemia
multifokal, hemorrhagic, dan degenerasi melemak. Sifat efek toksiknya tak
terbalikkan pada tikus jantan dan betina.
i. Pengaruh Perlakuan Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Secara
Subkronis Terhadap Gambaran Histopatologis Ovarium Tikus Putih (Sunu,
2006).
Perasan umbi wortel (Daucus carota L.) dosis 8,53 ml/kgBB memiliki potensi
efek toksik terhadap organ ovarium tikus putih bila digunakan dalam waktu

7
jangka pendek, yaitu selama 14 hari berturut-turut. Wujud efek toksik berupa
kerusakan ovarium dan penghambatan oogenesis. Sifat efek toksiknya adalah
tak terbalikkan.
j. Pengaruh Perlakuan Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Secara
Subkronis Terhadap Gambaran Histopatologis Organ Lambung dan Usus
Halus Tikus Putih (Lingganingsih, 2006).
Perasan umbi wortel (Daucus carota L.) dosis 3,41 ml/kgBB mempunyai
spektrum efek toksik terhadap organ lambung tikus putih jantan, sedangkan
dosis 8,53; 21,33; dan 53,32 ml/kgBB mempunyai spektrum efek toksik
berupa erosi epitel lapisan mukosa dan peradangan pada organ lambung tikus
putih jantan dan betina. Perasan umbi wortel tidak mempengaruhi terjadinya
spektrum efek toksik pada organ usus halus. Sifat efek toksiknya pada organ
lambung bersifat terbalikkan.
k. Efek Analgesik Jus Umbi Wortel (Daucus carota L.) Pada Mencit Putih
Betina (Widhianata, 2007).
Jus umbi wortel (Daucus carota L.) terbukti mempunyai khasiat analgesik
dengan metode rangsang kimia pada mencit putih betina. Efek analgesik jus
umbi wortel dosis 0,5; 1; 2; 4; dan 8 g/kgBB secara berturut-turut adalah
sebesar 17,71%; 27,04%; 36,77%; 56,02%; dan 41,25%.
l. Efek Anti Inflamasi Ampas Wortel (Daucus carota L.) Pada Kelinci Putih
Betina (Kristama, 2007).

8
Pemberian ampas wortel (Daucus carota L.) selama 3 dan 4 hari pada kelinci
putih betina memiliki efek anti inflamasi yang ditandai dengan penurunan
mean skor eritema.
m. Toksisitas Akut Sari Wortel (Daucus carota L.) Kajian terhadap Organ
Lambung, Ginjal, dan Hati pada Mencit Putih Betina Galur Balb/c (Karlina,
2009)
LD50 semu > 16,7 ml/kgBB. Terjadi radang pada lambung dan ginjal yang
bersifat terbalikan, serta nekrosis pada organ hati (24 jam setelah perlakuan).
Terjadi peningkatan aktivitas ALT yang bermakna tetapi tidak untuk kadar
kreatinin serum.
n. Pengaruh Pemberian Akut Jus Wortel (Daucus carota L.) Pada Tikus Jantan
Wistar : Kajian Terhadap Organ Hati dan Aktivitas Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase (SGPT) (Novianti, 2009).
Pemberian Akut Jus Wortel pada konsentrasi jus wortel sebanyak 35%
memberikan hasil berupa LD50 semu > 8,750 g/kgBB, menyebabkan
perubahan struktural pada sel hati seperti nekrosis, degenerasi hidrofik, dan
pembentukan jaringan fibroblast, yang mulai mengalami pemulihan organ
hati. Jus wortel tidak menyebabkan perubahan aktivitas SGPT. Aktivitas
SGPT dalam penelitian ini tidak berkorelasi dengan kerusakan sel hati.
Berdasarkan pustaka yang ditemukan, telah banyak dilakukan pengujian
terhadap tanaman wortel. Namun, penulis tidak menemukan adanya penelitian
tentang Pengaruh Pemberian Akut Jus Wortel (Daucus carota L.) Pada Tikus
Jantan Wistar : Kajian Terhadap Organ Ginjal dan Kadar Kreatinin Serum.

9
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Data-data ilmiah yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat
berguna untuk pengembangan penggunaan jus wortel dalam pengobatan.
b. Manfaat metodologis
Diharapkan metode penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
penelitian berikutnya yang berhubungan dengan jus wortel.
c. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi keamanan
penggunaan jus wortel kepada masyarakat.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian akut jus wortel pada
tikus jantan Wistar terhadap organ ginjal dan kadar kreatinin serum.
2. Tujuan khusus
Penelitian ini digunakan untuk menetapkan seberapa besar potensi
ketoksikan akut jus wortel pada tikus jantan Wistar yang dinyatakan dengan
kisaran LD50, untuk mengetahui gejala, wujud, sifat dan mekanisme efek toksik
jus wortel, untuk mengetahui pengaruh pemberian akut jus wortel terhadap organ
ginjal dan kadar kreatinin serum pada tikus jantan Wistar, dan untuk mengetahui
apakah terdapat suatu korelasi antara kondisi organ ginjal dengan kadar kreatinin
serum pada tikus galur Wistar yang terpejan jus wortel.

10
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tanaman Wortel
1. Sistematika tanaman
Sistematika tanaman wortel adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Umbelliflorae
Suku : Apiaceae
Marga : Daucus
Jenis : Daucus carota L. (Hutapea, 1993)
2. Nama sinonim
Tanaman wortel memiliki nama sinonim : Daucus sativus (Dalimartha,
2007).
3. Nama daerah
Tanaman wortel memiliki nama daerah yaitu : Boktel dalam bahasa
Sunda, Wortel dalam bahasa Jawa, dan Ortel dalam bahasa Madura (Hutapea,
1993).
4. Morfologi
Tanaman wortel termasuk suku Apiaceae. Bentuk tanaman ini berupa
semak dan memiliki umbi meruncing yang tertanam di dalam tanah. Ketinggian

11
tanaman ini sekitar 1 sampai 1,5 meter dihitung dari ujung daun hingga ujung
umbinya.
Bagian-bagian yang terdapat pada tanaman wortel terdiri dari :
a. Batang : Tegak, bulat, berbulu, hijau.
b. Daun : Majemuk, menyirip, bersilang, lonjong, tepi bertoreh,
ujung runcing, pangkal berlekuk, panjang 15-20 cm,
lebar 10-13 cm, pertulangan menyirip, hijau.
c. Bunga : Majemuk, bentuk cawan, di ujung batang, tangkai
silindris, hijau, kelopak lonjong, lima helai, hijau,
benang sari silindris, panjang ± 3 mm, putih, kepala sari
bulat, kuning, tangkai putik silindris, kepala ptik bulat,
kuning, makota bentuk bintang, halus, putih.
d. Umbi : Buni, lonjong, diameter ± 3 mm, coklat.
e. Biji : Lonjong, putih.
f. Akar : Tunggang, membentuk umbi, oranye (Hutapea, 1993).
5. Kultivar wortel
Berdasarkan bentuk umbinya, wortel dibagi menjadi tiga kultivar, yaitu :
a. Tipe imperator, yaitu golongan wortel yang bentuk umbinya bulat panjang
dengan ujung runcing, hingga mirip bentuk kerucut.
b. Tipe chantenay, yaitu golongan wortel yang bentuk umbinya bulat panjang
dengan ujung tumpul dan tidak berakar serabut.
c. Tipe nantes, yaitu golongan wortel yang memiliki bentuk umbi tipe peralihan
antara tipe imperator dan chantenay (Rukmana, 1995).

12
6. Kandungan kimia
Dalam 100 g wortel segar mengandung 37.000 kalori; 1,1 g protein, 0,9 g
serat; 36 mg kalsium; 1,2 mg Fe; 4,2 mg karoten; 0,06 mg tiamin; 0,05 mg
riboflavin; 0,7 mg niasin; dan 8 mg vitamin C (Ashari, 2006). Kandungan lainnya
adalah pada umbinya mengandung saponin dan polifenol (Hutapea, 1993).
7. Khasiat
Tanaman wortel memiliki berbagai macam khasiat :
a. Memperkuat fungsi hati.
b. Sebagai antiseptik.
c. Sebagai laksatif (Dalimartha, 2007).
d. Sebagai penurun tekanan darah tinggi.
e. Untuk menjaga kesehatan mata (Hutapea, 1993).
Selain itu manfaat lain dari wortel adalah bersifat sebagai diuretik
(memperlancar kencing) sehingga dapat mendorong keluar sisa metabolisme sel
tubuh yang tidak berguna melalui ginjal (Dalimartha, 2007).
B. Beta Karoten
Beta karoten merupakan salah satu dari 600 komponen karotenoid yang
banyak ditemukan dalam tanaman. Karotenoid merupakan senyawa isoprenoid
C40 dan tetraterpenoid yang terdapat dalam plastida jaringan tanaman, baik yang
melakukan fotosintesis maupun tidak. Dalam kloroplas, karotenoid berperan
sebagai pigmen aksesoris dalam pengambilan cahaya. (Krinsky, 1989).

13
Gambar 1. Struktur beta karoten (Watson, 2002)
Beta karoten biasanya digunakan sebagai suplemen nutrisi maupun
prekursor vitamin A (Buring and Hennekens, 1993). Namun, perannya lebih
penting adalah dalam detoksifikasi berbagai bentuk oksigen. Beta karoten bersifat
larut dalam lemak dan berfungsi sebagai peredam singlet oksigen dan radikal
bebas (Krinsky, 1989).
C26H34 C26H34
OOR
C26H34
OOR
OOR
ROO
C26H34
O
Produk-Produk Polar
Beta Karoten Radikal Peroksil Beta Karoten
ROO
-RO
Gambar 2. Penangkapan radikal peroksil (ROO.) oleh beta karoten(Kennedy and Liebler, 1992)
Hasil penelitian epidemiologis terkait beta karoten menyatakan bahwa
subjek yang banyak mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran dengan kandungan
beta karoten tinggi memiliki resiko rendah terkena berbagai jenis penyakit kanker

14
dan penyakit kardiovaskuler (Peto, Buckley, and Sporn, 1981). Penelitian lain
juga menyatakan bahwa asupan tinggi beta karoten dari sayuran dan buah-buahan
menekan resiko beberapa penyakit ganas termasuk kanker prostat (Williams,
Boileau, Clinton, and Erdman, 2000).
Namun di sisi lain, beta karoten dapat berperan sebagai prooksidan, yang
dimodulasi oleh Fe dalam jaringan. Ditemukan bahwa pemberian beta karoten
pada tikus yang telah diberi canthaxanthin (suplemen yang mengandung Fe) dapat
menyebabkan penyerapan Fe meningkat sehingga akan menyebabkan
pembentukan kompleks karotenoid dengan Fe yang dapat larut dalam lumen usus,
kemudian mencegah efek penghambatan polifenol pada absorpsi Fe (Garcia,
1998).
Menurut Masotti, Casali, and Galeotti (1988), beta karoten dapat bersifat
sebagai antitumor atau agen tumor-promoting. Ketika aktivitas prooksidan terjadi
dalam sel yang telah mengalami transformasi (perubahan), senyawa tersebut akan
berpotensi sebagai antioksidan. Namun ketika aktivitas prooksidan beta karoten
terjadi dalam sel normal, akan dihasilkan kerusakan oksidatif yang menekan
integritas sel dan menginduksi transformasi neoplastik.
Beta karoten memiliki potensi sebagai antioksidan dan prooksidan. Salah
satu bentuk prooksidan dari beta karoten adalah beta apo-8’-karotenal yang
merupakan salah satu produk oksidasi dari beta karoten karena pada kadar
oksigen yang tinggi beta karoten dapat mengalami autooksidasi. Bentuk ini
apabila tidak segera dinetralkan oleh tokoferol (vitamin E) dan asam askorbat
(vitamin C), dapat menginisiasi kerusakan sel seperti neoplasma (Null, 2000).

15
Di dalam tubuh, beta karoten akan dioksidasi oleh 15,15’-dioxygenase
menjadi dua molekul retinal yang kemudian dioksidasi menjadi asam retinoat
(Redmond, T.M., Gentlemen, S., Duncan, T., Yu, S., Wiggert, B., Gantt, E., et al.,
2000). Asam retinoat berfungsi sebagai agen kemopreventif, menghambat
karsinogenesis khususnya di jaringan paru (Patrick, 2000). Akan tetapi, beta
karoten juga dapat mengalami degradasi oksidatif menjadi beta apo-8’, 10’, 12’,
dan 14’-karotenal yang dapat memicu metabolisme asam retinoat. Dengan
demikian akan menyebabkan penurunan kadar asam retinoat dalam jaringan dan
dapat menyebabkan terjadinya proliferasi sel dan pembentukan kanker (Siems,
Sommerburg, Schild, Augustin, Langhans, and Wiswedel, 2002). Meski
demikian, ada keuntungan yang dapat diperoleh dari sifat beta karoten sebagai
prooksidan, yaitu dapat membunuh sel tumor. Karotenoid berperan sebagai agen
oksidatif yang selektif terhadap sel tumor (Null, 2000).
H
O
Gambar 3. Struktur beta apo-8’-karotenal, salah satu produk degradasi oksidatif dari beta karoten (Woggon, 2002)

16
C. Toksikologi
1. Definisi toksikologi
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas
sistem biologi. Takrif ini menunjukkan bahwa obyek yang dipelajari dalam
toksikologi adalah antaraksi zat kimia atau senyawa asing dengan sistem biologi
atau makhluk hidup, dimana pusat perhatiannya terletak pada pengaruh berbahaya
bahan racun itu atas kehidupan makhluk hidup (Donatus, 2001).
2. Asas umum toksikologi
a. Kondisi efek toksik
Kondisi efek toksik adalah berbagai keadaan atau faktor yang dapat
mempengaruhi keefektifan absorpsi, distribusi, dan eliminasi zat beracun di dalam
tubuh, sehingga menentukan keberadaan zat kimia utuh atau metabolitnya dalam
sel sasaran serta toksisitasnya atau keefektifan antaraksinya dengan sel sasaran
(Loomis, 1978).
Kondisi efek toksik dari suatu senyawa tergantung pada dua hal yaitu :
kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup. Kondisi pemejanan antara lain
meliputi jenis pemejanan (akut, subkronis, atau kronis), jalur pemejanan
(intravaskuler atau ekstravaskuler), lama dan kekerapan pemejanan, saat
pemejanan, dan takaran atau dosis pemejanan. Sedangkan kondisi makhluk hidup
meliputi keadaan normal (misalnya berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan
pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi, kehamilan, genetika,
jenis kelamin, ritme sirkadian, ritme diurnal), dan keadaan tidak normal (misalnya
penyakit saluran cerna, kardiovaskuler, hati, dan ginjal) (Donatus, 2001).

