pengembangan sistem tepat guna produksi etanol berbahan baku lumpur kertas dengan peengolahan awal...
TRANSCRIPT
1 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya persentase pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia, serta menipisnya cadangan minyak bumi
yang tersimpan dalam perut bumi, maka penggunaan energi alternatif
merupakan solusi yang tepat untuk menunjang kebutuhan akan energi. Salah
satunya adalah dengan mengkonversi biomasa menjadi bioetanol. Etanol
menjadi pilihan utama dunia karena senyawa ini dapat terus menerus
diproduksi baik secara fermentasi maupun sintesis kimiawi (Koesoemadinata,
2001).
Etanol sebagai campuran bahan bakar fosil merupakan salah satu
pilihan alternatif yang dapat diaplikasikan. Bahan bakar alternatif ini memiliki
banyak kelebihan, antara lain dapat meningkatkan efisiensi pembakaran
karena mengandung 35 % oksigen, disamping itu ramah lingkungan karena
emisi gas buangnya rendah kadar karbon monoksida, nitrogen oksida, dan gas-
gas rumah kaca yang lain (Lynd, 1991).
2 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Sebagian besar produksi bioetanol secara komersil berasal dari
fermentasi sukrosa dari gula tebu dan molase atau glukosa hasil hidrolisis pati
yang berasal dari persediaan pangan seperti jagung yang mudah didegredasi
menjadi gula dan mudah difermentasi.
Substrat selulosa merupakan bahan baku yang lebih murah, namun
selulosa lebih sukar didegradasi dibandingkan dengan pati (David dkk,2006).
Oleh karena itu,telah banyak dilakukan penelitian untuk meneliti pengaruh
pengolahan awal terhadap bahan baku selulosa sebelum dimanfaatkan
menjadi etanol agar nantinya didapatkan metode produksi bietanol yang tepat
dengan biaya yang minim.
Lumpur kertas merupakan limbah padat dari industri pembuatan
kertas. Material ini mengandung serat selulosa pendek dalam jumlah yang
besar. Limbah ini biasanya dibuang ke tanah berkerikil atau dimasukkan ke
dalam pembakaran setelah proses pengeringan, dimana proses tersebut
merupakan faktor penyebab pembengkakan biaya produksi secara
signifikan(Kadar,2004). Meskipun demikian, karena lumpur kertas mengandung
polisakarida dalam jumlah yang besar, material tersebut merupakan bahan
yang berpotensi digunakan sebagai produk fermentasi seperti etanol dan asam
laktat(Fan dkk,2003).
Ada dua langkah yang dilakukan untuk mengubah lumpur kertas
menjadi etanol. Langkah pertama adalah hidrolisis komponen polisakarida
menjadi gula yang dapat difermentasi, sedangkan langkah kedua adalah
fermentasi gula menjadi etanol. Sakarifikasi menggunakan enzim lebih sering
3 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
dimanfaatkan dibandingkan dengan sakarifikasi menggunakan asam, karena
pada proses tersebut, tahap hidrolisis selulosa dan fermentasi etanol dapat
gabungkan(Xu dkk, 2007).
Produksi etanol dapat dilangsungkan melalui beberapa metode. Salah
satunya adalah metode sakarifikasi dan fermentasi secara bersamaan
(Simultaneous Saccharification and Feermentation/ SSF). Metode ini dapat
menanggulangi kerugian yang diakibatkan oleh proses sakarifikasi dan
fermentasi secara terpisah, karena SSF mengurangi jumlah enzim yang
digunakan dan tentunya mengurangi biaya yang dikeluarkan(Kadar dkk, 2004).
Namun demikian, karena selulosa memiliki struktur kristal dimana molekul
tersebut memiliki banyak ikatan hidrogen(Nishiyama dkk, 2003) dan gaya van
der Waals(Notley dkk, 2004), maka struktur ini susah dimasuki oleh zat kimia
dan enzim(Zhang dkk, 2006).
Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan terhadap produksi etanol
dengan metode SSF menggunakan bahan baku alternatif substrat padatan
lumpur kertas. Adapun untuk meningkatkan produksi etanol, dilakukan
pengolahan awal dengan metode penggilingan mekanik menggunakan ball mill
dan penggembungan kimia lumpur kertas menggunakan asam fosfat.
Pengolahan awal tersebut bertujuan agar selulosa mudah disakarifikasi
menjadi glukosa oleh enzim selulase. Selanjutnya, dilakukan pengamatan
pengaruh proses pengolahan awal tersebut terhadap proses sakarifikasi dan
produksi etanol.
4 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang diangkat dari penelitian ini berdasarkan
uraian diatas adalah bagaimanakah pengaruh pengolahan awal penggilingan
mekanik menggunakan ball mill, penggembungan menggunakan asam fosfat
dan penggabungan keduanya terhadap persentase sakarifikasi dan persentase
produksi etanol, serta metode pengolahan awal apa yang sesuai untuk
meningkatkan proses sakarifikasi dan produksi etanol.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakuan bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pengolahan awal penggilingan mekanik menggunakan ball mill,
penggembungan menggunakan asam fosfat dan penggabungan keduanya
terhadap persentase sakarifikasi dan persentase produksi etanol serta metode
pengolahan awal yang sesuai untuk meningkatkan proses sakarifikasi dan
produksi etanol.
5 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lumpur Kertas
Lumpur kertas merupakan limbah padat hasil dari proses pulping kayu
dan produksi kertas. Lumpur ini merupakan hasil pengolahan dari limbah cair
yang diolah dalam unit effluent treatment. Pengolahan limbah cair ini
menghasilkan air limbah terolah yang telah memenuhi standar mutu
persyaratan pembuangan air limbah ke lingkungan dan juga lumpur kertas
sebagai limbah padatan. Limbah lumpur yang dihasilkan dapat mencapai 1-3%
berat produk untuk industri pulp dan kertas terpadu; 0,6-0,7% berat produk
untuk industri kertas dengan bahan baku kertas bekas (Purwati dkk, 2006).
Limbah padat yang jumlahnya cukup besar tersebut hanya ditumpuk dan
dibuang tanpa adanya pengolahan yang lebih lanjut. Hal ini menyebabkan
pencemaran lingkungan yang serius. Berikut ini memperlihatkan gambar dari
lumpur kertas.
6 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Gambar 2.1 Lumpur Kertas
Yamashita (2008) melaporkan bahwa kandungan terbesar yang
terdapat pada lumpur kertas adalah karbohidrat yakni sebesar 47,6%, dengan
kandungan selulosa dan hemiselulosa masing-masing adalah 33,4% dan 14,2%.
