perananpltndalampembangunanekonomidigilib.batan.go.id/e-prosiding/file...

7
Prosiding Seminar Teknologi dan Keselamatan PLTN serta Fasilitas Nuklir Serpong, 9-10 Februari 1993 PRSG, PPTKR - EATAN PERANANPLTNDALAMPEMBANGUNANEKONOMI Oleh: N.Haidy A. Pasay Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia 1. Pendahuluan Perkerpbangan akhir-akhir ini telah menunjukkan terdapatnya komitmen yang cukup kuat dari pemerintah untuk memberikan peluang yang lebih besar kepada kekeuatan pasar khususnya dalam rangka menjamin pengadaan energi listrikdimasa depan. Isu yang berkenaan dengan ini adalah privatisasi dalam penmgadaan sumber energi sekunder terse but. Komitmen ini tampak semakin mengokoh dengan kian pesatI?ya laju pertumbuhan permintaan jangka pendek akan energi listrik. Setelah memperhitungkan berbagai faktor lainya, seperti harga, laju pertumbuhan ekonomi regional serta perbedaan permintaan antarpropinsi (regional differentials), Pasay, Budhiarso dan Putra (1992) memperkirakan bahwa permintaan jangka pendek akan energi listrik melaju dengan kecepatan sampai sejauh 17,66% untuk setiap tahun, suatu angka pertumbuhan yang tergolong tinggi. bandingkan, misalnya dengan laju perekonomian Indo- nesia sebesar 6% pertahun belakangan ini, yang berada diatas apa yang direncakan menurut Repelita V. Yang menjadi persoalan adalah tekanan yang berat terhadap pengadaan energi listruk secara terjamin tidak hanya muncul dari adanya pem1intaan yang melaju dengan pesat itu saja, tetapi juga muncul dari berbagai penjuru. Salah satu diantaranya adaJah berasal dari kenyataaan bahwa banyak diantara pembangkit yang ada masih menggunakan energi primer berupa bahan bakar minyak. Padahal, menurut perkiraan resmi, Indonesia akan menjadi net importer minyak ditahun 2004 mendatang, setahun setelah PL TN beroperasi. Oleh karena itu akhir-akhir ini muncul dipennukaan berbagai pemyataan yang menyangkut isu konservasi energi dan investasi dalam pengadaan energi listrik. Konservasi energi sering kali dianggap sebagai suatu tujllan akhir sehingga kita acap kali dihadapkan dengan pemyataan: yang manakah yang menghasilkan manfaat netto yang positif dan yang lebih besar kalau kita dihadapkan dengan pilihan antara investasi dalam pengadaan dan konsevasi energi. Konservasi energi memang sudah dianggap sebagai salah satu sllmber pengadaan energi, selain dari sumber yang konvensional. Namlln, mempcrsoalkan dan sa ling menghadapkan kedlla permasalahan tersebut sesungf,'lihnya tidak menyelesaikan pennasalahan karena pilihannya bukanlah salah satu melainkan keduanya. Peningkatan efcsicnsi baik dalam proses produksi mauplln dalam konsllmsi memang akan meningkatkan prodllksi dan memperlamban laju kenaikan konsumsi. 8 Akan tetapi peningkatan effesiensi ini hanya merupakan sebahagian saja dari persoalan uang ada. Bagaimanapun, dengan pesatnya perkembangan permintaan energi listrik, pembangkit tenaga listrik yang akan berfungsi sebagai base-load masih tetap diperlukan untuk lebih menjamin pengadaan energi listrik dikemudian hari. makalah ini hanya akan melihat dampakdari investasi PL TN terhadap perekonomian Indonesia baik ditinj au dari sudut pandang analisis mikro ekonomi maupun analisis makroekonomi. 2. Perlipatgandaan Pendapatan Nasional Dampak ekonomi dari proyek PL TN lI11 sesungguhnya laksana reaksi berantai (chain reaction) yang terdapat dalam reaktor nuklir. Fisi atas nukleus U- 235 yang disebabkan oleh neutron yang berenergi rendah akan melepas lebih banyak neutron, yang kemudian mampu menciptakan fisi yang lebih banyak sehingga memungkikan dihasilkannya energi yang pesat yang sifatnya self-perpuating. Dalam ekonomi, dampak investasi PL TN tersebut akan menghasilkan perlipatgadaan yang lebih besar kalau investasi tersebut melibatkan lebih banyak kegiatan ekonomi domestik. keterlibatan lebih banyak investor dan produk domestik akan berdampak lebih besar lagi bagi perekonomian Indonesia, sebagaimana halnya dengan fisi yang menghasilkan fast neutron dan them1al (low) neutron, yang selanjutnya dapat menciptakan fisi pada tahap berikutnya. Ada dua faktor utama yang menyebabkan gagalnya suatu neutron untuk merangsang fisi berikutnya pertama, neutron itu lolos dari sistem reaktor; dan kedua, neutron tersebllt dikonsumir sebahagian atau seluruhnya oleh reaksi lain, begitu pula dengan dampak ekonomi dari investasi PL TN ini yang tergantllng pada seberapa jallh akan terjadi kebocoran (leakage), baik melalui peranan investor asing mallpun melailli hasrat menabung (mar- ginal propensity to save) masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, besar-kecilnya hasrat yang menentukan berapa besar dampak berganda yang dapat ditimbulkan oleh proyek PL TN terse but terhadap perekonom ian Indone- sia. Dalam jangka panjang,apabila laju pertumbuhan perekonomian yang berkesinambllngan (steady state rate of economic growth) diasumsikan sebesar 5% setiap tahun, hasrat mengkonsllmir masyarakat Indonesia dipcrkirakan di sckitar 0,63-0,73 (Dowling clan

Upload: donhan

Post on 24-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Prosiding Seminar Teknologi dan Keselamatan PLTNserta Fasilitas Nuklir

Serpong, 9-10 Februari 1993

PRSG, PPTKR - EATAN

PERANANPLTNDALAMPEMBANGUNANEKONOMI

Oleh:

