referat rhinitis atrofi hipertrofi

25
RHINITIS ATROFI & RHINITIS HIPERTROFI PEMBIMBING : Dr. Renie Augustine, sp.THT DISUSUN OLEH : Bayu Aulia Riensya KEPANITERAAN KLINIK I.P.THT

Upload: bayuaul

Post on 10-Aug-2015

186 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

tht kl

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

RHINITIS ATROFI & RHINITIS HIPERTROFI

PEMBIMBING :

Dr. Renie Augustine, sp.THT

DISUSUN OLEH :

Bayu Aulia Riensya

KEPANITERAAN KLINIK I.P.THT

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA 2012

Page 2: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya berkat rahmat dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan judul “Rhinitis Atrofi & Rhinitis Hipertrofi” pada waktu yang telah ditentukan.

Penulis sebagai mahasiswa kepaniteraan bagian THT FK Trisakti telah diberi kesempatan oleh Dr.Renie Augustine, Sp.THT untuk membuat sebuah referat dimana pembahasan yang ditulis adalah mengenai etiologi, epidemiologi, patofisiologi, pemeriksaan, penatalaksanaan, komplikasi, hingga prognosis dari penyakit ini.

Selama menyusun referat ini, penulis mendapat banyak bimbingan, arahan, kontribusi serta motivasi untuk menyelesaikan tugas ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Renie Augustine, Sp.THT sebagai pembimbing dalam penulisan referat ini.

2. Seluruh staf pengajar THT yang telah memberikan banyak ilmu sehingga referat ini dapat diselesaikan.

3. Rekan-rekan angkatan 2008 yang telah membantu dan mendukung tersusunnya referat ini.

Dalam penyusunan referat ini penulis merasa masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon maaf jika ada penulisan yang kurang berkenan dan penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhir kata, penulis berharap referat ini dapat berguna bagi setiap pembaca, dan memberikan jendela pengetahuan baru bagi semuanya. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.

Jakarta, Januari 2013

Penulis

Page 3: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………

PENDAHULUAN……………………………………………………………

TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………….

PEMBAHASAN……………………………………………………………

KESIMPULAN…………………………………………………………….

SARAN……………………………………………………………………

PENUTUP…………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….

Page 4: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

PENDAHULUAN

Rhinitis atrofi atau ozaena adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh

adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Salah satu gejala yang

timbul adalah mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat

mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Orang di sekitar

penderita yang biasanya tidak tahan dengan bau tersebut, tetapi pasien sendiri

tidak merasakannya karena hiposmia atau anosmia.

Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada

usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi

rendah, di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Ozaena

lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat.

Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak

perang dunia ke II tampaknya timbul bersamaan dengan suatu penurunan tajam

dalam insidens ozaena.

Etiologi dan patogenesisnya hingga saat ini masih belum dapat diterangkan

dengan pasti. Oleh karena itu pengobatannya pun dilakukan untuk mengatasi

etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat

konservatif, atau jika tidak dapat menolong dapat dilakukan pembedahan.

Maksud dan tujuan pembuatan referat rhinitis atrofi ini supaya dokter dapat

melakukan deteksi dini dari penyakit yang mengenai mukosa hidung ini. Selain

itu penulis juga berharap referat ini dapat memberikan wawasan ilmu

pengetahuan baru bagi para pembacanya.

Page 5: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

TINJAUAN PUSTAKA

Secara anatomis, dari luar hidung berbentuk piramida dengan puncak

hidung sebagai apeks. Sepertiga bagian kerangka hidung terdiri dari tulang dan

duapertiga bagian terdiri dari tulang rawan. Di bagian dalam, hidung dibagi

menjadi dua rongga (kavum nasi) yang dipisahkan oleh sekat hidung (septum

nasi). Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial,

lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum

dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulangnya terdiri dari lamina

perpendikularis ethmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os

palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)

dan kolumela. Maksila, palatum, dan premaksila merupakan dasar dari pyramid

hidung. Atapnya terdiri dari tulang hidung, lamina kribriformis tulang ethmoid

dan tulang sphenoid.

Pada dinding bagian lateral rongga hidung terdapat empat buah konka.

Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang

lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan

yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang

disebut meatus. Terbagi tiga sesuai letaknya yaitu meatus inferior, media, dan

superior.

Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan

dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)

duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan

dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,

sinus maksila dan sinus ethmoidalis anterior. Pada meatus superior yang

merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara

sinus ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis.

Page 6: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.ethmoidalis

anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.opthalmica dari a.karotis

interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang

a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan

a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina

dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian

depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

a.sfenopalatina, a.ethmoidalis anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor

yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya

superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber

epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung

mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.

Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui

lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian

berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah

sepertiga atas hidung.

Secara fisiologis, hidung merupakan bagian dari traktus respiratorius, alat

penghidu dan rongga-suara untuk berbicara. Fungsi pernapasan adalah mengatur

kondisi udara yang dihirup dan mengatur tahanan pernapasan. Fungsi mengatur

kondisi udara meliputi pemanasan, kelembaban dan pembersihan. Selain itu,

hidung sebagai alat penghidu merupakan perlindungan terhadap pengaruh yang

merusak dan berbahaya (misalnya, mencium bau pembakaran) dan untuk

hubungan dengan lingkungan. Pada waktu berbicara, hidung juga berperan

sebagai rongga-suara, yaitu rongga-resonansi, apabila nasofaring tidak tertutup

dan sebagian dikeluarkan melalui hidung. Dengan resonansi ini, dapat dihasilkan

suara hidung (m,n,ng).

Page 7: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

Hidung merupakan alat reflex yang penting dan kebanyakan terlibat dalam

pengaturan dalamnya pernapasan, lama bernapas dan tahanan hidung. Hidung

juga mempunyai fungsi estetis dan emotif. Bentuk hidung yang menyimpang

sering merupakan beban psikis dan social.

Pada hidung juga banyak ditemukan beberapa kelainan. Seperti infeksi

ataupun peradangan pada hidung bagian dalam yang akan dibahas kemudian.

Salah satu contohnya adalah rhinitis atrofi.

Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya

atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung

menghasilkan secret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta

yang berbau busuk. Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel

torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang,

lapisan submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau

atrofi.

Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai

wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5

pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4

penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies, frekwensi penderita rhinitis atrofi

wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan

hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk

berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Di RS H.

Adam Malik bagian THT melaporkan dari Januari 1999 sampai Desember 2000

ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-

37 tahun.

Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat social

ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.

Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika

Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa

Page 8: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu

penurunan tajam dalam insidens ozaenae.

FREKUENSI OZAENAE BERDASARKAN UMUR DAN

JENIS KELAMIN

R.S. DR. KARIADI -- SEMARANG, 1975 -- 1976

Jumlah kasus

1975 1976 Total

Wanita :

8 tahun

13-20 tahun

20 tahun ke atas

Laki-laki :

15-20 tahun

20 tahun ke atas

1

11

3

3

3

11

6

2

3

1

22

9

5

6

Jumlah wanita : laki-laki = 32 : 11, atau kurang lebih 3 : 1

Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.

Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai etiologi dari

rhinitis atrofi ini, di antaranya : Infeksi oleh mikroorganisme spesifik. Yang

tersering ditemukan adalah spesies Klebsiella Ozaena. Kuman lainnya yang

sering ditemukan adalah Stafilokokus, Streptokokus, dan Pseudomonas

Page 9: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

Aeruginosa, Trauma, Radiasi, Efek lanjut dari tindakan bedah, Sinusitis kronik,

Defisiensi vitamin A, Defisiensi Fe dan juga Faktor Genetik.

Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari

dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari

pertolongan pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak

dirasakan oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya sehingga

menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Terlebih lagi penyakit

ini lebih sering menyerang perempuan sehingga menimbulkan keluhan tersendiri

bagi pasien. Adanya krusta (pembentukan sekret kehijauan yang kental dan tebal

yang cepat mengering). Hidung tersumbat, Gangguan Penghidu, Sakit kepala

dan epistaksis.

Klasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi :

Rhinitis atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk

klasik rhinitis atrofi. Terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya.

Penyebabnya adalah mikroorganisme Klebsiella Ozaena. Sedangkan rhinitis

atrofi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit.

Penyebabnya bisa karena bedah sinus, radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi

lokal setempat.

Patofisiologi dari rhinitis atrofi dimulai dari berbagai etiologi seperti

Klebsiella ozaena, trauma, penyebaran infeksi lokal setempat (contoh: sinusitis

maxillaris), efek lanjut dari tindakan bedah, radiasi, dan kemudian akan

menyebabkan terjadinya suatu peradangan pada hidung. Jika peradangan ini

berlangsung lama dan tidak kunjung sembuh, maka disebut inflamasi kronik.

