reaksi obat

7
FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK OBAT A. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat Tropikal Topikal berasal dari bahasa Yunani topikos yang artinya berkaitan dengan daerah permukaan tertentu. Disebutkan juga kata topikal berasal dari kata topos yang berarti lokasi atau tempat. Sehingga obat topikal diartikan sebagai obat yang digunakan atau dipakai langsung pada suatu organ yang terdapat lesi (Yanhendri dan Yenny, 2012). Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen bahan topikal yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat pembawa adalah bagian inaktif dari sediaan topikal dapat berbentuk cair atau padat yang membawa bahan aktif berkontak dengan kulit (Yanhendri dan Yenny, 2012). Farmakokinetik sediaan topikal secara umum menggambarkan perjalanan bahan aktif dalam konsentrasi tertentu yang diaplikasikan pada kulit dan kemudian diserap ke lapisan kulit, selanjutnya didistribusikan secara sistemik. Secara umum perjalanan sediaan topikal setelah diaplikasikan melewati tiga kompartemen yang dilalui obat aktif, yaitu vehikulum sebagai pembawa obat aktif, stratum korneum, dan lapisan epidermis serta dermis (Asmara dkk, 2012). Absorpsi sediaan topikal secara umum menurut Yanhendri dan Yenny (2012) akan melalui beberapa fase, yaitu: 1. Lag phase Periode ini merupakan saat sediaan dioleskan dan belum melewati stratum korneum, sehingga pada saat ini belum ditemukan bahan aktif obat dalam pembuluh darah. 2. Rising phase Fase ini dimulai saat sebagian sediaan menembus stratum korneum, kemudian memasuki kapiler dermis, sehingga dapat ditemukan dalam pembuluh darah. 3. Falling phase Fase ini merupakan fase pelepasan bahan aktif obat dari permukaan kulit dan dapat dibawa ke kapiler dermis. Sediaan topikal secara umum terdapat beberapa perbedaan mekanisme kerja disebabkan komponen sediaan yang larut dalam lemak dan larut dalam air. 1. Bedak Bedak merupakan vehikulum solid/padat yang memiliki efek mendinginkan, menyerap cairan serta mengurangi gesekan pada daerah aplikasi. Efek samping yang dapat timbul pada penggunaan bedak antara lain inhalasi bedak ke dalam saluran napas, penggumpalan bedak, iritasi, dan dapat memicu pembentukan granuloma (Yanhendri dan Yenny, 2012). 2. Salep

Upload: jamie-alvarado

Post on 27-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

farmakodinamik dan farmakokinetik

TRANSCRIPT

Page 1: reaksi obat

FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK OBAT

A. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat TropikalTopikal berasal dari bahasa Yunani topikos yang artinya berkaitan dengan daerah permukaan tertentu.

Disebutkan juga kata topikal berasal dari kata topos yang berarti lokasi atau tempat. Sehingga obat topikal diartikan sebagai obat yang digunakan atau dipakai langsung pada suatu organ yang terdapat lesi (Yanhendri dan Yenny, 2012).

Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen bahan topikal yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat pembawa adalah bagian inaktif dari sediaan topikal dapat berbentuk cair atau padat yang membawa bahan aktif berkontak dengan kulit (Yanhendri dan Yenny, 2012).

Farmakokinetik sediaan topikal secara umum menggambarkan perjalanan bahan aktif dalam konsentrasi tertentu yang diaplikasikan pada kulit dan kemudian diserap ke lapisan kulit, selanjutnya didistribusikan secara sistemik. Secara umum perjalanan sediaan topikal setelah diaplikasikan melewati tiga kompartemen yang dilalui obat aktif, yaitu vehikulum sebagai pembawa obat aktif, stratum korneum, dan lapisan epidermis serta dermis (Asmara dkk, 2012).

Absorpsi sediaan topikal secara umum menurut Yanhendri dan Yenny (2012) akan melalui beberapa fase, yaitu:

1. Lag phasePeriode ini merupakan saat sediaan dioleskan dan belum melewati stratum korneum, sehingga pada saat ini belum ditemukan bahan aktif obat dalam pembuluh darah.