17
b. Mekanisme aksi efek toksik
Berdasarkan sifat dan tempat kejadiannya, mekanisme aksi efek toksik
zat kimia dibagi menjadi dua yaitu mekanisme luka intrasel dan mekanisme luka
ekstrasel. Mekanisme luka intrasel adalah luka sel yang diawali oleh aksi racun
pada tempat aksi di dalam sel sasaran, oleh karena itu mekanisme ini sering
disebut mekanisme langsung atau primer. Sedangkan mekanisme luka ekstrasel
adalah zat racun pada awalnya bereaksi di lingkungan luar sel dengan akibat
terjadinya luka di dalam sel, oleh karena itu mekanisme ini sering disebut
mekanisme tidak langsung atau sekunder (Donatus, 2001).
c. Wujud efek toksik
Wujud efek toksik dapat berupa perubahan biokimia, fungsional dan
struktural. Namun tidak berarti bahwa efek toksik zat beracun sepenuhnya dapat
terpisah dengan tegas ke dalam 3 wujud dasar efek toksik, melainkan sering
merupakan campuran, karena ketiganya merupakan suatu proses yang saling
berkaitan (Donatus, 2001).
1) Perubahan biokimia
Jenis wujud efek toksik ini berkaitan dengan respon dan perubahan atau
kekacauan biokimia terhadap luka sel, akibat antaraksi zat racun dan sel sasaran
yang sifatnya terbalikkan.
2) Perubahan fungsional (fisiologi)
Jenis wujud efek toksik ini merupakan jenis efek toksik yang berkaitan
dengan antaraksi zat beracun dengan sel sasaran atau tempat aktif enzim yang
sifatnya terbalikkan sehingga dapat mempengaruhi fungsi homeostasis tertentu.

18
3) perubahan struktural (histopatologi)
Jenis wujud efek toksik ini berkaitan dengan perubahan morfologi sel
yang akhirnya terwujud sebagai kekacauan struktural. Sehubungan dengan
masalah ini, terdapat respon histopatologi dasar sebagai tanggapan terhadap luka
sel, yakni degenerasi, proliferasi, dan inflamasi atau perbaikan (Donatus, 2001).
d. Sifat efek toksik
Sifat efek toksik dapat berupa antaraksi terbalikkan (reversible) dan
antaraksi yang tidak terbalikkan (irreversible) (Donatus, 2001).
1) Antaraksi yang terbalikkan (reversible)
Antaraksi ini merupakan efek toksik yang ditimbulkan oleh racun akan
segera hilang bila pemejanan dengan racun terhadap makhluk hidup dihentikan
dan kondisi dari sel sasaran atau reseptornya akan kembali ke keadaan normal.
2) Antaraksi yang tidak terbalikkan (irreversible)
Antaraksi ini merupakan efek toksik yang ditimbulkan oleh racun tidak
akan segera hilang bila pemejanan dengan racun terhadap makhluk hidup
dihentikan karena terjadi penumpukan efek toksik dan kerusakannya yang terjadi
pada reseptor bersifat menetap sehingga reseptor tidak akan bisa kembali ke
keadaan normal (Donatus, 2001).
3. Jenis uji toksikologi
Pada umumnya uji toksikologi terbagi menjadi dua golongan yaitu uji
ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas

19
a. Uji ketoksikan tak khas
Uji yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek
toksik sesuatu senyawa pada aneka ragam jenis subyek uji. Termasuk dalam
golongan uji ketoksikan tak khas adalah :
1) Uji ketoksikan akut
Uji ini dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang
terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan atau pemberiannya dengan
takaran tertentu dan biasanya pengamatan dilakukan 24 jam.
2) Uji ketoksikan subkronis
Uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada
subyek uji tertentu selama kurang dari tiga bulan.
3) Uji ketoksikan kronis
Uji ketoksikan kronis serupa dengan uji ketoksikan subkronis.
Perbedaannya terletak pada lamanya pemberian atau pemejanan takaran dosis
senyawa uji dan masa pengamatan serta pemeriksaannya.
b. Uji ketoksikan khas
Uji yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas
sesuatu senyawa pada aneka ragam jenis subyek uji, termasuk golongan uji
ketoksikan khas ini adalah uji potensiasi, kekarsinogetikan, kemutagenikan,
keteratogenikan, reproduksi, kulit dan mata, dan perilaku (Donatus, 2001).

20
D. Toksisitas Akut
1. Definisi
Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang
diuji sebanyak satu kali dalam jangka waktu 24 jam (Lu, 1995).
2. Rancangan percobaan
a. Pemilihan spesies hewan
Secara umum, dalam penentuan nilai LD50 digunakan subyek uji berupa
tikus dan mencit. Hewan ini dipilih karena murah, mudah didapat, dan mudah
ditangani. Selain itu terdapat banyak data toksikologi tentang jenis hewan ini,
suatu fakta yang mempermudah perbandingan toksisitas zat kimia (Lu, 1995).
Penentuan LD50 sebaiknya dilakukan pada kedua jenis kelamin, juga pada
hewan dewasa dan yang masih muda, karena kerentanannya mungkin berbeda
(Lu, 1995).
b. Cara pemberian
Secara umum toksikan harus diberikan melalui jalur yang biasa
digunakan pada manusia. Jalur oral paling sering digunakan pada manusia. Bila
akan diberikan per oral, zat tersebut harus diberikan dengan sonde (Lu, 1995).
c. Dosis dan jumlah hewan
Untuk menentukan LD50 secara tepat, perlu dipilih suatu dosis yang akan
membunuh sekitar separuh jumlah hewan-hewan itu, dosis lain yang akan
membunuh lebih dari separuh (kalau bisa kurang dari 90%), dan dosis ketiga yang
akan membunuh kurang dari separuh (kalau bisa lebih dari 10%) dari hewan-
hewan itu. Sering digunakan empat dosis atau lebih dengan harapan bahwa

21
sekurang-kurangnya tiga diantaranya akan berada dalam rentang dosis yang
dikehendaki (Lu, 1995).
Secara umum, LD50 akan lebih tepat bila digunakan lebih banyak hewan
untuk tiap dosis dan bila rasio antara dosis yang berurutan lebih kecil. Banyak
peneliti menggunakan 40-50 subyek uji per LD50 dan memilih rasio 1,2-1,5 (Lu,
1995). Namun, Weil (1952) menyarankan penggunaan empat hewan untuk tiap
dosis dan rasio sebesar 2,0 antara dosis yang berurutan. Belakangan ini diajukan
prosedur uji sederhana yang lain (Bruce, 1985) yang menggunakan hanya enam
sampai sembilan hewan untuk setiap uji.
d. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan dapat mempengaruhi respon hewan terhadap zat kimia
yang diberikan antara lain :
1) Pengandangan hewan dapat mempengaruhi LD50 suatu bahan kimia, namun
nilai LD50 untuk kebanyakan bahan kimia hanya sedikit dipengaruhi oleh faktor
ini (Lu, 1995). Subyek uji seharusnya dikandangkan dalam kelompok berdasarkan
jenis kelamin atau dikandangkan sendiri-sendiri, tergantung dari spesies dan
ukuran tubuh hewan tersebut (Hayes, 2001).
2) Jenis kandang (berlubang-lubang atau padat) dan jenis bahan alas kandang
juga dapat mempengaruhi reaksi hewan terhadap toksikan (Lu, 1995).
3) Suhu lingkungan juga dapat mempengaruhi efek toksik begitu juga dengan
kelembaban relatif, dimana bila kelembaban relatif ruangan tinggi maka dapat
meningkatkan toksisitas akut, sehingga nilai LD50 lebih rendah (Lu, 1995). Suhu

22
ruangan yang optimal untuk subyek uji adalah 22 ± 3oC dan kelembaban
relatifnya 30-70% (Hayes, 2001).
4) Pola makan minum dan kualitasnya harus terstandarisasi. Tujuannya adalah
agar subyek uji mendapatkan makanan dan minuman yang bernutrisi lengkap dan
bebas dari kontaminan sehingga keadaan fisiologi dan metabolisme subyek uji
selama penelitian tetap dalam kondisi normal (Hayes, 2001).
e. Pengamatan dan pemeriksaan
Setelah toksikan diberikan, jumlah hewan yang mati (jika ada) dan waktu
kematiaannya harus diamati untuk memperkirakan LD50. Yang lebih penting lagi,
tanda-tanda toksisitasnya harus dicatat. Jangka waktu pengamatan harus cukup
panjang dan biasanya 7-14 hari tetapi dapat jauh lebih lama (Lu, 1995).
Autopsi harus dilakukan pada semua hewan yang mati dan pada beberapa
hewan yang hidup, terutama hewan yang tampak sakit pada akhir percobaan.
Autopsi dapat memberikan informasi yang berharga tentang organ sasaran,
terutama bila kematian tidak terjadi segera setelah pemberian zat kimia.
Diperlukan juga pemeriksaan histopatologik organ tubuh dan jaringan tertentu
(Lu, 1995).
3. Penggolongan LD50
Penggolongan potensi ketoksikan akut pada hewan dapat dilihat pada
tabel 1.

23
Tabel 1. Potensi ketoksikan akut zat kimia pada hewan (Lu, 1995)Kriteria LD50 (mg/kg)
1. Luar biasa toksik 5 atau kurang2. Sangat toksik 5 – 503. Cukup toksik 50 – 5004. Sedikit toksik 500 – 50005. Praktis tidak toksik 5000 – 150006. Relatif kurang berbahaya Lebih dari 15000
E. Ginjal
1. Definisi dan fungsi
Ginjal adalah organ yang berfungsi untuk menyingkirkan buangan
metabolisme normal dan mengekskresi xenobiotik dan metabolitnya. Ginjal
merupakan organ sasaran utama dari efek toksik (Lu, 1995). Ginjal rentan
terhadap banyak zat kimia. Kerentanan ini disebabkan posisinya dalam sirkulasi
cairan badan yaitu fungsi ekskresinya berhubungan erat sekali dengan darah dan
zat yang terkandung di dalamnya (Koeman, 1987).
2. Anatomi dan fisiologi ginjal
Struktur yang menonjol dalam ginjal adalah nefron, kira-kira berjumlah
1,3 x 106. Tiap nefron terdiri atas glomerulus dan serangkaian tubulus.
Glomerulus dialiri darah oleh sistem kapiler bertekanan tinggi yang menghasilkan
ultrafiltrat dari plasma. Filtrat yang terkumpul dalam kapsul Bowman mengalir
melalui tubulus berkelok proksimal, ansa Henle, dan tubulus distal, dan kemudian
mengalir lewat kumpulan tubulus ke dalam piala ginjal dan dibuang sebagai urin
(Lu, 1995).

24
Gambar 4. Struktur ginjal (Klaassen, 2001)
Gambar 5. Struktur nefron (Klaassen, 2001)

25
3. Fotomikroskopi ginjal
Secara fotomikroskopi organ ginjal, ginjal terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu : korteks, medula, dan pelvis (gambar 6) (King, 2007).
Gambar 6. Bagian-bagian ginjal (King, 2007)
a. Korteks
Korteks adalah bagian terluar dari organ ginjal. Korteks terdapat bagian
yang dinamakan renal corpuscle dan terhubung dengan tubulus yang memiliki
fungsi untuk memproduksi filtrat dari plasma darah oleh glomerulus dan
menerima filtrat plasma dari glomerulus untuk memproses lebih lanjut menjadi
urin oleh tubulus. Renal corpuscle terbagi menjadi glomerulus, kapsul bowman,
dan ruang bowman. Sedangkan tubulus terbagi menjadi tubulus proksimal dan
tubulus distal (gambar 7) (King, 2007).
Gambar 7. Bagian korteks (King, 2007)Keterangan : p = tubulus proksimal glom = glomerulus
d = tubulus distal

26
b. Medula
Medula merupakan bagian tengah dari ginjal setelah korteks. Fungsi dari
bagian ini adalah untuk menciptakan kondisi garam hipertonik sehingga bisa
mengabsorpsi air yang masih dibutuhkan tubuh. Bagian ini terbagi menjadi
lengkung henle dan collecting duct (gambar 8) (King, 2007).
Gambar 8. Bagian Medula (King, 2007)Keterangan : ts = lengkung henle bersegmen tipis
dt = lengkung henle bersegmen tebalcd = collecting duct
c. Pelvis
Pelvis adalah bagian dalam dari ginjal setelah medula. Fungsi dari bagian
ini adalah menerima urin hasil pemrosesan pada bagian korteks dan medula untuk
diteruskan lebih lanjut ke ureter (King, 2007).
4. Nefrotoksikan
Ginjal merupakan gudang penyimpanan racun yang poten, karena
memiliki kapasitas yang tinggi untuk mengikat zat kimia. Keadaan ini mungkin
berkaitan dengan kenyataan bahwa ginjal merupakan tempat terpenting bagi

27
eliminasi, berturut-turut metabolisme dan ekskresi racun dari dalam tubuh
(Donatus, 2001).
Kelompok utama nefrotoksikan adalah logam berat, antibiotik, analgesik,
dan hidrokarbon berhalogen tertentu. Semua bagian nefron secara potensial dapat
dirusak oleh efek toksikan. Beratnya beberapa efek beragam dari satu perubahan
biokimia atau lebih sampai kematian sel, dan efek ini dapat muncul sebagai
perubahan kecil pada fungsi ginjal atau gagal ginjal total (Lu, 1995).
Efek toksik zat beracun terhadap ginjal dapat diklasifikasikan
berdasarkan lokasinya sebagai berikut :
a. Glomerulus (Glomerulonefropati)
Glomerulus merupakan organ target yang jarang dipengaruhi oleh bahan
beracun. Organ ini dapat dipengaruhi oleh bahan beracun baik secara langsung
maupun tidak langsung. Salah satu perubahan glomerulus adalah perubahan
permeabilitasnya terhadap protein-protein plasma (Glaister, 1986).
b. Nefropati tubulus proksimal
Karena terjadi absorpsi dan sekresi aktif tubulus proksimal, kadar
toksikan pada tubulus proksimal sering lebih tinggi. Selain itu, kadar sitokrom P-
450 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau
mengaktifkan toksikan. Dengan demikian, tempat ini sering merupakan sasaran
efek toksik (Lu, 1995).
Nefrotoksisitas yang terjadi di tubulus proksimal dapat berupa
degenerasi, kadang-kadang disertai dengan reaksi inflamasi dan perbaikan

28
tergantung dari tempat dan luasnya luka. Kelainan tubulus proksimal ini dapat
berupa hidrofik, inklusi, dan nekrosis (Glaister, 1986).
c. Nefropati tubulus distal
Efek toksik yang sering ditemui pada tubulus distal adalah kristaluria,
dan nekrosis papilla ginjal. Hal tersebut berhubungan dengan fungsi tubulus distal
dalam mengatur keseimbangan air, elektrolit, dan asam basa (Glaister, 1986).
F. Kreatinin
1. Definisi
Kreatinin adalah produk samping pemecahan fosfokreatin otot dalam
menghasilkan energi (Fischbach and Dunning, 2004).
2. Mekanisme pembentukan kreatinin
Kreatin adalah derivat atau turunan asam amino yang diperoleh dari
makanan (khususnya daging merah) dan juga dibentuk di liver dari asam amino
arginin, glisin, dan metionin. Kreatin kemudian ditangkap oleh otot tubuh
membentuk fosfokreatin, yang merupakan senyawa fosfat berenergi tinggi.
Fosfokreatin yang dipecah akan menyediakan cadangan energi (ATP). Ketika otot
digunakan secara berlebihan maka produksi fosfokreatin juga akan berlebih,
karena menyiapkan cadangan energi untuk siap digunakan oleh otot agar mampu
bekerja lebih keras lagi. Namun oleh karena jumlah fosfokreatin yang berlebih ini,
akan dihasilkan produk samping yaitu kreatinin (hasil siklisasi fosfokreatin) yang
akan diekskresikan lewat urin (Pasquale, 2000).

