referat difteria

26
DIFTERIA Difteria adalah infeksi toksin akut yang disebabkan oleh spesies dari Corynebacterium, khususnya Corynebacterium diptheriae dan jarang disebabkan oleh strain dari Corynebacterium ulcerans. 1 Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan atau mukosa. 2 Penyakit difteria merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi (PD3I). 3 A. Etiologi Corynebacterium diphtheriae merupakan kuman batang Gram-positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60 o C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk V, L atau Y, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf Cina. 2,4 Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C. Diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa dan sukrosa. 2 Kuman C. diphtheriae merupakan satu-satunya spesies dari genus Corynebacterium yang bersifat patogen bagi manusia. Ketiga biotip C. diphtheriae adalah gravis, mitis dan intermedius. Nama- nama ini diberikan berdasarkan beratnya penyakit yang 1

Upload: eternalasa

Post on 23-Jun-2015

272 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Difteria

DIFTERIA

Difteria adalah infeksi toksin akut yang disebabkan oleh spesies dari Corynebacterium,

khususnya Corynebacterium diptheriae dan jarang disebabkan oleh strain dari

Corynebacterium ulcerans.1 Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,

disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran

pada kulit dan atau mukosa.2 Penyakit difteria merupakan penyakit yang dapat dicegah

dengan pemberian imunisasi (PD3I).3

A. Etiologi

Corynebacterium diphtheriae merupakan kuman batang Gram-positif, tidak bergerak,

pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60oC, tahan

dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan

palisade, bentuk V, L atau Y, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf Cina.2,4

Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media

yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.

Diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan

kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,

glukosa, maltosa dan sukrosa.2

Kuman C. diphtheriae merupakan satu-satunya spesies dari genus Corynebacterium yang

bersifat patogen bagi manusia. Ketiga biotip C. diphtheriae adalah gravis, mitis dan

intermedius. Nama-nama ini diberikan berdasarkan beratnya penyakit yang ditimbulkannya

(gravis = berat/parah; mitis = lunak/ringan; intermedius = pertengahan). Kini nama-nama ini

sudah tidak sesuai lagi mengingat terdapatnya strain-strain baik yang toksigenik maupun

yang tidak pada ketiga biotip tersebut, tetapi nama-nama ini masih dipergunakan karena

penting dalam identifikasi seperti dalam morfologi kuman, morfologi sel serta sifat-sifat

biokimiawi yang berguna dalam epidemiologi.2,4

Ciri khas C. diptheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo

maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62 kD, tidak

tahan panas / cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino terminal) dan fragmen

B (karboksi terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk / memproduksi toksin

dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C. diptheriae yang

terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.2

1

Page 2: Referat Difteria

2

B. Epidemiologi

Tidak seperti kuman diptheroid lainnya, yang tersebar di alam, C. diptheriae merupakan

kuman yang hidup pada membran mukosa dan kulit manusia. Penularan disebarkan melalui

airborne droplet, kontak langsung dengan sekresi respiratorik dari penderita. Karier

asimtomatis respiratorik juga berperan penting dalam penularannya. Pada waktu difteria

endemis, 3-5% orang sehat bisa membawa organisme yang toksigenik. Infeksi kulit dan

karier kulit merupakan silent reservoir dari C. diptheriae dan kuman ini dapat bertahan hidup

dalam debu atau fomites sampai dengan 6 bulan.1

Pada tahun 1920, lebih dari 250.000 kasus difteria dengan kematian 10.000 kasus

dilaporkan di Amerika Serikat dengan tingkat fatalitas tertinggi pada anak kecil dan pada

lansia. Insidensi difteria menurun dengan meluasnya penyebaran toksoid diptheriae di

Amerika Serikat setelah Perang Dunia II, menurun dengan tetap pada akhir tahun 1970-an.