Komposisi ion logam utama yang terdapat pada lumpur kertas baku adalah
Fe2+ (0,5%), Mg2+ (1.1%), Ca2+ (3,4%) dan Al3+ (4,4%). Ion-ion logam ini muncul
akibat penggunaan bahan anorganik, seperti kaolin (Al2Si2O5(OH)4), talk
(Mg3Si4O10(OH)2) dan kalsium karbonat (CaCO3) untuk memproduksi kertas.
Komposisi kandungan lumpur kertas baku secara lengkap disajikan dalam tabel
2.1 berikut ini.
Table 2.1 Komposisi lumpur kertas
Uap 2.10%
Karbohidrat 47.60%
selulosa 33.40%
Hemiselulosa 14.2%
Lignin larut dalam asam 1.00%
Lignin tidak larut dalam asam 14.40%
Abu 34.30%
Mineral larut dalam asam 20.50%
7 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Mineral tidak larut dalam asam 13.80%
komposisi ion mineral dalam lumpur kertas baku
Fe2+ 0.50%
Mg2+ 1.10%
Ca2+ 3.40%
Al3+ 4.40%
Lain-lain 0.40%
bahan lain 0.60%
Total 100%
2.2 Selulosa
Selulosa adalah suatu polimer karbohidrat kompleks yang memiliki
persentase komposisi yang sama dengan tepung (kanji) dimana nilai glukosa
dapat ditentukan dengan hidrolisis menggunakan asam. Polimer karbohidrat
ini merupakan salah satu komponen utama dari lignoselulosa yang terdiri dari
unit monomer D-glukosa yang terikat pada ikatan 1,4-glikosidik.
Rumus kimia selulosa adalah (C6H10O5)n, dimana n adalah jumlah unit
pengulangan glukosa, n juga disebut derajat polimerisasi (DP). Selulosa dalam
kayu mempunyai nilai derajat polimerisasi rata-rata 3500 sedangkan selulosa
dalam pulp mempunyai rata-rata derajat polimerisasi dalam rentang 600-
1500. Selulosa adalah polimer lurus tidak bercabang. Hal ini memungkinkan
beberapa rantai selulosa digabungkan bersama dan membentuk struktur
8 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
kristal yang teratur. Struktur kristal yang teratur ini juga disebut
micele(Mimms, 1993). Gambar berikut memperlihatkan struktur selulosa.
Gambar 2.2 struktur selulosa
2.3 Hemiselulosa
Hemiselulosa juga polimer yang umumnya dibentuk oleh unit-unit gula.
Berbeda dengan selulosa, dimana selulosa hanya terdiri dari polimer glukosa,
hemiselulosa adalah polimer dengan 5 gula berbeda yaitu glukosa, manosa,
galaktosa, xylosa, dan arabinosa.
Rantai hemiselulosa jauh lebih pendek dibandingkan rantai selulosa
karena memiliki derajat polimerisasi lebih rendah. Sebuah molekul
hemiselulosa mengandung sampai 300 unit gula. Berbeda dengan selulosa,
hemiselulosa bukan polimer rantai lurus tetapi polimer bercabang dimana
tidak membentuk unsur kristal dan mikrofibril seperti selulosa. Dalam kayu,
hemiselulosa kebanyakan ditemukan di sekeliling mikrofibril selulosa , dimana
hemiselulosa membantu ikatan selulosa(Mimms, 1993). Hemiselulosa
merupakan suatu kesatuan yang membangun komposisi serat dan mempunyai
peranan yang penting karena bersifat hidrofilik sehingga berfungsi sebagai
perekat antar selulosa yang menunjang kekuatan fisik serat. Kehilangan
hemiselulosa akan menyebabkan terjadinya lubang diantara fibril dan
kurangnya ikatan antar serat(Trisanti, 2009).
9 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
2.4 Etanol
Etanol merupakan kependekan dari etil alkohol (C2H5OH); sering pula
disebut grain alcohol. Wujud dari etanol berupa cairan yang tidak berwarna
dan mempunyai bau yang khas. Berat jenisnya pada 15C adalah sebesar
0,7939 dan titik didihnya 78,32C pada tekanan 766 mmHg. Sifat lainnya
adalah larut dalam air dan eter, serta mempunyai panas pembakaran 328 kkal
(Daintith, 1999). Gambar 2.3 berikut menunjukkan struktur etanol.
Gambar 2.3 Struktur etanol
Penggunaan etanol yang terbanyak adalah sebagai pelarut sebesar 40%,
untuk membuat asetaldehid 36%, penggunaan secara kimiawi yang lain 15%,
serta eter, glikol eter, etil asetat, dan kloral 9 %. Selain itu, etanol dapat juga
digunakan dalam beragam industri seperti industri farmasi, makanan dan
kosmetik serta digunakan sebagai bahan campuran sumber energi kendaraan
bermotor. Etanol dapat dioksidasi menjadi asetaldehid dan kemudian asam
asetat. Produk lain yang dibuat dari etanol adalah butadiena untuk karet
sintetik, etil klorida untuk anestesi lokal dan berbagai bahan kimia lain.
Etanol merupakan pelarut yang baik dan digunakan pada pembuatan berbagai
produk seperti parfum, pernis, seluloida dan bahan-bahan eksplosif
(Demirbas, 2005).
10 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
2.5 Produksi Etanol
Proses produksi etanol dikenal ada dua macam, yakni dengan sintesa
kimia dan fermentasi. Cara fermentasi lebih banyak digunakan dalam dunia
industri saat ini, dikarenakan kondisi operasi yang aman, yakni suhu yang
diperlukan adalah suhu ruangan (ambient) dan tidak memerlukan tekanan
operasi yang tinggi, cukup tekanan atmosfer. Selain itu, bahan baku dalam
proses fermentasi dapat diperbaharui sehingga cocok untuk alternatif krisis
bahan bakar dan lingkungan.
Produksi etanol melalui fermentasi memanfaatkan bahan–bahan mentah
yang mengandung karbohidrat. Bahan-bahan ini secara umum dapat
digolongkan dalam tiga kategori, yaitu bahan yang mengandung turunan gula
(molase, gula tebu, gula bit, sari buah anggur, dan sari buah lainnya), bahan-
bahan yang mengandung pati (biji-bijian, kentang, dan tapioka), bahan-bahan
yang mengandung selulosa (kayu dan beberapa limbah pertanian lainnya).
Pengolahan awal bahan baku (pretreatment) untuk bahan selulosa harus
dilakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Hasil ini penting untuk
pengembangan teknologi biokonversi dalam skala komersial. Perlakuan ini
dapat mengurangi jumlah enzim yang digunakan dalam proses hidrolisis, dan
dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh.