29
Gambar 9. Mekanisme pembentukan kreatinin (Pasquale, 2000)
Kreatinin diproduksi dalam kecepatan yang konstan tergantung dari
massa otot seseorang dan kemudian dibuang dari tubuh melalui ginjal. Jumlah
produksi kreatinin ini konstan apabila jumlah massa otot juga dalam keadaan yang
konstan (Fischbach and Dunning, 2004).
3. Fungsi kreatinin serum
Kreatinin merupakan hasil samping pemecahan fosfokreatin yang tidak
bermanfaat lagi bagi tubuh dan akan mengalir lewat darah menuju ke ginjal untuk
diekskresikan. Apabila terjadi gangguan fungsi pada ginjal, akan mengurangi
ekskresi kreatinin dan akan berakibat terjadi peningkatan kadar kreatinin dalam
darah (kreatinin serum). Oleh karena itulah kadar kreatinin serum dapat
menggambarkan kondisi ginjal (Fischbach and Dunning, 2004).
Kadar kreatinin serum akan meningkat di atas ambang normal jika
penurunan fungsi ginjal mencapai 50%; oleh karenanya kreatinin serum bukan
merupakan indikator sensitif untuk kerusakan gejala ringan sampai sedang
(Rubenstein, Wayne, and Bradley, 2003). Uji kreatinin menunjukkan kelainan
saat ginjal kehilangan 2/3 fungsinya (Purnomo, 2008).

30
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian Pengaruh Pemberian Akut Jus Wortel (Daucus carota L.) pada
Tikus Jantan Wistar : Kajian Terhadap Organ Ginjal dan Kadar Kreatinin Serum
termasuk dalam penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap
pola searah.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel penelitian
a. Variabel bebas :
Dosis jus wortel, yaitu sejumlah (gram) jus wortel tiap satuan kgBB
subyek uji yang bersangkutan.
b. Variabel tergantung :
Toksisitas akut oral jus wortel, ditunjukkan dengan jumlah kematian
subyek uji, gejala efek toksik, sifat efek toksik, wujud efek toksik (dilihat dari
gambaran histopatologi subyek uji), mekanisme efek toksik, dan kadar kreatinin
serum pada subyek uji yang menggambarkan sehat tidaknya fungsi ginjal subyek
uji yang terpejan jus wortel.
2. Variabel pengacau terkendali
Suhu dan kelembaban ruangan, jenis dan jumlah pakan dan minum,
tempat penanaman wortel, umur, berat badan, jenis kelamin, dan galur tikus.

31
3. Variabel pengacau tak terkendali
Kondisi patologis subyek uji.
4. Definisi operasional
Jus wortel adalah sejumlah gram wortel yang diblender sampai sehalus
mungkin dan diambil sari beserta ampas di dalamnya untuk diberikan kepada
subyek uji.
Konsentrasi jus wortel yang diberikan ke subyek uji adalah konsentrasi
tertinggi dari jus wortel yang konsistensinya masih berbentuk jus pada umumnya
dan bisa diberikan ke subyek uji melewati lubang injeksi spluit oral.
C. Alat atau Instrumen Penelitian
1. Kandang subyek uji berukuran 35 cm x 26 cm x 12 cm.
2. Neraca analitik atau Analytical balance (Scout Pro, tipe SPS2001F, made in
USA).
3. Blender (Philips, Type HR 2815/A, Holland).
4. Alat-alat gelas (Pyrex) seperti bekker glass, gelas ukur, dan labu takar.
5. Spuit oral, volume 5 ml (Terumo Syringe, MD 21921).
6. Pipa kapiler (Micro Haematocrit Tubes).
7. Microtube 1,5 ml
8. Seperangkat alat bedah (Gold Cross, Stainless Steel).
9. Pemeriksaan preparat histopatologi subyek uji menggunakan mikroskop
(Motic, tipe DMB3-223, B3 Professional Series, made in US).

32
D. Bahan atau Materi Penelitian
1. Subyek uji
Subyek uji yang digunakan berupa tikus jantan Wistar dengan kisaran
umur 60 sampai 90 hari dan dengan berat badan 100 - 200 gram yang diperoleh
dari Usaha Dagang Tikus Wistar Bantul, Yogyakarta.
2. Sediaan uji
Sediaan uji yang digunakan adalah jus wortel. Wortel dalam penelitian
ini memiliki bentuk umbi bulat panjang dengan ujung tumpul yang merupakan
tipe chantenay yang diperoleh dari Desa Soko Muntilan dengan waktu panen pada
bulan September 2009.
3. Kontrol negatif
Kontrol negatif berupa air putih merk “Aqua” dengan sumber mata air
dari Klaten.
4. Formalin 10%
Formalin dibeli dari Aldrich Lab dengan konsentrasi 37 % dan perlu
diencerkan menjadi formalin 10%.
5. Pakan dan minum subyek uji
Pakan dan minuman yang diberikan kepada subyek uji adalah pakan
merk “AD-5” dan air putih merk “Aqua”.
6. Garam NaCl fisiologis
Garam NaCl fisiologis diperoleh dari Laboratorium Biofarmasetika
Universitas Sanata Dharma.

33
E. Tata Cara Penelitian
1. Determinasi tanaman wortel (Daucus carota L.)
Tanaman wortel dideterminasi dengan menyesuaikan ciri-ciri yang ada
dengan buku acuan “Atlas Tumbuhan Obat Indonesia” karangan Dalimartha
(2007) dan “Inventaris Tanaman Obat Indonesia” karangan Hutapea (1993).
2. Pengelompokan subyek uji
Subyek uji sebanyak 30 ekor tikus jantan Wistar dikelompokkan secara
acak ke dalam 5 kandang, masing – masing kandang terdiri dari 6 ekor tikus. Tiap
kandang mewakili 1 kelompok perlakuan.
3. Penanganan subyek uji
Setelah dikelompokkan, subyek uji diadaptasikan selama kurang lebih 2
minggu dengan kondisi pemeliharaan pada ruangan yang bersuhu 25oC dengan
jenis dan jumlah pakan dan minum yang dikontrol. Setiap kandang diberi alas
berupa sekam padi yang diganti dan dibersihkan kandangnya setiap hari. Selama
masa 2 minggu ini, keadaan subyek uji diamati meliputi berat badan, pengamatan
tingkah laku, jumlah intake per hari makan dan minum setiap kandang, bentuk
dan warna kotoran dan dibandingkan antar subyek uji. Pakan diberikan pada
wadah makanan yang terbuat dari kaca. Wadah ini diisi sejumlah makanan dan
keesokan harinya, sisa makanan ditimbang. Demikian halnya pada jumlah air
minum. Air minum diberikan melalui botol dengan takaran tertentu kemudian
diukur sisanya pada keesokan harinya.

34
4. Orientasi penetapan konsentrasi jus wortel (Daucus carota L.)
Umbi wortel dicuci dengan air hingga bersih. Umbi wortel kemudian
dipotong dengan ukuran 3 cm x 0,2 cm x 1 cm. Kemudian wortel ditimbang 60 g,
70 g, 80 g, 90 g dan 100 g dan diblender selama 5 x 1 menit dengan ditambahkan
air sampai volume 200 ml. Jumlah gram ini digunakan untuk melihat konsistensi
jus yang masih dapat melewati jarum injeksi per oral. Berdasarkan hasil orientasi
yang dilakukan diperoleh konsentrasi jus maksimal adalah 35%.
5. Orientasi penetapan dosis jus wortel (Daucus carota L.)
Dosis terendah yang digunakan merupakan dosis yang secara teknis
masih dapat diberikan pada subyek uji sebatas volume minimal yang masih dapat
terskala oleh injeksi per oral dan jika dikonversikan menjadi jus, dosis terendah
tersebut masih berwujud seperti jus (tidak terlalu encer). Dosis tertinggi yang
digunakan merupakan dosis yang secara teknis dapat diberikan pada subyek uji
sebatas volume maksimal injeksi per oral. Berdasarkan hasil orientasi yang
dilakukan diperoleh dosis terendah 1,094 g/kgBB dan dosis tertinggi 8,750
g/kgBB. Dosis terendah dan tertinggi kemudian dihitung untuk menentukan
peringkat dosis II dan III dengan faktor perkalian tetap dua (2x). Peringkat dosis
terendah sampai tertinggi dari pemejanan jus wortel ini adalah sebagai berikut :
Dosis I (terendah) = 1,094 g/kgBB
Dosis II = 2,188 g/kgBB
Dosis III = 4,375 g/kgBB
Dosis IV (tertinggi) = 8,750 g/kgBB

35
6. Pemejanan jus wortel
Satu hari sebelum pemejanan, subyek uji dipuasakan namun tetap diberi
minum. Kelompok I digunakan sebagai kontrol, hanya diberi air merk “aqua”,
yaitu 25 ml/kgBB. Kelompok II-V dipejankan dengan jus wortel. Kelompok II
diberi dosis 1,094 g/kgBB. Kelompok III diberi dosis 2,188 g/kgBB. Kelompok
IV diberi dosis 4,375 g/kgBB. Kelompok V diberi dosis 8,750 g/kgBB.
7. Pengamatan
Pengamatan dilakukan dengan mengamati gejala-gejala klinis, perubahan
berat badan, jumlah asupan makan dan minum perhari, jumlah subyek uji yang
mati, kadar kreatinin serum praperlakuan dan pascaperlakuan, penimbangan berat
ginjal, dan pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis (histopatologi) organ
ginjal. Keterangan lebih jelasnya dapat dilihat di bawah ini :
a. Pengamatan gejala klinis (tabel 2) dilakukan secara intensif pada 3 jam
pertama setelah pemejanan jus wortel. Hari berikutnya, pengamatan bisa
dilakukan sekali sehari sampai hari ke-14.
b. Perubahan berat badan dilakukan dengan cara penimbangan berat badan pada
hari ke-0 (pertama) sampai hari ke-14 (terakhir).
c. Perubahan jumlah makan dan minum perhari pada hari ke-0 (pertama) sampai
hari ke-14 (terakhir).
d. Jumlah subyek uji yang mati (bila ada) pada masing-masing kelompok uji 24
jam setelah pemejanan.
e. Penimbangan berat organ ginjal setelah subyek uji dinekropsi pada hari ke-1
(setengah populasi) dan hari ke-14 (setengah populasi).

36
f. Pengambilan darah subyek uji dilakukan sebelum pemejanan subyek uji
(praperlakuan) dan setelah pemejanan (pascaperlakuan) untuk mendapatkan
kadar kreatinin serumnya.
g. Pemeriksaan makroskopis organ ginjal dilakukan setelah subyek uji
dinekropsi pada hari ke-1 (setengah populasi) dan hari ke-14 (setengah
populasi) dan diamati bentuk, warna, dan konsistensi ginjalnya. Setelah itu
dilakukan pengamatan mikroskopis organ ginjal setelah organ ginjal dibuat
peparatnya.

37
Tabel 2. Gejala klinis dalam uji ketoksikan akut
Pengamatan Klinis
Tanda yang diamati
Respirasi
a. Dyspnea: sulit bernafasb. Apnea: hilangnya kemampuan bernafasc. Cyanosis: warna kebiru-biruan pada ekor, mulut, dan telapak
kakid. Nostril discharges: kotoran hidung merah atau tidak berwarna
Aktivitas motorik
a. Pengurangan atau peningkatan dalam aktivitas motorik secara spontan, keingintahuan, menjilat-jilat, atau pergerakan
b. Hilangnya righting reflex atau hilangnya refleks balik badanc. Catalepsy : hewan cenderung berdiam pada posisi dimana
ditempatkand. Gerakan yang tidak biasa: berjalan dengan jari kaki, melompat
dan postur tubuh menjadi rendahe. Prostration: hewan tidak bergerak dan rest on bellyf. Tremor
Kontraksi pada otot hewan
a. Kejang-kejang
Refleks
a. Corneal: kelopak mata menutup ketika disentuhb. Myotact: kemampuan hewan untuk menarik kembali kaki
belakangnya ketika ditarikc. Cahaya (pupil): kontraksi pupil ketika terkena cahayad. Refleks kejut: respon terhadap stimulus luar, seperti sentuhan,
suara
Tanda-tanda ocular
a. Lakrimasi: keluar air mata yang berlebihan, bening atau berwarna
b. Myosis: Kontraksi pupil tanpa mempedulikan adanya cahayac. Mydriasis: dilatasi pupil tanpa mempedulikan adanya cahayad. Exophthalmos: penonjolan mata yang abnormale. Chromodacryorrhea: air mata berwarna merah
Salivasi a. Sekresi saliva yang berlebihan
Piloereksia. Kontraksi pada jaringan erektil folikel bulu sehingga bulu
menjadi kasar
Tanda-tanda gastrointestinal
a. Feses padat, kering, dan jarang keluarb. Feses berairc. Muntah-muntahd. Urin berwarna merahe. Urin berbau seperti ketonf. Hewan terasa sakit apabila diraba perutnyag. Hewan terasa sakit apabila diraba punggungnya
Kulit a. Edema: bengkak pada jaringan karena berisi cairan

38
8. Pengukuran kadar kreatinin serum
a. Pengukuran kadar kreatinin serum praperlakuan
Satu hari sebelum pemejanan, semua subyek uji diambil sampel darahnya
sebanyak 1 ml melalui vena orbital subyek uji. Kemudian darah segera diukur
(tidak boleh melebihi 3 jam setelah pengambilan). Pengukuran kadar kreatinin
serum dilakukan di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Terpadu (LPPT) Unit
I, UGM.
b. Pengukuran kadar kreatinin serum pascaperlakuan
Setelah 1 hari pemejanan, 3 ekor subyek uji dari tiap kelompok perlakuan
(setengah jumlahnya dari total populasi) diambil sampel darahnya sebanyak 1 ml
melalui vena orbital subyek uji. Kemudian darah segera diukur (tidak boleh
melebihi 3 jam setelah pengambilan). Pengukuran kadar kreatinin serum
dilakukan di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Terpadu (LPPT) Unit I,
UGM. Subyek uji yang tersisa sebanyak setengah populasi, akan diambil
darahnya untuk diuji kadar kreatinin serumnya pada hari ke-14.
Prosedur kerja penetapan kadar kreatinin serum adalah sebagai berikut :
1) Pengambilan serum
Darah tanpa koagulan 30 – 60 menit disentrifus pada kecepatan 4000
rpm selama 10 menit atau 12000 rpm selama 2 menit untuk mendapatkan serum.
Setelah itu dipindahkan serumnya ke tabung baru.
2) Pengukuran kreatinin
Dibuat monoreagen yang terdiri dari campuran reagen 1 : reagen 2 = 4 : 1
yang telah dicampur secara homogen dan diinkubasikan pada suhu kamar selama

39
45 menit. Setelah itu dibuat blanko reagen (akuadest : monoreagen = 50 : 1000),
standar (kreatinin 2 mg/dl : monoreagen = 50 : 1000), dan sampel (serum yang
didapat dari hasil disentrifus : monoreagen = 50 : 1000). Kemudian blanko reagen,
standar, dan sampel diukur absorbansinya menggunakan alat microlab 300 : 492
nm dengan urutan pengukuran dari pertama sampai terakhir adalah sebagai
berikut: blanko akuadest, blanko reagen, standar, dan sampel. Hasil absorbansi
yang didapat, kemudian digunakan untuk menetapkan kadar kreatinin serum
sesuai persamaan berikut :
Kadar kreatinin = ∆∆ (2 / )
9. Histopatologi organ ginjal
a. Pengambilan dan pengamatan histopatologi
Setelah pengambilan darah, subyek uji kemudian dietanasi untuk
mengambil organ tubuhnya. Setelah hewan tersebut mati, lakukan pembedahan
dengan seperangkat alat bedah, kulit perut dibuka secara melintang. Dan tiap
subyek uji tersebut diambil organ ginjal. Organ ginjal dari masing-masing hewan
kemudian dibilas dengan NaCl fisiologis lalu ditimbang dan diukur volumenya.
Kemudian diamati secara makroskopi dan dimasukkan ke dalam wadah yang
berisi formalin 10%. Subyek uji yang tersisa sebanyak setengah populasi, akan
diambil organ ginjalnya pada hari ke-14.
b. Pembuatan preparat histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi organ ginjal dilakukan di Laboratorium
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Umum, UGM, dengan pengecatan
Hematoksilin-Eosin.

