referat difteria
TRANSCRIPT
DIFTERIA
Difteria adalah infeksi toksin akut yang disebabkan oleh spesies dari Corynebacterium,
khususnya Corynebacterium diptheriae dan jarang disebabkan oleh strain dari
Corynebacterium ulcerans.1 Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,
disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran
pada kulit dan atau mukosa.2 Penyakit difteria merupakan penyakit yang dapat dicegah
dengan pemberian imunisasi (PD3I).3
A. Etiologi
Corynebacterium diphtheriae merupakan kuman batang Gram-positif, tidak bergerak,
pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60oC, tahan
dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan
palisade, bentuk V, L atau Y, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf Cina.2,4
Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media
yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.
Diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,
glukosa, maltosa dan sukrosa.2
Kuman C. diphtheriae merupakan satu-satunya spesies dari genus Corynebacterium yang
bersifat patogen bagi manusia. Ketiga biotip C. diphtheriae adalah gravis, mitis dan
intermedius. Nama-nama ini diberikan berdasarkan beratnya penyakit yang ditimbulkannya
(gravis = berat/parah; mitis = lunak/ringan; intermedius = pertengahan). Kini nama-nama ini
sudah tidak sesuai lagi mengingat terdapatnya strain-strain baik yang toksigenik maupun
yang tidak pada ketiga biotip tersebut, tetapi nama-nama ini masih dipergunakan karena
penting dalam identifikasi seperti dalam morfologi kuman, morfologi sel serta sifat-sifat
biokimiawi yang berguna dalam epidemiologi.2,4
Ciri khas C. diptheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo
maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62 kD, tidak
tahan panas / cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino terminal) dan fragmen
B (karboksi terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk / memproduksi toksin
dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C. diptheriae yang
terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.2
1
2
B. Epidemiologi
Tidak seperti kuman diptheroid lainnya, yang tersebar di alam, C. diptheriae merupakan
kuman yang hidup pada membran mukosa dan kulit manusia. Penularan disebarkan melalui
airborne droplet, kontak langsung dengan sekresi respiratorik dari penderita. Karier
asimtomatis respiratorik juga berperan penting dalam penularannya. Pada waktu difteria
endemis, 3-5% orang sehat bisa membawa organisme yang toksigenik. Infeksi kulit dan
karier kulit merupakan silent reservoir dari C. diptheriae dan kuman ini dapat bertahan hidup
dalam debu atau fomites sampai dengan 6 bulan.1
Pada tahun 1920, lebih dari 250.000 kasus difteria dengan kematian 10.000 kasus
dilaporkan di Amerika Serikat dengan tingkat fatalitas tertinggi pada anak kecil dan pada
lansia. Insidensi difteria menurun dengan meluasnya penyebaran toksoid diptheriae di
Amerika Serikat setelah Perang Dunia II, menurun dengan tetap pada akhir tahun 1970-an.
Sejak saat itu, ≤ 5 kasus terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat dengan tidak adanya
difteria traktus respiratorik epidemik. Penurunan juga terjadi di Eropa. Meskipun insidensi
penyakit ini menurun di seluruh dunia, namun difteria masih terjadi pada negara berkembang
dengan tingkat imunisasi yang buruk dalam melawan difteria.1
Pada waktu terjadinya endemis difteria, terutama menyerang anak < 15 tahun. dengan
diperkenalkannya imunisasi toxoid, penyakit ini berpindah ke orang dewasa yang tidak
memiliki kekebalan alami terhadap C. diptheriae yang toksigenik pada era vaksin dan pada
individu yang memiliki tingkat booster imunisasi yang rendah.1
Difteria kulit merupakan hal yang ditakutkan bila terdapatnya difteria, berperan pada
lebih dari 50% dari C. diptheriae yang diisolasi di Amerika Serikat pada tahun 1975. Fokal
infeksi indolent ini bila dibandingkan dengan infeksi mukosal, berhubungan dengan
perkembangan bakteri yang lama, peningkatan kontaminasi lingkungan, dan meningkatnya
transmisi ke faring dan kontak kulit. Epidemi yang terjadi dihubungkan dengan tuna wisma,
padatnya lingkungan tempat tinggal, kemiskinan, alkoholisme, hygiene yang buruk, makanan
yang terkontaminasi, penyakit kulit yang mendasari, dan pengenalan strain baru dari sumber
eksogen.1 Pada suatu saat ketika angka kejadian difteria faucial di beberapa negara mulai
memudar, difteria kulit dilaporkan meningkat. Hal yang penting bahwa dalam suatu populasi
tertentu dengan karier kulit dalam proporsi yang cukup tinggi terdapat kekebalan terhadap
difteria fausial, namun sebaliknya berperan pula dalam terjadinya wabah difteria faucial.2
3
C. Patogenesis
C. diptheriae yang toksigenik maupun yang non-toksigenik menyebabkan infeksi kulit
dan mukosa, jarang menyebabkan fokal infeksi setelah terjadinya bakterimia. Bakteri ini
biasanya terdapat pada lapisan superfisial dari lesi kulit atau mukosa traktus respiratorik dan
menyebabkan terjadinya peradangan lokal. Virulensi utama dari bakteri ini yaitu dengan
membentuk eksotoksin polipeptida poten 62 kD yang bisa menghambat sintesis protein dan
menyebabkan nekrosis jaringan lokal. Pada beberapa hari pertama infeksi traktus