Sejak saat itu, ≤ 5 kasus terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat dengan tidak adanya

difteria traktus respiratorik epidemik. Penurunan juga terjadi di Eropa. Meskipun insidensi

penyakit ini menurun di seluruh dunia, namun difteria masih terjadi pada negara berkembang

dengan tingkat imunisasi yang buruk dalam melawan difteria.1

Pada waktu terjadinya endemis difteria, terutama menyerang anak < 15 tahun. dengan

diperkenalkannya imunisasi toxoid, penyakit ini berpindah ke orang dewasa yang tidak

memiliki kekebalan alami terhadap C. diptheriae yang toksigenik pada era vaksin dan pada

individu yang memiliki tingkat booster imunisasi yang rendah.1

Difteria kulit merupakan hal yang ditakutkan bila terdapatnya difteria, berperan pada

lebih dari 50% dari C. diptheriae yang diisolasi di Amerika Serikat pada tahun 1975. Fokal

infeksi indolent ini bila dibandingkan dengan infeksi mukosal, berhubungan dengan

perkembangan bakteri yang lama, peningkatan kontaminasi lingkungan, dan meningkatnya

transmisi ke faring dan kontak kulit. Epidemi yang terjadi dihubungkan dengan tuna wisma,

padatnya lingkungan tempat tinggal, kemiskinan, alkoholisme, hygiene yang buruk, makanan

yang terkontaminasi, penyakit kulit yang mendasari, dan pengenalan strain baru dari sumber

eksogen.1 Pada suatu saat ketika angka kejadian difteria faucial di beberapa negara mulai

memudar, difteria kulit dilaporkan meningkat. Hal yang penting bahwa dalam suatu populasi

tertentu dengan karier kulit dalam proporsi yang cukup tinggi terdapat kekebalan terhadap

difteria fausial, namun sebaliknya berperan pula dalam terjadinya wabah difteria faucial.2

Page 3: Referat Difteria

3

C. Patogenesis

C. diptheriae yang toksigenik maupun yang non-toksigenik menyebabkan infeksi kulit

dan mukosa, jarang menyebabkan fokal infeksi setelah terjadinya bakterimia. Bakteri ini

biasanya terdapat pada lapisan superfisial dari lesi kulit atau mukosa traktus respiratorik dan

menyebabkan terjadinya peradangan lokal. Virulensi utama dari bakteri ini yaitu dengan

membentuk eksotoksin polipeptida poten 62 kD yang bisa menghambat sintesis protein dan

menyebabkan nekrosis jaringan lokal. Pada beberapa hari pertama infeksi traktus

respiratorius (biasanya pada faring), koagulan padat dari bakteri ini, sel epitel, fibrin,

leukosit, berwarna kemerahan yang akan berubah menjadi coklat kelabu, yang dikenal

sebagai pseudomembran. Melepas membran ini sulit dan menyebabkan perdarahan. Paralisis

dari palatum dan hipofaring merupakan awal dari efek lokal toksin. Penyerapan toksin bisa

menyebabkan manifestasi sistemik: kidney tubular necrosis, trombositopenia, kardiomiopati,

dan atau demielinisasi saraf. Dua komplikasi terakhir di atas bisa terjadi setelah 2 sampai 10

minggu pasca infeksi mukokutan, patofisiologi pada beberapa kasus dikaitkan dengan adanya

mediasi imunologi.1

Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam

sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah

diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian

asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai

dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan

pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. proses

translokasi ini memerlukan enzim translokase (elongation factor-2) yang aktif. Toksin difteria

mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen

A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses: NAD+EF2

(aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotimanid ADF-ribosil-EF2 yang inaktif

ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian

polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah

kolonisasi kuman. Sebagai respons, terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan jaringan

nekrotik membentuk eksudat yang semula mudah dilepas.2

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri.

Membran dan jaringan edematus dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan atau

sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeo-bronkus.