40
c. Pemeriksaan histopatologi organ ginjal
Pemeriksaan histopatologi organ ginjal dilakukan di Laboratorium
Farmakognosi Fitokimia, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta dengan di bawah bimbingan dosen drh. Reny Kusumastuti, M.P.
F. Analisis Hasil
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara statistik
dengan cara sebagai berikut :
1. Data rasio berat organ ginjal diperoleh dengan rumus:
Rasio organ = Berat organ ginjalBerat badan subyek uji × 100%2. Data rasio organ ginjal, kadar kreatinin serum praperlakuan, dan kadar
kreatinin serum pascaperlakuan (1 hari dan 14 hari) diuji terlebih dahulu kurva
distribusinya apakah normal atau tidak dengan menggunakan Shapiro Wilk
untuk menentukan jenis analisis selanjutnya.
3. Data rasio organ ginjal, kadar kreatinin praperlakuan dan kadar kreatinin
serum pascaperlakuan (1 hari dan 14 hari) dianalisis dengan One-Way Anova
(jika distribusinya normal dan pada homogenity variance test nilai p > 0,05
menunjukkan varians data sama) atau Kruskal-Wallis (jika distribusinya tidak
normal dan pada homogenity variance test nilai p < 0,05 menunjukkan varians
data berbeda), yang kemudian diuji Post Hoc Test untuk melihat perbedaan
masing-masing kelompok apabila terdapat perbedaan yang bermakna.

41
4. Data kenaikan berat badan per hari dianalisis dengan Two-Way Anova, yang
kemudian diuji Post Hoc Test untuk melihat perbedaan masing-masing
kelompok apabila terdapat perbedaan yang bermakna.
5. Data pengukuran kadar kreatinin serum pascaperlakuan dibandingkan
praperlakuan dianalisis dengan Paired t-test, untuk melihat apakah terdapat
perbedaan kadar kreatinin serum praperlakuan dengan pascaperlakuan.
6. Data pengukuran kadar kreatinin serum pascaperlakuan 1 hari dibandingkan
14 hari dianalisis dengan Unpaired t-test, untuk mengevaluasi reversibilitas
kadar kreatinin serum akibat pemejanan jus wortel.

42
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan hasil penelitian tentang pengaruh pemberian akut jus wortel
(Daucus carota L.) pada tikus jantan Wistar : kajian terhadap organ ginjal dan
kadar kreatinin serum ini meliputi : (A) determinasi tanaman wortel, (B)
pengamatan gejala-gejala klinis, (C) potensi ketoksikan akut jus wortel (LD50),
(D) pengamatan makroskopis dan mikroskopis ginjal (histopatologi ginjal), (E)
analisis berat rasio organ ginjal, (F) analisis kadar kreatinin serum, (G) analisis
kenaikan berat badan tikus per harinya, dan (H) analisis jumlah pakan dan minum
per harinya.
A. Determinasi Tanaman Wortel
Tanaman wortel yang digunakan dalam penelitian harus dilakukan
determinasi untuk memastikan apakah tanaman yang digunakan adalah tanaman
wortel. Determinasi dilakukan dengan mencocokkan ciri-ciri yang dimiliki
tanaman wortel dengan tanaman wortel pada skripsi terdahulu, skripsi yang diacu
berjudul “Pengaruh Perlakuan Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Secara
Subkronis Terhadap Gambaran Histopatologis Ginjal Tikus Putih” (Adita, 2006).
Hasil determinasi membuktikan bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian
ini adalah tanaman wortel (Daucus carota L.) dan termasuk dalam kultivar
chantenay karena bentuk umbi wortelnya bulat panjang dengan ujung tumpul dan
tidak berakar serabut.

43
B. Pengamatan Gejala-Gejala Klinis
Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui apakah dengan pemejanan
akut jus wortel dapat memberikan suatu gejala klinis. Berdasarkan hasil
pengamatan yang dilakukan selama 30 menit, 1, 2, 3 jam, dan setiap harinya
sampai hari ke-14 menunjukkan suatu respon yang normal pada semua subyek uji
pada semua kelompok perlakuan setelah dilakukan pemejanan jus wortel. Hal ini
berarti dengan pemejanan akut jus wortel tidak menunjukkan gejala-gejala klinis
yang bermakna atau kemungkinan respon klinis tidak begitu kelihatan secara
kasat mata. Namun akan terlihat lebih jelas suatu perubahan yang berarti apabila
dilakukan pengamatan lebih jauh meliputi pengamatan secara struktural
(histopatologi organ ginjal) dan secara biokimiawi (kadar kreatinin serum). Tabel
gejala-gejala klinis pada tikus jantan Wistar akibat pemberian akut jus wortel
dapat dilihat pada tabel 3.

44
Tabel 3. Gejala-gejala klinis tikus jantan Wistar akibat pemberian akut jus wortel
PengamatanTanda yang
diamatiKontrol negatif
Dosis I Dosis II Dosis III Dosis IV1,094
g/kgBB2,188
g/kgBB4,375
g/kgBB8,750
g/kgBB
Respirasi
Dyspnea - - - - -Apnea - - - - -Cyanosis - - - - -Nostril discharges - - - - -
Aktivitas motorik
Penurunan dan peningkatan aktivitas motorik
- - - - -
Hilangnya righting reflex
- - - - -
Catalepsy - - - - -Gerakan yang tidak biasa
- - - - -
Prostration - - - - -Tremor - - - - -
Kontraksi otot Kejang-kejang - - - - -
Refleks
Corneal Myotact Refleks cahaya Refleks kejut
Tanda okular
Lakrimasi - - - - -Myosis - - - - -Myadriasis - - - - -Exophthalmos - - - - -Chromodacryorrhea - - - - -
SalivasiSekresi saliva berlebih
- - - - -
Piloereksi Kotraksi jaringan erektil folikel bulu
- - - - -
Tanda-tanda gastrointestinal
Feses padat, kering, jarang keluar
Feses berair - - - - -Muntah-muntah - - - - -Urin berwarna merah
- - - - -
Urin berbau keton - - - - -Hewan terasa sakit apabila diraba perutnya
- - - - -
Hewan terasa sakit bila diraba punggungnya
- - - - -
Kulit Edema - - - - -Ket: * kecuali 1 tikus dalam kelompok dosis IV yang kehilangan refleks kejut suara.

45
Pada tikus kelompok dosis IV terdapat 1 ekor tikus yang menunjukkan
gejala tidak normal berupa kehilangan refleks kejut suara. Hal tersebut tidak
menjadi suatu masalah karena perbedaan tersebut tidak menunjukkan suatu efek
toksik.
C. Potensi Ketoksikan Akut Jus Wortel (LD50)
Pemejanan akut jus wortel secara peroral kepada tikus jantan Wistar
dalam penelitian ini tidak menyebabkan kematian pada kelompok perlakuan dan
tidak membunuh sebanyak setengah populasi dalam kelompok perlakuan tersebut
dalam jangka waktu 24 jam setelah pemejanan. Subyek uji dalam penelitian ini
hanya menunjukkan gejala klinis normal (tabel 3). Oleh karena itu, dosis letal
median (LD50) tidak dapat ditetapkan secara pasti. Jadi nilai LD50 yang didapat
merupakan LD50 semu yang ditetapkan berdasarkan dosis tertinggi jus wortel
yang diberikan yaitu LD50 semu > 8,750 g/kgBB.
D. Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis Ginjal
Pengamatan organ ginjal dapat dilakukan setelah menekropsi subyek uji
pada waktu 1 hari dan 14 hari setelah pemejanan. Pengamatan organ dilakukan
secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis adalah dengan
melihat kondisi organ secara langsung dengan cara memegang, meraba dan
melihat warnanya. Pengamatan makroskopis ini merupakan pemeriksaan
pendahuluan pada organ ginjal. Kemudian organ yang telah diamati secara

46
makroskopis dibuat preparatnya untuk bisa diamati secara mikroskopis yang
diamati dengan menggunakan mikroskop foto.
Pada pengamatan makroskopik didapatkan data sebagai berikut; tersaji
pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil pemeriksaan makroskopis organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian akut jus wortel
Kelompok Hari 1 Hari 14Kontrol negatif Semua normal 1 normal, 2 berwarna pucatDosis I (1,094 g/kgBB) Semua normal Semua normalDosis II (2,188 g/kgBB) Semua normal Semua berwarna pucatDosis III (4,375 g/kgBB) Semua normal 1 normal, 2 berwarna pucatDosis IV (8,750 g/kgBB) Semua normal 2 normal, 1 berwarna pucat
Berdasarkan hasil tersebut di atas, pada tikus jantan Wistar hari 1 organ
ginjal masih dalam keadaan normal seperti warnanya merah agak tua, tidak ada
pembengkakan, kenyal dan ketika dipotong darah tidak banyak keluar. Sedangkan
pada hari 14, organ ginjal sudah menunjukkan beberapa kelainan pada perlakuan
dosis, dimana kelainannya adalah pada warnanya yang menjadi pucat, yang
kemungkinan warna pucat tersebut menunjukkan adanya beta karoten dalam
ginjal. Namun pengamatan makroskopis tidaklah cukup, melainkan perlu diamati
lebih jelas lagi dengan pengamatan mikroskopis menggunakan mikroskop foto
untuk mengevaluasi kelainan yang terjadi pada hasil pengamatan makroskopis
dan kemungkinan kelainan lain yang tidak dapat teridentifikasi saat pengamatan
makroskopis.
Pada pengamatan mikroskopis didapatkan data sebagai berikut; tersaji
pada tabel 5.

47
Tabel 5. Hasil pemeriksaan histopatologi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian akut jus wortel
Kelompok ReplikasiPengamatan
24 jam Score 14 hari Score
Kontrol negatif
1Hemorrhagic dan ada jaringan ikat fibroblast
2 - -
2Hemorrhagic dan ada massa hialin
2 - -
3Hemorrhagic dan ada massa hialin
2 - -
4 - - Hemorrhagic 25 - - Hemorrhagic 26 - - Hemorrhagic 2
2 2SD ± 0 SD ± 0
Dosis I(1,094
g/kgBB)
1Nekrosis tubulus fokal dan hemorrhagic
3 - -
2 Hemorrhagic 2 - -3 Nekrosis tubulus fokal 3 - -
4 - -
Nekrosis tubulus dan glomerulus fokal menuju multifokal dan hemorrhagic
4
5 - -
Nekrosis tubulus dan glomerulus fokal menuju multifokal dan hemorrhagic
4
6 - -
Nekrosis tubulus dan glomerulus fokal menuju multifokal dan hemorrhagic
4
2,6667 4SD ± 0,5773 SD ± 0
Dosis II(2,188
g/kgBB)
1 Nekrosis tubulus fokal 3 - -
2Nekrosis tubulus dan glomerulus fokal menuju multifokal
4 - -
3
Nekrosis tubulus dan glomerulus fokal menuju multifokal dan adanya jaringan ikat
4 - -
4 - -
Nekrosis tubulus dan glomerulus multifokal, hemorrhagic dan ada jaringan ikat fibroblast
5

48
Dosis II(2,188
g/kgBB)
5 - -
Nekrosis tubulus dan glomerulus multifokal, hemorrhagic, ada massa hialin, dan jaringan ikat fibroblast
5
6 - -
Nekrosis tubulus dan glomerulus multifokal, hemorrhagic, ada massa hialin, dan jaringan ikat fibroblast
5
3,6667 5SD ± 0,5773 SD ± 0
Dosis III(4,375
g/kgBB)
1Nekrosis tubulus dan glomerulus multifokal
5 - -
2Nekrosis tubulus dan glomerulus multifokal
5 - -
3Nekrosis tubulus dan glomerulus multifokal
5 - -
4 - -
Nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse dan nekrosis glomerulus multifokal, hemorrhagic, dan ada massa hialin
6
5 - -
Nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse dan nekrosis glomerulus multifokal, hemorrhagic, ada massa hialin, dan jaringan ikat fibroblast
6
6 - -
Nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse dan nekrosis glomerulus multifokal, hemorrhagic, dan ada massa hialin
6
5 6SD ± 0 SD ± 0

49
Dosis IV(8,750
g/kgBB)
1Nekrosis tubulus dan glomerulus fokal menuju multifokal
4 - -
2
Nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse dan nekrosis glomerulus multifokal
6 - -
3
Nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse dan nekrosis glomerulus multifokal
6 - -
4 - -
Nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse dan nekrosis glomerulus multifokal, lebih parah dari dosis III
6
5 - -
Nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse dan nekrosis glomerulus multifokal, dan ada jaringan ikat fibroblast, lebih parah dari dosis IV replikasi 4
6
6 - -
Nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse dan nekrosis glomerulus multifokal, ada massa hialin dan jaringan ikat fibroblast, tingkat keparahan sama dengan dosis III
6
5,3333 6SD ± 1.1547 SD ± 0
Keterangan Score : Normal : 0Hyperemia : 1Hemorrhagic : 2Nekrosis tubulus fokal : 3Nekrosis tubulus dan glomerulus : 4fokal menuju multifokalNekrosis tubulus dan glomerulus : 5multifokalNekrosis tubulus multifokal menuju : 6diffus dan nekrosis glomerulusmultifokal

50
Pada analisis hasil histopatologis ini dibagi menjadi dua, yaitu analisis
histopatologis 24 jam dan analisis histopatologis 14 hari (tabel 5).
1. Analisis hasil histopatologis 24 jam
Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologis organ ginjal di atas,
kelompok kontrol negatif yang menggunakan air putih merk “Aqua” 25 ml/kgBB
menunjukkan terjadinya hemorrhagic pada jaringan dalam jumlah sedikit, tubulus
dan glomerulus masih dalam keadaan normal. Hemorrhagic adalah peristiwa
keluarnya darah dari pembuluh darah ke jaringan. Adanya hemorrhagic ini tetap
bisa dijadikan sebagai kontrol negatif, karena jumlahnya masih dalam sedikit atau
masih dalam batas normal. Selain itu beberapa diantaranya juga terdapat massa
hialin dan jaringan ikat fibroblast yang merupakan kerusakan kronis yang tidak
diketahui penyebabnya. Munculnya hemorrhagic dan beberapa massa hialin serta
jaringan ikat fibroblast disebabkan oleh kondisi ginjal yang sudah bermasalah dari
awal sebelum perlakuan diberikan. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan
Wistar akibat pemberian air putih 25 ml/kgBB dapat dilihat pada gambar 10 dan
11. Gambar 10 menampilkan selain terdapat hemorrhagic juga terdapat massa
hialin sedangkan gambar 11 menampilkan selain terdapat hemorrhagic juga
terdapat terdapat jaringan ikat fibroblast.

