referat konjungtivitis
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit mata merah atau dalam istilah kedokteran disebut konjungtivitis adalah
penyakit mata yang disebabkan oleh infeksi menular pada konjungtiva. Konjungtiva adalah
selaput bening pada mata yang menutupi bagian mata berwarna putih serta permukaan mata
dalam pada kelopak mata. Penyakit mata merah (konjungtivitis) disebabkan oleh bakteri atau
virus, sehingga termasuk penyakit menular. Penularan penyakit ini bisa melalui kontak langsung
dengan penderita. Pada beberapa kasus, penyakit mata merah (konjungtivitis) bisa juga
disebabkan karena alergi terhadap sesuatu atau bisa juga disebabkan karena kemasukan suatu
benda ke dalam mata yang mengakibatkan iritasi. Jika terjadinya karena alergi atau disebabkan
suatu benda masuk ke dalam mata, maka penyakit mata merah (konjungtivitis) ini bukan
termasuk penyakit menular. Disebut penyakit mata merah karena bagian mata berwarna putih
akan berubah menjadi merah dikerenakan virus, bakteri, alergi maupun kemasukan suatu benda
ke dalam mata. Beberapa kasus penyakit mata merah (konjungtivitis) memang akan sembuh
meski tidak diobati, tetapi beberapa kasus mata merah (konjungtivitis) lainnya membutuhkan
perawatan dan pengobatan.
Di negara maju seperti Amerika pada tahun 2005, insidens rate konjungtivitis sebesar
10.000 penderita baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa dan juga lansia. Selain itu
Pada 3% kunjungan di departemen penyakit mata di Amerika serikat, 30% adalah keluhan
konjungtivitis akibat bakteri dan virus, dan 15% adalah keluhan konjungtivitis alergi.
Konjungtivitis juga salah satu penyakit mata yang paling umum di Nigeria bagian timur, dengan
insidens rate yaitu 32,9% dari 949 kunjungan di Departemen Mata Aba Metropolis, Nigeria,
pada tahun 2004 hingga 2006.1 Insidensi konjungtivitis di Indonesia berkisar antara 2-75%. Data
perkiraan jumlah penderita penyakit mata di Indonesia adalah 10% dari seluruh golongan umur
penduduk per tahun dan pernah menderita konjungtivitis. Data lain menunjukkan bahwa dari 10
penyakit mata utama, konjungtivitis menduduki tempat kedua (9,7%) setelah kelainan refraksi
(25,35%).3 Sampel penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UMY yang dicatat dari rekam medis pasien di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
1
Yogyakarta periode Juni 2009-April 2010 didapatkan jumlah penderita konjungtivitis sebanyak
102 pasien.2
Salah satu klasifikasi konjungtivitis yang juga cukup banyak diderita masyarakat adalah
konjungtivitis alergi. Konjungtivitis alergi ini juga dikelompokkan menjadi beberapa macam
yang salah satunya adalah konjungtivitis flikten. Konjungtivitis flikten adalah suatu peradangan
pada konjungtiva dengan pembentukan satu atau lebih tonjolan kecil (flikten) yang diakibatkan
oleh reaksi alergi(hipersensitivitas tipe IV). Penyakit ini dapat mengenai dua mata, tetapi dapat
pula mengenai satu mata dan sifatnya sering kambuh. Apabila flikten timbul pada kornea dan
sering kambuh, maka dapat berakibat gangguan penglihatan. Konjungtivitis flikten biasanya
terdapat pada anak-anak dan kadang-kadang padaorang dewasa. Penyakit ini merupakan
manifestasi alergi endogen, tidak hanya disebabkan protein bakteri tuberkulosis tetapi juga oleh
antigen bakteri lain seperti stafilokokus. Dapat juga ditemukan pada kandidiasis, askariasis,
helmintiasis. Pada konjungtivitis flikten kita perlu waspada dengan penyulit yang dapat terjadi,
penyulit yang ditimbulkan adalah menyebarnya flikten ke dalam kornea atau terjadinya infeksi
sekunder sehingga dapat menimbulkan abses. Meskipun demikian, konjungtivitis ini dapat
sembuh sendiri dalam 2 minggu namun akan memungkinkan timbulnya kekambuhan.4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan selaput lendir atau disebut juga sebagai lapisan mukosa.