N.Haidy A. PasayLembaga Demografi

Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia

1. Pendahuluan

Perkerpbangan akhir-akhir ini telah menunjukkanterdapatnya komitmen yang cukup kuat dari pemerintahuntuk memberikan peluang yang lebih besar kepadakekeuatan pasar khususnya dalam rangka menjaminpengadaan energi listrikdimasa depan. Isu yang berkenaandengan ini adalah privatisasi dalam penmgadaan sumberenergi sekunder terse but. Komitmen ini tampak semakinmengokoh dengan kian pesatI?ya laju pertumbuhanpermintaan jangka pendek akan energi listrik. Setelahmemperhitungkan berbagai faktor lainya, seperti harga,laju pertumbuhan ekonomi regional serta perbedaanpermintaan antarpropinsi (regional differentials), Pasay,Budhiarso dan Putra (1992) memperkirakan bahwapermintaan jangka pendek akan energi listrik melajudengan kecepatan sampai sejauh 17,66% untuk setiaptahun, suatu angka pertumbuhan yang tergolong tinggi.bandingkan, misalnya dengan laju perekonomian Indo­nesia sebesar 6% pertahun belakangan ini, yang beradadiatas apa yang direncakan menurut Repelita V.

Yang menjadi persoalan adalah tekanan yang beratterhadap pengadaan energi listruk secara terjamin tidakhanya muncul dari adanya pem1intaan yang melajudengan pesat itu saja, tetapi juga muncul dari berbagaipenjuru. Salah satu diantaranya adaJah berasal darikenyataaan bahwa banyak diantara pembangkit yang adamasih menggunakan energi primer berupa bahan bakarminyak. Padahal, menurut perkiraan resmi, Indonesiaakan menjadi net importer minyak ditahun 2004mendatang, setahun setelah PLTN beroperasi.

Oleh karena itu akhir-akhir ini muncul dipennukaanberbagai pemyataan yang menyangkut isu konservasienergi dan investasi dalam pengadaan energi listrik.Konservasi energi sering kali dianggap sebagai suatutujllan akhir sehingga kita acap kali dihadapkan denganpemyataan: yang manakah yang menghasilkan manfaatnetto yang positif dan yang lebih besar kalau kitadihadapkan dengan pilihan antara investasi dalampengadaan dan konsevasi energi. Konservasi energimemang sudah dianggap sebagai salah satu sllmberpengadaan energi, selain dari sumber yang konvensional.Namlln, mempcrsoalkan dan sa ling menghadapkan kedllapermasalahan tersebut sesungf,'lihnya tidak menyelesaikanpennasalahan karena pilihannya bukanlah salah satumelainkan keduanya.

Peningkatan efcsicnsi baik dalam proses produksimauplln dalam konsllmsi memang akan meningkatkanprodllksi dan memperlamban laju kenaikan konsumsi.

8

Akan tetapi peningkatan effesiensi ini hanya merupakansebahagian saja dari persoalan uang ada. Bagaimanapun,dengan pesatnya perkembangan permintaan energi listrik,pembangkit tenaga listrik yang akan berfungsi sebagaibase-load masih tetap diperlukan untuk lebih menjaminpengadaan energi listrik dikemudian hari. makalah inihanya akan melihat dampakdari investasi PLTN terhadapperekonomian Indonesia baik ditinj au dari sudut pandanganalisis mikro ekonomi maupun analisis makroekonomi.

2. Perlipatgandaan Pendapatan NasionalDampak ekonomi dari proyek PL TN lI11

sesungguhnya laksana reaksi berantai (chain reaction)yang terdapat dalam reaktor nuklir. Fisi atas nukleus U­

235 yang disebabkan oleh neutron yang berenergi rendahakan melepas lebih banyak neutron, yang kemudianmampu menciptakan fisi yang lebih banyak sehinggamemungkikan dihasilkannya energi yang pesat yangsifatnya self-perpuating. Dalam ekonomi, dampakinvestasi PL TN tersebut akan menghasilkanperlipatgadaan yang lebih besar kalau investasi tersebutmelibatkan lebih banyak kegiatan ekonomi domestik.keterlibatan lebih banyak investor dan produk domestikakan berdampak lebih besar lagi bagi perekonomianIndonesia, sebagaimana halnya dengan fisi yangmenghasilkan fast neutron dan them1al (low) neutron,yang selanjutnya dapat menciptakan fisi pada tahapberikutnya.

Ada dua faktor utama yang menyebabkan gagalnyasuatu neutron untuk merangsang fisi berikutnya pertama,neutron itu lolos dari sistem reaktor; dan kedua, neutron

tersebllt dikonsumir sebahagian atau seluruhnya olehreaksi lain, begitu pula dengan dampak ekonomi dariinvestasi PLTN ini yang tergantllng pada seberapa jallhakan terjadi kebocoran (leakage), baik melalui perananinvestor asing mallpun melailli hasrat menabung (mar­ginal propensity to save) masyarakat Indonesia. Padaakhirnya, besar-kecilnya hasrat yang menentukan berapabesar dampak berganda yang dapat ditimbulkan olehproyek PLTN terse but terhadap perekonom ian Indone­sia.

Dalam jangka panjang,apabila laju pertumbuhanperekonomian yang berkesinambllngan (steady state rateof economic growth) diasumsikan sebesar 5% setiaptahun, hasrat mengkonsllmir masyarakat Indonesiadipcrkirakan di sckitar 0,63-0,73 (Dowling clan

Prosiding Seminar Tekn%gi dan Keselamatan PLTNserta Fasi/itas Nuk/ir

Lahiri,1990).(') Dengan demikian, besaran pengganda(multiplier coefficient) akan terletak di antara 2,7 dan3,7, yang berarti bahwa untuksetiap 100 rupiah investasiyang melibatkan kegiatan ekonomi domestik akhimyaakan mampu meningkatkan pendapatan nasional sebesar270-370 rupiah.