Hidrolisis merupakan proses pemecahan polisakarida di dalam lumpur
kertas yaitu selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula yang dapat
dilakukan secara kimia ataupun enzimatis. Dibandingkan proses secara kimia
11 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
menggunakan asam kuat HCl atau H2SO4, hidrolisis secara enzimatis lebih
menguntungkan karena ramah lingkungan(Trisanti,2009).
Setelah proses hidrolisis selesai, dilanjutkan dengan proses fermentasi.
Fermentasi secara umum dapat didefinisikan sebagai proses metabolit dimana
substrat organik secara kimia berubah akibat aktifitas enzim yang disekresikan
oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang digunakan dalam fermentasi ini
berupa bakteri, ragi, atau jamur yang berperan untuk mengkonversi glukosa
menjadi etanol (Budiyanto, 2002).
Jalur metabolisme proses fermentasi sama dengan glikolisis sampai
terbentuknya piruvat. Dua tahap reaksi enzim berikutnya adalah reaksi
perubahan asam piruvat menjadi asetaldehid, dan reaksi reduksi asetaldehid
menjadi etanol. Dalam reaksi perubahan piruvat menjadi asetaldehid, piruvat
didekarboksilasi menjadi asetaldehid dan CO2 oleh piruvat dekarboksilase,
suatu enzim yang tidak terdapat dalam hewan. Selanjutnya, asetaldehid
direduksi oleh NADH dengan bantuan enzim alkohol dehidrogenase;
menghasilkan etanol. Dengan demikian etanol dan CO2 merupakan hasil akhir
fermentasi alkohol dan jumlah energi yang dihasilkan sama dengan glikolisis
anaerob, yaitu 2 ATP(wirahadikusumah,1985). Reaksi keseluruhan fermentasi
etanol dijelaskan pada gambar 2.4 berikut.
12 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Gambar 2.5 Metabolisme fermentasi glukosa menjadi etanol
Setelah tahap fermentasi, harus dilakukan proses pemurnian dengan
cara destilasi untuk mendapatkan bioetanol dengan kemurnian tinggi.
Destilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari kaldu fermentasi yang
sebagian besar adalah air. Untuk mendapatkan etanol sampai dengan
kemurnian 95% volume, dilakukan destilasi bertingkat dengan mengumpankan
hasil destilasi pertama ke unit destilasi selanjutnya(Trisanti,2009).
2.6 Simultaneous Saccharification and Fermentation
Proses hidrolisis dan fermentasi glukosa akan sangat efisien dan efektif
jika dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa melalui tenggang waktu yang
lama, hal ini yang sering dikenal dengan istilah Simultaneous Sacharificatian
dan Fermentation (SSF).
SSF pertama kali dikenalkan oleh Takagi et al, 1977, yaitu kombinasi
antara hidrolisis menggunakan enzim selulase dan yeast S. cerevisiae untuk
fermentasi gula menjadi etanol secara simultan.
13 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Proses SSF sebenarnya hampir sama dengan proses antara hidrolisis
dengan enzim dan proses fermentasi yang terpisah, hanya dalam proses SSF
hidrolisis dan fermentasi dilakukan dalam satu reaktor.
Keuntungan dari proses ini adalah polisakarida yang terkonversi
menjadi monosakarida tidak kembali menjadi poliskarida karena
monosakarida langsung difermentasi menjadi etanol. Selain itu dengan
menggunakan satu reaktor dalam prosesnya akan mengurangi biaya peralatan
yang digunakan(Samsuri,2007).
2.7 Enzim Selulase
Selulase merupakan enzim ekstraseluler yang terdiri atas kompleks
endo-β-1,4-glukonase (CMCase, Cx selulase endoselulase, atau carboxymethyl
cellulase), kompleks ekso-β-1,4-glukonase (aviselase, selobiohidrolase, C1
selulase), dan kompleks β-1,4 glukosidase atau selobiase (Omojosola, 2008).
Enzim ini dapat diproduksi oleh fungi, bakteri, dan ruminansia.
Produksi enzim secara komersial biasanya menggunakan fungi atau
bakteri. Fungi yang bisa menghasilkan selulase antara lain genus Trichoderma,
Aspergillus, dan Penicillium (Schmidt, 1994).
Enzim selulase berperan penting dalam pemanfaatan biomassa selulosa
untuk dirubah menjadi glukosa. Proses ini meliputi pemecahan polisakarida di
dalam biomassa selulosa, yaitu kompleks endo-β-1,4-glukonase memutus
ikatan β-1,4 glikosidik di dalam makromolekul dan menghasilkan potongan-
potongan besar berbentuk rantai dengan ujung-ujung bebas; kompleks ekso-β-
14 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
1,4-glukonase memotong mulai dari ujung-ujung rantai disakarida selobiosa;
kompleks β-1,4 glukosidase menghidrolisis selobiosa dengan membentuk
glukosa (Zhiliang, 2006).
2.8 Saccharomyces cerevisiae
Saccharomyces cerevisiae termasuk khamir jenis fungi yang berbeda
dengan alga karena tidak dapat melakukan fotosintesis dan berbeda dengan
bakteri karena ukurannya lebih besar. Spesies Saccharomyces cerevisiae
termasuk khamir yang mempunyai tipe produksi aseksual dengan membentuk
tunas dan sel anak atau budding pada suatu tempat tertentu pada sel,
sitoplasma membengkak keluar dari dinding sel. Tonjolan atau bud membesar
dan akhirnya memisah membentuk sel khamir yang baru (Samson, 1984).
Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu jenis khamir penghasil
etanol yang paling banyak digunakan. Saccharomyces cerevisiae berbentuk
oval, bereproduksi dengan cara pembelahan dan tidak mempunyai klorofil
sehingga kehidupannya bergantung pada tumbuhan tingkat tinggi. Klasifikasi
Saccharomyces cerevisiae secara lengkap berdasarkan taksonominya menurut
Morris B. Jacobs adalah sebagai berikut
Filum : Ascomycetes
Kelas : Hemiascomycetes
Ordo : Endomycetes
Famili : Saccharomycetales
Genus : Saccharomyces
Spesies : Cerevisiae
15 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Gambar 2.8 saccharomyces serevisiae
2.10 Pengaruh penggembungan terhadap struktur selulosa
Selulosa merupakan polimer yang tidak larut dalam sebagian besar
pelarut, hal ini dikarenakan selulosa memiliki struktur kristal. Meskipun
demikian, dapat dilakukan penggembungan intrakristal maupun interkristal
selulosa dengan menggunakan pelarut tertentu. Neale (1929) melalui
penelitiannya yang terdahulu mengenai penggembungan kapas dalam cairan
melaporkan bahwa agen penggembung (swelling agent) ringan terkurung
seluruhnya kedalam bagian serat yang amorf. Ketika serat menggembung,
ikatan intermolekularnya putus karena kekuatan tekanan penggembungan
dibagian dalam. Hal tersebut menyebabkan tingkat keteraturan dalam serat
berkurang dan semakin berkurang pada area permukaan serat. Dengan agen
penggembung selulosa yang kuat , maka kemungkinan derajat keteraturan
akan mencapai titik kritis dimana seluruh struktur kristal dalam serat rusak
dan struktur seratmya hilang(Mantanis, 1995).