2. Rising phaseFase ini dimulai saat sebagian sediaan menembus stratum korneum, kemudian memasuki kapiler dermis, sehingga dapat ditemukan dalam pembuluh darah.

3. Falling phaseFase ini merupakan fase pelepasan bahan aktif obat dari permukaan kulit dan dapat dibawa ke kapiler dermis.Sediaan topikal secara umum terdapat beberapa perbedaan mekanisme kerja disebabkan komponen

sediaan yang larut dalam lemak dan larut dalam air.1. Bedak

Bedak merupakan vehikulum solid/padat yang memiliki efek mendinginkan, menyerap cairan serta mengurangi gesekan pada daerah aplikasi. Efek samping yang dapat timbul pada penggunaan bedak antara lain inhalasi bedak ke dalam saluran napas, penggumpalan bedak, iritasi, dan dapat memicu pembentukan granuloma (Yanhendri dan Yenny, 2012).

2. SalepSalep merupakan sediaan semisolid berbahan dasar lemak ditujukan untuk kulit dan mukosa. Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi salep bergantung pada beberapa faktor, seperti kecepatan pelepasan bahan obat dari dasar salep, absorpsi obat, kemampuan mempertahankan kelembaban kulit oleh dasar salep, waktu obat stabil dalam dasar salep, pengaruh obat terhadap dasar salep (Yanhendri dan Yenny, 2012).

3. KrimKrim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Formulasi krim ada dua, yaitu sebagai emulsi air dalam minyak (W/O), misalnya cold cream, dan minyak dalam air (O/W), misalnya vanishing cream. Krim dipakai pada kelainan yang kering, superfi sial. Krim memiliki kelebihan dibandingkan salep karena nyaman, dapat dipakai di daerah lipatan dan kulit berambut (Yanhendri dan Yenny, 2012).

4. PastaPasta ialah campuran salep dan bedak sehingga komponen pasta terdiri dari bahan untuk salep misalnya vaselin dan bahan bedak seperti talcum, oxydum zincicum. Pasta merupakan salep padat,

Page 2: reaksi obat

kaku yang tidak meleleh pada suhu tubuh dan berfungsi sebagai lapisan pelindung pada bagian yang diolesi. Efek pasta lebih melekat dibandingkan salep, mempunyai daya penetrasi dan daya maserasi lebih rendah dari salep (Yanhendri dan Yenny, 2012).

B. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat Per-OralFarmakokinetik adalah poses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. 4 proses farmakokinetk

adalah absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi), ekskresi (eliminasi).1. Absorpsi

Merupakan pergerakan partikel obat dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, pinositosis. Absorpsi pasif adalah proses yang terjadi secara difusi, yaitu pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Pada absorpsi pasif, obat tidak memerlukan energy untuk menembus membran. Pinositosis adalah membawa obat menembus membrane dengan proses menelan. Absorpsi aktif adalah proses absorpsi yang mebutuhkan karier untuk bergerak melawan perbedaan konsentrasi. Contohnya adalah enzim dan protein. Membrane gastrointestinal terutama terdri dari lipid dan protein. Oleh karena itu, obat yang mempunyai sifat larut dalam lemak dapat cepat menembus membrane gastrointestinal. Sedangkan obat yang larut dalam air membutuhkan karier berupa enzim atau protein untuk melalui membrane.

Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, sres, kelaparan makanan dan pH. Rasa nyeri, stress, dan makanan yang padat, pedas dan berlemak dapat memprlambat masa pengosongan lambung sehingga obat lebih laa berada di dalam lambung. Untuk menghindarinya bias dilakukan dengan latihan, karena aliran darah akan dialihkan ke otot sehingga menurunkan sirkulasi ke sluran gastrointestinal. Beberapa obat tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik setelah absorpsi tetapi melalui lumen usus masuk ke dalam hati melalui vena porta. Di dalam hati obat dimetaolisme menjaid bentuk yang tidak aktif untuk diekskresikan. Obat yang melewati hati terlebih dahulu disebut efek first-pass.