respiratorius (biasanya pada faring), koagulan padat dari bakteri ini, sel epitel, fibrin,
leukosit, berwarna kemerahan yang akan berubah menjadi coklat kelabu, yang dikenal
sebagai pseudomembran. Melepas membran ini sulit dan menyebabkan perdarahan. Paralisis
dari palatum dan hipofaring merupakan awal dari efek lokal toksin. Penyerapan toksin bisa
menyebabkan manifestasi sistemik: kidney tubular necrosis, trombositopenia, kardiomiopati,
dan atau demielinisasi saraf. Dua komplikasi terakhir di atas bisa terjadi setelah 2 sampai 10
minggu pasca infeksi mukokutan, patofisiologi pada beberapa kasus dikaitkan dengan adanya
mediasi imunologi.1
Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam
sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah
diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian
asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai
dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan
pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. proses
translokasi ini memerlukan enzim translokase (elongation factor-2) yang aktif. Toksin difteria
mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen
A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses: NAD+EF2
(aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotimanid ADF-ribosil-EF2 yang inaktif
ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian
polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons, terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan jaringan
nekrotik membentuk eksudat yang semula mudah dilepas.2
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri.
Membran dan jaringan edematus dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan atau
sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeo-bronkus.
4
D. Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa
gejala sampai keadaan atau penyakitt yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer
adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphteriae
(kemampuan kuman membentuk toksin) dan lokasi penyakit secara anatomis.1,2 Difteria
mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari
menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebih 38,9OC dan keluhan serta gejala lain
tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.2
D.1. Difteria Traktus Respiratorius
Fokus infeksi primer yang sering yaitu terdapat pada tonsil atau pharynx kemudian
hidung dan larynx. Setelah 2-4 hari masa inkubasi, tanda dan gejala lokal dari peradangan
muncul. Infeksi dari nares anterior lebih sering terjadi pada bayi, menyebabkan sekret
serosanguinis, purulen dan rhinitis erosiva dengan pembentukan membran. Ulkus dangkal
dari nares eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan
pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan gejala yang pertama kali muncul, separuh dari
pasien memiliki gejala demam, dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak, malaise
atau sakit kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan membran tonsilar
baik uni maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis yang
dimediasi oleh toksin), palatum molle, oropharynx posterior, hypopharynx, atau area glotis.1
D.1.1. Difteria Hidung2
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan
tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus
dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala
sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
D.1.2. Difteria Tonsil Faring2
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan.
Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat
menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke
laring dan trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi
limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema
5
jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat
penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan dan
sirkulasi. Dapat terjadi paralisi palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran
menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit
miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan
biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
D.1.3. Difteria Laring2
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria faring primer
gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang
rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih
mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain,
seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi
laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi
pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus
berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi
sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia.
D.2. Difteria Kulit
Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan ulkus superficial,
ektimic, indolent dengan membran coklat kelabu di atasnya.1,2 Kulit infeksi difteritik tidak
selalu bisa dibedakan dari impetigo akibat stapyllococcus / streptococcus dan biasanya
bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada kebanyakan kasus, proses primer seperti dermatosis,
laserasi, terbakar, tersengat atau impetigo mendapatkan infeksi sekunder oleh C. diphteriae.