Page 4: Referat Difteria

4

D. Manifestasi Klinis

Tergantung pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa

gejala sampai keadaan atau penyakitt yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer

adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphteriae

(kemampuan kuman membentuk toksin) dan lokasi penyakit secara anatomis.1,2 Difteria

mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari

menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebih 38,9OC dan keluhan serta gejala lain

tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.2

D.1. Difteria Traktus Respiratorius

Fokus infeksi primer yang sering yaitu terdapat pada tonsil atau pharynx kemudian

hidung dan larynx. Setelah 2-4 hari masa inkubasi, tanda dan gejala lokal dari peradangan

muncul. Infeksi dari nares anterior lebih sering terjadi pada bayi, menyebabkan sekret

serosanguinis, purulen dan rhinitis erosiva dengan pembentukan membran. Ulkus dangkal

dari nares eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan

pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan gejala yang pertama kali muncul, separuh dari

pasien memiliki gejala demam, dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak, malaise

atau sakit kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan membran tonsilar

baik uni maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis yang

dimediasi oleh toksin), palatum molle, oropharynx posterior, hypopharynx, atau area glotis.1

D.1.1. Difteria Hidung2

Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan

tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus

dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan

tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala

sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.

D.1.2. Difteria Tonsil Faring2

Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan.

Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat

menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke

laring dan trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi

limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema

Page 5: Referat Difteria

5

jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat

penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan dan

sirkulasi. Dapat terjadi paralisi palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran

menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.

Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit

miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan

biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

D.1.3. Difteria Laring2

Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria faring primer

gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang

rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih

mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain,

seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi

laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi

pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus

berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi

sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala

obstruksi dan toksemia.

D.2. Difteria Kulit

Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan ulkus superficial,

ektimic, indolent dengan membran coklat kelabu di atasnya.1,2 Kulit infeksi difteritik tidak

selalu bisa dibedakan dari impetigo akibat stapyllococcus / streptococcus dan biasanya

bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada kebanyakan kasus, proses primer seperti dermatosis,

laserasi, terbakar, tersengat atau impetigo mendapatkan infeksi sekunder oleh C. diphteriae.

Ekstremitas lebih sering terkena daripada leher atau kepala. Nyeri, tegang, eritema dan

eksudasi merupakan keluhan yang biasa terjadi. Yang tidak biasa terjadi yaitu hiperestesia

atau hipestesia lokal. Infeksi simtomatik atau kolonisasi kuman di traktus respiratorius

dengan komplikasi toksin terjadi pada sebagian kecil penderita difteria kulit.1

Page 6: Referat Difteria

6

D.3. Difteria pada Lokasi Lain

C. diphteriae biasanya menyebabkan infeksi mukokutaneus pada tempat lain, seperti di

telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif konjungtivitis) dan traktus genitalis

(purulen dan ulseratif vulvovaginitis). Tanda klinis di mana ulserasi, pembentukan membran

dan perdarahan submukosa membantu dalam membedakan difteria dari penyebab bakteri lain

dan virus.1 Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan

membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret

purulen dan berbau.2

E. Diagnosis

Diagnosis difteria ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, oleh karena penundaan

pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Penentuan kuman difteria dengan pewarnaan

Gram secara langsung kurang dapat dipercaya.1,2 Cara yang lebih akurat adalah dengan

identifikasi secara flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.2

Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphteriae dengan pembiakan pada media Loeffler

dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).2

F. Diagnosis Banding2

Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common

cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital).

Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsilitis mebranosa akut yang disebabkan oleh

Streptokokus (tonsilitas akut, septic sore throat), mononukleosis infeksiosa, tonsilitis

membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca

tonsilektomi.

Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai infectious

croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda

asing dalam laring.

Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh

streptokokus atau stafilokokus.

Page 7: Referat Difteria

7

G. Penyulit

Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas

eksotoksin. Maka penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam obstruksi jalan nafas, dampak

eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf dan ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.2

a. Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria atau

oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.

b. Dampak toksin, dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis

yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada

pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin. Pada umumnya penyulit atau

lebih lambat pada minggu ke-2, tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih

lambat pada minggu ke-6. Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung

redup, terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung. Kelainan

pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST, perpanjangan interval

PR, dan heart block.

Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama mengenai saraf

motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada palatum molle pada

minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan.

Paralisis otot mata biasanya terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara

minggu ke-5 dan ke-7.

Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon

reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor serebrospinal. Paralisis diafragma dapat

terjadi pada minggu ke-5 dan ke-7 sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat

menyebabkan kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi

kelumpuhan pada pusat vasomotor dan terjadi hipotensi dan gagal jantung.

c. Infeksi sekunder bakteri, setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit ini

sudah sangat jarang terjadi.

H. Prognosis2,5

Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik daripada

sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Di Indonesia pada daerah

kantong yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis

buruk. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh

karena (1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteria, (2)

Page 8: Referat Difteria

8

Adanya miokarditis dan gagal jantung, dan (3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis

nervus frenikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit

difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah

dilaporkan kelainan jantung yang menetap.

I. Imunisasi

Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria

sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3 minggu. Sedangkan

imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta

imunisasi toksoid difteria. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji

Moloney.

Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan (suseptibilitas) seseorang terhadap difteria.

Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan toksin difteria yang dilemahkan secara

intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan (tidak mempunyai antitoksin), toksin akan

menimbulkan nekrosis jaringan, maka hasil disebut positif. Demikian sebaliknya, apabila

seseorang mempunyai antitoksin, tidak menimbulkan reaksi dan hasil dinyatakan negatif.

Uji kepekaan Moloney lebih menentukan sensitivitas terhadap produk bakteri dari basil

difteria. Dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan toksoid difteria secara intradermal.

Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm, yang berarti bahwa seseorang

tersebut telah mempunyai “pengalaman” dengan basil difteria sebelumnya sehingga terjadi

reaksi hiperssensitivitas. Kerugian uji kepekaan Moloney, toksoid difteria bisa

mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.

J. Pengobatan1,2

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat

secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi

C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit

difteria.

J.1. Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2

kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah

Page 9: Referat Difteria

9

baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus

pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan

menggunakan humidifier.

J.2. Khusus

1. Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)2

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian

antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan

penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai

30%.

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh

karena pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan

adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL ADS dakam

larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit trejadi

indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam

garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20

menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata

positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas

tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS

ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada

berat badan pasien, berkisar antara 20.000 – 120.000 KI. Pemberian ADS intravena dalam

larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap

kemungkinan efek samping obat / reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan

selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas

lambat (serum sickness).

Page 10: Referat Difteria

10

Tabel Dosis ADS menurut Lokasi Membran dan Lama SakitTipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara PemberianDifteria Hidung 20.000 IntramuskularDifteria Tonsil 40.000 Intramuskular atau IntravenaDifteria Faring 40.000 Intramuskular atau IntravenaDifteria Laring 40.000 Intramuskular atau IntravenaKombinasi Lokasi di atas 80.000 IntravenaDifteria + penyulit, bullneck

80.000 – 120.000 Intravena

Terlambat berobat (> 72 jam), lokasi di mana saja

80.000 – 120.000 Intravena

Dikutip dari Tabel 5. Hal 319. (2)

2. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh

bakteri dan menghentikan produksi toksin.1,2 Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin

(40-50 mg/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari),

Penisilin V Oral 125-250 mg, 4 kali sehari5, kristal aqueous pensilin G (100.000 – 150.000

U/kg/hari, dosis terbagi setiap 6 jam IV atau IM), atau Penisilin prokain (25.000-50.000

IU/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 12 jam IM).1 Terapi diberikan untuk 14 hari. Beberapa

pasien dengan difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari. Eliminasi bakteri harus

dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif dari hidung dan tenggorokan (atau

kulit) yang diambil 24 jam setelah terapi selesai. Terapi dengan eritromisin diulang apabila

hasil kultur didapatkan C. diphteriae.1

3. Kortikosteroid2

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.

Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.

- Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)

- Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah

miokarditis ternyata tidak terbukti.

Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap.

Page 11: Referat Difteria

11

J.3. Pengobatan Penyulit2

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit

yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta

gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

J.4. Pengobatan Kontak1,2

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut

terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai

masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah

mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.

J.5. Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif

tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan

adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama

satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi.