16 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
2.11 Metode analisa kadar gula
2.11.1 Metode fenol-asam sulfat
Metode phenol-asam sulfat merupakan metode yang digunakan untuk
menghitung kadar karbohidrat total. Prinsip dari metode ini adalah pada
media asam panas, glukosa akan terdehidrasi menjadi hydroxymethil furfural
yang berwarna hijau dan memiliki absorpsi maksimum pada 490 nm. Reagen
yang digunakan pada metode ini adalah phenol 5% dan asam sulfat 96%
(Dubois,1956).
Kadar karbohidrat ditentukan menggunakan persamaan berikut :
Absorbansi yang sesuai dengan 0.1 mL larutan uji = x mg glukosa
Kandungan dalam 100 mL larutan sampel = 𝑥
0.1 x 100 mg glukosa
= % total kandungan karbohidrat.
2.11.2 Metode mutarotase GOD
Metode Mutarotase GOD diperkenalkan pertama kali oleh Kesteon dan
kemudian Teller pada tahun 1956. Mereka memperkenalkan metode enzimatik
ini untuk menentukan kadar glukosa dengan mencampurkan glukosa oksidase
(GOD), peroksidase (POD) dan akseptor oksigen (chromogen). Prinsip dari
metode ini adalah mutarotase -D-glukosa menjadi -D-glukosa. Pada
keadaan setimbang, terdapat 36.5% -D-glukosa dan 63.5% -D-glukosa pada
larutan D-glukosa. Ketika larutan sampel direaksikan dengan reagen, -D-
glukosa yang terkandung dalam sampel dikonversi dengan cepat menjadi -
isomer dengan aksi mutarotase dan kemudian dioksidasi oleh GOD menjadi
17 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
hydrogen peroksida. Ketika mutarotase ditambahkan, -D-glukosa terkonversi
dengan cepat menjadi -D-glukosa sehingga kinerja GOD dapat terfasilitasi.
Dengan kehadiran POD, hydrogen peroksida yang terbentuk menghasilkan
pigmen merah oleh kondensasi oksidasi kuantitatif dengan phenol dan 4-
aminoantipyrene. Konsentrasi glukosa diperoleh dengan mengukur absorbansi
pigmen merah (miwa, 1972).
2.11.3 Metode Somogyi Nelson
Gula dengan sifat dapat mereduksi (sebagai akibat dari adanya gugus
aldehid atau keto) disebut sebagai gula pereduksi. Beberapa gula yang
termasuk gula pereduksi adalah glukosa, galaktosa, laktosa dan maltosa.
Metode Somogyi Nelson merupakan salah satu metode klasik yang digunakan
secara luas untuk menentukan kadar gula pereduksi secara kuantitatif.
Metode ini merupakan salah satu jenis metode kolorimetri. Prinsip dari
metode ini adalah reaksi reduksi, dimana ketika gula pereduksi dipanaskan
dengan Cu (II) Tartrate (CuC4H4O6), maka gula pereduksi akan mereduksi Cu(II)
menjadi Cu (I) dan kemudian terbentuk oksida Cu (I) dengan rumus kimia
Cu2O. ketika Cu2O direaksikan dengan asam arsenomolibdat, terjadi reduksi
asam molybdat menjadi molybdenum biru. Warna biru yang dihasilkan
kemudian dibandingkan dengan standar baku pada kolorimetri dengan
panjang gelombang 620 nm (Somogyi, 1952). Pada metode ini, kadar gula
pereduksi ditentukan menggunakan persamaan berikut:
Absorbansi sesuai dengan 0.1 mL sampel = x mg glukosa
Kandungan 10 mL larutan uji = 𝑥
0.1 x 10 mg glukosa = % gula pereduksi
18 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
2.12 HPLC Pada prinsipnya kromatografi cair dan kromatografi cair kinerja tinggi
(HPLC) memiliki cara kerja yang sama, hanya saja HPLC lebih unggul
dibanding kromatografi cair, karena pengoperasiannya lebih mudah serta
kecepatan, efisiensi dan sensitifitasnya lebih bagus. HPLC merupakan teknik
pemisahan yang meliputi injeksi sampel cair dengan volume yang sangat
sedikit ke dalam kolom yang telah dipenuhi dengan partikel yang sangat kecil
(diameter 3 – 5 micron (μm) yang biasa disebut dengan fasa stationair).
Komponen-komponen yang terdapat dalam sampel dialirkan kedalam kolom
bersama cairan yang disebut sebagai fasa mobile. Sampel dipaksa mengaliri
kolom oleh tekanan yang sangat kuat yang dihasilkan dari sebuah pompa.
Komponen – komponen dalam sampel tersebut terpisahkan antara satu dengan
yang lain dalam kolom. Pemisahan komponen-komponen dalam sampel terjadi
karena adanya interaksi antara molekul dan partikel-partikel fasa stationair.
Komponen yang telah terpisahkan akan terdeteksi oleh detektor ketika
keluar dari kolom. Dari deteksi tersebut akan dapat diketahui kualitas dan
kuantitas komponen. Output dari detektor tersebut dinamakan dengan
kromatogram(Rodney,2006).
19 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat-Alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah erlenmeyer, pH
meter, spektrofotometer, HPLC dengan kolom aminex HPX-87H(Biorad,
Richmond, CA),autoklav, water bath shaker, potato dextrose agar plate,
lemari pendingin, ball mill ( vibrating sample mill CMT-TI-300, C. M. T. Co.,
Ltd.),sentrifuge dan tabung falcon.
3.1.2 Bahan-Bahan yang digunakan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah H3PO4, medium
penumbuhan bakteri (10 g/L glukosa, 1 g/L ekstrak bakteri, 0.1 g/L KH2PO4,
0.1 g/L MgSO47H2O dan 0.1 g/L (NH4)2SO4) dan medium fermentasi (2 g/L
ekstrak bakteri, 0.05 g/L MgSO47H2O, 1g/L (NH4)2HPO4, 20 FPU/g enzim
Meicelase, dan 0.1 M buffer CH3COONa pH 5).