Konjungtiva terdiri atas epitel sel kolumnar bertingkat yang melapisi bagian sklera bola
mata dan kelopak mata bagian dalam. Pada epitel kolumnar bertingkat terdapat sel goblet
yang berfungsi untuk menghasilkan musin dan airmata sehingga dapat melembabkan bola
mata dan mempermudah kelopak mata untuk membuka ataupun menutup.4
Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Konjungtiva tarsal atau palpebra berada di bagian posterior kelopak mata dan sukar
digerakkan dari tarsus. Konjungtiva tarsal superior dan inferior akan menutupi
jaringan episklera disepanjang bola mata sampai berbatasan dengan konjungtiva
bulbar.
2. Konjungtiva bulbar menempel secara longgar pada septum orbital dibagian forniks
dan dapat dilipat berkali-kali, hal ini untuk mempermudah pergerakan mata dan
pembesaran kelenjar air mata. Konjungtiva bulbar juga secara longgar kapsul tenon
dan seluruh permukaan sklera.
3. Konjungtiva fornises atau forniks merupakan tempat peralihan antara konjungtiva
tarsal dan konjungtiva bulbar.
3
Secara histologis lapisan konjungtiva adalah epitel konjungtiva yang terdiri atas
2sampai 5 lapis sel kolumnar, superfisial, dan basal. Epitel konjungtiva disekitar limbus,
karunkel, dan perbatasan kelopak mata terdapat sel epitel gepeng. Sel epitel superfisial
terdiri atas sel bulat atau sel goblet yang menghasilkan musin dan air mata sehingga dapat
melembabkan bola mata serta mempermudah kelopak mata untuk membuka atau
menutup. Sel epitel basal yang berada lebih dalam dari pada sel epitel superfisial dan
berada di sekitar limbus memiliki pigmen yangmemberi warna. Stroma konjungtiva
terdiri atas lapisan adenoid di bagian superfisial dan lapisan fibrosa di bagian dalam.
Lapisan adenoid merupakan jaringan limfoid dan dibeberapa area mata dapat memiliki
bentuk follicle-like tanpa sentral germinatikum. Lapisan adenoid ini baru akan
berkembang saat usia beranjak 2-3bulan. Sedangkan lapisan fibrosa merupakan jaringan
ikat yang melekat pada tarsal. Selain itu, pada stroma konjungtiva juga terdapat kelenjar
aksesoris (kelenjar krause dan kelenjar wolfring) yang mirip dengan fungsi dan struktur
kelenjar lakrimasi. Kelenjar krause lebih banyak berada pada forniks superior daripada
forniks inferior dan kelenjar wolfring berada pada margin superior tarsus bagian atas.
Konjungtiva diperdarahi oleh arteri siliaris anterior yang berasal dari arteri
oftalmikus serta diperdarahi oleh arteri palpebra dimana kedua arteri ini beranastomosis.
Arteri siliaris anterior berjalan mengikuti otot rektus penggerak bola mata kecuali otot
rektus lateralis. Konjungtiva mendapat persarafan dari saraf oftalmikus cabang
4
trigeminus. Sedangkan kelenjar getah bening lapisan-lapisan kelopak mata berasal dari
pleksus kelenjar getah bening.6
B. Konjungtivitis Flikten
1. Definisi
Konjungtivitis flikten merupakan radang pada konjungtiva dengan pembentukan satu
atau lebih tonjolan kecil (flikten) yang diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas
tipe IV). Tonjolan sebesar jarum pentul yang terutama terletak di daerah limbus,
berwarna kemerah-merahan disebut flikten. Flikten konjungtiva mulai berupa lesi
kecil, umumnya diameter 1-3 mm, keras, merah, menonjol dan dikelilingi zona
hyperemia. Secara histologis, flikten adalah kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi
sel limfosit, makrofag dan kadang-kadang sel datia berinti banyak.4
2. Etiologi
Kelainan ini merupakan manifestasi alergik (hipersensitivitas tipe IV) endogen
tuberculosis, stafilokokus, coccidioidomycosis, candida, helmintes, virus herpes
simpleks, toksin dari moluscum contagiosum yang terdapat pada margo palpebra dan
infeksi fokal pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus urogenital. Penyakit
ini terutama mengenai anak-anak berumur 4-14 tahun dengan malnutrition dan TBC.4
3. Klasifikasi
Secara klinis konjungtivitis flikten dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
a. Konjungtivitis flikten
Tanda-tanda inflamasi tidak jelas, tidak menyebar, hanya terbatas pada tempat flikten,
sekret hampir tidak ada
5
b. Konjungtivitis Kum flikten
Tanda-tanda inflamasi jelas dan sekret dapat berupa mukopurulen. Konjungtivitis kum
fliktenularis biasanya timbul karena infeksi sekunder bakteri.6
4. Patofisiologi
Hipersensitivitas tipe IV adalah reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi inflamasi
disebabkan oleh sel T CD4+ dan reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat dari
reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 berkontribusi dalam
terjadinya penyakit organ spesifik yang etiologinya adalah proses inflamasi. Reaksi
inflamasi yang berhubungan dengan sel Th1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan,
sel Th17 akan didominasi oleh neutrofil.