Ekstremitas lebih sering terkena daripada leher atau kepala. Nyeri, tegang, eritema dan
eksudasi merupakan keluhan yang biasa terjadi. Yang tidak biasa terjadi yaitu hiperestesia
atau hipestesia lokal. Infeksi simtomatik atau kolonisasi kuman di traktus respiratorius
dengan komplikasi toksin terjadi pada sebagian kecil penderita difteria kulit.1
6
D.3. Difteria pada Lokasi Lain
C. diphteriae biasanya menyebabkan infeksi mukokutaneus pada tempat lain, seperti di
telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif konjungtivitis) dan traktus genitalis
(purulen dan ulseratif vulvovaginitis). Tanda klinis di mana ulserasi, pembentukan membran
dan perdarahan submukosa membantu dalam membedakan difteria dari penyebab bakteri lain
dan virus.1 Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan
membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret
purulen dan berbau.2
E. Diagnosis
Diagnosis difteria ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, oleh karena penundaan
pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Penentuan kuman difteria dengan pewarnaan
Gram secara langsung kurang dapat dipercaya.1,2 Cara yang lebih akurat adalah dengan
identifikasi secara flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.2
Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphteriae dengan pembiakan pada media Loeffler
dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).2
F. Diagnosis Banding2
Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common
cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital).
Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsilitis mebranosa akut yang disebabkan oleh
Streptokokus (tonsilitas akut, septic sore throat), mononukleosis infeksiosa, tonsilitis
membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca
tonsilektomi.
Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai infectious
croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda
asing dalam laring.
Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus atau stafilokokus.
7
G. Penyulit
Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas
eksotoksin. Maka penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam obstruksi jalan nafas, dampak
eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf dan ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.2
a. Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria atau
oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.
b. Dampak toksin, dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis
yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada
pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin. Pada umumnya penyulit atau
lebih lambat pada minggu ke-2, tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih
lambat pada minggu ke-6. Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung
redup, terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung. Kelainan
pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST, perpanjangan interval
PR, dan heart block.
Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama mengenai saraf
motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada palatum molle pada
minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan.
Paralisis otot mata biasanya terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara
minggu ke-5 dan ke-7.
Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon
reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor serebrospinal. Paralisis diafragma dapat
terjadi pada minggu ke-5 dan ke-7 sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat
menyebabkan kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi
kelumpuhan pada pusat vasomotor dan terjadi hipotensi dan gagal jantung.
c. Infeksi sekunder bakteri, setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit ini
sudah sangat jarang terjadi.
H. Prognosis2,5
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik daripada
sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Di Indonesia pada daerah
kantong yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis
buruk. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh
karena (1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteria, (2)
8
Adanya miokarditis dan gagal jantung, dan (3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis
nervus frenikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit
difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah
dilaporkan kelainan jantung yang menetap.
I. Imunisasi
Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria
sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3 minggu. Sedangkan
imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta
imunisasi toksoid difteria. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji
Moloney.
Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan (suseptibilitas) seseorang terhadap difteria.
Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan toksin difteria yang dilemahkan secara
intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan (tidak mempunyai antitoksin), toksin akan
menimbulkan nekrosis jaringan, maka hasil disebut positif. Demikian sebaliknya, apabila
seseorang mempunyai antitoksin, tidak menimbulkan reaksi dan hasil dinyatakan negatif.
Uji kepekaan Moloney lebih menentukan sensitivitas terhadap produk bakteri dari basil
difteria. Dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan toksoid difteria secara intradermal.
Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm, yang berarti bahwa seseorang
tersebut telah mempunyai “pengalaman” dengan basil difteria sebelumnya sehingga terjadi
reaksi hiperssensitivitas. Kerugian uji kepekaan Moloney, toksoid difteria bisa
mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.
J. Pengobatan1,2
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria.
J.1. Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah
9
baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus
pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan humidifier.
J.2. Khusus
1. Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)2
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan
penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai
30%.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh
karena pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan
adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL ADS dakam
larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit trejadi
indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam
garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20
menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata
positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas
tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS
ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada
berat badan pasien, berkisar antara 20.000 – 120.000 KI. Pemberian ADS intravena dalam
larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat / reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan
selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas
lambat (serum sickness).
10
Tabel Dosis ADS menurut Lokasi Membran dan Lama SakitTipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara PemberianDifteria Hidung 20.000 IntramuskularDifteria Tonsil 40.000 Intramuskular atau IntravenaDifteria Faring 40.000 Intramuskular atau IntravenaDifteria Laring 40.000 Intramuskular atau IntravenaKombinasi Lokasi di atas 80.000 IntravenaDifteria + penyulit, bullneck
80.000 – 120.000 Intravena
Terlambat berobat (> 72 jam), lokasi di mana saja
80.000 – 120.000 Intravena
Dikutip dari Tabel 5. Hal 319. (2)
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh
bakteri dan menghentikan produksi toksin.1,2 Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin
(40-50 mg/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari),
Penisilin V Oral 125-250 mg, 4 kali sehari5, kristal aqueous pensilin G (100.000 – 150.000
U/kg/hari, dosis terbagi setiap 6 jam IV atau IM), atau Penisilin prokain (25.000-50.000
IU/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 12 jam IM).1 Terapi diberikan untuk 14 hari. Beberapa
pasien dengan difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari. Eliminasi bakteri harus
dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif dari hidung dan tenggorokan (atau
kulit) yang diambil 24 jam setelah terapi selesai. Terapi dengan eritromisin diulang apabila
hasil kultur didapatkan C. diphteriae.1
3. Kortikosteroid2
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
- Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)
- Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah
miokarditis ternyata tidak terbukti.