Lumpur kertas yang digunakan sama seperti yang diterangkan pada
penelitian sebelumnya(Yamashita dkk, 2008), dimana ukuran partikel lumpur
kertas sebesar 2-4 mm. Adapun kandungan hemiselulosa dan selulosa pada
20 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
lumpur kertas mentah adalah sebesar 47.6% dan 33.4%. Sebelum digunakan
sebagai bahan untuk produksi etanol, lumpur kertas disimpan terlebih dahulu
dalam container dengan suhu ruangan.
Saccharomyces cerevisiae AM 12 diperoleh dari Bio Academia Co. Ltd,
Jepang, dan digunakan untuk produksi etanol. S.cerevisiae AM 12 diinkubasi
terlebih dahulu dalam potato dextrose agar plate dengan suhu 30C kemudian
disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu 4C.
3.2 Prosedur Kerja
3.2.1 Metode Pengolahan Awal
Dilakukan analisa terhadap pengaruh dari tiga pengolahan awal yang
berbeda (penggilingan mekanik menggunakan ball mill, penggembungan
menggunakan asam fosfat dan sistem pengolahan awal yang beruntun, yakni
ball milling dilanjutkan dengan asam fosfat) terhadap keefektifan tahap
sakarifikasi dan fermentasi.
Berikut adalah tahapan penggilingan mekanik menggunakan ball mill:
20g lumpur kertas digiling menggunakan ball mill yang bergetar ( vibrating
sample mill CMT-TI-300, C. M. T. Co., Ltd.) dengan 60 putaran/detik selama 2
menit. Adapun ukuran partikel setelah dilakukan penggilingan kurang lebih
sebesar 0.1mm.
21 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Adapun langkah-langkah penggembungan menggunakan asam fosfat
adalah sebagai berikut: 0.5g lumpur kertas mentah dimasukkan kedalam 100
mL labu ukur kemudian ditambahkan dengan 0.6 mL air destilat. Selanjutnya
ditambahkan sedikit demi sedikit 10 mL asam fosfat dingin ke dalam labu ukur
berisi lumpur kertas besah. Kemudian dicampur sambil diaduk cepat. Setelah
campuran lumpur kertas dan asam fosfat disiapkan, selanjutnya didiamkan
selama 1 jam dalam es dan ditambahkan 40 mL air dingin (dilakukan dalam 4
kali penambahan), dimana di setiap penambahan 10 mL dilakukan pengadukan
dengan sangat cepat. Campuran lumpur kertas selanjutnya disentrifug dengan
kecepatan 3500 rpm selama 30 menit pada suhu 4C. Bagian padatan lumpur
kertas akan mengendap di lapisan air dingin, kemudian dilanjutkan sentrifuge
dengan kecepatan 3500 rpm untuk menghilangkan supernatan yang
mengandung asam fosfat. Selanjutnya ditambahkan 0.5 mL Na2CO3 2M untuk
menetralisasi residu asam fosfat dan air es digunakan untuk mengendapkan
lumpur kertas. Setelah sentrifugasi, lumpur kertas yang telah diolah, disimpan
pada suhu 4C(Zhang dkk, 2006).
Serangakaian sistem pengolahan awal penggilingan mekanik
menggunakan ball mill yang dilanjutkan dengan penggembungan dengan asam
fosfat dilakukan secara berturut-turut sebagaimana yang telah dijelaskan
diatas.
22 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
3.2.2 Hidrolisis oleh Enzim
Hidrolisis dilakukan dalam tabung falcon 100 mL dengan konsentrasi
sampel awal 5%(b/b) dalam 10 mL larutan buffer Natrium Asetat (0.1 M) pH 5
menggunakan enzim komersial yang dibeli dari Meiji Seika Co, Ltd, Jepang,
dengan persentase pengaktifan enzim 20 FPU/g sampel. Reaksi hidrolisis oleh
enzim dilakukan dalam water bath shaker yang dikocok dengan kecepatan 140
kocokan/menit selama 48 jam dengan suhu 45C. Untuk memisahkan
supernatantnya, dilakukan sentrifuge dan ditentukan kandungan gulanya.
Persentase sakarifikasinya dihitung menggunakan persamaan berikut :
Persentase Hidrolisis Selulosa (%) =𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑔𝑢𝑙𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑒𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑥 0.9 𝑥 100
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑙𝑜𝑠𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑏𝑢𝑏𝑢𝑟 𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠
3.2.3 Sakarifikasi dan Fermentasi secara Bersamaan(SSF)
Kultur alami bakteri dari agar plate dimasukkan kedalam 30 ml tabung
yang berisi 10 mL medium steril. Adapun komposisi mediumnya adalah sebagai
berikut : 10 g/L glukosa, 1 g/L ekstrak bakteri, 0.1 g/L KH2PO4, 0.1 g/L
MgSO47H2O dan 0.1 g/L (NH4)2SO4. Kultur awal ini diinkubasi dengan suhu 30C
selama 24 jam dalam inkubator dengan kecepatan 60rpm (Itoh dkk, 2003).
Selanjutnya 200 g/L lumpur kertas mentah dan lumpur kertas yang
telah diolah dimasukkan dalam 2 tabung Erlenmeyer 500 mL yang berbeda.
Keduanya lalu diautoklaf selama 20 menit pada suhu 121C dan ditambahkan
larutan nutrisi yang telah disterilkan, enzim dan buffer natrium asetat.
23 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Adapun komposisi pada medium fermentasi adalah sebagai berikut: 2
g/L ekstrak bakteri, 0.05 g/L MgSO47H2O, I g/L (NH4)2HPO4, 20 FPU/g sampel
Meicelase, dan 100 mM buffer natrium asetat pH 5(Sharma et al., 2004).
Endapan ragi pada kultur awal sebelumnya, digunakan untuk penyuntikan dan
campurannya diinkubasi dalam rotary shaker pada suhu 40C dengan
pengadukan yang pelan yakni sekitar 100 rpm.
Untuk menentukan persentase perubahan etanol, dihitung
menggunakan persamaan berikut:
Persentase perubahan etanol % = 𝑔
𝐿𝑒𝑡ℎ𝑎𝑛𝑜𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘𝑥 100
𝑔
𝐿 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 𝑒𝑡ℎ𝑎𝑛𝑜𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠
3.2.4 Metode Analisis
Jumlah etanol dan jumlah glukosa dari kaldu fermentasi diketahui
menggunakan HPLC dengan kolom aminex HPX-87H(Biorad, Richmond, CA) dan
konsentrasi total gula diukur menggunakan metode phenol-asam sulfat(Dubois
dkk, 1956). Sedangakan pada saat hidrolisis oleh enzim, konsentrasi
glukosanya diukur menggunakan metode mutarotase GOD(Glukosa C-test:
Wako Pure Chemicals, Osaka, Jepang) dan konsentrasi gula pereduksinya
ditentukan berdasarkan metode Somogyi-Nelson(Somogyi, 1952).