2. DistribusiDistribusi adalah proses dimana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan tubuh. Hal ini

dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu aliran darah, afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, efek pengikatan dengan protein. Obat yang didistribusikan di dalam plasma berikatan dengan protein (albumin) dengan prsentase yang berbeda-beda. Obat yang lebih besar dari 80% beriktan dengan protein dikenal sebagai obat yang berikatan dengan tinggi protein, bagian obat yang berikatan tersebut bersifat inaktif, sedangkan yang tdak berikatan bersifat dapat bekerja bebas. Artinya hanya obat yang tidka berikatan yang bias menimbulkan respon famakologik. Ketika kadar obat bebas menurun, maka obat yang dalam ikatan akan dibebaskan ikatannya dengan protein untuk menjaga keseimbangan dari obat yang dalam bentuk bebas. Apabila terdapat dua obat yang berikatan tinggi protein diberikan bersama-sama maka terjadi persaingan untuk mendapatkan tenmpat pengikatan dengan protein, sehingga lebih banyak obat bebas yang dilepaskan ke dalam sirkulasi. Begitu juga apabila kadar protein yang rendah bisa menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan protein, sehingga meningkatan jumlah obat bebas dalam plasma. Sehingga dapat menyebabkan kelebihan dosis, toksisitas obat yang mengancam nyawa.

3. MetabolismeTempat utama untuk metabolism adalah hati. Obat diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan

ditransformasikan oleh enzim-enzim hati enjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi ada juga obat yang dimetabolisme lalu menjaid aktif. Waktu paruh (t1/2) merupakan waktu yang dibutuhkan oleh separuh konentrasi obat unuk dieliminasi. Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh ebelum lebih dari 90% obat itu dieliminasi.

4. Ekskresi Rute eliminasi obat adalah melalui ginjal, bisa juga empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat, dan air

susu ibu. Obat bebas atau obat yang laru dalam air di filtrasi oleh ginjal. Sedangkan obat yang berikatan dengan protein tidak dapat di filtrasi oleh ginjal. pH urin mempengaruhi ekskresi obat. Ruin yang asam akan meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah.

Page 3: reaksi obat

Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat. Respon obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau bahkan keduanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, sedangkan efek sekunder bisa diingikan bisa tidak. Mula kerja obat dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai keonsentrasi efektif minimum (MEC= = Minimum Effective Concentration). Puncak kerja obat terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah atau plasma. Lama kerja obat adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis.

Obat akan mengunci pada reseptor obat yang ditemukan pada membrane sel. Obat yang berikatan dengan reseptor maka obat akan memuai respon atau menghampat respon. Aktifitas dari kebannyakan obat ditentukan oleh kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor spesifik. Obat yang menghasilkan respon disebut agonis, obat yang menghambat respon disebut antagonis. Sebuah reseptor yang terdapat di tempat-tempat yang berbeda dalam tubuh menghasilkan bermacam-macam reseptor fisiologis. Contohnya reseptor-reseptor kolinergik terdapat di kandung kemih, jantung pembuluh darah, paru-paru dan mata. Sebuah obat yang merangsang atau enghambat kerja reseptor kolinergik akan bekerja pada semua letak anatomis. Obat seperti itu disebut sebagai nonspesifik atau nonspesifitas. Obat juga data bekerja pada reseptor-reseptor yang berbeda. Obat yang mempengaruhi berbagai reseptor disebut nonselektif atau memiliki non selektifitas.

Kadar obat puncak adalah konsentrasi plasma tertinggi dari sebuah obat pada waktu tertentu. Sedangkan kadar terendah adlah konsentrasi plasma terendah dari sebuah obat dan menunjukkan kecepatan eliminasi obat. Kadar puncak dan terendah dibutuhkan bagi obat-obat yang memiliki indeks terapeutik yang sempit dan dianggap toksik. Jika ingin didapatkan efek obat yang segra maka diberi dosis awal yang besar ( dosis pembebanan) dari obat tersebut diberikan untuk mencapai MEC yang cept dala plasma. Setelah dosis besar, maka diberikan dosis sesuai degan resep per hari.