Yang menjadi persoalan sekarang adalah seberapabesar kandungan domestik (domestic content) dariinvestasi PLTN yang padat modal ini dapat dilaksanakanoleh kekuatan ekonomi kita sendiri sehingga secaralangsung dapat memperluas kegiatan ekonomi domestik.Perkiraan sementara menunjukan bahwa 25-31 persendari investasi tersebut dapat dilaksanakan oleh bangsaIndonesia sendiri (Adiwardojo, 1992). Dengan demikiansatu unit BWR, yang mampu memproduksi net outputsebanyak 952 MWe, diperkirakan pada akhimya akandapat menghasilkan peningkatan pendapatan nasionalsebesar 0,92-1,56 milyar US dollar. kalau kemampuanmenghasilkan net output menjadi dua kali lipat, kenaikanpendapatan tersebut berkisar antara 1,84-3,12 milyar USdolJars.

3. Debt Service dan Neraca PembayaranBahwa PLTN merupakan proyek padat modal (capi­

tal intensive) tampaknya tak dapat disangkal lagi.Kenyataan ini dapat dilihat dari struktur biayanya, yangsebahagian terbesarditentukan oleh biaya modal (cost ofcapital), tetapi mempunyai biaya produksi yang rendah.Bandingkan PLTN ini, misalnya, dengan PLTG yangsetara dayanya. PL TG combined cycle jelas merupakanproyek padat bahan bakar (fuel intensive), tapi berbiayaproduksi yang lebih tinggi.

Berdasarkan perkiraan sementara, untuk satu unitBWRyang akan menghasilkan output listrik netto sebesar952 MWe, dana yang dibutuhkan untuk investasi PLTNsemacam ini akan mencapai 1,36 milyar US dolJarP)Dengan berjalannya waktu, sebahagian terbesar darimodal yang besar tersebut akan menyusut sehinggasemakin kurang berperan dalam strukturbiayanya selamamasa hidupnya, yang diperkirakan sekitar20 tahun. Olehkarena itu, dapak dari padat modal semacam ini akansangat teras a selama masa konstruksinya, yang menurutinfom1asi dewasa ini diperkirakan akan memakan waktusekitar 6 tahun sejak mula pertama pembangunan PLTNtersebut. (3)

Serpong, 9-10 Februari 1993PRSG, PPTKR - BATAN

Dampak pembangunan proyek PLTN terhadaprencana pembayaran dapat melalui beberapa jalur.Pertama, dampak tersebut dapat melalui imporperalatandan perlengkapan PLTN yang dibutuhkan selama masakontruksi, dan impor uranium selama masa produksi.Jalur yang kedua adalah melalui pembayaran bebanhutang, yakni cicilan dan bunga pinjaman luar negeri,dan/atau pembayaran repatriasi keuntungan yangdiperoleh kalau sebahagian atau seluruh investasi PLTNterdiri dari investasi asing.

Dampak melalui ekspor secara langsung dapatdikatakan akan nihil karena produksi energi listrik akanditujukan sepenuhnya untuk konsumsi dalam negerikhususnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi listrikdi pulau Jawa dan Bali. Demikian pula dampaknyamelalui subtitusi impor tidak akan ada karena memangtidak dimaksudkan untuk menggantikan impor energilistrik dalam situasi perekonomian kita hingga dewasain i.(4)

Dalam keadaan seperti ini, yakni sebagai net debtor,para pemberi pinjaman luarnegeri, yang berkepentinganterhadap kemampuan proyek dalam meenciptakan valutaasing, mungkin akan menjadi enggan untuk mem injamkandana., Keengganan ini dapat terjadi terutama dalamkeadaan dimana sumber lain tidakmemungkinkan untukmemenuhi kewajibannya. Oleh karena itu proyek iniperlu mempertimbangkan dengan matang dampak taklangsungnya dalam menciptakan tambahan valuta asingyang berasal dari sektor lainnya yang bukan hanyamampumenghematvalutaasing melalui substitusi impor,tetapi juga mampu menciptakan valuta asing melaluiekspor.

Yang menjadi persoalan utama bukan hanya itusaja, tetapi menyangkut persoalan likuiditas dansolvabilitas perekonomian kitadewasa ini. Perkembanganneraca transaksi berjalan hingga dewasa ini menampakkankekhawatiran karena telah mengalami defisit sebsaeUS$1,3 milyarditahun 1989, US$3,2milyartahun 1990,menjadi US$ 4,4 milyar pada tahun 1991 yang lalu(BankIndonesia, 1992). Ini berarti bahwa kemampuan kitamengimpor barang dan jasa akan kian berkurang karenacadangan devisa menipis.

Selama masa kontruksi 6 tahun, katakan 1997­

2002, impor peralatan dan perlengkapan, termasukjasa,diperkirakan akan mencapai sebesar $2.713.200.000

I) Dowling dan Lahiri (1990) menduga kedua angka tersebut berdasarkan asumsi agregatifyang menyatakan bahwatransformasi struktural dalam perekonomian Indonesia tidak akan mempengaruhi hasrat mengkonsumsir dalammasyarakat Indonesia. Dan jika pengaruh perubahan struktural dalam pengaruh perubahan struktural dalamperekonomian terse but diperhitungkan dalam hubungan tingkah laku konsumsi, maka hasrat mengkonsumsir jangkapanjang akan menjadi sebesar 0,69.

2) Angka ini belum termasuk biaya untuk beban awal bahan bakar nuklir sebesar 0,11 milyar US dollar .3) Dengan teknologi konstruksi yang ada sekarang ini, masa konstruksi dapat dipersingkat menjadi 4 atau 5 tahun4) Selama ini memang Indonesia belum pemah mengalami kasus mengimpor energi listrik. Namun, dalamsituasidimana konsumsi energi melaju dengan pesat seperti sekarang, bukanlah merupakan sesuatu yang mustahil bahwaIndonesia akan mengimporenergijenis ini di kemudian hari, terutama untukdaerah-daerah yangterletakbersebelah­

an dengan negara tetangga, seperti pulah Batam, kecuali apabila kapasitas pembangkit listrik ditingkatkan secepatlaju perkembangan pem1intaannya

9

Prosiding Seminar Teknologi dan Keselamatall PLTNserta Fasilitas Nuklir

untuk dua unit BWR yang akan menghasilkan net output

scbcsar 1904 MWe. Atau impor tahunan akanmembutuhkan valuta asing sebesar 562,6 juta US dollarsditahun 2001. dengan begitu, defisit neraca berjalan(current account) akan mengalami peningkatan dalamjumlah yang sarna.