24 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sakarifikasi Lumpur Kertas yang Telah Diolah dan Lumpur Kertas
Mentah oleh Enzim
Pengamatan pengaruh penggilingan mekanik menggunakan ball mill,
penggembungan menggunakan asam fosfat, dan juga pengolahan berurutan
(penggilingan mekanik dilanjutkan penggembungan) terhadap peningkatan
sakarifikasi oleh enzim dan produksi etanol telah dilakukan. Gambar 4.1
menunjukkan kurva produksi glukosa dan gula pereduksi saat sakarifikasi
lumpur kertas oleh enzim, baik lumpur kertas yang telah diolah maupun yang
mentah.
25 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Gambar 4.1 Kurva produksi glukosa dan gula pereduksi saat sakarifikasi lumpur kertas yang telah diolah maupun yang mentah oleh enzim
Kurva diatas menjelaskan bahwa jumlah glukosa dan gula pereduksi
yang diproduksi dari lumpur kertas mentah meningkat secara berangsur-
angsur dengan waktu reaksi 24 jam dan mencapai nilai maksimumnya
berturut-turut senilai 111 dan 146 mg/g (sampel kering).
Marques, Santos,Girio, dan Roseiro (2008) melaporkan bahwa
sakarifikasi lumpur kertas mentah mendekati sempurna dengan menggunakan
enzim selulolitik, namun pada penelitian ini, didapatkan hasil yang lebih
rendah. Hal ini mungkin dikarenakan lumpur kertas yang digunakan pada
penelitian ini pada kenyataannya membentuk gumpalan-gumpalan, yang dapat
menghambat kinerja enzim dan atau kemampuan selulosa untuk dicerna. Oleh
karena itu, dilakukan pengujian terhadap pengaruh pengolahan awal
menggunakan penggilingan mekanik dan atau penggembungan untuk
memperoleh hasil sakarifikasi enzim yang efektif.
26 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Jumlah produksi glukosa mengalami peningkatan yang tidak terlalu
signifikan ketika lumpur kertas digiling terlebih dahulu dengan ball mill
sebelum disakarifikasi oleh enzim, begitu pula dengan jumlah produksi gula
pereduksi, dimana nilai keduanya berturut-turut adalah sebesar 116.4 dan
159.7 mg/g sampel kering. Meskipun demikian, hasil ini lebih baik
dibandingkan dengan sampel tanpa pengolahan awal dimana jumlah produksi
glukosa dan gula pereduksi mencapai nilai maksimum 111 dan 146 mg/g
setelah 24 jam reaksi .
Adapun jumlah glukosa dan gula pereduksi dengan substrat lumpur
kertas yang diolah dengan metode penggembungan menggunakan asam fosfat
selama 36 jam, mengalami peningkatan signifikan mencapai 359.0 dan 426.6
mg/g sampel kering. Metode ini memberikan hasil produksi glukosa dan gula
pereduksi yang lebih baik dibandingkan dengan metode penggilingan mekanik
menggunakan ball mill. Sehingga, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa
penggembungan merupakan metode pengolahan awal yang lebih efektif untuk
meningkatkan sakarifikasi lumpur kertas oleh enzim dibandingkan dengan
metode penggilingan mekanik menggunakan ball mill. Lebih dari itu,
diperoleh hasil yang lebih baik apabila pengolahan awal berupa penggilingan
mekanik menggunakan ball mill dan penggembungan menggunakan asam
fosfat dilakukan secara berturut-turut, dimana terjadi peningkatan jumlah
glukosa dan gula pereduksi secara signifikan setelah reaksi selama 6 jam.
27 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Sakarifikasi oleh enzim berjalan dengan sempurna setelah reaksi
selama 12 jam, dimana produksi glukosa dan gula pereduksi telah mencapai
360.2 dan 445.0 mg/g sampel kering, hasil tersebut sama dengan hasil yang
dicapai ketika lumpur kertas diolah dengan penggembungan menggunakan
asam fosfat selama 36 jam reaksi. Table 4.1 berikut menunjukkan parameter
kinetik sakarifikasi lumpur kertas baik yang telah diolah maupun yang mentah.
Table 4.1 parameter kinetik dari sakarifikasi oleh enzim setelah reaksi selama 48 jam
Parameter Lumpur Kertas
tanpa pengolahan
Lumpur kertas dengan
pengolahan awal
Ball
Mill
Asam
fosfat
Ball mill
dan asam
fosfat
Glukosa/sampel
kering (mg/g) 110.8 116.4 359.0 360.2
Gula
pereduksi/sampel
kering (mg/g)
146.4 59.7 426.6 445.0
Persentase hidrolisis
selulosa (%) 29.9 31.3 96.7 97.1
Produktifitas glukosa
(mg/g/jam) 4.6 (24 jam)
2.4
(48jam)
10.0
(36jam)
30.0
(20 jam)
Lumpur kertas yang diolah menggunakan asam fosfat mengalami
peningkatan persentase hidrolisis selulosa dari 29.9% mencapai 96.7%. begitu
pula dengan produktifitas glukosa yang meningkat dari 4.6 menjadi 10
mg/g/jam. Selain itu, sistem pengolahan awal berupa penggilingan mekanik
menggunakan ball mill dan penggembungan menggunakan asam fosfat yang
dilakukan secara berturut-turut menghasilkan kenaikan yang signifikan tidak
hanya pada persentase hidrolisis selulosa tetapi juga pada produktifitas
28 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
glukosa, dimana keduanya berturut-turut mencapai nilai 97.1% dan 30
mg/g/jam.
Peningkatan tersebut dimungkinkan diakibatkan oleh mengecilnya
ukuran partikel gumpalan lumpur kertas dan meningkatnya kemampuan enzim
serta kemampuan selulosa untuk dicerna karena adanya perubahan struktur
kimia selulosa yang terkandung dalam lumpur kertas yang merupakan molekul
super besar(Sharma dkk, 2004).
Hasil ini menandakan bahwa pengolahan awal penggilingan mekanik
menggunakan ball mill dan penggembungan menggunakan asam fosfat yang
dilakukan secara berturut-turut merupakan metode pengolahan awal yang
tepat untuk meningkatkan sakarifikasi lumpur kertas oleh enzim.
4.2 Produksi Etanol dari Lumpur Kertas yang Telah Diolah dan Lumpur
Kertas Mentah Menggunakan Proses SSF
Gambar 4.2 menunjukkan kurva konsentrasi glukosa, etanol, dan total
gula yang diperoleh menggunakan metode SSF dari lumpur kertas yang telah
diolah dengan penggilingan mekanik menggunakan ball mill dan dilanjutkan
dengan penggembungan menggunakan asam fosfat.