Reaksi yang terjadi pada hipersensitivitas ini dibagi menjadi 2 tahap utama:
a. Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+. Sel ini mengenali susunan peptide yang
ditunjukkan oleh sel dendritik dan menyekresikan IL2 yang berfungsi sebagai
autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsived sel T.
6
Perbedaan antara antigen-stimulated sel Tdengan Th1 atau Th17 terlihat pada
produksi sitokin oleh APC (sel dendritik dan makrofag) saat aktivasi sel T. APC
memproduksi IL12 yangmenginduksi diferensiasi sel T menjadi Th1. IFN-γ akan
diproduksi oleh sel Th1 dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin
sepertiIL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF-β untuk
menstimulasi diferensiasi sel T menjadi Th17. Beberapa daridiferensiasi sel ini akan
masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool selama waktu yang lama.
b. Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen yang
berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC.
Sel Th1 akan menyekresikan sitokin (umumnya IFN-γ) yang bertanggung jawab
dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi
makrofag yang akan memfagositosis dan membunuh mikroorganisme yang telah
ditandai sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC
II,yang memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga menyekresikan
TNF, IL1, dan kemokin yang akan menyebabkan inflamasi. IL12 juga merupakan
hasil produksi makrofag yang akan memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme
tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi
tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi akan berlanjut sehingga
jaringan luka akan menjadi semakin luas.
Th17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan self antigen dalam penyakit
autoimun. Sel Th17 akan menyekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain.
Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses
inflamasi. Th17 juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri.
Reaksi oleh sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen. Kerusakan jaringan
oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi oleh sel T
dengan langsung melawan histokompatibilitasantigen tersebut. Mekanisme dari CTLs
juga berperan penting untuk melawan infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan
memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T
CD8+. Penghancuran sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi
tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel. Prinsip mekanisme pembunuhan sel
yang terinfeksi yang dimediasi olehsel T yaitu CTLs yang mengenali sel target akan
7
menyekresikan kompleks yang berisikan perforin, granzymes, dan protein yang disebut
serglisin yang akan masuk ke sel target melalui proses endositosis. Dalam sitoplasma, sel
target perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes dari kompleks. Granzymes adalah
enzim protease yang memecah dan mengaktivasi kaspase, yang akan menginduksi
apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan fast ligand, molekul
yang homolog dengan TNF, yang dapat berikatan dengan fast expressed pada sel target
dan memicu apoptosis. Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ) yang terlibat
dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terpapar oleh
beberapa agen kontak.
5. Diagnosis
Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan menilai dari gejala dan hasil pemeriksaan
penunjang sebagai berikut:
a. Gejala subjektif
Konjungtivitis flikten menyebabkan iritasi dengan keluhan rasa sakit, mata merah,
dan lakrimasi. Jika kornea ikut terlibat maka akan ditemukan keluhan fotofobia dan
gangguan penglihatan
b. Gejala objektif
1) Konjungtivitis Flikten Simpel
Terlihat nodul putih kemerahan yang dikelilingi daerah hiperemis (pelebaran
pembuluh darah konjungtiva) pada daerah sekitar limbus dan konjungtiva bulbar.
Pada umumnya nodul hanya soliter namun dapat juga tumbuh lebih dari satu.
8
2) Konjungtivitis Flikten Necrotizing
Terdapat flikten besar yang disertai proses nekrosis dan ulserasi sehingga
memungkin terjadinya severe pustular konjungtivitis
3) Konjungtivitis Flikten Milier
Terdapat multipel flikten yang berbentuk lingkaran disekitar limbus ataupun
menyebar secara tidak merata
9
c. Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan kumpulan sel leukosit netrofil yang
dikelilingi oleh sel limfosit, sel makrofag, dan sel datia berinti banyak. Pembuluh
darah yang memperdarahi flikten mengalami proliferasi endotel dan sel epitel
dibagian atas mengalami degenerasi
d. Laboratorium
Dapat dilakukan pemeriksaan tinja jika dicurigai helmintiasis, pemeriksaan darah
untuk mengetahui infeksi, dan kultur konjungtiva. Pemeriksaan sekret dengan
pewarnaan gram dapat membantu mengidentifikasi penyebab maupun infeksi
sekunder.