Namun demikian, dampak negatif tehadappengadaan valuta asing (foreign exchange supply) akandengan sendirinya dapat diatasi karena capital inflowbaik langsung maupun tak langsung, yang berkenaandengan pembiayaan proyek itu sendiri. Dengan kata lainperanan investasi asing atau pinjaman luar negeri akanmeniadakan tekanan yang berupa kenaikan defisit neracaberjalan tersebut selama masa kontruksi PLTN. Perluditegaskan bahwa sebagai bahagian dari pengaturanpembiayaan PLTN, pembayaran hutang apalagi repatriasikeuntungasn biasanya baru akan dilaksanakan setelahproyek PLTN mulai beroperasi di tahun 2003. Dengandemikian proyek PLTN ini tidak akan menimbulkantekanan terhadap debt service ratio selama masa kontruk­sinya. Dengan asumsi ini, maka yang perlu dip~rtanyakanadalah apakah dampakdari proyekPL TN terhadap neracapembayaran (balance of payment) Indonesia setelahmasa kontruksi terlampaui, yakni berupa repatriasikeuntungan atau pembayaran cicilan hutang dan bunga

pinjaman.

4. Dlverslfikasl Konsumsl Energl PrimerSeperti telah kita ketahui bersama, Indonesia akan

menjadi net-importer minyak ditahun 2004 mendatang,kecuali jika diketemukan ladang minyak baru yangberpotensi besar. pengalaman selama ini menunjukanbahwa Indonesia mampumenangguhkannya setiap tahunsehigga kita secara terus menerus tetap memiliki cadanganuntuk 20 tahun berikutnya. namun kemampuanmenangguhkan ini bisa dicapai hanya dengan penemuanladang minyak yang baru dalam skala yang kecil danmelalui peningkatan effIsiensi produksi minyak. Olehkarena itu, kitajuga tetap membutuhkan upaya konservasienergi dari sisi konsumsi, terutama yang berasal daripenggunaan minyak sebagai input dari berbagai pusatpembangkit energi listrik. Pembanguann PLTN akanmembuka peluang yang lebih luas bagi upaya kita untuk

,melaksanakan konservasi energi primer tersebut.Peningkatan permintaaan akan listrik yang begitu

pesat sehingga mencapai 17,66% setiap tahun (pasay,et.al., 1992) lambat laun pasti akan membawa implikasibahwa sistem maximum demand akan meningkat pula.Jika laju perkembangan sebesar itu ten1S berlangsw1gdimasa yang akan datang, maka perkembangan ini akan

Serpollg, 9-10 Februari 1993PRSG, PPTKR - BATAN

berarti bahwa perrmintaan energi listrik akan berlipatganda hanya dalam waktu kurang dari 4 tahun atau untuklebih tepatnya 3 tahun 11 bulan. Dengan kata lain, base­load plant yang baru dengan kapasitas yang setidak­tidaknya sarna dengan yang sudah ada pasti dibutuhkandalam setiap kurun waktu kurang dari 4 tahun. Setiapperencanaan pengembangan sistem pengadaan energilistrikjelas terlihat harus mempertimbangkan kenyataanini. Base-load plant yang baru ini dibutuhkan setidak­tidaknya untuk melengkapi atau bahkan menggantikanbase-load plant yang sudah ada.

Dengan demikian investasi PL TN dapat dilihat daridua sisi yang agak berbeda. Pertama, PLTN dapat dianggapsebagai perluasan dari base-load plant yang sudah ada.Kedua, PL TN dapat pula diperuntukkan sebagaipengganti base-load plant yang telah ada. Keduanyamemiliki dampak yang tidak kecil terhadap upaya kitauntuk melakukan diversifikasi konsumsi energi primer.

Dari sudut pandang pertama diatas, pembangunanPL TN tidak akan mengurangi jumlah absolut konsumsienergi primer di sektor listrik. Namun demikianpembangunan PLTN ini akan mampu mengurangi bebantekanan yang akan datang dari pesatnya lajuperkembangan konsumsi tersebut semata-mata karenaPLTN akan menggunakan sumber energi primer lain,berupa uranium.

Pandangan yang kedua bukan hanya membawaimplikasi berupa diversivikasi konsumsi energi,melainkan lebihjauhdari itupembangunan PLTN terse butakan mengurangijun1lah konsumsi energi primer berupaminyak itu, terutama karena adanya scrapping policydalam investasinya. Namun pandangan kedua ini akanmenimbulkan dampak yang sama seperti halnya denganpandangan pertama jika base-load plant yang lamadialihkan wilayah produksinya ke wilayah yang lain diluar Jawa-Bali.

Dalam situasi dim ana permintaan akan energi listrikmelonjak pesat, pandangan pertama tampak lebihmungkin terjadi daripada pandangan yang kedua, kecualiapabila base-load plant yang lama dimanfaatkan untukwilayah produksi lain. Pengecualian ini mengakibatkankedua sisi pandangan tersebut menjadi sama, kalau iniyang terjadi, sejauh mana manfaat diversifikasi energiyang dapat ditimbulkan oleh pembangunan PLTN sangattergantung pada komposisi pemakaian input energi primeruntuk base-load plant yang ada. dengan kata lain, proyekPLTN akan dapat menghindari pemakaian input energiprimer lainnya hanya sejauh base-load plant yang barutersebut tidak lagi mengikuti komposisi input selamainiY)

5) Monetisasi penghematan pemakaian energi sebagai input semacam ini mendapat kesulitan karena modal danteknologi yang digunakan sangat berbeda di antara kedua altematifbase-Ioad plants tersebut. Dalam hal ini, proyek

, PLTN akan menghemat biaya operasi tetapi tidak menghemat biaya modal. Oleh karena itu, monetisasi daripenghematan energi primer ini mesti melibatkan perhitungan lainnya di luar biaya operasi yang diperlukan olehpemakaiim bahan bakar saja. Dengan kata lain, nilai monetisasi penghematan tersebut mesit menyeluruh sehinggasangat tergantung pada dua faktor utama : biaya modal dan biaya operasi. Lihat bagian berikutnya yang membahaspenghematan biaya.