Inflamasi kronik ini akan menyebabkan banyak perubahan anatomi dan fungsi

hidung, seperti : Lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan

silianya. Hal ini akan membuat hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan

kemampuan membersihkan debris, kelenjar mukosa mengalami atrofi dan

bahkan bisa menghilang, terbentuknya fibrosis jaringan subepitel yang luas,

fungsi surfaktan akan menjadi abnormal dimana hal ini akan menyebabkan

pengurangan efisiensi klirens mucus, dan mempunyai pengaruh yang kurang

Page 10: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

baik terhadap frekuensi gerakan silia sehingga akan membuat bertumpuknya

lender, semakin tipisnya epitel (atrofi konkha) akan membuat rongga hidung

semakin membesar, karena itulah terjadi kekeringan, pembentukan krusta, dan

iritasi mukosa semakin meluas. Lalu jika bloodsupply juga tidak adekuat, maka

akan terjadi nekrosis sel dan jaringan yang bila nanti mengalami proses

pembusukan dan bercampur dengan toxin dari mikroorganisme akan

menghasilkan pus kehijauan yang berbau busuk. Jika krusta terlepas akan

membuat epistaksis. Selain atrofi dari mukosa, juga bisa terjadi atrofi dari

mukosa olfaktoria yang bisa menyebabkan penderita mengalami hiposmia atau

bahkan anosmia.

Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi dilakukan Anamnesis, lalu pada

Pemeriksaan Hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konkha inferior

dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen dan krusta berwarna hijau,

Pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsy konkha media,

Pemeriksaan mikrobiologi untuk menentukan kuman penyebab, Pemeriksaan

Radiologi sinus paranasalis. Dan juga CT-Scan, dimana pada pemeriksaan ini

ditemukan : Penebalan mukoperiostium sinus paranasal, Kehilangan ketajaman

dan kompleks sekuder osteomeatal untuk meresorbsi bula etmoid dan proses

“uncinate”, Hipoplasia sinus maxillaries, Pelebaran kavum hidung dengan erosi

dan membusurnya dinding lateral hidung, Resorpsi tulang dan atrofi mukosa

pada konkha media dan inferior.

Diagnosis banding untuk rhinitis atrofi adalah sebagai berikut : Rhinitis

Kronik Tuberkulosa dan Rhinitis Kronik Sifilis. Rhinitis Kronik Tuberkulosa

merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner. Tuberkulosis pada

hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum

dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksaan klinis terdapat secret

mukopurulen dan krusta, sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat.

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada secret

hidung. Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.

Page 11: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

Sedangkan Rhinitis Kronik Sifilis penyebabnya ialah kuman Treponema

pallidum. Penyakit ini sudah jarang ditemukan. Pada rhinitis sifilis yang primer

dan sekunder gejalanya serupa dengan rhinitis akut lainnya, hanya mungkin

dapat terlihat adanya bercak/bintik pada mukosa. Pada rhinitis sifilis tersier

dapat ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama mengenai septum nasi dan

sapat mengakibatkan perforasi septum. Pada pemeriksaan klinis didapatkan

secret mukopurulen yang berbau dan krusta. Diagnosis pasti ditegakkan dengan

pemeriksaan mikrobiologik dan biopsy. Sebagai pengobatan diberikan penisilin

dan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan secara rutin.

Komplikasi dari rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa : Perforasi Septum,

Faringitis, Sinusitis, Hidung Pelana dan Miasis Hidung.

Hingga kini pengobatan medis terbaik rhinitis atrofi hanya bersifat paliatif.

Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi

sistemik dan lokal dengan endokrin, steroid dan antibiotik; vasodilator;

pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas.

Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung

mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai

darah mukosa hidung. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/

penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara

konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.

Yang termasuk pengobatan konservatif seperti: Antibiotik spektrum luas

sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi

hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan

Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu. Selain itu, dapat

digunakan juga obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari

krusta dan sekret dan menghilangkan bau. Antara lain : Betadin solution dalam

100 ml air hangat atau campuran: NaCl, NH4Cl , NaHCO3 aaa 9, Aqua ad 300

cc. Larutan tersebut harus diencerkan dengan perbandingan 1 sendok makan

Page 12: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

larutan dicampur 9 sendok makan air hangat. Larutan dihirup ke dalam rongga

hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk

ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian

obat simptomatik pada rhinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian

preparat Fe. Setelah krusta diangkat, diberi antara lain: glukosa 25% dalam

gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U /

ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml diberikan

tiga kali sehari masing-masing tiga tetes. Dapat juga diberikan Vitamin A 3 x

10.000 U selama 2 minggu dan Preparat Fe.

Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan

Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80%

perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal

memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu

regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan :

trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung

dengan NaCl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali

untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu

sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil

yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.

Disamping itu pengobatan operatif pada rhinitis atrofi (ozaena) bertujuan

untuk : menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan

dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan

terjadinya regenerasi.2 Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama

yaitu Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan Operasi, seperti

penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :

Young’s Operation (Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha

melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau

Page 13: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama

periode tiga tahun); Modified Young’s Operation (Penutupan lubang hidung

dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka); Lautenschlager operation (Dengan

memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian

dipindahkan ke lubang hidung); Implantasi submukosa dengan tulang rawan,

tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin

Glue; Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's

operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang melaporkan

operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak

berhasil dengan memuaskan.

Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan

perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung.

Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana

sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan

implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.

Untuk prognosis pasien dalam kasus ini, dengan operasi diharapkan

perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia diatas 40

tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.

Page 14: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

PEMBAHASAN

Rhinitis atrofi termasuk penyakit hidung kronik yang etiologi pastinya

belum jelas. Penyebab terseringnya adalah infeksi Klebsiella Ozaena, penjalaran

dari infeksi lokal setempat, efek lanjut dari tindakan intervensi bedah, efek

radiasi, trauma, defisiensi vitamin A, defisiensi Fe, dan bahkan ada yang

mengatakan karena pengaruh genetik. Penyakit ini juga lebih sering terjadi pada

wanita usia pubertas dibanding pada pria.

Patofisiologi rhinitis atrofi bermula dari adanya etiologi yang telah

disebutkan di atas. Jika hal-hal tersebut terjadi lama (tidak kunjung sembuh)

maka akan menimbulkan peradangan kronis yang membuat perubahan pada

struktur anatomi dan fungsi dari hidung. Di antaranya epitel menjadi menipis

dan kehilangan silianya, kelenjar mukosa mengalami atrofi.

Gejala klinik yang membuat pasien datang ke dokter adalah karena adanya

foetor ex nasi (bau busuk dari dalam hidung) yang hanya dirasakan oleh orang

sekitar penderita, tetapi penderita sendiri tidak merasakannya. Selain itu juga

didapatkan gejala hidung tersumbat, gangguan penghidu, epistaksis, dan

cefalgia,

Untuk menegakkan diagnosis rhinitis atrofi, pemeriksaan yang paling

pertama kita lakukan adalah pemeriksaan anamnesis. Setelah pemeriksaan

anamnesis, kita masuk ke pemeriksaan fisik, dimana pada pemeriksaan hidung

ditemukan adanya rongga hidung yang sangat lapang, banyak krusta, dan jika

krusta tersebut diangkat maka akan ada perdarahan (epistaksis), konkha media

dan inferior mengalami atrofi, dan terdapat gangguan penghidu. Selain

pemeriksaan fisik, terdapat juga pemeriksaan penunjang lain seperti CT-Scan.

Diagnosis banding dari rhinitis atrofi ini adalah rhinitis kronik tuberkulosa

dan rhinitis kronik sifilis. Dimana diagnosisnya harus dapat dibedakan dari

rhinitis atrofi. Komplikasi yang timbul dapat berupa Perforasi Septum,

Faringitis, Sinusitis, Hidung Pelana dan Miasis Hidung.

Page 15: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

Pengobatannya terdiri dari menghilangkan krusta, membilas hidung secara

teratur dengan larutan garam fisiologis dan bila perlu memberikan antibiotika

agak lama dengan dosis yang adekuat. Bila dengan cara ini tidak menolong

secara tuntas, barulah diperlukan tindakan bedah untuk menyempitkan rongga

hidung. Dan untuk prognosisnya tergantung pada penatalaksanaan yang tepat

terhadap pasien.

Page 16: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

KESIMPULAN

Rhinitis atrofi merupakan penyakit kronik di hidung yang ditandai oleh

adanya foetor ex nasi, krusta, obstruksi hidung, epistakis, dan cefalgia. Gejala

foetor ex nasi yang tidak dirasakan oleh penderita membuat penderita dijauhi

oleh orang-orang disekitarnya sehingga hal ini membuat pasien mengalami

gangguan dalam bersosialisasi. Rhinitis atrofi lebih banyak pada wanita

dibanding pria. Dan biasanya menyerang pada usia pubertas.

SARAN

PENUTUP

Demikian refarat ini kami buat semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

Page 17: Referat Rhinitis Atrofi Hipertrofi

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, G. L. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit

Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

2. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id.

Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144,

2004.

3. Soedarjatni. 1977. Foetor Ex Nasi. Available from : http://www.kalbe.co.id.

Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.

4. Mangunkusumo, E. & Wardani, R. S. 2007. Rinorea, Infeksi Hidung dan

Sinus dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala

& Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

5. Van den Broek, P. & Feenstra, L. 2009. Buku Saku Ilmu Kesehatan

Tenggorok, Hidung&Telinga. Ed. Ke-12. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jakarta.

6. Mansjoer, A., et al. 2005. Buku Kapita Selekta Kedokteran. Ed. III. Media

Aesculapius. Jakarta.