51
Gambar 10. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian air putih 25ml/kgBB yang mengalami hemorrhagic (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran 400x).
Keterangan : A. Tubulus B. Hemorrhagic C. Massa hialin
Gambar 11. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian air putih 25ml/kgBB yang mengalami hemorrhagic (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran 100x).
Keterangan : A. Tubulus B. Hemorrhagic C. Jaringan ikat fibroblast
A
B
C
C
B
B
B
A

52
Pada kelompok perlakuan dosis I (dosis 1,094 g/kgBB) tingkat
keparahannya meningkat dibandingkan kontrol negatif, dimana pada dosis I
tersebut ditemukan nekrosis tubulus fokal dan hemorrhagic, namun glomerulus
masih dalam keadaan normal. Nekrosis adalah peristiwa matinya inti sel pada
suatu organ yang ditunjukkan dengan hilangnya inti sel. Peristiwa terjadinya
nekrosis adalah dimulai dari inti sel mengalami penghitaman atau densenya
meningkat (disebut piknotik) kemudian inti sel hancur dan meninggalkan
pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam sel (disebut karioreksis),
setelah itu inti sel yang mati akan menghilang (disebut kariolisis). Fotomikroskopi
organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 1,094 g/kgBB
dapat dilihat pada gambar 12.
Gambar 12. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 1,094 g/kgBB yang mengalami nekrosis tubulus fokal (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran 400x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis tubulus fokalD. Hemorrhagic
B
AC
C
C
D

53
Pada kelompok perlakuan dosis II (dosis 2,188 g/kgBB) ditemukan
organnya mengalami nekrosis tubulus dan glomerulus fokal menuju multifokal.
Kerusakan ini lebih parah dibandingkan pada dosis I, dimana kerusakan organnya
tidak hanya pada satu tempat saja tapi sudah mulai menyebar ke bagian-bagian
lain dari organ tersebut. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 2,188 g/kgBB dapat dilihat pada gambar 13 dan 14.
Gambar 13 menampilkan adanya nekrosis tubulus fokal menuju multifokal
sedangkan gambar 14 menampilkan adanya nekrosis glomerulus fokal menuju
multifokal.
Gambar 13. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 2,188 g/kgBB yang mengalami nekrosis tubulus fokal menuju multifokal (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran 400x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis tubulus fokal menuju multifocalD. Hemorrhagic
A
B
C
C
C
C
A
D

54
Gambar 14. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 2,188 g/kgBB yang mengalami nekrosis glomerulus fokal menuju multifokal (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran 100x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis glomerulus fokal menuju multifokal
Pada kelompok perlakuan dosis III (dosis 4,375 g/kgBB) ditemukan
organnya mengalami nekrosis tubulus dan glomerulus multifokal. Kerusakan ini
sudah menyebar dalam range yang lebih luas dan lebih parah dibandingkan dosis
II. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel
dosis 4,375 g/kgBB dapat dilihat pada gambar 15 dan 16. Gambar 15
menampilkan adanya nekrosis tubulus multifokal sedangkan gambar 16
menampilkan adanya nekrosis glomerulus multifokal.
A
CC
B

55
Gambar 15. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 4,375 g/kgBB yang mengalami nekrosis tubulus multifokal (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran 400x).
Keterangan : A. Tubulus B. Glomerulus C. Nekrosis tubulus multifokal
Gambar 16. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 4,375 g/kgBB yang mengalami nekrosis glomerulus multifokal (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran 100x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis glomerulus multifokal
B
A
C
B
A
C
C
C
C
C
C
C
C
C C

56
Pada kelompok perlakuan dosis IV (dosis 8,750 g/kgBB) ditemukan
organnya mengalami nekrosis tubulus menuju diffuse dan nekrosis glomerulus
multifokal. Kerusakan ini sudah menyebar dalam range yang lebih luas dan mulai
menyebar ke semua bagian organ serta lebih parah dibandingkan dosis III.
Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis
8,750 g/kgBB dapat dilihat pada gambar 17 dan 18. Gambar 17 menampilkan
adanya nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse sedangkan gambar 18
menampilkan adanya nekrosis glomerulus multifokal.
Gambar 17. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 8,750 g/kgBB yang mengalami nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran 400x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse
A
B
C
C
CC
C C
C
C
C
C
C

57
Gambar 18. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 8,750 g/kgBB yang mengalami nekrosis glomerulus multifokal (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 24 jam dengan perbesaran 100x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis glomerulus multifokal
2. Analisis hasil histopatologis 14 hari
Analisis ini dilakukan untuk melihat reversibilitas organ akibat
pemejanan akut jus wortel. Apabila sifat toksik dari jus wortel bersifat
terbalikkan, maka setelah jus wortel selesai diberikan akan menyebabkan
berhentinya kerusakan sel-sel dan kerusakannya tidak bertambah parah, kemudian
perlahan-lahan sel akan pulih kembali ke keadaan normal. Jika dihubungkan
dengan hasil penelitian maka organ hasil histopatologis 14 hari akan mengalami
pemulihan bila dibandingkan dengan hasil histopatologi 24 jam. Namun jika sifat
toksik dari jus wortel bersifat tak terbalikkan maka setelah jus wortel selesai
diberikan akan menyebabkan suatu kerusakan yang tidak pulih atau kerusakannya
bisa menetap atau melainkan bertambah parah. Jika dihubungkan dengan hasil
C
C
CCA
B

58
penelitian maka organ hasil histopatologis 14 hari akan lebih parah bila
dibandingkan dengan hasil histopatologi 24 jam.
Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologis 14 hari didapatkan hasil
pada kontrol negatif yang menggunakan air putih merk “Aqua” 25 ml/kgBB
menunjukkan terjadinya hemorrhagic pada jaringan dalam jumlah sedikit, tubulus
dan glomerulus masih dalam keadaan normal. Pada hasil ini terlihat kontrol 14
hari dengan 24 jam menunjukkan hasil keparahan yang sama, jadi kontrol masih
berada dalam batas normal dan air putih sebagai kontrol tidak menambah
kerusakan pada organ. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian air putih 25 ml/kgBB dapat dilihat pada gambar 19.
Gambar 19. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian air putih 25ml/kgBB yang mengalami hemorrhagic (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran 100x).
Keterangan : A. Tubulus B. Hemorrhagic
AB

59
Pada kelompok perlakuan dosis I (dosis 1,094 g/kgBB) ditemukan
nekrosis tubulus dan glomerulus fokal menuju multifokal dan hemorrhagic.
Kerusakan yang terjadi ini lebih parah bila dibandingkan dengan hasil
histopatologis 24 jam pada dosis I dan tidak ditemukan adanya jaringan ikat
fibroblast, berbeda dengan dosis II – IV yang menunjukkan terbentuknya jaringan
ikat fibroblast. Hal ini berarti belum terjadi pemulihan organ pada dosis I sampai
hari ke 14 setelah pemejanan. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar
akibat pemberian jus wortel dosis 1,094 g/kgBB dapat dilihat pada gambar 20 dan
21. Gambar 20 menampilkan adanya nekrosis tubulus fokal menuju multifokal
sedangkan gambar 21 menampilkan adanya nekrosis glomerulus fokal menuju
multifokal.
Gambar 20. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 1,094 g/kgBB yang mengalami nekrosis tubulus fokal menuju multifokal (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran 400x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis tubulus fokal menuju multifokalD. Hemorrhagic
A
B
D
C
C
C
C

60
Gambar 21. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 1,094 g/kgBB yang mengalami nekrosis glomerulus fokal menuju multifokal (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran 100x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis glomerulus fokal menuju multifokal
Pada kelompok perlakuan dosis II (dosis 2,188 g/kgBB) ditemukan
nekrosis tubulus dan glomerulus multifokal, hemorrhagic dan ada jaringan ikat
fibroblast. Hasil ini jika dibandingkan sesama dosis II pada 24 jam terlihat
kerusakannya semakin meningkat sama halnya yang terjadi pada dosis I, namun
karena pada organ tersebut mulai ditemukan adanya jaringan ikat fibroblast, maka
organ ginjal mulai mengalami pemulihan. Fotomikroskopi organ ginjal tikus
jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 2,188 g/kgBB dapat dilihat pada
gambar 22 dan 23. Gambar 22 menampilkan adanya nekrosis tubulus multifokal
sedangkan gambar 23 menampilkan adanya nekrosis glomerulus multifokal.
C
A
B CC

61
Gambar 22. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 2,188 g/kgBB yang mengalami nekrosis tubulus multifokal (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran 400x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis tubulus multifokal
Gambar 23. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 2,188 g/kgBB yang mengalami nekrosis glomerulus multifokal (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran 100x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis glomerulus multifokal
AA
B
A
B
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C

62
Pada kelompok perlakuan dosis III (dosis 4,375 g/kgBB) ditemukan
organnya mengalami nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse dan nekrosis
glomerulus multifokal, hemorrhagic, ada massa hialin, dan jaringan ikat
fibroblast. Fotomikroskopi organ ini menunjukkan adanya peningkatan kerusakan
tingkat seluler dibandingkan sesama dosis III pada 24 jam, namun karena pada
organ tersebut mulai ditemukan adanya jaringan ikat fibroblast, maka organ ginjal
mulai mengalami pemulihan. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar
akibat pemberian jus wortel dosis 4,375 g/kgBB dapat dilihat pada gambar 24 dan
25. Gambar 24 menampilkan adanya nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse
sedangkan gambar 25 menampilkan adanya nekrosis glomerulus multifokal.
Gambar 24. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 4,375 g/kgBB yang mengalami nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran 400x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse
A
B
C
C
C
C
C
CC
C
C
C C
C

63
Gambar 25. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 4,375 g/kgBB yang mengalami nekrosis glomerulus multifokal (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran 100x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis glomerulus multifokal
Pada kelompok perlakuan dosis IV (dosis 8,750 g/kgBB) ditemukan
organnya mengalami nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse dan nekrosis
glomerulus multifokal, dan ada jaringan ikat fibroblast, lebih parah dari dosis III.
Fotomikroskopi organ ini menunjukkan adanya peningkatan kerusakan tingkat
seluler dibandingkan sesama dosis IV pada 24 jam, namun karena pada organ
tersebut mulai ditemukan adanya jaringan ikat fibroblast, maka organ ginjal mulai
mengalami pemulihan. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat
pemberian jus wortel dosis 8,750 g/kgBB dapat dilihat pada gambar 26 dan 27.
Gambar 26 menampilkan adanya nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse
sedangkan gambar 27 menampilkan adanya nekrosis glomerulus multifokal.
C
C
C
A
B

64
Gambar 26. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 8,750 g/kgBB yang mengalami nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran 400x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis tubulus multifokal menuju diffuse
Gambar 27. Fotomikroskopi organ ginjal tikus jantan Wistar akibat pemberian jus wortel dosis 8,750 g/kgBB yang mengalami nekrosis glomerulus multifokal (pengecatan hematoksilin-eosin pembedahan 14 hari dengan perbesaran 100x).
Keterangan : A. Glomerulus B. Tubulus C. Nekrosis glomerulus multifokal
A
B
C
C
C
C
C
C
A
B
C
C
C CC
C
C C
C
C
C
C

65
Secara keseluruhan hasil uji reversibilitas menunjukkan efek toksik dari
jus akut wortel pada organ ginjal mulai mengalami pemulihan (tabel 5), dimana
pemulihannya ditandai dengan terbentuknya jaringan ikat fibroblast. Namun
pemulihan organ ginjal belum begitu maksimal karena kerusakan organnya tetap
lebih parah pada hari ke-14 dibandingkan hari ke-1 sehingga belum dapat
dikategorikan apakah sifat efek toksiknya terbalikkan atau tidak terbalikkan.
Hasil histopatologi yang didapat dari hari ke-1 dan hari ke-14
menunjukkan bahwa wortel bersifat toksik terhadap organ ginjal yang bisa terlihat
dari peningkatan dosis jus wortel menyebabkan meningkatnya tingkat keparahan.
Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan beta karoten dapat mengalami
autooksidasi pada lingkungan yang banyak oksigen dan bentuk autooksidasi ini
dapat menyebabkan ketoksikan (Null, 2000) dan dapat memicu metabolisme asam
retinoat yang merupakan hasil konversi beta karoten (Siems, et al., 2002) yang
dapat berfungsi sebagai kemopreventif (Patrick, 2000). Jika dihubungkan dengan
penelitian ini maka akan terjawab bahwa kemungkinan kandungan beta karoten
dalam wortel sudah mengalami autooksidasi karena pada saat pembuatan jus
wortel dilakukan pada suhu ruangan 25oC, dimana jika semakin rendah suhu
ruangan maka kandungan oksigen akan semakin tinggi. Jika kadar oksigen
semakin tinggi maka akan memicu terjadinya autooksidasi dan bentuk
autooksidasi ini yang berperan sebagai prooksidan pada organ ginjal. Oleh karena
itu terjadi kerusakan pada organ ginjal.
Namun menurut Null (2000), ada keuntungan yang dapat diperoleh dari
sifat beta karoten sebagai prooksidan, yaitu dapat membunuh sel tumor. Hal ini

66
sesuai dengan pernyataan Masotti et al. (1988), yang menyatakan bahwa ketika
aktivitas prooksidan terjadi dalam sel yang telah mengalami transformasi
(perubahan), senyawa tersebut akan berpotensi sebagai antioksidan. Namun jika
dihubungkan lagi dengan penelitian ini, kondisi ruangan, suhu, pakan, minum
tikus sudah dikendalikan sebaik mungkin sehingga kecil kemungkinan radikal
bebas dapat merusak organ ginjal dan kondisi organnya relatif normal sehingga
bentuk prooksidan dari beta karoten tidak menyerang bagian organ yang tidak
normal lagi melainkan menyerang ke sel yang normal yang menurut Masotti et al.
(1988), akan menghasilkan kerusakan oksidatif yang menekan integritas sel dan
menginduksi transformasi neoplastik.