10

Prosiding Seminar Tdawlogi dan Kesdamatan PLTNserta Fasilitas Nuklir

Sebagai gambaran, menurut informasi yangtersediaselama 1976-1990, biaya bahan bakar yang digunakanPLN rata-rata mengambil porsi sebesar33,59% dari totalbiaya produksi listrik dengan standar deviasi 15,81 %. Iniberarti bahwa kandungan bahan bakar bergerak antara17,78% dan 49 ,40%. Bandingkan, misalnya dengan PLTNdi Kanada sebesar 11,02% dan di Perancis sebesar31 ,37%

(Moynet, et.a!., 1991 ),\6)

5. Pcnclltian Rcaktor di Masa DcpanDengan akan dibangunnya PLTN oleh pemerintah,

program penelitian reaktor (reactor research) tampakakan mendapatkan bukan hanya "angin segar" tetapijuga "breathing space" yang lebih luas. Sebab untukmencapai dan menyebarluaskan penggunaan energinuklir, yang menghasilkan panas (heat) dan listrik, baikuntuk kebutuhan mmah tangga, komersial maupunindustri manufaktur akan diperlukan pembangunanreaktor pembiakan cepat (fast breeder reactor): danpengembangan serna earn ini akan berarti penelitianreaktor yang berskala lebih besar daripada apa yang akankita miliki di tahun-tahun permulaan abad ke-21.

Penelitian reaktor ini akan melibatkan sejumlah

modal yang pada waktu ini sulit untuk diketahui, namunmodal tersebut mungkin akan mencapai milyaran at aubahkan lebih besar, sebagai comitment jangka panjanguntuk penelitian yang baru sarna sekali, agar konsumsilistrik tenaga nuklir tersebut dapat menyebar lebih luaslagi untuk ketiga macam penggunaan tersebut. Disinilahsalah satu letak peranan yang dapat dimainkan bukanhanya oleh PPT A, tetapi juga oleh perusahaan swastaatau sekelompok perusahaan yang melakukan kegiatanpenelitian yang dapat menghasilkan beroperasinya suatureaktor jenis bam atau dengan teknologi yang bam ataumampou memberikan hasil yang berbeda dalam bentukkinerja operasi reaktor prototipe. Oleh karena itu, untukmencapai tujuan tersebut mesti diputuskanjenis reaktoryang bagaimana yang akan dibangun, berapa banyak,oleh siapa, dan dalam jangka waktu berapa lama.

Dari segi ekonomi, cadangan uraniumjelasterbatasadanya sehingga dibutuhkan jenis reaktor yang semakineffisien. Dengan demikian, penelitian reaktor ini akandapat mengurangi pem1intaan akan uranium karena reak­tor semacam ini akan membiakkan lebih banyak fissi-

Serpong, 9·]0 Februari 1993PRSG, PPTKR • BATAN

onable plutonium dari uranium yang kurang produktif.Dalam hal ini penelitian reaktor akan dapat meningkatkaneffisiensi reaktorP) Karena semakin effisien; biayasatuan(8)akan semakin rendah bila dibandingkan denganbiaya altematifnya.

Pasay, Budhiarso dan Putra (1992) menunjukkanbahwa sektor listrik negara hingga kini sarna sekali tidakmengalami kemajuan teknis (technical progress) di hampirsemua wilayah produksi. Yang menjadi persoalan adalahbahwa hal ini akan berarti produktivitas faktor produksitotal (total Factor productivity) tidak pula akanmengalami kemajuan. Akibatnya, kegiatan produksi danpemasaran di sektor ini mengalami kehilangankeluwesannya (Pasay dan Putra, 1992; dan Pasay, I

Budhiarso dan Putra, 1992).Menumt Pasay, Budhiarso dan Putra (1992) ada

dua faktorutama yang dapat mempengaruhi produktivitasfaktor total, yakni skala ekonomis (economies of scale)dankemajuan teknis. Skala ekonomis akan menentukanbesar-kecilnya laju perkembangan produktivitas faktortotal, sedang laju kemajuan teknis, selain menentukanbesaran,juga akan menetapkan ke arah mana seharusnyalaju pertumbuhan produktivitas faktor produksi totaltersebut akan menuju.(9)

Karena proyek PLTN merupakan proyek padatmodal, maka proyek PLTN ini pasti akan menaikkanbesaran skala ekonomis di sektor listrik. Skala operasiyang membesarmemang takayallagi akan menimbulkanmanfaat ekonomis bempa penurunan biaya per unitkarena energi listrik akan dapat dihasilkan dalamjumlahyang besar. Namunpeningkatan skala ekonomis tersebuthanya akan menimbulkan manfaat yang menyeluruhbagi masyarakat yang lebih luas apabila dalam prosesproduksinya terdapat kemajuan teknologi. Berdasarkanpenemuan Pasay, Budhiarso dan Putra (1992) memangterjadi peningkatan skala produksi disemua wilayahproduksi PLN, akan tetapi peningkatan itu sayangnyatidak disertai dengan kemajuan teknologi sehinggaproduktivitas total tidak mengalami kemajuan.

Dalam hal kemajuan teknis ini, PLTN sesungguhnyadapat berperan lebih banyak dalam bentuk peningkataneffisiensi di kemudian hari. Effisiensi dapat meningkatmelalui lebih banyak fissionable nuclei (denganmengurangi nuklei yang lolos dalam sistem reaktor sertamengurangi konsumsi nukleus oleh reaksi lain) atau

6) Kcdua ncgara tersebut dipi]ih karcna mampu mcnghasilkan listrik tcnaga nuklir dengan biaya rata-rata per kWhpaling rendah di antara negara lainnya, tennasuk Jepang.7) Effisiensi ini biasanya diukur dalam bentuk ratio antara fissionable material yang diproduksi dan yang dikonsum­si atau ratio antara kapasitas pembangkit listrik dan pemakaian input.8)Biaya satuan (unit cost) berbeda dari biaya per satuan (per unit cost). Biaya satuan ini mengukur biaya minimumyang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output.