6. Penatalaksanaan
Penyebab primer dari penyakit ini harus diketahui dan ditangani terlebih dahulu,
misalnya melalui pencarian infeksi fokal di telinga, hidung, tenggorokan, atau gigi.
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah, urine, feses maupun foto toraks
seringkali dilibatkan dalam usaha tersebut. Kortikosteroid topikal seperti Dexamethasone
atau Prednisolone dalam sediaan obat tetes atau salep mata perlu diberikan karena dasar
dari timbulnya konjungtivitis flikten adalah hipersensitivitas tipe lambat. Kerja dari
kortikosteroid adalah menginhibisi aktivasi sel T sebagai mediator inflamasi yang utama
dalam proses ini, sehingga respon proliferatif dan produksi sitokin berkurang. Kombinasi
10
kortikosteroid dengan antibiotik seperti Kloramfenikol lebih dianjurkan mengingat
banyak kemungkinan terdapat infeksi bakteri sekunder. Jika terdapat kondisi blefaritis
atau masalah dermatologis yang lain, pemberian Doksisiklin oral dapat dipertimbangkan.
Pada anak-anak dengan usia di bawah 8tahun dan wanita hamil, Eritromisin dapat
menggantikan penggunaan Doksisiklin. Sikloplegik hanya dibutuhkan jika dicurigai
adanya iritis. Dapat juga diberikan Roboransia yang mengandung vitamin A, B
kompleks, dan C untuk memperbaiki keadaan secara general. Pada pemberian
kortikosteroid lokal dalam jangka waktu lama perlu diwaspadai kontraindikasi dan
adanya berbagai factor penyulit antara lain infeksi sekunder jamur atau virus, munculnya
Glaukoma maupun Katarak
7. Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang komprehensif, umumnya konjungtivitis flikten akan
sembuh spontan dalam 1-2 minggu dan tidak meninggalkan bekas kecuali flikten pada
limbus. Prognosis menjadi relatif lebih buruk jika terjadi flikten pada kornea, abses
kornea karena infeksi sekunder bakteri, dan perforasi kornea dalam luas yang terbatas.
Namun beberapa keadaan penyulit tersebut dapat diatasi dengan penatalaksanaan yang
memadai.
11
BAB III
KESIMPULAN
Konjungtivitis flikten merupakan radang pada konjungtiva dengan pembentukan
satu atau lebih tonjolan kecil (flikten) yang diakibatkan oleh reaksi alergi
(hipersensitivitas tipe IV). Kondisi ini merupakan reaksi alergi terhadap endogen
tuberkulosis, stafilokokus, coccidioidomikosis, candida, helmintes, virus herpes simpleks,
toksin dari moluscum contagiosum yang terdapat pada margo palpebra dan infeksi fokal
pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus urogenital. Gejala klinis biasanya
ringan, berupa lakrimasi berlebihan, mata merah setempat, dan iritasi dengan rasa sakit.
Blefarospasme dapat terjadi jika terdapat pus mukopuruluen karena infeksi bakteri.
Konjungtivitis fliktenularis harus dibedakan dengan kondisi serupa yang juga bersifat
superfisial melalui anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi. Dasar dari penatalaksanaan
penyakit ini adalah mengatasi penyakit yang mendasarinya dengan proses diagnostik dan
terapi yang komprehensif. Korstikosteroid topikal wajib digunakan dalam kasus ini.
Antibiotik topikal dan sistemik dapat digunakan sebagai terapi kombinasi jika terdapat
infeksi sekunder. Dengan terapi yang memadai, prognosis kasus ini umumnya baik, tanpa
komplikasi.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Hutagalung, P.Y. Karakteristik Penderita Konjungtivitis Rawat Jalan Di Rsud.
Dr.Pirngadi Medan Tahun 2011. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara. 2011
2. Arrizal, R., 2011. Pengaruh Musim Hujan Dan Musim Kemarau Terhadap Angka
Kejadian Konjungtivitis Di RS PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta Tahun 2009
Dan 2010. Yogyakarta.
3. Depkes RI., 2004. Distribusi Penyakit Mata Dan Adneksa Pasien Rawat Inap Dan Rawat
Jalan Menurut Sebab Sakit Di Indonesia Tahun 2004.
Availablefrom:Http://Bankdata.Depkes.Go.Id/Data%20intranet/Sharing%20folder/Ditjen
%20yanmedik/Seri%203/Tabels. Akses 25 Januari 2012.
4. Illyas, S., 2010. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 2. Cetakan Ke Tujuh. Balai Penerbit FK UI,
Jakarta.
5. Vaughan, A., 2010. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Egc, Jakarta.
6. Wijaya, Nana. 1993. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Egc
13