67
E. Analisis Berat Rasio Organ Ginjal
Berat rasio organ ginjal yang didapat dari berat organ ginjal dibagi
dengan berat badan tikus digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
berat rasio organ ginjal perlakuan dibandingkan dengan kontrol. Apabila terdapat
perbedaan dan dihubungkan datanya dengan histopatologi, maka data ini bisa
dipakai sebagai indikator kerusakan pada organ secara makroskopik dan sebagai
data pendukung histopatologi. Analisis statistiknya adalah dengan menggunakan
Kruskal-Wallis (uji alternatif One-Way Anova jika distribusinya tidak normal dan
pada homogenity variance test nilai p < 0,05 menunjukkan varians data berbeda)
dan jika ada perbedaan, dilanjutkan dengan Post Hoc Test Mann-Whitney. Hasil
analisis statistik berat rasio organ ginjal dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Berat rasio organ ginjal
KelompokPurata Berat Rasio Ginjal
(%) ± SEN
Kontrol negatif 0,7168 ± 0,0337 tb 6Dosis I (1,094 g/kgBB) 0,6807 ± 0,0153 tb 6Dosis II (2,188 g/kgBB) 0,7227 ± 0,0172 tb 6Dosis III (4,375 g/kgBB) 0,7526 ± 0,0320 tb 6Dosis IV (8,750 g/kgBB) 0,6923 ± 0,0470 tb 6
Keterangan : bb = berbeda bermakna tb = berbeda tidak bermakna
Berdasarkan hasil statistik dapat disimpulkan bahwa berat rasio organ
memiliki perbedaan yang tidak bermakna dengan kelompok kontrol maupun antar
kelompok yang lain. Jika dihubungkan dengan hasil histopatologi ginjal, tidak
menggambarkan adanya suatu hubungan, dimana pada hasil histopatologi dengan
meningkatnya dosis akan meningkatkan keparahan organ tetapi pada hasil berat
rasio organ ginjal menyatakan berbeda tidak bermakna dengan kontrol dan semua
perlakuan. Hal ini terjadi karena kerusakan pada organ ginjal dalam penelitian ini

68
tidak terlalu mempengaruhi berat organ ginjal sehingga data ini tidak bisa dipakai
sebagai indikator kerusakan organ secara makroskopis.
F. Analisis Kadar Kreatinin Serum
Kreatinin adalah produk samping pemecahan fosfokreatin otot dalam
menghasilkan energi. Kreatinin dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi
ginjal, jika kadarnya naik dalam darah, mengindikasikan ginjal dalam kondisi
tidak sehat sedangkan bila kadarnya turun dalam darah, mengindikasikan ginjal
dalam kondisi sehat (Fischbach and Dunning, 2004).
Keratinin serum yang diuji dalam penelitian ini adalah sebanyak dua kali
yaitu pada sebelum perlakuan (praperlakuan) dan setelah perlakuan
(pascaperlakuan). Kreatinin serum pascaperlakuan masih terbagi lagi menjadi dua
yaitu pascaperlakuan satu hari (H-1) dan pascaperlakuan empat belas hari (H-14).
1. Kreatinin serum praperlakuan
Analisis kadar kreatinin serum praperlakuan adalah dengan
membandingkan kadar kreatinin serum antar kelompok untuk melihat
homogenitas kadarnya pada semua kelompok. Analisis untuk melihat
homogenitas adalah menggunakan Kruskal-Wallis (uji alternatif One-Way Anova
jika distribusinya tidak normal dan pada homogenity variance test nilai p < 0,05
menunjukkan varians data berbeda) dan jika ada perbedaan, dilanjutkan dengan
Post Hoc Test Mann-Whitney. Pada hasil statistik didapatkan kadar kreatinin
serum antar kelompok perlakuan dan kontrol memiliki perbedaan tidak bermakna
atau kadarnya kurang lebih homogen pada perlakuan dan kontrol negatif (tabel 7).

69
Tabel 7. Kadar kreatinin serum praperlakuan
KelompokPurata Kadar Kreatinin Serum
(mg/dl) ± SEN
Kontrol negatif 0,5 ± 0,0615 tb 6Dosis I (1,094 g/kgBB) 0,8 ± 0,4254 tb 6Dosis II (2,188 g/kgBB) 0,3 ± 0,1033 tb 6Dosis III (4,375 g/kgBB) 0,2 ± 0,0516 tb 6Dosis IV (8,750 g/kgBB) 0,4 ± 0,2701 tb 6
Keterangan : bb = berbeda bermakna tb = berbeda tidak bermakna
2. Kreatinin serum pascaperlakuan
Analisis kadar kreatinin serum pascaperlakuan terbagi menjadi tiga,
antara lain :
a. Membandingkan kadar kreatinin serum pascaperlakuan dengan praperlakuan
Analisis statistiknya menggunakan Paired t-test (tabel 8). Pada hasil
statistik, didapatkan adanya perbedaan bermakna pada kontrol negatif
pascaperlakuan dibandingkan praperlakuan, sedangkan pada perlakuan dosis I
sampai IV menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna, atau dengan
kata lain dengan pemejanan akut jus wortel tidak memberikan suatu penurunan
kadar kreatinin serum yang berarti dibandingkan dengan kontrol negatif yang
dapat memberikan penurunan kadar kreatinin serum yang lebih besar. Hal ini
dapat disebabkan karena air putih dapat juga memberikan efek diuretik bila
diminum dalam jumlah banyak sehingga dengan banyak membuang urin akan
terbawa juga kreatinin keluar dari tubuh sehingga kadar kreatininnya menurun
dalam darah. Wortel juga memiliki efek diuretik (Dalimartha, 2007), namun pada
penelitian ini tidak terlihat suatu penurunan kadar yang berarti, disebabkan
kemungkinan pada dosis penelitian ini belum dapat menunjukkan suatu efek
diuretik yang berarti.

70
Tabel 8. Kadar kreatinin serum pascaperlakuan banding praperlakuan
Kelompok
Purata Kadar Kreatinin Serum
Praperlakuan (mg/dl) ± SE
Purata Kadar Kreatinin Serum Pascaperlakuan (mg/dl) ± SE
N
Kontrol negatif 0,5 ± 0,0615 bb 0,2 ± 0,0601 bb 6Dosis I (1,094 g/kgBB) 0,8 ± 0,4254 tb 0,2 ± 0,0615 tb 6Dosis II (2,188 g/kgBB) 0,3 ± 0,1033 tb 0,2 ± 0,0494 tb 6Dosis III (4,375 g/kgBB) 0,2 ± 0,0516 tb 0,2 ± 0,0703 tb 6Dosis IV (8,750 g/kgBB) 0,4 ± 0,2701 tb 0,2 ± 0,0401 tb 6
Keterangan : bb = berbeda bermakna tb = berbeda tidak bermakna
b. Menguji homogenitas kadar kreatinin serum pada semua kelompok
Analisis statistiknya menggunakan Kruskal-Wallis (uji alternatif One-
Way Anova jika distribusinya tidak normal dan pada homogenity variance test
nilai p < 0,05 menunjukkan varians data berbeda) (tabel 9). Pada hasil statistik,
didapatkan bahwa kadar kreatinin serum (H-1 dan H-14) antar kelompok
perlakuan dan kontrol memiliki perbedaan tidak bermakna atau semua kelompok
perlakuan dan kontrol negatif memiliki kadar kreatinin serum yang kurang lebih
homogen pada pascaperlakuan H-1 maupun pascaperlakuan H-14.
Tabel 9. Kadar kreatinin serum kelompok pascaperlakuan H-1 dan H-14
Kelompok
Purata Kadar Kreatinin Serum
Pascaperlakuan H-1 (mg/dl) ± SE
Purata Kadar Kreatinin Serum
Pascaperlakuan H-14 (mg/dl) ± SE
N
Kontrol negatif 0,2 ± 0,0882 tb 0,2 ± 0,1000 tb 3Dosis I (1,094 g/kgBB) 0,2 ± 0,0577 tb 0,3 ± 0,1202 tb 3Dosis II (2,188 g/kgBB) 0,2 ± 0,1000 tb 0,3 ± 0,0333 tb 3Dosis III (4,375 g/kgBB) 0,1 ± 0,0882 tb 0,2 ± 0,1202 tb 3Dosis IV (8,750 g/kgBB) 0,2 ± 0,0667 tb 0,2 ± 0,0577 tb 3
Keterangan : bb = berbeda bermakna tb = berbeda tidak bermakna

71
c. Menguji reversibilitas kadar kreatinin serum pascaperlakuan H-1 dengan H-14
Analisis statistiknya menggunakan Unpaired t-test (tabel 10). Pada hasil
statistik, didapatkan bahwa semua kelompok perlakuan dan kontrol negatif
memiliki perbedaan yang tidak bermakna bila dibandingkan antara kadar kreatinin
serum H-14 dengan H-1. Hasil ini menunjukkan kadar kreatinin serum masing-
masing perlakuan memiliki nilai yang kurang lebih sama atau dengan kata lain
bersifat terbalikkan.
Tabel 10. Kadar kreatinin serum pascaperlakuan H-1 banding pascaperlakuan H-14
Kelompok
Purata Kadar Kreatinin Serum
Pascaperlakuan H-1 (mg/dl) ± SE
Purata Kadar Kreatinin Serum
Pascaperlakuan H-14 (mg/dl) ± SE
N
Kontrol negatif 0,2 ± 0,0882 tb 0,2 ± 0,1000 tb 3Dosis I (1,094 g/kgBB) 0,2 ± 0,0577 tb 0,3 ± 0,1202 tb 3Dosis II (2,188 g/kgBB) 0,2 ± 0,1000 tb 0,3 ± 0,0333 tb 3Dosis III (4,375 g/kgBB) 0,1 ± 0,0882 tb 0,2 ± 0,1202 tb 3Dosis IV (8,750 g/kgBB) 0,2 ± 0,0667 tb 0,2 ± 0,0577 tb 3
Keterangan : bb = berbeda bermakna tb = berbeda tidak bermakna
Hasil kadar kreatinin serum secara keseluruhan pada penelitian ini tidak
berkorelasi dengan data pada histopatologi organ ginjal, dimana kadar kreatinin
serum menunjukkan kadar yang relatif sama tiap perlakuan tetapi pada hasil
histopatologi menunjukkan tingkat keparahan yang semakin meningkat dengan
meningkatnya dosis jus wortel. Hal ini terjadi bisa disebabkan oleh kadar
kreatinin baru akan menunjukkan kelainannya atau meningkat secara bermakna
apabila terjadi penurunan fungsi ginjal mencapai 50% (Rubenstein, et al., 2003).
Dan menurut Purnomo (2008), uji kreatinin menunjukkan kelainan saat ginjal
kehilangan 2/3 (66,67%) fungsinya.

72
Jika dihubungkan dengan penelitian ini akan terjawab bahwa kerusakan
organ ginjal yang teramati pada histopatologi kemungkinan belum dapat
menurunkan fungsi ginjal menjadi 50% atau 66,67%. Oleh karenanya kreatinin
serum bukan merupakan indikator sensitif untuk kerusakan gejala ringan sampai
sedang (Rubenstein, et al., 2003). Jadi dengan kata lain jus wortel hanya
menyebabkan kerusakan gejala ringan sampai sedang pada organ ginjal.
Berdasarkan analisis tersebut maka dalam penelitian ini tidak ada
korelasi antara kadar kreatinin serum dengan kondisi histopatologi organ ginjal,
dan data yang lebih terpercaya dalam penelitian ini untuk digunakan sebagai
patokan ketoksikan jus wortel adalah data pengamatan histopatologi.
G. Analisis Berat Badan Tikus
Tikus yang diuji dalam penelitian ini ditimbang berat badannya
ditimbang setiap hari selama 14 hari untuk melihat apakah jus wortel dapat
mempengaruhi profil kenaikan berat badannya selama 14 hari dibandingkan antar
kelompok perlakuan. Analisis yang digunakan untuk menggambarkan profil
kenaikan berat badannya adalah menggunakan Two-Way Anova, apabila terdapat
perbedaan bermakna dapat dilanjutkan dengan Post Hoc Test.
Hasil analisis statistik berat badan tikus selama 14 hari setelah
pemejanan, didapatkan profil kenaikan berat badannya berbeda tidak bermakna
dibandingkan antar kelompok perlakuan. Hal ini berarti dengan perbedaan
pemberian tingkatan dosis akut jus wortel memberikan perbedaan yang tidak
bermakna pada profil kenaikan berat badannya (p = 0,684). Hasil analisis

73
statistiknya dapat dilihat pada lampiran. Data ini juga disajikan dalam bentuk
grafik kenaikan berat badan tikus jantan Wistar akibat pemejanan akut jus wortel
dapat dilihat pada gambar 28.
Gambar 28. Grafik kenaikan berat badan tikus jantan Wistar akibatpemejanan akut jus wortel
Keterangan : Kontrol = kontrol negatif JW 1,094 = jus wortel dosis I (1,094 g/kgBB)
JW 2,188 = jus wortel dosis II (2,188 g/kgBB) JW 4,375 = jus wortel dosis III (4,375 g/kgBB) JW 8,750 = jus wortel dosis IV (8,750 g/kgBB)
H. Analisis Berat Pakan dan Minum
Pakan dan minum merupakan kunci penting dalam menentukan apakah
subyek uji yang digunakan dalam keadaan sehat atau sakit yang dapat dilihat dari
jumlah intake perharinya. Adanya suatu penyakit akan menyebabkan
berkurangnya nafsu makan atau intake pakan yang berdampak pada penurunan
berat badan. Grafik rata-rata jumlah pakan tikus jantan Wistar per harinya dapat
-10
-5
0
5
10
15
20
25
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Selis
ih B
B (g
)
Hari
Profil kenaikan BB vs Hari
Kontrol
JW 1,094
JW 2,188
JW 4,375
JW 8,750

74
dilihat pada gambar 29. Berdasarkan hasil grafik tersebut terlihat bahwa jumlah
pakan pada awalnya naik namun pada hari tertentu sampai hari 13 cenderung
menurun, hal ini berarti terjadi suatu penyakit akibat pemejanan akut jus wortel
pada tikus yang dapat menurunkan nafsu makannya. Hasil ini memperkuat hasil
dari histopatologi uji reversibilitas, dimana hasil kerusakan organnya bertambah
parah selama uji ini berlangsung yang dapat didukung oleh data berat pakan yang
semakin menurun seiring bertambahnya hari.
Gambar 29. Grafik rata-rata jumlah pakan tikus jantan Wistar per harinya
Keterangan : Kontrol = kontrol negatif JW 1,094 = jus wortel dosis I (1,094 g/kgBB)
JW 2,188 = jus wortel dosis II (2,188 g/kgBB) JW 4,375 = jus wortel dosis III (4,375 g/kgBB) JW 8,750 = jus wortel dosis IV (8,750 g/kgBB)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jum
lah
paka
n (g
)
Hari
Jumlah Pakan vs Hari
Kontrol
JW 1,094
JW 2,188
JW 4,375
JW 8,750

75
Sedangkan pada rata-rata jumlah minum tikus jantan Wistar kurang bisa
menunjukkan adanya suatu hubungan antara data histopatologis uji reversibilitas
dengan jumlah minum perharinya. Hal ini terjadi karena ketika tikus nafsu
makannya kurang maka tikus cenderung minum lebih banyak sehingga data yang
didapatkan menunjukkan suatu pola yang tidak berarti. Grafik rata-rata jumlah
minum dapat dilihat pada gambar 30.
Gambar 30. Grafik rata-rata jumlah minum tikus jantan Wistar per harinya
Keterangan : Kontrol = kontrol negatif JW 1,094 = jus wortel dosis I (1,094 g/kgBB)
JW 2,188 = jus wortel dosis II (2,188 g/kgBB) JW 4,375 = jus wortel dosis III (4,375 g/kgBB) JW 8,750 = jus wortel dosis IV (8,750 g/kgBB)
0,0
20,0
40,0
60,0
80,0
100,0
120,0
140,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jum
lah
min
um (m
l)
Hari
Jumlah Minum vs Hari
Kontrol
JW 1,094
JW 2,188
JW 4,375
JW 8,750

76
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. LD50 jus wortel adalah LD50 semu yang ditetapkan berdasarkan dosis tertinggi
jus wortel 8,750 g/kgBB yang tidak mematikan 50% populasi subyek uji,
sehingga didapatkan LD50 semu > 8,750 g/kgBB.
2. Pemberian akut jus wortel dapat memiliki potensi toksik terhadap organ ginjal
tikus jantan Wistar bila digunakan dalam sekali pemejanan, dengan wujud
efek toksik berupa perubahan struktural histopatologi ginjal tikus seperti
nekrosis, pembentukan jaringan ikat fibroblast dan perubahan biokimia berupa
adanya perbaikan pada kadar kreatinin serum serta sifat efek toksik pada
organ ginjal mulai mengalami pemulihan.
3. Pada penelitian ini, data histopatologi organ ginjal tidak berkorelasi dengan
kadar kreatinin serum.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian berapa kandungan oksigen yang dapat
menyebabkan terjadinya autooksidasi beta karoten dalam wortel.
2. Perlu dilakukan pengujian secara in vitro untuk mengetahui mekanisme efek
toksik dari beta karoten yang terdapat dalam wortel dan bentuk
autooksidasinya.