29 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Gambar 4.2 Kurva konsentrasi glukosa, etanol dan total gula pada saat proses
SSF
Konsentrasi glukosa dan total gula pada masing-masing kaldu
fermentasi mulai mengalami peningkatan setelah dilakukan penyuntikan,
dimana konsentrasinya mencapai nilai maksimum 6,2 dan 18,6 g/L dengan
substrat lumpur kertas mentah, dan 40.0 dan 66.9 g/L dengan substrat lumpur
kertas yang telah diolah setelah 6 jam inkubasi. Sesudah itu, konsentrasi
glukosa pada masing-masing kaldu fermentasi menurun dengan tajam dan
bertahan pada konsentrasi rendah ketika fermentasi tengah berjalan.
Peristiwa ini menandakan bahwa pada waktu itu, sel bakteri sedang
memfermentasi glukosa yang terbentuk (dari sakarifikasi oleh enzim) menjadi
etanol.
Konsentrasi total gula dari lumpur kertas mentah juga mengalami
penurunan hingga 21.6 g/L setelah 24 jam inkubasi dan kemudian bertahan
konstan. Tidak teramati adanya perbedaan konsentrasi gula total yang
30 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
mencolok antara masing-masing fermentasi, yang berarti bahwa sejumlah
besar gula yang tidak bisa difermentasi yang dihasilkan dari sakarifikasi
lumpur kertas oleh enzim terakumulasi pada kedua kaldu fermentasi.
Adapun jumlah produksi etanol pada masing-masing fermentasi
meningkat secara berangsur-angsur selama masa inkubasi dan mencapai
puncaknya, yaitu senilai 20.4 g/L setelah 48 jam inkubasi menggunakan
lumpur kertas mentah dan 30.5 g/L setelah 24 jam inkubasi menggunakan
lumpur kertas yang telah diolah. Hasil ini menandakan bahwa selama proses
SSF berlangsung, jumlah glukosa hasil sakarifikasi oleh enzim menjadi
indikator akan banyaknya produksi etanol yang dihasilkan dari bahan baku
lumpur kertas. Fermentasi etanol dengan menggunakan bahan baku lumpur
kertas yang telah diolah selesai dengan sempurna setelah menghabiskan
waktu reaksi 24 jam. Table 4.2 berikut ini menunjukkan parameter kinetik
produksi etanol dengan metode SSF menggunakan bahan baku lumpur kertas
mentah dan yang telah diolah.
Table 4.2 parameter kinetik produksi etanol pada proses SSF menggunakan bahan baku lumpur kertas yang telah diolah dan yang masih mentah
Parameter Lumpur Kertas
tanpa pengolahan
Lumpur kertas dengan
pengolahan awal Ball
mill dan asam fosfat
Etanol yang diproduksi (g/L) 20.4 30.5
Persentase konversi (%) 0.277 0.416
Produktifitas etanol (g/L/jam) 0.424 (48 jam) 1.27 (24 jam)
Hasil etanol 0.277 0.416
31 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Jumlah etanol yang dihasilkan dan persentase konversi glukosa menjadi
etanol saat fermentasi dengan bahan baku lumpur kertas mentah berturut-
turut senilai 0.277 dan 54.3%. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh
Kadar dkk (2004) yang menggunakan bakteri komersial, Saccharomyces
cereviseae, meskipun terdapat beberapa perbedaan jenis lumpur kertas yang
digunakan.
Rendahnya jumlah etanol yang dihasilkan serta rendahnya persentase
konversi fermentasi lumpur kertas mentah mungkin disebabkan oleh
rendahnya sakarifikasi oleh enzim yang mengakibatkan rendahnya jumlah
etanol yang dihasilkan. Adapun jumlah etanol yang dihasilkan dan persentase
perubahan glukosa menjadi etanol menggunakan bahan baku lumpur kertas
hasil pengolahan, mencapai nilai yang lebih tinggi, yakni berturut-turut
senilai 0.416% dan 81.5%.
Hasil ini menegaskan bahwa hampir seluruh selulosa yang terkandung
dalam lumpur kertas telah difermentasi menjadi etanol karena jumlah etanol
yang diperoleh dan persentase perubahan glukosa menjadi etanol, keduanya
sesuai dengan penelitian lain yang juga menerapkan metode fermentasi batch
menggunakan bakteri S.cerevisiae AM 12, dengan hasil etanol 0.434 dan
persentase perubahan 85.4%.
Produktifitas etanol dengan bahan baku lumpur kertas yang telah diolah
(1.27 g/L/h, 24 jam) meningkat 3 kali lipat dibandingkan dengan produktifitas
etanol berbahan baku lumpur kertas mentah (0.424 g/L/jam, 48 jam). Oleh
karena itu, dapat dibuktikan bahwa sistem pengolahan penggilingan mekanik
32 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
menggunakan ball mill yang dilanjutkan dengan penggembungan
menggunakan asam fosfat merupakan serangkaian metode pengolahan yang
tepat untuk sakarifikasi enzim sehingga dapat menghasilkan etanol secara
efektif dan efisien.
33 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Persentase hidrolisis dan jumlah glukosa yang diperoleh dari lumpur
kertas hasil pengolahan awal penggilingan mekanik menggunakan ball mill
adalah sebesar 31.3% dan 116.4 mg/g.
2. Persentase hidrolisis dan jumlah glukosa yang diperoleh dari lumpur
kertas hasil pengolahan awal penggembungan dengan asam fosfat adalah
sebesar 96.7% dan 359.0 mg/g.
3. Pengolahan awal yang berturut turut, yakni penggilingan mekanik
dilanjutkan dengan penggembungan dapat meningkatan jumlah produksi
glukosa, persentase hidrolisis pada tahap sakarifikasi, persentase konversi
glukosa menjadi etanol dan jumlah etanol yang dihasilkan, dimana nilainya
berturut-turut adalah 360.2 mg glukosa/g sampel kering, 97,1%, 81.5%, dan
30.5 g/L.
4. Sistem pengolahan awal yang berturut-turut, yaitu pengolahan
menggunakan penggilingan mekanik dilanjutkan dengan penggembungan,
merupakan metode pengolahan awal yang paling tepat dibandingkan dengan
pengolahan awal penggilingan menggunakan ball mill atau penggembungan
34 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
menggunakan asam fosfat untuk mengembangkan sistem produksi etanol
berbahan baku lumpur kertas.