9) Rumusan ini bcrdasarkan asumsi bahwa fungsi biaya mcngikuti bentuk translogsehingga laju perkembangan pro­duktivit.1s total dapat digambar sepcrti ini :

o ]n Q/OT = (0 ]n CloT) I (0 ]n Clo Ln Q)yang mana Q adalah output, C adalah biaya, dan T indcks kcmajuan tcknis, sehingga :

o In CloT = laju kcmajuan tcknis; dano In Q/o ]n C = skala ekonomis

11

Prosiding Seminar Teknologi dan Keselamatan PLTNserta Fasilitas Nuklir

bahkan lebih banyak fissionable plutonium, perbaikanmajerial dalam proses produksi, penggunaan teknologimutakhir (lihat USCEA, 1992), perbaikan load factor,daan peningkatan mutu berbagai faktorproduksi lainnya,

seperti modal dan tenaga kerja.Lagi, menurut Pasay, Budhiarso dan Putra (1992),

load factor yang terbaik di Indonesia justru hanyadidapaykan di pulauJawa dan Bali. Inipun barumencapaisekitar 46% sehingga sesungguhnya masih dapat di­tingkatkan lebihjauh lagi.(10) Kalau proyek PLTN kelakmampu mencapai load factor sebesar 75-80%,(11) makaini berarti dengan kehadiran proyek PL TN ini. Angka inipun tidakjauh berbeda dari perkiraan resmi untuk pulauJawa da Bali, yaitu di sekitar 69%-72% sampai tahun2010.

Hasilpenelitian Pasay, Budhiarso dan Putra (1992)memperlihatkan bahwa dampak perbaikan kapasitas ter­sebut terhadap biaya produksi energi listrik di antaranyatergantung pada seberapa besartingkat pcmanfaatan ka­pasitas itu sendiri di wilayah produksi masing-masing.Kian rendah tingkat pemanfaatan yang ada di suatuwilayah produksi, ccteris paribus, akan mengakibatkansemakin besamya dampak perbaikan pemanfaatan kapa­sitas terhadap penurunan total biaya produksi. Dengankata lain, manfaat dari perbaikan tingkatutilisasi kapasitastersebut akan kian membesar justru dalam keadaan dimanasuatu wilayah produksi sedang mengalami kelesuan.dalam memanfaatkan kapasitas terpasangnya. Dan bahwaharga listrik tidak perlu dinaikkan paling tidak sebesarpenghematan biaya produksi rata-rata atau marjinal yangdiperoleh melalui perbaikan tingkat pemanfaatankapasitas terpasang.

Hasil studi mereka membandingkan, misalnyapcnghematan biaya antara wilayah produksi di pulauJawa dan di luar Jawa,(12) Berkaitan dengan perananberbagai faktor lainnya, seperti harga berbagai input,volume output dan kemajuan teknologi, yang relatifdominan ketimbang load factor itu sendiri, penurunanbiaya di wilayah Jawa Timur terlihat serupa denganpenghematan di luar Jawa. Setiap 1% kenaikan LoadFactor di wilayah ini akan berakibat penurunan biayaproduksi sebesar 0,23 % di tahun 1990, yang lebih kurangserupa dengan apa yang diketemukan di Sumatera Utara.,Berbcda dengan wilayah Jawa Timur, dengan strukturharga input,produksi, kemajuan teknologi yang berbeda,wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta tan'lpak hanyamampu memperkecil biaya produksi sebesar 0,16 persen

Scrpong, 9-10 Fcbruari 1993PRSG, PPTKR - BATAN

pada tahun yang sama. Wilayah Aceh dan Irian Jaya,

dengan load factor terendah di tahun 1990, dapatmemperkecil biaya berturut-turutsejauh 0,29% dan 0.33%hanya denganjalan memperbaiki load factor sebcsar 1%saJa.

Dari sini jelas terlihat bahwa perbaikan tingkatpemanfaatan kapasitas terpasang hanya sebesar 1 pcrsensaja akan berarti penurunan biaya produksi berkisarantara 0,16% dan 0,33%. Meskipun dari segi pcrsentasepenurunan biaya produksi ini cukup kecilnya, tetapipenghematan semacam ini akan mcmungkinkan lebihkecilnya kenaikan harga listrik yang dapat dilakukandimasa depan. Salah satu hal yang terpenting bagimasyarakat banyak adalah bukan hanya sejauh manakahfaktor-faktor terscbut dapat menurunkan biaya produksienergi listrik di tanah air ini, tctapi lebih lanjut apakahpcnurunan biaya produksi rata-rata ini pada akhimyaakan menurunkan harga listrik bagi konsumen akhir,seperti rumah tangga, tranportasi, komersial dan industri?

6. Dampak Pcncntuan HargaBiaya produksi energi listrik yang lebih rendah

tersebut hanya akan membawa manfaat bagi bangsaapabila biaya itu betul-betul diterjemahkan kedalamharga yang lebih rendah atau sctidak-tidaknya kenaikanharga listrik dimasa depan akan sebesar apa yangdibayangkan dewasa ini berdasarkan besamya subsidiekonomi yang ada. Sebab ini berarti bahwa akan lebihbanyak masyarakat yang dapat menikmati listrik tanpaharus diberikan subsidi oleh pemerintah.

Salah satu yang menarik tentang listrik bahwasektor listrik mempunyai hubungan langsung dengankonsumen akhir sehingga memingkinkan sektor inimemanfaatkan hubungan langsung tersebut untukkepentingan dirinya sendiri (sektor listrik) atau bahkanlebih jauh lagi demi kepentingan perekonomian secarapertimbangan polotik sering kali melatarbclakangi danmewamai berbagai kebijakan di sektor listrik ini, tcnllasukkebijakan subsidi.