77
3. Perlu dilakukannya analisis biokimiawi yang lain seperti kreatinin klirens
untuk menggambarkan kondisi Gromerulus Filtration Rate (GFR) ginjal tikus.

78
DAFTAR PUSTAKA
Adita, L.D., 2006, Pengaruh Perlakuan Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Secara Subkronis Terhadap Gambaran Histopatologis Ginjal Tikus Putih, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Ashari, S., 2006, Hortikultura Aspek Budaya, 265, UI-Press, Jakarta
Bruce, R.D., 1985, An up-and-down procedure for acute toxicity testing, Fundam. Appl. Toxicol., 5, 151-157
Buring, J.E., and Hennekens, C.H., 1993, Cancer : Principles and Practice of Oncology, 4th ed., 464-474, J.B. Lippincott, Philadelphia
Dalimartha, S., 2007, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, jilid 2, 197-199, Trubus Agriwidya, Jakarta
Donatus, I.A., 2001, Toksikologi Dasar, 1-5, 27, 106-161, 200-211, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Fischbach, F.T., and Dunning, M.B., 2004, A Manual of Laboratory and Diagnostic Tests, 7th ed., 350-352, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia
Garcia, M.N., 1998, Vitamin A and β-Carotene Can Improve Nonheme Iron Absorption from Rice, Wheat and Corn by Humans, Journal of Nutrition, 128, 646-650
Glaister, J.R., 1986, Principles Of Toxicological Pathology, Francis and Taylor, London
Hayes, W., 2001, Principles and Methods of Toxicology, 4th ed., 794, 796, 861, Francis and Taylor, Philadelphia
Hapsari, Y.P., 2003, Daya Anti Inflamasi Infus Umbi Wortel (Daucus carota L.) Pada Mencit Jantan, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Hutapea, J.R., 1993, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, 173, Depkes RI, Jakarta
Karlina, 2009, Toksisitas Akut Sari Wortel (Daucus carota L.) Kajian terhadap Organ Lambung, Ginjal, dan Hati pada Mencit Putih Betina Galur Balb/c, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

79
Kennedy, T.A., and Liebler, D.C., 1992, Peroxyl Radical Scavenging by β-Carotene in Lipid Bilayers; Effect of Oxygen Partial Pressure, J. Biol. Chem., 267 (7), 4658-4663
King, D., 2007, Histology Study Guide Kidney and Urinary Tract, http://www.siumed.edu/~dking2/crr/rnguide.htm, diakses tanggal 1 November 2009
Klaassen, C.D., 2001, Casarett & Doull’s Toxicology The Basic Science of Poisons, 6th ed., 492, The Mc Graw-Hill Companies, Inc., USA
Koeman, J.H., 1987, Pengantar Umum Toksikologi, 39, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Krinsky, N.I., 1989, Antioxidant Functions of Carotenoids, Free Radical Biol. Med., 7, 617-635
Kristama, Y., 2007, Efek Anti Inflamasi Ampas Wortel (Daucus carota L.) Pada Kelinci Putih Betina, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Lingganingsih, P., 2006, Pengaruh Perlakuan Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Secara Subkronis Terhadap Gambaran Histopatologis Organ Lambung dan Usus Halus Tikus Putih, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Loomis, T.A., 1978, Essentials of Toxicology, 3rd ed., Lea & Febriger, Philadelphia
Lu, F.C., 1995, Basic Toxicology Fundamentals Target Organs, and Risk Assessment, Toksikologi Dasar Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko, edisi 2, 85-89, 224-228, alih bahasa oleh Edi Nugroho, UI-Press, Jakarta
Masotti, L., Casali, E., and Galeotti, T., 1988, Lipid Peroxidation in Tumor Cells, Free Radical Biol. Med., 4, 377-386
Mayana, B., 2006, Pengaruh Perlakuan Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Secara Subkronis Terhadap Gambaran Histopatologis Hepar Tikus Putih Jantan dan Betina, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Novianti, 2009, Pengaruh Pemberian Akut Jus Wortel (Daucus carota L.) Pada Tikus Jantan Wistar : Kajian Terhadap Organ Hati dan Aktivitas Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

80
Null, G., 2000, Beta Carotene, New England Journal Medicine, www.Garynul.com/document/beta_carotene.htm, diakses tanggal 1 November 2009
Nuraeni, E., 2003, Efek Hepatoprotektif Air Perasan Umbi Wortel (Daucus carotaL.) Terhadap Mencit Jantan Terinduksi CCl4, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Pasquale, M.I., 2000, Amino Acids and Proteins for the Athelete The Anabolic Edge, 121, CRC Press, New York
Patrick, L.N.D., 2000, Beta Carotene : The Controversy Continoues, Altern. Med. Rev., 5, 530-545
Peto, R., Buckley, J.D., and Sporn, M.B., 1981, Can Dietary Beta-Carotene Materially Reduce Human Cancer Rates?, Nature, 290, 201-208
Purnomo, B.B., 2008, Dasar-Dasar Urologi, edisi 2, 22, CV. Agung Seto, Jakarta
Putra, A.D.K., 2003, Efek Analgesik Air Perasan Umbi Wortel (Daucus carotaL.) Pada Mencit Putih Betina, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Rasmandani, N.W.A., 2004, Daya Anti Inflamasi Sari Umbi Wortel (Daucus carota L.) Pada Mencit Putih Jantan (Kajian Terhadap Lama Masa Pemberian), Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Redmond, T.M., Gentlemen, S., Duncan, T., Yu, S., Wiggert, B., Gantt, E., et al., 2000, Identification, Expression, and Substrate Specificity of Mammalian β-carotene, 15,15’-dioxygenase, J. Biol. Chem., 9, 6560-6565
Rubenstein, D., Wayne, D., and Bradley, J., 2003, Lecture Notes on Clinical Medicine, Lecture Notes Kedokteran Klinis, 6th ed., 229, alih bahasa olehdr. Annisa Rahmalia, Erlangga, Yogyakarta
Rukmana, R., 1995, Bertanam Wortel, 14-17, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Siems, W., Sommerburg, O., Schild, L., Augustin, W., Langhans, C.D., and Wiswedel, I., 2002, Beta Carotene Cleavage Products Induce Oxidative Stress In Vitro by Imparing Mitochondrial Respiration, FASEB. J., 10, 1096
Sunu, P., 2006, Pengaruh Perlakuan Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Secara Subkronis Terhadap Gambaran Histopatologis Ovarium Tikus Putih, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

81
Watson, D.H., 2002, Food Chemical Safety, Vol. 2: Additives, 179, CRC Press, USA
Weil, C.S., 1952, Tables for Convenient Calculation of Median Effective Dose (LD50 or ED50) and Instructions for Their Use, Biometrics, 8, 249-263
Werner, D., 1989, Apa Yang Anda Kerjakan Bila Tidak Ada Dokter : Where There Is No Doctor, Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta
Widari, F.B.K., 2004, Efek Hepatoprotektif Perasan Umbi Wortel (Daucus carotaL.) Pada Mencit Jantan Terinduksi Parasetamol : Kajian Berdasarkan Perbedaan Tempat Tumbuh, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Widarsih, R.S.V., 2003, Daya Anti Inflamasi Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Pada Mencit Putih Jantan, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Widhianata, A.H., 2007, Efek Analgesik Jus Umbi Wortel (Daucus carota L.) Pada Mencit Putih Betina, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Wijayakusuma, H., 2000, Ensiklopedia Milenium Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia, jilid I, 1, PT. Prestasi Insan Indonesia, Jakarta
Williams, A.W., Boileau, J.R., Clinton, S.K., and Erdman, J.W., 2000, β-Carotene Modulates Human Prostate Cancer Cell Growth and May Undergo Intercellular Metabolism to Retinol, Journal of Nutrition, 130, 728-732
Woggon, W.D., 2002, Oxidative Cleavage of Carotenoids Catalyzed by Enzyme Models and Beta Carotene 15,15’-Monooxygenase, Pure Appl. Chem., 74, 1397-1408

82
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar wortel
Lampiran 2. Gambar jus wortel konsentrasi 35% dan 4,376%
Lampiran 3. Foto blender

83
Lampiran 4. Foto ruang pemeliharaan
Lampiran 5. Foto timbangan
Lampiran 6. Foto pengambilan sampel darah

84
Lampiran 7. Foto proses pembedahan
Lampiran 8. Penentuan dosis dari konsentrasi
BB ditetapkan 200 g, V maks = 5 ml, C = 35 %b/v
D . BB = C . V
D . 200 g = 35 g/100 ml . 5 ml
D = 8,75. 10-3 g/gBB
D = 8,75 g/kgBB
Lampiran 9. Konversi dari dosis terendah ke konsentrasi terendah
BB ditetapkan 200 g, V maks = 5 ml, D = 1,094 g/kgBB
D . BB = C . V
1,094 g/kgBB . 200 g = C . 5 ml
C = 4,376 g/100 ml
Lampiran 10. Perhitungan pemberian volume pada tikus
BB = 155,6 g, D = 8,750 g/kgBB, C = 35 %b/v
D . BB = C . V
8,750 g/kgBB . 155,6 g = 35 % . V
V = 3,89 ml
Demikian seterusnya.

85
Lampiran 11. Konversi dosis tertinggi ke manusia 70 kg
Konversi ke manusia 70 kg
D = dosis tertinggi tikus 200 g x 56
D = (8,750 g/kgBB x 200 g) x 56
D = 1,750 g/200 gBB x 56
D = 98 g/70 kg

Lampiran 12. Pengamatan gejala klinis kontrol negatif “Aqua” (25 ml/kgBB)
Pengamatan Tanda yang diamatiWaktu
30m 1j 2j 3j 1h 2h 3h 4h 5h 6h 7h 8h 9h 10h 11h 12h 13h 14hRespirasi Dyspnea - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Apnea - - - - - - - - - - - - - - - - - -Cyanosis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Norsi discharges - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Aktivitas motorik
Penurunan & peningkatan aktivitas motorik
- - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hilangnya righting refleks - - - - - - - - - - - - - - - - - -Catalepsy - - - - - - - - - - - - - - - - - -Gerakan yang tidak biasa - - - - - - - - - - - - - - - - - -Prostrasion - - - - - - - - - - - - - - - - - -Tremor - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Kontraksi otot Kejang-kejang - - - - - - - - - - - - - - - - - -Refleks Corneal
Myotact Refleks cahaya Refleks kejut
Tanda okular Lacrimation - - - - - - - - - - - - - - - - - -Miosis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Myadriasis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Exophthalmos - - - - - - - - - - - - - - - - - -Chromodacryorrhea - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Salvasi Sekresi saliva berlebih - - - - - - - - - - - - - - - - - -Piloereksi Kotraksi jaringan erektil folikel bulu - - - - - - - - - - - - - - - - - -Tanda-tanda gastrointestinal
Feses padat, kering, jarang keluar Feses berair - - - - - - - - - - - - - - - - - -Muntah-muntah - - - - - - - - - - - - - - - - - -Hewan terasa sakit apabila diraba perutnya
- - - - - - - - - - - - - - - - - -
Kulit Edema - - - -

Lampiran 13. Pengamatan gejala klinis dosis I Jus Wortel (1,094 g/kgBB)
Pengamatan Tanda yang diamatiWaktu
30m 1j 2j 3j 1h 2h 3h 4h 5h 6h 7h 8h 9h 10h 11h 12h 13h 14hRespirasi Dyspnea - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Apnea - - - - - - - - - - - - - - - - - -Cyanosis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Norsi discharges - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Aktivitas motorik
Penurunan & peningkatan aktivitas motorik
- - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hilangnya righting refleks - - - - - - - - - - - - - - - - - -Catalepsy - - - - - - - - - - - - - - - - - -Gerakan yang tidak biasa - - - - - - - - - - - - - - - - - -Prostrasion - - - - - - - - - - - - - - - - - -Tremor - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Kontraksi otot Kejang-kejang - - - - - - - - - - - - - - - - - -Refleks Corneal
Myotact Refleks cahaya Refleks kejut
Tanda okular Lacrimation - - - - - - - - - - - - - - - - - -Miosis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Myadriasis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Exophthalmos - - - - - - - - - - - - - - - - - -Chromodacryorrhea - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Salvasi Sekresi saliva berlebih - - - - - - - - - - - - - - - - - -Piloereksi Kotraksi jaringan erektil folikel bulu - - - - - - - - - - - - - - - - - -Tanda-tanda gastrointestinal
Feses padat, kering, jarang keluar Feses berair - - - - - - - - - - - - - - - - - -Muntah-muntah - - - - - - - - - - - - - - - - - -Hewan terasa sakit apabila diraba perutnya
- - - - - - - - - - - - - - - - - -
Kulit Edema - - - -

Lampiran 14. Pengamatan gejala klinis dosis II Jus Wortel (2,188 g/kgBB)
Pengamatan Tanda yang diamatiWaktu
30m 1j 2j 3j 1h 2h 3h 4h 5h 6h 7h 8h 9h 10h 11h 12h 13h 14hRespirasi Dyspnea - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Apnea - - - - - - - - - - - - - - - - - -Cyanosis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Norsi discharges - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Aktivitas motorik
Penurunan & peningkatan aktivitas motorik
- - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hilangnya righting refleks - - - - - - - - - - - - - - - - - -Catalepsy - - - - - - - - - - - - - - - - - -Gerakan yang tidak biasa - - - - - - - - - - - - - - - - - -Prostrasion - - - - - - - - - - - - - - - - - -Tremor - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Kontraksi otot Kejang-kejang - - - - - - - - - - - - - - - - - -Refleks Corneal
Myotact Refleks cahaya Refleks kejut
Tanda okular Lacrimation - - - - - - - - - - - - - - - - - -Miosis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Myadriasis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Exophthalmos - - - - - - - - - - - - - - - - - -Chromodacryorrhea - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Salvasi Sekresi saliva berlebih - - - - - - - - - - - - - - - - - -Piloereksi Kotraksi jaringan erektil folikel bulu - - - - - - - - - - - - - - - - - -Tanda-tanda gastrointestinal
Feses padat, kering, jarang keluar Feses berair - - - - - - - - - - - - - - - - - -Muntah-muntah - - - - - - - - - - - - - - - - - -Hewan terasa sakit apabila diraba perutnya
- - - - - - - - - - - - - - - - - -
Kulit Edema - - - -

Lampiran 15. Pengamatan gejala klinis dosis III Jus Wortel (4,375 g/kgBB)
Pengamatan Tanda yang diamatiWaktu
30m 1j 2j 3j 1h 2h 3h 4h 5h 6h 7h 8h 9h 10h 11h 12h 13h 14hRespirasi Dyspnea - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Apnea - - - - - - - - - - - - - - - - - -Cyanosis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Norsi discharges - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Aktivitas motorik
Penurunan & peningkatan aktivitas motorik
- - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hilangnya righting refleks - - - - - - - - - - - - - - - - - -Catalepsy - - - - - - - - - - - - - - - - - -Gerakan yang tidak biasa - - - - - - - - - - - - - - - - - -Prostrasion - - - - - - - - - - - - - - - - - -Tremor - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Kontraksi otot Kejang-kejang - - - - - - - - - - - - - - - - - -Refleks Corneal
Myotact Refleks cahaya Refleks kejut
Tanda okular Lacrimation - - - - - - - - - - - - - - - - - -Miosis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Myadriasis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Exophthalmos - - - - - - - - - - - - - - - - - -Chromodacryorrhea - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Salvasi Sekresi saliva berlebih - - - - - - - - - - - - - - - - - -Piloereksi Kotraksi jaringan erektil folikel bulu - - - - - - - - - - - - - - - - - -Tanda-tanda gastrointestinal
Feses padat, kering, jarang keluar Feses berair - - - - - - - - - - - - - - - - - -Muntah-muntah - - - - - - - - - - - - - - - - - -Hewan terasa sakit apabila diraba perutnya
- - - - - - - - - - - - - - - - - -
Kulit Edema - - - -