5.2 Saran
Saran-saran untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukan
penelitian mengenai proses fermentasi etanol berbahan baku lumpur kertas
yang telah diolah dengan menggunakan fungi Trichoderma viride. Menurut
Wood (1985), Trichoderma viride merupakan mikroorganisme yang mampu
menghancurkan selulosa tingkat tinggi dan memiliki kemampuan mensintesis
beberapa faktor esensial untuk melarutkan bagian selulosa yang terikat kuat
dengan ikatan hidrogen. Dengan demikian, maka diharapkan sakarifikasi
selulosa bisa lebih efektif sehingga jumlah etanol yang dihasilkan akan
semakin banyak.
35 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
DAFTAR PUSTAKA
Anindyawati, Trisanti.(2009).
Prospek enzim dan limbah lignoselulosa untuk produksi bioetanol.
Pusat Penelitian Bioteknologi:Cibinong.
Boyer,Rodney.(2006).
Biochemistry Laboratory: Modern Theory and Techniques. Pearson
Education.inc : USA.
Budiyanto, A., Krisno.(2002).
Mikrobiologi Terapan. UMM:Malang.
Daintith, John.(1999).
Kamus lengkap kimia, Erlangga:Jakarta.
Davis, L., Rogers, P., Pearce, J., & Peiris, P. (2006).
Evaluation of zymomonas-based ethanol production from a hydrolysed
waste starch stream. Biomass and Bioenergy, 30, 809–814.
Demirbas, A.(2005).
Bioethanol from cellulosic materials: A renewable motor fuel from
biomass. Energy Sources 21, 327−337.
Dubois, M., Gilles, K. A., Hamilton, J. K., Rebers, P. A., & Smith, F. (1956).
Colorimetric method for determination of sugars and related
substances. Analytical Chemistry, 28, 350–356.
Fan, Z., South, C., Lyford, K., Munsie, J., van Walsum, P., & Lynd, L. R.
(2003).
Conversion of paper sludge to ethanol in a semicontinuous solids-fed
reactor. Bioprocess and Biosystems Engineering, 26, 93–101.
Itoh, H., Wada, M., Honda, Y., Kuwahara, M., & Watanabe, T. (2003).
Bioorganosolve pretreatments for simultaneous saccharification and
fermentation of beech wood by ethanolysis and white rot fungi.
Journal of Biotechnology, 103, 273–280.
36 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Kadar, Z., Szengyel, Z., & Reczey, K. (2004).
Simultaneous saccharification and fermentation (SSF) of industrial
wastes for the production of ethanol. Industrial Crops and Products,
20, 103–110.
Koesoemadinata, V. C.(2001).
Pemanfaatan gula hasil hidrolisis hemiselulosa tandan kosong sawit
untuk produksi etanol secara fermentasi. Laporan Hasil Penelitian
Jurusan Teknik Kimia FTI ITB: Bandung.
Lynd, L.R., Bothast, R.J., Wyman, D.E.(1991).
Fuel ethanol from cellulosic biomass. Science 251, 1318-1323.
Mantanis. Young, R.A. Rowell, R.M. (1995).
Swelling of compressed cellulose fiber webs in organic liquids.
Cellulose 2, 1- 22.
Marques, S., Santos, J. A. L., Girio, F. M., & Roseiro, J. C. (2008).
Lactic acid production from recycled paper sludge by simultaneous
saccharification and fermentation. Biochemical Engineering
Journal, 41, 210–216.
Mimms, Agneta.(1993).
Kraft pulping: A compilation of notes.Tappi Press:Atlanta.
Miwa,I.Okuda,J.Maeda,K.(1972).
Clin Chim Acta,37,538-540.
Nishiyama, Y., Sugiyama, J., Chanzy, H., & Langan, P. (2003).
Crystal structure and hydrogen bonding system in cellulose I (alpha)
from synchrotron X-ray and neutron fiber diffraction. Journal of
American Chemical Society, 125,14300–14306.
Notley, S. M., Pattersson, B., & Wagberg, L. (2004).
Direct measurement of attractive van der Waals’ forces between
regenerated cellulose surfaces in an aqueous environment. Journal of
the American Chemical Society, 126, 13930–13931.
Omojasola, P. Folakemi, Omowumi Priscilla Jilani, S. A. Ibiyemi. (2008).
Cellulase Production by some Fungi Cultured on Pineapple Waste.
Nature & Science 6(2), pp. 64-75.
37 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Purwati,S.,Soetopo,R.s.,Setiawan,Y.(2006).
Potensi dan Alternatif Pemanfaatan Limbah Padat Industri Pulp dan
Kertas.Berita Selulosa.41(2):67-79.
Samson,.et all.(1984).
Introduction to Food-Bohne Fungi. Edisi II, Erlangga, Jakarta.
Samsuri,A.,dkk.(2007).
Pemanfaatan Selulosa Bagas Untuk Produksi Etanol Melalui Sakarifikasi
dan Fermentasi Serentak dengan Enzim Xylanase. Makara, Teknologi
11, 17-2.
Schmidt, Karin.(1994).
Mikrobiologi Umum. Gajah mada University Press: Yogyakarta.
Sharma, S. K., Kalra, K. L., & Kocher, G. S. (2004).
Fermentation of enzyme hydrolysis of sunflower hulls for ethanol
production and its scale-up. Biomass and Bioenergy, 27, 399–402.
Somogyi, M.(1952).
Notes on sugar determination. Journal of Biological Chemistry,195, 19–
23.
Wirahadikusumah,Muhammad.(1985).
Biokimia:Metabolisme Energi, Karbohidrat dan Lipid.Penerbit
ITB:Bandung.
Wood, T. M. (1985).
Aspects of the Biochemistry of Cellulose Degradation. p. 173-187.
Xu, Z., Wang, Q. H., Jiang, Z. H., Yang, X. X., & Ji, Y. Z. (2007).
Enzymatic hydrolysis of pretreated soybean straw. Biomass and
Bioenergy, 31, 162–167.
Yamashita, Y., Kurosumi, A., Sasaki, C., & Nakamura, Y. (2008).
Ethanol production from paper sludge by immobilized Zymomonas
mobilis. Biochemical Engineering Journal, 42, 314–319.
38 Ditulis kembali dari jurnal “Development of Efficient System for Ethanol Production from Paper Sludge Pretreated by Ball Milling and Phosphoric Acid”. Y. Yamashita et al./Carbohydrate Polymer 79 (2010) 250-254
Zhang, Y. H., Cui, J., Lynd, L. R., & Kuang, A. (2006).
A transition from cellulose swelling to cellulose dissolution by o-
phosphoric acid: Evidence from enzymatic hydrolysis and
supramolecular structure. Biomacromolecules, 7, 644–648.
Zhiliang Fan, Lee R. Lynd.(2006).
Conversion of Paper Sludge to Ethanol, II: Proses Design and
Economic Analysis. Bioprocess Biosyst Eng 30, 35-45.