Sektor listrik sudah barang tentu mempunyai misi

tersendiri dalam mengadakan energi listrik terscbut, diantaranya yang terpenting adalah mcningkatkankcsejahteraan rakyat. Sebab listrik sudah dianggapmerupakan salah satu komponen dari kebutuhan hidupyang minimun sekalipun. Akibatnya, segala keputusanbaik tentang produksi, tansmisi maupun distribusi lebih

10) Wilayah produksi Jawa Barat dan DKI Jakarta, misalnya, telah memiliki tingkat pemanfaat.'1n kapasitas sebesar37% di tahun 1976, sehingga tidaklah mengherankan apabila wilayah ini telah mampu meningkatkannya menjadi50 % di tahun 1990 yang lalu, suatu tingkat yang dapat dikat.'1kan secara teroritis telah memanfaatkan kapasit.'1s sepe­nuhnya semata-mata karena adanya peak load period. Demikian pula dengan wilayah Jawa Timur yang telah men­capai tingkat pemanfaatan kapasitas sebcsar 48% di tahun 1984, dan menjadi 49% di tahun 1990 .

.. 11) Angka load factor scbesar ini didasarkan atas perkiraan dalam analisis biaya manfaat (cost-benefit analysis) un­tuk PLTN di Eropa, Amerika Serikat, Kanada dan Jepang. Lihat studi yang dilakukan o1eh USCEA (1992); Moynet,G., et.aI.' (1991)12) Pcrlu dicatan bahwa dampak berikut ini telah memperhitungkan peranan dan semua harga input yang sedangberlaku, selain dari volume produksi listrik, tingkat pemanfaatan kapasitas yang ada, dan kemajuan teknologi.

12

Prosiding Seminar Telaw/ogi dan Keselamatan PLTNserta Fasi/itas Nuk/ir

ban yak didasarkan pada cost effectiveness. Dalamkalkulasi ekonomi semacam ini diu:tamakan adalah total

biaya memcapai sasarannya secara effektif. Sampai sejauhini peranan sektor listrik masih terbatas lebih banyakscbagai pelaku ekonomi yang hanya mengadakan energilistrik saja, belum dalam bentuk mengadakan energilistrik yang effisien. Wilayah produksi listrik SumateraBagian Selatan merupakan wilayah yang paling effisiendibandingkan dengan wilayah produksi lainnya di Indo­nesia, bahkan telah berJangsung sejaktahun 1976 (Pasay,Budhiarso dan Putra, 1992).

Dalam era deregulasi dan debirokratisasi yang sudahberjalan sejauh ini, tampaknya pendekatan ekonomiseperti itu perJu dilakukan reorientasi ke arah pendekatanekonomi yang mengutamakan effisiensi. Di sinibagaimana mencapai sasaran tersebut menjadi titiktumpuperhatian. Mengapa pendekatan effisiensi ini menjadiamat penting? Dalam era semacam itu, kegiatan ekonomiyang paling effisien lah yang akan tetap dapat mem­pertahankan eksitensinya; sdementara yang kurangeffisien akan semakin tersisihkan. Dalam keadaan seperti

ini memang pertimbangan distribusi. Namun yang perludipertanyakan adalah persoalan apakah pertimbangandistribusi itu serdiri akan mampu menjamin kehandalanpengadaan (secured supply) energi listrik dalam masayang lebih panjang.

Menurut perkiraan saya, kalau kebijakan yangdiambil sampai sa at ini diasumsikan terus berJangsungsebagaimana adanya, maka besarnya subsidi yang di­berikan oleh pemerintah, dihitung berdasarkan berapajauh dugaan biaya rata-rata (predicted average cost) dariharga rata-rata yang akan berlaku, pasti akanmembengkak. Perkiraan ini akan memberikan gambaransejauh mana sa saran meniadakan subsidi listrik yanghendak dicapai dalam jangka panjang. Artinya, sejauhmana harga mesti dinaikkan dibandingkan dengan hargayamg akan berJakudimasa depan supaya sektor listrik inimampu mandiri tanpa harus menaggung bebanketcrgantungan pada pihak lain, termasuk pemerintah.

Betul bahwa subsdi ini akan meringankan bebankonsumen dan produsen dalam jangka pendek. Namunsubsidi yang sama dapat menjadikan bumerang bagimercka sendiri karena kehandalan pengadaan danproduksi energi listrik dalam kurun waktu yang lebihpanjang menjadi tidak terjamin oleh kemampuan sektorlistrik itusendiri. Pada akhirnya, para konsumen lah yangakan menanggung beban tersebut, termasuk social

Serpong, 9-10 Februari 1993PRSG, PPTKR - BAl'AN

marginal cost yang mesti mereka deritai, karena antrianbanyak untuk berJangganan Jistrik, dan kalaupunmendapatkan sambungan, hanya akan memperoleh dayaterpasang yang minimal, lagipula mesti mengalamipemadaman listrik bergantian, dan salah-salah dapatberakibat angka fertilitas yang membengkak pula.

Dalam kurun waktu yang lebih pendek dari itu,

pengurangan subsidi listrik dapat diarahkan padapenutupan sebahagian dari biaya rata-rata tersebut,misalnya dengan penentuan harga yang hanya sejauhmenutupi biaya marjinal (marginal cost pricing), tidaklangsung kepada average cost pricing. Sejauh manamarginal cost pricing ini mesti ditetapkan tergantungpada seberapa jauh perbedaan antara dugaan biayamarjinal (predicted marginal cost) dan harga rata-rata.

Disinilah justru salah satu dampak positif (netbenefit efffect) yang dpat dihasilakna oleh PL TN ini bagimasyarakat banyak, terutama dipulau Jawa dan Bali.Diatas telah disentuh bahwa PLTN, sebagai base-loadplant yang padat modal, akan mempunyai biaya modalyang tinggi tetapi dengan biaya operasi yang rendah.Dengan demikian selama masa hidupnya, yangdiperkirakan sekitar 30 tahun, modal yang besartersebutakan menyusut sehingga PL TN akan mampumenghasilkan energi listrik per kwh yang kompetitifdibandingkan, umpamanya, dengan PLTG combinedcycle dengan daya yang setara.