Lampiran 16. Pengamatan gejala klinis dosis IV Jus Wortel (8,750 g/kgBB)
Pengamatan Tanda yang diamatiWaktu
30m 1j 2j 3j 1h 2h 3h 4h 5h 6h 7h 8h 9h 10h 11h 12h 13h 14hRespirasi Dyspnea - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Apnea - - - - - - - - - - - - - - - - - -Cyanosis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Norsi discharges - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Aktivitas motorik
Penurunan & peningkatan aktivitas motorik
- - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hilangnya righting refleks - - - - - - - - - - - - - - - - - -Catalepsy - - - - - - - - - - - - - - - - - -Gerakan yang tidak biasa - - - - - - - - - - - - - - - - - -Prostrasion - - - - - - - - - - - - - - - - - -Tremor - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Kontraksi otot Kejang-kejang - - - - - - - - - - - - - - - - - -Refleks Corneal
Myotact Refleks cahaya Refleks kejut
Tanda okular Lacrimation - - - - - - - - - - - - - - - - - -Miosis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Myadriasis - - - - - - - - - - - - - - - - - -Exophthalmos - - - - - - - - - - - - - - - - - -Chromodacryorrhea - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Salvasi Sekresi saliva berlebih - - - - - - - - - - - - - - - - - -Piloereksi Kotraksi jaringan erektil folikel bulu - - - - - - - - - - - - - - - - - -Tanda-tanda gastrointestinal
Feses padat, kering, jarang keluar Feses berair - - - - - - - - - - - - - - - - - -Muntah-muntah - - - - - - - - - - - - - - - - - -Hewan terasa sakit apabila diraba perutnya
- - - - - - - - - - - - - - - - - -
Kulit Edema - - - -

91

92

93

94
Lampiran 18. Hasil analisis statistik
a. Kenaikan Berat Badan
Univariate Analysis of Variance
Descriptive Statistics
Dependent Variable:BB
hari kelompok Mean Std. Deviation N
1 kontrol -9.133 2.4440 3
D1 -9.667 1.4189 3
D2 -7.867 2.6026 3
D3 -9.067 2.5403 3
D4 -9.200 1.2000 3
Total -8.987 1.9026 15
2 kontrol 20.067 14.8894 3
D1 19.867 .3055 3
D2 15.533 3.9311 3
D3 16.800 2.7785 3
D4 17.800 2.8213 3
Total 18.013 6.2781 15
3 kontrol -1.700 15.8767 3
D1 -1.700 1.5716 3
D2 -.667 1.3650 3
D3 5.500 4.6033 3
D4 .333 3.5726 3
Total .353 7.0132 15
4 kontrol 5.933 1.4189 3
D1 9.267 .8083 3
D2 7.033 .8963 3
D3 6.100 6.3663 3
D4 7.000 2.7074 3
Total 7.067 2.9743 15

95
5 kontrol 3.800 4.3715 3
D1 4.267 1.4844 3
D2 6.100 1.2490 3
D3 3.200 1.0536 3
D4 5.933 1.3013 3
Total 4.660 2.2602 15
6 kontrol 6.767 3.6964 3
D1 7.467 .5686 3
D2 2.600 1.8735 3
D3 -2.400 .7000 3
D4 4.100 1.3077 3
Total 3.707 4.0170 15
7 kontrol 1.767 .6658 3
D1 -1.100 2.6058 3
D2 -2.800 2.3643 3
D3 11.867 3.0989 3
D4 3.433 2.4132 3
Total 2.633 5.6494 15
8 kontrol 4.733 .6110 3
D1 -6.300 2.2913 3
D2 10.067 3.2716 3
D3 3.167 1.2662 3
D4 -3.800 9.3440 3
Total 1.573 7.2558 15
9 kontrol 5.600 1.8248 3
D1 12.300 3.5679 3
D2 4.067 1.1590 3
D3 -1.967 3.1134 3
D4 6.300 2.2271 3
Total 5.260 5.1916 15
10 kontrol -.500 1.2166 3
D1 1.633 .8737 3

96
D2 -5.333 2.4007 3
D3 7.833 3.7634 3
D4 .100 1.3528 3
Total .747 4.7647 15
11 kontrol 7.533 2.4846 3
D1 7.967 3.6896 3
D2 9.100 1.5524 3
D3 5.933 2.5007 3
D4 3.633 1.0116 3
Total 6.833 2.8389 15
12 kontrol 3.767 .8021 3
D1 2.033 1.1676 3
D2 -4.233 1.6442 3
D3 2.933 2.0033 3
D4 6.233 3.4078 3
Total 2.147 3.9880 15
13 kontrol -.367 2.6502 3
D1 -2.867 2.6764 3
D2 6.167 2.5423 3
D3 .000 2.5534 3
D4 -3.233 1.6773 3
Total -.060 4.0569 15
14 kontrol -5.233 2.7574 3
D1 -6.667 5.1501 3
D2 -8.600 3.7723 3
D3 -8.567 1.5503 3
D4 -9.667 2.8572 3
Total -7.747 3.3334 15
Total kontrol 3.074 8.4195 42
D1 2.607 8.2289 42
D2 2.226 7.3948 42
D3 2.952 7.3930 42

97
D4 2.069 7.5005 42
Total 2.586 7.7350 210
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:BB
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 10522.664a 69 152.502 10.773 .000
1404.043 1 1404.043 99.186 .000
hari 8191.606 13 630.124 44.514 .000
kelompok 32.312 4 8.078 .571 .684
hari * kelompok 2298.745 52 44.207 3.123 .000
Error 1981.793 140 14.156
Total 13908.500 210
Corrected Total 12504.457 209
a. R Squared = .842 (Adjusted R Squared = .763)
Multiple Comparisons
BB
Scheffe
(I)
kelompok
(J)
kelompok
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
kontrol D1 .467 .8210 .988 -2.096 3.030
D2 .848 .8210 .899 -1.715 3.411
D3 .121 .8210 1.000 -2.442 2.684
D4 1.005 .8210 .827 -1.558 3.568
D1 kontrol -.467 .8210 .988 -3.030 2.096
D2 .381 .8210 .995 -2.182 2.944
D3 -.345 .8210 .996 -2.908 2.218
D4 .538 .8210 .980 -2.025 3.101
D2 kontrol -.848 .8210 .899 -3.411 1.715
D1 -.381 .8210 .995 -2.944 2.182

98
D3 -.726 .8210 .940 -3.289 1.837
D4 .157 .8210 1.000 -2.406 2.720
D3 kontrol -.121 .8210 1.000 -2.684 2.442
D1 .345 .8210 .996 -2.218 2.908
D2 .726 .8210 .940 -1.837 3.289
D4 .883 .8210 .884 -1.680 3.446
D4 kontrol -1.005 .8210 .827 -3.568 1.558
D1 -.538 .8210 .980 -3.101 2.025
D2 -.157 .8210 1.000 -2.720 2.406
D3 -.883 .8210 .884 -3.446 1.680
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 14.156.
b. Berat rasio ginjal
NPar Tests
Tests of Normality
Perlakua
n
Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
Ratio_ginjal kontrol .910 6 .435
D1 .868 6 .217
D2 .991 6 .992
D3 .913 6 .455
D4 .945 6 .703
a. Lilliefors Significance Correction
Test of Homogeneity of Variances
Ratio_ginjal
Levene Statistic df1 df2 Sig.
3.736 4 25 .016

99
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Ratio_ginjal 30 .007123 .0007619 .0055 .0086
Perlakuan 30 3.00 1.438 1 5
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Perlakua
n N Mean Rank
Ratio_ginjal kontrol 6 15.42
D1 6 11.50
D2 6 17.08
D3 6 19.92
D4 6 13.58
Total 30
Test Statisticsa,b
Ratio_ginjal
Chi-Square 3.237
df 4
Asymp. Sig. .519
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan

100
c. Kadar kreatinin serum praperlakuan
NPar TestsTests of Normality
perlakuan
Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
kadar_kreatinin kontrol negatif .866 6 .212
D1 .592 6 .000
D2 .892 6 .329
D3 .831 6 .110
D4 .664 6 .003
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Test of Homogeneity of Variances
kadar_kreatinin
Levene Statistic df1 df2 Sig.
2.828 4 25 .046
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
kadar_kreatinin 30 .427 .5669 .0 2.9
perlakuan 30 3.00 1.438 1 5
Kruskal-Wallis Test
Ranks
perlakuan N Mean Rank
kadar_kreatinin kontrol negatif 6 21.67
D1 6 19.75
D2 6 14.25
D3 6 10.92
D4 6 10.92
Total 30

101
Test Statisticsa,b
kadar_kreatinin
Chi-Square 7.856
df 4
Asymp. Sig. .097
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan
d. Kadar kreatinin serum pascaperlakuan 1 hari
NPar Tests
Tests of Normality
perlakuan
Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
kadar_kreatinin kontrol negatif .964 3 .637
D1 1.000 3 1.000
D2 .750 3 .000
D3 .964 3 .637
D4 .750 3 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Test of Homogeneity of Variances
kadar_kreatinin
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.542 4 10 .709
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
kadar_kreatinin 15 .173 .1223 .0 .4
perlakuan 15 3.00 1.464 1 5

102
Kruskal-Wallis Test
Ranks
perlakuan N Mean Rank
kadar_kreatinin kontrol negatif 3 7.83
D1 3 9.17
D2 3 8.67
D3 3 6.50
D4 3 7.83
Total 15
Test Statisticsa,b
kadar_kreatinin
Chi-Square .673
df 4
Asymp. Sig. .955
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan
e. Kadar kreatinin serum pascaperlakuan 14 hari
NPar Tests
Tests of Normality
perlakuan
Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
kadar_kreatinin kontrol negatif .750 3 .000
D1 .923 3 .463
D2 .750 3 .000
D3 .923 3 .463
D4 1.000 3 1.000
a. Lilliefors Significance Correction

103
Test of Homogeneity of Variances
kadar_kreatinin
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.930 4 10 .182
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
kadar_kreatinin 15 .233 .1397 .0 .5
perlakuan 15 3.00 1.464 1 5
Kruskal-Wallis Test
Ranks
perlakuan N Mean Rank
kadar_kreatinin kontrol negatif 3 6.83
D1 3 8.50
D2 3 9.33
D3 3 8.33
D4 3 7.00
Total 15
Test Statisticsa,b
kadar_kreatinin
Chi-Square .707
df 4
Asymp. Sig. .951
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan

104
f. Kadar kreatinin serum pascaperlakuan banding praperlakuan
T-Test
1. Kontrol negatif
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 kadar_kreatinin_Pra .467 6 .1506 .0615
kadar_kreatinin_Post .183 6 .1472 .0601
Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Pair 1 kadar_kreatinin_Pra -
kadar_kreatinin_Post.2833 .1722 .0703 .1026 .4641 4.029 5 .010
2. Dosis I (1,094 g/kgBB)
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 kadar_kreatinin_Pra .783 6 1.0420 .4254
kadar_kreatinin_Post .233 6 .1506 .0615
Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Pair 1 kadar_kreatinin_Pra -
kadar_kreatinin_Post.5500 1.1149 .4552 -.6200 1.7200 1.208 5 .281

105
3. Dosis II (2,188 g/kgBB)
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 kadar_kreatinin_Pra .300 6 .2530 .1033
kadar_kreatinin_Post .233 6 .1211 .0494
Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Pair 1 kadar_kreatinin_Pra -
kadar_kreatinin_Post.0667 .2066 .0843 -.1501 .2834 .791 5 .465
4. Dosis III (4,375 g/kgBB)
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 kadar_kreatinin_Pra .200 6 .1265 .0516
kadar_kreatinin_Post .183 6 .1722 .0703
Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Pair 1 kadar_kreatinin_Pra -
kadar_kreatinin_Post.0167 .2714 .1108 -.2682 .3015 .150 5 .886

106
5. Dosis IV (8,750 g/kgBB)
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 kadar_kreatinin_Pra .383 6 .6616 .2701
kadar_kreatinin_Post .183 6 .0983 .0401
Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Pair 1 kadar_kreatinin_Pra -
kadar_kreatinin_Post.2000 .7014 .2864 -.5361 .9361 .698 5 .516
g. Kadar kreatinin serum pascaperlakuan 1 hari banding 14 hari
T-Test
1. Kontrol negatifGroup Statistics
hari N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Kreatinin hari 1 3 .167 .1528 .0882
hari 14 3 .200 .1732 .1000
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Kreatinin Equal variances
assumed.182 .692 -.250 4 .815 -.0333 .1333 -.4035 .3369
Equal variances
not assumed-.250 3.938 .815 -.0333 .1333 -.4058 .3392

107
2. Dosis I (1,094 g/kgBB)Group Statistics
hari N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Kreatinin hari 1 3 .200 .1000 .0577
hari 14 3 .267 .2082 .1202
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Kreatinin Equal variances
assumed2.286 .205 -.500 4 .643 -.0667 .1333 -.4369 .3035
Equal variances
not assumed-.500 2.876 .653 -.0667 .1333 -.5015 .3682
3. Dosis II (2,188 g/kgBB)Group Statistics
hari N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Kreatinin hari 1 3 .200 .1732 .1000
hari 14 3 .267 .0577 .0333
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Kreatinin Equal variances
assumed6.400 .065 -.632 4 .561 -.0667 .1054 -.3593 .2260
Equal variances
not assumed-.632 2.439 .581 -.0667 .1054 -.4503 .3170

108
4. Dosis III (4,375 g/kgBB)Group Statistics
hari N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Kreatinin hari 1 3 .133 .1528 .0882
hari 14 3 .233 .2082 .1202
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Kreatinin Equal variances
assumed.500 .519 -.671 4 .539 -.1000 .1491 -.5139 .3139
Equal variances
not assumed-.671 3.670 .542 -.1000 .1491 -.5290 .3290
5. Dosis IV (8,750 g/kgBB)Group Statistics
hari N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Kreatinin hari 1 3 .167 .1155 .0667
hari 14 3 .200 .1000 .0577
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Kreatinin Equal variances
assumed.308 .609 -.378 4 .725 -.0333 .0882 -.2782 .2115
Equal variances
not assumed-.378 3.920 .725 -.0333 .0882 -.2802 .2135

109
BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama Daryono Thejo, lahir di
Pontianak, 11 Desember 1988 sebagai putra
bungsu dari dua bersaudara dari pasangan The
Iau Tjia dan Aida Limina.
Penulis menempuh pendidikan di SD Karya
Yosef Pontianak lulus tahun 2000, melanjutkan
ke SMP Karya Yosef Pontianak lulus tahun
2003. Penulis melanjutkan pendidikannya ke
SMA Santu Petrus Pontianak lulus tahun 2006.
Kemudian penulis melanjutkan S1 di Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Selain mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis aktif dalam
berbagai kegiatan di kampus, yaitu pernah menjadi koordinator asisten praktikum
Biokimia, Farmasi Fisika, dan Bioanalisis, asisten praktikum Spektroskopi dan
Kromatografi. Penulis juga pernah menjadi panitia PP & EC, panitia Sumpahan,
panitia Wisuda, panitia BRS, dan panitia Akreditasi.