Obat akan memberikan beberapa efek, salah satunya adalah efek samping. Efek samping adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek obat yang diinginkan. Efek samping bisa diinginkan bisa tidak. Efek samping terutama disebabkan oleh kurangnya spesifitas obat. Sedangkan reaksi yang merugikan merupakan batas efek yang tidak diingankan (yang tidak diharapkan dan terjadi pada dosis normal) dari obat-obat yang mengakibatkan efek samping yang ringan sampai berat. Selain itu, dapat muncul juga efek toksik yang dapat dipantau melalui pemantauan batas terapeutik obat tersebut dalam plasma.

C. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat ParenteralIstilah parenteral berasal dari bahasa Greek yaitu para yang berarti disamping, dan enteron yang berarti luas, dimana keduannya menunjukkan sesuatu yang diberikan diluar dari usus dan tidak melalui sistem saluran makanan. Istilah parental yang lain ialah injeksi. Parenteral adalah bahasa latin yang artinya diluar usus.

Obat yang diberikan dengan cara perenteral adalah sesuatu yang disuntikan melalaui lubang jarum yang runcing kedalam tubuh pada berbagai tempat dan dengan bermacam-macam kedalaman.

Biasanya dipilih sediaan melalui parenteral bila diinginkan efek yang cepat, kuat dan lengkap atau untuk obat yang merangsang atau dirusak oleh getah lambung (hormon), atau tidak di resorpsi usus (streptomisin), begitu pula pada pasien yang tidak sadar atau tidak mau bekerja sama. Keberatannya adalah lebih mahal dan nyeri, sukar digunakan oleh pasien sendiri. Selain itu, ada pula bahaya terkena unfeksi kuman (harus steril) dan bahaya merusak pembuluh atau saraf jika tempat suntikan tidak dipilih dengan tepat.

Sediaan obat melalui parenteral dapat diberikan melaui, antara lain :

a. Subkutan (hypodermal). Injeksi dibawah kulit dapat dilakukan hanya dengan obat yang tidak merangsang dan melarut baik dalam air atau minyak. Efeknya tidak secepat injeksi intramuskular atau intravena. Mudah dilakukan sendiri, misalnya insulin pada pasien penyakit gula.

b. Intrakutan (=di dalam kulit) absobsi sangat lambat, misalnya injeksi tuberkolin dari mantoux.

Page 4: reaksi obat

c. Intramuskular(i.m) dengan injeksi didalam otot, obat yang terlarut berlangsung dalam waktu 10-30 menit. Guna memperlambat resopsi dengan maksud memperpanjang kerja obat, sering kali digunakan larutan atau suspensi dalam minyak, umpamanya suspensi penisilin dan hormon kelamin. Tempat injeksi umumnya dipilih pada otot pantat yang tidak memiliki banyak pembuluh dan saraf.

d. Intravena (i.v) injeksi kedalam pembulih darah menghasilkan efek tercepat dalam waktu 18 detik, yaitu waktu satu peredaran darah, obat sudah tersebar keseluruh jaringan. Tetapi lama kerja obat biasanya hanya singkat. Cara ini digunakan untuk mencapai pentakaran yang tepat dan dapat dipercaya, atau efek yang sangat cepat dan kuat. Tidak untuk obat yang tak larut dalam air atau manimbulkan endapan dengan protein atau butiran darah.

Bahaya injeksi i.v adalah dapat mengakibatkan terganggunya zat-zat koloida darah dengan reaksi hebat, karena dengan cara ini benda asing langsung dimasukkan ke dalam sirkulasi, misalnya tekanan darah mendadak turun dan timbulnya shock. Bahaya ini lebih besar bila inkelsi dilakukan terlalu cepat, sehingga kadar obat setempat dalam darah maningkat terlalu pesat. Oleh karena itu, setiap injeksi i.v sebaiknya dilakukan dengan amat perlahan, antara 50 dan 70 detik lamanya.

e Intra-arteri, injeksi kepembuluh nadi adakalanya dilakukan untuk “membanjiri” suatu organ, misalnya hati, dengan obat yang sangat cepat diinaktifkan atau terikat pada jaringan, misalnya obat kanker nitrogenmustard..

f. Intralumbal (antara ruas tulang belakang pinggang), intraperitoneal (ke dalam ruang selaput perut), intrapleural (selaput dada), intracardial (jantung), dan intra-artikuler(ke celah-celah sendi) adalah beberapa cara injeksi lainnya untuk memasukkan obat langsung ke tempat yang diinginkan.