Seberapa jauh penghematan biaya yang bisaditimbulkan oleh proyek PLTN ini, kalau seandainyabase-load ini dipenuhi dengan menggunakan pembangkityang sarna dengan yang sudah ada dewasa ini, sangattergantung pada dua faktor utama. Kedua faktor tersebutadalah capital cost dan operating cost baik selama masabeban puncak (peak load period) dalam memenuhi sys­tem maximum demand. Sebab pembangunan PLTN,sebagai base-load plant, akan mengeser peranan yangdimainkan oleh peak-load plant dan intermediate-loadplant hingga kini.

Bandingkan, misalnya, harga listrik PLN per Kwhdengan biaya produksi listrik tenaga nuklir per KWhsebesar Rp. 82 di Amerika Serikat, Rp. 59 di Kanada danRp, 65 di Perancis. Perbedaan tersebut sesungguhnyamenggambarkan berapa jauh harga Jistrik dapatditurunkan di kemudian hari, denganmempertimbangkanberapa porsi PLTN dalam kapasitas terpasang secaranasional dan dengan average pricing poJicy.

DAFfAR KEPUSTAKAAN1. Adiwardojo. 1992.Prospek dan Potensi serta Persia pan Pembangunan PLTN di Indonesia, makalah ini disam­

paikan pada ceramah Pemasyarakatan teknologi Nuklir, IKIP, Yogyaklarta, 12 Desember 1992.

2. Anwar, Moh. Arsjad dan Iwan J.Azis (eds.), 1990: Prospek Perekonomian Indonesia 1990-1991 dan Pengem­

bangan Sumber Daya Manusia, Jakarta, Lembaga Penerbit, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

3. Bank Indonesia. 1992. Laporan Tahunan

13

Prosiding Seminar Teknologi dan Keselamalan PLTNserla Fasi/ilas Nuklir

Serpollg, 9-10 Februari 1993PRSG, PPTKR - BATAN

4. Berndt, E.R. dan L.R. Christensen, 1973a: "The Intrnal Structure of Fungtional Relaionship: Separability, Subti­tution and Aggregation :,dalam The Review of Economic Studies, vol. 40, Juli, hal. 403-10

5. , 1973b: "The Translog and the Subtitution of Equipment, Structures and Labor in U.S. Manufacturing1929-68", dalam Journal of Econometrics, vol. I, Maret, hal. 81-113.

6. Berndt, E.R. dan D.O. Wood,1975: Technology, Prices, and the Derived Demand for Energy", dalam Review ofEconomics and Statistic, vol. 57, Agustus, hal. 259-68.

7. Christensen, L.R.; D.W. Jorgenson; dan L.J. Lau, 1971:" Conjugate Duality and the Trangcendental LogarithmicProduction Function", dalam Econometrica, vol. 39, Juli, hal. 255-56

8. " 1973: ''Transcendental Logaritmic Production Frontiers", dalam Rev. Econ. alld StaL, vol. 55, Feb-ruary, pp. 28-45 .

9. Christensen, L.R. dan William H. Greene, 1976: "Economies of Scale in U.S. Electric Power Generation", dalam

Journal 0 Political Economy, vol. 84, no. 4, pt. I, august, pp. 655-76

10. Dowling, John M. dan AshokK.Lahiri,1990. "Growth, Structural Transfom1ation, and Consumption Behavior:Evidence from Asia", The Developing Economies, Vol. XXVIII-2, Juni.

11. Moroney, John R., (ed.), 1987 :advallces in Economics ofEnergi and Resources, vol.6, Greenwich, Conn.: JAIPress Ine.

12. Moynet. G., et.al. 1991. "General Report of the Group: Elettricity Generating Cost, Evaluation Made in 1990for Plant to be Commissioned in 2000," UNIPEDE

13. Pasay, N. Haidy A., 1988: growth, Technical Progress, Migration alld unemployment: An Empirical Studyof Wage Rigidity Model of Labor Market in Indonesia, Disertasi, University of Pittsburgh

14. Pasay, N. Haidy A. dan Gatot Arya Putra, 1992:MetodePellgukuran dan Allalisis Produksivitas Pekerja, maka­lah yang disampaikan pada Seminar Sehari :Peningkatan Daya Saing Melalui Pengembangan ProduktivitasPekerja", yang diadakan oleh Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Ball Room, HiltonInternational Hotel, Jakarta, 21 April 1992.

15. Pasay, N. Haidy A. dan Salman Taufik, 1990 : Produktivitas Pekerja di Industri Pengolahan ", dalam Anwar,Moh. Arsjad and Iwan J. Azis (1990).

16. Pasay, N. Haidy A.; dan Udi H. Pungut, 1991 : Labor Market Situation in Indonesia 1961-1989, Report SeriesA No.2 (Technical Report), DEPNAKER/UNDP/ILO, Information System for Employment Development andManpower Panning, INS/90/00 1

17. Pasay, N. Haidy A.; S.Y. TanokLdan E. Priyono, 1991 :Small Town and Rural Human Resources Developmentto Reduce Migration to Large Cities, makalah yang disampaikan untuk Lokakarya Internasional tentang "SmallTown and Rural Human Resources Development to Reduce Migration to Large Cities", yang dilaksanakan olehLembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia bekerja sama dengan ESCAP (Bangkok), Jakarta,24-27 Februari, 1992.

18. Pasay, N. Haidy.; udi H, Pungut; dan Gatot Arya Putra, 1992 :Productive Employment Expansion and Insti­tutional Entities in Indonesian Garment Industry, 1978-1987, makalah yang disampaikan pada LokakaryaIntemasional tentang "Labour Institutions and Economic Development in Asia: Theoretical Approaches andEmpirical Evidence", yang dilaksanakan oleh Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia,dan International Institute for Labour Studies (Jenewa), Sanur Beach Hotel, Bali, 4-6 Februari, 1992.

19. Stev~nson, Rodney, 1980: "Measuring Technological Bias", dalam American Economic Review, Vol. 70, No.I, Maret.

14