Tabel Pengobatan terhadap Kontak DifteriaBiakan Uji Schick Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi: anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria

(+) (-) Pengobatan karier: penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu

(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasiDikutip dari Tabel 6 Hal 320 (2)

K. Pencegahan2

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan

tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seorang anak menderita difteria,

kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara

khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat

imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian

memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau

menderita difteria ringan.

Page 12: Referat Difteria

DAFTAR PUSTAKA

1. Buescher, E Stephen. 2007. Diphtheria in Nelson Textbook of Pediatrics 18th Chapter

186. USA: Saunders

2. Anonim. 2010. Difteria pada Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Hal 312-21.

Jakarta: Badan Penerbit IDAI

3. Lubis, Bidasari. 2005. Penelitian Status Imunitas terhadap Penyakit Difteri dengan

Schick Test pada Anak Sekolah Taman Kanak-kanak Kotamadya Medan pada

Repository Universitas Sumatera Utara 2005. Medan: eUSU

4. Abdul Rahim, Mathilda Lintong, Suharto dan Suharno Josodiwondo. 1994.

Corynebacterium pada Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran edisi Revisi Hal. 128-9.

Jakarta: Binarupa Aksara.

5. Wharton, Melinda. 2004. Diphtheria in Krugman's Infectious Diseases of Children,

11th ed. USA: Mosby.

12

Page 13: Referat Difteria

DAFTAR ISI

Cover…………………………………………………………………………………… i

Kata Pengantar…………………………………………………………………………. ii

Daftar Isi ………………………………………………………………………………. iii

Difteria ……………………………………………………………………………….... 1

A. Etiologi……………………………………………………………………………... 1

B. Epidemiologi …………………………………………………………………….… 2

C. Patogenesis ……………………………………………………………………..….. 3

D. Manifestasi Klinis…………………………………………………………………... 4

D.1. Difteria Traktus Respiratorius …...……………………………………..……. 4

D.1.1. Difteria Hidung ……………………………………………….……… 4

D.1.2. Difteria Tonsil Faring…………………………………………..…….. 4

D.1.3. Difteria Laring …………………………………………………..…… 5

D.2. Difteria Kulit…………………………………………………………………. 5

D.3. Difteria pada Lokasi Lain ……………………………………………………. 6

E. Diagnosis……………………….……………………………………………………6

F. Diagnosis Banding…………………………………………………………………. 6

G. Penyulit …………………………………………………………………………….. 7

H. Prognosis…………………………………………………………………………… 7

I. Imunisasi…………………………………………………………………………… 8

J. Pengobatan ………………………………………………………………………… 8

J.1. Umum………………………………………………………………………… 8

J.2. Khusus………………………………………………………………………... 9

J.3. Pengobatan Penyulit …………………………………………………………. 10

J.4. Pengobatan Kontak ………………………………………………………….. 11

J.5. Pengobatan Karier …………………………………………………………… 11

K. Pencegahan ………………………………………………………………………… 11

iii

Page 14: Referat Difteria

DIFTERIA

REFERAT

diajukan guna memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso

Periode 7 Juni 2010 –14 Agustus 2010

Disusun oleh:RUDY

406090067

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

JAKARTA2010

Page 15: Referat Difteria

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat

rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul “Difteria” ini

dengan baik. Referat ini disusun untuk memperluas wacana, bagi saya khususnya, dan bagi

semua pihak yang membaca referat ini pada umumnya. Referat ini juga disusun untuk

melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak, di RSPI Sulianti Saroso, pada

periode 7 Juni 2010 – 14 Agustus 2010.

Terima kasih yang sebesar-besarnya saya haturkan kepada dr. Dyani

Kusumowardani, SpA, atas bimbingan dan kebijaksanaannya selama saya mengikuti

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSPI Sulianti Saroso.

Dengan segala keterbatasan kemampuan dan pengetahuan, saya menyadari bahwa

referat ini amatlah jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik dari semua pihak

yang membaca referat ini, pada umumnya dan dari dr. Dyani Kusumowardani, SpA pada

khususnya amatlah saya harapkan demi kelengkapan dan kesempurnaan referat ini.

Jakarta, Juli 2010

Penuli

s