Absorpsi pada pemakaian parental, Pada pemberian obat secara parental ke dalam kulit, jaringan ikat subkutan atau ke dalam otot,kecepatan absorbsi sangat tergantung sangat bergantung kepada pasokan darah dari jaringan. Pasokan dari otot sebaliknya bergantung kepada aktifitas otot yang bersangkutan. Apabila bahan aktif yang disuntikkan secara intra moskular umumnya diabsorbsi dengan cepat dari otot serat lintang yang dialiri darah dengan baik, maka pada keadaan syok absorpsi sangat menurun. Pada bagian kapiler, absorbs dipermudah oleh oleh pori endotel.karena dinding kapiler demikian dengan jari-jari pori sekitar 3 µm merupakan suatu pembatas absorbsi yang lebih lemah dari lapisan epitel maka zat yang tak larut lemak,atau hidrofil dapat juga berdifusi dengan cepat melalui kapiler. Hal ini mungkin saja untuk senyawa dengan bobot molekul tinggi, sebaiknya makromolekul tidak mampu menembus dinding kapiler.

Absorpsi melalui cara perenteral tidak saja lebih cepat dari sesudah pemberian oral, tapi kadar obat dalam darah yang dihasilkan jauh lebih bisa diramalkan, karena sedikit yang hilang sesudah penyuntikan subkutan atau intrmuskular dan benar-benar tidak ada yang hilang pada penyuntikan intravena, secara umum ini juga memungkinkan pemberian dosis yang lebih cepat.

Keuntungan pemberian obat secara suntikan (parenteral) ialah : (1) efeknya timbul lebih cepat dan teratur di bandingkan dengan pemberian per oral; (2) dapat di berikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah; dan (3) sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya ialah di butuhkan cara asepsis, menyebabkan rasa nyeri, ada bahaya penularan hepatitis serum, sukar dilakukan sendiri oleh penderita, dan tidak ekonomis.

1. Pemberian intravena (IV) tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Larutan tertentu yang iritatif hanya dapat di berikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah relatif tidak sensitif dan bila di suntikan perlahan-lahan, obat segera di encerkan oleh darah. Kerugiannya ialah efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan.

Di samping itu, obat yang di suntikan IV tidak dapat di tarik kembali. Obat dalam larutan minyak yang mengendapkan konstituen darah, dan yang menyebabkan hemolisis tidak boleh di berikan dengancara ini. Penyuntikan IV harus dilakukan perlahan-lahan sambil terus mengawasi respon penderita.

Page 5: reaksi obat

2. Suntikan subkutan (SK) hanya boleh di gunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsi biasanya terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama. Obat dalam bentuk suspensi di serap lebih lambat daripada dalam bentuk larutan. Pencampuran obat dengan vasokontriktor juga akan memperlambat absorpsi obat tersebut. Obat dalam bentuk padat yang di tanamkan di bawah kulit dapat di absorpsin selama beberapa minggu atau beberapa bulan.

3. suntikan intramuskular (IM), kelarutan obat , dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air pada PH pisiologik misalnya digoksin, fenitoin dan diazepam akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air di serap cukup cepat, tergantung dari aliran darah di tempat suntikan. Absorpsi lebih cepat di deltoid atau vastus lateralis daripada di gluteus maksimus. Obat-obat dalam larutan minyak atau dalam bentuk suspensi akan di absorpsi dengan sangat lambat dan konstan (suntikan depot), misalnya penisilin. Obat yang terlalu iritatif untuk di suntikan secara SK kadang-kadang dapat di berikan secara IM.

4. Suntikan intratekal, yakni suntikan langsung ke dalam ruang subaraknoid spinal atau pengobatan infeksi SSP yang akut. Suntikan intratekal tidak dilakukan pada karena bahaya infeksi dan adesi terlalu besar.