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap.
11
J.3. Pengobatan Penyulit2
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit
yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
J.4. Pengobatan Kontak1,2
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut
terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai
masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah
mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
J.5. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif
tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama
satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi.
Tabel Pengobatan terhadap Kontak DifteriaBiakan Uji Schick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi: anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier: penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasiDikutip dari Tabel 6 Hal 320 (2)
K. Pencegahan2
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seorang anak menderita difteria,
kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara
khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat
imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau
menderita difteria ringan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buescher, E Stephen. 2007. Diphtheria in Nelson Textbook of Pediatrics 18th Chapter
186. USA: Saunders
2. Anonim. 2010. Difteria pada Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Hal 312-21.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI
3. Lubis, Bidasari. 2005. Penelitian Status Imunitas terhadap Penyakit Difteri dengan
Schick Test pada Anak Sekolah Taman Kanak-kanak Kotamadya Medan pada
Repository Universitas Sumatera Utara 2005. Medan: eUSU
4. Abdul Rahim, Mathilda Lintong, Suharto dan Suharno Josodiwondo. 1994.
Corynebacterium pada Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran edisi Revisi Hal. 128-9.
Jakarta: Binarupa Aksara.
5. Wharton, Melinda. 2004. Diphtheria in Krugman's Infectious Diseases of Children,
11th ed. USA: Mosby.
12
DAFTAR ISI
Cover…………………………………………………………………………………… i
Kata Pengantar…………………………………………………………………………. ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………………. iii
Difteria ……………………………………………………………………………….... 1
A. Etiologi……………………………………………………………………………... 1
B. Epidemiologi …………………………………………………………………….… 2
C. Patogenesis ……………………………………………………………………..….. 3
D. Manifestasi Klinis…………………………………………………………………... 4
D.1. Difteria Traktus Respiratorius …...……………………………………..……. 4
D.1.1. Difteria Hidung ……………………………………………….……… 4
D.1.2. Difteria Tonsil Faring…………………………………………..…….. 4
D.1.3. Difteria Laring …………………………………………………..…… 5
D.2. Difteria Kulit…………………………………………………………………. 5
D.3. Difteria pada Lokasi Lain ……………………………………………………. 6
E. Diagnosis……………………….……………………………………………………6
F. Diagnosis Banding…………………………………………………………………. 6
G. Penyulit …………………………………………………………………………….. 7
H. Prognosis…………………………………………………………………………… 7
I. Imunisasi…………………………………………………………………………… 8
J. Pengobatan ………………………………………………………………………… 8
J.1. Umum………………………………………………………………………… 8
J.2. Khusus………………………………………………………………………... 9
J.3. Pengobatan Penyulit …………………………………………………………. 10
J.4. Pengobatan Kontak ………………………………………………………….. 11
J.5. Pengobatan Karier …………………………………………………………… 11
K. Pencegahan ………………………………………………………………………… 11
iii
DIFTERIA
REFERAT
diajukan guna memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso
Periode 7 Juni 2010 –14 Agustus 2010
Disusun oleh:RUDY
406090067
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA2010
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul “Difteria” ini
dengan baik. Referat ini disusun untuk memperluas wacana, bagi saya khususnya, dan bagi
semua pihak yang membaca referat ini pada umumnya. Referat ini juga disusun untuk
melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak, di RSPI Sulianti Saroso, pada
periode 7 Juni 2010 – 14 Agustus 2010.
Terima kasih yang sebesar-besarnya saya haturkan kepada dr. Dyani
Kusumowardani, SpA, atas bimbingan dan kebijaksanaannya selama saya mengikuti
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSPI Sulianti Saroso.
Dengan segala keterbatasan kemampuan dan pengetahuan, saya menyadari bahwa
referat ini amatlah jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik dari semua pihak
yang membaca referat ini, pada umumnya dan dari dr. Dyani Kusumowardani, SpA pada
khususnya amatlah saya harapkan demi kelengkapan dan kesempurnaan referat ini.
Jakarta, Juli 2010
Penuli
s